Anda di halaman 1dari 62

PENINGKATAN MUTU NUTRITIF HIJAUAN FERMENTASI

(Hi-fer) MELALUI INOKULASI Lactobacillus plantarum


DAN ASAM FORMIAT

SAPRILIAN STYA HAPSARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peningkatan Mutu Nutritif
Hijauan Fermentasi (Hi-fer) melalui Inokulasi Lactobacillus plantarum dan
Asam Formiat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

Saprilian Stya Hapsari


NIM D251130051
RINGKASAN

SAPRILIAN STYA HAPSARI. Peningkatan Mutu Nutritif Hijauan Fermentasi


(Hi-fer) melalui Inokulasi Lactobacillus plantarum dan Asam Formiat.
Dibimbing oleh SURYAHADI dan HERI AHMAD SUKRIA.

Solusi tepat guna diperlukan dalam rangka menunjang ketersediaan dan


kualitas hijauan di Indonesia, yaitu melalui teknologi pengawetan, penyimpanan,
transportasi dan distribusi. Teknologi pengawetan yang banyak digunakan adalah
silase atau hay, namun aplikasi teknologi ini belum optimal di kalangan peternak.
Teknologi ini perlu dimodifikasi namun dengan pendekatan yang berbeda.
Penggunaan aditif berupa sumber energi dan asam maupun garam organik
yang dibutuhkan bagi bakteri dapat mempercepat proses fermentasi. Campuran ini
disebut cairan aditif fermentasi (AF). Teknologi pengawetan hijauan menggunakan
AF dikenal sebagai hijauan awet fermentasi (Hi-fer). Level penggunaan AF yang
belum optimal menyebabkan terjadinya penurunan kualitas nutrisi Hi-fer selama
penyimpanan. Oleh karena itu kualitas nutrisi Hi-fer dapat ditingkatkan dengan
penambahan aditif lainnya, yaitu bakteri Lactobacillus plantarum dan asam formiat.
Tujuan penelitian diantaranya adalah memperoleh level AF terbaik, mengetahui
pengaruh penambahan kedua bahan aditif terhadap kualitas nutrisi Hi-fer serta
menentukan perlakuan terbaik yang memberikan peningkatan mutu Hi-fer dan
palatabilitas pada ternak.
Rangkaian penelitian terdiri atas 2 percobaan utama. Percobaan pertama
terdiri dari 2 tahap. Tahap ke-1 menguji kualitas fisik dan fermentatif hasil akhir
Hi-fer. Pengukuran kualitas fermentatif menggunakan rancangan acak lengkap
pola faktorial 3x2x2 dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah level AF (5%, 7.5%,
dan 10%), faktor kedua adalah L.plantarum (tanpa dan dengan menggunakan
L.plantarum) dan faktor ketiga adalah asam formiat (tanpa dan dengan
menggunakan asam formiat 0.15%). Tahap ke-2 menguji kualitas kimia,
mikrobiologi dan kecernaan in vitro Hi-fer terpilih berdasarkan level AF.
Rancangan percobaan pada analisa in vitro adalah rancangan acak kelompok
dengan 4 jenis Hi-fer (P0= Hi-fer kontrol, P1= P0 + asam formiat, P2= P0 +
L.plantarum, P3= P0 + asam formiat + L.plantarum) dan 3 kelompok cairan rumen
serta 3 bag (kemasan) sebagai sub ulangan. Percobaan kedua menguji palatabilitas
Hi-fer pada ternak. Rancangan percobaan menggunakan bujur sangkar latin
dengan 4 jenis Hi-fer sebagai perlakuan dan 4 ekor ternak domba ekor tipis
(jantan) selama 4 hari.
Hasil percobaan pertama menunjukkan seluruh Hi-fer memiliki
karakteristik fisik yang berkualitas baik, dengan penggunaan AF optimal pada level
7.5%. Kedua jenis aditif baik L. plantarum maupun asam formiat memberikan
pengaruh pada peningkatan kualitas fermentasi dan nutrisi Hi-fer. Penggunaan
AF dapat dikurangi dengan penambahan L. plantarum dan asam formiat ditinjau
dari karakteristik fermentatif yaitu pH. Penambahan L. plantarum mampu
meningkatkan kualitas nutrisi Hi-fer melalui peningkatan karakteristik fermentasi
seperti penurunan pH, tingginya bahan kering produk akhir dan rendahnya
ammonia. Penggunaan asam formiat berperan dalam menekan proteolysis baik
didalam proses ensilase maupun dalam rumen, namun kurang efektif ketika
dikombinasikan dengan L. plantarum. Hasil percobaan kedua menunjukkan
penambahan asam formiat mampu meningkatkan palatabilitas Hi-fer pada ternak
domba. Simpulan hasil penelitian adalah baik penambahan L. plantarum maupun
asam formiat dapat menekan penggunaan AF dan berkontribusi dalam
meningkatkan kualitas nutrisi Hi-fer dengan kelebihan masing-masing. Perlakuan
penambahan asam formiat terpilih mampu memberikan peningkatan kualitas nutrisi
dan palatabilitas pada Hi-fer.

Kata kunci: Hi-fer, aditif fermentasi, Lactobacillus plantarum, asam formiat


SUMMARY

SAPRILIAN STYA HAPSARI. Improvement on the Nutritive Quality of


Fermented Forage (Hi-fer) through Inoculation of Lactobacillus plantarum and
Formic Acid. Supervised by SURYAHADI and HERI AHMAD SUKRIA.

Appropriate technology solutions is needed to support the availability and


quality of forage in Indonesia, with preservation, storage, transportation and
distribution technology. Preservation technology which widely used are silage or
hay, but the application of its technology is not optimal among farmers. This can be
modified with different approaches.
The used of additives such as energy source, various acids and organic salt
mineral is needed by bacteria to accelerate fermentation process. This combination
called as liquid fermentation additive (FA). Preservation technology with the used
of those AF is called as fermented forage (Hi-fer). Unoptimal level used of AF
led to a decline in nutritional quality of Hi-fer during storage. Therefore nutritive
quality of Hi-fer can be improved by the addition of other additives, namely
Lactobacillus plantarum and formic acid. The research objective is to obtain the
best level used of FA, determine the effect of the additives on the nutrititive quality
of Hi-fer and determine the best treatment that provides improved quality of Hi-
fer and palatability to livestock.
Series of research consisted of 2 main experiment. The first experiment
consisted of 2 sub trial. First sub trial was a test of physical and fermentative quality.
Fermentative quality used factorial randomized design 3x2x2 with 3 replication.
First factor was level of liquid FA (5%, 7.5%, 10%), and second factor was
inoculation of L.plantarum (without and with inoculation of L.plantarum) and third
factor was addition of formic acid (without and with adition of 0.15% formic acid).
The second sub trial tested the chemical, microbiological and in vitro digestibility
of selected Hi-fer. In vitro analysis used block randomized design with 4 type of
Hi-fer (P0= control Hi-fer, P1= P0 + formic acid, P2= P0 + L.plantarum, P3=
P0 + formic acid + L.plantarum), 3 blocks based on different rumen fluid and 3 bag
as sub replication. The second experiment was pallatablity test of Hi-fer on sheep.
It used latin square design with 4 type of Hi-fer as treatment and 4 Javanesse thin-
tailed sheep (male) for 4 days.
The result showed that all treatment had good quality based on physical
characteristics. Optimal used of FA was 7.5%. Both additive L. plantarum and
formic acid have beneficial effect on fermentation and nutritive quality on Hi-fer.
FA liquid could reduced with the addition of L. plantarum and formic acid based
on its pH. L. plantarum addition was able to improve nutritive quality of fermented
forage through increased fermentation characteristics that was low pH, high DM
product and low ammonia content of fermented forage. Formic acid was able to
inhibit proteolysis in ensilage process and rumen, but was less effective when
combined with L. plantarum. Second experiment showed formic acid can improve
palatability of Hi-fer on sheep. Conclusion of the research was addition of L.
plantarum and formic acid were able to reduced the used of FA and contribute to
improve nutritive quality of Hi-fer with each of their advantages. Formic acid
treatment selected as the best treatment that could improved nutrititive quality and
palatability of Hi-fer.

Key words: Hi-fer, fermentation additive, Lactobacillus plantarum, formic acid.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENINGKATAN MUTU NUTRITIF HIJAUAN FERMENTASI
(Hi-fer) MELALUI INOKULASI Lactobacillus plantarum
DAN ASAM FORMIAT

SAPRILIAN STYA HAPSARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Yuli Retnani, MSc
Judul Tesis : Peningkatan Mutu Nutritif Hijauan Fermentasi (Hi-fer) melalui
Inokulasi Lactobacillus plantarum dan Asam Formiat
Nama : Saprilian Stya Hapsari
NIM : D251130051

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Suryahadi, DEA Dr Ir Heri Ahmad Sukria, MScAgr


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Nutrisi Pakan

Dr Ir Dwierra Evvyernie, MS MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 28 Desember 2015 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik.
Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pengawetan hijauan, dengan judul
Peningkatan Mutu Nutritif Hijauan Fermentasi (Hi-fer) melalui Inokulasi
Lactobacillus plantarum dan Asam Formiat. Penelitian dilaksanakan sejak bulan
November hingga Mei 2015, dan penulis menyelesaikan penulisan karya ilmiah
pada Desember 2015. Sebagian hasil penelitian ini akan dipublikasikan pada jurnal
nasional terakreditasi dengan judul Improvement on the nutritive quality of
fermented forage through inoculation of Lactobacillus plantarum and formic acid.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Suryahadi, DEA dan Dr.
Ir. Heri Ahmad Sukria, MScAgr selaku pembimbing dalam tugas akhir penulis.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Yuli Retnani, MSc selaku dosen penguji dan Dr.
Ir. Rita Mutia, MSc selaku panitia perwakilan dari Pasca INP yang telah
memberikan banyak masukan dan saran dalam rangka perbaikan tulisan pada
sidang akhir tesis. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Ir. Anita S.
Tjakradidjaja, MRurSc dan Dr. Ir. Dwierra Evvyernie, MS, MSc atas kesediaannya
memberikan perbaikan dan saran pada tesis penulis.
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada laboran Lab. Nutrisi
Ternak Perah (Ibu Dian), Industri Pakan, Ilmu dan Teknologi Pakan serta Lab.
Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi (Ibu Yani), yang telah memfasilitasi
dan memberi masukan teknis selama penelitian. Tak lupa penulis juga haturkan
terima kasih kepada Sadeli Tim, yaitu Lilis Riyanti dan Dea Justia yang senantiasa
hadir dan memberi dukungan baik pikiran maupun tenaga kepada penulis. Kepada
seluruh keluarga CENTRAS (Centre for Tropical Animal Studies) LPPM IPB dan
Pasca INP 2013 yang juga telah mendukung berlangsungnya penelitian hingga
akhir. Selain itu terima kasih penulis ucapkan kepada keluarga sekretariat Pasca
INP (Mas Supri dan Bu Ade) yang membantu segala kegiatan perihal
kesekretariatan dan administratif penulis selama studi. Tak lupa penulis ucapkan
terima kasih pada Lembaga Riset dan Teknologi Kementerian Pendidikan dan
Perguruan Tinggi (RISTEK-DIKTI) atas Beasiswa BPPDN-DIKTI yang diberikan,
sehingga penulis berkesempatan melanjutkan studi program pascasarjana
(magister) di program studi INP IPB.
Penghargaan tertinggi penulis persembahkan kepada Almh. Mama, Bapak,
Suami dan seluruh keluarga, atas segala doa, motivasi dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua dan turut serta mendukung
kemajuan ilmu pengetahuan umumnya dan peternakan khususnya. Aamiin.

Bogor, Februari 2016

Saprilian Stya Hapsari


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
2 METODE 4
Waktu dan Tempat Pelaksanaan 4
Materi 4
Metode 4
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Percobaan 1: Kombinasi Level penggunaan Cairan Aditif Fermentasi,
inokulasi L. plantarum dan penambahan asam formiat terhadap Kualitas
dan Kecernaan in vitro Hi-fer 13
Percobaan 2. Penggunaan inokulan L. plantarum dan asam formiat
terhadap palatabilitas Hi-fer pada domba 25
4 SIMPULAN DAN SARAN 28
DAFTAR PUSTAKA 29
LAMPIRAN 33
RIWAYAT HIDUP 45
DAFTAR TABEL
1 Skema pengacakan rancangan BSL 12
2 Kualitas fisik Hi-fer perlakuan 13
3 pH Hi-fer perlakuan 15
4 Kandungan bahan kering (%) Hi-fer 16
5 Kandungan N-NH3 (g/100g) Hi-fer 18
6 Penyusutan berat segar Hi-fer (%) 19
7 Nilai Fleigh Hi-fer 19
8 Kandungan nutrient Hi-fer setelah ensilase 21 hari (100% BK) 20
9 Fermentabilitas dan koefisien cerna in vitro Hi-fer 23
10 Palatabilitas bahan kering Hi-fer dalam 4 jam (g/ekor) 25
11 Palatabilitas segar dan bahan kering Hi-fer perlakuan dalam 4 jam 26

DAFTAR GAMBAR
1 Bagan alur penelitian 5
2 Tampilan fisik Hi-fer setelah 21 hari inkubasi 14
3 Diagram populasi BAL dan asam laktat Hi-fer 21

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisa dan uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap
pH Hi-fer 33
2 Hasil analisa dan uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap
bahan kering (BK) Hi-fer 33
3 Hasil analisa dan uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap
konsentrasi N-NH3 Hi-fer 34
4 Hasil analisa dan uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap
penyusutan berat segar (%) Hi-fer 35
5 Hasil analisa dan uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap
nilai fleigh Hi-fer 36
6 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
konsentrasi asam laktat Hi-fer 37
7 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap populasi BAL Hi-fer 38
8 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
konsentrasi N-NH3 rumen in vitro 38
9 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
konsentrasi VFA rumen in vitro 39
10 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
koefisien cerna bahan kering (KCBK) rumen in vitro 39
11 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
koefisien cerna bahan organik (KCBO) rumen in vitro 40
12 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi asetat 40
13 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi propionat 41
14 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi butirat 41
15 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi isobutirat 41
16 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap proporsi
isovalerat 42
17 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi valerat 42
18 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi rasio asetat : propionat 43
19 Hasil analisa dan uji lanjut pengaruh perlakuan terhadap palatabilitas 43
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Usaha peternakan khususnya ruminansia bergantung pada ketersediaan


hijauan. Hijauan merupakan bahan pakan utama bagi ternak ruminansia, namun
ketersediaan dan kualitas hijauan di Indonesia masih tergolong rendah.
Ketersediaan pakan yang belum memadai mengakibatkan terjadinya kesulitan
dalam peningkatan populasi ternak sapi (Suryahadi et al. 2009). Hal ini disebabkan
oleh beberapa permasalahan dalam pakan, diantaranya adalah: (1) Mutu nutrisi
pakan lokal rendah. Umumnya peternak menggunakan rumput lapang atau limbah
pertanian yang rendah kandungan energi dan protein. Sehingga dibutuhkan adanya
teknologi pengolahan untuk meningkatkan mutu nutrisi pakan, (2) produksi bersifat
musiman, dimana berlimpah ketika musim hujan namun terjadi kelangkaan ketika
musim kemarau. Hal ini memerlukan solusi pengawetan, sehingga pakan dapat
disimpan dan tersedia dalam jangka waktu yang lama, dan (3) lokasi produksi pakan
tidak setumpu dengan lokasi produksi ternak. Ketiadaan pakan dan sistem
pengangkutan pakan yang sulit menyebabkan peningkatan biaya pakan ternak.
Secara ringkas teknologi yang dibutuhkan adalah pengawetan, penyimpanan,
kemudahan transportasi dan distribusi. Teknologi yang mudah, murah dan mampu
menjawab semua permasalahan diatas dapat menjadi solusi terlebih ketika teringkas
dalam suatu sisem yang terintegrasi. Sebagai contoh teknologi pengawetan yang
telah dikenal adalah silase atau hay. Namun hingga saat ini teknologi ini belum
optimal dan belum teraplikasikan dengan baik pada peternakan rakyat, hanya
terbatas pada perusahaan atau peternakan skala besar. Beberapa kendala yang
ditemui di peternak antara lain adalah tingkat kegagalan dalam pembuatan yang
masih cukup tinggi dan sulit diaplikasikan secara meluas. Hal ini terkait dengan
kelembapan udara yang tinggi sehingga menyulitkan dalam proses pembuatan
terutama pemadatan. Adapun penyimpanan hijauan secara konvensional dan
sederhana dalam bentuk kering meningkatkan resiko mudah terbakar.
Hal ini yang selanjutnya mendasari penelitian berupa pengembangan silase
namun dengan pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang dimaksud adalah
melalui beberapa modifikasi sehingga lebih mudah untuk diaplikasikan, murah dan
dengan mutu nutrisi yang baik. Agar teknologi lebih mudah dibuat, maka perlu
dilakukan penambahan bahan aditif. Tujuan utama yang hendak dicapai adalah
mempercepat proses fermentasi sehingga mudah dalam pembuatan dan mampu
menghasilkan produk akhir yang berkualitas. Aditif yang dikembangkan
merupakan campuran dari berbagai komponen seperti sumber energi (molasses),
asam-asam serta garam-garam organik yang dibutuhkan oleh bakteri selama
fermentasi. Lebih lanjut campuran ini disebut sebagai cairan aditif fermentasi (AF).
Cairan aditif ini mampu: (1) meningkatkan palatabilitas pakan fermentasi, (2)
meningkatkan daya simpan pakan dan (3) mempercepat proses fermentasi
(Suryahadi, 2013). Cairan AF tersebut dibutuhkan untuk mempercepat penurunan
pH, mengoptimalkan pertumbuhan BAL sehingga mempercepat proses fermentasi
secara anaerob.
Penggunaan AF memungkinkan diversifikasi dan pemanfaatan bahan pakan
lokal, tidak terbatas pada hijauan segar saja. Hasil-hasil limbah pertanian dengan
2

