PENGAWETAN KAYU
ZAKIAH USLINAWATY
I. Latar Belakang dan Arti Penting Teknologi Pengawetan Kayu Tropis dari Hutan
di Indonesia dalam Konteks Pemanfaatan untuk Kayu Konstruksi
II. Keterawetan Kayu Tropis yang Dilihat dari Konsep Perpindahan Cairan dan
Derajat Keterawetan Kayu
Besar atau kecilnya nilai keterawetan kayu terkait dengan aliran cairan di
dalam kayu. Aliran cairan akan mempengaruhi penetrasi cairan pengawet di
dalam kayu (Siau, 1984). Aliran cairan dalam kayu dipengaruhi oleh
permeabilitas kayu dan model/wujud cairan bahan pengawet. Permeabilitas adalah
suatu pengukuran terhadap kemudahan cairan ditransportasikan di sepanjang
media berporus seperti kayu ketika dikenai gradien tekanan (Resch
dan Ecklund 1964; Comstock, 1965; Siau, 1971 & 1984).
Semakin permeable suatu kayu maka semakin tinggi keterawetan kayu tersebut.
Berdasarkan wujud cairan bahan, proses transportasi/aliran yang terjadi di dalam
kayu dapat diklasifikasikan menjadi 2 mekanisme fisik dasar yaitu aliran cairan
yang melewati ruang yang menghubungkan antar kayu di bawah pengaruh gradien
tekanan dan difusi yang dapat dibagi menjadi difusi antar gas dan difusi yang
berhubungan dengan air (Siau, 1984).
Mekanisme aliran cairan yang menghubungkan antar sel kayu dibawah
pengaruh gradient tekanan sangat dipengaruhi oleh struktur noktah, sedangkan
pada difusi, kombinasi pergerakan gas (uap air) di sepanjang lumen dan
pergerakan air di sepanjang dinding sel menjadi penting dalam pergerakan aliran
secara transversal dan longitudinal (Choong, 1965). Pada dasarnya, pergerakan
atau difusi gas (uap air) pada kayu memiliki 2 tipe yang terjadi secara independen
atau berkombinasi, yaitu difusi intergas yang terjadi ketika uap bergerak di
sepanjang sel dan lubang noktah, serta aliran pergerakan molekular (molecular
slip flow) (atau difusi Knudsen) yang pada hakekatnya mempengaruhi kecepatan
aliran gas. Pada difusi yang berhubungan dengan air, terdapat 2 konsep
pergerakan air yang melewati dinding sel, yaitu pergerakan masa dari air karena
kondensasi kapilaritas air di dinding sel, serta pergerakan lonjakan molekul dari
suatu tempat serapan tertentu ke tempat yang lain (Choong, 1963; Stamm, 1964).
Konsep difusi yang berhubungan dengan air ini digunakan dalam pengawetan
tradisional kayu konstruksi, walaupun membutuhkan waktu yang lama. Difusi
Boron pada kayu In, Kanyin dan Taung-thayet membutuhkan waktu 21 hari untuk
berpenetrasi lengkap, sedangkan BFCA membutuhkan waktu 42 hari (Nyunt,
1988).
Berdasarkan arah aliran, aliran cairan pada sel kayu dapat terjadi secara aksial
maupun lateral. Aliran aksial pada kayu daun jarum terjadi dari sel trakeid
longitunal (termasuk kanal resin dan parenkim longitudinal) melewati bidang
perforasi yang terdapat pada bagian akhir dan ada yang menuju trakeid lumina,
lubang noktah dan pori membran noktah (Cote, 1963; Erickson & Balatinecz,
1964; Choong, 1965; Comstock, 1965; Bailey & Preston, 1969; Isaacs et al.,
1971; Bolton & Petty, 1978; Petty, 1970), sedangkan pada kayu daun lebar, aliran
aksial banyak terjadi di sel pembuluh menuju ke parenkim, trakeid vasisentik dan
serabut yang berdekatan melalui noktah (Wardrop & Davies, 1961; Cote, 1963;
Rudman, 1965). Aliran lateral signifikan terjadi pada sel jari-jari (Wardrop &
Davies, 1961; Cote, 1963; Behr et al., 1969; Murmanis & Chudnoff, 1979).
Khusus pada kayu daun jarum, sel jari-jari berkontribusi besar untuk aliran lateral
pada arah radial kayu yang penyusun sel jari-jari tersebut adalah trakeid dan
parenkim (Cote, 1963).
