Anda di halaman 1dari 19

TEKNOLOGI PENGERINGAN DAN

PENGAWETAN KAYU

ZAKIAH USLINAWATY
I.       Latar Belakang dan Arti Penting Teknologi Pengawetan Kayu Tropis dari Hutan
di Indonesia dalam Konteks Pemanfaatan untuk Kayu Konstruksi

Konstruksi merupakan suatu kegiatan membangun sarana maupun prasarana


(Pusat Bahasa, 2005) menjadi sebuah bangunan atau infrastruktur pada sebuah
area. Oleh karena konstruksi membutuhkan kekuatan yang tinggi dalam
penggunaannya misalnya sebagai tiang menyangga, bahan baku konstruksi
bangunan yang biasanya digunakan selama ini adalah semen, baja, besi,
alumunium dan termasuk kayu. Bahan baku semen, baja, besi dan alumunium
pada dasarnya tidak ramah lingkungan karena konsumsi energinya tinggi dan
tidak dapat diperbaharui, serta biaya besar. Oleh karena itu, penggunaan kayu
menjadi pilihan alternatif sebagai bahan konstruksi bangunan. Penggunaan kuda-
kuda dari kayu dapat menghemat biaya sekitar 40-50% dibandingkan jika
menggunakan baja (Wirjomartono, 1977).
Kayu sebagai bahan konstruksi bangunan memiliki beberapa kelebihan, yaitu
lebih ramah lingkungan karena energi yang digunakan untuk menghasilkan 1
metrik ton kayu dalam pembalakan lebih kecil dibanding energi yang digunakan
untuk menghasilkan semen, baja, kaca dan alumunium dengan volume  yang sama
(Marsoem et al., 2011) dan merupakan sumber daya alam yang dapat
diperbaharui, memberikan efek natural dan estetik yang menonjol melalui warna,
corak dan penampilan yang menarik, memberikan kenyamanan untuk disentuh
dan dilihat, mudah dikerjakan dan dibentuk (diukir, dibubut, disambung, dilapis,
direkat dan sebagainya) dengan konsumsi energi yang relatif kecil, terdapat
beberapa jenis kayu yang memiliki kekuatan yang sama atau bahkan melebihi
bahan konstruksi bangunan non kayu yang selama ini digunakan, isolator panas
dan listrik, tahan terhadap reaksi asam lemah dan tidak berkarat. Namun di sisi
lain, kayu memiliki beberapa kelemahan, yaitu terpengaruh kelembaban sekitar
(sifat higroskopis), bersifat anisotropis, dapat terbakar dan lapuk (Tsoumis, 1991)
serta mudah terdegradasi biologi oleh organisme perusak kayu (Priadi, 2005). Hal
inilah yang perlu diperhatikan dalam perlakuan strategis penggunaan kayu sebagai
bahan konstruksi.
Persyaratan teknis kayu untuk bahan baku konstruksi adalah kuat, keras,
berukuran besar dan mempunyai keawetan alami tinggi. Keawetan kayu
merupakan faktor penentu apakah kayu dapat digunakan sebagai bahan baku
konstruksi atau tidak. Suatu jenis kayu yang memiliki bentuk dan kekuatan yang
memenuhi syarat sebagai bahan konstruksi yang baik tidak akan bisa dipakai bila
hanya tahan dalam beberapa bulan saja (kelas pakai rendah) (Tim Elsppat, 1997).
Oleh karena itu, keawetan kayu sebagai bahan konstruksi menjadi penting karena
menentukan umur bertahannya konstruksi tersebut.
Dalam hal inilah, kita perlu memperhatikan pemilihan jenis kayu yang
memiliki sifat-sifat seperti di atas.. Di dunia ini ada 2 golongan jenis kayu yang
biasa digunakan sebagai bahan konstruksi bangunan berdasarkan lokasi tempat
asalnya, yaitu kayu tropis dan kayu non tropis. Kayu tropis memiliki lebih banyak
jenis kayu dengan beraneka ragam karakteristik corak, warna dan sifat, cepat
produksinya dan lebih tinggi kekerasannya dibanding kayu non tropis. Namun,
tidak keseluruhan kayu tropis memiliki keawetan alami yang tinggi dan didukung
oleh iklim tropis yang memiliki kondisi lingkungan yang mempercepat
dekomposisi dan ragam organisme perusak kayu yang tinggi (Priadi, 2005). Dari
sekitar 4000 jenis kayu di Indonesia, hanya 14,3% jenis kayu yang memiliki
keawetan alami tinggi (I dan II) sedangkan sebagian besar lainnya rawan terserang
organisme perusak kayu (85,7% jenis kayu termasuk kelas awet III,IV dan V)
(Martawijaya & Kartasudjana, 1996). Belum lagi saat ini kayu di pasaran banyak
dipasok oleh Hutan Tanaman Indonesia (HTI) dan hutan rakyat yang memiliki
keawetan alaminya rendah (Abdurrohim, 2000). Hal ini didekati oleh ekstraktif
sebagai penyumbang keawetan alami kayu belum terbentuk pada kayu berumur
muda. Ekstraktif pada kayu dapat bersifat insektisidal maupun fungisidal
(Abdurrohim, 2000). Ekstraktif pada kayu teras Thuja plicata dan Chamaecyparis
nootkatensis terbukti memberikan peran yang penting dalam menahan serangan
rayapCoptotermes formosanus Shiraki dan jamur pelapuk coklat Postia
placenta (Fr.) M. Larsen & Lombard (Taylor et al., 2006). Oleh karena itu,
pengawetan menjadi langkah penting untuk dilakukan pada kayu yang
keterawetannya rendah (kelas awet III, IV dan V) dan kayu pada umur tebang
muda.
Pengawetan kayu  menjadi penting karena pada prinsipnya pengawetan kayu
merupakan suatu usaha yang bertujuan untuk melindungi dan menghindarkan
kayu dari berbagai serangan unsur-unsur biologi dan lingkungan yang merusak
kayu dalam pemakaiannya menjadi lebih panjang (Suranto, 2002). Penelitian
Shiozawa (2006) pada Kayu Sugi (Cryptomeria japonica D. Don) bagian gubal
menyebutkan bahwa kayu yang diawetkan dengan aminecal copper-boron-zine-
silicon (CBZS) mampu memiliki daya tahan tinggi terhadap proses leaching yang
dimungkinkan setara dengan ketahanan kayu terhadap kontak langsung dengan
tanah selama 2 tahun. Artinya, penambahan bahan pengawet CBZS pada
penggunaan kontak langsung dengan tanah dimungkinkan dapat menambah umur
pemakaian papan selama 2 tahun dari lama pemakaian kayu yang tidak diawetkan.
Bertambahnya umur pakai kayu akibat proses pengawetan dapat menghemat
penggunaan kayu dan menghindari kerugian ekonomi akibat kerusakan kayu oleh
organisme perusak kayu yang cukup tinggi. Misalnya saja pada serangan
rayap, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr
Dodi Nandikamemperkirakan kerugian ekonomi masyarakat Indonesia tahun
2015 mencapai lebih dari 18,68 triliun rupiah yang terdiri dari kerugian pada
bangunan rumah sebesar 8,68 triliun rupiah dan kerugian pada bangunan gedung
sebesar 10 triliun rupiah (Anonim, 2015). Dengan hematnya penggunaan kayu
dan terhindarnya kerugian ekonomi akibat kerusakan kayu oleh organisme
perusak kayu, maka dapat membuat laju permintaan kayu menjadi dapat
dikendalikan. Terkendalinya permintaan kayu dapat mengurangi tekanan terhadap
sumber daya hutan yang saat ini semakin terbatas akibat alih fungsi hutan dan
termasuk ekploitasi hasil hutan kayu itu sendiri untuk kepentingan industri
maupun rumah tangga. Oleh karena itu, pengawetan kayu dapat menjadi
pendukung upaya pelestarian hutan Indonesia. Kelestarian hutan menjadi sangat
penting karena berdampak langsung pada stabilitas kehidupan masyarakat
Indonesia sebagai akibat fungsi hutan yang menyangga kehidupan manusia.  

