Anda di halaman 1dari 36

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kapnografi

2.1.1 Monitoring ventilasi

Monitoring EtCO2 memberikan informasi potensi mengenai produksi CO2 dan

ventilasi informasi potensi mengenai produksi CO2 dan ventilasi. Kapnometrik atau

kapnografi merupakan teknik nonivasif yang memberikan analisis nafas ke nafas dan

mencatat secara kontinu status ventilasi. Monitoring EtCO2 memberikan tanda

peringatan awal akan adanya gangguan respirasi. Monitoring ini juga mencerminkan

perubahan perfusi kardiak dan telah digunakan untuk mengindentifikasi keefektifitas

kompresi dada pada kondisi henti jantung. Alat ini juga digunakan untuk memastikan

letak pipa endotrakea sudah di tempat yang benar (Bauman dan Cosgrove, 2012).

Karbon dioksida menyerap cahaya inframerah pada panjang gelombang spesifik (4,26

µm). Konsentrasi CO2 pada sampel gas bisa dihitung dengan spektroskopi absorpsi

inframerah. Semakin besar konsentrasi CO2 pada sampel, semakin banyak cahaya

diserap, sehingga menurunkan intensitas cahaya yang mencapai detektor (Becker dan

Langhand, 2013).

Pengenalan monitoring CO2 ke dalam praktik klinik merupakan salah satu

kontribusi besar dalam penanganan pasien. Pemantauan CO2 dari pernafasan

dipertimbangkan juga sebagai metode terbaik untuk memastikan intubasi endotrakea

(Hiller dan Mazurek, 2009).

7
8

2.1.2 Fase-fase dan kelainan pada kapnogram

Kapnogram normal dibagi menjadi 4 fase. Fase I (A-B) merupakan dasar

inspirasi, yang biasanya merupakan nol. Fase Kedua (B-C) merupakan tanjakan ke

atas ekspirasi. Ini normalnya berbentuk curam. Ketika pasien ekspirasi, udara segar di

ruang rugi anatomi secara perlahan diganti oleh gas yang mengandung CO2 dari

alveolar. Fase ketiga (C-D) merupakan plateau ekspirasi, yang normalnya memiliki

gradien ke arah atas yang kecil. Hal ini disebabkan tidak ada kesesuaian yang

sempurna antara ventilasi dan perfusi melalui paru paru. Alveolar dengan rasio V/Q

yang lebih rendah, konsentrasi CO2 yang lebih tinggi, cenderung kosong lebih lambat

selama ekspirasi dibandingkan yang memiliki rasio V/Q tinggi. Ketika ekspirasi

selesai, plateau berlanjut yang disebabkan CO2 yang diekshalasi dari alveoli tetap di

tempat sampling gas sampai inspirasi berikut. Konsentrasi end-tidal CO2 (EtCO2)

dipertimbangkan sama dengan konsentrasi CO2 dalam alveoli (PACO2). Fase

keempat (D-E) merupakan fase inspirasi dengan arahan diagram ke bawah, suatu

udara segar yang menggantikan gas alveolar pada sisi sampling. Kapnogram normal

mengindikasikan paru telah diventilasi. Ventilasi bisa spontan, dibantu, ataupun

dikontrol. Konsentrasi CO2 saat inspirasi normalnya adalah nol dan nilai normal end-

tidal berkisar antara 34 - 44 mmHg. Penilaian gambaran kapnogram bisa membantu

mendeteksi adanya kelainan tertentu (Becker dan Langhand, 2013).


9

Gambar 2.1 Kapnogram Normal (Eisenkraft, 2011)

Tabel 2.1 Kelainan Kapnogram (Eisenkraft, 2011)

Kelainan Kemungkinan penyebab

Tidak ada grafik Tidak ada ventilasi, obstruksi sirkuit, intubasi

esofagus, letak pipa endotrakea tidak pada posisi.

End-tidal meningkat Peningkatan produksi: demam, hipertermia maligna,

pelepasan torniquet atau klamp, bikarbonat,

pemberian CO2

Pengurangan pembuangan (hipoventilasi):

rebreathing (absorbent habis, katup satu arah yang

tidak kompeten). Gas CO2 bercampur dengan aliran

gas segar.

End-tidal menurun Hiperventilasi, penurunan produksi CO2/

pengantaran ke paru paru, curah jantung menurun,

V/Q mismatch, peningkatan ruang rugi alveolar,


10

emboli paru-paru, kondisi tertentu (pernafasan cepat

dangkal, kecepatan sampling gas melebihi kecepatan

aliran ekspirasi, kalibrasi analiser yang salah, gas

bocor ke dalam sistem sampling).

Gambar 2.2 Peningkatan CO2 (Eisenkraft, 2011)

Gambar 2.3 Penurunan CO2 (Eisenkraft, 2011)

Gambar 2.4 Rebreathing CO2 (Eisenkraft, 2011)


11

Gambar 2.5 Obstruksi ekspirasi atau bronkospasme (Eisenkraft, 2011)

Gambar 2.6 Terdapat usaha nafas (Eisenkraft, 2011)

Terdapat jenis kapnometri sidestream dan mainstream, dengan perbedaan kedua

jenis tersebut terletak pada lokasi sensor. Pada kapnometri sidestream, volume gas

yang tetap secara kontinu diambil dari sirkuit. Gas sampel diaspirasi melalui selang

nylon atau teflon ke dalam sel pengukuran dan kemudian dilepas ke atmosfer atau

dikembalikan ke sirkuit melalui selang kedua. Pengambilan sampel harus diambil

sedekat mungkin dengan pasien untuk mengurangi efek ruang rugi sirkuit, dan

kecepatan biasanya diatur mendekati antara 50 dan 500 ml/menit (Kirby, 2011).

