Anda di halaman 1dari 16

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Hasil Uji Instrument Penelitian
Uji validitas dan reliabilitas intrument penelitian yaitu kuesioner

penelitian resiliensi ibu terhadap anak autis di lakukan di SLB Leliani II

Latuhalat Ambon terhadap 30 responden, adalah sebagai berikut:


a. Uji Validitas
Prinsip uji validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang

berarti prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulkan data

(Nursalam, 2014). Uji validitas dilakukan sebelum penelitian dimulai

untuk menguji tingkat kevalidan suatu instrumen. Instrumen yang valid

mempunyai validitas tinggi, sebaliknya instrumen yang kurang valid

berarti memiliki validitas rendah (Arikunto, 2013). Instrument

dinytakan valid jika rhitung > rtabel dan dinyatakan tidak valid jika rhitung <

rtabel. Rtabel adalah sampel dalam uji validitas dan reliabilitas. Nilai r tabel

untuk 30 responden dalam distribusi nilai rtabel Product Moment adalah

0,361 (Eka Nur Kamilah, 2015).

Hasil uji validitas dapat dilihat pada tabel 4.1.


Tabel 4.1. Hasil Uji Validitas
Variabel Item R-Hitung R-Tabel Keterangan
(n=30)
Resiliensi Ibu P1 0,566 0,361 Valid
P2 0.566 0,361 Valid
P3 0,522 0,361 Valid
P4 0,522 0,361 Valid
P5 0,781 0,361 Valid
P6 0,781 0,361 Valid

35
P7 0,479 0,361 Valid
P8 0,727 0,361 Valid
P9 0,479 0,361 Valid
P10 0,727 0,361 Valid
P11 0,598 0,361 Valid
P12 0,598 0,361 Valid
P13 0,435 0,361 Valid
P14 0,435 0,361 Valid

Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa hasil uji validitas yang

dilakukan terhadap 30 responden dengan 14 pertanyaan pada kuesioner

resiliensi ibu, dinyatakan valid. Hal ini dapat disimpulkan dengan

melihat bahwa setiap pertanyaan memiliki rhitung > rtabel. Hal ini

mengindikasikan bahwa seluruh pernyataan yang dibuat dinilai layak

dan dapat digunakan untuk keperluan penelitian.


b. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah kesamaan pengukuran atau pengamatan bila

fakta atau kenyataan hidup tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam

waktu yang yang berlainan. Uji realibilitas dilakukan untuk menguji

konsisten responden dalam merespon instrumen (Nursalam, 2014).

Instrumen dinyatakan realibel apabila nilai Cronbach's Alpha > rtabel dan

dinyatakan tidak reliabel apabila Cronbach's Alpha < rtabel. Rtabel adalah

sampel dalam uji validitas dan reliabilitas. Nilai rtabel untuk 30

responden dalam distribusi nilai rtabel Product Moment adalah 0,361

(Eka Nur Kamilah, 2015).


Hasil uji reliabilitas dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2. Hasil Uji Reliabilitas
Variabel Cronbach's Alpha Keterangan
Resiliensi Ibu 0,852 Reliabel

Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa uji reabilitas yang

dilakukan terhadap 30 orang responden menunjukkan bahwa variabel

36
resiliensi ibu dinyatakan reliabel. Hal ini disimpulkan dengan melihat

bahwa variabel resiliensi ibu memiliki nilai Cronbach's Alpha > rtabel.

Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh pernyataan yang dibuat dinilai

layak dan dapat digunakan untuk keperluan penelitian.


2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Piru terletak di Jalan Baru Desa

Ety, Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat. SLB didirikan oleh Bapak

Vence Mandaku, S.Pd. SLB didirikan pada tanggal 25 Agustus 2014. Awal

mula SLB berdiri, terdapat 8 orang guru dan 24 siswa. Semua guru yang

mengajar di SLB adalah lulusan pendidikan dan keguruan. Visi Misi dari

SLB Negeri Piru adalah:


Visi : Mengembangkan siswa kemampuan bakat serta minat peserta didik

agar menjadi insan yang terampil, mandiri dan bertaqwa.


Misi :
a. Meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
b. Mengembangkan pengetahuan, sikap, dan psikomotor peserta didik

melalui layanan pendidikan formal di Sekolah


c. Menanam konsep diri yang positif agar beradaptasi dan diterima

dalam kehidupan
Tujuan SLB Negeri Piru
a. Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berintrskdi

secara vertikal dan horizontal.


b. Meningkatkan pemahaman terhadap kemampuan diri serta mampu

mandiri dan berpartisipasi dalam masyarakat


c. Mempersiapkan peserta didik ntuk melanjutkan ke jenjang

pendidikan yang lebih tinggi.


3. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik

responden yang meliputi umur ibu, umur anak, pendidikan dan pekerjaan.

Pada penelitian ini variabel yang dideskripsikan melalui analisis univariat

37
adalah variabel independen yaitu resiliensi ibu dan variabel dependen yaitu

kemampuan personal hygiene anak autis. Analisis univariat akan diuraikan

sebagai berikut:
a. Karakteristik Responden
1) Umur Ibu
Karateristik responden berdasarkan umur di tempat penelitian dapat

dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Ibu di


SLB Negeri Piru Kabupaten Seram Bagian Barat
Umur Ibu n %
31-40 Tahun 18 48,6
41-50 Tahun 12 32,4
>50 Tahun 7 18,9
Total 37 100
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa distribusi responden

berdasarkan umur ibu didapatkan sebagian besar berada pada

kelompok umur 31-40 tahun yaitu sebanyak 18 orang (48,6%),

diikuti kelompok umur 41-50 tahun yaiutu sebanyak 12 orang

(32,4%) dan sebagian kecil berada pada kelompok umur >50 tahun

yaitu sebanyak 7 orang (18,9%).


2) Umur Anak
Karateristik responden berdasarkan umur anak di tempat penelitian

dapat dilihat pada tabel 4.4.


Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Anak di
SLB Negeri Piru Kabupaten Seram Bagian Barat
Umur Anak n %
10-15 Tahun 6 16,2
16-20 Tahun 31 83,8
Total 37 100
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa distribusi responden

berdasarkan umur anak sebagian besar berada pada kelompok umur

38
16-20 tahun yaitu sebanyak 31 orang (83,8%) dan sebagian kecil

berada pada kelompok umur 10-15 tahun yaitu sebanyak 6 orang

(16,2%).

3) Pendidikan
Karateristik responden berdasarkan jenis kelamin di tempat

penelitian dapat dilihat pada tabel 4.5.


Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di
SLB Negeri Piru Kabupaten Seram Bagian Barat
Pendidikan n %
SD 8 21,6
SMP 11 29,7
SMA 12 32,4
PT 6 16,2
Total 37 100
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa distribusi responden

berdasarkan pendidikan didapatkan sebanyak 8 orang (21,6%)

berpendidikan SD, 11 orang (29,7%) berpendidikan SMP, 12 orang

(32,4%) berpendidikan SMU, dan 6 orang (16,2%) berpendidikan

perguruan tinggi.
4) Pekerjaan
Karateristik responden berdasarkan pekerjaan di tempat penelitian

dapat dilihat pada tabel 4.6.


Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan di SLB
Negeri Piru Kabupaten Seram Bagian Barat
Pekerjaan n %
Tidak Bekerja 20 54,1
Swasta 7 18,9
PNS 5 13,5
Pedagang 5 13,5
Total 37 100
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa distribusi responden

berdasarkan pekerjaan didapatkan sebagian besar tidak bekerja yaitu

20 orang (54,1%), sebagian swasta sebanyak 7 orang (18,9%), dan

39
sebagian kecil bekerja sebagai PNS dan pedagang, masing-masing 5

orang (13,5%).
b. Variabel Penelitian
1) Resiliensi Ibu
Karateristik responden berdasarkan resiliensi ibu di tempat penelitian

dapat dilihat pada tabel 4.7.


Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Resiliensi Ibu di
SLB Negeri Piru Kabupaten Seram Bagian Barat
Resiliensi Ibu n %
Baik 15 40,5
Kurang Baik 22 59,5
Total 37 100
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan

resiliensi ibu dengan kategori baik sebanyak 15 orang (40,5%) dan ketegori

kurang baik sebanyak 22 orang (59,5%).


2) Kemampuan Personal Hygiene Anak Autis
Karateristik responden berdasarkan kemampuan personal hygiene

anak autis di tempat penelitian dapat dilihat pada tabel 4.8.


Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Kemampuan
Personal Hygiene Anak Autis di SLB Negeri Piru
Kabupaten Seram Bagian Barat
Kemampuan Personal n %
Hygiene anak Autis
Mampu 12 32,4
Tidak Mampu 25 67,6
Total 37 100
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa distribusi responden

berdasarkan kemampuan personal hygiene anak autis dengan

kategori mampu sebanyak 12 orang (32,4%) dan ketegori tidak

mampu sebanyak 25 orang (67,6%).


4. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dalam penelitian ini dilakukan untuk menguji

hipotesis hubungan resiliensi ibu dengan kemampuan personal hygiene

anak autis di SLB Negeri Piru Kabupaten Seram Bagian Barat dengan

40
menggunakan uji Chi Square dengan nilai p < 0,05, dapat dilihat pada

tabel 4.9.
Tabel 4.9. Hubungan Resiliensi Ibu Dengan Kemapuan Personal
Hygiene Anak Autis Di SLB Negeri Piru Kabupaten Seram Bagian
Barat.
Kemampuan Personal Hygiene P
Mampu Tidak Total
Resiliensi Ibu Mampu value

n % n % N %

Baik 10 66,7 5 33,3 15 100

Kurang Baik 2 9,1 20 90,9 22 100 0,000


Total 12 32,4 25 67,6 37 100

Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 4.9 di atas menunjukkan bahwa dari 37 responden yang

diteliti, dapat disimpulkan bahwa resiliensi ibu yang baik dengan

kemampuan anak autis yang mampu melakukan personal hygiene

sebanyak 10 orang (66,7%) dan resiliensi ibu yang baik dengan

kemampuan anak autis yang tidak mampu melakukan personal hygiene

sebanyak 5 orang (33,3%). Sedangkan resiliensi ibu yang kurang baik

dengan kemampuan anak autis yang mampu melakukan personal hygiene

sebanyak 2 orang (9,1%) dan resiliensi ibu yang kurang baik dengan

kemampuan anak autis yang tidak mampu melakukan personal hygiene

sebanyak 20 orang (90,9%). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

resiliensi ibu yang kurang baik cenderung memiliki anak yang tidak

mampu melakukan personal hygine.


Hal ini didukung dengan hasil uji statistik yang menggunakan uji

Chi-Square menunjukkan Ha diterima dengan nilai p < 0,05 (p = 0,000)

yang berarti bahwa ada hubungan yang signifikan antara resiliensi ibu

41
dengan kemampuan personal hygiene anak autis di SLB Negeri Piru

Kabupaten Seram Bagian Barat.


B. Pembahasan
1. Resiliensi Ibu Di SLB Negeri Piru Kabupaten Seram Bagian Barat
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden yang

diteliti, didapatkan responden dengan resiliensi ibu yang baik sebanyak 15

orang (40,5%) dan responden dengan resiliensi ibu yang kurang baik

sebanyak 22 orang (59,5%). Hal ini menunjukkan kurangnya resiliensi ibu

pada anak autis di SLB Negeri Piru Kabupaten Seram Bagian Barat. Ibu

merupakan pengasuh utama bagi anak dengan gangguan autis, sehingga

penting untuk memiliki resiliensi atau ketahanan dalam mengasuh anak.

Kehidupan sehari-hari ibu selama membesarkan anak dengan gangguan

autis memiliki banyak tantangan yang bersumber dari perilaku anak,

sehingga penting bagi ibu untuk membangun resiliensi (Santoso, 2015).


Penelitian ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Ninda

(2017) yang mengatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan

seseorang untuk bertahan, bangkit dan menyesuiakan dengan kondisi yang

sulit. Resilensi merupakan kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi

terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan.

Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan

kesengsaraan atau trauma yang dialami dalam kehidupannya.


Hal ini juga sejalan dengan teori yang dijelaskan oleh Claudia

(2019), mengatakan bahwa ibu yang telah beresiliensi memiliki kapasitas

untuk dapat berespon secara sehat dan produktif serta dapat mengatasi dan

mengelola stres yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari terlebih dalam

tugas pengasuhan. Menjadi individu yang beresiliensi tidak hanya

42
berdampak positif bagi diri ibu itu sendiri, melainkan dapat menunjang

perkembangan hidup anak secara optimal dan dapat membantu anak yang

mengalami gangguan autisme untuk dapat hidup secara mandiri

dikemudian hari. Ketidakmampuan ibu untuk mencapai resiliensi diri

dapat mengganggu fungsi dan peran ibu terutama dalam tugas pengasuhan.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Beatrix Edyta

(2016) tentang gambaran resiliensi ibu yang memiliki anak autis di Taman

Pelatihan Harapan Makasar. Hasil penelitian menunjukkan responden

terkejut, terpuruk, dan tidak menyangka anak mereka akan mengalami

gangguan autis. Namun mereka mampu menerima kondisi dan mampu

bangkit kembali serta selalu berpikir positif kelak anak mereka akan

menjadi lebih baik. Mereka merasa yakin dapat memberikan yang terbaik

untuk anaknya dengan tetap berusaha mencari tahu dan meningkatkan

keterampilan mereka dalam menangani anaknya, serta ikut terlibat dalam

proses terapi.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Putu Nugrahaeni Widiasavitri (2019) tentang Resiliensi ibu dengan anak

autisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu melakukan mekanisme

penyesuaian diri dan mekanisme koping dalam usaha mencapai resiliensi.

