Tugas 1. Standar Nasional Indonesia
Tugas 1. Standar Nasional Indonesia
Ada dua jenis SNI. Jenis pertama adalah yang bersifat wajib, dan jenis yang kedua adalah yang
bersifat sukarela. Prinsip penerapan SNI sendiri sesungguhnya bersifat sukarela. Akan tetapi,
untuk tujuan tertentu seperti (1) perlindungan konsumen, tenaga kerja yang membuat produk,
dan masyarakat dari aspek keselamatan, keamanan, dan kesehatan, (2) pertimbangan keamanan
negara, (3) tuntutan perkembangan ekonomi dan kelancaran iklim usaha dan persaingan yang
sehat, atau (4) pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka pemerintah menetapkan produk-
produk tertentu yang wajib memiliki SNI sebelum diedarkan di masyarakat. Televisi buatan
Kusrin, misalnya, berada dalam kelompok barang yang wajib memiliki SNI.
Peran Pemerintah:
Supaya penetapan SNI dapat dipertanggungjawabkan, ada beberapa prinsip etis atau dari sisi
manfaat, setidaknya ada tiga pihak yang memperoleh manfaat langsung atas penerapan SNI
suatu produk.
a. Produsen, SNI mendorong terciptanya suatu produk dengan standar tertentu, yang
hanya bisa dihasilkan jika proses produksinya memenuhi kriteria tertentu. Untuk
mencapai itu, produsen akan berusaha untuk mencari proses yang efisien dan efektif,
mulai dari pemilihan bahan baku, proses produksi, sampai dengan pengemasan dan
distribusi. Dengan kata lain, produsen akan terus melakukan inovasi sehingga produk
yang dihasilkannya memiliki daya saing di pasar.
b. Konsumen, Adanya SNI akan membantu konsumen untuk memilih produk yang
berkualitas. Adanya SNI akan membantu konsumen terbebas dari produk yang
berbahaya bagi keselamatan hidup, kesehatan, ataupun lingkungan. SNI juga membuat
konsumen dapat menikmati barang yang sesuai antara harga dan kualitasnya.
c. Pemerintah, Adanya SNI membuat pasar di dalam negeri memiliki mekanisme
perlindungan dari serbuan barang-barang asing yang tidak diketahui kualitasnya.
Manfaat yang lain,dengan penerapan SNI yang lebih luas, maka akan tumbuh dinamika
ekonomi baru, di mana para produsen akan berusaha untuk mendapatkan SNI atas
produk mereka, sedangkan di masyarakat akan tumbuh lebih banyak lembaga
sertifikasi produk yang juga kredibel untuk menilai dan menguji suatu produk.
Agar SNI memperoleh keberterimaan yang luas antara para stakeholder, maka SNI
dirumuskan dengan memenuhi WTO Code of good practice, yaitu:
a. Openess (keterbukaan)
Terbuka bagi agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat berpartisipasi
dalam pengembangan SNI;
b. Transparency (transparansi)
Transparan agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat mengikuti
perkembangan SNI mulai dari tahap pemrograman dan perumusan sampai ke
tahap penetapannya . Dan dapat dengan mudah memperoleh semua informsi
yang berkaitan dengan pengembangan SNI;
c. Consensus and impartiality (konsensus dan tidak memihak)
Tidak memihak dan konsensus agar semua stakeholder dapat menyalurkan
kepentingannya dan diperlakukan secara adil;
d. Effectiveness and relevance
Efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi perdagangan karena
memperhatikan kebutuhan pasar dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
e. Coherence
Koheren dengan pengembangan standar internasional agar perkembangan pasar
negara kita tidak terisolasi dari perkembangan pasar global dan memperlancar
perdagangan internasional; dan
f. Development dimension (berdimensi pembangunan)
Berdimensi pembangunan agar memperhatikan kepentingan publik dan
kepentingan nasional dalam meningkatkan daya saing perekonomian nasional.
Penerapan SNI pada dasarnya bersifat sukarela. Namun untuk keperluan melindungi
kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi
lingkungan hidup, pemerintah dapat saja memberlakukan SNI tertentu secara wajib.
Pemberlakuan SNI wajib dilakukan melalui penerbitan regulasi teknis oleh instansi pemerintah
yang memiliki kewenangan untuk meregulasi kegiatan dan peredaran produk (regulator).
Dalam hal ini, kegiatan dan produk yang tidak memenuhi ketentuan SNI menjadi terlarang.