Pengambilan yang salah akan diperoleh jika kecepatan pengambilan sampel

melebihi kecepatan aliran ekspirasi dan menyebabkan gas inspirasi terambil. Sungkup
12

atau kanul nasal oksigen bisa diadaptasikan untuk monitoring CO2. Kecepatan

respirasi bisa dimonitor secara adekuat, namun hasil pengukuran EtCO2 bisa lebih

rendah dari nilai seharusnya, kecuali selang sampling ditempatkan dekat dengan

hidung pasien. Terdapat beberapa sumber potensial kesalahan pada kapnometri ini.

Pengembunan uap air pada selang sampel dan sering berkumpul pada ruang

pengukuran. Cairan dan bahan partikel bisa juga masuk ke dalam sel pengukur dan

menghasilkan kesalahan dalam pembacaan. Kebanyakan sistem memasukkan filter

dan perangkap air untuk membantu meminimalkan faktor ini. Waktu respon yang

lambat disebabkan gas sampel harus melewati sel pengukuran melalui selang sampel.

Keterlambatan ini bisa diminimalkan dengan penggunaan selang pendek berlumen

kecil dan kecepatan aliran sampel tinggi. Semakin panjang selang dan semakin

rendah kecepatan sampling meningkatkan kesalahan pengukuran. Nylon tampaknya

kurang permeabel terhadap CO2 daripada material lain (Eisenkraft, 2011).

Sedangkan kapnometri mainstream memasukkan sensor inframerah ke dalam

sirkuit yang sangat dekat dengan selang endotrakea. Dengan kapnometri mainstream

masalah-masalah yang ada pada kapnometri sidestream bisa dihilangkan. Karbon

dioksida diukur secara langsung di dalam sirkuit dan ruang rugi sampel adalah

minimal dan waktu respon juga akan menjadi lebih cepat dengan sistem ini. Alat ini

umumnya digunakan pada pasien pediatri, dimana ruang rugi sirkuit bisa menjadi

lebih signifikan dan waktu respon menjadi lebih kritikal. Ruang pengukuran harus

dihangatkan sekitar 40 derajat untuk mencegah pengembunan uap air pada jendela

sensor. Alat ini agak berat, sehingga sirkuit harus diperhatikan sesering mungkin
13

untuk mencegah kinking selang endotrakea. Kapnometri ini memerlukan kalibrasi

sesering mungkin, biasanya tiap hari, dan rentan kotor oleh air liur atau mukus oleh

karena dekat dengan pasien (Eisenkraft, 2011).

Gambar 2.7
Kapnografi mainstream dan sidestream (Kodali dan Urman, 2014).

2.1.3 Proses pembentukan CO2

Karbon dioksida merupakan produk yang dihasilkan oleh metabolisme seluler.

Sel mengambil oksigen dan glukosa kemudian melepaskan air, karbon dioksida, dan

energi. Karbon dioksida memiliki peranan penting dalam buffer asam dan basa.

Tergantung pH darah, karbon dioksida diubah menjadi asam karbonat (H2CO3, suatu

asam) atau menjadi bikarbonat (HCO3, suatu basa). Karbon dioksida muncul dalam 3

bentuk yaitu sebagai HCO3- (70%), terikat dengan hemoglobin (20%), dan larut

dalam plasma (10%). Sebagai HCO3-, karbon dioksida mempengaruhi pH darah.

Pengukuran CO2 langsung menunjukkan efektivitas dari ventilasi. Sementara

monitoring EtCO2 menggambarkan keseimbangan asam basa secara tidak langsung

(Bauman dan Cosgrove, 2012).


14

Kombinasi CO2 dengan air menghasilkan H2CO3 yang akan didegradasikan

menjadi bikarbonat, air dan CO2. Proses ini terjadi di dalam sel darah merah,

sedangkan HCO3- dilepaskan kembali ke dalam plasma untuk diterima oleh hidrogen

(H+), sementara CO2, dan H2O dibawa ke pertemuan arterial alveolar untuk

dilepaskan ke atmosfer (Bauman dan Cosgrove, 2012).

Pada pasien dengan fungsi paru normal, EtCO2 umumnya di bawah PaCO2

sekitar 1-5 mmHg oleh karena adanya sejumlah ruang rugi alveolar. Faktor yang

meningkatkan ruang rugi alveolar akan membesarkan gradien ini dan meningkatkan

landaian fase III. Selama anestesi sering terdapat peningkatan ruang rugi alveolar

yang disebabkan penurunan curahan jantung dan penurunan perfusi apeks paru,

sehingga tidak jarang studi yang dilakukan dibawah pengaruh anestesi menemukan

gradien EtCO2-PaCO2 sedikit meningkat pada 5-10 mmHg (Spiegel, 2013). Suatu

contoh ekstrem peningkatan ruang rugi alveolar yang akut adalah emboli paru,

sehingga, penurunan EtCO2 yang nyata dengan ventilasi yang dijaga konstan sering

merupakan suatu indikasi penurunan mendadak curah jantung atau emboli pulmonal.

Penyebab lain yang sering adalah gradien yang melebar karena adanya penyakit paru

obstruktif, perokok, dan usia tua (Hedenstierna, 2010; Butterworth dan Mackey,

2013).

2.1.4 Ventilasi dan perfusi paru

Kesesuaian antara ventilasi dan perfusi paru penting untuk efisiensi pertukaran

gas (V/Q). Rasio ventilasi dan perfusi (V/Q) menentukan komposisi gas alveoli dan
15

efektifitas pertukaran gas melalui membran kapiler-alveoli. Pada V/Q yang optimal,

PaO2 adalah sekitar 104 mmHg dan PaCO2 40 mmHg. Rasio V/Q = 0 terjadi ketika

tidak ada ventilasi ke alveoli yang dilanjutkan dengan perfusi oleh darah kapiler paru.

Rasio V/Q yang tak terhingga berarti terjadi ventilasi tetapi tidak ada aliran darah

kapiler paru ke alveoli (ventilasi yang berlebih). Topografi distribusi ventilasi adalah

elemen penting dari konsep V/Q. Rasio V/Q dapat diaplikasikan pada semua bagian

lapang paru atau pada daerah paru dalam semua ukuran termasuk alveoli. Contohnya,

rasio V/Q pada semua bagian lapang paru adalah 1 menunjukkan kesesuaian ventilasi

dan perfusi paru yang optimal. Jika ventilasi terutama terjadi pada bagian atas dan

perfusi terjadi pada bagian bawah, pertukaran gas akan menjadi sangat terbatas

meskipun ventilasi dan perfusi total ke paru adalah sama.

