Anda di halaman 1dari 146

DETERIORASI DAN

PERBAIKAN SIFAT KAYU

MUSRIZAL MUIN
ASTUTI ARIF
SYAHIDAH

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDIN
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................ iii

BAB I KETAHANAN ALAMI KAYU ................................................ 1


A. Pengertian Ketahanan Alami Kayu ................................................ 1
B. Bahan Diskusi ........................................................................ 5
D. Bahan Bacaan Pengayaan ............................................................ 6
E. Latihan/ Soal-Soal ........................................................................ 6

BAB II FAKTOR ABIOTIK PERUSAK KAYU .................................... 7


A. Faktor Fisik ........................................................................ 8
B. Faktor Kimia .................................................................................... 18
C. Faktor Mekanis ......................................................................... 20
D. Tugas/ Bahan Diskusi ............................................................. 21
E. Latihan/ Soal-Soal ........................................................................ 21
F. Bahan Bacaan Pengayaan ............................................................ 21

BAB III FAKTOR PERUSAK BIOTIK ................................................ 54


A. Organisme Pendegradasi Kayu ................................................. 54
B. Jamur Penghuni Kayu ......................................................................... 59
C. Serangga Perusak Kayu ............................................................. 69
D. Binatang laut ..................................................................................... 97
E. Bahan Diskusi ......................................................................... 106
F. Bahan Bacaan Pengayaan ............................................................ 106
G. Latihan/ Soal-Soal ......................................................................... 107

  i
BAB IV MENDETEKSI DETERIORASI KAYU ...................................... 108
A. Metode Konvensional .......................................................................... 109
B. Metode Alternatif .......................................................................... 113
C. Bahan Tugas ......................................................................... 114
D. Bahan Bacaan Pengayaan ............................................................ 114
E. Latihan/ Soal-Soal ......................................................................... 114

BAB V TUJUAN DAN MANFAAT PERBAIKAN SIFAT KAYU.............. 115


A. Bahan Diskusi ......................................................................... 121
B. Bahan Bacaan Pengayaan ............................................................ 122
C. Latihan/ Soal-Soal ......................................................................... 122

BAB VI PERBAIKAN SIFAT KEKUATAN KAYU .......................... 123


A. Metode-Metode Perbaikan Sifat Kekuatan Kayu ........................... 125
B. Bahan Tugas ......................................................................... 133
C. Latihan/ Soal-Soal ......................................................................... 133

BAB VII PERBAIKAN SIFAT KEAWETAN KAYU .......................... 134


A. Teknik-Teknik Perbaikan Sifat Keawetan Kayu ........................... 135
B. Bahan Diskusi ......................................................................... 141
C. Bahan Bacaan Pengayaan .............................................................. 141
D. Latihan/ Soal-Soal ......................................................................... 143

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 144

  ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur disampikan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan hidayah-Nya
sehingga buku ajar mata kuliah Deteriorasi dan Perbaikan Sifat Kayu ini dapat
diselesaikan. Buku ini disusun oleh Tim Pengajar untuk menjadi salah satu sumber
belajar bagi mahasiswa di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Sebagai
sumber belajar, buku ini disusun dengan menggunakan rumusan bab per bab dengan
tujuan khusus masing-masing. Buku ini memuat aspek-aspek Ketahanan Alami Kayu,
Faktor Perusak Kayu, Teknik dan Peranan Perbaikan Sifat Kayu serta Bagaimana
Mendeteksi Deteriorasi Kayu.

Walaupun buku ini hanya menyangkut aspek-aspek umum dari Deteriorasi


dan Perbaikan Sifat Kayu, penulis berharap buku ajar ini dapat menjadi buku
pegangan mahasiswa Program Sarjana dalam menempuh studi dan mengembangkan
pengetahuan di Fakultas Kehutanan. Beberapa bahan pengayaan didalam buku ini
juga diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
berhubungan dengan deteriorasi dan perbaikan sifat kayu atau dalam mengembangkan
ilmu secara spesifik. Dengan selesainya buku ajar ini, penulis mengucapkan terima
kasih dan penghargaan kepada Pimpinan Fakultas atas bantuan dana yang disediakan.

Penulis

  iii
BAB I
KETAHANAN ALAMI KAYU

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada
mahasiswa tentang: (1) pengertian ketahanan alami kayu, (2) variasi ketahanan alami
kayu, dan (3) hubungan ketahanan alami kayu dengan tujuan penggunaannya.
Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa
untuk dapat menjelaskan dan mengemukakan contoh tentang bagaimana sifat-sifat dasar
kayu mempengaruhi ketahanan kayu (kekuatan dan keawetan).

A. Pengertian Ketahanan Alami Kayu

Kayu yang dikenal sebagai produk alami karena dihasilkan dari proses
pertumbuhan pohon pada dasarnya adalah bahan polimer yang tersusun atas berbagai tipe
sel dan jenis bahan kimia yang satu sama lain saling berhubungan. Dengan demikian,
kayu memiliki sifat anatomi, fisik, kimia, dan mekanis yang juga khas secara alami
sehingga akan bervariasi antar jenis, antar pohon dalam satu jenis, dan antar bagian
dalam satu pohon. Perbedaan sifat-sifat tersebut tentu saja berimplikasi pada perbedaan
ketahanan alami dari kayu. Olehnya itu, mudah dimengerti bahwa setiap faktor perusak
kayu akan memiliki dampak atau mengakibatkan deteriorasi dengan tingkat yang berbeda
pada setiap potong kayu. Adanya serangan organisme perusak kayu pada suatu struktur
bangunan tidak berarti bahwa seluruh kayu yang ada dalam struktur tersebut akan
diserang secara merata. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan ketahanan dari setiap
potong kayu yang menyusun struktur tersebut. Meskipun demikian, adanya serangan
tersebut dapat mempengaruhi ketahanan struktur secara keseluruhan sehingga apapun
tipe dan bentuk gangguan dari faktor perusak yang muncul seharusnya dihindari sedini
mungkin.
Ketahanan kayu pada dasarnya diklasifikasikan atas kekuatan (kelas-kelas kuat)
dan keawetan (kelas-kelas awet). Kekuatan kayu adalah daya tahan kayu terhadap beban
yang mengenainya, sedangkan keawetan kayu adalah daya tahan kayu terhadap

1
organisme perusak kayu. Meskipun demikian, ketahanan kayu juga dapat diartikan secara
umum sebagai daya tahan kayu terhadap faktor-faktor perusak, baik faktor biotik maupun
faktor abiotik. Untuk memahami pengertian ini diperlukan pengetahuan tentang
bagaimana hubungan antara kayu sebagai produk alam dengan faktor-faktor perusak
dalam suatu kondisi penggunaan kayu.
Kayu sebagai produk alam harus dipahami sebagai biopolimer yang tersusun atas
sel-sel, mengandung persenyawaan kimia berupa selulosa, hemiselulosa, lignin, dan
bahan ekstraktif. Pembentukan biopolimer tersebut juga membutuhkan waktu bertahun-
tahun dengan keterlibatan tempat dan lingkungan tumbuh. Olehnya itu mudah dimengerti
bahwa kayu dapat terurai kembali menjadi komponen-komponen pembentuknya.
Kayu merupakan bahan organik yang melimpah di bumi. Pohon membentuk kayu
melalui proses fotosintesis dan jamur beserta agen perusak lainnya merusak kayu melalui
proses respirasi yang berperan dalam siklus biosintesis dan biodekomposisi. Hubungan
tersebut digambarkan oleh reaksi sederhana berikut yang merupakan bagian dominan
dalam siklus karbon:

fotosintesis oleh pohon


dan tanaman lain

6n CO2 + 5n H2O + 677.000 n kalori ⇔ (C6H10O5) n + 6n O2 ............ (1)

respirasi oleh jamur


dan organisme perusak lainnya

Istilah kerusakan kayu seringkali dinyatakan dengan berbagai istilah, yaitu dekomposisi,
degradasi atau deteriorasi. Dekomposisi dan degradasi merujuk pada perubahan satu atau
lebih struktur polimer kayu menjadi molekul yang lebih sederhana. Degradasi dapat juga
digunakan untuk menjelaskan deteriorasi, yaitu penurunan nilai kayu untuk berbagai
penggunaan, dan degradasi digunakan untuk pengertian yang lebih sempit.

2
Ada dua tipe utama sel kayu yang terbentuk dari pembelahan kambium, yaitu sel
serat (fiber) yang berdinding tebal yang membuat kayu kuat dan sel parenkim
(parenchyma) berdinding tipis yang menyimpan cadangan makanan. Serat kayu akan
mati beberapa hari atau minggu setelah terbentuk dan kehilangan isi sitoplasmanya dan
berubah fungsi menjadi pengangkut air. Sel serat dewasa seluruhnya terdiri atas polimer
dinding sel yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Oleh karena itu, sel serat kayu dapat
didegradasi hanya oleh organisme yang mempunyai kemampuan mendekomposisi bahan
struktural berpolimer tinggi. Sebaliknya, sel parenkim tetap hidup selama beberapa tahun
dan hanya kehilangan kandungan sitoplasmanya bila kayu gubal dirubah menjadi kayu
teras. Gula, pati, asam amino, dan protein dalam sel parenkim membuat kayu gubal
sangat rentan (susceptible) terserang oleh sejumlah besar jamur dan bakteri yang dapat
menggunakan bahan cadangan makanan tetapi tidak menyerang polimer dinding sel yang
kompleks.

Kayu teras dari spesies tertentu memiliki ketahanan (resistant) sedang sampai tinggi
terhadap dekomposisi oleh organisme yang dapat mendegradasi dinding sel. Daya tahan
tersebut disebabkan oleh fenol, terpena, alkaloid, dan substansi lain yang menumpuk
dalam kayu teras dan merupakan racun bagi jamur perusak kayu, bakteri, serangga dan
marine borer. Karena substansi beracun tersebut tidak terdapat dalam kayu gubal, kayu
gubal mati pada semua spesies sangat mudah mengalami dekompoisi biologis. Pada kayu
gubal pohon yang masih hidup pada dasarnya tahan terhadap pelapukan karena aktifnya
mekanisme pertahanan, sebaliknya kayu teras lebih mudah terserang dari kayu gubal
yang masih hidup. Meskipun sejumlah besar jamur dan beberapa jenis serangga dapat
menyebabkan dekomposisi jaringan kayu teras mati, jarang ada organisme yang
melakukan dekomposisi produk kayu setelah pohon ditebang, teutama setelah
dikeringkan.

Pada sisi lain, faktor-faktor perusak harus dilihat sebagai komponen yang muncul
sebagai hasil interaksi antara kayu dengan lingkungan penggunaannya, baik lingkungan
biotik maupun lingkungan abiotik. Lingkungan biotik dapat mempengaruhi ketahanan
kayu karena organisme perusak berinteraksi dengan kayu dalam bentuk menjadikannya

3
sebagai bahan makanan atau tempat perlindungan. Sedangkan lingkungan abiotik mampu
mempengaruhi ketahanan kayu karena adanya interaksi fisik, mekanis maupun kimia
yang dapat merombak/ merubah komposisi kimia dan bentuk kayu.
Beberapa studi menitikberatkan ketahanan kayu lebih pada daya tahannya
terhadap organisme perusak sehingga banyak pustaka yang selalu menggandengkan
pengertian ketahanan kayu dengan organisme perusak. Hal ini mudah dimengerti karena
daya tahan kayu terhadap serangan organisme perusak (keawetan) dapat mempengaruhi
kekuatan kayu secara nyata pada saat serangan tersebut merombak atau mengurangi
unsur penyusun kayu, yang biasa diistilahkan dengan kehilangan berat (weight loss).
Sebaliknya, daya tahan kayu terhadap beban yang diberikan (kekuatan) relatif tidak
berhubungan dengan keawetan kayu. Namun demikian, selain serangan organisme
perusak, ada faktor-faktor abiotik yang juga mampu merombak atau mengurai unsur-
unsur penyusun kayu dan mempengaruhi umur pakai kayu (keawetan) serta kekuatannya.
Hanya saja faktor abiotik ini relatif membutuhkan waktu yang lama untuk melihat
dampaknya secara nyata dibanding dengan faktor biotik.
Kemampuan memahami bentuk dan lingkungan interaksi kayu dengan faktor-
faktor perusaknya sangat diperlukan untuk dapat melakukan pengendalian atau
perlakuan-perlakuan yang diperlukan bagi optimalisasi penggunaan kayu dalam suatu
lingkungan tertentu. Hal ini sangat relevan mengingat besarnya potensi jenis-jenis kayu
kita dan tingginya kesesuaian lingkungan kita bagi keberadaan dan berkembangnya
berbagai faktor perusak. Negara kita Indonesia memiliki 4.000-an jenis kayu dan
diperkirakan hanya 15 – 20 % saja yang secara alami mempunyai daya tahan yang tinggi
terhadap organisme perusak kayu, sedangkan 80 - 85% termasuk dalam kelas awet
rendah. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kayu-kayu yang secara alami tidak
awet ini juga memiliki kekuatan yang rendah. Bahkan, sebagian besar kayu-kayu tersebut
cukup memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan bangunan karena memiliki
kekuatan yang memadai. Hanya saja, akibat rentannya kayu tersebut terhadap serangan
organisme perusak dapat berakibat pada menurunnya kekuatan kayu dalam
penggunaannya. Hubungan ini akan lebih nyata lagi bila keadaan lingkungan
penggunaannya sangat kondusif bagi munculnya faktor-faktor perusak kayu yang mampu

4
merombak komponen utama pembentuk kayu seperti lignin dan selulosa, serta
menurunkan kekuatan kayu.
Ketahanan alami kayu yang bervariasi menunjukkan adanya faktor-faktor bawaan
yang mempengaruhinya. Faktor-faktor ini perlu diketahui sebagai bahan referensi dalam
memperkirakan atau menentukan kelas ketahanan kayu, baik kekuatan maupun
keawetannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan alami kayu secara umum
adalah seluruh sifat-sifat dasarnya yang meliputi struktur anatomi, sifat fisis, dan unsur
kimia penyusunnya. Faktor-faktor ini juga memiliki hubungan yang kuat satu sama lain.

B. Bahan Diskusi
Pada bagian ini, mahasiswa secara sendiri-sendiri atau kelompok diminta untuk
mendiskusikan dan menyampaikan pendapat tentang bagaimana sifat-sifat dasar kayu
mempengaruhi ketahanan kayu (kekuatan dan keawetan). Secara umum, diskusi
dijalankan dengan menggunakan skema pertanyaan berikut.

Struktur Anatomi Sifat Fisis Komponen Kimia


? ? ? ? ? ?
Kekuatan ? ? ? ? ? ?
Keawetan ? ? ? ? ? ?

Diskusi dalam kelas dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut:


1. Peserta mata kuliah dibagi atas tiga kelompok, yaitu: (1) Anatomi; (2) Fisis; dan (3)
Kimia.
2. Setiap kelompok memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal
kelompoknya untuk mengidentifikasi sifat-sifat dasar, sesuai kelompoknya, yang
dapat mempengaruhi kekuatan dan keawetan kayu.
3. Diskusi dilanjutkan dengan membahas bentuk pengaruh dari sifat-sifat yang telah
diidentifikasi tersebut.

5
4. Ketua kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas untuk
ditanggapi oleh kelompok lainnya.

C. Bahan Bacaan Pengayaan

D. Latihan/ Soal-Soal

1. Jelaskan hubungan antara sifat anatomi kayu dengan kekuatan dan keawetannya,
berikan salah satu contoh kasus !
2. Jelaskan hubungan antara sifat kimia kayu dengan kekuatan dan keawetannya,
berikan salah satu contoh kasus !
3. Jelaskan hubungan antara sifat fisis kayu dengan kekuatan dan keawetannya, berikan
salah satu contoh kasus !

6
BAB II
FAKTOR ABIOTIK PERUSAK KAYU

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada
mahasiswa tentang faktor abiotik perusak kayu, kondisi dan tingkat serangan, serta
penanganannya secara awal.
Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa
untuk dapat menganalisis potensi kerusakan kayu akibat faktor abiotik.

Deteriorasi kayu akibat faktor abiotik dapat dilihat pada unsur kayu bangunan yang
mengalami perubahan warna setelah digunakan dalam jangka waktu tertentu. Kerusakan
ini akan semakin besar jika kayu tersebut tidak diberikan perlakuan/perlindungan
sebagaimana mestinya, terlebih lagi jika digunakan pada kondisi yang terekspos terhadap
lingkungan luar. Banyak faktor yang menyebabkan kondisi tersebut dapat terjadi.
Umumnya, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh cuaca (weathering), dimana kayu akan
mengalami oksidasi dan fotodegradasi oleh sinar ultraviolet dari matahari.
Selain akibat cuaca, faktor lain yang juga dapat menyebabkan deteriorasi adalah api
dimana seringkali terjadi suatu bangunan mengalami kebakaran yang akibatnya akan
menghabiskan konstruksi tersebut. Faktor lain adalah adanya zat kimia yang mengenai
kayu terutama pada peralatan penampungan bahan kimia maupun meja-meja
laboratorium yang terbuat dari kayu. Keberadaan faktor-faktor ini sangat penting untuk
dipahami agar dapat diupayakan suatu tindakan pencegahan deteriorasi kayu akibat
faktor abiotik tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor abiotik ialah faktor
yang disebabkan oleh unsur pengaruh alam dan keadaan alam itu sendiri, yang terdiri
atas:
1. Faktor fisik, ialah keadaan atau sifat alam yang mampu merusak komponen kayu
sehingga umur pakainya menjadi pendek. Yang termasuk faktor fisik antara lain: suhu
dan kelembaban udara, panas matahari, api, udara dan air. Semua yang termasuk
faktor fisik itu mempercepat kerusakan kayu bila terjadi penyimpangan. Misalnya bila
kayu tersebut terus-menerus kena panas maka kayu akan cepat rusak.

7
2. Faktor mekanik, terdiri atas proses kerja alam atau akibat tindakan manusia. Yang
termasuk faktor mekanik antara lain: pukulan, gesekan, tarikan, tekanan dan lain
sebagainya. Faktor mekanik berhubungan erat sekali dengan tujuan pemakaian.
3. Faktor kimia, juga mempunyai pengaruh besar terhadap umur pakai kayu. Faktor ini
bekerja mempengaruhi unsur kimia yang membentuk komponen seperti selulosa,
lignin dan hemiselulosa. Unsur kimia perusak kayu antara lain: pengaruh garam,
pengaruh asam dan basa.

Secara khusus, pada bab ini akan dibahas faktor perusak kayu yang berasal dari
unsur-unsur alam (faktor abiotik) yaitu faktor fisik (air, cuaca/weathering, panas/thermal
decomposition), faktor kimia (chemical decomposition) dan faktor mekanis (mechanical
wear).

A. Faktor Fisik
A.1. Air
Air sebagai salah satu kebutuhan dalam pertumbuhan pohon akan mengisi dinding
sel dan rongga sel kayu. Seperti diketahui bahwa air pada sel dapat berupa air terikat, air
bebas dan uap air. Air terikat (bound water) adalah air yang terdapat pada dinding sel,
sedangkan air bebas (free water) dan uap air adalah air yang terdapat pada rongga sel.
Air bebas akan mempengaruhi berat kayu sedangkan air terikat akan mempengaruhi berat
dan dimensi kayu. Dengan demikian, kadar air kayu sangat mempengaruhi sifat-sifat
kayu seperti stabilitas dimensi, sifat mekanik dan ketahanan terhadap kerusakan.
Telah diketahui bahwa kayu merupakan bahan yang bersifat higroskopis, karena
polimer dinding selnya mengandung gugus hidroksil yang reaktif. Pada lingkungan yang
mengandung uap air, kayu kering akan menyerap uap air sampai kadar air kesetimbangan
dengan lingkungan. Begitu juga kayu yang jenuh air ketika ditempatkan ditempat yang
kelembaban relatifnya lebih rendah akan kehilangan uap air sampai kadar air
kesetimbangan dengan lingkungan. Dimensi kayu akan berubah sejalan dengan
perubahan kadar air dalam dinding sel, karena di dalam dinding sel terdapat gugus OH
(hidroksil) dan oksigen lain yang bersifat menarik uap air melalui ikatan hidrogen.

8
Kembang susut kayu yang paling besar berturut-turut adalah pada bidang tangensial,
radial dan aksial. Stabilitas dimensi kayu adalah kemampuan kayu itu untuk menahan
perubahan dimensi karena perubahan kondisi kadar air.
Ada beberapa cara untuk mengurangi perubahan dimensi kayu yang disebabkan
oleh air yaitu:
1. Menghalangi penyerapan uap air dengan pelapisan produk, berupa pelapisan
dengan cat dan resin sintetis. Cara ini merupakan cara yang umum tapi tidak
efektif, karena hanya akan memperlambat laju difusi dan tidak mampu
menghalangi gerakan uap air secara sempurna.
2. Menghalangi perubahan dimensi dengan penahanan yang membuat gerakan
menjadi sukar atau tidak mungkin. Masalah pada cara ini adalah terjadinya
tekanan-tekanan internal apabila kayu berusaha mengembang tetapi dihalangi,
sehingga dapat mengakibatkan gangguan bentuk atau cacat kayu.
3. Memperlakukan kayu dengan bahan yang menggantikan semua atau sebagian air
terikat di dalam dinding sel. Dilakukan pada kayu yang masih segar dan bahan
perlakuan tetap tinggal dalam dinding sel ketika kayu tersebut dikeringkan.
Bahan yang pertama digunakan adalah resin fenol formaldehid (PF) melalui
proses impregnasi. Bahan lainnya adalah polietilen glikol (PEG), berupa seperti
lilin yang dilarutkan dengan air.
4. Menghasilkan kayu untuk menghasilkan saling ikatan silang antara gugus
hidroksil dalam dinding sel kayu. Ikatan silang dapat mengurangi higroskopisitas
kayu dengan mengurangi tempat ikatan untuk air di dalam dinding sel.
5. Pengisian dengan monomer-monomer plastik seperti metil metakrilat dan stiren
akrilonitril. Monomer tersebut dapat dipolimerisasikan dengan radiasi atau
pemanasan dengan katalisator yang sesuai.

Sebagai contoh, suatu penelitian modifikasi kimia pada kayu karet dengan styrene
yang dikombinasikan dengan crosslinker Glycidyl Methacrylate (GMA) menunjukkan
bahwa perlakuan ini mampu memperbaiki stabilitas dimensi dalam hal % pengembangan

9
volume, anti-shrink efficiency dan mengurangi penyerapan air. Ketahanan kimia sampel
yang diberi perlakuan juga lebih tinggi dibandingkan sampel tanpa perlakuan.

A.2. Pencuacaan (Weathering)


Weathering adalah proses yang terjadi pada permukaan kayu dan melibatkan
cahaya yang menyebabkan kerusakan lignin sehingga terurai dan dapat larut dalam air.
Apabila hal tersebut terjadi, lignin akan tercuci dari permukaan kayu dan meninggalkan
permukaan yang kaya komponen selulosa. Ada beberapa pendapat bahwa degradasi
lignin kemungkinan berasosiasi dengan kerusakan karbohidrat dalam proses weathering.
Faktor kunci yang menyebabkan weathering kayu adalah cahaya UV dan air, meskipun
terdapat juga indikasi keterlibatan cahaya tampak. Selain itu juga terdapat peran radikal
bebas dalam proses oksidatif yang terjadi selama weathering, dan beberapa polutan di
udara seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida memperburuk proses weathering kayu.
Adanya fakta weathering pada kayu mengakibatkan dibutuhkannya proteksi permukaan
seperti cat atau lapisan penutup lainnya dalam berbagai aplikasi.
Faktor perusak kayu yang disebabkan oleh cuaca (weathering) terutama berupa
fotodegradasi oleh sinar ultra violet (UV) dan oksidasi. Fakta-fakta yang terkait dengan
pencuacaan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. kerusakan fotokimia komponen dinding sel kayu oleh gelombang pendek dan
gelombang panjang UV,
2. reaksi oksidasi dari produk dekomposisi komponen dinding sel,
3. pencucian produk dekomposisi yang mudah larut, dan
4. kerusakan mekanik elemen permukaan yang terkait dengan pengembangan dan
penyusutan kayu akibat pembasahan (wetting) dan pengeringan (drying).

Permukaan kayu yang diekspos terhadap cuaca akan terdekomposisi, dimana di


antara komponen utama kayu, lignin mempunyai absorpsi sinar UV terbesar
dibandingkan dengan komponen kayu lainnya. Dengan demikian lignin juga merupakan
komponen pertama yang akan terdekomposisi oleh radiasi UV. Radiasi UV
menyebabkan terjadinya perubahan warna alami kayu dimana warna kayu berangsur-

10
angsur akan menjadi lebih terang karena ligninnya terdekomposisi sehingga akan mudah
tercuci oleh air hujan dan yang tertinggal adalah komponen selulosa dan proses ini akan
berulang terus-menerus yang pada akhirnya akan membuat kayu menjadi rusak.
Evans et al. (1992) dalam Plackett et. al (1996) meneliti tingkat delignifikasi
permukaan radiata pine (Pinus radiata D. Don) menggunakan finir yang diekspos pada
kondisi cuaca alami dan menunjukkan kehilangan lignin secara substansial setelah 3 hari
dipaparkan. Kehilangan berat sampel yang terjadi ternyata karena rusaknya lignin akibat
pencucian oleh air hujan. Penelitian yang dilakukan oleh Norrstrom (1969) dalam
Plackett et. al (1996) menunjukkan bahwa degradasi kayu yang disebabkan oleh UV 80 –
90% terjadi pada lignin, 5 – 20% pada karbohidrat, dan hanya 2% pada ekstraktif.
Berdasarkan Scanning electron microscopy (SEM) dan transmission electron microscopy
(TEM) ternyata bahwa lignin pada sudut dinding sel dan lamella tengah lebih dahulu
terdegradasi pada tahap awal penyinaran UV pada percobaan laboratorium. Degradasi
dinding sel secara massif tidak terjadi saat permukaan kayu diekspos pada cahaya UV
selama lebih dari 10 hari.
Hon dan Chang (1984) dalam Plackett et. al (1996) menunjukkan bahwa kandungan
lignin pada permukaan southern yellow pine turun dari 28% menjadi 14,5 % pada
pemaparan dengan cahaya UV. Dikatakan juga bahwa absorpsi cahaya UV oleh lignin
dapat menghasilkan transfer energi dan berkontribusi terhadap pemecahan sellulosa.
Hemisellulosa memiliki karakteristik absorpsi UV yang hampir identik dengan selulosa
(Hon, 1981) dan dapat menghasilkan degradasi produk yang lebih larut dalam air
dibandingkan dengan sellulosa pada derajat polimerisasi yang sama.
Di antara semua faktor lingkungan yang dapat menyebabkan degradasi pada kayu,
sinar UV dari cahaya matahari merupakan penyebab kerusakan terbesar. Dari komponen
utama kayu, lignin berkontribusi 80-95% terhadap koefisien penyerapan UV oleh kayu,
sementara karbohidrat 5-12% dan ekstraktif 2% (Kuo dan Hu, 1991 dalam Pastore et al.
2004). Lignin merupakan komponen pertama yang didekomposisi oleh radiasi UV (Hon
dan Feist, 1986 dalam Pastore et al. 2004) melalui mekanisme kompleks oleh radikal
bebas (Moore dan Owen, 2000 dalam Pastore et al. 2004). Selanjutnya Pastore et al.
(2004) menyatakan bahwa warna alami kayu akan berubah dengan cepat jika diekspos

11
terhadap weathering. Pertama akan menjadi gelap, kemudian kuning atau coklat dan
akhirnya warna perak keabua-abuan akan dominan. Penelitian oleh Kalnins (1966)
mengindikasikan bahwa ekstraktif dalam Douglas fir adalah antioxidan dan karena itu
ekstraktif kemungkinan memberikan efek perlindungan terhadap fotodegradasi kayu.
Miniutti (1964) dalam Plackett et. al (1996) menggunakan SEM untuk
menunjukkan bahwa perubahan utama yang terjadi pada kayu yang disinari UV adalah
rusaknya noktah pada pinggir dinding sel radial dan pembentukan microcheck sepanjang
sudut fibril dalam dinding sel tangensial. Dalam studi yang sama, SEM juga digunakan
untuk menjelaskan degradasi awal lignin pada sudut sel dan dalam lamella tengah selama
tahap awal penyinaran UV. Groves dan Banana (1986) menggunakan SEM untuk
meneliti weathering alami Pinus radiata dan menemukan bahwa deteriorasi
mikrostruktur kayu terjadi setelah 4 bulan dipaparkan. Degradasi permukaan dan
pengikisan permukaan kayu terjadi setelah 6 bulan dipaparkan.
Feist (1982) dalam Plackett et. al (1996) menyimpulkan bahwa aspek signifikan
weathering kayu pada aplikasi struktural menimbulkan pengaruh estetik seperti
perubahan warna, kekasaran, retak permukaan, timbulnya kotoran, dan pertumbuhan
lumut/jamur. Perubahan tersebut dapat terjadi sangat cepat, tapi sering juga hanya sedikit
perubahan nyata lebih lanjut selama beberapa tahun dengan ketiadaan perusak. Hon
(1983) dalam Plackett et. al (1996) mereview reaksi weathering dan proteksi permukaan
kayu dan menyatakan bahwa pada umumnya cuaca menyebabkan terjadinya diskolorisasi
pada kayu antara 3 dan 4 bulan setelah pertama kali dipaparkan (Gambar 1).

12
Gambar 1. Perubahan warna akibat pencuacaan di luar ruangan western
red cedar, redwood, southern yellow pine, dan Douglas fir di
USA

Penelitian di New Zealand yang melakukan pemaparan Pinus radiata dan western
red cedar (Thuja plicata) memberikan hasil yang sama (Gambar 2).

Gambar 2. Perubahan warna akibat pencuacaan di luar ruangan radiata


pine dan western red cedar di New Zealand

Bila kayu tidak dilindungi dengan pelapisan (coating) dan terpapar ke atmosfer dan
matahari, disintegrasi fisik dan kimia secara perlahan akan terjadi pada permukaan kayu.
Permukaan kayu segar mulai berubah warna setelah beberapa minggu terpapar di luar
ruangan (outdoor). Pertama kali kayu tercuci (leaching) dan kemudian berubah secara

13
perlahan menjadi coklat. Setelah beberapa tahun terpapar di luar ruangan, permukaan
kayu perlahan-lahan akan berwarna abu-abu.
Pada awalnya, warna kayu berubah menjadi coklat sebagai hasil dekomposisi
fotokimia lignin dan zat ekstraktif membentuk radikal bebas yang menimbulkan
dekomposisi lanjut karbohidrat struktural dan oksidasi sebagian fenolik. Permukaan
yang tercuci lalu mengeluarkan produk dekomposisi yang mudah terlarut, memaparkan
karbohidrat struktural yang lebih tahan terhadap penyinaran (photoresistant) yang juga
didegradasi secara fotokimia dan dioksidasi oleh produk dekomposisi dan agen atmosfer.
Xilan didekomposisi dan lebih mudah tercuci dibandingkan dengan selulosa atau
hemiselulosa kaya glukan. Residu selulosa dan permukaan yang ditumbuhi oleh jamur
berpigmen seperti Aureobasidium pullulans membentuk warna abu-abu. Laju pencuacaan
akan berkurang bila lapisan luar (outer shell) yang mengalami pencuacaan telah
terbentuk dan melindungi permukaan kayu dari kerusakan fotokimia lebih lanjut. Namun
pembasahan dan pengeringan yang berkesinambungan dari permukaan yang tercuacakan
menimbulkan keretakan permukaan, kerusakan mekanik terlokalisasi dan pengelupasan
kulit secara perlahan dari permukaan. Variasi laju pencuacaan dapat disebabkan oleh
perbedaan geografis, lokasi, metode pengujian dan spesies kayu. Pencuacaan
diperkirakan menghilangkan permukaan kayu 6 -7 mm per abad di zona temparate
(Browne, 1960; Kuhne et al., 1972) dalam Arif (2002) dan 1 mm per abad untuk kayu
yang terpapar di kutub utara.
Coating atau film yang mengabsorpsi atau merefleksikan sinar UV dan mengurangi
perubahan kadar air permukaan merupakan metode pencegahan pencuacaan konvensional
pada kayu yang terpapar di luar ruangan. Perlakuan dengan penolak air (water repellent
treatment) juga mengurangi fluktuasi kadar air pada pemakaian kayu di luar ruangan.
Perlakuan kayu dengan bahan kimia seperti Cr2O3 mengurangi pencuacaan dan
dilaporkan dua kali lipat masa pakai dari lateks dan cat berbasis minyak (Feist dan Ellis,
1978) dalam Arif (2002).

14
A.3. Faktor Panas (Thermal Decomposition)
Lignoselulosa terbakar karena polimer dinding sel mengalami reaksi pirolisis
dengan meningkatnya suhu yang menguapkan zat-zat volatil dan gas-gas yang mudah
terbakar. Polimer selulosa dan hemiselulosa lebih dahulu terdegradasi oleh panas
sebelum lignin. Komponen lignin berperan terhadap pembentukan arang dan lapisan
arang ini melindungi komposit dari degradasi panas. Hubungan antara panas dengan
kerusakan kayu yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 3 berikut :

Gambar 3. Hubungan antara panas dengan kerusakan kayu yang terjadi

Dekomposisi kayu karena panas, seperti banyak senyawa karbon, mudah terjadi
pada suhu tinggi. Pada awalnya, perubahan perlahan mulai sekitar suhu 100oC. Terdapat
perubahan warna, kehilangan kekuatan yang serius, pengurangan sifat higroskopisitas,
kehilangan berat, dan evolusi gas seperti CO, CO2, CH2 dan uap air. Perubahan tersebut
tergantung waktu dan meningkat cepat pada suhu yang lebih tinggi. Pembakaran
(combustion) dengan pancaran cahaya dan panas terjadi pada suhu sekitar 275oC.

15
Proses pada Suhu Rendah (<200oC)

Pengaruh suhu rendah pada kayu sangat penting karena kehilangan kekuatan yang
nyata terjadi pada kisaran suhu ini. Dekomposisi panas kayu mulai pada suhu 100oC.
Kayu berubah coklat, permukaan menjadi rapuh (brittle), dan perlahan terjadi kehilangan
berat dan kehilangan kekuatan. Pengaruh suhu ini dapat diamati pada balok yang
diletakkan pada oven (104oC) selama beberapa minggu atau papan gergajian yang
dikeringkan secara berlebih di kilang pengering (kiln dry). Warna kecoklatan dan
permukaan brashness dari kayu, mirip tahap awal dari beberapa pelapuk coklat (brown
rot). Keseragaman pewarnaan dan tidak adanya struktur jamur memudahkan
memisahkan kerusakan akibat panas dengan pelapukan tahap awal.
MacLean (1951) dalam Arif (2002) menetapkan kehilangan berat kayu terkait
dengan variasi suhu dan periode keterpaparan, rata-rata dari 11 spesies komersil, sebagai
berikut :

Periode Keterpaparan Suhu (oC) Kehilangan Berat (%)


1 tahun 93 2,7
470 hari 121 26,8
400 jam 149 14,8
102 jam 167 21,4

Kekuatan cepat berkurang oleh pemaparan pada suhu tinggi (Gambar 3). Tidak ada
asap atau penyalaan kayu dihasilkan bila kayu dipaparkan pada suhu di bawah 200oC.
Gas-gas utama yang dilepaskan adalah CO2 dan uap air.

Proses pada Suhu Tinggi (>200oC)

Pirolisis (pemanasan tanpa adanya O2) dikenal selama proses distilasi kayu (wood-
distillation process) dimana dihasilkan gas-gas yang mudah terbakar yaitu CH4 dan CO.
Juga banyak senyawa dilepaskan seperti asam asetat, metanol, asam format, furfural,
fenol dan kresol. Asam-asam menyebabkan mata perih oleh asap dan produk furfural

16
menyumbang karakteristik bau dari asap kayu. Produk akhir yang tersisa adalah arang /
karbon (charcoal) yang telah banyak dimanfaatkan oleh banyak industri.
Pada pembakaran, kayu akan cepat terdekomposisi pada suhu di atas 200oC dengan
adanya O2 dan melepaskan gas-gas yang mudah terbakar seperti CH4 dan CO. Pada suhu
sekitar 275oC, suhu nyala dan panas yang dilepaskan mempercepat pembakaran dan
proses dekomposisi.
Urutan pemutusan komponen dinding sel dengan bertambahnya suhu adalah
hemiselulosa, selulosa dan lignin. Hemiselulosa kurang stabil terhadap panas dan
mengalami dekomposisi pada kisaran suhu 225-325oC. Lignin terdekomposisi pada
kisaran suhu 250-500oC, sedangkan selulosa pada suhu lebih tinggi dan terbatas pada
kisaran 325-375oC (Shafizadeh dan Chin, 1977) dalam Arif (2002). Kayu yang
terkarbonisasi pada tahap akhir dekomposisi secara tekstural mirip brown rot dan
menarik untuk dicatat bahwa lignin juga merupakan komponen kayu terakhir yang
dikonsumsi sempurna pada beberapa pelapukan jamur.

A.4. Fire Retardant

Daya tahan bakar kayu dapat ditingkatkan misalnya dengan membuat kayu itu
menjadi anti api (fire proof), antara lain sebagai berikut :
1. Menutup kayu itu dengan bahan lapisan yang tidak mudah terbakar yang
berfungsi melindungi lapisan kayu di bawahnya terhadap api, misalnya asbes
atau pelat logam
2. Menutup kayu itu dengan bahan-bahan kimia yang bersifat mencegah
terbakarnya kayu, misalnya jenis cat tahan api, persenyawaan garam antara lain
amonium dan boor zuur
3. Mengimpregnir kayu itu dengan macam-macam bahan kimia yang bersifat
mengurangi terbakarnya kayu. Ada juga bahan-bahan lain yang menghasilkan
gas yang dapat mencegah api tersebut

17
4. Bahan kimia penahan yang efektif adalah ammonium fosfat, ammonium sulfat,
boraks, dan seng klorida. Bahan tersebut telah diteliti secara empirik namun
mekanisme perlindungannya kurang dipahami.

B. Faktor Kimia

Sebagai bahan struktural, kayu memperlihatkan ketahanan terhadap serangan


kebanyakan bahan kimia. Untuk alasan ini, kayu sering digunakan untuk pembuatan tong
penyimpan, tangki, tangki pendingin, atau struktur dimana berhubungan dengan bahan
kimia kaustik yang menyebabkan terjadinya kondensasi, aerosol atau percikan. Sebagai
contoh, bukti deteriorasi kayu yang dilaporkan pada beberapa pabrik pulp kraft akibat
kayu terpapar dalam waktu lama terhadap asam lemah dan basa lemah pada suhu dan
kelembaban tinggi (Barton, 1982) dalam Arif (2002). Karena kayu merupakan bahan
baku kimia utama untuk industri kertas dan turunan selulosa, banyak informasi telah
dihasilkan pada reaksi kayu dan komponennya terhadap banyak bahan kimia. Informasi
ini membentuk dasar bagi proses industri dalam kisaran yang luas. Informasi pada topik
tersebut tersedia dalam buku kimia kayu, kimia selulosa dan pembuatan kertas.
Smith (1980) dalam Arif (2002) menyusun daftar spesies kayu yang
direkomendasikan untuk penggunaan pada lingkungan yang bersifat korosif seperti
kontainer untuk asam, terpapar ke asap asam atau kontainer untuk cairan korosif ringan.
Kayu konifer pada umumnya lebih tahan terhadap serangan bahan kimia korosif daripada
kebanyakan kayu daun lebar. Kriteria untuk kayu tahan bahan kimiawi adalah spesies
yang kaya α–selulosa dan lignin serta rendah xilan.
Asam terutama mendegradasi karbohidrat kayu, dan ketahanan lignin yang tinggi
terhadap asam kuat merupakan dasar untuk penentuan analisis lignin melalui pelarutan
karbohidrat kayu dengan 72% H2SO4. Residu yang tidak larut dari hasil penyaringan
didefinisikan sebagai lignin Klason. Asam menghidrolisis ikatan β (1-4) glikosida
selulosa dan hemiselulosa menghasilkan pengurangan kekuatan tarik (tensile strenght)
secara drastis. Kayu pada tahap awal dekomposisi berubah coklat dan menjadi brittle dan

18
brash. Mekanisme depolimerisasi dan reduksi awal beberapa sifat kekuatan analog
dengan degradasi brown rot.
Alkali menyerang kayu lebih hebat pada kondisi waktu-suhu dan konsentrasi yang
setara dengan asam. Alkali melarutkan hemiselulosa dan mengubah lignin menjadi
bentuk kompleks lignin-alkali yang mudah larut. Selulosa pada dasarnya tidak berubah.
Kebanyakan proses pulping kayu mengupayakan tipe reaksi alkali ini.
Pada konsentrasi tinggi, bahan kimia alkali kuat menyebabkan kayu menjadi serat
dan tercuci seperti halnya kayu yang terserang jamur pelapuk putih (white rot). Kayu
mengembang dan terjadi pengurangan kekuatan yang tajam.
Wangaard (1966) dalam Arif (2002) menggambarkan perbedaan antara pengaruh
asam kuat dan basa kuat pada berbagai konsentrasi dan suhu terhadap kekuatan kayu
konifer dan kayu daun lebar (Tabel 1)

Tabel 1. Pengaruh asam kuat dan basa kuat pada berbagai konsentrasi dan suhu terhadap
kekuatan kayu konifer dan kayu daun lebar
MOR (sebagai % kontrol)
Jenis 2% HCl 10% HCl 2% NaOH 10% NaOH
Kayu 20oC 50oC 20oC 50oC 20oC 50oC 20oC 50oC
Douglas fir 91 85 76 57 56 40 39 28
White oak 70 51 39 30 26 22 20 15
Sumber : Wangaard, 1966

Erikson dan Reese (1940) memperlihatkan bahwa kayu yang terpapar pada alkohol,
aseton dan benzene menurunkan pengembangan (swelling) dan meningkatkan kehilangan
kekuatan yang dinyatakan dengan berat molekul dan kompleksitas struktur dari senyawa
organik tersebut. Perlakuan kayu dengan ammonia secara temporal menyebabkan
banyaknya reduksi pada ketahanan bengkok (bending resistance) dan memungkinkan
kayu menjadi bengkok pada sudut tajam menjadi berbagai sudut tanpa patah.
Perlakuan kayu dengan sejumlah garam dilaporkan meningkatkan ketahanan rusak
(crushing resistance). Perlakuan dengan garam asam seperti Na2CrO3 telah dilaporkan

19
menurunkan kekuatan (Ross, 1956). Perlakuan kayu dengan garam jenis pengawet
seperti garam oksida atau garam asam dari copper, kromium, dan arsenit (CCA), tidak
menampakkan pengaruh serius terhadap kekuatan (Thompson, 1982) kecuali bila kayu
kemudian dikeringkan pada suhu tinggi (Barnes dan Winandy, 1986).
Kontak yang lama antara kayu dengan besi menyebabkan embrittlement dan
hilangnya kekuatan tarik (Baker, 1974). Terdapat laporan bahwa dekomposisi kayu dari
besi menurunkan sifat daya pegang paku, dimana paku pada awalnya dipasangkan ke
dalam kayu gergajian segar. Penggunaan paku tergalvanisasi (dilapisi seng) atau kayu
gergajian kering akan meminimalkan masalah ini. Karena besi beroksidasi (berkarat)
membentuk besi hidroksida yang mengkatalisis reaksi oksidasi dan depolimerisasi
selulosa menjadi oksiselulosa.

C. Faktor Mekanis

Faktor mekanis (mechanical wear) dari kayu merupakan sumber minor deteriorasi
kayu dan melibatkan gaya-gaya yang merobek dan melepaskan bagian kecil permukaan
kayu. Penting hanya pada sedikit kasus penggunaan kayu khusus dimana terjadi gesekan
dan sobekan permukaan yang hebat, seperti anak tangga, menara pendingin, lantai pabrik
sekitar mesin berat, dan kontak paku dan plat pada bantalan kereta api. Partikel pasir
yang diterbangkan angin dapat menyebabkan kerusakan mekanis terhadap tiang, tunggak
dan kayu yang tidak dicat di daerah gurun dan sepanjang pantai. Contoh lain kerusakan
mekanis sering terlihat pada galangan kapal muat atau panggung/peron. Muatan yang
berat dengan sudut tajam menyebabkan abrasi dan keretakan pada permukaan kayu, yang
sepanjang waktu mengembangkan tekstur berserat mirip yang terdapat pada tahap akhir
pelapukan oleh jamur. Metode pencegahan mencakup pemilihan kayu dengan kekerasan
permukaan tinggi, susunan serat sisi/pinggir kayu pada bagian yang mengalami gesekan
kuat dan perlindungan zona kerusakan tinggi dengan plat logam atau penggunaan polimer
pengeras kayu.

20
D. Tugas/ Bahan Diskusi

Semua peserta mata kuliah ditugaskan untuk membuat sebuah paper mengenai
biodeteriorasi kayu yang diakibatkan oleh salah satu faktor abiotik sebagaimana yang
telah dipaparkan di atas menggunakan berbagai sumber pustaka terbaru !

E. Latihan Soal
Menurut Anda, faktor perusak mana yang paling sulit dicegah di antara faktor-faktor
perusak abiotik tersebut di atas ?
1. Faktor mana yang menimbulkan kerugian paling besar ?
2. Upaya apa yang paling praktis dilakukan untuk mencegah kerusakan kayu akibat
faktor abiotik !

F. Bahan Bacaan Pengayaan

Tinjauan Hasil-hasil Penelitian Faktor-faktor Alam yang Mempengaruhi Sifat Fisik


dan Mekanik Kayu Indonesia
Wahyu Dwianto1 dan Sri Nugroho Marsoem2
1. UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
2. Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada

Abstract
This review deals with several topics concerning natural factors affecting physical and
mechanical properties of wood, i.e. (1) wood species; (2) age and location of growing; (3)
position of wood sample in the stem; (4) diameter; (5) humidity, moisture content, and
temperature; (5) weathering and fungi; (6) forest fired; that have been done by
researchers who are members of Indonesian Wood Research Society. The purposes of
this review are (1) to evaluate the research results that have been done, (2) to promote the
applicable and feasible utilization of research results to the users, (3) to provide
information concerning previous researches that might be useful for further researches.
More than 60 wood species have been reported in this review. Besides the major and
minor commercial wood species; lesser known species, i.e. Balsa (Ochroma spp.), Randu

21
(Ceiba pentandra Gaertn.), Merkubung (Macaranga sp.), Cengkeh (Eugenia aromatica
L.), Afrika (Maesopsis eminii), Kisereh (Cinnamomum porrectum (Roxb) Kosterm),
Kibawang (Melia excelsa Jack.), Pulai Konggo (Alstonia kongoensis Engl.), Sengon Buto
(Enterolobium cyclocarpum Griserb.), Salamander (Grevillea robusta A.Cunn.), Kilemo
(Litsea cubeba Pers.), Tahongai (Kleinhovia hospita Linn.), Sukun (Arthocarpus altilis),
Arang (Diospyros borneensis), Berumbung (Adina minutifolia), Tisuk/Waru (Hibiscus
macrophyllus), Urograndis (Eucalyptus urograndis), Kelapa (Cocos nucifera L.), Kelapa
Sawit (Eleais guineensiis Jacq.), Laban (Vitex Pubescens Vahl.), Rambai (Baccaurea
motleyana Muell.), Ki Sampang (Evodia latifolia DC.), Nangka (Artocarpus integra
Merr.), Kalapi (Kalappia celebica), Gofasa (Vitex coffasus), Ketileng (Vitex glabrata),
Cemara (Gymnostoma sp.), and Lamtoro (Leucaena glauca (Willd) Benth). have also
been observed. The researches were generally done in relation to the utilization prospect
of lesser known species, crops estate species, fast growing species, timber estate species,
rural forest species, commercial species, for contruction/structural materials, handy-craft,
musical instruments, or out-door exposures.

Wood properties were interaction between specific gravity or density, moisture content,
shrinkage and mechanical properties of wood. However, the values of those physical and
mechanical properties in the papers could not directly compared to each other, because
there were various testing standard and strength classification used. And unfortunately,
researches on acoustic, thermal, electrical, creep, relaxation, and fatigue behaviour of
Indonesian wood species were very rare or almost none.

Key words: lesser known species, physical and mechanical properties, testing standard
and strength classification.

Pendahuluan Peneliti Kayu Indonesia (Mapeki). Seluruh


Makalah ini menguraikan hasil-hasil makalah yang akan dibahas telah
penelitian sifat fisik dan mekanik jenis- dipresentasikan di Seminar Nasional
jenis kayu Indonesia yang telah dilakukan Mapeki ke I s/d VIII (1998 ~ 2005).
oleh para peneliti anggota Masyarakat Tujuan tinjauan makalah ini adalah untuk

22
(1) mengevaluasi hasil-hasil penelitian andalan/unggulan setempat (JAS), kayu
yang telah dilakukan; (2) mempromosikan dari hutan rakyat (rural forest species),
hasil penelitian yang bersifat aplikatif kayu perdagangan (commercial species),
sehingga diharapkan dapat dimanfaatkan kayu langka/ terancam punah, dan kayu
oleh pihak pengguna; (3) agar penelitian alternatif untuk bahan bangunan
yang telah dilakukan menjadi acuan bagi konstruksi/struktural, kayu perkakas/
penelitian selanjutnya. pertukangan, mebel, kerajinan/ ukiran, alat
Lebih kurang 60 makalah yang musik, atau penggunaan di luar ruangan.
berhubungan dengan penelitian sifat fisik
dan mekanik kayu telah diterbitkan di Jenis Kayu Kurang Dikenal
Prosiding Seminar Nasional Mapeki. Menurut Badan Inventarisasi dan Tata
Tinjauan hasil-hasil penelitian pada Guna Hutan, Departemen Kehutanan, di
makalah ini didasarkan pada faktor-faktor Indonesia terdapat 3124 jenis kayu yang
alam yang mempengaruhi sifat fisik dan terdiri dari kayu komersial, non komersial,
mekanik kayu. Faktor-faktor tersebut tak dikenal, maupun jenis kayu budidaya
dapat dikelompokkan menjadi (1) jenis (Anonim 1986). Jenis kayu non komersial
kayu; (2) umur dan tempat tumbuh; (3) maupun tak dikenal biasanya memiliki
letak dalam batang; (4) diameter; (5) berat jenis (BJ) rendah, tidak kuat dan
kelembaban, kadar air dan suhu; (6) cuaca tidak awet, sehingga membatasi
dan jamur; serta (7) kebakaran hutan. penggunaannya. Sebagai contoh kayu
Balsa dengan BJ 0.15 ~ 0.28 termasuk
Jenis Kayu kelas kuat dan kelas awet V (Anonim
Penelitian sifat fisik dan mekanik yang 1979). Prayitno (1998) melaporkan
telah dilakukan sehubungan dengan struktur anatomi, sifat-sifat fisik, mekanik,
prospek pemanfaatan jenis-jenis kayu penyebaran dan kegunaan kayu Balsa
kurang dikenal (lesser known species), (Ochroma spp.), Randu (Ceiba pentandra
kayu dari tanaman perkebunan (crops Gaertn.), Kemiri (Aleurites moluccana
estate species), kayu cepat tumbuh (fast- Willd.), dan Merkubung (Macaranga sp.).
growing species), kayu Hutan Tanaman Sifat fisik dan mekanik yang diteliti
Industri/HTI (timber estate species), kayu meliputi BJ, kadar air (KA), kembang-
dari areal agro-forestry, kayu susut, warna kayu teras, tekstur, arah serat,

23
kekerasan, keteguhan lentur (MOE), 20 tahun (diameter 10 ~ 30 cm) yang
keteguhan patah (MOR), keteguhan tekan berasal dari kebun rakyat dan petak
sejajar dan tegak lurus serat, serta tarik percobaan Institut Pertanian Bogor di
tegak lurus serat. Sukamantri. BJ rata-rata kayu Cengkeh
Widiati (2002) meneliti kayu Tahongai adalah 0.79 (0.74 ~ 0.84), sedangkan
(Kleinhovia hospita Linn.) dan kekerasan rata-rata adalah 575.25 (473.75
melaporkan bahwa kayu ini mempunyai ~ 698.70) kg/cm2. Berdasarkan hasil
rasio penyusutan arah tangensial dan tersebut maka kayu Cengkeh termasuk
radial (T/R rasio) sebesar 1.47, sedangkan kelas kuat II; sekelas dengan kayu Jati
berdasarkan BJ-nya maka termasuk kelas yang memiliki BJ 0.70, bahkan lebih keras
kuat III. Sifat mekanik kayu ini termasuk dari kayu Jati yang memiliki kekerasan
kelas kuat II untuk keteguhan tekan sejajar 440 kg/cm2.
serat; kelas kuat IV untuk nilai MOE; dan
kelas kuat II untuk nilai MORnya. Jenis Kayu Cepat Tumbuh, Kayu HTI
dan Kayu dari Areal Agro-forestry
Berdasarkan sifat-sifat tersebut maka kayu
Dimasa depan, kayu-kayu cepat
ini dapat dimanfaatkan untuk bahan baku
tumbuh akan menggantikan kayu-kayu
kayu lapis, mebel dan konstruksi ringan.
dari hutan alam; oleh karena itu sangat
diperlukan data-data karakterisasinya.
Jenis Kayu dari Tanaman Perkebunan
Firmanti et al. (2000) meneliti sifat
Salah satu upaya untuk mengatasi
kekuatan kayu Akasia (Acacia mangium
menurunnya bahan baku kayu adalah
Willd.), kayu Afrika (Maesopsis eminii),
dengan memanfaatkan jenis kayu yang
Tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vr.)
berasal dari tanaman perkebunan.
dan Gmelina (Gmelina arborea) contoh
Beberapa jenis kayu perkebunan yang
uji skala penuh (6 cm x 12 cm x 300 cm).
telah dimanfaatkan adalah kayu Karet
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
(Hevea brasiliensis Muel. Arg.), kayu
BJ kayu-kayu tersebut berkisar antara 0.35
Kelapa (Cocos nucifera L.) dan kayu
~ 0.70; MOR antara 15 ~ 90 MPa; dan
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.).
MOE antara 3.5 ~ 21 GPa. Dengan
Rachman dan Malik (1999) meneliti BJ,
rentang sifat kekuatan yang tinggi, maka
kekerasan dan sifat permesinan kayu
jenis-jenis kayu cepat tumbuh tersebut
Cengkeh (Eugenia aromatica L.) berumur
dapat dimanfaatkan sebagai bahan

24
bangunan struktural. lahan agro-forestry Loa Kulu, Kabupaten
Sutapa mengadakan penelitian- Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
penelitian mengenai kualitas batang dan Pengujian sifat fisik dan mekaniknya
sifat fisik kayu Mindi (Melia azedarach dilakukan berdasarkan standar DIN
L.) dari areal agro-forestry tradisional di (Deutsche Institut Fuer Normung) pada
Cankringan, Yogyakarta. Penelitian ini bagian pangkal, tengah, ujung batang,
dilakukan terhadap pohon Mindi dengan serta bagian cabang. Hasil pengujiannya
umur rata-rata 18 tahun dan diameter rata- menunjukkan bahwa rata-rata kerapatan
rata 34.4 cm. Hasil penelitiannya kering tanur = 0.31 gr/cm3; T/R rasio
menunjukkan bahwa jumlah rata-rata mata batang = 1.82; T/R rasio cabang = 1.97;
kayu pada batang bagian bawah sampai MOE = 50.05 ton/cm2; MOR = 318.28
ketinggian 3 m sebanyak 0.36/m, kg/cm2; keteguhan tekan sejajar serat =
sedangkan pada batang bagian tengah dari 95.86 kg/cm2; keteguhan geser = 6.27
ketinggian 3 ~ 6 m sebanyak 0.96/m. kg/cm2; kekerasan samping = 91.09
Ukuran diameter mata kayu tersebut kg/cm2; kekerasan ujung = 205.98 kg/cm2;
antara 18 ~ 40 mm. Perbedaan KA antara dan keteguhan pukul = 18.95 x 10-3 J/mm2.
kayu gubal dan kayu teras dari pohon yang Berdasarkan klasifikasi berat kayu
baru ditebang sebesar 15.8%. Perbedaan (Soenardi 2001), dengan kerapatan kering
KA yang relatif kecil ini memperkecil udara 0.31 gr/cm3 maka kayu Sukun
kemungkinan terjadinya retak akibat termasuk jenis kayu ringan (< 0.36 gr/cm3).
pengeringan (Sutapa 2002). Rata-rata BJ Stabilitas dimensi kayu ini tergolong
kayu ini adalah 0.53 dengan perbedaan rendah. Martawijaya (1990) menyebutkan
nyata antara bagian dalam (0.52) dan bahwa dengan rasio penyusutan yang
bagian luar batang (0.55). Besarnya besar akan cenderung lebih mudah pecah
penyusutan tangensial (T) = 7.5%, dan atau berubah bentuk yang mengakibatkan
penyusutan radial (R) = 4.5%, sehingga cacat. Menurut klasifikasi kelas kekuatan
didapatkan T/R rasio sebesar 1.7 (Sutapa kayu yang didasarkan atas hubungan nilai
2004). kerapatan kering udara, MOR dan
Kholik dan Prabawa (2004) meneliti keteguhan tekan sejajar serat (Anonim
mengenai sifat dan kualitas kayu Sukun 1976), maka kayu Sukun termasuk kelas
(Arthocarpus altilis) berumur 21 tahun di kuat IV; sehingga tidak dapat digunakan

25
sebagai bahan bangunan konstruksi. Kibawang, Pulai Konggo, Kapur,
Salamander, dan Kilemo mempunyai
Jenis Kayu Andalan Setempat kestabilan dimensi rendah (T/R rasio > 2),
Dalam upaya memberdayakan jenis- sedangkan kayu lainnya mempunyai
jenis kayu di daerah Jawa Barat sebagai kestabilan dimensi tinggi. Sebagai bahan
Jenis kayu Andalan Setempat (JAS), baku konstruksi, selain dilihat berdasarkan
Abdurachman dan Hadjib (2001) kelas kuatnya, perlu juga dipertimbangkan
melakukan penelitian mengenai sifat fisik rasio kekuatan terhadap berat kayunya
dan mekanik kayu Kisereh (Cinnamomum (strength to weight ratio), karena semakin
porrectum (Roxb) Kosterm.) BJ = 0.627; tinggi rasio tersebut maka semakin sesuai
Surian atau Suren (Toona sureni Merr.) BJ untuk bahan baku konstruksi. Berdasarkan
= 0.465; Kibawang (Melia excelsa Jack.) nilai BJ, MOR, dan keteguhan tekan
BJ = 0.492; Pulai Konggo (Alstonia sejajar seratnya maka kayu Kisereh,
kongoensis Engl.) BJ = 0.412; Tusam Tusam, Salamander, dan Kapur termasuk
(Pinus merkusii Jungh. et de Vr.) BJ = dalam kelas kuat II, sedangkan lainnya
0.734; Sengon Buto (Enterolobium kelas kuat III. Jenis-jenis kayu dengan
cyclocarpum Griserb.) BJ = 0.486; Kapur kelas kuat II dan mempunyai rasio
(Dyobalanops aromatica Burck.) BJ = kekuatan terhadap berat yang cukup tinggi
0.788; Salamander (Grevillea robusta dapat dimanfaatkan untuk bahan baku
A.Cunn.) BJ = 0.614; Mahoni (Swietenia konstruksi.
macrophylla King.) BJ = 0.577; dan Jenis Kayu Perdagangan
Kilemo (Litsea cubeba Pers.) BJ = 0.460. Kholik dan Gunawan (2004)
Sifat fisik dan mekanik yang diuji meliputi melaporkan sifat dan kegunaan 6 jenis
KA, penyusutan, keteguhan pada batas kayu Kalimantan Timur. Jenis-jenis kayu
proporsi, MOE, MOR, keteguhan tekan yang digunakan adalah kayu Sungkai
dan geser sejajar dan tegak lurus serat, (Peronema canescens Jack.), Pulai
keteguhan pukul, kekerasan, serta (Alstonia scholaris R. Br.), Terap
keteguhan tarik tegak lurus serat, (Artocarpus elasticus), kayu Arang
berdasarkan standar ASTM (American (Diospyros borneensis), Balau
Society for Testing Materials) D 143-94. (Dipterocarpus verrucosus) dan Bintangur
Dari jenis-jenis kayu yang diteliti, Kisereh, (Calophylum depresinervosum). Contoh

26
kayu diambil dari pohon dengan diameter jenis kayu yang digunakan untuk alat
minimal 20 cm (dbh), tinggi bebas cabang musik kolintang adalah Berumbung
minimal 5 m dan bebas cacat. Pengujian (Adina minutifolia). Kayu ini berasal dari
sifat fisik dan mekaniknya berdasarkan hutan alam dan jumlahnya semakin
standar DIN 52182, 52184, 52185 dan berkurang, sehingga perlu ditemukan jenis
52186. Berdasarkan klasifikasi berat kayu kayu lain yang memiliki sifat akustik yang
(Soenardi 2001), kayu Pulai termasuk sama dengan kayu tersebut. Sebagai bahan
jenis kayu ringan (kerapatan kering udara baku untuk alat musik, sifat akustik yang
< 0.36 gr/cm3); kayu Sungkai, Terap, dibutuhkan adalah damping factor (tan δ),
Arang dan Bintangur termasuk jenis kayu specific dynamic Young’s modulus (E/ρ),
sedang (kerapatan kering udara antara kerapatan (ρ), kestabilan dimensi dan sifat
0.36 ~ 0.56 gr/cm3); kayu Balau termasuk mekanik yang tinggi. Selain Berumbung,
jenis kayu berat (kerapatan kering udara > jenis kayu yang digunakan pada penelitian
0.56 gr/cm3). Dibandingkan dengan jenis- ini adalah Merawan (Hopea mengarawan
jenis kayu yang diteliti lainnya, kayu Mig.) dan Tisuk/Waru (Hibiscus
Balau memiliki kestabilan dimensi paling macrophyllus). E/ρ dan tan δ dideteksi
tinggi (T/R rasio = 1.19). Berdasarkan dengan metode free-free flexual vibration.
hasil pengujian sifat mekaniknya (MOE, Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
MOR dan keteguhan tekan sejajar serat) kayu Berumbung mempunyai nilai ρ
dan klasifikasi menurut Anonim (1979) tinggi (0.85), E/ρ sedang (19.81 GPa) dan
maka kayu Balau termasuk kelas kuat II, tan δ rendah (0.00684). Nilai ρ dan tan δ
dapat digunakan sebagai bahan konstruksi kayu Merawan dan Tisuk lebih rendah
dan pertukangan; kayu Terap, Arang dan dari kayu Berumbung, sehingga tidak
Bintangur, termasuk kelas kuat III, masih dapat menggantikan kayu Berumbung
dapat digunakan sebagai bahan konstruksi sebagai bahan baku alat musik kolintang.
dan pertukangan namun terbatas pada Kayu Merawan dapat digunakan sebagai
beban yang lebih ringan; kayu Sungkai soundboards gitar dan piano karena
dan Pulai termasuk kelas kuat IV, dapat mempunyai nilai ρ sedang (0.57), E/ρ
digunakan sebagai komponen mebel. tinggi (29.43 GPa) dan tan δ sangat rendah
Hadjib dan Sarwono (2004) meneliti (0.00413). Sedangkan kayu Tisuk
mengenai sifat akustik kayu. Salah satu mempunyai nilai ρ rendah (0.39) dan tan δ

27
rendah (0.00666) dapat digunakan sebagai silvikultur, data dan pola penyebaran,
plat gitar bagian atas. tingkat kerapatan, tingkat asosiasinya
Fernandes et al. (2004) melaporkan dengan jenis-jenis pohon lain dan habitat
perambatan panas 4 jenis kayu pohon ini di hutan alam Gunung
perdagangan Indonesia. Nilai Tampomas dan Gunung Kareumbi Masigit,
konduktivitas termal kayu merupakan serta hutan rakyat di beberapa wilayah
faktor penting pada proses perekatan yang Kab. Sumedang. Contoh uji kayu untuk
menggunakan kempa panas. karakterisasi diperoleh dari Kec. Sukasari,
Konduktivitas termal adalah bilangan berumur 30 tahun dengan diameter 33 cm
yang disetarakan dengan besarnya panas dan tinggi 20 m. Nilai kerapatan kering
yang mengalir pada suatu balok dengan udaranya berkisar antara 0.41 ~ 1.13
panjang 1 m dan selisih suhu 1ºC (Siau gr/cm3 dengan rata-rata 0.56 gr/cm3.
1995). Jenis kayu yang digunakan adalah Pada tahun 2004, kayu Ramin
kayu (Tectona grandis L.f.), Sengon (Gonystylus bancanus Kurz.) telah
(Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen), disetujui untuk masuk dalam Konvensi
Meranti (Shorea spp.), dan Keruing Perdagangan Internasional Species Flora
(Dipterocarpus cornutus Dyer.). Hasil dan Fauna (CITES) appendix II yang
penelitian menunjukkan bahwa setiap mengatur dan mengawasi perdagangan
jenis kayu memiliki nilai konduktivitas jenis-jenis kayu yang akan terancam
termal yang berbeda nyata pada taraf uji punah. Kayu Ramin mempunyai BJ 0.63
1%. (0.48 ~ 0.84), berwarna putih kekuning-
Jenis Kayu Langka dan Terancam kuningan atau kuning gading dengan arah
Punah
serat lurus, tekstur halus dan merata, serta
Pohon Gadog/Gintung (Bischofia
permukaan kayu mengkilat dan licin.
javanica Blume) atau dengan nama
Untuk memenuhi kebutuhan beberapa
perdagangan Bishop wood merupakan
industri kayu yang selama ini
salah satu jenis pohon di Jawa Barat yang
menggunakan bahan baku kayu Ramin,
mulai langka. Sehingga diperlukan suatu
maka perlu dicari jenis kayu alternatif
kajian penelitian mengenai penyebaran
sebagai pengganti Ramin dari jenis-jenis
serta pengujian sifat-sifat kayunya.
kayu yang kurang dikenal. Rulliaty (2005)
Suwandhi et al. (2004) mengadakan
melakukan pengamatan beberapa jenis
penelitian mengenai morfologis dan

28
kayu pengganti Ramin. Pengamatan kayu hasil tebangan. Pengujian sifat fisik
dilakukan terhadap jenis-jenis kayu dan mekaniknya berdasarkan standar
koleksi yang terdapat di Laboratorium ASTM D 143-94. Hasil pengujian sifat
Anatomi Kayu, Pusat Penelitian dan fisik dan mekaniknya dapat dilihat pada
Pengembangan Hasil Hutan, Bogor yang Tabel 1.
memiliki kesamaan, terutama dalam hal Umur dan Tempat Tumbuh
warna, BJ, arah serat dan tekstur kayu. Penelitian-penelitian mengenai faktor
Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat 25 umur dan tempat tumbuh terhadap sifat
jenis kayu yang memiliki kesamaan fisik dan mekanik telah dilakukan
dengan kayu Ramin. terhadap jenis-jenis kayu kurang dikenal,
Jenis Kayu Alternatif yaitu Urograndis (Eucalyptus urograndis);
Damar Mata Kucing (Shorea javanica kayu cepat tumbuh dan kayu HTI, yaitu
K. et V.) merupakan pohon penghasil resin Mindi (Melia azedarach L.), Akasia
damar. Sarwono (2004) melakukan (Acacia mangium Willd.) dan Gmelina
penelitian mengenai kayu ini dengan (Gmelina arborea); serta kayu
tujuan untuk menganalisis alternatif perdagangan, yaitu Jati (Tectona grandis
pemanfaatan paska produksi getahnya L.f).
dengan mengamati sifat fisik dan mekanik

Table 1. Physical and mechanical properties of Damar Mata Kucing (Shorea javanica K.
et V.) wood.
Physical and Mechanical Properties Average Radial Tangential
Density (gr/cm3) 0.78
Air-dry moisture content (%) 9.23
Shrinkage (%) 4.074 8.149
Stress at proportional limit (kg/cm2) 367.07
Stress at rupture limit (kg/cm2) 520.38
MOE (kg/cm2) 96010
Impact bending (kgm/dm3) 16.71 17.75
Compression parallel to grain (kg/cm2) 336.34
Compression perpendicular to grain (kg/cm2) 63.60
Edge hardness (kg) 521.66
Surface hardness (kg) 320
Shear strength (kg/cm2) 106.91 96.94
Tears strength (kg/cm2) 53.30 46.68
Tensile strength perpendicular to grain (kg/cm2) 34.49 38.23
Source: Sarwono (2004).

29
Jenis Kayu Kurang Dikenal keteguhan geser sejajar serat (R dan T),
Penelitian sifat fisik dan mekanik kekerasan sisi, nilai MOE dan MOR yang
jenis kayu Urograndis (Eucalyptus lebih tinggi dibandingkan dengan klon
urograndis) dilakukan terhadap tanaman lainnya; sehingga dapat dipertimbangkan
berumur 2 dan 3 tahun (Hadjib 2000). untuk dikembangkan sebagai salah satu
Hasil pengujiannya dirangkum pada Tabel tanaman pada HTI.
2. Dari hasil pengamatan, belum terdapat Jenis Kayu Cepat Tumbuh dan Kayu
HTI
perbedaan yang nyata pada BJ
Kayu Mindi (Melia azedarach L.)
berdasarkan jarak empulur ke arah kulit
merupakan jenis kayu cepat tumbuh
dan dari pangkal ke ujung batang bebas
dengan riap sekitar 20 m3/ha/tahun dan
cabang. Menurut klasifikasi kekuatan kayu
mulai dikembangkan sebagai salah satu
Indonesia, kayu tersebut tergolong kelas
jenis kayu HTI. Penelitian yang dilakukan
kuat III sehingga dapat digunakan untuk
oleh Kasmudjo dan Sunarto (1999)
bahan baku mebel atau konstruksi ringan.
bertujuan membandingkan sifat-sifat kayu
Wulandari et al. (2002) meneliti
Mindi pada umur 12 dan 18 tahun.
variabilitas sifat fisik dan mekanik kayu
Pengujian sifat fisik dan mekaniknya
Urograndis dari beberapa klon. Kayu
dilakukan berdasarkan standar ASTM D
Urograndis merupakan hasil persilangan
143-94. Hasil pengujiannya dapat dilihat
antara E. urophylla S.T. Blake dan E.
pada Tabel 3. BJ dan sifat mekanik yang
grandis W. Hill ex Maiden. Kayu yang
diuji meningkat dengan bertambahnya
digunakan pada penelitian ini terdiri dari 4
umur pohon, sedangkan KA dan
klon, yaitu klon 1837; 382.01 No.15; 1841
penyusutan tidak berbeda nyata. Dengan
No.1; dan 1841 No.20 berasal dari
T/R rasio yang sedang, kayu ini cenderung
Kalimantan Timur dan berusia 3 tahun 6
mudah retak dan pecah pada proses
bulan. Pengujian sifat fisik dan
pengeringan awal. Dari sifat mekanik
mekaniknya berdasarkan ASTM D143-94
yang menengah, kayu ini kurang memadai
contoh uji bebas cacat. Berdasarkan
untuk penggunaan yang memerlukan
klasifikasi Den Berger (1923), kayu
prioritas kekuatan.
Urograndis dari 4 klon tersebut termasuk
Gunawan et al. (2001a) telah
kelas kuat III-IV. Klon 1837 memiliki
melakukan penelitian mengenai variasi
nilai keteguhan tekan sejajar serat,

30
sifat kayu HTI berdasarkan umur dan MOR dan keteguhan tekan sejajar serat.
lokasi tanaman terhadap kayu Akasia Penyusutan T dan MOR kayu Akasia yang
(Acacia mangium Willd.) dan Gmelina ditanam di Sebulu lebih rendah
(Gmelina arborea) dengan umur 2, 3, 4, 5, dibandingkan dengan di Menamang.
dan 6 tahun yang tumbuh di areal HPHTI Untuk kayu Gmelina, hampir seluruh sifat
PT Sumalindo Lestari Jaya di Sebulu dan kayu yang diamati berbeda nyata pada
Menamang. Pengujian sifat fisik dan tingkat kepercayaan 5% terhadap umur
mekaniknya menggunakan standar DIN, tanaman dan lokasi tempat tumbuh,
meliputi kerapatan, penyusutan, MOE, kecuali penyusutan T dan MOE.
MOR, keteguhan geser, keteguhan tekan Kerapatan, MOR dan keteguhan geser
sejajar serat dan kekerasan. Dari uji arah radial kayu Gmelina yang tumbuh di
statistik menunjukkan bahwa sifat kayu Sebulu lebih tinggi dibandingkan dengan
Akasia yang berbeda nyata pada tingkat di Menamang pada umur 2 tahun,
kepercayaan 5% terhadap umur tanaman sedangkan pada umur 6 tahun kerapatan,
adalah penyusutan T, MOR dan kekerasan MOR dan keteguhan tekan sejajar seratnya
bidang R; sedangkan terhadap lokasi menjadi lebih rendah, tetapi keteguhan
tempat tumbuh adalah penyusutan T, geser dan kekerasannya lebih tinggi.

Table 2. Physical and mechanical properties of 2 and 3 years-old Urograndis (Eucalyptus


urograndis) wood.
Physical and Mechanical Properties 2 years-old 3 years-old
Specific gravity 0.451 ~ 0.612 0.521 ~ 0.700
MOR in wet (kg/cm2) 454.10 ~ 713.50 502.54 ~ 872.78
MOR in dry (kg/cm2) 548.16 ~ 953.28 702.15 ~ 1074.07
Source: Hadjib (2000)

Table 3. Physical and mechanical properties of 12 and 18 years-old Mindi (Melia


azedarach L.) wood.
Physical and Mechanical Properties 12 years-old 18 years-old
Specific gravity 0.47 0.55
Air-dry moisture content (%) 13.8 12.8
T/R ratio 1.59 1.58
Compression parallel to grain (kg/cm2) 312.3 326.8
Compression perpendicular to grain (kg/cm2) 76.5 88.0
Hardness (kg/cm2) 337.2 369.1
Source: Kasmudjo and Sunarto (1999)

31
Jenis Kayu Perdagangan menunjukkan bahwa KA rata-rata bagian
Daur kayu Jati (Tectona grandis L.f) pangkal lebih tinggi; sedangkan pada arah
yang ditanam Perum Perhutani horizontal tidak ada kecenderungan
berdasarkan kriteria silvikultur dan sifat tertentu untuk ketiga KU tersebut. KA
kayu (fisik, mekanik, kimia, pengerjaan) rata-rata keseluruhan menunjukkan bahwa
yang bertujuan menghasilkan kayu semakin tinggi KU maka KA-nya semakin
perkakas, ditetapkan antara 60 ~ 80 tahun. rendah (KU IV = 94.79%; KU VI =
Namun berdasarkan pertimbangan 82.45%; KU VIII = 44.90%).
finansial, daur yang sesuai berkisar antara Kemungkinan faktor-faktor yang
40 ~ 60 tahun. Penerapan daur yang lebih mempengaruhi variasi perbedaan KA
pendek perlu melihat pengaruhnya adalah: (1) KU VIII telah mengalami
terhadap sifat-sifat kayu. Menurut Bhat teresan selama 2 tahun; (2) kandungan
(1991) kerapatan dan kekuatan kayu Jati ekstraktif kayu Jati KU VI lebih tinggi
yang berumur lebih muda tidak selalu daripada KU IV (Ismariana 1993); (3)
lebih rendah dari yang berumur lebih tua. kandungan ekstraktif pada kayu teras lebih
Sulistyo dan Marsoem (1999) meneliti tinggi (Panshin dan de Zeeuw 1980); (4)
mengenai pengaruh umur terhadap sifat BJ kayu cenderung semakin besar ke arah
fisik dan mekanik kayu Jati. Bahan kulit dan menyebabkan kandungan kadar
penelitian ini berasal dari hutan tanaman airnya semakin rendah (Wangaard 1950;
bonita IV di KPH Madiun, BKPH Dungus, Koch 1972). Pada penelitian ini tidak
Perum perhutani Unit II Jawa Timur; terlihat perbedaan BJ yang disebabkan
dengan kelas umur (KU) VIII (tahun oleh KU. BJ KU IV = 0.675; KU VI =
tanam 1917), KU VI (tahun tanam 1942) 0.556; dan KU VIII = 0.604. Tetapi nilai
dan KU IV (tahun tanam 1958). MOE dan MOR menurun dengan semakin
Pengambilan contoh uji kayu dilakukan tingginya KU. Meningkatnya BJ ke arah
secara aksial (vertikal), yaitu pangkal, pangkal-kulit menyebabkan meningkatnya
tengah dan ujung batang; dan secara radial nilai MOR pada arah yang sama. Tetapi
(horizontal), yaitu dekat hati/empulur, penyusutan arah R dan T semakin rendah
tengah dan dekat kulit; berdasarkan ke arah kulit dan semakin tingginya KU.
standar BS (British Standard) 373 (1957). Pandit (2000) melakukan pengamatan
Hasil pengukuran pada arah vertikal sifat makroskopis kayu Jati dengan tujuan

32
untuk mengetahui rasio kayu teras dan Laban (Vitex Pubescens Vahl.)
gubal, rasio kayu juvenil dan kayu dewasa, berdasarkan letak ketinggian dalam batang.
serta mutu tekstur kayu Jati dari berbagai Sifat fisik dan mekanik yang diteliti
kelas umur. Hasil pengamatannya adalah KA, kerapatan, perubahan dimensi,
menunjukkan bahwa persentase kayu teras keteguhan tekan sejajar serat, keteguhan
dari KU I ke KU V rata-rata meningkat pukul, MOE, MOR, keteguhan geser
secara nyata. Persentase kayu juvenil dari sejajar serat dan kekerasan dengan
sekitar 88.05% pada KU I turun menjadi menggunakan standar DIN. Hasil
sekitar 22.24% pada KU IV. Mutu tekstur pengujian sifat-sifat fisik dan mekanik
pada KU yang rendah lebih kasar kayu ini dapat dilihat pada Tabel 4. Dari
dibandingkan dengan KU yang lebih hasil pengujian tersebut kayu Laban
tinggi. termasuk kelas kuat I dan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi.
Letak dalam Batang Penelitian mengenai sifat fisik dan
Penelitian-penelitian mengenai mekanik kayu Rambai (Baccaurea
pengaruh letak dalam batang terhadap sifat motleyana Muell) berdasarkan letak
fisik dan mekanik telah dilakukan terhadap ketinggian dalam batang dilakukan oleh
jenis-jenis kayu kurang dikenal, yaitu kayu Torambung dan Dayadi (2005). Contoh uji
Laban (Vitex Pubescens Vahl.) dan kayu diambil dari pohon berdiameter antara 38
Rambai (Baccaurea motleyana Muell); ~ 44 cm dan tinggi bebas cabang antara
kayu dari tanaman perkebunan, yaitu kayu 3.2 ~ 4.0 m. Sifat fisik dan mekanik yang
Kelapa Sawit (Eleais guineensiis Jacq) dan diteliti adalah KA (DIN 52183-77),
kayu Kelapa (Cocos nucifera L.); kayu kerapatan (DIN 52182-76), perubahan
cepat tumbuh dan kayu HTI, yaitu kayu dimensi, keteguhan tekan sejajar serat
Gmelina (Gmelina arborea); serta kayu (DIN 52185-76), keteguhan pukul (DIN
andalan setempat, yaitu kayu Surian 52189-48), keteguhan lentur statis (MOE
(Toona sureni Merr.). dan MOR, DIN 52186-78), keteguhan
geser sejajar serat (DIN 52187-79) dan
Jenis Kayu Kurang Dikenal kekerasan. Hasil pengujian sifat fisik dan
Widiati dan Susanto (2005) mekaniknya dapat dilihat pada Tabel 5.
melaporkan sifat fisik dan mekanik kayu Secara keseluruhan, sifat fisik dan

33
mekanik kayu tersebut menurun dari kayu Rambai termasuk ke dalam kelas
bagian pangkal menuju ujung batang. kuat II-III.
Berdasarkan nilai-nilai sifat mekaniknya,

Table 4. Physical and mechanical properties of Laban (Vitex Pubescens Vahl.) wood
based on the bottom and upper parts of stem.

Physical and Mechanical Bottom Upper Average


Properties
Green moisture content (%) 89.72 82.23 86.03
Air-dry moisture content (%) 12.89 12.55 12.70
Air-dry density (gr/cm3) 0.939 0.898 0.916
Oven-dry density (gr/cm3) 0.893 0.850 0.872
Compression parallel to grain 85.17 80.70 82.99
(N/mm2)
Impact bending (N/mm2) 0.095 0.087 0.091
MOE (N/mm2) 15529.02 14074.16 14803.18
MOR (N/mm2) 124.79 115.96 120.39
Radial shear strength (N/mm2) 15.30 14.19 14.70
Tangential shear strength 15.66 14.51 15.03
(N/mm2)

Radial Tangential Longitudinal


Swelling (%) 5.68 9.41 0.20
Shrinkage (%) 5.37 8.59 0.20
Hardness (N) 7990.74 9033.33 10079.63
Source: Widiati and Susanto (2005)

Table 5. Physical and mechanical properties of Rambai (Baccaurea motleyana Muell)


wood based on the bottom, middle and upper parts of stem.

Physical and Mechanical Bottom Middle Upper Average


Properties
Air-dry moisture content (%) 12.83 12.45 12.43 12.57
Oven-dry density (gr/cm3) 0.601 0.592 0.587 0.593
Compression parallel to grain 53.79 51.89 49.38 51.69
(N/mm2)
Impact bending (J/mm2) 0.0790 0.0707 0.0681 0.0726
2
MOE (N/mm ) 10071.96 9337.61 9141.30 9516.96
MOR (N/mm2) 89.00 85.19 81.28 85.16
Shear strength parallel to grain 12.45 11.70 11.29 11.81
(N/mm2)
Source: Torambung dan Dayadi (2005)

34
Widiastuti (1999) melaporkan hasil keteguhan geser tidak ada perbedaan nyata.
pengujian sifat fisik dan mekanik kayu Hasil keteguhan tekan dan MOR tersebut
Kelapa (Cocos nucifera L.) dengan dikelompokkan kelas kekuatannya
membandingkan bagian pangkal, tengah berdasarkan Persyaratan Umum Bahan
dan ujung batang. Hasil pengujiannya Bangunan Indonesia (1982) dan SII 0458-
dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil uji 81 (Tabel 7). Berdasarkan kriteria tersebut
statistik menunjukkan bahwa ada maka kayu Kelapa bagian ujung termasuk
perbedaan yang sangat nyata dari BJ, KA, kelas kuat V, bagian tengah kelas kuat II-
keteguhan tekan dan MOR; sedangkan III, dan bagian pangkal kelas kuat II.

Table 6. Physical and mechanical properties of Kelapa (Cocos nucifera L.) wood based
on the bottom, middle and upper parts of stem.

Part of Specific Moisture Shear Compression MOR


Stem gravity content strength strength (kg/cm2)
(%) (kg/cm2) (kg/cm2)
Upper 0.603 81.77 41.10 188.81 233.38
Middle 0.733 68.01 45.91 315.00 749.16
Bottom 0.803 46.36 89.64 453.97 838.80
Source: Widiastuti (1999)

Table 7. Persyaratan Umum Bahan Bangunan Indonesia and SII 0458-81 standard.

Class Compression strength (kg/cm2) MOR (kg/cm2)


I 650 1100
II 425 ~ 650 725 ~ 1100
III 300 ~ 425 500 ~ 725
IV 215 ~ 300 360 ~ 500
V < 215 < 360

Penelitian mengenai sifat fisik dan bawah sampai 0.20 pada bagian pusat atas
mekanik kayu Kelapa Hibrida untuk batang. KA keseimbangan bervariasi
mengetahui BJ, KA, stabilitas dimensi, antara 13.1% pada bagian BJ tinggi dan
keteguhan lentur dan kekerasan pada 21.2% pada bagian BJ rendah. Laju
berbagai ketinggian dan kedalaman batang stabilitas dimensi terbesar terjadi pada
dilakukan oleh Coto dan Rahayu (2005). bagian BJ tinggi, yaitu 0.79% dan terkecil
Hasil penelitian menunjukkan BJ terjadi pada bagian BJ rendah, yaitu
bervariasi dari 0.72 pada bagian tepi 0.19%. Sifat mekanik sangat tergantung

35
pada BJ yang sangat bervariasi terutama mempunyai ciri-ciri BJ dan kekuatan yang
dari bagian luar ke dalam batang. rendah karena memiliki dinding sel yang
tipis; lingkaran tumbuh yang lebih besar
Jenis Kayu Cepat Tumbuh dan Kayu dan sel-sel kayu akhir yang sedikit
HTI
(Haygreen dan Bowyer 1996). Tidak ada
Gmelina (Gmelina arborea)
perbedaan nyata antara penyusutan pada
merupakan salah satu jenis kayu yang
bagian pangkal maupun ujung batang,
mulai banyak ditanam dalam rangka
tetapi penyusutan semakin besar ke arah
pembangunan HTI. Menurut Mandang dan
empulur. KA kayu segar pada bagian
Pandit (1997), BJ kayu Gmelina berkisar
ujung batang lebih tinggi (158.24 ~
antara 0.42 ~ 0.61; termasuk kelas kuat II-
174.72%) daripada bagian pangkal batang
IV dan kelas awet IV-V. Riap kayu
(140.16 ~ 151.83%), namun KA kering
Gmelina bervariasi dari 8.4 m3/ha/tahun
udaranya relatif seragam (13.43 ~ 13.68%).
pada tanah tandus dan iklim kering,
Tingginya KA berhubungan dengan
sampai 45 m3/ha/tahun pada tanah yang
proporsi kayu gubal dan juvenil. Sel-sel
subur (Alrasjid dan Widiarti 1992).
kayu gubal mempunyai fungsi fisiologis,
Kasim et al. (2003) melaporkan
yaitu menyalurkan air dan unsur hara dari
penelitian mengenai kayu Gmelina yang
akar ke daun untuk proses fotosintesis,
berasal dari daerah sekitar kampus
sehingga banyak mengandung air. Nilai
Jatinangor, Sumedang dengan diameter 30
MOR pada bagian pangkal batang lebih
cm. Pengujian sifat fisik dan mekanik pada
tinggi (716.43 ~ 726.10 kg/cm2) daripada
berbagai variasi ketinggian dan bagian
bagian ujung batang (655.17 ~ 714.13
kayu dilakukan berdasarkan standar BS
kg/cm2). Demikian pula dengan kekerasan
373 (1957). Hasil penelitian ini
kayunya.
menunjukkan bahwa BJ pada bagian
pangkal batang adalah sekitar 0.50 ~ 0.53,
Jenis Kayu Andalan Setempat
sedangkan pada bagian ujung batang
Yunianti dan Bakri (2004) melakukan
adalah sekitar 0.38 ~ 0.43. BJ semakin
penelitian kualitas kayu Surian (Toona
menurun ke arah kulit, baik pada bagian
sureni Merr.) sebagai kayu unggulan di
pangkal maupun ujung batang. Hal ini
Lahan Uji Coba KPHP Kab. Tana Toraja.
kemungkinan disebabkan karena masih
Pembuatan contoh uji dilakukan
adanya kayu juvenil. Kayu juvenil

36
berdasarkan standar ISO 3130-1975. Hasil pengaruh diameter terhadap sifat fisik dan
pengujiannya menunjukkan bahwa KA mekanik telah dilakukan terhadap jenis
kering udara meningkat (18.22 ~ 21.24%); kayu Hopea (Hopea cernua) dan
kerapatan kering udara menurun (0.49 ~ Basswood (Ochroma bicolor Rowlee).
3
0.43 g/cm ), penyusutan T (7.66 ~ 6.06%) Dalam penggunaan kayu sebagai bahan
dan R (3.80 ~ 2.47%) menurun dari bangunan, kayu teras lebih disukai
pangkal ke ujung batang. Sedangkan nilai daripada kayu gubal karena mengandung
MOR (509.05 ~ 507.78 kg/cm2) dan ekstraktif yang bersifat racun terhadap
keteguhan tekan sejajar serat (253.77 ~ organisme perusak kayu, sehingga lebih
252.52 kg/cm2) tidak berbeda nyata. awet (Haygreen dan Bowyer 1996).
Berdasarkan SNI 01-6244 (Badan Standar Keberadaan cadangan makanan di dalam
Nasional 2000) mengenai Kayu Gergajian sel kayu gubal dapat mempengaruhi
untuk Komponen Mebel, kayu Surian ini peningkatan kerusakan akibat serangan
tidak memenuhi syarat untuk mebel serangga dan jamur (Panshin dan de
karena KA kering udara maksimum yang Zeeuw 1980).
dipersyaratkan adalah 14%. Dengan Gunawan et al. (2001b) melakukan
kerapatan kering udara rata-rata 0.47 penelitian perkembangan kayu teras pada
g/cm3, maka kayu ini tergolong jenis kayu jenis kayu Hopea. Bahan penelitian yang
sedang (Soenardi 2001). T/R rasio sebesar digunakan berasal dari areal HPH PT.
2.24 menunjukkan bahwa kayu ini Inhutani I Unit Berau, Kalimantan Timur;
memiliki kestabilan dimensi yang rendah. dengan kelas diameter 10, 20, 30, 40 dan
Berdasarkan SNI 01-3527 (Badan Standar 50 cm (dbh). Hasil pengukuran
Nasional 1994) mengenai Mutu Kayu menunjukkan bahwa persentase kayu teras
Bangunan, maka kayu ini tergolong kelas meningkat dengan bertambahnya kelas
kuat III dan IV. Dari hasil pengujian- diameter, yaitu dari 30% pada diameter 10
pengujian tersebut, kayu Surian dapat cm menjadi 80% pada diameter 50 cm.
dimanfaatkan untuk bahan konstruksi Pada penelitian ini dikemukakan bahwa
ringan. model regresi hubungan antara diameter
(X) dengan prosentase kayu teras (Y)
Diameter adalah Y = – 45.38 + 30.44 ln(X).
Penelitian-penelitian mengenai Berdasarkan persamaan ini diperkirakan

37
pembentukan kayu teras pada jenis kayu Kelembaban, Kadar Air dan Suhu
Hopea cernua terjadi setelah diameter Perubahan kelembaban nisbi akan
pohon sekitar 4.4 cm. Peningkatan kayu menyebabkan perubahan KA kayu yang
teras untuk penambahan diameter setiap 1 bersifat higroskopis. Perubahan KA kayu
cm adalah 1.58% Sebagai pembanding, akan mengakibatkan perubahan dimensi
pembentukan kayu teras pada jenis kayu kayu. Coto (2005) melakukan penelitian
Rasamala (Altingia excelsa Noronhoa) mengenai kepekaan kayu terhadap
terjadi setelah diameter pohon sekitar 15 perubahan kelembaban. Penelitian ini
cm (Sukartana 1989); Shorea ovalis bertujuan untuk mengetahui laju
setelah 7.4 cm, Shorea parvifolia setelah perubahan KA jenis kayu Kamper
8.3 cm, dan Koompassia malaccensis (Dyobalanops aromatica Gaertn.),
setelah 6.4 cm (Rahmanto 1997). Keruing (Dipterocarpus cornutus Dyer.),
Wahyudi (2005) melaporkan pengaruh Karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg.), Jati
diameter batang terhadap kualitas kayu (Tectona grandis L.f.), Mangium (Acacia
Basswood berumur 8 tahun yang ditanam mangium Willd.), Gmelina (Gmelina
di kawasan Darmaga, Bogor. Diameter moluccana (Blume) Backer) dan Lamtoro
yang diamati adalah 28 cm, 38 cm, dan 51 (Leucaena glauca (Willd) Benth) pada
cm (dbh). Kerapatan, keteguhan lentur arah R, T dan L, serta 3 variasi ketebalan
statis (MOE dan MOR) secara vertikal dan (1 cm, 2 cm dan 3 cm). Hasil penelitian
horizontal diuji berdasarkan standar BS menunjukkan bahwa laju perubahan KA
373 (1957). Hasil pengujian menunjukkan dipengaruhi oleh jenis, arah serat dan
bahwa nilai kerapatan dan MOR ketebalan kayu. Laju perubahan KA
dipengaruhi oleh diameter batang, tetapi tercepat terjadi pada contoh uji kayu
nilai MOE tidak. Nilai kerapatan dan Kamper arah T ketebalan 1 cm dan
keteguhan lentur statis bervariasi secara terlambat pada kayu Keruing arah R
vertikal maupun horizontal, tetapi variasi ketebalan 3 cm.
vertikal lebih kecil dari variasi horizontal. Basri et al. (2000) melaporkan
Nilai-nilai tersebut menurun dari pangkal ketergantungan Kadar Air Keseimbangan
ke ujung batang dan dari kayu teras ke (KAK) terhadap jenis kayu dan suhu
kayu gubal. lingkungan. Jenis kayu yang digunakan
adalah kayu Kalapi (Kalappia celebica),

38
Gofasa (Vitex coffasus) dan Ketileng KA basah yang lebih tinggi karena
(Vitex glabrata). Kayu tersebut memiliki ukuran rongga sel yang lebar
dikeringkan hingga 9%, kemudian sehingga lebih banyak menampung air.
dikondisikan pada 4 lingkungan dengan Sedangkan KA pada TJS dan KU relatif
suhu dan kelembaban berbeda. Hasil seragam. Penurunan KA kayu di bawah
penelitiannya menunjukkan bahwa proses TJS menyebabkan penurunan berat dan
adsorpsi terjadi pada suhu kamar atau susut. Berat kayu dipengaruhi oleh KA
lebih rendah, sebaliknya proses desorpsi dalam rongga sel, sedangkan kembang
terjadi di atas suhu kamar. Perbedaan susut kayu lebih dipengaruhi oleh
besarnya KAK pada setiap jenis kayu perubahan KA pada dinding sel. Susut dan
terutama terjadi pada proses adsorpsi. penurunan berat kayu mempunyai
Selanjutnya Sadiyo dan Daniyati hubungan linear sehingga dapat
(2005) mengajukan model regresi linier dinyatakan dengan model matematika.
sederhana hubungan antara susut dengan Tetapi model matematika untuk ke 10
berat kayu 10 jenis kayu Indonesia: Jenis- jenis kayu yang diteliti berbeda-beda
jenis kayu yang digunakan antara lain akibat adanya karakteristik pada masing-
adalah kayu Afrika (Maesopsis eminii), masing jenis, sehingga tidak dapat dibuat
Kapur (Dyobalanops aromatica Gaertn.), satu model. Penggunaan model
Jati plus (Tectona grandis L.f.), Meranti matematika ini hanya berlaku untuk setiap
Merah (Shorea spp.), Sengon jenis kayu menurut ukuran contoh uji
(Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen), tertentu.
dan Tusam (Pinus merkusii Jungh. et de
Vr.). Pengukuran berat dan susut Cuaca dan Jamur
dilakukan dari kondisi basah/segar, titik Cuaca
jenuh serat (TJS), kering udara (KU), Proses pelapukan oleh cuaca
sampai kering tanur (KT). Hasil penelitian (weathering) akan menyebabkan
menunjukkan bahwa KA rata-rata 10 jenis kerusakan pada permukaan kayu. Faktor
kayu tersebut menurun dari kondisi basah terpenting dari proses pelapukan adalah
(58.67%) ke kondisi TJS (25.72%) dan radiasi sinar matahari walaupun
menurun lagi pada kondisi KU (18.35%). kemampuan penetrasinya pada kayu
Kayu yang berkerapatan rendah memiliki sangat terbatas. Penetrasinya sinar

39
ultraviolet (UV) yang paling merusak 5.76%, 3.50%, dan 3.52%. Perubahan
tidak lebih dari 75 µm, sedangkan warna mulai terlihat setelah minggu ke 2
penetrasi sinar yang dapat dilihat oleh penjemuran. Selain perubahan warna,
mata manusia dengan panjang gelombang permukaan kayu menjadi kasar dan
400 ~ 700 nm hanya sampai 200 µm (Feist muncul guratan-guratan kecil yang
dan Hon 1984). semakin memanjang dan mengakibatkan
Sudiyani et al. (1998) melaporkan retak. Hal ini lebih cepat terjadi pada kayu
perubahan dimensi dan penampilan 3 jenis Ki Sampang, yaitu setelah 8 minggu
kayu tropis setelah pelapukan oleh cuaca. penjemuran. Selain itu kedua sisi
Jenis kayu yang digunakan pada penelitian permukaan kayunya telah ditumbuhi
ini adalah Ki Sampang (Evodia latifolia jamur.
DC.), Puspa (Schima noronhae Reinw.) Informasi hasil penelitian tentang
dan kayu Nangka (Artocarpus integra penggunaan kayu untuk luar ruangan di
Merr.) berumur lebih dari 20 tahun. Indonesia masih terbatas dan jenis yang
Contoh uji diletakkan dengan kemiringan populer di masyarakat untuk fungsi luar
5º menghadap sinar matahari dengan ruangan (pagar, pintu, mebel taman)
posisi 6º54’ lintang selatan dan 106º42’ adalah kayu Jati. Malik (2004)
bujur timur di Pusat Penelitian Fisika, menguraikan hasil penelitian sifat
Serpong. Periode pengamatan dilakukan pengembangan (swelling), pengujian
dari 2 sampai 24 minggu. Hasil siklus kering-basah (wetting and drying
pengukuran setelah 24 minggu cyclic test) dan kondisi 3 jenis kayu
penjemuran menunjukkan bahwa kayu Ki Pasang setelah mengalami pencuacaan
Sampang mengalami kehilangan berat (weathering). Jenis-jenis kayu yang
5.81%, sedangkan kayu Puspa dan Nangka digunakan adalah kayu Pasang-1 (Quercus
hanya 2.30%. Kayu Ki Sampang sp.), Pasang-2 (Lithocarpus sp.) dan
mengalami penurunan KA dari 9.03% Cemara (Gymnostoma sp.) dari Sumatera
menjadi 8.60%, sedangkan kayu Puspa Utara. Pembuatan contoh uji mengacu
dan Nangka terjadi peningkatan sekitar 0.5 pada penelitian sebelumnya (Malik dan
~ 2.0%. Pada minggu ke 24 penyusutan Balfas 2002). Pengukuran sifat
yang terjadi masing-masing untuk kayu Ki pengembangan dilakukan pada menit ke 5,
Sampang, Puspa dan Nangka adalah 10, 15, 30, 1 jam, 4 jam, 8 jam, dan 24

40
jam menggunakan alat Swellow-meter. cairan karena komponen tylosis
Pengujian siklus kering dan basah menempati gugus ikatan cairan pada kayu
dilakukan 4 siklus pada kondisi (Gallagher 1989). Karena respon
ruangan/suhu kamar, oven, pembasahan pengembangan yang lebih lambat maka
dengan perendaman, dan freezing masing- kayu Pasang akan mengalami perubahan
masing 24 jam. Sedangkan pencuacaan dimensi secara perlahan dibandingkan
dilakukan selama 2 bulan. Hasil penelitian kayu Cemara. Menurut Rowell (1983)
menunjukkan bahwa kerapatan kering kayu yang memiliki sifat pengembangan
udara (gr/cm3) kayu Pasang-1 adalah 0.92 awal yang cepat akan menimbulkan
(T) ~ 0.98 (R), kayu Pasang-2 adalah 0.69 kerusakan fisik pada permukaan kayu,
(T) ~ 0.64 (R), dan kayu Cemara adalah seperti retak atau pecah. Hasil pengujian
0.81 (T) ~ 0.77 (R). Tingkat absorpsi (%) siklus kering-basah menunjukkan bahwa
kayu Pasang-1 adalah 37.41 (T) ~ 31.44 tingkat absorpsi air dan perubahan
(R), kayu Pasang-2 adalah 55.65 (T) ~ bentuk/cacat mengalami peningkatan; hal
55.55 (R), dan kayu Cemara adalah 35.54 ini akibat adanya pelarutan komponen
(T) ~ 45.60 (R). Kerapatan berpengaruh ekstraktif polar dalam proses perendaman
terhadap besarnya absorpsi air dan sehingga memberikan tempat ikatan yang
stabilitas kayu. Semakin tinggi kerapatan lebih besar pada siklus berikutnya. Kayu
kayu maka tingkat absorpsinya semakin Pasang sedikit mengalami cacat retak dan
rendah, karena kayu dengan kerapatan pecah, tetapi mengalami perubahan bentuk
tinggi cenderung memiliki tempat (mencawan) dibanding kayu Cemara.
penampung air lebih sedikit daripada kayu Hasil pengamatan pencuacaan
berkerapatan lebih rendah (Panshin dan de menunjukkan bahwa kayu Cemara
Zeeuw 1980). Laju pengembangan kedua mengalami retak dan pecah, Kayu Pasang-
jenis kayu Pasang tersebut lebih lambat 2 mengalami retak, sedangkan kayu
dibandingkan dengan kayu Cemara; hal Pasang-1 tidak mengalami retak atau
ini kemungkinan disebabkan oleh ukuran pecah. Seluruh kayu mengalami
diameter pembuluh kayu Cemara yang perubahan warna, tetapi secara
lebih besar, serta banyaknya tylosis pada makroskopis belum dijumpai adanya
kayu Pasang. Adanya tylosis dapat serangan jamur maupun serangga.
mengganggu sifat absorpsi kayu terhadap Disimpulkan bahwa kedua jenis kayu

41
Pasang memiliki ketahanan terhadap tanaman Karet (Hevea brasilliensis Muel.
pencuacaan yang lebih baik dari kayu Arg.), Cokelat (Theobroma cacao) dan
Cemara, tetapi ketiga jenis kayu tersebut Eucalyptus spp. Contoh uji yang
relatif mudah mengalami kerusakan fisik digunakan didapat dari tanaman Akasia di
dan perubahan bentuk bila digunakan hutan tanaman Bukit Suharto Samarinda
untuk luar ruangan. Untuk mengatasi hal berumur 10 tahun dengan diameter 15 cm.
itu sortimen kayu dapat dibuat lebih tipis Pengujian sifat fisik dan mekaniknya
dan direkatkan sehingga menghasilkan meliputi KA, kerapatan, MOE, MOR,
sortimen yang lebih tebal. keteguhan pukul, keteguhan tekan sejajar
serat dan keteguhan geser berdasarkan
Jamur standar DIN. Hasil pengamatan
Budi et al. (1998) melaporkan menunjukkan bahwa jamur ini
pengaruh serangan jamur Upas (Curticium mengakibatkan perubahan warna, tekstur,
salmonicolor Berk. & Br.) terhadap sifat dan penurunan kekerasan pada kayu.
anatomi, fisik dan mekanik batang Acacia Warna bagian kayu yang terserang
mangium Wild. Jamur ini menyerang menjadi coklat kehitaman. Perubahan
batang bagian atas tanaman Akasia dari warna ini disebabkan oleh zat ekstraktif
berbagai umur di berbagai tempat di dari sel-sel parenkimatis di sekitar luka
Indonesia, melalui luka pada kulit atau dan masuk ke dalam bagian kayu melalui
kulit kayu yang tipis. Akibatnya kulit kayu noktah. Sedangkan tekstur menjadi kasar
menjadi pecah-pecah dan terkelupas; akibat penebalan dinding sel dan
matinya jaringan kulit bagian dalam; penyempitan diameter lumen. Prosentase
gangguan terhadap kambium dalam kerusakan pada bidang radial (horizontal)
menghasilkan phloem; bahkan dapat lebih besar daripada bidang transversal
terbentuk kallus atau kanker. Setelah (vertikal) dan bagian kayu yang terserang
menginfeksi, jamur ini lebih dominan menjadi melunak. Seluruh sifat mekanik
menyerang kayu teras karena terdapat yang diuji menunjukkan penurunan drastis.
rongga-rongga sel yang berisi udara (O2), MOE turun dari 6977.75 N/mm2 menjadi
dibandingkan dengan kayu gubal yang 5894.92 N/mm2; MOR dari 52.67 N/mm2
rongga-rongga selnya terisi air. Selain menjadi 43.42 N/mm2; keteguhan pukul
Akasia, hifa jamur ini juga menyerang dari 0.059 N/mm2 menjadi 0.030 N/mm2;

42
keteguhan tekan sejajar serat dari 28.08 menyerang ke 4 jenis kayu tersebut adalah
N/mm2 menjadi 23.32 N/mm2; dan dari jenis Ceratocystis dan Penicillium,
keteguhan geser dari 8.14 N/mm2 menjadi dengan serangan antara 0% ~ 100%.
N/mm2. Intensitas serangan pada KA kayu antara
Selanjutnya penelitian mengenai 11% ~ 20% mengakibatkan luas
pengaruh serangan jamur Biru terhadap pewarnaan noda pada kayu Ramin
perubahan sifat fisik dan kekuatan kayu mencapai 100%, Karet 90%, Agathis 80%
dilaporkan oleh Sarwono et al. (2005). dan Perupuk 20%. Pada intensitas
Jamur ini merupakan salah satu jamur serangan 75%, MOR kayu Ramin dan
yang menyebabkan pewarnaan dan hanya Karet cenderung mengalami kenaikan. Hal
menyerang kayu yang masih basah. Pada ini kemungkinan sebagai akibat dari
umumnya kayu gubal lebih banyak aktivitas enzim jamur Biru yang
terserang dibandingkan kayu teras. Boyce mempengaruhi pemadatan polimer pada
(1965) berpendapat bahwa jamur ini dinding sel kayu. Keadaan tersebut
hanya mengisi ronggal sel, tetapi menurut ditunjukkan pada bekas patahan saat
Baldwin dan Streisel (1985) jamur ini pengujian lentur yang rapuh (brittle).
berperan menghancurkan lignin. Jenis Tetapi secara umum serangan jamur ini
kayu yang diamati pada penelitian ini menyebabkan penurunan kualitas kayu
adalah Perupuk (Lophopethalum sp.), dan setelah serangan jamur ini, kayu akan
Karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg.), mudah diserang jamur pelapuk yang akan
Agathis (Agathis borneensis) dan Ramin merusak komponen dinding selnya
(Gonystylus bancanus Kurz.) yang sehingga akan menurunkan sifat fisik dan
diperoleh dari industri pengolahan kayu di mekaniknya.
PT Inhutani I Jawa Timur yang telah
terserang jamur Biru dengan berbagai Kebakaran Hutan
tingkat intensitas serangan. Sifat yang Liansyah (2000) melakukan penelitian
diuji meliputi KA, BJ, keteguhan lentur mengenai sifat fisik dan mekanik kayu
statis, keteguhan tekan sejajar serat dan pasca kebakaran jenis Meranti Merah
keteguhan geser dengan menggunakan (Shorea smithiana Sym.), Keruing
standar BS 373 (1957). Hasil pengamatan (Dipterocarpus cornutus Dyer) dan
menunjukkan bahwa jamur Biru yang Bangkirai (Shorea laevis Ridl.). Pengujian

43
sifat fisik dan mekaniknya berdasarkan yang telah mati dan kayu normal masih
standar DIN. Hasil pengujian berkisar antara 11 ~ 12%. Sedangkan
menunjukkan bahwa kebakaran hutan kerapatan kering udara kayu Jabon (0.56
berpengaruh sangat nyata terhadap g/cm3), Medang (0.63 g/cm3) dan Simpur
penurunan KA basah; BJ; pengembangan/ (0.80 g/cm3) mengalami penurunan antara
penyusutan R. T dan L; keteguhan geser; 6 ~ 9%. Hasil pengukuran kembang susut
keteguhan patah sejajar serat; keteguhan R, T dan L menunjukkan bahwa kayu
lentur pada batas proporsi dan maksimum; terbakar yang masih hidup maupun kayu
kekerasan radial dan transversal; dan terbakar yang telah mati mengalami
keteguhan pukul pada ketiga jenis kayu peningkatan jika dibandingkan dengan
tersebut. Hasil pengujiannya dipengaruhi kayu normalnya. Sifat mekanik kayu
juga oleh pengambilan contoh uji terbakar yang masih hidup dan yang telah
berdasarkan letak vertikal dan horizontal mati mengalami penurunan MOE sebesar
batang. 12 ~ 25%, MOR 20 ~ 25%, keteguhan
Selanjutnya Torambung (2001) geser 6 ~ 20%, keteguhan tekan 3 ~ 15%,
melaporkan sifat fisik mekanik kayu pasca keteguhan pukul 20 ~ 45%, dan kekerasan
kebakaran dari jenis Jabon (Anthocepalus 10 ~ 20% dibandingkan dengan kayu
chinensis Lamk.), Medang (Litsea spp) normal untuk ke 3 jenis kayu tersebut.
dan Simpur (Dillenia grandifolia Wall.): Suhu pada saat kebakaran hutan
Penelitian ini bertujuan untuk kemungkinan mengubah struktur sel dan
membandingkan sifat fisik dan mekanik komponen kimia dari kayu yang terbakar,
(1) kayu terbakar yang masih hidup, (2) sehingga menyebabkan menurunnya sifat
kayu terbakar yang telah mati dan (3) kayu fisik dan mekanik kayu. Tetapi kisaran
yang tidak terbakar (kayu normal). nilai sifat fisik dan mekanik pasca
Pengujian sifat fisik dan mekaniknya kebakaran tersebut masih di dalam kisaran
menggunakan standar DIN, meliputi KA, kelas kuat kayu normalnya, yaitu kelas
kerapatan, kembang susut, MOE, MOR, kuat III untuk kayu Jabon dan Medang,
keteguhan geser, keteguhan tekan, serta kelas kuat II untuk kayu Simpur
keteguhan pukul dan kekerasan. Dari ke 3 (Anonim 1979), sehingga masih layak
jenis kayu yang dibandingkan tersebut, digunakan sebagai bahan baku kayu
KA kering udara antara kayu terbakar konstruksi.

44
Pembahasan penelitian sifat fisik dan mekanik ini telah
Tidak diketahui secara pasti jumlah diteliti lebih dari 60 jenis kayu. Dari
dan potensi keanekaragaman jenis-jenis jumlah tersebut tercatat 28 jenis telah
kayu di Indonesia saat ini mengingat dilaporkan di Atlas Kayu Indonesia. Jenis-
semakin maraknya penebangan liar. jenis tersebut adalah Kemiri (Aleurites
Menurut Badan Inventarisasi dan Tata moluccana (L.) Willd.), Tusam (Pinus
Guna Hutan, Departemen Kehutanan, di merkusii Jungh. et de Vr.), Gmelina
Indonesia terdapat 3124 jenis kayu yang (Gmelina moluccana (Blume) Backer),
terdiri dari kayu komersial, non komersial, Surian atau Suren (Toona sureni Merr.),
tak dikenal, maupun jenis kayu budidaya Kapur/Kamper (Dyobalanops aromatica
(Anonim 1986). Menurut klasifikasi Gaertn.), Mahoni (Swietenia macrophylla
Prosea, di Indonesia terdapat 51 genera King.), Mindi (Melia azedarach L.),
yang tergolong major-commercial Sungkai (Peronema canescens Jack.),
timbers, 64 genera minor-commercial Pulai (Alstonia scholaris R. Br.), Terap
timbers dan 309 genera lesser-known (Artocarpus gomezianus Wall. ex Trecul),
timbers (Soerianegara dan Lemmens Balau (Shorea spp.), Bintangur
1994; Lemmens et al. 1995; Sosef et al. (Calophylum spp.), Merawan (Hopea
1998). Atlas Kayu Indonesia telah mengarawan Mig.), Jati (Tectona grandis
merangkum sebanyak 92 jenis kayu dari L.f.), Sengon (Paraserianthes falcataria
berbagai hasil penelitian, meliputi sifat (L.) Nielsen), Meranti Merah (Shorea
fisik dan mekaniknya (Martawijaya et al. spp.), Keruing (Dipterocarpus cornutus
1986; Martawijaya et al. 1989; Dyer.), Gadog (Bischofia javanica
Abdurrohim et al. 2004). Blume), Ramin (Gonystylus bancanus
Belum ada kata baku mengenai sifat Kurz.), Puspa (Schima noronhae
fisik, sifat fisika atau sifat fisis; demikian Bloemb.), kayu Pasang-1 (Quercus spp.),
pula dengan sifat mekanik, sifat mekanika kayu Pasang-2 (Lithocarpus spp.),
atau sifat mekanis. Namun pada tinjauan Perupuk (Lophopethalum spp.), Agathis
makalah ini digunakan istilah sifat fisik (Agathis borneensis Warb.), Bangkirai
dan mekanik untuk mewakili kata-kata (Shorea laevis Ridl.), Jabon (Anthocepalus
tersebut dengan pengertian yang sama. chinensis (Lamk.) A. Rich. ex Walp.),
Pada tinjauan capaian hasil-hasil Medang (Litsea spp.) dan Simpur

45
(Dillenia grandifolia Wall. ex Hk.f.). bicolor Rowlee), Rambai (Baccaurea
Dalam pemilihan jenis kayu untuk motleyana Muell.), Ki Sampang (Evodia
penelitian sebaiknya dilakukan studi latifolia DC.), kayu Nangka (Artocarpus
pustaka terhadap penelitian-penelitian integra Merr.), Kalapi (Kalappia
sebelumnya, sehingga dapat dijadikan celebica), Gofasa (Vitex coffasus),
sebagai pembanding. Ketileng (Vitex glabrata), Cemara
Sedangkan jenis-jenis kayu yang (Gymnostoma sp.), kayu Karet (Hevea
belum ada di Atlas Kayu Indonesia adalah brasiliensis Muel. Arg.) dan Lamtoro
kayu Balsa (Ochroma spp.), Randu (Ceiba (Leucaena glauca (Willd) Benth). Dengan
pentandra Gaertn.), Merkubung ditelitinya jenis-jenis ini maka diharapkan
(Makaranga sp.), kayu Cengkeh (Eugenia akan menambah pustaka diversifikasi
aromatica L.), Akasia (Acacia mangium pemanfaatan kayu.
Willd.), kayu Afrika (Maesopsis eminii), Informasi yang perlu disertakan pada
Hopea (Hopea cernua), Kisereh setiap penelitian mengenai sifat fisik dan
(Cinnamomum porrectum (Roxb) mekanik kayu adalah faktor (1)
Kosterm), Kibawang (Melia excelsa umur/dimeter pohon, (2) tempat tumbuh,
Jack.), Pulai Konggo (Alstonia kongoensis (3) jumlah dan cara pengambilan contoh
Engl.), Sengon Buto (Enterolobium uji, (4) standar pengujian yang digunakan,
cyclocarpum Griserb.), Salamander dan (5) acuan yang digunakan untuk
(Grevillea robusta A.Cunn.), Kilemo mengklasifikasikan kelas kuat kayu.
(Litsea cubeba Pers.), Tahongai Pengambilan contoh uji dari pohon yang
(Kleinhovia hospita Linn.), Sukun berumur muda kemungkinan masih
(Arthocarpus altilis), kayu Arang terdapat kayu juvenil. Sedangkan tempat
(Diospyros borneensis), Berumbung tumbuh berhubungan dengan riap tumbuh
(Adina minutifolia), Tisuk/Waru (Hibiscus yang akan mempengaruhi kecepatan
macrophyllus), Damar Mata Kucing pembentukan struktur kayu.
(Shorea javanica K. et Vr.), Urograndis Umur/diameter dan letak dalam batang
(Eucalyptus urograndis), kayu Kelapa berhubungan dengan persentase kayu teras
(Cocos nucifera L.), kayu Kelapa Sawit dan kayu gubal dimana keduanya
(Eleais guineensiis Jacq.), Laban (Vitex memiliki sifat fisik dan mekanik yang
Pubescens Vahl.), Basswood (Ochroma berbeda. Kayu Kelapa (Cocos nucifera L.)

46
dan Kelapa Sawit (Eleais guineensiis sedangkan kerapatan ditulis dengan satuan
Jacq) memiliki sifat fisik dan mekanik gr/cm3. BJ diterjemahkan sebagai specific
yang sangat berbeda berdasarkan letak gravity dimana perhitungannya
pada batang karena memiliki struktur berdasarkan berat dan volume kering tanur,
batang yang berbeda dengan struktur kayu sedangkan kerapatan diterjemahkan
pada umumnya. sebagai density dimana berat dan
Standar pengujian pada penelitian- volumenya dihitung pada kadar air tertentu.
penelitian yang telah dilakukan sangat Klasifikasi berat kayu masih banyak
beragam, demikian pula dengan acuan mengacu pada tinggi-rendahnya kerapatan
yang digunakan untuk mengklasifikasikan kayu (Soenardi 2001).
kelas kuat kayu. Selain itu standar Selain dipengaruhi oleh faktor
pengujian dan acuan klasifikasi kelas kuat eksternal, yaitu kelembaban dan suhu;
tersebut banyak yang tidak tinggi-rendahnya KA kayu juga
mencantumkannya di daftar pustaka, dipengaruhi oleh BJ atau kerapatan, umur
sehingga nilai-nilai sifat fisik dan mekanik pohon dan letak dalam batang yang
yang telah diteliti tidak dapat serta-merta berhubungan dengan proporsi kayu gubal
dibandingkan satu dengan lainnya. dan juvenil sebagai faktor internal. Sel-sel
Tiga parameter sifat fisik yang banyak kayu gubal mempunyai fungsi fisiologis,
diteliti adalah Bj atau kerapatan, KA dan yaitu menyalurkan air dan unsur hara dari
penyusutan; selain warna, arah serat dan akar ke daun untuk proses fotosintesis,
tekstur kayu yang berhubungan dengan sehingga banyak mengandung air.
penampilan kayu. BJ atau kerapatan Penyusutan kayu disebabkan oleh
merupakan salah satu sifat fisik kayu yang perubahan KA di bawah titik jenuh serat
sangat penting, karena tinggi-rendahnya (TJS). Jika kayu kehilangan air di bawah
akan mempengaruhi sifat fisik lainnya dan TJS atau air terikat di dalam dinding sel
sifat mekanik, serta pemanfaatan kayu maka akan terjadi penyusutan, sedangkan
yang bersangkutan. BJ atau kerapatan jika air masuk ke dalam dinding sel maka
menunjukkan rasio antara volume dinding akan terjadi pengembangan (Haygreen dan
sel terhadap pori-pori setiap jenis kayu. Bowyer 1996). Rasio penyusutan
Pada penelitian-penelitian yang telah tangensial dan radial (T/R rasio)
dilakukan, BJ ditulis tanpa satuan unit menunjukkan stabilitas dimensi kayu.

47
Semakin rendah perubahan dimensi konstruksi, selain dilihat berdasarkan kelas
absolutnya dan T/R rasionya maka kayu kuatnya, perlu juga dipertimbangkan rasio
tersebut semakin stabil (Panshin dan de kekuatan terhadap berat kayunya (strength
Zeeuw 1980). Apabila nilai tersebut lebih to weight ratio), karena semakin tinggi
dari 2 maka dikatakan sebagai kayu yang rasio tersebut maka semakin sesuai untuk
mempunyai kestabilan dimensi rendah bahan baku konstruksi (Abdurachman dan
(Abdurachman dan Hadjib 2001). Hadjib 2001).
Martawijaya (1990) menyebutkan bahwa Selain tempat tumbuh, faktor eksternal
dengan rasio penyusutan yang besar akan yang mempengaruhi sifat fisik dan
cenderung lebih mudah pecah atau mekanik kayu adalah kelembaban dan
berubah bentuk yang mengakibatkan cacat. suhu udara lingkungan, pelapukan oleh
Sifat mekanik sangat dipengaruhi oleh cuaca, serangan jamur dan kebakaran
BJ atau kerapatan kayu, sehingga faktor- hutan. Semakin tinggi BJ atau kerapatan
faktor yang mempengaruhi BJ atau maka tingkat absorpsi kayu semakin
kerapatan (jenis kayu, umur/diameter rendah, karena kayu dengan BJ atau
pohon, tempat tumbuh, letak dalam batang, kerapatan tinggi cenderung memiliki
kelembaban, kadar air dan suhu) akan tempat penampung air lebih sedikit
berpengaruh pula terhadap sifat mekanik daripada kayu dengan BJ atau kerapatan
kayu. Dari beberapa hasil penelitian, nilai- lebih rendah (Panshin dan de Zeeuw
nilai sifat mekanik kayu pada umumnya 1980); oleh karena itu kayu dengan BJ
meningkat dengan bertambahnya umur atau kerapatan rendah memiliki KA basah
pohon; serta menurun dari pangkal ke yang lebih tinggi karena memiliki ukuran
ujung batang (secara vertikal) dan dari rongga sel yang lebar sehingga lebih
kayu teras ke kayu gubal (secara banyak menampung air.
horizontal). Namun pengaruh ini berlaku Faktor terpenting dari proses
hanya jika contoh uji yang digunakan pelapukan adalah radiasi sinar matahari.
bebas cacat. Hasil pengujian sifat mekanik Proses pelapukan oleh cuaca akan
ini dapat menjadi bias dengan adanya menyebabkan perubahan warna;
faktor-faktor mata kayu yang tidak terlihat, penyusutan; kehilangan berat; kerusakan
orientasi lingkaran tumbuh, arah serat atau pada permukaan kayu, ditunjukkan oleh
adanya kayu reaksi. Sebagai bahan baku munculnya guratan-guratan kecil yang

48
semakin memanjang dan mengakibatkan keterbatasan peralatan atau kurangnya
retak/pecah; dan berpotensi tumbuhnya daya tarik terhadap tema penelitian ini.
jamur (Sudiyani et al. 1998; Malik 2004). Selain sifat akustik dan sifat termal kayu,
Serangan jamur termasuk faktor yang sifat fisik kayu yang belum banyak diteliti
mempengaruhi sifat fisik dan mekanik adalah sifat kelistrikan kayu (electrical
kayu. Serangan jamur Upas (Curticium properties). Sedangkan sifat-sifat mekanik
salmonicolor Berk. & Br.) mengakibatkan yang belum banyak diteliti adalah perilaku
perubahan warna, tekstur, dan penurunan creep, relaxation dan fatigue terhadap
kekerasan pada kayu dan sifat mekanik jenis-jenis kayu Indonesia.
lainnya (Budi et al. 1998). Sedangkan
jamur biru menyebabkan pewarnaan dan Daftar Pustaka
hanya menyerang kayu yang masih basah.
Abdurachman dan N. Hadjib. Sifat Fisis
Tetapi setelah serangan jamur biru, kayu dan Mekanis Jenis Kayu Andalan
Setempat Jawa Barat. Prosiding
akan mudah diserang jamur pelapuk yang
Seminar Nasional IV Mapeki.
akan merusak komponen dinding selnya Samarinda, 6-9 Agustus 2001. pp
II125-II135.
sehingga akan menurunkan sifat fisik dan
Abdurrohim, S; Y.I. Mandang; U. Sutisna.
mekaniknya (Sarwono et al. 2005). 2004. Atlas Kayu Indonesia Jilid III.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kebakaran hutan berpengaruh sangat
Teknologi Hasil Hutan, Badan Litbang
nyata terhadap penurunan sifat fisik dan Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Alrasjid, H. dan A. Widiarti. 1992. Teknik
mekanik kayu pada arah vertikal maupun
Penanaman dan Pemungutan Gmelina
horizontal batang (Liansyah 2000). Suhu arborea (Yamane). Informasi Teknis
No. 36, Pusat Penelitian dan
pada saat kebakaran hutan kemungkinan
Pengembangan Hutan, Bogor.
mengubah struktur sel dan komponen Anonim. 1976. Vademecum Kehutanan
Indonesia. Direktorat Jenderal
kimia dari kayu yang terbakar, sehingga
Kehutanan. Departemen Pertanian.
menyebabkan menurunnya sifat fisik dan Jakarta.
Anonim. 1979. Mengenal Sifat-sifat Kayu
mekanik kayu (Torambung 2001).
Indonesia dan Penggunaannya. PIKA.
Dari tinjauan ini hanya ada dua Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Anonim. 1986. Jenis-jenis Pohon Disusun
makalah yang meneliti sifat akustik
Berdasarkan Nama Daerah dan Nama
(Hadjib dan Sarwono 2004) dan sifat Botaninya Di Seluruh Indonesia.
Badan Inventarisasi dan Tata Guna
termal kayu (Fernandes et al. 2004). Hal
Hutan. Departemen Kehutanan.
ini kemungkinan disebabkan oleh Jakarta.

49
Badan Standar Nasional. 1994. SNI No. Mapeki. Tenggarong, 3-5 September
01-3527-1994. Mutu Kayu Bangunan. 2005. pp A88.
Jakarta. Den Berger, L.G. 1923. De Grondslagen
Badan Standar Nasional. 2000. SNI No. voor de Classificatie van Nederlansch
01-6244-2000. Kayu Gergajian untuk Indische Timmerhout-soorten. Tectona
Komponen Mebel. Jakarta. Vol. XVI.
Baldwin, R.G. and R.C. Streisel. 1985. Feist, W.C. and D.N.S. Hon. 1984.
Detection of Fungal Degradation of Chemistry of Weathering and
Low Weight Loss by Differential Protection of Wood in Rowell, R. (ed):
Scanning Colorimetry. Wood and The Chemistry of Solid Wood. Amer.
Fiber Science 17 (3). Journal of the Chem. Soc. P 401-451.
Society of Wood Science and Fernandes, A.; V.E. Prasetyo; T.A.
Technology. Wisconsin. USA. Prayitno. Perambatan Panas pada
Basri, E.; E.M. Alamsyah; E. Rasyid; Empat Jenis Kayu Perdagangan di
Jarkasih. Ketergantungan Kadar Air Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
Keseimbangan terhadap Jenis Kayu VII Mapeki. Makassar, 5-6 Agustus
dan Suhu Lingkungan. Kumpulan 2004.
Abstrak Seminar Nasional III Mapeki. Firmanti, A.; U. Dirgantara; N. Aini.
Jatinangor, 22-23 Agustus 2000. pp. Penurunan Nilai Karakteristik Kayu-
77. kayu Cepat Tumbuh. Kumpulan
Bhat, K.M. Managing Teak Plantations for Abstrak Seminar Nasional III Mapeki.
Super Quality Timber. International Jatinangor, 22-23 Agustus 2000. pp.
Teak Symposium. Department of 11.
Forest, Kerala, India, 2-4 December Gallagher, L. 1989. Moisture in Wood,
1991. pp 377. Part 2, Principles of Moisture
Boyce, J.S. 1961. Forest Pathology. Mc Movement. Asean Mobile Workshop
Graw Hill Book Company Inc. N. Y. on Wood Drying – Asean Timber
436-507. pp. British Standard Institute, Technology Center, Malaysia.
1957. Gunawan, R.H.R.; I.F. Dodi; A. Iskandar.
British Standard 373. 1957. Methods of Variasi Sifat Kayu HTI karena Umur
Testing Small Clear Specimen of dan Lokasi Tanaman. Prosiding
Timber. London. Seminar Nasional IV Mapeki.
Budi, A.S.; S. Hariyanto; M. Samani; D. Samarinda, 6-9 Agustus 2001a. pp
Mardji. Pengaruh Serangan Jamur II41-II50.
Upas (Curticium salmonic) terhadap Gunawan, R.H.R.; I.F. Dodi; A. Iskandar.
Sifat Anatomi, Fisik dan Mekanik Perkembangan Kayu Teras pada Jenis
Batang Acacia mangium Wild. Hopea cernua. Prosiding Seminar
Prosiding Seminar Nasional I Mapeki. Nasional IV Mapeki. Samarinda, 6-9
Bogor, 24 September 1998. pp 39-47. Agustus 2001b. pp II51-II55.
Coto, Z. Kepekaan Kayu terhadap Hadjib, N. Sifat Fisis dan Mekanis Kayu
Perubahan Kelembaban. Prosiding Urograndis (Eucalyptus urograndis)
Seminar Nasional VIII Mapeki. serta Kemungkinan Pemanfaatannya.
Tenggarong, 3-5 September 2005. pp Kumpulan Abstrak Seminar Nasional
A53. III Mapeki. Jatinangor, 22-23 Agustus
Coto, Z. dan I.S. Rahayu. Sifat Fisis dan 2000. pp. 12.
Mekanis Kayu Kelapa Hibrida. Hadjib, N. dan E. Sarwono. The
Prosiding Seminar Nasional VIII Acoustical Properties of Berumbung,

50
Merawan and Tisuk Wood. Prosiding Nasional III Mapeki. Jatinangor, 22-23
Seminar Nasional VII Mapeki. Agustus 2000. pp. 27.
Makassar, 5-6 Agustus 2004. pp Lemmens, R.M.H.J.; I. Soerianegara; W.C.
A118-A120. Wong. 1995. Plant Resources of
Haygreen, J.G. and J.L. Bowyer. 1996. South-East Asia No. 5 (2). Timber
Forest Products and Wood Science, trees: Minor Commercial Timber.
An Introduction. Third Edition. Iowa Prosea Publisher, Bogor Indonesia.
University Press. Iowa, USA. Mandang, Y.I. dan I.K.N. Pandit. 1997.
Ismariana. E. 1993. Pengaruh Umur dan Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di
Arah Aksial terhadap Titik Jenuh Serat Lapangan. Yayasan Prosea Bogor.
Kayu Jati (Tectona grandis L.f). Malik, J. dan J. Balfas. 2002. Modifikasi
Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Kayu Mangium (Acacia mangium
Mada. Yogyakarta. Skripsi. Tidak Willd.) dan Kemungkinannya untuk
dipublikasikan. Penggunaan Eksterior Dibandingkan
Kasim, F.; G. Bachtiar; Z. Coto. Sifat Fisis dengan Kayu Jati dan Bangkirai.
dan Mekanis Kayu Gmelina (Gmelina Prosiding Seminar Hasil Penelitian
arborea) pada Berbagai Variasi Teknologi Hasil Hutan. Pusat
Ketinggian dan Bagian Kayu. Penelitian dan Pengembangan
Prosiding Seminar Nasional VI Teknologi Hasil Hutan, Bogor.
Mapeki. Bukittinggi, 1-3 Agustus Malik, J. Sifat Pengembangan dan
2003. pp 98-110. Pencuacaan Tiga Jenis Kayu Pasang.
Kasmudjo dan S. Sunarto. Sifat-sifat Kayu Prosiding Seminar Nasional VII
Mindi dan Peluang Penggunaannya. Mapeki. Makassar, 5-6 Agustus 2004.
Prosiding Seminar Nasional II Mapeki. pp A70-A75.
Yogyakarta, 2-3 September 1999. pp Martawijaya, A; I. Kartasujana; K. Kadir;
8-18. S.A. Prawira. 1986. Indonesian Wood
Kholik, A. dan S.B. Prabawa. Sifat dan Atlas Volume I. Forest Products
Kualitas Kayu Sukun (Arthocarpus Research and Development Centre,
altilis) Asal Kalimantan Timur. Agency for Forestry Research and
Prosiding Seminar Nasional VII Development, Depertment of Forestry.
Mapeki. Makassar, 5-6 Agustus 2004. Martawijaya, A; I. Kartasujana; Y.I.
pp A1-A7. Mandang; S.A. Prawira; K. Kadir.
Kholik, A. dan R.H.R. Gunawan. Sifat dan 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II.
Kegunaan Enam Jenis Kayu Badan Litbang Kehutanan,
Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Departemen Kehutanan.
Nasional VII Mapeki. Makassar, 5-6 Martawijaya, A. 1990. Sifat Dasar
Agustus 2004. pp A25-A30. Beberapa Jenis Kayu yang Berasal
Koch, P. 1972. Utilization of Southern dari Hutan Alam dan Hutan Tanaman.
Pines Vol I: The Raw Material. U.S. Prosiding Diskusi Hutan Tanaman
Department of Agriculture. Forest Industri. Badan Litbang Kehutanan,
Service. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Liansyah, E. Sifat Fisik dan Mekanik Pandit, I.K.N. Sifat Makroskopis Kayu
Kayu Pasca Kebakaran Jenis Meranti Jati (Tectona grandis L.f) pada
Merah (Shorea smithiana Sym), Berbagai Kelas Umur. Kumpulan
Keruing (Dipterocarpus cornutus Abstrak Seminar Nasional III Mapeki.
Dyer) dan Bangkirai (Shorea laevis Jatinangor, 22-23 Agustus 2000. pp.
Ridl). Kumpulan Abstrak Seminar 16.

51
Panshin, A.J. and C. de Zeeuw. 1980. Sarwono, E.; D. Martono; N. Hadjib.
Textbook of Wood Technology. Pengaruh Serangan Jamur Biru
Volume I. Mc Graw-Hill Book Co. terhadap Perubahan Sifat Fisis dan
New York, USA. Kekuatan Kayu. Prosiding Seminar
Prayitno, T.A. Penggunaan Kayu Tak Nasional VIII Mapeki. Tenggarong, 3-
Dikenal, Bermutu Rendah. Prosiding 5 September 2005. pp A96-A100.
Seminar Nasional I Mapeki. Bogor, 24 Siau. 1995. Wood Influence of Moisture
September 1998. pp 57-73. on Physical Properties. Department of
Rachman, O. dan J. Malik. Prospek Wood Science and Forest Product,
Pemanfaatan Kayu Cengkeh (Eugenia Virginia Polytechnique Institute,
aromatica L.) sebagai Bahan Baku Keene, New York.
Mebel dan Barang Kerajinan. Soenardi, P. 2001. Sifat-sifat Fisika Kayu.
Prosiding Seminar Nasional II Mapeki. Bagian Penerbitan Fakultas Kehutanan
Yogyakarta, 2-3 September 1999. pp UGM. Yogyakarta.
118-131. Soerianegara I. and R.H.M.J. Lemmens.
Rahmanto, R.G.H. 1997. Studi tentang 1994. Plant Resources of South – East
Perkembangan Kayu Teras untuk Jenis Asia No. 5 (1). Timber Trees: Major
Dominan di Hutan Alam. Buletin Commercial Timber. Prosea Publisher,
Penelitian Kehutanan BPK Samarinda Bogor Indonesia.
10 (3). Sosef, M.S.M.; L.T. Hong;
Rowell, R.M. 1983. Chemical Prawirohatmodjo.1998. Plant
Modification of Wood. Forest Product Resources of South – East Asia No. 5
Abstract 6 (12): 363-382. (3). Timber Trees: Lesser Known
Rulliaty, S. Beberapa Jenis Kayu Timber. Prosea Publisher, Bogor
Alternatif Pengganti Ramin. Prosiding Indonesia.
Seminar Nasional VIII Mapeki. Sudiyani, Y.; W.S. Subowo; M. Gopar; R.
Tenggarong, 3-5 September 2005. pp Yusiasih; A. Syampurwadi. Perubahan
A41-A45. Dimensi dan Penampilan Tiga Jenis
Sadiyo, S dan E. Daniyati. Model Regresi Kayu Tropis setelah Pelapukan oleh
Linier Sederhana Hubungan antara Cuaca. Prosiding Seminar Nasional I
Susut dengan Berat Kayu Sepuluh Mapeki. Bogor, 24 September 1998.
Jenis Kayu Indonesia. Prosiding pp 49-55.
Seminar Nasional VIII Mapeki. Sukartana, P. 1989. Pendugaan Ukuran
Tenggarong, 3-5 September 2005. pp Kayu Teras Pohon Rasamala. Duta
A46. Rimba XV: 103-104.
Santoso, A. dan P. Sutigno. 1998. Sifat Sulistyo, J. dan S.N. Marsoem. Pengaruh
Papan Partikel dari Limbah Sawit. Umur terhadap Sifat Fisika dan
Laporan Proyek Pusat Penelitian dan Mekanika Kayu Jati (Tectona grandis
Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial L.F). Prosiding Seminar Nasional II
Ekonomi Kehutanan, Bogor. Mapeki. Yogyakarta, 2-3 September
Sarwono, E. Kayu Damar Mata Kucing 1999. pp 49-63.
(Shorea javanica K. et V.) sebagai Supriadi, A.; O. Rachman; E. Sarwono.
Bahan Baku Kayu Permebelan dan 1999. Karakteristik Dolok dan Sifat
Aspek Kemasyarakatan di Sekitar Penggergajian Kayu Sawit (Eleais
Wilayah Hutannya. Prosiding Seminar guineensiis Jacq.). Buletin Penelitian
Nasional VII Mapeki. Makassar, 5-6 Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan
Agustus 2004. pp C28-C33. Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.

52
Supriadi, A. Potensi Kayu Sawit sebagai Wangaard, F.F. 1950. The Mechanical
Sumber Kayu Alternatif. Prosiding Properties of Wood. John Wiley and
Seminar Nasional VII Mapeki. Sons. New York.
Makassar, 5-6 Agustus 2004. pp D114 Widiastuti, R. Prospek Pemanfaatan Kayu
- 118. Kelapa sebagai Bahan Baku Industri
Sutapa, J.P.G. Kualitas Batang Kayu Mebel. Prosiding Seminar Nasional II
Mindi (Melia azedarach L.) dari Areal Mapeki. Yogyakarta, 2-3 September
Agro-forestry. Kumpulan Abstrak 1999. pp 103-115.
Seminar Nasional V Mapeki. Bogor, Widiati, K.Y. Pemanfaatan Kayu
30 Agustus – 1 September 2002. pp. Tahongai (Kleinhovia hospita Linn.)
48. Berdasarkan Sifat Fisika dan
Sutapa, J.P.G. Penelitian Beberapa Sifat Mekanika serta Nilai Turunan Serat.
Fisika Kayu Mindi (Melia azedarach Kumpulan Abstrak Seminar Nasional
L.) dari Areal Agro-forestry V Mapeki. Bogor, 30 Agustus – 1
Tradisional. Prosiding Seminar September 2002. pp. 6.
Nasional VII Mapeki. Makassar, 5-6 Widiati, K.Y. dan A. Susanto. Sifat Fisika
Agustus 2004. pp A76. dan Mekanika Kayu Laban (Vitex
Suwandhi, I.; E. Rasyid; A. Darwis; Pubescens Vahl) Berdasarkan Letak
Rosmiati. Penyebaran Pohon Gadog Ketinggian dalam Batang. Prosiding
(Bischofia javanica Blume) di Jawa Seminar Nasional VIII Mapeki.
Barat dan Uji Karakteristik Kayunya Tenggarong, 3-5 September 2005. pp
(Seri Eksplorasi Pohon Khas dan A83-A87.
Langka Jawa Barat). Prosiding Wulandari, F.; N. Hajib; N. Nugroho.
Seminar Nasional VII Mapeki. Variabilitas Sifat Fisis dan Mekanis
Makassar, 5-6 Agustus 2004. pp Kayu Urograndis (Eucalyptus
A210-214. urograndis) dari Beberapa Klon.
Torambung, A.K. Sifat Fisika Mekanika Kumpulan Abstrak Seminar Nasional
Kayu Pasca Kebakaran dari Jenis V Mapeki. Bogor, 30 Agustus – 1
Jabon (Anthocepalus chinensis Lamk.), September 2002. pp. 5.
Medang (Litsea spp.) dan Simpur Yunianti, A.D. dan Bakri. Kualitas Kayu
(Dillenia grandifolia Wall.). Prosiding Surian sebagai Kayu Unggulan di
Seminar Nasional IV Mapeki. Lahan Uji Coba KPHP Kab. Tana
Samarinda, 6-9 Agustus 2001. pp II15- Toraja. Prosiding Seminar Nasional
II18. VII Mapeki. Makassar, 5-6 Agustus
Torambung, A.K. dan I. Dayadi. Sifat 2004. pp A31-A33.
Fisika dan Mekanika Kayu Rambai
(Baccaurea motleyana Muell)
Berdasarkan Letak Ketinggian dalam
Batang. Prosiding Seminar Nasional
VIII Mapeki. Tenggarong, 3-5
September 2005. pp A131-A138.
Wahyudi, I. Effect of Stem Diameter Size
on Qualities of Eight Year-Old
Basswood Planted in Darmaga Area.
Prosiding Seminar Nasional VIII
Mapeki. Tenggarong, 3-5 September
2005. pp A115.

53
54
BAB III
FAKTOR PERUSAK BIOTIK

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan pemahaman
kepada mahasiswa tentang: (1) faktor-faktor biotik perusak kayu, (2) kondisi terjadinya
serangan organisme tersebut, dan (3) teknik pencegahan dan pengendaliannya.

Tujuan Khusus : Bab in secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa


dalam mengidentifikasi jenis-jenis organisme perusak kayu, kondisi penyerangan, dan
mengemukakan teknik pengendalian dan cara pencegahan yang sesuai.

A. ORGANISME PENDEGRADASI KAYU

Zabel dan Morrel (1992) mengelompokkan agen perusak utama dan jenis
dekomposisi kayu yang disebabkan oleh faktor biotik sebagai berikut:
a. Serangan binatang – gangguan secara mekanis
- Penggerekan (boring) dan parutan permukaan (rasping) oleh marine borer
- Pembuatan terowongan (tunneling) dan penggalian (excavation) oleh serangga
(rayap, kumbang dan hymenoptera seperti semut) dan marine borer (cacing laut,
pholad, isopod)
b. Pelapukan dan Pewarnaan
- Penggoresan (etching) dinding sel dan pembuatan terowongan oleh bakteria
- Pewarnaan permukaan (molding) oleh jamur mold
- Pewarnaan kayu gubal (staining) oleh jamur stain
- Pelapukan (decay) oleh jamur (soft rot, brown rot dan white rot)

Kirk and Cowling (1984) merangkum tipe utama deteriorasi kayu dan organisme
penyebab seperti terlihat pada Tabel 2.

54
Tabel 2. Tipe deteriorasi biologis kayu dan organisme penyebab
Tipe deteriorasi Organisme
Deteriorasi tanpa dekomposisi
Kehilangan cadangan makanan Sel kayu hidup dalam kayu gubal
Pemboran mekanik, pecking, pemotongan Serangga, burung dan mamalia
Stain Jamur
Pewarnaan permukaan Jamur
Destruksi membran noktah Bakteria, jamur
Dekomposisi struktur polimer
Mekanobiokimia Serangga, binatang laut
Biokimia (pelapukan) Jamur

Deteriorasi tanpa dekomposisi

Apabila kayu yang baru ditebang yang diperuntukkan untuk kayu gergajian atau
vinir dikeringudarakan, cadangan makanan pada kayu gubal akan segera kosong karena
proses respirasi sel parenkim kayu itu sendiri. Tetapi bila pengeringan terlambat
dilakukan, kayu yang baru ditebang dapat diserang oleh jamur sap-stain dan algae, atau
oleh bakteri dan mold yang berkembang pada permukaan atau berpenetrasi ke dalam
kayu gubal yang tumbuh dari sel parenkim yang satu ke yang lainnya melalui sel jari-
jari. Organisme ini menggunakan isi sel parenkim sebagai makanan tetapi tidak
mempengaruhi kekuatan kayu secara serius. Jamur ini terutama menyebabkan
pengotoran kayu atau merubah permeabilitas kayu.

Bila kayu yang baru ditebang segera dikeringkan dengan kilang pengering, sel
hidup pada kayu gubal mati oleh panas dan cadangan makanan tetap tersimpan dalam
sel penyimpan makanan. Jika kayu telah dikeringkan menjadi basah kembali, cadangan
makanan tersebut dapat menjadi substrat kembali untuk pertumbuhan jamur pewarna
dan bakteria. Bila log yang baru ditebang cepat diubah menjadi serpih (chips) dalam
tumpukan besar. Sel hidup dengan cepat merubah cadangan makanan menjadi
karbondioksida (CO2), air, dan panas (lihat reaksi 1: respirasi). Jika panas metabolik
tersebut ditiadakan, tumpukan menjadi panas, dan pada kondisi ventilasi sangat jelek
dapat menimbulkan pembakaran secara spontan.

55
Ada dua jenis organisme yang umumnya menyebabkan pewarnaan pada kayu,
yaitu (1) mold dengan spora berwarna, dan algae yang tumbuh pada permukaan kayu,
dan (2) jamur dengan hifa berwarna gelap yang melakukan pewarnaan pada bagian
dalam kayu dengan melakukan penetrasi ke dalam kayu gubal. Aspergillus spp. dan
Penicillium spp. adalah mold yang umum ditemukan pada kayu. Pewarnaan yang
disebabkan oleh jamur ini biasanya dapat dikeluarkan melalui penyikatan, pengetaman,
atau pengamplasan. Ceratocystis spp. adalah contoh jamur sapstain. Pewarnaan ini
biasanya tidak dapat dikeluarkan meskipun dengan bahan kimia pemutih.

Bacillus polymyxa (Prazmowski) Macè, bakteri tertentu, jamur dan beberapa mold
seperti Trichoderma viridae Pers.ex Fr. dapat mendegradasi membran pektin noktah
berhalaman antar sel kayu. Degradasi ini meningkat permeabilitas kayu terhadap air
dan pelarut organik. Peningkatan permeabilitas merupakan masalah dalam pengerjaan
akhir kayu, tetapi dapat membantu penetrasi bahan kimia pulp dan pengawet ke dalam
kayu gubal.

Disintegrasi kayu secara mekanik dapat disebabkan oleh sejumlah species


serangga, burung, dan mamalia. Dalam beberapa kasus, disintegrasi ini dapat menjadi
cukup serius.

Deteriorasi dengan Dekomposisi

Mudah tidaknya polimer dinding sel terdekomposisi secara biologis banyak


ditentukan aksesibilitasnya terhadap enzim dan produk metabolik lain yang dikeluarkan
oleh jamur perusak kayu, atau dalam kasus serangga tertentu dan marine borer –melalui
organisme yang yang hidup pada saluran pencernaan hewan tersebut. Kontak fisik
langsung antara enzim atau metabolik lain dan polimer dinding sel adalah prasyarat
terjadinya degradasi secara hidrolitik dan oksidatif. Karena selulosa, hemiselulosa, dan
lignin merupakan polimer dinding sel yang tidak larut air dan tersusun dalam dinding
sel kayu dengan campuran fisik yang erat satu sama lain. Kontak fisik yang diperlukan
dapat dicapai hanya melalui difusi atau enzim atau metabolik lain masuk ke dalam
matriks kompleks tersebut atau menguyah halus kayu sebelum dicerna.

Komponen struktural kayu yang sangat penting yang membantu menahan


dekomposisi biologis kayu adalah lignin. Pada kayu, mikrofibril selulosa dilapisi atau

56
ditutupi oleh hemiselulosa yang diikat oleh lignin. Lignin terikat secara kovalen dengan
hemiselulosa, dan juga bergabung secara fisik. Apapun jenis hubungan nyata antara
lignin dan hemiselulosa, lignin secara fisik dapat mencegah akses enzim terhadap
hemiselulosa dan selulosa. Digestibility atau mudah tidaknya kayu utuh dan jaringan
berlignin lain (lignoselulosa) dicerna merupakan fungsi kadar lignin (Gambar 4).

Gambar 4. Digestibilitas kayu melalui campuran selulosa dan hemiselulosa sebagai fungsi kadar
lignin (Baker, 1973 dalam Kirk and Cowling, 1984).

Mekanisme biologis yang terlibat dalam mengatasi lignin sebagai perintang fisik
(physical barrier), yaitu:
1) Serangga dan binatang laut merusak secara fisik lignin dengan menggerus kayu
menjadi sangat halus,
2) Beberapa organisme terutama jamur tingkat tinggi mendekomposisi lignin dan
kemudian mengekspos polisakarida,
3) Jamur tingkat tinggi tertentu mensekresi agen pendepolimerisasi selulosa non enzim
yang melakukan penetrasi ke dalam selubung lignin.

Mekanisme 1 memungkinkan terjadinya mechano-bio-chemical decomposition kayu


utuh; sedangkan mekanisme 2 dan 3 memungkinkan biochemical decomposition.

57
Mechano-bio-chemical Decomposition

Untuk menghindari lignin barrier oleh pencernaan enzimatik polisakarida kayu


harus digiling halus. Pada ukuran partikel tertentu, polisakarida (selulosa dan
hemiselulosa) dapat dicerna secara maksimal oleh enzim. Ukuran partikel sedikit
bervariasi berdasarkan kadar dan penyebarab lignin serta jenis kayu. Kemampuan cerna
maksimum dicapai pada beberapa kayu (sweetgum, red oak, aspen) melalui vibratory
ball milling, tetapi penggunaan teknik penggilingan ini pada jenis kayu lain (red alder,
conifer) memiliki efek lain yang berkebalikan dengan efek pencernaan. Virtanen et.al
pertamakali mendemonstrasikan pengaruh reduksi ukuran partikel terhadap kemampuan
cerna bakteri selulotik yang tidak dapat dapat mendegradasi kayu utuh, tetapi dapat
memanfaatkan serbuk gergaji yang halus. Pew juga mendemonstrasikan bahwa
penggilingan halus membuat kayu lebih mudah dicerna oleh campuran enzim selulose
dan hemiselulase.

Pengaruh penggerusan halus juga sudah diperlihatkan oleh beberapa serangga dan
binatang laut yang pada bagian mulut dilengkapi organ penggiling internal (internal
milling organ), yang mereduksi kayu menjadi ukuran partikel yang dapat dicerna.
Enzim selulose dan hemiselulase pada usus mencerna polisakarida dan mengeluarkan
eksresi yang kaya lignin. Kebanyakan serangga yang tidak melakukan pencernaan
secara sempurna mencerminkan gagalnya pengerusa kayu menjadi cukup halus, yang
disebabkan ketiadaan enzim pelengkap, waktu tinggal tidak cukup, atau faktor lain.
Serangga pembor kayu (wood-boring insect) tertentu seperti kumbang ambrosia,
kumbang lyctus, semut, dan lebah tidak mencerna struktur polimer kayu. Kayu
melewati usus kumbang lyctus, tetapi hanya mencerna bahan non struktural yang
sederhana, terutama pati pada sel parenkim. Demikian pula pada kumbang ambrosia,
semut dan lebah.

Beberapa serangga, seperti Indian longhorn beetle (Stromatium barbatum


Fabricus) dan binatang laut (umumnya Limnoria tripunctata Menzies dan Bankia
setacea Tryon) memiliki enzim selulase endogenous [dan mungkin juga enzim hidrolase
polisakarida lainnya]. Rayap dan kebanyakan serangga pencerna kayu lainnya
mengandalkan mikroba polisakarolitik yang ada pada usus. Kumbang Stromatium

58
barbatum dan binatang laut Bankia setacea dapat memanfaatkan keduanya, yaitu enzim
selulase dan mikroba usus.

Serangga pengurai kayu dan binatang laut umumnya hanya mencerna selulosa dan
hemiselulosa, sedangkan dekomposisi lignin terbatas hanya pada beberapa jenis
14
serangga. Dalam salah satu laporan disebutkan bahwa perubahan lignin C menjadi
14
CO2 pada usus rayap Nasutitemes exitiosus Hill. Dekomposisi anaerobik lignin
dimungkinan oleh adanya oksigen yang terdapat pada usus Nasutetermes dan serangga
tertentu lainnya.

Bio-chemical Decomposition

Jamur pelapuk kayu dapat dibagi atas 3 berdasakan tipe pelapukan yang
ditimbulkannya, yaitu: white, brown, dan soft rot. Di Amerka Utara, white dan brown
rot disebabkan oleh 1.700 spesies jamur pelapik kayu pada kelas basidiomycetes; lebih
90% diantaranya menyebabkan pelapukan tipe white rot. Soft rot disebabkan jamur
pada kelas Ascomycetes dan Jamur imperfecti. Secara normal kebanyaan ditemukan
pada tanah atau lingkungan perairan.

B. JAMUR PENGHUNI KAYU (WOOD INHIBITING FUNGI)

Jamur merupakan salah satu dari 5 kingdom makhluk hidup, yaitu Monera,
Protista, Fungi, Plantae, dan Animalia. Jamur dicirikan oleh sel eukaryotik berfilamen
yang multiseluler. Karena tidak memiliki klorofil, jamur bersifat heterotropik dan
menfaatkan senyawa karbon sebagai sumber energi. Badan jamur (thallus) terdiri atas
seri sel kecil berbentuk tabung yang saling berhubungan yang disebut hifa. Sistem hifa
jamur memiliki kemampuan adaptasi untuk berpenetrasi, mencerna secara eksternal,
mengabsorpsi, dan memetabolisme berbagai bahan organik (contoh: bahan tumbuhan,
kayu). Massa hifa disebut miselium. Jamur menghasilkan spora yang terbentuk melalui
pragmentasi hifa.

Hifa merupakan unit seluler dasar dari struktur jamur. Individu hifa kecil dan
hanya terlihat dengan pembesaran, keculai pada beberapa jenis jamur hifanya dapat
terlihat dengan mata biasa. Diameter individu hifa berkisar 0,5–20 µm atau lebih,

59
kebanyakan berkisar 2–10 µm (Gambar 5). Gambaran khas hifa meliputi dinding sel,
septa, vakuola, glubula lemak dan kristal, serta inti. Sel hifa dapat berinti satu atau
berinti banyak, tetapi kebanyakan jamur pelapuk kayu umumnya berinti dua (binukleat).
Bahan kimia dindig sel hifaa terdiri dari 80-90% polisakarida, sisanya adalah protein
dan lipid. Chitin, selulosa dan sedikit chitosan membentuk mikrofibril untuk
memberikan kerangka skeletal dinding sel.

Gambar 5. Sistem pertumbuhan apikal dan percabangan hifa. Salah satu cabang
memperlihatkan septum dan gambaran protoplasma. N nukleus, ER endoplasma
reticulum, D dictyosome, V vakuola, M mitokondria, tubuh woroning (gelap)
(Schmidt, 2006)

Jamur memainkan tiga peran utama dalam ekosistem. Beberapa jamur adalah
patogen yang menyerang tumbuhan atau hewan hidup yang menyebabkan penyakit.
Jamur lain adalah simbion mutualisme dan telah mengembangkan asosiasi dengan
organisme lain (contoh: mycoriza, lichens). Kebanyakan jamur adalah saproba dan
merupakan agen utama dalam ekosistem yang melapukkan tumbuhan, melepaskan CO2,
dan mendukung proses fotosintesis pada tumbuhan hijau. Pelapukan pada kayu
dilakukan oleh jamur saproba.

60
B.1. Ruang Lingkup Jamur Penghuni Kayu

Pewarnaan (discoloration) dan pelapukan (decay) pada kayu disebabkan oleh


jamur, dan sedikit oleh bakteri, merupakan sumber utama timbulnya kerugian produksi
kayu gergajian dan penggunaan kayu. Mikroorganisme ini merupakan organisme unik
yang mengembangkan sistem untuk melakukan penetrasi, menginvasi/menyerang,
mencerna secara eksternal, dan mengabsorpsi bahan-bahan yang mudah larut dari
substrat yang kompleks seperti kayu. Peranan utama jamur dan bakteri dalam ekosistem
adalah untuk menguraikan dan melepaskan CO2 dan unsur penting lainnya untuk
fotosintesis tumbuhan dan melanjutkan kehidupan dalam ekosistem.

a. Jamur pewarna kayu (Wood staining fungi)

Jamur ini terutama menimbulkan pewarnaan, yaitu perubahan dari warna normal
kayu yang dihasilkan dari pertumbuhan jamur pada kayu atau perubahan kimia sel atau
isi sel. Jamur pewarna ini dapat dibedakan atas:

Mold

Jamur yang tumbuh pada permukaan kayu yang sangat basah, memanfaatkan senyawa
karbon sederhana yang ada. Pertumbuhan dan sekresi hifa jamur pada permukaan kayu
menghasilkan warna seperti hitam, abu-abu, hijau, ungu, dan merah; dan pada dasarnya,
sejumlah besar dari spora yang ada berpotensi menimbulkan alergi. Mold secara normal
dapat dikeluarkan melalu penyikatan atau pengetaman dan dapat menyebabkan kerugian
kualitas kayu yang utama.

Stain

Jamur pewarna yang menyerang kayu gubal dari kebanyakan kayu komersil selama
penyimpanan log atau pengeringan alami kayu gergajian. Jamur stain terutama
menyerang jaringan parenkim pada kayu gubal, dan pewarnaan dihasilkan dari massa
hifa berpigmen pada sel kayu. Meskipun jamur stain menyebabkan kerusakan kecil
terhadap sel parenkim pada kayu, beberapa sifat lain yang dipengaruhinya selain
pewarnaan adalah sifat keliatan dan permeabilitas. Stain secara normal tidak dapat
dikeluarkan melalui penyikatan atau pengetaman.

61
b. Jamur pelapuk kayu (Wood decaying fungi)

Jamur ini menyebabkan pelapukan dan pelunakan pada kayu. Pelapukan


menghasilkan perubahan sifat fisik dan kimia kayu terutama oleh aktivitas enzimatik
dari mikroorganisme. Jadi hanya terbatas pada kelompok jamur memiliki kemampuan
enzimatik mencerna kayu. Beragam kelompok jamur menyerang bahan dinding sel
kayu dengan cara berbeda dan mengakibatkan berbagai tipe pelapukan.
Soft rot : disebabkan oleh mikrofungi yang menyerang secara selektif lapisan S2
dinding sel. Kadar air yang tinggi dan berhubungan dengan tanah sangat
sesuai untuk perkembangan soft-rot.
Brown rot : disebabkan oleh kelompok jamur yang terutama menyerang karbohidrat
dinding sel.
White rot : disebabkan oleh kelompok jamur yang menyerang karbohidarat dan
lignin dinding sel.
Jamur white rot dan brown rot termasuk dalam subdivisi Basidiomycotina. Pada tahap
akhir pelapukan, semua jamur pelapuk menghasilkan perubahan drastis pada kekuatan
dan sifat penggunaan lainnya. Kerusakan yang disebabkan oleh jamur pelapuk dapat
dilihat Gambar 6.

Gambar 6. Diagram yang memperlihatkan berbagai model pengrusakan dinding sel oleh jamur
tipe white rot, brown rot, dan soft rot (Zabel and Morrell, 1992)

62
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur

Ekologi jamur terkait dengan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan


kemampuan bertahan jamur dalam kayu. Seperti halnya semua organisme hidup, jamur
memiliki kebutuhan tertentu untuk pertumbuhan dan kemampuan bertahan. Kebutuhan
pertumbuhan utama jamur penghuni kayu (Zabel and Morrel, 1992), yaitu:
1. Air ⎯air bebas pada permukaan rongga sel
2. Oksigen ⎯oksigen atmosfir pada level relatif rendah untuk kebanyakan jamur dan
level sangat rendah atau oksigen kimia hanya untuk beberapa jamur mikroaerobik
dan anaerobik fakultatif.
3. Kisaran suhu yang sesuai ⎯suhu optimum untuk kebanyakan jamur penghuni kayu
berkisar 15–45oC
4. Substrat yang dapat dicerna (kayu dan lain-lain) ⎯menyediakan energi dan hasil
metabolit untuk sintesis melalui metabolisme
5. Kisaran pH yang sesuai ⎯pH optimum untuk kebanyakan jamur penghuni kayu
berkisar pH 3-6
6. Faktor kimia pertumbuhan ⎯senyawa nitrogen, vitamin, dan unsur-unsur penting
(esensial).

Dua faktor terakhir seringkali tercakup dengan substrat. Keberadaan zat ekstraktif
beracun, meskipun tidak dibutuhkan, perlu untuk pertumbuhan kebanyakan jamur pada
kayu. Cahaya tampak dibutuhkan oleh beberapa jamur untuk perkembangan struktur
penghasil spora dan dapat memainkan peranan dalam fungsi fisiologis lainnya. Sinar
UV pada level tinggi menimbulkan kematian pada kebanyakan jamur.

Pada tingkat molekular melalui reaksi enzimatik, setiap faktor pertumbuhan di


atas berperan sebagai:
1. Air ⎯adalah medium difusi untuk enzim dan O2, reaktan dalam reaksi hidrolisis
komponen kimia kayu, dan medium pelarut untuk semua bahan kimia sel.
2. Oksigen (bebas) ⎯elekton utama dan akseptor hidrogen pada reaksi oksidasi-
reduksi aerob yang menghasilkan energi, membentuk H2O.

63
3. Suhu ⎯mengendalikan laju reaksi dan pada level lebih tinggi merusak stabilitas
struktur enzim.
4. Substrat ⎯menyediakan energi dasar, tempat produk metabolit untuk sintesis, dan
juga sumber nitrogen dan vitamin bagi jamur.
5. Logam minor dan vitamin ⎯memainkan peranan penting sebagai cofaktor atau
coenzim pada berbagai reaksi enzimatik.
6. Konsentrasi ion hidrogen (pH) ⎯memberikan level optimal bagi berbagai reaksi
enzim dan stabilitas protein.

3. Perubahan Sifat Kayu Akibat Pelapukan

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, jamur pelapuk kayu dapat


menyerang komponen kimia penyusun dinding sel kayu, yaitu selulosa, hemiselulosa,
dan lignin. Akibat serangan pada polimer penyusun dinding sel, kayu mengalami
pelapukan yang berdampak pada sifat-sifat kayu, seperti perubahan kimia kayu,
kekuatan, dan fisik kayu.

a. Perubahan Kimia Kayu

Komponen kimia kayu dimanfaatkan dalam urutan dan laju yang bervariasi oleh
jamur. Jamur pewarna tidak menyebabkan perubahan sifat kimia pada komponen kimia
dinding sel. Sebaliknya jamur pelapuk dapat merubah sifat tersebut dengan derajat yang
berbeda, tergantung tipe jamur pelapuknya.

White rot fungi

Jamur ini mampu menyerang dan memetabolisme seluruh komponen utama kayu. Ciri
khas jamur ini adalah kemampuannya untuk mendepolimerisasi dan memetabolisme
lignin. Komponen utama dinding sel dimanfaatkan dengan urutan dan laju yang
beragam oleh jamur white rot yang berbeda, yang dipengaruhi oleh kemampuan
enzimatiknya. Liese (1970) mengelompokkan jamur ini menjadi:
a. Simultaneous white-rotter: menyerang semua komponen dinding sel secara seragam
pada seluruh tahap pelapukan
Contoh: Coriulus (Trametes) versicolor, Irpex lacteus

64
b. Sequential white-rotter: menyerang semua komponen dinding sel, tetapi pada tahap
awal serangan terjadi secara selektif pada hemiselulosa dan lignin.
Contoh: Phellinus pini, Heterobasidion annosum

Gambaran umum pemanfaatan komponen kayu oleh white rot diringkas sebagai berikut:
1. Semua komponen dinding sel dikonsumsi, dengan pengecualian mineral yang relatif
sedikit. Terdapat variasi urutan dan laju pemanfaatan komponen baik oleh species
maupun strain jamur dalam satu species. Pada dasarnya, hemiselulosa secara
khusus dimanfaatkan pada tahap awal pelapukan. Kehilangan berat dapat
mendekati 95-97% dari bahan awal kayu bila ekspos berkepanjangan terjadi pada
kondisi optimal pelapukan.
2. Pada semua tahap pelapukan, sisa kayu memiliki kelarutan NaOH 1% yang rendah
(kelarutan dalam alkali), menandakan bahwa hasil pemutusan komponen kimia oleh
pelapukan dimanfaatkan oleh jamur secara cepat.
3. Selulosa, hemiselulosa dan lignin yang tersisa pada bagian yang tidak mengalami
pelapukan menampakkan tidak terjainya perubahan penting, yang menandakan
bahwa white rot mengkonsentrasikan serangannya pada permukaan dinding sel yang
terpapar. Selanjutnya, enzim secara perlahan-lahan mengikis jalannya ke dalam
dinding sel dari permukaan rongga sel.

Brown rot fungi

Terutama mendekomposisi karbohidrat dinding sel, meninggalkan residu lignin


yang terdemetoksilasi. Karbohidrat dikeluarkan secara selektif pada tahap akhir
serangan brown rot telah digunakan untuk mempelajari distribusi lignin pada dinding
sel (Coté el al., 1966). Hemiselulosa dikeluarkan lebih cepat daripada selulosa pada
tahap awal pelapukan. Highley (1977) memperlihatkan bahwa suplemen karbohidarat
seperti manan diperlukan selama depolimerisasi selulosa murni oleh Postia (Poria)
placenta. Brown rot berbeda dengan white rot dalam mendepolimerisasi karbohidrat
secara ekstensif/meluas pada dinding sel sekunder pada tahap awal proses pelapukan
(Kirk and Highley, 1973).

Brown rot mengubah kayu dengan cara berikut selama perkembangan pelapukan
berlanjut:

65
1. Semua karbohidrat dikonsumsi, meninggal residu lignin termodifikasi pada dinding
sel.
2. Peningkatan kelarutan dalam air dan NaOH 1% yang besar terjadi pada tahap awal
pelapukan, akibat depolimerisasi karbohidrat yang cepat pada tahap awal pelapukan
dan meningkatkan kelarutan lignin pada tahap akhir pelapukan. Brown rot
menampakkan depolimerisasi kayu yang lebih cepat pada tahap awal daripada
produk pelapukan yang dapat dimetabolisme. Produk dekomposisi kayu yang
berlebihan dapat membantu menjelaskan keberadaan scavenger kayu yang lainyang
sering ada pada kayu yang terserang brown rot.
3. Proses pelapukan secara cepat terjadi pada lapisan S1 dan S2 dinding sel, tetapi
berkembang tidak teratur dan tidak ada zona lysis yang terasosiasi hifa khas jamur
white-rot.
4. Terdapat penampakan variasi yang kurang banyak akibat serangan komponen
dinding sel oleh brown rot dibandingkan jamur white rot.

Soft rot fungi

Soft rot menampakkan variasi serangan terhadap komponen dinding sel selama
perkembangan pelapukan. Beberapa spesies menyerang karbohidrat, sedangkan
serangan lignin terbatas pada demetoksilasi yang relatif sedikit. Beberapa soft rot,
secara selektif mengeluarkan lignin lebih banyak daripada karbohidrat dari kayu konifer,
serupa yang terjadipada beberapa white rot (Eslyn et al., 1975). Jamur soft rot tipe 1
dapat mendegradasi kristalin selulosa, yang digambarkan melalui pembentukan lubang
khas (cavities) pada zone S2 dinding sekunder. Kayu yang dilapukkan oleh soft rot ini
menyerupai kayu yang didegradasi oleh white rot karena memiliki kelarutan alkali yang
rendah, yang menunjukkan bahwa produk degradasi digunakan pada laju yang sama
dengan yang dilepaskan. Pada konifer, zone S3 dinding sekunder tahan terhadap
serangan soft rot, tetapi pada dasarnya delignifikasi meningkatkan susceptibilitas
pelapukan dan dapat mengalihkan jamur dari pembentukan lubang/cavities (Tipe 1)
menjadi erosi/pengikisan dinding sel (Tipe 2) (Zabel and Morrel, 1987).

66
b. Perubahan Kekuatan dan Sifat Fisik Kayu

Banyak perubahan yang terjadi pada kayu akibat serangan mikroorganisme


penghuni kayu terhadap kekutan (sifat mekanik) dan sifat fisik kayu. Beberapa sifat
tersebut adalah sebagai berikut:

1) Kehilangan berat (weight loss = biomass loss)


Beberapa jamur terutama memanfaatkan nutrien yang dapat diperoleh pada jaringan
penyimpanan atau zat ekstraktif, yang menyebabkan kehilangan berat yang relatif
kecil (1-3%) dan kerusakan yang minimal. Jamur lain menyerang komponen kimia
yang lebih kompleks pada dinding sel kayu, yang pada akhirnya memetabolisme-
nya menjadi CO2 dan H2O. Kehilangan berat dapat mencapai 70% pada brown rot,
96-97% untuk white rot, dan 3-60% pada soft rot. Kehilangan berat kayu
tergantung pada tipe jamur dan spesies kayu yang diuji. Kehilangan berat
dirumuskan sebagai:

Berat awal – berat setelah dilapukkan


WL (%) = ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ x 100
Berat awal (OD)

2) Kehilangan kerapatan (density loss)


Kerapatan dan berat jenis juga digunakan untuk mengukur pengaruh serangan
mikrobial. Serangan jamur white rot menyebabkan kehilangan berat dengan sedikit
perubahan volume pada kayu, sedangkan pada kayu yang terserang brown rot
pengurangan volume kayu cukup besar.
3) Sifat kekuatan (mekanik) – strenght (mechanical) properties
Jamur yang tumbuh pada kayu mengubah struktur kimia dan mengeluarkan massa
kayu, sehingga berakibat pada perubahan sifat mekanik kayu. Kayu menghasilkan
kekuatan sebagai hasil kombinasi orientasi mikrofibril selulosa dan hemiselulosa.
Perubahan salah satu dari karbohidrat ini akan menyebabkan reduksi kekuatan kayu
secara cepat.

67
4) Higroskopitas (hygroscopity)
Karena enzim mikrobial mendegradasi bahan ligno-karbohidrat, jamur
menyebabkan perubahan kapasitas memegang air dinding sel kayu. Secara umum,
EMC (Equillibrium Moisture Content) kayu yang terserang brown rot lebih rendah
daripada kayu segar, sedangkan EMC kayu yang terserang white rot lebih tinggi
bila menyebabkan kehilangan berat >60% (Cowling, 1961). Peningkatan EMC
mulai pada kehilangan berat sekitar 40% pada white rot, sedangkan brown rot
mengalami penurunan EMC yang sangat tajam pada tahap awal pelapukan. Hal ini
disebabkan serangan terutama pada selulosa amorf. Selulosa amorf menahan level
penyerapan air lebih tinggi daripada daerah kristalin selulosa, dan pengeluaran
daerah amorf secara cepat menurunkan kapasitas memegang air pada kayu secara
keseluruhan. Tidak adanya perubahan EMC pada tahap awal serangan white rot
kemungkinan disebabkan pengeluaran secara seragam semua komponen kayu,
sedangkan peningkatan EMC pada tahap akhir pelapukan dapat menggambarkan
bahwa jamur menyerang secara selektif daerah kristalin selulosa.
5) Nilai kalor (calor value)
Karena agen mikrobial mengkolonisasi dan memanfaatkan substrat kayu, jamur
mengeluarkan dan merubah bahan kayu menjadi biomassa mikrobial, CO2, H2O,
dan produk limbah metabolit. Meskipun biomassa mikrobial akan memberikan
konstribusi sedkit terhadap nilai kalor, kandungan net energy dari kayu lapuk
mengalami penurunan. Nilai kalor ini diperlukan untuk menghasilkan sejumlah
panas.
6) Permeabilitas (permeability)
Meskipun beberapa jamur penghuni kayu berpenetrasi secara langsung ke dalam
dinding sel untuk bergerak dari satu sel ke sel lainnya, kebanyakan jamur pelapuk
pada awalnya bergerak berpenetrasi melalui noktah. Karena noktah memainkan
peranan dalam pengaliran cairan pada serat dan tracheid, pengeluaran membran
noktah membuat kayu lebih mudah menerima pergerakan cairan. Sebagai akibat
perubahan tersebut, kayu lapuk mengabsorpsi dan mendesorpsi cairan lebih cepat
daripada kayu segar.
7) Sifat kelistrikan (electrical properties

68
Kayu memiliki konduktivitas listrik yang lebih rendah daripada bahan konstruksi
lain seperti baja, dan karena alasan inilah kayu umumnya digunakan untuk
mendukung sistem distribusi listrik. Pada kayu yang telah terdegradasi,
konduktivitas listriknya meningkat (Richard, 1954). Tahanan listrik kayu segar
lebih tinggi, sedangkan kayu yang telah lapuk atau terdekolorasi tahanan listriknya
50-75% lebih rendah daripada kayu segar, yang diukur dengan Shigometer.
8) Sifat akustik (acustic properties)
Kayu memiliki sifat penghantar gelombang suara dan menghasilkan karakteristik
emisi suara bila kayu ditekan secara mekanik. Kemampuannya akan berubah bila
kayu dikolonisasi oleh agen mikrobial (Pellerin et.al., 1986; Noguchi et.al., 1986).
Perubahan sifat akustik ini dapat digunakan untuk mendeteksi tahapan pelapukan.
Karena gelombang suara bergerak melalui kayu, suara akan melewati lubang akibat
pelapukan. Karakteristik lain dari kayu seperti lingkaran tahun, mata kayu, retak
dan lain-lain dapat mengubah pola gelombang suara.

c. Teknik Pengendalian

Pada dasarnya, pengendalian jamur menyerang kayu sangat terkait dengan ekologi
jamur atau faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jamur. Menurut Zabel and
Morrell (1991), pengendalian jamur, terutama jamur pelapuk kayu dapat dilakukan
sebagai berikut:
(1) Infusi dengan bahan beracun atau modifikasi kimia
(2) Menjaga kayu tetap kering, yaitu di bawah kadar air titik jenuh serat
(3) Merendam atau menyemprot kayu dalam air
(4) Memusatkan penyimpanan kayu bulat pada musim dingin; pemanasan sampai steril
(5) Perlakuan pemberian larutan alkali untuk pengendalian stain
(6) Pengawetan kayu; pemanasan kayu untuk menghancurkan vitamin.
(7) Menggunakan kayu awet.

C. SERANGGA PERUSAK KAYU (WOOD DESTROYING INSECTS)

Serangga (kelas: Insecta) termasuk dalam filum hewan terbesar yaitu Anthropoda.
Anthropoda dicirikan oleh exoskeleton yang keras yang bersegmen. Serangga memiliki

69
3 bagian tubuh, yaitu kepala, thorax dan abdomen di mana terdapat sepasang sayap
seperti Gambar 7.

Gambar 7. Gambaran umum kumbang Anobium: Kepala dengan antena (a), prothorax (b),
thorax, kaki, dan abdomen

Kepala serangga bergabung dengan thorax, tempat sepasang antena, mulut yang terdiri
atas sepasang mandibel, dua pasang maxillae, labrum dan labium dan sepasang mata
majemuk. Mandibel larva serangga pengerek kayu terspesialisasi untuk menggerek ke
dalam kayu. Thorax terbagi atas tiga segmen (pro-, meso-, dan metahorax) masing-
masing memiliki sepasang kaki. Setiap kaki terdiri atas 6 segmen dasar. Pada
kebanyakan serangga dua pasang sayap juga muncul dari thorax. Pada beberapa
serangga sayap tidak berkembang, hanya ada dalam waktu pendek dari siklus hidup atau
tersisa sebagian. Abdomen terdiri atas segmen-segmen, umumnya tanpa alat tambahan
kecuali struktur sensor dan genital (reproduksi) pada segmen terakhir.

Siklus Hidup Serangga

Serangga melewati tahapan perkembangan dari telur sampai dewasa secara seksual,
kawin dan menghasilkan generasi dalam siklus hidupnya. Perubahan ini disebut
metamorfosis. Penampakan dan prilaku setiap tahapan berbeda-beda. Panjang siklus
hidup dihitung mulai dari waktu fertilisasi sampai kematian serangga. Pada kebanyakan
serangga perusak kayu siklus hidup dapat berlangsung beberapa tahun.

70
Pada umumnya, ada dua jenis siklus perkembangan serangga yaitu metamorfosis
tidak sempurna dan metamorfosis sempurna (Gambar 8). Pada metamorfosis tidak
sempurna serangga melewati tiga tahap perkembangan –telur, nimfa, dan dewasa–dan
terjadi pada kelompok kecil serangga penghuni kayu seperti rayap (ordo: Isoptera).
Pada awalnya, nimfa tidak menyerupai serangga dewasa tetapi karena nimfa tumbuh
akhirnya menyerupai serangga dewasa termasuk bentuk mulut. Metamorfosis tidak
sempurna diistilahkan “hemimetabolous”, dengan perkembangan bentuk sayap di luar
tubuh serangga. Pada metamofosis sempurna serangga melewati 4 tahap –telur, larva,
pupa dan dewasa– dan terjadi pada banyak kelompok serangga penghuni kayu seperti
Coleoptera, Hymenoptera dan Lepidoptera. Tahap larva memakan kayu dan mengalami
ganti kulit yang memungkinkan ukuran tubuh bertambah selama pertumbuhan. Ada
perubahan yang nyata dalam penampakan dari setiap tahapan dan tipe ini dikenal
“Holometabolous”, dengan perkembangan bentuk sayap di dalam tahap larva. Pada
kebanyakan serangga perusak kayu, kerusakan terjadi pada tahap larva, meskipun pada
beberapa ada juga yang merusak kayu pada tahap larva dan dewasa.

Gambar 8. Siklus hidup serangga: (a) metamorfosis tidak sempurna, (b) metamorfosis
sempurna

Nutrisi

Serangga perusak kayu memiliki bagian mulut yang dapat beradaptasi untuk
merobek dan mengunyah bahan padat menjadi partikel ukuran tertentu, yang bervariasi
dari hanya melintang dinding sel pada Hylotrupes sampai bubuk halus pada Lyctus.

71
Ukuran lubang yang dihasilkan oleh larva serangga penggerek kayu tergantung pada
ukuran larva, meskipun jumlah bahan yang dikeluarkan dalam sekali gigitan beberapa
kali lebih besar daripada luasan yang diakibatkan oleh hifa jamur tunggal dan minimal
akan menjangkau beberapa dinding sel pada arah melintang. Proses pemutusan dan
absorpsi makanan terjadi dalam sistem usus serangga (Gambar 9), yang dimulai pada
saat fragmen kayu dicerna ke dalam mulut. Untuk berkembang, serangga perusak kayu
(wood-destroying insect) memerlukan berbagai sumber nutrien, air, nitrogen organik,
dan karbon organik, yaitu air bebas dan air terikat dalam kayu, bahan makanan serta
bahan struktural kayu. Meskipun mineral dan vitamin juga dibutuhkan umumnya
serangga tidak menganggapnya sebagai faktor pembatas perkembangan serangga dalam
kayu.

Gambar 9. Sistem usus larva Lyctus : O = oesophagus, P = proventuculus, Mga = anterior


midgut, Mpg = posterior mid-gut, Hg = hidgut, R = rectum

Pada umumnya, usus serangga terbagi atas tiga bagian, yaitu usus depan (foregut),
usus tengah (midgut), dan usus belakang (hindgut). Semua segmen usus
memperlihatkan gerakan mengaduk dan peristaltik, yang mencampur dan
menggerakkan partikel kayu yang melalui usus.

Tembolok pada dasarnya berfungsi sebagai penyimpan, meskipun pengurangan


ukuran partikel untuk meningkatkan luasan partikel makanan dilakukan enzim
pencernaan dapat terjadi pada beberapa serangga perusak kayu dengan memanfaatkan
kapasitas pencernaan yang tinggi (contoh: Anobium punctatum). Adaptasi foregut
menjadi empedal penggiling (proventriculus) bertujuan untuk proses reduksi partikel.
Sedikit atau tidak ada pemutusan dan adsorpsi terjadi pada daerah usus depan meskipun
beberapa pencernaan dapat terjadi pada tembolok akibat pemuntahan kembali cairan

72
midgut. Untuk mencegah keluarnya partikel yang digiling ke dalam midgut serangga
dilengkapi dengan sphincter.

Kebanyakan proses pencernaan karbohidrat, protein dan lipid terjadi di midgut,


meskipun sebagian pencernaan selulosa yang disebabkan enzim selulase mikroba juga
terjadi di hindgut pada beberapa kelompok serangga, khususnya rayap tingkat rendah.
Enzim selulase serangga umumnya ditemukan di midgut. Absorpsi air, monomer hasil
degradasi polimer (monosakarida, asam amino) dan trigliserida terjadi di midgut,
meskipun beberapa absorpsi juga terjadi di hindgut.

Pada umumnya, kadar air kayu yang mendukung perkembangan kebanyakan


serangga perusak kayu bisa lebih rendah daripada yang dibutuhkan untuk
perkembangan jamur, kecuali serangga penyerang kayu basah. Serangan dapat terjadi
sebelum dilakukan pengeringan udara (seasoning) pada kayu segar (contoh: kumbang
ambrosia hanya menyerang kayu dengan kadar air >30%), atau jamur pelapuk kayu
basah (contoh: Naccerdes malanura). Pada kelembaban terendah, rayap kayu kering
(contoh: Kalotermes) dapat memanfaatkan kayu dengan kadar air 5-6% (Wilkinson,
1979). Di sejumlah daerah temperate, Anobium punctatum bertahan hidup pada kayu
struktural berkadar air 12% (Cymorek, 1968) meskipun perkembangan optimal larva
terjadi pada titik jenuh serat (Hickin, 1975). Anobium dapat bertahan hidup pada
kondisi basah tetapi tidak dapat hidup pada kayu yang secara permanen penuh air,
karena kadar air yang tinggi akan menghambat aktivitas beberapa serangga.

Kandungan nitrogen kayu tertinggi terdapat pada bagan terluar kayu gubal (contoh:
kayu gubal terluar Pinus sylvestris 0,098%, empulur 0,040%) tetapi penyebaran ulang
bahan bernitrogen ke bagian sisi luar dapat terjadi selama pengeringan. King et.al.
(1973) mencatat bahwa setelah pengeringan, permukaan balok Pinus sylvestris
memperlihatkan level nitrogen 0,22%, sedangkan pusat balok 0,041%. Kadar nitrogen
umumnya rendah dalam kayu dan level 0,03% merupakan batas terendah untuk
mendukung hidup Hylotrupes bajulus (Becker, 1963). Kadar nitrogen yang ada dalam
kayu sebenarnya cukup bagi sejumlah serangga penggerek kayu, namun penambahan
pepton pada kayu ternyata dapat meningkatkan laju perkembangan Hylotrupes (Becker,
1943). Larva Anobium punctatum dapat terjaga dalam kayu dengan kadar nitrogen
sangat rendah dan bahkan dilaporkan memiliki kemampuan mengikat nitrogen (Anon.,

73
1968; Baker et.al., 1970). Pengayaan nutrisi melalui pemutusan karbohidrat kayu secara
parsial oleh mikrobial dapat merubah ratio C/N, yang membantu perkembangan
serangga; tetapi adanya aktivitas bakteri pengikat nitrogen membantu memperkaya
nutrien bagi sejumlah rayap.

Jaringan kayu dapat diputuskan atau dirombak menjadi monomer karbohidrat dan
lignin. Serangga memperlihatkan kisaran kemampuan yang luas dalam memutuskan
kayu mulai yang hanya memanfaatkan pati dalam kayu seperti Lyctus (Parkin, 1963)
sampai yang dapat mencerna selulosa, hemiselulosa dan juga lignin seperti Anobium
punctatum (Baker, 1969), meskipun pemutusan lignin tidak seintensif seperti terjadi
pada beberapa jenis rayap (Butler dan Buckerfield, 1979). Serangga lain yang
mendegradasi kandungan sel dan hemiselulosa seperti Scolytidae, sedangkan Anobiidae
dan kebanyakan Cerambycidae dapat memanfaatkan karbohidrat dinding sel termasuk
selulosa (Parkin, 1936; 1940). Preferensi beberapa serangga terhadap jenis kayu sangat
terkait dengan nutrisi atau sumber makanannya. Genus seperti Lyctus berkembang cepat
tetapi hanya dapat menyerang kayu yang kaya pati, sedangkan Anobium berkembang
lambat tetapi dapat mencerna berbagai jenis kayu.

Sejumlah serangga memproduksi enzim selulase sendiri seperti Hylotrupes bajulus


(Falck, 1930). Namun, kebanyakan dibantu berbagai mikroorganisme dalam sistem
pencernaannya, baik dalam hindgut, enzim yang dihasilkan mikrobial yang mencerna
makanan, maupun pada makanan sebelum diserang (rayap tingkat tinggi mencerna
makanan yang sebelumnya telah diserang jamur Termitomycetes) atau yang diberi
perlakuan pendahuluan oleh mikroorganisme sebelum dicerna. Tempat dan sumber
degradasi lignin dalam serangga belum banyak diketahui atau ditemukan meskipun
Butler dan Buckerfield (1979) yang bekerja dengan rayap tingkat tinggi Nasutitermes
exitiosus berspekulasi bahwa polimer lignin diputuskan di usus dan selanjutnya
dimetabolisme anaeorob oleh jaringan rayap.

74
Hubungan Antara Pencernaan Serangga dan Mikroorganisme
Pencernaan dan pencampuran kayu dan nutrisi oleh serangga sering dibantu oleh
mikroorganisme dalam berbagai cara, yang mencakup:
(a) Akuisisi enzim yang dihasilkan mikroba pada substrat yang dicerna,
(b) Pencernaan pendahuluan substrat oleh mikroorganisme sebelum dicerna,
(c) Pengayaan bahan nutrisi dalam bentuk sel mikrobial dan metabolit,
(d) Pengeluaran atau detoksifikasi zat ekstraktif kayu,
(e) Mikroba yang hidup di usus menghasilkan dan melepaskan enzim, dan
(f) Mikroorganisme yang bekerja sebagai pengurai yang melepaskan sumber karbon
utama untuk asimilasi serangga.

Pada beberapa tahun terakhir subjek tentang interaksi serangga-mikrobial telah


diulas oleh Crowson (1981), Martin (1984), Swift dan Boddy (1984) dan Wilding et.al.
(1989). Hal yang menarik bahwa serangga dapat bertindak sebagai vektor penyakit
pada kayu segar yang diserangnya (Crowson, 1981). Beberapa kumbang ambrosia
(contoh: Xyloterus, Platipodidae; Xyleborus, Scolytidae) mendiami kayu yang baru
dikuliti dan bertahan hidup dengan menumbuhkan dan memakan stain fungi (contoh:
Ambrosiella spp.) dan jamur ragi di dan sekitar lubang gerek.

Woodwasp (Siricidae dan Xiphydriidae) menyerang spora basidiomycetes dalam


kayu selama peletakan telur (Franke-Grossmann, 1939). Larva woodwasp Sirex cyaneus
akan bertahan hidup pada kayu sehat tetapi akan hidup normal pada kultur murni
simbion Amylostereum chailettii (Cartwright, 1929; Stillwell, 1966). Martin (1984)
menekankan bahwa makanan woodwasp terdiri atas jamur dan kayu, dan enzim jamur
membantu mereduksi kandungan selulosa kayu yang dicerna. Jamur basidiomycetes lain
yang berasosiasi dengan woodwasp adalah Stereum sanguinolentum, Amylostereum
areolatum dan Daedalea unicolor (Franke-Grossmann, 1967; Madden dan Coutts,
1979).

Rayap tingkat tinggi (Termitidae, sub-family Macrotermitinae) Macrotermes


natalensis adalah contoh lain serangga yang menumbuhkan jamur (Martin, 1984). Pada
sarangnya, rayap menumbuhkan sisiran jamur dari fragmen kecil tumbuhan atau
jaringan kayu yang dicerna rayap. Berbagai jamur termasuk basiodiomycetes
Termitomycetes dan beberapa jamur xylariaceous ditumbuhkan dan berkembang pada

75
bahan. Nodula (mycotetes) menghasilkan conidiospora Termitomycetes pada
permukaan sisiran yang terurai dan serangga mengkonsumsi jamur serta bahan sisiran
yang terurai. Ketidakadaan bahan sisiran menyebabkan serangga dengan cepat
kelaparan sampai mati, namun dengan adanya bahan sisiran dan kayu segar serangga
akan bertahan hidup untuk periode waktu yang lama. Martin menegaskan bahwa
meskipun serangga mampu mensintesis enzim selulase yang aktif pada selulosa non-
kristalin, serangga tetap mengandalkan nodula jamur untuk mengaktifkan enzim
selulase pada selulosa kristalin.

Pada Sirex dan Macrotermes, pra-pencernaan oleh jamur menghasilkan peningkatan


nilai nutrisi bahan maupun akuisisi enzim mikrobial. Death watch beetle Xestobium
rufovillosum (Anobiidae), hanya menyerang kayu keras yang dipra-kondisi melalui
pelapukan (Fisher, 1940, 1941; Bletchly, 1966). Death watch beetle menyerang kayu
willow (Salix sp.) yang dilapukkan oleh berbagai jamur Basidiomycetes (termasuk
Trametes (Coriolus) versicolor, Coniophora putena) dan ascomycetes Xylaria
hypoxylon. Pada kayu aok jamur pelapuk kayu berasosiasi dengan Laetiporus
sulphureus, Fistulina hepatica dan Donkioporia expansa (Phellinus cryptarum). Pada
tingkat pelapukan yang lebih besar, waktu untuk menyelesaikan siklus hidup death
watch beetle dan jumlah kerusakan yang disebabkan oleh larva diperkirakan lebih
pendek (Fisher, 1941). Pada kayu lapuk dengan pengurangan bobot sekitar 40%, siklus
hidup berkurang secara drastis.

Pada larva famili Coleoptera penghuni kayu seperti Bostrychidae (termasuk


Lyctidae), Anobiidae dan beberapa Cerambycidae, organ khusus yang disebut
“Mycetoma” dihubungkan ke usus. Pada Anobium dan genus Anobiidae lain serta pada
Cerambycida struktur ini mengandung simbion seperti ragi, sedangkan pada
Bostrycidae menampakkan simbion bakteri (Crowson, 1981). Pada sejumlah kasus,
kumbang yang menghasilkan mycetoma telah memperlihatkan perkembangan normal
tanpa adanya simbion meskipun biasanya membutuhkan tambahan nutrien, terutama
vitamin B dan steroid. Peranan simbion adalah untuk menghasilkan nutrisi penting
tertentu.

Meskipun rayap tingkat tinggi (Macrotermes, Termitidae) mempunyai simbion


jamur, rayap kayu kering (Kalotermitidae), rayap kayu basah, dan semua rayap lainnya

76
mempunyai protozoa dan bakteri pada mikrobiota usus belakang (Breznak, 1984) pada
rasio 1 : 100 sel. Pada beberapa kasus, juga ditemukan Actinomycetes. Pada usus
beberapa rayap tingkat tinggi protozoa ditemukan tetapi peranannya kecil. Bakteri juga
ditemukan dalam jumlah kecil pada segmen usus beberapa rayap tingkat rendah dan
bakteri yang secara morfologi dapat diidentifikasi pada kultur murni. Jumlah mikrobial
pada usus rayap Reticulitermes flavipes diperkirakan berkisar 109 – 1010 per ml bakteri
dan 107 per ml protozoa. Bakteri yang diisolasi meliputi Streptococcus, Bacteriodes,
berbagai Enterobacteriaceae, Staphylococcus dan Bacillus.

Protozoa pada usus rayap bertanggung jawab memutuskan selulosa kayu dan
bakteri memberikan faktor pertumbuhan yang dibutuhkan untuk aktivitas protozoa.
Partikel kayu yang melewati hidgut diendositosis oleh protozoa dan dimetabolisme
secara anaerob menjadi CO2, H2 dan asetat yang dilepaskan oleh protozoa. Asetat
digunakan sebagai sumber energi yang dapat dioksidasi oleh rayap. Protozoa usus rayap
berperan dalam pembiakan bakteri hidgut dan sejumlah total karbon yang diubah
diassimilasi oleh bakteri dan diubah menjadi gas CH4 (metana) dalam persentase kecil.
Breznak (1984) menduga bahwa bakteri dapat menyediakan sumber nutrisi tambahan
untuk protozoa dan membantu dalam menjaga kondisi anaerob yang dibutuhkan oleh
protozoa.

1. Rayap (Termites)

Rayap merupakan serangga sosial yang termasuk ke dalam ordo Isoptera dan
terutama terdapat di daerah-daerah tropis. Sampai saat ini para ahli hama telah
menemukan kira-kira 2.000 jenis rayap yang tersebar di seluruh dunia (Harris, 1971),
sedangkan di Indonesia sendiri telah ditemukan tidak kurang dari 200 jenis rayap
(Tarumingkeng, 1971). Di Indonesia rayap tergolong ke dalam serangga utama perusak
kayu. Kerugian akibat serangan rayap tidak kecil, karena mampu menghancurkan
bangunan yang berukuran besar dan mengakibatkan kerugian yang besar pula.
Kerusakan bukan hanya terjadi pada kayu, tetapi juga kertas, karton, pakaian, jaringan-
jaringan tanaman dan berbagai jenis bahan berselulosa lainnya termasuk dokumen-
dokumen dan hasil-hasil kesenian yang sangat berharga (Spear, 1968).

77
a. Ruang lingkup rayap

Semua jenis rayap hidup di darat, sebagian besar merupakan bagian penting di
dalam golongan fauna tanah. Secara morfologis rayap memiliki tiga bentuk yang sangat
berlainan. Ketiga bentuk tersebut mencerminkan kasta rayap dan setiap kasta memiliki
fungsi dan tugas yang berbeda.

Semut dan Rayap

Di beberapa negara rayap disebut pula sebagai semut putih atau “white ant” karena
bentuk tubuhnya yang mirip semut. Di kalangan ahli entomologi rayap dan semut
mudah dibedakan. Rayap memiliki antena yang lurus dan berbentuk menyerupai manik-
manik, sedangkan semut memiliki bentuk antena yang menyiku. Thorax dan abdomen
rayap bergabung dalam ukuran yang sama, sedangkan thorax dan abdomen semut
bergabung dengan pinggang yang meramping. Sayap-sayap rayap memiliki bentuk,
ukuran dan pola yang serupa disertai pertulangan sayap yang banyak dan berukuran
kecil, sedangkan sayap semut memiliki bentuk, ukuran dan pola yang berlainan dengan
pertulangan yang sedikit.

Sifat-Sifat Rayap

Dalam hidupnya rayap mempunayi beberapa sifat penting, yaitu:


1. Thropalaxis; sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat serta mengadakan
pertukaran makanan.
2. Cryptobiotic; sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada rayap
bersayap (calon kasta reproduktif) dimana selama periode yang pendek didalam
hidupnya memerlukan cahaya (terang).
3. Canibalism; sifat rayap untuk memakan individu sejenis yang lemah atau sakit.
Sifat ini lebih menonjol bila rayap berada dalamkeadaan kekurangan makanan.
4. Necrophagy; sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya yang masih segar.

78
Siklus Hidup dan Kasta Rayap

Dalam siklus hidupnya rayap mengalami metamorfosis tidak sempurna. Awal


hidupnya dimulai dari telur, yang menetas menjadi nimfa. Sejak menetas nimfa muda
memiliki bentuk yang serupa dengan rayap dewasa. Nimfa muda kemudian berkembang
menjadi pekerja, prajurit atau nimfa. Nimfa adalah calon raja dan ratu. Pembentukan
kasta pekerja, prajurit, raja dan ratu dari nimfa mudah dikendalikan secara alami oleh
bahan kimia yang disebut “feromon”. Nimfa muda menjadi raja atau ratu melalui bentuk
nimfa yang memiliki tonjolan sayap, warna tubuh berubah menjadi hitam kelam,
kemudian sayap berkembang lebih sempurna. Kasta rayap bersayap ini disebut laron
atau “alate”. Laron akan keluar dari sarang atau koloni ada awal musim hujan atau akhir
musim kemarau. Kesinambungan keturunan rayap tergantung kepada laron ini. Bila
laron selamat dari serbuan musuh pada waktu keluar dari sarang, seekor laron betina
akan mengeluarkan bau panggilan sehingga menarik rayap jantan. Sepasang laron
kemudian akan melepaskan sayapnya dan pergi mencari tempat untuk membuat sarang
baru dan berbulan madu. Pada saat akhir bulan madu, perut laron betina akan
mengembung sehingga berukuran jauh lebih besar daripada kepalanya, yang bertugas
menjadi ratu dan sebagai petelur. Laron jantan yang berukuran lebih kecil dari ratu
berfungsi sebagai raja. Siklus hidup koloni rayap dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Siklus hidup rayap (Prasetiyo dan Yusuf, 2005)

79
Rayap adalah serangga yang ukuran badannya kecil-sedang, hidup dalam
kelompok-kelompok sosial dengan sistem kasta yang berkembang sempurna (Borror
and de Long, 1954). Dalam koloni ada serangga bersayap dan serangga tidak bersayap,
ada juga yang hanya mempunyai tonjolan sayap saja. Sayapnya dua pasang yang
menempel pada bagian thorax dan berbentuk seperti selaput, dengan pertulangan
sederhana dan reticulate. Bentuk dan ukuran sayap depan sama dengan sayap belakang,
dan karena itulah ordonya dinamai Isoptera (iso = sama; ptera = sayap).

Dalam setiap koloni terdapat tiga kasta yang menurut fungsinya masing-masing,
yaitu kasta pekerja, prajurit, dan kasta reproduktif (reproduktif primer dan reproduktif
suplementer). Bentuk (morfologis) dari setiap kasta sesuai dengan fungsinya.

(a) Kasta pekerja (worker)

Kasta ini mempunyai anggota terbesar dalam koloni, berbetuk seperti nimfa dan
berwarna pucat dengan kepala hipognat (sumbu kepala sejajar sumbu badan) dengan
mata facet. Mandibelnya relatif kecil dibandingkan dengan kasta prajurit. Fungsi kasta
ini adalah mencari makan, merawat telur, serta membuat dan memelihara sarang.
Selain itu, juga mengatur aktivitas dari koloni dengan jalan membunuh dan memakan
individu-individu yang lemah atau mati untuk menghemat energi dalam koloninya.
Sifat kanibalisme seperti ini umumnya terjadi pada setiap jenis rayap, dan sering erat
hubungannya dengan salah satu sifat lainnya yang disebut trophalaxis yaitu saling tukar
menukar cairan makanan melalui mulut, sekaligus memakan usus depan dan usus
belakang yang dikeluarkan akibat ganti kulit (ecdysis). Famili Kalotermitidae tidak
memiliki kastapekerja dan oleh karena itu tugas kasta pekerja dilakukan oleh nimfa
dewasa (pseudoworkers).

(b) Kasta prajurit (soldier)

Kasta prajurit mudah dikenali karena bentuk kepalanya yang besar dengan
sklerotisasi yang nyata. Anggota-anggota daripada kasta ini mempunyai mandible atau
rostrum yangbesar dan kuat. Berdasarkan pada bentuk kasta prajuritnya, rayap
dibedakan atas dua kelompok, yaitu: tipe mandibulate dan tipe nasuti. Pada tipe
mandibulate prajurit-prajuritnya mempunyai mandibel yang kuat dan besar tanpa

80
rostrum, sedangkan tipe nasuti prajurit-prajuritnya mempunyai rostrum yang panjang
tapi mandibelnya kecil. Fungsi kasta prajurit adalah melindungi koloni terhadap
gangguan dari luar.

(c) Kasta reproduktif (reproductive)

Kasta reproduktif primer terdiri atas serangga-serangga dewasa yang bersayap dan
menjadi pendiri koloni (raja dan ratu). Bila masa kawin telah tiba, imago-imago ini
terbang keluar dari sarang dalam jumlah yang banyak. Saat seperti ini merupakan masa
perkawinan di mana sepasang imago (jantan dan betina) bertemu dan segera
menanggalkan sayapnya serta mencari tempat yang sesuai di dalam tanah atau kayu.
Semasa hidupnya kasta reproduktif (ratu) bertugas menghasilkan telur, sedangkan
makanannya dilayani oleh para pkerja. Seekor ratu dapat hidup selama 6–20 tahun
bahkan berpuluh-puluh tahun. Apabila reproduktif mati atau koloni membutuhkan
penambahan reproduktif baru untuk perluasan koloninya maka dibentuk reproduktif
sekunder (neotenic). Neoten juga akan terbentuk jika sebagian koloninya terpisah
(terisolasi) dari sarang utama, sehingga suatu koloni baru akan terbentuk. Kasta ini
dapat terbentuk beberapa kali dalam jumlah yang besar sesuai dengan perkembangan
koloni.

Pembentukan koloni rayap terdiri dari tiga cara (Hasan, 1984), yaitu:
1. Pembentukan koloni oleh kasta reproduktif primer (laron), yaitu pembentukan
koloni dari perkawinan sepasang kasta reproduktif primer.
2. Pembentukan koloni dengan cara isolasi, yaitu pembentukan koloni karena
terdapatnya sebagian rayap yang terisolasi dari koloni induk karena lorong-lorong
atau sel-sel sarang yang tersumbat. Rayap yang terisolasi ini kemudian membentuk
koloni baru dengan menjadikan kasta reproduktif suplementer sebagai raja dan ratu.
3. Pembentukan koloni dengan cara migrasi, yaitu pembentukan koloni dengan cara
memisahkan diri dari koloni induk (lama).

Klasifikasi Rayap

Berdasarkan habitatnya, rayap dapat dibagi ke dalam beberapa golongan, yaitu:


rayap kayu basah, rayap kayu kering, rayap pohon, dan rayap tanah. Dalam bidang

81
pengawetan hasil hutan, golongan rayap kayu kering dan rayap tanah merupakan
golongan yang terpenting karena jenis-jenisnya menyebabkan sebagian besar dari
kerusakan-kerusakan yang bersifat zoologis pada bangunan-bangunan kayu di Indonesia.
a) Rayap Basah (dampwood termite)
Golongan rayap ini biasanya menyerang kayu-kayu busuk atau pohon-pohon mati.
Sarangnya terletak di dalam kayu dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah.
Contoh: Glyprotermes spp.
b) Rayap kayu kering (drywood termite)
Golongan rayap ini biasa menyerang kayu-kayu kering, misalnya pada kayu yang
digunakan sebagai bahan bangunan, perlengkapan rumah tangga dan lain-lain.
Sarangnya terletak di dalam kayu dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah.
Rayap kayu kering dapat bekerja dalam kayu yang mempunyai kadar air 10-12%
atau lebih rendah. Contoh: Cryptotermes spp.
c) Rayap pohon (tree termite)
Golongan rayap ini menyerang pohon-pohon hidup. Rayap ini bersarang di dalam
pohon dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah. Contoh: Neotermes spp.
d) Rayap tanah (subterranean termite)
Golongan rayap ini bersarang dalam tanah, tetapi dapat juga menyerang bahan-
bahan di atas tanah karena selalu mempunyai terowongan pipih terbuat dari tanah
yang menghubungkan sarang dengan benda yang diserangnya. Untuk hidupnya
rayap ini membutuhkan kelembaban yang tinggi, serta bersifat kriptobiotik.
Golongan rayap ini meliputi anggota Fam. Rhinotermitidae dan sebagian dari Fam.
Termitidae (Hunt and Garrat, 1967). Contoh: Coptotermes spp.

Ordo isoptera dibagi atas enam famili, yaitu: Mastotermitidae, Hodotermitidae,


Kalotermitidae, Termopsidae, Rhinotermitidae dan Termitidae (Harris, 1971).
a) Rayap tingkat rendah (lower termites)
Memiliki protozoa dan bakteria di usus, yang membantu memutuskan bahan
lignoselulosa yang dicerna
1. Mastotermitidae –rayap tanah, sarang di bawah tanah, spesies tunggal
Mastotermes darwinensis ditemukan di Australia Utara.

82
2. Kalotermitidae –koloni kecil yang menyerang kayu kering, tersebar luas di
daerah tropis dan subtropis.
Contoh: Cryptotermes, Kalotermes, Marginitermes
3. Termopsidae –rayap kayu basah, tiga subfamili (Podotermitinae, Stolotermitinae,
Termopsinae termasuk Zootermopsis)
4. Hodotermitidae –rayap harvester memakan serasah, ditemukan di daerah kering
seperti Afrika, Arabia, Australia dan India.
5. Rhinitermitidae –rayap tanah, famili yang besar dengan 6 subfamili,
mengeluarkan cairan lengket dari daerah fontanel kepala.
Contoh: Coptotermes, Reticulitermes, Schedorhinotermes
b) Rayap tingkat tinggi (higher termites)
Memiliki bakteria dan enzim usus dan tidak ada protozoa yang terlibat dalam
pencernaan makanan
1. Termitidae –rayap tanah, famili rayap terbesar termasuk mound builder dan nest
builder pada pohon dan tiang.
Contoh: Macrotermes, Microtermes, Nasutitermes

Di antara enam famili di atas, ternyata yang paling banyak menimbulkan kerusakan
adalah famili Rhinotermitidae, Kalotermitidae dan Termitidae. Jenis-jenis rayap yang
banyak merusak kayu di daerah tropis seperti di Indonesia (Roonwal dan Maiti dalam
Nandika, 1975) adalah sebagai berikut:
a) Famili Kalotermitidae
1. Subfamili: Kalotermitidae
a. Genus : Neotermes
Species : Neotermes dalbergia Kalshoven
b. Genus : Cryptotermes
Species : Cryptotermes cynocephalus Light
Cryptotermes domesticus Haviland
Cryptotermes dudleyi Banks
b) Famili Rhinotermitidae
1. Subfamili: Coptotermitidae
a. Genus : Coptotermes

83
Species : Coptotermes curvignatus Holmgren
Coptotermes kalshoveni Kemner
Coptotermes traviana Haviland
2. Subfamili: Rhinotermitidae
a. Genus : Prorhinotermes
Species : Prorhinotermes ravani
b. Genus : Schedorhinotermes
Species : Schedorhinotermes javanicus Kemner
Schedorhinotermes tarakanensis Oshima
Schedorhinotermes tranlucens Haviland
c) Famili Termitidae
1. Subfamili: Amitermitidae
a. Genus : Microcerotermes
Species : Microcerotermes dammermani
2. Subfamili: Termitidae
a. Genus : Capritotermes
Species : Capritotermes butenzorg Holmgren
Capritotermes mohri Kemner
Capritotermes santchini Silvestri
3. Subfamili: Macrotermitidae
a. Genus : Macrotermes
Species : Macrotermes carbonarius Hagen
Macrotermes gilvus Hagen
Macrotermes malacensis Haviland
b. Genus : Odontotermes
Species : Odontotermes grandiceps Holmgren
Odontotermes javanicus Holmgren
Odontotermes makassarensis Kemner
c. Genus : Microtermes
Species : Microtermes insperatus Kemner
4. Subfamili: Nasutitermitidae

84
a. Genus : Nasutitermes
Species : Nasutitermes acutus Holmgren
Nasutitermes matangensis Haviland
Nasutitermes matangensiformis Holmgren
b. Genus : Bulbitermes
Species : Bulbitermes durianensis Roonwal and Maiti
Bulbitermes lakshmani Roonwal and Maiti
c. Genus : Lacessititermes
Species : Lacessititermes batavus Kemner
d. Genus : Hospitalitermes
Species : Hospitalitermes diurunus Kemner
Hospitalitermes irianensis

b. Kondisi Serangan

Setiap jenis memiliki pola hidup, kondisi serangan dan tanda serangan yang
berbeda-beda, yang dipengaruhi oleh habitat hidupnya.

1) Rayap kayu kering

Rayap ini memiliki pola hidup, yaitu:


1. Hidupnya tergantung pada kadar air kayu yang diserangnya (10-12% bahkan
sangat kering <3%).
2. Tidak ada kontak dengan tanah atau sumber air lainnya. Umumnya ditemukan
pada daerah pantai yang memiliki kelembaban rata-rata lebih tinggi daripada
daerah pedalaman.

Serangan rayap ini dapat ditandai dengan adanya:


1. Gundukan pellet fecal, warna bervariasi dari abu-abu rerang sampai sangat
coklat gelap bergantung jenis kayu yang dikonsumsi. Pellet ini keras,
memanjang, panjang 1/25” (1 mm), ujung membulat berbentuk persegi 6 dan
sisi tertekan cekung.
2. Sayap swarmer juga menunjukkan adanya serangan.
3. Bukti eksternal relatif kurang. Lubang-lubang biasnya tertutup dengan sekresi
dan pellet yang tertutup sempurna. Pembuktian dengan alat tajam atau memukul

85
memungkinkan mengetahui kerusakan tersembunyi, karena biasanya rayap
bekerja di bawah permukaan kayu dan meninggalkan lapisan seperti vinir yang
sangat tipis.

2) Rayap tanah

Rayap ini memiliki pola hidup, yaitu:


1. Umum terdapat di daerah tropis, khususnya tropical rain forest sebagai
pengurai, dan daerah kering
2. Koloni ditemukan pada kayu yang terkubur dalam tanah, tetapi kebanyakan
species juga membangun sarang di pohon atau di atas tiang kayu.
3. Sarang dibangun di atas tanah yang dihubungkan ke sarang utama di dalam
tanah dengan saluran pelindung (shelter tube) yang melindungi dari proses
pengeringan

Serangan rayap ini dapat ditandai dengan adanya:


1. Tanda awal adalah pemunculan swarmer atau sayap yang tersebar dalam jumlah
banyak.
2. Adanya shelter tube yang dibangun rayap di atas pondasi dinding, dalam celah
antara sejumlah struktur, atau pada kayu yang terserang.
3. Kerusakan dalam kayu (internal damage) kadang dideteksi dengan alat tajam
atau dipukul permukaan untuk mendeteksi perbedaan suara (bergema). Secara
elektik, dapat dideteksi dengan alat Termite Acoustic Emmision.

3) Rayap kayu basah

Rayap ini memiliki pola hidup, yaitu:


1. Koloni bertempat tinggal pada tanah basah dan kadang pada kayu yang telah
lapuk, seperti menyerang kayu bangunan dan jembatan.
2. Beberapa koloni dapat melakukan aktivitas dalam kayu segar dan juga kayu
yang relatif kering, selama rayap ini dapat melakukan kontak dengan kayu
basah.
3. Umumnya tidak memiliki hubungan dengan tanah basah, tetapi memerlukan
kayu dengan kadar air tinggi. Rumah di pantai lebih mudah diserang karena
tanah lembab dan kelembaban tinggi.

86
Serangan rayap ini dapat ditandai dengan adanya:
1. Sayap swarmer tersebar, seperti pada jaring laba-laba, dan lain-lain.
2. Celah dan retakan dalam kayu yang terserang dapat ditutupi oleh fellet fecal dan
bahan fecal yang lembut, dan pada kayu kering dapat terakumulasi di bawah
kayu yang terserang.

c. Tindakan Pengendalian

Seperti jenis serangga hama lain, rayap perusak kayu mempunyai hubungan yang
erat dengan lingkungan tempat hidupnya. Di dalam ilmu pengendalian serangga hama,
dikenal tiga mata rantai yang saling berhubungan dan saling berpengaruh. Ketiga mata
rantai tersebut adalah serangga hama (pest insect), inang (host) dan lingkungan
(environment). Kayu dianggap sebagai inang bagi rayap perusak, karena rayap hidup
dan makan di dalam kayu. Lingkungan hidup rayap terdiri atas faktor fisik dan biologis.
Faktor fisik antara lain suhu dan kelembaban, sedangkan faktor biologis terdiri atas
organisme lain yang hidup di sekitarnya.

Keberhasilan usaha pengendalian rayap tergantung kepada kemampuan


mengendalikan hubungan antara ketiga mata rantai tersebut. Menurut Kofoid (1946)
cara-cara untuk mencegah serangan rayap adalah:
a. Menghindari kontak langsung antara kayu dengan tanah
b. Kayu-kayu yang dipakai sebagai tiang rumah sebaiknya ditunjang dengan beton
pada bagian dasar
c. Menghindari retakan-retakan pada lantai tembok atau pondasi
d. Menggunakan perisai logam di bawah pondasi
e. Mengusahakan terciptanya kekeringan yang maksimum atau kelembaban yang
tinggi dalam kayu pada setiap penggunaan
f. Membuang sisa-sisa kayu, karena kayu dan tonggak yang tertinggal dalam tanah
dapat menjadi sumber penularan
g. Merusak sarang dan membunuh penghuninya
h. Mengadakan kontrol secara kontinu terhadap bangunan atau rumah
i. Menggunakan insektisida seperti DDT 8%, BHC 8%, Chlordane 1% dan Aldrin
0,5% dalam air atau minyak

87
j. Karantina terhadap kayu-kayu yang diimpor.

2. Kumbang (Wood boring beetles)

Kumbang termasuk ordo Coleoptera, yang berasal dari bahasa Yunani “sheath
wings” artinya selubung sayap karena sayap depannya menutupi sayap belakang. Sayap
depan lebih tebal (ellytra) dan saat beristirahat biasanya sayap membentuk garis lurus
pada pertengahan badan, sehingga memberikan penampakan khas pada kumbang. Ciri
khas lainnya adalah bagian mulut berkembang menjadi tipe penguyah dan mengalami
metamorfosis sempurna.

Kerusakan kayu oleh Coleoptera secara normal dilakukan oleh tahap larva
meskipun ada beberapa ordo yang serangga dewasanya merusak. Beberapa serangga
penggerek menghasilkan apa yang disebut “bubuk kayu”. Larva dari serangga ini
menggali dalam kayu untuk mendapatkan makanan dan berlindung, dan meninggalkan
bagian-bagian kayu yang tidak dicerna dalam bentuk bubuk-bubuk halus. Jika kayu
yang diserang digerakkan atau digoyangkan, sisa yang berbentuk bubuk ini keluar dari
lubang-lubang yang dibuat pada permukaan kayu oleh kumbang dewasa yang bersayap
ketika muncul untuk meluaskan serangan. Larva-larva menggerogoti kayu dalam bentuk
tak beraturan dan kerap kali berupa saluran-saluran yang besar dan jika serangannya
hebat biasanya hanya meninggalkan sedikit kayu yang sehat sebagai lapisan luar yang
tipis, yang mudah dihancurkan. Di antara kelompok serangga ini yang menyerang kayu
dalam kondisi berbeda banyak, terdapat species-species yang menyerang kayu daun
jarum maupun kayu daun lebar, kayu teras maupun kayu gubal, dan kayu bulat maupun
papan yang basah maupun kayu yang kering. Dalam kebanyakan hal, kerusakan
biasanya dapat dihindarkan dengan cara sanitasi yang baik dan dengan segera
mengerjakan, mengeringkan dan meggunakan produk-produk tersebut.

Salah satu tanda aktivitas Coleoptera pada kayu adalah keberadaan lubang terbang
(lubang keluar) pada permukaan kayu atau lubang gerek dalam kayu. Identifikasi
serangga yang bertanggung jawab secara tepat seringkali penting karena dalam
beberapa kasus kerusakan tidak terjadi bila dalam penggunaannya kayu dikering-
udarakan (dry seasoning) atau dikeringkan kembali (redrying). Pada contoh lain
kemungkinan serangan ulang dapat menjadi pilihan ukuran pengendalian alternatif,

88
misalnya perlakuan pengendalian dengan bahan kimia pengawet. Jenis kumbang dapat
diidentifikasi dari beberapa gambaran serangan, misalnya ukuran dan bentuk lubang
terbang, tipe frass/kotoran, dan karakteristik gallery atau terowongan; tetapi identifikasi
sampai level species seringkali membutuhkan pengujian dari serangga itu sendiri pada
beberapa tahap dari siklus hidupnya. Biasanya serangga dewasa lebih disukai karena
ekstraksi larva secara utuh lebih sulit.

a. Ruang Lingkup dan Kondisi Serangan Kumbang Penggerek Kayu

Anggota dari ordo Coleoptera sering disebut bubuk, dan dibagi menjadi dua
golongan yaitu bubuk kayu kering dan bubuk kayu basah.

1) Bubuk Kayu Kering

Disebut bubuk kayu kering (powder post beetle) karena larva dari jenis ini
menggerek kayu dan ekremen-ekremen yang dihasilkan bentuknya halus menyerupai
tepung. Bubuk kayu kering ini hanya terdapat pada jenis kayu yang kering. Lubang
gereknya tidak jauh dari lubang serangga, serangan biasanya sejajar dengan arah serat,
berisi tepung hasil gerekannya. Bubuk kayu kering ini umumnya terdapat pada material
yang sudah tua. Beberapa famili yang terpenting dalam ordo ini (Kollman, 1968)
adalah: Anobidae, Lyctidae, Cerambycidae, dan Bostrichidae

Famili Anobiidae

Pada daerah temperate anobiidae merupakan salah satu dari famili yang terpenting
dari coleoptera penghuni kayu. Ada 13 species yang tercacat sebagai hama kayu yang
penting, termasuk berbagai species anobium (A.puncatatum –furniture beetle yang
umum di UK, A.pertinax dan A.australiense), Xestrobium rufofillosum (death watch
beetle) dan Ernobius mollis (kumbang penggerek kulit kayu daun jarum). Di USA
Xyletinus peltatus merupakan anobiid yang umum ditemui. Jenis yang terkenal di
Indonesia adalah Rasioderma serricone, yang merupakan hama tembakau yang sedang
dikeringkan, herbarium material kopra, bungkil, dan lain-lain (Kalshoven, 1951). Famili
ini dikenal sebagai “furniture beetles” dan “death watch beetles”. Daerah penyebaran
famili ini dapat diketemukan hampir di seluruh dunia dan merupakan hama yang

89
terpenting bagi produksi dan struktur kayu. Kerusakan yang ditimbulkan tidak jauh
berbeda dengan Lyctus (Kollman, 1968). Kayu yang dirusak biasanya kayu tua
termasuk kayu lapis. Lubang gerek kecil, bulat dan mengeluarkan eksremen berbentuk
tepung. Tepung ini jika dilihat di bawah mikrospkop berbentuk silindris lancip.

Larvanya kecil, panjang rata-rata 1/3 inci atau 8.5 mm, berbentuk huruf “c”
(eruciform), berwarna keputih-putihan. Bagian punggungnya berduri kecil-kecil, bentuk
kepala bulat, mulut terletak di bagian bawah, kaki pada thorax dan beruas lima.

Famili Lyctidae

Penyebaran famili ini sangat luas, hampir di seluruh tempat di dunia (kosmopolitan).
Anggota famili ini berwarna merah kecoklat-coklatan, panjang badan rata-rata 2-7 mm
tergantung dari speciesnya (Kollman, 1968). Kumbang ini bertelur di dalam kayu, yaitu
memasukkan ovipositor ke dalam pori-pori kayu sedalam ± 1,5 cm. Beberapa dari
famili lyctidae yang terkenal adalah: (a) Lyctus brunneus, yang menyerang kayu kelas
awet rendah, meubel, papan rumah dan lain-lain; (b) Minthea rugicolis menyerang
bambu dan rotan; dan (c) Xylothrips flavipea yang menyerang kayu laban di Australia.

Kumbang ini hanya merusak kayu gubal serta kayu-kayu yang keawetannya rendah.
Siklus hidup lyctus (mulai telur sampai imago) rata-rata memakan waktu satu tahun.
Imago betina bertelur sebanyak 60 butir dan dimasukkan ke dalam pori kayu sedalam
1/8 inci atau 3,2 mm. Telur ini akan menetas menjadi larva dan larva inilah yang
sebenarnya merusak kayu, karena membuat saluran-saluran ke segala penjuru. Kayu
yang diserang oleh lyctus tidak tampak dari luar, selain di beberapa tempat terdapat
lubang-lubang kecil tempat imago keluar. Diameter lubang ini kira-kira 1,5 cm dan
pada lubang ini terdapat eksremen-eksremen berbentuk tepung yang warnanya
tergantung warna kayu yang diserangnya.

Di antara serangga bubuk kayu yang sangat penting dari segi pengaruh dan
besarnya kerusakan adalah Lyctus brunneus. Serangga ini hanya menyerang kayu daun
lebar dengan diameter pembuluh yang sangat besar untuk menerima telurnya. Kepekaan
kayu terhadap serangan ini ditunjukkan oleh kadar patinya, karena pati adalah zat
makanan pokok bagi larva lyctus. Oleh karena itu, kerusakan terbatas pada kayu gubal
dari species-species yang peka, yang menunjukkan variasi yang besar dalam kehebatan

90
serangan, tergantung pada kecepatan pengeringan kayu dan juga bergantung pada
musim pada waktu kayu ditebang. Jika pengeringan ditangguhkan atau kayunya
direndam dalam air sesudah kayu ditebang, maka sel-sel parenkim dalam kayu gubal
meneruskan kegiatan dan pati yang dikandungnya mungkin seluruhnya diubah menjadi
zat-zat lain, sehingga kayunyu akan kebal terhadap serangan lyctus. Di lain pihak, jika
kayu dikeringkan cepat atau dikenakan suhu yang tinggi seperti dalam pengukusan,
maka sel-sel parenkim mati sebelum persediaan pati dihabiskan dan karena itu kayu
gubal peka terhadap serangan. Lagipula, kerusakan karena lyctus biasanya hanya
berasosiasi dengan kayu yang kering angin atau dikeringkan di dalam tanur. Tetapi
penelitian pada kayu gubal oak yang dilakukan di Inggris menunjukkan bahwa
meskipun lebih menyukai kayu kering, kumbang lyctus dapat menyerang kayu dengan
kadar air sampai 40%, telur-telur diletakkan dan larva berkembang dalam specimen-
specimen dengan kadar air 10-18%. Jika kadar air turun <8%, kayu yang dipakai dalam
percobaa ini tidak diserang.

Papan, meubel, kayu banguan, kayu perkakas dan kayu bantalan kereta, tong-tong
kayu dan lain-lain produk yang dibuat dari kayu gubal dari species yang peka kerapkali
rusak berat dan kayu-kayu yang disimpan untuk waktu yang lama mungkin begitu rusak
sehingga praktis tidak dapat digunakan. Kerusakan dalam produk kayu daun lebar yang
dikeringkan mungkin besarnya 10-50% dari nilai persediaan kayu seorang pengusaha
atau penjual, sedang kerugian finansial di seluruh negara sudah pasti jutaan rupiah.

Famili Bostrychiidae

Famili ini sering juga disebut “anger” atau “shot hole borers”. Jenis ini mempunyai
bentuk dan cara hidup yang hampir mirip lyctus, sehingga banyak ahli hama yang
berpendapat bahwa lyctiidae adalah subfamili dari famili bostrichidae. Perbedaan dasar
antara keduanya disajikan pada Tabel 3.

91
Tabel 3. Perbedaan Dasar Kumbang Dewasa Lyctidae dan Bostrichidae (Hickin, 1975)
Lyctidae Bostrichidae
Antena jarang berbentuk serrate; segmen Antena sering berbentuk serrate; segmen
2 kelompok (club) 3 kelompok
Kumbang berbentuk flat/datar Kumbang berbentuk silidris
Kepala tidak dikerudungi prothorax Kepala dikerudungi prothorax
Ellytra tidak berornamen Ellytra berornamen duri

Serangannya pada kayu menyerupai serangan yang ditimbulkan oleh Lyctus pula,
tetapi ukuran saluran lebih besar, diameter rata-rata 1/10–1/8 inci atau 2,5 -3,2 mm.
Bentuk larvanya kecil, panjangnya ¼-4/4 inci (6,35-19,1 mm), berwarna putih dan
berbentuk eruciform dan kepalanya berbentuk bulat.

Famili ini menyerang kayu yang mempunyai kelas awet rendah, dan memakan zat
tepung yang terdapat dalam kayu. Jenis yang terkenal di Indonesia adalah
Heterobostrychus aequalis yang panjangnya 6–11 mm dan saluran larvanya berdiameter
3 mm (Kalshoven, 1951; Kusmarini, 1971). Jenis ini merusak rotan, bambu, peti-peti
timbunan tripleks, juga pada gaplek. Jenis yang terkenal lainnya adalah dinoderus yaitu
D.minutus, D.brevis, D.ocellaris yang kesemuanya merupakan hama bambu dan rotan.

Famili Cerambycidae – Longhorned beetle

Famili ini sering disebut “longhorned beetles” atau “round headed beetles”, dan
merupakan famili yang sangat besar (lebih kurang 13.000 species) terutama untuk
serangga hutan (Kollman, 1968). Beberapa species ini menyerang pohon kayu yang
hidup, juga pernah ditemukan menyerang kayu-kayu bangunan. Jenis kumbang ini
dapat ditemukan di Rusia, Afrika Selatan, Australia, Amerika Serikat dan Amerika
Utara.

Larva dewasa panjangnya mencapai 35 mm. Larva ini melubangi kayu gubal dari
beberapa jenis conifer sebelum menjadi pupa. Periode hidup seekor larva tegantung
kepada kualitas dan kuantitas makanan, suhu, serta kadar air kayu yang ditempatinya.
Walaupun larva dapat menghancurkan selulosa, tetapi terbatas pada selulosa kayu gubal
saja. Albumen yang terdapat pada kayu-kayu yang sudah mati sangat dibutuhkan oleh

92
larva untuk berkembang. Jika konsentrasi albumen telah berkurang, larva ini kemudian
akan mati.

Setelah periode pupa dilewati (lebih kurang 3 minggu) serangga akan bertambah
besar dan setelah dewasa berwarna hitam. Kemudian kumbang ini akan keluar dari
lubangnya dan membuat lubang baru mengulangi silus hidupnya. Jenis yang terpenting
dari famili adalah Cholopherus anularis yang terdapat di Sumatera dan banyak
menyerang kayu-kayu kering.

B. Bubuk Kayu Basah

Kumbang ini menyerang kayu yang memiliki kadar air tinggi, sehingga dikenal
sebagai Bubuk Kayu Basah. Beberapa famili yang terpenting dalam ordo ini adalah:
Platypodidae, Scolytidae, dan Curculionidae

Famili Platypodidae dan Scolytidae – Ambosia beetle

Kerusakan yang terjadi pada kayu yang baru dikuliti seringkali membingungkan
dengan yang ditimbulkan oleh beberapa serangga penggerek kayu pada kayu yang
sedang dikeringkan, yaitu jenis A. Punctatum dan Lyctus karena menghasilkan ukuran
terowongan yang mirip. Sejumlah besar kumbang Platypodidae dan Scolytidae
(umumnya dikenal sebagai “ambrosia beetles”, “pinhole atau shothole borers”)
menyebabkan kerusakan yang berarti baik pada pohon berdiri atau log yang dikuliti, dan
menyebabkan kerusakan pada kayu gergajian yang diperuntukkan untuk mebel dan vinir.
Kumbang ini penting pada kayu daun lebar tropis, meskipun juga terdapat pada kayu
daun jarum di daerah temperate.

Kumbang dewasa bersembunyi dalam kayu tetapi tidak aktif setelah kayu
dikeringkan. Kumbang ini cenderung membuat terowongan yang tegak lurus serat
tetapi membentuk lubang pendek, buntu, lateral dan kamar-kamar yang dierami larva,
serta lubang percabangan membentuk sudut siku-siku dengan lubang utama. Ukuran
diameter kerusakan oleh pinhole borers adalah >1,5 mm, sedangkan pada shothole
borers dapat mencapai ≥ 3 mm. Pewarnaan lubang sering terlihat disebabkan oleh
jamur sapstain. Jamur sapstain merupakan sumber makanan utama bagi larva dan juga
membentuk asosiasi dengan serangga. Bila kelembaban tidak cukup untuk

93
pertumbuhan jamur maka penyerangan akan berhenti. Umumnya untuk dapat hidup
kumbang membutuhkan kayu berkadar air 40%, sedangkan pada kadar air dibawah 25%
kumbang akan mati. Tidak ada frass terlihat seperti yang terdapat pada Anobium dan
Lyctus.

Meskipun penampakan kayu yang terserang kumbang ambrosia serupa dengan


kerusakan oleh anobium dan lyctus, serangan serangga yang terakhir tidak dicirikan
oleh terowongan yang berwarna, memiliki arah terowongan yang acak dan
menghasilkan frass. Hal ini tidak terlihat pada serangan kumbang ambrosia.

Kayu gergajian yang terserang ambrosia seringkali masih dapat digunakan karena
tidak menyebabkan masalah dalam pemakaian, terutama kekuatannya tidak banyak
terpengaruh. Namun, kerusakan pada log vinir dapat menurunkan harga vinir karena
adanya lubang-lubang yang kotor.

Famili Curculionidae – Wood boring weevil

Diperkiraan sekitar 200.000 species weevil yang tersebar diseluruh dunia dan
hanya 35.00 species yang telah dideskripsikan (Hum, et.al., 1980). Maskipun
merupakan famuli terbesar dari Coleoptera tetapi hanya sedikit yang dapat
menimbulkan kerusakan pada kayu struktural. Weevil penghuni kayu yang ditemukan
di Britania hanya menyerang kayu yang telah dilapukkan atau ditemukan pada daerah
yang terkait erat dengan kayu lapuk. Weevil berbeda dengan tipe serangga penghuni
kayu lain yang telah diuraikan sebelumnya karena serangga dewasa hidup dalam
periode yang panjang, yaitu sekitar 16 minggu seperti Pentarthrum huttoni. Serangga
dewasa aktif dapat ditemukan di- dan sekitar kayu yang terserang sepanjang tahun dan
baik serangga dewasa maupun larva dapat meyebabkan kerusakan pada kayu.

Serangga dewasa dapat dikenali dengan adanya moncong atau “rostrum” yang
terdapat pada bagian depan mata dan ujungnya kecil tapi bagian mulutnya kuat. Weevil
ini dapat membingungkan dengan weevil pada beras dari genus Sitophylus yang
memiliki ukuran dan warna yang mirip. Tetapi pada Sitophylus ellytra hanya sedikit
lebih panjang daripada pronotum (atas thorax), sedangkan weevil penggerek kayu
ellytranya hampir duakali lebih panjang.

94
Hum et.al. (1980) dan Hickin (1981) mendeskripsikan 3 species weevil yang
umum menggerek kayu yaitu Euophryum confine, E.rufum dan Pentarthrum huttoni.
Selain itu, ada species Caulotrupodes aeneopiceus yang tidak umum. Meskipun
serangan weevil seringkali membingung-kan dengan serangan anobium, tetapi kayu
yang terserang weevil dapat dilihat dari penampakan visual weevil, frass dan kayunya.
Frass weevil memiliki tekstur lebih halus dan kurang bulat bila dibandingkan yang
diproduksi anobium, meskipun tidak memiliki tekstur berbentuk tepung seperti frass
lyctus. Pada kayu galleri lebih kecil dan lubang keluar hanya sedikit oval, mendekati
bulat, dengan batas luar yang tidak jelas.

Baik kayu daun lebar maupun kayu daun jarum dapat diserang weevil bila kayu
gergajian telah dilapuk jamur. Karena kayu yang terserang weevil adalah kayu yang
lapuk, perawatan sumber kelembaban dan mengeluarkan kayu yang telah lapuk atau
perlakuan dengan biosida yang sesuai diperlukan untuk mengendalikan serangan weevil.

b. Tindakan Pengendalian

Kumbang yang menyerang kayu terutama pada stadium larva, karena larva inilah
yang merusak kayu. Pencegahan serangan bubuk ini dapat dilakukan dengan berbagai
cara, antara lain:
1) Merendam kayu adalam air beberapa waktu agar zat pati (karbohidrat) yang
terdapat dalam kayu larut dalam air sehingga kumbang tidak akan bertelur di sana.
2) Pengeringan kayu terutama kayu-kayu gergajian.
3) Pengawetan kayu dengan menggunakan berbagai insektisida seperti:
a) Gas hydrocyanida yang dimasukkan ke dalam kayu
b) Larutan DDT 5% atau pentachlorofenol 5% dalam larutan minyak ringan.
c) Penggunaan garam-garam Wolman dengan metode perendaman
d) Pada kayu yang masih segar, perlu diberikan zat pengawet pada kedua ujungnya.

95
3. Hymenoptera

a. Ruang Lingkup

Ordo hymenoptera merupakan ordo terbesar ketiga dalam kelas insekta dengan
jumlah species kira-kira 103.000. Ciri utama dari ordo ini adalah:
a. Mempunyai dua pasang sayap yang berupa selaput tipis (membran)
b. Bagian mulut berkembang menjadi tipe pengunyah dan penusuk
c. Biasanya mempunyai ovipositor yang berkembang sempurna
d. Bermetamorfosisi sempurna

Di antara 71 famili yang ada di USA, kebanyakan menguntungkan bagi manusia,


hanya 3 famili saja yang penting dalam perusakan kayu, yaitu: Formicidae (semut; tipe
kerusakan honey-combing), Xylocopodae (tawon kayu dan horntail; tipe kerusakan grub
holes), dan Siricidae (tawon kayu; tipe kerusakan grub holes). Jenis yang terpenting
dari ordo ini yaitu: Xylocopa spp., sedangkan famili siricidae merupakan hama bagi
hutan. Famili ini sering disebut “horntail”. Salah satu dari jenis serangga yang terkenal
adalah Sirex gigae dan Xeris spectrum (Kollman, 1968).

b. Kondisi Serangan

Ordo hymenoptera ini adalah serangga yang termasuk jenis lebah. Binatang ini
sebenarnya tidak menggunakan kayu sebagai makanannya, tetapi hanya sebagai
sarangnya. Ordo ini disebut juga dengan lebah penggerek kayu (carpenter bees).

Lebah ini biasanya menggerek kayu-kayu yang kering dimana diameter lubang
gerek berkisar 0,5–1 inci (1,2–2,54 mm). Sedangkan dalam lubang gerek dapat
mencapai 6 inci (15 cm) (Kollman, 1968). Telurnya diletakkan di dalam lubang gerek
yang telah diisi dengan serbul-serbuk kayu bercampur dengan madu atau benang sari
bunga. Selama menjadi larva dan pupa lebah ini akan tinggal di dalam kayu, satdium
larvanya berumur 7-8 minggu dengan bentuk eruciform. Siklus hidup lebah penggerek
ini memerlukan waktu satu tahun.

96
c. Tindakan Pencegahan

Pencegahan serangan lebah penggerek dapat dilakukan dengan cara:


1) Pengecatan kayu
2) Penggunaan insektisida melalui:
a) fumigasi insektisida dimasukkan ke dalam penggerek
b) penyemprotan langsung dengan DDT.

D. BINATANG LAUT (MARINE BORERS)

Jenis-jenis binatang yang biasa menyebabkan kerusakan pada kayu di dalam


lingkungan air laut pada umumnya disebut “marine borers” atau binatang laut.
Binatang ini hidup tersebar hampir di seluruh bagian dunia, tetapi kerusakan yang besar
terutama terjadi di daerah-daerah berair hangat.

Walaupun sejarah kerusakan kayu oleh jasad hidup ini telah dicatat lebih dari 2.000
tahun yang lalu, namun sampai saat ini pengetahuan tentang cara pengendaliannya
masih sangat terbatas (Hochman, 1973). Kerugian akibat serangannya cukup besar.
Sebagai contoh, di daerah perairan pantai Amerika setiap tahunnya menderita kerugian
kira-kira US$ 500 juta akibat serangan jasad hidup ini terhadap konstruksi kayu di
pantai. Di lain pihak, khususnya di daerah perairan pantai tropis terdapat banyak
species binatang dengan kerugian yang belum dapat diantisipasi secara pasti besarnya.

Kayu memiliki sifat-sifat dan kerugian tertentu sebagai bahan konstruksi di pinggir
laut, akan tetapi juga memiliki kelemahan karena terserang oleh marine borer. Kondisi
ini menjadi suatu tantangan bagi ahli di bidang teknologi kayu, bagaimana cara
pengawetan yang tepat yang harus dilakukan sehingga umur pakai kayu dapat
diperpanjang.

Keberhasilan riset terhadap biologi marine borer merupakan kunci penentu di


dalam upaya mencegah kerusakan yang ditimbulkannya. Marine borer menggerek kayu
dengan dua aslasan yaitu sebagai bahan makanan dan tempat berlindung. Akan tetapi
bukan berarti bahwa semua marine borer menggerek kayu demi kedua alasan tersebut.
Ada beberapa jenis yang mampu memproduksi enzim selulase. Enzim ini dipergunakan
untuk melunakkan kayu dan selanjutnya digunakan sebagai bahan makanan.

97
a. Ruang Lingkup dan Kondisi Serangan Binatang Laut

Marine borer yang tergolong ke dalam famili Terenidae (teredo, bankia, dan
nausitora) dan Ordo Isopoda (Limnoria) menggerek kayu bukan untuk dimakan.
Kebutuhan unsur nitrogen bagi beberapa jenis marine bore diperoleh dari plankton, dan
diduga bahawa beberapa jenis jamur berperan dalam kehidupan marine borer (Becker,
1958).
Spesies marine borer yang menimbulkan kerusakan terhadap kayu struktural di
perairan pantai, dapat dibedakan atas dua kategori yaitu: Mollusca dan Crustaceae.
Famili terenidae memiliki 3 genera, sedangakan famili pholadidae ada 1 genera yang
mempunyai arti penting dari segi ekonomi kerusakan kayu. Selanjutnya 2 kategori
crustaceae masuk dalam ordo isopoda dan selebihnya merupakan anggota ordo
Amphiphoda.

D.1. Mollusca

Ada dua kelompok mollusca bivalve (dua katup) penggerek kayu: terenid (fam.
terenidae) atau cacing laut (Shipworm) dan pholad (fam. pholadidae) atau piddock.
Terenidae merupakan kelompok yang besar dengan anggota yang tersebar luas di
seluruh dunia pada berbagai kisaran iklim. Pholadidae lebih terbatas penyebarannya
dan terutama ditemukan pada daerah temperate yang hangat dan daerah tropis,
meskipun species Xylophaginae terdapat di air dingin yang dalam atau dekat permukaan
pada daerah lintang tinggi. Beberapa pholad cukup toleran terhadap air payau dan
terdapat di estuarina maupun air laut. Mollusca penggerek kayu yang umum disajikan
padaTabel 4.

Tabel 4. Beberapa mollusca penggerek kayu di laut (Eaton, 1986)


Terenid (shipworm) Pholad (piddock)
Bactronophorus Psiloteredo Lignopholas
Bankia Teredo Martesia
Dicyanthifer Teredora Xylophaga
Lyrodus Teredothyra
Nausitora Spathoteredo
Neoteredo Uperotus
Nototeredo

98
a) Famili Terenidae

Terenid memiliki badan seperti cacing yang lunak dengan 2 kerang atau katup
pada bagian ujung depan (anterior) yang mampu menggerek kedalam kayu untuk
membuat terowongan (tunnel). Binatang ini tinggal dalam tunnel yang sama sepanjang
hidupnya dan biasanya endapan berkapur diletakkan sepanjang tunnel. Tunnel setiap
swipworm berbeda dan biasanya menghindari memasuki tunnel tetangganya selama
bertumbuh dan menyerang kayu. Pada air hangat species ini dapat bertumbuh dengan
panjang 1-2 meter. Di dalam kayu bervolume tertentu binatang ini tidak muncul lagi
dari dalam kayu tetapi melanjutkan menggerek sepanjang kayu lain sampai kayu rusak
dan mulai menjadi fragmen. Bagian belakang (posterior) menjaga kontak dengan
lingkungan luar air laut melalui lubang yang halus (diameter 1-2 mm) pada permukaan
kayu pada bagian ujung tunnel. Melalui lubang ini 2 siphon dapat ditonjolkan keluar ke
air laut; siphon masuk (inccurent siphon) masuk kedalam air yang memungkinkan
cacing laut melakukan respirasi dan memakan mikroorganisme air; siphon keluar
(excurrent siphon) melepaskan bahan sisa dan unit reproduksi baik gamet atau larva.
Kadang-kadang siphon ditarik dan jalan masuk ke dalam saluran ditutup rapat dengan
sepasang lembaran kulit kerang (pallet), seperti disajikan pada Gambar 11, sehingga
binatang terlindung terhadap serangan musuh atau terhadap masuknya air yang tidak
baik kadar garamnya.

Gambar 11. Pallet dari (a) Teredo navalis, (b) Nausitora hedleyi, (c) Bankia fimbriatula, (d)
Bankia gouldi, (e) Nototeredo norvagica, (f) Lyrodus pedicellatus, (g) diagram
shipworm kayu (Turner, 1971)

99
Kecepatan dan besarnya kerusakan binatang ini sangat tergantung jumlah dan
species penggerek, intensitas penggerekan, banyaknya bahan makanan yang tersedia,
kondisi suhu, kadar air garam dan faktor-faktor lain yang mendukung. Apabila cacing-
cacing penyerang berjumlah banyak, maka kayu terserang akan penuh dengan serangan
sehingga pertumbuhan binatang menjadi terhambat dan panjang badan tidak lebih dari
beberapa cm dengan diameter hanya beberapa mm. Cacing penggerek biasanya masuk
dalam kayu dengan arah tegak lurus arah serat, kemudian membentuk saluran dalam
arah longitudinal, selanjutnya dengan arah yang tidak teratur. Jika serangan sangat
hebat, beberapa saluran terpaksa masuk agak dalam ke arah pusat kayu sebelum
mengikuti arah serat. Akibat pelubangan kayu beberapa sarang lebih maka kekuatan
kayu menjadi sangat berkurang. Pola serangan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Pola serangan cacing laut pada kayu

b) Famili Pholadidae

Penggerek mollusca dari genus Martesia panjang badannya hanya 3-4 cm saja.
Seluruh tubuh ditutupi dengan zat kapur (kulit kerang) seperti Gambar 13. Genus
martesia mirip kerang kecil, tetapi aktivitas serangannya terhadap kayu miri cacing
kapal. Lubang gereknya umum terdapat hanya pada permukaan, dimana ukuran lubang
gerek kurang lebih 1/8 inci. Ukuran binatang-bintang ini pada keadaan dewasa adalah;
panjang 2,5 inci dan diameter 1 inci. Binatang ini sekali berada dalam kayu akan
melanjutkan aktifitas pengeboran terhadap kayu, guna mendapatkan ruang tumbuh bagi
tubunya yang terkunkung.

100
Gambar 13. Penampakan (a) lateral dan (b) dorsal Martesia striata dewasa;
penampakan (a) lateral dan (b) dorsal Martesia striata muda

2. Crustaceae

Kebanyakan kelompok udang-udangan (crustaceae) penggerek kayu dan penghuni


kayu adalah anggota dari Isopoda. Kelompok ini berbeda dengan mollusca penggerek
kayu dalam penampakan, mobilitas/pergerakan, dan bentuk liang gereknya. Organisme
dewasa memiliki badan bersegmen dan kaki serta dapat merangkap pada permukaan
kayu yang bergerak di antara lubang gerek. Sebaliknya kondisi statis ditemukan pada
moluska yang hanya berkembang dalam kayu dengan memperbesar liang atau
terowongan sampai mereka dewasa. Kelompok crustaceae dapat berpindah ke kayu
basah, sedangkan mollusca tinggal dalam liang untuk hidup.

a) Genus Limnoria

Genus limnoria termasuk kepiting penggerek, banyak ditemukan sepanjang


perairan Teluk Atlantik dan pantai Pasifik Amerika Serikat.

Menurut Menzies (1959) lebih 20 species anggota Limnoria tersebar di seluruh


perairan dunia. Binatang ini dapat dengan mudah dikenal dari ciri-cirinya sebagai
berikut : (a) tubuh beruas, (b) memiliki tujuh pasang kaki dengan kuku-kuku runcing
dan berkait yang memungkinkan pergerakannya bebas dan melekat pada kayu, (c)
memiliki insang yang bentuknya pipih berguna untuk pernafasan dan (d) rahang bawah
sangat kuat dilengkapi dengan gigi untuk mengunyah kayu, (e) tubuhnya berakhir
dengan lempeng ekor yang lebar, digunakan untuk menutup saluran terhadap gangguan.

101
Panjang binatang Limnoria jika dewasa kira-kira 1/8-1/4 inci, sehingga bentuk
serangannya pada kayu berupa saluran berukuran ½ – 1 inci. Penampakan limnoria
dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Limnoria –(a) penampakan lateral, (b) pleomer dan pleotelson kelima dari L.
Lignorum, (c) L. Cristata dalam kayu

b) Genus Sphaeroma

Genus ini lebih destruktif dibanding dengan Limnoria, umumnya erdapat di


perairan tropik dan sub-tropik. Struktur badannya hampir sama dengan Limnoria, akan
tetapi ukurannya jauh lebih besar. Saluran serangan pada kayu lebih besar dan dapat
mencapai kedalaman 3-4 inci.

Permukaan kayu yang telah terserang oleh Teredo kadang-kadang diserang pula
secara sekunder oleh Sphaeroma. Kepiting ini diduga menggerek kayu untuk makanan
dan tempat tinggal. Menzies dan Turner (1959) menyebutkan pada satu tumpukan kayu
berukuran sedang didalam air bisa dijumpai sejumlah ± 200.000 ekor kepiting dewasa,
setiap ekor mampu memakan kayu yang tidak diawetkan seberat 0,54 gram.

c) Genus Chelura

Genus chelura terutama aktif di perairan yang suhunya tidak begitu panas sampai
sedang. Binatang ini dari hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan diketahui banyak
menyerang bangunan di piggir pantai perairan Eropa Utara dan Amerika Utara. Ada

102
kalanya binatang ini hidup bekerjasama dengan Limnoria atau hidup bersama pada
bangunan-bangunan di perairan laut.

Gambar 15. Chelura : (a) penampakan lateral C. insulae, (b) Chelura sp di dalam kayu

b. Tindakan Pengendalian

Untuk mencegah serangan marine borer terhadap sistem konstruksi kayu di perairan
asin, banyak cara yang dapat diterapkan, antara lain:

(1) Penggunaan Kayu dengan kelas awet alami yang tinggi


Kayu dengan kelas awet alami yang tinggi biasanya mengandung sejumlah zat
ekstraktif yang berfungsi sebagai racun terhadap marine borer. Kayu seperti ini
tidak mudah diserang oleh cacing dan kerang laut. Akan tetapi di dalam
pemakaian lambat laun kayu mengalami proses pelapukan, maka akan dengan
mudah diserang oleh marine borer.

(2) Mengawetkan kayu sebelum digunakan


Metode pengawetan yang memberi hasil memuaskan adalah dengan vakum dan
tekan. Bahan pengawet yang digunakan terdiri dari campuran kreosot-ter batubara
atau kreosot dengan larutan aspal. Proporsi ter batu bara di dalam campuran bahan
pengawet berkisar 20-40%. Retensi bahan pengawet dianjurkan sebesar 225-320
kg/m3 (Hunt and Garrat, 1967). Pengawetan kayu dengan spesifikasi seperti
dikemukakan diatas, akan memperpanjang umur pakai kayu 20-30 tahun lebih lama
dibandingkan umur pakai kayu yang tidak menadapat perlakuan.

103
(3) Mengunakan berbagai jenis pelapis luar
Pelapis luar diharapkan berfungsi sebagai perintang masuknya cacing/kerang laut
ke dalam kayu. Penggunaan pelapis luar dapat dibedakan atas beberapa cara yaitu:

Membiarkan kulit batang tetap melekat pada kayu

Cara ini merupakan salah satu cara kuno, dimana kayu yang digunakan pada
sistem konstruksi di dalam air asin, kulitnya tidak dilepas. Metode ini
dianggap kurang efektif mencegah cacing laut atas dasar pengalaman berikut :
a. Kulit kayu tidak selalu menutup batang dengan sempurna. Adakalanya
bagian tertentu batang terbuka, misalnya karena bekas potongan cabang
atau luka. Bagian yang terbuka ini merupakan tempat masuknya cacing
laut ke dalam kayu.
b. Kulit kayu tidak selalu utuh melekat pada batang karena pengaruh
hempasan ombak, sehingga kulit terkelupas dan bagian batang menjadi
terbuka.

Bagian-bagian tertentu diberi paku

Bagian tertentu batang khususnya yang mudah diserang oleh cacing atau
kerang laut dipsang paku-paku berkepala gepeng. Metode ini juga dianggap
tidak efektif dan efisien karena :
a. Larva-larva cacing kapal ukurannya sangat kecil, sehingga bisa saja masuk
ke dalam kayu melalui celah antar kepala paku.
b. Biaya pemasangan paku pada batang menyebabkan naiknya harga tiang
kayu.
c. Pembusukan pada tiang tidak dapat dihambat dengan pemasangan paku.

Bagian luar batang dilapis dengan lembaran logam

Lapisan logam yang digunakan terbuat dari tembaga atau campuran tembaga
dengan seng (logam kuning atau logam Muntz). Agar lapisan logam dapat
memberi fungsi lindung yang baik, maka kayu-kayu perlu dipersiapkan lebih
dahulu, misalnya permukaannya dibuat serata mungkin, kemudian diberi
lapisan goni jenuh dengan aspal. Selajutnya lembaran logam dipaku pada
seluruh permukaan kayu. Kelemahan metode ini karena :

104
a. Lapisan logam dapat rusak oleh angin atau ombak besar, akibatnya ikatan
logam terhadap kayu menjadi lepas dan kayunya hanyut, sehingga cacing
laut menyerangkayu dan merusaknya.
b. Ada kalanya lembaran logam pelapis dicuri oleh orang-orang tertentu di
pelabuhan.

Sebagian batang dimasukkan ke dalam pipa besi tuang

Pipa besi ditancapkan jauh kedalam lumpur. Ruang antar kayu dengan logam
diisi pasir atau campuran semen pasir. Tiang kayu sebelum ditancapkan ke
dalam pipa besi tuang terlebih dahulu dilapis dengan kreosot. Kelemahan
sistem ini adalah :
a. Biaya menjadi mahal
b. Bagian atas pancang tidak dapat terhindar dari proses pembusukan
c. Penggunaan hanya dibenarkan untuk bangunan-bangunan yang sangat
penting dimana usaha perbaikan konstruksi sangat jarang frekuensinya.

Bagian panjang diselubungi tanah liat yang diperkeras

Metodanya hampir sama dengan cara selubung besi tuang, tetapi kurang
berhasil karena mudahnya pecah oleh pengaruh hempasan ombak dan angin.

Tiang kayu diberi selubung beton

Dalam hal ini sekeliling tiang kayu diberi penguat yang terbuat dari kawat
kasa berlubang 5 cm. Tiang kayu diletakkan berdiri sedemikian rupa sehingga
berjarak kurang lebih ¾ inci terhadap masing-masing sisa kasa penguat.
Ruang antar tiang dengan sisi-sisi kasa penguat diberi lapisan campuran pasir
semen.

Tiang kayu diberi lapisan cat

Dengan perlakuan ini biasanya umur pakai tiang dalam air laut tidak terlalu
lama, antara 6 bulan – 2 tahun. Cat yang biasa digunakan berupa aspal atau
bahan-bahan yang mengandung bitumin. Adakalanya tiang kayu diberi
lapisan cat, kemudian dilapis lagi dengan goni yang diiisi atau jenuh dengan
aspal danselanjutnya dilapis lagi dengan cat tebal. Lalu tiang kayu diberi

105
lapisan kayu berbentuk persegi setebal ± ½ inci. Pada akhirnya lapisan luar
kayu ini deiberi lapisan cat tebal.

E. Bahan Diskusi

Mahasiswa diharapkan menyiapkan makalah (10-15 halaman) untuk setiap jenis


organisme perusak kayu, yang mencakup deskripsi organisme, kondisi serangan dan
teknik pengendaliannya. Makalah diharapkan mengacu pada bahan bacaan pengayaan
dan penelusuran dari internet dan jurnal. Kebaharuan pustaka menjadi salah satu
penilaian utama.

F. Bahan Bacaan Pengayaan

Untuk pengayaan materi yang telah diuraikan di atas, mahasiswa dapat


mempelajari secara mandiri bahan bacaan berikut:

(1) Archer, K. and S. Lebow. 2006. Wood Preservation. In: Primary Wood
Processing: Principles and Practice. Walker, J.C.F. (Eds.). Springer. Netherland.
P: 297-338.

(2) Alexopoulos, C.J. 1961. Introductory Mycology. John Wiley & Sons, Inc. New
York.

(3) Hunt, G.M. and G.A. Garratt. 1986. Pengawetan Kayu. Alih Bahasa:
Mohammad Jusuf. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta.

(4) Borror, D.J., C.A. Triplehorn, and N.F. Johnson. 2007. Pengenalan Pelajaran
Serangga. Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

(5) Zabel, R.A. and J.J. Morrell. 1992. Wood Microbiology: Decay and its
Prevention. Edisi Pertama. Academic Press, Inc. San Diego. California.

(6) Eaton, R.A. and M.D.C. Hale. 1993. Wood: Decay, Pests and Protection. Edisi
Pertama. Chapman & Hall. London.

(7) Kirk, T.K. and E.B. Cowling. 1984. Biological Decomposition of Solid Wood.
In: The Chemistry of Solid Wood. R.Rowell (Eds.). Advances in Chemistry
Series 207. American Chemical Society. Washington. p:455-488.

106
G. Latihan/ Soal-Soal

Agar kompetensi yang diharapkan dapat dicapai diakhir masa pembelajaran,


mahasiswa diharapkan mengerjakan latihan/soal-soal yang tercantum dalam bahan ajar
ini, sebagai berikut:

(1) Mengapa perubahan volume kayu akibat serangan white rot relatif lebih kecil
dibandingkan oleh serangan brown rot?

(2) Uraikan secara ringkas organisme yang dapat merusak kayu dan teknik
pengendaliannya.

(3) Kemukakan pendapat anda, jenis organisme mana yang paling berpotensi merusak
jika ditinjau dari dampak kerusakan yang ditimbulkannya terhadap kayu.

107
BAB IV
MENDETEKSI DETERIORASI KAYU

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada
mahasiswa tentang teknik-teknik mendeteksi deteriorasi kayu.
Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa
untuk dapat menerapkan teknik mendeteksi deteriorasi kayu dengan memperhatikan
kondisi penggunaannya.

Pada prinsipnya, deteriorasi kayu dapat dilihat sebagai salah satu bentuk
mekanisme penurunan sifat yang berhubungan dengan penurunan ketahanan kayu.
Deteriorasi ini secara signifikan banyak dijumpai pada struktur atau bangunan yang
memanfaatkan kayu. Hal ini dapat terjadi dengan atau tanpa dapat dilihat secara langsung
pada permukaan kayu hingga pada suatu kondisi dimana struktur kayu tersebut betul-
betul mengalami kerusakan yang sangat parah.
Pengamatan terhadap bangunan-bangunan dari kayu yang mengalami kerusakan
dapat memperjelas bahwa kerusakan atau penurunan ketahanan kayu dalam struktur
bangunan dapat disebabkan oleh organisme perusak. Organisme perusak umumnya
menjadikan kayu sebagai sumber makanan atau tempat perlindungan. Sebagai contoh
dapat dilihat pada kayu yang diserang oleh jamur. Serangan tersebut diawali oleh hifa
dari jamur yang mensekresi enzim. Enzim yang dikeluarkan mampu menguraikan
(depolimerisasi) komponen-komponen kimia penyusun kayu sehingga dapat menurunkan
kerapatan, kekuatan, dan kekerasan kayu bangunan. Kondisi ini tentu secara nyata akan
menurunkan daya tahan kayu dalam menerima beban dan akhirnya dapat roboh. Olehnya
itu, mendeteksi deteriorasi kayu secara akurat dan lebih dini sangat diperlukan untuk
memperpanjang umur pakai kayu dan menjamin keselamatan umum yang berhubungan
dengan struktur bangunan kayu bersangkutan. Saat ini, ada beberapa manual untuk
mengakses kondisi bangunan yang terbuat dari kayu. Pada bagian berikut ini
dikemukakan metode-metode umum yang dapat dilakukan untuk mendeteksi deteriorasi
pada kayu.

108
A. Metode Konvensional

Metode konvensional untuk mendeteksi deteriorasi kayu dapat dilakukan terhadap


kerusakan permukaan maupun kerusakan bagian dalam kayu. Dalam hal ini, cara-cara
atau alat-alat khusus biasanya diperlukan untuk tipe kerusakan tertentu dengan tetap
mempertimbangkan struktur bangunan. Meskipun berbagai cara dapat dilakukan untuk
mendeteksi kerusakan pada kayu, pada prakteknya seorang dapat melakukan inspeksi
tanpa harus menggunakan berbagai macam alat. Metode atau alat yang digunakan
tergantung pada ketersediaan dana, pengalaman sebelumnya, atau masalah yang harus
ditangani.

A.1 Metode Mendeteksi Deteriorasi Bagian Luar Kayu

Deteriorasi bagian luar kayu (eksterior) dapat dengan mudah dideteksi karena
kerusakan yang terjadi dapat kita akses langsung. Tingkat kemudahannya tergantung
pada besar kecilnya kerusakan dan metode inspeksi yang dilakukan. Metode yang umum
dilakukan dalam hal ini adalah visual inspection dan probing. Teknik ini tentu saja masih
memerlukan inspeksi lanjutan dengan metode lain untuk mengetahui tingkat kerusakan
yang sebenarnya terjadi.

Visual inspection (Inspeksi secara kasat mata)

Visual inspection adalah metode paling sederhana untuk mengetahui lokasi


terjadinya kerusakan pada struktur bangunan kayu. Dalam metoda ini, inspeksi dilakukan
terhadap struktur bangunan untuk mengetahui dan memetakan tempat-tempat yang secara
nyata atau pun potensial dapat mengalami kerusakan. Pada saat melakukan inspeksi,
seseorang memerlukan keadaan ruangan inspeksi yang terang untuk mampu mendeteksi
kerusakan-kerusakan permukaan kayu akibat organisme perusak, penumpukan air, dan
kekuatan mekanis. Visual inspection tidak dapat mendeteksi kerusakan yang baru terjadi
pada tahap awal. Selama Visual inspection, beberapa hal perlu diketahui untuk digunakan
sebagai tanda terjadinya deteriorasi seperti:

109
a. Badan buah (fruiting bodies) sebagai indikasi positif adanya serangan jamur,
meskipun tanda tersebut belum dapat menjadi indikasi besar dan tingkat
kerusakan. Beberapa jenis jamur membentuk badan buah segera setelah terjadi
sedikit kerusakan, sedangkan jenis lainnya hanya membentuk badan buah setelah
terjadi kerusakan yang menyebar luas.
b. Permukaan kayu yang berkerut (sunken faces) atau mengalami depresiasi dapat
menjadi tanda terjadinya kerusakan di bawah permukaan. Pada struktur bangunan,
sambungan-sambungan kayu tidak dapat dihindari. Pada bagian inilah biasanya
terdapat bagian permukaan kayu yang tertekan. Perubahan warna pada bagian
struktur ini dapat menjadi tanda bahwa bagian tersebut berpotensi untuk menjadi
perangkap bagi air yang mengenainya dan sangat cocok untuk pertumbuhan jamur.
Perubahan warna seperti karatan pada kayu akibat sambungan atau hubungan
dengan besi juga dapat menjadi indikasi terjadinya pembasahan (wetting) pada
bagian tersebut.
c. Adanya aktivitas serangan serangga dapat ditandai oleh lubang-lubang gerek,
saluran kembara rayap, butiran-butiran kayu (frass), bubuk kayu, dan sejenisnya.
Adanya serangan serangga juga menjadi indikasi adanya masalah kelembaban
yang berpotensi terjadinya serangan jamur.

Probing (Penyelidikan)

Probing dilakukan dengan menggunakan alat-alat seperti jarum tusuk atau pisau
untuk mendeteksi kerusakan di bawah permukaan kayu. Kerusakan yang terjadi dapat
ditandai dengan kurangnya ketahanan kayu terhadap tusukan sebagai akibat adanya
pelunakan kayu. Meskipun metode ini cukup sederhana, dalam prakteknya sangat
memerlukan pengalaman untuk dapat menginterpretasi hasil dengan baik. Dalam hal ini,
perlu kehati-hatian untuk dapat membedakan kayu yang rusak karena jamur dengan kayu
yang lunak karena air yang biasanya masih kuat dan tidak mengalami kerusakan
meskipun lebih lunak dari kayu kering. Kesulitan interpretasi juga dapat terjadi pada saat

110
kayu yang menjadi obyek inspeksi adalah kayu yang secara alami memang memiliki
struktur yang lunak.

A.2 Metode Mendeteksi Deteriorasi Bagian Dalam (Interior) Kayu

Berbeda dengan deteriorasi bagian luar kayu, deteriorasi bagian dalam kayu
(interior) sulit untuk dideteksi karena tanda-tandanya dapat saja tidak tampak secara
visual. Sejumlah metode dan alat telah dikembangkan mulai dari yang sederhana seperti
palu hingga yang kompleks dan canggih seperti sinar-X dan radiografik. Alat-alat lain
seperti pengukur kadar air (moisture meters) juga biasa digunakan sebagai alat bantu
dalam mengidentifikasi bagian-bagian kayu yang kondisinya potensil bagi
berkembangnya kerusakan internal.

Sounding (Membunyikan)

Membunyikan kayu dengan mengetuknya menggunakan palu atau alat lain adalah satu
cara yang paling umum digunakan untuk mendeteksi deteriorasi yang terjadi di bagian
interior kayu. Seorang pendeteksi yang berpengalaman dapat menginterpretasi suara yang
timbul saat kayu diketuk, apakah masih utuh (sound) atau ada suara kosong yang dapat
mengindikasikan terjadinya kerusakan atau deteriorasi parah. Meskipun sounding ini
sudah digunakan secara luas, cara tersebut sering mengalami kesulitan interpretasi karena
adanya faktor-faktor lain yang turut menentukan variasi kualitas suara yang timbul.
Selain itu, sounding hanya memberikan gambaran parsial dari adanya kerusakan yang
meluas yang tidak dapat mendeteksi kerusakan kayu yang masih dalam tahap awal
hingga serangan sedang. Meskipun demikian, sounding masih tetap memiliki ruang
tersendiri untuk keperluan inspeksi atau identifikasi kerusakan berat kayu bangunan
secara cepat. Penemuan adanya gejala kerusakan dengan cara ini memerlukan verifikasi
dengan menggunakan metode lain seperti pengoboran (drilling) dan penerasan (coring).

111
Drilling dan coring (Pengoboran dan Penerasan)

Drilling dan coring adalah metode paling umum untuk mendeteksi deteriorasi internal,
khususnya pada bangunan seperti jembatan. Kedua metode tersebut digunakan untuk
mendeteksi rongga yang terjadi akibat deteriorasi dan menentukan ketebalan kayu yang
masih utuh. Drilling dan coring memiliki kemiripan dalam respon sehingga dapat
dibahas secara bersama-sama.
Drilling biasa dilakukan dengan bor elektrik maupun manual dengan mata bor
3
berukuran diameter 10-19 mm (3/8 to /4 inch). Drilling menggunakan tenaga elektrik
akan lebih cepat, tetapi dengan menggunakan tenaga manual seorang dapat merasakan
perubahan keadaan kayu sehingga dapat mendeteksi deteriorasi kayu dengan lebih baik.
Secara umum, teknik ini dilakukan dengan mengebor struktur kayu, mencermati keadaan
dimana pengeboran terasa lebih mudah, dan mengamati kayu-kayu hasil pengeboran
untuk melihat terjadinya kerusakan pada bagian kayu bersangkutan. Adanya kerusakan
kayu secara alami seperti mata kayu, saluran resin, dan serat-serat abnormal harus
diantisipasi untuk tidak membuat kesalahan interpretasi. Jika ditemukan deteriorasi kayu,
lobang-lobang pengeboran dapat digunakan untuk melakukan perlakuan-perlakuan
perbaikan terhadap struktur kayu tersebut. Sedangkan Coring dilakukan dengan
menggunakan alat yang dapat mengeluarkan kayu yang dibor secara utuh (core) sehingga
dapat mengamati keadaan kerusakan kayu lebih seksama.

Drilling dan coring umumnya digunakan untuk mengkonfirmasi adanya bagian-


bagian kayu yang diduga sebagai tempat berkembangnya jamur perusak setelah
melakukan inspeksi dengan menggunakan moisture meters atau metode lainnya. Pada
saat kerusakan kayu terdeteksi, drilling dan coring juga dapat digunakan untuk
menentukan luas dan batas-batas daerah serangan/kerusakan. Dalam inspeksi kerusakan,
drilling sangat cocok untuk tahap awal inspeksi hingga ditemukannya tanda-tanda adanya
kerusakan. Apabila kerusakan sudah dapat dideteksi, coring dapat dilakukan untuk
mengetahui batas-batas infeksi atau untuk digunakan sebagai contoh uji untuk
pengamatan dan analisis lanjutan. Dalam melakukan metode ini sangat diperlukan
penggunaan alat yang tajam, baik untuk drilling maupun untuk coring. Penggunaan alat

112
yang tumpul dapat merusak serat-serat kayu dan menyebabkan salah interpretasi dengan
bentuk kerusakan kayu.

B. Metode Alternatif

Shigometer

Shigometer adalah suatu alat yang menggunakan getaran-getaran gelombang untuk


mengukur perubahan dalam konduktivitas elektrik kayu akibat adanya kerusakan. Untuk
tujuan tersebut, suatu lubang kecil dibuat dengan bor ke dalam kayu kemudian kawat
pendeteksi yang dihubungkan dengan pengukur getaran dimasukkan ke dalam lubang
tersebut. Apabila kawat detektor menemukan bagian kayu yang mengalami deteriorasi,
maka alat pengukur akan menunjukkan penurunan getaran. Bagian yang menunjukkan
adanya penurunan getaran yang besar (50-75%) dapat kemudian dilakukan drilling atau
coring untuk menentukan deteriorasi yang sesungguhnya. Shigometer telah terbukti
mampu mendeteksi kerusakan kayu pada pohon hidup dan penggunaannya untuk kayu
bangunan atau bahan konstruksi lainnya masih dibatasi oleh rendahnya kadar air kayu.
Meskipun demikian, beberapa studi menunjukkan bahwa Shigometer cukup baik untuk
mendeteksi kerusakan apabila digunakan pada kondisi yang tepat dan oleh orang yang
berpengalaman dalam mengoperasikannya dan menginterpretasi hasilnya.

X-rays and tomography scanners

Sinar-X (X-rays) pernah digunakan secara umum untuk mendeteksi adanya rongga-
rongga pada bagian dalam (internal) kayu. Pada saat Sinar-X digunakan ke seluruh
bagian kayu, adanya mata kayu atau kerusakan lainnya akan merubah kerapatan
gelombang radiograph yang direkam. Metode penggunaan sinar-X ini untuk mendeteksi
kerusakan pada kayu saat ini sudah sangat terbatas karena memiliki beberapa masalah
seperti biaya yang mahal, faktor keselamatan akibat radiasi, dan memerlukan tenaga ahli
untuk menginterpretasi hasilnya. Meskipun dibatasi oleh adanya masalah-masalah
tersebut, sinar-X secara khusus sangat bermanfaat untuk mendeteksi serangan-serangan
organisme perusak seperti rayap dan penggerek laut.

113
Metoda perambatan gelombang tekanan (Stress wave propagation method)

Metoda lain yang sukses digunakan untuk mendeteksi kerusakan internal kayu adalah
mengalirkan suatu gelombang tekanan ke dalam struktur kayu dan mengukur penurunan
gelombang tekanan dan waktu yang diperlukan bagi gelombang tekanan tersebut untuk
menembus struktur kayu bersangkutan. Apabila terjadi kerusakan dalam struktur kayu
tersebut, maka penurunan dan waktu yang diperlukan untuk melewati struktur kayu
tersebut akan bertambah. Waktu perambatan pada kayu yang mengalami kerusakan dapat
beberapa kali waktu perambatannya pada kayu utuh tanpa kerusakan.

C. Bahan Tugas

Pada bagian ini, mahasiswa secara sendiri-sendiri diminta untuk melakukan inspeksi
kerusakan kayu pada lingkungan tempat tinggal masing-masing dan mempresentasikan
teknik yang dilakukan dan bagaimana hasilnya. Dalam hal ini, diskusi dalam kelas
dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut:
1. Peserta mata kuliah dibagi atas tiga kelompok
2. Setiap kelompok mengidentifikasi teknik-teknik yang dilakukan setiap anggota dan
mendiskusikan kelebihan dan kekurangan masing-masing teknik inspeksi yang
dilakukan.
3. Ketua kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas untuk
ditanggapi oleh kelompok lainnya.

D. Bahan Bacaan Pengayaan

E. Latihan/ Soal-Soal

1. Jelaskan kapan waktu yang cocok untuk melakukan inspeksi kerusakan pada
bangunan dan bagaimana teknik melakukannya !
2. Jelaskan hubungan antara kegiatan inspeksi dengan umur pakai kayu pada bangunan !

114
BAB V
TUJUAN DAN MANFAAT PERBAIKAN SIFAT KAYU

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk menjelaskan peranan perbaikan
sifat kayu serta tujuan dan manfaatnya.
Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa
dalam menjelaskan nilai ekonomis dan ekologis dari usaha-usaha perbaikan sifat kayu.

Perbaikan sifat kayu yang meliputi kekuatan dan keawetannya pada dasarnya
ditujukan untuk memperpanjang umur pakai kayu, baik sebagai bahan bangunan maupun
sebagai produk industri kayu lanjutan. Hal ini tentu saja bermanfaat untuk efisiensi
pemanfaatan sumberdaya hutan serta memberikan nilai ekonomis dan ekologis. Dengan
demikian, berbagai cara dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Cara-cara yang
dimaksud tentu saja dapat berupa perbaikan sifat kekuatan dan perbaikan sifat keawetan
kayu. Cara-cara tersebut akan dijelaskan dalam bab-bab berikut. Pada bagian ini
dikemukakan bagaimana suatu usaha perbaikan sifat dapat meningkatkan efisiensi
pemanfaatan sumberdaya hutan, meningkatkan nilai ekonomis, dan bermanfaat secara
ekologi.

Efisiensi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan

Efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan dapat diartikan sebagai pemanfaatan hasil hutan
yang berhasil guna, tidak boros, dan memenuhi keperluannya. Dari aspek efisiensi
pemanfaatan sumberdaya hutan ini, manfaat perbaikan sifat kayu dapat dianalisis
berdasarkan perbandingan kebutuhan kayu dan produktivitas lahan. Sebagai contoh
sederhana dapat kita lihat dari kebutuhan kayu untuk perumahan. Meskipun sampai saat
ini besarnya permintaan potensial akan kayu bangunan di Indonesia belum pernah
dilaporkan, data Biro Pusat Statistik tahun 2000 menunjukkan pembangunan perumahan
yang terus meningkat, yaitu sebanyak 1.709.831 unit pada tahun 1989, 2.215.956 unit
pada tahun 1992, dan 2.544.196 unit pada tahun 1994. Keadaan tersebut menunjukkan

119
bahwa dengan kebutuhan kayu rata-rata lebih dari 3 m3 untuk setiap unit, jumlah kayu
gergajian untuk perumahan diperkirakan saat ini dapat mencapai 9 juta m3/tahun. Apabila
sebanyak 85% dari kebutuhan kayu gergajian tersebut merupakan kayu yang memiliki
keawetan alami rendah dan hanya dapat bertahan selama 5 tahun, maka dalam kurun
waktu 15 tahun pertama total kayu gergajian yang diperlukan untuk membangun dan
mengganti kayu yang rusak adalah sekitar 249,75 juta m3, dengan perincian 135 juta m3
untuk membangun baru dan 114,75 juta m3 untuk mengganti yang rusak. Dari
perhitungan tersebut berarti bahwa dengan usaha pengawetan kayu, selama 15 tahun
pertama, kayu yang digunakan untuk perumahan dapat dihemat sekitar 7,7 juta m3 per
tahunnya. Bila diketahui rendemen pengolahan kayu bulat menjadi kayu gergajian adalah
sekitar 50%, maka jumlah tersebut setara dengan menghemat pengambilan kayu bulat
(logs) dari hutan sekitar 15,4 juta m3 per tahun. Dengan asumsi produktivitas hutan yang
ada sebesar 35 m3 per hektar per tahun, maka luas hutan yang bertahan karena tidak
ditebangi atas adanya usaha pengawetan kayu dapat mencapai 440.000 ha. Hal ini dapat
menjadi bukti bagaimana sumberdaya hutan berupa kayu tersebut dapat diefisiensikan
penggunaannya dengan usaha perbaikan sifat berupa pengawetan.

Manfaat Ekonomi

Peranan perbaikan sifat kayu dapat pula dilihat dari aspek ekonomi. Sebagai contoh
dengan usaha pengawetan kayu, nilai ekonomi yang diterima oleh masyarakat pengguna
kayu-kayu awet sangat besar. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, diketahui bahwa
biaya tahunan rata-rata untuk kayu yang tidak diawetkan adalah sebesar Rp. 487.398 per
m3, sedangkan kayu yang diawetkan memang lebih besar, yaitu sebesar Rp. 701.105 per
m3. Namun demikian, biaya pembelian kayu yang tidak diawetkan untuk kurun waktu 15
tahun dapat menjadi lebih besar, yaitu Rp. 121,73 triliun (total kayu gergajian yang
diperlukan untuk membangun dan mengganti kayu yang rusak sebanyak 249,75 juta m3
dikalikan dengan biaya Rp. 487.398 per m3). Dibanding dengan menggunakan kayu yang
diawetkan, biaya tersebut hanya Rp. 94,65 triliun (135 juta m3 x Rp. 701.105) atau dapat
menghemat sebesar Rp. 27,08 triliun dalam 15 tahun atau lebih 1,81 triliun per tahun.

120
Manfaat ekologi

Peranan perbaikan sifat kayu seperti usaha pengawetan tidak hanya sampai di situ. Dalam
hubungannya dengan isu lingkungan global seperti gejala pemanasan global, sumbangan
penghematan lebih dari 15 juta m3 per tahun memiliki arti terbukanya potensi carbon
storage dan ketersediaan oksigen di alam. Hal ini dapat dilihat berdasarkan persamaan
proses fotosintesis yang memberikan gambaran bahwa untuk menghasilkan satu ton
massa kayu diperlukan 1,467 ton CO2 dan melepaskan 1,067 oksigen. Apabila berat jenis
kayu yang digunakan rata-rata 0,6, maka sumbangan penghematan 15,4 juta m3 per tahun
setara dengan 9,24 juta ton massa kayu dengan potensi penyerapan CO2 sebanyak 13,55
juta ton dan pelepasan oksigen sebanyak 9,86 juta ton per tahun. Dengan demikian,
penggunaan kayu yang telah diawetkan sungguh merupakan suatu hal yang harus secara
bersama-sama dilakukan dalam pembangunan rumah untuk mendukung dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan global.

A. Bahan Diskusi

Pada bagian ini, mahasiswa secara berkelompok diminta untuk mendiskusikan dan
menyampaikan pendapat tentang bagaimana efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan,
manfaat ekonomi, dan manfaat ekologis dari perbaikan sifat kayu berpengaruh terhadap
kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Diskusi dalam kelas dilaksanakan
dengan mekanisme sebagai berikut:
1. Peserta mata kuliah dibagi atas tiga kelompok
2. Kelompok I memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal
kelompoknya untuk mengidentifikasi hubungan antara perbaikan sifat kayu –
efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan – kesempatan kerja – kesejahteraan
masyarakat.
3. Kelompok II memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal
kelompoknya untuk mengidentifikasi hubungan antara perbaikan sifat kayu – manfaat
ekonomi – kesempatan kerja – kesejahteraan masyarakat.

121
4. Kelompok III memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal
kelompoknya untuk mengidentifikasi hubungan antara perbaikan sifat kayu – manfaat
ekologis – kesempatan kerja – kesejahteraan masyarakat.
5. Ketua kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas untuk
ditanggapi oleh kelompok lainnya.

C. Bahan Bacaan Pengayaan

Batubara, R. 2006. Teknologi Pengawetan Kayu dan Perumahan dan Gedung dalam
Upaya Pelestarian Hutan. Karya Tulis. Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara.

D. Latihan/ Soal-Soal

1. Jelaskan hubungan antara usaha perbaikan sifat kayu dengan kelestarian hutan !
2. Jelaskan hubungan antara usaha perbaikan sifat kayu dengan perbaikan lingkungan !
3. Jelaskan hubungan antara usaha perbaikan sifat kayu dengan perbaikan ekonomi
masyarakat !

122
BAB VI
PERBAIKAN SIFAT KEKUATAN KAYU

Setiap jenis kayu mempunyai ciri tersendiri baik sifat kimia maupun
fisik/mekaniknya. Sebagai contoh kayu jenis fast growing species mempunyai sifat
mekanik yang lebih rendah jika dibandingkan dengan jenis non fast growing species.
Seperti telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kekuatan kayu di antaranya adalah faktor biologis (mikroorganisme yang menyerang
kayu), kadar air dan berat jenis kayu. Faktor-faktor tersebut pada dasarnya dapat
dimanipulasi sehingga upaya pencegahan gangguan kekuatan kayu dapat dipertahankan,
misalnya upaya pengawetan dengan zat kimia, pengeringan dan rekayasa percepatan
tumbuh. Dengan diketahuinya kekuatan untuk jenis kayu tertentu, maka konsumen akan
memilih jenis kayu yang tepat sesuai penggunaannya. Sifat fisik/mekanik kayu yang
penting adalah berat jenis, kembang susut, kadar air dan kekuatan mekanik.
Kayu merupakan komponen polimer tiga dimensi dengan penyusun utama selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Ketiga komponen ini berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia
kayu. Perubahan dimensi, pengaruh lingkungan dan degradasi dapat menghasilkan
penurunan terhadap kekuatan sifat kayu (Deka dan Saikia, 2000). Beberapa perubahan
kimia dalam polimer dinding sel kayu mengakibatkan perubahan sifat fisik dan mekanik
kayu. Sifat-sifat ini dapat bervariasi mulai dari yang sederhana berupa perubahan warna
kayu sampai pada perubahan besar dalam hal sifat-sifat modulus, kemampuan menahan
beban maksimum, kerapuhan, kekerasan, keteguhan dalam kondisi basah, kekakuan
dalam kondisi basah, keteguhan pukul, keteguhan tekan, permeabilitas gas, kerapatan,
dan daya serap air.
Perubahan kandungan kadar air dinding sel yang dihasilkan dari modifikasi kimia
memiliki pengaruh yang besar terhadap sifat mekanis. Setiap persen perubahan kadar air
akan menimbulkan pengaruh terhadap perubahan sifat mekanis kayu sebagaimana yang
dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini :

123
Tabel 5. Perkiraan Perubahan Sifat-Sifat Mekanik dari Kayu Bebas Cacat Saat
Terpengaruh Perubahan Kadar Air

Sifat-Sifat Perubahan per 1% perubahan


kadar air (1%)
Lentur statis
Tegangan serat pada batas proporsi 5
Modulus patah (MOR) 4
Modulus lentur (MOE) 2
Kerja pada batas proporsi 8
Kerja pada beban maksimum 0.5
Lentur pukul
Ketinggian jatuh yang menyebabkan 0.5
kerusakan
Tekan sejajar serat
Tegangan serat pada batas proporsi 5
Keteguhan hancur maksimum 6
Tekan tegak lurus serat
Tegangan serat pada batas proporsi 5.5
Geser sejajar serat
Keteguhan geser maksimum 3
Kekerasan
Ujung 4
Samping 2.5

Sumber : Rowell, 1996 dalam Hon 1996

Tabel 5 menunjukkan bahwa tegangan serat pada batas proporsi, kerja pada batas
proporsi, dan keteguhan hancur (crushing) maksimum adalah sifat-sifat mekanik yang
sebagian besar dipengaruhi oleh perubahan kadar air saja + 1 % di bawah TJS.
Sedangkan perubahan sifat mekanik dari segar ke kering oven disajikan pada Tabel 6.

124
Tabel 6. Hubungan Antara Beberapa Sifat Mekanik Kayu dan Kadar Air

Kadar Air
Sifat-Sifat
Segar 19% 12% 8% Kering-
Oven
Douglas fir
Modulus patah (MOR) 62 76 100 117 161
Tekan sejajar serat 52 68 100 124 192
Modulus lentur (MOE) 80 88 100 108 125
Aspen
Modulus patah (MOR) 61 75 100 118 165
Tekan sejajar serat 50 67 100 126 199
Modulus lentur (MOE) 73 83 100 111 137

Sumber : Rowell, 1996 dalam Hon 1996


* Semua nilai dinyatakan sebagai persentase sifat pada kadar air 12%

A. Metode-Metode Perbaikan Sifat Kekuatan Kayu

A.1. Pengeringan Kayu

Kadar air berpengaruh terhadap sifat-sifat mekanik jika berada di bawah titik jenuh
serat (TJS). Jika kadar air berkurang maka kekuatan akan meningkat. Peningkatan ini
terjadi karena adanya perubahan dalam dinding sel, yaitu menjadi lebih kompak. Unit-
unit struktural, misalnya mikrofibril mendekat satu sama lain dan kekuatan rantai
molekul selulosa menjadi lebih kuat. Setiap 1% perubahan kadar air menyebabkan
perubahan 6% pada kekuatan tarik aksial, keteguhan pukul (MOR) 5%, kekerasan 2,5 –
4% (umumnya dalam arah aksial), MOE (pada keteguhan pukul statis) 2% dan
sebagainya (Tsoumis, 1991). Hubungan antara kadar air dan kekuatan kayu dapat
dilihat pada Gambar 16 berikut :

125
Hubungan antara kadar air dengan kekuatan kayu

Gambar 16. Hubungan antara kadar air dengan kekuatan kayu 23

 
Berdasarkan Gambar 16 di atas, terlihat bahwa semakin kecil kadar air, maka
kekuatan kayu juga akan meningkat. Dengan demikian, salah satu metode untuk
meningkatkan kekuatan kayu adalah dengan mengurangi kadar air kayu melalui proses
pengeringan.

A.2. Modifikasi Kimia Kayu

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Deka dan Saikia (2000) mengenai stabilitas
dimensi kayu menggunakan resin thermosetting yaitu phenol formaldehyde (PF),
melamine formaldehyde (MF) dan urea formaldehyde (UF) dengan WPG sebesar 33-35,
konsentrasi resin 30% pada suhu 90–100°C dan tekanan udara 75 psi. Perlakuan
tersebut dapat meningkatkan modulus of rupture (MOR) 12–20%, modulus of elasticity
(MOE) 5–12% dan stabilitas dimensi masing-masing 70,59%, 68,23% dan 48,5%.
Modifikasi kimia dengan reaksi esterifikasi yang menggunakan pelarut asetat
anhidrid dikenal sebagai proses asetilasi, karena dalam proses ini menghasilkan asam
asetat sebagai produk sampingnya. Rowell (1996) telah mereview beberapa penelitian
mengenai reaksi kayu dengan asetat anhidrid pada kira-kira 15-20 Weight Percent Gain

126
(Persen Penambahan Berat) yang memberikan peningkatan beberapa sifat kayu antara
lain:
- kerapatan sekitar 5% sampai 20%
- keteguhan geser sejajar serat meningkat dari 12% menjadi 24%
- pada uji kelenturan statis, MOE bervariasi dari -6% sampai +2% [Dreher, Goldstein,
Cramer (1964), Narayanamurti & Handa (1953)],
- modulus patah (MOR) bervariasi dari -8% sampai +17% bergantung pada kayu yang
diuji [Dreher, Goldstein, Cramer (1964), Militz (1991), Larrson (1993)],
- tegangan serat pada batas proporsi meningkat dari +7% sampai 20% [Dreher,
Goldstein, Cramer (1964)]
- usaha pada batas proporsi meningkat dari 25% sampai 42% [Dreher, Goldstein,
Cramer (1964)].
- kekerasan bola meningkat dari 22% sampai 31% [Dreher, Goldstein, Cramer (1964)]
- kekerasan Brinell tangensial meningkat 25% dan radial 20% [Larrson (1993)].
- keteguhan pukul (impact strength) bervariasi dari -13% sampai +16% [Koppers
(1961), Goldstein, Jeroski, Lund, Nielson, Weater (1961)]
- keteguhan tekan tegak lurus serat meningkat 22-31% [ Dreher, Goldstein, Cramer
(1964)],
- keteguhan tekan sejajar serat meningkat 10% [ Militz (1991)]
- keteguhan tekan basah pada batas proporsi meningkat 93 – 144 % [ Koppers (1961),
Goldstein, Jeroski, Lund, Nielson, Weater (1961)]
- keuletan bervariasi dari -7% sampai +17% [Tarkow and Stamm (1950), Goldstein,
Jeroski, Lund, Nielson, Weater (1961)]
- usaha sampai rusak (work to failure) meningkat 5 – 12% dan keteguhan tarik
meningkat 1-4% [Rowell and Banks (1985)]
- elongasi rusak tekan bervariasi dari -17% sampai +42% [Tarkow and Stamm (1950)].
(Semua nilai rata-rata ini membandingkan kayu terasetilasi dengan kayu tidak
terasetilasi).