tingkat kekeringan yang tinggi dapat dimanfaatkan dalam bentuk pakan atau
hijauan fermentasi. Teknologi fermentasi ini disebut sebagai hijauan awet
fermentasi (Hi-fer). Teknologi yang tepat guna dan terintegrasi akan lebih mudah
untuk diaplikasikan di masyarakat. Sehingga produk Hi-fer dikemas dalam
kemasan komersial (plastik) agar praktis dan mudah untuk diaplikasikan oleh
masyarakat secara luas. Hal ini tentunya akan memudahkan dalam proses
pendistribusian, transportasi dan pengangkutan (Centras 2013). Kelebihan dari Hi-
fer, diantaranya adalah: 1) dapat diproduksi oleh masyarakat (petani/peternak)
secara masal, 2) mudah (secara manual dengan peralatan dan bahan tersedia di
lokasi setempat) baik secara produksi/pembuatan maupun transportasi dan 3) biaya
produksi murah. Hi-fer telah terbukti bermanfaat diaplikasikan pada masyarakat
maupun ternak (Suryahadi 2014). Namun jumlah penggunaan cairan AF yang
selama ini hanya didasarkan pada kondisi faktual di lapang, dirasa perlu dilakukan
pengevaluasian kembali. Fermentasi pada intensitas yang lebih tinggi dan
berkelanjutan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas Hi-fer, terutama jika
disimpan dalam jangka waktu lama (Suryahadi 2014). Penurunan kualitas Hi-fer
dikhawatirkan akan berdampak pada palatabilitas Hi-fer terutama pada ternak
ruminansia kecil. Hal ini yang kemudian mendasari penelitian lanjutan untuk
memperoleh takaran/jumlah penggunaan AF yang tepat dan diharapkan mampu
meningkatkan kualitas nutrisi Hi-fer.
Poin penting dalam proses fermentasi adalah mempercepat produksi asam
sehingga kehilangan nutrient dapat ditekan. Oleh karena itu diperlukan
penambahan aditif lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan proses fermentasi
secara lebih efisien sehingga mampu meningkatkan kualitas nutrisi Hi-fer.
Berbagai jenis aditif baik biologis maupun kimiawi telah banyak digunakan dan
dikembangkan untuk meningkatkan kualitas fermentasi. Inokulan yang
mengandung strain bakteri asam laktat (BAL) telah dikembangkan dan digunakan
untuk menstimulasi proses frementasi (McDonald et al. 1991). Pada proses ensilase
hijauan, BAL digunakan sebagai aditif untuk meningkatkan nilai nutrisi tanaman
melalui aksi minimalisasi respirasi tanaman dan aktivitas enzim serta dengan
menghambat populasi mikroba merugikan. Penambahan inokulan BAL
menghasilkan kualitas yang lebih baik pada silase hijauan dibandingkan dengan
penggunaan inokulan komersil (Bureenok et al. 2006 dan Santoso et al. 2011). BAL
homofermentatif seperti Lactobacillus plantarum, Enterococcus faecium dan
Pediococcus spp. mampu menurunkan pH dengan cepat dan menghasilkan rasio
laktat:asetat yang lebih tinggi. Fungsi inokulan tersebut adalah untuk menjadikan
proses fermentasi berjalan dengan cepat dan efisien dengan perombakan
karbohidrat terlarut (Water Soluble Carbohydrate/ WSC) menjadi asam laktat dan
mampu meningkatkan masa simpan silase dengan kehilangan nutrient seminimal
mungkin. Lactobacillus plantarum (L. plantarum) merupakan spesies BAL
homolaktat yang mampu menghasilkan penurunan pH dengan cepat, peningkatan
jumlah BAL dan penghambatan mikroorganisme perusak (Adesoji et al. 2010). L.
plantarum meningkatkan fermentasi silase dengan dominasi fermentasi oleh bakteri
homolaktat dan menghasilkan banyak asam laktat (Filya dan Sucu 2007). Asam
laktat berperan dalam menurunkan pH silase (Ennahar et al. 2003) dan pengawet,
sehingga dapat menghindarkan adanya pertumbuhan mikroorganisme pembusuk.
Konsekuensi dari intensifnya proses fermentasi adalah tingginya perombakan
gula dan bahan organik dalam silase. Perlu adanya penambahan bahan aditif yang
3

secara utama bertujuan untuk menurunkan konsentrasi asam hasil fermentasi,


mengurangi kehilangan dan mempertahankan sebanyak mungkin kandungan nutrisi
pada hijauan yang diensilase. Aditif yang berperan sebagai penghambat fermentasi
umumnya adalah asam. Pemberian dosis asam yang tepat, akan menurunkan pH
silase secara cepat dan membatasi terjadinya kehilangan protein dan karbohidrat
selama proses fermentasi (Luckstadt 2009). Asam formiat (HCOOH) termasuk
bahan aditif kimia yang telah lama dikenal dalam proses ensilase. Terutama banyak
digunakan pada hijauan yang sulit diawetkan melalui potensinya dalam menekan
aktifitas bakteri yang tidak diinginkan, dan memungkinkan bakteri asam laktat
untuk mendominasi selama proses fermentasi (McDonald et al.1991). Dominasi
aktivitas BAL akan menurunkan kehilangan CO2 dan menghasilkan lebih banyak
BK yang tersedia pada produk fermentasi (Lorenzo dan O’Kiely 2008). Pembatasan
fermentasi pada perlakuan asam formiat diketahui menghasilkan konsentrasi gula
residu yang tinggi, peningkatan sintesis protein mikroba rumen dan penurunan
proporsi pada VFA rumen dibandingkan silase tanpa perlakuan (Jaakola et al. 1991).
Asam formiat sebagai pembatas fermentasi berkorelasi positif dengan sintesis
protein mikroba di rumen dan menghasilkan lebih banyak proporsi VFA lipogenik
(Jaakola et al. 2006).

Tujuan Penelitian

1. Memperoleh level optimal penggunaan cairan AF sehingga mampu


memberikan peningkatan mutu nutrisi Hi-fer
2. Mengetahui pengaruh penambahan L.plantarum dan aditif asam formiat pada
kualitas nutritive Hi-fer
3. Menentukan perlakuan terbaik sehingga mampu memberikan peningkatan
mutu Hi-fer dan palatabilitas pada ternak.
4

2 METODE

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014 hingga Mei 2015.


Produksi Hi-fer dilakukan di Laboratorium Industri Pakan Fapet IPB. Pengujian
palatabilitas pada ternak dilaksanakan di peternakan rakyat CV Anugerah Farm,
Ciampea-Jasinga Bogor. Analisa laboratorium di Laboratorium Ternak Perah
Fakultas Peternakan IPB, Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi
Nutrisi Fakultas Peternakan IPB, dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan
Fakultas Peternakan IPB.

Materi

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatah Hi-fer adalah rumput gajah
(Pennisetum purpureum) yang berasal dari kebun Fapet IPB, kultur murni L.
plantarum 1A-2 dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong Bogor, asam
formiat 55%, cairan Aditif Fermentasi (AF) dari CENTRAS LPPM IPB dan
sweetener. Bahan untuk perbanyakan bakteri adalah media MRS-B (deMann
Rogose Sharpe Broth), bacto agar dan NaCl. Adapun bahan yang digunakan dalam
analisa in vitro antara lain cairan rumen sapi Peranakan Ongol berfistula (fistulated
cattle) berasal dari LIPI Cibinong Bogor, larutan McDougall, larutan pepsin-HCl,
HgCl2 jenuh, dan bahan-bahan penunjang laboratorium lainnya.

Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain laminar air flow,
shaker waterbath, Gas Chromatograph (Shimadzu GC-8A, colom no 80/100
Chromosorb W), spektrofotometer, pH meter HACH Spain, shaker model VRN-
360 dan seperangkat glassware seperti gelas ukur, tabung reaksi, cawan petri dan
erlenmeyer.
Ternak yang digunakan adalah domba Ekor Tipis jantan dengan bobot badan
rataan 20 kg sebanyak 4 ekor. Ternak ditempatkan pada kandang individu.

Metode

Penelitian diawali dengan persiapan bahan meliputi: peremajaan dan


pembuatan inokulum Hi-fer, pembuatan Hi-fer dan analisis. Bagan alur
penelitian diperlihatkan pada gambar 1 berikut. Penelitian terdiri dari 2 percobaan.
Percobaan 1 terbagi atas dua tahap, yaitu 1) efek kombinasi faktor perlakuan
terhadap sifat fisik, dan kualitas fermentative Hi-fer, dan 2) pengaruh perlakuan
terhadap peubah kimia, mikrobiologis dan kecernaan serta fermentabilitas in vitro.
Percobaan kedua mengukur tingkat palatabilitas perlakuan pada ternak domba (in
vivo).
5

Pembuatan Hi-fer

Percobaan 1.
Percobaan 2.
Efek kombinasi Level Cairan Aditif Fermentasi,
Efek Penggunaan inokulan L. plantarum
inokulasi L. plantarum dan penambahan asam
dan Asam Formiat terhadap Palatabilitas Hi-
formiat terhadap Kualitas dan Kecernaan in vitro
fer pada Domba
Hi-fer

Tahap 1 P0 : Hi-fer kontrol (tanpa aditif)


Kualitas Fisik dan Karakteristik Fermentatif Hi-fer P1 : P0 + Asam formiat
P2 : P0 + L. plantarum
P3 : P0 + asam formiat + L.plantarum
Faktor A : Level Aditif Fermentasi (5%, 7.5%, 10%)
Faktor B : Penambahan Asam Formiat
Faktor C : Penambahan L. plantarum Palatabilitas Hi-fer selama 4 jam

Pengamatan Fisik dan Analisa Pengolahan data


Karakteristik Fermentatif Hi-fer

Penentuan Level Aditif Fermentasi Terbaik

Tahap 2
Fermentasi in vitro

P0 : Hi-fer kontrol (tanpa aditif)


P1 : P0 + Asam formiat
P2 : P0 + L. plantarum
P3 : P0 + asam formiat + L.plantarum
Ket: Semua perlakuan menggunakan Aditif
fermentasi level terbaik (7.5%)

Analisa Kandungan Nutrisi dan


Mikrobiologi serta Fermentabilitas dan
Koefisien Cerna Hi-fer in vitro

Gambar 1 Bagan alur penelitian


6

Peremajaan Isolat dan Pembuatan Inokulum Hi-fer


Isolat L. plantarum 1A2 yang digunakan sebagai inokulum Hi-fer
ditumbuhkan pada media spesifik BAL, yaitu deMan Rogosa Sharpe (MRS).
Pertama-tama kultur starter diperbanyak dengan media MRS Agar pada cawan petri
atau agar miring di tabung reaksi. Inkubasi dilakukan selama 18 jam pada suhu
ruang (28-30C). Setelah kultur tumbuh dan tidak nampak adanya kontaminasi,
maka dapat disimpan di kulkas dan digunakan sebagai stok dalam pembuatan
inokulum Hi-fer. Inokulum dibuat dengan menginokulasikan 3 ose dari stok L.
plantarum ke dalam 10 ml media MRS broth (cair) sebagai prekultur, ditransfer 1%
(v/v) prekultur ke dalam media MRS cair selanjutnya. Keberhasilan ditandai dari
adanya endapan berwarna putih dan tidak tampak adanya hifa atau serat yang
mengambang dan mengapung (media jernih seperti awal pembuatan).
Penghitungan koloni BAL menggunakan metode total plate count (TPC) dan
diperoleh populasi akhir L. plantarum sebanyak 1,6 x 109 CFU/ml.

Prosedur Pembuatan Hi-fer


Rumput gajah di panen pada umur potong 30 hari. Selanjutnya dilayukan
terlebih dahulu selama dua malam. Pelayuan dilakukan dengan cara mengangin-
anginkan rumput pada suhu ruang di bawah naungan. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi kadar air yang terdapat pada rumput. Kemudian rumput dichop/dicacah
hingga berukuran 3-5 cm. Cairan aditif fermentasi dicampurkan sejumlah level
perlakuan, yaitu 5%, 7.5% dan 10% (Suryahadi 2014) pada rumput gajah hingga
rata. Pada tahapan ini dilakukan penerapan perlakuan penambahan L.plantarum
sebanyak 0.0625 ml/kg rumput (kepadatan populasi 109 cfu/ml) dan asam formiat
sebanyak 0,15% per kg rumput (Sariri et al. 2011). Setelah tercampur merata,
selanjutnya rumput dimasukkan kedalam kantong plastik transparan LDPE (bag)
berukuran 50x85cm. Rumput dimampatkan dan diupayakan tidak ada udara dalam
kantong. Lapisan kantong dibuat sebanyak 2 lapis (double layer) untuk mencegah
kebocoran. Tiap kantong berisi 15 kg, dan selama masa simpan Hi-fer disimpan
pada ruangan tertutup (terhindar dari hujan) dan kondisi suhu ruang selama 3
minggu hingga siap dianalisa.

Percobaan 1. Efek kombinasi Level penggunaan Cairan Aditif Fermentasi,


inokulasi L. plantarum dan penambahan asam formiat terhadap Kualitas dan
Kecernaan in vitro Hi-fer

Tujuan percobaan ini adalah memperoleh Hi-fer kualitas terbaik melalui


kombinasi antara faktor level cairan AF, inokulasi L. plantarum dan penambahan
asam formiat. Percobaan dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama dengan
mengukur karakteristik fisik dan fermentative Hi-fer dan tahap kedua menguji
mutu kimia, mikrobiologis dan kecernaan in vitro Hi-fer.

Tahap 1. Karakteristik fisik dan fermentative Hi-fer


Peubah awal yang diukur pada tahap pertama penelitian adalah mutu fisik
Hi-fer. Selain itu juga dilakukan pengukuran beberapa peubah karakteristik
fermentasi Hi-fer, yaitu: pH, kadar N-NH3 Hi-fer (mikrodifusi conway),
Bahan Kering Hi-fer, penyusutan berat segar dan nilai fleigh.
7

Pengukuran Kualitas Fisik Hi-fer. Pengamatan fisik terdiri atas: warna,


bau, tekstur dan keberadaaan jamur dalam Hi-fer. Pengamatan dilakukan
secara organoleptik setelah tiga minggu proses ensilase. Sampling dilakukan
dengan membuka tiap kantong dan mengamati seluruh bagian, yaitu bagian atas,
tengah dan bawah kantong. Pengamatan dilakukan secara organoleptik
deskriptif oleh peneliti. Sebagai penunjang observasi, digunakan bantuan media
gambar (photo). Aroma atau bau dapat diklasifikasikan sebagai bau busuk,
harum (asam), harum alkohol.

