Anda di halaman 1dari 24

Etika Sosial Islam

Peran Individu dalam Kebangkitan Bangsa

Dr. Mushthafa as Siba'i

Disiarkan pada hari Jum'at : 6 Sya'ban 1373 H. (9 April 1954 M)

Tubuh umat adalah adalah laksana satu sosok makhluk hidup, yang dapat menderita penyakit dan

gangguan, seperti halnya tubuh seorang individu. Dan sebagaimana halnya pemerintah berusaha

memelihara individu dan masyarakat dari ancaman penyakit yang berbahaya dan gangguan

buruk, begitu juga syari'at dan peradaban-peradaban yang tinggi berusaha menjaga masyarakat

dari penyakit-penyakit sosial dan moral. Sehingga tubuh umat terus terpelihara dari penyakit;

kuat, kokoh, dapat menjalankan kewajibannya dengan penuh vitalitas, mampu menghadapi

kesulitan dengan tegar, dapat hidup dengan mulia, tangguh daya tahannya, mulia tujuannya,

terpuji akhlak dan nama baiknya, menikmati keamanan yang menyeluruh, dan memiliki

kebahagiaan yang dirasakan oleh seluruh manusia. Sehingga dalam ketenteraman dan ketinggian

ruhani mereka, mereka laksana malaikat langit yang tidak merasakan takut dan kesedihan.

Barangkali, yang menyebabkan kita ketinggalan dari gerbong kehidupan yang mulia dan

terhormat adalah, perhatian kita terhadap penyakit sosial masyarakat kita amat rendah

dibandingkan perhatian kita terhadap upaya mengejar pertumbuhan pendapatan, kekayaan dan

berbagai bidang kehidupan masyarakat. Masih banyak dari kita yang berkeyakinan bahwa

aspirasi dan kedudukan kita tidak akan dihormati serta tidak akan mendapakan tempat yang

layak, kecuali jika kita telah memiliki semua bentuk kemewahan dan kemegahan dalam

kehidupan bangsa-bangsa yang terhormat pada masa kini. Mereka lupa, bahwa kemewahan
material adalah buah dari kemajuan peradaban, bukan fondasi kebangkitan peradaban itu. Dan

bangsa-bangsa yang saat ini dikagumi dengan kemajuan ilmu pengetahuannya, tekhnologinya,

seninya dan kekuatan militernya, mereka itu tidak melupakan penyakit-penyakit sosial

masyarakat mereka pada awal kebangkitan mereka; tidak seperti sikap kita yang melalaikan hal

itu saat kita ingin mewujudkan kebangkitan peradaban kita; dan mereka pun tidak terjerumus

dalam kelalaian seperti yang terjadi dengan kita. Umat adalah kumpulan dari individu-individu

yang bersatu dengan teguh, maka setiap kali individu itu baik, maka baik pulalah umat itu, dan

saat akhlak umat terpelihara dengan kuat dan bersih, maka arah kemajuannya menjadi baik, dan

tujuannya menjadi lurus.

Dapat dikatakan, Islam adalah agama yang paling banyak memberikan perhatian terhadap

keseimbangan antar pelbagai kekuatan yang berbeda dalam masyarakat, dan terhadap upaya

membangun umat yang kuat, yang tidak memiliki celah-celah kelemahan. Anda akan dapati

bahwa Islam amat memberikan perhatian dalam masalah pengaturan kehidupan material

manusia, lebih dari yang diberikan oleh aliran-aliran ekonomi; ia juga memberikan perhatian

dalam masalah meluruskan moral masyarakat, lebih dari perhatian yang diberikan oleh aliran-

aliran moral yang ada di dunia ini; demikian juga Islam amat memperhatikan masalah penyucian

ruhani dan pembersihan jiwa, lebih dari perhatian yang diberikan oleh agama-agama ruhani

(gnostis). Islam menyeleraskan semua dimensi tadi dengan baik, sehingga Anda akan mendapati

Muslim yang sejati tampil kuat dalam seluruh dimensi kehidupannya : kuat ruhaninya, kuat

akhlaknya, kuat pisiknya, dan kuat dalam seluruh bidang kehidupan. Alangkah agungnya sabda

Rasulullah Saw berikut ini: "Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah SWt

daripada Mukmin yang lemah." (HR. Muslim)


Tidak dipungkiri lagi, saat ini kita mengalami banyak penyakit sosial yang akut. Yang

keberadaannya menyebabkan umat ini tidak mungkin dapat meraih kebangkitannya, dan tidak

dapat berjalan dengan baik. Penyakit sosial kita itu berbeda-beda bentuknya, baik dalam lingkup

individu, keluarga maupun masyarakat. Penyakit itu melanda semua lapisan masyarakat, baik

yang terpelajar maupun kalangan awam, yang tua maupun yang muda, orang kota maupun

penduduk pedesaan.

Oleh karena itu, pembicaraan kami akan difokuskan pada upaya mengenali penyakit-penyakit itu

dan upaya penanggulangannya. Metode yang kami gunakan adalah berbicara dari ruh ke ruh, dan

dari hati ke hati. Sehingga diharapkan segenap lapiran masyarakat tertarik untuk memperhatikan

dan mendengarkannya, meskipun mereka berbeda-berbeda keyakinannya, aliran politiknya dan

kedudukan sosialnya. Semoga, dengan begitu, kebangkitan masyarakat kita di era modern ini

dapat berjalan di jalan yang lurus dan tidak menyimpang.

Barangkali, titik berangkat untuk mengobati penyakit akhlak sosial kita dimulai dari lingkup

individu; karena individu adalah sel pertama dalam bangunan masyarakat. Gerakan-gerakan

reformasi masyarakat selalui memulai usahanya dari lingkup individu, bukan dari lingkup

masyarakat. Memperbaiki dan mengkader sepuluh orang dari setiap daerah dengan sebaik-

baiknya, sehingga membuat mereka dapat menjadi pelopor masyarakat dalam mengikuti

petunjuk, kebaikan dan istiqamah, inilah yang nanti akan mengantarkan masyarakat mereka

kepada kebaikan dan kepada kehidupan social yang bersih. Rasulullah Saw sendiri tinggal di

Mekkah [setelah pengutusan beliau] selama tiga belas tahun memfokuskan diri untuk mendidik

dan mengkader individu-individu umat beliau, sehingga saat binaan beliau telah mencapai

puluhan orang, mulailah beliau bergerak untuk membangun negara yang baik, dan peradaban
yang baik pula. Abu Bakar, Umar, Ali, Utsman, ibnu Mas'ud dan para sahabat semacam mereka-

lah yang berperan dalam mendirikan bangunan negara dan peradaban Islam yang cemerlang.

Mereka itulah yang diajarkan dan dididik oleh Rasulullah Saw di pelosok-pelosok kota Mekkah,

di Darul Arqam, dan di halaman Ka'bah, untuk memperkuat ruhani mereka, menggembleng jiwa

mereka, dan meluruskan akhlak mereka. Sehingga saat mereka yang dididik itu mulai berperan

dalam membela agama Islam, mereka segera menunjukkan hasil yang demikian besar, dan peran

mereka tak tertandingi dalam membawa manusia menuju hidayah Islam.

