KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kapnografi
ventilasi informasi potensi mengenai produksi CO2 dan ventilasi. Kapnometrik atau
kapnografi merupakan teknik nonivasif yang memberikan analisis nafas ke nafas dan
peringatan awal akan adanya gangguan respirasi. Monitoring ini juga mencerminkan
kompresi dada pada kondisi henti jantung. Alat ini juga digunakan untuk memastikan
letak pipa endotrakea sudah di tempat yang benar (Bauman dan Cosgrove, 2012).
Karbon dioksida menyerap cahaya inframerah pada panjang gelombang spesifik (4,26
µm). Konsentrasi CO2 pada sampel gas bisa dihitung dengan spektroskopi absorpsi
inframerah. Semakin besar konsentrasi CO2 pada sampel, semakin banyak cahaya
diserap, sehingga menurunkan intensitas cahaya yang mencapai detektor (Becker dan
Langhand, 2013).
7
8
inspirasi, yang biasanya merupakan nol. Fase Kedua (B-C) merupakan tanjakan ke
atas ekspirasi. Ini normalnya berbentuk curam. Ketika pasien ekspirasi, udara segar di
ruang rugi anatomi secara perlahan diganti oleh gas yang mengandung CO2 dari
alveolar. Fase ketiga (C-D) merupakan plateau ekspirasi, yang normalnya memiliki
gradien ke arah atas yang kecil. Hal ini disebabkan tidak ada kesesuaian yang
sempurna antara ventilasi dan perfusi melalui paru paru. Alveolar dengan rasio V/Q
yang lebih rendah, konsentrasi CO2 yang lebih tinggi, cenderung kosong lebih lambat
selama ekspirasi dibandingkan yang memiliki rasio V/Q tinggi. Ketika ekspirasi
selesai, plateau berlanjut yang disebabkan CO2 yang diekshalasi dari alveoli tetap di
tempat sampling gas sampai inspirasi berikut. Konsentrasi end-tidal CO2 (EtCO2)
keempat (D-E) merupakan fase inspirasi dengan arahan diagram ke bawah, suatu
udara segar yang menggantikan gas alveolar pada sisi sampling. Kapnogram normal
dikontrol. Konsentrasi CO2 saat inspirasi normalnya adalah nol dan nilai normal end-
pemberian CO2
gas segar.
jenis tersebut terletak pada lokasi sensor. Pada kapnometri sidestream, volume gas
yang tetap secara kontinu diambil dari sirkuit. Gas sampel diaspirasi melalui selang
nylon atau teflon ke dalam sel pengukuran dan kemudian dilepas ke atmosfer atau
sedekat mungkin dengan pasien untuk mengurangi efek ruang rugi sirkuit, dan
kecepatan biasanya diatur mendekati antara 50 dan 500 ml/menit (Kirby, 2011).
melebihi kecepatan aliran ekspirasi dan menyebabkan gas inspirasi terambil. Sungkup
12
atau kanul nasal oksigen bisa diadaptasikan untuk monitoring CO2. Kecepatan
respirasi bisa dimonitor secara adekuat, namun hasil pengukuran EtCO2 bisa lebih
rendah dari nilai seharusnya, kecuali selang sampling ditempatkan dekat dengan
hidung pasien. Terdapat beberapa sumber potensial kesalahan pada kapnometri ini.
Pengembunan uap air pada selang sampel dan sering berkumpul pada ruang
pengukuran. Cairan dan bahan partikel bisa juga masuk ke dalam sel pengukur dan
dan perangkap air untuk membantu meminimalkan faktor ini. Waktu respon yang
lambat disebabkan gas sampel harus melewati sel pengukuran melalui selang sampel.
kecil dan kecepatan aliran sampel tinggi. Semakin panjang selang dan semakin
sirkuit yang sangat dekat dengan selang endotrakea. Dengan kapnometri mainstream
dioksida diukur secara langsung di dalam sirkuit dan ruang rugi sampel adalah
minimal dan waktu respon juga akan menjadi lebih cepat dengan sistem ini. Alat ini
umumnya digunakan pada pasien pediatri, dimana ruang rugi sirkuit bisa menjadi
lebih signifikan dan waktu respon menjadi lebih kritikal. Ruang pengukuran harus
dihangatkan sekitar 40 derajat untuk mencegah pengembunan uap air pada jendela
sensor. Alat ini agak berat, sehingga sirkuit harus diperhatikan sesering mungkin
13
sesering mungkin, biasanya tiap hari, dan rentan kotor oleh air liur atau mukus oleh
Gambar 2.7
Kapnografi mainstream dan sidestream (Kodali dan Urman, 2014).