Pengukuran pH. Hi-fer yang baru dibuka ditimbang sebanyak 10 gram


dan dicampur dengan 100 ml aquadest dengan cara dishaker pada kecepatan 600
rpm selama 10 menit. pH cairan diukur menggunakan Pocket pH meter yang
telah dikalibrasi. Pembacaan pH dilakukan setelah screen stabil atau ±30 detik.

Pengukuran N-NH3 Hi-fer. Pengukuran N-NH3 dengan metode


mikrodifusi Conway (1957). Sebanyak 1 ml sampel yang sama dengan sampel
pengukuran pH ditempatkan pada salah satu ujung jalur cawan Conway yang
telah diolesi vaselin kemudian 1 ml larutan Na2CO3 ditempatkan pada sisi yang
bersebelahan dengan sampel. Asam borat berindikator sebanyak 1 ml
ditempatkan didalam cawan kecil yang ada dibagian tengah cawan Conway
kemudian tutup rapat cawan Conway. Supernatan dan larutan Na2CO3 dicampur
hingga rata dengan cara cawan Conway dimiringkan. Diamkan selama 24 jam
pada suhu kamar dan setelah 24 jam asam borat berindikator dititrasi
menggunakan H2SO4 sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah.
Kemudian kadar NH3 dihitung dengan rumus:

� � � � � �
N NH mM =

Perhitungan nilai Fleigh. Nilai fleigh dihitung menggunakan rumus Kilic


(1984):
NF = 220 + (2 x BK (%) – 15) – (40 x pH)
Penghitungan berdasarkan rumus fleigh digunakan untuk mempermudah
mengestimasi kualitas suatu produk fermentasi, berdasarkan karakteristik
fermentative yaitu nilai pH dan BK.

Perlakuan dan rancangan percobaan tahap 1


Perlakuan percobaan tahap pertama termasuk dalam pengamatan faktorial.
Faktor A adalah level Cairan Aditif Fermentasi Hi-fer, yaitu 5%, 7,5% dan
10%; faktor B merupakan perlakuan inokulasi L. plantarum 0,0625 ml/kg
hijauan segar (kepadatan populasi 1,6 x 109 CFU/ml) dan tanpa inokulasi L.
plantarum; dan faktor C adalah penambahan asam formiat (0,15%) dan tanpa
asam formiat. Pengujian secara fisik, dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Kualitas fermentasi Hi-fer menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
Faktorial 3x2x2 dengan masing-masing 3 bag sebagai ulangan. Data dianalisis
8

dengan ANOVA dan apabila terdapat perbedaan diuji lanjut dengan Duncan.
Secara umum model matematis rancangan adalah sebagai berikut:

RAL Faktorial : Yjkl =  + j +  k + l + jkl + jkl


Keterangan :
Yjkl = Nilai pengamatan faktor A ke-j, faktor B ke-k dan faktor C ke-l
 = Rataan umum pengamatan
j = Pengaruh faktor A ke-j / perlakuan ke-j
k = Pengaruh faktor B ke-k
l = Pengaruh faktor C ke-l
jkl = Pengaruh interaksi faktor A ke-i, faktor B ke-j dan faktor C ke-k
jkl = Galat percobaan untuk faktor A ke-j, faktor B ke-k dan faktor C
ke-l

Tahap 2. Mutu kimia, mikrobiologis dan kecernaan in vitro Hi-fer

Perlakuan Hi-fer terpilih dari tahap pertama berdasarkan level cairan AF


selanjutnya dilakukan pengujian dengan peubah kualitas kimia, mikrobiologis
dan kecernaan in vitro. Kualitas kimia Hi-fer dengan menganalisa kandungan
nutrient Hi-fer menggunakan prosedur standar proksimat (AOAC 2005) dan
VanSoest (VanSoest et al. 1991) yang meliputi BK, Abu, PK, SK, LK, NDF,
ADF dan lignin. Pengukuran menggunakan sampel Hi-fer yang telah
dikeringkan dalam oven 105C dan digiling hingga berbentuk tepung. Selain itu
juga diukur kadar asam laktat Hi-fer dengan Spektrofotometer (Baker dan
Summerson 1941). Secara mikrobiologis dianalisa jumlah koloni BAL dalam
Hi-fer dengan Total Plate Count (Fardiaz 1992).
Fermentabilitas Hi-fer diukur secara in vitro (Tilley dan Terry 1963).
Peubah yang diamati adalah Produksi VFA total (steam destillation), VFA
parsial dengan Gas Chromatography (General Laboratory Procedures 1966) dan
konsentrasi NH3 (mikrodifusi Conway). Dilanjutkan dengan pengukuran
kecernaan yang meliputi Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Bahan
Organik (KCBO) (Tilley dan Terry 1963).

Pengukuran Kadar Asam Laktat (Baker and Summerson 1941).


Pengukuran asam laktat dengan menggunakan spektrofotometer. Sebanyak 1
gram sampel Hi-fer digrinder hingga lumat dan dengan ditambah TCA 10%
sedikit demi sedikit sambil disaring dan ditampung dalam tabung sentrifuse
sampai mendapatkan filtrat 5 ml. Selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan
3000 rpm selama 15 menit. Supernatan dituang dan ditambahkan kembali TCA
10% sampai 5 ml (A).
Tabung sentrifuse diisi 1 ml aquades sebagai blanko. Tabung kedua diisi
dengan 1 ml larutan standar asam laktat yang mengandung 0,01 mg/ml. Tabung
ketiga diisi dengan 1 ml filtrat bebas protein (A). Pada semua tabung sentrifuse
ditambahkan 0,5 ml larutan CuSO4 20% dan diencerkan hingga 5 ml dengan
aquades. Selanjutnya ditambahkan 0,5 g bubuk Ca(OH)2. Lubang tabung ditutup
9

dengan stopper atau parafilm dan dikocok dengan vortex hingga padat hancur
dan homogen, kemudian didiamkan. Lakukan berulang selama ≥ ½ jam. Setelah
semua tabung disetarakan beratnya, selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan
3000 rpm selama 15 menit. Kemudian diambil 0,5 ml supernatan, dimasukkan
dalam tabung reaksi yang kering dan bersih. Pada tiap tabung reaksi
ditambahkan 0,025 ml CuSO4 4%, ditambahkan setetes demi setetes dengan
buret 3 ml H2SO4 pekat. Isi tabung akan menjadi panas, dan selanjutnya
dimasukkan dalam air mendidih ± 5 menit. Tabung didinginkan dengan air
mengalir/ es dengan suhu ≤ 20C dan ditambahkan 0,05 ml reagent p-
hidrosiphenil setetes demi setetes hingga menjadi putih. Campuran
dihomogenkan dan dimasukkan kedalam water bath 30C selama ≥ 30 menit.
Kemudian dimasukkan ke dalam air mendidih selama 90 detik dan didinginkan.
Isi tabung akan berubah warna menjadi violet. Isi tabung terakhir dipindahkan
pada kuvet dan dimasukkan dalam spektrofotometer dengan spektonik 20
panjang gelombang 560 nm (vis). Penghitungan absorbansi dengan regresi linier.
Y= a + bx

Penghitungan Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat (Fardiaz 1992).


Jumlah koloni bakteri asam laktat dihitung dengan menggunakan Metode Total
Plate Count (TPC). Sampel Hi-fer ditambah aquades dengan perbandingan 1:2.
Sebanyak 1 ml cairan Hi-fer dimasukkan ke dalam 9 ml aquades, lalu
diencerkan dengan mengambil 1 ml dimasukkan ke 9 ml aquades sampai
pengenceran 7 kali. Lalu sebanyak 0.1 ml dari pengenceran 6 dan 7 kali ditanam
pada cawan petri berisi media MRS agar. Media agar yang ditanam dengan
sampel silase diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari. Koloni yang tumbuh
berbentuk bulat miring bewarna agak kekuningan. Jumlah koloni yang diperoleh
ditranformasi dalam log.
Populasi BAL (cfu/g) = jumlah koloni x pengenceran

Inkubasi in vitro (Tilley dan Terry 1963). Sebanyak 0.5 gram sampel Hi-
fer dimasukkan ke tabung fermentor dan ditambahkan 10 ml larutan buffer
McDougall dan 40 ml cairan rumen. Pengambilan cairan rumen dilakukan 2-3
jam setelah pemberian pakan pagi. Cairan rumen diperas dan disaring
menggunakan dua lapis kain kasa steril kemudian dipindahkan ke tabung
fermentor dan secara kontinyu dialiri CO2 didalam shaker water bath pada suhu
39C. Keduanya diaduk dengan gas CO2 selama 30 detik dan ditutup rapat
dengan karet berventilasi. Tabung fermentor ditempatkan pada shaker water
bath dengan suhu 39C dan fermentasi dilakukan selama 4 jam untuk sampel pH
rumen, NH3, VFA total dan parsial, dan fermentasi 48 jam untuk sampel
KCBK/KCBO. Setelah inkubasi kedalam tabung fermentor ditambahkan 2-3
tetes HgCl2 jenuh untuk menghentikan aktivitas mikroba.

Pengukuran N-NH3 rumen. Pengukuran N-NH3 menggunakan metode


Mikrodifusi Conway (General Laboratory Procedure 1966). Setelah inkubasi
selama 4 jam di dalam shaker water bath ditambahkan 2-3 tetes HgCl2 jenuh ke
dalam tabung fermentor untuk menghentikan aktivitas mikroba. Tabung
fermentor selanjutnya disentrifuge dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit.
10

Sebanyak 1 ml supernatan sampel ditempatkan pada salah satu ujung alur cawan
Conway, disisi yang bersebelahan ditambahkan 1 ml larutan Na2CO3, dan pada
bagian tengah ditambahkan 1 ml Asam borat berindikator. Kemudian cawan
ditutup rapat dan perlahan-lahan supernatan dan larutan Na2CO3 dicampur
dengan cara cawan dimiringkan. Cawan didiamkan selama 24 jam dan dititrasi
menggunakan H2SO4 sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah.
Kadar NH3 dihitung dengan rumus:
� � � � � �
N − NH mM =
� � �

Pengukuran VFA Total. Supernatan yang telah disiapkan menggunakan


prosedur yang sama dengan penggukuran NH3 rumen sebanyak 5 ml dimasukkan
ke dalam tabung destilasi, lalu segera ditambahkan dengan 1 ml H2SO4 15 %
dan ditutup dengan tutup karet yang mempunyai lubang dan dapat dihubungkan
dengan labu pendingin. Tabung destilasi dimasukkan ke dalam labu penyulingan
yang berisi air mendidih (dipanaskan terus selama destilasi). Uap air panas akan
mendesak campuran supernatan dan H2SO4 dan akan terkondensasi dalam labu
pendingin. Air yang terbentuk ditampung dalam labu erlenmeyer yang berisi 5
ml NaOH 0,5 N hingga 300 ml. Kemudian ditambahkan indikator PP
(Phenolpthaline) sebanyak 2 - 3 tetes dan dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai
berubah warna dari merah jambu menjadi merah seulas (tidak berwarna).
Produksi VFA total dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

− � � � /
VFA total mM =
� � �

Keterangan:
a = volume titran blanko (ml)
b = volume titran contoh (ml)

Pengukuran VFA Parsial. Pengukuran produksi VFA parsial (asetat, propinat,


butirat, isobutirat, valerat, isovalerat) dilakukan dengan alat Gas
Chromatography (General Laboratory Procedures 1966). Sampel VFA parsial
yang digunakan merupakan supernatant yang sama untuk pengukuran NH3 dan
VFA total. Sebanyak 1.5 ml supernatant dimasukkan ke dalam tabung ependorf
dan disimpan dalam kondisi dingin (freezer). Sebelum diinjeksikan, sampel
ditambahkan asam agar pH turun dan sampel lebih stabil. Sampel diinjekkan
sebanyak 0.4 l pada GC. Dengan membaca kromatogram standar yang
konsentrasinya sudah diketahui maka konsentrasi VFA yang akan diukur dapat
dilihat pada kromatogram. Konsentraso VFA sampe dihitung dengan rumus:

A a hx M
mM sampel VFA =
A a a a

Pengukuran koefisien cerna bahan kering dan organik. Analisa KCBK dan
KCBO menggunakan metode Tilley dan Terry (1963). Setelah inkubasi, sampel
11

disentrifuge 3500 rpm selama 15 menit. Supernatan yang dihasilkan dibuang dan
ditambahkan 50 ml larutan pepsin HCl 0,2% dalam endapan. Pencernaan
enzimatis berlangsung aerob selama 48 jam. Residu disaring menggunakan
kertas Whatman no.41 yang dibantu dengan pompa vakum. Kemudian hasil
saringan dimasukkan kedalam cawan porselen dan dipanaskan didalam oven
suhu 105C selama 24 jam untuk menentukan BK residu. Selanjutnya residu BK
dimasukkan kedalam tanur 600C selama 6 jam untuk mendapatkan residu
bahan organik. Sebagai blanko digunakan residu asal fermentasi tanpa sampel.
KCBK dan KCBO dhitung berdasarkan rumus:

� − � � �− �
% KCBK = � %

− � �−
% KCBO = � %

Perlakuan dan rancangan percobaan tahap 2


Tahap kedua terdiri atas dua jenis rancangan percobaan. Peubah mutu kimia
dan mikrobiologis dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Rancangan kedua digunakan untuk pengujian
in vitro Hi-fer, yaitu Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan
dan 3 kelompok cairan rumen dan 3 bag Hi-fer sebagai sub ulangan. Perlakuan
terdiri atas 4 jenis Hi-fer yang berbeda sebagai hasil dari percobaan tahap 1.
P0 = Hi-fer kontrol (tanpa aditif)
P1 = P0 + Asam formiat
P2 = P0 + Inokulan L. plantarum
P3 = P0 + asam formiat + L. plantarum

Data dianalisis dengan ANOVA dan apabila terdapat perbedaan diuji lanjut
dengan Duncan. Secara umum model matematis rancangan adalah sebagai
berikut:
RAL : Yij =  + i + ij
RAK : Yijk =  + i + k + ijk

Keterangan :
Yij = Nilai pengaruh perlakuan
Yijk = Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j dan
kelompok ke-k
 = Rataan umum pengamatan
i = Pengaruh perlakuan ke-i
k = Pengaruh kelompok (cairan rumen) ke-k
ij = Galat percobaan untuk perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
ijk = Galat percobaan untuk perlakuan ke-i, ulangan ke-j dan
kelompok ke-k
12

Percobaan 2. Efek Penggunaan inokulan L. plantarum dan Asam Formiat


terhadap Palatabilitas Hi-fer pada Domba

Sebagai tindak lanjut dari percobaan pertama, Hi-fer selanjutnya diukur


tingkat palatabilitasnya langsung pada ternak domba. Setiap perlakuan diuji dengan
diberikan pada ternak secara adlibitum. Hi-fer ditempatkan didalam wadah pakan
dan diletakkan pada setiap kandang individu. Penelitian menggunakan empat ekor
domba jantan didalam kandang individu. Pakan diberikan selama empat jam, yaitu
dimulai pukul 07.00 hingga pukul 11.00 WIB.
Hi-fer perlakuan dipindahkan dan digilir ke setiap kandang lainnya secara
acak sehingga semua domba mendapat giliran pakan yang berbeda. Palatabilitas
bahan kering setiap Hi-fer perlakuan yang dikonsumsi diukur setiap pukul 11.00
WIB atau empat jam setelah pemberian pakan berdasarkan modifikasi metode
Rogosic et al. (2006). Pengukuran palatabilitas dengan menimbang jumlah pakan
segar yang diberikan dan menghitung pakan yang tersisa. Palatabilitas Hi-fer
ditetapkan pada basis g kg-1 berat badan metabolik (g kg-1 BB0.75).