Individu-individu yang telah menciptakan negara-negara dan mendirikan peradaban-peradaban,

yang meruntuhkan tirai kebodohan, yang menjelajahi segenap cabang ilmu pengetahuan, yang

merubah perjalanan sejarah, dan yang telah menciptakan pengaruh yang besar dsalam kehidupan

bangsa mereka atau kehidupan manusia, mereka itu adalah individu-individu yang memiliki

kemaun yang keras, akhlak yang lurus, dan kehidupan mereka terbebaskan dari penyakit

kejiwaan maupun pisik yang berbahaya. Saat mengatakan begitu, aku tidak bermaksud

meremehkan masyarakat, dan menafikan peran dan sumbangsih mereka dalam gerakan

reformasi; karena pada dasarnya pada masyarakat adalah tonggak semua gerakan reformasi dan

revolusi social yang besar, namun kekuatan masyarakat itu selalu bersipat seperti tubuh yang

membutuhkan akal yang menyusun strategi dan berpikir. Ia adalah seperti mobil yang

keberadaannya membutuhkan semua elemen mobil itu, namun ia tidak dapat berjalan tanpa

keberadaan sang sopir. Jika suatu gerakan reformasi ditakdirkan memiliki pemimpin yang

mengusung misinya, menyebarkan prinsip-prinsipnya, dan membuka mata masyarakat akan

cahaya yang terang benderang, niscaya masyarakat akan mampu meniti jalannya menuju

kebaikan, dan menunaikan misinya yang besar dalam sejarah.


Untuk mewujudkan individu yang baik, didirikanlah sekolah dan universitas, masjid dan tempat

ibadah, organisasi masa dan klub. Dari sini, maka misi sekolah, masjid dan ormas saling

melengkapi satu sama lain. Di masjid, ruh individu itu dibangun, kemudian di sekolah akalnya

dikembangkan, sementara di ormas akhlaknya-lah yang dibina. Oleh karena itu, keberadaan

semua institusi tadi secara bersamaan adalah bagian dari kebutuhan primer masyarakat Islam

yang sehat, sementara ketiadaan salah satu institusi tadi adalah petunjuk adanya ketidak

lengkapan dan kekacauan dalam masyarakat itu. Sekolah tidak lengkap tanpa keberadaan masjid,

dan ormas juga tidak dapat sempurna tanpa adanya sekolah. Orang-orang yang berpendapat

bahwa masjid bukanlah bagian pokok dari bangunan masyarakat, mereka mengatakan demikian

karena mereka hanya ingin membangun generasi yang berakal namun tidak memiliki ruhani.

Sikap mereka itu salah, begitu pula halnya orang yang mengatakan bahwa sekolah bukanlah

sesuatu yang penting dalam bangunan masyarakat modern, dan mengatakan bahwa masjid atau

ormas tidak membutuhkannya. Karena ruhani tidak dapat hidup tanpa adanya akal, dan akal serta

ruhani tidak dapat menjalankan fungsinya jika tidak disertai akhlak yang membimbingnya untuk

menjalankan pekerjaan sosial yang menghasilkan dan bermanfaat.

Benar jika kita mengatakan bahwa masjid atau tempat ibadah memegang peranan pertama dalam

membentuk individu yang baik ; ia datang sebelum sekolah atau ormas, bahkan pada masa awal

sejarah peradaban Islam, masjid juga menjalankan fungsi sekolah dan ormas sekaligus. Pada hari

kedatangan Rasulullah Saw ke Madinah, usaha pertama yang beliau lakukan, dan batu perama

yang beliau letakkan dalam fondasi negara yang nantinya merubah perjalanan sejarah, adalah

membangun masjid Nabawi yang mulia. Masjid beliau adalah laksana pabrik yang memproduksi

pejuang-pejuang kebenaran, yang dibanggakan oleh gerakan reformasi manusia yang abadi. Abu

Bakar, Khalid, Sa'd, Umar, dan Ali, adalah tak lebih dari anak-anak didik yang dihasilkan oleh
masjid Nabawi, yang pada masa hidup Rasulullah Saw berfungsi sebagai tempat ibadah, sekolah,

dan ormas sekaligus. Sekolah-sekolah kita, yang mengusung bendera ilmu pengetahuan dan

peradaban di abad pertengahan, semuanya dimulai dari masjid. Masjid-masjid pada hakikatnya

tidak lebih dari sekolah-sekolah tempat para anak didik belajar di siang hari, dan tidur di ruang-

ruang masjid pada malam hari. Sejarah telah menceritakan kepada kita tentang msjid-masjid

Islam yang besar, seperti masjid Madinah, masjid Cordoba, masjid Al Azhar, dan masjid Umawi;

bahwa tiang-tiang masjid itu telah menjadi tempat bersandar para ulama yang dikelilingi oleh

para anak didik, dalam kelompok-kelompok. Bahkan ada yang mengatakan bahwa di dalam

masjid Cordoba terdapat banyak tiang, dan di setiap satu tiang terdapat seorang alim (guru) yang

dikelilingi oleh para muridnya.

Ketika aku berbicara tentang peran masjid dalam mengobati akhlak masyarakat, tidak berarti aku

telah keluar dari benang merah metode yang telah aku gariskan dalam mengkaji masalah ini;

karena pada saat ini, perhatian ilmu jiwa sosial terfokus pada upaya untuk menggunakan agama

sebagai media penyembuh pelbagai penyakit jiwa yang menimpa banyak orang dalam peradaban

modern ini. Kegelisahan, kesedihan, tekanan jiwa, egoisme, alianasi jiwa, dan kriminalitas

moral, semua itu dapat dibantu pengobatannya dengan nuansa ruhani yang diberikan oleh masjid.

Oleh karena itu, setiap kali datang waktu shalat, Rasulullah Saw memerintahkan Bilal untuk

segera melantunkan adzan, dan bersabda: "Bilal, hiburlah diri kami dengan adzan dan shalat."

Sabda Rasulullah Saw mengandung makna kejiwaan yang jauh, yang hanya keluar dari sosok

seperti pendidik yang agung itu: Rasulullah Saw. Dalam menceritakan pribadi Rasulullah Saw,

para sahabat mengatakan bahwa jika beliau mengalami suatu masalah atau ditimpa kesulitan,

beliau segera melaksanakan shalat. Dan Ibrahim bin Adham, salah seorang tokoh sufi terkenal,
berkomentar saat ia bangun malam dan melaksanakan shalat sambil bermunajat kepada Rabb-

nya, sebagai berikut: "Kami sedang berada dalam kelezatan yang tak terkira, yang seandainya

kelezatan itu diketahui oleh para raja, niscaya mereka akan memerangi kami untuk merebutnya".

Ketenangan, kedamaian dan kelezatan seperti itulah yang dibutuhkan oleh dunia kita yang

sedang sakit, dan masyarakat kita yang dibebani oleh berbagai depresi, kegelisahan dan penyakit

jiwa. Dalam keyakinanku, ukuran kebenaran, keadilan dan kemuliaan yang lenyap dalam

perilaku para politikus dan pejabat pemerintah, tidak dapat diobati kecuali jika para pejabat dan

politikus itu merasakan kelezatan ibadah seperti yang dirasakan oleh masyarakat, dan

menemukan ketenangan di hadapan Khaliq-nya yang Maha Agung.

