Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI NY.

“AW” DENGAN
DIAGNOSIS BBLR DI RUANG NICU RSUD WATES

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan


Mata Kuliah Keperawatan Anak II

Disusun oleh:
ANGGAR DWI UNTARI
NIM. P07120111002

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
2013
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN


DIAGNOSIS BBLR DI RUANG NICU RSUD WATES

Disusun oleh:
ANGGAR DWI UNTARI
NIM. P07120111002

TINGKAT III REGULER

Telah mendapat persetujuan pada tanggal __Desember 2013


Oleh :

Mengetahui,
Pembimbing Klinik, Pembimbing Akademik,

(__________________________) (Dra.Ni Ketut Mendri, S.Kep, Ns, Msc)


LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI NY. “AW” DENGAN DIAGNOSIS


BBLR DI RUANG NICU RSUD WATES

Disusun oleh:
ANGGAR DWI UNTARI
NIM. P07120111002

TINGKAT III REGULER

Telah mendapat persetujuan pada tanggal __Desember 2013


Oleh :

Mengetahui,
Pembimbing Klinik, Pembimbing Akademik,

(__________________________) (Dra.Ni Ketut Mendri, S.Kep, Ns, Msc)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bayi dengan BBLR merupakan salah satu faktor risiko yang
mempunyai konstribusi terhadap kematian bayi khusunya pada masa
perinatal. Bayi dengan BBLR saat ini masih merupakan masalah di seluruh
dunia karena penyebab kematian pada masa bayi baru lahir.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskerdas) Departemen
Kesehatan tahun 2007, prematuritas menjadi salah satu penyebab utama
tingginya angka kematian perinatal, yaitu sebesar 32,4% di samping
penyebab-penyebab lain seperti gangguan/ kelainan pernapasan (35,9%)
dan sepsis (12,0%) (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2011).
Di Indonesia sendiri angka kejadian prematur belum dapat dipastikan
jumlahnya, namun berdasarkan data Riskerdas Departemen Kesehatan
tahun 2007, proporsi BBLR mencapai 11,5%, meskipun angka BBLR tidak
mutlak mewakili angka kejadian persalinan prematur ( Dirjen Bina Pelayanan
Medik Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Salah satu penyebab bayi berat badan lahir rendah (BBLR) adalah
lahir kurang bulan (prematur). Jumlah bayi berat lahir rendah (BBLR) di Jawa
Tengah pada tahun 2011 sebanyak 21.184 meningkat banyak apabila
dibandingkan tahun 2010 yang sebanyak 15.631. Adapun persentase BBLR
tahun 2011 sebesar 3,73%, meningkat bila dibandingkan tahun 2010 sebesar
2,69% (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012)
Prevalensi BBLR diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia
dengan batasan 3,3 – 38 %. Menurut survey demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) 2002 – 2003, angka kematian neonatal sebesar 20 per
1000 kelahiran hidup. Dalam satu tahun, sekitar 89.000 bayi usia 1 bulan
meninggal. Dengan kata lain dalam 1 menit ada 6 neonatus meninggal di
Indonesia disebabkan oleh beberapa hal. Penyebab utama kematian
neonatal adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), sebanyak 29% (Depkes,
2007).
Prevalensi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) diperkirakan 15% dari
seluruh kelahiran hidup di dunia dengan batasan 3,3 – 38 % dan lebih sering
terjadi di negara berkembang atau sosio ekonomi rendah (Depkes, 2007).

B. Tujuan
1. Umum
Memberikan asuhan keperawatan pada bayi dengan prematur dan BBLR
2. Khusus
a. Melihat langsung kasus bayi dengan masalah kesehatan BBLR
b. Melakukan pengkajian pada bayi dengan BBLR
c. Merumuskan diagnosa keperawatan pada bayi BBLR
d. Merencanakan tindakan pada bayi BBLR
e. Melaksanakan implementasi pada bayi BBLR
f. Melakukan evaluasi pada anak BBLR