II.    Keterawetan Kayu Tropis yang Dilihat dari Konsep Perpindahan Cairan dan
Derajat Keterawetan Kayu

Keterawetan kayu adalah ukuran yang menggambarkan mudah tidaknya kayu


diresapi dan dimasuki bahan pengawet. Semakin kayu mudah dimasuki bahan
pengawet maka kayu dikatakan memiliki keterawetan tinggi (Suranto, 2002).
Menurut Hunt dan Garrat (1986), ada empat faktor yang mempengaruhi
keterawetan kayu, yaitu :
a.       Jenis kayu, yang ditandai oleh sifat yang melekat pada kayu itu sendiri seperti
struktur anatomi, permeabilitas, kerapatan dan sebagainya.
b.      Keadaan kayu pada waktu dilakukan pengawetan, antara lain kadar air, bentuk
kayu, gubal/teras dan sebagainya.
c.       Metode pengawetan yang digunakan.
d.      Sifat bahan pengawet yang dipakai.

Besar atau kecilnya nilai keterawetan kayu terkait dengan aliran cairan di
dalam kayu. Aliran cairan akan mempengaruhi penetrasi cairan pengawet di
dalam kayu (Siau, 1984). Aliran cairan dalam kayu dipengaruhi oleh
permeabilitas kayu dan model/wujud cairan bahan pengawet. Permeabilitas adalah
suatu pengukuran terhadap kemudahan cairan ditransportasikan di sepanjang
media berporus seperti kayu ketika dikenai gradien tekanan (Resch
dan Ecklund 1964; Comstock, 1965; Siau, 1971 & 1984).
Semakin permeable suatu kayu maka semakin tinggi keterawetan kayu tersebut.
Berdasarkan wujud cairan bahan, proses transportasi/aliran yang terjadi di dalam
kayu dapat diklasifikasikan menjadi 2 mekanisme fisik dasar yaitu aliran cairan
yang melewati ruang yang menghubungkan antar kayu di bawah pengaruh gradien
tekanan dan difusi yang dapat dibagi menjadi difusi antar gas dan difusi yang
berhubungan dengan air (Siau, 1984).  
Mekanisme aliran cairan yang menghubungkan antar sel kayu dibawah
pengaruh gradient tekanan sangat dipengaruhi oleh struktur noktah, sedangkan
pada difusi, kombinasi pergerakan gas (uap air) di sepanjang lumen dan
pergerakan air di sepanjang dinding sel menjadi penting dalam pergerakan aliran
secara transversal dan longitudinal (Choong, 1965). Pada dasarnya, pergerakan
atau difusi gas (uap air) pada kayu memiliki 2 tipe yang terjadi secara independen
atau berkombinasi, yaitu difusi intergas yang terjadi ketika uap bergerak di
sepanjang sel dan lubang noktah, serta aliran pergerakan molekular (molecular
slip flow) (atau difusi Knudsen) yang pada hakekatnya mempengaruhi kecepatan
aliran gas. Pada difusi yang berhubungan dengan air, terdapat 2 konsep
pergerakan air yang melewati dinding sel, yaitu pergerakan masa dari air karena
kondensasi kapilaritas air di dinding sel, serta pergerakan lonjakan molekul dari
suatu tempat serapan tertentu ke tempat yang lain (Choong, 1963; Stamm, 1964).
Konsep difusi yang berhubungan dengan air ini digunakan dalam pengawetan
tradisional kayu konstruksi, walaupun  membutuhkan waktu yang lama. Difusi
Boron pada kayu In, Kanyin dan Taung-thayet membutuhkan waktu 21 hari untuk
berpenetrasi lengkap, sedangkan BFCA membutuhkan waktu 42 hari (Nyunt,
1988).  
      Berdasarkan arah aliran, aliran cairan pada sel kayu dapat terjadi secara aksial
maupun lateral. Aliran aksial pada kayu daun jarum terjadi dari sel trakeid
longitunal (termasuk kanal resin dan parenkim longitudinal) melewati bidang
perforasi yang terdapat pada bagian akhir dan ada yang menuju trakeid lumina,
lubang noktah dan pori membran noktah (Cote, 1963; Erickson & Balatinecz,
1964; Choong, 1965; Comstock, 1965; Bailey & Preston, 1969; Isaacs et al.,
1971; Bolton & Petty, 1978; Petty, 1970), sedangkan pada kayu daun lebar, aliran
aksial banyak terjadi di sel pembuluh menuju ke parenkim, trakeid vasisentik dan
serabut yang berdekatan melalui noktah (Wardrop & Davies, 1961; Cote, 1963;
Rudman, 1965). Aliran lateral signifikan terjadi pada sel jari-jari (Wardrop &
Davies, 1961; Cote, 1963; Behr et al., 1969; Murmanis & Chudnoff, 1979).
Khusus pada kayu daun jarum, sel jari-jari berkontribusi besar untuk aliran lateral
pada arah radial kayu yang penyusun sel jari-jari tersebut adalah trakeid dan
parenkim (Cote, 1963).
      Proses pergerakan cairan pada kayu terjadi diawali dari sel lumen (Murmanis
& Chudnoff, 1979; Rudman, 1966a), dan kemudian menuju dinding sel trakeid
vertical akibat adanya aliran longitudinal dan aliran radial (Bailey & Preston,