Shunt fisiologis dibentuk oleh 2%-5% curah jantung yang secara normal

melewati paru. Shunt fisiologis dihitung dari pemeriksaan konsentrasi oksigen darah

campuran vena dan arteri. Jalan nafas yang tidak ikut dalam pertukaran gas (ruang

rugi anatomis) dan alveoli perfusi yang mengalami ventilasi tapi tidak ikut dalam

pertukaran gas disebut ruang rugi fisiologis. Pada keadaan sehat, ruang rugi fisiologis

dihitung dari hampir semua ruang rugi anatomis. Sekitar 1/3 dari pernafasan adalah

ventilasi ruang rugi. Sebaliknya pada shunt, peningkatan ruang rugi cenderung

mengganggu eliminasi karbondioksida daripada oksigen. Selama anestesi, sistem

pernafasan mungkin menambah ruang rugi tambahan (Robert dan Hiller, 2006;

Hedenstierna, 2010).
16

2.1.5 Pengaruh ventilasi mekanik terhadap gradien PaCO2-EtCO2

Pada individu normal, gradien antara CO2 arteri dan alveolar bervariasi antara 2-5

mmHg. Gradien tersebut akan membesar akibat kelainan pada ventilasi dan perfusi.

Ventilasi ruang rugi memiliki ciri-ciri peningkatan rasio V/Q. Pada ventilasi ruang

rugi, alveoli diventilasi namun tidak diperfusi dengan baik. Jika terdapat kelainan

perfusi di daerah di area paru-paru yang terventilasi dengan baik, EtCO2 akan

menurun. Ventilasi ruang rugi bisa disebabkan emboli pulmonar, hipovolemi,

perdarahan, dan kelebihan continous positive airway pressure (CPAP). Penanganan

bisa diawali dengan memperbaiki perfusi sistemik, dimana juga akan memperbaiki

sirkulasi pulmonar. Akibat perbaikan sirkulasi pulmonar, maka gradien PaCO2-EtCO2

akan menyempit. Hal ini menunjukkan respon positif terhadap terapi.

Shunt perfusi memiliki ciri rasio V/Q yang rendah. Shunt terjadi ketika alveoli

memiliki perfusi normal namun tidak terventilasi dengan adekuat. Contoh

peningkatan shunt meliputi kondisi berbagai penyakit paru-paru pneumonia,

atelektasis, dan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Strategi ventilasi

mekanik yang digunakan untuk membantu perbaiki fungsi paru-paru dan menurunkan

gradien yang melebar meliputi pemberian positive end-expiratory pressure (PEEP).

Efek shunt pada gradien PaCO2-EtCO2 umumnya lebih rendah daripada efek ruang

rugi.

Gradien PaCO2-EtCO2 bisa digunakan sebagai alat untuk memperbaiki PEEP

pasien dengan penyakit paru-paru. Pada level PEEP yang optimal, gradien PaCO2-
17

EtCO2 seharusnya sempit. Fenomena distensi yang berlebihan pada alveolar bisa

terjadi ketika melebihi PEEP optimal (Thompson dan Craig, 2011).

2.2 Curah Jantung

2.2.1 Definisi

Curah jantung merupakan jumlah darah yang dipompakan oleh jantung per unit

waktu dan ditentukan oleh empat faktor, yakni dua faktor intrinksik (denyut jantung

dan kontraktilitas miokardium) dan dua faktor ekstrinsik (jantung dan vaskular atau

preload dan afterload). Curah jantung merupakan jumlah darah yang dipompakan

oleh ventrikel kiri ke dalam aorta tiap menit (hasil dari stroke volume dan frekuensi

denyut jantung). Karena sirkulasi merupakan sirkuit yang tertutup, maka curah

jantung harus setara dengan venous return. Curah jantung untuk berat rata-rata 70 kg

dan luas permukaan tubuh 1,7 m2 adalah 5 L/menit. Pada wanita 10% lebih sedikit.

Preload atau venous return lebih penting daripada kontraktilitas miokardium dalam

menentukan curah jantung. Kebutuhan metabolik jaringan mengendalikan curah

jantung dengan perubahan pada resistensi vaskular sistemik. Peningkatan

metabolisme lokal mengakibatkan vasodilatasi regional, sehingga terjadi peningkatan

aliran darah jaringan dan venous return. Curah jantung meningkat dengan jumlah

yang sama dengan venous return. Berbagai faktor yang mengganggu venous return

dapat mengakibatkan penurunan curah jantung. Perdarahan menurunkan volume

darah sehingga venous return dan curah jantung menurun. Dilatasi vena akut, seperti

yang terjadi pada anestesia spinal dan blok sistem saraf simpatis yang menyertainya,
18

menyebabkan peningkatan kapasitas pembuluh perifer sehingga venous return

menurun dan juga curah jantung. Terapi definitif untuk hipotensi akibat anestesia

spinal adalah dengan menyesuaikan posisi pasien dan infus cairan intravena untuk

memperbaiki venous return. Gabungan ventilasi tekanan positif pada paru dengan

volume darah yang menurun juga menyebabkan penurunan venous return dan curah

jantung.

Faktor yang meningkatkan curah jantung berhubungan dengan penurunan

afterload atau tekanan resistensi vaskular. Sebagai contoh, anemia menurunkan

viskositas darah, sehingga resistensi vaskular sistemik menurun dan meningkatkan

venous return. Peningkatan volume darah meningkatkan curah jantung dengan

meningkatkan aliran darah ke atrium kanan dengan mendistensikan pembuluh darah,

sehingga resistensi terhadap aliran darah menurun. Peningkatan aliran darah yang

diakibatkan oleh peningkatan volume darah hanya bertahan selama 20-40 menit

karena peningkatan tekanan kapiler menyebabkan cairan berpindah ke jaringan,

sehingga mengembalikan volume darah ke arah normal. Peningkatan tekanan di vena

yang disebabkan oleh peningkatan volume darah menyebabkan vena menjadi distensi

(stress-relaksasi). Curah jantung meningkat selama latihan olahraga, hipertirodisme,

dan adanya AV shunt yang berhubungan dengan hemodialisis, menggambarkan

penurunan pada resistensi vaskular sistemik.