Proses pergerakan cairan pada kayu terjadi diawali dari sel lumen (Murmanis
& Chudnoff, 1979; Rudman, 1966a), dan kemudian menuju dinding sel trakeid
vertical akibat adanya aliran longitudinal dan aliran radial (Bailey & Preston,
1969). Pergerakan cairan dari lumen paling besar menyumbang permeabilitas sel
secara longitudinal. Pergerakan cairan di dalam dinding sel terjadi menggunakan
sistem kapilaritas terutama pada larutan yang pelarutnya polar (Rudman, 1965 &
1966a,; Rapp et al., 1999; Gindl et al., 2002). Pergerakan larutan tersebut melalui
kapilaritas akan menurun ketika pelarutnya berkurang polaritasnya (Rudman,
1966a; Mantanis et al., 1994). Pergerakan/difusi larutan polar akan baik jika
cairan memiliki berat molekul yang rendah (Hartman, 1969; Mantanis et al.,
1994) terutama pada serat libriform yang memiliki celah yang sedikit dan kecil
(Hansmann et al., 2002). Selain itu, difusi larutan polar (air) juga akan lebih baik
pada sel kayu yang kadar airnya tinggi, dibanding kadar air rendah (Choong,
1965). Pada larutan inorganik termasuk bahan pengawet kayu, kapilaritas dinding
sel dapat dipenetrasi melalui transfer massa antar lamella tengah (Rudman, 1966b;
Petric et al., 2000; Wallstrom & Linberg, 2000). Berdasarkan proses pergerakan
aliran cairan tersebut, Palin dan Petty (1981) menguji permeabilitas dinding sel
kayu teras spruce yang menyebutkan permeabilitas dinding sel longitudinal
memiliki peran paling besar karena daya kapilaritas terjadi paling banyak pada
lapisan dinding sel S2 secara pararel terhadap sumbu longitudinal, kemudian
permeabilitas dinding sel secara radial lebih tinggi dibanding tangensial, namun
keduanya jauh lebih rendah dibanding permeabilitas dinding sel longitudinal.
Setelah memahami keterawetan kayu yang dijelaskan melalui perpindahan
cairan bahan pengawet di dalam kayu, ukuran besarnya keterawetan kayu tersebut
dapat dilihat melalui derajat keterawetan kayu. Suranto (2002) menjelaskan
bahwa derajat keterawetan kayu merupakan suatu pengertian yang membicarakan
tentang banyak sedikitnya bahan pengawet yang meresap ke dalam kayu. Derajat
keterawetan ini diukur dengan menggunakan 3 macam tolak ukur yaitu penetrasi,
absorpsi dan retensi yang ketiganya mempunyai hubungan berbanding lurus.
Penetrasi adalah suatu ukuran yang menggambarkan kedalaman bahan pengawet
masuk ke dalam kayu. Absorpsi adalah ukuran yang menggambarkan banyaknya
cairan pengawet yang dapat dikandung oleh kayu setelah diawetkan. Retensi
adalah suatu ukuran yang menggambarkan banyaknya (beratnya) zat pengawet
murni (bahan aktif pengawet) yang dapat dikandung oleh kayu setelah terawetkan.
Adapun yang mempengaruhi retensi, penetrasi dan absorpsi bahan pengawet
di dalam kayu meliputi struktur anatomi kayu yang didalamnya termasuk
porositas (Dinget al., 2008) dan permeabilitas, jenis bahan pengawet (Tascioglu et
al. 2003), metode pengawetan (Nyunt, 1988) dan kondisi bahan pengawet.
Pengaruh struktur anatomi termasuk porositas dan permeabilitas kayu, serta jenis
pengawet akan dijelaskan pada sub bab III pada makalah ini, sedangkan pengaruh
metode pengawetan dan kondisi bahan pengawet akan dijelaskan pada sub bab ini.
Penelitian pengaruh kondisi bahan pengawet (konsentrasi bahan pengawet)
dan metode pengawetan terhadap penetrasi, absorpsi dan retensi pengawet
dilakukan oleh Nyunt (1988) yang meneliti sifat keterawetan dan ketahanan fungi
3 jenis kayu yaitu Kayu In, Kanyin dan Taung-thayet pada bahan berbagai jenis
bahan pengawet (CCA, BFCA dan Boron), konsentrasi pengawet, metode
pengawetan. Pengaruh konsentrasi bahan pengawet berkorelasi positif terhadap
retensi bahan pengawet di dalam kayu. Jenis bahan pengawet juga mempengaruhi
besarnya retensi dan absopsi pada 3 jenis kayu. Perlakuan incising membuat
retensi pada Kayu In dan Kanyin meningkat 2 kali lipat dari retensi pada metode
vacuum/pressure, sedangkan pada Kayu Taung-thayet, peningkatan retensi 2 kali
lipat terjadi pada perlakuan incising denganvacuum/pressure dalam waktu lama.
Perlakuan penguapan/steam pada metodevacuum/pressure tidak meningkatkan
retensi kayu Kanyin secara signifikan jika dibandingkan pada kondisi kering.