1969). Pergerakan cairan dari lumen paling besar menyumbang permeabilitas sel
secara longitudinal. Pergerakan cairan di dalam dinding sel terjadi menggunakan
sistem kapilaritas terutama pada larutan yang pelarutnya polar (Rudman, 1965 &
1966a,; Rapp et al., 1999; Gindl et al., 2002). Pergerakan larutan tersebut melalui
kapilaritas akan menurun ketika pelarutnya berkurang polaritasnya (Rudman,
1966a; Mantanis et al., 1994). Pergerakan/difusi larutan polar akan baik jika
cairan memiliki berat molekul yang rendah (Hartman, 1969; Mantanis et al.,
1994) terutama pada serat libriform yang memiliki celah yang sedikit dan kecil
(Hansmann et al., 2002). Selain itu, difusi larutan polar (air) juga akan lebih baik
pada sel kayu yang kadar airnya tinggi, dibanding kadar air rendah (Choong,
1965). Pada larutan inorganik termasuk bahan pengawet kayu, kapilaritas dinding
sel dapat dipenetrasi melalui transfer massa antar lamella tengah (Rudman, 1966b;
Petric et al., 2000; Wallstrom & Linberg, 2000). Berdasarkan proses pergerakan
aliran cairan tersebut, Palin dan Petty (1981) menguji permeabilitas dinding sel
kayu teras spruce yang menyebutkan permeabilitas dinding sel longitudinal
memiliki peran paling besar karena daya kapilaritas terjadi paling banyak pada
lapisan dinding sel S2 secara pararel terhadap sumbu longitudinal, kemudian
permeabilitas dinding sel secara radial lebih tinggi dibanding tangensial, namun
keduanya jauh lebih rendah dibanding permeabilitas dinding sel longitudinal.  
Setelah memahami keterawetan kayu yang dijelaskan melalui perpindahan
cairan bahan pengawet di dalam kayu, ukuran besarnya keterawetan kayu tersebut
dapat dilihat melalui derajat keterawetan kayu. Suranto (2002) menjelaskan
bahwa derajat keterawetan kayu merupakan suatu pengertian yang membicarakan
tentang banyak sedikitnya bahan pengawet yang meresap ke dalam kayu. Derajat
keterawetan ini diukur dengan menggunakan 3 macam tolak ukur yaitu penetrasi,
absorpsi dan retensi yang ketiganya mempunyai hubungan berbanding lurus.
Penetrasi adalah suatu ukuran yang menggambarkan kedalaman bahan pengawet
masuk ke dalam kayu. Absorpsi adalah ukuran yang menggambarkan banyaknya
cairan pengawet yang dapat dikandung oleh kayu setelah diawetkan. Retensi
adalah suatu ukuran yang menggambarkan banyaknya (beratnya) zat pengawet
murni (bahan aktif pengawet) yang dapat dikandung oleh kayu setelah terawetkan.
Adapun yang mempengaruhi retensi, penetrasi dan absorpsi bahan pengawet
di dalam kayu meliputi struktur anatomi kayu yang didalamnya termasuk
porositas (Dinget al., 2008) dan permeabilitas, jenis bahan pengawet (Tascioglu et
al. 2003), metode pengawetan (Nyunt, 1988) dan kondisi bahan pengawet.
Pengaruh struktur anatomi termasuk porositas dan permeabilitas kayu, serta jenis
pengawet akan dijelaskan pada sub bab III pada makalah ini, sedangkan pengaruh
metode pengawetan dan kondisi bahan pengawet akan dijelaskan pada sub bab ini.
Penelitian pengaruh kondisi bahan pengawet (konsentrasi bahan pengawet)
dan metode pengawetan terhadap penetrasi, absorpsi dan retensi pengawet
dilakukan oleh Nyunt (1988) yang meneliti sifat keterawetan dan ketahanan fungi
3 jenis kayu yaitu Kayu In, Kanyin dan Taung-thayet pada bahan berbagai jenis
bahan pengawet (CCA, BFCA dan Boron), konsentrasi pengawet, metode
pengawetan. Pengaruh konsentrasi bahan pengawet berkorelasi positif terhadap
retensi bahan pengawet di dalam kayu. Jenis bahan pengawet juga mempengaruhi
besarnya retensi dan absopsi pada 3 jenis kayu. Perlakuan incising membuat
retensi pada Kayu In dan Kanyin meningkat 2 kali lipat dari retensi pada metode
vacuum/pressure, sedangkan pada Kayu Taung-thayet, peningkatan retensi 2 kali
lipat terjadi pada perlakuan incising denganvacuum/pressure dalam waktu lama.
Perlakuan penguapan/steam pada metodevacuum/pressure tidak meningkatkan
retensi kayu Kanyin secara signifikan jika dibandingkan pada kondisi kering.
Kombinasi perlakuan incising danvacuum/pressure waktu lama pada sampel
kering udara meningkatkan absorpsi pada 3 jenis kayu secara signifikan.
Perlakuan difusi Boron menghasilkan penetrasi bahan pengawet yang baik dapat
menjadi alternative pengawetan kayu konstruksi interior disamping
metode vacuum/pressure, walaupun dibutuhkan waktu 21 hari pada Kayu In dan
Taung-thayet.

