Anda di halaman 1dari 6

Pengawetan kayu sengon dengan bahan pengawet boron secara rendaman dingin

terhadap rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.)


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kayu merupakan kebutuhan yang semakin lama semakin meningkat dari


tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya penduduk, kemajuan teknologi,
perindustrian, dan ilmu pengetahuan. Dalam bidang konstruksi, kayu memiliki arti
yang penting dalam penggunaannya meskipun mendapat saingan dari bahan
konstruksi lainnya seperti semen, baja dan sebagainya. Kayu juga digunakan
manusia sebagai bahan bakar, bahan pembuat rumah dan sebagai alat persenjataan
(Tambunan dan Nandika, 1989).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengawetan Kayu

Hunt dan Garratt (1986: 4) menyatakan tujuan utama dari pengawetan


kayu adalah untu memperpanjang umur pemakaian bahan, dengan demikian
mengurangi biaya akhir dari produk itu dan menghindari penggantian yang terlalu
sering dalam konstruksi yang permanen dan semi permanen. Dumanauw (1984:
64) alasan manusia melakukan pengawetan kayu karena: kayu yang memiliki
kelas awet alami sangat sedikit, dan sulit didapat dalam jumlah banyak, selain itu
harganya cukup mahal, selain itu kayu berkelas kuat III sampai dengankelas kuat
V cukup banyak da mudah didapat dalam jumlah banyak dan cara pengerjaannya
pun lebih mudah hanya saja faktor keawetannya saja yang kurang. Sehingga lebih
efisien bila diawetkan terlebih dahulu. Metode pengawetan Kayu diantaranya :
Metode rendaman, metode pencelupan, metode penmulasan, dan metode vakum
dan tekanan.

Pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan kimia beracun atau


bahan pengawet ke dalam kayu untuk memperpanjang masa pakai kayu.
Pemberian bahan pengawet ke dalam kayu tidak awet diharapkan dapat
memperpanjang masa pakai kayu, minimal sama dengan masa pakai kayu kelas
awet I yang tidak diawetkan (Batubara 2006). Menurut Hunt dan Garratt (1986),
secara umum proses pengawetan dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan
tekanan dan tidak menggunakan tekanan. Perendaman merupakan salah satu
proses pengawetan tanpa tekanan yang banyak di gunakan untuk mengawetkan
kayu. Hunt dan Garratt (1986), juga menyatakan absorsi bahan pengawet dengan
metode perendaman paling cepat terjadi pada 2 atau 3 hari pertama dilakukan
perendaman. Menurut Dumanau (2001), diacu dalam Kurnia (2009), keuntungan
metode perendaman dalam pengawetan adalah: (a) Retensi dan penetrasi bahan
pengawet lebih banyak dibanding metode pelaburan, penyemprotan, dan
pencelupan; (b) Kayu dalam jumlah banyak dapat diawetkan bersama; serta (c)
Larutan dapat digunakan berulang kali (dengan menambah konsentrasi bila
berkurang). Kerugian metode ini adalah: (a) Waktu yang dibutuhkan untuk proses
pengawetan relatif lama; (b) Peralatan mudah terkena karat; serta (c) Kayu basah
agak sulit diawetkan.

2.2 Kayu Sengon (Falcataria moluccana Miq.)

Kayu sengon dalam bahasa latin disebut Paraserianthes Falcataria atau


Albizia Falcataria merupakan jenis pohon yang idak asing lagi bagi kita. Salah
satu kelebihan dari pohon sengon adalah pertumbuhannya cepat dan kegunaan
kayunya sangat beragam. Kayu sengon tumbuh dengan cepat didaerah tropis dan
relatif mudah dalam pembudidayaannya. Jumlahnya di Indonesia cukup tinggi
yakni tersebar di seluruh

Jawa, Maluku, dan Papua. Kayu ini termasuk jenis kayu dengan kelas kuat dan
kelas awet IV sampai V (PKKI 1961). Sifat dan karakteristik yang rendah
tersebut, menjadikan kayu sengon belum dapat dimanfaatkan sebagai bahan
konstruksi. Oleh sebab itu rekayasa kayu sengon sebagai kayu laminasi
merupakan alternatif dalam mengoptimalkan pemanfaatan kayu sengon