Kombinasi perlakuan incising danvacuum/pressure waktu lama pada sampel
kering udara meningkatkan absorpsi pada 3 jenis kayu secara signifikan.
Perlakuan difusi Boron menghasilkan penetrasi bahan pengawet yang baik dapat
menjadi alternative pengawetan kayu konstruksi interior disamping
metode vacuum/pressure, walaupun dibutuhkan waktu 21 hari pada Kayu In dan
Taung-thayet.
III. Retensi dan Konsentrasi Bahan Pengawet dalam Konteks Struktur Anatomi Kayu,
Porositas dan Permeabilitas Kayu
Bahan pengawet kayu dibagi menjadi 3 tipe, yaitu minyak-tar, larut air dan
larut pelarut organik (Nyunt, 1988). Bahan pengawet yang larut air meliputi
chromate copper boron (CCA), ammoniacal copper arsenate, acid copper
chromate, ammoniacal copper zinc arsenate and ammoniacal copper quaternary,
sedangkan pengawet yang larut pelarut organik meliputi kreosot, tar batu bara dan
pentaklorofenol (PCP) (Hingston et al., 2001). Jenis bahan pengawet yang
berbeda tersebut yang dihadapkan pada keterawetan kayu yang tertentu
berdasarkan jenis kayu tertentu akan membuat retensi bahan pengawet yang
berbeda. Sebagai contoh, hal tersebut terjadi pada penelitian Tascioglu et al.
(2003) yang meneliti tentang pengaruh jenis bahan pengawet (larut air dan larut
minyak) terhadap sifat perekatan papan laminasi kayu pinus kuning selatan (Tabel
1) dimana bahan pengawet larut air yang digunakan adalah CCA dan CDDC, serta
bahan pengawet larut minyak, yaitu copper naphthalene (CuN), PCP dan kreosot.
Pada konsentrasi pengawet yang sama yaitu 5%, retensi bahan pengawet pada
papan lamina pinus kuning dengan menggunakan CCA sebesar 23,9 kg/m3,
sedangkan pada PCP sebesar 9,29 kg/m3.
Retensi dan konsentrasi bahan pengawet di dalam kayu (keterawetan kayu)
dipengaruhi oleh struktur anatomi kayu, porositas kayu dan permeabilitas kayu.
Retensi dan konsentrasi bahan pengawet antara kayu gubal dan kayu teras, serta
antara kayu daun jarum dan kayu daun lebar tentunya akan berbeda karena
struktur anatomi, porositas dan permeabilitas antara kayu-kayu tersebut yang
berbeda. Struktur anatomi kayu yang mempengaruhi retensi dan konsentrasi kayu
terkait dengan jenis-jenis sel (sel pembuluh, parenkim, serabut, jari-jari, dan
trakeid) beserta dengan keadaannya akan mempengaruhi porositas dan
permeabilitas kayu. Pengaruh porositas terhadap tingkat aliran volumetrik (retensi
bahan pengawet) dapat dilihat melalui ukuran pori (Wang & DeGroot, 1996).
Porositas kayu menentukan kecepatan impregnasi dan retensi polimer terutama
pada porositas dengan diameter pori >0,1 µm (Ding et al., 2008).
Pada kayu daun jarum, karena ukuran lebih kecil daripada lumen trakeid,
keterawetan kayu sangat tergantung oleh ukuran dan kondisi struktur dari noktah.
Parameter yang mempengaruhi adalah ukuran pori efektif, banyaknya lubang
noktah per unit area, kemungkinan pit teraspirasi maupun deaspirasi, pemadatan
(encrustation) membran pit dan panjang trakeid (Wang & DeGroot, 1996). Selain
lubang noktah, pori mikro di dinding sel memiliki peran terhadap keterawetan,
terutama ketika pelarut polar digunakan dalam bahan pengawet (pengawet larut
air) (Nicholas dan Siau, 1973). Permeabilitas membran noktah yang tidak
teraspirasi pada kayu daun jarum relatif tinggi akibat kehadiran struktur margo
yang terbuka, namun fungsi margo yang terbuka tersebut akan menurun akibat
adanya aspirasi pada membran noktah (Cote, 1990). Pada tahap pengeringan
sebelum perlakuan pengawetan, membran noktah akan teraspirasi ketika air keluar
dari sel dan terjadi meniskus air-udara melewati membran. Membran noktah
teraspirasi menyebabkan tertutup rapatnya membran dan lubang noktah karena
ikatan hidrogen, daya kapilaritas (Thomas and Kringstad, 1971), sedangkan pada
kayu teras, aspirasi noktah disebabkan oleh ekstraktif. Adanya noktah yang
terkonsentrasi pada permukaan radial membuat sel jari-jari menjadi penyalur
utama untuk aliran radial (Erikson, 1970; Cote, 1963).