III. Retensi dan Konsentrasi Bahan Pengawet dalam Konteks Struktur Anatomi Kayu,
Porositas dan Permeabilitas Kayu
Bahan pengawet kayu dibagi menjadi 3 tipe, yaitu minyak-tar, larut air dan
larut pelarut organik (Nyunt, 1988). Bahan pengawet yang larut air meliputi
chromate copper boron (CCA), ammoniacal copper arsenate, acid copper
chromate, ammoniacal copper zinc arsenate and ammoniacal copper quaternary,
sedangkan pengawet yang larut pelarut organik meliputi kreosot, tar batu bara dan
pentaklorofenol (PCP) (Hingston et al., 2001). Jenis bahan pengawet yang
berbeda tersebut yang dihadapkan pada keterawetan kayu yang tertentu
berdasarkan jenis kayu tertentu akan membuat retensi bahan pengawet yang
berbeda. Sebagai contoh, hal tersebut terjadi pada penelitian Tascioglu et al.
(2003) yang meneliti tentang pengaruh jenis bahan pengawet (larut air dan larut
minyak) terhadap sifat perekatan papan laminasi kayu pinus kuning selatan (Tabel
1) dimana bahan pengawet larut air yang digunakan adalah CCA dan CDDC, serta
bahan pengawet larut minyak, yaitu copper naphthalene (CuN), PCP dan kreosot.
Pada konsentrasi pengawet yang sama yaitu 5%, retensi bahan pengawet pada
papan lamina pinus kuning dengan menggunakan CCA sebesar 23,9 kg/m3,
sedangkan pada PCP sebesar 9,29 kg/m3.
Retensi dan konsentrasi bahan pengawet di dalam kayu (keterawetan kayu)
dipengaruhi oleh struktur anatomi kayu, porositas kayu dan permeabilitas kayu.
Retensi dan konsentrasi bahan pengawet antara kayu gubal dan kayu teras, serta
antara kayu daun jarum dan kayu daun lebar tentunya akan berbeda karena
struktur anatomi, porositas dan permeabilitas antara kayu-kayu tersebut yang
berbeda. Struktur anatomi kayu yang mempengaruhi retensi dan konsentrasi kayu
terkait dengan jenis-jenis sel (sel pembuluh, parenkim, serabut, jari-jari, dan
trakeid) beserta dengan keadaannya akan mempengaruhi porositas dan
permeabilitas kayu. Pengaruh porositas terhadap tingkat aliran volumetrik (retensi
bahan pengawet) dapat dilihat melalui ukuran pori (Wang & DeGroot, 1996).
Porositas kayu menentukan kecepatan impregnasi dan retensi polimer terutama
pada porositas dengan diameter pori >0,1 µm (Ding et al., 2008).
Pada kayu daun jarum, karena ukuran lebih kecil daripada lumen trakeid,
keterawetan kayu sangat tergantung oleh ukuran dan kondisi struktur dari noktah.
Parameter yang mempengaruhi adalah ukuran pori efektif, banyaknya lubang
noktah per unit area, kemungkinan pit teraspirasi maupun deaspirasi, pemadatan
(encrustation) membran pit dan panjang trakeid (Wang & DeGroot, 1996). Selain
lubang noktah, pori mikro di dinding sel memiliki peran terhadap keterawetan,
terutama ketika pelarut polar digunakan dalam bahan pengawet (pengawet larut
air) (Nicholas dan Siau, 1973). Permeabilitas membran noktah yang tidak
teraspirasi pada kayu daun jarum relatif tinggi akibat kehadiran struktur margo
yang terbuka, namun fungsi margo yang terbuka tersebut akan menurun akibat
adanya aspirasi pada membran noktah (Cote, 1990). Pada tahap pengeringan
sebelum perlakuan pengawetan, membran noktah akan teraspirasi ketika air keluar
dari sel dan terjadi meniskus air-udara melewati membran. Membran noktah
teraspirasi menyebabkan tertutup rapatnya membran dan lubang noktah karena
ikatan hidrogen, daya kapilaritas (Thomas and Kringstad, 1971), sedangkan pada
kayu teras, aspirasi noktah disebabkan oleh ekstraktif. Adanya noktah yang
terkonsentrasi pada permukaan radial membuat sel jari-jari menjadi penyalur
utama untuk aliran radial (Erikson, 1970; Cote, 1963).
Pada kayu daun lebar, sel pembuluh merupakan sel yang berkontribusi paling
besar pada pengaliran bahan pengawet. Oleh karena itu, ukuran, distribusi dan
kondisi sel pembuluh merupakan faktor penting yang mempengaruhi keterawetan
kayu daun lebar. Kondisi sel pembuluh yang lumennya terdapat atau ditutupi
tilosis, getah gum, getah resin dan eksudat/ekstraktif kapur akan menurunkan
keterawetan kayu teras dan zona transisi kayu teras-kayu gubal pada kayu daun
lebar (Kumar & Dobriyal 1993; Perng, Brebner, dan Schneider 1985). Pada kayu
daun lebar, ketika pembuluh tersumbat oleh tilosis dan ekstraktif, sel jari-jari dan
sel serabut dapat berfungsi sebagai saluran yang menyalurkan cairan. Hal tersebut
terbukti pada penelitian Greaves & Levy, 1978 dan Bosshard, 1961 yang
menyatakan bahwa konsentrasi bahan pengawet CCA dan kreosot relatif tinggi
terdapat pada jaringan sel jari-jari pada kayu daun lebar. Sel parenkim jari-jari
juga merupakan saluran yang penting pada aliran radial pada beberapa spesies
(Behr et al., 1969). Berbeda dengan hal di atas, Teesdale dan MacLean (1918)
menyimpulkan bahwa sel jari-jari kayu daun lebar tidak memegang peranan
penting dalam distribusi pengawet kreosot secara melintang. Pada sel pembuluh
yang tersumbat, noktah yang tersumbat, sel pembuluh yang terisolasi dan sel
pembuluh yang rendah volumenya, sel serabut menjadi sangat penting sebagai
saluran aliran cairan (Thomas, 1976; Teesdale dan MacLean, 1918).
            Aliran cairan antar sel pada kayu daun lebar terjadi melalui noktah
berpasangan berhalaman maupun setengah berhalaman (Siau, 1984; Perng,
Brebner, dan Schneider, 1985). Membran noktah pada kayu daun lebar memiliki
struktur margo yang terbuka lebih sedikit dibanding kayu daun jarum. Meskipun
kekurangan margo, membran noktah pada dasarnya tetap permeable (Siau, 1984;
Thomas, 1976; Cote, 1963). Membran noktah ini berada pada noktah berpasangan
berhalaman di antara sel pembuluh, di antara sel pembuluh dan sel trakeid serabut,
serta di antara parenkim longitudinal dan parenkim jari-jari yang peranannya
sebagai penyaring aliran cairan. Sama seperti kayu daun jarum, membran noktah
kayu gubal pada kayu daun lebar juga dapat teraspirasi dan
terjadi encrustation (Panshin dan deZeeuw, 1980; Hillis, 1987). Hal ini yang
berkontribusi pada penurunan keterawetan kayu teras pada kayu daun lebar (Cote,
1963; Krahmer dan Cote, 1963).
Kayu gubal memiliki sifat mudah diimpregnasi (kecuali jenis Spruce),
sedangkan kayu teras lebih sulit diimpregnasi dengan hanya menggunakan metode
konvensional (USDA, 1987). Sulitnya kayu teras diberi perlakuan dalam hal ini
dialiri bahan pengawet dikarenakan kayu teras memiliki pori yang kecil (Petty and
Preston, 1969; Stamm, 1970), pit teraspirasi permanen (Thomas dan Nicholas,
1966; Thomas and Kringstad, 1971), ekstraktif yang tersimpan di membrane
noktah saat pembentukan kayu teras (Hillis, 1987; Siau, 1984; Cote, 1990;
Panshin dan DeZeeuw, 1980) dan terbentuknya tilosis (Siau, 1984; Cote, 1990;
Panshin dan DeZeeuw, 1980). Oleh karena banyaknya hal yang menghalangi
aliran bahan pengawet pada kayu teras, maka keterawetan kayu teras rendah.
Peningkatan presentase kayu teras akan membuat retensi total pada kayu terawet
menurun secara eksponensial (Huffman, 1996 dalam Wang & Degroot, 1996).
Hal tersebut terjadi akibat kayu teras yang memiliki permeabilitas yang lebih
rendah.

