Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HISPRUNG

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah IDK 2

Disusun oleh :
Ariani Sukmadiwanti (191FK03030)
Erni Risnaeni (191FK03039)
Sinta Nursari (191FK03038)
Muhammad Alfi (191FK03034)

Kelas : 1A- Keperawatan (kel c)

FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, Sang pencipta alam semesta
beserta isinya, Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana atas segala limpahan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu.
Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah suatu bentuk
tanggung jawab penulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Konsep Dasar
Keperawatan.
Penulis menyadari bahwa penulis hanyalah manusia biasa yang tidak luput
dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.
Sehingga sangat wajar jika dalam penulisan dan penyusunan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis senantiasa menanti kritik dan saran
dalam upaya evaluasi diri.
Di samping masih banyaknya ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan
makalah. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan
hikmah serta dapat menambah dan memperkaya wawasan ilmu pengetahuan bagi
penulis, dan pembaca.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………...…………………………i
DAFTAR ISI………………………………………...…………………………..ii

BAB I PENDAHULUAN………………………...……………………………..1

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………..…1


1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………….2
1.3 Tujuan………………………………………………………………………...2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………….…………….…3

2.1 Definisi Hisprung……...………………………………………………...…....3

2.2 Tanda Dan Gejala………….…………………………………………………3

2.3 Patway…………………….....….……………………………………………5

2.4 Faktor Resiko Hisprung………………………..………………….………….7

2.5 Pemeriksaan Penunjang Untuk Hisprung………………………….…………9

2.6 Pengobatan Dan Penatalaksanaan Anak………………………………….....10

BAB III PENUTUP…………………………………….….……………...........15

3.1 KESIMPULAN…………………………………………………...………....15

3.2 SARAN……………………………….……………………………………..15

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………….………….…16
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik
usus, mulai dari spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang
bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan
gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional (Kartono,1993)
Zuelser dan Wilson (1948) mengemukakan bahwa pada dinding usus yang
menyempit tidak ditemukan ganglion parasimpatis. Sejak saat itu penyakit ini lebih di
kenal dengan istilah aganglionosis kongenital.
Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick
Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald
Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun
patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938,
dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada
kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi
ganglion (Kartono, 1993)
Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi hisprung di
Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup.
Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka
diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit hisprung.
(Munahasrini, 2012)
Insidens keseluruhan dari penyakit hisprung 1: 5000 kelahiran hidup, laki-laki
lebih banyak diserang dibandingkan perempuan ( 4: 1 ). Biasanya, penyakit hisprung
terjadi pada bayi aterm dan jarang pada bayi prematur. Penyakit ini mungkin disertai
dengan cacat bawaan dan termasuk sindrom down, sindrom waardenburg serta
kelainan kardiovaskuler. (Munahasrini, 2012)
Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya
kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah
berwarna hijau dan konstipasi faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat terjadi
karena faktor genetik dan faktor lingkungan. Oleh karena itu, penyakit hisprung
sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan
radiologi, barium, enema, rectal biopsi, rectum, manometri anorektal dan melalui
penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan pembedahan dan colostomi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari Hisprung ?
2. Apa saja Tanda dan Gejala Hisprung ?
3. Apa saja struktur atau bagan Hisprung ?
4. Apakah Faktor Resiko dari Hisprung ?
5. Apa saja Pemeriksaan Penunjang dari Hisprung ?
6. Apa saja Pengobatan dan Penatalaksanaan anak Hisprung ?

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa Definisi dari Hirschsprung
2. Untuk mengetahui apa sajakah Tanda dan Gejala Hirschsprung
3. Untuk mengetahui apa sajakah Struktur atau bagan dari Hirschsprung
4. Untuk memahami apakah Faktor Resiko dari Hirschsprung
5. Untuk mengetahui apa saja Pemeriksaan Penunjang dari Hirschsprung
6. Untuk memahami apakah Pengobatan dan Penatalaksanaan Anak dari
Hirschsprung
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hisprung


Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit
ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan
(aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas)
yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar
dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon).
Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu.
Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion
parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus. (Ngastiyah, 1997 :
138).
Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan
obstruksi mekanik karena ketidak adekuatan motilitas sebagian dari usus. (Donna L.
Wong, 2003 : 507).