Sel mengambil oksigen dan glukosa kemudian melepaskan air, karbon dioksida, dan
energi. Karbon dioksida memiliki peranan penting dalam buffer asam dan basa.
Tergantung pH darah, karbon dioksida diubah menjadi asam karbonat (H2CO3, suatu
asam) atau menjadi bikarbonat (HCO3, suatu basa). Karbon dioksida muncul dalam 3
bentuk yaitu sebagai HCO3- (70%), terikat dengan hemoglobin (20%), dan larut
menjadi bikarbonat, air dan CO2. Proses ini terjadi di dalam sel darah merah,
sedangkan HCO3- dilepaskan kembali ke dalam plasma untuk diterima oleh hidrogen
(H+), sementara CO2, dan H2O dibawa ke pertemuan arterial alveolar untuk
Pada pasien dengan fungsi paru normal, EtCO2 umumnya di bawah PaCO2
sekitar 1-5 mmHg oleh karena adanya sejumlah ruang rugi alveolar. Faktor yang
meningkatkan ruang rugi alveolar akan membesarkan gradien ini dan meningkatkan
landaian fase III. Selama anestesi sering terdapat peningkatan ruang rugi alveolar
yang disebabkan penurunan curahan jantung dan penurunan perfusi apeks paru,
sehingga tidak jarang studi yang dilakukan dibawah pengaruh anestesi menemukan
gradien EtCO2-PaCO2 sedikit meningkat pada 5-10 mmHg (Spiegel, 2013). Suatu
contoh ekstrem peningkatan ruang rugi alveolar yang akut adalah emboli paru,
sehingga, penurunan EtCO2 yang nyata dengan ventilasi yang dijaga konstan sering
merupakan suatu indikasi penurunan mendadak curah jantung atau emboli pulmonal.
Penyebab lain yang sering adalah gradien yang melebar karena adanya penyakit paru
obstruktif, perokok, dan usia tua (Hedenstierna, 2010; Butterworth dan Mackey,
2013).
Kesesuaian antara ventilasi dan perfusi paru penting untuk efisiensi pertukaran
gas (V/Q). Rasio ventilasi dan perfusi (V/Q) menentukan komposisi gas alveoli dan
15
efektifitas pertukaran gas melalui membran kapiler-alveoli. Pada V/Q yang optimal,
PaO2 adalah sekitar 104 mmHg dan PaCO2 40 mmHg. Rasio V/Q = 0 terjadi ketika
tidak ada ventilasi ke alveoli yang dilanjutkan dengan perfusi oleh darah kapiler paru.
Rasio V/Q yang tak terhingga berarti terjadi ventilasi tetapi tidak ada aliran darah
kapiler paru ke alveoli (ventilasi yang berlebih). Topografi distribusi ventilasi adalah
elemen penting dari konsep V/Q. Rasio V/Q dapat diaplikasikan pada semua bagian
lapang paru atau pada daerah paru dalam semua ukuran termasuk alveoli. Contohnya,
rasio V/Q pada semua bagian lapang paru adalah 1 menunjukkan kesesuaian ventilasi
dan perfusi paru yang optimal. Jika ventilasi terutama terjadi pada bagian atas dan
perfusi terjadi pada bagian bawah, pertukaran gas akan menjadi sangat terbatas
Shunt fisiologis dibentuk oleh 2%-5% curah jantung yang secara normal
melewati paru. Shunt fisiologis dihitung dari pemeriksaan konsentrasi oksigen darah
campuran vena dan arteri. Jalan nafas yang tidak ikut dalam pertukaran gas (ruang
rugi anatomis) dan alveoli perfusi yang mengalami ventilasi tapi tidak ikut dalam
pertukaran gas disebut ruang rugi fisiologis. Pada keadaan sehat, ruang rugi fisiologis
dihitung dari hampir semua ruang rugi anatomis. Sekitar 1/3 dari pernafasan adalah
ventilasi ruang rugi. Sebaliknya pada shunt, peningkatan ruang rugi cenderung
pernafasan mungkin menambah ruang rugi tambahan (Robert dan Hiller, 2006;
Hedenstierna, 2010).