IV. Keefektifan Sistem Pengawetan Kayu

Keefektifan sistem pengawetan kayu dapat dilihat melalui fiksasi dan


pelindian bahan pengawet. Fiksasi bahan pengawet adalah derajat keterikatan
persemayaman bahan pengawet di dalam struktur sel kayu, sedangkan pelindian
bahan pengawet adalah tingkat pengeluaran bahan aktif pengawet akibat agen
pelindi. Fiksasi dan perlindian kayu berjalan Semakin tinggi fiksasi dan semakin
rendah tingkat pelindian bahan pengawet akan membuat sistem pengawetan kayu
semakin efektif. Fiksasi dan pelindian bahan pengawet dipengaruhi oleh jenis
kayu, jenis bahan pengawet, suhu cairan bahan pengawet, metode pengawetan
yang diterapkan, perlakuan awal sebelum kayu diawetkan, perlakuan paripurna
(setelah kayu diawetkan), durasi fiksasi, dimensi sortimen kayu terawet dan
tingkat kesehatan kayu.
a.       Jenis kayu
Fiksasi pada kayu daun jarum lebih besar dibanding kayu daun lebar. Kayu daun
lebar memiliki tingkat perlindian yang bervariasi antar jenis kayu dan lebih tinggi,
fiksasi Cr yang cepat (Red maple) meningkatkan perlindian Cr dan terutama As
(Kamdem et al. 1996; Cooper et al.,1997; Stevanovic-Janezic et al., 2000, 2001).
Fiksasi pada kayu gubal lebih besar dibanding kayu teras. Fiksasi pada kayu awal
lebih besar dibanding kayu akhir. Penelitian Radivojevic dan Copper (2007)
menyebutkan bahwa setiap jenis kayu memiliki pola fiksasi dan tingkat pelindian
yang berbeda. Pada Kayu Red pine yang diberi pengawet CCA-C, fiksasi yang
paling cepat ke paling lambat adalah Cu, As dan Cr, sedangkan pola fiksasi pada
Kayu Red maple dengan perlakuan sama dimulai dari Cr, Cu, dan As. Tingkat
perlindian Kayu Red pine lebih kecil dibanding Kayu Red Pine.

b.      Jenis bahan pengawet


Tingkat fiksasi dan pelindian bahan pengawet larut minyak lebih tinggi dibanding
fiksasi bahan pengawet larut air. Hal itu karena minyak khalis air sehingga bahan
pengawet larut minyak yang ada di dalam kayu tidak akan tercuci oleh air setelah
kayu terawetkan. Tingkat fiksasi dan perlindian pada bahan pengawet larut air
disebabkan oleh perbedaan karakter dari bahan pengawet, meliputi :
         Unsur kimia pengawet
Sumber copper yang digunakan akan mempengaruhi tingkat perlindian cooper.
Copper yang berasal dari CuSO4_ dan Cu(NO3)2_ memiliki tingkat perlindian
copper yang lebih rendah dibanding dari Cu(OH)2_ dan CuCO3_(Zhang &
Kamdem, 1999).

         Molar ratio atau komposisi bahan pengawet dan pelarutnya


Penambahan amina pada molar rasio copper akan menambah retensi dan  copper
pada Kayu Pinus Selatan, tetapi justru meningkatkan perlindian copper selama
perlindian air (Zhang & Kamdem, 1999). Penambahan cobiosida alkil diethyl
benzene ammonium chlorite pada copper ethanolamine menambah waktu fiksasi
(Humar et al., 2007).

         Bentuk bahan pengawet khususnya bentuk bahan aktif penyusun bahan pengawet
Bahan aktif yang berbentuk oksida akan berbeda tingkat fiksasi dan perlindiannya
dibanding bentuk garam.

         Tingkat keasaman bahan pengawet


pH yang tinggi akibat tingginya retensi copper pada kayu akan meningkatkan
perlindian copper (Zhang & Kamdem, 1999).

         Konsentrasi bahan pengawet


Peningkatan konsentrasi Tanalith C berbasis garam meningkatkan fiksasi As,
namun menurunkan fiksasi Cu (Wilson, 1971).
c.       Suhu larutan bahan pengawet
Peningkatan suhu larutan bahan pengawet CCA pada kayu Pinus radiata D. Don
terawet menyebabkan penurunan lindian chromium dan copper, namun justru
terjadi kenaikan lindian arsen (Walley, 1996). Berbeda dengan hasil tersebut, pada
kayu Spruce Norway, peningkatan suhu larutan CCA hingga 103°C meningkatkan
perlindian Cu (Humar & Zlindra, 2007).
d.      Metode pengawetan yang diterapkan
Perlakuan Lowry dan Alternating Pressure Method (APM) dapat meningkatkan
kekuatan larutan terfiksasi pada kayu Pinus radiata D. Don sehingga dapat
menurunkan lindian chromium dibanding proses Bethel (Walley, 1996).
e.       Durasi fiksasi
Semakin lama waktu fiksasi maka meningkatkan kualitas fiksasi dengan tingkat
perlindian Cu pada pengawet CuE menjadi semakin kecil (Humar et al., 2007).
f.       Perlakuan awal sebelum kayu diawetkan
Pemberian vakum di awal proses Bethel termodifikasi dapat mempengaruhi
konsentrasi pelindian chromium dan penetrasi bahan pengawet pada kayu
teras Pinus radiata D. Don (Walley, 1996).
g.      Perlakuan paripurna setelah kayu diawetkan
Perlakuan fiksasi 12 jam yang diikuti dengan wet bulb rendah dan pengeringan
suhu 60-74°C selama 3 hari pada Kayu Pinus selatan yang MC-nya  12%
menurunkan tingkat perlindian chromium, copper dan arsenik secara signifikan
dibanding kayu yang dikering udarakan selama 3 bulan dengan MC 20 ± 3%
(Boone et al., 1995).
h.      Dimensi sortimen kayu
Semakin besar dimensi sortimen kayu akan meningkatkan tingkat fiksasi (perlu
penetrasi dan retensi bahan pengawet yang tinggi, serta lama fiksasi tinggi.
i.        Tingkat kesehatan kayu
Kayu yang sehat memiliki tingkat fiksasi yang lebih tinggi dibanding kayu yang
tidak sehat. 
V.    Strategi Pemilihan dan Penggunaan Kayu Terawet dari Aspek Lingkungan