C. Metode
1. Studi kepustakaan, dengan mengambil beberapa literatur yang
berhubungan dengan BBLR.
2. Pengamatan kasus secara langsung di ruang NICU RSUD Wates untuk
membandingkan dengan studi kepustakaan, yang meliputi pengkajian,
penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan melalui observasi,
wawancara, pemeriksaan fisik dan studi dokumen.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat badan kurang
dari 2500 gram pada saat kelahirannya (Indrasanto, dkk, 2008)
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari
2500 gram tanpa memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi
yang ditimbang dalam 1 (satu) jam setelah lahir (IDAI, 2004).
Menurut WHO bayi prematur adalah bayi lahir hidup sebelum usia
kehamilan 37 minggu (dihitung dari hari pertama haid terakhir) . The
American Academy Of Pediatric, mengambil batasan 38 minggu untuk
menyebut prematur.
BBLR digolongkan menjadi 2 yaitu prematuritas murni dan dismaturitas.
1. Prematuritas murni, yaitu bayi dengan gestasi <37 mg atau 259 hari dan
berat badannya sesuai dengan kehamilan atau dapat disebut neonatus
kurang bulan sesuai masa kehamilan
2. Dismaturitas, yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan
seharusnya untuk masa gestasi, dapat diartikan bayi mengalami retardasi
pertumbuhan dan merupakan bayi yang kecil untuk masa kehamilannya
(KMK)

B. Etiologi
Faktor Faktor yang mempengaruhi BBLR pada Dismatur :
1. Faktor ibu
Hipertensi dan penyakit ginjal kronik, perokok, pendrita penyakit diabetes
militus yang berat, toksemia, hipoksia ibu, (tinggal didaerah pegunungan ,
hemoglobinopati, penyakit paru kronik ) gizi buruk, Drugabbuse, peminum
alcohol.
2. Faktor uteri dan plasenta
Kelainan pembuluh darah, (hemangioma) insersi tali pusat yang tidak
normal, uterus bicornis, infak plasenta, tranfusi dari kembar yang satu
kekembar yang lain, sebagian plasenta lepas.
3. Faktor janin
Gemelli, kelainan kromosom, cacat bawaan, infeksi dalam kandungan,
(toxoplasmosis, rubella, sitomegalo virus, herpez, sifillis). Hidramnion,
kehamilan ganda, kelainan kromosom, infeksi, cacat bawaan, arteri
umbilikus tunggal, dan polihidramnion.
4. Penyebab lain
Keadaan sosial ekonomi yang rendah, tidak diketahui, tempat tinggal di
paparan tinggi radiasi dan zat-zat racun.
C. Patofisiologi
Persalinan preterm dapat diperkirakan dengan mencari faktor resiko mayor
atau minor.
1. Faktor resiko minor
Penyakit yang disertai demam, perdarahan pervaginam pada kehamilan
lebih dari 12 minggu, riwayat pielonefritis, merokok lebih dari 10 batang
perhari, riwayat abortus pada trimester II, riwayat abortus pada trimester I
lebih dari 2 kali
2. Faktor resiko mayor
Kehamilan multiple, hidramnion, anomali uterus, serviks terbuka lebih dari
1 cm pada kehamilan 32 minggu, serviks mendatar atau memendek
kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, riwayat abortus pada
trimester II lebih dari 1 kali, riwayat persalinan preterm sebelumnya,
operasi abdominal pada kehamilan preterm, riwayat operasi konisasi, dan
iritabilitas uterus.
Pasien tergolong resiko tinggi bila dijumpai 1 atau lebih faktor resiko
mayor atau bila ada 2 atau lebih resiko minor atau bila ditemukan keduanya.
(Kapita selekta, 2000 : 274).