16
Pada individu normal, gradien antara CO2 arteri dan alveolar bervariasi antara 2-5
mmHg. Gradien tersebut akan membesar akibat kelainan pada ventilasi dan perfusi.
Ventilasi ruang rugi memiliki ciri-ciri peningkatan rasio V/Q. Pada ventilasi ruang
rugi, alveoli diventilasi namun tidak diperfusi dengan baik. Jika terdapat kelainan
perfusi di daerah di area paru-paru yang terventilasi dengan baik, EtCO2 akan
bisa diawali dengan memperbaiki perfusi sistemik, dimana juga akan memperbaiki
Shunt perfusi memiliki ciri rasio V/Q yang rendah. Shunt terjadi ketika alveoli
mekanik yang digunakan untuk membantu perbaiki fungsi paru-paru dan menurunkan
Efek shunt pada gradien PaCO2-EtCO2 umumnya lebih rendah daripada efek ruang
rugi.
pasien dengan penyakit paru-paru. Pada level PEEP yang optimal, gradien PaCO2-
17
EtCO2 seharusnya sempit. Fenomena distensi yang berlebihan pada alveolar bisa
2.2.1 Definisi
Curah jantung merupakan jumlah darah yang dipompakan oleh jantung per unit
waktu dan ditentukan oleh empat faktor, yakni dua faktor intrinksik (denyut jantung
dan kontraktilitas miokardium) dan dua faktor ekstrinsik (jantung dan vaskular atau
preload dan afterload). Curah jantung merupakan jumlah darah yang dipompakan
oleh ventrikel kiri ke dalam aorta tiap menit (hasil dari stroke volume dan frekuensi
denyut jantung). Karena sirkulasi merupakan sirkuit yang tertutup, maka curah
jantung harus setara dengan venous return. Curah jantung untuk berat rata-rata 70 kg
dan luas permukaan tubuh 1,7 m2 adalah 5 L/menit. Pada wanita 10% lebih sedikit.
Preload atau venous return lebih penting daripada kontraktilitas miokardium dalam
aliran darah jaringan dan venous return. Curah jantung meningkat dengan jumlah
yang sama dengan venous return. Berbagai faktor yang mengganggu venous return
darah sehingga venous return dan curah jantung menurun. Dilatasi vena akut, seperti
yang terjadi pada anestesia spinal dan blok sistem saraf simpatis yang menyertainya,
18
menurun dan juga curah jantung. Terapi definitif untuk hipotensi akibat anestesia
spinal adalah dengan menyesuaikan posisi pasien dan infus cairan intravena untuk
memperbaiki venous return. Gabungan ventilasi tekanan positif pada paru dengan
volume darah yang menurun juga menyebabkan penurunan venous return dan curah
jantung.
sehingga resistensi terhadap aliran darah menurun. Peningkatan aliran darah yang
diakibatkan oleh peningkatan volume darah hanya bertahan selama 20-40 menit
yang disebabkan oleh peningkatan volume darah menyebabkan vena menjadi distensi
frekuensi denyut jantung untuk meningkatkan curah jantung lebih dari yang dapat
diakibatkan oleh venous return. Stimulasi maksimal sistem saraf simpatis dapat
19
Otot jantung sensitif terhadap kalsium, sejumlah hormon, dan obat yang dapat
meningkatkan kontraktilitas miokardium pada preload dan laju jantung yang konstan.
efek dari intervensi inotropik adalah efek adiktif terhadap efek peningkatan preload
terdekompensasi akut adalah jarang, berkisar antara 8,9%-9,6% pada pasien yang
rendah, berdasarkan profil L dan C (Ochiai, dkk., 2011). Sekitar sepertiga pasien
yang dirawat di ICU mengalami syok sirkulasi, dan pengenalan dini terhadap kondisi
tersebut sangat vital untuk menghindari cedera jaringan selanjutnya. Dari data
European Sepsis Occurrence in Acutely Ill II (SOAP II) pada 1679 pasien ICU
20
didapatkan bahwa sebagian besar penyebab syok adalah syok septik (62%) diikuti
syok kardiogenik (17%), dan syok hipovolemi (16%) (Cecconi, dkk., 2014).