Apakah Anda pernah mencoba melaksanakan ibadah dengan caranya yang benar, dan kemudian

Anda mendapati pengaruhnya dalam ruh dan akhlak Anda? Jika Anda tidak melakukan (dan

merasakan) hal itu hingga hari ini, maka segeralah melaksanakannya dengan menghadapkan diri

Anda dalam kekhusyu'an ke hadapan-Nya, sehingga Anda mendapati kebenaran firman Allah

SWT:

"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan keji) dan mungkar". (QS. Al

'Ankabuut: 45)

Amma Ba'du; Ini adalah pembukaan pembicaraan tentang Etika Sosial Islam.

PENDAHULUAN

A. Kata Pengantar

Keberhasilan Rasulullah Saw dalam menyebarkan agama Islam benar-benar mengagumkan.


Hanya dalam waktu kurang dari 25 tahun beliau berhasil mengubah masyarakat jahiliah yang sangat
dekaden menjadi masyarakat yang berperadaban tinggi dan sangat disegani bangsa-bangsa di
sekitarnya. Beliau berhasil menegakkan suatu negara yang oleh sosiolog modern seperti Robert M.
Bella diakui sebagai negara yang boleh disebut sebagai negara modern.

Konstitusinya yang dikenal dengan Piagam Madinah (Al-Shahifah Al-Madinah) dipandang


oleh Cak Nur (Dr. Nurcholish Madjid) mirip dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur
suatu masyarakat majemuk. Kemudian, tidak lebih dari 200 tahun bangsa Arab telah menjadi satu-
satunya super power di dunia saat itu, tidak saja dalam bidang politik, tetapi juga dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Hingga abad 18, karya-karya kaum Muslim zaman Abbasiah
dipelajari dan dijadikan referensi di berbagai perguruan tinggi Eropa. Oleh karena itu, para
sejarawan dan ahli-ahli dalam berbagai disiplin ilmu, baik dari kalangan Islam sendiri maupun dari
luar Islam, terus-menerus mempelajari sejarah hidup Rasulullah saw. Mereka yakin, di dalam
dakwah Rasulullah saw., terdapat kunci-kunci sukses yang dapat diteladani dan direaktualisasikan di
zaman modern. Dengan semangat seperti itulah tulisan ini disajikan.

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini secara garis besar rumusan masalahnya adalah :

a. Apakah pengertian mora dan akhlaq (etika) ?

b. Bagaimanakah cara untuk membangunan moral dan akhlak bangsa ?

c. Kenapa memperbaiki diri sendiri lebih diutamakan dari pada memperbaiki sistem yang ada ?

d. Seberapa pentingkah akhlakul karimah dalam kehidupan modern dan makna amanah dalam
konteks akhlak bangsa ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Moral dan Akhlak (etika)


Moral adalah prinsip-prinsip yang berhubungan dengan benar atau salah, pengertian
tentang perbedaan antara salah dan benar. Sedangkan akhlak ialah seperangkat tata nilai yang
bersifat samawi dan azali, yang mewarnai cara berfikir, bersikap dan bertindak seorang muslim
terhadap alam lingkungannya.
Menurut Al-Ghazali :

Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-
perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran lebih dahulu.

Akhlak umumnya disama artikan dengan arti kata budi pekerti, kesusilaan atau sopan
santun dalam bahasa Indonesia, atau tidak berbeda pula dengan arti kata ethic (etika).

Dimana-mana setiap kesempatan dan situasional orang berbicara tentang etika. Memang
etika ini menarik untuk dibicarakan, akan tetapi sulit untuk dipraktekkan. Etika adalah sistem
daripada prinsip-prinsip moral tentang baik dan buruk. Baik dan buruk terhadap tindakan dan atau
perilaku.

Ethics dapat berupa etika (etik), yaitu berasal dari dalam diri sendiri (hati nurani) yang
timbul bukan karena keterpaksaan, akan tetapi didasarkan pada ethos dan esprit, jiwa dan
semangat. Ethics dapat juga berupa etiket, yaitu berasal dari luar diri (menyenangkan orang lain),
timbul karena rasa keterpaksaan didasarkan pada norma, kaidah dan ketentuan. Etika dapat juga
berarti tata susila (kesusilaan) dan tata sopan santun (kesopanan) dalam pergaulan hidup sehari-hari
baik dalam keluarga, masyarakat, pemerintahan, berbangsa dan bernegara. Dalam kelompok
tertentu misalnya memiliki kode etik, rule of conduct, misalnya students of conduct, kode etik
kedokteran, dan atau kode etik masing-masing sesuai dengan profesinya.

Kesusilaan adalah peraturan hidup yang berasal dari suara hati manusia. Kesusilaan
mendorong manusia untuk kebaikan akhlaknya. Kesusilaan berasal dari ethos dan esprit yang ada
dalam hati nurani. Sanksi yang melanggar kesusilaan adalah batin manusia itu sendiri seperti
penyesalan, keresahan dan lain-lain.

Kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul karena ingin menyenangkan orang lain,
pihak luar, dalam pergaulan sehari-hari, bermasyarakat, berpemerintahan dan lain-lain. Kesopanan
dasarnya adalah kepantasan, kepatutan, kebiasaan, kepedulian, kesenonohan yang berlaku dalam
pergaulan (masyarakat, pemerintah, bangsa dan negara). Kesopanan dititik beratkan kepada sikap
lahiriah setiap subyek pelakunya, demi ketertiban dan kehidupan masyarakat dalam pergaulan.
Sanksi terhadap pelanggaran kesopanan adalah mendapat celaan di tengah-tengah masyarakat
lingkungan dimana ia berada, misalnya dikucilkan dalam pergaulan.
Apabila kita berbicara tentang etika ini, maka akan kita temukan beberapa pengertian antara lain :

a. Etika : sistem daripada prinsip-prinsip moral, dapat juga berarti rules of conduct, kode sosial
(social code), etika kehidupan. Dapat juga berarti ilmu pengetahuan tentang moral atau cabang
filsafat.

b. Ethos (jiwa) : karakteristik dari masyarakat tertentu atau kebudayaan tertentu.

c. Esprit (semangat) : semangat d’corps, loyalitas dan cinta pada kesatuan, kelompok, masyarakat,
pemerintah dan lain-lain.

d. Rule (ketentuan, peraturan) : ketentuan-ketentuan dalam kebiasaan pergaulan masyarakat yang


memberi pedoman atau pengawasan atau kegiatan tentang benar dan salah.

e. Norma : merupakan standar, pola, patokan, ukuran, kriteria yang mantap dari masyarakat atau
pemerintah.

f. Moral : prinsip-prinsip yang berhubungan dengan benar atau salah, pengertian tentang perbedaan
antara salah dan benar.

B. Pembangunan Moral dan Akhlak Bangsa

Keberhasilan dan kegagalan suatu negara terletak pada sikap dan prilaku dari seluruh
komponen bangsa, baik pemerintah, DPR (wakil rakyat), pengusaha, penegak hukum dan
masyarakat. Apabila moral etik dijunjung oleh bangsa kita maka tatanan kehidupan bangsa tersebut
akan mengarah pada kepastian masa depan yang baik, dan apabila sebaliknya maka keterpurukan
dan kemungkinan dari termarjinalisasi oleh lingkungan bangsa lain akan terjadi.