Perlakuan dan rancangan percobaan


Pengamatan palatabilitas dengan menerapkan rancangan percobaan Bujur
Sangkar Latin (BSL) 4x4 menggunakan empat ekor domba jantan dengan empat
perlakuan berbeda selama empat hari. Skema pengacakan diperlihatkan pada
tabel 1 berikut. Perlakuan terdiri atas:
P0 = Hi-fer (kontrol)
P1 = Hi-fer + Asam Formiat
P2 = Hi-fer + L. plantarum
P3 = Hi-fer + Asam Formiat + L. plantarum

Data dianalisis dengan ANOVA dan apabila terdapat perbedaan diuji lanjut
dengan uji Duncan. Secara umum model matematis rancangan adalah sebagai
berikut:
Yijk = µ + i + j + k + ijk
Yij = nilai pengamatan pada baris ke-i, kolom ke-j dan perlakuan ke-k
µ = rataan umum
i = pengaruh ternak ke-i
j = pengaruh hari ke-j
k = pengaruh perlakuan ke-k
ij = pengaruh galat ke-i, kolom ke-j, perlakuan ke-k.

Tabel 1 Skema pengacakan perlakuan

Periode Ternak
(Hari) Domba 1 Domba 2 Domba 3 Domba 4
1 P0 P2 P1 P3
2 P1 P3 P0 P2
3 P3 P1 P2 P0
4 P2 P0 P3 P1
13

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan 1: Kombinasi Level penggunaan Cairan Aditif Fermentasi,


inokulasi L. plantarum dan penambahan asam formiat terhadap Kualitas dan
Kecernaan in vitro Hi-fer

Kualitas Fisik Hi-fer


Secara keseluruhan hasil ensilase Hi-fer memperlihatkan kualitas fisik
yang baik. Kualitas fisik merupakan tolok ukur awal dalam menentukan kualitas
suatu produk ensilase. Beberapa peubah fisik diantaranya adalah warna, bau, tekstur
dan keberadaan jamur di Hi-fer ditampilkan pada tabel 2 berikut. Karakteristik
fisik yang dihasilkan pada produk hasil fermentasi secara umum mampu
menggambarkan kualitas silase tersebut (Ferreira dan Merten 2005).

Tabel 2 Kualitas fisik Hi-fer perlakuan


Level Perlakuan
Cairan AF
(%) P0 P1 P2 P3
Warna
5 Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan
7.5 Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan
10 Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan
Bau
5 Harum Harum Harum Harum
7.5 Harum Harum Harum Harum
10 Harum Harum Harum Harum
Tekstur
5 Utuh, kering Utuh, agak basah Utuh, agak basah Utuh, agak basah
7.5 Utuh, agak basah Utuh, agak basah Utuh, agak basah Utuh, agak basah
10 Utuh, agak basah Utuh, agak basah Utuh, agak basah Utuh, agak basah
Jamur
5 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
7.5 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
10 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Keterangan: AF= Aditif Fermentasi; P0 = Hi-fer kontrol (tanpa aditif), P1 = P0 +
Asam Formiat, P2 = P0 + L. plantarum, P3 = P0 + asam formiat + L.
plantarum.

Pengamatan Hi-fer setelah 3 minggu ensilase menunjukkan warna yang


hijau kecoklatan, aroma wangi asam dengan tekstur lembut dan kokoh.
Keseluruhan perlakuan memperlihatkan warna yang relatif sama (Gambar 2).
Perubahan warna hijau menjadi kecoklatan disebabkan karena adanya kandungan
molasses dalam cairan aditif fermentasi. Selain itu rumput yang digunakan sebagai
bahan baku Hi-fer memiliki warna awal hijau kekuningan, akibat dari proses
14

pelayuan. Sehingga warna akhir Hi-fer yang dihasilkan menjadi hijau kecoklatan.
Hi-fer berbau harum asam layaknya produk hasil fermentasi. Karakteristik silase
yang baik menurut Saun dan Heinrics (2008) adalah berbau asam dan bukan bau
yang menyengat. Hal ini terkait dari banyaknya populasi bakteri asam laktat (BAL)
yang dapat berkembang dengan baik didalamnya. Cairan AF sebagai sumber energi
tersedia mampu dimanfaatkan dengan baik oleh BAL dalam proses fermentasi.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tekstur Hi-fer utuh, lembut dan
kompak. Tingkat kebasahan Hi-fer semakin meningkat seiring dengan
peningkatan level AF. Namun hingga level tertinggi tidak ditemukan adanya cairan
yang menetes ataupun perubahan tekstur menjadi berlendir. Sejalan dengan
pendapat Adesogan (2006) bahwa silase yang baik memiliki tekstur masih seperti
semula, tidak berjamur, tidak berlendir, tidak menggumpal dan banyak
mengandung asam laktat. Hal ini menunjukkan bahwa hingga level AF 10% masih
menghasilkan Hi-fer dengan kualitas yang baik. Tidak ditemukan adanya effluent
atau cairan pada bagian bawah kemasan Hi-fer.

a b c d

e f g

Gambar 2 Tampilan fisik Hi-fer setelah 21 hari inkubasi. a) Hi-fer kontrol


tanpa penambahan aditif (P0), b) P0 + asam formiat (P1), (c) P0 + L.
plantarum (P2), (d) P0 + asam formiat + L. plantarum (P3), (e) Hi-
fer dengan level AF 5%, (f) level AF 7.5%, (g) level AF 10%.

Keberadaan jamur pada produk hasil ensilase merupakan permasalahan


yang paling sering terjadi, terutama pada bagian permukaan produk. Hal ini terkait
dengan tingginya kelembapan udara terutama pada wilayah tropis seperti Indonesia.
Kondisi ini sangat sesuai untuk pertumbuhan jamur. Jamur biasa tumbuh diatas atau
sisi silo dan jumlahnya tergantung pada proses pemadatan. Hasil akhir Hi-fer
menunjukkan tidak adanya jamur, sehingga Hi-fer memiliki kualitas yang baik
dan aman dikonsumsi ternak, dengan ataupun tanpa penambahan L. plantarum dan
formiat.
15

Karakteristik Fermentatif Hi-fer


Beberapa karakteristik fermentasi sebagai parameter kualitas suatu produk
fermentasi diantaranya adalah pH, BK dan N-NH3 Hi-fer. Secara keseluruhan pH
berkisar antara 3.02-4.00 (tabel 3). McDonald et al. (1991) menggambarkan
karakteristik kualitas silase yang baik yaitu memiliki pH dibawah 4.2, kandungan
N-NH3 kurang dari 100 g/kg BK dan tingginya kandungan asam laktat. Pada
penelitian ini, keseluruhan Hi-fer yang dibuat memiliki kualitas yang baik.

Tabel 3 pH Hi-fer perlakuan

Inokulasi Asam Level Cairan AF


Rataan
L.plantarum formiat 5% 7.5% 10%
0 3.58 ± 0.22abc 3.68 ± 0.23ab 3.26 ± 0.04bcd 3.51 ± 0.25
-
0.15% 4.00 ± 0.25a 3.32 ± 0.09bcd 3.73 ± 0.35ab 3.68 ± 0.37
0 3.40 ± 0.12bcd 3.08 ± 0.10cd 3.02 ± 0.11d 3.17 ± 0.20
+
0.15% 3.71 ± 0.44ab 3.35 ± 0.05bcd 3.20 ± 0.07bcd 3.42 ± 0.32
Rataan 3.67 ± 0.33 3.36 ± 0.25 3.30 ± 0.32 3.44 ± 0.34
Keterangan: AF= Aditif fermentasi; angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan
ada perbedaan nyata (P<0.01)

Ensilase Hi-fer selama 3 minggu pada parameter pH secara statistik


memberi hasil yang saling berinteraksi dari ketiga faktor. Perlakuan kontrol
menunjukkan pengaruh yang hampir sama pada pH dengan peningkatan AF.
Meskipun terlihat terdapat kenaikan (AF 7.5%) dan menurun kembali pada level
AF 10%. AF menyediakan sejumlah substrat tersedia yang dibutuhkan bagi
pertumbuhan bakteri. Cairan AF diketahui mengandung asam dan garam organik,
serta sejumlah molasses sebagai sumber energi bagi bakteri. Hasil penelitian
Hernaman et al. (2005) menunjukkan penurunan pH dengan peningkatan level
molasses (2%,4%,6%) sebagai suplemen pada silase campuran ampas tahu dan
pucuk tebu kering. Kandungan gula dalam molasses oleh bakteri selama proses
ensilase akan dirombak menjadi asam organik seperti asam laktat dan sebagian
kecil asam asetat dan butirat.
Penambahan L. plantarum dan asam formiat dalam menghasilkan pH dapat
mengurangi penggunaan AF. Penambahan BAL menunjukkan adanya interaksi
yang baik antara cairan AF dengan L.plantarum didalam proses fermentasi, sejak
level AF terendah. Molases dapat menstimulasi fermentasi, namun tidak cukup
mencegah proteolysis karena penurunan pH yang lebih lambat (Baytok dan Aksu
2005). L.plantarum berperan membantu mempercepat penurunan pH melalui
akumulasi asam laktat yang dihasilkan. Penambahan molasses pada proses ensilase
mampu memberikan kondisi yang layak bagi perkembangan bakteri pembentuk
asam laktat, sehingga pH menjadi cepat turun. Hasil penelitian Jasin (2014)
menunjukkan nilai pH semakin rendah dengan meningkatnya penambahan
molasses pada silase rumput gajah dengan inokulasi BAL.
Penambahan BAL secara tunggal menghasilkan nilai pH lebih rendah
dibandingkan perlakuan lainnya, termasuk formiat. Sejalan dengan hasil penelitian
Rowghani dan Zamiri (2009) yang menunjukkan nilai pH nyata lebih rendah pada
silase jagung dengan penambahan inokulan bakteri L. plantarum dan
Propionibacterium acidipropionici (4.00) dibandingkan penambahan asam formiat
16

(4.51). pH hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian


Ratnakomala et al. (2006) dengan penggunaan strain inokulan yang sama pada
konsentrasi 0%-1% yaitu 3.67-4.18. Rendahnya pH pada penggunaan inokulan ini
menimbulkan kekhawatiran akan menyebabkan penurunan palatabilitas Hi-fer. L.
plantarum merupakan bakteri fakultatif heterofermenter yang dapat menggunakan
heksosa dan sedikit pentosa menjadi produk akhir utama berupa asam laktat
(McDonald et al. 1991). Asam laktat yang menyebabkan penurunan pH dengan
cepat, melalui pembatasan respirasi tanaman dan aktivitas enzim, sehingga
menghambat bakteri lainnya (Adesoji et al. 2012). Hal ini didukung pula oleh hasil
penelitian Filya (2003) yang menghasilkan penurunan pH yang cepat sehingga
stabil sehingga dapat disimpan lebih lama dengan kehilangan BK yang rendah pada
inokulasi bakteri L.plantarum dan L.buchneri.
Penambahan asam formiat mampu membatasi fermentasi. Meskipun
demikian, pH akhir yang dihasilkan masih dalam kisaran kualitas silase yang baik
(4.0). Hal ini membuktikan bahwa penggunaan asam formiat mampu menahan
proses fermentasi dan sekaligus mengurangi penggunaan AF dalam Hi-fer.
Sebagai pembatas fermentasi, asam formiat menurunkan pH seketika ketika
pemberian dan bekerja dengan mengurangi aktifitas Enterobacteri dan bakteri
Saccharolytic Clostridia (Lorenzo dan O’Kiely 2008). Pada kondisi suhu dan
tekanan yang sesuai carbon monoxide dan sodium hydroxide dari asam formiat akan
menghasilkan sodium formiat dan asam sulfur yang akan menurunkan pH secara
cepat dan berfungsi sebagai antimikroba (Luckstadt 2009).
Kombinasi antara BAL dengan formiat menunjukkan nilai yang lebih besar
dibandingkan perlakuan formiat tunggal. Hal ini mengindikasikan adanya dominasi
pengaruh dari L.plantarum terhadap pH Hi-fer. Asam laktat yang dihasilkan oleh
L.plantarum lebih berperan dalam menurunkan pH dibandingkan asam formiat.
Kombinasi L.plantarum dan asam formiat mampu menghasilkan pH Hi-fer yang
baik, dan keduanya mampu menurunkan penggunaan AF. Belum banyak penelitian
yang menggabungkan kedua aditif ini dalam satu perlakuan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa L. plantarum dan asam formiat dapat bersinergi dengan baik
dalam menghasilkan pH silase yang berkualitas.

Tabel 4 Kandungan bahan kering (%) Hi-fer

Inokulasi Asam Level Cairan AF


Rataan
L.plantarum formiat 5% 7.5% 10%
0 24.80 ± 1.03abc 22.75 ± 0.36c 22.88 ± 1.43c 23.48 ± 1.34
-
0.15% 23.08 ± 1.67c 25.10 ± 0.29abc 23.78 ± 0.36bc 23.99 ± 1.76
0 24.80 ± 0.15abc 26.66 ± 2.71a 26.93 ± 1.00a 26.13 ± 1.24
+
0.15% 26.24 ± 0.94ab 25.58 ± 1.33ab 25.83 ± 1.74ab 25.88 ± 1.23
Rataan 24.73 ± 1.50 25.02 ± 1.98 24.85 ± 1.98 24.87 ± 1.79
Keterangan: AF= Aditif fermentasi; angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan
ada perbedaan nyata (P<0.05)

Pengukuran bahan kering (BK) menjadi salah satu parameter dalam


menentukan kualitas nutrisi produk ensilase. Semakin banyak bahan kering yang
tersisa, semakin banyak pula nutrient yang tersedia bagi induk semang (ternak).
Hasil uji sidik ragam (p<0.05) menunjukkan adanya interaksi dari ketiga faktor
perlakuan yang diperlihatkan pada tabel 4.
17

BK awal hijauan setelah pelayuan selama 2 malam adalah 16.58%. Nilai


BK ini tergolong masih rendah dari yang direkomendasikan oleh McDonald et al.
(1991) yaitu minimum 25%. Kondisi rumput yang lebih kering akan menghasilkan
kandungan bahan kering silase yang lebih tinggi. Rumput gajah dipanen pada umur
30 hari, sehingga BK rumput masih sangat rendah (11.61%). Sebagai pembanding,
BK rumput gajah yang digunakan oleh Santoso et al. (2009) pada umur panen 50
hari adalah 16.80% dan Rukmana (2005) sebesar 19.9%. Selain itu, kondisi cuaca
(musim hujan) menyebabkan proses pelayuan tidak dapat berjalan secara optimal.
Sehingga selama penjemuran BK rumput hanya meningkat sebanyak 35.94%.
Banyak faktor lainnya yang mempengaruhi kandungan bahan kering pada suatu
tanaman, diantaranya adalah kandungan unsur hara tanah, sinar matahari dan lain-
lain.
Semakin tinggi pemberian cairan AF, memberikan pengaruh yang berbeda
antar perlakuan. AF digunakan oleh bakteri sebagai sumber karbohidrat telarut yang
tersedia. Kehilangan BK dapat ditekan dengan cara mempercepat kondisi anaerob
dan penurunan pH sehingga proses fermentasi optimal oleh BAL dapat tercapai.
Penambahan L. plantarum dan asam formiat dapat mengurangi penggunaan AF
pada BK akhir Hi-fer. Peningkatan cairan AF pada level lebih tinggi (7.5% dan
10%) menurunkan kandungan BK akhir pada perlakuan Hi-fer kontrol,
sedangkan perlakuan asam formiat menunjukkan peningkatan BK pada level 7.5%
dan menurun kembali ketika peningkatan level AF (10%). Penggunaan asam
formiat mampu menghasilkan BK Hi-fer lebih baik dibanding perlakuan kontrol,
terutama pada level AF lebih tinggi (7.5%). Level pemberian AF yang lebih tinggi
mengurangi pengaruh dari asam formiat. Asam formiat memiliki kemampuan
dalam membatasi fermentasi (Jaakola et al. 2006). Pembatasan proses fermentasi
akan berakibat pada lebih tingginya kandungan nutrient akhir produk fermentasi.
Inokulasi L. plantarum dalam Hi-fer mampu menghasilkan BK tertinggi
terutama pada level AF 7.5% dan 10%. Inokulasi BAL mampu memberikan hasil
terbaik pada kadar BK Hi-fer, yaitu 24.80-26.93%. Kadar BK yang tinggi
diakibatkan karena dominasi bakteri L. plantarum didalam Hi-fer. L. plantarum
mampu memfermentasi gula menjadi asam laktat sebagai produk utama. Hal ini
terlihat dari pH (tabel 3) dan produksi asam laktat yang dihasilkan (gambar 3).
Sehingga penggunaan WSC akan lebih efisien dan menghasilkan lebih banyak
nutrient yang tersisa. Sejalan dengan hasil penelitian Filya (2003) yang
menggunakan L. plantarum dan L. buchneri pada silase sorgum dan jagung dengan
BK awal rendah. Cairan AF mampu bersinergi baik dengan L. plantarum dalam
mengoptimalkan proses fermentasi.
Adapun kombinasinya dengan asam formiat menghasilkan pengaruh yang
sama pada semua level AF. Campuran L. plantarum dan asam formiat memberikan
kombinasi yang baik dalam mempertahankan BK Hi-fer. Penambahan L.
plantarum terlihat lebih dominan dalam mempengaruhi BK hasil ensilase. Terlihat
dari tingginya kandungan BK pada L. plantarum dibandingkan asam formiat pada
pemberian tunggal. Namun kombinasi keduanya lebih baik jika dibandingkan
dengan perlakuan kontrol. Belum banyak penelitian yang menggabungkan kedua
aditif ini dalam satu perlakuan, karena secara prinsip keduanya memiliki aksi yang
berbeda dalam fermentasi. Namun hasil penelitian ini membuktikan bahwa
keduanya dapat bersinergi dengan baik dalam mempertahankan bahan kering dalam
Hi-fer.
18

Kandungan N-ammonia (N-NH3) Hi-fer secara statistik nyata dipengaruhi


oleh interaksi dari ketiga faktor (P<0.01). Produksi N-NH3 dipengaruhi oleh proses
perombakan protein didalam Hi-fer. Produk utama pemecahan protein adalah
asam amino dan amonia, dan proporsi keduanya bergantung pada berlanjutnya
pemecahan asam amino tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses
proteolysis adalah bahan kering, temperatur, pH dan spesies tanaman (McDonald
et al. 1991). Kandungan N-NH3 Hi-fer yang dihasilkan ditampilkan pada tabel 5
berikut.

