Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Globalisasi merupakan suatu fenomena yang mendorong perusahaan di tingkat mikro

ekonomi untuk meningkatkan efisiensi agar mampu bersaing di tingkat lokal,nasional, maupun

internasional. Dengan globalisasi yang menyatukan pasar dan kompetisi investasi internasional

meningkatkan tantangan sekaligus peluang bagi semua perusahaan baik kecil, menengah maupun

besar. Untuk menghadapai globalisasi maka diperlukan daya saing yang kuat. Daya saing

merupakan kemampuan perusahaan, industri, daerah, negara, atau antar daerah untuk

menghasilkan faktor pendapatan dan faktor pekerjaan yang relatif tinggi dan berkesinambungan

untuk menghadapi persaingan internasional (Lestari, 2010).

Indonesia sebagai negara maritim, memiliki kekayaan kelautan yang luar biasa. Salah satu

kekayaan laut yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat adalah potensi perikanan.

Potensi perikanan di Indonesia sangat besar, mencapai 6,7 juta ton per tahun. Pemanfaatan potensii

perikanan tersebut baru sebesar 59% dari total kekayaan perikanan yang ada sehingga belum

dimanfaatkan secara maksimal.

Pemanfaatan total produksi perikanan di Indonesia sebagian besar di konsumsi dalam

bentuk segar sebesar 43,1%, beku sebesar 30,40%, pengalengan sebesar 13,17% dan olahan lain

sebesar 12,8%. Pemanfaatan dalam bentuk olahan ikan antara lain berupa ikan asin, ikan asap,

ikan pindang dan produk fermentasi seperti terasi, petis dan sebagainya. Pengasapan ikan sebagai

salah satu produk olahan ikan belum mendapatkan perhatian secara maksimal. Sementara

konsumsi untuk ikan asap sebenarnya memiliki peluang yang bagus.


Sub sektor perikanan mempunyai peranan penting sebagai penyumbang protein bagi

masyarakat Indonesia. Akan tetapi tidak semua wilayah Indonesia dapat tercukupi kebutuhannya

dari protein karena ketersediaan ikan per kapita belum terdistribusi secara merata. Pengolahan

dapat membuat ikan menjadi awet dan memungkinkan untuk didistribusikan dari pusat produksi

ke pusat konsumen. Namun, selama 20 tahun terakhir, produksi ikan yang diolah baru sekitar 23-

47 persen, dan dari jumlah tersebut sebagian besar merupakan pengolahan tradisional. Berdasarkan

statistik menunjukkan bahwa 49,99 persen pemanfaatan ikan laut adalah dalam bentuk produk

tradisional (Ditjen Perikanan Tangkap, 2006), karena pengolahan modern memerlukan

persyaratan yang sulit dipenuhi oleh perikanan skala kecil, yaitu pasokan bahan baku yang

bermutu tinggi dalam jenis ukuran yang seragam, dalam jumlah yang cukup banyak sesuai dengan

kapasitas industri. Kondisi ini menggambarkan bahwa pengolahan tradisional masih mempunyai

prospek untuk dikembangkan. Prospek ini didukung oleh masih tersedianya sumber daya ikan di

pusat produksi, tingginya permintaan di pusat konsumsi, sederhananya teknologi, serta banyaknya

industri rumah tangga pengolah tradisional.

Indonesia kaya akan berbagai jenis produk tradisional yang biasanya memiliki kekhasan

atau keunikan dari segi bentuk, bau dan rasa. Produk tradisional dari suatu daerah sulit untuk

ditemukan di daerah lain, kecuali untuk produk tertentu yang sudah dikenal secara luas, seperti

ikan asin, ikan asap dan kerupuk ikan. Kadang – kadang untuk produk yang sama dikenal dengan

nama berbeda di daerah lain, seperti ikan asap dikenal dengan nama ikan sale di Sumatera Selatan,

ikan asar di Maluku dan ikan fufu di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Walaupun demikian,

selama ini ikan olahan tradisional masih mempunyai citra buruk di mata konsumen, karena

rendahnya mutu dan nilai nutrisi, tidak konsistennya sifat fungsional, serta tidak adanya jaminan

mutu dan keamanan bagi konsumen. Dalam ilmu teknologi pangan, sifat fungsional didefinisikan
sebagai suatu sifat dalam makanan yang berkaitan dengan daya guna dan keinginan konsumen

(Sikorski et al., 1998). Rasa, bau, warna, tekstur, kelarutan, penyerapan, dan penahanan air,

kerenyahan, elastisitas, nilai nutrisi, dan daya awet merupakan sifat fungsional penting bagi ikan

olahan, sedangkan harga, ketersediaan serta jenis dan bentuk olahan bukan merupakan sifat

fungsional, walaupun keadaan tersebut juga sangat penting bagi konsumen.

Pembangunan perikanan budidaya mempunyai peluang yang sangat besar dilihat dari

lingkungan strategis dan potensi sumberdaya yang tersedia, yakni berupa peningkatan jumlah

penduduk dunia yang membutuhkan semakin banyak penyediaan ikan, pergeseran pola konsumsi

masyarakat dunia ke produk perikanan, tuntutan penyediaan makanan bermutu tinggi dan

memenuhi syarat kesehatan, keunggulan komparatis terhadap pasar dunia karena letaknya yang

relatif dekat dengan negara tujuan ekspor seperti Jepang, dan memiliki potensi sumber daya lahan

yang sangat besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. (KKP, 2009). Peluang pengembangan

perikanan budidaya sangat terbuka lebar, baik dilihat dari sisi potensi sumberdaya yang cukup

besar dan belum sepenuhnya dimanfaatkan, maupun dan sisi permintaan pasar. Dari sisi potensi

sumber daya lahan yang tersedia, Propinsi Sulawesi Tenggara dengan garis pantai dan ditunjang

dengan kondisi iklim tropisnya sangat memungkinkan untuk pelaksanaan aktivitas usaha

pembudidayaan ikan sepanjang tahun, serta memiliki potensi sumberdaya lahan budidaya laut.

Teknologi produk tradisional perikanan dicirikan dengan suatu gambaran yang kurang

baik, yaitu produk tradisional diolah dengan tingkat sanitasi dan higiene yang rendah,

menggunakan bahan mentah dengan tingkat mutu atau kesegaran yang rendah, keamanan

pangannya tidak terjamin, teknologi yang digunakan secara turun-temurun, dan perusahaan

dikelola oleh keluarga dengan tingkat kemampuan manajemen kurang memadai. Keadaan ini

dapat diperbaiki dengan menggunakan cara pengolahan yang benar (GMP), melakukan
rasionalisasi dan standardisasi mulai dari bahan baku dan bahan pembantu, proses, hingga produk

akhir, serta menegakkan prinsip sanitasi dan higiene yang baik (SSOP). Pengembangan

pengolahan ikan tradisional memerlukan pembinaan yang diawali dari riset, diseminasi, serta

penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan (Heruwati, 2002).

Pengawetan ikan dengan pengasapan sudah lama dilakukan manusia. Teknologi

pengasapan termasuk cara pengawetan ikan yang telah diterapkan secara turun temurun. Istilah

pengasapan (smoking) diartikan untuk penyerapan bermacam-macam senyawa kimia yang berasal

dari asap kayu ke dalam daging ikan, disertai dengan setengah pengeringan dan biasanya didahului

dengan proses penggaraman. Pengasapan juga sering dikombinasikan dengan pengeringan sinar

matahari dan atau perlakuan pendahuluan dengan penggaraman. Jadi, istilah smoke

curing meliputi seluruh proses yang dimulai dari tahap persiapan bahan mentah sampai ke

pengasapan terakhir yang mengakibatkan perubahan bahan mentah sampai ke pengasapan terakhir

yang mengakibatkan perubahan warna, flavor, dan tekstur ikan. Sedangkan tujuan pengasapan

dalam pengawetan ikan adalah untuk mengawetkan dan member warna serta asap yang khusus

pada ikan.