Mekanisme penyesuaian diri yang dikembangkan oleh ibu dengan anak

autisme dibagi menjadi dua yaitu mekanisme penyesuaian terhadap

karakteristik anak dan mekanisme penyesuaian terhadap respon

lingkungan sekitar. Sedangkan mekanisme koping yang dikembangkan

43
berupa kontrol diri, berpasrah, melakukan pengalihan, mencari informasi,

mencari bantuan, dan pemecahan masalah bersama.


Asumsi peneliti, resiliensi ibu yang baik akan mendorong anak untuk

lebih aktif dan mandiri sehingga anak mampu untuk melakukan kegiatan

sehari-hari termasuk personal hygiene dan lebih percaya diri dalam

pergaulannya walaupun dengan anak yang tidak autis.


2. Kemampuan Personal Hygiene Anak Autis Di SLB Negeri Piru

Kabupaten Seram Bagian Barat


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden yang

diteliti, didapatkan responden dengan kemampuan anak autis yang mampu

melakukan personal hygiene sebanyak 12 orang (32,4%) dan responden

dengan kemampuan anak autis yang tidak mampu melakukan personal

hygiene sebanyak 25 orang (67,6%). Hal ini menunjukkan adanya

ketidakmampuan personal hygiene anak autis di SLB Negeri Piru

Kabupaten Seram Bagian Barat. Anak autis yang status personal hygiene

kurang bisa disebabkan oleh masih banyak orang tua yang kurang terlibat

dalam kegiatan anak, tidak bisa melatih anak dalam melakukan tugas

sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dan kurangnya arahan yang

diberikan oleh orang tua (Budi, 2014).


Penelitian ini sejalan dengan teori Mubarak (2015), yang

menjelaskan bahwa personal hygiene adalah upaya yang dilakukan

individu dalam memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya baik secara

fisik maupun mental. Bagi anak reguler yang secara mental dia adalah

anak yang memiliki intelegensi normal dan tidak mengalami gangguan

komunikasi pasti akan mudah untuk dijelaskan bahwa kegiatan personal

44
hygiene adalah sesuatu yang sangat penting dan dapat ia lakukan dengan

mandiri.
Sehingga secara fisik, anak reguler akan dengan mudah mandiri

untuk melakukan kegiatan personal hygiene sendiri. Tetapi, hal ini akan

berbanding terbalik bagi anak berkebutuhan khusus terutama anak autis.

anak autis mengalami gangguan intelektual dengan kecerdasan yang

rendah serta mengalami gangguan berbahasa. Sehingga hal ini

menyulitkan anak autis menerima informasi mengenai pentingnya personal

hygiene bagi kesehatan mereka. Faktor yang mempengaruhi kemandirian

personal hygiene adalah cacat jasmani/mental bawaan. Kondisi cacat dan

gangguan mental menghambat kemampuan individu untuk melakukan

perawatan diri secara mandiri.


Hal ini sejalan dengan teori Budi (2014), yang mengatakan bahwa

personal hygiene adalah perawatan diri yang secara positif mempengaruhi

kesehatan manusia yang dilakukan sebagai aktifitas kehidupan sehari-hari.

Status personal hygiene seorang anak autis tergantung orang-orang

sekitarnya. Personal hygiene penting dalam kehidupan anak. Melatih

personal hygiene pada anak autis akan menumbuhkan rasa percaya diri

pada anak. Adanya keterlambatan pada anak autis mempengaruhi dirinya

dalam upaya memelihara kebersihan.