D. Manifestasi klinik
1. BB < 2500gr, PB <45cm, LK < 33cm, LD < 30cm.
2. Masa gestasi < 37 minggu.
3. Kepala lebih besar daripada badan. (Kepala dan badan disporposional)
4. Kulit: tipis transparan, rambut lanugo banyak terutama pada dahi, pelipis,
telinga, dan lengan.
5. Refleks tonus otot masih lemah, reflek menghisap dan menelan serta
reflek batuk belum sempurna.
6. Tulang rawan dan daun telinga immature (elastic daun telinga masih
kurang sempurna).
7. Ekstremitas: paha abduksi, sendi lutut atau kaki fleksi-lurus.
8. Kepala tidak mampu tegak.
9. Pernapasan sekitar 45-50kali/menit bisa terjadi apnea, nadi 100-
140/menit.
10. Sering anemia.
11. Genetalia belum sempurna, labio minora belum tertutup oleh labia
mayora dan pada laki-laki testis belum turun.
12. Ekstremitas tampak lurus, garis pada telapak kaki belum jelas dan kulit
teraba halus.
13. Tampak pembuluh darah di abdomen dan kulit kepala
14. Lanugo pada extremitas, punggung dan bahu
15. Telinga lunak dengan tulang rawan min dan mudah terlipat
E. Pathway
F. Masalah yang sering terjadi pada bayi BBLR
Dengan kurang sempurnanya alat-alat dalam tubuhnya baik anatomis
maupun fisiologis maka mudah timbul beberapa kelainan seperti berikut ini :
1. Suhu tubuh yang tidak stabil
Oleh karena kesulitan mempertahankan suhu tubuh yang disebabkan
oleh penguapan yag bertambah akibat dari kurangnya jaringan lemak
dibawah kulit, permukaan tubuh relatif lebih luas dibandingkan dengan
berat badan, otot yang tidak aktif,produksi panas yang berkurang oleh
karena lemak coklat (brown fat) yang belum cukup serta pusat
pengaturan suhu yang belum berfungsi sebagaimana mestinya.
2. Gangguan pernafasan
Sering menimbulkan penyakit berat pada BBLR. Hal ini disebabkan
kekurangan surfactan(rasio lesitin/sfingomielin kurang dari 2),
pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna, otot
pernafasan yang masih lemah yang tulang iga yang mudah
melengkung(pliable thorak). Gangguan pernafasan yang sering pada bayi
BBLR adalah penyakit membran hialin dan aspirasi pneumoni.
3. Gangguan alat pencernaan dan problema nutrisi
Distensi abdomen akibat dari motilitas usus berkurang, volume lambung
berkurang sehingga waktu pengosongan lambung bertambah, daya untuk
mencernakan dan mengabsorbsi lemak, laktosa,vitamin yang larut dalam
lemak dan bebberapa mineral tertentu berkurang. Kerja dari sfingter
kardio esofagus yang belum sempurna memudahkan terjadinya
regurgitasi isi lambung ke esofagus dan mudah terjadi asspirasi.
4. Immatur hati
Memudahkan terjadinya hiperbilirubinemia dan defisiensi vitamin K.
5. Ginjal yang immature
Baik secara anatomis maupun fungsinya. Produksi urine yang sedikit,
urea clearence yang rendah, tidak sanggup mengurangi kelebihan
airtubuh dan elektrolit dari badan dengan akibat mudah terjadi edema dan
asidosis metabolik.
6. Perdarahan
Mudah terjadi karena pembuluh darah yang rapuh(fragile), kekurangan
faktor pembekuan seperti protrombine, faktor VII dan faktor christmas.
7. Gangguan imunologok
Daya tahan tubuh terhadap infeksi berkurang karena rendahya kadar Ig G
gamma globulin. Bayi prematur relatif belum sanggup membentuk
antibodi dan daya fagositosis serta reaksi terhadap infeksi masih belum
baik
8. Perdarahan intraventrikuler
Lebih dari 50% bayi prematur menderita perdarahan intraventrikuler. Hal
ini disebabkan oleh karena bayi BBLR sering menderita apnea,asfuksia
berat dan sindroma gangguan pernafasan. Luasnya perdarahan
intraventrikuler
9. Retrolental Fibroplasia
Dengan menggunakan oksigen dengan konsentrasi tinggi(PaO2 lebih dari
115 mmHg : 15 kPa) maka akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah
retina yang diikuti oleh proliferasi kapiler-kapiler baru kedaerah yang
iskemi sehingga terjadi perdarahan, fibrosis, distorsi dan parut retina
sehingga bayi menjadi buta. Untuk menghindari retrolental fibroplasia
maka oksigen yang diberikan pada bayi prematur tidak boleh lebih dati
40%. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan oksigen dengan
kecepatan 2 liter permenit.