Suhu pengasapan bervariasi di berbagai tempat tergantung permintaan konsumen dan tipe

unit pengasapan yang digunakan. Ada lima jenis proses pengasapan yaitu, pengasapan dingin(cold

smoking), pengasapan hangat (warm smoking), pengasapan panas (hot smoking), pengasapan cair

(liquid smoking), dan pengasapan listrik (electric smoking). Tetapi sebagian besar produk diolah

menggunakan pengasapan panas (hot smoking), yaitu suhu pengasapan yang menyebabkan produk

yang diolah masak. Sekarang telah dikembangkan teknologi pengasapan dengan menggunakan

asap cair (cuka kayu) yang menghasilkan produk dengan flavor yang lebih seragam dibandingkan

dengan metode tradisional.


Mutu dan keamanan produk merupakan persyaratan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi di

dalam perdagangan produk perikanan saat ini. Persaingan antarproduk di pasaran sangat

ditentukan oleh kedua hal tersebut. Tidak jarang, produk perikanan dapat menyebabkan keracunan

dan kematian terhadap konsumen atau ditolak negara pengimpor karena tidak memenuhi

persyaratan keamanannya. Mutu produk ditentukan oleh performance produk secara organoleptik,

kimiawi, fisik dan mikrobiologis. Cara yang paling mudah untuk penentuan mutu produk adalah

secara organoleptik, sedangkan untuk penentuan mutu secara kimiawi, mikrobiologis dan fisik

memerlukan peralatan dan waktu yang relatif lama untuk memperoleh hasilnya.

Salah satu daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara yang menjadi penghasil ikan asap adalah

Desa Lalonggasumeeto Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe. Desa

Lalonggasumeeto pada tahun 1980an termasuk desa tertinggal, namun perkembangan usaha

pengasapan ikan membawa desa ini menjadi salah satu desa percontohan yang bisa mengangkat

kesejahteraan warganya. Desa ini terangkat kesejahteraannya berkat pengembangan usaha

pengasapan ikan yang dilakukan sebagian besar warganya.

Warga desa sebelumnya lebih banyak bekerja sebagai buruh tani, namun seiring

perkembangan usaha pengasapan ikan, beralih bekerja sebagai penambak ikan dan pengasap ikan.

Sedikitnya terdapat 7 tempat usaha baik perorangan di rumah sendiri maupun di rumah asap yang

telah dibangun modern, dengan tenaga kerja per rumah bisa mencapai 1 - 3 orang.

Ikan segar yang diolah menjadi ikan asap di datangkan dari daerah sekitar seperti Desa

Batu Gong,Watunggarandu dan Desa-desa atau Kecamatan lainnya. Jenis ikan yang bisa di asap

antara lain ikan manyung (N.Thalassinus), ikan pari (Aetobatus spp.), ikan tongkol (Euthynnus

allecterates), ikan lele (Clarias Batrachus) dan ikan bandeng (Chanos chanos). Rata-rata
pengasapan ikan oleh satu pengasap adalah sebanyak 50 kg sampai 60 kg per bulan. Pengadaan

bahan baku ini diperoleh melalui pedagang ikan segar yang datang ke desa.

Suatu unit usaha pengasapan ikan sangat tergantung kepada beberapa faktor, antara lain

adalah faktor sumber daya ikan (ikan mentah) sebagai bahan baku yang akan diolah menjadi ikan

asap, faktor bahan bakar yang digunakan dalam proses pengolahan pengasapan ikan, faktor tungku

yang dipakai sebagai alat untuk memanggang ikan mentah menjadi ikan asap, serta tenaga kerja

yang melakukan kegiatan pemanggangan tersebut. Semua itu merupakan faktor produksi yang

saling mendukung dalam usaha pengasapan ikan. Adanya keterbatasan tersedianya sumberdaya

perikanan yang dimiliki memerlukan adanya pengaturan yang dapat mengoptimalkan penggunaan

sumberdaya tersebut dan permasalahan yang dihadapi sebagai subyek pengambil keputusan dalam

usaha pemenuhan berbagai tujuan hidupnya. Sementara itu sumberdaya yang dimiliki serta

kemampuan untuk menganalisis faktor lingkungan yang kompleks sangat terbatas. Pemilihan

variabel variabel seperti ikan mentah, tungku, tempurung kelapa, tenaga kerja, dan modal adalah

faktor faktor produksi tersebut menjadi bagian utama dalam usaha pengasapan ikan dan tidak dapat

dipisahkan. Atas dasar kondisi tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tentang “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Industri Kecil Usaha Pengasapan

Ikan Di Desa Lalonggasumeeto Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

penenlitian ini yaitu

1. Bagaimana Faktor-Faktor yang mempengaruhi pendapatan industri kecil usaha pengasapan

ikan di Desa Lalonggasumeeto Kecamatan Lalonggasumeeto Kabuapaten Konawe.?


2. Bagaimana tingkat pendapatan pada usaha pengasapan ikan di Desa Lalonggasumeeto

Kecamatan Lalonggasumeeto Kabuapaten Konawe.?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini yaitu

untuk mengetahui

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan industri kecil usaha

pengasapan ikan di Desa Lalonggasumeeto Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe.

2. Untuk mengetahui tingkat pendapatan usaha pengasapan ikan di Desa Lalonggasumeeto

Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Bagi Akademisi.

Dapat memberikan wawasan atau pengetahuan mengenai factor-faktor yang

mempengaruhi dan pendapatan industri kecil pada usaha pengasapan ikan di Desa

Lalonggasumeeto Kecamatan Lalonggasumeeto Kabuapaten Konawe.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi peneliti-peneliti yang relefan dengan judul ini.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka ruang lingkup penelitian ini di

batasi pada faktor yang mempengaruhi pendapatan industi kecil usaha pengasapan ikan di Desa

Lalonggasumeeto Kecamatan Lalonggasumeeto Kabuapaten Konawe.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritik

2.1.1 Pengasapan Ikan

Pengasapan Ikan adalah pengolahan ikan dengan cara menghubungkan aktifitas

penggaraman, pengeringan, dan pengasapan. Dalam proses pengasapan ikan, unsur yang paling

berperan adalah asap yang dihasilkan dari hasil pembakaran kayu (Sutoyo, 1987).

Pengasapan merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan memanfaatkan kombinasi

perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia alami dari hasil pembakaran bahan bakar

alami. Melalui pembakaran akan terbentuk senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar

serta dihasilkan panas. Senyawa asap tersebut menempel pada ikan dan terlarut dalam lapisan air

yang ada di permulaan tubuh kita, sehingga terbentuk aroma dan rasa yang khas pada produk dan

warnanya menjadi keemasan atau kecoklatan (Rabiatun,2007).

2.1.2. Jenis-Jenis Pengasapan

Sutoyo (1987), berpendapat bahwa, ada dua cara pengasapan yaitu pengasapan panas dan

pengasapan dingin, semuanya tergantung jumlah panas yang digunakan. Selain itu,berkembang

pula cara pengasapan yang tergolong baru berupa pengasapan elektrik dan pengasapan liquit yang

dikenal dengan asap cair. Jenis ikan yang diasap bermacam-macam, diantaranya ikan tongkol, ikan

cakalang, ikan mujair dan ikanbandeng. Pada perang dunia II pengasapan ikan dimaksudkan

sebagai usaha pengawetan, maka pada masa itu pengasapan ikan Berkembang sebagai usaha

pengolahan sehingga rasa, aroma, warna dan tekstur menjadi tujuan utama. Berkembang pula cara

pengasapan lain, yaitu pengasapan elektrik dan pengasapan liquit.


Menurut Murniyati dan Sunarman (2000) Pengasapan dapat dilakukan dengan dua cara,

yaitu pengasapan panas (hot smoking) dan pengasapan dingin (cold smoking), namun dewasa ini

seiring dengan perkembangan jaman pengasapan juga bisa dilakukan dengan pengasapan elektrik

serta pengasapan cair (liquid). Lebih jelas mengenai jenis - jenis pengasapan adalah sebagai

berikut :

Pengasapan Panas

Menurut Abu Faiz (2008) Pengasapan panas (hot smoking) adalah proses pengasapan ikan

dimana akan diasapi diletakkan cukup dekat dengan sumber asap. Pengasapan panas dengan

mengunakan suhu pengasapan yang cukup tinggi, yaitu 70-100oC. Karena suhunya tinggi, waktu

pengasapan pun lebih pendek. Melalui suhu yang tinggi, daging ikan menjadi masak dan perlu

diolah terlebih dahulu sebelum disantap.