Stimulasi sistem saraf simpatis meningkatkan kontraktilitas miokardium dan

frekuensi denyut jantung untuk meningkatkan curah jantung lebih dari yang dapat

diakibatkan oleh venous return. Stimulasi maksimal sistem saraf simpatis dapat
19

melipatgandakan curah jantung. Namun hal tersebut hanya bersifat sementara.

Alasannya adalah adanya autoregulasi aliran darah jaringan, dengan cara

vasokonstriksi untuk menurunkan venous return. Sebagai tambahan, peningkatan

tekanan darah sistemik menyebabkan cairan meninggalkan kapiler, sehingga

menurunkan volume darah, venous return, dan curah jantung.

Otot jantung sensitif terhadap kalsium, sejumlah hormon, dan obat yang dapat

meningkatkan kontraktilitas miokardium pada preload dan laju jantung yang konstan.

Obat inotropik positif meningkatkan kontraktilitas jantung sedangkan intervensi

inotropik negatif (anestetik volatil) menurunkan kontraktilitas miokardium pada

preload yang konstan. Intervensi inotropik memicu respon dengan konsentrasi

kalsium myoplasmic dan dengan meningkatkan sensitivitas komponen kontraktil

terhadap kalsium. Terlepas dari mekanisme peningkatan kontraktilitas miokardium,

efek dari intervensi inotropik adalah efek adiktif terhadap efek peningkatan preload

(Robert, Hiller, 2006; Hedenstierna, 2010).

Penurunan curah jantung dengan manifestasi sebagai gagal jantung

terdekompensasi akut adalah jarang, berkisar antara 8,9%-9,6% pada pasien yang

dirawat di rumah sakit. Penilaian hemodinamik klinik menunjukkan curah jantung

rendah, berdasarkan profil L dan C (Ochiai, dkk., 2011). Sekitar sepertiga pasien

yang dirawat di ICU mengalami syok sirkulasi, dan pengenalan dini terhadap kondisi

tersebut sangat vital untuk menghindari cedera jaringan selanjutnya. Dari data

European Sepsis Occurrence in Acutely Ill II (SOAP II) pada 1679 pasien ICU
20

didapatkan bahwa sebagian besar penyebab syok adalah syok septik (62%) diikuti

syok kardiogenik (17%), dan syok hipovolemi (16%) (Cecconi, dkk., 2014).

2.2.2 Metode pemantauan curah jantung

Pemantauan curah jantung pada pasien kritis merupakan standar praktis untuk

menjamin oksigenasi jaringan dan sudah lama dilakukan dengan menggunakan

kateter arteri pulmonar (PAC). Saat ini, nilai PAC telah menjadi pertanyaan oleh

karena penggunaan yang tidak diperlukan dan juga potensi bahayanya. Dengan

munculnya berbagai alat pengukuran curah jantung yang kurang invasif, penggunaan

PAC menurun. Berbagai macam alat yang tersedia untuk mengukur atau

memperkirakan curah jantung menggunakan metode yang berbeda. Diantaranya ada

yang mengukur stroke volume secara kontinu dan memberikan indeks dinamik fluid

responsiveness, mengukur variabel volumetric preload, dan juga mengukur saturasi

vena sentral secara kontinu. Namun ada hal yang perlu diperhatikan bahwa terdapat

keterbatasan dari alat tersebut dan tidak ada alat monitoring curah jantung yang bisa

mengubah outcome pasien kecuali dilakukan intervensi sesuai hasil pemantauan dari

alat tersebut (Alhashemi, dkk., 2011).

Pada pasien kritis yang dirawat di ICU, pemantauan alirah darah dan oksigenasi

jaringan merupakan bagian terintegrasi dalam penanganan pasien tersebut. Penilaian

curah jantung memiliki peranan penting dalam diagnosis banding bagi status syok

(Saugel, dkk., 2015).


21

Penanganan pasien yang tidak stabil secara hemodinamik merupakan suatu

tantangan bagi dokter. Penanganan yang tidak tepat atau terlambat bisa menyebabkan

morbiditas dan mortalitas. Pemantauan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah

mungkin adekuat bagi beberapa pasien, namun pada pasien dengan gangguan

kardiovaskular, pemeriksaan yang lebih detail diperlukan. Hipovolemia, vasodilatasi

sistemik, dan disfungsi miokardium sering menyebabkan ketidakstabilan

hemodinamik selama periode perioperatif dan terapi intensif. Penilaian akurat

preload kardiak adalah penting terutama pada pasien kritis dengan hipovolemia untuk

memberikan terapi langsung dan optimalisasi curah jantung. Walaupun sebagian

besar pasien dengan gangguan hemodinamik adalah responsif terhadap pemberian

cairan, namun pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan masalah baru.

Tekanan pengisian kardiak yang diukur menggunakan PAC masih digunakan secara

luas sebagai pedoman pemberian cairan pada operasi besar dan pasien kritis

(Eisenkraft, 2011).

Metode pertama yang digunakan untuk pengukuran curah jantung pada

manusia dideskripsikan oleh Adolf Fick pada tahun 1870. Sebelumnya pada tahun

1954, Fregler memperkenalkan pengukuran curah jantung dengan termodilusi, yang

kemudian dikembangkan oleh Swan dan Ganz pada tahun 1970 dengan tip balon

PAC. Pulmonary artery catherter awalnya digunakan untuk pengukuran tekanan

intrakardiak, namun kemudian fungsi utama menjadi pengukuran curah jantung.