G. Komplikasi Umum Pada Bayi Prematur


1. Sindrom Gawat Napas (RDS)
Tanda Klinisnya : Mendengkur, nafas cuping hidung, retraksi, sianosis,
peningkatan usaha nafas, hiperkarbia, asiobsis respiratorik, hipotensi dan
syok
2. Displasin bronco pulmaner (BPD) dan Retinopati prematuritas (ROP)
Akibat terapi oksigen, seperti perporasi dan inflamasi nasal, trakea, dan
faring. (Whaley & Wong, 1995)
3. Duktus Arteriosus Paten (PDA)
4. Necrotizing Enterocolitas (NEC) à (Bobak. 2005)
5. Pneumonia aspirasi karena reflek menelan dan batuk belum sempurna
6. Pre ventrikuler-intra ventrikuler hemoragi, perdarahan spontan pada
ventrikel otak yang biasanya disebabkan oleh anoksia jaringan
7. Hiperbilirubenemia karena gangguan pertumbuhan hati
H. Pemeriksaan Diagnostik :
1. Jumlah darah lengkap : Hb/Ht
2. Kalsium serum
3. Elektrolit (Na , K , U) : gol darah (ABO)
4. Gas Darah Arteri (GDA) : Po2, Pco2
5. Analisa gas darah ( pH kurang dari 7,20 ).
6. Penilaian APGAR Score meliputi (Warna kulit, frekuensi jantung, usaha
nafas, tonus otot dan reflek).
7. Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah timbul komplikasi
8. Pemeriksaan glucose darah terhadap hipoglikemia
9. Pemeriksaan sinar X sesuai kebutuhan ( missal : foto thorax ).
10. Pemeriksaan glucose darah terhadap hipoglikemia
11. Titer Torch sesuai indikasi
I. Penatalaksanaan medis
1. Pengaturan Suhu Tubuh Bayi
Pada bayi premature dengan cepat akan kehilangan panas dan menjadi
hipotermi <36,5oC karena pusat pengaturan suhu tubuh belum berfungsi
dengan baik, metabolismenya rendah, dan permukaan tubuh relative
luas. Oleh karena it, bayi perlu dirawat dalam incubator (33 oC-35oC) atau
menggunakan metode “kangguru”.
Tabel: suhu incubator sesuai berat badan bayi .

8
BBL (Gram) 0-24 J 2-3 H 4-7 H
Hari
0
1500 34-36 c 33-35 33-34 32-33
1501-2000 33-34 33 32-33 32
2001-2500 33 32-33 32 32
72500 32-33 32 31-32 32

2. Intake
Alat pencernaan bayi belum matang, masih belum sempurna, lambung
kecil, enzim pencernaan belum matang, sedangkan kebutuhan protein 3-
5gr/kg berat badan da kalori 110Ka/kg berat badan. Refleks menghisap
masih lemah sehingga pemberian minum sebaiknya sedikit demi sedikit
melalui sonde, sebaiknya diberi ASI karena merupakan nutrisi yang
paling sesuai.
Pemberian cairan perparenteral disesuaikan dengan keadaan bayi
sedang puasa atau tidak. Permulaan cairan diberikan sekitar 10-20cc/kg
berat badan perhari dan terus dinaikkan mencapai sekitar 60-90cc/kg BB
perhari.
a. Pemberian minuman di mulai setelah bayi berumur 3 jam agar bayi
tidak menderita Hipoglikemia Hiperbilirubinemia.
b. Bayi dengan BBL 2000 gr,atau lebih,dapat menyusui pada
ibunya,bayidengan BB kurang dari 1500 gr,kurang mampu mengisap
ASI atau susu botol,dalam hal ini bayi di beri minum melalui sonde
lambung.
c. Cara pemberian melalui susu botol adalah dengan frekuensi
pemberian yang lebih sering di berikan pertama kali adalah 1-5
ml/Jam,dan jumlahnya dapat di tambah sedikit demi sedikit setiap 12
Jam.
d. Banyaknya cairan yang di berikan adalah 80 ml/Kg/Hari,pada setiap
hari dinaikkan sampai 200 ml/Kg/Hari,pada akhir minggu kedua
e. Minuman yang paling baik adalah ASI,bila bayi belum dapat
menyusui,ASI dipompa dan dimasukkan di botol steril
f. Bila ASI tidak ada, susunya dapat di ambil dengan susu buatan yang
mengandung lemak yang mudah di cerna bayi dan mengandung 20
kalori/30 ml/air dan sekurang-kurangnya bayi mendapat 110
kalori/Kg/BB/Hari.
g. Uraian pemberian nutrisi
1) BB<1250 gr : 24x minum/Hari
2) BB 1250 - 3000 gr : 12x minum/Hari
3) BB > 2000 : 8x minum/Hari
4) Hari I : 60cc /Kg BB/hari
5) Hari II : 90cc /Kg BB/hari
6) Hari III : 120 cc/Kg BB/hari
7) Hari IV : 150 cc/Kg BB/hari