2.2Tanda dan Gejala


a. Tanda
1. Anemia dan tanda-tanda malnutrisi
2. Perut membuncit (abdomen distention) mungkin karena retensi kotoran.
3. Terlihat gelombang peristaltic pada dinding abdomen
4. Pemeriksaan rectal touche (colok dubur) menunjukkan sfingter anal yang
padat/ketat, dan biasanya feses akan langsung menyemprot keluar dengan bau feses
dan gas yang busuk.
5. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus,
punggung dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi
peritonitis
(Kessman, 2008; Lakhsmi, 2008)
2. Gejala
Berdasarkan usia penderita gejala penyakit Hirschsprung dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu:

a. Periode neonatus
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen.Terdapat 90%
lebih kasus bayi dengan penyakit Hirchsprung tidak dapat mengeluarkan
mekonium pada 24 jam pertama, kebanyakan bayi akan mengeluarkan
mekonium setelah 24 jam pertama (24-48 jam).Muntah bilious (hijau) dan
distensi abdomen biasanya dapat berkurang apabila mekonium dapat
dikeluarkan segera. Bayi yang mengonsumsi ASI lebih jarang mengalami
konstipasi, atau masih dalam derajat yang ringan karena tingginya kadar
laktosa pada payudara, yang akan mengakibatkan feses jadi berair dan dapat
dikeluarkan dengan mudah (Kessman, 2008)

b. Periode anak-anak
Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada beberapa kasus
dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga usia kanak-kanak (Lakhsmi,
2008). Gejala yang biasanya timbul pada anak-anak yakni, konstipasi kronis, gagal
tumbuh, dan malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus dapat terlihat pada dinding
abdomen disebabkan oleh obstruksi fungsional kolon yang berkepanjangan. Selain
obstruksi usus yang komplit, perforasi sekum, fecal impaction atau enterocolitisakut
yang dapat mengancam jiwa dan sepsis juga dapat terjadi (Kessman, 2008).
2.3 Pathway Hisprung

Hisprung

Tidak adanya neuron meissner dan aurbach di segmen

Rectoagmoid colon

Serabut saraf dan otot polos menebal

Tidak adanya peristaltic serta

spingter rectum tidak mempunyai daya dorong

Daya propulsit tak ada, proses evakuasi feses dan udara terganggu

Muntah hijau
Passasse usus terganggu TRIAS
Distensi abdomen
Keterlambatan
evakuasi mekonium
feses
Obstruksi dan dilatasi bagian proksimal

Refleks inhibisi rektrospingter terganggu

Spingter ani interna tidak relaksasi

Feses lama dalam kolon rektum

MK : Konstipasi

Peregangan secara kronik saat defekasi

Spingter ani inkompeten/inkontinensia fekal

Pelepasan isi rectum tanpa disadari

Pengeluaran feses terus menerus tanpa disadari

MK : Diare

Penekanan pada MK : Kerusakan


MK : Kekurangan
integritas kulit = disekitar
usus dan lambung volume cairan
colostomy dan anus
intra abdomen

Distensi
abdomen
Kontraksi MK : Nyeri
anuler pylorus akut

Kontaksi otot-otot
Ekspalasi isi
dinding abdomen
lambung ke ke diafragma
esofagus

Relaksasi otot-otot
Gerakan isi diafragma terganggu
lambung
ke mulut
Ekspansi paru
terganggu

Mual, muntah

MK : Ketidakefektifan
pola nafas
Intake kurang

Tamboyong, Jan. 2012. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC


2.4 Faktor Resiko Hisprung
a. FaktorBayi
1.Umur Bayi

Bayi dengan umur 0-28 hari merupakan kelompokumur yang paling rentan
terkena penyakit Hirschsprung karena penyakit Hirschsprung merupakan salah satu
penyebab paling umum obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0-28 hari).