Pulmonary artery catherter masih merupakan alat standar dalam penentuan curah
22

jantung. Alat ideal untuk pengukuran curah jantung harus bersifat kontinu, otomatis,

terkalibrasi sendiri, mudah digunakan, dan noninvasif (Eisenkraft, 2011).

Dalam memantau curah jantung, metode yang digunakan dibagi menjadi metode

invasif (sebagai contoh teknik termodilusi PAC dan metode Fick), invasif minimal

(sebagai contoh pulse contour analysis dan Transesophageal echocardiography atau

TEE), dan non-invasif (sebagai contoh electrical bioimpedance, electrical

bioreactance, dan USCOM) (Mathews dan Singh, 2007).

2.2.2.1 Metode Fick

Fick menggambarkan metode ini sebagai prinsip Fick untuk estimasi curah

jantung pada tahun 1870. Curah jantung diestimasi dengan membagi konsumsi

oksigen dengan perbedaan oksigen arteri-vena. Konsumsi oksigen diukur dengan

respirometer mengandung campuran oksigen. Gas ekspirasi pasien ditampung dalam

Douglas bag. Dari volume dan konsentrasi oksigen pada gas ekspirasi dapat dihitung

konsumsi oksigen. Darah vena untuk kalkulasi kandungan oksigen didapat dari

ventrikel kanan, atau idealnya arteri pulmonal untuk menjamin pencampuran yang

adekuat. Darah yang digunakan untuk menentukan saturasi oksigen dapat diambil

dari segala arteri karena semua darah arteri tercampur dengan baik sebelum

meninggalkan jantung, dan memiliki konsentrasi oksigen yang sama. Prinsip Fick

dapat juga diaplikasikan pada eliminasi karbon dioksida dari paru (Marik, 2012).

Curah jantung dapat dihitung dengan teknik parsial rebreathing CO2

menggunakan modifikasi persamaan Fick. NICO (dipasarkan oleh Novametrix


23

Medical Systems) merupakan monitor noninvasif berkelanjutan untuk mengukur

curah jantung berdasarkan prinsip ini. Dengan menambahkan secara intermiten ruang

rugi ke sirkuit pernafasan, eliminasi CO2 dikurangi sehingga meningkatkan end-tidal

CO2. Perubahan pada end-tidal CO2 digunakan untuk estimasi perubahan kandungan

CO2 arteri. Data ini digunakan pada persamaan Fick modifikasi untuk mengkalkulasi

curah jantung (Marik, 2012).

Curah jantung =

Dimana VO2 = selisih oksigen yang diinspirasi dan diekspirasi, CaO 2 = kandungan

oksigen yang terkandung dalam arteri, CvO2 = kandungan oksigen yang tercampur

dalam vena. Hasilnya dikatakan akurat apabila status hemodinamik stabil sehingga

tidak dapat digunakan pada pasien kritis (Mathews dan Singh, 2007).

Persamaan Fick modifikasi = ΔVCO2/S × ΔEtCO2

dimana VCO2 = selisih udara yang mengandung CO2 yang diinspirasi dan diekspirasi

2.2.2.2 Sistem berdasarkan indikator dilusi

Prinsip indikator dilusi untuk pengukuran curah jantung pertama kali

dideskripsikan oleh Stewart. Pada metode ini, larutan non-difusi (indocyanine green)

disuntikkan ke atrium kanan (atau sirkulasi vena sentral), dan konsentrasi dari larutan

diukur secara berkelanjutan pada sirkulasi arterial dengan spectrophotometer. Daerah

pada kurva waktu-konsentrasi sebelum resirkulasi dari larutan terjadi,

dikombinasikan dengan jumlah larutan yang diinjeksikan, dapat dikalkulasi aliran


24

darah pulmonar, yang sama dengan curah jantung. Perlu untuk ekstrapolasi larutan ke

nol sebelum resirkulasi larutan. Adanya resirkulasi larutan dini menandakan adanya

shunt intrakardiak dari kanan ke kiri seperti adanya foramen ovale (Eisenkraft,

2011).

2.2.2.3 Metode termodilusi pulmonar

Metode termodilusi arteri pulmonar menggunakan perubahan suhu aliran darah

pada sirkulasi sisi kanan untuk pengukuran aliran darah. Bolus cairan dingin dapat

dipertimbangkan sebagai indikator teknik dilusi. Sebuah kateter arteri pulmonal

dengan port pada atrium kanan dan arteri pulmonal serta adanya sensor suhu pada

distal dari port digunakan untuk mengukur termodilusi curah jantung. Termodilusi

curah jantung ditentukan dengan pengukuran perubahan suhu darah antara dua titik

(atrium kanan dan arteri pulmonal) setelah injeksi sejumlah cairan salin dingin pada

proksimal port atrium kanan. Perbedaan suhu pada port arteri pulmonal distal

berbanding terbalik dengan aliran darah pulmonar. Komputer mengkonversi area di

bawah kurva waktu-temperatur menjadi ekuivalen dalam curah jantung. Keuntungan

teknik ini adalah penghilangan dingin oleh jaringan sehingga resirkulasi tidak

menjadi masalah dan aman untuk pengukuran ulang karena menggunakan cairan

saline (Eisenkraft, 2011).


25

Gambar 2.8 Metode dan kurva termodilusi (Sangkum, dkk., 2016)

2.2.2.4 Analisa pulse countour

Konsep dari teknik ini adalah berdasarkan hubungan antara tekanan darah, stroke

volume (SV), compliance arteri, dan systemic vascular resistance (SVR). Stroke

volume dan curah jantung bisa dihitung dari gelombang tekanan arteri jika

compliance arteri dan SVR diketahui. Pertama kali dilakukan pada tahun 1904.

Arterial pulse contour dapat dimodelkan seperti sirkuit elektrik yang memiliki nilai

spesifik pada resistensi, pemenuhan, dan impedansi. Aliran pada sistem tersebut

dapat diukur dari bentuk gelombang yang dibuat. Validitas dari sistem ini

ditingkatkan dengan kalibrasi menggunakan teknik estimasi curah jantung yang

berbeda. Namun penggunaannya di klinis jarang karena memerlukan frekuensi

kalibrasi yang tinggi (Marik, 2012).