3. Menghindari Infeksi
Pada bayi premature mudah sekali terjadi infeksi, karena daya tahan
tubuh yang masih lemah, kemampuan leukosit masih kurang dan
pembentukan antibody belum sempurna, maka perawatan butuh isolasi.
Universal Precaution sangat diperhatikan dalam perawatan bayi
premature.
4. Observasi Pernafasan
Seperti pada bayi aterm, pengkajian awal dimulai dengan mengkaji
fungsi pernapasan dan mengamati kemampuan bayi untuk melakukan
transisi dari kehidupan intrauterin ke kehidupan ekstrauterin. Bayi
prematur cenderung mengalami kesulitan dalam melakukan transisi
akibat berbagai penurunan pada sistem pernapasannya.
a. Penurunan jumlah alveoli fungsional.
b. Defisiensi kadar surfaktan.
c. Lumen pada sistem pernapasan lebih kecil.
d. Jalan napas lebih sering kolabs dan mengalami obstruksi.
e. Insufiensi klasifikasi tulang toraks.
f. Lemah dan tidak ada refleks gag.
g. Kapiler-kapiler dalam paru mudah rusak dan tidak matur.
Secara berkombinasi, kekurangan ini sangat menghambat usaha
napas bayi dan mengakibatkan gawat napas atau apnea. Petugas
kesehatan perlu menyediakan oksigen dan ventilasi, bila diperlukan.