Pengawetan kayu selalu dihadapkan pada bagaimana Strategi pemilihan dan


penggunaan kayu terawet dalam perspektif mitigasi terhadap pencemaran
lingkungan baik lingkungan perairan maupun lingkungan terrestrial dilakukan
dengan memperhatikan pemilihan bahan pengawet, pemilihan kayu terawet yang
ada di pasaran dan sensibilitas lingkungan. Pemilihan bahan pengawet sebaiknya
memperhatikan jenis-jenis bahan pengawet tidak mencemari lingkungan (tingkat
pelindian rendah) karena pada dasarnya pengawet bersifat beracun bagi
mikroorganisme, proporsi bahan aktif dalam bahan pengawet karena berkaitan
dengan tingkat pelindian bahan pengawet, serta disesuaikan dengan biaya
pengawetan yang tersedia. Pemilihan kayu terawet yang tersedia di pasaran perlu
memperhatikan dan memilih kayu yang histori pengawetan kayu jelas dan baik
hasilnya meliputi jenis bahan pengawet yang dipakai, metode pengawetannya dan
proses fiksasinya. Sensibilitas lingkungan baik pada lingkungan terrestrial
maupun perairan sangat mempengaruhi pemilihan bahan pengawet yang
digunakan. Pada lingkungan perairan yang lebih sensitif karena kemungkinan
pencemarannya lebih tinggi dibanding lingkungan terrestrial (kayu terawet
langsung berhadapan dengan agen pelindi air) dan penggunaan bahan pengawet
yang lebih lethal akibat lingkungan ekstrim, pengawetan kayu perlu mendapat
perhatian yang lebih dibanding pada lingkungan terrestrial. Misalnya pada daerah
perairan tidak diperbolehkan menggunakan bahan pengawet larut minyak karena
minyak dapat mencemari lingkungan akibat fiksasi bahan pengawet di dalam kayu
yang cenderung rendah dan disarankan penggunaan kayu terawet dengan bahan
pengawet larut air yang kadar Cu-nya rendah.
Demi terwujudnya pengawetan kayu yang tidak mencemari lingkungan, pada
beberapa negara maju telah menetapkan standar-standar penggunaan pengawet.
Misalnya pada negara Amerika Serikat yang memiliki komunitas peneliti bahan
pengawet, yaitu AWPA (American Wood Preserver's Association) yang membuat
standar kategorisasi penggunaan atau use category system (UCS), standar bahan
pengawet, metode pengawetan dan tipe-tipe produk ter-finishing. UCS memuat
definisi penggunaan kayu, kondisi lapangan, arahan penggunaan kayu terawet,
jenis-jenis bahan pengawet yang diperbolehkan digunakan dan spesifikasi produk
komoditi tertentu misalnya pada produk kayu gergajian dan pengaplikasian zat
penghambat api. UCS membagi produk kayu terawet menjadi U1 dan T1. UCS
juga memiliki beberapa kategorisasi bahan pengawet berdasarkan agen perusak
kayu misalnya UCFA1 yang berkaitan dengan zat penghambat api (AWPA,
2017).
Menurut standard komersial CS 250-62 dari AWPA, untuk pancang laut S. Pine, peresapan minimum 4 inci atau minimum 90% kayu
gubal dan retensi minimum 25 pcf (bahan pengawet larut minyak) pada 3 inci terluar dari 20 pengeboran. Standard CS 249-62 untuk
pancang Douglas _fir, kayu gubal minimum 1 inci, penetrasi minimum 1 inci atau 85% kayu gubal apabila kayu gubal lebih besar dari 1 inci
dan retensi minimum 20 pcf dalam 2 inci terluar pengeboran. Retensi untuk bahan pengawet larut air 1/3 sampai 1 pcf(pound per cubic
foot) dan lebih tinggi untuk lingkungan yang lebih keras. Untuk kreosot di darat, 6-I0 pcf untuk bantalan, 8-10 pcf untuk tiang dan 8-12 pcf
untuk kayu dan papan (Hadikusumo, 2003).
Di Indonesia, standar sistem pengawetan kayu masih lemah dibanding negara
maju. Hal itu didukung oleh penggunaan kayu terawet yang belum banyak,
peraturan/kebijakan yang masih lemah, kesadaran masyarakat akan pencemaran
lingkungan masih kecil dan pemahaman dan keterampilan masyarakat Indonesia
tentang proses pengawetan yang masih rendah. Namun, di Indonesia terdapat
persyaratan retensi berbeda-beda tergantung jenis bahan pengawet dan tempat
penggunaannya. Di bawah ini diberikan persyaratan retensi untuk masing-masing
bahan pengawet larut air untuk keperluan bahan bangunan di Indonesia (Tabel 7).

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohim, S. Manfaat Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung. Makalah. Diskusi
Peningkatan Kualitas Kayu pada tanggal 24 Februari 2000 di Bogor.

Anonim. 2015. Kerugian Akibat Serangan Rayap Capai Rp


18,68 Triliun. Diakses
pada http://www.sainsindonesia.co.id/index.php/kabar-
terkini/1528-kerugian-akibat-serangan-rayap-capai-rp-
1868-triliun tanggal 6 April 2017.

AWPA. 2017. Organization and Use of Standards. Diakses


padahttp://www.awpa.com/standards/organization.asp pa
da tanggal 9 April 2017.

Bailey, P. J. dan Preston, R. D. 1969. Some aspects of softwood permeability I.