Hal ini didukung oleh penelitian Karina Wahyu Dewi (2017) tentang

Peranan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kemandirian Personal Hygiene

pada Anak Autis di SD. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Anak

autis yang mandiri mampu dengan mandiri untuk melakukan kegiatan

personal hygiene meliputi mencuci tangan, menyisir rambut, mencuci

45
rambut, toilet training, mandi dan menggosok gigi. Mereka melakukan

langkah demi langkah tahapan kegiatan personal hygiene dengan tanpa

didampingi orang tua dan tanpa diperintah oleh orang tua. Hal ini

menunjukkan bahwa anak autis yang mandiri tidak memiliki rasa ragu-

ragu dan dapat lebih bertanggung jawab terhadap dirinya. Sedangkan bagi

anak autis yang kurang mandiri masih sering dibantu orang tua secara

verbal. Orang tua masih memerintah anak dalam kegiatan personal

hygiene. Selain masih banyak kegiatan yang dibantu secara verbal, banyak

pula kegiatan yang perlu dibantu secara fisik oleh orang tua.

Sesungguhnya anak sudah mampu dalam beberapa hal kegiatan personal

hygiene namun orang tua masih ragu dan kurang puas saat melihat

anaknya melakukan kegiatan personal hygiene sendiri.


Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Madya

Silvia (2018) tentang hubungan tingkat retradasi mental anak dengan

personal hygiene di Sekolah Dasar Luar Biasa peterongan Kabupaten

Jombang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh anak autis

memiliki kemandirian yang terbatas, khususnya pada kemampuan untuk

melakukan kebersihan diri. Dalam setiap perkembangannya, kemandirian

anak autis berbeda dengan anak lainnya. Anak autis memiliki gangguan

yang kompleks sehingga menimbulkan berbagai permasalahan dalam

kehidupannya. Anak autis memiliki gangguan yang sangat kompleks, yang

salah satunya adalah terbatasnya dalam melakukan kegiatan kebersihan

diri. anak autis merupakan anak yang mengalami gangguan perkembangan

yang khas yang mencakup gangguan persepsi, linguistic, komunikasi dari

46
yang ringan sampai yang berat, dan seperti hidup dalam dunianya sendiri

yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk berkomunikasi baik secara

verbal maupun non verbal dengan lingkungan sekitarnya.


Asumsi peneliti, seorang anak dengan kemampuan personal hygiene

yang baik sangat tergantung dari perhatian dan kepedulian orang tua dalam

membimbing, mengajarkan dan mengontrol keseharian anak terutama

dalam melaukan personal hygiene, karena hal tersebut sangat penting bagi

anak dalam kesehariannya bergaul dan beradaptasi dengan teman-teman

baik yang sesame autis maupun dengan tema-teman yang tidak autis.
3. Hubungan Resiliensi Ibu Dengan Kemampuan Personal Hygiene Anak

Autis Di SLB Negeri Piru Kabupaten Seram Bagian Barat


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden yang

diteliti, didapatkan dari 15 responden yang memiliki resiliensi ibu baik,

terdapat 10 responden yang mempunyai kemampuan personal hygiene

baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa responden dengan

resilienasi ibu baik cenderung mampu melakukan personal hygiene. Teori

ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Hasanah (2015)

menjelaskan bahwa anak autis dapat mencapai tingkat kemandirian, jika

pola pengasuhan orang tua berperan besar dalam pertumbuhan termasuk

memahami keterbatasan anak, sehingga semakin lama, anak dapat mandiri

dan tidak bergantung sepenuhnya pada orang tua dalam melakukan

aktivitas sehari-hari.
Hal ini didukung oleh penelitian Yudit Arazi (2017) dalam penelitian

secara kualitatif menjelaskan bahwa resiliensi orang tua terhadap anak

autis berperan penting dalam perubahan perasaan terpuruk menjadi

47
semangat menyembuhkan anak sehingga semangat dalam melakukan

berbagai hal untuk kesembuhan anak, termasuk memperhatikan dalam hal

personal hygiene untuk melatih anak lebih mandiri dan tidak bergantung

pada orang lain.


Dari hasil penelitian ini juga terdapat 22 responden yang memiliki

resiliensi ibu kurang baik terdapat 20 responden yang tidak mampu

melakukan personal hygiene. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

responden dengan resiliensi ibu kurang baik cenderung tidak mampu

melakukan personal hygiene. Hal ini didukung oleh teori yang

diungkapkan oleh Situmeang (2016) menjelaskan bahwa personal hygiene

sangat diperlukan pada anak autis dalam melakukan aktifitas secara

mandiri. Anak autis masih banyak tergantung kepada orang tua dalam

melakukan perawatan diri. Ketergantungan yang tinggi dalam hal

melakukan aktifitas sehari-hari terutama dalam hal personal hygiene

seperti mandi, berpakaian, toileting, berpindah dan makan. Ibu adalah

sosok yang sangat dekat dengan anak, jadi jika resiliensi ibu kurang baik

maka anak merasa tidak diperhatikan sehingga anak tidak mampu

melakukan aktifitas sehari-hari dengan baik.