Bangsa kita terlalu terkonsentrasi dengan teori politik dan teori kehidupan yang berkiblat
pada dunia barat dan timur saat membangun masyarakat. Bahkan kecenderungan untuk
meninggalkan identitas timur religius lebih kentara. Di era 1950 - 1960 an negara kita berganti-ganti
haluan politik seperti liberalisme, capitalisme komunisme dan nasionalis agama (nasakom) pernah
dilalui dengan menggunakan pola trycle and error, sehingga mengalami keterlambatan sikap karena
sering berganti pola politik yang pada akhirnya kita mengalami keterpurukan dan mendapat label
negara terburuk baik di level regional, Asia maupun dunia. Hal ini terjadi diseluruh aspek kehidupan;
di dunia politik, ekonomi, sosial, budaya dan sistem penegakan hukum.

Selama ini pembangunan nasional meliputi bidang agama, sebagai buktinya secara
kuantitatif dan formalitas tempat ibadah kita dan seremoni keagamaan kita tampak ramai. Namun
krisis moral terjadi sampai kini, disinilah sebuah tantangan bagi pemerintah dan pemuka agama,
formalitas vs realitas.

Jalan keluarnya adalah bahwa kini harus mempunyai orientasi berbeda dengan sebelumnya.
Kalau masa lalu seluruh bentuk pembangunan, termasuk bidang agama, berorientasi pada
monoloyalitas politik, kini tentu harus diubah total. Orientasinya hendaknya untuk memperbaiki
moralitas bangsa kita dan untuk memberdayakan masyarakat pemeluknya untuk hidup aman
(hasanah) di dunia dan di akhirat kelak.

Dengan demikian maka perbaikan masa depan bangsa harus dimulai dengan perbaikan etika
moral yang berlandaskan agama, karena identitas bangsa kita adalah identitas timur yang religius
dimana hampir seluruh agama yang terlahir di dunia ini semua berasal dari dunia timur; agama
Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto berikut seluruh sektenya. Terutama harus dimulai
dari perilaku para pemimpin bangsa, karena perilaku masyarakat pada umumnya seperti lokomotif
dan gerbong, alurnya dari bawah hingga tingkat atas berjalan estafet mengikuti arah dan stratifikasi
sosial yang ada.

Etika berkuasa menurut Al-Ghazali

Seperti hikmah-hikmah yang diungkapkan Imam Al-Ghazali tentang perilaku masyarakat


akan sangat dipengaruhi oleh perilaku pimpinannya :
"Jika penguasa korup, maka korupsi akan menjadi trend dikalangan para pengikutnya. Keruntuhan
dan kemakmuran suatu bangsa sangat bergantung pada perilaku dan etika berkuasa pemimpinnya".

"Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar seperti dua orang bersaudara yang
dilahirkan dari satu perut yang sama Oleh karena itu wajib bagi seorang penguasa untuk
menyempurnakan agamanya dan menjauhkan hawa nafsu, bid'ah, kemungkaran, keragu-raguan dan
setiap hal yang mengurangi kesempurnaan syariat".

"sesungguhnya tabi'at rakyat merupakan tabi'at dari para penguasa".


Orang-orang awam melakukan perbuatan yang merusak karena mengikuti perbuatan para
pembesar, mereka meneladani dan mencontoh tabiat para pembesar, seperti yang terjadi pada
sejarah al-Wahid bin Abdul Malik dari keturunan bani Umayyah memiliki kegemaran terhadap
bangunan dan pertanian, maka dengan serta merta rakyat dan bangsanya turut meneladani, tetapi
ketika Sulaiman bin Abdul Malik kegemarannya makan, jalan-jalan dan memperturutkankan
syahwat maka seluruh rakyatnya meneladani dan mengikutinya.

Jadi benang merah pembentukan masyarakat bangsa dan Negara berkehendak membentuk
tatanan kehidupan yang memiliki etika moral yang berlandaskan agama adalah harus diawali
dengan penataan kepemimpinan yang bersifat komprehensif, tidak saja presidenya akan tetapi
seluruh komponen kepemimpinan; wakil rakyat, penegak hukum, pemegang kekuasaan di bidang
perekonomian, pendidikan dan seluruh unsur birokrasi pelayanan rakyat harus ditata kembali.
Pemimpin negara, wakil rakyat dan seluruh pemegang kekusaan dari gubernur sampai ke tingkat
pemerintahan dan tokoh masyarakat etika dan moralnya harus merujuk kepada agama. Tidak ada
lagi pemimpin yang dzalim kepada rakyat, bangsa dan negaranya. Rasulullah bersabda yang
diriwayatkan dari Umar :

" Sesungguhnya ketika Allah menurunkan Adam ke bumi, diwahyukan kepadanya empat
perkataan,. Allah berfirman , Wahai Adam, Ilmumu dan Ilmu keturunanmu terdapat dalam empat
perkataan, yaitu satu perkataan untuk-Ku, satu perkataan untukmu, satu perkataan antara Aku dan
engkau, serta satu perkataan antara engkau dan manusia; Perkataan untuku adalah sembahlah Aku
dan jangan menyekutukan Aku, Perkataan untukmu adalah Aku akan menyelamatkanmu dengan
ilmumu, Perkataan antara engkau dan Aku adalah engkau berdoa dan Aku yang akan mengabulkan,
perkataan antara engkau dan manusia adalah berbuat adil dalam urusan mereka, dan berbuat adil
lah diantara mereka ".

Ibnu Qatadah berkata :

Kedzaliman ada tiga jenis : Kedzaliman yang tidak ada ampunan bagi pelakunya, kedzaliman
yang tidak terus menerus, dan kedzaliman yang terdapat ampunan bagi pelakunya; Kedzaliman yang
tidak ada ampunan bagi pelakunya adalah menyekutukan Allah, kedzaliman yang tidak terus
menerus adalah kedzaliman yang dilakukan sebagian manusia kepada sebagian lainnya. Sedangkan
kedzaliman yang terdapat ampunan adalah kedzaliman manusia atas dirinya karena melakukan
perbuatan dosa, kemudian ia bertobat dan kembali kepada rabbnya. Allah akan mengampuni orang
itu karena rahmat-Nya, dan memasukannya ke surga dengan karunianya.

Memantapkan fungsi, peran dan kedudukan agama sebagai landasan moral, spiritual dan
etika dalam penyelenggaraan negara serta mengupayakan agar segala peraturan perundang-
undangan tidak bertentangan dengan moral agama-agama.
Meningkatnya pemahaman dan pengamalan ajaran agama bagi individu, keluarga, masyarakat dan
penyelenggara negara dan terbangunnya harmoni sosial guna mempererat persatuan dan kesatuan
nasional. Hal ini karena berkeyakinan bahwa pengembangan pribadi, watak dan akhlak mulia selain
dilakukan oleh lembaga pendidikan formal, juga oleh keluarga, lembaga sosial keagamaan dan
lembaga pendidikan tradisional keagamaan serta tempat-tempat ibadah.

