1. Karena UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang
dijadikan landasan dalam penyelenggaraan Negara maka harus sesuai dengan aspirasi tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia. Mengingat kehidupan masyarakat Indonesia yang selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan peradaban manusia pada umumnya maka UUD 1945 diamandemen oleh MPR. Perubahan UUD 1945 memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. 2. Karena menghilangkan pandangan adanya keyakinan bahwa UUD 1945 merupakan hal yang sacral, tidak bisa diubah, diganti, dikaji mendalam tentang kebenaran seperti doktrin yang diterapkan pada masa orde baru. 3. Karena perubahan UUD 1945 memberikan peluang kepada bangsa Indonesia untuk membangun dirinya atau melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat. 4. Karena perubahan UUD 1945 mendidik jiwa demoktrasi yang sudah dipelopori oleh MPR pada waktu mengadakan perubahan UUD itu sendiri, sehingga lembaga Negara, badan badan lainnya serta dalam kehidupan masyarakat berkembang jiwa demokrasi. 5. Karena perubahan UUD 1945 menghilangkan kesan jiwa UUD 1945 yang sentralistik dan otoriter sebab dengan adanya amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden dibatasi, kekuasaan presiden dibatasi, system pemerintahan dIsentralisasi dan otonomi. 6. Karena perubahan UUD 1945 menghidupkan perkembangan politik ke arah keterbukaan. 7. Karena perubahan UUD 1945 mendorong para cendekiawan dan berbagai tokoh masyarakat untuk lebih proaktif dan kreatif mengkritisi pemerintah (demi kebaikan) sehingga mendorong kehidupan bangsa yang dinamis (berkembang) dalam segala bidang, baik politik, ekonomi, social budaya sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang maju dan sejahtera sejajar dengan bangsa- bangsa lain yang telah maju.
Rencana Amandemen UUD 1945 : Untuk kepentingan apa
dan siapa?
Dalam “Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Implikasinya terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia” yang terbit di Jurnal Nasional (2010), Saldi Isra menjelaskan setidaknya terdapat tiga faktor yang melatarbelakangi amandemen UUD 1945.
Faktor pertama, sejak awal, UUD 1945 memang tidak
dibentuk untuk menjadi sebuah konstitusi yang tetap. Kedua, UUD 1945 punya fleksibilitas yang cukup tinggi. UUD 1945, tulis Saldi, bisa diterjemahkan sesuai perkembangan politik terkini serta keinginan pemegang tampuk kekuasaan. Meski begitu, Saldi berpendapat bahwa saking fleksibelnya gerak UUD 1945, ia jadi sumber dari segala masalah seperti KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) hingga potensi pemerintahan yang otoriter. Alasan ketiga, UUD 1945 punya kecenderungan untuk inkonsisten. Misalnya dalam ketidakjelasan konstitusi menentukan bentuk kedaulatan. Dalam UUD 1945, menurut Saldi, ada bermacam bentuk kedaulatan: dari kedaulatan rakyat, hukum, hingga negara.
“Barangkali, kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum
dapat saling melengkapi. Tetapi kedaulatan negara menjadi tidak sejalan dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Dalam pelaksanaan pemerintahan, sistem kedaulatan negara akan dengan mudah menjelma menjadi sistem yang otoriter karena negara dijelmakan oleh individu-individu yang menjalankan roda pemerintahan,” demikian tulis Saldi.
Tidak dapat dipungkiri perubahan UUD 1945 punya
dampak hukum yang jelas, terutama dalam aspek ketatanegaraan. Perubahan tersebut terasa sampai saat ini dan ditujukan untuk menunjang kehidupan bernegara yang lebih demokratis.
Dengan amandemen UUD 1945, misalnya, MPR tak lagi
berkedudukan sebagai lembaga negara tertinggi. Gantinya, kedaulatan tertinggi dipegang oleh rakyat (Pasal 1 ayat 2). Penghapusan sistem lembaga negara tertinggi, jelas Saldi, adalah “upaya logis untuk keluar dari perangkap design ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga negara”. Amandemen UUD 1945 juga turut menghapus sistem unikameral—digantikan oleh sistem bikameral. Dalam sistem tersebut, supremasi MPR ditekan. Amandemen UUD 1945 lebih menyediakan ruang untuk keterwakilan dari DPR dan DPD. DPR merepresentasikan rakyat, sementara DPD mewakili daerah.
Yang paling kentara, amandemen UUD 1945 telah
mengubah proses pemilihan presiden dan wakilnya menjadi terbuka. Artinya, presiden dan wakilnya dipilih oleh rakyat secara langsung lewat mekanisme pemilu. Ini dibuat untuk mengindari pengalaman pahit selama Orde Baru ketika Soeharto berkuasa dalam waktu yang sangat lama. Imbasnya: pemerintahan berjalan secara otoriter. Dengan amandemen pula presiden bisa dimakzulkan bila terbukti melanggar ketentuan undang-undang.
Tak ketinggalan, proses perubahan UUD juga melahirkan
lembaga kehakiman baru dalam wujud Mahkamah Konstitusi yang termaktub melalui Pasal 24 ayat 2 UUD 1945. Kehadiran MK melengkapi kedudukan lembaga hukum yang sebelumnya hanya dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Suwoto Mulyosudarmo, guru besar Hukum Tata Negara
Universitas Airlangga, dalam bukunya berjudul Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi (2004), menjelaskan bahwa pada dasarnya amandemen UUD 1945 di awal 2000-an ditujukan untuk mengurangi kekuasaan presiden dengan cara mendistribusikan kekuasaan secara vertikal dan membaginya secara horizontal.
Amandemen UUD 1945, terang Suwoto, adalah
mekanisme untuk menciptakan negara demokratis yang berlandaskan keseimbangan dan pengawasan terhadap kekuasaan. Yang jadi pertanyaannya sekarang: apa tujuan amandemen UUD 1945 yang diwacanakan politikus Senayan di era kiwari?