Suhu pengasapan yang tinggi mengakibatkan enzim menjadi tidak aktif sehingga dapat

mencegah kebusukan. Proses pengawetan tersebut juga dikarenakan karena asap. Jika suhu yang

digunakan 30-50oC maka disebut pangasapan panas dengan suhu rendah dan jika suhu 50-90oC,

maka disebut pangasapan panas pada suhu tinggi (Adawyah, 2007).

Pengasapan Dingin

Menurut Abu Faiz (2008) Pengasapan dingin (cold smoking) adalah proses pengasapan

dengan cara meletakkan ikan yang akan diasap agak jauh dari sumber asap (tempat pembakaran

kayu), dengan suhu sekitar 40 – 50 oC dengan lama proses pengasapan beberapa hari sampai dua

minggu. Menambahkan pengertian tersebut pengasapan dingin merupakan cara pengasapan pada

suhu rendah, yaitu tidak lebih tinggi dari suhu 33oC (sekitar 15-33oC). Waktu pengasapannya dapat

mencapai 4-6 minggu. Penggunaan suhu rendah dimaksudkan agar daging ikan tidak menjadi

masak atau protein didalamnya tidak terkoagulasi. Akibatnya ikan asap yang dihasilkan masih
tergolong setengah masak sehingga sebelum ikan asap disantap masih perlu diolah kembali

menjadi produk siap santap (Adawyah, 2007).

Pengasapan Elektrik

Ikan asap dengan asap dari pembakaran gergaji (serbuk gergaji) yang dilewatkan medan

listrik dengan tegangan tinggi. Ikan pun mengalami tahap pengeringan untuk mempersiapkan

permukaan ikan menerima partikel asap, kemudian tahap pengasapan, dan tahap pematangan. pada

ruang pengasap dipasang kayu melintang dibagian atas dan dililiti kabel listrik. Ikan digantung

dengan kawat pada kayu berkabel listrik tersebut (Adawyah, 2007).

Pengasapan cair

Menurut Susanti, M, Hatmodjo, dan Kurniawan (2009) proses pengasapan secara langsung

yang umum dilakukan oleh perajin ikan asap memiliki kelemahan, di antaranya produksi asap

sulit dikendalikan dan pencemaran asap dapat mengganggu kesehatan pekerja dan lingkungan.

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diupayakan proses pengasapan yang aman dan bebas

pencemaran, tetapi tujuan proses pengasapan tetap tercapai. Salah satu alternatif ialah pengasapan

menggunakan asap cair, yaitu dispersi uap dalam cairan sebagai hasil kondensasi asap dari pirolisis

kayu. Menurut (Mubarokhah, 2008) asap cair atau liquid smoke merupakan kondensat alami

bersifat cair dari hasil pembakaran kayu yang mengalami aging dan filtrasi untuk memisahkan

senyawa tar dan bahan-bahan yang tidak diinginkan lainnya.

Asap liquid pada dasarnya merupakan asam cukanya (vinegar) kayu yang diperoleh dari

destilasi kering terhadap kayu. pada destilasi tersebut, vinegar kayu dipisahkan dari tar dan

hasilnya diencerkan dengan air lalu ditambahkan garam dapur secukupnya, kemudian ikan

direndam dalam larutan asap tersebut selama beberapa jam. Faktor penting yang perlu diperhatikan

pada pengasapan liquid, adalah konsentrasi, suhu larutan asap, serta waktu perendaman, setelah
itu ikan dikeringkan ditempat teduh (Adawyah, 2007). Senyawaan hasil pirolisa itu dari asap cair

merupakan kelompok fenol, karbonit dan kelompok asam yang secara simultan mempunyai sifat

antioksidasi dan antimikroba. Kelompok-kelompok itu mampu mencegah pem-bentukan spora dan

pertumbuhan bakteri dan jamur serta menghambat kehidupan bakteri dan jamur serta menghambat

kehidupan virus. Sifat-sifat itu dapat dimanfaatkan untuk pengawetan makanan (Waluyo, 2002).

Kelebihan penggunaan asap cair dalam pengasapan adalah :

a) Beberapa aroma dapat dihasilkan dalam produk yang seragam dengan konsentrasi yang lebih

tinggi.

b) Lebih intensif dalam pemberian aroma

c) Kontrol hilangnya aroma lebih mudah

d) Dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan

e) Dapat digunakan oleh konsumen pada level komersial

f) Lebih hemat dalam pemakaian kayu sebagai sumber asap

g) Polusi lingkungan dapat diperkecil

h) Dapat diaplikasikan ke dalam berbagai kehidupan seperti penyemprotan, pencelupan, atau

dicampurkan langsung kedalam makanan

Menurut Adawyah (2007), alat pembuat asap cair dapat dibuat dari dua buah drum yang

dihubungkan oleh pipa, berfungsi mengalirkan asap dari drum tempat pembakaran kayu ke drum

yang berfungsi untuk mendinginkan asap sehingga dihasilkan asap cair. Drum yang berfungsi

sebagai pendingin diisi dengan air untuk membantu proses pendinginan asap.

2.1.3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pengasapan Ikan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengasapan menurut Wibowo (1996), antara lain
Suhu Pengasapan

Pada awal pengasapan, ikan masih basah dan permukaan kulitnya diselimuti lapisan air.

Dalam keadaan ini asap akan mudah menempel pada lapisan air permukaan ikan. Agar

penempelan dan pelarutan asap dapat berjalan efektif, suhu pengasapan awal sebaiknya rendah.

Jika dilakukan pada suhu tinggi, lapisan air pada permukaan tubuh ikan akan cepat menguap dan

daging ikan akan cepat matang. Kondisi ini akan menghambat proses penempelan asap sehingga

pembentukan warna dan aroma asap kurang baik. Setelah warna dan aroma terbentuk dengan baik,

suhu pengasapan dapat dinaikkan untuk membantu proses pengeringan dan pematangan ikan.

Kelembaban Udara

Kisaran kelembaban udara (Rh) yang ideal untuk pengasapan adalah 60% - 70% dan

suhunya sekitar 29° C. Jika Rh yang lebih tinggi dan 79% proses pengeringan selama pengasapan

berjalan lambat karena panas dari hasil pembakaran masih belum mampu mengurangi

kelembaban. Sebaliknya jika Rh kurang dari 60%, permukaan ikan akan terlalu cepat matang.

Jenis Kayu

Jenis kayu menentukan mutu asap yang dihasilkan dan pada akhirnya menentukan mutu

ikan asap. Untuk pengasapan dingin sebaiknya menggunakan serbuk gergaji dari jenis kayu keras

sedangkan untuk pengasapan panas menggunakan batang atau potongan kayu keras dari jenis kayu

jati. Jenis- jenis kayu yang mengandung resin atau damar seperti kayu pinus kurang baik untuk

pengasapan karena menghasilkan rasa pahit pada ikan, sehingga tidak enak untuk dikonsumsi.

Perlakuan sebelum pengasapan

Biasanya dengan penggaraman ikut menentukan mutu pengasapan. Faktor lain yang

berpengaruh adalah mutu ikan yang akan diasap, jumlah asap dan ketebalan asap. Mutu ikan akan

berpengaruh karena bila ikan yang diasap sudah mengalami kemunduran mutu maka produk yang
dihasilkan juga akan tidak sesuai dengan harapan. Sedangkan jumlah asap dan ketebalan asap akan

berpengaruh pada cita rasa, bau, dan warna. Semakin tebal asap semakin baik pula produk yang

akan dihasilkan.

2.1.4. Kualitas dan Mutu Ikan Asap

Menurut Moeljanto (1992), cara yang paling mudah untuk menilai mutu ikan asap adalah

dengan menilai mutu organoleptiknya. Mutu ikan asap bergantung pada tingkat

organoleptik bahan baku, sedangkan ikan yang bermutu adalah ikan yang memiliki nilai

organoleptik yang tinggi tanpa adanya perubahan tekstur pada ikan. Sehingga jika ikan itu

dikatakan bermutu maka ikan memliki kualitas yang bagus.