Pemantauan curah jantung pada pasien kritis merupakan standar praktis untuk
kateter arteri pulmonar (PAC). Saat ini, nilai PAC telah menjadi pertanyaan oleh
karena penggunaan yang tidak diperlukan dan juga potensi bahayanya. Dengan
munculnya berbagai alat pengukuran curah jantung yang kurang invasif, penggunaan
PAC menurun. Berbagai macam alat yang tersedia untuk mengukur atau
yang mengukur stroke volume secara kontinu dan memberikan indeks dinamik fluid
vena sentral secara kontinu. Namun ada hal yang perlu diperhatikan bahwa terdapat
keterbatasan dari alat tersebut dan tidak ada alat monitoring curah jantung yang bisa
mengubah outcome pasien kecuali dilakukan intervensi sesuai hasil pemantauan dari
Pada pasien kritis yang dirawat di ICU, pemantauan alirah darah dan oksigenasi
curah jantung memiliki peranan penting dalam diagnosis banding bagi status syok
tantangan bagi dokter. Penanganan yang tidak tepat atau terlambat bisa menyebabkan
morbiditas dan mortalitas. Pemantauan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah
mungkin adekuat bagi beberapa pasien, namun pada pasien dengan gangguan
preload kardiak adalah penting terutama pada pasien kritis dengan hipovolemia untuk
cairan, namun pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan masalah baru.
Tekanan pengisian kardiak yang diukur menggunakan PAC masih digunakan secara
luas sebagai pedoman pemberian cairan pada operasi besar dan pasien kritis
(Eisenkraft, 2011).
manusia dideskripsikan oleh Adolf Fick pada tahun 1870. Sebelumnya pada tahun
kemudian dikembangkan oleh Swan dan Ganz pada tahun 1970 dengan tip balon
Pulmonary artery catherter masih merupakan alat standar dalam penentuan curah
22
jantung. Alat ideal untuk pengukuran curah jantung harus bersifat kontinu, otomatis,
Dalam memantau curah jantung, metode yang digunakan dibagi menjadi metode
invasif (sebagai contoh teknik termodilusi PAC dan metode Fick), invasif minimal
Fick menggambarkan metode ini sebagai prinsip Fick untuk estimasi curah
jantung pada tahun 1870. Curah jantung diestimasi dengan membagi konsumsi
Douglas bag. Dari volume dan konsentrasi oksigen pada gas ekspirasi dapat dihitung
konsumsi oksigen. Darah vena untuk kalkulasi kandungan oksigen didapat dari
ventrikel kanan, atau idealnya arteri pulmonal untuk menjamin pencampuran yang
adekuat. Darah yang digunakan untuk menentukan saturasi oksigen dapat diambil
dari segala arteri karena semua darah arteri tercampur dengan baik sebelum
meninggalkan jantung, dan memiliki konsentrasi oksigen yang sama. Prinsip Fick
dapat juga diaplikasikan pada eliminasi karbon dioksida dari paru (Marik, 2012).
curah jantung berdasarkan prinsip ini. Dengan menambahkan secara intermiten ruang
CO2. Perubahan pada end-tidal CO2 digunakan untuk estimasi perubahan kandungan
CO2 arteri. Data ini digunakan pada persamaan Fick modifikasi untuk mengkalkulasi
Curah jantung =
–
Dimana VO2 = selisih oksigen yang diinspirasi dan diekspirasi, CaO 2 = kandungan
oksigen yang terkandung dalam arteri, CvO2 = kandungan oksigen yang tercampur
dalam vena. Hasilnya dikatakan akurat apabila status hemodinamik stabil sehingga
tidak dapat digunakan pada pasien kritis (Mathews dan Singh, 2007).