Tabel 5 Kandungan N-NH3 (g/kg BK) Hi-fer

Inokulasi Asam Level Cairan AF


Rataan
L.plantarum formiat 5% 7.5% 10%
0 3.17±0.48c 4.51±0.80d 2.15±0.61abc 3.28 ± 1.17
-
0.15% 2.57±0.22abc 1.38±0.60a 1.94±0.28abc 1.96 ± 0.63
0 2.65±0.10abc 1.74±0.36ab 2.64±0.10abc 2.34 ± 0.56
+
0.15% 2.12±0.60abc 2.80±0.41bc 1.99±0.50abc 2.31 ± 0.58
Rataan 2.63 ± 0.52 2.61 ± 1.36 2.18 ± 0.51 2.47 ± 0.89
Keterangan: AF = Aditif fermentasi; angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan
ada perbedaan nyata (P<0.01)

Semakin tinggi jumlah pemberian cairan AF menunjukkan pengaruh yang


berbeda pada tiap perlakuan. Secara umum tidak banyak pengaruh peningkatan
level AF terhadap kadar N-NH3 Hi-fer. Perlakuan kontrol dan kombinasi
menghasilkan kadar N-NH3 tertinggi pada level cairan AF 7.5% dan menurun pada
level AF 10%. Sebaliknya pada perlakuan L.plantarum maupun asam formiat
secara tunggal menunjukkan penurunan pada level 7.5%, dan meningkat kembali
ketika level AF 10%. Rataan kandungan N-NH3 Hi-fer rumput gajah berkisar
antara 1.38-4.51 g/kg BK. Umumnya penambahan molasses menghasilkan lebih
sedikit ammonia, seperti pada hasil penelitian Abarghoei et al. (2011), disebabkan
karena lebih banyak gula tersedia sehingga mempercepat penurunan pH untuk
selanjutnya menghambat deaminasi dan dekarboksilasi asam amino.
Baik asam formiat maupun inokulan L. plantarum mampu menurunkan
kandungan ammonia didalam Hi-fer dibandingkan perlakuan Hi-fer tanpa
aditif, terutama pada level AF 7.5%. Keduanya secara tunggal berpengaruh dalam
menekan proteolysis didalam hijauan. Asam formiat maupun inokulasi bakteri
keduanya dapat membatasi pemecahan protein didalam silase melalui penurunan
pH dan penghambatan aktivitas enzim serta dengan menekan pertumbuhan bakteri
pendegradasi protein, sejalan dengan hasil penelitian Winters et al. (2001) dan
Saarisalo et al. (2006). Meskipun dalam hal ini asam formiat terlihat lebih
berpengaruh dalam menekan ammonia di Hi-fer.
Penyusutan berat segar merupakan salah satu parameter penunjang dalam
merepresentasikan seberapa banyak nutrient yang hilang selama ensilase. Meskipun
komponen terbesar yang hilang dalam hal ini adalah air dan komponen asam-asam
volatile. Penyusutan berat segar Hi-fer selama 21 hari ensilase ditampilkan pada
tabel 6 berikut.
19

Tabel 6 Penyusutan berat segar Hi-fer (%)

Inokulasi Asam Level Cairan AF


Rataan
L.plantarum formiat 5% 7.5% 10%
0 2.18±1.65ab 4.67±2.09abcd 5.26±0.32bcd 4.44±1.87
-
0.15% 4.71±1.9abcd 6.52±2.51d 5.88±1.35cd 5.70±1.93
0 4.05±0.35abcd 3.07±2.51abc 2.15±1.79a 3.09±1.73
+
0.15% 2.64±0.72ab 3.71±1.2abcd 6.08±0.58cd 4.14±1.70
Rataan 3.40±1.54 4.80±2.28 4.84±1.91 4.34±1.98
Keterangan: AF = Aditif fermentasi; angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan
ada perbedaan nyata (P<0.05)

Peningkatan level AF secara umum tidak banyak mempengaruhi penyusutan


berat segar Hi-fer baik dengan ataupun tanpa penambahan L. plantarum dan asam
formiat. Meskipun demikian, kecenderungan penyusutan berat segar lebih kecil
pada level AF lebih rendah. Penambahan asam formiat baik secara tunggal maupun
kombinasi dengan L. plantarum, meningkatkan penyusutan berat segar Hi-fer
selama ensilase. Hal tersebut tidak dipengaruhi oleh banyak atau sedikitnya level
cairan AF. Peran asam formiat dalam menekan proses fermentasi dirasa kurang
nampak ketika dalam menekan penyusutan berat segar. Hal ini dimungkinkan
terkait dosis pemberian asam formiat yang belum optimal ketika diberikan pada
hijauan dengan BK rendah. Penggunaan asam formiat sebanyak 1.5 liter per ton
dikategorikan dalam dosis yang rendah. Dosis asam formiat yang umum digunakan
di UK sebanyak 2 liter per ton (McDonald et al. 1991).
Nilai fleigh merupakan salah satu parameter dalam mengukur karakteristik
fermentasi silase. Secara statistik ketiga faktor berinteraksi nyata (P<0.01) dan
diperlihatkan pada tabel 7 berikut. Pengelompokan kualitas berdasarkan nilai fleigh
adalah 80-100 yaitu menyatakan silase berkualitas baik sekali, 60-80 berkualitas
baik, 40-60 berkualitas cukup baik, 20-40 berkualitas sedang dan <20 berkualitas
kurang baik (Idikut et al. 2009).

Tabel 7 Nilai Fleigh Hi-fer

Inokulasi Asam Level Cairan AF


Rataan
L.plantarum formiat 5% 7.5% 10%
0 111.26±6.58abc 103.43±9.64ab 120.23±1.73bcd 111.64 ± 9.37
-
0.15% 91.01±6.83a 122.53±2.90bcd 103.49±14.74ab 105.68 ± 16.03
0 118.47±5.05bcd 134.99±3.90d 138.19±3.90d 130.55 ± 10.02
+
0.15% 108.95±16.99abc 122.29±4.46bcd 128.80±6.18cd 120.01 ± 12.79
Rataan 107.42 ± 13.59 120.81 ± 12.78 122.68 ± 15.14 116.97 ± 15.13
Keterangan: AF = Aditif fermentasi; angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan
ada perbedaan nyata (P<0.01)

Nilai fleigh Hi-fer baik perlakuan kontrol maupun dengan penambahan


aditif menunjukkan keseluruhan Hi-fer termasuk dalam penggolongan silase yang
berkualitas baik sekali. Penambahan L. plantarum menghasilkan nilai fleigh
tertinggi karena rendahnya pH dan bahan kering akhir Hi-fer yang cukup tinggi.
20

Keseluruhan perlakuan Hi-fer berdasarkan penilaian parameter fisik dan


fermentatif, menunjukkan kualitas hasil yang baik. Adapun penggunaan cairan AF
memberikan pengaruh yang terkait erat dengan perlakuan penambahan
aditif/inokulan. Secara umum, pemberian cairan AF 7.5% mampu menghasilkan
Hi-fer yang berkualitas, baik dari kualitas fisik dan fermentative, yaitu BK dan
N-NH3. Sehingga keseluruhan perlakuan dengan level pemberian cairan AF 7.5%
dipilih untuk dilakukan pengujian lebih lanjut pada tahap kedua.

Karakteristik Nutritif - Mikrobiologis Hi-fer


Pada percobaan kedua pengujian lebih lanjut dilakukan dengan parameter
nutritif-mikrobiologis. Hasil analisa nutritif Hi-fer ditampilkan pada tabel 8
berikut. Perlakuan memperlihatkan pengaruh yang bervariasi pada masing-masing
nutrient.

Tabel 8 Kandungan nutrient Hi-fer setelah ensilase 21 hari (100% BK)

Komposisi Hi-fer
P0 P1 P2 P3
Abu 12.08 10.71 11.52 10.96
Protein Kasar 9.36 9.14 10.14 9.70
Serat Kasar 32.6 35.25 30.80 36.00
Lemak Kasar 2.31 2.42 3.41 4.40
BETN 43.66 42.48 44.13 38.94
TDN* 50.99 49.01 53.67 50.55
Selulosa 56.81 47.52 45.37 47.01
Hemiselulosa 10.22 17.26 19.26 14.14
Neutral Detergent Fiber 69.18 72.59 76.15 71.92
Acid Detergent Fiber 62.03 59.84 62.19 59.80
Lignin 12.86 7.90 12.44 12.07
Keterangan : P0= Hi-fer kontrol, P1 = P0 +asam formiat, P2 = P0 + L. plantarum, P3 =
P0 + asam formiat + L. plantarum; *Perhitungan rumus Sutardi (2001):TDN = 2.79 + 1.17
PK + 1.74 LK – 0.295 SK + 0.810 BETN.

Perlakuan penambahan L. plantarum menunjukkan nilai yang lebih besar


pada kandungan protein kasar, lemak kasar, BETN dan TDN Hi-fer. L. plantarum
mampu meningkatkan proses fermentasi selama ensilase. Peningkatan ini terbukti
melalui penurunan proteolysis, sehingga menghasilkan protein terlarut yang tersisa
lebih banyak dan menurunkan pembentukan ammonia pada silase yang diinokulasi
(Lee et al. 2008). Sedangkan pada penambahan asam formiat terjadi penurunan
kandungan protein dibandingkan kontrol dan perlakuan lainnya. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Winters et al. (2001). Rendahnya kadar N ini disebabkan
karena kandungan asam formiat, sehingga menurunkan pH secara cepat dan
selanjutnya mengganggu jaringan sel. Banyak protein sel tanaman yang bekerja
pada pH antara 7-8 terlarut dalam jaringan tanaman, dan terdenaturasi pada pH yang
lebih rendah sehingga menjadi tak larut. Penurunan kadar serat kasar pada
perlakuan L. plantarum dapat disebabkan karena tiga faktor, yaitu enzim yang
21

secara alami berasal dari tanaman awal, bakteri pencerna serat (selulolitik) dan
hidrolisis oleh asam organik selama fermentasi (McDonald et al. 1991).
Kombinasi L. plantarum dan asam formiat berdampak pada kandungan
serat kasar dan lemak kasar yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Pada
analisa serat, kandungan hemiselulosa dan NDF perlakuan penambahan aditif lebih
tinggi dibandingkan perlakuan kontrol. Pada perlakuan kontrol menunjukkan lebih
banyaknya perombakan komponen serat terutama hemiselulosa yang terjadi selama
proses fermentasi dibandingkan dengan perlakuan penambaan aditif. Sebaliknya
dengan penambahan L. plantarum maupun asam formiat tidak banyak merombak
hemiselulosa yang terdapat dalam hijauan. Hal ini mencerminakan bahwa aktifitas
perombakan nutrient terutama hemiselulosa dan NDF selama proses fermentasi
dapat ditekan oleh penambahan kedua aditif tersebut. Perombakan nutrient terjadi
akibat aktifitas enzim yang terdapat secara alami pada tanaman dan mendegradasi
dinding sel selama ensilase berlangsung. Selanjutnya karbohidrat yang telah
tersedia digunakan sebagai substrat bagi mikroorganisme (McDonald et al. 1991).
Kedua aditif terlihat lebih berpengaruh dalam menurunkan fraksi serat lainnya yaitu
selulosa dan lignin dibandingkan dengan perlakuan kontrol.
Karakteristik mikrobiologis diukur melalui jumlah populasi BAL dalam Hi-
fer dan asam laktat yang dihasilkan. Populasi BAL dan asam laktat pada Hi-fer
terpilih ditampilkan pada gambar 3 berikut.

Populasi BAL dan Asam Laktat

20

15.02a
15
11.84ab

10
7.027 6.684 7.299
5.996
5 3.92b
2.64b

0
P0 P1 P2 P3
Perlakuan
BAL (log CFU/g) Asam laktat (g/kg BK)

Gambar 3 Diagram populasi BAL dan asam laktat Hi-fer.


Keterangan : P0= Hi-fer kontrol, P1 = P0 +asam formiat, P2 =
P0 + L. plantarum, P3 = P0 + asam formiat + L. plantarum

Secara statistik populasi BAL tidak berbeda antar perlakuan, namun asam
laktat yang dihasilkan berbeda nyata (P<0.05). Populasi BAL menunjukkan bahwa
penambahan L.plantarum tidak memberikan pengaruh terhadap populasi BAL
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada perlakuan kontrol menghasilkan
produksi asam laktat tertinggi diikuti oleh perlakuan L. plantarum dan terendah
adalah asam formiat dan kombinasinya dengan L. plantarum. Selama 21 hari
ensilase, BAL telah berkembang dengan baik pada keseluruhan Hi-fer, yaitu
sebanyak 5.996-7.299 log cfu g-1 (105-107 cfu g-1).
22