Menurut Wibowo (1996), ada lima parameter sensorik utama yang perlu dinilai dalam uji

organoleptik ikan, yaitu penampakan, warna, bau, rasa, dan tekstur. Di setiap daerah telah banyak

dijumpai unit – unit pengolahan pengasapan ikan, hal itu disebabkan oleh berhasilnya mereka

mengolah dan menghasilkan produk yang memiliki cita rasa yang enak dan berkualitas baik.

2.2. Karakteristik Ikan sebagai Bahan Baku Pengasapan

2.2.1. Bahan Baku Ikan Asap

Ikan adalah bahan baku makanan yang memiliki banyak kelebihan,

selain tekstur dagingnya yang menarik dan rasanya enak ikan juga mengandung protein yang

tinggi. Namun demikian ikan pula memiliki beberapa kekurangan, salah satunya yaitu ikan

mudah membusuk bila tidak ditangani dengan cepat setelah ditangkap. Maka dari itu hal-hal yang

berkaitan dengan usaha pengawetan khususnya pengasapan ikan sangat perlu dipaparkan lebih

dalam. (Sutoyo,1987).

Sutoyo (1987), menjelaskan cara dan peralatan yang digunakan dalam pengasapan ikan

adalah peralatan yang sederhana, sama seperti mengasap ikan pada


umumnya. Pengawetan ikan dengan cara pengasapan, tidak bias dilakukan pada semua jenis ikan.

Hanya jenis-jenis ikan tertentu saja yang bisa diawetkan dengan cara pengasapan diantaranya

golongan ikan tuna, dan ikan bandeng. Didaerah pesisir sering kita jumpai pengawetan ikan

dengan cara pengasapan. Ikan yang sering di konsumsi sebagai pengasapan adalah ikan tongkol

dan ikan bandeng.

2.2.2. Kesegaran Ikan sebagai Bahan Baku

Dalam pengolahan hasil perikanan dengan cara pengasapan dibutuhkan bahan baku yang

berupa ikan tongkol yang segar dan berkualitas baik agar tidak merugikan konsumen. Dan dalam

pemilihan ikan tongkol yang segar tersebut diperlukan beberapa penanganan atau seleksi terlebih

dahulu. Tanda-tanda ikan segar dan ikan yang mulai membusuk dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Tanda-Tanda Ikan Segar Dan Ikan Yang Mulai Membusuk

Organ
Ikan Segar Ikan Yang Mulai Busuk
Tubuh

Tampak terang, jernih, Tampak Pudar, berkerut, pupil


Mata
menonjol/cembung mata kelabu, Cekuing

Melekat kuat, mengkilat,


Mudah terlepas, tanda dan warna
Sisik dengan warna spesifik, tertutup
khusus memudar
lendir jernih

Terdapat lendir alami menutupi


Berubah kekuningan, dan berbau
Lendir tubuh ikan yang baunya khas
busuk
dengan warna yang cemerlang
Bewarna merah cerah sampai
Bewarna coklat kelabu, tertutup
Ingsang merah tua, tertutup oleh lendir
lendir keruh dan berbau asam
bening, berbau khas ikan

Warna kulit terang dan jernih, Menggelembung, pucat, dan

masih kuat mwmbungkus berlendir banyak, mulai terlihat


Kulit
tubuh, tidak mudah sobek mengendur/ lembek pada tempat

terutama pada bagian perut tertentu/ pecah

Kenyal/padat, menandakan

rigor mortis masih Daging lunak, menandakan rigor

berlangsung, berbau segar, dan mortis telah selesai, mulai berbau

bila daging ditekan dengan jari busuk, bila ditekan dengan jari
Daging
tidak tampak bekas lekukan, tampak bekas lekukan,mudah

daging melekat kuat pada lepas dari tulang, lembek dan isi

tulang, daging perut utuh dan perut sering keluar.

kenyal.

Sumber : Sutoyo (1987)


2.3 Pengertian Industri Kecil

Dinas Perindustrian Perdagangan merumuskan industri kecil sebagai berikut:

a. Sentra industri kecil merupakan suatu wilayah yang didalamnya terjadi pengelompokan industri-

industri kecil yang sejenis atau memilki kaitan erat diantara industri kecil tersebut, dimana wilayah

kerjanya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi saja tetapi ditentukan oleh wilayah industri kecil

itu sendiri.

b. Non sentra industri kecil mempunyai pengertian bahwa letak-letak industri tersebar atau tidak

mengelompok.

c. Indutri kecil mempunyai suatu kegiatan industri baik, yang berbentuk kelompok atau tidak yang

berlokasi di desa sesuai dengan tipologi desanya dan biasanya yang dimiliki oleh petani atau

kelompok pengrajin dalam bentuk usaha komparatif.

Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (dalam Tambunan, 2003: 307)

mendefinisikan usaha kecil, termasuk usaha mikro sebagai suatu badan usaha milik warga negara

Indonesia, baik perorangan maupun berbadan hukum yang memiliki kekayaan bersih, tidak

termasuk tanah dan bangunan sebanyak-banyaknya Rp 200 juta dan atau mempunyai NT (Nilai

Tambah) atau hasil penjualan rata-rata per tahun sebanyak Rp1 milyar dan usaha tersebut berdiri

sendiri.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

mendefinisikan usaha kecil sebagai kegiatan ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang

dilakukan orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak

langsung

dari usaha menengah atau usaha besar serta memenuhi kriteria antara lain: kekayaan bersih tidak

termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan Rp 300 sampai

dengan Rp 2,5 milyar.

Dalam proses pengembangannya, industri kecil menghadapi beberapa kendala. Kendala-kendala

tersebut dapat digolongkan menjadi 3 yaitu:

a. Kendala intern yang meliputi: kualitas sumber daya manusia pengusaha sendiri yang masih

lemah, dan biasanya mengandalkan tenaga kerja terampil serta kurangnya tenaga kerja terdidik,

kurangnya permodalan, lemahnya akses ke pangsa pasar yang lebih luas, lemah dalam penguasaan

teknologi, kurang baiknya sistem manajemen, organisasi, dan kurangnya kerjasama dengan

pengusaha lain yang saling menguntungkan.

b. Kendala ekstern, yang meliputi: iklim usaha yang kurang kondusif dan kurangnya pembinaan

atau dukungan dari pemerintah secara terpadu, adanya eksapansi usaha atau perusahaan-

perusahaan besar untuk menguasai suatu industri kecil potensial.

c. Selain itu kendala utama yang saat ini sedang dihadapai oleh pengusaha adalah ketersediaan

bahan baku, serta perlindungan hak-hak mereka dalam mendapatkan bahan baku, selain itu adanya

perbedaan yang cukup signifikan dari usaha hulu ke hilir yang terlihat mencolok.

2.3.1 Jenis Industri Kecil

Industri kecil merupakan usaha ekonomi yang tersebar luas di seluruh daerah, sebagian dilakukan

oleh golongan ekonomi lemah. Oleh karenanya, industri kecil penting peranannya dalam hal
pemerataan dari perluasaan penyerapan tenaga kerja, perluasan kesempatan berusaha, sampai

mendorong pertumbuhan ekonomi.

Sastrosoenarto (2006:237), menggolongkan jenis industri kecil berdasarkan kegiatan industri kecil

sebagai berikut:

a. Industri kecil pengolahan makanan

b. Industri kecil sandang dan kulit

c. Industri kimia dan bahan baku

d. Industri kerajinan dan umum

e. Industri logam, misalnya alat-alat pertanian seperti linggis dan pacul.

2.3.2 Teori Produksi

Teori produksi adalah teori yang mempelajari berbagai macam input pada tingkat teknologi

tertentu yang menghasilkan sejumlah output tertentu (Sudarman dalam Sisno, 2002). Sasaran dari

teori produksi adalah untuk menentukan tingkat produksi yang optimal dengan sumber daya yang

ada.