Dengan demikian pemberlakuan SNI wajib perlu dilakukan secara berhati-hati untuk
menghindarkan sejumlah dampak sebagai berikut:
Cara yang paling baik adalah membatasi penerapan SNI wajib bagi kegiatan atau
produk yang memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi, sehingga pengaturan kegiatan dan
peredaran produk mutlak diperlukan.
Pemberlakuan SNI wajib perlu didukung oleh pengawasan pasar, baik pengawasan pra-
pasar untuk menetapkan kegiatan atau produk yang telah memenuhi ketentuan SNI wajib
tersebut maupun pengawasan pasca-pasar untuk mengawasi dan mengkoreksi kegiatan atau
produk yang belum memenuhi ketentuan SNI itu.
Apabila fungsi penilaian kesesuaian terhadap SNI yang bersifat sukarela merupakan
pengakuan, maka bagi SNI yang bersifat wajib penilaian kesesuaian merupakan salah satu
persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua pihak yang terkait. Dengan demikian penilaian
kesesuaian berfungsi sebagai bagian dari pengawasan pra-pasar yang dilakukan oleh regulator.
Mengingat bahwa pemberlakuan regulasi teknis di suatu negara juga berlaku untuk
produk impor, maka untuk menghindarkan terjadinya hambatan perdagangan
internasional/negara anggota WTO termasuk Indonesia telah menyepakati Agreement on
Technical Barrier to Trade (TBT) dan Agreement on Sanitary and Phyto Sanitary
Measures (SPS). Upaya pengurangan hambatan perdagangan tersebut akan berjalan dengan
baik apabila masing-masing negara dalam memberlakukan standar wajib, menerapkan Good
Regulatory Practices.
Penerapan SNI dilakukan melakui kegiatan sertifikasi dan akreditasi. Sertifikasi adalah
rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap barang atau jasa. Kemudian akreditasi adalah
rangkaian kegiatan pengakuan formal oleh komite Akreditasi Nasional (KAN), yang
menyatakan bahwa suatu lembaga/laboraturium telah memenuhi persyaratan untuk melakukan
kegiatan sertifikasi tertentu.
Terhadap barang dan atau jasa, proses, sistem dan personel yang telah memenuhi
ketentuan/spesifikasi teknis SNI dapat diberikan sertifikat dan atau dibubuhi tanda SNI (Pasal
14 ayat [1] PP 102/2000). Sertifikat itu sendiri adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh
lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses,
sistem atau personel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan (Pasal 1 angka 12 PP
102/2000). Sedangkan, Tanda SNI adalah tanda sertifikasi yang dibubuhkan pada barang
kemasan atau label yang menyatakan telah terpenuhinya persyaratan Standar Nasional
Indonesia (Pasal 1 angka 13 PP 102/2000).
SNI tidak diwajibkan pada semua barang. Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) PP 102/2000,
SNI bersifat sukarela untuk ditetapkan oleh pelaku usaha. Akan tetapi, dalam hal SNI berkaitan
dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi
lingkungan hidup dan/atau pertimbangan ekonomis, instansi teknis dapat memberlakukan
secara wajib sebagian atau seluruh spesifikasi teknis dan atau parameter dalam SNI (Pasal 12
ayat [3] PP 102/2000).
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau mengedarkan barang dan atau jasa, yang
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan SNI yang telah diberlakukan secara wajib. Pelaku
usaha, yang barang dan atau jasanya telah memperoleh sertifikat produk dan atau tanda SNI
dilarang memproduksi dan mengedarkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi SNI.
Tata cara permohonan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda (SPPT) SNI kepada
Lembaga Sertifikasi Produk Pusat Standarisasi (LSPro-Pustan) Departemen Perindustrian
(Deperin) seperti yang dipaparkan dalam dokumen LSPro-Pustan/P.19.:
b. Jika berupa produk impor perlu dilengkapi sertifikat dari LSSM negara asal dan yang
telah melakukan Perjanjian Saling Pengakuan (Mutual Recognition Arrangement/MRA)
dengan KAN.
Proses pada tahap pertama ini biasanya berlangsung selama satu hari.