dimana VCO2 = selisih udara yang mengandung CO2 yang diinspirasi dan diekspirasi
dideskripsikan oleh Stewart. Pada metode ini, larutan non-difusi (indocyanine green)
disuntikkan ke atrium kanan (atau sirkulasi vena sentral), dan konsentrasi dari larutan
darah pulmonar, yang sama dengan curah jantung. Perlu untuk ekstrapolasi larutan ke
nol sebelum resirkulasi larutan. Adanya resirkulasi larutan dini menandakan adanya
shunt intrakardiak dari kanan ke kiri seperti adanya foramen ovale (Eisenkraft,
2011).
pada sirkulasi sisi kanan untuk pengukuran aliran darah. Bolus cairan dingin dapat
dengan port pada atrium kanan dan arteri pulmonal serta adanya sensor suhu pada
distal dari port digunakan untuk mengukur termodilusi curah jantung. Termodilusi
curah jantung ditentukan dengan pengukuran perubahan suhu darah antara dua titik
(atrium kanan dan arteri pulmonal) setelah injeksi sejumlah cairan salin dingin pada
proksimal port atrium kanan. Perbedaan suhu pada port arteri pulmonal distal
teknik ini adalah penghilangan dingin oleh jaringan sehingga resirkulasi tidak
menjadi masalah dan aman untuk pengukuran ulang karena menggunakan cairan
Konsep dari teknik ini adalah berdasarkan hubungan antara tekanan darah, stroke
volume (SV), compliance arteri, dan systemic vascular resistance (SVR). Stroke
volume dan curah jantung bisa dihitung dari gelombang tekanan arteri jika
compliance arteri dan SVR diketahui. Pertama kali dilakukan pada tahun 1904.
Arterial pulse contour dapat dimodelkan seperti sirkuit elektrik yang memiliki nilai
spesifik pada resistensi, pemenuhan, dan impedansi. Aliran pada sistem tersebut
dapat diukur dari bentuk gelombang yang dibuat. Validitas dari sistem ini
Suatu hal penting yang perlu diketahui ketika curah jantung diukur dengan sistem
ini adalah lokasi pengukuran tekanan darah (arteri radial atau femoral). Perbedaan
26
antara tekanan darah sentral dan perifer, seperti pada pasien pascacardiopulmonary
bypass, pada pasien syok septik yang diberikan obat vasokonstriktor dosis tinggi,
pada pasien reperfusi setelah transplantasi hati. Perbedaan tekanan darah di antara
tempat yang berbeda bisa menjadi besar, dan pada kondisi vasokontriksi hebat,
tekanan darah radial bisa terukur lebih rendah dari pada tekanan darah aortik yang
sebenarnya, sehingga memberikan nilai curah jantung yang rendah (Marik, 2012).
Wesseling dalam perhitungan curah jantung. Sistem ini secara periodik dikalibrasi
dengan metode termodilusi untuk memeriksa pulse pressure. PiCCO adalah sebuah
monitor yang memonitor curah jantung dan volume lain seperti intrathoracic blood
volume (ITBV), global end diastolic volume (GEDV), dan extra vascular lung water
(EVLW). PiCCO juga mampu mengukur parameter lain seperti systemic vascular
resistance (SVR), stroke volume variation (SVV), dan pulse pressure variation.
Sistem PiCCO membutuhkan sebuah kateter vena sentral berujung thermistor dan
arterial line. Setelah injeksi indikator pada vena sentral, thermistor mengukur
perubahan suhunya. Kemudian curah jantung dan SVR (systemic vascular resistance)
dengan balans cairan pasien yang lebih baik dan fase bebas-ventilator yang lebih
2.2.2.4.2 Flo-Trac
Flo-Trac adalah salah satu alat pulse contour yang berfungsi menghitung curah
jantung dan pertama kali diperkenalkan pada tahun 2005. Sensor aliran darah khusus
digunakan dalam metode ini. Alat ini menghitung curah jantung secara kontinu
dengan mengalikan detak jantung dengan stroke volume. Dalam studi yang dilakukan
dengan metode ini pada pasien luka bakar menunjukkan hasil yang memuaskan.