2. Riwayat Sindrom Down

Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi sebagai bagian dari
sindrom yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan kromosom yang paling
umum beresiko menyebabkan terjadinya penyakit Hirshsprung adalah SindromDown.
2-10% dari individu dengan penyakit Hirschsprung merupakan penderita sindrom
Down. Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana ada tambahan salinan
kromosom 21. Hal ini terkait dengan karakteristik fitur wajah, cacat jantung
bawaan,dan keterlambatan perkembangan anak.

b. Faktor Ibu

1 .Umur

Umur ibu yang semakin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil dapat
meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Bayi dengan
Sindrom Down lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
mendekati masa menopause.

2. Ras/Etnis

Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan


kerabat dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo
(impal). Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau
incest. Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang sangat berat
dan memperbesar kemungkinan anak lahir dengan kelainan kongenital.

2.5 Pemeriksaan Penunjang untuk Hisprung

1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan :

a. Daerah transisi
b. Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit
c. Entrokolitis padasegmen yang melebar
d. Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam ( Darmawan K, 2004 : 17 )
2. Biopsi isap
Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari
sel ganglion pada daerah sub mukosa ( Darmawan K, 2004 :17 )
3. Biopsi otot rektum
Yaitu pengambilan lapisan otot rektum , dilakukan dibawah narkos.
Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
4. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada penyakit
ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase ( Darmawan K,
2004 : 17 )
5. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus ( Betz, cecily &
Sowden, 2002 : 197 )
6. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus. (Ngatsiyah, 1997 :
139)
7. Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang
menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang
menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi
pembusukan..

1. Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.


2. Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
3. Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya ganglion.
4. Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna dan
eksterna.

2.6 Pengobatan dan Penatalaksanaan Anak


a. Pengobatan
Tindakan bedah
Beberapa prosedur definitif telah digunakan, kesemuanya telah memberikan
hasil yang sempurna jika dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman. 3 jenis
teknik yang sering digunakan adalah prosedur Swenson, Duhamel, dan Soave.
Apapun teknik yang dilakukan, membersihan kolon sebelum operasi definitif sangat
penting.
1. Prosedur Swenson
Prosedur Swenson merupakan teknik definitif pertama yang digunakan untuk
menangani penyakit Hirschsprung
Segmen aganglionik direseksi hingga kolon sigmoid kemudian anastomosis
oblique dilakukan antara kolon normal dengan rektum bagian distal
2. Prosedur Duhamel
Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai
modifikasi swenson.Poin utamanya adalah pendekatan retrorektal digunakan dan
beberapa bagian rektum yang aganglionik dipertahankan.Usus aganglionik
direseksi hingga ke bagian rektum dan rektum dijahit. Usus bagian proksimal
kemudian diposisikan pada ruang retrorektal (diantara rektum dan sakrum),
kemudian end-to-side anastomosis dilakukan pada rektum yang tersisa.
3. Prosedur Soave
Prosedur Soave diperkenalkan pada tahun 1960, intinya adalah membuang
mukosa dan submukosa dari rektum dan menarik usus ganglionik ke arah ujung
muskuler rektum aganglionik. Awalnya, operasi ini tidak termasuk anastomosis
formal, tergantung dari pembentukan jaringan parut antara segmen yang ditarik
dan usus yang aganglionik. Prosedur ini kemudian dimodifikasi oleh Boley dengan
membuat anastomosis primer pada anus.
Untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat penyumbatan usus, segera dilakukan
kolostomi sementara. Kolostomi adalah pembuatan lubang pada dinding perut yang
disambungkan dengan ujung usus besar. Pengangkatan bagian usus yang terkena dan
penyambungan kembali usus besar biasanya dilakukan pada saat anak berusia 6 bulan
atau lebih. Jika terjadi perforasi (perlubangan usus) atau enterokolitis, diberikan
antibiotik.