Menurut Aziz N. (2003), teori produksi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu yang

pertama, teori produksi jangka pendek dimana apabila seseorang produsen menggunakan faktor

produksi maka ada yang bersifat variabel dan yang bersifat tetap. Kedua, teori produksi jangka

panjang apabila semua input yang digunakan adalah input variabel dan tidak terdapat input tetap,

sehingga dapat diasumsikan bahwa ada dua jenis faktor produksi yaitu tenaga kerja (TK) dan

modal (M).
Dalam ilmu ekonomi, terdapat tiga masalah pokok berupa mencari jawaban atas

pertanyaan 1). Apa (what) yang akan diproduksi dan berapa jumlahnya. 2). Bagaimana (how) cara

menghasilkan/memproduksi baran dan atau jasa tersebut. 3). Untuk siapa (for whom) barang dan

atau jasa tersebut dihasilkan/diproduksi. Perusahaan yang akan menghasilkan suatu produk

menghadapi keterbatasan sumber daya (faktor produksi), sehingga perusahaan memilih alternatif

terbaik yang akan digunakan untuk menghasilkan produk yang diinginkan. Cara perusahaan

menghasilkan produk yang diinginkan tergambar dalam proses produksi. Setiap proses produksi

memiliki elemen utama sistem produksi yaitu input, proses dan output. Input merupakan

sumberdaya yang digunakan dalam proses produksi, proses merupakan cara yang digunakan untuk

menghasilkan produk dan output merupakan produk yang ingin dihasilkan. Keterkaitan antara

elemen sistem produksi (Soeratno, dkk, 2000).

Sedangkan produksi adalah suatu proses dimana beberapa barang dan jasa yang

disebut input diubah menjadi barang-barang dan jasa lain yang disebut output. Banyak jenis

aktivitas yang terjadi dalam proses produksi, meliputi perubahan bentuk, tempat dan waktu

penggunaan hasil-hasil produksi. Output perusahaan yang berupa barang-barang produksi

tergantung pada jumlah input yang digunakan dalam produksi. Hubungan

antara input dan output ini dapat diberi ciri dengan menggunakan suatu fungsi produksi. Fungsi

produksi adalah suatu hubungan matematis yang menggambarkan suatu cara dimana jumlah dari

hasil produksi tertentu tergantung pada jumlah input tertentu yang digunakan (Bishop &

Toussaint, 1986).

Sugiarto, dkk. (2002), menyebutkan bahwa produksi merupakan suatu kegiatan yang

mengubah input menjadi output. Kegiatan produksi tersebut di dalam ekonomi biasa dinyatakan

dalam fungsi produksi, dimana fungsi produksi ini menunjukkan jumlah maksimum output yang
dihasilkan dari pemakaian sejumlah input dengan menggunakan teknologi tertentu. Lebih lanjut

Gunawan, dkk. (1997), mengatakan bahwa produksi mencakup setiap pekerjaan yang menciptakan

atau menambah nilai dan guna suatu barang atau jasa. Agar produksi yang dijalankan dapat

menciptakan hasil, maka diperlukan beberapa faktor produksi (input). Dan untuk menghasilkan

output, maka faktor-faktor produksi yang merupakan input perlu diproses bersama-sama dalam

suatu proses produksi (metode produksi). Hubungan teknis antara input dan output digambarkan

dalam fungsi produksi.

Adapun Pindyck dan Rubinfeld (1995), berpendapat bahwa produksi adalah perubahan

dari dua atau lebih input (sumber daya) menjadi satu atau lebih output (produk). Dalam kaitannya

dengan pertanian, produksi merupakan esensi dari suatu perekonomian. Untuk berproduksi

diperlukan sejumlah input yaitu adanya kapital, tenaga kerja dan teknologi. Dengan demikian

terdapat hubungan antara produksi dengan input berupa output maksimal yang dihasilkan dengan

input tertentu atau disebut fungsi produksi.

2.3.3 Faktor Produksi

Faktor produksi atau input merupakan hal yang mutlak harus ada untuk menghasilkan

suatu produksi. Dalam proses produksi, seorang pengusaha dituntut mampu menganalisa teknologi

tertentu yang dapat digunakan dan bagaimana mengkombinasikan beberapa faktor produksi

sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh hasil produksi yang optimal dan efisien.

Untuk mempermudah dalam melakukan analisis, Faried (1991), semua faktor produksi

dianggap tetap kecuali tenaga kerja, sehingga pengaruh faktor produksi terhadap kuantias produksi

dapat diketahui secara jelas. Artinya, kuantitas produksi dipengaruhi banyaknya tenaga kerja yang

digunakan dalam proses produksi. Faktor produksi tetap adalah faktor produksi yang dianggap

konstan, dan banyaknya faktor produksi ini tidak dipengaruhi oleh banyaknya hasil produksi.
Sedangkan faktor produksi variabel adalah faktor produksi yang dapat berubah kuantitasnya

selama proses produksi atau banyaknya faktor produksi yang dipergunakan tergantung pada hasil

produksi. Dalam proses produksi akan terdapat faktor produksi yang bersifat variabel maupun

tetap apabila periode produksinya merupakan jangka pendek. Sedangkan untuk proses produksi

jangka panjang semua faktor produksi bersifat variabel.

Menurut Suryawati (2004), faktor-faktor produksi (input) diperlukan oleh perusahaan atau

produsen untuk melakukan proses produksi. Input dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yakni :

1. Input Tetap, yaitu input yang tidak dapat diubah jumlahnya dalam jangka panjang, misalnya

gedung, lahan.

2. Input Variabel, yaitu input yang dapat diubah-ubah jumlahnya dalam jangka pendek,

contohnya tenaga kerja.

Untuk mencapai tingkat output tertentu, dalam jangka pendek hanya bias dilakukan

pengkombinasian input tetap dengan mengubah-ubah jumlah input variabel. Sedangkan dalam

jangka panjang, pengusaha atau produsen dimungkinkan untuk mengubah jumlah input tetap

sehingga dapat dikatakan dalam jangka panjang semua input adalah merupakan input variabel.

Dalam usaha pengasapan ikan, terdapat beberapa faktor produksi (input) yang mempengaruhi

produksi (output), antara lain :

Ikan Mentah

Ikan mentah merupakan faktor produksi yang utama dalam melakukan usaha pengasapan

ikan. Ikan mentah sebagai bahan baku pembuatan ikan asap ada beberapa macam, antara lain ikan

Pari (P) dan ikan Manyung. Kedua jenis ikan tersebut paling lazim dibuat ikan asap. Ukuran untuk

bahan baku ikan mentah yang dipakai dalam penelitian ini adalah kilogram (kg), bukan

berdasarkan jumlah banyaknya ekor ikan ataupun besar kecilnya masing-masing ekor ikan, karena
ikan mentah yang akan diasap dibuat potongan-potongan yang jumlahnya berbeda untuk setiap

kilogramnya tergantung besar kecilnya potongan.

Tungku

Tungku merupakan alat yang digunakan sebagai sarana pemanggangan dalam proses

pengasapan ikan mentah menjadi ikan asap. Dalam penelitian ini yang menjadi ukuran adalah

banyaknya tungku yang dimiliki oleh pengusaha indusri pengasapan ikan yang dihitung dengan

jumlah biji/buah.

Tempurung Kelapa

Dalam proses produksi pengasapan ikan memerlukan bahan bakar yang menghasilkan asap

yang banyak. Tempurung kelapa merupakan bahan bakar yang dapat digunakan dalam proses

pengasapan ikan, karena asap dari bara arang tempurung kelapa mempunyai suhu yang lebih tinggi

dari arang kayu. Sedangkan bara api tidak dapat digunakan untuk pengasapan ikan karena ikan

asap yang dihasilkan kualitasnya tidak akan baik (gosong dan rasanya pahit). Adapun ukuran yang

digunakan dalam penelitian ini adalah karung. Setiap pengusaha pengasapan ikan menggunakan

ukuran yang sama (karung) dalam setiap proses produksinya.

Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang perlu diperhitungkan dalam proses produksi

dalam jumlah yang cukup. Dalam penelitian ini ukuran yang dipakai untuk tenaga kerja adalah

jam kerja. Jam kerja ditentukan dari jumlah orang yang bekerja dalam 1 (satu) hari dikalikan

dengan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan semua proses

produksi sampai menghasilkan produk berupa ikan asap yang siap jual.

Produksi
Hasil akhir dari suatu proses produksi adalah produk atau output. Untuk usaha pengasapan

ikan produk yang dihasilkan adalah berupa ikan asap yang siap jual dan siap untuk dimasak.

Ukuran produksi dari usaha pengasapan ikan adalah kg. Setiap pengusaha industri pengasapan

ikan menjual produknya berdasarkan jumlah kg ikan asap yang diproduksi. Kemudian harga ikan

asap yang dihasilkan oleh masing-masing pengusaha berbeda untuk setiap kgnya, tergantung

kualitas produk ikan asap yang dihasilkan, sehingga pendapatan masing-masing pengusaha juga

berlainan.

2.4. Konsep Pendapatan

2.4.1. Pengertian Pendapatan

Ditinjau dari segi rumah tangga perusahaan, maka pendapatan pada prinsipnya mempunyai

sipat menambah atau menaikkan nilai kekayaan pemilik perusahaan, baik dalam bentuk

penerimaan maupun tagihan atau pendapatan adalah semua barang, jasa dan uang yang diperoleh

atau diterima oleh seseorang atau masyarakat dalam suatu periode tertentu dan biasanya diukur

dalam satu tahun yang diwujudkan dalam skop nasional (nasional income) dan ada kalanya dalam

skop individual yang disebut pendapatan perkapita (personal income). Untuk memperjelas

pengertian tentang pendapatan, dikemukakan pengertian pendapatan dari para ahli.

Partadiredja (2000:72) mengemukakan bahwa pendapatan masyarakat adalah balas jasa

sebagai pengambilan/penggunaan faktor produksi yang dimiliki. Selanjutnya dikatakan bahwa

pendapatan masyarakat adalah nilai seluruh barang-barang dan jasa-jasa yang oleh suatu

masyarakat dalam waktu satu tahun. Dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendapatan

masyarakat adalah sejumlah nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat atau

daerah dalam satu periode tertentu. Jadi pada prinsipnya, pendapatan seorang masyarakat dalam
pendapat regional, karena masyarakat tersebut merupakan pemilik faktor produksi yang digunakan

dalam suatu proses produksi di daerahya.

Selanjutnya menurut Winardi (2003:118) mengemukakan bahwa pendapatan adalah hasil

berupa uang atau materi lainnya yang diperoleh dari pemanfaatan modal atau kekayaan.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pendapatan seseorang adalah jumlah

penggunaan kekayaan atau jasa-jasa yang dimiliki baik dalam bentuk uang maupun yang

berbentuk materi lainnya. Komaruddin (1996:72) mengemukakan bahwa pendapatan adalah uang

atau materi atau tabungan yang kesemunya timbul dari penggunaan faktor-faktor produksi.

Pendapatan pada hakekatnya merupakan balas jasa dari jasa-jasa yang dikorbankan termasuk di

dalamnya upah, sewa tanah, bunga modal, deviden, honorarium, laba dan pensiun. Selanjutnya

Boediono (2000:198) pendapat atau income seorang warga adalah hasil penjualan dari faktor-

faktor produksi yang dimiliki kepada sektor produksi. Dalam arti sederhana pendapatan dapat pula

diartikan sebagai total penerimaan produksi setelah dikurangi dengan semua biaya (pengeluaran).

Menurut Harahap (1997:13) mengemukakan bahwa peningkatan taraf hidup atau

penerapan pendapatan dalam masyarakat merupakan suatu masalah yang saling berhubungan,

peningkatan taraf hidup berarti memenuhi kebutuhan konsumsi nyata, baik secara kuantitatif

maupun kualitatif. Dia juga menjelaskan bahwa tingkat taraf hidup diartikan sebagai tingkat

kesejahteraan. Sedangkan kesejahteraan itu sendiri dapat diartikan sebagai kemakmuran yang juga

berarti cukup atau tidak kekurangan. Berdasarkan pengertian di atas maka pendapatan adalah hasil

penggunaan/penjualan faktor-faktor produksi atau aset yang dimiliki atau dengan kata lain

pendapatan diartikan sebagai hasil kerja seseorang, baik dalam bentuk penggunaan kekayaan

maupun jasa-jasa yang dinilai dengan uang.


Besarnya tingkat pendapatan usaha yang diperoleh merupakan ukuran keberhasilan dari

suatu usaha yang dikelola. Menurut Patong dalam Gafar (1992:9) mengemukakan bahwa besarnya

pendapatan tunai dari suatu usaha dapat menggambarkan kemajuan ekonomi usaha dalam

spesialisasi dan pembagian kerja. Untuk mengetahui suatu usaha apakah berhasil atau tidak maka

dapat dilihat dari pendapatan yang diperoleh selama masa produksi berlangsung.

Untuk mempertahankan hidup seorang maka dia harus memiliki sejumlah pendapatan

untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs). Hal ini selaras dengan pendapat yang

dikemukakan oleh Bertha dalam Ridwan A. (2000:13) bahwa untuk mempertahankan hidupnya,

manusia harus memenuhi kebutuhan pokoknya (primer needs) seperti makan, pakaian,

perumahan, kesehatan dan lain-lain, yang semuanya diambil dari lingkungan sekitarnya. Bahan

baku mana yang kemudian diolah melalui kemampuan penguasaan manusia, dengan maksud untuk

meningkatkan nilai dari bahan baku tadi dan kemudian untuk segera dimanfaatkan bagi

pemenuhan kebutuhan manusia itu sendiri.

Berdasarkan pendapat di atas, maka pendapatan seseorang dapat diartikan sebagai

perolehan yang berasal dari balas jasa yang diterima setelah mereka melakukan pekerjaannya,

apakah dia sebagai tukang kayu, petani, pedagang, buruh/pegawai dan lain-lain.

Seseorang mau bekerja apa saja guna selama dia masih mampu untuk melakukan pekerjaan

itu demi untuk memperoleh pendapatan, karena pendapatan seseorang ditentukan oleh besar

kecilnya skala usaha yang mereka lakukan. Hal ini juga berlaku pada masyarakat yang bekerja,

maka dikatakan besar kecilnya pendapatan yang diperoleh seseorang ditentukan oleh waktu kerja

dan kekuatan fisik mereka (Kartasapoetra dalam I Ketut Suena 2003). Dengan demikian semakin

banyak waktu yang mereka manfaatkan dan didukung dengan kesehatan fisik yang cukup
memadai maka pendapatan yang diperoleh juga akan semakin tinggi sehingga tingkat kemampuan

untuk memenuhi kebutuhan dasarnya semakin tinggi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan pengertian pendapatan adalah hasil

penjualan atau penggunaan faktor-faktor produksi yang dimilikinya, atau dengan kata lain

pendapatan pekerja adalah sebagai hasil kerja baik dalam bentuk penggunaan maupun jasa-jasanya

yang dinilai dengan uang. Tingkat pendapatan pekerja mempunyai hubungan yang erat dengan

tingkat kesejahteraan, dimana para pekerja yang tinggi pendapatannya tentu akan memiliki tingkat

kesejahteraan yang tinggi pula.

2.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan

Secara umum Muljianto (1992:98) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi besarnya pendapatan yang diperoleh adalah :

1) Jumlah faktor produksi yang dimiliki dan disumbangkan dalam proses produksi, semakin

banyak faktor produksi yang digunakan maka semakin besar pula pendapatan yang akan diterima.

2) Harga pokok produksi, hal ini turut pula menentukan besar kecilnya pendapatan yang

diterima pemilik faktor produksi, semakin tinggi harga faktor produksi maka akan semakin tinggi

pula pendapatan yang diterima faktor produksi.

3) Efisiensi kerja, juga turut mempengaruhi pendapatan, karena efisiensi kerja merupakan

jumlah pekerjaan yang berhasil diselenggarakan oleh seorang pekerja. Umumnya dapat dikatakan

semakin tinggi efisiensi kerja akan semakin tinggi pula tingkat pendapatannya.