Stroke volume pada monitor juga membantu para klinisi mendeteksi awal tanda-tanda
sepsis. Namun hasil dari Flo-trac menjadi tidak reliable pada pasien kritis terutama
Teknik yang menggunakan dilusi litium ini diperkenalkan pertama kali tahun
1993 oleh Linton dkk. Dosis kecil litium diinjeksikan pada vena perifer dan elektroda
ion ditempatkan pada peripheral arterial line. Teknik dilusi litium dikatakan akurat
apabila aliran darah konstan dan pencampurannya uniform. Keterbatasan dari metode
2012).
(m mol/sec)}
28
Dimana PCV (packed cell volume) dihitung dari konsentrasi hemoglobin (g/dl)/34.
dapat mengevaluasi fungsi sistolik dan diastolik, status volume, abnormalitas dinding
regional, fungsi katup, dan adanya efusi perikardial. Namun teknik ini memerlukan
variasi jumlah darah pada aorta selama siklus kardiak dihubungkan untuk
impedansinya diubah oleh perubahan di volume darah dan velositas dengan tiap
siklus jantung. Teknik ini didasarkan pada prinsip bioimpedansi elektrik toraks dan
melibatkan peletakan elektrode untuk dapat mengukur transmisi dan voltase pada
dada. Teknik ini dapat digunakan sebagai metode non-invasif estimasi curah jantung.
Namun validitas teknik ini dibatasi oleh beberapa keadaan seperti gerakan pasien,
yang banyak, dan luka dada terbuka dengan adanya retraktor besi. Pada suatu meta-
analysis yang dipublikasikan tahun 2010, lebih dari 400 pasien dari 13 validasi
2.2.2.7 Bioreactance
pada dada pasien. Teknik ini menghasilkan suatu rasio signal-to-noise dan akurasinya
jantung lain seperti PiCCO, Flo-Trac, PAC dan menunjukkan hasil yang jauh lebih
transpulmonar untuk mengukur curah jantung sebagai hasil dari stroke volume dan
ultrasound pengukuran velocity-time integral (VTI) dari darah pada aliran keluar
berdasarkan tinggi badan pasien. Pengukuran VTI memerlukan sinyal aliran yang
baik dan interpretasi yang benar sehingga sangat tergantung pada kemampuan
yang didesain untuk mengukur dan mencatat perubahan status hemodinamik pasien
ultrasound Doppler dan bisa mengukur curah jantung kanan dan kiri. Transduser
diletakkan pada posisi parasternal kiri untuk mengukur aliran darah transpulmonar,
atau posisi suprasternal untuk mengukur aliran darah trans aorta. Profil aliran
dengan waktu. Alat USCOM dapat mengevaluasi 14 parameter curah jantung, yakni
cardiak index (CI), cardio output (CO), peak velocity of flow (Vpk), velocity time
integral (vti), heart rate (HR), ejection time per cent (ET%), SV, stroke volume
index (SVI), stroke volume variability (SVV), SVR, systemic vascular resistance
index (SVRI), minute distance (MD), mean pressure gradient (MPG), dan flow time
pada penanganan pasien kritis, perioperatif, atau pasien yang menjalani anestesi.
Curah jantung penting dalam hal konsumsi oksigen oleh jaringan secara global, oleh
karena perubahan curah jantung akan menentukan jumlah oksigen yang diantarkan ke
jaringan. Curah jantung yang rendah atau tidak adekuat bisa mengakibatkan
kehilangan oksigen pada level jaringan, hipoksia sel, dan bisa menyebabkan disfungsi
organ multipel. Curah jantung yang rendah bisa terjadi pada konsentrasi hemoglobin
dan saturasi yang adekuat. Perfusi yang adekuat adalah penting pada pasien kritis,
dan bahwa tidak hanya tekanan perfusi yang tinggi yang diperlukan untuk
33
mempertahankan patensi kapiler dalam seluruh organ, namun juga harus dengan
aliran yang cukup untuk menghantarkan oksigen dan substrat ke jaringan dan
membuang produk metabolik dan karbon dioksida. Perbaikan curah jantung bisa
Pada studi yang dilakukan oleh Horster dkk. (2012), dalam membandingkan
PiCCO pada pasien dengan sepsis didapatkan koefisiensi korelasi adalah 0,89.