Penyakit Hirschsprung adalah kondisi serius yang perlu segera diobati dengan
operasi, baik dengan bedah laparoskopi ataupun bedah terbuka. Pasien yang
kondisinya stabil biasanya hanya memerlukan satu kali operasi, yaitu operasi
penarikan usus.

Jika kondisi pasien tidak stabil, atau ketika pasien merupakan bayi yang lahir
prematur, memiliki berat badan yang rendah, atau sedang sakit, biasanya perlu
menjalani operasi ostomi, untuk mengurangi risiko terjadinya komplikasi.

1.Prosedur penarikan usus (pull-through surgery)

Pada prosedur ini, dokter akan membuang bagian dalam dari usus besar yang
tidak bersaraf, kemudian menarik dan menyambungkan usus yang sehat langsung ke
dubur atau anus.

2.Prosedur ostomi
Prosedur ini dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama adalah pemotongan
bagian usus pasien yang bermasalah. Setelah pemotongan usus, dokter akan
mengarahkan usus yang sehat ke lubang baru (stoma) yang dibuat di perut. Lubang
tersebut menjadi pengganti anus untuk membuang feses.

Selanjutnya, dokter akan memasangkan kantong khusus ke stoma. Kantong tersebut


akan menampung feses. Bila sudah penuh, isi kantong dapat dibuang.

Setelah kondisi pasien stabil dan usus besar sudah mulai pulih, tahap kedua prosedur
ostomi dapat dilakukan. Tahap kedua ini dilakukan untuk menutup lubang di perut
dan menyambungkan usus yang sehat ke dubur atau anus.

Setelah menjalani prosedur operasi, penderita akan menjalani rawat inap di rumah
sakit selama beberapa hari, sambil diinfus dan diberi obat pereda rasa sakit sampai
kondisinya membaik. Selama masa perawatan, usus akan pulih secara bertahap
hingga dapat berfungsi kembali secara normal.

Pada anak-anak yang sangat sakit, operasi dapat dilakukan dalam 2 tahap.

Pertama, bagian usus besar yang abnormal diangkat dan bagian usus besar atas yang
sehat disambungkan pada lubang yang dibuat oleh ahli bedah pada perut anak. Feses
kemudian keluar dari tubuh melalui lubang ke kantung yang menempel pada ujung
usus yang menjulur melalui lubang pada perut (stoma). Hal ini memberikan waktu
untuk bagian bawah usus besar untuk pulih.

Prosedur ostomi meliputi:

Ileostomi: Dokter mengangkat seluruh usus besar dan menyambungkan usus


kecil kepada stoma. Feses keluar dari tubuh melalui stoma ke dalam kantung.

Kolostomi: Dokter membiarkan bagian usus besar tetap utuh dan


menyambungkan pada stoma. Feses keluar dari tubuh melalui ujung usus besar.

b. Penatalaksanaan

Penyakit Hirschprung ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan penunjang.


Penatalaksaan Hirschprung terdiri dari tindakan bedah dan non bedah. Tindakan non
bedah dilakukan untuk perawatan penyakit Hirschprung ringan bertujuan untuk
menghilangkan konstipasi kronik dengan pelunak feses dan irigasi rektal. Sedangkan
pada Hirschprung sedang sampai berat dilakukan tindakan pembedahan. Pada periode
neonatal, dilakukan tindakan kolostomi temporer pada bagian paling distal usus yang
normal untuk menghilangkan sumbatan. Pembedahan repair ditunda sampai berat
badan anak 8 sampai 10 kilogram. Tindakan bedah lain yang dilakukan antara lain
prosedur Swenson, Duhamel dan Soave. (Ashwill & James, 2007; Hockenberry &
Wilson, 2007).