Suatu hal penting yang perlu diketahui ketika curah jantung diukur dengan sistem

ini adalah lokasi pengukuran tekanan darah (arteri radial atau femoral). Perbedaan
26

antara tekanan darah sentral dan perifer, seperti pada pasien pascacardiopulmonary

bypass, pada pasien syok septik yang diberikan obat vasokonstriktor dosis tinggi,

pada pasien reperfusi setelah transplantasi hati. Perbedaan tekanan darah di antara

tempat yang berbeda bisa menjadi besar, dan pada kondisi vasokontriksi hebat,

tekanan darah radial bisa terukur lebih rendah dari pada tekanan darah aortik yang

sebenarnya, sehingga memberikan nilai curah jantung yang rendah (Marik, 2012).

2.2.2.4.1 Sistem PiCCO

Sistem PiCCO menggunakan metode pulse contour yang berbasis algoritma

Wesseling dalam perhitungan curah jantung. Sistem ini secara periodik dikalibrasi

dengan metode termodilusi untuk memeriksa pulse pressure. PiCCO adalah sebuah

monitor yang memonitor curah jantung dan volume lain seperti intrathoracic blood

volume (ITBV), global end diastolic volume (GEDV), dan extra vascular lung water

(EVLW). PiCCO juga mampu mengukur parameter lain seperti systemic vascular

resistance (SVR), stroke volume variation (SVV), dan pulse pressure variation.

Sistem PiCCO membutuhkan sebuah kateter vena sentral berujung thermistor dan

arterial line. Setelah injeksi indikator pada vena sentral, thermistor mengukur

perubahan suhunya. Kemudian curah jantung dan SVR (systemic vascular resistance)

dihitung dengan analisis kurva termodilusi menggunakan persamaan Stewart-

Hamilton modifikasi. Pada studi lain didapatkan penggunaan PiCCO berhubungan

dengan balans cairan pasien yang lebih baik dan fase bebas-ventilator yang lebih

cepat (Porhomayon, dkk., 2012).


27

2.2.2.4.2 Flo-Trac

Flo-Trac adalah salah satu alat pulse contour yang berfungsi menghitung curah

jantung dan pertama kali diperkenalkan pada tahun 2005. Sensor aliran darah khusus

digunakan dalam metode ini. Alat ini menghitung curah jantung secara kontinu

dengan mengalikan detak jantung dengan stroke volume. Dalam studi yang dilakukan

dengan metode ini pada pasien luka bakar menunjukkan hasil yang memuaskan.

Stroke volume pada monitor juga membantu para klinisi mendeteksi awal tanda-tanda

sepsis. Namun hasil dari Flo-trac menjadi tidak reliable pada pasien kritis terutama

dengan arterial wave artifact, gangguan kateter aorta, regurgitasi aorta,

vasokonstriksi periperal, denyut iregular, dan penurunan fungsi jantung

(Porhomayon, dkk., 2012).

2.2.2.4.3 Lithium dilution CO (LiDCO)

Teknik yang menggunakan dilusi litium ini diperkenalkan pertama kali tahun

1993 oleh Linton dkk. Dosis kecil litium diinjeksikan pada vena perifer dan elektroda

ion ditempatkan pada peripheral arterial line. Teknik dilusi litium dikatakan akurat

apabila aliran darah konstan dan pencampurannya uniform. Keterbatasan dari metode

ini adalah membutuhkan pengambilan darah yang berulang (Porhomayon, dkk.,

2012).

Curah jantung = {Li dose (mmol) × 60}/{Area × (1-PCV)

(m mol/sec)}
28

Dimana PCV (packed cell volume) dihitung dari konsentrasi hemoglobin (g/dl)/34.

Gambar 2.9 Metode-metode yang berdasarkan analisis pulse contour


(Sangkum, dkk., 2016)

2.2.2.5 Teknik ekokardiografi

Ekokardiografi dapat digunakan untuk estimasi curah jantung dengan

dikombinasikan dengan prinsip Doppler untuk mengukur velositas darah di aorta

dengan pandangan dua dimensi untuk menentukan diameter aorta. Teknik

transesofageal atau ekokardiografi transthoracic konvensional memiliki kelebihan

dapat mengevaluasi fungsi sistolik dan diastolik, status volume, abnormalitas dinding

regional, fungsi katup, dan adanya efusi perikardial. Namun teknik ini memerlukan

pengalaman operator yang signifikan. Teknik Doppler dikembangkan dengan

menggunakan probe transesofageal untuk estimasi curah jantung. Dimensi aorta

tidak diukur namun diestimasi dari normogram (Alhashemi, 2011).


29

2.2.2.6 Electrical bioimpedance

Teknologi electrical bioimpendace berdasarkan impedance toraks yang

tergantung pada jumlah cairan kompartemen torasik. Berdasarkan asumsi bahwa

variasi jumlah darah pada aorta selama siklus kardiak dihubungkan untuk

mengobservasi perubahan impedance. Toraks merupakan suatu konduktor yang

impedansinya diubah oleh perubahan di volume darah dan velositas dengan tiap

siklus jantung. Teknik ini didasarkan pada prinsip bioimpedansi elektrik toraks dan

melibatkan peletakan elektrode untuk dapat mengukur transmisi dan voltase pada

dada. Teknik ini dapat digunakan sebagai metode non-invasif estimasi curah jantung.

Namun validitas teknik ini dibatasi oleh beberapa keadaan seperti gerakan pasien,

kualitas sinyal elektrokardiogram (EKG) yang buruk, takidisritmia, cairan toraks

yang banyak, dan luka dada terbuka dengan adanya retraktor besi. Pada suatu meta-

analysis yang dipublikasikan tahun 2010, lebih dari 400 pasien dari 13 validasi

torasik elektrikal bioimpedance dianalisis. Dibandingkan dengan pengukuran curah

jantung teknik termodilusi, terdapat persentase kesalahan sekitar 42,9% pada

pengukuran dengan torasik elektrikal bioimpedance (Saugel, 2015).


