Anda di halaman 1dari 12

Manajemen mutu

Standar Nasional Indonesia (SNI)

Standardisasi di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 Tahun


2000 tentang Standardisasi Nasional yang selanjutya disebut PP 102 Tahun 2000, yang
mencakup Metrologi Teknik (Standar Nasional Satuan Ukuran dan Kalibrasi), Standar,
Pengujian, dan Mutu. Konsep tersebut mengacu pada konsep internasional tentang
Measurement, Standard, Testing and Quality Management (MSTQ) Infrastructure.

Standar Nasional Indonesia (“SNI”), berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan


Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional ("PP 102/2000”), SNI
adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dan berlaku secara
nasional dan satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia. SNI
dirumuskan oleh Komite Teknis (dulu disebut sebagai Panitia Teknis) dan kemudian
ditetapkan oleh BSN. Tujuan dari Standarisasi Nasional sesuai dengan PP 102 Tahun 2002
adalah untuk:

a. Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan


masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupu pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
b. Membantu kelancaran perdagangan
c. Mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan.

Ada dua jenis SNI. Jenis pertama adalah yang bersifat wajib, dan jenis yang kedua adalah yang
bersifat sukarela. Prinsip penerapan SNI sendiri sesungguhnya bersifat sukarela. Akan tetapi,
untuk tujuan tertentu seperti (1) perlindungan konsumen, tenaga kerja yang membuat produk,
dan masyarakat dari aspek keselamatan, keamanan, dan kesehatan, (2) pertimbangan keamanan
negara, (3) tuntutan perkembangan ekonomi dan kelancaran iklim usaha dan persaingan yang
sehat, atau (4) pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka pemerintah menetapkan produk-
produk tertentu yang wajib memiliki SNI sebelum diedarkan di masyarakat. Televisi buatan
Kusrin, misalnya, berada dalam kelompok barang yang wajib memiliki SNI.
Peran Pemerintah:

a. Berhati-hati, jangan sampai menghambat produktivitas dan kreativitas masyarakat


dalam menciptakan produk ekonomis.
b. Melindungi usaha mikro, kecil dan menengah, sehingga penetapan standar SNI justru
mendorong mereka meningkatkan daya saing dan menaikkan kualitas barang/jasa yang
diproduksi.
c. Jangan sampai penerapan wajib SNI menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat
antarpelaku (produsen atau pemilik merek dagang).
d. Melalui Badan Standardisasi Nasional (BSN) memberikan layanan cuma-cuma untuk
produsen berskala mikro dan kecil untuk mendapatkan SNI atas produk mereka.
e. Mengedepankan fungsi pembinaan dibandingkan pengawasan yang merugikan usaha
mikro kecil.

Supaya penetapan SNI dapat dipertanggungjawabkan, ada beberapa prinsip etis atau dari sisi
manfaat, setidaknya ada tiga pihak yang memperoleh manfaat langsung atas penerapan SNI
suatu produk.

a. Produsen, SNI mendorong terciptanya suatu produk dengan standar tertentu, yang
hanya bisa dihasilkan jika proses produksinya memenuhi kriteria tertentu. Untuk
mencapai itu, produsen akan berusaha untuk mencari proses yang efisien dan efektif,
mulai dari pemilihan bahan baku, proses produksi, sampai dengan pengemasan dan
distribusi. Dengan kata lain, produsen akan terus melakukan inovasi sehingga produk
yang dihasilkannya memiliki daya saing di pasar.
b. Konsumen, Adanya SNI akan membantu konsumen untuk memilih produk yang
berkualitas. Adanya SNI akan membantu konsumen terbebas dari produk yang
berbahaya bagi keselamatan hidup, kesehatan, ataupun lingkungan. SNI juga membuat
konsumen dapat menikmati barang yang sesuai antara harga dan kualitasnya.
c. Pemerintah, Adanya SNI membuat pasar di dalam negeri memiliki mekanisme
perlindungan dari serbuan barang-barang asing yang tidak diketahui kualitasnya.
Manfaat yang lain,dengan penerapan SNI yang lebih luas, maka akan tumbuh dinamika
ekonomi baru, di mana para produsen akan berusaha untuk mendapatkan SNI atas
produk mereka, sedangkan di masyarakat akan tumbuh lebih banyak lembaga
sertifikasi produk yang juga kredibel untuk menilai dan menguji suatu produk.
Agar SNI memperoleh keberterimaan yang luas antara para stakeholder, maka SNI
dirumuskan dengan memenuhi WTO Code of good practice, yaitu:

a. Openess (keterbukaan)
Terbuka bagi agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat berpartisipasi
dalam pengembangan SNI;
b. Transparency (transparansi)
Transparan agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat mengikuti
perkembangan SNI mulai dari tahap pemrograman dan perumusan sampai ke
tahap penetapannya . Dan dapat dengan mudah memperoleh semua informsi
yang berkaitan dengan pengembangan SNI;
c. Consensus and impartiality (konsensus dan tidak memihak)
Tidak memihak dan konsensus agar semua stakeholder dapat menyalurkan
kepentingannya dan diperlakukan secara adil;
d. Effectiveness and relevance
Efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi perdagangan karena
memperhatikan kebutuhan pasar dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
e. Coherence
Koheren dengan pengembangan standar internasional agar perkembangan pasar
negara kita tidak terisolasi dari perkembangan pasar global dan memperlancar
perdagangan internasional; dan
f. Development dimension (berdimensi pembangunan)
Berdimensi pembangunan agar memperhatikan kepentingan publik dan
kepentingan nasional dalam meningkatkan daya saing perekonomian nasional.

Sejalan dengan perkembangan kemampuan nasional di bidang standardisasi dan dalam


mengantisipasi era globlalisasi perdagangan dunia, AFTA (2003) dan APEC (2010/2020),
kegiatan standardisasi yang meliputi standar dan penilaian kesesuaian (conformity assessment)
secara terpadu perlu dikembangkan secara berkelanjutan khususnya dalam memantapkan dan
meningkatkan daya saing produk nasional, memperlancar arus perdagangan dan melindungi
kepentingan umum. Untuk membina, mengembangkan serta mengkoordinasikan kegiatan di
bidang standardisasi secara nasional menjadi tanggung jawab Badan Standardisasi Nasional
(BSN).

(sumber Strategi BSN 2006-2009)

Manfaat Penetapan pemberlakuan SNI dilakukan untuk kesehatan, keamanan,


keselamatan manusia, hewan dan tumbuhan, pelestarian fungsi lingkungan hidup, persaingan
usaha yang sehat, peningkatan daya saing, dan/atau peningkatan efisiensi serta kinerja industri.
Serta menghadapi Asean Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA) yang akan berlaku pada Desember 2015, SNI sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
daya saing produk dalam negeri.

Penerapan SNI pada dasarnya bersifat sukarela. Namun untuk keperluan melindungi
kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi
lingkungan hidup, pemerintah dapat saja memberlakukan SNI tertentu secara wajib.
Pemberlakuan SNI wajib dilakukan melalui penerbitan regulasi teknis oleh instansi pemerintah
yang memiliki kewenangan untuk meregulasi kegiatan dan peredaran produk (regulator).
Dalam hal ini, kegiatan dan produk yang tidak memenuhi ketentuan SNI menjadi terlarang.
Dengan demikian pemberlakuan SNI wajib perlu dilakukan secara berhati-hati untuk
menghindarkan sejumlah dampak sebagai berikut:

(a) menghambat persaingan yang sehat;

(b) menghambat inovasi; dan

(c) menghambat perkembangan UKM.

Cara yang paling baik adalah membatasi penerapan SNI wajib bagi kegiatan atau
produk yang memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi, sehingga pengaturan kegiatan dan
peredaran produk mutlak diperlukan.

Pemberlakuan SNI wajib perlu didukung oleh pengawasan pasar, baik pengawasan pra-
pasar untuk menetapkan kegiatan atau produk yang telah memenuhi ketentuan SNI wajib
tersebut maupun pengawasan pasca-pasar untuk mengawasi dan mengkoreksi kegiatan atau
produk yang belum memenuhi ketentuan SNI itu.
Apabila fungsi penilaian kesesuaian terhadap SNI yang bersifat sukarela merupakan
pengakuan, maka bagi SNI yang bersifat wajib penilaian kesesuaian merupakan salah satu
persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua pihak yang terkait. Dengan demikian penilaian
kesesuaian berfungsi sebagai bagian dari pengawasan pra-pasar yang dilakukan oleh regulator.