1.Medis
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus
besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar
sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal.
Ada dua tahap pembedahan pertama dengan kolostomi loop atau double barrel
dimana diharapkan tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi dapat kembali
menjadi normal dalam waktu 3-4 bulan . Terdapat prosedur dalampembedahan
diantaranya:

a. Prosedur duhanel biasanya dilakukan terhadap bayi kurang dari 1 tahun


dengan cara penarikan kolon normal kearah bawah dan
menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik, membuat dinding
ganda yaitu selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang
telah ditarik.
b. Prosedur Swenson membuang bagian aganglionik kemudian
menganastomosiskan end to end pada kolon yang berganglion dengan saluran
anal yang dilatasi dan pemotongan sfingter dilakukan pada bagian posterior.
c. Prosedur soave dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dengan cara
membiarkan dinding otot dari segmen rectum tetap utuh kemudian kolon yang
bersaraf normal ditarik sampai ke anus tempat dilakukannya anastomosis
antara kolon normal dan jaringan otot rektosigmoid yang tersisa.

2.Keperawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila
ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :
a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak
secara dini
b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan )
d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang.
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan
malnutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat.
Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan
juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat
digunakan nutrisi parenteral total ( NPT )
Perencanaan pulang dan perawatan dirumah :
1. Ajarkan pada orang tua untuk memantau adanya tanda dan gejala komplikasi
jangka panjan berikut ini.
a. Stenosis dan kontriksi
b. Inkontinensia
c. Pengosongan usus yang tidak adekkuat
2. Ajarkan tentang perawatan kolostomi pada orang tua dan anak.
a. Persiapan kulit
b. Penggunaan alat kolostomi
c. Komplikasi stoma (perdarahan, gagal defekasi, diare meningkat , prolaps,
feses seperti pita )
d. Perawatan dan pembersihan alat kolostomi
e. Irigasi kolostomi
3. Beri dan kuatkan informasi-informasi tentang penatalaksanaan diet.
a.Makanan rendah sisa
b.Masukan cairan tanpa batas
c.Tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolot dan dehidrasi.
4. Dorong orang tua dan anak untuk mengekspresikan perasaannya tentang
kolostomi.
a.Tampilan
b.Bau
c.Ketidaksesuaian antara anak mereka dengan anak “ideal”
5. Rujuk ke prosedur institusi spesifik untuk informasi yang dapat diberikan
pada orang tua tentang perawatan dirumah.

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah.
Baik masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan
perkembangan anak dengan penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan buang air
besar. Orang tua yang mengusahakan agar anaknya bisa buang air besar dengan cara
yang awam akan menimbulkan masalah baru bagi bayi/anak. Penatalaksanaan yang
benar mengenai penyakit hisprung harus difahami dengan benar oleh seluruh pihak.
Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk tecapainya tujuan yang diharapkan perlu
terjalin hubungan kerja sama yang baik antara pasien, keluarga, dokter, perawat
maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi kemungkinan yang terjadi.

3.2 SARAN
Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang
penyakit hisaprung. Walaupun dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan.

Daftar Pustaka
Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto
Ngatsiyah, 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC
Betz, Cecily, L. Dan Linda a. Sowden. 2002 . Buku Saku Keperawatan Pediatrik
Edisi Ke-3. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Aesulapius FKUI Edisi Ke-3.
Jakarta: Media
Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih
(Fd),Monica Ester (Alih Bahasa) Edisi Ke-4. Jakarta: EGC
Izadi, M et all. 2007. Clinical manifestations Hirschsprung’s disease: A 6-year
course review on admitted patients in Guilan, North Province of Iran. Iranian
Cardiovascular Research Journal; 1: 25-31
Kessmann, J. 2006. Hirschsprung’s Disease: Dignosa and Management. American
Family Physician; 74: 1319-1322
Lakhsmi, P; James, W. 2008. Hirschsprung’s Disease. Hershey Medical Center; 44-
46
Staf Pengajaran Ilmu Kesehatan Anak. 1991. Ilmu Kesehatan Anak Edisi Ke-2.
Jakarta: FKUI
Zuelser dan Wilson. 1948
Mundhasirini. 2012
Scribd
Academia

Anda mungkin juga menyukai