Populasi BAL tertinggi pada perlakuan kontrol, yaitu merupakan BAL yang
secara alami terdapat pada rumput gajah. Populasi awal BAL pada rumput gajah
yang dilaporkan oleh Pereira et al. (2007) adalah 4.92 log cfu g-1 atau 3.6 x 105 cfu
g-1 menurut Yahaya et al. (2004). Pemberian L. plantarum sebanyak 0.0625 ml kg-
1
rumput dengan kepadatan populasi inokulum sebesar 1.6 x 109 cfu ml-1 (9.20 log
cfu ml-1) dimaksudkan untuk menjamin pertumbuhan BAL agar mencapai 105-106
cfu g-1 hijauan (Weinberg et al. 2003). Pertumbuhan BAL ditunjang oleh
ketersediaan karbohidrat terlarut air didalam Hi-fer yang banyak disediakan oleh
cairan AF. Meskipun populasi BAL tidak nyata berbeda, namun keseluruhan Hi-
fer telah memperlihatkan hasil yang optimal dari jumlah populasi BAL
didalamnya.
Penurunan populasi BAL pada perlakuan L. plantarum disebabkan karena
produksi asam yang dihasilkan L. plantarum lebih banyak, sehingga pada akhirnya
menekan perkembangan BAL tersebut sendiri. Sesuai pendapat Ratnakomala
(2006), bahwa penurunan populasi BAL terbesar pada L. plantarum 1A-2
dibandingkan dengan inokulum lainnya (1BL-2 dan kombinasinya), yaitu sebesar
4-5 digit pada rumput gajah. Hal ini disebabkan karena produksi asam dari
inokulum L. plantarum 1A-2 lebih banyak. Saarisalo et al. (2007) menunjukkan
hasil serupa, dimana jumlah BAL pada produk akhir silase lebih kecil dibandingkan
dengan silase yang diberi perlakuan pembatas fermentasi maupun silase kontrol.
Hal ini dimungkinan disebabkan karena rendahnya pH dan autolysis yang terjadi.
Meskipun penambahan L. plantarum tidak menunjukkan perbedaan nyata
pada populasi BAL, namun asam laktat yang dihasilkan cukup banyak. Asam laktat
merupakan produk utama hasil fermentasi karbohidrat, terutama oleh bakteri
homofermentatif. Sebagai BAL, L. plantarum mampu meningkatkan fermentasi
melalui produksi asam laktat dan sedikit sekali produksi asam lemah seperti asam
asetat (McDonald et al. 1991; Kung et al. 2003). Hi-fer dengan inokulasi L.
plantarum lebih efisien dalam proses fermentasi, dibuktikan pula oleh persentase
BK akhir perlakuan yang tinggi (tabel 4).
Asam formiat mampu membatasi proses fermentasi secara tidak langsung
melalui pembatasan aktifitas BAL dalam memproduksi asam laktat. Hal ini
dibuktikan dari rendahnya konsentrasi asam laktat yang dihasilkan (gambar 3).
Penambahan asam formiat menghasilkan asam laktat terendah, yaitu 2.64 g kg-1 BK.
Jumlah asam laktat ini tidak jauh berbeda dengan yang dihasilkan pada penelitian
Kozelov et al. (2008) dengan perlakuan asam formiat pada alfalfa yaitu 2.20 g kg-1
BK. Penurunan asam laktat juga ditunjukkan pada hasil penelitian Saarisalo et al.
(2006) dan Nowak et al. (2004) namun tidak berpengaruh pada asam butirat. Kung
et al. (2003) melaporkan asam formiat bekerja dengan menurunkan pH secara cepat
dan mengurangi fermentasi yang dibutuhkan hingga mencapai pH rendah yang
stabil.
Asam formiat tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap populasi BAL
dalam Hi-fer. Hal ini mengindikasikan bahwa asam formiat pada level 0.15%
hanya menghambat proses fermentasi asam laktat oleh BAL, namun tidak
mengganggu perkembangan BAL didalam Hi-fer. Meskipun beberapa penelitian
menyebutkan bahwa asam formiat memiliki kemampuan sebagai antibakteri pada
beberapa spesies bakteri termasuk BAL (Rowghani dan Zamiri 2009). Hasil
penelitian Lorenzo dan O’Kiely (2008) membuktikan bahwa asam formiat lebih
23

berpengaruh dalam menekan aktivitas Enterobacteria dan Clostridia dibandingkan


BAL.

Fermentabilitas dan Koefisien Cerna in vitro Hi-fer


Kedua jenis aditif memiliki kemampuan yang berbeda dalam
mempengaruhi proses fermentasi dalam Hi-fer. Penambahan asam formiat
membatasi fermentasi dengan menekan produksi asam laktat dengan pH akhir yang
lebih tinggi 0.51 poin dibandingkan perlakuan L. plantarum. Adapun L. plantarum
meningkatkan produksi asam laktat dan menghasilkan pH terendah diantara
perlakuan lainnya. Kemampuan suatu produk pakan dalam menunjang proses
fermentasi dalam rumen, diantaranya dicerminkan melalui produk fermentasi yang
dihasilkan (N-NH3 dan VFA). Fermentabilitas dan koefisien cerna Hi-fer in vitro
ditampilkan pada tabel 9 berikut.

Tabel 9 Fermentabilitas dan koefisien cerna in vitro Hi-fer

Perlakuan
Parameter SEM sig
P0 P1 P2 P3
KCBK (%) 56.09a 51.41b 55.37ab 51.15b 0.52 **
KCBO (%) 52.21ab 48.06b 52.65a 48.36ab 0.54 **
N-NH3 (mM) 4.37bc 4.05c 5.28ab 6.30a 0.21 *
VFA (mM) 134.09a 119.89b 123.86ab 115.76b 2.43 **
Asetat (mM %VFA) 65.33 57.86 58.50 55.24 1.15 ns
Propionat
43.25 39.81 40.46 38.99 0.84 ns
(mM %VFA)
Isobutirat
8.29 7.59 7.54 6.86 0.15 ns
(mM % VFA)
Butirat
11.29 11.33 11.43 10.61 0.27 ns
(mM % VFA)
Isovalerat
2.90a 2.57ab 2.85a 2.09b 0.08 *
(mM % VFA)
Valerat
0.67 0.73 0.79 0.80 0.05 ns
(mM % VFA)
Rasio Asetat-
1.51 1.45 1.45 1.42 0.01 ns
Propionat
Keterangan : P0= Hi-fer kontrol, P1 = P0 +asam formiat, P2 = P0 + L. plantarum, P3 =
P0 + asam formiat + L. plantarum; KCBK : Koefisien Cerna Bahan Kering;
KCBK : Koefisien Cerna Bahan Organik; VFA : Vollatile Fatty Acid; huruf
yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata * : p<0.05;
** : p<0.01

Secara statistik ammonia yang dihasilkan signifikan berbeda (P<0.01) antar


perlakuan. Baik asam formiat maupun L. plantarum mampu mengurangi
proteolysis dalam Hi-fer, namun keduanya memberikan respon yang berbeda
ketika di dalam rumen. Rataan konsentrasi N-NH3 yang dihasilkan adalah 4-6.3
mM. Nilai ini lebih kecil dari yang disarankan oleh McDonald et al. (2002), yaitu
6-21 mM, namun kisaran ini telah memenuhi konsentrasi yang ideal menurut
24

Boucher et al. (2007) yaitu 5-13 mg dL-1 atau 2.94-7.65 mM dalam mendukung
pertumbuhan bakteri rumen.
Perlakuan kombinasi formiat dan L. plantarum menghasilkan ammonia
tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya (6.30 mM). Meskipun dalam Hi-fer
baik penambahan formiat maupun L. plantarum mampu menekan perombakan
protein, namun keduanya menghasilkan pengaruh yang berbeda dalam cairan
rumen. Ketika dikombinasikan keduanya menghasilkan produksi ammonia terbesar
dibandingkan ketika penggunaan asam formiat secara tunggal. Hal tersebut
mencerminkan kombinasi asam formiat dan L. plantarum mampu menyediakan
lebih banyak protein yang mudah didegradasi menjadi ammonia selama fermentasi
dalam rumen. Meskipun secara statistik penggunaan L.plantarum dan asam formiat
tunggal tidak banyak berbeda dengan kontrol. Asam formiat sebagai pembatas
fermentasi belum terlihat menghambat degradasi protein didalam rumen, meskipun
secara numerik cenderung menurun dibandingkan perlakuan kontrol dan L.
plantarum.
Pembentukan sintesis protein mikroba tidak hanya membutuhkan NH3
sebagai sumber N, tetapi juga ketersediaan energi. Sintesis protein mikroba
membutuhkan keseimbangan ketersediaan baik sumber nitrogen maupun energi
(Pathak 2008). VFA merupakan produk hasil fermentasi karbohidrat oleh mikroba
didalam rumen. Total VFA signifikan (P<0.01) dipengaruhi oleh perlakuan yang
diperlihatkan pada tabel 9 diatas. Rataan total VFA perlakuan Hi-fer berkisar 115-
134 mM. Total VFA rumen tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol, diikuti
dengan L. plantarum dan terakhir asam formiat baik secara tunggal maupun
kombinasinya dengan L. plantarum. Penambahan asam formiat ataupun L.
plantarum tidak meningkatkan konsentrasi VFA rumen dibandingkan kontrol.
Meskipun demikian, kisaran VFA yang dihasilkan telah memenuhi kisaran VFA
normal menurut McDonald et al. (2002) yaitu 70-150 mM.
Asam formiat mengindikasikan adanya pembatasan proses fermentasi
melalui penekanan produksi asam laktat, penurunan N-NH3 baik dalam Hi-fer
maupun di rumen serta menurunkan konsentrasi VFA rumen. Hal ini diharapkan
mampu menghasilkan gula residu yang lebih banyak bagi induk semang (ternak).
Sesuai hasil penelitian Jaakola et al (1991) bahwa asam formiat berperan dalam
membatasi fermentasi, sehingga menghasilkan konsentrasi gula residu yang tinggi,
peningkatan sintesis protein mikroba rumen dan penurunan proporsi pada VFA
rumen dibandingkan silase tanpa perlakuan. Meskipun demikian pada hasil
produksi asam-asam VFA parsial menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata
(P>0.05) di dalam rumen. Hanya asam isovalerat yang menunjukkan signifikasi
secara statistic (P<0.05). Isovalerat tertinggi pada perlakuan tanpa penambahan
(kontrol) dan L. plantarum. Sedangkan perlakuan L. plantarum dikombinasikan
dengan asam formiat menghasilkan nilai terendah. L. plantarum mampu
meningkatkan populasi bakteri selulolitik sehingga meningkatkan asam isovalerat
yang dihasilkan. Hal ini dibuktikan melalui hasil penelitian Widyastuti (2008)
dengan menggunakan L.plantarum 1A2 pada silase dapat meningkatkan populasi
bakteri rumen dan bakteri selulolitik pada ternak sapi potong. Asam isovalerat
berperan dalam mempengaruhi kecernaan serat didalam rumen ternak, melalui
peningkatan populasi bakteri selulolitik (Liu et al. 2014). Rendahnya rasio asetat-
propionat dalam cairan rumen mengindikasikan bahwa Hi-fer sesuai diberikan
pada ruminansia untuk tujuan penggemukan (feedlot).
25

Koefisien cerna bahan kering dan bahan organik sejalan dan menunjukkan
perbedaan nyata antar perlakuan (P<0.01). Kecernaan terbaik ditunjukkan pada
perlakuan kontrol dan diikuti penambahan L. plantarum. L. plantarum
menghasilkan pengaruh yang hampir sama dengan Hi-fer kontrol dari segi
koefisien cerna bahan kering dan organiknya. Penambahan formiat maupun
kombinasinya cenderung menurunkan kecernaan in vitro Hi-fer dibandingkan
perlakuan kontrol. Kecernaan suatu bahan pakan berkaitan dengan kandungan
fraksi serat didalamnya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar serat yang mudah
didegradasi telah mengalami hidrolisis, dan menyisakan fraksi serat yang lebih sulit
didegradasi didalam rumen (Jaakola et al. 2006).

Percobaan 2. Penggunaan inokulan L. plantarum dan asam formiat terhadap


palatabilitas Hi-fer pada domba

Istilah palatabilitas biasanya digunakan untuk menggambarkan karakteristik


pakan yang memancing respon sensorik pada ternak, yang umumnya berupa rasa,
aroma, bentuk, suhu dan tekstur pakan (Baumont 1996). Palatabilitas dapat
dijadikan suatu ukuran dalam menentukan perilaku ternak dalam memilih pakan
yang disukai. Palatabilitas bahan kering Hi-fer pada domba diperlihatkan di tabel
10. Rata-rata jumlah konsumsi Hi-fer (BK) selama 4 jam pemberian adalah 82.65
g/ekor. Palatabilitas hijauan berkualitas nutrisi rendah seperti jerami padi adalah 33
g/ekor BB metabolis/hari. Hal ini menunjukkan bahwa palatabilitas Hi-fer
termasuk tinggi dan disukai ternak domba, karena selama 4 jam pemberian mampu
mengkonsumsi 34.96 g/ekor BB metabolis.

Tabel 10 Palatabilitas bahan kering Hi-fer pada domba selama 4 jam (g ekor-1)

Periode Domba
Rata-rata
(Hari) 1 2 3 4
1 101.23 95.11 112.80 45.96 88.78
2 46.50 91.78 71.92 88.33 74.63
3 62.96 102.75 59.45 95.37 80.13
4 80.25 88.70 103.51 75.83 87.07
Rata-rata 72.74 94.59 86.92 76.37 82.65

Secara statistik pada tabel 11 menunjukkan bahwa jenis perlakuan Hi-fer


berpengaruh terhadap nilai palatabilitas bahan kering Hi-fer. Adapun domba dan
hari pengamatan yang berbeda tidak mempengaruhi palatabilitas Hi-fer. Hal ini
memperlihatkan bahwa domba memberikan respon yang sama terhadap bernagai
jenis perlakuan Hi-fer yang diberikan meskipun pada periode yang berbeda.
Selama pemberian pakan juga dilakukan pengamatan terhadap tingkah laku domba.
Pada awal pemberian, domba mulai merespon dengan menggunakan indra
penciumannya. Domba mengendus Hi-fer yang diberikan dengan memasukkan
sebagian hidung kedalam tumpukan Hi-fer. Palatabilitas terkait dengan respon
sensoris pada ternak. Perilaku menyentuh pakan berperan penting dalam merespon
pakan pada ternak. Selain aroma, selanjutnya domba akan memilih pakan
berdasarkan karakteristik fisik pakan, yaitu struktur atau bagian tanaman.
26

Umumnya yang lebih dahulu dipilih adalah bagian daun yang berwarna hijau, muda
dan utuh. Selanjutnya batang muda, kemudian daun tua dan menyisakan bagian
terakhir berupa batang tua. Selang 30 menit-60 menit setelah makan, domba akan
istirahat dan berhenti makan sejenak. Selama 4 jam pengamatan, domba dapat
istirahat hingga 3 kali, dengan lama istirahat ±30 menit. Pada waktu istirahat domba
duduk dan melakukan regurgitasi.
Perlakuan penambahan formiat secara nyata (p<0.05) lebih palatable dan
disukai domba dibandingkan perlakuan Hi-fer kontrol ataupun inokulan L.
plantarum. Menurut Baumont et al. (2000) rendahnya palatabilitas suatu pakan
dapat disebabkan dari tingginya jumlah produk akhir fermentasi. Hal ini sejalan dan
terlihat dari tingginya produksi asam laktat hasil fermentasi pada perlakuan kontrol
dan L. plantarum dibandingkan perlakuan asam formiat (Gambar 2). Akumulasi
asam yang dihasilkan menyebabkan domba menolak makanan dan berpengaruh
pada rendahnya palatabilitas, karena domba termasuk ruminansia kecil yang
sensitif terhadap rasa asam. Menurut Goatcher dan Church (1970) ruminan kecil
sensitif terhadap empat rasa utama, yaitu manis, asin, pahit dan asam. Rendahnya
pH pada perlakuan L. plantarum juga sering dikaitkan dengan rendahnya konsumsi,
karena pH yang rendah di rumen akan menurunkan aktifitas bakteri selulolitik dan
menurunkan konsumsi pakan. Meskipun tidak ada hubungan langsung antara pH
Hi-fer dengan pH dalam rumen. Silase akan dinetralisasi oleh saliva ketika
dikonsumsi oleh ternak. Penurunan pH pada rumen biasanya berhubungan dengan
pemberian pakan berbasis biji-bijian, bukan berbasis hijauan seperti Hi-fer
(Adesoji et al. 2012).

Tabel 11 Palatabilitas segar dan bahan kering Hi-fer perlakuan selama 4 jam

Bahan kering
Hi-fer Bahan segar (g ekor-1)
g ekor-1 g kg-1 BB0.75
P0 293.25 67.38 28.50b
P1 391 98.96 41.85a
P2 262 69.22 29.28b
P3 370.75 95.05 40.20a
Total 1322.46 330.61 139.83
Rataan 330.61 82.65 34.96
Keterangan : P0= Hi-fer kontrol, P1 = P0 +asam formiat, P2 = P0 + L. plantarum, P3 =
P0 + asam formiat + L. plantarum; huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata p<0.05.