J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian dasar data neonatus
a. Sirkulasi
Nadi apikal mungkin cepat dam atau tidak teratur dalam batas
normal(120 -160dpm) murmur jantung yang dapat didengar dapat
menanadakan duktus arterious paten (PDA).
b. Makanan/cairan
Berat badan < 2500 gram
c. Neorosensori
Tubuh panjang, kurus , lemas dengan perut agak gendut. Ukuran
kepala besar dalam hubungarnya dengan tubuh, sutura mungkin
mudah di gerakkan ,fontenetal mungkin atau tidak terbuka lebar.dapat
mendemonstrasikan kedutan atau mata berputar . Edema kelopak
mata umum terjadi, mata mungkin merapat( tergantung pada usia
gestasi). Refleks tergantung pada usia gestasi: roting terjadi dengan
baik pada gestasi minggu 32; koordinasi refleks untuk menghisap
,menelan ,bernapas, biasanya terbentuk pada gestasi minggu ke-32;
komponen pertama dari refleks moro ( ekstasi lateral dari ektremitas
atas dengan mebuka tangan ) tampak pada gestasi minggu ke 28;
komponen kedua ( refleksi anterior dan menangis yang dapat di
dengar) tampak pada gestasi minggu ke 32.pemeriksaan dubowits
menandakan usia gestasi antra minggu 24 dan 37.
d. Pernapasan
Pernapasan mungkin dakal, tidak terutur; retraksi diafragmatik
intermirten atau periodik (40-60x/mnit), mengorok, pernafan cuping
hidung, retraksi superasternal atau substernal, atau berbagai derajat
sianosis mungkin ada.
e. Keamanan
1) Suhu berfluktuasi dengan mudah .
2) Menagis mungkin lemah.
3) Wajah mungkin memar; mungkin ada suksedaneum.
4) Kulit kemerahan atau tembus pandang; warna mungkin merah
muda/ atau kebiruan, akrosianosis, atau sianosis/pucat.
5) Lanugo terdistribusi secara luas di seluruh tubuh.
6) Ekstremitas mungkin tampak edema.
7) Garis telapak kaki mungkin atau mungkin tidak ada pada semua
atau sebagian tepak.
8) Kuku mungkin pendek.
f. Seksualitas
1) Labia minora wanita mungkin lebih besar dari labia mayor dengan
klitoris menonjol;
2) Testis pria mungkin tidak turun, rugea mungkin banyak atau tidak
ada pada skrotum.
2. Diagnosa keperawatan dan intervensi
a. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi ditandai
dengan hiperkapnia, hipoksia, takipnia, sianosis, nafas cuping hidung,
takikardi, gas darah arteri (AGD) abnormal.
Hasil yang diharpakan:
 Mempertahankan kadar PCO2 35-45 mmHg da PO2 80-100 mmHg)
 Menderita RDS (respiratory distres syndrom) minimal
 Tidak terjadi hiperkapnea, takipnea, sianosis dan takikardia
 Bebas dari displasia bronkopulmonal
Intervensi:
1) Tinjau ulang informasi yang berhubungan dengan kondisi bayi, seperti
lama persalinan, tipe kelahiran, agar skor, kebutuhan tindakan
resusitas saat kelahiran, dan obat-obatan ibu yang di gunakan selama
ke hamilan.
Rasional : Persalinan yang lama meningkatakn resiko hipoksia, dan
depresi pernapasan dapat terjadi setelah pemberian atau pengunaan
obat oleh ibu.
2) Perhatikan usia gestasi, berat badan, dan jenis kelamin.
Rasional: neonatus lahir sebelim gestasi mingu ke-30 dan atau berat
badan kurang dari 1500 gram beresiko tinggi terhadap terjadinya
RDS.
3) Kaji status pernafasan, perhatikan tanda-tanda disters pernafasan
( miss ; retraksi, pernafasan cuping hidung , mengorok, retraksi, ronki,
atau krekels).
Rasional: menandakan distres pernafasan , khususnya bila
pernafasan lebih besar dari 60x/mnit setelah 5 jam pertama
kehidupan pernafasan mengorok menunjukan upaya untuk
mempertahankan ekspensi alveolar.
4) Gunakan pemantauan oksigen transkuta atau oksimeter nadi . catat
kadar tiap jam, ubah sisi alat setiap 3-4 jam .