C. Memperbaiki Diri Sebelum Memperbaiki Sistem

Di antara prioritas yang dianggap sangat penting dalam usaha perbaikan (ishlah) ialah
memberikan perhatian terhadap pembinaan individu sebelum membangun masyarakat; atau
memperbaiki diri sebelum memperbaiki sistem dan institusi. Yang paling tepat ialah apabila kita
mempergunakan istilah yang dipakai oleh Al Qur'an yang berkaitan dengan perbaikan diri ini; yaitu:

"...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri..." (QS. Ar-Ra'd: 11)

Inilah sebenarnya yang menjadi dasar bagi setiap usaha perbaikan, perubahan, dan
pembinaan sosial. Yaitu usaha yang dimulai dari individu, yang menjadi fondasi bangunan secara
menyeluruh. Karena kita tidak bisa berharap untuk mendirikan sebuah bangunan yang selamat dan
kokoh kalau batu-batu fondasinya keropos dan rusak. Individu manusia merupakan batu pertama
dalam bangunan masyarakat. Oleh sebab itu, setiap usaha yang diupayakan untuk membentuk
manusia Muslim yang benar dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang sempurna harus diberi
prioritas atas usaha-usaha yang lain. Karena sesungguhnya usaha pembentukan manusia Muslim
yang sejati sangat diperlukan bagi segala macam pembinaan dan perbaikan. Itulah pembinaan yang
berkaitan dengan diri manusia.
Sejak badai krisis multi dimensi merasuki bangsa Indonesia, secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi cara hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga secara
realitas kita seperti kehilangan visi dan misi atau arah keberadaannya. Fenomena kekerasan yang
terkadang dibumbui sentimen agama, maraknya Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) dan cara
penyelesaian segala persoalan yang pragmatis, menjadi pemandangan yang kontras dengan nilai-
nilai keberagamaan bangsa yang konon tersohor di mata dunia akan kerukunan dan toleransinya.
Lalu mengapa dengan cepat sekarang ini bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang bercitra negatif?

Krisis multi dimensi tidak segera lepas seperti negara lain yang mengalami nasib sama,
sebab utamanya adalah karena mengingkari aspek spiritualitas dan religiusitas sebagai ciri dan
kekayaan bangsa kita yang konon pluralis dalam agama dan kepercayaan yang adalah sumber dan
asal-usul dari spiritualitas. Spritualitas dan religiusitas merupakan buah-buah atau rohnya umat
beriman, dan jika tidak demikian niscaya umat beragama akan kehilangan jati diri keberimanannya,
yang akhirnya akan jatuh pada aspek lahiriah yang berbaju formalitas, hirarkis, ritualis dan
apologetis. Semua ini tentu saja jauh dari apa yang disebut agama sebagai pemberi inspirasi dan
transubstansi yang kontekstual.

Lembaga pendidikan di segala tingkat sebagai wadah untuk meningkatkan kualitas SDM
yang mengajarkan pendidikan keagamaan, selama ini belum mampu menjadi oase spritualitas
karena metode pendidikan keberagamaan disampaikan seperti bidang studi lain, yang menekankan
pengajaran dan transfer iptek dengan segala sistem dogmatika kurikulumnya. Sehingga aspek
spritualitas nyaris belum tersentuh. Akibatnya peserta didik kurang respek terhadap hal-hal yang
bernuansa keberagamaan, dan lambat-laun bangsa ini akan mengalami fase pemiskinan
pengalaman beragama dalam entitasnya dengan kebersamaan.

Dan jika tidak segera tersolusi, maka di kemudian hari akan keropos, serta eksesnya akan
menjadi bangsa dengan citra temperamental dan emosional. Dalam skala besar dapat menjadi
ancaman bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Namun jika tertangani sejak dini maka
akan dapat menjadi jaminan kokohnya keutuhan bersama sebagai anak bangsa. Semakin dini
peserta didik harus dicerahkan untuk melihat dan mengalami bahwa hidup bersama dibangun
berdasarkan pada kenyataan terutama dari aspek spritualitas. Berdasarkan itulah kebenaran,
kejujuran, dan kedamaian tumbuh dan berkembang subur.
Sesungguhnya keberagamaan mempunyai kemampuan luar biasa atau “mukjizat” untuk
memberi kontribusi guna memecahkan persoalan apapun yang dialami bangsa atau umat manusia,
sejauh para pemeluknya dapat memberdayakannya. Kekuatan dahsyat keberagamaan yang tidak
dimiliki kekuatan lain ialah berupa kekuatan spiritual dan kekuatan sosial.
Sejauh ini hanya kekuatan sosial agama yang diberdayakan yang kentara bernuansa politis, sedang
aspek spritualnya dimarginalkan atau dialternatifkan, yang berakibat ketidakseimbangan
keberimanan terjadi dari hulu sampai ke hilir. Indikasi yang kasat mata, dimana persoalan hidup
berbangsa tidak berkurang tetapi malah bertambah kuantitas dan kualitas kompleksitasnya,
disamping itu para pemeluk agama berada diambang krisis spiritual dan jika dibiarkan eksesnya akan
lebih dramatis dibandingkan dengan krisis-krisis lainnya.

Berdasarkan akan realitas kekinian sangat tepat jika aspek spritualitas dikedepankan untuk
memberi kontribusi mengatasi masalah sekarang ini. Dimana kekuatan politik, hukum, ekonomi,
keamanan setelah diberi limit waktu tidak mampu mengentas apalagi menyembuhkan sakit kronis
bangsa ini. Justru menjadi lahan konflik baru terutama di era otonomi daerah sekarang ini. Tidak ada
jalan lain bagi bangsa ini yang memproklamirkan sebagai bangsa religius, untuk merefleksikan
kembali secara bersama dan konsisten akan panggilan keberagamaannya dengan panduan para
tokoh spritual.
Tokoh spritual biasanya justru lahir ketika zaman dalam kondisi chaos atau krisis seperti yang kita
alami. Kelahirannya lebih dapat membawa harapan solusi dari pada tokoh elit dan tokoh birokratik.
Paradigma tokoh spiritual ialah pribadi beriman yang konsekwen, sistematis merefleksikan
panggilan keimanan dimana doa, dan kedisiplinan menjadi nafas hidupnya. Sehingga memurnikan
motivasi paritipasinya bergulat dalam ziarah hidup bersama. Atau dengan kata lain pribadi yang
menjalankan prinsi-prinsip kenabian dalam situasi dan kondisi kekinian, berani bersaksi dan
bertindak atas nama kebenaran sekaligus menjadi mediator vertikal dengan Sang Pencipta maupun
horisontal dngan sesama.

Kemerdekaan menjadi kepribadiannya sekalipun tidak bisa tidak harus berdiri pada basis
latar belakang kontekstualnya. Ia hadir sebagai agen perubahan mental dan sosial untuk
memecahkan persoalan pada jamannya dan tidak pernah mengorbankan martabat manusia apapun
alasannya. Tetapi kita masih harus bersabar dalam doa, karena sekalipun kondisi krisis sudah kronis
belum ada tokoh spiritual yang terpanggil dan berani tampil dipentas publik. Malahan yang hadir
tokoh politik, birokrat, pengusaha dan tokoh LSM yang selalu ironis dan tidak pernah bisa duduk
bersama guna menyelesaikan masalah, tetapi malah saling berlawanan dan tuding-tudingan mencari
pembenaran masing-masing.