Selain asam yang berasal dari akumulasi produksi asam laktat, kandungan
N-NH3 Hi-fer perlakuan kontrol dan inokulan L. plantarum cenderung lebih
tinggi dibandingkan perlakuan formiat. Sinyal yang dikirim oleh chemoreceptor di
dinding rumen dan atau di hati yang membuat ternak dapat menghindar dari
kelebihan dan kelainan nutrisi (Baumont et al. 2000), sehingga berpengaruh
terhadap palatabilitas pakan. Kedua hal tersebut yang dirasa cukup berperan
menyebabkan lebih rendahnya palatabilitas pada Hi-fer kontrol dan inokulan L.
plantarum. Sejalan dengan hasil penelitian ini, Adesoji et al. (2012) pun
menunjukkan nilai coefficient of preference (COP) pada ternak domba yang diberi
silase yang diinokulasi L. plantarum lebih rendah dibandingkan silase yang tidak
27

diinokulasi. Namun nilai palatabilitas tidak dapat menggambarkan konsumsi suatu


jenis pakan secara keseluruhan, dan tidak selalu bermakna silase yang diberikan
memiliki kualitas yang buruk/rendah. Mengingat pemberian pakan hanya dilakukan
selama 4 jam dan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor sensori ternak. Palatabilitas
dilakukan untuk menguji tingkat kesukaan ternak terhadap suatu pakan dalam
jangka waktu singkat, sehingga tanpa unsur pemaksaan.
28

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

 Level AF terbaik diperoleh pada level 7.5% berdasarkan kualitas fermentasi


Hi-fer.
 Penambahan L.plantarum maupun asam formiat dapat menekan penggunaan
AF dan berkontribusi dalam meningkatkan kualitas nutrisi Hi-fer melalui
keunggulannya masing-masing.
 Penambahan asam formiat mampu menekan fermentasi melalui
kecenderungan penurunan produksi amonia baik didalam Hi-fer maupun
dalam rumen, penurunan produksi asam laktat dan total asam volatile dalam
rumen.
 Penambahan L. plantarum dapat meningkatkan kualitas nutrisi Hi-fer melalui
peningkatan karakteristik fermentasi seperti penurunan pH, tingginya bahan
kering produk akhir dan rendahnya ammonia.
 Perlakuan Hi-fer terbaik yang dipilih adalah dengan penambahan asam
formiat karena mampu meningkatkan kualitas nutrisi Hi-fer dan palatabilitas
Hi-fer pada ternak domba.

Saran

Perlu adanya analisa lebih lanjut mengenai asam-asam volatile yang dihasilkan
selama proses fermentasi untuk mengetahui karakteristik fermentasi Hi-fer baik
dari bakteri yang secara alami terdapat dalam hijauan maupun dari bakteri asam
laktat yang ditambahkan.
29

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC]. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC International. 18th ed.


Assoc. of Anal. Chem, Arlington.
Abarghoei M, Rouzbehan Y, Alipour D. 2011. Nutritive value and silage
characteristics of whole and partly stoned olive cakes treated with molasses.
J Agr Sci Tech. 13:709-716.
Adesogan AT. 2006. Factors affecting corn silage quality in hot, humid climates.
Proc of 17th annual Floroda ruminant nutrition. Symposium, Gainesville,
Florida. Jan 2007: 108-119.
Adesoji AT, Ogunjobi AA, Babayemi OJ, Omotosho S. 2012. Physicochemical
screening of Lactobacillus plantarum and its effects on fermentation of
Panicum maximum grass for silage production. World J. of Agric Sci.
8(6):547-559.
Aksu T, Baytok E, Karsh MA, Muruz H. 2006. Effect of formic acid, molasses and
inoculant additives on cirn silage composition, organic matter digestibility
and microbial protein synthesis in sheep. Small Rum. Rec. 61:29-33.
Baker SB, Summerson WH. 1941. The colorimetric determination of lactic acid in
biological material. J. Biol. Chem. 138:535-554.
Baumont R. 1996. Palatability and feeding behavior in ruminants. A review. Ann
Zootech. 45: 385-400.
Baumont R, Prache S, Meuret M, Morand-Fehr P. 2000. How forage characteristics
influence behavior and intake in small ruminant: a review. Livestock Prod
Sci. 64: 15-28.
Baytok E, Aksu T. 2005. The effect of formic acid, molasses and inoculant as silage
additives on corn silage composition and ruminal fermentation caracteristics
in sheep. Turk J Vet Anim Sci. 29 : 469-474.
Boucher SE, Ordway RS, Whitehouse NL, Lundry FP, Kononoff PJ, Schwab CG.
2007. Effect of incremental urea supplementation of a conventional corn
silage-based diet on ruminal ammonia concentration and synthesis of
microbial protein. J. Dairy Sci. 90:5619-5633.
Ennahar S, Cai Y, Fujita Y. 2003. Phylogenetic diversity of lactic acid bacteria
associated with paddy rice silage as determined by 16S ribosomal DNA
analysis. Applied and Env Micr. 69(1):444-451.
Fardiaz S. 1992. Petunjuk Laboratorium Mikrobiologi Pengolahan Pangan. Bogor:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Ferreira G, Merten DR. 2005. Chemical and physical characteristics of corn silages
and their effects on in vitro disappearance. J. Dairy Sci. 88:4414-4425.
Filya I. 2003. The effect of Lactobacillus buchneri and Lactobacillus plantarum on
the fermentation, aerobic stability, and ruminal degradability of low dry
matter corm and sorghum silages. J. Dairy Sci. 86:3565-3581.
Filya I, Sucu E. 2007. The effect of bacterial inoculants and a chemical preservation
on the fermentation and aerobic stability of whole-crop cereal silage. Asian-
Aust. J. Anim. Sci. 20(3):378-384.
General Laboratory Procedures. 1966. Department of Dairy Science. University of
Wisconsin, Madison.
30

Goatcher WD, Church DC. 1970. Taste responses in ruminants. 1. Reactions of


sheep to sugars, saccharin, ethanol and salts. J. Anim Sci. 30:777-783.
Hernaman I, Hidayat R, Mansyur. 2005. Pengaruh penggunaan molasses dalam
pembuatan silase campuran ampas tahu dan pucuk tebu kering terhadap
nilai pH dan komposisi zat-zat makanannya. J. Ilmu Ternak. 5(2): 94-99.
Idikut L, Arikan BA, Kaplan M, Guven I, Atalay AI, Kamalak A. 2009. Potential
nutritive value of sweet corn as a silage crop with or without corn ear. J of
Anim and Vet Adv. 8(4):734-741.
Jaakkola S, Huhtanen P, Hissa K. 1991. The effect of cell wall degrading enzymes
or formic acid on fermentation quality and on digestion of grass silage by
cattle. Grass and Forage Sci. 46:75-87.
Jaakkola S, Kauisto V, Huhtanen P. 2006. Volatile fatty acid proportions and
microbial protein synthesis in the rumen of cattle receiving grass silage
ensiled with different rates of formic acid. Grass and Forage Sci. 61:282-
292.
Kilic A. 1986. Silo Feed. Izmir (TR): Bilgehan Publ.
Kozelov LK, Iliev F, Hristov A, Zaman S, McAllister TA. 2008. Effect of fibrolytic
enzymes and an inoculant on in vitro degradability and gas production of
low-dry matter alfalfa silage. J of the Sci of Food and Agric. 88: 2568-2575.
Kung L, Taylor Jr CC, Lynch MP, Neylon JM. 2003. The effect of treating alfalfa
with Lactobacillus buchneri 40788 on silage fermentation, aerobic stability,
and nutritive value for lactating dairy cows. J. Dairy Sci. 86:336-343.
Lee MRF, Scott MB, Tweed JKS, Minchin FR, Davies DR. 2008. Effects of
polyphenol oxidase on lipolysis and proteolysis of red clover silage with
and without a silage inoculants (Lactobacillus plantarum L54). J Anim Feed
Sci and Tech. 144:125-136.
Liu Q, Wang C, Pei CX, Li HY, Wang YX, Zhang SL, Zhang YL, He JP, Wang H,
Yang WZ et al. 2014. Effect of isovalerate supplementation on microbial
status and rumen enzyme profile in steers fed on corn stover based diet.
Livestock Sci. 60-68.
Lorenzo BF, O’Kiely P. 2008. Alternatives to formic acid as a grass silage additive
under two contrasting ensilability conditions. Irish J. of Agric and Food
Resc. 47:135-149.
Luckstadt C. 2009. Acidifiers in Animal Nutrition: A Guide for Feed and
Acidification to Promote Animal Performance. Nottingham Univ. Press, UK.
McDonald P, Henderson AR, Heron SJE. 1991. The Biochemistry of Silage. Second
Edition. Chalcombe Publications, Marlow, UK.
McDonald P, Edward RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition.
6th Edition. New York (US) : Scientific and Tech John Willey & Sons. Inc.
Nowak W, Potkanski A, Wylegala S. 2004. The effect of additives on quality and
nutrient degradability and digestibility of round bale silage. South Afric J of
Anim Sci. 34(2):124-129.
Pathak, A. K. 2008. Various factors affecting microbial protein synthesis in the
rumen. Vet. World. 1(6):186-189.
Ratnakomala S, Ridwan R, Kartika G, Widyastuti Y. 2006. Pengaruh inokulum
Lactobacillus plantarum 1A-2 dan 1BL-2 terhadap kualitas silase rumput
gajah (Pennisetum purpureum). Biodiversitas. 7(2):131-134.
31

Rogosic J, Pfister JA, Provenza FD, Grbesa D. 2006. Sheep and goat preference for
and nutritional value of Mediterranean maquis shrubs. Small Rum Res.
64:169-179.
Rowghani E, Zamiri MJ. 2009. The effects of a microbial inoculants and formic
acid as silage additives on chemical composition, ruminal degradability and
nutrient digestibility of corn silage in sheep. Iranian J. of Vet Resc, Shiraz
Univ. 10(2):110-118.
Saarisalo E, Jalava T, Skyttӓ E, Haikara A, Jaakola S. 2006. Effect of lactid acid
bacteria inoculant, formic acid, potassium sorbate and sodium benzoate on
fermentation quality and aerobic stability of wilted grass silage. Agric and
Food Sci. 15: 185-199.
Saarisalo E, Skyttӓ E, Haikara A, Jalava T, Jaakkola S. 2007. Screening and
selection of lactic acid bacetria strains suitable for ensiling grass. J. of Appl.
Micr. 102:327-336.
Santoso B, Hariadi B Tj, Manik H, Abubakar H. 2009. Kualitas rumput unggul
tropika hasil ensilase dengan bakteri asam laktat dari ekstrak rumput
terfermentasi. Med Pet. 137-144.
Santoso B, Hariadi B Tj, Manik H, Abubakar H. 2011. Silage quality of king grass
(Pennisetum purpureoidhes) treated with epiphytic lactic acid bacteria and
tannin of acacia. Med Pet. 140-145.
Santoso B, Hariadi B Tj, Sabariah V, Sraun T. 2014. Fermentation quality and in
vitro nutrient digestibility of fresh rice straw-based silage treated with lactic
acid bacteria. Medi Pet. 37(2):115-120.
Sariri AK, Soegiarti A, Sugiyanto. 2011. Peningkatan nutrient silase Pennisetum
purpureum dengan penambahan berbagai konsentrasi asam formiat.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Univ Veteran Bangun Nusantara, tema: Sistem penjaminan mutu penelitian
di perguruan tinggi. Sukoharjo, 07 Desember 2011.
Saun RJV, Heinrich AJ. 2008. Trouble Shooting Silage Problem. Di dalam:
Proceedings of the Mid-Atlantic Conference; 2009 May 26, Pensylvania,
United States of America. Pensylvania (US): Pen State’s College. hlm 2-10.
Suryahadi, Muladno, Mulatsih S, Hidayat R. 2009. Langkah strategis percepatan
peningkatan populasi ternak sapi. Seminar Nasional Percepatan
Peningkatan Populasi Ternak Sapi di Indonesia. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Institut Pertanian Bogor. Bogor, 19 Oktober 2009
Suryahadi. 2014. Penguatan Penyediaan Pakan Ternak Melalui Aplikasi Teknologi
Hi-fer. Pusat Studi Hewan Tropika LPPM IPB. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian LPPM IPB. ICC Bogor, 01 Desember 2014.
Tilley JMA, Terry RA. 1963. A two-stage technique for the in vitro digestion of
forage crops. J. British Grasslan Soc. 18:104-111.
Van Soest PJ, Robertson JB, Lewis BA. 1991. Methods for dietary fiber, neutral
detergent fiber, and nonstarch polysaccharides in relation to animal nutrition.
J. Dairy Sci. 74:3583-3597.
Weinberg ZG, Muck RE, Weimer PJ. 2003. The survival of silage inoculant lavctic
acid bacteria in rumen fluid. J. of App Micr. 94:1066-1071.
Widyastuti Y. 2008. Fermentasi silase dan manfaat probiotik silase bagi ruminansia.
Med Pet. 31(3):225-232.
32

Winters AL, Fychan R, Jones R. 2001. Effect of formic acid and a bacterial
inoculants on the amino acid composition of grass silage and on animal
performance. Grass and Forage Sci. 56:181-192.
Yahaya MS, Goto M, Yimitti W, Smerjal B, Kawamoto Y. 2004. Evaluation of
fermentation quality of a tropical and temperate forage crops ensiled qith
additives of fermented juice of Epiphytic Lactic Acid Bacteria (FJLB).
Asian-Aust. J. Anim. Sci. 17(7):942-946.
33

LAMPIRAN

Hasil pengolahan data menggunakan SPSS 16.0

Lampiran 1 Hasil analisa dan uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap pH
Hi-fer

Sumber Jumlah Derajat Kuadrat Fhit Signifikasi


Keragaman Kuadrat Bebas Tengah
Model koreksi 2.918a 11 0.265 5.985 0.000
Intersep 427.042 1 427.042 9634.342 0.000
formiat 0.407 1 0.407 9.193 0.006
LP 0.819 1 0.819 18.478 0.000
Level AF 0.984 2 0.492 11.102 0.000
formiat * LP 0.013 1 0.013 0.298 0.590
formiat * level 0.310 2 0.155 3.493 0.047
AF
LP * level AF 0.037 2 0.019 0.418 0.663
formiat * LP * 0.347 2 0.174 3.920 0.034
level AF
Galat 1.064 24 0.044
Total 431.024 36
Total koreksi 3.982 35
Ket: LP = Lactobacillus plantarum, AF = Aditif Fermentasi

Uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap pH Hi-fer (P<0.01)

Perlakuan N Superskrip
d c b A
10 * LP 3 3.0167
7 * LP 3 3.0833 3.0833
10 * formiat * LP 3 3.1967 3.1967 3.1967
10* tanpa formiat * tanpa 3 3.2633 3.2633 3.2633
LP
7 * formiat 3 3.3167 3.3167 3.3167
7 * formiat * LP 3 3.3467 3.3467 3.3467
5 * LP 3 3.4033 3.4033 3.4033
5 * tanpa formiat * tanpa 3 3.5833 3.5833 3.5833
LP
7 * tanpa formiat * tanpa 3 3.6767 3.6767
LP
5 * formiat * LP 3 3.7133 3.7133
10 * formiat 3 3.7267 3.7267
5 * formiat 3 4.0033
34

Lampiran 2 Hasil analisa dan uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap bahan
kering (BK) Hi-fer

Sumber Jumlah Derajat Kuadrat Fhit Signifikasi


Keragaman Kuadrat Bebas Tengah
Model koreksi 71.013 11 6.456 3.813 0.003
Intersep 22263.624 1 22263.624 13148.457 0.000
formiat 46.694 1 46.694 27.577 0.000
LP 0.157 1 0.157 0.93 0.763
Level AF 0.514 2 0.257 0.152 0.860
formiat * LP 1.269 1 1.269 0.750 0.395
formiat * level 3.219 2 1.609 0.950 0.401
AF
LP * level AF 1.141 2 0.570 0.337 0.717
formiat * LP * 18.019 2 9.010 5.321 0.012
level AF
Galat 40.638 24 1.693
Total 22375.275 36
Total koreksi 111.651 35

Uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap BK Hi-fer (P<0.05)

Perlakuan N Superskrip
c b a
7 * tanpa formiat * tanpa LP 3 22.7467
10* tanpa formiat * tanpa LP 3 22.8833
5 * LP 3 23.0733
10 * LP 3 23.7800 23.7800 23.7800
5 * tanpa formiat * tanpa LP 3 24.7967 24.7967 24.7967
5 * formiat 3 24.8033 24.8033 24.8033
7 * LP 3 25.0967 25.0967 25.0967
7 * formiat * LP 3 25.5800 25.5800
10 * formiat * LP 3 25.8333 25.8333
5 * formiat * LP 3 26.2433 26.2433
7 * formiat 3 26.6600
10 * formiat 3 26.9233

Lampiran 3 Hasil analisa dan uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap
konsentrasi N-NH3 Hi-fer