Mengingat bahwa pemberlakuan regulasi teknis di suatu negara juga berlaku untuk
produk impor, maka untuk menghindarkan terjadinya hambatan perdagangan
internasional/negara anggota WTO termasuk Indonesia telah menyepakati Agreement on
Technical Barrier to Trade (TBT) dan Agreement on Sanitary and Phyto Sanitary
Measures (SPS). Upaya pengurangan hambatan perdagangan tersebut akan berjalan dengan
baik apabila masing-masing negara dalam memberlakukan standar wajib, menerapkan Good
Regulatory Practices.

Berdasarkan alasan di atas maka Kementerian Perindustrian telah memberlakukan


penerapan beberapa SNI secara wajib.

Beberapa contoh tentang Pemberlakuan SNI secara wajib:

 Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 35/M-IND/PER/4/2007 tanggal


17 April 2007 tentang Pemberlakuan Standard Nasional Indonesia (SNI) Semen Secara
Wajib dan mulai berlaku enam bulan setelah tanggal ditetapkan.
 SNI wajib dipenuhi produsen dan importir pupuk menyusul diterbitkannya
Permenperin No. 19/M-IND/ Per/2/2009 tentang Pemberlakuan SNI Pupuk Secara
Wajib.
 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Perindustrian, mengeluarkan
Peraturan Menteri Perindustrian nomor : 24/M-IND/PER/4/2013 Tentang
Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Mainan secara wajib. Namun, sejak
diberlakukan pada Oktober 2013, hanya 2% importir yang melabeli produknya dengan
label SNI. Pemerintah padahal sudah menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian No.
24/2013 mengenai Pemberlakuan SNI Mainan secara wajib.

Penerapan SNI dilakukan melakui kegiatan sertifikasi dan akreditasi. Sertifikasi adalah
rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap barang atau jasa. Kemudian akreditasi adalah
rangkaian kegiatan pengakuan formal oleh komite Akreditasi Nasional (KAN), yang
menyatakan bahwa suatu lembaga/laboraturium telah memenuhi persyaratan untuk melakukan
kegiatan sertifikasi tertentu.

Sertifikasi dilakukan oleh lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, lembaga pelatihan


atau laboraturium.

Terhadap barang dan atau jasa, proses, sistem dan personel yang telah memenuhi
ketentuan/spesifikasi teknis SNI dapat diberikan sertifikat dan atau dibubuhi tanda SNI (Pasal
14 ayat [1] PP 102/2000). Sertifikat itu sendiri adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh
lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses,
sistem atau personel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan (Pasal 1 angka 12 PP
102/2000). Sedangkan, Tanda SNI adalah tanda sertifikasi yang dibubuhkan pada barang
kemasan atau label yang menyatakan telah terpenuhinya persyaratan Standar Nasional
Indonesia (Pasal 1 angka 13 PP 102/2000).

SNI tidak diwajibkan pada semua barang. Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) PP 102/2000,
SNI bersifat sukarela untuk ditetapkan oleh pelaku usaha. Akan tetapi, dalam hal SNI berkaitan
dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi
lingkungan hidup dan/atau pertimbangan ekonomis, instansi teknis dapat memberlakukan
secara wajib sebagian atau seluruh spesifikasi teknis dan atau parameter dalam SNI (Pasal 12
ayat [3] PP 102/2000).

Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau mengedarkan barang dan atau jasa, yang
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan SNI yang telah diberlakukan secara wajib. Pelaku
usaha, yang barang dan atau jasanya telah memperoleh sertifikat produk dan atau tanda SNI
dilarang memproduksi dan mengedarkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi SNI.

Sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran:

a. Sanksi administratif, berupa pencabutan sertifikat produk, pencabutan hak


penggunaan tanda SNI, pencabutan izin usaha,bahkan penarikan barang dari
peredaran.
b. Sanksi pidana, berupa pidana sesuai perundang undangan yang berlaku.
Standar SNI dikenakan pada berbagai produk seperti tabung LPG, helm, lampu, kabel
listrik, pupuk, kopi, teh, kakao, minuman, berbagai jenis minyak, gula, tepung, produk besi dan
baja, kaca, karet, ban, dan berbagai bahan konstruksi. Bagi produsen, prosedur mengurus SNI
tentu menjadi hal yang penting untuk dipahami.