Baharsjah (1992:30) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang menentukan kemajuan dan

peningkatan pendapatan yaitu kondisi sumberdaya alam, kondisi sumberdaya manusia dan kondisi

kelembagaan atau usaha. Selanjutnya Muksidar (2005:13) mengemukakan bahwa ada empat faktor
yang mempengaruhi pendapatan yaitu modal, tenaga kerja, peralatan kerja dan skill. Dalam arti

sederhana pendapatan dapat pula diartikan sebagai total penerimaan setelah dikurangi dengan

semua biaya (pengeluaran). Balas jasa yang diterima oleh pemilik faktor produksi yang dihitung

dalam jangka waktu tertentu, bentuk dan jumlah pendapatan mempunyai fungsi yang sama yaitu

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan memberi kepuasan, disamping itu pendapatan

berfungsi pula untuk mencukupi kegiatan lain dan memenuhi kewajiban-kewajiban. Pendapatan

tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti hasil penjualan jasa, hasil penjualan barang

dagangan, hasil penjualan produksi pertanian dan sumber-sumber lainnya.

2.4.3 Konsep Biaya

Dalam pengembangan usahatani secara umum tidak terlepas dari persoalan biaya, sehingga

seorang petani bila ingin memperoleh keuntungan yang sesuai maka diperlukan perencanaan yang

matang dalam pengambilan keputusan untuk memilih jenis usahatani yang cocok dan sesuai

dengan kondisi lahan. Biaya produksi dapat didefinisikan sebagai pengeluaran yang dilakukan

oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan mentah yang akan

digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksikan perusahaan tersebut (Sukirno,

2006). Pengertian yang hampir sama dikemukakan oleh Sumarsono (2007:20) bahwa biaya

produksi perusahaan dapat diartikan sebagai semua pengeluaran yang dilakukan perusahaan untuk

memperoleh faktor-faktor produksi yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang

diproduksi perusahan. Menurut Soekartawi (1995:76) biaya dapat diklasifikasikan menjadi dua

yaitu biaya tetap (sewa tanah, pembelian alat-alat pertanian) dan biaya yang tidak tetap (biaya

pembelian pupuk, obat-obatan, upah tenaga kerja). Sedangkan Tuwo (1989:21) mengemukakan

bahwa biaya (cost) merupakan keseluruhan nilai masukan (input) yang dilakukan dalam proses

produksi, baik yang tunai maupun yang diperhitungkan (non cost).


Selanjutnya Bambang dan Kartasapoetra (1998:11) menyatakan bahwa biaya produksi

adalah semua pengeluaran yang dikeluarkan produsen untuk memperoleh faktor-faktor produksi

dan bahan-bahan penunjang lainnya yang akan digunakan agar produk-produk tertentu yang telah

direncanakan dapat terwujud dengan baik. Biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan output

tertentu merupakan nilai yang harus dikorbankan dari alternatif penggunaan dalam proses

produksi. Biaya produksi akan selalu muncul dalam setiap kegiatan ekonomi dimana usahanya

berkaitan dengan produksi, kemunculan itu sangat berkaitan dengan diperlukannya faktor-faktor

produksi (input) yang dilakukan dalam kegiatan produksi tersebut.Selanjutnya Adikusumo

(1995:11) mengemukakan bahwa biaya adalah pengorbanan nilai yang memberikan sumbangan

yang berfaedah untuk memproduksi barang dan jasa yang tidak dapat dihindarkan dan diduga

sebelumnya, pengorbanan yang dimana kalau dihubungkan dengan proses produksi dapat

ditentukan secara kuantitatif. Dengan memperhatikan pengertian-pengertian diatas maka dapat

dijelaskan bahwa pengorbanan itu merupakan biaya yang dikorbankan untuk memproduksi

barang-barang ekonomis yang nantinya akan diperhitungkan sebagai bahan dari harga

pokok. Menurut Mulyadi (1990:7) menyatakan bahwa biaya dilihat dari sudut akutansi, biaya

berkenaan dengan seluruh pengeluaran, biaya, depresiasi dan berbagai catatan biaya secara

pembukuan, sedangkan dari sudut ekonomi biaya berkenaan dengan besarnya balas jasa yang

setara dengan penggunaannya. Pengertian lain tentang biaya yang dikemukakan oleh Mulyadi

(1990:7) yaitu mencakup biaya eksplisit dan biaya implisit. Biaya eksplisit yaitu pengeluaran

aktual yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membeli atau menyewa yang dipergunakan dalam

proses produksi, sedangkan biaya implisit yaitu nilai input yang dimiliki dan digunakan oleh

perusahaan dalam proses produksinya.


Menurut Mata (2004:21) biaya adalah pengurungan aktifitas netto akibat digunakannya

jasa-jasa ekonomi menciptakan pendapatan karena menggunakan pajak atau bahan-bahan

pemerintah. Beban dihitung berdasarkan jumlah penggunaan aktiva dari pertambahan kewajiban,

yang berkaitan dengan produksi dan pengiriman barang serta memberikan biaya-biaya yang telah

habis dipakai. Berdasarkan dari sifat biaya dalam hubungannya dengan jumlah produksi maka

biaya dibedakan sebagai berikut :

1. Biaya Tetap (fixed cost) yaitu biaya yang harus dikeluarkan dengan jumlah yang tetap

berapaun jumlah output yang dihasilkan. Biaya ini tidak tidak berpengaruh oleh besar kecilnya

produksi.

2. Biaya Variabel (variable cost) yaitu biaya yang dikeluarkan berubah-ubah menurut tinggi

rendahnya output yang dihasilkan. Biaya ini sangat tergantung pada besarnya output yang

dihasilkan.

2.5 Kajian Empiris

Dalam sebuah penelitian, tidak terlepas dari penelitian terdahulu yang relevan sebagai

bahan acuan bagi peneliti selanjutnya. Oleh karena itu, berikut penulis paparkan penelian terdahulu

yang dijadikan sebagai acuan utama dan pembanding yaitu penelitian yang dilakukan oleh :

1. Diah Asmanah dengan judul skripsi : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi

Perikanan atau Pengasapan Ikan di Jawa Tengah. Hasil analisis cobb douglass menunjukkan

bahwa estimasi model fungsi produksi yaitu : LnProd = 4,040 + 0,045LnPpk + 0,319lnBnh +

0,275LnLl + 0,409LnProd_rtp dan koefisien determinasi sekitar 0,725 menjelaskan bahwa

persentase dari variabel independen mempengaruhi variabel dependen sebesar 72%. Dan hipotesis

yang menyatakan bahwa variabel pupuk, benih, luas lahan, dan produktivitas rtp berpengaruh

positif terhadap produksi perikanan budidaya diterima.


2. Wiwit Setiawati dengan judul skripsi : Analisis Pengaruh Pengaruh Faktor Produksi

Terhadap Produksi Industri Pengasapan Ikan Kota Semarang. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa faktor produksi yang mempengaruhi industri pengasapan ikan di Kota Semarang adalah

ikan mentah dan tempurung kelapa yang secara statistik signifikan pada alpha 5%, dan tenaga

kerja pada alpha 10%. Jadi, produksi industri pengasapan ikan sangat ditentukan oleh bahan baku

ikan mentah, bakan bakar tempurung kelapa dan tenaga kerja yang digunakan dalam proses

pengasapan. Sedangkan faktor produksi yang lain, yaitu tungku tidak mempengaruhi produksi

industri pengasapan ikan. Untuk mengetahui return to scale dari industri pengasapan ikan apakah

menaik, tetap atau menurun digunakan elastisitas dari b1, b2, b3 and b4. Pada penelitian ini

menunjukkan bahwa return to scale menaik karena (0,991 + 0,004 + 0,002 + 0,017) > 1.

2.6 Kerangka Pikir

Berdasarkan landasan teori dan kajian terhadap penelitian terdahulu, maka disusun suatu kerangka

pemikiran teori mengenai penelitian yang akan dilakukan. Kerangka pemikiran teori tersebut

adalah sebagai berikut :


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Lalonggasumeeto Kecamatan Lalonggasumeeto

Kabupaten Konawe dengan melihat factor yang mempengaruhi pendapatan industri kecil usaha

pengasapan ikan Di Desa Lalonggasumeeto Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe.