L.A.H Crithley dan J.A.H. Critchley adalah 29% untuk akses transaortik. Oleh karena
ambang penerimaan adalah < 30%, sehingga bisa disimpulkan pengukuran curah
PiCCO (Anonim, 2007). Pada studi yang dilakukan oleh Wong dkk. (2008), dalam
pada pasien yang menjalani transplantasi hati didapatkan koefisiensi korelasi sebesar
0,896.
Penggunaan USCOM menjadi sangat menarik seiring dengan waktu. Alat ini
mudah digunakan, tidak invasif, dan aman digunakan berulang untuk pengukuran
curah jantung, serta dapat digunakan pada pasien yang sadar. Namun USCOM tidak
oxygen saturation. Oleh karena itu, USCOM tidak bisa menggantikan metode invasif
seperti pada PiCCO atau PAC. Namun penggunaan USCOM tampaknya cocok pada
situasi dimana pengukuran curah jantung merupakan hal yang utama pada
Gambar 2.13 Rekomendasi penggunaan alat monitoring curah jantung di rumah sakit
pascaoperatif pada pasien yang dalam bantuan ventilasi mekanik. Teknik ini bersifat
melalui siklus respirasi, umumnya disebut sebagi end-tidal CO2 (EtCO2). End-tidal
CO2 juga memiliki korelasi yang baik dengan PaCO2. Ketidakcocokan antara EtCO2
dan PaCO2 mencerminkan perbedaan antara perfusi dan ventilasi alveoli (Yosefy,
dkk., 2004; Kartal, dkk., 2011). Alat ini umumnya digunakan untuk menilai posisi
penyapihan dari ventilasi mekanik, dan kualitas resusitasi. End-tidal CO2 diatur oleh
metabolism, ventilasi, dan sirkulasi. Ketika kedua faktor pertama terkontrol, maka
38
nilai EtCO2 mencerminkan aliran pulmonar dan juga curah jantung. Berbagai usaha
dilakukan untuk menjadikan nilai EtCO2 sebagai altenatif penilaian curah jantung
dari teknik termodilusi. Perbedaan normal antara PaCO2 dan EtCO2 adalah sekitar 4-5
mmHg yang menunjukkan suatu ruang rugi ventilasi. Oleh karena nilai EtCO2
dipengaruh oleh aliran darah pulmonar, maka pengukuran ini tidak dapat dipakai
pada situasi curah jantung rendah secara akut. Pada situasi ini, terdapat peningkatan
rasio ventilasi perfusi (V/Q), dimana penurunan nilai EtCO2 dan peningkatan P(a-
Pada studi yang dilakukan pada ruang emergensi rumah sakit pendidikan dari
Juni sampai Desember 2009 pada pasien dengan tanda klinis syok menunjukkan
noninvasif. Nilai EtCO2 dipengaruhi oleh curah jantung dengan penurunan curah
jantung dan ventilasi alveolar yang konstan, level EtCO2 semestinya rendah pada
situasi curah jantung rendah. Nilai rata rata EtCO2 pada pasien dengan syok
hipovolemik, syok kardiogenik, dan syok septik masing masing adalah 29,64 ± 11,49
mmHg, 28,60 ± 9,87 mmHg, dan 27,81 ± 7,39 mmHg. Pengukuran EtCO2 adalah
rendah secara signifikan pada pasien yang meninggal (p = 0,005) (Kheng dan
Rahman, 2012). Sedangkan di studi lain pada 73 pasien trauma yang memerlukan
intubasi endotrakea di ruang emergensi pada bulan Maret sampai Agustus 2011
ditemukan bahwa nilai EtCO2 rendah berhubungan dengan curah jantung yang
rendah, dimana nilai EtCO2 secara signifikan menurun dengan curah jantung < 4,5
L/menit (P < 0,0001, r = 0,60). Nilai EtCO2 rendah berhubungan dengan injury
39
severity score (ISS) > 20, hipotensi, bradikardi, kehilangan darah masif, henti
Tabel 2.3
Nilai normal USCOM pada orang dewasa dengan pulmonar view (Smith, 2013)
41
Tabel 2.4
Nilai normal USCOM pada orang dewasa dengan aortic view (Smith, 2013)
42