30

Gambar 2.10 Aplikasi elektroda pada elektrikal bioimpedance


(Mathews dan Singh, 2007)

2.2.2.7 Bioreactance

Bioreactance menggunakan aliran listrik melalui elektroda yang dipasang

pada dada pasien. Teknik ini menghasilkan suatu rasio signal-to-noise dan akurasinya

sangat tinggi. Studi-studi membandingkan bioreactance dengan alat pemantau curah

jantung lain seperti PiCCO, Flo-Trac, PAC dan menunjukkan hasil yang jauh lebih

akurat (Porhomayon, dkk., 2012).


31

Gambar 2.11 Bioreactance (NICOM system)


(Sangkum, dkk., 2016)

2.2.2.8 Ultrasonic cardiac output monitor (USCOM)

Teknologi Doppler noninvasif seperti ultrasonic cardiac output monitor

(USCOM) menggunakan jalur aliran ultrasound Doppler transaortik atau

transpulmonar untuk mengukur curah jantung sebagai hasil dari stroke volume dan

frekuensi denyut jantung. Stroke volume diukur dengan menggunakan prinsip

ultrasound pengukuran velocity-time integral (VTI) dari darah pada aliran keluar

aortik/pulmonar. Penggunaan ultrasound Doppler untuk menentukan cardiac index

memiliki beberapa keterbatasan. Dengan USCOM, area jalur outflow aortik/pulmonar

tidak diukur secara langsung, hanya dihitung berdasarkan algoritma antropometrik

berdasarkan tinggi badan pasien. Pengukuran VTI memerlukan sinyal aliran yang

baik dan interpretasi yang benar sehingga sangat tergantung pada kemampuan

operator (Hiller dan Mazurek, 2012).


32

USCOM merupakan alat noninvasif, suatu monitor ultrasonic cardiac output

yang didesain untuk mengukur dan mencatat perubahan status hemodinamik pasien

kritis secara transkutaneus. Penggunaan USCOM menggunakan gelombang kontinu

ultrasound Doppler dan bisa mengukur curah jantung kanan dan kiri. Transduser

diletakkan pada posisi parasternal kiri untuk mengukur aliran darah transpulmonar,

atau posisi suprasternal untuk mengukur aliran darah trans aorta. Profil aliran

ditayangkan pada monitor USCOM menunjukkan variasi kecepatan aliran darah

dengan waktu. Alat USCOM dapat mengevaluasi 14 parameter curah jantung, yakni

cardiak index (CI), cardio output (CO), peak velocity of flow (Vpk), velocity time

integral (vti), heart rate (HR), ejection time per cent (ET%), SV, stroke volume

index (SVI), stroke volume variability (SVV), SVR, systemic vascular resistance

index (SVRI), minute distance (MD), mean pressure gradient (MPG), dan flow time

(FT) (Anonim, 2007).

Curah jantung merupakan variabel kunci dalam penilaian hemodinamik terutama

pada penanganan pasien kritis, perioperatif, atau pasien yang menjalani anestesi.

Curah jantung penting dalam hal konsumsi oksigen oleh jaringan secara global, oleh

karena perubahan curah jantung akan menentukan jumlah oksigen yang diantarkan ke

jaringan. Curah jantung yang rendah atau tidak adekuat bisa mengakibatkan

kehilangan oksigen pada level jaringan, hipoksia sel, dan bisa menyebabkan disfungsi

organ multipel. Curah jantung yang rendah bisa terjadi pada konsentrasi hemoglobin

dan saturasi yang adekuat. Perfusi yang adekuat adalah penting pada pasien kritis,

dan bahwa tidak hanya tekanan perfusi yang tinggi yang diperlukan untuk
33

mempertahankan patensi kapiler dalam seluruh organ, namun juga harus dengan

aliran yang cukup untuk menghantarkan oksigen dan substrat ke jaringan dan

membuang produk metabolik dan karbon dioksida. Perbaikan curah jantung bisa

merupakan indikasi respon positif terhadap terapi medikal (Anonim, 2007).

Gambar 2.12 USCOM (Anonim, 2007)

Pada studi yang dilakukan oleh Horster dkk. (2012), dalam membandingkan

akurasi pengukuran curah jantung dengan USCOM terhadap teknik termodilusi

PiCCO pada pasien dengan sepsis didapatkan koefisiensi korelasi adalah 0,89.

Analisa data dengan metode Bland-Altman, rerata persentasi kesalahan menurut

L.A.H Crithley dan J.A.H. Critchley adalah 29% untuk akses transaortik. Oleh karena

ambang penerimaan adalah < 30%, sehingga bisa disimpulkan pengukuran curah

jantung dengan USCOM transaortik dapat mencerminkan hasil pengukuran dengan


34

PiCCO (Anonim, 2007). Pada studi yang dilakukan oleh Wong dkk. (2008), dalam

membandingkan USCOM dan teknik termodilusi melalui kateter arteri pulmonar

pada pasien yang menjalani transplantasi hati didapatkan koefisiensi korelasi sebesar

0,896.

Penggunaan USCOM menjadi sangat menarik seiring dengan waktu. Alat ini

mudah digunakan, tidak invasif, dan aman digunakan berulang untuk pengukuran

curah jantung, serta dapat digunakan pada pasien yang sadar. Namun USCOM tidak

memberikan informasi variabel seperti pengukuran tekanan atau Central venous

oxygen saturation. Oleh karena itu, USCOM tidak bisa menggantikan metode invasif

seperti pada PiCCO atau PAC. Namun penggunaan USCOM tampaknya cocok pada

situasi dimana pengukuran curah jantung merupakan hal yang utama pada

penanganan pasien (Hoster, dkk., 2012).