Realitas tersebut membenarkan asumsi bahwa religiusitas dan spiritualitas kita belum
sampai pada tahap internalisasi tetapi baru formalisasi. Indikasi langsung maupun tidak langsung
yang terjadi adalah prestasi kebangsaaan kita terus berada pada titik nadir. Kecuali itu paradigma
hidup berbangsa menjadi bias karena tidak mempunyai model spiritualitas yang legitim bagi semua
anak bangsa.

Sebaliknya budaya KKN tumbuh subur, pelayanan dari negara tidak berjalan sebagaimana
seharusnya, hati nurani tumpul nyaris tidak ada lagi semangat pengorbanan. Lalu narkoba, maksiat,
judi, kriminalitas takhayul dan gejala destruktif lainnya dengan modus-operandi macam sindikat
menjadi pemandangan sehari-hari. Sedang gejala krisis spiritualitas intern dalam keberagamaan di
era globalisasi sekarang ini ialah umat beragama enggan, tabu dan tidak lagi mempercayai
“mukjizat” sebagai kekayaan iman, tetapi malah vulgar meyakini hal-hal yang akrobatik dan
spektakuler yang mudarat.

Sebagai orang beriman dan berdasarkan situasi kronis yang kita alami sebagai bangsa, nihil
dapat mengentas persoalan, apalagi hanya mengandalkan rasio dan akal budi kecuali terjadi
“mukjizat”. Oleh karena itu perlu adanya pemandangan baru tentang mukjizat dari para beriman
secara wajar dan proporsional tidak ditabukan tetapi diberdayakan, bukan bagian sejarah masa lalu
tetapi untuk sepanjang masa. Sejarah Nabi memang sudah ditutup atau berakhir, tetapi spiritualitas
kenabian tidak akan pernah berakhir, justru harus semakin berkembang jumlah dan mutunya untuk
mengawal sejarah hidup manusia.

Setiap agama dan kepercayaan sesuai dengan visi dan misinya mempunyai latar belakang
pengalaman akan Sang Pencipta yang mempunyai mukjizat tinggi bagaimana para orang beriman
memberdayakannya. Pertobatan dapat menjadi awal terjadinya mukjizat didukung sikap dan
perilaku tidak dikotomis, artinya orang harus taat pada kebenaran dan menolak tegas segala bentuk
kejahatan bukan dengan perkataan tetapi dengan konsekuensi. Apabila perilaku seperti itu yang
terjadi terutama bagi para elit berarti “mukjizat” mulai terjadi. Kontribusi keberagamaan terealisir,
spiritualitas meresapi selurruh pribadi, religiusitas tumbuh subur Indonesia baru yang dicita-citakan
niscaya menjadi kenyataan
Kita masih berada pada posisi sulit dihadapkan dengan aneka masalah kebangsaan.
Menginventarisasi masalah tentu mudah, namun meracik formula solusi yang tepat, apalagi
mengimplementasikannya tidaklah gampang karena ruwetnya persoalan serba dimensi itu. Namun,
tidak berarti bangsa ini pasrah saja karena selalu ada jalan keluar untuk setiap masalah dengan kata
kunci serius, kerja keras, padu, mendahulukan kepentingan bangsa, dan rela berkorban. Karenanya,
perlu upaya menembus kebuntuan masalah, baik dengan terobosan jangka pendek maupun langkah
strategis jangka panjang. Dalam beberapa segi pemerintah telah melakukan hal itu, namun masalah
utama yang tampak benderang adalah masih jauhnya bangsa ini dari kata kunci di atas.

Tatanan sosial masyarakat di atas setidaknya dapat kita terjemahkan sebagai masyarakat
madani. Sebuah tata masyarakat yang diyakini sebagai "anak kandung" dari peradaban Islam.
Mengingat, karakteristik akhlak dan budi pekerti yang luhur, bersumber pada nilai dan ajaran agama
terlihat begitu kentara di dalamnya. Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif
dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat
berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam
masyarakat madani adalah Al Quran.

Meski Al Quran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun
tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang
terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang
ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep
masyarakat madani di Madinah.

D. Akhlakul Karimah dalam Kehidupan Modern

Saat ini kita berada di tengah pusaran hegemoni media, revolusi iptek tidak hanya mampu
menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern, melainkan juga
mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran. Teknologi multimedia misalnya, yang
berubah begitu cepat sehingga mampu membuat informasi cepat didapat, kaya isi, tak terbatas
ragamnya, serta lebih mudah dan enak untuk dinikmati. Namun, di balik semua itu, sangat potensial
untuk mengubah cara hidup seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke bilik-bilik
keluarga yang semula sarat dengan norma susila .
Kita harus kaya informasi dan tak boleh ketinggalan, jika tidak mampu dikatakan tertinggal.
Tetapi terlalu naif rasanya jika mau mengorbankan kepribadian hanya untuk mengejar informasi dan
hiburan. Disinilah akhlak harus berbicara, sehingga mampu menyaring “ampas negatif” teknologi
dan menjaring saripati informasi positif.

Dengan otoritas yang ada pada akhlakul karimah, seorang muslim akan berpegang kuat
pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal dasar pengembangan akhlak,
sedangkan fondasi utama sejumlah komitmen nilai adalah akidah yang kokoh, Akhlak, pada
hakekatnya merupakan manifestasi akidah karena akidah yang kokoh berkorelasi positif dengan
akhlakul karimah.

Mencermati Fenomena aktual di tengah masyarakat kita dapat memperoleh kesimpulan


sementara bahwa sebagian hegemoni media secara umum, hegemoni televisi terasa lebih
memunculkan dampak negatif bagi kultur masyarakat kita. Tidak dipungkiri adanya dampak positif
dalam hal ini, meski terasa belum seimbang dengan “pengorbanan” yang ada.

Televisi yang sarat muatan hedonistis menebarkan jala untuk menjaring pemirsa dengan
berbagai tayangan yang seronok penuh janji kenikmatan, keasyikan, dan kesenangan. Belum lagi
penayangan film laga yang berbau darah, atau iklan yang mengeksploitasi aurat. Adanya sekat-sekat
kultur dipandang tidak relevan di era global ini, sehingga sensor dipandang sebagai sesuatu yang
aneh dan tidak diperlukan lagi.Menghadapi fenomena seperti ini hanya satu tumpuan harapan kita,
yakni pendarahdagingan akhlak melalui keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Adanya fenomena sosial yang muncul dalam beberapa tahun belakangan ini membutuhkan
terapi yang harus dipikirkan bersama. Banyaknya mall, maraknya hiburan malam, beredarnya
minuman keras dan obat terlarang, munculnya amukan massa merupakan fenomena yang harus
dicermati dan dicarikan solusi. Munculnya mall di kota-kota besar, satu sisi membuat orang betah
berbelanja di ruang-ruang sejuk yang sarat dengan dagangan tertata rapi dan warna-warni, tetapi
disisi lain sebagian mall mulai difungsikan untuk mejeng bagi ABG dan mencari sasaran “pasangan
sesaat” dengan imbalan materi maupun kepuasan badani. Menghadapi kenyataan ini gerakan bina
moral serentak untuk menanamkan akhlakul karimah serasa tidak dapat ditunda lagi.