Tata cara permohonan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda (SPPT) SNI kepada
Lembaga Sertifikasi Produk Pusat Standarisasi (LSPro-Pustan) Departemen Perindustrian
(Deperin) seperti yang dipaparkan dalam dokumen LSPro-Pustan/P.19.:

1. Mengisi Formulir Permohonan SPPT SNI

Daftar isian permohonan SPPT SNI dilampiri:

a. Fotokopi Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu SNI 19-9001-2001 (ISO 9001:2000)


yang dilegalisir. Sertifikasi tersebut diterbitkan Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu (LSSM)
yang diakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN).

b. Jika berupa produk impor perlu dilengkapi sertifikat dari LSSM negara asal dan yang
telah melakukan Perjanjian Saling Pengakuan (Mutual Recognition Arrangement/MRA)
dengan KAN.

Proses pada tahap pertama ini biasanya berlangsung selama satu hari.

2. Verifikasi Permohonan

LSPro-Pustan melakukan verifikasi meliputi : semua persyaratan untuk SPPT SNI,


jangkauan lokasi audit, kemampuan memahami bahasa setempat (jika ada kesulitan, perlu
penerjemah bahasa setempat untuk audit kesesuaian). Selanjutnya akan terbit biaya (invoice)
yang harus dibayar produsen. Proses verifikasi perlu waktu satu hari.

3. Audit Sistem Manajemen Mutu Produsen

a. Audit Kecukupan (tinjauan dokumen) : Memeriksa kelengkapan dan kecukupan


dokumen sistem manajemen mutu produsen terhadap persyaratan SPPT SNI. Bila hasilnya
ditemukan ketidaksesuaian kategori mayor maka permohonan harus melakukan koreksi dalam
jangka waktu dua bulan. Jika koreksi produsen tidak efektif, permohonan SPPT SNI akan
ditolak.
b. Audit Kesesuaian : Memeriksa kesesuaian dan keefektifan penerapan Sistem
Manajemen Mutu di lokasi produsen. Bila hasilnya ditemukan ketidaksesuaian, pemohon harus
melakukan koreksi dalam jangka waktu dua bulan. Jika tindakan koreksinya tidak efektif, maka
LSPro-Pustan Deperin akan melakukan audit ulang. Bila hasil audit ulang tidak memenuhi
persyaratan SNI, pemohonan SPPT SNI produsen ditolak.

Proses audit biasanya perlu waktu minimal 5 hari.

4. Pengujian Sampel Produk

Jika diperlukan pengambilan sampel untuk uji laboratorium, pemohon menjamin akses
Tim Asesor dan Petugas Pengambil Contoh (PPC) untuk memperoleh catatan dan dokumen
yang berkaitan dengan Sistem Manajemen Mutu. Sebaliknya, LSPro-Pustan Deperin menjamin
para petugasnya ahli di bidang tersebut. Pengujian dilakukan di laboratorium penguji atau
lembaga inspeksi yang sudah diakreditasi. Jika dilakukan di laboratorium milik produsen.,
diperlukan saksi saat pengujian. Sampel produk diberi Label Contoh Uji (LCU) dan disagel.
Proses ini butuh waktu minimal 20 hari kerja.

5. Penilaian Sampel Produk

Laboratorium penguji menerbitkan Sertifikasi Hasil Uji. Bila hasil pengujian tidak
memenuhi persyaratan SNI, pemohon diminta segera melakukan pengujian ulang. Jika hasil
uji ulang tak sesuai persyaratan SNI, permohonan SPPT SNI ditolak.

6. Keputusan Sertifikasi

Seluruh dokumen audit dan hasil uji menjadi bahan rapat panel Tinjauan SPPT SNI
LSPro-Pustan Deperin. Proses penyiapan bahan biasanya perlu waktu 7 hari kerja, sementara
rapat panel sehari.

7. Pemberian SPPT-SNI

LSPro-Pustan melakukan klarifikasi terhadap perusahaan atau produsen yang


bersangkutan. Proses klarifikasi ini perlu waktu 4 hari kerja. Keputusan pemberian sertifikat
oleh Panel Tinjauan SPPT SNI didasarkan pada hasil evaluasi produk yang memenuhi :
kelengkapan administrasi (aspek legalitas), ketentuan SNI, dan proses produksi serta sistem
manajeman mutu yang diterapkan dapat menjamin konsistensi mutu produk. Jika semua syarat
terpenuhi, esoknya LSPro-Pustan Deperin menerbitkan SPPT SNI untuk produk pemohon.