Adapun waktu penelitian ini dilaksanakan selama 1 (satu) bulan, terhitung sejak proposal ini

diseminarkan.

3.2 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah menggunakan analisis deskriptif kualitatif dengan jenis

data, yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder adalah data penelitian yang di peroleh

peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (di peroleh dan di catat oleh pihak lain)

berupa bukti, catatan, dan laporan historis yang telah tersusun dalam arsip yang di publikasikan

dan yang tidak di publikasikan sedangkan Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung

dari responden.

3.3 Jenis dan Sumber Data

3.3.1 Jenis Data

Data yang dibutuhkan untuk memberikan informasi dalam penelitian ini adalah Data

sekunder yang diperoleh berhubungan dengan faktor yang mempengaruhi pendapatan industri

kecil usaha pengasapan ikan.

3.3.2 Sumber Data

Adapun sumber data yang di perlukan dalam penelitian ini adalah:

 Kantor BPS Sulawesi Tenggara.


3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini yaitu 7 usaha yang bekerja sebagai Usaha Pengasapan Ikan

Di Desa Lalonggasumeeto Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe.

3.4.2 Sampel

Model teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan sensus, yaitu dengan

mengambil seluruh Usaha Pengasapan Ikan di Desa Lalonggasumeeto Kecamatan

Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe yaitu sebanyak 7 usaha. Hal ini di dasarkan atas

pertimbangan bahwa, jumlah sampel sedikit dan dapat dijangkau.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Observasi yaitu dengan cara melakukan pengamatan secara langsung pada Usaha Pengasapan Ikan

Di Desa Puuwonua Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe.

b. Wawancara yaitu dengan melakukan wawancara langsung dengan responden.

c. Kuisioner yaitu daftar pertanyaan tertulis yang dilakukan dengan cara membagikan angket

atau daftar pertanyaan pada responden atau Usaha Pengasapan Ikan Di Desa Puuwonua

Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe.

d. Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan alat dokumentasi maupun

mengumpulkan arsip-arsip data tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan

aktivitas pengasapan ikan tersebut.

3.6. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif yang

terdiri dariproduksi dan pendapatan pada Usaha Pengasapan Ikan Di Desa Puuwonua Kecamatan
Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe untuk mengetahui seberapa besar produksi dan pendapatan

yang diterima :

= TR – TC (sumber : Boediono, 1992)

Keterangan :

= Pendapatan bersih (Rp)

TR = Total Revenue/Hasil Penjualan (Rp)

TC = Total Cost/Total Biaya (Rp)

3.7. Definisi Operasional Variabel

Adapun definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Pengasapan Ikan adalah pengolahan ikan dengan cara menghubungkan aktifitas penggaraman,

pengeringan, dan pengasapan.

2. Industri kecil yang di maksud Industri kecil merupakan usaha ekonomi yang tersebar luas di

seluruh daerah, sebagian dilakukan oleh golongan ekonomi lemah.

3. Pendapatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil penjualan dari ikan yang diolah

menjadi ikan asap atau penerimaan hasil penjualan dikuranggi dengan biaya-biaya dalam proses

produksi pengasapan ikan.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Faiz. 2008. Pengasapan Ikan. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Adawyah, Rabiatun. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Adikoesoemo, S. 1995. Dasar-Dasar Manajemen. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Aziz N., 2003, Pengantar Mikro Ekonomi, Aplikasi dan Manajemen, Banyumedia Publising, Malang.

Bambang dan Kartasapoetra. 1992. Kalkulasi dan Pengendalian Biaya Produksi. Eka Cipta : Jakarta.

Bishop, CE, dan Toussaint, WD, 1986, Pengantar Analisa Ekonomi Pertanian, diterjemahkan oleh Team

Fakultas Ekonomi UGM, Surakarta.

Budiono, 2000, Mikro Ekonomi : Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi, No.1, Edisi Kedua, Cetakan

Kedua, BPFE, Yogyakarta.

Boediono, 1992. Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE-UGM.

Baharsjah, S. 1992. Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Indonesia. Jakarta: Departemen

Pertanian.

Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 2005. “Statistik Produksi Ikan Olahan Indonesia, 2004”.

Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Jakarta.

Faried W, 1991. Ekonomi Makro, BPFE UGM, Yogyakarta.

Gunawan Sumodiningrat, Dr., M.Ec., 1997, Ekonometrika Pengantar, Edisi Pertama, Cetakan Kelima,

BPFE, Yogyakarta.

Harahap, 1997. Analisis Pendapatan Nasional, Cetakan Pertama. Binapura Aksara.

Haruwati, E.S. 2002. Pengolahan Ikan Secara Tradisional Prospek dan Peluang Pengembangan. Jurnal

Litbang Pertanian 21, Brilian Internasional. Surabaya.

Kartasapoetra dalam I Ketut Suena, 2003. Ekonomi Regional. Jakarta: Balai Pustaka.
Komaruddin. 1996. Ensiklopedia Manajemen. Jakarta: Balai Pustaka.

Lincolin Arsyad dan Adiningsih S., 2003, Ekonomi Pembangunan, Edisi Ketiga, STIE YKPN, Yogyakarta.

Mc. Eachern, William A., 2001, Ekonomi Makro, Pendekatan Kontemporer, diterjemahkan oleh Sigit

Triandaru, SE., Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Muksidar, 2005. Evaluasi Pendapatan Nelayan Pemanfaat Program PEMP Di Desa Taipa Kecamatan Sawa

Kabupaten Konawe. Kendari : Skripsi Fekon Unhalu.

Mulyadi, 1990. Ekonomi sumberdaya manusia. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Murniyati, A. S Dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan Dan Pengawetan Ikan. Penerbit Kanisius.

Yogyakarta

Partaduredja, A. 2000. Metode Perhitungan Pendapatan Nasional. Jakarta : LP3ES.

Patong dalam Gafar, 1992:9. Prosedur Penelitian : Suatu Pendapatan Praktek, Rineka Cipta : Jakarta

Pindyck, Roberts dan Daniel L. Rubinfield, 1995, Microeconomics, Prentice Hall International, Inc.

Sadono Sukirno, 2003, Pengantar Teori Mikroekonomi, Edisi Ketiga, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sikorski, Z., N. Haard, T. Motohiro, and B.S. Pan. 1998. “Quality In Fish Smoking and Drying, Production

and Quality”. P.E. Doe, (Ed). Technomic Publishing USA. P.89-115.

Sisno, 2002, Efisiensi Usaha Tani Tembakau Berdasarkan Perbedaan Luas Lahan Garapan, Tesis,

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Soekartawi, 1990, Teori Ekonomi Produksi, Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglass,

Cetakan Pertama, CV. Rajawali, Jakarta.

, dkk., 1995. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian Untuk Perkembangan Petani Kecil. Jakarta

: UI Press.
Soeratno, dkk., 2000, Ekonomi Mikro Pengantar, STIE YKPN, Yogyakarta.

Sugiarto dkk., 2002, Ekonomi Mikro Sebuah Kajian Komprehensif, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sukirno, S. 2006. Mikro ekonomi Teori Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Suryawati . 2004. Teori Ekonomi Mikro, YPKN. Jogyakarta.

Susanti, M, Hatmodjo, dan Kurniawan. 2009. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar

Swadaya. Jakarta.

Sutoyo, M. D. 1987. Pedoman Mengasap Ikan Cara Sederhana dan Modern. CV. Titik Terang. Jakarta

Tuwo, A. 1989. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut - Suatu Pendekatan Ekologi, Sosial-Ekonomi,

Kelembangaan, dan Sarana Wilayah.

Waluyo, 2002. Studi Kelayakan Dan Efisiensi Usaha Pengasapan Ikan Dengan Asap Cair Limbah Pertanian.

Fakultas Perikanan Universitas Diponegoro. Semarang

Wibowo, S. 1996. Industri Pemindangan Ikan. Penebar Swadya.

Winardi, 1992. Kamus Ekonomi, Bandung : Alumni.

Anda mungkin juga menyukai