Belum lagi munculnya tempat hiburan malam yang dilengkapi dengan minuman keras serta
peredaran obat-obat terlarang yang banyak menimbulkan korban-korban generasi muda.
Menghadapi persoalan ini di samping perlunya pengawasan orang tua terhadap putera-puterinya di
rumah disertai contoh yang baik dalam berakhlakul karimah, juga diperlukan tindakan represif dari
aparat terkait.

Upaya menumbuhkan-kembangkan akhlakul karimah merupakan taggung jawab bersama,


yakni keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Keempat institusi tersebut memiliki tanggung
jawab bersama untuk mendarah-dagingkan akhlakul karimah, terutama di kalangan generasi muda.

Hampir setiap hari melalui media masa kita disuguhi munculnya fenomena amukan massa di
beberapa kota besar yang ditandai dengan pembakaran pusat pertokoan, penghancuran tempat
ibadah, bahkan perusakan kantor polisi maupun berbagai kalangan. Untuk menghindari terulangnya
serangkaian peristiwa amukan tersebut, di samping perlu dicari akar masalahnya dan diselesaikan,
fenomena tersebut hendaknya dijadikan pemicu gerakan pendidikan moralitas bangsa, dengan
menjadikan akhlakul karimah sebagai acuan utama.

Urgensi akhlak semakin terasa jika dikaitkan dengan maraknya aksi perampokan,
penjambretan, penodongan, korupsi, manipulasi, dan berbagai upaya untuk cepat kaya tanpa kerja
keras. Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut tidak cukup hanya dilakukan tindakan represif
akan tetapi harus melalui penanaman akhlakul karimah. Tanpa upaya prefentif, segala bentuk upaya
represif tidak akan mampu menyelesaikan masalah, karena semua pelaku kejahatan selalu patah
tumbuh hilang berganti.

Serangkaian fenomena “miring” tersebut merupakan dampak negatif dari modernitas yang
ada di tengah-tengah kita. Hidup di era global ini tidak memungkinkan untuk melarikan diri dari
kenyataan modernitas. Modernitas tidak perlu dijauhi, karena kesalahannya tidak terletak pada
modernitasnya itu sendiri, tetapi pada tingkat komitmen nilai dari moralitas bangsa dan umat dalam
merespon arus modernitas yang semakin sulit dibendung.

Di dalam menyongsong kemajuan zaman, bangsa Indonesia harus memiliki moral kualitas
unggul. Bangsa yang unggul dalam perspektif Islam adalah bangsa yang berakhlakul karimah. Hal ini
selaras dengan sabda Rasulullah

Artinya: “Sesungguhnya yang paling unggul di antara kamu adalah orang yang paling baik
akhlaknya” (H.R. Bukhari).
Bahkan dalam Hadits lain Rasulullah bersabda:

Artinya: “Yang disebut bagus adalah bagus akhlaknya”. (H.R. Muslim).


Akhirnya, jelas urgensi pendarah-dagingan akhlak bagi bangsa yang mayoritas Muslim seperti
bangsa Indonesia ini.

E. Makna Amanah Dalam Konteks Akhlak Bangsa

Dari segi bahasa, amanah ada hubungannya dengan iman dan aman.
Artinya sifat amanah itu dasamya haruslah pada keimanan kepada Alloh
SWT, dan dampak dari sifat amanah , atau pelaksanaan dari hidup
amanah itu akan melahirkan rasa aman, rasa aman bagi yang
bersangkutan dan rasa aman bagi orang lain. Seperti yang tersebut di
muka, dari Al Qur'an amanah dapat difahami sebagai sikap kepatuhan
kepada hukum, tanggung jawab dan sadar atas implikasi dari suatu
keputusan. Dalam hadis amanah dapat difahami sebagai titipan dan juga
sebagai komitmen. Dalam konteks kehidupan berbangsa amanah artinya
semangat kepatuhan kepada hukum, baik hukum Tuhan yang universal
maupun hukum positip (nilai maupun bunyinya), bertanggung jawab
kepada Tuhan, negara dan diri sendiri, serta sadar atas implikasi
dari suatu keputusan yang mungkin akan menimpa banyak pihak.

1. Amanah Dalam arti Kepatuhan Kepada Hukum

Hukum, baik hukum agama maupun hukum negara dimaksud untuk mengatur
kehidupan manusia sebagai makhluk yang beradab, yang membedakannya dari hewan.
Pelaksanaan hukum dimaksud untuk membela manusia agar mereka tetap terhormat sebagai
manusia, menjamin agar setiap orang dilindungi hak-haknya dan dijamin keberadaanya di jalan
kebenaran dan keadilan. Dengan hukum manusia bisa bergaul, berjuang dan bersaing secara fair
sehingga setiap orang berpeluang sama untuk meraih hak- haknya. Penegakan hukum oleh
aparat negara akan memberikan rasa aman dan rasa keadilan kepada masyarakat, dan pada
gilirannya akan menumbuhkan apresiasi hukum oleh masyarakat. Pada masyarakat yang telah
memiliki apresiasi hukum, pelanggaran hukum oleh warga akan menimbulkan gangguan
psikologis pada masyarakat. Pengabaian penegakan hukum oleh aparat hukum akan mengusik
rasa keadilan masyarakat, yang pada gilirannya akan melahirkan protes atau malah frustrasi
sosial yang dapat mengkristal menjadi ledakan sosial.

Pada masyarakat yang paternalis seperti masyarakat Indonesia, contoh kepatuhan


kepada hukum oleh elit sosial akan sangat efektif dalam
menanamkan kesadaran hukum. Demikian juga penegakan hukum tanpa
pandang bulu —terutama kepada kelompok kuat— akan memberikan rasa
keadilan dan kedamaian yang luar biasa kepada masyarakat luas. Hadis
Nabi mengingatkan bahwa kehancuran suatu bangsa antara lain
diakibatkan oleh pelaksanaan hukum yang pilih kasih, jika yang
melanggar hukum orang lemah, hukum ditegakkan, tetapi jika
pelanggarnya orang kuat, hukum tidak ditegakkan. Nabi mengatakan:
Seandainya Fatimah putri Rasul mencuri pasti hukum potong tangan akan
dilaksanakan juga.

Masyarakat amanah secara hukum adalah masyarakat yang menjunjung tinggi hukum-
hukum yang telah disepakati mengatur kehidupan mereka, mematuhi rambu-rambunya dan
menegakkan sanksi hukum atas pelanggarnya. Bangsa yang memegang teguh amanah dalam
perspektip hukum adalah bangsa yang mampu mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara
dengan sistem hukum yang memenuhi rasa keadilan rakyatnya.