2. Verifikasi Permohonan
Jika diperlukan pengambilan sampel untuk uji laboratorium, pemohon menjamin akses
Tim Asesor dan Petugas Pengambil Contoh (PPC) untuk memperoleh catatan dan dokumen
yang berkaitan dengan Sistem Manajemen Mutu. Sebaliknya, LSPro-Pustan Deperin menjamin
para petugasnya ahli di bidang tersebut. Pengujian dilakukan di laboratorium penguji atau
lembaga inspeksi yang sudah diakreditasi. Jika dilakukan di laboratorium milik produsen.,
diperlukan saksi saat pengujian. Sampel produk diberi Label Contoh Uji (LCU) dan disagel.
Proses ini butuh waktu minimal 20 hari kerja.
Laboratorium penguji menerbitkan Sertifikasi Hasil Uji. Bila hasil pengujian tidak
memenuhi persyaratan SNI, pemohon diminta segera melakukan pengujian ulang. Jika hasil
uji ulang tak sesuai persyaratan SNI, permohonan SPPT SNI ditolak.
6. Keputusan Sertifikasi
Seluruh dokumen audit dan hasil uji menjadi bahan rapat panel Tinjauan SPPT SNI
LSPro-Pustan Deperin. Proses penyiapan bahan biasanya perlu waktu 7 hari kerja, sementara
rapat panel sehari.
7. Pemberian SPPT-SNI
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 63 tahun 2007, yang berlaku pada Kementerian
Perindustrian, biaya SNI sebagai berikut :
3. Jasa asesor untuk audit kesesuaian dan pengawasan (surveillance) di dalam negeri
Asesor kepala
Asesor
Tenaga ahli
Per orang/hari
Per orang/hari
Per orang/hari
Per orang/hari
1.000.000
750.000
500.000
500.000
150.000
7. Jasa asesor untuk audit kesesuaian dan pengawasan (surveillance) di luar negeri
Asesor kepala
Asesor
Tenaga ahli
Per orang/hari
Per orang/hari
Per orang/hari
Per orang/hari
3.000.000
2.500.000
2.000.000
2.000.000
1.000.000
Catatan :
Biaya per diem adalah ongkos perjalanan auditor KAN, menuju dan kembali dari tempat
kegiatan asesmen dilakukan. Surveillance adalah kunjungan pengawasan minimal satu tahun
sekali pada Lembaga Sertifikasi atau Lembaga Pelatihan atau Lembaga Inspeksi yang telah
diakreditasi untuk menilai dan memantau kesesuaian akreditasinya terhadap standar akreditasi
yang telah ditetapkan.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Negara
Agraria/Kepala Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, akan tetapi persepsi
dan implementasinya di lapangan ternyata berbeda-beda. Dengan adanya perbedaan dalam
pelaksanaan survey kadaster di beberapa daerah, maka perlu adanya upaya untuk dilakukan
restandarisasi survey kadaster yang disepakati bersama agar tidak terjadi persepsi yang
berbeda-beda dalam hal mengatasi permasalahan yang dihadapi di lapangan (Kusmiarto,
2015). Restandarisasi tersebut, diperlukan instrumen untuk mengatasi permasalahan yang
banyak dihadapi dalam penerapan standar yang telah ada. Disamping itu juga, instrumen baru
tersebut harus memperhatikan dan mempertahankan prinsip-prinsip dasar survey kadaster.
Instrumen tersebut dapat berupa Standar Nasional Indonesia (SNI) yang juga telah
dipergunakan oleh banyak instasi baik sektor swasta dan sektor pemerintah untuk menjamin
bahwa proses dan produk-produk hasil pelayanan pertanahan telah dilaksanakan dan dibuat
dengan kualitas yang baik yang sesuai dengan SNI (Kusmiarto, 2016).
BIG: Regulasi teknis BIG yang telah ber-SNI antara lain: SNI Jaring Kontrol Gaya Berat, SNI
Jaring Kontrol Vertikal Metode Sipat Datar, SNI Jaring Kontrol Horizontal, SNI Survey
Hidrografi.
ATR/BPN dalam menyusun regulasi teknis yang berlaku secara nasional sudah selayaknya
menggunakan standar yang berlaku secara nasional. Sehingga diperlukan instrumen yang
disusun dan disepakati bersama dan tetap dalam koridor hukum yang berlaku serta tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip dasar kadaster. SNI Survey Kadaster diperlukan untuk
menyamakan persepsi dan mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam penerapan (Peraturan
dan Petunjuk Teknis) survey kadaster yang telah ada di Kementerian ATR/BPN. Mungkin
seperti: SNI prosedur pengukuran dan pemetaan, SNI GU, SNI Peralatan Pengukuran dan
Pemetaan, ataupun SNI Kompetensi Petugas Ukur.