Sengon (Falcataria moluccana Miq.) memiliki nama daerah jeungjing,


sengon laut (Jawa), tedehu pute (Sulawesi), rare, selawoku, selawaku merah, seka,
sika, sika bot, sikas, tawa sela (Maluku), bae, bai wahogon, wai, wikkie (Irian
Jaya). Kayu ini tersebar di seluruh Jawa, Maluku, Sulawesi Selatan dan Irian Jaya.
Sengon dipilih sebagai salah jenis yang dibudidayakan pada hutan tanaman
industri di Indonesia karena pertumbuhannya yang sangat cepat, mampu
beradaptasi pada berbagai jenis tanah, karakteristik silvikulturnya yang bagus dan
kualitas kayunya dapat diterima untuk industri panel dan kayu pertukangan.
Pohon sengon umumnya berukuran cukup besar dengan tinggi pohon total
mencapai 40 m dan tinggi bebas cabang mencapai 20 m. Diameter pohon dewasa
dapat mencapai 100 cm atau lebih, dengan tajuk lebar mendatar. Pohon sengon
pada umumnya tidak berbanir, permukaan kulit batang berwarna putih, abu-abu
atau kehijauan, halus, kadang-kadang sedikit beralur (Krisnawati et. al. 2011). Ciri
diagnostik kayu sengon dapat dilihat dari aspek warna yaitu memiliki warna kayu
teras dan gubal yang sulit dibedakan yaitu berwarna putih abu-abu kecoklatan atau
putih merah kecoklatan pucat. Tekstur agak kasar sampai kasar dengan arah serat
terpadu dan kadang-kadang lurus sedikit bercorak, kekerasan kayu agak lunak dan
beratnya ringan (Pandit dan Kurniawan 2008).

Menurut Pandit dan Ramdan (2002), kayu sengon banyak digunakan untuk
bahan bangunan perumahan terutama dipedesaan, peti, papan partikel, papan
serat, papan wool semen, dan barang kerajinan lainnya. Berat jenis kayu sengon
rata-rata 0,33 (0,24‒0,49) dengan kelas awet dan kelas kuat IV‒V. Tanaman
sengon dapat ditebang ketika umur panen sudah tercapai. Umur panen (periode
rotasi) biasanya tergantung pada tujuan produksi. Untuk tujuan produksi kayu
pulp, pemanenan dapat dilakukan sekitar 8 tahun, sedangkan untuk produksi kayu
pertukangan, panen dapat dilakukan pada umur 12–15 tahun. Untuk tanaman
sengon dengan sistem wanatani, panen biasanya dilakukan sekitar 10–15 tahun.
Rotasi umum untuk produksi kayu pulp adalah 6–8 tahun sedangkan untuk
produksi kayu gergajian sekitar 15–17 tahun (Krisnawati et. al. 2011).

2.3 Bahan Pengawet

Bahan pengawet kayu ialah bahan–bahan kimia yang, apabila diterapkan


secara baik pada kayu, akan membuat kayu itu tahan terhadap serangan sendawan,
serangga, atau jamur. Bahan–bahan pengawet ini dapat berupa senyawa–senyawa
kimia murni atau campuran dari senyawa–senyawa.Dumanauw (1984: 65)
mengatakan bahan pengawet kayu ialah bahan – bahan kimia yang telah
diketemukan dan sangat beracun terhadap makhluk perusak kayu.

2.4 Rendaman Dingin

Cara rendaman merupakan cara dimana kayu direndam didalam bak


larutan bahan pengawet yang telah ditentukan konsentrasi (kepekatan) bahan
pengawet dan larutannya, selama beberapa jam atau beberapa hari (Dumanauw,
1984: 69). Ada beberapa macam pelaksanaan rendaman, diantaranya adalah
dengan cara rendaman dingin. Cara rendaman dingin dapat dilakukan dapat
dilakukan dengan bak kayu, atau logam anti karat (Dumanauw,1984: 69). Apabila
kayu hanya direndam dalam larutan pengawet minyak tanpa dipanasi, prosesnya
biasa disebut perendaman dingin (Hunt dan Garratt, 1986: 207).
DAFTAR PUSTAKA

Tambunan, B., Nandika, D., 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Hunt G. M. dan George A. Garrat. 1986. Pengawetan Kayu. Edisi 1 cetakan 1:


Penerjemah Mohamad Yusuf. Jakarta : Akademika Pressindo.

Dumanauw, J.F. 1984. Mengenal Kayu. Edisi 2 Cetakan 2. Jakarta: PT. Gramedia.

Batubara R. 2006. Teknologi pengawetan perumahan dan gedung dalam upaya


pelestarian hutan [karya imliah]. Medan (ID): Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatra Utara.

Kurnia A. 2009. Sifat keterawetan dan keawetan kayu durian, limus, dan duku
terhadap rayap kayu kering, rayap tanah, dan jamur pelapuk [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Departemen Pekerjaan Umum., 1961. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia NI-5.


Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum.

Krisnawati H, Varis E, Kallio M, Kanninen M. 2011. Paraserianthes falcataria (L.)


Nielsen : Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. Bogor (ID): Center for
International Forestry Research.

Pandit IKN, Kurniawan D. 2008. Anatomi Kayu: Struktur Kayu, Kayu Sebagai
Bahan Baku dan Ciri Diagnostik Kayu Perdagangan Indonesia. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.

Pandit IKN, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu sebagai
Bahan Baku. Bogor (ID): Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB.

Anda mungkin juga menyukai