2. Amanah Sebagai Titipan

Sesuatu yang dititipkan adalah sesuatu yang penjagaannya dipercayakan kepada orang
yang dititipi hingga suatu saat sesuatu itu akan diambil oleh yang menitipkan. Maksud
menitipkan adalah agar sesuatu yang dititipkan itu tetap terjaga dan terlindungi keberadaannya.
Tanggung
jawab memelihara sesuatu yang dititipkan itulah yang disebut amanah.
Anak adalah amanah Allah kepada orang tuanya dimana orang tua
berkewajiban memelihara dan mendidiknya agar anak itu terpelihara dan
berkembang potensinya hingga ia kelak menjadi manusia yang
berkualitas sesuai derngan maksud penciptaannya. Isteri adalah amanah
Allah kepada suami dimana suami wajib melindunginya dari gangguan
yang datang, baik gangguan fisik maupun psikis' . Demikian juga suami
adalah amanah Allah kepada isteri dimana ia wajib memberikan sesuatu
yang membuatnya tenang, tenteram, aman dalam menjalankan tugas-tugas
hidupnya. Demikian seterusnya, mu-rid merupakan amanah bagi guru,
jabatan merupakan amanah bagi penyandangnya.

Dalam sebuah hadis tentang perkawinan dinyatakan bahwa seorang wanita menjadi
halal digauli oleh lelaki (suaminya) dengan menyebut kalimat Allah, dan si suami mengambil
oper tanggung jawab atas isterinya dengan amanat Allah (wa akhodztumu hunna biamanatillah).

3. Amanah Sebagai Tanggung Jawab

Predikat manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, disamping


mengandung makna kewajiban manusia menegakkan hukum Tuhan di muka bumi juga
mengandung arti hak manusia mengelola alam sebagai fasilitasnya. Apakah alam, laut, udara
dan bumi memberi manfaat kepada manusia atau tidak bergantung kepada kemampuannya
mengelola alam ini. Banjir, kekeringan, tandus, polusi dan sebagainya sangat erat dengan
kualitas pengelolaan manusia atas alam. Dalam al Qur'an, tegas disebutkan bahwa kerusakan
yang nyata-nyata timbul di daratan dan di lautan merupakan dampak dari ulah manusia yang
tidak bertanggung jawab(Q/30:41).

Demikian juga tidak berfungsinya sumberdaya alam bagi kesejahtreraan hidup manusia
merupakan akibat dari perilaku manusia yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (Q/ 7:96)

Tanggungjawab artinya, setiap keputusan dan tindakan harus diperhitungkan secara


cermat implikasi-implikasi yang timbul bagi kehidupan manusia dengan memaksimalkan
kesejahteraan dan meminimalkan mafsadat dan mudharat. Setiap keputusan mengandung
implikasi-implikasi positif dan negatif, yang mendatangkan keuntungan dan yang mendatangkan
kerugian. Jika peluangnya berimbang, maka mencegah hal yang merusak harus didahulukan atas
pertimbangan keuntungan (dar'u al mafasid muqaddamun 'al/1 jalb al masalih). Contohnya:
menebang hutan itu mudah dalam menambah keuangan negara, tetapi kerusakan lingkungan
yang ditimbulkan akibat penebangan hutan lebih berat dan lebih mahal biaya rehabilitasinya
dibanding keuntungan yang diperoleh.
Pejabat publik (Presiden, Gubemur, Menteri dan seterusnya hingga jabatan terendah)
adalah pemegang amanah tanggung jawab. Otoritas yang dipegangnya bukan pada aspek
kekuasaan, tetapi pada aspek pengelolaan dan pelayanan, sehingga seorang pemimpin disebut
sebagai pelayan masyarakat (sayyid al qaumi khodimuhum). Keputusan yang diambil oleh
seorang pejabat publik berpeluang untuk menimbulkan implikasi yang luas kepada kehidupan
masyarakat luas. Jika kepu tusannya tepat, maka manfaatnya akan dinikmati oleh banyak orang,
tetapi jika keputusannya keliru maka dampak negatipnya hams di tanggung oleh masyarakat
luas.

Seorang pejabat publik dituntut untuk memiliki tanggung jawab besar dalam membuat
keputusan, yaknimendatangkan sebanyak-banyaknya manfaat bagi masyarakat dan menekan
sekecil mungkin resiko yang hams dipikul orang banyak. Tanggung jawab bagi seorang pejabat
publik juga berarti ia layak memperoleh pujian dan penghormatan jika pekerjaannya baik, dan
sebaliknya ia dapat dikritik, dicaci, dipecat atau bahkan dihukum penjara jika keputusan dirinya
keliru. Pemerintah sebagai pemegang Amanah Penderitaan Rakyat artinya Pemerinrtah dibebani
tanggung jawab untuk melakukan hal-hal yang dapat mengurangi atau bahkan menghilang kan
penderitaan yang dirasakan oleh rakyatnya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Islam sebagai sistem kehidupan yang syamil, kamil & mutakamil (Sempurna dan
paripurna) dengan dilandasi aqidah yang salim (Selamat) pada akhirnya membentuk sebuah
masyarakat utama. Maka tugas masyarakat yang pertama adalah memelihara aqidah, menjaga
dan memperkuat serta memancarkan sinarnya keseluruh penjuru dunia. Bagaimana islam
sebagai sebuah sistem dan landasan aqidah yang kuat menghadapi persoalan kontemporer
dan bagaimana pula islam memandang hal al-fundamental pada sisi ruang, waktu dan
aktivitas kehidupan manusia ? islam sebagai manhaj (jalan/metodologi) memiliki banyak
keunggulan yaitu :
1. Kebenaran manhaj islam telah teruji dan sejarah telah menjadi saksi atas keunggulannya .
2. Manhaj islam telah berhasil mencetak umat paling kuat, paling utama, paling sarat kasih
sayang, dan paling diberkati diantara bangsa-bangsa yang ada.
3. Dengan kesucian manhaj islam telah berhasil mencetak umat islam dan telah
bersemayamnya manhaj ini dalam dada manusia, menjadikannya mudah diterima semua
kalangan, mudah dipahami, dan mudah diikuti pesan-pesannya. Apalagi islam juga
membenarkan bahkan menanamkan kebanggaan berbangsa dan memberikan bimbingan
kepada manusia untuk mencintai tanah airnya. Mengapa demikian ? karena kita harus
membangun kehidupan ini diatas nilai-nilai kehidupan kita sendiri, tanpa perlu
mengambil milik orang lain. Dan pada yang demikian itulah kita dapatkan hakikat
kemerdekaan sosial dan kemuliaan hidup setelah kemerdekaan secara politik.
4. Berjalan diatas jalan ini berarti mengokohkan persatuan arab secara khusus, dan persatuan
islam secara umum. Dunia islam dengan segenap jiwanya telah memberikan kepada kita
kepekaan perasaan, kelemah lembutan, dan dukungan, sehingga kita menyaksikan sebuah
jalinan yang demikian kuat antara kita dengan islam, yang keduanya saling memberi
dukungan dan saling menghormati. Pada yang demikian itu ada sebuah keberuntungan
(peradaban ) yang besar, yang tidak mungkin diingkari oleh siapapun.
5. Manhaj islam adalah manhaj yang sempurna dan menyeluruh. Ia memuat sistem paling
utama untuk memandu kehidupan umat secara umum, baik kehidupan lahiriah maupun
batiniah. Inilah keistimewaan islam apabila dibandingkan dengan ajaran lain, dimana ia
islam meletakkan undang-undang kehidupan umat ini diatas dua pondasi pokok :
mengambil yang maslahat dan menjauhi yang madharat.

Anda mungkin juga menyukai