Structural studies with douglas fir sapwood and
heartwood. Holzforschung 23(14): 113-120.
Behr, E. A., I.B. Sachs, B. F. Kukachka, J. O. Blew. 1969. Microscopic examination of
pressure-treated wood. Forest Products Journal 19(8): 31-40.
Bolton, A. J. dan Petty, J. A. 1978. A model describing axial flow of liquids through
conifer wood. Wood Science and Technology 12: 37-48.
Boone , R. S. , J. E. Winandy, dan J. J. Fuller. 1995. Effects of redrying schedule on
preservative fixation and strength of cca-treated lumber. Forest Prod. J. 45(9):65-
73.
Bosshard, H. H. 1961. On the taroil-impregnation of railway sleepers from beech and
oak wood with temperatures of 100 C and 130 C – Part I: Microstructure
observation of chanes in the structure and moisture content of impregnated
wood. Holz als Roh und Werkstoff 19: 357-70.
Choong, E. T. 1963. Movement of moisture through softwood in the hygroscopic
range.Forest Products Journal 13: 489-498.
Choong, E. T. 1965. Diffusion coefficients of softwoods by Stready-state and
theoretical methods. Forest Products Journal: 21-27.
Commstock, G. L. 1965. Longitudinal permeability of green Eastern hemlock. Forest
Product Journal 15(10): 441-449.
Comstock, G. L. 1965. Longitudinal permeability of green Eastern hemlock. Forest
Products Journal 15(10): 441-449.
Cooper, P. A., T. ung., dan D. P. Kamdem. 1997. Fixation and leaching of red maple
(Acer rubrum L.) treated with CCA-C. Forest Prod. J. 47(2):70–74
Cote W. A. 1990. Colley Lecture: In Search of Pathways Through Wood, Proceedings
of the 86th Annual Meeting of the American Wood Preservers Association, Vol.
86. Nashville. Stevensville MD 21666.
Cote W. A. 1990. Colley Lecture: In Search of Pathways Through Wood. Proceeding of
the 86th Annual Meeting of the American Wood Presevers Association, Vol. 86,
Opryland Hotel, Nashville, Tennessee, April 30-May 2, 1990, AWPA, PO Box
849, Stevensville, MD 21666.
Cote, W. A., JR. 1963. Structural factors affecting the permeability of wood. Journal of
Polymer Science: Part C 2: 231-242.
Ding, W. D. , A. Koubaa, A. Chaala, T. Belem, dan C. Krause. 2008. Relationship
between wood porosity, wood density and methyl methacrylate impregnation
rate.Wood Material Science and Engineering 1-2: 62-70.
Erickson, H. D. 1970. Permeability of southern pine wood- a review. Wood
Science 2(3): 149-58.
Erickson, H. D. dan Balatinecz, J. J. 1964. Liquid flow path into wood using
polymerization technigues – douglas fir and styrene. Forest Products Journal 14:
293-299.
Gindl, W., E. Dessipri, R. Wimmer. 2002. Using UV-Microscopy to study diffusion of
melamine-urea-formaldehyde resin in cell walls of spruce
wood. Holzforchung 56, 103-107.
Greaves, H. dan J. F. Levy. 1978. Penetration and distribution of copper-chrome-arsenic
preservative in selected wood spesies 1. Influence of gross anatomy on
penetration, as determined by X-ray microanalysis. Holzforschung 32(6): 200-
208.
Hadikusumo, S. A. 2003. Bahan Ajar Pengawetan Kayu. Fakultas Kehutanan UGM.
Yogyakarta.
Hansmann, C., W. Gindl, R. Wimmer, dan A. Teischinger. 2002. Permeability of wood-
a review. Wood Research 47 (4): 1-16.
Hartman, S. 1969. Modfied wood with aqueous polyurethane systems. Forest Products
Journal 19(5): 3942.
Hillis, W. E. 1987. Heartwood and Tree Exudates Springer-Verlag. Berlin. New
York.
Hingston, J. A., C.D. Collins, R.J. Murphy dan J.N. Lester. 2001. Leaching of
chromated copper arsenate wood preservatives: a review. Environmental
Pollution 111: 53-66.
Humar, M. dan D. Zlindra. 2007. Influence of temperature on fixation of copper–
ethanolamine-based wood preservatives. Building and Environment 42: 4068–
407.
Humar, M., D. Zlindra., dan F. Pohleven. 2007. Fixation of copper-ethanolamine
woodpreservatives to Norway Spruce sawdust. Acta Chim. Slov. 54: 154–159.
Hunt, G. M. dan G. A. Garrat. 1986. Pengawetan Kayu Terj. M. Jusuf Ed. Pertama.
Akademika Pressindo. Jakarta Timur.
Isaacs, C.P., E. T. Choong, P. J. dan P. J. Fogs. 1971. Permeability variation within a
wottonwood Tree. Wood Science 3(4): 231-237.
Kamdem, D. P., E. Vlna, dan P. A. Cooper. 1996. Fixation and leaching of CCA-C
treated eastern hardwood species. Proc. Can. Wood Preserv. Assoc. 17:135–146.
Krahmer, R. L. dan W. A. Cote. 1963. Changes in coniferous wood cells associated
with heartwood formation. Tappi 46(1): 42-49.
Kumar, S. dan P. B. Dobriyal. 1993. Penetration indices of hardwoods aquantitative
approach to define treatability. Wood and Fiber Sci., 25(2): 192-7.
Mantanis. G. I., R. A. Young, dan R. M. Rowell. 1994. Swelling of wood Part II.
Swelling in organic liquids. Holzforschung 48, 480-490.
Marsoem, S. N., J. Sulistyo dan J.P. Gentur Sutapa. 2011. Buku Ajar Sifat-Sifat Dasar
Kayu. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Martawijaya, A. dan S. Abdurrohim. 1984. Spesifikasi Pengawetan Kayu untuk
Perumahan. Edisi Ketiga. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Bogor. 
Martawijaya. A. dan Kartasudjana. 1996. Ciri umum, sifat, dan kegunaan jenis-jenis
kayu Indonesia. Forest Products and Social-Economic Research and Development
Centre. Bohor.
Murmanis, L. dan Chudnoff, M. 1979. Lateral flow in beech and birch as revealed by
the slectron microscope. Wood Science and Technology 13:79-87.
Nicholas, D. D. dan J. F. Siau. 1973. “Factors Influencing Treatability” in Wood
Deterioration and Its Prevention by Preservative Treatments, Vol II Preservatives
and Preservative Systems. Syracuse University Press Syracuse. New York.
Nyunt, U. A. 1988. Treatability and performance of In, Kanyin and Taung-thayet.
Leaflet of Forestry Ministry. Government of the Union of Myanmar No. 4/87-88.
Palin, M. A. dan Petty, J. A. 1981. Permeability to water of the cell wall material of
spruce heartwood. Wood Science and Technology 15: 161-169.