Pada kayu daun lebar, sel pembuluh merupakan sel yang berkontribusi paling
besar pada pengaliran bahan pengawet. Oleh karena itu, ukuran, distribusi dan
kondisi sel pembuluh merupakan faktor penting yang mempengaruhi keterawetan
kayu daun lebar. Kondisi sel pembuluh yang lumennya terdapat atau ditutupi
tilosis, getah gum, getah resin dan eksudat/ekstraktif kapur akan menurunkan
keterawetan kayu teras dan zona transisi kayu teras-kayu gubal pada kayu daun
lebar (Kumar & Dobriyal 1993; Perng, Brebner, dan Schneider 1985). Pada kayu
daun lebar, ketika pembuluh tersumbat oleh tilosis dan ekstraktif, sel jari-jari dan
sel serabut dapat berfungsi sebagai saluran yang menyalurkan cairan. Hal tersebut
terbukti pada penelitian Greaves & Levy, 1978 dan Bosshard, 1961 yang
menyatakan bahwa konsentrasi bahan pengawet CCA dan kreosot relatif tinggi
terdapat pada jaringan sel jari-jari pada kayu daun lebar. Sel parenkim jari-jari
juga merupakan saluran yang penting pada aliran radial pada beberapa spesies
(Behr et al., 1969). Berbeda dengan hal di atas, Teesdale dan MacLean (1918)
menyimpulkan bahwa sel jari-jari kayu daun lebar tidak memegang peranan
penting dalam distribusi pengawet kreosot secara melintang. Pada sel pembuluh
yang tersumbat, noktah yang tersumbat, sel pembuluh yang terisolasi dan sel
pembuluh yang rendah volumenya, sel serabut menjadi sangat penting sebagai
saluran aliran cairan (Thomas, 1976; Teesdale dan MacLean, 1918).
Aliran cairan antar sel pada kayu daun lebar terjadi melalui noktah
berpasangan berhalaman maupun setengah berhalaman (Siau, 1984; Perng,
Brebner, dan Schneider, 1985). Membran noktah pada kayu daun lebar memiliki
struktur margo yang terbuka lebih sedikit dibanding kayu daun jarum. Meskipun
kekurangan margo, membran noktah pada dasarnya tetap permeable (Siau, 1984;
Thomas, 1976; Cote, 1963). Membran noktah ini berada pada noktah berpasangan
berhalaman di antara sel pembuluh, di antara sel pembuluh dan sel trakeid serabut,
serta di antara parenkim longitudinal dan parenkim jari-jari yang peranannya
sebagai penyaring aliran cairan. Sama seperti kayu daun jarum, membran noktah
kayu gubal pada kayu daun lebar juga dapat teraspirasi dan
terjadi encrustation (Panshin dan deZeeuw, 1980; Hillis, 1987). Hal ini yang
berkontribusi pada penurunan keterawetan kayu teras pada kayu daun lebar (Cote,
1963; Krahmer dan Cote, 1963).
Kayu gubal memiliki sifat mudah diimpregnasi (kecuali jenis Spruce),
sedangkan kayu teras lebih sulit diimpregnasi dengan hanya menggunakan metode
konvensional (USDA, 1987). Sulitnya kayu teras diberi perlakuan dalam hal ini
dialiri bahan pengawet dikarenakan kayu teras memiliki pori yang kecil (Petty and
Preston, 1969; Stamm, 1970), pit teraspirasi permanen (Thomas dan Nicholas,
1966; Thomas and Kringstad, 1971), ekstraktif yang tersimpan di membrane
noktah saat pembentukan kayu teras (Hillis, 1987; Siau, 1984; Cote, 1990;
Panshin dan DeZeeuw, 1980) dan terbentuknya tilosis (Siau, 1984; Cote, 1990;
Panshin dan DeZeeuw, 1980). Oleh karena banyaknya hal yang menghalangi
aliran bahan pengawet pada kayu teras, maka keterawetan kayu teras rendah.
Peningkatan presentase kayu teras akan membuat retensi total pada kayu terawet
menurun secara eksponensial (Huffman, 1996 dalam Wang & Degroot, 1996).
Hal tersebut terjadi akibat kayu teras yang memiliki permeabilitas yang lebih
rendah.
Bentuk bahan pengawet khususnya bentuk bahan aktif penyusun bahan pengawet
Bahan aktif yang berbentuk oksida akan berbeda tingkat fiksasi dan perlindiannya
dibanding bentuk garam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohim, S. Manfaat Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung. Makalah. Diskusi
Peningkatan Kualitas Kayu pada tanggal 24 Februari 2000 di Bogor.