127
Suatu penelitian modifikasi kimia kayu karet dengan styrene yang dikombinasikan
dengan crosslinker Glycidyl Methacrylate (GMA) yang dilakukan oleh Devi et al. (2003)
menunjukkan bahwa perlakuan ini mampu memperbaiki stabilitas dimensi dalam hal %
pengembangan volume, anti-shrink efficiency dan mengurangi penyerapan air. Selain
itu perlakuan juga dapat memperbaiki sifat mekanis (kekuatan) menyangkut modulus of
rupture (MOR) dan modulus of elasticity (MOE). Kekerasan sampel dengan perlakuan
styrene dan styrene-GMA juga lebih tinggi dibandingkan dengan sampel tanpa perlakuan.
Selain itu, penelitian lain mengenai modifikasi kimia kayu untuk meningkatkan
daya tahan terhadap kerusakan dan panas (thermal), menunjukkan bahwa kayu yang
direaksikan dengan fosforamid yang dihasilkan secara in situ melalui reaksi fosfor
pentoksida dengan amina (butylamine) tahan terhadap degradasi jamur dan panas.
Analisis termal dengan DSC (Differential Scanning Calorimetry) dalam nitrogen dari
kayu yang direaksikan dengan fosforamid memperlihatkan bahwa mekanisme ketahanan
terhadap api berhubungan dengan dehidrasi. Pirolisis kayu termodifikasi melalui reaksi
dehidrasi menyebabkan penurunan produksi volatil dan meningkatkan pembentukan
arang. Nilai oksidasi arang juga menurun. TGA (Thermography Analysis) dalam
nitrogen atau udara menunjukkan bahwa kayu termodifikasi menghasilkan arang lebih
banyak daripada kayu yang diimpregnasi dengan diamonium fosfat.

A.3. Pemadatan/Densifikasi Kayu

Pemadatan kayu adalah salah satu usaha untuk meningkatkan kekuatan dan
keawetan kayu berkerapatan rendah dengan cara mengempa papan kayu menjadi lebih
padat. Pada kondisi lebih padat daripada sebelumnya, maka kekuatan kayu meningkat.
Pemadatan kayu dapat dilakukan dengan dua langkah utama, yaitu perlakuan perendaman,
perebusan dan pengukusan agar kayu tersebut bersifat plastis dan perlakuan pemadatan
pada arah tegak lurus serat. Pemadatan kayu dipengaruhi oleh jenis kayu, plastisitas kayu,
kadar air, suhu kempa, dan penerapan besarnya tekanan kempa. Proses plastisasi dan
pemadatan kayu yang sesuai akan meningkatkan sifat fisik dan sifat mekanik kayu
terpadatkan dan berkualitas tinggi. Kualitas yang dimaksud adalah kemudahan proses

128
pemadatan, stabilitas dimensi, keseragaman dan peningkatan kekuatan papan kayu,
kehalusan corak permukaan papan dan fiksasi permanen (Djoko, Hilmato dan Tusi, 2007).
Menurut Amin dan Dwianto (2006), teknik densifikasi kayu adalah teknik
pengempaan kayu utuh (solid) yang bertujuan untuk meningkatkan kekerasan permukaan
dan kekuatan kayu. Teknik ini dapat diterapkan pada jenis-jenis kayu cepat tumbuh yang
pada umumnya berkualitas rendah melalui peningkatan kerapatannya. Kayu kompresi
secara komersial telah dibuat di Jerman dengan nama Lignostone (Stamm 1964). Tetapi
hasil pengempaannya belum bersifat permanen, karena masih kembali ke ketebalan
semula bila mendapat pengaruh kelembaban atau perendaman (recovery). Hasil
pengempaan yang permanen mutlak diperlukan untuk memanfaatkan kayu-kayu
kompresi tersebut sebagai pengganti kayu-kayu komersial.
Densifikasi kayu yang bersifat permanen dapat dilakukan dengan mengunakan
metode :
1. perekatan atau modifikasi kimia,
2. perlakuan suhu tinggi pada kondisi kayu kering dan
3. perlakuan uap air suhu tinggi pada kondisi kayu basah (steam).

Prinsip densifikasi kayu metode (1) adalah dengan memasukkan perekat (Stamm
dan Seborg 1941) atau bahan kimia (Fujimoto 1992) ke dalam kayu dan proses curing
atau polimerisasinya terjadi pada saat pengempaan dalam kondisi kayu terdeformasi.
Pada metode ini dapat digunakan perekat fenol, melamin, urea, tanin atau perekat yang
berasal dari lateks. Sedangkan modifikasi kimia dapat menggunakan metode formalisasi,
esterifikasi atau asetilasi.
Densifikasi kayu metode (2) dapat diterapkan dengan menggunakan alat kempa
panas atau oven pengering, tetapi membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai fiksasi
kayu yang permanen, yaitu sekitar 20 jam pada suhu 180ºC (Dwianto et al. 1997),
disamping itu cukup banyak menurunkan sifat mekanik kayu tersebut. Beberapa pendapat
mengenai sifat permanen kayu dengan metode ini antara lain adalah akibat
terdegradasinya lignin sehingga menyebabkan menurunnya internal stress (Seborg et al.
1945) dan menurunnya sifat higroskopis kayu (Inoue dan Norimoto 1991).

129
Metode (3) adalah memanaskan kayu dengan menggunakan uap air suhu tinggi
(steam treatment). Metode ini dilakukan dengan memasukkan uap air panas dari boiler ke
dalam autoclave yang dilengkapi dengan alat kempa tahan panas (Inoue et al. 1993).
Kelebihan dari metode ini adalah fiksasi yang bersifat permanen dari kayu yang dikempa
dapat dicapai lebih cepat jika dibandingkan dengan metode (2), dan tidak banyak
mempengaruhi atau menurunkan sifat mekanik kayu. Fiksasi yang permanen pada suhu
180ºC dapat dicapai hanya dalam waktu sekitar 10 menit. Pendapat-pendapat mengenai
sifat permanen dengan metode ini antara lain adalah akibat perubahan struktural selulosa
(Ito et al. 1998) dan terjadinya hidrolisa hemiselulosa yang mengakibatkan menurunnya
internal stress pada kayu (Hsu et al. 1988). Tetapi metode (3) tersebut sulit untuk
diterapkan pada skala pemakaian karena membutuhkan perangkat yang sangat mahal,
yaitu boiler, autoclave dan alat kempa tahan panas yang dimasukkan ke dalam autoclave;
serta tidak dapat dilakukan terhadap kayu dengan ukuran besar. Metode ini dapat
dimodifikasi dengan prinsip Close System Compression.
Rommel (2001) melakukan penelitian mengenai pengaruh tekanan steam pada
peningkatan karakteristik dan kualitas kayu glugu. Dengan perlakuan steam diharapkan
terjadi pemampatan pori-pori pada serat kayu sehingga akan meningkatkan berat jenis
dan mengurangi kadar lengas kayu yang merupakan parameter-parameter yang
berpengaruh terhadap kekuatan kayu. Penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan steam
menyebabkan penambahan berat jenis hingga 0,75 gr/cm3 atau naik hingga 64% dan
pengurangan kadar lengas sampai 2,086% dari contoh uji tanpa perlakuan. Pemberian
tekanan steam pada kayu glugu meningkatan karakteristik kekuatan tarik // serat (560,86
kg/cm2) ; kekuatan tarik serat (88,69 kg/cm2) ; kekuatan tekan serat (629,36%) ;
kekuatan geser (171,55 kg/cm2), sedangkan kekuatan lenturnya tidak meningkat. Sifat
daktilitas kayu dengan pemberian steam hanya meningkat pada arah tegangan-regangan
tarik // serat saja. Kayu glugu yang diberi perlakuan steam ternyata dapat meningkatkan
kekuatan kayu dari kelas kuat III (dimana kuat tekan absolut sebesar 300 s/d 425 kg/cm2)
menjadi kelas kuat II (dimana kuat tekan absolut sebesar 425 s/d 650 kg/cm2).

130
A.4. Kayu Laminasi

Glulam adalah susunan beberapa lapis kayu direkatkan satu sama lain secara
sempurna menjadi satu kesatuan tanpa terjadi diskontinuitas perpindahan tempat (Gurdal
et al. 1999 dalam Sulistyawati, Nugroho, Surjokusumo, dan Hadi (2008). Arah serat
seluruh lapisan paralel terhadap panjang balok. Dua prinsip desain laminasi adalah
memaksimalkan dimensi dan meminimalkan material, apabila kedua prinsip tersebut
dapat dilakukan secara simultan maka tujuan penggunaan laminasi dapat dicapai secara
maksimal, sehingga laminasi merupakan desain ekonomis dengan tetap memenuhi
prinsip struktural (Bodig dan Jayne, 1993). Juga dinyatakan bahwa kayu sebagai material
alamiah berupa balok atau log mungkin belum merupakan produk yang efisien sebagai
komponen struktural; sebuah balok kayu utuh dengan adanya cacat kayu, kapasitas
memikul beban menjadi lebih kecil; dengan memotong menjadi beberapa lapis lebih tipis
yang biasa disebut lamina dan kemudian melekatkan kembali dengan menghilangkan
cacat kayu atau mengatur posisi cacat kayu secara tepat maka sifat mekanisnya akan
meningkat.
Lapisan kayu dapat diatur dengan mutu disesuaikan dengan fungsi ditinjau dari segi
kemampuan struktural di dalam menerima beban. Dengan susunan lapisan yang
mempunyai mutu berbeda pada lapis tertentu akan meningkatkan sifat mekanis kayu
antara lain kekuatan dan kekakuannya. Dengan menyusun lapisan kayu dan memberikan
lapisan yang mempunyai mutu lebih tinggi pada daerah dengan tegangan besar dan mutu
yang lebih rendah pada daerah lainnya, penampang laminasi akan bekerja efektif di
dalam menerima beban lentur sehingga akan mempengaruhi kekuatan lentur maupun
kekakuan dari satu kesatuan laminasi tersebut. Ritter dan Williamson (1995) dalam
Sulistyawati, Nugroho, Surjokusumo, dan Hadi (2008), menyatakan bahwa glulam dapat
dibuat secara horisontal yang disebut glulam horisontal dengan penempatan laminasi
dengan kualitas tinggi pada posisi teratas dan terbawah balok; di dalam perkembangan
desain juga dikembangkan glulam vertikal untuk sistem dek jembatan.
Ditinjau dari segi ekonomis kelebihan laminasi adalah mempunyai kemampuan
meningkatkan dimensi, yaitu dari persediaan material yang lebih kecil atau tipis dapat

131
disusun menjadi satu kesatuan laminasi dengan dimensi yang lebih besar; mempunyai
kemampuan membuat bentuk struktural seperti lengkung, yang mana hal ini sulit apabila
menggunakan material lainnya; mempunyai nilai keindahan ditinjau dari segi arsitektural.
Hal-hal tersebut di atas menjadikan laminasi mempunyai nilai tambah atau nilai jual yang
lebih tinggi.

A.5. Pelapisan Permukaan Kayu dengan Teknologi Radiasi

Teknologi polimerisasi radiasi adalah salah satu teknologi nuklir yang dapat
diaplikasikan pada industri polimer yaitu untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan
setengah jadi atau bahan jadi, dengan bantuan sinar radiasi sebagai sumber energi.
Radiasi berfungsi sebagai alat untuk mempermudah, mempercepat, atau memperbaiki
reaksi kimia yang diperlukan di dalam proses polimerisasi.
Pada umumnya tujuan pelapisan permukaan papan kayu ada dua macam yaitu
menambah keindahan dan meningkatkan kualitas permukaan misalnya lebih tahan bahan
kimia, tahan panas dan sebagainya. Sumber radiasi yang digunakan pada teknik pelapisan
permukaan ini ialah sinar berkas elektron. Proses pelapisan permukaan papan kayu
memerlukan dua tahap pekerjaan, yaitu pelapisan dasar (base coating) dan pelapisan atas
(top coating). Kayu lapis, parket, papan partikel diampelas, lalu dilapisi dengan oligomer
dan diiradiasi dengan sinar berkas elektron sebagai pelapis dasar, kemudian diampelas
lagi, selanjutnya dilapisi dengan pelapis atas dan diiradiasi lagi.
Keuntungan penggunaan teknologi radiasi pada pelapisan permukaan ini, bila
dibandingkan dengan cara konversional ialah :
1. Kecepatan produksi relatif tinggi, sehingga ruang operasi yang digunakan relatif
lebih sempit.
2. Bebas dari bahan pelarut yang menguap, sehingga mengurangi masalah polusi udara.
3. Prosesnya dapat dilakukan pada suhu kamar, sehingga dapat diterapkan pada substrat
yang sensitif terhadap panas, misalnya kertas dan sebagainya.
4. Daya rekat yang memuaskan, karena adhesinya merupakan ikatan kimia.

132
Dengan teknologi polimerisasi radiasi keawetan kayu dapat ditingkatkan. Kayu
divakumkan dalam wadah tertutup kemudian dalam keadaan vakum kayu tersebut diberi
monomer, lalu dibungkus supaya kedap udara, dan kayu yang mengandung monomer ini
diiradiasi. Kayu yang sudah diproses dengan metode polimerisasi radiasi ini disebut kayu
plastik. Kayu plastik ini di samping sifat fisik dan mekaniknya meningkat misalnya lebih
keras dan mudah dipelitur, juga keawetannya lebih baik dibandingkan dengan kayu
aslinya karena lebih tahan terhadap serangga pemakan kayu. Kayu plastik ini tahan
terhadap cuaca, sehingga kayu plastik tersebut dapat digunakan untuk bahan bangunan di
luar rumah dan untuk dekorasi interior, karena tidak mengganggu kesehatan (Batan,
2006).

B. Bahan Tugas

Buat sebuah paper mengenai perbandingan antara 2 metode perbaikan sifat kayu yang
berbeda, terutama mengenai kelebihan dan kekurangannya masing-masing !

C. Latihan/ Soal-Soal

1. Apa yang Anda pahami mengenai konsep “kekuatan kayu” baik dari segi anatomi
maupun fisik ?
2. Misalkan di suatu daerah kayu-kayu yang tersedia hanya kayu-kayu dengan
keawetan alami yang rendah. Sementara pembangunan perumahan di daerah
tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan. Solusi apa yang dapat Anda
tawarkan untuk kasus tersebut ?
3. Di antara upaya perbaikan sifat kekuatan kayu di atas, menurut Anda mana yang
paling praktis dilakukan di lapangan ?

133
BAB VII

PERBAIKAN SIFAT KEAWETAN KAYU

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk menjelaskan teknik-teknik
perbaikan sifat keawetan kayu

Tujuan Khusus : Bab in secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa


dalam menguraikan hubungan sifat keawetan kayu dan teknik perbaikannya

Meskipun kayu gubal jarang yang tahan terhadap serangan organisme, kayu teras
dari kebanyakan spesies memperlihatkan derajat ketahanan terhadap serangan jamur
dan serangga. Keawetan alami tersebut dapat dihubungkan dengan suatu kombinasi
bahan ekstraktif beracun yang terdapat dalam kayu dan sifat permeabilitas inherent yang
rendah. Sebagai akibat dari keawetan alami tersebut beberapa kayu dapat digunkan di
luar ruangan (outdoors) dan dalam beberapa kasus dapat kontak dengan tanah atau
terendam dalam air. Kayu dari species yang awet secara alami seringkali lebih disukai
dari segi lingkungan daripada kayu yang diberi perlakuan kimia, dan kebanyakan dari
jenis kayu tersebut memiliki penampakan yang atraktif, atau dengan kata lain memiliki
nilai dekoratif tinggi. Di samping itu, beberapa jenis seperti black locust, greenheart
dan ipe juga memiliki sifat kekuatan yang sangat baik (Green et al., 1999). Meskipun
demikian, berbagai faktor membatasi penggunaan kayu dengan keawetan alami tinggi.
Di negara maju, volume growing stock spesies yang awet secara alami relatif rendah
dibandingkan dengan permintaan produk kayu awet, sehingga kebutuhan tersebut harus
dipenuhi dari negara yang sedang berkembang. Sebagai akibatnya, penebangan dan
ekspor species tropis dari negara sedang berkembang ke negara industri meningkatkan
keprihatinan terhadap eksploitasi, deforestasi dan kerusakan habitat.

Mengingat ketersediaan kayu dengan keawetan alami yang tinggi relatif sedikit
dibandingkan dengan kayu yang kurang awet, maka berbagai upaya-upaya agar
optimalisasi pemanfaatan kayu yang kurang awet tersebut perlu dilakukan. Hal ini tentu
saja sebagai salah satu cara untuk mengurangi tingginya tekanan terhadap hutan alam
akibat penebangan terhadap species tertentu saja, seperti jenis meranti dan merbau saja.

134
Data menunjukkan bahwa di Indonesia, dari 4000 jenis kayu yang dikenal, sekitar
85,7% termasuk ke dalam kelas keawetan rendah sehingga untuk dapat dipergunakan
dengan memuaskan harus diawetkan (Martawijaya, 1996). Oleh karena itu, bila kayu
tidak awet tersebut tidak diupayakan pemanfaatannya akan berdampak pada
pemborosan dan ineffisiensi sumberdaya alam.

A. Teknik-Teknik Perbaikan Sifat Keawetan Kayu

Ketahanan kayu terhadap serangan organisme disebabkan oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor eksternal mencakup faktor lingkungan seperti suhu, pH, tekanan
oksigen dan karbon dioksida parsial, dan kadar air (highley dan Kirk, 1979 dalam
Febrianto, dkk., 2000). Sedangkan faktor internal antara lain kandungan zat ekstraktif,
bagian dalam batang (teras dan gubal), dan umur pohon (Martawijaya, dkk., 2001).
Pada dasarnya, kayu yang dapat menahan serangan organisme tersebut dalam periode
waktu tertentu, misalkan 5-10 tahun di daerah tropis (Eaton and Hale, 1993), dapat
dikatakan sebagai kayu yang awet. Demikian pula sebaliknya, kayu yang terserang
dalam jangka waktu singkat dapat dikatakan sebagai kayu yang sangat rentan. Untuk
memperbaiki ketahanan kayu terhadap organisme perusak kayu, berbagai teknik-teknik
perbaikan sifat keawetan kayu dapat dilakukan antara lain:

A.1. Pengeringan Kayu

Air menyediakan beragam fungsi dalam kehidupan organisme dan proses


pelapukan. Air merupakan reaktan, agen pengembang, dan medium difusi baik oleh
enzim pendegradasi dan degradasi kayu. Air dalam kayu terdapat dalam bentuk air
bebas dan air terikat. Air bebas terdapat dalam rongga sel dan dalam rongga-rongga
lebih besar pada dinding sel kayu. Air terikat berinteraksi secara kimia dengan dinding
sel dan lebih sulit untuk dikeluarkan. Titik di mana air bebas tidak ada dan air mengisi
semua dinding sel diistilahkan dengan titik jenuh serat atau fiber saturation point (FSP).
Kebanyakan jenis kayu memiliki TJS antara 27 – 30% (Morrel, 2002); di bawah titik
ini air yang ada diasumsikan terikat dengan kayu dan merupakan air yang sebagian
besar tidak dapat diakses oleh organisme perusak. Kebanyakan organisme perusak yang
mendegradasi kayu membutuhkan kadar air (MC, moisture content) di atas TJS,

135
meskipun beberapa kumbang dapat menyerang kayu di bawah TJS, dan beberapa jamur
pelapuk dapat memperoleh air dari tanah untuk meningkatkan kadar air yang
memungkinkan untuk pertumbuhannya. Kadar air udara kayu pada kebanyakan
bangunan berkisar antara 6 – 12%.

Kebanyakan jamur membutuhkan kayu pada level kadar air di atas TJS, tetapi
sekali jamur mengkolonisasi substrat, jamur dapat melanjutkan pertumbuhan pada kadar
air 20% (Scheffer, 1973). Pastinya, jamur tidak akan tumbuh baik pada kadar air lebih
rendah (kadar air optimum antara 40-60%), namun keberadaannya dalam kayu harus
dipertimbangkan dalam strategi remediasi. Beberapa serangga juga memiliki
kemampuan serupa, pada awalnya memasuki pohon yang baru saja ditebang tetapi
selanjutnya melengkapi siklus hidupnya pada kondisi kayu kering atau produk akhir.

Pada dasarnya, kayu utuh dan kebanyakan produk hutan lainnya dikeringkan
sebelum digunakan untuk berbagai alasan, terutama untuk mengontrol kadar air produk.
Sebagaimana diketahui bahwa kadar air kayu yang baru ditebang bervariasi dari lebih
200% sampai 40%. Mulai kayu pertama kali dikuliti sampai kering, maka kayu akan
perlahan-lahan mengeluarkan air sampai mencapai kadar air yang sama dengan
lingkungannya, biasanya sebesar 20% pada lingkungan basah dan sekitar 6% pada iklim
panas yang kering. Pengeringan kayu dapat dilakukan dengan menggunakan kiln
maupun dengan pengeringan alami. Jadi, meskipun tujuan utama pengeringan kayu
adalah menurunkan kadar air, namun secara tidak langsung dapat menghambat
timbulnya serangan organisme karena ketersediaan unsur pendukung kehidupannya
tidak terpenuhi dari kayu.

A.2. Pengawetan Kayu

Pada prinsipnya, sistem pengawetan kayu dikembangkan untuk menyediakan


perlindungan yang efektif bagi kayu terhadap serangan mikroorganisme, serangga dan
api. Untuk maksud tersebut, impregnasi berbagai jenis bahan yang memiliki sifat
proteksi yang dimasukkan ke dalam kayu, baik dari bahan alam maupun bahan sintesis.
Pemberian bahan pengawet ini dapat diaplikasikan pada kayu utuh maupun produk kayu
komposit. Pada produk komposit, pemberian bahan pengawet dapat diaplikasikan
sebelum atau sesudah pengempaan (pressing) pada bahan kayu maupun perekatnya.

136
a) Pengawetan dengan bahan alam (biosida)

Adanya issu kesehatan manusia dan lingkungan telah menjadikan pengawetan


kayu konvensional yang selama ini digunakan untuk melindungi kayu dari
kerusakan oleh serangga dan mikrobial saat ini mendapat perhatian yang serius.
Pencarian bahan pengawet alternatif dan ekonomis yang lebih ramah lingkungan
telah banyak dilakukan oleh peneliti, meskipun efektivitas menahan serangan
organisme belum sebaik jika menggunakan bahan pengawet yang berasal dari
bahan kimia.

Salah satu bahan alam yang cukup banyak menarik perhatian adalah tanaman
perdu guayule (Parthenieum argentatum Gray) sebagai bahan pengawet
(Nakayama, 2005). Bahan resin yang diekstrak sebagai by-produk dari proses
ekstraksi getah ditemukan memiliki sifat anti-rayap dan anti-jamur. Hasil uji
laboratorium untuk menentukan ketahanan produk kayu dan papan komposit yang
diimpregnasi dengan bahan resin yang diekstraksi dengan pelarut organik terhadap
rayap tanah Reticulitermes spp. dan jamur brown rot Gleophyllum trabeum dan
Poria placenta (Fr.) Cook menunjukkan bahwa tanaman ini berpotensi untuk
menjadi alternatif bahan pengawet alami dan terbaharukan (Nakayama et al., 2001).
Hal ini ditunjukkan oleh mortalitas rayap yang tinggi pada kayu maupun papan
komposite yang diimpregnasi dengan resin content >50%, demikian pula dengan
kayu pinus yang diimpregnasi dengan ekstrak resin memperlihatkan pengurangan
bobot yang rendah pada kadar resin yang berbeda, yaitu 10,3% atau lebih untuk G.
trabeum dan 51,8% atau lebih untuk P. placenta.

Sejumlah penelitian sejenis dengan bahan alam yang berbeda juga diteliti untuk
mendapatkan bahan pengawet yang ramah lingkungan, antara lain: pengembangan
bahan pengawet kayu benign yang ramah lingkungan yang berbasis kombinasi
biosida organik dengan antioksidan dan peng-chelat logam (Schultz and Nicholas,
2002); perbaikan ketahanan kayu dengan perlakuan metil alkenoat sussinat
anhidrida (M-ASA) yang berasal dari tumbuhan (Morard et al., 2007); serta
ketahanan papan partikel yang dibuat dari partikel yang diimpregasi dengan
ekstaktif kulit Pinus brutia terhadap jamur (Nemli et al., 2006).

137
b) Pengawetan dengan bahan kimia sintesis

Sejauh ini penggunaan bahan kimia sintesis untuk melindungi kayu dan produk
turunan kayu dari serangan orgaisme perusak kayu masih mendominasi industri
perkayuan, meskipun dalam beberapa dekade terakhir ini mulai banyak menuai
perhatian karena dampaknya yang membahayakan bagi lingkungan dan kesehatan
manusia, terutama bahan pengawet berbasis arsenit/kromium. Namun ditinjau dari
efektivitasnya dalam melindungi bahan berlignoselulosa, bahan pengawet kimia ini
belum banyak tergantikan oleh bahan pengawet alami yang juga beberapa tahun ini
juga mulai ramai dilirik oleh peneliti.

Pada dasarnya, bahan kimia yang dapat dijadikan bahan pengawet harus
memiliki persyaratan-persyaratan tertentu. Bahan pengawet kayu yang baik untuk
penggunaan komersial umumnya harus beracun terhadap perusak-perusak kayu,
permanen, mudah meresap, aman untuk digunakan, tidak merusak kayu dan logam,
banyak tersedia, dan murah. Untuk pengawetan kayu-kayu bangunan atau barang-
barang kerajinan, atau untuk tujuan-tujuan khusus lainnya diperlukan juga bersih,
tidak berwarna, tidak berbau, dapat dicat, tidak mengembangkan kayu, tahan api,
kalis lembab, atau mempunyai kombinasi-kombinasi tertentu dari sifat-sifat ini.
Keefektifan suatu bahan pengawet sebagian tergantung daya racunnya atau
kemampuan menjadikan kayu itu beracun terhadap organisme-organisme yang
makan kayu atau masuk ke dalamnya untuk memperoleh perlindungan. Beberapa
bahan nampaknya dapat kalis terhadap serangga tanpa bersifat meracun, tetapi
untuk perlindungan terhadap cendawan dan cacing laut sifat racun merupakan hal
yang sangat penting.

Secara umum, bahan pengawet kimia yang selama ini banyak digunakan untuk
memperpanjang masa pakai kayu dengan cara melindungi kayu dari serangan
organisme perusak, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: pengawet larut air
dan pengawet larut minyak. Secara detail penjelasan dari kedua jenis pengawet ini
dan keefektifannya melindungi kayu dari organisme perusak dapat dilihat pada
bahan pengayaan Hunt and Garrat (1986).

138
Berbagai penelitian dengan menggunakan bahan pengawet kimia sintesis yang
lebih ramah lingkungan juga terus dilakukan, antara lain penggunaan bahan
pengawet organik/produk konsolidant ‘linfosolid’ (Lionetto and Frigione, 2009)
kombinasi asam borat dan tall oil (Temiz et al., 2008), serta penggunaan bahan
pengawet bebas arsenit/kromium (Lin, et al., 2009).

c) Pengawetan dengan impregnasi SCF (supercritical fluid)

Impregnasi SCF merupakan peluang yang cukup menjanjikan di masa depan


untuk menghasilkan produk kayu maupun produk komposit yang tahan terhadap
organisme perusak. SCF memiliki sifat yang mirip gas dan cairan. Karbondiokasida
(CO2) adalah SCF yang umumnya banyak digunakan karena murah dan tidak
mudah terbakar (Gambar 1). Penelitian pendahuluan (Morrell et al., 1997)
menyarankan bahwa SCF merupakan media yang ideal untuk membawa biosida ke
dalam kayu.

Gambar 17. Diagram fase perubahan karbondiokasida

Penelitian terhadap daya tahan lima jenis panel kayu komersial yang
diperuntukkan untuk tujuan konstruksi (softwood plywood, hardwood plywood,
particleboard, medium density fiberboard, dan oriented strandboard) menunjukkan
bahwa daya tahan panel kayu terhadap jamur maupun rayap setelah diawetkan
dengan IPBC dan/atau Silafluofen mengunakan CO2 pada suhu dan tekanan yang
cukup rendah (35oC dan 80 kg/cm2) meningkat secara nyata (Muin dan Tsunoda,
2003; 2004). Suatu hal yang menarik dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa

139
dengan penggunaan tekanan yang jauh lebih rendah dari yang digunakan oleh Acda
dkk (1996) dapat dihasilkan keawetan yang tinggi. Keadaan ini memberikan
indikasi bahwa kondisi perlakuan pengawetan yang diterapkan termasuk siklus
prosesnya dapat dimodifikasi untuk menghasilkan tingkat keawetan yang berbeda
dari jenis bahan kayu yang sama.

1. Modifikasi Kimia

Modifikasi kimia sebagai strategi inovatif untuk melindungi kayu yang ramah
lingkungan dilengkapi dengan reaksi antara bahan kimia tertentu dengan makromolekul
kayu tanpa meninggalkan residu beracun dalam kayu (Morard et al., 2002). Modifikasi
kimia kayu adalah reaksi kimia antara bagian reaktif komponen kayu dan pereaksi kimia
sederhana membenuk ikatan kovalen di anatar keduanya (Rowell, 1991). Modifikasi
kimia dapat dilakukan dengan berbagai perlakuan kimia seperti esterifikasi dan
eterifikasi. Oleh karena itu, ikatan kovalen yang terbentuk adalah ester dan eter
(Matsuda, 1996). Pada kayu, polimer lignin (non-krostalin, aksesibel semua),
hemiselulosa (non-kristalin, hampir aksesibel semua), selulosa non-kristalin, dan
permukaan kristalin selulosa adalah komponen dinding sel yang bertanggung jawab
terhadap penyerapan air (Rowell and Rowell, 1988). Bagian inilah yang merupakan
tempat reaktif untuk modifikasi kimia.

Modifikasi kimia untuk meningkatkan ketahanan biologis didasarkan pada teori


bahwa enzim harus berhubungan langsung dengan substrat dan harus mempunyai
konfigurasi khusus. Meningkatnya ketahanan didasarkan pada ketidakmampuan enzim
menguraikan turunan selulosa dan ketidakmampuan dinding sel mengabsorpsi air yang
dibutuhkan oleh jamur pelapuk (Stamm and Baechler, 1960). Karena air merupakan
kebutuhan hidup organisme, maka salah satu cara mengubah substrat secara kimia
adalah mengubah sifat hidrofilik kayu (Rowell, 1984). WPG (Weight Percent Gain)
merupakan ukuran peningkatan bobot kayu selama proses reaksi yang umumnya
digunakan dalam modifikasi kimia.

Berbagai penelitian secara ektensif dilakukan untuk menentukan ketahanan biologis


dari kayu yang telah diberi perlakuan asetat anhidrida dan anhidrida lainnya (asetilasi).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu terasetilasi memperlihatkan ketahanan yang

140
baik terhadap jamur pelapuk brown rot, white rot dan soft rot (Takahashi, 1996),
meskipun ketahanan terhadap kolonisasi jamur tingkat rendah termasuk mold dan stain
terbukti tidak memuaskan (Beckers et al., 1994). Selain jamur, kayu terasetilasi juga
memperlihatkan ketahanan terhadap serangan rayap tanah (Imamura dan Nishimoto,
1986) dan marine borer (Johson and Rowell, 1988).

Perbaikan ketahanan kayu terhadap biodeteriorasi juga telah dilakukan dengan


proses modifikasi kimia lainnya, termasuk epoksidasi (Rowell et al., 1979), furfurilasi
(Arif et al., 1998), reaksi dengan isosianat (Ellis and Rowell, 1984), ikatan silang
dengan aldehida (Yusuf et al., 1994) dan oligoesterifikasi (Matsuda, 1993).

B. Bahan Diskusi

Mahasiswa diharapkan menyiapkan makalah (10-15 halaman) untuk masing-


masing teknik perbaikan sifat keawetan kayu. Makalah diharapkan mengacu pada bahan
bacaan pengayaan dan penelusuran dari internet dan jurnal. Kebaharuan pustaka
menjadi salah satu penilaian utama.

C. Bahan Bacaan Pengayaan

Untuk pengayaan materi yang telah diuraikan di atas, mahasiswa dapat


mempelajari secara mandiri bahan bacaan berikut:

1) Textbook

(1) Archer, K. and S. Lebow. 2006. Wood Preservation. In: Walker, J.C.F. (Eds.),
Primary Wood Processing: Principles and Practice. Springer. Netherland. p:
297-338.

(2) Hunt, G.M. and G.A. Garratt. 1986. Pengawetan Kayu. Alih Bahasa:
Mohammad Jusuf. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta.

(3) Zabel, R.A. and J.J. Morrell. 1992. Wood Microbiology: Decay and its
Prevention. Edisi Pertama. Academic Press, Inc. San Diego. California.

(4) Eaton, R.A. and M.D.C. Hale. 1993. Wood: Decay, Pests and Protection.
Edisi Pertama. Chapman & Hall. London.

141
(5) Kirk, T.K. and E.B. Cowling. 1984. Biological Decomposition of Solid
Wood. In: R.Rowell (Eds.), The Chemistry of Solid Wood. Advances in
Chemistry Series 207. American Chemical Society. Washington. p:455-488.

(6) Schniewind, A.P. 1978. Concise Encyclopedia of Wood and Wood-based


Materials. Pergamon Press and the MIT Press. Oxford-Cambridge,
Massachusetts. USA.

(7) Takahashi, M. 1996. Biological Properties of Chemically Modified Wood. In:


Hon, S. (ed), Chemical Modification of Lignocellulosic Materials. Marcell
Dekker Inc. New York. p:331-359.

2) Journal

(1) Nakayama, F.S. 2005. Guayule Future Development. Industrial Crops and
Products 22: 3-13.

(2) Nakayama, F.S.. S.H. Vinyard, P. Chow, D.S. Bajwa, J.A. Youngquist, J.H.
Muehl, and A.M. Krzysik. 2001. Guayule as a Wood Preservative. Industrial
Crops and Products 14: 105-111.

(3) Schultz, T.P. and D.D. Nicholas. 2002. Development of Environmentally-


Benign Wood Preservatives Based on the Combination of Organic Biocides
with Antioxidants and Metal Chelators. Phytochemistry 61: 555-560.

(4) Morard, M., C. Vaca-Garcia, M. Stevens, J. Van Acker, O. Pignolet, and E.


Borredon. 2007. Durability Improvement of Wood by Treatment with Methyl
Alkenoate Succinic Anhydrides (M-ASA) of Vegetable Origin. International
Biodeterioration and Biodegradation 59: 103-110.

(5) Muin, M. dan K. Tsunoda. 2003. Termiticidal Performance of Wood-based


Composites Treated with Silafluofen Using Supercritical Carbon Dioxide.
Holzforschung 57, 585-592.

(6) Muin, M. dan K. Tsunoda. 2004. Biological Resistance of Wood-based


Composites Treated with an IPBC-silafluofen Formulation Using Supercritical
Carbon Dioxide. Journal of Wood Science (in press).

142
(7) Morrell, J.J. 2002. Wood-based Building Components: What Have We
Learned?. International Biodeterioration and Biodegradation 49: 253-258.

(8) Nemli, G., E.D. Gezer, S.Yildiz, A. Temiz, and A. Aydin. 2006. Evaluation of
the Mechanical, Physical Propeties and Decay Resistance of Particleboard
Made from Particles Impregnated with Pinus brutia Bark Extractives.
Bioresource Technology 97: 2059-2064.

(9) Lionetto, F. And M. Frigione. 2009. Mechanical and Natural Durability


Properties of Wood Treated with a Novel Organic Preservative/Consolidant
Product. Material and Design 30: 3303-3307.

(10) Arif, A., Y.S. Hadi., S. Yusuf, and H. Adijuwana. 1998. Ketahanan Kayu
Asetilisasi dan Kayu Furfurilasi terhadap Serangan Coptotermes gestroi
Wasmann. The Fourth Pasific Rim Bio-Based Composite Symposium (Poster),
Bogor. Indonesia

D. Latihan/ Soal-Soal

Agar kompetensi yang diharapkan dapat dicapai di akhir masa pembelajaran,


mahasiswa diharapkan mengerjakan latihan/soal-soal yang tercantum dalam bahan ajar
ini, sebagai berikut:

(1) Apa yang anda pahami tentang sifat keawetan kayu? serta kepentingannya untuk
dipelajari.

(2) Uraikan hubungan antara setiap teknik yang telah diuraikan dengan sifat keawetan
kayu.

(3) Uraikan pendapat anda, teknik mana yang paling mudah, ekonomis, efektif dan
aman digunakan dalam memperpanjang masa pakai kayu.

143
DAFTAR PUSTAKA

Arif A. 2002. Handout Pengawetan Kayu. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian dan
Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Amin Y. dan Wahyu D. 2006. Pengaruh Suhu dan Tekanan Uap Air terhadap
Fiksasi Kayu Kompresi dengan menggunakan Close System Compression. J.
Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 4(2). jurnalmapeki.biomaterial-
lipi.org/jurnal/04022006/04022006-19-24.pdf. [7 Juni 2009]

BATAN. 2006. Teknologi Polimerisasi Radiasi untuk Peningkatan Mutu Kayu.


Pusat Diseminasi Iptek Nuklir.
www.warintek.ristek.go.id/nuklir/polimerisasi_kayu.pdf. [7 Juni 2009]

Bodig J. And B.A. Jayne. 1993. Mechanics of Wood and Wood Composites. Krieger
Publishing Company. Florida.

Chang HT, Chang ST. 2002. Moisture Excluding Efficiency and Dimensional
Stability of Wood Improved by Acylation. Bioresource Tech. (85) 201 – 204.

Deka, M & CN Saikia. 2000. Chemical modification of wood with thermosetting


resins: effect on dimensional stability and strength property.
Regional Research Laboratory, Council of Scientific and Industrial Research,
Jorhat-India. [4 November 2007].

Devi RR., T.K. Maji, A.N. Banerjee. 2003. Studies on Dimensional Stability and
Thermal Properties of Rubber Wood Chemically Modified with Styrene and
Glycidyl Methacrylate. Bioresour. Technol. 88(185).

Djoko G., R. Hilmato, A. Tusi. 2007. Rekayasa Pemadatan dan Pengawetan Kayu
Non Komersial Menggunakan Limbah Oli Bekas untuk Bangunan
Pertanian. Laporan Penelitian Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu
Pengetahuan Terapan. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat, Dirjen Dikti, Depdiknas. Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Lampung.

Haygreen, JG & JL Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu: Suatu Pengantar.
Terjemahan SA Hadikusumo. Ed: S Prawirohatmodjo. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.

Hill CAS. 2006. Wood Modification: Chemical, Thermal and Other Processes.
John Wiley & Sons, Ltd. England.

144
Kalnins M.A. 1966. Surface Characteristics of Wood as They Affect Durability of
Finishes. US Forest Serv. Res. Pap. FPL 57.

Plackett DV., Elisabeth AD., Adya P. Singh. 1996. Weathering of Chemically


Modified Wood, in Chemical Modification of Lignocellulosic Materials. David
N. -S. Hon. (Edt). Marcel Dekker, Inc. New York.

Pastore, TCM., Kelly O.S., Joel C.R. 2004. A Spectroscopy Study on Effect of
Ultraviolet Irradiation of Four Tropical Hardwoods. Bioresource Tech
93(37-42).

Rommel, E. 2001. Pengaruh Tekanan Steam pada Peningkatan Karaktersitik dan


Kualitas Kayu Glugu. Perpustakaan Perguruan Tinggi Kesatuan Bogor.
digilib.stiekesatuan.ac.id/gdl.php?mod...op...jiptumm...kayu (22 Juni 2009).

Rowell, RM. 1996. Physical and Mechanical Properties of Chemically Modified


Wood. In Chemical Modification of Lignocellulosic Materials. Hon DNS
(Edt). Marcel Dekker, Inc. New York.

Sulistyawati I, N. Nugroho, S. Surjokusumo, Y.S. Hadi. 2008. Kekuatan Lentur Glued


Laminated (Glulam) Kayu Vertikal dan Horizontal dengan Metode
”Transformed Cross Section” . J. Tropical Wood Science and Technology Vol. 6
(2).  jurnalmapeki.biomaterial-lipi.org/jurnal/06022008/06022008-49-55.pdf. [7
Juni 2009]  

Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood: Structure, Properties,


Utilization. Van Nostrand Reinhold. New York.

Zabel RA. and Morrell JJ. 1992. Wood Microbiology: Decay and Its Prevention.
Academic Press, Inc. New York.

145

Anda mungkin juga menyukai