Rasional: memberikan pemantaaun noninfasiv konstan terhadap kdar
oksigen,
5) Pertahankan kenetralan suhu dengan suhu tubuh pada 33oC
Rasional : Stres dingin menigkatkan konsumsi oksigen bayi , dapat
meningkatkan asidosis, dan selanjutnya kerusakan produksi
surfaktan.
6) Pantau pemeriksaan laboratorium GDA
Rasional : hipoksemia. Hiperkapnia , dan asisdosis menurunkan
produksi surfaktan kadar PO2 harus 50-70 mmhg atau lebih tinngi,
kadar PCO2 harus 35-45mmhg, dan saturasi oksigen harus 92%-94%.
7) Tinjau rontgen dada.
Rasional : atelektasis,kongesti, bronkogram udara menujukkan
terjadinya RDS.
8) Kelola pemberian oksigen sesiuai kebutuhan, dengnan masker kap,
selang endotrakeal atau fentilasi mekanik dengan menggunakan
tekanan jakan napas positif konstan dan fentilasi mandotari
intermiten(IMV), atau pernapasan tekann positif intermiten dan
tekanan ekspirasi akhir positif.
Rasional: hipoksemia asdemia dapat berlanjut menurunkan produksi
surfaktan, meningkatkan tahanan vaskuler pulmonal dan
vasokontriksi, dan menyebabkan duktus arterious tetap terbuka .
imaturitas hipotalamus dapat memerlukan bantuan ventilasi untuk
mempertahankan pernapasn. Pengunaan PEEP dapat menurunkan
kolaps jalan napas, meningkatkan pertukran gas dan menurunkan
kebutuhan oksigen tingkat tinggi.
9) Kolaborasi pemasangan OGT untuk pemenuhan nutrisi
Rasional: menurunkan kebutuhan oksigen, meningkatkan istirahat,
menghemat energi, dan menurunkan resiko aspirasi karena
perkembangan refleks gag buruk.
10) Kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai indikasi:
a) Natrrium bikarbonat.
Rasional: bila tindakan meningkatkan frekuensi pernapasan atau
memperbaiki ventilasi tidak cukup untuk memperbaiki asidosis.
b) Surfaktan(artifisial atau eksogen).
Rasional : Mungkin di berikan pada kelahiran atau setelah
diagnosis RDS untuk menurunkan beratnya kondisi dan
komplikasi yang berhubungan efek dapat berakjir sampai 72 jam.
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas neurologis
ditandai dengan dispnea, takipneaa, periode aonea, pernafasan cuping
hidung , penggunaan bantuan otot, sianosis , GDA abnormal, takikardia.
Hasil yang diharapkan: Mempertahankan pola pernafasan periodik
Intervensi:
1) Kaji frekuensi pernafasan dan pola pernafasan.
Rasional : membantu dalam memberikan periode perputaran
pernafasan normal dari serangan apnea sejati, yang terutama sering
terjadi sebelum gestasi mingu ke-30.
2) Lakukan suction
Rasional : Menghilangkan mucus yang menyumbat jalan napas.
3) Tinjau ulang riwayat ibu terhadap obat-obatan yang dapat
memperberat depresi pernapasan pada bayi.
Rasional : madnesium sulfat dan narkotik menekan pusat pernafasan.
4) Pertahankan suhu tubuh optimal
Rasional: adanya sedikit peningkatan atau penurunan suhu
lingkungan dapat menimbulkan apnea.
5) Berikan rangsangan taktil yang segera bila terjadi apnea
Rasional: merangsang SSP untuk meningkatkan gerakan tubuh dan
kembalinya pernafasan spontan.
6) Pantau pemeriksaan laboratorium AGD
Rasional: hipoksia, asidosis metabolik, hiperkapnia, hipoglekimia,
hipokalsemia,dan sepsis dapat memperberat serangan apneik.
7) Kelola pemberian oksigen sesuai indikasi
Rasional: perbaikan kadar oksigen dan karbondioksida dapat
meningkatkan pernfasan.
8) Berikan obat-obatan, sesuai indikasi:
Rasional: Natrium bikarbonat memperbaiki asidosis, antibiotik
mengatasi infeksi pernapasan atau sepsis, kalsium glikonat
menghindari hipokalsemia yang mempredisposisikan bayi pada
apnea, larutan glukosa mencegah hipoglikemia.

c. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh ditandai dengan gangguan laju


metabolisme, dehidrasi, pemajanan suhu lingkungan yang ekstrem, usia
ekstrem, berat badan esktrem.
Intervensi:
1) Kaji suhu setiap 3 jam
Rasional: hipotermia membuat bayi cendrung pada stres dingin,
penggunaan simpanan lemak yang tidak dapat diperbarui bila ada,
dan menurunkan sensitifitas untuk meningkatkan kadar karbon
dioksida ( hiperkapnia) atau penurunan kadar oksigen( hipoksia).
2) Tempatkan bayi pada penghangat/inkubator
Rasional : mempertahankan lngkungan termonal membantu
mencegah stres dingin.
3) Kurangi pemajanan pada aliran udara: hindari pembukaan pagar
isolette yang tidak semestinya.
Rasional : menurunkan kehilangan panas karena konveksi/konduksi.
Membatasi kehilangan panas melalui radiasi.
4) Ganti pakaian atau linen tempat bila basah
Rasional: menurunkan kehilangan melalui evaporasi.
5) Perhatikan adanya takipnea atau apnea: sianosis umum, akrosianosis
, atau kulit belang: bradikardia , menangis buruk, atu latergi .
Rasional: tanda-tanda ini menandakan stres dingin
6) Pantau penambahan berat badan berturut-turut. Bila penambahan
berat badan tidak adekuat, tingkatkan suhu lingkungan sesuai
indikasi.
Rasional: ketidakadekuatan penambahan berat badan
mesipunmasukan kalori tidak adekuat dapat menandakan bahwa
kalori di gunakan untuk mempertahankan suhu tubuh , memerlukan
penngkatan suhu lingkungan.
7) Perhatikan perkembangan takikardia, warna kemerahan , diaforesis,
letarge,apnea, koma atau aktifitas kejang .
Rasional:tanda-tanda hipertermia (suhu tubuh lebih besar dari 99
F( 37,2 C). Dapat berkanjut pada kerusakan otak bil tidak teratasi.
8) Pantau pemeriksaan laboratorium,sesuai indikasi (misal, GDA,
Glukosa, serum, elektrolit, dan kadar bilirubin), (rujuk pada DK:
petukaran gas)
Rasional: stres dingin meningkatkan kebutuhann terhadap glukosa
dan oksigen serta dapat menyebabkan masalah asam –basa bila
bayi mengalami metabolisme anerobik.
9) Kolaborasi pemberian D10
Rasional: pemberian dekstrosa mungkin perlu untuk meperbaiki
hipoglikemia.
10) Kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai indikasi
Rasional: Fenobarbital membantu mencegah kejang berkenaan
dengan perubahan fungsi SSP yang disebabkan oleh hipertermia,
Natrium bikarbonat memperbaiki asidosis yang dapat terjadi pada
hipotermia dan hipertermia.
d. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan berat badan
ekstrem
Hasil yang diharapkan neonatal akan : Bebas dari tanda-tanda dehidrasi
atau glikosuria dengan masukan cairan sama dengan haluaran dan pH,
Ht, dan berat jenis urin DBN. Menunjukkan penambahan berat badan 20-
30g/hari.
Intervensi:
1) Ukur berat badan setiap hari
Rasional: Berat badan adalah indikator paling sensitif dari
keseimbangan cairan.
2) Bandingkan masukan dan haluaran cairan setiap shift dan
keseimbangan kumulatif setiap periode 24 jam..
Rasional: Haluran harus 1-3 ml/kg/jam, sementara kebutuhan terapi
cairan kira-kira 80-100 ml/kg/hari pada hari pertama kehidupan,
meningkat sampai 120-140 ml/kg/hari pada hari ke-3 pasca kelahiran.
3) Pantau tekanan TD dan nadi
Rasional: takikardi menandakan dehidrasi
4) Evaluasi turgor kulit, membran mukosa, keadaan fontanel anterior.
Rasional: Cadangan cairan dibatasi pada bayi praterm.
5) Kelola pemberian transfusi darah.
Rasional: Mungkin perlu untuk mempertahankan kadar Ht/Hb optimal
dan menggantikan kehilangan darah.
6) Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi
Rasional: Dehidrasi meningkatkan kadar Ht di atas nilai normal 45% -
53%, Bayi praterm rentan pada hipokalsemia (kadar kalsium < 7
mg/dl), Hipokalsemia dapat terjadi karena kehilangan melalui selang
nasogastrik, diare, ata muntah.
7) Kolaborasi pemberian infus parenteral : dalam jumlah > 180 ml/kg,
khususnya pada PDA, displasia bronkopulmonal (BPD), atau
enterokolitis nekrotisan (NEC).
Rasional: Penggantian cairan menambah volume darah, membantu
mengembalikan vasokonstriksi.
e. Risti Cedera ditandai dengan: Hipoksia jaringan, perubahan faktor
pembekuan, ketidakseimbangan metabolik (hipoglikemia, perpindahan
elektrolit, peningkatan bilirubin).
Hasil yang diharapkan : Bebas dari kejang dan tanda-tanda kerusakan
SSP.
Intervensi
1) Kaji upaya pernapasan. Perhatikan adanya sianosis.
Rasional: Distress pernapasan dan hipoksia mempengaruhi fungsi
serebral dan dapat merusak atau melemahkan dinding pembuluh
darah serebral, meningkatkan resiko ruptur.
2) Ukur lingkar kepala, sesuai indikasi.
Rasional: Membantu mendeteksi kemungkinan PTIK atau
hidrosefalus, yang mungkin merupakan akibat dari hemoragi
subdural.
3) Kaji warna kulit, perhatikan bukti peningkatan ikterik berkenaan
dengan perubahan perilaku seperti letargi, hiperrefleksia, kacau
mental, dan opistotonus. (Rujuk pada MK: Bayi baru lahir:
Hiperbilirubinemia).
Rasional: Bayi praterm lebih rentan pada kernikterus pada kadar
bilirubin lebih rendah dari bayi cukup bulan karena peningkatan kadar
bilirubin sirkulasi tidak terkonjugasi melewati barier darah otak.
4) Pantau pemeriksaan laboratorium
Rasional: Penurunan kadar Hb atau anemia menurunkan kapasitas
pembawa oksigen, peningkatan kadar bilirubin dengan cepat dapat
mengakibatkan kernikterus bila tidak diatasi
5) Kolaborasi pemberian suplemen oksigen
Rasional: Hipokalsemia meningkatkan resiko kelemahan atau
kerusakan SSP yang permanen.
6) Kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai indikasi
Rasional: Kalsium, magnesium, natrium bikarbonat, dan atau glukosa
memperbaiki ketidakseimbangan membantu mencegah aktivitas
kejang neonatus, yang dapat terjadi pada respons terhadap keadaan
metabolik sementara. Fenobarbital membantu untuk mengontrol
kejang akut serta status epileptikus pada bayi baru lahir. Fenitoin atau
diazepam mungkin digunakan bila obat antiepileptik lain tidak berhasil
dalam mengontrol aktifitas kejang. (Catatan : Dosis harus
berdasarkan pada pembuluh darah). Furosemid, asetazolamid, atau
steroid membantu menurunkan tekanan intrakranial, dan mengatasi
efek-efek sekunder dari perdarahan. Vitamin E memiliki sifat
antioksidan melindungi membran SDM terhadap hemolisis.
Indometasin dengan pemberian IV dapat memperbaiki
ketidakseimbangan hemodinamik melalui penutupan duktus
arteriosus paten.
7) Bantu dengan penggantian cairan atau pembatasan
Rasional: Perfusi serebral tergantung pada volume sirkulasi adekuat.
(Nanda. 2012)
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 1.
Jakarta : EGC.

Nanda. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012 – 2014.


Jakarta: EGC

NIC-NOC. 2012. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis


dan NANDA Jilid 1 & 2. Yogyakarta: Mediaction

Surasmi, Asrining dkk. 2002. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta:EGC.

Tubil. 2012. Laporan Pendahuluan BBLR . http://tubilsi/2012/04/laporan


pendahuluan bblr.html. 28 Oktober 2013.

Anda mungkin juga menyukai