8. Biaya Pengurusan SNI

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 63 tahun 2007, yang berlaku pada Kementerian
Perindustrian, biaya SNI sebagai berikut :

No. Satuan Tarif (RP)

1. Biaya permohonan Per perusahaan 100.000

2. Jasa asesor untuk audit kecukupan Per perusahaan 500.000

3. Jasa asesor untuk audit kesesuaian dan pengawasan (surveillance) di dalam negeri

– Biaya asesor.tenaga ahli/petugas pengambil contoh

Asesor kepala

Asesor

Tenaga ahli

Petugas Pengambil Contoh (PPC)

– Biaya per diem Per orang/hari

Per orang/hari

Per orang/hari

Per orang/hari

Per orang/hari

1.000.000
750.000

500.000

500.000

150.000

4. Biaya proses sertifikasi Per tahun/SNI 1.500.000

5. Biaya pemeliharaan sertifikasi dalam rangka pengawasan Per tahun/SNI 1.000.000

6. Biaya sertifikat untuk permohonan baru Per sertifikat 100.000

7. Jasa asesor untuk audit kesesuaian dan pengawasan (surveillance) di luar negeri

– Biaya asesor/tenaga ahli/petugas pengambil contoh

Asesor kepala

Asesor

Tenaga ahli

Petugas Pengambil Contoh (PPC)

– Pengambil per diem Per orang/hari

Per orang/hari

Per orang/hari

Per orang/hari

Per orang/hari

3.000.000
2.500.000

2.000.000

2.000.000

1.000.000

Catatan :

Biaya per diem adalah ongkos perjalanan auditor KAN, menuju dan kembali dari tempat
kegiatan asesmen dilakukan. Surveillance adalah kunjungan pengawasan minimal satu tahun
sekali pada Lembaga Sertifikasi atau Lembaga Pelatihan atau Lembaga Inspeksi yang telah
diakreditasi untuk menilai dan memantau kesesuaian akreditasinya terhadap standar akreditasi
yang telah ditetapkan.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Negara
Agraria/Kepala Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, akan tetapi persepsi
dan implementasinya di lapangan ternyata berbeda-beda. Dengan adanya perbedaan dalam
pelaksanaan survey kadaster di beberapa daerah, maka perlu adanya upaya untuk dilakukan
restandarisasi survey kadaster yang disepakati bersama agar tidak terjadi persepsi yang
berbeda-beda dalam hal mengatasi permasalahan yang dihadapi di lapangan (Kusmiarto,
2015). Restandarisasi tersebut, diperlukan instrumen untuk mengatasi permasalahan yang
banyak dihadapi dalam penerapan standar yang telah ada. Disamping itu juga, instrumen baru
tersebut harus memperhatikan dan mempertahankan prinsip-prinsip dasar survey kadaster.
Instrumen tersebut dapat berupa Standar Nasional Indonesia (SNI) yang juga telah
dipergunakan oleh banyak instasi baik sektor swasta dan sektor pemerintah untuk menjamin
bahwa proses dan produk-produk hasil pelayanan pertanahan telah dilaksanakan dan dibuat
dengan kualitas yang baik yang sesuai dengan SNI (Kusmiarto, 2016).

BIG: Regulasi teknis BIG yang telah ber-SNI antara lain: SNI Jaring Kontrol Gaya Berat, SNI
Jaring Kontrol Vertikal Metode Sipat Datar, SNI Jaring Kontrol Horizontal, SNI Survey
Hidrografi.
ATR/BPN dalam menyusun regulasi teknis yang berlaku secara nasional sudah selayaknya
menggunakan standar yang berlaku secara nasional. Sehingga diperlukan instrumen yang
disusun dan disepakati bersama dan tetap dalam koridor hukum yang berlaku serta tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip dasar kadaster. SNI Survey Kadaster diperlukan untuk
menyamakan persepsi dan mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam penerapan (Peraturan
dan Petunjuk Teknis) survey kadaster yang telah ada di Kementerian ATR/BPN. Mungkin
seperti: SNI prosedur pengukuran dan pemetaan, SNI GU, SNI Peralatan Pengukuran dan
Pemetaan, ataupun SNI Kompetensi Petugas Ukur.

Anda mungkin juga menyukai