Panshin, A. J. dan C. Dezeeuw. 1980. Textbook of Wood Technology. McGraw-Hill
Book Company. New York.
Perng, W. R., K. I. Brebner, dan M. H. Schneider. Aspen wood anatomy and fluid
transport. Wood and Fiber Science, 17(2): 281-89.
Petric, M., Murphy, R. J., Morris, I. 2000. Microdistribution of some copper and zic
containing waterborne  and organic solvent wood preservatives in spruce wood
cell walls. Holzforschung 54, 23-26.
Petty, J. A. 1970. Permeability and structure of the wood of sitka spruce. Proceedings of
the Royal Society London B(175): 149 – 166.
Petty, J. A. dan R. D. Preston. 1969. The dimentions and number of pit membrane pores
in conifer wood. Proc. Ro. Soc. Lond. B172: 137-51.
Priadi, T. 2005. Pelapukan oleh jamur dan strategi pengendaliannya. Makalah pribadi.
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 
Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Balai
Pustaka. ISBN 9789794071823. Jakarta
Radivojevic, S. dan P. A. Cooper. 2007. Effects of CCA-C preservative retention and
wood species on fixation and leaching of Cr, Cu, and As. Wood and Fiber
Science,39(4): 591 – 602.
Rapp, A. O., H. Bestgen, W. Adam, R. D. Peek. 1999. Electron Loss Spectoscopy
( EELS) for quantification of cell-wall penetration of a melamine
resin. Holzforchung53, 111-117.
Resch, H dan B. A. Ecklund. 1964. Permeability of wood. Exemplified by
measurements on redwood. Foresr Product Journal 14: 199-206. 
Resch, H. Dan Ecklund, B. A. 1964. Permeability of wood. Exemplified by
measurements on redwood. Forest Product Jurnal 14: 199-206.
Rudman, P. 1965. Studies in Wood Preservation. Part I. The penetration of liquids into
eucalypt sapwoods. Holzforschung 19(1): 5-13.
Rudman, P. 1966. Studies in wood preservation. Part II. Movement of aqueous solutions
through the pits and cell walls of eucalyptus sapwoods. Holzforschung 20(2): 57-
60.
Rudman, P. 1966. Studies in wood preservation. Part III. The penetration of the fine
structure of wood by inorganic solutions, including wood
preservatives.Holzforschung 20(2): 60-67. Sci.
Shiozawa, K. 2006. Fixation of aminecal copper-boron-zine-silicon (CBZS) wood
preservatives in  wood. Mokuzai Hozon (Wood Protection) 32 (3): 90-96.
Siau, J. F. 1971. Flow in wood. Syracause Wood Science 131.
Siau, J. F. 1984. Transport Processes in Wood. Springer-Verlag. Berlin 245
Stamm, A. J. 1964. Wood and Cellulose Science. The Roland Press Company.
New York 549pp.
Stamm, A. J. 1970. Maximum effective pit pore radii of the heartwood and sapwood of
six softwoods as affected by drying and resoaking. Wood and Fiber 1(4): 263-69.
Stevanovic-Janezic T., P. Cooper, And T. Ung. 2000. Chromated copper arsenate
preservative treatment of North American hardwoods. Part 1: CCA Fixation
performance. Holzforschung 54:577–584.
Stevanovic-Janezic T., P. Cooper, And T. Ung. 2001. Chromated copper arsenate
preservative treatment of North American hardwoods. Part 2: Leaching
performance. Holzforschung 55:7–12.
Suranto, Y. 2002. Pengawetan Kayu, Bahan dan Metode. Kanisius. Yogyakarta.
Tascioglu, C., B. Goodell, R. L. Anido. 2003. Bond durability characterization of
preservative treated wood and E-glass/phenolic composite interfaces. Composites
Science and Technology 63: 979–991.
Taylor, A. M., B. L. Gartner dan J. J. Morrell. 2006. Effect of heartwood extractives
fractions of Thuja plicata and Chamaecyparis nootkatensis on wood degradation
by termites or fungi. J. Wood Science 52 (2): 147-153. 
Teesdale, C. H. dan J. D. Maclean. 1918. Relative resistence of various hardwoods to
injection with cresote. USDA Bull No. 606. p. 36.
Thomas, R. J. 1976. Anatomical features affecting liquid penereability in three
hardwood species. Wood and Fiber 7(4): 256-63.
Thomas, R. J. dan D. D. Nicholas. 1966. Pit membrane structure in loblolly pine
influenced by solvent exchange drying. Forest Prod. Journal 16(3):57-59.
Thomas, R. J. dan K. P. Kringstad. 1971. The role of hydrogen bonding in pit
aspiration.Holzforschung 25(5): 148-48.
Tim Elsppat. 1997. Pengawetan Kayu Dan Bambu. Puspa Swara. Anggota IKAPI.
Jakarta.
Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood Structure, Properties,Utilization.
Van Nostrand Reinhold. New York.
USDA  Forest Product Lab and Forest Servce. 1987. Wood Handbook: Wood as an
Engineering Material; Agricultural Handbook 72, Superintendent of
Documents.US Gov. Printing Office, Washington DC 20402.
Walley, S. 1996. Fixation mechanism of Copper Chrome Arsenate (CCA) wood
preservative. Thesis. University of Melbourne. Australia.
Wallstrom, L. dan Lindberg, K. A. H. 2000. The Diffusion, size and location of added
silver grains in the cell walls of Swedish pine, Pinus Sylvestris. Wood Sci
Technol34, 403-415.
Wang, J. Z. dan R. DeGroot. 1996.  Treatability and durability of heartwood. National
Conference on Wood Transportation Structures Oktober, 1996 hal. 252-260.
Wardrop, A. B. dan Davies, G. W. 1961. Morphological factors relating to
the penetration of liquids into wood. Holzforschung 15(5): 129 – 141.
Wilson, A. 1971. The effects of temperature, solutions strength and timber species on
the rate of fixation of a copper-chrome-arsenate wood preservative. J. Inst. Wood
Sci. 5(6):36–40.
Wilson, A. 1971. The effects of temperature, solutions strength and timber species on
the rate of fixation of a copper-chrome-arsenate wood preservative. J. Inst. Wood
Sci. 5(6):61–67.
Wirjomartono. 1977. Konstruksi Kayu II. Diktat Kuliah. Fakultas Teknik Sipil.
Universitas Gadjah Mada.
Zhang, J. dan D. P. Kamdem. 2000. Interaction of copper-amine with southern pine:
retention and migration. Wood and Fiber Science 12(1): 132-319.
di Agustus 13, 2017 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:

Anda mungkin juga menyukai