35

Gambar 2.13 Rekomendasi penggunaan alat monitoring curah jantung di rumah sakit

(Porhomayon, dkk., 2012)

Tabel 2.2 Metode pemantauan curah jantung (Porhomayon, dkk., 2012)


Kelebihan Kekurangan
Metode Fick Mudah, terdapat parameter Tidak dapat dipergunakan
tambahan untuk memantau untuk pasien tidak stabil,
nafas shunt mempengaruhi hasil
curah jantung
PAC Dapat mengukur CVP Infark pulmonal, ruptur
(central venous pressure) , arteri pulmonal, aritmia,
intermiten dan kontinu, membutuhkan kateterisasi
mengukur SVR jantung sisi kanan
Pulse contour analysis
A. PiCCO Intermiten dan kontinu, Membutuhkan akses vena
mengukur GEDV/ EVLW sentral
36

(global end diastolic


volume/extravascular lung
water) dan preload
B. LIDCO Intermiten dan kontinu, Tak dapat digunakan pada
mengukur SVR pasien dalam pengobatan
lithium maupun NDM
(non-depolarizing muscle
relaxant), membutuhkan
pengambilan darah
berulang, tidak mengukur
preload
C. Flo-trac Mengukur SVR, Tidak reliable pada curah
PPV/SVV (pulse jantung yang terlampau
pressure variation/ stroke tinggi, gangguan katup,
volume variation), dan takiaritmia
membutuhkan validasi
lebih lanjut
Doppler esofageal Less invasive, mudah Membutuhkan intubasi,
digunakan hanya mengukur
descending aortic flow,
tidak dapat mengukur pada
keadaan regurgitasi aorta
Ekokardiografi Hasil lebih detail, dapat Membutuhkan skill yang
mengukur preload cukup, terpengaruhi oleh
gerakan pasien, kualitas
sinyal elektrokardiogram
(EKG) yang buruk,
takidisritmia, cairan toraks
37

yang banyak, dan luka


dada terbuka dengan
adanya retraktor besi
Bioreactance Non invasive, kontinu, Terlalu banyak asumsi
sensor dapat ditempatkan dalam perhitungannya,
dimanapun pada torak dan stabilitas sinyal berkurang
punggung apabila digunakan >24 jam
Bioimpedansi elektrik Kontinu, sulit Terlalu banyak asumsi
dalam perhitungannya,
stabilitas sinyal berkurang
apabila digunakan >24 jam

2.3 Hubungan EtCO2 dan Curah Jantung

Kapnografi digunakan secara rutin dalam monitoring intraoperatif dan

pascaoperatif pada pasien yang dalam bantuan ventilasi mekanik. Teknik ini bersifat

noninvasif untuk pengukuran kontinu karbon dioksida yang diekshalasi (CO2)

melalui siklus respirasi, umumnya disebut sebagi end-tidal CO2 (EtCO2). End-tidal

CO2 merupakan suatu pengukuran tekanan parsial alveolar CO 2 (PACO2). End-tidal

CO2 juga memiliki korelasi yang baik dengan PaCO2. Ketidakcocokan antara EtCO2

dan PaCO2 mencerminkan perbedaan antara perfusi dan ventilasi alveoli (Yosefy,

dkk., 2004; Kartal, dkk., 2011). Alat ini umumnya digunakan untuk menilai posisi

pipa endotrakea yang benar, monitor intergritas peralatan ventilasi mekanik,

penyapihan dari ventilasi mekanik, dan kualitas resusitasi. End-tidal CO2 diatur oleh

metabolism, ventilasi, dan sirkulasi. Ketika kedua faktor pertama terkontrol, maka
38

nilai EtCO2 mencerminkan aliran pulmonar dan juga curah jantung. Berbagai usaha

dilakukan untuk menjadikan nilai EtCO2 sebagai altenatif penilaian curah jantung

dari teknik termodilusi. Perbedaan normal antara PaCO2 dan EtCO2 adalah sekitar 4-5

mmHg yang menunjukkan suatu ruang rugi ventilasi. Oleh karena nilai EtCO2

dipengaruh oleh aliran darah pulmonar, maka pengukuran ini tidak dapat dipakai

pada situasi curah jantung rendah secara akut. Pada situasi ini, terdapat peningkatan

rasio ventilasi perfusi (V/Q), dimana penurunan nilai EtCO2 dan peningkatan P(a-

Et)CO2 (Singla, dkk., 2014; Way dan Hill, 2011).

Pada studi yang dilakukan pada ruang emergensi rumah sakit pendidikan dari

Juni sampai Desember 2009 pada pasien dengan tanda klinis syok menunjukkan

bahwa nilai ETCO2 mampu mencerminkan setiap hipoperfusi sistemik secara

noninvasif. Nilai EtCO2 dipengaruhi oleh curah jantung dengan penurunan curah

jantung dan ventilasi alveolar yang konstan, level EtCO2 semestinya rendah pada

situasi curah jantung rendah. Nilai rata rata EtCO2 pada pasien dengan syok

hipovolemik, syok kardiogenik, dan syok septik masing masing adalah 29,64 ± 11,49

mmHg, 28,60 ± 9,87 mmHg, dan 27,81 ± 7,39 mmHg. Pengukuran EtCO2 adalah

rendah secara signifikan pada pasien yang meninggal (p = 0,005) (Kheng dan

Rahman, 2012). Sedangkan di studi lain pada 73 pasien trauma yang memerlukan

intubasi endotrakea di ruang emergensi pada bulan Maret sampai Agustus 2011

ditemukan bahwa nilai EtCO2 rendah berhubungan dengan curah jantung yang

rendah, dimana nilai EtCO2 secara signifikan menurun dengan curah jantung < 4,5

L/menit (P < 0,0001, r = 0,60). Nilai EtCO2 rendah berhubungan dengan injury
39

severity score (ISS) > 20, hipotensi, bradikardi, kehilangan darah masif, henti

jantung, dan kematian (Dunham, dkk., 2013).


40

Tabel 2.3
Nilai normal USCOM pada orang dewasa dengan pulmonar view (Smith, 2013)
41

Tabel 2.4
Nilai normal USCOM pada orang dewasa dengan aortic view (Smith, 2013)
42

Anda mungkin juga menyukai