Hal ini didukung oleh penelitian Niza Anjari (2016) yang

menjelaskan bahwa orangtua yang memiliki anak autis mempunyai

permasalahan diantaranya kurangnya pengetahuan tentang autis, stres,

waktu yang tersita banyak dan kendala ekonomi. Dinamika resiliensi yang

berhasil terungkap pada penelitian ini, antara lain orangtua mengalami

perasaan tertekan seperti stres dan putus asa, kemudian orangtua merasa iri

48
dengan orangtua lain yang mempunyai anak normal sehingga

mengkibatkan emosi yang tidak terkontrol (perasaan dan perilaku negativ),

sehingga anak menjadi minder dan akhirnya tidak mampu untuk

melakukan berbagai aktivitas secara mandiri termasuk ketidakmampuan

dalam melakukan personal hygiene.


Pada penelitian ini, ada pula kesenjangan yang ditemukan yakni dari

15 responden dengan resiliensi ibu baik, terdapat 5 responden tidak

mampu melakukan personal hygiene memiliki resiliensi ibu baik. Hal ini

disebabkan karena gangguan perkembangan anak yang mempengaruhi

keterlambatan anak dalam meresponi perubahan-perubahan yang

dilakukan oleh ibu. Hal ini sejalan dengan teori Hasdianah (2013) autistik

berarti gangguan perkembangan yang secara signifikan mempengaruhi

komunikasi verbal dan nonverbal serta interaksi sosial yang pada

umumnya terjaadi dan dengan keadaan ini sangat mempengaruhi performa

pendidikannya. Karakteristik lain yang sering diasosiasikan dengan autis

adalah ketertarikan dalam aktivitas yang diulang-ulang dan gerakan-

gerakan stereotip, menolak perubahan lingkungan atau perubahan rutinitas

sehari-hari serta tidak bisa merespon pengalaman-pengalaman sensorik.


Dari hasil penelitian ini juga, ditemukan kesenjangan, yakni 22

responden dengan resiliensi ibu kurang baik, terdapat 2 responden yang

mampu melakukan personal hygiene memiliki resiliensi ibu kurang baik.

Hal ini disebabkan karena ibu yang awalnya tidak menerima keadaan anak

sehingga membuat ibu kecewa, namun dengan memberikan anak

kesempatan untuk anak bersosialisasi termasuk sekolah di SLB, sehingga

49
anak mengikuti semua hal yang diajarkan oleh guru di sekolah dan orang-

orang terdekatnya termasuk personal hygiene. Hal ini sejalan dengan

penelitian Yumpi (2017) yang mengatakan bahwa adapun upaya yang

digunakan untuk menumbuhkan resiliensi orang tua adalah menggunakan

religious coping dengan praktek ritual ibadah dan mengunakan keyakinan

yang menghubungkan dirinya dengan Tuhan dalam menyelesaikan

masalah sehingga membantu individu untuk beradaptasi dalam situasi

kehidupan yang menekan. Selanjutnya adalah menemukan sumber-sumber

kekuatan dari usahanya mencari dukungan orang-orang terdekat.


Asumsi peneliti adalah anak autis memiliki keterlambatan dalam

perkembangan sehingga perubahan-perubahan yang diajarkan oleh orang

tua terkadang tidak dapat diresponi dengan baik. Dibutuhkan kesabaran

dari orang tua terutama ibu dalam mendidik anak yang autis untuk anak

dapat mandiri dalam melakukan berbagai hal terutama dalam melakukan

personal hygiene.
Asumsi yang lain juga, anak sangat bergantung pada orang lain

terutama ibu. Seorang anak autis membutuhkan penerimaan baik dari

keluarga maupun orang-orang yang dekat dengannya. Namun, terkadang

karena tidak adanya penerimaan terhadap kenyataan yang terjadi, ibu tidak

memiliki cara yang baik untuk mengajarkan anak dalam melakukan

personal hygiene. Sekolah Luar Biasa merupakan tempat anak autis

diterima dan diajarkan untuk perubahan-perubahan yang lebih baik dan

menjadikan anak lebih mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari

terutama dalam hal personal hygiene.

50

Anda mungkin juga menyukai