Sumber Jumlah Derajat Kuadrat Fhit Signifikasi


Keragaman Kuadrat Bebas Tengah
Model koreksi 39.940a 11 3.631 6.159 0.000
Intersep 440.580 1 440.580 747.300 0.000
formiat 10.894 1 10.894 18.479 0.000
35

LP 0.120 1 0.120 0.203 0.656


Level AF 3.396 2 1.698 2.880 0.076
formiat * LP 5.983 1 5.983 10.148 0.004
formiat * level AF 0.889 2 0.444 0.754 0.481
LP * level AF 6.065 2 3.033 5.144 0.014
formiat * LP * 12.593 2 6.297 10.680 0.000
level AF
Galat 14.150 24 0.590
Total 494.670 36
Total koreksi 54.090 35

Uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap N-NH3 Hi-fer (P<0.01)

Superskrip
Perlakuan N
a b c d
7 * formiat 3 1.3757
7 * LP 3 1.7373 1.7373
10 * formiat 3 1.9377 1.9377 1.9377
10 * formiat * LP 3 1.9920 1.9920 1.9920
5 * formiat * LP 3 2.1250 2.1250 2.1250
10 * tanpa formiat * tanpa LP 3 2.1460 2.1460 2.1460
5 * formiat 3 2.5747 2.5747 2.5747
10 * LP 3 2.6377 2.6377 2.6377
5 * LP 3 2.6503 2.6503 2.6503
7 * formiat * LP 3 2.7997 2.7997
5 * tanpa formiat * tanpa LP 3 3.1743
7 * tanpa formiat * tanpa LP 3 4.5143

Lampiran 4 Hasil analisa dan uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap
penyusutan berat segar (%) Hi-fer

Sumber Jumlah Derajat Kuadrat


Fhit Signifikasi
Keragaman Kuadrat Bebas Tengah
Model koreksi 76.578a 11 6.962 2.731 0.019
Intersep 648.568 1 648.568 254.413 0.000
formiat 16.547 1 16.547 6.491 0.018
LP 14.102 1 14.102 5.532 0.027
Level AF 13.654 2 6.827 2.678 0.089
formiat * LP 0.834 1 0.834 0.327 0.573
formiat * level AF 4.473 2 2.236 0.877 0.429
LP * level AF 6.849 2 3.425 1.343 0.280
formiat * LP *
20.119 2 10.059 3.946 0.033
level AF
Galat 61.182 24 2.549
36

Total 786.328 36
Total koreksi 137.760 35

Uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap penyusutan berat segar (%) Hi-
fer

Perlakuan N Superskrip
a b c d
10 * LP 3 2.1500
5 * tanpa formiat * tanpa LP 3 2.1818 2.1818
5 * formiat * LP 3 2.6426 2.6426
7 * LP 3 3.0727 3.0727 3.0727
7 * formiat * LP 3 3.7125 3.7125 3.7125 3.7125
5 * LP 3 4.0558 4.0558 4.0558 4.0558
7 * tanpa formiat * tanpa LP 3 4.6757 4.6757 4.6757 4.6757
5 * formiat 3 4.7081 4.7081 4.7081 4.7081
10 * tanpa formiat * tanpa LP 3 5.2632 5.2632 5.2632
10 * formiat 3 5.8782 5.8782
10 * formiat * LP 3 6.0781 6.0781
7 * formiat 3 6.5153

Lampiran 5 Hasil analisa dan uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap nilai
fleigh Hi-fer

Sumber Jumlah Derajat Kuadrat


Fhit Signifikasi
Keragaman Kuadrat Bebas Tengah
Model koreksi 5886.864a 11 535.169 6.423 0.000
Intersep 166197.954 1 166197.954 1994.578 0.000
formiat 359.513 1 359.513 4.315 0.049
LP 1829.686 1 1829.686 21.958 0.000
Level AF 1382.378 2 691.189 8.295 0.002
formiat * LP 125.915 1 125.915 1.511 0.231
formiat * level
997.859 2 498.930 5.988 0.008
AF
LP * level AF 115.372 2 57.686 0.692 0.510
formiat * LP *
1076.140 2 538.070 6.457 0.006
level AF
37

Galat 1999.797 24 83.325


Total 174084.615 36
Total koreksi 7886.661 35

Uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap nilai fleigh Hi-fer

Superskrip
Perlakuan N
d c b a
5 * formiat 3 91.0154
7 * tanpa formiat * tanpa LP 3 103.4282 103.4282
10 * formiat 3 103.4970 103.4970
5 * formiat * LP 3 108.9502 108.9502 108.9502
5 * tanpa formiat * tanpa LP 3 111.2627 111.2627 111.2627
5 * LP 3 118.4703 118.4703 118.4703
10 * tanpa formiat * tanpa LP 3 120.2298 120.2298 120.2298
7 * formiat * LP 3 122.2917 122.2917 122.2917
7 * formiat 3 122.5269 122.5269 122.5269
10 * formiat * LP 3 128.8022 128.8022
7 * LP 3 134.9926
10 * LP 3 138.1860

Lampiran 6 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
konsentrasi asam laktat Hi-fer

Sumber Derajat Kuadrat


Jumlah Kuadrat Fhit Signifikasi
Keragaman Bebas Tengah
Model koreksi 374.827a 5 74.965 3.120 0.099
Intersep 837.368 1 837.368 34.854 0.001
Perlakuan 327.026 3 109.009 4.537 0.055
Ulangan 47.800 2 23.900 .995 0.424
Galat 144.150 6 24.025
Total 1356.344 12
Total koreksi 518.976 11
38

Uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi asam laktat Hi-fer
(P<0.05)

Superskrip
Perlakuan N
1 2
P1 3 2.6365
P3 3 3.9163
P3 3 11.8365 11.8365
P0 3 15.0247
Ket: P0 = Hi-fer tanpa penambahan (kontrol); P1 = P0 + asam formiat; P1 = P0 + L.plantarum;
P3 = P0 + Asam formiat + L.plantarum.

Lampiran 7 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap populasi BAL Hi-fer

Sumber Jumlah Kuadrat Derajat Kuadrat Fhit Signifikasi


keragaman Bebas Tengah
a
Model koreksi 4.753 5 0.951 2.956 0.110
Intersep 546.899 1 546.899 1700.573 0.000
Perlakuan 2.853 3 0.951 2.957 0.120
Ulangan 1.900 2 0.950 2.954 0.128
Galat 1.930 6 0.322
Total 553.581 12
Total koreksi 6.682 11

Lampiran 8 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
konsentrasi N-NH3 rumen in vitro

Sumber Jumlah Kuadrat Derajat Kuadrat Fhit Signifikasi


Keragaman Bebas Tengah
Model koreksi 37.335 a 5 7.467 11.324 0.000
Intersep 899.874 1 1364.652 1364.652 0.000
Perlakuan 27.417 3 9.139 13.859 0.000
Kelompok 9.919 2 4.959 7.521 0.002
Galat 19.782 30 0.659
Total 956.992 36
Total koreksi 57.118 35

Uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi N-NH3 rumen in vitro
(P<0.01)
39

Superskrip
Perlakuan N
c b a
P2 9 4.0524
P3 9 4.3735 4.3735
P2 9 5.2769 5.2769
P0 9 6.2958

Lampiran 9 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
konsentrasi VFA rumen in vitro

Sumber Derajat Kuadrat


Jumlah Kuadrat Fhit Signifikasi
Keragaman Bebas Tengah
Model koreksi 2464.352a 5 492.870 2.968 0.027
Intersep 548196.948 1 548196.948 3300.726 0.000
Perlakuan 1666.119 3 555.373 3.344 0.032
Kelompok 798.233 2 399.117 2.403 0.108
Galat 4982.513 30 166.084
Total 555643.814 36
Total koreksi 7446.866 35

Uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi VFA rumen in vitro
(P<0.05)

Superskrip
Perlakuan N
b a
P3 9 115.7574
P1 9 119.8947
P2 9 123.8630 123.8630
P0 9 134.0871

Lampiran 10 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
koefisien cerna bahan kering (KCBK) rumen in vitro

Sumber Derajat Kuadrat


Jumlah Kuadrat Fhit Signifikasi
Keragaman Bebas Tengah
Model koreksi 199.166a 5 39.833 3.923 0.007
Intersep 103065.109 1 103065.109 10151.442 0.000
Perlakuan 180.668 3 60.223 5.932 0.003
Kelompok 18.498 2 9.249 .911 0.413
Galat 304.583 30 10.153
Total 103568.858 36
Total koreksi 503.749 35
40

Uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap koefisien cerna bahan kering
(KCBK) rumen in vitro (P<0.01)

Superskrip
Perlakuan N
b a
P3 9 51.1541
P1 9 51.4099
P2 9 55.3749 55.3749
P0 9 56.0860

Lampiran 11 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
koefisien cerna bahan organik (KCBO) rumen in vitro

Sumber Derajat Kuadrat


Jumlah Kuadrat Fhit Signifikasi
Keragaman Bebas Tengah
Model koreksi 184.892a 5 36.978 3.563 .012
Intersep 91165.047 1 91165.047 8783.916 .000
Perlakuan 161.256 3 53.752 5.179 .005
Kelompok 23.636 2 11.818 1.139 .334
Galat 311.359 30 10.379
Total 91661.298 36
Total koreksi 496.251 35

Uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap koefisien cerna bahan organik
(KCBO) rumen in vitro (P<0.01)

Superskrip
Perlakuan N
1 2
P1 9 48.0640
P3 9 48.3649 48.3649
P0 9 52.2130 52.2130
P2 9 52.6485

Lampiran 12 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi asetat


41

Sumber Derajat Kuadrat


Jumlah Kuadrat Fhit Signifikasi
Keragaman Bebas Tengah
Model koreksi 2.614a 5 0.523 0.790 0.593
Intersep 3136.010 1 3136.010 4739.164 0.000
Perlakuan 0.325 3 0.108 0.164 0.917
Kelompok 2.289 2 1.144 1.729 0.255
Galat 3.970 6 0.662
Total 3142.595 12
Total koreksi 6.585 11

Lampiran 13 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi propionat

Sumber Derajat Kuadrat


Jumlah Kuadrat Fhit Signifikasi
Keragaman Bebas Tengah
Model koreksi 0.909a 5 0.182 0.445 0.804
Intersep 1479.852 1 1479.852 3624.399 0.000
Perlakuan 0.285 3 0.095 0.233 0.870
Kelompok 0.624 2 0.312 0.764 0.506
Galat 2.450 6 0.408
Total 1483.212 12
Total koreksi 3.359 11

Lampiran 14 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi butirat

Sumber Derajat Kuadrat


Jumlah Kuadrat Fhit Signifikasi
Keragaman Bebas Tengah
Model koreksi 1.432a 5 0.286 1.692 0.269
Intersep 112.486 1 112.486 664.329 0.000
Perlakuan 0.164 3 0.055 0.322 0.810
Kelompok 1.269 2 0.634 3.747 0.088
Galat 1.016 6 0.169
Total 114.934 12
Total koreksi 2.448 11

Lampiran 15 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi isobutirat


42

Sumber Derajat Kuadrat


Jumlah Kuadrat Fhit Signifikasi
Keragaman Bebas Tengah
Model koreksi 4.121a 5 0.824 2.854 0.117
Intersep 687.810 1 687.810 2382.256 0.000
Perlakuan 3.087 3 1.029 3.564 0.087
Kelompok 1.034 2 0.517 1.790 0.246
Galat 1.732 6 0.289
Total 693.663 12
Total koreksi 5.853 11

Lampiran 16 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
proporsi isovalerat

Sumber Derajat Kuadrat


Jumlah Kuadrat Fhit Signifikasi
Keragaman Bebas Tengah
Model koreksi 2.957a 5 0.591 6.855 0.018
Intersep 81.120 1 81.120 940.249 0.000
Perlakuan 1.245 3 0.415 4.812 0.049
Kelompok 1.712 2 0.856 9.919 0.013
Galat 0.518 6 0.086
Total 84.595 12
Total koreksi 3.475 11

Uji lanjut pengaruh perlakuan terhadap isovalerat (P<0.05)

Superskrip
Perlakuan N
1 2
P3 3 2.0867
P1 3 2.5667 2.5667
P2 3 2.8500
P0 3 2.8967

Lampiran 17 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi valerat


43

Sumber Jumlah Kuadrat Derajat Kuadrat Fhit Signifikasi


Keragaman Bebas Tengah
a
Model koreksi 0.109 5 0.022 0.602 0.703
Intersep 6.675 1 6.675 184.130 0.000
Perlakuan 0.033 3 0.011 0.305 0.821
Kelompok 0.076 2 0.038 1.048 0.407
Galat 0.218 6 0.036
Total 7.002 12
Total koreksi 0.327 11

Lampiran 18 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi rasio asetat :


propionat

Sumber Jumlah Kuadrat Derajat Kuadrat Fhit Signifikasi


Keragaman Bebas Tengah
a
Model koreksi 0.014 5 0.003 2.233 0.178
Intersep 25.463 1 25.463 19628.505 0.000
Perlakuan 0.014 3 0.005 3.512 0.089
Kelompok 0.001 2 0.000 0.315 0.741
Galat 0.008 6 0.001
Total 25.485 12
Total koreksi 0.022 11

Lampiran 19 Hasil analisa dan uji lanjut pengaruh perlakuan terhadap palatabilitas

Sumber Jumlah Kuadrat Derajat Kuadrat Fhit Signifikasi


Keragaman Bebas Tengah
a
Model koreksi 5036.714 9 559.635 2.637 0.125
Intersep 109305.478 1 109305.478 515.059 0.000
Perlakuan 3332.091 3 1110.697 5.234 0.041
Kelompok 510.782 3 170.261 0.802 0.537
Galat 1193.841 3 397.947 1.875 0.235
Total 1273.317 6 212.220
Total koreksi 115615.509 16
Model koreksi 6310.031 15

Uji lanjut pengaruh perlakuan terhadap palatabilitas (P<0.05)


44

Superskrip
Perlakuan N
b a
P0 4 67.3844
P2 4 69.2222
P3 4 95.0508
P1 4 98.9564
45

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, 13 September


1989 dari Ayahanda Sukadi dan Ibu Partini. Penulis
merupakan kakak tertua bagi kedua adik yang
bernama Aji Nur Santoso dan M. Aziz Nugoroho.
Pada Oktober 2015, penulis dipersunting menjadi
istri oleh Muhammad Ginanjar Mulyana. Meskipun
dilahirkan di Bogor, namun penulis dibesarkan di
Lampung Timur tepatnya di Pugung Raharjo.
Penulis menyelesaikan sekolah menengah atas di
SMAN 1 Bandar Sribhawono Lam-Tim. Penulis
menginjakkan kembali tanah kelahiran setelah
dinyatakan lulus tes Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
diawal tahun 2007. Selama masa perkuliahan, penulis aktif mengikuti berbagai
kegiatan keorganisasian terutama di lingkungan Fakultas. Penulis pernah menjadi
bagian dari Badan Eksekutif Mahasiswa Peternakan (BEM-D) tahun 2008-2009,
dan selanjutnya penulis mengikuti Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan (HIMASITER) di tingkat departemen (2009-2010). Dalam bidang
akademik, penulis mendapatkan dana dalam Program Kreativitas Mahasiswa
(PKM) Penelitian dan Kewirausaahan di tahun yang berbeda. Mineral dan
ruminansia merupakan dua topik yang penulis pilih sebagai tema besar skripsi
ketika itu.
Setelah lulus S1, penulis mendapatkan kesempatan untuk bekerja sebagai
asisten peneliti di salah satu Pusat Penelitian, yaitu Pusat Studi Hewan Tropika/
Center for Tropical Animal Studies (CENTRAS) LPPM IPB di Baranangsiang
Bogor. Pada tahun 2013 penulis mendapatkan beasiswa pascasarjana melalui
program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) yang dikelola
oleh Kementerian Pendidikan dan Perguruan Tinggi (DIKTI). Kegiatan kepanitiaan
internasional yang pernah penulis ikuti adalah International Seminar on Animal
Industry (ISAI) 2015 yang diadakan oleh Fakultas Peternakan IPB. Selain itu
penulis juga dipercaya menjadi bagian dari Hiwacana INP, dan terakhir penulis
aktif mengikuti kejuaraan Dekan Cup pada bidang olahraga voli.

e-mail: saprilianstyahapsarisukadi@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai