KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Dahsyat, Buku Laporan Akhir Rencana Induk Pelabuhan
Laut (RIPL) Aceh dapat selesai sesuai jadwal.
Sesuai dengan amanat undang-undang no 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, ps 172 dan ps
173 bahwa adalah kewenangan dari pemerintahan Aceh untuk mengelola insfrastruktur ekonomi
Aceh termasuk didalamnya adalah pelabuhan laut. Permendagri no 8 tahun 2009 tentang pedoman
pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah-urusan wajib bidang perhubungan. Juga
merupakan amanat dari rancangan qanun RTRW Aceh 2012-2032 ps 19 dan ps 20 bagian ketiga dalam
sistem jaringan transportasi dan pelabuhan laut yang dikelompokkan kedalam zona kerja
berdasarkan letak geografis dan rencana pengembangan kawasan strategis Aceh. Maka disusunlah
Rencana Induk Pelabuhan Laut (RIPL) Aceh 2013-2033.
Buku Rencana Induk Pelabuhan Laut (RIPL) Aceh akan menjadi pedoman (guide book) dalam
mengembangkan pelabuhan-pelabuhan di Aceh. Hal ini penting untuk mengarahkan pembangunan
sesuai amanat undang-undang dan qanun Aceh, demi kemakmuran rakyat Aceh.
Buku Laporan Akhir Rencana Induk Pelabuhan Laut (RIPL) Aceh ini terdiri atas 7 bab. Bab 1
berisi pendahuluan, Bab 2 mengenai metodologi dan pendekatan pekerjaan, Bab 3 mengenai
gambaran umum wilayah perencanaan, Bab 4 mengenai kondisi dan permasalahan transportasi Aceh
dan Bab 5 Analisa Sistem Transportasi Laut Aceh, Bab 6 Rencana Induk Pelabuhan Aceh dan Bab
7 Penutup.
Kata Kunci Pada Laporan Akhir ini adalah pelabuhan, laut, kawasan, strategis, hirarki, dan
program.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4. 5 Kondisi Jalan di Wilayah pemerintah Aceh Berdasarkan Tingkat Kerusakan ....... 7
Gambar 4. 6 Panjang Jalan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota Berdasarkan Tingkat
Kerusakan .................................................................... 7
Gambar 4. 10 Grafik Jumlah Pesawat yang Datang dan Berangkat Melalui Bandar Udara Sultan
Iskandar Muda, Tahun 2010 ................................................... 25
Gambar 4. 11 Grafik Jumlah Penumpang yang Datang dan Berangkat Melalui Bandar Udara Sultan
Iskandar Muda, Tahun 2010 ................................................... 25
Gambar 4. 13 Grafik Nilai Impor (US $) dan Berat Bongkar (Kg)............................ 30
Gambar 4. 14 Grafik Nilai (US $) Impor Pelabuhan Terbesar di Aceh ....................... 30
Gambar 4. 15 Nilai (US$) Ekspor Aceh Menurut Pelabuhan ................................... 34
Gambar 4. 16 Grafik Kunjungan Kapal di Pelabuhan Yang Diusahakan ........................ 37
Gambar 4. 17 Grafik Arus Barang Pelabuhan Sabang ......................................... 38
Gambar 4. 18 Grafik Arus Barang di Pelabuhan Lhokseumawe................................. 39
Gambar 4. 19 Grafik Arus Barang di Pelabuhan Malahayati, Lhok Nga, Ulee Lheue ........... 39
Gambar 4. 20 Grafik Arus Barang di Pelabuhan Meulaboh .................................... 40
Gambar 4. 21 Arus Barang di Pelabuhan Kuala Langsa ....................................... 40
Gambar 4. 22 Foto Dokumentasi Pelabuhan Sabang ........................................... 47
Gambar 4. 24 Foto Dokumentasi Survey Pelabuhan ........................................... 53
Gambar 4. 26 Grafik Kunjungan Kapal Pelabuhan Krueng Geukeuh............................. 61
Gambar 4. 27 Grafik Jumlah (Ton) Bongkar Muat Kapal Pelabuhan Krueng Geukeuh ............ 61
Gambar 4. 28 Grafik Kunjungan Kapal Dalam dan Luar Negeri................................ 62
Gambar 4. 29 Grafik Ekspor dan Impor (Dalam dan Luar Negeri) Pelabuhan .................. 62
Gambar 4. 30 Grafik Bongkar Muat Antar Pulau ............................................. 63
Gambar 4. 31 Grafik Jasa Tambat Pelabuhan ................................................ 63
Gambar 4. 32 Grafik Penumpukan Gudang dan Lapangan ....................................... 64
Gambar 4. 33 Grafik Jasa Terminal Pelabuhan .............................................. 64
Gambar 4. 34 Grafik Jasa Penundaan ....................................................... 65
Gambar 4. 35 Foto Dokumentasi Survey Pelabuhan Krueng Geukeuh............................ 66
Gambar 4. 36 Lokasi Pelabuhan Krueng Geukeuh ............................................. 68
Gambar 4. 37 Layout Pelabuhan Umum Krueng Geukeuh ........................................ 69
Gambar 4. 38 Grafik Jumlah Kunjungan Kapal Pelabuhan Kuala Langsa ....................... 75
Gambar 4. 39 Grafik Muatan Kunjungan Kapal di Pelabuhan Kuala Langsa .................... 75
Gambar 4. 40 Jenis Kapal Masuk di Pelabuhan Kuala Langsa................................. 76
Gambar 4. 41 Foto Dokumentasi Survey Pelabuhan Laut Kuala Langsa ........................ 77
Gambar 4. 43 Layout Pelabuhan Kuala Langsa ............................................... 81
Gambar 4. 44 Foto Dokumentasi Pelabuhan Idi .............................................. 83
Gambar 4. 46 Grafik Kedatangan Kapal di Pelabuhan Laut Meulaboh ......................... 89
Gambar 4. 47 Foto Dokumentasi Pelabuhan Laut Meulaboh .................................... 90
Gambar 4. 49 Dokumentasi Foto Lapangan ................................................... 97
Gambar 4. 51 Layout Pelabuhan Calang .................................................... 100
Gambar 4. 52 Foto Dokumentasi Survey Pelabuhan Singkil .................................. 104
Gambar 4. 54 Foto Survey Pelabuhan Sinabang ............................................. 110
Gambar 4. 56 Dokumentasi Foto Pelabuhan Tapaktuan ....................................... 117
Gambar 4. 58 Foto Dokumentasi Pelabuhan Laut Susoh ...................................... 122
DAFTAR PETA
Peta 6. 1. Rencana Induk Pelabuhan dan Rute Pelayaran Wilayah Aceh ...................... 24
DAFTAR TABEL
Tabel 4. 1. Panjang Jalan Nasional dan Provinsi yang Berfungsi Sebagai Jalan Arteri ...... 5
Tabel 4. 2. Panjang Jalan Kabupaten/Kota Berdasarkan Jenis Permukaan ..................... 7
Tabel 4. 3. Panjang Jalan Nasional dan Provinsi Berdasarkan Jenis Permukaan .............. 8
Tabel 4. 4. Panjang Jalan Kabupaten/Kota Berdasarkan Kondisi Jalan ....................... 9
Tabel 4. 5. Arus Lalu Lintas Pada Pelabuhan Penyeberangan Balohan, 2010 ................. 19
Tabel 4. 6. Arus Lalu Lintas Pada Pelabuhan Penyeberangan Lamteng, 2010 ................. 20
Tabel 4. 7. Arus Lalu Lintas dan Pelabuhan Penyeberangan Singkil, 2010 .................. 21
Tabel 4. 8. Arus Lalu Lintas Pada Pelabuhan Penyeberangan Sinabang, 2010 ................ 22
Tabel 4.9. Pelaksanaan Penerbangan Angkutan Udara Melalui Melalui Bandar Udara Sultan
Iskandar Muda, Tahun 2010 ................................................... 24
Tabel 4.10. Jumlah Pesawat dan Penumpang yang Datang dan Berangkat Melalui Bandar Udara
Sultan Iskandar Muda, Tahun 2010 ........................................... 26
Tabel 4. 11. Nilai Impor Wilayah pemerintah Aceh Menurut Pelabuhan Bongkar (Tahun/Kilo) . 28
Tabel 4. 12. Nilai Impor Wilayah pemerintah Aceh Menurut Pelabuhan Bongkar (Tahun/US $) . 29
Tabel 4. 13. Nilai Impor (Kgs-US $) Aceh Menurut Negara Asal............................. 31
Tabel 4. 14. Negara Pengekspor Ke Aceh ................................................... 32
Tabel 4. 15. Nilai (US $) Ekspor Aceh Menurut Pelabuhan.................................. 32
Tabel 4. 16. Jumlah Ekspor (kg) Aceh Menurut Pelabuhan ................................... 33
Tabel 4. 17. Ekspor Aceh Menurut Negera Tujuan ........................................... 35
Tabel 4. 18. Negara Tujuan Ekspor Aceh ................................................... 36
Tabel 4. 19. Arus Kunjungan Kapal Pada Pelabuhan Yang Diusahakan ........................ 37
Tabel 4. 20. Arus Barang di Pelabuhan Yang Diusahakan .................................... 38
Tabel 4. 21. Profil Sarana dan Prasarana Pelabuhan Sabang................................ 42
Tabel 4. 22. Profil Sarana dan Prasarana Pelabuhan Malahayati............................ 50
Tabel 4. 23. Profil Sarana dan Prasarana Pelabuhan Laut Krueng Geukeuh .................. 56
Tabel 4. 24. Kunjungan Kapal Di Pelabuhan Krueng Geukeuh................................. 60
Tabel 4. 25. Kunjungan Kapal dari Dalam dan Luar Negeri.................................. 61
Tabel 4. 26. Jumlah Bongkar Muat Menurut Asal Barang ..................................... 62
Tabel 4. 27. Produksi Jasa Tambat Pelabuhan Laut Krueng Geukeuh ......................... 63
Tabel 4. 28. Penumpukan Gudang dan Lapangan .............................................. 63
Tabel 4. 29. Jasa Terminal Pelabuhan ..................................................... 64
Tabel 4. 30. Jasa Penundaan Pelabuhan .................................................... 64
Tabel 4. 31. Profil Sarana dan Prasarana Pelabuhan Laut Kuala Langsa .................... 72
Tabel 4. 32. Kunjungan Kapal di Pelabuhan Laut Kuala Langsa Tahun 2000 s/d 2009 ......... 74
Tabel 4. 33. Profil Pelabuhan Laut Meulaboh .............................................. 86
Tabel 4. 34. Aktifitas Kedatangan Kapal .................................................. 88
Tabel 4. 35. Profil Pelabuhan Calang ..................................................... 94
Tabel 4. 36. Profil Pelabuhan Aceh Singkil .............................................. 101
Tabel 4. 37. Profil Sarana dan Prasarana Pelabuhan Laut Sinabang ....................... 107
Tabel 4. 38. Perusahaan Pelayaran di Pelabuhan Sinabang................................. 109
Tabel 4. 39. Profil Data Sarana dan Prasarana Pelabuhan Tapaktuan ...................... 113
Tabel 4. 40. Aktifitas Bongkar dan Muat Pelabuhan Tapaktuan............................. 115
Tabel 4. 41. Jumlah Kapal Bongkat/Muat di Pelabuhan Tapaktuan........................... 116
Tabel 4. 42. Volume Bongkar/Muat di Pelabuhan Tapaktuan................................. 116
Tabel 4. 43. Profil Data Sarana dan Prasarana Pelabuhan Laut Susoh ..................... 120
Tabel 6.1. Matrik Hirarki Pelabuhan Aceh Menurut UU PA No 11 Tahun 2006 ................. 6
Tabel 6.2. Matrik Hirarki Pelabuhan Aceh Menurut Rqanun RTRW Aceh 2032 ................... 6
Tabel 6.3. Matrik Hirarki Pelabuhan Aceh Menurut RIPN Indonesia, KP 414/2013 ............. 7
Tabel 6.4. Hirarki Pelabuhan Aceh Menurut KP 414/2013 dan Zona Pengembangannya ........... 8
Tabel 6.5. Matrik Hirarki Pelabuhan Berdasarkan Kajian MP3EI, TATRAWIL Aceh, SISLOGNAS,
RIPNAS, Kapasitas Pelabuhan dan Kriteria Tata Ruang ........................... 9
Tabel 6.6. Rencana Tatanan Hirarki Pelabuhan Aceh Tahun 2015 – 2035 ..................... 11
Tabel 6.7. Rencana Tatanan Hirarki Pelabuhan Aceh Tahun 2015 – 2035 ..................... 12
Tabel 6.8. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Sabang Th. 2015 - 2035 ........ 16
Tabel 6.9. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Malahayati Th. 2015-2035 ...... 17
Tabel 6.10. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Krueng Geukuh Th. 2015-2035 .. 17
Tabel 6.11. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Meulaboh Th. 2015-2035 ....... 18
Tabel 6.12. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Singkil Th. 2015-2035 ........ 18
Tabel 6.13. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Susoh Th. 2015-2035 .......... 19
Tabel 6.14. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Kuala Langsa Th. 2015-2035 ... 19
Tabel 6.15. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Calang Th. 2015-2035 ......... 20
Tabel 6.16. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Tapak Tuan Th. 2015-2035 ..... 20
Tabel 6.17. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Sinabang Th. 2015-2035 ....... 20
Tabel 6.18. Rencana Induk Rute Pelayaran Di Pelabuhan Wilayah Aceh Th. 2015 - 2035 ...... 21
Tabel 6.19. Indikasi Program Pengembangan Pelabuhan Sabang Th. 2015-2035 ................ 27
Tabel 6.20. Indikasi Program Pengembangan Pelabuhan Malahayati Th. 2015-2035 ............ 28
Tabel 6.21. Indikasi Program Pengembangan Pelabuhan Krueng Geukuh Th. 2015-2035 ......... 28
Tabel 6.22. Indikasi Program Pengembangan Pelabuhan Meulaboh Th. 2015-2035 .............. 28
Tabel 6.23. Indikasi Program Pengembangan Pelabuhan Singkil Th. 2015-2035 ............... 29
Tabel 6.24. Indikasi Program Pengembangan Pelabuhan Susoh Th. 2015-2035 ................. 29
Tabel 6.25. Indikasi Program Pengembangan Pelabuhan Kuala Langsa Th. 2015-2035 .......... 30
Tabel 6.26. Indikasi Program Pengembangan Pelabuhan Calang Th. 2015-2035 ................ 30
Tabel 6.27. Indikasi Program Pengembangan Pelabuhan Tapak Tuan Th. 2015-2035 ............ 31
Tabel 6.28. Indikasi Program Pengembangan Pelabuhan Sinabang Th. 2015-2035 .............. 31
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengembangan pelabuhan di Aceh dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh berpedoman pada suatu
tatanan kepelabuhanan yang secara hirarkhi dan terorganisasi dalam beberapa zona pengembangan
transportasi. Zona transportasi ini terbagi atas empat wilayah: Zona Pusat, Zona Utara-Timur,
Zona Barat-Selatan dan Zona Tenggara Selatan. Setiap zona diarahkan menjadikan Pelabuhan
sebagai titik simpul jaringan yang akan menjembatani ke simpul transportasi di luar Aceh
(skala regional, nasional dan internasional).
Persoalan lainnya adalah pembangunan sistem jaringan transportasi terpadu. Efektivitas sistem
jaringan transportasi Aceh masih jauh dari hasil yang diharapkan. Keberadaan pelabuhan-
pelabuhan di Aceh saat ini masih terkesan terpisah dengan moda jaringan transportasi lainnya.
Pembangunan yang dilaksanakan masih dijalankan secara terpisah diakibatkan berbagai persoalan
kelembagaan dan kewenangannya, pendanaan dan visi yang berbeda-beda di tiap daerah.
Mendasari persoalan diatas, Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telamatika Aceh
bermaksud untuk menyiapkan suatu pedoman yang dapat menjadi arah pengembahan pelabuhan Aceh
sampai dengan tahun 2033.
Maksud dari pelaksanaan pekerjaan ini adalah tersusunnya Rencana Induk Pelabuhan Aceh tahun
2013-2033 yang menjadi pedoman perencanaan pembangunan dan pengembangan Pelabuhan Aceh,
sehingga pelaksanaan kegiatan pengembangan transportasi laut dapat dilakukan secara
terstruktur, menyeluruh dan tuntas, dan terpadu dengan moda transportasi lainnnya.
Adapun beberapa lingkup pekerjaan penyusunan Rencana Induk Pelabuhan Aceh ini adalah :
Hasil yang diharapkan dari Konsultan adalah tersusunnya Buku/Dokumen Rencana Induk
Pelabuhan Aceh yang sesuai dengan Rencana umum Tata Ruang Aceh (RTRW) Aceh.
Adapun ruang lingkup kajian wilayah yang menjadi batasan perencanaan pekerjaan Rencana Induk
Pelabuhan Aceh ini adalah Wilayah pemerintah Aceh, yang memiliki 23 Kab/Kota. (Lihat Gambar
Wilayah Administrasi)
Adapun jumlah lokasi kegiatan yang dijadikan fokus pekerjaan Rencana Induk Pelabuhan Aceh
berjumlah 11 (sebelas) pelabuhan. 2 (dua) pelabuhan dengan fungsi sebagai pelabuhan utama,
2 (dua) pelabuhan pengumpul, dan 7 (tujuh) pelabuhan pengumpan. Lihat tabel.
Buku Laporan Pendahuluan ini terdiri atas tujuh (7) bab, yang diawali dengan;
Bab 1 Pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang, maksud, tujuan dan ruang lingkup
pekerjaan yang akan dikerjakan oleh konsultan pelaksana.
Bab 2 Metodologi dan Pendekatan yang menguraikan tentang 2 hal pokok yakni (1) metode dan
pendekatan pekerjaan yang akan dilakukan; (2) kajian kebijakan yang terkait langsung dengan
peranan pelabuhan laut Aceh
Bab 3 Gambaran Umum Wilayah Studi yang menguraikan tentang 2 hal pokok. Satu (1) mengenai
kondisi fisik dan lingkungan geografi yang menguraikan tentang topografi, geologi dan jenis
tanah, iklim dan hidrologi, kondisi social ekonomi. Kedua (2) mengenai kondisi social ekonomi,
yang menguraikan tentang demografi kependudukan, struktur ekonomi, pertumbuhan ekonomi.
Bab 4 Kondisi dan Permasalahan Transportasi Aceh yang menguraikan tentang kondisi umum
transportasi darat dan udara serta kondisi dan permasalahan system transportasi laut Aceh.
Bab 5 Analisa Pengembangan Sistem Transportasi Laut Aceh yang menguraikan tentang analisis
pengembangan system transportasi laut Aceh di masa mendatang.
Bab 6 Rencana Induk Pelabuhan Aceh yang menguraikan tentang rencana tatanan hirarki
pelabuhan laut, rencana induk prasarana pelabuhan, rencana induk rute pelayaran dan
indikasi program pengembangan.
Bab 7 Penutup, yang menguraikan tentang alamat kontak untuk masukan dan saran terhadap
pekerjaan.
Bab ini menjelaskan seluruh pendekatan yang digunakan, berikut rincian usulan metodologi
pekerjaan dalam menangani pekerjaan ini. Secara umum pendekatan dan metodologi ini
dimaksudkan sebagai acuan dalam menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan pekerjaan. Dengan
adanya acuan ini diharapkan seluruh aspek pekerjaan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya
secara lebih efisien dan efektif.
Pada dasarnya terdapat 2 (dua) dua pola pendekatan yang digunakan konsultan untuk pelaksanaan
pekerjaan ini yaitu :
Secara kronologis, pekerjaan “Penyusunan Rencana Induk Pelabuhan Wilayah pemerintah Aceh”,
akan dibagi ke dalam 7 (tujuh) tahap kegiatan utama (lihat gambar), yakni:
Dari tiap tahapan di atas, akan dibagi lagi dalam beberapa kegiatan dan sub-sub kegiatan
yang diperlukan guna menyelesaikan dan mencapai tujuan dan sasaran pekerjaan sebagai berikut
:
Tahap 5
Tahap 1 Tahap 7
Tahap 2 Tahap 3 ANALISIS PERSPEKTIF
IDENTIFIKASI DAN PENYUSUNAN RENCANA INDUK
PENGUMPULAN DATA & SURVEI LAPANGAN IDENTIFIKASI KONDISI FISIK & SOSIAL EKONOMI WILAYAH ACEH PERKEMBANGAN WILAYAH ACEH
KONFIRMASI ISU POKOK PELABUHAN ACEH
DI MASA MENDATANG
A.1 Studi Literatur B.1 Persiapan Survey E.1 Tinjauan Rencana Tata Ruang G.1 Perumusan Kebijakan Dasar
Wilayah wilayah Aceh dan Strategi Pengembangan
C.1 Kajian kondisi fisik dan
lingkungan
A.2 Konfirmasi Isu Pokok E.2 Tinjauan Rencana Sistem G.2 Penyusunan Rencana Induk
B.2 Pengumpulan Data Dan Survei Lapangan
Studi Transportasi Wilayah Pelabuhan Aceh
C.2 Kajian penggunaan lahan
dan struktur ruang wilayah · Rencana Induk Pelabuhan
· Rencana Induk Rute
Data Sekunder: Pelayaran
· Rencana Induk Sarana
A.3 Penyusunan Rencana · Kebijakan dan Rencana C.3 Kajian potensi sosial
E.3 Analisis Prediksi Sistem
Armada Kapal Laut
· Sosial Ekonomi Kegiatan & Sistem Transportasi di
Kerja Terinci ekonomi · Rencana Induk Sistem
· Fisik dan Lingkungan Masa Mendatang
Pergerakan Orang dan
· Prasarana dan Sarana Transportasi (darat,
Barang
laut dan udara)
· Studi-studi terkait
Tahap 4 Tahap 6
Rencana Kerja ANALISA PEMETAAN ANALISA PENGEMBANGAN
Terinci Survei primer: PERMASALAHAN TRANSPORTASI SISTEM TRANSPORTASI WILAYAH
G.3 Penyusunan Indikasi Program
LAUT WILAYAH ACEH ACEH Pembangunan
· Survei kondisi pelabuhan dan armada
kapal laut Pemodelan transportasi
· Survei wawancara pengelola pelabuhan
· Survei wawancara perusahaan pelayaran · Trip generation +
· Survei pengamatan visual moda split
· Survei diatas kapal (on-board survey) · Trip distribution
· Survei wawacara asal tujuan penumpang · Trip assignment
· Survei wawancara asal tujuan barang
· Survei perhitungan jumlah penumpang
D.1 Identifikasi kondisi dan
· Survei pengamatan calon lokasi F.1 Prediksi Permintaan Perjalanan
permasalahan umum Tahun perencanaan
pelabuhan baru di Masa Mendatang
transportasi wilayah Aceh
· Pengembangan sarana
D.2 Analisa dan pemetaan armada kapal laut
permasalahan transportasi · Pengembangan prasarana
laut wilayah Aceh pelabuhan
· Pengembangan rute
pelayaran
Dalam kegiatan ini akan dilakukan pengumpulan seluruh data, informasi, literatur dan studi
terkait, tentang perencanaan transportasi baik dalam lingkup wilayah Wilayah pemerintah Aceh,
maupun dalam lingkup wilayah yang lebih luas (Regional dan Nasional), antara lain meliputi:
Sebagai langkah awal dalam pelaksanaan pekerjaan ini, dilakukan studi literatur, mencakup:
referensi dan buku-buku pedoman, laporan hasll studi terdahulu terkait, serta pengumpulan
data sekunder di tingkat Pusat, antara lain meiputi:
A. Referensi:
15. Kp No 414 Tahun 2013 Tentang Rencana Induk Pelabuhan Nasional Tahun 2030,
16. Peraturan Presiden No 13 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera,
17. Rencana Tata Ruang Wilayah Wilayah pemerintah Aceh,
18. Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) Wilayah pemerintah
Aceh , termasuk sektor transportasi,
19. Referensi lainnya yang akan diidentifikasi oleh Konsultan atau merupakan masukan dari
Pihak Pemberi Tugas.
B. Data Sekunder:
20. Data Asal Tujuan Nasional Tahun 1996, 2001, dan 2006, Kementerian Perhubungan,
21. Buku Statistik Indonesia, periode 5 tahun terakhir,
22. Buku Statistik Prov. Aceh, periode 5 tahun terakhir,
23. Buku Statistik Perhubungan Prov. Aceh, periode 5 tahun terakhir,
24. Data Prasarana dan Sarana Transportasi Wilayah pemerintah Aceh, tahun terakhir, mencakup:
transportasi jalan raya (peta jaringan jalan, data panjang, lebar, dan kondisi jalan
berdasarkan status dan fungsi jalan, data lalu-lintas harian, jumlah, lokasi dan tipe
terminal angkutan umum, trayek dan jumlah armada angkutan umum), transportasi ASDP
(jumlah, lokasi, dan tipe dermaga, jumlah dan jenis armada kapal, rute penyeberangan,
jadwal, tarif angkutan, waktu tempuh, volume lalu-lintas penumpang dan barang, dll.)
transportasi laut (jumlah, lokasi, dan tipe pelabuhan laut, jumlah dan jenis armada kapal,
rute pelayaran, jadwal, tarif angkutan, waktu tempuh, volume lalu-lintas penumpang dan
barang, peta bathymetri, dll.), serta transportasi udara (jumlah, lokasi, dan tipe bandar
udara, jumlah dan jenis armada pesawat, rute penerbangan, jadwal, tarif angkutan, waktu
tempuh, volume lalu-lintas penumpang dan barang, dll.).
25. Data Perindustrian dan Perdagangan Wilayah pemerintah Aceh, periode 5 tahun terakhir
(termasuk volume Eskport-Import),
26. Studi-studi perencanaan pelabuhan dan pengembangan transportasi laut, yang ada di Wilayah
pemerintah Aceh.
27. Study on the Development of Domestic Sea Transportation and Maritime Industry in the
Republic of Indonesia (STRAMINDO).
Seluruh referensi dan data di atas akan dikumpulkan melalui kunjungan ke instansi sebagai
berikut:
Dalam kegiatan ini konsultan akan melakukan konfirmasi kepada pihak Pemberi Tugas tentang
isu-isu pokok pekerjaan ini, menyangkut : materi, tujuan, sasaran, lingkup kegiatan, serta
filosofi dan kerangka kerja (framework) dari studi ini.
Berdasarkan hasil studi literatus, dan konfirmasi isu pokok studi, selanjutnya dalam kegiatan
ini akan disusun metode dan rencana kerja secara lebih rinci yang akan dibahas bersama Pihak
Pemberi Tugas, untuk disepakati bersama, dan untuk selanjutnya metode dan rencana kerja
tersebut akan digunakan sebagai acuan (gudelines) dalam pelaksanaan seluruh rangkaian
kegiatan dalam pekerjaan ini.
Dalam kegiatan ini, metode dan rencana kerja yang telah disepakati sebelumnya, akan dijabarkan
lebih lanjut, sehingga dapat diidentifikasi kebutuhan secara lengkap tentang seluruh data
dan informasi yang diperlukan dalam pekerjaan ini, mencakup nama, jenis, skala, lingkup, dan
periode data. Disamping itu dalam kegiatan ini juga dirumuskan tentang metode pengumpulan
data dan sumber-sumber data, teknik survei, jadwal terinci pelaksanaan survei, serta
penyiapan formulir-formulir survei.
Dengan mengacu pada hasil kegiatan sebelumnya, dalam kegiatan ini akan dilakukan pengumpulan
data sekunder di tiap kabupaten/kota yang ada di Wilayah pemerintah Aceh , meliputi :
1. Data Kebijakan dan Rencana Pengembangan Wilayah Tiap Kabupaten/Kota, antara lain : Rencana
Tata Ruang Wilayah, RENSTRA, RPJM, dan rencana-rencana tentang pengembangan prasarana
dan sarana transportasi, serta program dan proyek sektor perhubungan laut yang definitif.
2. Data Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah Tiap Kabupaten/Kota, antara lain meliputi : data
kependudukan, tenaga kerja, lapangan kerja, tingkat pendapatan, kegiatan ekonomi utama,
PDRB, data perindustrian dan perdagangan, dll.
3. Data Kondisi Fisik dan Lingkungan Kota Tiap Kabupaten/Kota, antara lain mencakup data
dan peta : topografi, kondisi tanah, penggunaan lahan (land use) dan struktur ruang
wilayah, fasilitas, utilitas, kawasan terbangun, dan kawasan konservasi.
4. Data Kondisi Sistem Transportasi Tiap Kabupaten/Kota, terdiri dari :
a. Data Permintaan Perjalanan (Asal Tujuan) Penumpang dan Barang, menurut jenis moda
transportasi yang ada.
b. Data Sistem Prasarana dan Sarana Transportasi Jalan Raya, meliputi :
· Data Prasarana Jaringan Jalan, antara lain mencakup : peta jaringan jalan,
klasifikasi fungsi jalan, panjang, lebar, jenis perkerasan, dan kondisi jalan
· Data Prasarana dan Sarana Angkutan Umum Penumpang, antara lain meliputi : jumlah
armada angkutan umum yang ada menurut jenisnya, rute/trayek angkutan umum,
frekuensi keberangkatan, lokasi, luas dan tipe terminal, dll.
· Data Prasarana dan Sarana Angkutan Barang, antara lain meliputi : jumlah dan jenis
angkutan barang yang ada, terminal "cargo", jumlah dan jenis barang yang diangkut,
dll.
· Data Lalu-lintas, mencakup data volume LHR menurut jenis kendaraan, dan variasi
lalu-lintas harian.
c. Data Sistem Prasarana dan Sarana Angkutan Sungai dan Penyeberangan (ASDP), meliputi
:
· Data Prasarana dan Sarana ASDP, antara lain meliputi : jumlah armada ASDP yang
ada menurut jenisnya, rute/trayek ASDP, frekuensi keberangkatan, tarif angkut,
lokasi, luas dan tipe pelabuhan/dermaga ASDP, dll.
· Data Arus Lalu-lintas Penumpang dan Barang ASDP, mencakup : rata-rata jumlah
penumpang dan barang yang diangkut ASDP tiap hari, rata-rata "load factor, dll.
d. Data Sistem Prasarana dan Sarana Angkutan Laut, meliputi :
· Data Prasarana dan Sarana Angkutan Laut, antara lain meliputi : jumlah armada
angkutan laut yang ada menurut jenisnya, rute pelayaran, frekuensi keberangkatan,
tarif angkut, lokasi, luas dan tipe Pelabuhan Laut, peta bathymetri, dll.
· Data Arus Lalu-lintas Penumpang dan Barang Angkutan Laut, mencakup : rata-rata
jumlah penumpang dan bongkar-muat barang tiap hari, rata-rata load factor, dll.
e. Data Sistem Prasarana dan Sarana Angkutan Udara, meliputi :
· Data Prasarana dan Sarana Angkutan Udara, antara lain meliputi : jumlah armada
angkutan udara yang ada menurut jenisnya, rute penerbangan, frekuensi
keberangkatan, tarif angkut, lokasi, luas dan tipe Bandar Udara, dll.
· Data Arus Lalu-lintas Penumpang dan Barang Angkutan Udara, mencakup : rata-rata
jumlah penumpang dan barang yang diangkut tiap hari, rata-rata "load factor, dll.
5. Studi-studi perencanaan pelabuhan dan pengembangan transportasi laut, yang ada di
Kabupaten/Kota.
Seluruh data di atas akan dikumpulkan melalui kunjungan kepada instansi-instansi terkait di
tiap Kabupaten/Kota, antara lain meliputi :
· BAPPEDA Kabupaten/Kota
· Dinas Perhubungan Kabupaten/Kota
· Dinas PU Kabupaten/Kota
· Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten/Kota
· BPS Kabupaten/Kota
· dll.
Survei ini dilakukan melalui kunjungan lapangan ke 20 pelabuhan laut yang ada di Wilayah
pemerintah Aceh . Perlu dicatat bahwa pelabuhan laut di sini tidak termasuk pelabuhan
pelabuhan perikanan, karena pelabuhan Ferry (Ro-ro) termasuk lingkup transportasi darat.
Adapun survei yang dilakukan di sini terdiri dari:
Survei ini dilakukan dengan cara surveyor turut serta masuk dalam kapal mengikuti pelayaran
hingga pelabuhan tujuan (on-board survey). Tujuan survei ini adalah untuk mengetahui asal,
tujuan, penumpang dan barang, jumlah, berat, dan jenis muatan barang, jumlah penumpang, serta
aspirasi penumpang, pihak pengelola barang, dan nakhoda dalam rangka peningkatan kinerja
pelayanan angkutan laut. Survei ini terdiri dari:
a. Survei Asal Tujuan Penumpang, dilakukan untuk mengetahui asal dan tujuan perjalanan
penumpang, frekuensi perjalanan, jenis/ moda angkutan yang digunakan sebelum (dari lokasi
asal perjalanan) dan sesudah menggunakan kapal laut yang disurvei (untuk menuju lokasi
tujuan perjalanan), maksud perjalanan, biaya perjalanan, waktu tempuh perjalanan,
persepsi penumpang terhadap pelayanan angkutan laut, berikut aspirasi/ usulan dalam rangka
meningkatkan kinerja pelayanan angkutan laut. (lihat Form Survei kode FSK-1, terlampir).
Survei ini dilakukan terhadap sejumlah sampel penumpang yang diambil secara acak (random)
pada setiap kelas yang ada pada kapal yang disurvei. Jumlah sampel disesuaikan dengan
jumlah penumpang yang ada di tiap kelas, dengan prosentase sampel minimal 20%.
b. Survei Perhitungan Jumlah Penumpang, dilakukan untuk mengetahui jumlah penumpang yang
ada di tiap kelas (tidak termasuk awak kapal), serta untuk memperkirakan jumlah sampel
penumpang yang perlu diwawancarai di tiap kelas, disamping nantinya digunakan untuk
perhitungan faktor ekspansi dalam analisa pengolahan data (lihat Form Survei kode FSK-2,
terlampir).
c. Survei Asal Tujuan Barang, dilakukan terhadap pihak pengelola barang untuk mengetahui
asal dan tujuan perjalanan barang, pelabuhan asal dan tujuan, jenis komiditi, jenis
kemasan, dan berat komoditi, persepsi pengelola barang terhadap layanan angkutan laut,
berikut aspirasi/ usulan dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan angkutan laut. (lihat
Form Survei kode FSK-3, terlampir).
d. Survei Wawancara Nakhoda, dilakukan untuk mengetahui berbagai permasalahan dalam
pengelolaan kapal, berikut aspirasi/ usulan dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan
angkutan laut. (lihat Form Survei kode FSK-4, terlampir).
Dalah hal kapal yang disurvei adalah kapal angkutan barang, maka tidak ada survei asal tujuan
penumpang, demikian juga bila kapal yang disurvei adalal kapal penumpang (kapal cepat), maka
tidak ada survei asal tujuan barang.
Survei ini ditujukan untuk mengetahui kondisi lapangan dari calon lokasi pelabuhan baru
berdasarkan studi perencanaan terdahulu atau masukan dari pihak Pemberi Tugas. Survei
dilakukan melalui metode pengamatan visual serta pengambilan foto terhadap kondisi jalan
akses pelabuhan, ketersediaan jaringan utilitas (listrik dan telepon), penggunaan lahan
sekitar, gelombang, dll.
2.3.3. Tahap-3 : Identifikasi Kondisi Fisik dan Sosial Ekonomi Wilayah Pemerintah Aceh Saat
Ini
Berdasarkan hasil pengumpulan data sebelumya, pada tahap ini akan dianalisis tentang kondisi
fisik dan sosial ekonomi wilayah pemerintah Aceh saat ini, yang dibagi dalam 3 (tiga)
kegiatan sebagai berikut :
Dalam kegiatan ini akan diidentifikasi tentang kondisi fisik dan lingkungan Wilayah
pemerintah Aceh saat ini, meliputi :
a. Topografi,
Kondisi topografi menjadi dasar pertimbangan untuk memperkirakan kesesuian lahan pengembangan
kawasan budi daya, termasuk kesesuian lokasi pelabuhan laut di wilayah pemerintah Aceh .
Kendala topografi, mencakup :
Konsultan akan mengidentifikasi kendala lingkungan untuk pengembangan lokasi pelabuhan laut
di wilayah pemerintah Aceh, mencakup :
Konsultan akan mengidentifikasi kondisi kelautan dengan melihat peta bathymetri guna mengkaji
kesesuaian lokasi pelabuhan dan alur pelayaran.
Dalam kegiatan ini akan diidentifikasi tentang kondisi penggunaan lahan dan struktur ruang
Wilayah pemerintah Aceh , serta kedudukannya dalam struktur ruang wilayah regional. Adapun
aspek yang dikaji di sini antara lain meliputi:
a. Sistem pusat-pusat kegiatan di wilayah pemerintah Aceh dan wilayah regional, berikut
skala pelayanannya.
b. Jenis-jenis dan luas pemanfaatan lahan ,
c. Besaran kawasan terbangun dan belum terbangun,
Mencakup tinjauan terhadap potensi sosial ekonomi wilayah pemerintah Aceh , dan wilayah
regional (provinsi di sekitarnya). Adapun aspek yang dikaji di sini antara lain meliputi :
a. Besaran, sebaran, kepadatan, dan tingkat perkembangan penduduk, tenaga kerja, dan
lapangan kerja.
b. Kegiatan ekonomi utama, beserta besaran, dan tingkat perkembangannya.
c. Potensi sumber daya alam, dan sumber daya manusia baik yang sudah termanfaatkan maupun
belum termanfaatkan
2.3.4. Tahap- 4 : Analisa Pemetaan Permasalahan Sistem Transportasi Laut di Wilayah Pemerintah
Aceh Saat Ini
Dalam kegiatan ini akan dikaji tentang kondisi dan permasalahan umum sistem transportasi di
Wilayah pemerintah Aceh secara keseluruhan (transportasi darat, laut, dan udara). Sebagai
referensi kajian digunakan data sekunder yang telah dikumpulkan sebelumnya baik dari tingkat
Provinsi maupun Kabupaten/Kota, termasuk dari RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten/Kota dan studi-
studi transportasi yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam kajian ini akan dimunculkan isu
strategis permasalahan transportasi di Wilayah pemerintah Aceh untuk setiap jenis moda
transportasi.
Dalam kegiatan ini akan ditelaah secara mendetail isu strategis sistem transportasi laut
yang telah dimunculkan dalam kegiatan sebelumnya, dikaitkan dengan berbagai aspek
permasalahan di seputar transportasi laut yang diperoleh berdasarkan hasil survei wawancara
kepada pihak pengelola pelabuhan, perusahaan pelayaran, penumpang, pengelola angkutan barang,
dan nakhoda. Berbagai permasalahan ini akan dipetakan keterkaitan antara permasalahan yang
satu dengan lainnya, dan diidentifikasi faktor penyebab utamanya.
Untuk mempertajam kajian permasalahan ini, konsultan juga akan melakukan analisis pemodelan
transportasi tahun dasar (lihat Gambar 3.2). Analisis ini dilakukan untuk mengetahui besar
permintaan (demand) dan distribusi perjalanan orang dan barang, variabel sosial ekonomi yang
mempengaruhi permintaan perjalanan, serta komposisi pemilihan moda angkutan (termasuk
transportasi laut). Analisis pemodelan di sini akan meliputi 3 (tiga) sub kegiatan sebagai
berikut :
Sistem zona (zoning system) perlu ditetapkan sebagai basis data asal tujuan perjalanan.
Sistem zona sangat terkait dengan kondisi tata guna lahan dan dengan mempertimbangkan batas
administrasi yang merupakan basis agregasi ketersediaan data. Menurut pertimbangan ideal,
pembagian zona didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain adalah :
Pada dasarnya model ini dikembangkan untuk memperkirakan bangkitan perjalanan (orang dan
barang) yang dihasilkan oleh suatu zone (ruang kegiatan) yang telah ditetapkan. Trip
generation, yaitu jumlah perjalanan yang dihasilkan (trip production) dan ditarik (trip
atraction) oleh suatu zone. Jumlah perjalanan orang dan barang akan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti pertumbuhan penduduk, tenaga kerja, PDRB, lapangan kerja, ketersediaan
fasilitas umum, produksi sektor industri, pertanian, dll, yang dinyatakan dalam model
matematis sebagai berikut :
Trip Production :
Trip Attraction :
Keterangan :
Catatan:
Variabel untuk memperkirakan bangkitan lalu-lintas penumpang dibedakan dengan barang, dimana
variabel pembangkit lalu-lintas barang lebih banyak menggunakan variabel-variabel ekonomi,
seperti PDRB, produksi sektor industri dan perdagangan, eksport-import, dll.
Bangkitan perjalanan dapat dihitung menurut jenis moda transportasi, sehingga model ini akan
merupakan gabungan dari model Trip Generation dan Moda Split. Dengan asumsi bahwa pemilihan
“user” terhadap moda transportasi laut saat ini sudah cukup proporsional dibanding dengan
pemilihan moda transportasi lainnya (dimana moda angkutan laut lebih difokuskan pada
pelayanan angkutan barang), maka pemodelan trip generation dalam studi ini juga merupakan
gabungan dari model Trip Generation dan Moda Split. kedua komponen bangkitan dan tarikan
perjalanan dari model ini, selanjutnya dikalibrasi pada data tahun dasar, dan hubungan ini
diasumsikan tetap sepanjang tahun pemodelan.
Adalah model untuk memperkirakan distribusi perjalanan dari suatu zone ke zone lainnya yang
telah diperkirakan pada Trip Generation. Output dari model ini adalah perkiraan Matriks Asal
Tujuan (MAT) perjalanan orang dan barang atau garis permintaan perjalanan (desire line).
Secara umum distribusi perjalanan dilakukan untuk 2 (dua) karakteristik perjalanan yang ada,
yaitu :
· Perjalanan Internal, yaitu perjalanan yang dilakukan antar zone dalam wilayah studi
(Wilayah pemerintah Aceh), yang pada umumnya pola perjalanan ini merupakan cerminan dari
pola perjalanan untuk kegiatan rutin penduduk.
· Perjalanan External, mencakup perjalanan dari dalam ke luar wilayah studi atau sebaliknya,
serta perjalanan dari luar ke luar wilayah studi atau Wilayah pemerintah Aceh sebagai
jalur lintasan.
Model yang digunakan untuk distribusi perjalanan internal adalah “gravity model” (GR) dengan
formulasi sebagai berikut :
Tij = Oi.Dd.Ai.Bd.f(Cid)
Keterangan:
Dalam penerapannya, untuk melakukan validasi terhadap model digunakan distribusi frekuensi
perjalanan terhadap jarak/ waktu perjalanan yang diperoleh dari data Matriks Asal Tujuan
(MAT) hasil survei dan data sekunder.
Selanjutnya hasil prakiraan bangkitan perjalanan (Produksi dan tarikan perjalanan) tiap zona
didistribusikan ke setiap zona tujuan, dengan “triple impedance” jarak /waktu tempuh antar
zona serta fungsi yang diperoleh dari distribusi frekuensi diatas. Dari seluruh rangkaian
proses ini dapat dihasilkan model distribusi perjalanan dan perkiraan Matriks Asal Tujuan
(MAT) orang dan barang tahun dasar untuk moda transportasi laut.
Dalam pemodelan transportasi di atas, konsultan akan menggunakan alat bantu (tools) analisis
berupa software program perencanaan transportasi “TRANPLAN” Melalui software program ini,
seluruh pemodelan di atas akan dibuat secara terpadu dan interaktif, sehingga menjadikan
perkiraan besaran bangkitan perjalanan (trip generation), akan terkait dengan perkiraan model
trip distribution, dan moda split.
Pada intinya, dari hasil keseluruhan proses pemodelan transportasi tahun dasar di atas, dapat
dimodelkan hubungan antara perkembangan sosial ekonomi wilayah terhadap pertumbuhan
permintaan (demand) arus lalu-lintas orang dan barang untuk moda transportasi laut, dari
pelabuhan ke pelabuhan. Formulasi model pada tahun dasar, selanjutnya digunakan untuk
memperkirakan permintaan lalu-lintas orang dan barang pada moda transportasi laut di masa
mendatang, berbasiskan data proyeksi perkembangan parameter-parameter sosial-ekonomi
wilayah. Disamping itu, dari proses ini juga dapat diperoleh gambaran kinerja sertiap rute
pelayaran yang ada, dengan melihat perbandingan antara besar permintaan (demand) lalu-lintas
(orang dan barang), terhadap kapasitas armada angkutan laut yang ada (supply), sehingga dapat
diketahui rute pelayaran mana yang memerlukan penambahan armada.
2.3.5. Tahap - 5 :Analisa Perspektif Perkembangan Wilayah Pemerintah Aceh di Masa Mendatang
Kegiatan E1 – Identifikasi Kebijakan dan Rencana Tata Ruang Wilayah Pemerintah Aceh
Dalam kegiatan ini akan ditinjau berbagai arahan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Wilayah pemerintah Aceh , antara lain meliputi :
Pada dasarnya berbagai arahan di atas akan digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk
memperkirakan skenario perkembangan Wilayah pemerintah Aceh di masa mendatang, yang pada
gilirannya akan digunakan juga untuk memperkirakan bangkitan dan distribusi perjalanan (trip
generation and distribution) orang dan barang di Wilayah pemerintah Aceh pada masa mendatang.
Kegiatan E2 – Identifikasi Kebijakan dan Rencana Sistem Transportasi Wilayah Pemerintah Aceh
Dalam kegiatan ini akan ditinjau berbagai rencana dan program pengembangan sistem
transportasi yang ada wilayah pemerintah Aceh dan sekitanya, berdasarkan : hasil kajian
dari studi terdahulu, Rencana Tata Ruang yang ada, RENSTRA, RPJM, daftar program/ proyek
yang sudah definitif, maupun yang sifatnya masih berupa usulan dari Pemda. Berbagai rencana
dan program ini akan menjadi dasar pertimbangan dalam memperkirakan skenario perkembangan
sistem jaringan transportasi di masa mendatang di wilayah pemerintah Aceh, yang pada
gilirannya akan digunakan sebagai masukan dalam analisis pemodelan jaringan (network)
transportasi di masa mendatang.
Kegiatan E3 – Analisa Prediksi Perkembangan Sistem Kegiatan dan Sistem Transportasi di Masa
Mendatang
Dalam kegiatan ini akan diprediksi perkembangan sistem kegiatan wilayah pemerintah Aceh di
masa mendatang, antara lain mencakup :
Merupakan skenario peramalan/ forecasting dengan asumsi dasar pesimistis/ sangat diharapkan
tidak terjadi, atau kondisi batas maksimal yang akan terjadi. Skenario ini mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
Merupakan skenario peramalan / forecasting dengan asumsi dasar optimalisasi atau kondisi
yang paling menguntungkan. Skenario ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:
Merupakan skenario peramalan/ forecasting dengan asumsi dasar optimistis/ sangat diharapkan
terjadi atau kondisi minimal yang akan terjadi. Skenario ini mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
Pemilihan skenario di atas, akan ditentukan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola
perkembangan wilayah yang mencakup:
Sebagai bahan pertimbangan, dalam analisis ini juga ditinjau pengaruh global yang secara
umum mempengaruhi perkembangan ekonomi makro di Indonesia dewasa ini.
Dalam kegiatan ini, hasil identifikasi skenario perkembangan sistem kegiatan di masa
mendatang digunakan sebagai variabel-variabel model “trip generation”, dan “trip
distribution” (tahun dasar), yang telah dikembangkan sebelumnya, sehingga dapat diperkirakan
permintaan perjalanan atau MAT orang dan barang moda transportasi laut, dan digambarkan dalam
bentuk garis permintaan perjalanan (desire line) orang dan barang. Dalam proses analisa ini
juga akan digunakan alat bantu (tools) program komputer TRANPLAN, sehingga proses pemodelan
akan dilakukan secara terintegrasi dan saling terkait erat.
Untuk mempertajam kajian, khusus untuk prediksi MAT barang akan dilakukan juga analisa pola
ruang permintaan (demand) dan produksi (supply) komoditas utama. Hal ini dilakukan melalui
pendekatan model ekonomi Surplus-Defisit, dengan teori bahwa pola aliran komoditas (commodity
flows) memperlihatkan adanya hubungan keterkaitan antar wilayah yang terjadi karena adanya
saling melengkapi kebutuhan. Di satu daerah ada yang kelebihan produksi (surplus) suatu
komoditas, sedangkan daerah lainnya kekurangan (defisit) produksi komoditas tersebut.
Analisa ini dilakukan melalu pembebanan MAT orang dan barang (hasil prediksi) moda
transportasi laut, terhadap jaringan rute pelayaran yang telah diberi atribut data kapasitas
angkut penumpang dan barang. Dalam penerapannya, jaringan rute pelayaran akan dimodelkan
menggunakan software program TRANPLAN, sehingga dari hasil proses pembebanan MAT (trip
assignment) akan langsung dapat diketahui jalur rute rute pelayaran mana yang “over capacity”,
sehingga perlu ditingkatkan kapasitas angkutnya. Dalam rangka peningkatan kapasitas angkut
akan dipertimbangkan beberapa alternatif pengembangan, sebagai berikut:
Alternatif pengembangan yang optimal ditetapkan berdasarkan hasil penilaian aspek teknis,
operasional dan ekonomis dari setiap alternatif di atas.
Dalam analisa ini juga akan dikaji berbagai masukan dari hasil survei wawancara terhadap
“user”, tentang berbagai permasalahan yang ada berikut saran perbaikan untuk peningkatan
kinerja pelayanan armada kapal laut. Permasalahan yang banyak dikeluhkan “user” serta saran
perbaikan yang banyak diusulkan “user” akan menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan
program peningkatan kinerja pelayanan armada angkutan laut.
Dalam pemodelan jaringan rute pelayaran (sea route network) yang telah dijelaskan sebelumnya,
pelabuhan akan direpresentasikan sebagai simpul (node) yang juga dapat diberi atribut
kapasitas terhadap lalu-lintas penumpang, barang, dan kapal. Arus lalu-lintas kapal
diperkirakan dari MAT orang dan barang yang dikonversikan kepada jumlah kapal dengan
mempertimbangkan kapasitas angkut kapal dan rencana pengembangan yang diusulkan. Dengan
demikian, dari hasil proses pembebanan MAT terhadap model jaringan rute pelayaran (sea route
network) dapat diketahui juga Pelabuhan mana yang sudah “over capacity”, dilihat dari aspek:
d. kedalaman dermaga dan kedalaman alur dalam melayani jenis kapal terbesar,
e. kapasitas bongkar muat barang dan peti kemas,
f. kapasitas lapangan dan gudang penumpukan, dll.
Dalam rangka peningkatan kapasitas dari berbagai fasilitas Pelabuhan di atas akan
dipertimbangkan beberapa alternatif solusi pengembangan pelabuhan, dan dilihat juga Rencana
Induk Pelabuhan yang telah ada. Bila diperlukan kajian lebih detail akan diusulkan adanya
studi/kajian lanjutan.
Disamping itu, dalam analisa ini juga akan diidentifikasi kebutuhan pengembangan pelabuhan
baru sebagai masukan dari hasil analisa pengembangan rute pelayaran baru (lihat analisa butir
3), atau dapat juga sebagai langkah penjabaran dari RTRW Wilayah Pemerintah Aceh .
Dalam analisa ini juga akan dikaji berbagai masukan dari hasil survei wawancara terhadap
“user”, tentang berbagai permasalahan yang ada berikut saran perbaikan untuk peningkatan
kinerja pelabuhan laut yang ada. Permasalahan yang banyak dikeluhkan “user” serta saran
perbaikan yang banyak diusulkan “user” akan menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan
program pengembangan pelabuhan laut.
Pada dasarnya, pengembangan rute pelayaran dilakukan dengan mengkaji garis permintaan
perjalanan (desire line) orang dan barang antar zona yang telah diprediksi dalam kegiatan
sebelumnya. Perlu dicatat, bahwa hasil prediksi “desire line” di sini sudah mempertimbangkan
potensi-potensi permintaan perjalanan orang dan barang terkait dengan potensi produksi
berbagai komoditas utama, potensi sumber daya alam, dan potensi perekonomian lainnya yang
ada di Wilayah Pemerintah Aceh .
Penambahan rute pelayaran baru diusulkan, bila teridentifikasi adanya garis permintaan
perjalanan antar zona yang cukup besar, namun belum ada rute pelayaran di situ. Disamping
itu, rute pelayaran langsung antar zona juga dapat diusulkan di sini, bila rute pelayaran
yang ada merupakan rute memutar (melalui zona lain terlebih dulu).
Sebagai kriteria dalam pengembangan rute-rute pelayaran baru, akan dievaluasi dua aspek,
yaitu aspek jarak tempuh (setelah mempertimbangkan aspek teknis kedalaman alur), dan besaran
permintaan (demand) perjalanan. Dua aspek ini akan menjadi masukan dalam perhitungan
kelayakan ekonomi dan finansial terhadap pengoperasian rute pelayaran baru. Disamping itu,
arahan dalam RTRW Wilayah Pemerintah Aceh juga akan menjadi bahan pertimbangan utama dalam
pengembangan rute pelayaran baru.
Dalam analisa ini juga akan dikaji berbagai masukan dari hasil survei wawancara terhadap
“user”, tentang berbagai permasalahan yang ada berikut saran perbaikan terkait layanan rute
pelayaran. Permasalahan yang banyak dikeluhkan “user” serta saran perbaikan yang banyak
diusulkan “user” akan menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan program pengembangan rute
pelayaran.
Hasil analisa pada bagian ini juga akan menjadi masukan untuk pengembangan Pelabuhan baru,
bila ternyata rute pelayaran baru yang diusulkan menghubungkan antar zona yang masih belum
memiliki pelabuhan.
Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, dalam kegiatan ini akan dirumuskan konsep dasar
rencana, antara lain meliputi :
1. Kebijakan Dasar Rencana, berisi arah kebijakan dasar rencana. Hal yang penting digariskan
di sini adalah seyogyanya program pengembangan pelabuhan laut di wilayah pemerintah Aceh
lebih mengutamakan aspek pelayanan kepada masyarakat, bukan untuk mengejar PAD. Bila
diperlukan, subsidi diberikan terutama dalam rangka pengembangan rute-rute pelayaran baru
atau perintis. Melalui pengembangan rute pelayaran baru ini diharapkan akan membuka daerah
potensial dan menarik minat masyarakat dan investor untuk membuka usahanya di daerah
tersebut, yang pada gilirannya akan memicu pertumbuhan permintaan (demand) transportasi
laut. Dengan berkembangnya daerah potensial tersebut, dan bertambahnya permintaan
transportasi laut, maka dengan sendirinya PAD akan meningkat.
2. Strategi Dasar Pengembangan, mencakup arahan-arahan antara lain:
· bentuk, jenis, dan kriteria prioritas penanganan,
· strategi dalam penyediaan prasarana jaringan transportasi.
· strategi dalam mengoptimalkan pemanfaatan prasarana dan sarana transportasi laut yang
tersedia.
· pola manajemen dalam pelaksanaan pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan, dll.
3. Tujuan dan Sasaran Rencana/Program Pengembangan, antara lain mencakup tujuan umum, dan
sasaran berupa: target tingkat pelayanan transportasi yang akan diberikan, besaran
(volume) kegiatan penanganan secara umum, daerah yang prioritas ditangani, dll.
Dengan mengacu pada konsep dasar dan strategi pengembangan, serta hasil analisis sebelumnya,
dalam kegiatan ini akan dilakukan penyusunan Rencana Induk Pelabuhan Wilayah Pemerintah Aceh.
Master Plan ini akan mencakup :
1. Rencana Induk Pengembangan Prasarana Pelabuhan, memuat rencana lokasi pelabuhan berikut
hirarki fungsinya (Pelabuhan Utama, Pelabuhan Pengumpul, Pelabuhan Pengumpan Regional,
Pelabuhan Pengumpan Lokal) dalam tatanan kepelabuhanan di Wilayah pemerintah Aceh dan
lingkup regional, dilengkapi dengan ketentuan fasilitas pelabuhan yang harus ada, standar
pelayanan minimal pelabuhan berdasakan hirarki fungsinya, gambar-gambar tipikal fasilitas
pelabuhan sesuai dengan hirarki fungsinya, dll.
2. Rencana Induk Pengembangan Rute Pelayaran, memuat rencana rute-rute pelayaran yang akan
disediakan, berikut hirarki rute pelayaran dilihat dari hirarki fungsi pelabuhan-
pelabuhan yang dihubungkan (Pelabuhan Utama, Pelabuhan Pengumpul, Pelabuhan Pengumpan
Regional, Pelabuhan Pengumpan Lokal), rute pelayaran angkutan penumpang, rute pelayaran
angkutan barang, kedalaman alur minimal, dll.
3. Rencana Induk Pengembangan Sarana Armada Kapal Laut, antara lain meliputi : rencana jumlah
dan jenis armada kapal penumpang dan barang yang melayani di tiap rute pelayaran,
kapasitas angkut kapal terhadap penumpang dan barang, jenis kapal terbesar dan terkecil,
standar pelayanan minimal yang dibedakan untuk kapal barang dan kapal penumpang, dll.
4. Rencana Induk Sistem Pergerakan Orang dan Barang, memperlihatkan pola sirkulasi pergerakan
orang dan barang yang mengacu pada rencana induk sistem prasarana pelabuhan, rute
pelayaran, dan sarana kapal angkut. Pola sirkulasi memperlihatkan pola pergerakan orang
dan barang mulai dari Pelabuhan Pengumpan Lokal menuju Pelabuhan Pengumpan Regional, dari
Pelabuhan Pengumpan Regional menuju Pelabuhan Pengumpul, dan dari Pelabuhan Pengumpul
menuju Pelabuhan Utama. Disamping itu, di sini juga akan diperlihatkan pola sirkulasi ke
zona eksternal, serta keterkaitan/ integrasi dengan layanan moda transportasi lainnya
(moda transportasi darat, dan udara)
Dalam penerapannya, proses penyusunan rencana induk di atas akan dibuat dalam kesatuan yang
tak terpisahkan, sehingga gabungan dari rencana induk di atas akan menghasilkan Rencana Induk
Pelabuhan Laut yang menyeluruh, handal, dan terpadu dalam melayani tuntutan permintaan
transportasi laut di wilayah pemerintah Aceh di masa mendatang.
Pada dasarnya indikasi program dilakukan untuk mewujudkan Rencana Induk Pelabuhan wilayah
pemerintah Aceh yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam kegiatan ini disusun indikasi program
pembangunan sub sektor Perhubungan Laut, mencakup: Program Jangka Panjang, Jangka Menengah
(Lima Tahunan) dan Program Jangka Pendek (Program Tahunan). Adapun materi dari rumusan Program
ini antara lain meliputi :
Pendekatan konseptual merupakan salah satu pola pikir pendekatan dalam menentukan arah dari
strategi penanganan pekerjaan ini. Terdapat cukup banyak pendekatan konseptual yang akan
menjadi acuan dalam pekerjaan ini. Adapun yang akan dijelaskan berikut ini hanya merupakan
pendekatan utama yang penting diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan ini. Pada dasarnya,
pendekatan utama berikut merupakan pendekatan yang saling terkait erat dan berhubungan,
sehingga dalam implementasinya akan digunakan dalam suatu kerangka kesatuan pendekatan.
Sesuai dengan paradigma baru dalam konsepsi pembangunan nasional maupun daerah, metode
pendekatan wilayah (regional approach) merupakan salah satu bentuk pendekatan yang penting
diperhatikan dalam penyusunan berbagai rencana/program/ kegiatan pembangunan sektoral.
Melalui pendekatan ini, setiap rencana/program/kegiatan yang disusun akan dikaji manfaat dan
pengaruhnya terhadap pengembangan wilayah bersangkutan baik dalam skala lokal, regional,
maupun nasional. Disamping itu, melalui pendekatan ini diharapkan dapat diwujudkan suatu
keterpaduan program sektoral pada suatu wilayah atau kota sehingga setiap rencana/program/
kegiatan yang disusun akan menjadi salah satu elemen/komponen dalam sistem kerangka rencana
kerja (network planning) pembangunan wilayah yang menyeluruh.
Dalam konteks pelaksanaan pekerjaan ini, konsepsi pendekatan wilayah akan diterapkan dalam
perumusan alternatif rencana/program pengembangan pelabuhan laut, dimana setiap alternatif
rencana/program yang diusulkan akan diselaraskan terhadap kebijaksanaan dan rencana
pembangunan wilayah yang ada (antara lain : Rencana Tata Ruang Wilayah Wilayah pemerintah
Aceh , RTRW Kabupaten/Kota, RENSTRA, RPJM, Rencana/Program-program transportasi yang
definitif), serta Kebijaksanaan dan Rencana Pembangunan Wilayah Makro (Regional dan
Nasional).
Pendekatan keterpaduan program merupakan pendekatan yang terkait erat dengan pendekatan
wilayah. Melalui pendekatan ini, setiap elemen rencana/program akan dirumuskan sedemikian
rupa, sehingga antara satu elemen kegiatan dengan elemen kegiatan lainnya akan saling
mendukung dan membentuk satu kesatuan program kerja yang utuh dan tidak saling tumpang tindih.
Disamping itu juga, program yang diusulkan harus selaras dengan kebijakan dan rencana
pembangunan wilayah yang ada, sehingga program-program tersebut akan menjadi bagian dari
"network planning" pembangunan wilayah (wilayah pemerintah Aceh).
Dalam mengidentifikasi, memilih dan menetapkan rencana/ program pengembangan pelabuhan laut
wilayah pemerintah Aceh perlu dipertimbangkan perihal manfaat dari setiap program tersebut.
Pertimbangan manfaat ekonomi ganda (multiplier effects approach) merupakan pendekatan atau
kriteria yang penting diperhatikan di sini. Dalam pendekatan ini suatu kegiatan, program
atau proyek dinilai prioritasnya, dimana yang memberikan manfaat ekonomi ganda merupakan
prioritas yang paling tinggi.
Dengan demikian, suatu program yang dipilih tidak hanya memberikan manfaat hanya sesaat
dengan jangkauan lokal saja, tetapi diharapkan dapat memberi manfaat yang berkelanjutan
dengan jangkauan luas, sehingga akan terus bergulir bagaikan bola salju (snow bowling) yang
semakin lama manfaatnya akan semakin membesar.
Pemilihan program sangat menentukan seberapa jauh efek ekonomi ganda itu akan terjadi.
Berdasarkan pendekatan ini, maka setiap usulan program akan dipilih berdasarkan kriteria
prioritas manfaat ekonomi ganda. Artinya, dalam penetapan indikasi program pembangunan akan
diidentifikasi urutan prioritas dari semua usulan kegiatan, program atau proyek.
Dalam banyak kasus selama ini masyarakat ibarat penonton yang menyaksikan pelaksanaan
pembangunan di wilayahnya. Hal ini terjadi karena sifat dan format pembangunannya adalah
“top-down”. Maksudnya adalah mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengoperasiannya
tanpa sedikitpun masyarakat atau Pemda setempat dilibatkan. Kalaupun mereka terlibat sekedar
sebagai pekerja. Hal ini pada gilirannya membuat semakin jauhnya jarak antara pembangunan
itu sendiri dengan masyarakat.
Melalui pendekatan partisipasi (participation approach), Pemda dan masyarakat setempat akan
terlibat sejak saat perencanaannya hingga pengoperasian dan pemeliharaan. Perasaan untuk
ikut memiliki, bahkan kalaupun harus berkorban siap dilakukan, karena melalui pendekatan
partisipasi ini dibangkitkan rasa ikut memiliki (sence of belonging). Pendekatan partisipasi
dalam pekejaan ini dilakukan mulai dari pengumpulan data primer, melalui survei wawancara
langsung terhadap “stakeholder” pengguna dan pengelola prasarana dan sarana transportasi
laut.
2.3.5. Pendekatan Manajemen Interaksi Sebagai Dasar Mekanisme Perumusan Rencana Induk
Pelabuhan
Dalam mekanisme perumusan Rencana Induk Pelabuhan wilayah pemerintah Aceh, prosesnya perlu
menyentuh seluruh pelaku yang terkait sesuai dengan tugas dan peran yang dibawanya. Untuk
itu, proses perumusan Rencana Induk Pelabuhan wilayah pemerintah Aceh akan dilakukan melalui
pendekatan yang integratif (Integrative System) dilihat dari cakupan substantifnya, dan
partisipatif (Participative Process) dilihat dari mekanisme pelaksanaannya. Yang perlu
dicatat adalah bahwa proses kegiatan penyusunan Rencana Induk ini “menerima masukan” dari 2
(dua) sumber utama, yakni :
Masukan inilah yang kemudian diolah, untuk dicarikan optimasinya melalui kaidah-kaidah
integrasi kebijaksanaan perencanaan dan sinkronisasi kelayakan program.
Wilayah Aceh terletak di ujung utara Pulau Sumatera dan sekaligus merupakan wilayah paling
barat di Indonesia.
Selaras dengan penetapan dalam UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No.26 Tahun 2008, bahwa ruang
adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, ruang udara, termasuk ruang di dalam
bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan,
dan memelihara kelangsungan hidupnya; maka ruang wilayah Aceh dalam konteks RTRWA (Rencana
Tata Ruang Wilayah Aceh) meliputi: wilayah daratan, wilayah laut, wilayah udara, dan dalam
bumi.
Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 50.000, wilayah daratan Aceh secara geografis
terletak pada 020 00’ 00” – 060 00’ 00” LU dan 950 00’ 00” – 980 30’ 00” BT. Dengan batas-
batas wilayah adalah:
Luas wilayah daratan Aceh adalah 56.758,8482 Km2 atau 5.675.840,82 Ha, yang meliputi daratan
utama di Pulau Sumatera, pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil.
Berdasarkan penetapan UU 32/2004 Pasal 18 ayat (4), selain wilayah daratan lingkup wilayah
RTRW Aceh juga tercakup wilayah laut kewenangan pengelolaan (WLK) pemerintah Aceh sejauh 12
(dua belas) mil-laut dari garis pangkal ke arah laut lepas. Wilayah laut kewenangan tersebut
terdapat atau terletak di Samudera Hindia, Laut Andaman, dan Selatan Malaka. Berdasarkan PP
no 37 tahun 2008 yang merupakan refisi PP no 38 tahun 2002 tentang titik-titik garis pangkal
kepulauan Indonesia luas laut kewenangan Aceh adalah 74.798,02 km2 atau 7.478.801,59 Ha bila
ditambah dengan kawasan gugusan karang melati seluas 14.249,86 km2 atau 1.424.986,18 Ha,
luas laut kewenangan Aceh menjadi 89.047,88 km2 atau 8.904.787,77 Ha.
Wilayah udara Aceh adalah ruang udara yang yang terletak di atas wilayah darat dan wilayah
laut tersebut, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Wilayah dalam bumi Aceh adalah ruang dalam bumi yang terletak di bawah wilayah darat dan
wilayah laut tersebut, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Wilayah Aceh sebagai provinsi secara administrasi pemerintahan terbagi atas 23 (dua puluh
tiga) wilayah kabupaten/kota, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.1. Sesuai dengan
penetapan dalam UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pembagian administrasi
pemerintahan kabupaten/kota terdiri berturut-turut atas: kecamatan, mukim, dan gampong.
Jumlah penduduk Aceh pada akhir 2011 adalah 4.597.308 jiwa, Perkembangan jumlah penduduk
beserta sebarannya menurut masing-masing kabupetan/kota ditunjukkan pada tabel dibawah ini.
Kabupaten/kota pada tahun 2008 dengan jumlah penduduk terbesar adalah Kabupaten Aceh Utara
(541.878 jiwa) dan jumlah penduduk terkecil adalah Kota Sabang (31.355 jiwa). Bila sebaran
penduduk dilihat menurut masing-masing bagian wilayah Aceh, dapat ditunjukkan sebagai
berikut:
· di pesisir timur, mulai dari Pidie sampai Aceh Tamiang, jumlah penduduk adalah 2.417.712
jiwa atau 52.59% dari penduduk Aceh;
· di sekitar Banda Aceh, yang meliputi Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang, jumlah penduduk
adalah 619.381 jiwa atau 13.47% dari penduduk Aceh;
· di pesisir barat, mulai dari Aceh Jaya sampai Subulussalam/Aceh Singkil dan Simeulue,
jumlah penduduk adalah 991.103 jiwa atau 21.56% dari jumlah penduduk Aceh;
· di bagian tengah (pegunungan/dataran tinggi), yang meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah,
Gayo Lues, dan Aceh Tenggara, jumlah penduduk adalah 569.112 jiwa atau 12.38% dari
penduduk Aceh.
Sebaran penduduk seperti dikemukakan di atas menunjukkan adanya kesenjangan jumlah penduduk
di antara bagian-bagian wilayah tersebut.
Pada tabel 3.3. ditunjukkan komposisi penduduk Aceh menurut jenis kelamin, pada tahun 1980,
1990, dan 2008 sampai 2011. Dari tahun 1980 sampai 2003 jumlah penduduk laki-laki lebih besar
daripada perempuan, sementara sejak 2004 sampai 208 jumlah penduduk perempuan lebih besar
daripada laki-laki. Perubahan komposisi penduduk menurut jenis kelamin ini terkait dengan
jatuhnya korban jiwa pada bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Sedangkan pada
tahun 2010-2011, laki-laki lebih besar dari perempuan.
Berdasarkan kajian terhadap perkembangan jumlah penduduk sejak tahun 1980 sampai 2008, dan
khususnya karakter perkembangan 2005 – 2008 yaitu setelah bencana tsunami melanda Aceh, serta
karakter perkembangan wilayah yang diharapkan, maka diprediksikan jumlah penduduk pada akhir
tahun perencanaan, yaitu tahun 2029. Prediksi penduduk ini dikemukakan menurut 2 skenario
pertumbuhan penduduk, yaitu skenario optimis dan skenario moderat. Pada skenario optimis
diprediksikan jumlah penduduk Aceh tahun 2029 adalah 7.359.847 jiwa atau dibulatkan 7.360.000
jiwa. Sementara pada skenario moderat diprediksikan jumlah penduduk Aceh tahun 2029 adalah
6.529.806 jiwa atau dibulatkan 6.530.000 jiwa.
Pada tabel 3.5. dibawah ini dikemukakan tentang keragaman suku/etnis dan bahasa daerah yang
dipakai sehari-hari menurut masing-masing kabupaten/kota di Aceh.
Pada wilayah pesisir utara dan timur dari Banda Aceh sampai Langsa/Aceh Timur dan pesisir
barat dari Aceh Jaya sampai Aceh Barat Daya suku asli yang dominan adalah suku Aceh dengan
bahasa Aceh. Pada wilayah pesisir timur yang berbatasan dengan Sumatera Utara terdapat suku
Tamiang dengan Bahasa Tamiang.
Pada wilayah bagian tengah terdapat suku asli Gayo dengan bahasa Gayo (Aceh Tengah, Bener
Meriah, dan Gayo Lues), dan suku asli Alas dengan bahasa Alas (Aceh Tenggara).
Pada wilayah pesisir barat bagian selatan terdapat suku Singkil dengan bahasa Julu, Aneuk
Jamee, Pak-Pak, Halaban, Nias (Aceh Singkil, Subulussalam), suku Aneuk Jamee dan Kluet dengan
bahasa Aceh, Aneuk Jamee, Kluet (Aceh Selatan). Dan di Pulau Simeulue terdapat suku Simeulue
dengan bahasa Devayan, Aneuk Jamee, Sigulai, Leko.
Selain penduduk asli di atas, penduduk Aceh juga berasal dari pendatang, yang bervariasi:
Jawa, Melayu, Batak, Karo, Mandailing, Minang, Nias, dan Cina, yang tersebar di kabupaten
dan kota di Aceh.
Wilayah daratan Aceh terdiri atas daratan utama (mainland) di Pulau Sumatera beserta 119
pulau (sumber: RUTR Wilayah Pesisir Aceh, data dari Departemen Dalam Negeri menyebutkan total
ada 663 pulau, dengan rincian: 205 pulau telah bernama, dan 458 pulau belum bernama). Di
antara pulau-pulau tersebut, paling tidak ada 9 pulau yang berpenghuni, yaitu: Pulau Simeulue
(Kab. Simeulue), Pulau Tuangku, Pulau Ujungbatu, Pulau Balai, Pulau Nibong (di Kepulauan
Banyak Kab. Aceh Singkil), Pulau Weh (Kota Sabang), serta Pulau Breueh, Pulau Nasi, Pulau
Bunta (di Pulo Aceh Kab. Aceh Besar). Selain pulau-pulau tersebut, pulau-pulau lainnya relatif
merupakan pulau-pulau kecil. Dengan konfigurasi demikian dan terletak di tepi perairan laut,
maka selain daratan di pulau utama (mainland) Pulau Sumatera dan pulau-pulau besar dan kecil,
juga ada wilayah laut kewenangan Aceh yaitu sejauh 12 mil-laut dari garis pantai dan/atau
garis pangkal menurut pulau-pulau terluar.
3.2.2. Ketinggian/Elevasi
Di pesisir timur, bagian wilayah dengan ketinggian < 500 meter di atas permukaan laut (dpl)
relatif lebih ”merata” lebarnya dari garis pantai, sementara di pesisir barat menunjukkan
kondisi yang relatif lebih lebar di sekitar Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Singkil, dan
Subulussalam; sementara yang relatif sangat sempit di sekitar Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh
Selatan, dan Aceh Barat Daya. Ketinggian di atas 3.000 m dpl terdapat di kompleks Gunung
Leuser.
Kemiringan lereng dominan ditampilkan pada gambar 3.2 dengan kelompok kelerengan < 40%, 40%
- 60%, dan > 60%. Selaras dengan sebaran ketinggian/elevasi pada Gambar 1.2.6, sebaran
kemiringan lereng < 40% relatif selaras dengan ketinggian < 500 m dpl. Kemiringan lereng
dominan 40% - 60 % dan > 60 % terdapat sejak dari kaki sampai ke puncak-puncak pegunungan.
Sesuai dengan karakter kemiringan lahan tersebut, ada hasil kajian RePPPRoT 1998 mengenai
arahan penetapan bagian wilayah dengan dominan fungsi lindung dan dominan fungsi budidaya.
Dominasi fungsi lindung diindikasikan sekitar 56,28 %, dan dominasi fungsi budidaya sekitar
43,72 % dari luas wilayah Aceh.
Kondisi fisiografi wilayah Aceh di daratan Pulau Sumatera (mainland) dapat dikelompokkan
atas empat kelompok utama, yaitu : dataran rendah, pegunungan bagian utara, pegunungan bagian
tengah, dan pegunungan bagian selatan.
Dataran rendah di bagian barat terdapat terletak sejak dari sekitar muara Sungai Alas/Singkil,
muara Krueng Tripa, sampai muara Krueng Teunom. Dataran ini berhampiran atau diapit oleh
barisan pegunungan berlereng terjal yang merupakan tempat mengalirnya sungai-sungai yang
relatif pendek dan deras ke bagian lembah yang datar di pesisir. Fisiografi yang demikian
disertai dengan curah hujan yang tinggi menyebabkan bagian muara sungai tidak mampu menampung
volume air, sehingga selalu tergenang dan membentuk kawasan berawa-rawa. Dataran rendah di
bagian timur wilayah mempunyai alur yang cukup lebar, mulai dari perbatasan Aceh dan Provinsi
Sumatera Utara yang selanjutnya menyempit di sekitar pesisir Peudada sampai di kaki Gunung
Seulawah. Dataran rendah di bagian utara, merupakan lembah sungai Krueng Aceh yang terletak
di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh.
Pegunungan bagian utara terletak di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Barat.
Pegunungan bagian utara ini merupakan bukit-bukit yang saling terpisah, yang antara lain
terdiri atas Kompleks Gunung Seulawah (1.762 m), Kompleks Gunung Ulu Masen (2.390 m), dan
Komplek Gunung Peut Sagoe (2.780 m). Selain itu, terdapat patahan turun lembah Krueng Aceh
yang diduga belum sepenuhnya stabil, sehingga sewaktu-waktu potensial terjadi getaran di
permukaan bumi (gempa). Pada bagian wilayah ini terdapat dataran tinggi, yaitu Dataran Tinggi
Tangse (dan Geumpang).
Pegunungan bagian tengah terletak di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Nagan Raya.
Pegunungan bagian tengah ini mempunyai lereng yang sangat curam sehingga sulit dilalui, yang
ditandai oleh keberadaan antara lain Kompleks Gunung Geureudong/Burni Telong (2.556 m) dan
Kompleks Gunung Ucap Malu (3.187 m). Pada pegunungan bagian tengah ini terdapat dataran
tinggi, yaitu Dataran Tinggi Gayo, dan terdapat danau yaitu Danau Laut Tawar.
Pegunungan bagian selatan terletak di Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya,
dan Aceh Selatan. Pegunungan bagian selatan ini terdiri dari tiga baris pegunungan sejajar.
Jajaran paling selatan dengan dengan pegunungan paling tinggi adalah Gunung Leuser (3.466 m)
yang merupakan gunung tertinggi di Aceh. Jajaran di tengah relatif lebih rendah, sementara
jajaran di utara kembali naik lebih tinggi. Pada jajaran di tengah tersebut terdapat dataran
tinggi, yang dikenal dengan Dataran Tinggi Alas; dan mengalir Sungai Alas, yang seperti
halnya dengan Krueng Aceh, mengalir di atas patahan turun (slank).
3.2.5. Klimatologi
Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt Fergusson wilayah Aceh termasuk pada tipe iklim
tropis. Berdasarkan pantauan dari 3 stasiun klimatologi yaitu stasiun Blang Bintang (Aceh
Besar), Sabang, dan Meulaboh (Aceh Barat), musim hujan terjadi pada bulan Agustus sampai
Januari dan musim kemarau pada bulan Februari sampai Juli.
Dari ketiga stasiun klimatologi tersebut, gambaran kondisi iklim wilayah Aceh adalah sebagai
berikut :
1) Stasiun Blang Bintang : curah hujan rata-rata 1.250 – 2.000 mm/tahun, dengan hari hujan
rata-rata 13 hari/bulan, suhu udara rata-rata berkisar 25 – 28 oC, kelembaban nisbi rata-
rata 69 – 90 %, serta kecepatan angin 2,0 – 4,0 knot.
2) Stasiun Sabang : curah hujan rata-rata 2.000 – 2.500 mm/tahun, dengan hari hujan rata-
rata 7 hari/bulan, suhu udara rata-rata berkisar 26 – 27,5 oC, kelembaban nisbi rata-
rata 73 – 86 %, serta kecepatan angin 3,0 – 11,0 knot.
3) Stasiun Meulaboh : curah hujan rata-rata 2.500 – 3.500 mm/tahun, dengan hari hujan rata-
rata 17 hari/bulan, suhu udara rata-rata berkisar 21 – 31 oC, kelembaban nisbi rata-rata
69 – 96 %, serta kecepatan angin 5,0 – 7,0 knot.
Jenis tanah yang diidentifikasikan di wilayah Aceh, yaitu dari pembacaan Peta Penyebaran
Jenis Tanah menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor ada 12 jenis tanah yang terdapat di Aceh,
yaitu : (1) Organosol dan Glei Humus, (2) Aluvial, (3) Hidromorf Kelabu, (4) Regosol, (5)
Podsolik Merah Kuning (PMK), (6) Renzina, (7) Andosol, (8) Litosol, (9) Komplek PMK dan
Litosol, (10) Komplek PMK, Latosol, dan Litosol, (11) Komplek Podsolik Coklat, Podsol, dan
Litosol, (12) Komplek Renzina dan Litosol. Dari pembacaan pada peta sebaran jenis tanah dapat
diindikasikan sebaran jenis tanah tersebut seperti berikut ini.
Jenis tanah organosol dan glei humus dominan tersebar di pesisir barat, yang relatif luas,
yaitu di Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan bagian selatan, Aceh Singkil, dan Subulussalam;
dan di pesisir timur, yang relatif sempit dan memanjang mengikuti garis pantai, yaitu di
Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, dan Pidie Jaya.
Jenis tanah aluvial yang terletak di pesisir yaitu di Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara sampai
Aceh Timur dan Aceh Tamiang; sementara di dataran tinggi terdapat pada tepi alur sungai Lawe
Alas di Aceh Tenggara. Selain itu di pulau-pulau terdapat di Simeulue, Kepulauan Banyak, dan
Pulau Breueh. Jenis tanah hidromorf kelabu terdapat memanjang dan setempat di Aceh Utara
sampai Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Jenis tanah regosol relatif sangat sedikit, yaitu di
pesisir Aceh Besar yang menerus ke Pidie, dan setempat-setempat di sekitar Gunung Leuser dan
di Aceh Tenggara.
Jenis tanah podsolik merah kuning (PMK) terdapat hampir di semua kabupaten/kota baik di
pesisir maupun di dataran tinggi/pegunungan. Jenis tanah PMK yang terdapat di pesisir
berhadapan langsung dengan garis pantai antara lain terdapat di Aceh Jaya, Aceh Barat Daya
sampai Aceh Selatan; pada lini di belakang pesisir tersebut terdapat di Aceh Barat, Nagan
Raya, Subulussalam, memanjang sejak dari Pidie sampai ke Aceh Tamiang. Sementara di dataran
tinggi terdapat di Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara. Selain itu
terdapat sedikit di Pulau Simeulue bagian barat.
Jenis tanah renzina sangat sedikit dan hampir tidak teridientifikasi pada peta. Jenis tanah
andosol terdapat di sekitar punggungan gunung-gunung utama yaitu di G. Seulawah, G. Peut
Sagoe, G. Geureudong, dan G. Leuser. Jenis tanah litosol berhampiran dengan andosol dan di
pegunungan lainnya, yang terdapat di sekitar G. Seulawah, G. Ulu Masen, G. Peut Sagoe, G.
Geureudong, dan punggungan pegunungan/perbukitan lainnya di Nagan Raya, Aceh Jaya, dan Pidie.
Komplek PMK dan litosol dengan sebaran sedikit di pegunungan perbatasan Pidie – Aceh Jaya –
Aceh Besar, dan sebaran yang agak dominan di Pulau Simeulue dan Kepulauan Banyak. Komplek
PMK, latosol, litosol, tersebar di dataran tinggi/pegunungan, sejak dari Aceh Besar, Aceh
Jaya dan Pidie teus ke arah selatan/tenggara hingga ke Aceh Tenggara dan Aceh Tamiang. Komplek
podsolik coklat, podsol, dan litosol, juga terdapat di dataran tinggi/pegunungan yaitu sejak
dari Pidie, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara. Komplek renzina dan litosol tersebar
pada lereng pegunungan setempat, terdapat di Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan
Raya, Aceh Selatan, dan memanjang dari Aceh Timur sampai Aceh Tamiang.
Sistem lahan (land system) di wilayah Aceh, yaitu sebanyak sekitar 60 sistem lahan. Dari
sebaran sistem lahan tersebut, dapat diindikasikan kecenderungan sistem lahan yang menonjol
pada masing-masing bagian wilayah di Aceh.
Pada bagian wilayah pegunungan tengah ini sangat menonjol sistem lahan BPD (Bukit Pandan)
dengan karakteristik utamanya antara lain peka gerakan tanah/longsor, lereng >60%, sistem
drainase dendritik, dan curah hujan yang tinggi. Sistem lahan BPD ini sangat dominan di dalam
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dan juga terdapat di Kawasan Ekosistem Ulu Masen. Selain
sistem lahan BPD tersebut, di bagian wilayah pegunungan tengah ini juga terdapat sistem lahan
lainnya seperti: PDH (Pendreh) dan TWI (Telawi), yang keduanya mempunyai lereng >60%. Selain
itu terdapat juga sistem lahan BYN (Bukit Ayun) dan GGD (Gunung Gedang), seperti pada
pegunungan perbatasan Aceh Besar dan Aceh Jaya.
Pada bagian wilayah pesisir timur ini sangat menonjol sistem lahan KHY (Kahayan), yang
terdapat terutama di lembah Krueng Aceh (Banda Aceh dan sekitarnya), pesisir Kabupaten Pidie,
Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang. Selain itu setempat-setempat
terdapat sistem lahan: MPT (Maput), AMI (Alur Menani), dan MBI (Muara Beliti).
Pada bagian wilayah pesisir barat ini, di kawasan yang berupa rawa tedapat sistem lahan MDW
(Mendawai) yaitu di Rawa Singkil, dan sistem lahan BBK (Benjah Bekasik) yaitu di Rawa Tripa.
Selain itu setempat-setempat terdapat sistem lahan PTG (Putting), MPT (Maput), dan TNJ
(Tanjung).
Selain itu, khusus yang terletak di sekitar gunung-gunung utama di Aceh, dengan sistem lahan
yang menonjol adalah sebagai berikut:
· Di kompleks Gunung Seulawah, yang menonjol adalah sistem lahan SBB (Sibual-buali) dengan
kawasan di kaki sebelah utaranya adalah sistem lahan BPP (Batang Pelepat) dengan karakter
dominan lereng >60%;
· Di kompleks Gunung Peut Sago, yang menonjol adalah sistem lahan BBG (Bukit Balang) dengan
kawasan di sekitarnya dengan sistem lahan PDH (Pendreh) dengan karakter dominan lereng
>60%;
· Di kompleks Gunung Geureudong, yang menonjol adalah sistem lahan TGM (Tanggamus) dengan
kawasan sekitarnya dengan sistem lahan TLU (Talamau).
Pada Gambar 3.3. ditunjukkan peta geologi. Dari peta geologi dapat dilihat bahwa sebagian
terbesar wilayah Aceh terdiri atas batuan tersier dan quarter. Pada bagian-bagian tertentu,
khususnya di punggungan pegunungan terdapat batuan yang lebih tua, berupa singkapan.
Sejalan dengan itu kondisi hidrogeologi dapat diidentifikasikan jenis litologi batuan
(lithological rock types) serta potensi dan prospek air tanah (groundwater potential and
prospects). Berturut-turut relatif dari kompleks punggungan hingga ke pesisir atau pantai
dapat diidentifikasikan jenis litologi batuan sebagai berikut:
· Batuan beku atau malihan (igneous or metamorphic rocks) terletak pada kompleks pegunungan
mulai dari puncak atau punggungan; dengan potensi air tanah sangat rendah;
· Bedimen padu - tak terbedakan (consolidated sediment – undifferentiated) terletak di
bagian bawah/hilir batuan beku di atas namun masih pada kompleks pegunungan hingga ke
kaki pegunungan, dan juga terdapat di Pulau Simeulue; dengan potensi air tanah yang juga
sangat rendah;
· Batu gamping atau dolomit (limestones or dolomites), yang terletak setempat-setempat,
yaitu di pegunungan di bagian barat laut Aceh Besar (sekitar Peukan Bada dan Lhok Nga),
di Aceh Jaya, di Gayo Lues dan Aceh Timur; dengan potensi air tanah yang juga sangat
rendah;
· Hasil gunung api – lava, lahar, tufa, breksi (volcanic products – lava, lahar, tuff,
breccia) terutama terdapat di sekitar gunung berapi, terutama yang teridentifikasi
terdapat di sekitar G. Geureudong, G. Seulawah, dan G. Peut Sagoe; dengan potensi air
tanah rendah;
· Sedimen lepas atau setengah padu – kerikil, pasir, lanau, lempung (loose or semi-
consolidated sediment (gravel, sand, silt, clay) yang terdapat di bagian paling
bawah/hilir yaitu di pesisir, baik di pesisir timur maupun pesisir barat dan di cekungan
Krueng Aceh; dengan potensi air tanah sedang sampai tinggi.
Pada Gambar tersebut juga ditunjukkan adanya indikasi sesar/patahan yang relatif memanjang
mengikuti pola pegunungan yang ada di wilayah Aceh (relatif berarah barat laut – tenggara).
Terkait dengan aspek hidrogeologi di atas, selanjutnya dikemukakan juga mengenai cekungan
air tanah (CAT) yang ada di wilayah Aceh. Dengan mengacu kepada Atlas Cekungan Air Tanah
Indonesia yang diterbitkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2009, pada halaman
lembar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dapat diidentifikasikan ada 14 (empat belas)
Cekungan Air Tanah (CAT) di wilayah Aceh
Di wilayah Aceh terdapat 408 Daerah Aliran Sungai (DAS) besar sampai kecil. Untuk pengelolaan
sungai sebagai sumber daya air ditetapkan 11 Wilayah Sungai (WS) yang terdapat di Aceh,
berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.11A/PRT/M/2006, seperti ditunjukkan pada
tabel 3.6.
Pada beberapa muara sungai, endapan sedimen yang terjadi telah menyebabkan hambatan aliran
banjir dan mengganggu lalu-lintas kapal/perahu nelayan, yaitu di muara: Krueng Aceh (Banda
Aceh/Aceh Besar), Krueng Baro dan Krueng Ulim (Pidie), Krueng Peudada (Bireuen), Krueng Idi
(Aceh Timur), Krueng Langsa (Langsa), Krueng Tamiang (Aceh Tamiang), Krueng Teunom (Aceh
Jaya), Krueng Meureubo (Aceh Barat), Krueng Seunagan dan Krueng Tripa (Nagan Raya), Lawe
Alas – Krueng Singkil (Gayo Lues, Aceh Tenggara, Subulussalam, dan Aceh Singkil).
Biodiversity atau keanekaragaman hayati tersebut meliputi fauna (satwa) dan flora (tumbuhan).
Sebaran tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati yang tinggi terdapat di bagian
wilayah pegunungan tengah (khususnya pada lereng dan kaki pegunungan), dan di pesisir yaitu
di bagian wilayah dengan ekosistem rawa di pesisir barat, seperti di rawa Singkil/Trumon dan
rawa Tripa. Dihubungkan dengan wilayah administrasi, maka hampir semua kabupaten terkena
dengan kawasan keanekaragaman hayati tinggi tersebut.
Sebaran keanekaragaman hayati tersebut merupakan salah satu faktor penting dalam penetapan
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang terletak sebagian terbesar di Aceh dan sebagian lagi di
Provinsi Sumatera Utara. Sehubungan dengan keanekaragaman hayati tersebut juga diinformasikan
tentang sebaran jenis fauna yang merupakan spesies “payung” (umbrella species) dalam
ekosistem tersebut, yaitu gajah, harimau, orangutan, badak, gajah, harimau, orangutan badak.
Di samping sebaran “spesies payung” tersebut, wilayah Aceh juga memiliki kawasan
keanekaragaman hayati penting lainnya, yaitu: “Ecofloristic”, Kawasan Penting Burung
(Important Bird Areas/IBA) dan Kawasan Kunci Keaneka-ragaman Hayati (Key Biodiversity
Areas/KBA). Berdasarkan data dari For TRUST (Forum Tata Ruang Sumatera), bila dilakukan
tumpang tindih (super impose) seluruh data keanekaragaman hayati tersebut, maka akan
diperoleh kawasan keanekaragaman hayati di Aceh yang perlu dilindungi.
Sehubungan dengan sebaran keanekaragaman hayati di wilayah Aceh, maka di luar Kawasan
Ekosistem Leuser (KEL) yang telah ditetapkan juga terdapat kawasan ekosistem lainnya yang
telah dikaji yang akan mengakomodasi keanekaragaman hayati ini di bagian wilayah lainnya
yaitu di Kawasan Ekosistem Ulu Masen. Pada Gambar 3.4 ditunjukkan Kawasan Ekosistem Leuser
dan Kawasan Ekosistem Ulu Masen di Aceh.
Potensi pertambangan di wilayah Aceh mencakup semua bahan tambang, yaitu: mineral dan batubara
(minerba), minyak dan gas bumi (migas), panas bumi, dan air tanah. Dari data potensi
pertambangan yang ada, yang telah teridentifikasi; yang dengan klasifikasi dahulu atau
sebelumnya dikenal dengan bahan tambang strategis (golongan A), bahan tambang vital (golongan
B), dan bahan tambang golongan C, dapt dikemukakan potensi bahan tambang golongan A dan
golongan B (atau di luar bahan galian) seperti pada 3.7 yang kemudian dirincikan lagi pada
tabel 3.8. Khusus untuk bahan tambang yang merupakan bahan galian (atau dahulu dikenal dengan
golongan C).
Selanjutnya secara khusus untuk jenis mineral logam dan mineral bukan logam digambarkan
sebarannya seperti pada Gambar 3.5.
Secara khusus untuk bahan tambang berupa air tanah, potensi dan sebarannya telah dijelaskan
pada pembahasan hidrogeologi khususnya mengenai cekungan air tanah di depan.
Dari pembacaan pada tabel-tabel dan gambar-gambar tersebut, dari sudut pandang tata ruang
dapat diindikasikan bahwa bahan-bahan tambang yang potensial terdapat baik pada atau di bawah
permukaan kawasan budidaya dan kawasan lindung.
Dengan memperhitungkan panjang garis pantai pada pulau utama dan pulau-pulau yang relatif
besar, maka Aceh mempunyai garis pantai lebih kurang sepanjang 2.422 km, yang terdiri atas
garis pantai di pulau induk (mainland) Sumatera 1.660 km, di Pulau Weh/Sabang 62 km, dan di
Pulau Simeulue 700 km.
Berdasarkan penetapan UU 32/2004 Pasal 18 ayat (4), maka selain wilayah daratan Aceh juga
tercakup wilayah laut kewenangan pengelolaan (WLK) Aceh sejauh 12 (dua belas) mil-laut dari
garis pantai terluar ke arah laut lepas. Dengan demikian maka wilayah laut kewenangan tersebut
terdapat atau terletak di Samudera Hindia, Laut Andaman, dan Selat Malaka. Adalah 74.798,02
km2 atau 7.478.801,59 Ha bila ditambah dengan kawasan gugusan karang melati seluas 14.249,86
km2 atau 1.424.986,18 Ha, luas laut kewenangan Aceh menjadi 89.047,88 km2 atau 8.904.787,77
Ha.
Selain daratan utama (mainland) Pulau Sumatera, wilayah Aceh juga mencakup pulau-pulau besar
dan kecil, yaitu sejumlah 119 pulau (sumber: RUTRW Pesisir Prov. NAD, 2007. Data dari
Departemen Dalam Negeri menyebutkan di Aceh terdapat pulau sejumlah 663 pulau, dengan rincian:
205 pulau telah bernama, dan 458 pulau belum bernama) . Di antara pulau-pulau tersebut,
teridentifikasi paling tidak ada 9 pulau yang berpenghuni atau didiami penduduk, yaitu: Pulau
Simeulue (Kab. Simeulue), Pulau Tuangku, Pulau Ujungbatu, Pulau Balai (di Kepulauan Banyak
Kab. Aceh Singkil), Pulau Weh (Kota Sabang), Pulau Breueh, Pulau Nasi, Pulau Bunta (di Pulo
Aceh Kab. Aceh Besar). Pulau-pulau lainnya relatif merupakan pulau-pulau kecil. Gugus pulau-
pulau kecil dengan jumlah pulau-pulau kecil yang relatif banyak adalah di perairan Kepulauan
Banyak Kabupaten Aceh Singkil, yang terdiri atas 99 pulau.
Sektor pariwisata di Aceh akan merupakan salah satu sektor yang dapat dijadikan andalan di
masa datang. Jenis pariwisata di Aceh sangat bervariasi yaitu meliputi wisata alam, wisata
bahari, wisata budaya, wisata ekologi, wisata kota, dan wisata minat khusus.
Untuk memudahkan dalam identifikasi distribusi objek-objek wisata yang ada, maka dibuat
cluster yang berdasarkan pada 4 faktor yang dianggap penting, faktor itu adalah (i) faktor
letak geografis yaitu kedekatan satu wilayah dengan wilayah yang lainnya, (ii) faktor jarak
yaitu jarak dari satu wilayah dengan wilayah yang lainnya, (iii) faktor aksesibilitas yaitu
tingkat kemudahan pencapaian baik jalur transportasi maupun angkutan, dan (iv) faktor
pelayanan kota yaitu pelayan suatu kota terhadap kebutuhan dari pada penduduknya.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku
tahun 2009 sampai 2011 ditunjukkan pada tabel dibawah Angka PDRB tahun 2009 adalah Rp.
32.219.086.32 milyar dan tahun 2007 adalah Rp. 34.779.702.73milyar. Angka PDRB tersebut
termasuk lapangan usaha yang terkait dengan minyak & gas bumi (migas), yaitu pertambangan
migas dan industri migas. Sementara untuk angka PDRB tanpa migas pada tahun 2009 adalah Rp.
27.574.794.89 milyar dan tahun 2011 adalah Rp. 30.801.676.45 milyar.
Berdasarkan tabel 3.10 berturut-turut dari lapangan usaha yang paling besar persentase
porsinya dapat dikemukakan catatan penting sebagai berikut ini.
1. Pertanian (26.88 %)
Porsi lapangan usaha pertanian ini meningkat dari 26.18 % pada tahun 2009 menjadi 26.88%
pada tahun 2011. Ada pergeseran porsi dari sub lapangan usaha yaitu pada tahun 2009 berturut-
turut adalah pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, kehutanan, kemudian perikanan
menjadi pada tahun 2011 berturut-turut adalah pertanian tanaman pangan, perkebunan,
perikanan, peternakan, kemudian kehutanan. Dengan demikian dalam lapangan usaha pertanian
ini ada peningkatan yang lebih pesat pada kegiatan perkebunan dan perikanan.
Porsi lapangan usaha pertambangan & penggalian ini menurun dari 8.68% pada tahun 2009 menjadi
7.51% pada tahun 2011. Dalam lapangan usaha ini kontribusi sangat dominan dari pertambangan
migas, yang memang menurun produksinya.
Porsi lapangan usaha perdagangan, hotel & restoran meningkat dari 19.29% pada tahun 2009
menjadi 20.30% pada tahun 2011. Bila pada tahun 2009 lapangan usaha ini menduduki urutan ke-
2 kontribusinya, maka pada tahun 2011 tetap menduduki urutan ke-3. Kontribusi sub lapangan
usaha yang terbesar adalah dari perdagangan besar dan eceran. Dengan demikian untuk total
PDRB ada kecenderungan peningkatan kegiatan perdagangan hotel dan restoran.
4. Industri (10.23 %)
Porsi lapangan usaha industri ini menurun tajam dari 11,78% pada tahun 2009 menjadi 10,23%
pada tahun 2009. Bila pada tahun 2009 lapangan usaha ini menduduki urutan ke-4 kontribusinya,
maka pada tahun 2011 masih menduduki urutan ke-4. Konstribusi sub lapangan usaha yang dominan
adalah industri migas, khususnya gas alam cair.
5. Jasa-Jasa (18.1 %)
Porsi lapangan usaha jasa-jasa ini meningkat dari 17.9% pada tahun 2009 menjadi 18.1% pada
tahun 2011. Konstribusi jasa pemerintahan umum (16.96%) sangat dominan jika dibandingkan
dengan jasa swasta (1.14%).
Porsi lapangan usaha ini meningkat signifikan, yaitu dari 7.08% pada tahun 2009 menjadi 7,55%
pada tahun 2011. Kontribusi pengangkutan (6.25%) sangat dominan jika dibandingkan dengan
komunikasi (1.30%). Pada sub lapangan usaha pengangkutan ini angkutan jalan raya masih sangat
dominan (5.54%) diikuti di bawahnya adalah angkutan udara (0.34%) dan angkutan laut (0,32%).
Dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi ke depan lapangan usaha pengangkutan & komunikasi
ini diindikasikan akan semakin besar porsinya.
7. Konstruksi (7,55 %)
Porsi lapangan usaha konstruksi ini meningkat dari 6.92% pada tahun 2009 menjadi 7,55% pada
tahun 2011. Indikasi kenaikan ini membuktikan bahwa gerakan pembangunan di Aceh semakin baik
dan pembangunan sarana dan prasarana di seluruh Aceh semakin baik.
Porsi lapangan usaha ini meningkat dari 1,83% pada tahun 2009 menjadi 1,90% pada tahun 2011.
Sub lapangan usaha real estate (0,58%) dan bank (0,1.17%) adalah yang menonjol dalam lapangan
usaha ini.
Porsi lapangan usaha ini sebesar 0,32 % pada tahun 2009 dan naik menjadi 0.37% pada 2010.
Ada dan meningkat kembali pada tahun 2011 sebesar 0.38%.
Tabel 3. 10 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2009 - 2011 (Juta Rupiah)
No. Lapangan Usaha 2009 2010 2011
1 Pertanian 8433957.9 8857389.65 9348967.32
a. Tanaman Bahan Makanan 3353314.86 3618517.57 3869060.79
b. Tanaman Perkebunan 1696447.75 1748506.75 1828590.83
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 1447049 1499048.84 1579118.65
d. Kehutanan 518234.38 518110.47 546695.57
e. Perikanan 1418911.92 1473206.03 1525501.47
2 PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 2797970.49 2609892.25 2612904.74
a. Minyak dan Gas Bumi 2389320.15 2176996.88 2155037.41
b. Pertambangan Bukan Migas 0 0 0
c. Penggalian 408650.34 432895.38 457867.33
3 INDUSTRI PENGOLAHAN 3794880.67 3491324.15 3557636.65
a. Industri Migas 2254971.28 1851822.45 1822988.86
- Pengilangan Minyak Bumi 0 0 0
- Gas Alam Cair 2254971.28 1851822.45 1822988.86
b. Industri Bukan Migas 1539909.39 1639501.71 1734647.79
- Makanan, Minuman dan Tembakau 502491.81 546422 603079.27
- Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki 5746.56 6137.1 6523.11
- Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya 537.61 536.6 538.77
- Kertas dan Barang Cetakan 14176.94 15011.47 15991.61
- Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 946860.26 997051.37 1030555.56
- Semen dan Barang Galian bukan Logam 45977.79 48576.57 50929.21
- Logam Dasar Besi dan Baja 9992.81 10866.25 11444.38
- Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya 8475.7 9024.62 9405.77
- Barang lainnya 5649.92 5875.72 6180.1
4 LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 104092.03 121754.53 132193.09
a. Listrik 99615.81 116717.97 126854.29
b. Gas Kota 0 0 0
c. Air Bersih 4476.22 5036.56 5338.8
5 KONSTRUKSI 2229792.49 2343693.95 2489441.95
6 PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN 6213658.59 6609054.88 7059809.11
a. Perdagangan Besar dan Eceran 5991618.42 6373943.98 6806626.46
b. Hotel 19705.57 20578.06 22093.69
c. Restoran 202334.6 214532.84 231088.97
7 PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 2280601.82 2430513.05 2624174.17
a. Pengangkutan 1881181.69 2010426.28 2172995.05
- Angkutan Rel 0 0 0
- Angkutan Jalan Raya 1648670.07 1774120.58 1926772.72
- Angkutan Laut 105355.38 107825.7 112345.57
- Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan 2088.04 2229.66 2364.77
- Angkutan Udara 112336.14 112785.8 116930.97
- Jasa Penunjang Angkutan 12732.07 13464.54 14581.03
b. Komunikasi 399420.13 420086.77 451179.12
- Pos dan Telekomunikasi 393824.09 414125.64 444739.93
- Jasa Penunjang Komunikasi 5596.04 5961.13 6439.19
8 KEUANGAN, REAL ESTAT, & JASA PERUSH. 588136.87 620705.18 660994.03
a. Bank 343882.26 375442.64 405466.23
b. Lembaga Keuangan bukan Bank 36049.21 36658.2 38013.15
c. Jasa Penunjang Keuangan 0 0 0
d. Real Estat 195124.04 195120.57 203397.09
e. Jasa Perusahaan 13081.36 13483.77 14117.56
9 JASA-JASA 5775995.45 6033842.89 6293581.67
a. Pemerintahan Umum 5443093.43 5674215.03 5898233.08
- Administrasi Pemerintahan dan Pertahanan 3590697.66 3757339.46 3938012.29
- Jasa Pemerintah Lainnya 1852395.77 1916875.57 1960220.8
b. Swasta 332902.03 359627.86 395348.58
- Sosial Kemasyarakatan 187041.87 200361.21 222525.42
- Hiburan dan Rekreasi 46032.66 50287.39 54644.53
- Perorangan dan Rumah Tangga 99827.49 108979.26 118178.64
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 32219086.32 33118170.55 34779702.73
PDRB TANPA MIGAS 27574794.89 29089351.22 30801676.45
Sumber : BPS Pemerintah Aceh, 2011
Tabel 3. 11 Distribusi Porsi PDRB Menurut Lapangan Usaha (2009-2011) dengan MIGAS (%)
Tabel 3. 12 Distribusi Porsi PDRB Menurut Lapangan Usaha (2009-2011) Tanpa MIGAS
Dari PDRB Aceh 2009 sampai 2011 atas dasar harga konstan tahun 2000, seperti yang ditunjukkan
pada tabel dibawah, dapat dihitung laju pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh laju
pertumbuhan PDRB Aceh seperti pada tabel dibawah.
Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Aceh, yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan PDRB dari tahun
2009 sampai 2011 adalah sebesar 5,69 % per tahun, yang ditandai oleh LPE yang rendah pada
selang waktu 2003-2004 dan 2004-2005 yaitu masing-masing hanya 1,76 % dan 1,22 % per tahun,
dan LPE yang cukup tinggi pada selang waktu 2005-2006 dan 2006-2007 yaitu masing-masing 7,70
% dan 7,46 %. Sedangkan selang waktu 2009-2010 dan 2010-2011 masing cenderung turun dan
kembali dinamis 5.49% dan 5.89%. hal ini ditandai dengan sudah berakhirnya masa pembangunan
dan rehabilitasi NAD Nias
Berdasarkan tabel dibawah dapat dilihat fluktuasi pertumbuhan masing-masing lapangan usaha,
bahkan ada yang mempunyai laju pertumbuhan negatif, yang secara umum berkenaan dengan
terjadinya bencana alam di Aceh pada akhir 2004. Secara umum lapangan usaha yang termasuk
sektor primer dan sektor sekunder cenderung mengalami laju pertumbuhan yang kecil, sementara
sektor tersier cenderung mengalami pertumbuhan yang besar. Berturut-turut dari lapangan usaha
yang paling besar laju pertumbuhannya dapat dikemukakan catatan penting sebagai berikut ini.
Lapangan usaha konstruksi mengalami pertumbuhan negatif (-16,14%) pada 2004-2005, namun pada
2005-2006 mempunyai pertumbuhan tertinggi di antara lapangan usaha lainnya yaitu 48,41%, dan
pada 2006-2007 sebesar 13,93%. Tingginya pertumbuhan pada 2 tahun terakhir tersebut terkait
dengan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Berdasarkan analisis dan olahan data
2009-2011 mengalami pertumbuhan yang dinamis dan cenderung ada pergerakan yakni sebesar
5.66%.
Analisis pada tahun 2004-2007, lapangan usaha pengangkutan & komunikasi relatif konsisten
terus bertumbuh. Sub lapangan usaha pengangkutan (14,03%) mempunyai laju pertumbuhan relatif
jauh lebih besar daripada komunikasi (3,74%). Pertumbuhan angkutan yang besar tersebut adalah
kegiatan angkutan udara, angkutan jalan raya, dan jasa penunjang angkutan. Sedangkan data
analisis pada tahun 2009-2011 mengalami peningkatan dari 6.57% menjadi 7.97 pertahunnya.
Analisis pada tahun 2004-2007, Sub lapangan usaha Listrik mempunyai laju pertumbuhan (12,44%)
yang jauh lebih besar daripada Air Bersih (-8,64%) yang malahan negatif. Dengan upaya
rehabilitasi & rekonstruksi dan pengembangan jaringan air bersih diharapkan sub lapangan
usaha ini akan menyumbangkan pertumbuhan yang signifikan di masa datang. Sedangkan pada tahun
2009-2011 laju pertumbuhan listrik turun dan semakin dinamis menjadi 12.85%. dan air bersih
sudah membaik menjadi 9.21%.
Walaupun masa BRR NAD Nias sector ini sangat mempengaruhi, namun pada tahun rentang waktu
2009-2011 lapangan usaha tetap ada cenderung dinamis berfluktuasi, lapangan usaha jasa-jasa
ini konsisten tumbuh, terutama pada jasa pemerintahan umum.
Kendati berfluktuasi, lapangan usaha perdagangan, hotel & restoran ini relatif konsisten
tumbuh dan cenderung dinamis positif mengalami pertumbuhan.
Analisis data pada tahun 2004-2009, lapangan usaha ini mengalami pertumbuhan negatif (-9,53%)
pada 2004-2005, kemudian positif kembali sesudahnya. Dan pada analisis pada tahun 2009-2011
mengalami pertumbuhan positif dan membaik.
Analisis data dalam selang waktu 2004-2007, pertumbuhan sub lapangan usaha dari yang terbesar
berturut-turut adalah tanaman perkebunan (4,81%), tanaman bahan makanan (1,97%), dan
perikanan (0,97%); sementara pertumbuhan negatif untuk peternakan (-5,16%) dan kehutanan (-
2,95%). Namun bila dilihat pada selang waktu 2006-2007 ternyata pertumbuhan tanaman
perkebunan (9,14%), tanaman bahan makanan (8,50%), dan perikanan (6,10%), yang menunjukkan
pertumbuhan yang relatif besar, sehingga mengindikasikan prospek pertumbuhan yang tinggi ke
depan.
Sedangkan analisis pada tahun 2009-2011, cenderung mengalami pertumbuhan dan dapat menjadi
faktor kunci dalam pembangunan di Aceh. Selang waktu 2009-2010 sebesar 5.02%, dan selang
waktu 2010-2011 sebesar 5.55%
Analisis data tahun 2004-2006, dalam lapangan usaha industri pengolahan ini laju pertumbuhan
sub lapangan usaha industri migas mengalami penurunan secara konsisten dan besar (yaitu -
20,21%); sementara industri bukan migas sebesar 1,36%, bahkan pada selang waktu 2006-2007
mengalami pertumbuhan yang besar yaitu 8,57%.
Sedangkan analisis data 2009-2011, cenderung mengalami pertumbuhan kecil dan negatif. Dengan
demikian industri bukan migas mengindikasikan akan terus bertumbuh ke depan.
Analisis data pada rentang waktu 2004-2006, dalam lapangan usaha pertambangan & penggalian
ini laju pertumbuhan sub lapangan usaha minyak & gas bumi mengalami penurunan secara konsisten
dan besar (-17,05%); sementara penggalian mengalami pertumbuhan yang tinggi (22,51%) dan
malahan pada 2005-2006 mengalami pertumbuhan sebesar 78,77%. Pertumbuhan sub lapangan usaha
penggalian ini terutama terkait dengan adanya kegiatan pada rehabilitasi dan rekonstruksi
pasca tsunami di Aceh, yang membutuhkan material untuk pembangunan fisik.
Sedangkan analisis data 2009-2011 masih mengalami pertumbuhan yang negative, hal ini menandai
dengan mulai berangsur selesainya pembangunan finalisasi program-program pembangunan
infrastruktur dan sarana di Aceh.
Tabel 3. 13 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2009 - 2011 (Juta Rupiah)
No. Lapangan Usaha 2009 2010 2011
1 Pertanian 8433957.9 8857389.65 9348967.32
a. Tanaman Bahan Makanan 3353314.86 3618517.57 3869060.79
b. Tanaman Perkebunan 1696447.75 1748506.75 1828590.83
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 1447049 1499048.84 1579118.65
d. Kehutanan 518234.38 518110.47 546695.57
e. Perikanan 1418911.92 1473206.03 1525501.47
2 PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 2797970.49 2609892.25 2612904.74
a. Minyak dan Gas Bumi 2389320.15 2176996.88 2155037.41
b. Pertambangan Bukan Migas 0 0 0
c. Penggalian 408650.34 432895.38 457867.33
3 INDUSTRI PENGOLAHAN 3794880.67 3491324.15 3557636.65
a. Industri Migas 2254971.28 1851822.45 1822988.86
- Pengilangan Minyak Bumi 0 0 0
- Gas Alam Cair 2254971.28 1851822.45 1822988.86
b. Industri Bukan Migas 1539909.39 1639501.71 1734647.79
- Makanan, Minuman dan Tembakau 502491.81 546422 603079.27
- Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki 5746.56 6137.1 6523.11
- Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya 537.61 536.6 538.77
- Kertas dan Barang Cetakan 14176.94 15011.47 15991.61
- Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 946860.26 997051.37 1030555.56
- Semen dan Barang Galian bukan Logam 45977.79 48576.57 50929.21
- Logam Dasar Besi dan Baja 9992.81 10866.25 11444.38
- Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya 8475.7 9024.62 9405.77
- Barang lainnya 5649.92 5875.72 6180.1
4 LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 104092.03 121754.53 132193.09
a. Listrik 99615.81 116717.97 126854.29
b. Gas Kota 0 0 0
c. Air Bersih 4476.22 5036.56 5338.8
5 KONSTRUKSI 2229792.49 2343693.95 2489441.95
6 PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN 6213658.59 6609054.88 7059809.11
a. Perdagangan Besar dan Eceran 5991618.42 6373943.98 6806626.46
b. Hotel 19705.57 20578.06 22093.69
c. Restoran 202334.6 214532.84 231088.97
7 PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 2280601.82 2430513.05 2624174.17
a. Pengangkutan 1881181.69 2010426.28 2172995.05
- Angkutan Rel 0 0 0
- Angkutan Jalan Raya 1648670.07 1774120.58 1926772.72
- Angkutan Laut 105355.38 107825.7 112345.57
- Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan 2088.04 2229.66 2364.77
- Angkutan Udara 112336.14 112785.8 116930.97
- Jasa Penunjang Angkutan 12732.07 13464.54 14581.03
b. Komunikasi 399420.13 420086.77 451179.12
- Pos dan Telekomunikasi 393824.09 414125.64 444739.93
- Jasa Penunjang Komunikasi 5596.04 5961.13 6439.19
8 KEUANGAN, REAL ESTAT, & JASA PERUSH. 588136.87 620705.18 660994.03
a. Bank 343882.26 375442.64 405466.23
b. Lembaga Keuangan bukan Bank 36049.21 36658.2 38013.15
c. Jasa Penunjang Keuangan 0 0 0
d. Real Estat 195124.04 195120.57 203397.09
e. Jasa Perusahaan 13081.36 13483.77 14117.56
9 JASA-JASA 5775995.45 6033842.89 6293581.67
a. Pemerintahan Umum 5443093.43 5674215.03 5898233.08
- Administrasi Pemerintahan dan Pertahanan 3590697.66 3757339.46 3938012.29
- Jasa Pemerintah Lainnya 1852395.77 1916875.57 1960220.8
b. Swasta 332902.03 359627.86 395348.58
- Sosial Kemasyarakatan 187041.87 200361.21 222525.42
- Hiburan dan Rekreasi 46032.66 50287.39 54644.53
- Perorangan dan Rumah Tangga 99827.49 108979.26 118178.64
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 32219086.32 33118170.55 34779702.73
PDRB TANPA MIGAS 27574794.89 29089351.22 30801676.45
Sumber : BPS Pemerintah Aceh, 2012
Tabel 3. 14 Laju Pertumbuhan (%) PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2009 - 2011
(Juta Rupiah)
No. Lapangan Usaha 2009-2010 2010-2011 2009-2011
1 Pertanian 5.02 5.55 5.28
a. Tanaman Bahan Makanan 7.91 6.92 7.42
b. Tanaman Perkebunan 3.07 4.58 3.82
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 3.59 5.34 4.46
d. Kehutanan -0.02 5.52 2.71
e. Perikanan 3.83 3.55 3.69
2 PERTAMBANGAN & PENGGALIAN -6.72 0.12 -3.36
a. Minyak dan Gas Bumi -8.89 -1.01 -5.03
b. Pertambangan Bukan Migas
c. Penggalian 5.93 5.77 5.85
3 INDUSTRI PENGOLAHAN -8.00 1.90 -3.18
a. Industri Migas -17.88 -1.56 -10.09
- Pengilangan Minyak Bumi
- Gas Alam Cair -17.88 -1.56 -10.09
b. Industri Bukan Migas 6.47 5.80 6.13
- Makanan, Minuman dan Tembakau 8.74 10.37 9.55
- Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki 6.80 6.29 6.54
- Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya -0.19 0.40 0.11
- Kertas dan Barang Cetakan 5.89 6.53 6.21
- Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 5.30 3.36 4.33
- Semen dan Barang Galian bukan Logam 5.65 4.84 5.25
- Logam Dasar Besi dan Baja 8.74 5.32 7.02
- Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya 6.48 4.22 5.34
- Barang lainnya 4.00 5.18 4.59
4 LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 16.97 8.57 12.69
a. Listrik 17.17 8.68 12.85
b. Gas Kota
c. Air Bersih 12.52 6.00 9.21
5 KONSTRUKSI 5.11 6.22 5.66
6 PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN 6.36 6.82 6.59
a. Perdagangan Besar dan Eceran 6.38 6.79 6.58
b. Hotel 4.43 7.37 5.89
c. Restoran 6.03 7.72 6.87
7 PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 6.57 7.97 7.27
a. Pengangkutan 6.87 8.09 7.48
- Angkutan Rel
- Angkutan Jalan Raya 7.61 8.60 8.11
- Angkutan Laut 2.34 4.19 3.26
- Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan 6.78 6.06 6.42
- Angkutan Udara 0.40 3.68 2.02
- Jasa Penunjang Angkutan 5.75 8.29 7.01
b. Komunikasi 5.17 7.40 6.28
- Pos dan Telekomunikasi 5.15 7.39 6.27
- Jasa Penunjang Komunikasi 6.52 8.02 7.27
8 KEUANGAN, REAL ESTAT, & JASA PERUSH. 5.54 6.49 6.01
a. Bank 9.18 8.00 8.59
b. Lembaga Keuangan bukan Bank 1.69 3.70 2.69
c. Jasa Penunjang Keuangan
d. Real Estat 0.00 4.24 2.10
e. Jasa Perusahaan 3.08 4.70 3.89
9 JASA-JASA 4.46 4.30 4.38
a. Pemerintahan Umum 4.25 3.95 4.10
- Administrasi Pemerintahan dan Pertahanan 4.64 4.81 4.72
- Jasa Pemerintah Lainnya 3.48 2.26 2.87
b. Swasta 8.03 9.93 8.98
- Sosial Kemasyarakatan 7.12 11.06 9.07
- Hiburan dan Rekreasi 9.24 8.66 8.95
- Perorangan dan Rumah Tangga 9.17 8.44 8.80
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 2.79 5.02 3.90
PDRB TANPA MIGAS 5.49 5.89 5.69
Sumber : BPS Pemerintah Aceh, 2012 dan Hasil Olahan Konsultan
Kajian kebijakan yang dilakukan pada sub bahasan ini adalah kebijakan yang terkait langsung
dalam rencana induk pelabuhan Aceh. Terkait yang dimaksud adalah untuk dapat melihat hirarki,
fungsi pelabuhan Aceh dalam kontekstual regional, nasional dan internasional. Dalam konteks
regional kebijakan yang terkait terhadap pelabuhan-pelabuhan yang ada di Aceh dapat dilihat
pada arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRW), Tataran Transportasi Wilayah Aceh
(TATRAWIL). Sedangkan dalam kontekstual nasional dan internasional wilayah pemerintah Aceh
dapat melihat arahan pengembangan pelabuhan Aceh pada kebijakan pemerintah Republik Indonesia
seperti Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dan Sistem Logistik
Nasional (SISLOGNAS) serta Keputusan Menteri Perhubungan No 414 Tahun 2013 tentang Rencana
Induk Pelabuhan Nasional.
Kajian ini menjadi penting agar didalam pengelolaannya wilayah pemerintah Aceh dapat
mengembangkan pelabuhan-pelabuhan yang ada sesuai dengan hirarki dan fungsi yang ada untuk
mewujudkan visi dan misi Gubernur Aceh khususnya, serta dalam konteks yang luas adalah untuk
mewujudkan visi dan misi Presiden Republik Indonesia.
“ Mewujudkan Tata Ruang Wilayah Aceh Yang Islami Dan Maju, Produktif, Adil Dan Merata, Serta
Berkelanjutan ”.
Islami: dimaksudkan bahwa penataan ruang berdasarkan pada pandangan hidup masyarakat Aceh
yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat.
Maju: dimaksudkan bahwa penataan ruang akan ikut mewujudkan kesejahteraan rakyat yang terus
meningkat.
Produktif: dimaksudkan bahwa penataan ruang mewujudkan pemanfaatan segenap sumber daya yang
mencakup sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan, sehingga mempunyai
nilai atau manfaat ekonomi dan sosial.
Adil dan merata: dimaksudkan bahwa penataan ruang mewujudkan manfaat ekonomi dan sosial
secara adil dan merata kepada masyarakat.
Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Aceh meliputi pengembangan struktur ruang
wilayah Aceh dan pengembangan pola ruang wilayah Aceh.
1. Peningkatan fungsi-fungsi pelayanan pada pusat-pusat kegiatan dalam wilayah Aceh sesuai
dengan hierarki dan fungsi yang ditetapkan;
2. Peningkatan akses pelayanan pusat-pusat dalam wilayah Aceh yang merata dan berhierarki;
3. Peningkatan akses dari dan ke luar wilayah Aceh, baik dalam lingkup nasional maupun
lingkup internasional;
4. Peningkatan kualitas pelayanan dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi,
energi, telekomunikasi, sumber daya air yang merata di seluruh wilayah Aceh.
4. Strategi pengembangan struktur ruang berupa peningkatan kualitas pelayanan dan jangkauan
pelayanan jaringan prasarana transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air yang
merata di seluruh wilayah Aceh meliputi:
a. Meningkatkan jaringan prasarana transportasi dan keterpaduan pelayanan transportasi
darat, laut, penyeberangan, dan udara;
b. Meningkatkan jaringan energi listrik dengan pengembangan pembangkit tenaga listrik
dengan memanfaatkan sumber energi terbarukan dan tidak terbarukan secara optimal serta
mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik;
c. Mendorong pengembangan prasarana telekomunikasi yang dapat menjangkau seluruh
wilayah;
d. Meningkatkan kuantitas dan kualitas jaringan prasarana serta mewujudkan keterpaduan
sistem jaringan sumber daya air;
e. Mengembangkan jaringan prasarana dengan memperhatikan fungsi dan perannya mendukung
upaya mitigasi bencana.
Kebijakan pengembangan pola ruang wilayah Aceh akan meliputi kebijakan pengembangan kawasan
lindung dan kawasan budidaya.
1. Peningkatan kualitas kawasan lindung yang telah ditetapkan menurun fungsi perlindungannya
dan penjagaan kualitas kawasan lindung yang ada;
2. Pemeliharaan dan perwujudan kelestarian lingkungan hidup;
3. Pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan
hidup.
1. Strategi pengembangan kawasan lindung berupa peningkatan kualitas kawasan lindung yang
telah ditetapkan menurun menurut fungsi perlindungannya dan penjagaan kualitas kawasan
lindung yang ada meliputi:
a. Mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat
pengembangan kegiatan budidaya sebelumnya dalam rangka mewujudkan dan memelihara
keseimbangan ekosistem wilayah;
b. Meningkatkan kualitas kawasan hutan yang berfungsi sebagai kawasan lindung, yaitu
kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi;
c. Mengeluarkan secara bertahap bentuk-bentuk kegiatan yang berada di dalam kawasan
lindung yang tidak sesuai dengan fungsi perlindungan dan/atau dapat merusak fungsi
perlindungan kawasan lindung.
2. Strategi pengembangan kawasan lindung berupa pemeliharaan dan perwujudan kelestarian
lingkungan hidup meliputi:
a. Menetapkan kawasan lindung dan/atau fungsi perlindungan di ruang darat, ruang laut,
ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi;
b. Menetapkan proporsi luas kawasan lindung di daratan wilayah aceh paling sedikit 40 %
(empat puluh persen) dari luas darat wilayah, dan luas kawasan hutan dalam wilayah
aceh paling sedikit 60 % (enam puluh persen) dari luas darat wilayah.
3. Strategi pengembangan kawasan lindung berupa pencegahan dampak negatif kegiatan manusia
yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi:
a. Menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup;
b. Melindungi kemampuan daya dukung lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau
dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c. Melindungi kemampuan daya tampung lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi,
dan/atau komponen lainnya yang dibuang ke dalamnya;
d. Mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung
menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak
berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;
e. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan
generasi masa kini dan generasi masa depan;
f. Mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfatannya secara
bijaksana, dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan
ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya; dan
g. Membatasi pengembangan kegiatan budidaya di kawasan rawan bencana, yaitu hanya untuk
kegiatan yang mempunyai daya adaptasi bencana.
c. Membatasi alih fungsi secara ketat terhadap lahan pertanian tanaman pangan
berkelanjutan.
2. Strategi pengembangan kawasan budidaya berupa perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan
keterkaitan antar kegiatan budidaya meliputi:
a. Mengembangkan kegiatan budidaya unggulan lokal di dalam kawasan budidaya beserta
prasarana pendukungnya secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pengembangan
perekonomian kawasan dan wilayah sekitarnya;
b. Mengembangkan kegiatan budidaya untuk menunjang aspek politik, pertahanan dan
keamanan, sosial budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan penetapan acuan
pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan karakter daerah;
c. Mengembangkan dan melestarikan kawasan budidaya pertanian pangan untuk mendukung
perwujudan ketahanan pangan;
d. Mengembangkan pulau-pulau kecil dengan pendekatan gugus pulau dan/atau pulau
tersendiri untuk meningkatkan daya saing dan mewujudkan skala ekonomi, dengan tetap
memperhatikan pelestarian ekosistem dan sumber daya alam; dan
e. Mengembangkan kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan yang bernilai ekonomi tinggi
di wilayah laut kewenangan aceh.
3. Strategi pengembangan kawasan budidaya berupa pengendalian perkembangan kegiatan budidaya
agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan meliputi:
a. Membatasi perkembangan kegiatan budidaya terbangun pada kawasan rawan bencana untuk
meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana;
b. Menerapkan pengembangan berbasis mitigasi bencana pada kawasan budidaya terbangun dan
kawasan lain di sekitarnya yang terletak pada kawasan rawan bencana;
c. Mengembangkan kawasan perkotaan dengan bangunan bertingkat terutama untuk kegiatan-
kegiatan dengan fungsi komersial atau bernilai ekonomi tinggi guna penghematan ruang
dan memberikan ruang terbuka pada kawasan tersebut;
d. Mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen)
dari luas kawasan perkotaan;
e. Membatasi perkembangan kawasan terbangun di kawasan perkotaan untuk mempertahankan
tingkat pelayanan prasarana dan sarana kawasan perkotaan serta mempertahankan fungsi
kawasan perdesaan di sekitarnya; dan
f. Mengembangkan kegiatan budidaya yang dapat mempertahankan keberadaan pulau-pulau
kecil.
Rencana Struktur Ruang Wilayah Aceh meliputi rencana sistem perkotaan dan sistem jaringan
prasarana wilayah di dalam wilayah Aceh.
Sistem perkotaan secara nasional terdiri atas PKN (Pusat Kegiatan Nasional), PKW (Pusat
Kegiatan Wilayah), dan PKL (Pusat Kegiatan Lokal). Penetapan PKN dan PKW merupakan kewenangan
pemerintah, dan telah ditetapkan dalam RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional). Selain
ketiga pusat tersebut, dalam sistem perkotaan nasional dikembangkan dan ditetapkan pula PKSN
(Pusat Kegiatan Strategis Nasional). Sementara PKL ditetapkan dalam RTRW Provinsi, sesuai
dengan ketentuan pada Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) No.26/2008 tentang RTRWN.
· PKN atau Pusat Kegiatan Nasional adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani
kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi;
· PKW atau Pusat Kegiatan Wilayah adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani
kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota;
· PKL atau Pusat Kegiatan Lokal adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani
kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan;
· PKSN atau Pusat Kegiatan Strategis Nasional adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan
untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara.
Dalam PP No.26/2008 tentang RTRWN, yaitu pada Lampiran II, telah ditetapkan sistem perkotaan
nasional yang terletak di Aceh, yaitu masing-masing adalah:
· PKN : Lhokseumawe;
· PKW : Banda Aceh, Sabang, Meulaboh, Langsa, dan Takengon;
· PKSN : Sabang.
Dalam kajian atau analisis mengenai sistem pusat pelayanan di wilayah Aceh dihasilkan
kesimpulan yang akan menjadi acuan dalam perumusan rencana struktur ruang, yaitu: pusat
pelayanan di bawah hierarki PKL, dan prediksi atau harapan terhadap pusat pelayanan pada
tingkat PKN, PKW, dan PKL.
Pusat pelayanan di Aceh di bawah hierarki PKL (yang umumnya adalah ibukota kabupaten) terdiri
atas pusat pelayanan tingkat kecamatan dan selanjutnya pusat pelayanan tingkat mukim. Pusat
pelayanan tingkat kecamatan akan melayani masing-masing wilayah kecamatan yang dibawahinya,
dan bila dihubungkan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009 tentang
Pedoman Penyusunan RTRW Kabupaten, pusat pelayaanan tingkat kecamatan tersebut dapat disebut
sebagai PPK (Pusat Pelayanan Kawasan) yang berfungsi melayani kegiatan skala kecamatan.
Pentingnya penetapan pusat pelayanan tingkat mukim didasarkan pada latar belakang historis
dan memori keruangan masyarakat Aceh di satu pihak, dan adanya penetapan dalam UU No.11/2006
tentang Pemerintahan Aceh mengenai fungsi pemerintahah dan adat pada tingkat Mukim yang akan
membawahi Gampong (tingkat desa). Selaras dengan Pedoman Penyusunan RTRW Kabupaten di atas,
pusat pelayanan tingkat mukim ini dapat disebut sebagai PPL (Pusat Pelayanan Lingkungan)
yang berfungsi melayani kegiatan skala mukim atau antar gampong (antar desa). Penetapan PPK
dan PPL tersebut dalam rencana tata ruang wilayah adalah merupakan kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota yaitu dalam RTRW Kabupaten/Kota.
Sebagai perwujudan dari tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang di depan, maka terhadap
pusat yang telah ditetapkan dalam RTRWN (yaitu PKW) dan indikasi kuat PKL dalam kajian sistem
perkotaan atau pusat pelayanan wilayah Aceh, maka adalah usulan berupa rekomendasi promosi
atau peningkatan hierarki pusat-pusat tersebut berupa: PKNp (PKN Promosi), dan PKWp (PKW
Promosi).
PKNp adalah pusat kegiatan yang dipromosikan untuk di kemudian hari dapat ditetapkan menjadi
PKN sebagai peningkatan dari status PKW. Di wilayah Aceh, PKNp yang diusulkan adalah Banda
Aceh (PKNp Banda Aceh) yang merupakan peningkatan status dari PKW Banda Aceh yang telah
ditetapkan dalam RTRWN.
PKWp adalah pusat kegiatan yang dipromosikan untuk di kemudian hari dapat ditetapkan menjadi
PKW sebagai peningkatan dari PKL atau yang memenuhi syarat sebagai PKL. Di wilayah Aceh,
PKWp tersebut diharapkan dapat mendorong perkembangan wilayah yang dilayaninya, yaitu: PKWp
Subulussalam, dan PKWp Blangpidie.
Penetapan rencana sistem perkotaan/pusat pelayanan wilayah Aceh dikemukakan pada Tabel 2.1,
yang meliputi PKN (Pusat Kegiatan Nasional), PKNp (Pusat Kegiatan Nasional Promosi), PKSN
(Pusat Kegiatan Strategis Nasional), PKW (Pusat Kegiatan Wilayah), PKWp (Pusat Kegiatan
Wilayah Promosi), dan PKL (Pusat Kegiatan Lokal). Sebaran pusat-pusat kegiatan tersebut dalam
ruang wilayah Aceh ditunjukkan pada Gambar (Rencana Struktur Ruang Wilayah Aceh).
Selanjutnya terhadap masing-masing pusat kegiatan yang ditetapkan tersebut dapat diberikan
penjelasan sebagai berikut ini.
TABEL III.1.1
Tabel 3. 15. Sistem Perkotaan/Pusat Pelayanan di Aceh
PENETAPAN SISTEM PERKOTAAN / PUSAT PELAYANAN DI ACEH
Klasifikasi
FUNGSI/HIERARKI PUSAT Keterangan Ukuran
Perkotaan
1. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama kegiatan ekspor-
impor atau pintu gerbang menuju kawasan internasional;
2. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa
skala nasional atau yang melayani beberapa provinsi; dan/atau
3. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama transportasi skala
nasional atau melayani beberapa provinsi.
PKN yang ditetapkan di wilayah Aceh hanya satu yaitu PKN Lhokseumawe. Kawasan perkotaan yang
membentuk PKN Lhokseumawe ini akan terdiri atas Kota Lhokseumawe dan kawasan perkotaan di
sekitarnya yang terletak di Kabupaten Aceh Utara, yaitu Kecamatan Dewantara dan Kecamatan
Muara Batu. Dalam prediksi rencana, klasifikasi ukuran kawasan perkotaan Lhokseumawe yang
membentuk PKN Lhokseumawe adalah kawasan perkotaan sedang. Pengembangan PKN Lhoksemawe ini
akan didukung pula oleh penetapan Kawasan Strategis Nasional dari sudut kepentingan
pertumbuhan ekonomi berupa pengembangan/peningkatan Kawasan Industri Lhokseumawe.
Dengan konfigurasi struktur kawasan perkotaan yang berkarakter lintas kabupaten atau kota
disertai pembagian fungsi-fungsi primer (industri, pelabuhan, bandar udara, perguruan tinggi,
dan pusat perdagangan dan jasa) di antara Kota Lhokseumawe dan kecamatan-kecamatan di
Kabupaten Aceh Utara tersebut, namun masih termasuk klasifikasi kawasan perkotaan sedang,
maka Kawasan Perkotaan yang membentuk PKN Lhokseumawe ini merupakan “embrio metropolitan”.
PKNp adalah pusat kegiatan yang dipromosikan untuk di kemudian hari dapat ditetapkan sebagai
PKN sebagaimana kriteria dalam Pasal 14 ayat (1) PP No.26/2008 di atas.
PKNp yang ditetapkan di wilayah Aceh adalah PKNp Banda Aceh, yang dalam RTRWN ditetapkan
sebagai PKW Banda Aceh. Promosi terhadap PKW Banda Aceh ini terutama didasari pada
pertimbangan memanfaatkan peluang perkembangan ekonomi secara nasional dan internasional, di
mana Banda Aceh merupakan lokasi atau posisi yang strategis untuk menjadi pusat kegiatan
ataupun pintu gerbang di bagian barat wilayah nasional. Selain itu, beberapa prasarana dan
sarana serta kegiatan mengindikasikan bahwa Banda Aceh merupakan pusat kegiatan yang
potensial untuk menjadi pusat utama di wilayah Aceh, yaitu: ibukota Aceh, Bandara
Internasional Sultan Iskandar Muda, Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry, dan juga
adalah pusat budaya Aceh yang diwarnai dengan syariat Islam.
Kawasan perkotaan yang membentuk PKNp Banda Aceh mencakup Kota Banda Aceh dan kawasan
perkotaan sekitarnya yang terletak di Kabupaten Aceh Besar, yaitu kecamatan-kecamatan: Lhok
Nga, Peukan Bada, Darul Imarah, Darul Kamal, Ingin Jaya, Krueng Barona Jaya, Blang Bintang,
Kuta Baro, Darussalam, Baitussalam, Mesjid Raya. Klasifikasi ukuran kawasan perkotaan yang
membentuk PKNp Banda Aceh ini dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan besar.
Dengan konfigurasi struktur kawasan perkotaan yang berkarakter lintas kabupaten/kota disertai
pembagian fungsi-fungsi primer (industri, pelabuhan, bandar udara, perguruan tinggi, dan
pusat perdagangan dan jasa) di antara Kota Banda Aceh dan kecamatan-kecamatan di Kabupaten
Aceh Besar tersebut, serta dengan klasifikasi kawasan perkotaan besar, maka Kawasan Perkotaan
yang membentuk PKNp Banda Aceh ini merupakan “embrio metropolitan”. Dengan karakter
perkembangan jumlah penduduk dan perkembangan kegiatan ekonomi di PKNp Banda Aceh ini, maka
embrio metropolitan ini diantisipasi akan lebih cepat lagi menjadi Kawasan Metropolitan.
1. pusat perkotaan yang berpotensi sebagai pos pemeriksaan lintas batas dengan negara
tetangga;
2. pusat perkotaan yang berfungsi sebagai pintu gerbang internasional yang menghubungkan
dengan negara tetangga;
3. pusat perkotaan yang merupakan simpul utama transportasi yang menghubungkan wilayah
sekitarnya; dan/atau
4. pusat perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong
perkembangan kawasan di sekitarnya.
PKSN yang ditetapkan adalah PKSN Sabang, yaitu Kota Sabang. Klasifikasi ukuran kawasan
perkotaan Sabang yang membentuk PKSN Sabang dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan
sedang.
Catatan penting tentang pengembangan PKSN Sabang yang diprediksi menjadi kawasan perkotaan
sedang adalah pengembangan dengan berbagai kebijakan rencana yang akan saling memperkuat
untuk itu, yaitu:
· penetapan Kawasan Strategis Nasional dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi berupa
pengembangan/peningkatan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
1. Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kedua kegiatan ekspor-
impor yang mendukung PKN;
2. Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan
jasa yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten; dan/atau
3. Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama transportasi
yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten.
1. PKW Sabang. PKW Sabang ini juga berfungsi sebagai PKSN Sabang seperti dikemukakan di
atas. Kawasan perkotaan yang membentuk PKW Sabang (dan sekaligus PKSN Sabang) terletak
di Kota Sabang. Klasifikasi ukuran kawasan perkotaan PKW Sabang dalam prediksi rencana
adalah kawasan perkotaan sedang. Dengan berbagai kebijakan pengembangan/peningkatan yang
diimplementasikan pada PKW Sabang ini (PKSN, Kawasan Strategis Nasional berupa Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang), sangat potensial menjadikannya sebagai
kawasan perkotaan sedang.
2. PKW Langsa. Kawasan perkotaan yang membentuk PKW Langsa adalah Kota Langsa. Klasifikasi
ukuran kawasan perkotaan PKW Langsa dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan
sedang.
3. PKW Takengon. Kawasan perkotaan yang membentuk PKW Takengon adalah kawasan perkotaan
ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Klasifikasi kawasan perkotaan PKW Takengon dalam prediksi
rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
4. PKW Meulaboh. Kawasan perkotaan yang membentuk PKW Meulaboh adalah kawasan perkotaan
ibukota Kabupaten Aceh Barat. Kawasan perkotaan ini direkonstruksi sehubungan dengan
bencana gempa dan tsunami tahun 2004. Klasifikasi kawasan perkotaan PKW Meulaboh dalam
prediksi rencana adalah kawasan perkotaan sedang.
PKWp adalah pusat kegiatan yang dipromosikan untuk di kemudian hari dapat ditetapkan sebagai
PKW sebagaimana kriteria dalam Pasal 14 ayat (2) PP No.26/2008 di atas.
PKWp yang ditetapkan di wilayah Aceh dalam RTRW Aceh diharapkan dapat mendorong perkembangan
wilayah pelayanannya. Penetapan PKWp tersebut yaitu:
1. PKWp Subulussalam. Kawasan perkotaan yang membentuk PKWp Subulussalam adalah kawasan
perkotaan dalam wilayah Kota Subulussalam, yang merupakan kawasan perkotaan yang baru
dikembangkan sehubungan dengan pembentukan Kota Subulussalam. Penetapan PKWp Subulussalam
didasari pada pertimbangan upaya untuk mempercepat pertumbuhan di pesisir barat Aceh yang
relatif tertinggal, dan sekaligus sebagai pintu gerbang yang strategis dalam hubungan
terutama kegiatan ekonomi dengan wilayah tetangga yaitu Provinsi Sumatera Utara. Sehingga
penetapan PKWp Subulussalam ini diharapkan menjadi salah satu pendorong upaya mengejar
ketertinggalan dengan memanfaatkan peluang posisi strategis dalam konstelasi wilayah yang
lebih luas. Klasifikasi kawasan perkotaan PKWp Subulussalam dalam prediksi rencana adalah
kawasan perkotaan kecil.
2. PKWp Blangpidie. Kawasan perkotaan yang membentuk PKWp Blangpidie adalah kawasan perkotaan
yang merupakan ibukota Kabupaten Aceh Barat Daya. Penetapan PKWp Blangpidie didasari pada
pertimbangan upaya untuk mempercepat pertumbuhan di pesisir barat Aceh yang relatif
tertinggal. Klasifikasi kawasan perkotaan PKWp Blangpidie dalam prediksi rencana adalah
kawasan perkotaan kecil.
1. Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa
yang melayani skala kabupaten atau beberapa kecamatan; dan/atau
2. Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani
skala kabupaten atau beberapa kecamatan.
A. PKL Jantho. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Jantho adalah kawasan perkotaan ibukota
Kabupaten Aceh Besar. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Jantho dalam prediksi rencana
adalah kawasan perkotaan kecil.
B. PKL Sigli. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Sigli adalah kawasan perkotaan ibukota
Kabupaten Pidie. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Sigli dalam prediksi rencana adalah
kawasan perkotaan sedang. PKL Sigli diharapkan dapat meningkatkan kinerja pelayanannya
di pesisir timur Aceh, yang merupakan wilayah yang pesat perkembangannya.
C. PKL Meureudu. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Meureudu adalah kawasan perkotaan
ibukota Kabupaten Pidie Jaya, yang merupakan kawasan perkotaan yang baru dikembangkan
sehubungan dengan terbentuknya Kabupaten Pidie Jaya. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL
Meureudu dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
D. PKL Bireuen. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Bireuen adalah kawasan perkotaan ibukota
Kabupaten Bireuen. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Bireuen dalam prediksi rencana adalah
kawasan perkotaan sedang. PKL Bireuen diharapkan dapat meningkatkan kinerja pelayanannya
di pesisir timur Aceh, yang merupakan wilayah yang pesat perkembangannya.
E. PKL Lhok Sukon. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Lhok Sukon adalah kawasan perkotaan
ibukota Kabupaten Aceh Utara, yang merupakan kawasan perkotaan yang baru dikembangkan
sehubungan dengan penetapannya sebagai ibukota Kabupaten Aceh Utara (yang harus pindah
dari Kota Lhokseumawe yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara). Klasifikasi
kawasan perkotaan PKL Lhok Sukon dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
F. PKL Idi Rayeuk. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Idi Rayeuk adalah kawasan perkotaan
ibukota Kabupaten Aceh Timur, yang merupakan kawasan perkotaan yang baru dikembangkan
sehubungan dengan penetapannya sebagai ibukota Kabupaten Aceh Timur (yang harus pindah
dari Kota Langsa yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur). Klasifikasi kawasan
perkotaan PKL Idi Rayeuk dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
G. PKL Kuala Simpang-Karang Baru. Kawasan perkotaan Kuala Simpang merupakan pusat kegiatan
yang paling menonjol di Kabupaten Aceh Tamiang. Sementara ibukota kabupaten terletak di
Karang Baru yang bertetangga dengan Kuala Simpang. Untuk itu akan diprediksi terjadinya
kawasan perkotaan yang menerus (contiguous) antara keduanya, sehingga membentuk kawasan
perkotaan Kuala Simpang-Karang Baru. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Kuala Simpang-
Karang Baru dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan sedang.
H. PKL Simpang Tiga Redelong. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Simpang Tiga Redelong
adalah kawasan perkotaan ibukota Kabupaten Bener Meriah, yang relatif merupakan kawasan
perkotaan baru dikembangkan sehubungan dengan pembentukan Kabupaten Bener Meriah.
Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Simpang Tiga Redelong dalam prediksi rencana adalah
kawasan perkotaan kecil.
I. PKL Blangkejeren. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Blangkejeren adalah kawasan
perkotaan ibukota Kabupaten Gayo Lues, yang relatif merupakan kawasan perkotaan baru
dikembangkan sehubungan dengan pembentukan Kabupaten Gayo Lues. Klasifikasi kawasan
perkotaan PKL Blangkejeren dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
J. PKL Kutacane. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Kutacane adalah kawasan perkotaan
ibukota Kabupaten Aceh Tenggara. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Kutacane dalam prediksi
rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
K. PKL Calang. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Calang adalah kawasan perkotaan ibukota
Kabupaten Aceh Jaya, yang merupakan kawasan perkotaan baru dikembangkan sehubungan dengan
pembentukan Kabupaten Aceh Jaya, dan sekaligus direkonstruksi akibat bencana gempa dan
tsunami tahun 2004. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Calang dalam prediksi rencana adalah
kawasan perkotan kecil.
L. PKL Jeuram-Suka Makmue. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Jeuram-Suka Makmue adalah
kawasan perkotaan ibukota Kabupaten Nagan Raya, yang merupakan kawasan perkotaan yang
relatif baru dikembangkan sehubungan dengan pembentukan Kabupaten Nagan Raya. Klasifikasi
kawasan perkotaan PKL Jeuram-Suka Makmue dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan
kecil.
M. PKL Tapaktuan. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Tapaktuan adalah kawasan perkotaan
ibukota Kabupaten Aceh Selatan. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Tapaktuan dalam prediksi
rencana adalah kawasan perkotaan kecil, yang dalam transisi mengarah menjadi kawasan
perkotaan sedang. PKL Tapaktuan diharapkan ikut mendorong perkembangan wilayah pesisir
barat Aceh yang relatif tertinggal
N. PKL Singkil. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Singkil adalah kawasan perkotaan ibukota
Kabupaten Aeh Singkil. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Singkil dalam prediksi rencana
adalah kawasan perkotaan kecil.
O. PKL Sinabang. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Sinabang adalah kawasan perkotaan
ibukota Kabupaten Simeulue. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Sinabang dalam prediksi
rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) dengan skala pelayanan kecamatan dan Pusat Pelayanan Lingkungan
dengan skala pelayanan mukim atau antar gampong (desa), tidak ditetapkan dalam RTRW Aceh,
dan akan ditetapkan dalam RTRW Kabupaten/Kota.
Kriteria PPK adalah pusat pelayanan yang berfungsi dalam pelayanan pemerintahan, perdagangan
dan jasa, industri pengolahan, serta transportasi, dengan skala pelayanan kecamatan.
Kriteria PPL adalah pusat pelayanan yang berfungsi dalam pelayanan pemerintahan, perdagangan
dan jasa, industri pengolahan, serta transportasi, dengan skala pelayanan tingkat mukim atau
beberapa gampong/desa.
Selanjutnya fungsi pelayanan berupa sarana dan prasarana yang ditetapkan untuk masing-masing
pusat menurut fungsi dan hierarkinya ditunjukkan pada Tabel III.1.2.
Dihubungkan dengan pola pelayanan dan jangkauan pusat-pusat kegiatan yang ditetapkan di atas
dapat ditetapkan wilayah pengembangan yang merupakan kesatuan bagian wilayah Aceh untuk
operasionalisasi atau mendukung implementasi rencana tata ruang menurut kewenangan tingkat
provinsi yaitu yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Penetapan WP (Wilayah Pengembangan) di Aceh tersebut secara garis besar dikelompokkan menurut
posisi geografisnya di Aceh, yaitu: Banda Aceh dan sekitar, Pesisir Timur, Pegunungan Tengah,
dan Pesisir Barat; dengan penetapan masing-masing WP (Wilayah Pengembangan) seperti
ditunjukkkan pada Tabel III.1.3 dan Gambar 3.1.2.
Penetapan WP (Wilayah Pengembangan) ini juga akan berkaitan dengan penetapan kawasan andalan
menurut masing-masing WP, yang disebut sebagai Kawasan Andalan Aceh (KAA-WP), yaitu untuk
penetapan kegiatan unggulan sehubungan dengan rencana pola ruang kawasan budidaya.
Jaringan prasarana jalan raya merupakan jaringan prasarana yang paling penting dan sangat
terkait dengan penetapan sistem perkotaan: PKN, PKW, dan PKL. Rencana sistem jaringan jalan
dalam struktur ruang wilayah Aceh adalah sistem primer (wilayah/antar-wilayah) seperti
dijelaskan pada tabel 18, yang terdiri atas Jalan Arteri Primer (JAP), Jalan Kolektor Primer
(JKP), dan Jalan Lokal Primer (JLP). Khusus untuk Jalan Lokal Primer yang ditetapkan dalam
RTRW Aceh ini adalah yang memiliki nilai strategis pada tingkat provinsi. Dalam RTRW
Kabupaten/Kota terbuka kemungkinan menetapkan Jalan Lokal Primer lainnya, sesuai dengan
kebijakan daerah yang bersangkutan.
· Penetapan dalam RTRWN, penetapan dalam Keputusan Menteri PU tentang Jalan Nasional, dan
Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Jalan Provinsi; dan
· Kajian terhadap sistem jaringan jalan dan penyimpulan mengenai jaringan jalan yang
strategis untuk ditetapkan dalam RTRW Aceh ini.
Selanjutnya penjelasan atau uraian terhadap sistem jaringan jalan yang ditetapkan di depan
dapat dikemukakan sebagai berikut ini.
1. Jalan Bebas Hambatan (Highway), yang merupakan Jalan Arteri Primer khusus, yang dewasa
ini masih dalam tahap perencanaan teknis (perancangan). Jalan bebas hambatan ini selaras
dengan penetapan dalam Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional pada RTRWN, yaitu
menghubungkan Banda Aceh sampai Medan di Provinsi Sumatera Utara. Jalan bebas hambatan
tersebut merupakan ”komplementer” terhadap Jalan Lintas Timur yang ada sekarang.
Sehubungan dengan karakternya sebagai Jalan Bebas Hambatan, maka dikembangkan
”interchange” untuk menghubungkannya dengan pusat-pusat penting lainnya di Aceh. Dengan
demikian jaringan jalan bebas hambatan ini akan menghubungkan: PKNp Banda Aceh – PKN
Lhokseumawe – PKW Langsa – dan PKN Medan.
2. Jalan Lintas Timur, yaitu bagian dari Jalan Lintas Timur Pulau Sumatera, yang
menghubungkan Banda Aceh – Medan – dan seterusnya sampai ke Provinsi Lampung di ujung
selatan Pulau Sumatera. Jalan Lintas Timur ini merupakan sumbu wilayah yang paling tinggi
intensitas/volume lalu-lintas pergerakannya, yang menghubungkan PKNp Banda Aceh –
Seulimum – PKL Sigli – PKL Meureudu – PKL Bireuen – PKN Lhokseumawe – PKL Lhok Sukon –
PKL Idi Rayeuk – PKW Langsa – PKL Kuala Simpang/Karang Baru – dan terus ke Provinsi
Sumatera Utara.
3. Jalan Lintas Barat, yaitu bagian dari Jalan Lintas Barat Pulau Sumatera, yang
menghubungkan Banda Aceh – Sibolga – dan seterusnya sampai ke Provinsi Lampung. Pusat-
pusat di Aceh yang dilalui Jalan Lintas Barat ini adalah PKNp Banda Aceh – Lamno – PKL
Calang – PKW Meulaboh – PKL Blangpidie – PKL Tapaktuan – PKWp Subulussalam – dan terus
ke Sibolga di Provinsi Sumatera Utara. Sehubungan dengan bencana gempa dan tsunami akhir
2004 lalu, sebagian ruas Jalan Lintas Barat ini masih direkonstruksi.
4. Jalan Lintas Tengah, yaitu bagian dari Jalan Lintas Tengah Pulau Sumatera. Di wilayah
Aceh, Jalan Lintas Tengah ini menghubungkan Seulimum (di Jalan Lintas Timur) – PKL Jantho
– Keumala – Tangse – Geumpang – Pameu – PKW Takengon – PKL Blangkejeren – PKL Kutacane –
dan terus ke Provinsi Sumatera Utara. Jalan Arteri Primer Lintas Tengah, dewasa ini belum
efektif memberikan pelayanan bagi pergerakan, sebagian ruas masih perlu dikembangkan dan
ditingkatkan. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan Jalan Lintas
Tengah ini adalah keberadaannya dalam kawasan yang sarat dengan fungsi lindung dan
konservasi, terutama pada Kawasan Ekosistem Leuser dan Kawasan Ekosistem Ulu Masen.
Sehubungan dengan itu perlu dibentuk tim verifikasi dan evaluasi dalam pembangunan jalan
ini, yang akan menilai kelayakan pembangunan dengan ikut mempertimbangkan kawasan lindung
dan konservasi tersebut.
5. Jalan Arteri Primer Lainnya, yaitu ruas-rusa jalan:
a. Banda Aceh – Krueng Raya, yang berfungsi menghubungkan Banda Aceh dengan Pelabuhan
Malahayati di Krueng Raya, yang akan mendukung PKNp Banda Aceh.
b. Banda Aceh – Ulee Lheue, yang berfungsi menghubungkan pusat Banda Aceh dengan
Pelabuhan Penyeberangan di Ulee Lheue, yang akan mendukung PKNp Banda Aceh.
c. Lambaro – Blang Bintang, yang berfungsi menghubungkan Banda Aceh dengan Bandar Udara
Sultan Iskandar Muda di Blang Bintang, yang akan mendukung PKNp Banda Aceh.
d. Ulee Kareng – Blang Bintang, yang merupakan jalan alternatif yang berfungsi
menghubungkan Banda Aceh dengan Bandar Udara Sultan Iskandar Muda di Blang Bintang,
yang akan mendukung PKNp Banda Aceh.
e. Simpang Krueng Geukueh – Pelabuhan Krueng Geukueh, yang berfungsi menghubungkan
Lhokseumawe ke Pelabuhan Laut Krueng Geukueh, yang akan mendukung PKN Lhokseumawe.
f. Langsa – Kuala Langsa, yang berfungsi menghubungkan Langsa dengan Pelabuhan Laut Kuala
Langsa, yang akan mendukung PKW Langsa.
Semua Jalan Arteri Primer yang dijelaskan di atas mempunyai status sebagai jalan nasional,
kecuali ruas Ulee Kareng – Balang Bintang yang merupakan jalan provinsi.
Jalan Kolektor Primer di wilayah Aceh tediri atas ruans-ruas jalan sebagai berikut:
1. Bireuen – Takengon, yang berfungsi menghubungkan PKW Takengon pada JAP Lintas Tengah –
PKL Bireuen dan terus ke PKN Lhokseumawe pada JAP Lintas Timur.
2. Simpang Peut – Jeuram – Genting Gerbang, yang berfungsi menghubungkan PKW Meulaboh pada
JAP Lintas Barat – PKL Suka Makmue – PKW Takengon pada JAP Lintas Tengah.
3. Singkil – Lipat Kajang, yang berfungsi menghubungkan PKL Singkil - PKWp Subulussalam pada
JAP Lintas Barat.
4. Peureulak – Lokop – Blangkejeren, yang berfungsi menghubungkan dari PKW Langsa dan
Peureulak pada JAP Lintas Timur – PKL Blangkejeren pada JAP Lintas Tengah. Pengembangan
ruas jalan ini perlu mempertimbangkan fungsi lindung kawasan yang dilaluinya, oleh karena
itu perlu dibentuk tim verifikasi dan evaluasi dalam pembangunan jalan ini, yang akan
menilai kelayakan pembangunan dengan ikut mempertimbangkan kawasan lindung tersebut.
5. Beureunuen – Keumala, yang berfungsi menghubungkan PKL Sigli dan Beureunuen pada JAP
Lintas Timur – Keumala pada JAP Lintas Tengah, yang selanjutnya didukung ruas Meulaboh-
Tutut-Geumpang akan menghubungkan pula ke PKW Meulaboh.
6. Meulaboh – Tutut – Geumpang, yang berfungsi menghubungkan PKW Meulaboh pada JAP Lintas
Barat – Geumpang pada JAP Lintas Tengah, yang selanjutnya didukung ruas Beureunun –
Keumala akan menghubungkan pula ke PKL Sigli.
7. Jantho – Lamno, yang berfungsi menghubungkan PKL Jantho pada JAP Lintas Tengah – Lamno
pada JAP Lintas Barat yang selanjutnya akan menghubungkan ke PKW Meulaboh dan PKL Calang.
Pengembangan ruas jalan ini perlu mempertimbangkan fungsi lindung kawasan yang dilaluinya,
oleh karena itu perlu dibentuk tim verifikasi dan evaluasi dalam pembangunan jalan ini,
yang akan menilai kelayakan pembangunan dengan ikut mempertimbangkan kawasan lindung dan
konservasi tersebut.
8. Takengon – Bintang – Kebayakan, yang berfungsi sebagai pendukung JAP Lintas Tengah dan
sekaligus merupakan jalan lingkar keliling Danau Laut Tawar.
9. Krueng Geukueh – Simpang Kebayakan, yang berfungsi menghubungkan PKN Lhokseumawe dan
Krueng Geukueh pada JAP Lintas Timur – PKL Simpang Tiga Redelong dan selanjutnya ke PKW
Takengon. Jalan ini dikenal juga dahulu sebagai jalan angkut kayu untuk PT.KKA (Kertas
Kraft Aceh).
10. Gelombang – Sp.Lawe Deski, yang berfungsi menghubungkan PKWp Subulussalam pada JAP Lintas
Barat – PKL Kutacane pada JAP Lintas Tengah. Pengembangan ruas jalan ini perlu
mempertimbangkan fungsi lindung kawasan yang dilaluinya, oleh karena itu perlu dibentuk
tim verifikasi dan evaluasi dalam pembangunan jalan ini, yang akan menilai kelayakan
pembangunan dengan ikut mempertimbangkan kawasan lindung dan konservasi tersebut.
11. Keliling Pulau Weh Sabang, yang berfungsi menghubungkan pusat Kota Sabang dengan Pelabuhan
Sabang, Bandar Udara Maimun Saleh, Pelabuhan Peyeberangan Balohan, dan objek-objek lainnya
di Pulau Weh.
12. Sinabang – Lasikin, yang berfungsi menghubungkan PKL Sinabang dengan Bandara Lasikin.
Semua Jalan Kolektor Primer tersebut di atas berstatus sebagai Jalan Provinsi.
Jalan Lokal Primer di wilayah Aceh yang ditetapkan dalam RTRW Aceh tediri atas ruas-ruas
jalan sebagai berikut:
1. Blang Bintang – Krueng Raya, yang berfungsi menghubungkan Bandar Udara Sultan Iskandar
Muda dan Pelabuhan Laut Malahayati.
2. Krueng Raya – Laweung – Tibang, yang berfungsi menghubungkan Krueng Raya dengan JAP Lintas
Timur melalui pesisir utara Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie.
3. Ulee Lheue – Simpang Rima, yang berfungsi menghubungkan Pelabuhan Penyeberangan dengan
Simpang Rima di JAP Lintas Barat.
4. Banda Aceh (Sp.Tiga) – Mata Ie, yang berfungsi menghubungkan Kota Banda Aceh dengan Mata
Ie di Kabupaten Aceh Besar.
5. Jantho – Alue Glong, yang berfungsi sebagai jalan alternatif dari Jantho ke JAP Lintas
Timur.
6. Sp. Teritit – Samarkilang – Peunaron, yang berfungsi sebagai akses alternatif dan
mendorong perkembangan kawasan yang dilaluinya, yang menghubungkan antara PKL Simpang
Tiga Redelong ke arah PKW Langsa dan PKL Blangkejeren (JKP Peureulak – Lokop –
Blangkejeren).
7. Geudong – Makam Malikussaleh – Mancang, yang berfungsi sebagai akses ke kawasan cagar
budaya peninggalan Kerajaan Samudera Pasai dari JAP Lintas Timur.
8. Lhok Sukon – Cot Girek, yang berfungsi sebagai akses dari JAP Lintas Timur dan mendukung
pengembangan kegiatan di Cot Girek dan sekitarnya.
9. Bintang – Simpang Kraft, sebagai akses alternatif dari jalan lingkar keliling Danau Laut
Tawar ke JAP Lintas Tengah.
10. Isaq – Jagongjeget – Glelungi, sebagai akses mendukung perkembangan kegiatan di
Jagongjeget, Bukit Lintang dan sekitarnya.
11. Blangkejeren – Babah Rot, yang berfungsi menghubungkan PKL Blangkejeren pada JAP Lintas
Tengah – PKL Blangpidie pada JAP Lintas Barat.
12. Kuala Tuha – Lamie, yang berfungsi menghubungkan Kuala Tuha – Lami yang keduanya pada
JAP Lintas Barat, yang mendorong perkembangan kegiatan di pesisir Kabupaten Nagan Raya.
13. G.Kapur – Trumon – Pulo Paya, yang menghubungkan G.Kapur dan Pulo Paya di JAP Lintas
Barat dengan Trumon, yang mendorong perkembangan kegiatan di Trumon dan sekitarnya.
14. Subulussalam – Rundeng – Kr. Luas, yang menghubungkan PKWp Subulussalam dan Kr. Luas pada
JAP Lintas Barat dengan Rundeng, yang mendorong perkembangan kegiatan di Rundeng dan
sekitarnya.
15. Sinabang – Sibigo, yang menghubugkan PKL Sinabang dengan Sibigo dan pusat-pusat lainnya
di Pulau Simeulue bagian utara/timur.
16. Lasikin – Inor – Nasreuhe, yang menghubungkan pusat-pusat di bagian selatan/barat Pulau
Simeulue, mulai dari Lasikin/Bandara hingga Nasreuhe.
17. Sibigo – Nasreuhe, yang menghubungkan Sibigo dan Nasreuhe, sehingga melengkapi
terbentuknya jalan lingkar Pulau Simeulue.
Semua Jalan Lokal Primer di atas adalah berstatus sebagai Jalan Provinsi. Selain Jalan Lokal
Primer di atas, dalam RTRW Kabupaten/Kota masih mungkin ditetapkan Jalan Lokal Primer sesuai
dengan kebutuhan dan kebijakan Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Rencana pengembangan jaringan jalur kereta api di wilayah Aceh mengacu kepada RTRWN, yang
menetapkan untuk wilayah Aceh ada 2 jaringan yang masing-masing terletak di pesisir timur
dan pesisir barat, yaitu:
1. Revitalisasi jaringan jalur kereta api di pesisir timur, yang menghubungkan Banda Aceh
ke Besitang di Provinsi Sumatera Utara, yaitu dengan menghidupkan kembali jaringan jalur
kereta api yang pernah ada pada pesisir timur tersebut.
2. Pengembangan jaringan jalur kereta api baru di pesisir barat, yang menghubungkan Banda
Aceh ke Sibolga di Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan PP No.61 Tahun 2009 tentang
Kepelabuhanan, prasarana angkutan di perairan yaitu pelabuhan, yang akan melayani jenis
angkutan yang terdiri atas: (1) angkutan laut, (2) angkutan penyeberangan, dan (3) angkutan
sungai dan danau.
Rencana pengembangan pelabuhan dikemukakan menurut tabel 19. Dalam rencana pengembangan
tersebut ditetapkan:
· Hierarki pelabuhan, yang terdiri atas: pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan pelabuhan
pengumpan;
· Pelayanan menurut: angkutan laut dan/atau angkutan penyeberangan;
· Jangkauan pelayanan menurut: luar negeri (internasional), dalam negeri antarprovinsi,
dalam negeri dalam provinsi, pelayaran rakyat, dan khusus;
· Khusus untuk angkutan penyeberangan dikemukakan lintasan/rute penyeberangan yang dilayani
oleh pelabuhan tersebut.
Untuk masing-masing pelabuhan yang ditetapkan tersebut diberikan penjelasan sebagai berikut
ini.
1. Pelabuhan Sabang ditetapkan dalam rencana dengan fungsi sebagai pelabuhan utama, yang
melayani angkutan laut luar negeri (internasional), sehingga dikenal juga sebagai
Pelabuhan Internasional. Pengembangan pelabuhan utama Sabang ini sangat terkait dengan
rencana pengembangan pelabuhan bebas Sabang dan kawasan perdagangan bebas Sabang. Dalam
RTRWN dan RTRWA Sabang ditetapkan dengan hierarki sebagai PKSN/PKW Sabang, dengan demikian
maka Pelabuhan Sabang ini merupakan prasarana pendukung terkait dengan fungsi PKSN/PKW
Sabang. Bila dihubungkan dengan kondisi dan kapasitas pelabuhan Sabang yang ada dewasa
ini, maka rencana untuk Pelabuhan Sabang sebagai Pelabuhan Utama dengan pelayanan luar
negeri (internasional) merupakan pengembangan yang sangat signifikan yang disertai dengan
”investasi” yang besar sebagai peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini..
2. Pelabuhan Balohan di Kota Sabang ditetapkan dalam rencana dengan fungsi sebagai pelabuhan
utama, yang melayani angkutan penyeberangan luar negeri (internasional) dan dalam negeri
dalam provinsi. Angkutan penyeberangan internasional direncanakan untuk rute atau
lintasan penyeberangan Balohan – Phuket (Thailand), baik untuk pelayanan umum maupun
mendukung kegiatan pariwisata. Angkutan penyeberangan dalam negeri dalam provinsi adalah
pada rute atau lintasan Balohan – Ulee Lheue (Banda Aceh) yang merupakan lintasan
strategis nasional dan dikenal dengan lintasan Sabuk Utara Nasional. Lintasan ini akan
menghubungkan PKW/PKSN Sabang dengan PKNp Banda Aceh secara langsung.
Sehubungan dengan cakupan kawasan pada pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu
Sabang serta Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Sabang, yang juga akan mencakup
pulau-pulau di Kecamatan Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar, maka angkutan penyeberangan
dikembangkan pula pada lintasan Balohan – Lampuyang (P.Breuh) – Lamteng (P.Nasi) (keduanya
terletak di Kecamatan Pulo Aceh) – dan ke Ulee Leue.
Rencana pengembangan untuk pelabuhan Balohan ini adalah pemantapan dan peningkatan dari
kegiatan pelabuhan yang ada dewasa ini.
3. Pelabuhan Ulee Lheue di Kota Banda Aceh ditetapkan dalam rencana dengan fungsi sebagai
pelabuhan utama, yang melayani angkutan penyeberangan luar negeri (internasional) dan
dalam negeri dalam provinsi. Angkutan penyeberangan internasional direncanakan untuk rute
atau lintasan penyeberangan Ulee Lheue – Penang/Langkawi (Malaysia), baik untuk pelayanan
umum maupun mendukung kegiatan pariwisata. Angkutan penyeberangan dalam negeri dalam
provinsi adalah pada rute atau lintasan Ulee Lheue - Balohan (Sabang) yang merupakan
lintasan strategis nasional dan dikenal dengan lintasan Sabuk Utara Nasional. Lintasan
ini akan menghubungkan PKNp Banda Aceh dengan PKW/PKSN Sabang secara langsung.
Selaras dengan pengembangan lintas penyeberangan untuk Balohan di atas, maka di Ulee
Lheue juga dengan pelayanan angkutan penyeberangan dalam negeri dalam provinsi untuk rute
atau lintasan Ulee Lheue – Lampuyang – Lamteng – terus ke Balohan.
Rencana pengembangan untuk pelabuhan Ulee Lheue ini adalah pemantapan dan peningkatan
dari kegiatan pelabuhan yang ada dewasa ini.
4. Pelabuhan Krueng Geukueh di Kabupaten Aceh Utara. Pelabuhan Krueng Geukueh ini dikenal
juga dengan Pelabuhan Lhokseumawe, yang mendukung PKN Lhokseumawe. Pelabuhan Krueng
Geukueh ditetapkan dengan fungsi sebagai pelabuhan utama, yang melayani angkutan laut
luar negeri (internasional) dan angkutan penyeberangan luar negeri (internasional) dengan
rute atau lintasan Lhokseumawe – Penang/Langkawi (Malaysia).. Rencana pengembangan untuk
pelabuhan ini adalah pemantapan dan peningkatan untuk pelayanan angkutan laut luar negeri
(internasional), dan pengembangan untuk pelayanan angkutan penyeberangan penyeberangan
luar negeri (internasional).
5. Pelabuhan Khusus Lhokseumawe di Kota Lhokseumawe, yang merupakan pelabuhan untuk
pengapalan LNG (ekspor LNG), dan dikelola oleh perusahaan. Bila dilihat dari pelayanannya
maka pelabuhan ini merupakan pelabuhan utama dengan pelayanan angkutan luar negeri
(internasional) dengan bentuk kegiatan pelayanan khusus, yaitu ekspor LNG. Pelabuhan ini
mendukung PKN Lhokseumawe.
6. Pelabuhan Meulaboh di Kabupaten Aceh Barat. Pelabuhan Meulaboh ini mendukung PKW Meulaboh,
dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpul, yang melayani angkutan laut dalam negeri
antarprovinsi dan pelayaran rakyat, serta angkutan penyeberangan dalam negeri dalam
provinsi dengan rute atau lintasan Meulaboh – Sinabang dan Meulaboh – Sibigo. Pelabuhan
Meulaboh ini mengalami kerusakan berat dalam bencana tsunami tahun 2004. Dengan demikian
rencana pengembangan untuk pelabuhan Meulaboh ini adalah revitalisasi dan peningkatan
untuk melayani angkutan laut dan pengembangan untuk pelayanan angkutan penyeberangan.
7. Pelabuhan Malahayati di Kabupaten Aceh Besar. Pelabuhan Malahayati ini mendukung PKNp
Banda Aceh, dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpul, yang melayani angkutan laut dalam
negeri antarprovinsi dan pelayaran rakyat. Rencana pengembangan untuk pelabuhan ini adalah
pemantapan dan peningkatan dari kegiatan pelabuhan yang ada dewasa ini.
8. Pelabuhan Kuala Langsa di Kota Langsa. Pelabuhan Kuala Langsa ini mendukung PKW Langsa,
dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut dalam negeri
antarprovinsi dan pelayaran rakyat. Rencana untuk pelabuhan Kuala Langsa ini adalah
pemantapan dan peningkatan dari pelayanan angkutan laut yang ada dewasa ini.
9. Pelabuhan Sinabang di Kabupaten Simeulue. Pelabuhan Sinabang ini mendukung PKL Sinabang,
dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut dan angkutan
penyeberangan. Untuk angkutan laut pelayanannya adalah dalam negeri antarprovinsi. Untuk
angkutan penyeberangan pelayanannya adalah dalam negeri dalam provinsi, dengan
lintasan/rute: Sinabang – Meulaboh, Sinabang – Labuhanhaji, dan Sinabang – Kep. Banyak –
Singkil. Rencana untuk pelabuhan Sinabang adalah pemantapan dan peningkatan dari pelayanan
yang ada dewasa ini, baik untuk angkutan laut dan angkutan penyeberangan.
10. Pelabuhan Sibigo di Kabupaten Simeulue. Pelabuhan Sibigo dengan fungsi sebagai pelabuhan
pengumpan, yang melayani angkutan laut pelayaran rakyat, dan angkutan penyeberangan dalam
negeri dalam provinsi, dengan lintasan/rute: Sibigo – Meulaboh. Rencana untuk pelabuhan
Sibigo adalah pengembangan, baik untuk angkutan alut maupun angkutan penyeberangan..
11. Pelabuhan Susoh di Kabupaten Aceh Barat Daya. Pelabuhan Susoh ini mendukung PKWp
Blangpidie, dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut dalam
negeri dalam provinsi dan pelayaran rakyat. Rencana untuk pelabuhan Susoh adalah
peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini.
12. Pelabuhan Tapaktuan di Kabupaten Aceh Selatan. Pelabuhan Tapaktuan mendukung PKL
Tapaktuan, dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut dalam
negeri dalam provinsi dan pelayaran rakyat. Rencana untuk pelabuhan Tapaktuan ini adalah
peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini.
13. Pelabuhan Labuhanhaji di Kabupaten Aceh Selatan. Pelabuhan Labuhanhaji dengan fungsi
sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut dalam negeri pelayaran rakyat,
dan angkutan penyeberangan dalam negeri dalam provinsi, dengan lintasan/rute: Labuhanhaji
– Sinabang. Rencana untuk pelabuhan Labuhanhaji adalah pemantapan dan peningkatan dari
pelayanan yang ada dewasa ini.
14. Pelabuhan Sibadeh di Kabupaten Aceh Selatan. Pelabuhan Sibadeh berfungsi sebagai pelabuhan
pengumpan, yang melayani angkutan laut dalam negeri dalam provinsi dan pelayaran rakyat.
Rencana untuk pelabuhan Sibadeh adalah peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini.
15. Pelabuhan Singkil di Kabupaten Aceh Singkil. Pelabuhan Singkil mendukung PKL Singkil,
dan juga PKWp Subulussalam, dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani
angkutan laut dan angkutan penyeberangan. Untuk angkutan laut pelayanannya adalah dalam
negeri antarprovinsi dan pelayaran rakyat. Untuk angkutan penyeberangan dalam negeri
antarprovinsi dan dalam provinsi. Rute/lintasan angkutan penyeberangan dalam negeri
antarprovinsi adalah Singkil – Sibolga/Nias di Provinsi Sumatera Utara; dan dalam provinsi
adalah Singkil – Kepulauan Banyak – Sinabang. Rencana untuk pelabuhan Singkil ini adalah
peningkatan dan pengembangan baik untuk pelayanan angkutan laut maupun untuk pelayanan
angkutan penyeberangan.
16. Pelabuhan Kepulauan Banyak di Kabupaten Aceh Singkil. Pelabuhan Kepulauan Banyak ini
berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut dalam negeri pelayaran
rakyat, dan angkutan penyeberangan dalam negeri antarprovinsi dan dalam provinsi. Angkutan
penyeberangan dalam negeri antarprovinsi adalah pada rute/lintasan Kepulauan Banyak –
Sibolga/Nias Provinsi Sumatera Utara, terutama dalam rangka mendukung kegiatan
pariwisata. Angkutan penyeberangan dalam negeri dalam provinsi adalah pada rute/lintasan
Kep. Banyak – Singkil, dan Kep. Banyak – Sinabang. Rencana untuk pelabuhan Kep. Banyak
adalah pemantapan dan peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini.
17. Pelabuhan Calang di Kabupaten Aceh Jaya. Pelabuhan Calang mendukung PKL Calang, dengan
fungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut dalam negeri dalam
provinsi dan pelayaran rakyat. Rencana untuk pelabuhan Calang adalah peningkatan dari
pelayanan yang ada dewasa ini.
18. Pelabuhan Idi di Kabupaten Aceh Timur. Pelabuhan Idi mendukung PKL Idi Rayeuk, dengan
fungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut dalam negeri antarprovinsi
dan pelayaran rakyat. Pelabuhan Calang ini juga dimanfaatkan sebagai pelabuhan untuk
kegiatan perikanan. Rencana untuk pelabuhan Idi adalah pemantapan dan peningkatan dari
pelayanan yang ada dewasa ini.
19. Pelabuhan Lampuyang di Kabupaten Aceh Besar, yang terletak di Pulau Breuh Kecamatan Pulo
Aceh. Pelabuhan Lampuyang berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan
penyeberangan dalam negeri dalam provinsi, dengan rute/lintasan: Lampuyang – Lamteng –
Ulee Lheue, dan Lampuyang – Balohan, atau merupakan jalur/lintasan: Ulee Lheue – Lamteng
– Lampuyang – Balohan. Rencana untuk pelabuhan Lampuyang adalah pengembangan.
20. Pelabuhan Lamteng di Kabupaten Aceh Besar, yang terletak di Pulau Nasi Kecamatan Pulo
Aceh. Pelabuhan Lamteng berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan
penyeberangan dalam negeri dalam provinsi, dengan lintasan/rute: Lamteng – Ulee Lheue,
dan Lamteng – Lampuyang – Balohan, atau merupakan jalur/lintasan: Ulee Lheue – Lamteng –
Lampuyang – Balohan. Rencana untuk pelabuhan Lamteng adalah pengembangan.
Dalam RTRWN di wilayah Aceh ditetapkan hanya satu Bandar Udara (Bandara), yaitu Bandara
Sultan Iskandar Muda (SIM) sebagai Pusat Penyebaran Tersier. Dengan mengacu kepada UU No.1
Tahun 2009 tentang Penerbangan, maka rencana pengembangan dan penetapan bandar udara di
wilayah Aceh akan dibedakan menurut:
Secara khusus untuk RTRWP perlu dikemukakan pusat yang didukung oleh bandara yang bersangkutan
(PKN, PKNp, PKSN, PKW, PKWp atau PKL).
Pada tabel 20 dikemukakan rencana pengembangan bandar udara dalam wilayah Aceh.
Selanjutnya terhadap masing-masing bandar udara dapat dijelaskan sebagai berikut ini.
1. Bandara Sultan Iskandar Muda, mendukung PKNp Banda Aceh, yang akan melayani penerbangan
internasional, dan merupakan bandara pengumpul dari beberapa bandara lainnya di Aceh dan
provinsi lainnya. Bandara Sultan Iskandar Muda ini terletak di Kabupaten Aceh Besar
(Kecamatan Blang Bintang). Pengembangan bandara ini sejalan dengan rencana mengembangkan
core region “Banda Aceh-Sabang-Aceh Besar” sebagai pintu gerbang Indonesia di bagian
barat. Secara khusus bandara Sultan Iskandar Muda ini merupakan bandara embarkasi haji
Indonesia yang terletak paling barat dan paling dekat ke arah Jeddah dan Madinah di
Kerajaan Arab Saudi. Selain itu Bandara Sultan Iskandar Muda ini juga berperan sebagai
Pangkalan Udara. Rencana untuk Bandara Sultan Iskandar Muda adalah pemantapan dan
peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini, sebagai pendukung PKNp Banda Aceh..
2. Bandara Malikussaleh, mendukung PKN Lhokseumawe, yang akan melayani penerbangan domestik,
dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Malikussaleh ini terletak di Kabupaten Aceh
Utara (Kecamatan Muara Batu). Rencana untuk Bandara Malikussaleh adalah pemantapan dan
peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini, sehubungan dengan perannya sebagai
pendukung PKN Lhokseumawe.
3. Bandara Cut Nyak Dhien, mendukung PKW Meulaboh, yang akan melayani penerbangan domestik,
dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Cut Nyak Dhien ini terletak di Kabupaten Nagan
Raya, sehingga mendukung juga PKL Jeuram-Suka Makmue. Rencana untuk Bandara Cut Nyak
Djieh adalah peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini, sehubungan dengan perannya
sebagai pendukung PKW Meulaboh.
4. Bandara Maimun Saleh, mendukung PKW dan PKSN Sabang, yang akan melayani penerbangan
domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Maimun Saleh jiga berperan sebagai
Pangkalan Udara, yang terutama terkait dengan penetapannya sebagai PKSN. Rencana untuk
Bandara Maimun Saleh adalah pemantapan dan peningkatan pelayanan dari pelayanan yang ada
dewasa ini, sehubungan dengan peranya sebagai pendukung PKW dan PKSN Sabang.
5. Bandara Rembele, mendukung PKW Takengon, yang akan melayani penerbangan domestik, dan
merupakan bandara pengumpan. Bandara Rembele ini terletak di Kabupaten Bener Meriah,
sehingga mendukung juga PKL Simpang Tiga Redelong. Rencana untuk Bandara Rembele adalah
pemantapan dan peningkatan pelayanan yang ada dewasa ini, sehubungan dengan perannya
sebagai pendukung PKW Takengon.
6. Bandara Lasikin, mendukung PKL Sinabang, yang akan melayani penerbangan domestik, dan
merupakan bandara pengumpan. Bandara Lasikin ini mempunyai arti penting dalam konteks
keterkaitan antar bagian wilayah di Aceh (bersama-sama dengan pelabuhan penyeberangan)
sehubungan dengan terpisahnya daratan Pulau Simeulue dengan daratan utama (mainland)
Pulau Sumatera. Rencana untuk Bandara Lasikin adalah pemantapan dari pelayanan yang ada
dewasa ini.
7. Bandara Teuku Cut Ali, mendukung PKL Tapaktuan, yang akan melayani penerbangan domestik,
dan merupakan bandara pengumpan. Rencana untuk Bandara Teuku Cut Ali adalah pemantapan
dari pelayanan yang ada dewasa ini.
8. Bandara Kuala Batu, mendukung PKWp Blangpidie, yang akan melayani penerbangan domestik,
dan merupakan bandara pengumpan. Rencana untuk Bandara Kuala Batu ini adalah peningkatan
dari pelayanan yang ada dewasa ini, sehubungan dengan perannya sebagai pendukung PKWp
Blangpidie.
9. Bandara Alas Leuser, mendukung PKL Kutacane, yang akan melayani penerbangan domestik,
dan merupakan bandara pengumpan. Rencana untuk Bandara Alas Leuser adalah pemantapan dari
pelayanan yang ada dewasa ini.
10. Bandara Hamzah Fansyuri, mendukung PKL Singkil, yang akan melayani penerbangan domestik,
dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Hamzah Fansyuri ini juga akan mendukung pelayanan
PKWp Subulussalam. Rencana untuk Bandara Hamzah Fansyusi adalah peningkatan dari pelayanan
yang ada dewasa ini, sehubungan dengan perannya sebagai pendukung PKL Singkil dan terutama
PKWp Subulussalam.
11. Bandara “Point A”, yang merupakan bandara khusus untuk perusahaan penambangan migas, yang
berdekatan dengan PKL Lhok Sukon, yang akan melayani kepentingan perusahaan yang
bersangkutan, dengan pelayanan domestik dan merupakan bandara pengumpan.
Rencana Pola Ruang Wilayah Aceh meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya yang memiliki
nilai strategis pada tingkat wilayah Aceh.
Berdasarkan penetapan dalam PP No.26/2008 tentang RTRWN, khususnya Pasal 51 sampai Pasal 62,
ditetapkan kriteria kawasan lindung secara umum, seperti dikemukakan pada Tabel IV.1.1.
Dikaitkan dengan kajian/analisis mengenai arahan pola ruang, selanjutnya diidentifikasi
kawasan lindung yang akan ditetapkan dalam RTRW Aceh. Dalam penetapan ini dipilah atas 2
aspek penetapan, yaitu penetapan secara deskriptif dan penetapan secara delineasi pada
wilayah Aceh (yang dapat digambarkan pada Peta Rencana skala 1 : 250.000).
Dalam identifikasi penetapan kawasan lindung menurut aspek deskriptif pada prinsipnya
ditetapkan untuk semua jenis kawasan lindung secara umum atau normatif. Sementara penetapan
menurut aspek delineasi pada wilayah Aceh (pada Peta Rencana), diidentifikasikan dengan
istilah: Ditetapkan, untuk penetapan yang ada dalam RTRW Aceh; dan Belum Ditetapkan, untuk
penetapan yang belum atau tidak ada pada wilayah Aceh dan/atau pada tingkat RTRW Aceh.
Selanjutnya untuk delineasi yang Belum Ditetapkan tersebut akan diidentifikasikan dalam
rencana rinci/detail kawasan (pada tingkat provinsi ini adalah Rencana Tata Ruang Kawasan
Strategis Aceh), dan RTRW Kabupaten/Kota di Aceh, dengan skala peta yang lebih besar.
Penetapan deskripsi dan delineasi seperti yang dijelaskan tersebut (Ditetapkan dan Belum
Ditetapkan) berkenaan dengan kawasan lindung yang bernilai strategis pada tingkat wilayah
Aceh (Provinsi) serta skala peta rencana yang dapat menggambarkan kawasan lindung tersebut.
Kelompok utama kawasan lindung sesuai dengan penetapan pada RTRWN (PP No.26/2008) meliputi:
Berdasarkan kajian/analisis terhadap pola ruang wilayah Aceh, khususnya pola ruang kawasan
lindung, serta kriteria yang ditetapkan di depan, maka rencana penetapan kawasan lindung
wilayah Aceh ditetapkan seperti pada tabel 2.7. Penggambaran Pola Ruang Wilayah Aceh yang
menunjukkan sebaran kawasan lindung dimaksud dapat dilihat pada Gambar 2.4.
3. Kaw.Sekitar Danau atau Waduk - - Sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah;
- Sekitar Danau Anak Laut, Sabang.
4. Cagar Alam dan Cagar Alam - Cagar Alam Serbajadi (Raflesia), luas: 311,00 Ha, ter- - -
Laut letak di Aceh Timur.
- Cagar Alam Pinus Jantho, luas: 16.462,84 Ha,
terletak di Aceh Besar
6. Taman Nasional dan Taman Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), luas: - -
Nasional Laut 624.998,13 Ha, terletak di: Aceh Tenggara, Gayo Lues,
Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Barat Daya, dan Aceh
Tamiang.
7. Taman Hutan Raya (Tahura) - Tahura Pocut Meurah Intan, luas: 5,725,87 Ha, terle- - -
tak di Aceh Besar dan Pidie.
- Tahura Tepah Selatan, luas: 821,00 Ha, terletak di
Simeulue.
8. Taman Wisata Alam dan Taman - TWA Iboih Sabang, luas: 1.314,49 Ha, di Sabang. - -
Wisata Alam Laut (TWA/TWAL) - TWAL Pulau Weh Sabang, luas: 5.355,35 Ha, di Sabang.
- TWA Pulau Banyak, luas: 27.888,35 Ha, di Aceh Singkil.
- TWAL Kepulauan Banyak, luas: 204.379,60 Ha, di Aceh
Singkil.
- TWA Anak Laut Singkil, luas: 1.259,00 Ha, di Aceh
Singkil.
9. Kawasan Cagar Budaya dan - Peninggalan Kesultanan Aceh berupa bangunan dan/ - -
Ilmu Pengetahuan atau situs, di Banda Aceh dan Aceh Besar.
- Peninggalan Kerajaan Islam Samudera Pasai beru-
pa bangunan dan/atau situs dan Monumen Samude-
ra Pasai, di Aceh Utara.
5. Kawasan Rawan Angin Badai - Aceh Timur, Aceh Utara, dan Aceh Barat. -
6. Kaw. Rawan Kebakaran Hutan - Hutan di sepanjang pinggir jalan, hutan pinus, dan -
lahan gambut.
b. Kaw. Rawan Gempa Bumi - Kawasan yang dilalui oleh sesar aktif di wilayah -
bagian tengah / pegunungan wilayah Aceh.
c. Kaw. Rawan Gerakan Tanah - Kawasan yang dilalui oleh sesar aktif di wilayah -
(longsor dan amblas) bagian tengah / pegunungan wilayah Aceh.
d. Kaw. Yang Terletak Pada Zona - Kawasan yang dilalui oleh sesar aktif di wilayah -
Patahan Aktif bagian tengah / pegunungan wilayah Aceh.
f. Kaw. Rawan Abrasi - Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Barat, -
Aceh Jaya, Aceh Besar, Banda Aceh, Pidie,
Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe,
Aceh Timur, Aceh Tamiang.
g. Kawasan Rawan Bahaya Gas - Pada kawasan rawan letusan gunung berapi di -
Beracun Bener Meriah, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar,
Sabang.
3. Taman Buru (TB) Taman Buru Lingga Isaq, luas: 84.962,53 Ha, terletak - -
di Aceh Tengah.
4. Kawasan Perlindungan Plasma - KPN Leupung, luas: 1.300,00 Ha, terletak dalam Hutan - -
Nutfah (KPPN) Produksi di Aceh Besar.
- KPN Kapur, luas: 1.821,00 Ha, terletak dalam Areal Peng-
gunaan Lain (APL) di Subulussalam.
5. Kaw. Pengungsian Satwa - Pusat Konservasi Gajah Cot Girek, luas: 793,00 Ha, - -
terletak dalam Hutan Produksi di Aceh Utara.
7. Kaw. Koridor Bagi Jenis Satwa - Koridor Singkil - Bengkung, luas: 2.307 Ha, -
atau Biota Laut yang Dilindungi di Aceh Selatan (sebagai koridor satwa yang
dilindungi)
Bila dihubungkan dengan jenis kawasan lindung sebagaimana ditetapkan dalam RTRWN, maka dalam
penetapan kawasan lindung pada tingkat RTRW Aceh ini akan terdapat 3 kelompok kawasan lindung,
yaitu:
a. Jenis dan sebaran kawasan lindung yang ditetapkan, yang ditunjukkan dengan penggambaran
delineasinya dalam rencana pola ruang wilayah Aceh;
b. Jenis kawasan lindung yang diindikasikan sebarannya, yang belum didelineasikan dalam
rencana pola ruang wilayah Aceh;
c. Jenis kawasan lindung yang belum ditetapkan/diindikasikan; dengan catatan terbuka peluang
di kemudian hari untuk penetapannya.
Untuk jenis kawasan lindung yang belum ditetapkan delineasinya dalam pola ruang wilayah pada
tingkatan RTRW Aceh ini, akan ditetapkan dan didelineasikan dalam rencana rinci pada Rencana
Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional, Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Aceh, serta pada
RTRW Kabupaten/Kota, yang masing-masing sesuai dengan tingkat ketelitian peta yang
ditetapkan.
Khusus untuk kawasan lindung yang merupakan hutan, yaitu hutan konservasi dan hutan lindung,
penetapannya disesuaikan dengan penetapan fungsi kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan
dan Dinas Kehutanan & Perkebunan Aceh.
Selanjutnya untuk kelompok jenis dan sebaran kawasan lindung yang ditetapkan dalam pola ruang
wilayah pada RTRW Aceh (yaitu kelompok a. di atas) dijelaskan sebagai berikut ini.
Sebaran kawasan hutan lindung tersebut terletak di kabupaten/kota di Aceh kecuali Kota Banda
Aceh dan Kota Lhokseumawe, dengan rincian: Sabang (5.060,00 Ha), Aceh Besar (118.700,00 Ha),
Pidie (207.300,00 Ha), Pidie Jaya (60.270,00 Ha), Bireuen (74.870,00 Ha), Aceh Utara
(55.990,00 Ha), Aceh Timur (318.600,00 Ha), Langsa (3.360,00 Ha), Aceh Tamiang (84.290,00
Ha), Aceh Jaya (290.700,00 Ha), Aceh Barat (146.900,00 Ha), Nagan Raya (263.800,00 Ha), Aceh
Barat Daya (94.380,00 Ha), Aceh Selatan (211.300,00 Ha), Aceh Singkil (38.840,00 Ha),
Subulussalam (54.410,00 Ha), Aceh Tenggara (99.060,00 Ha), Gayo Lues (274.100,00 Ha), Aceh
Tengah (227.700,00 Ha), Bener Meriah (121.600,00 Ha), dan Simeulue (121.400,00 Ha).
2. Kawasan Bergambut (Gambut), luas: 50.000,00 Ha, yaitu Kawasan Rawa Gambut Tripa, yang
terletak di Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kabupaten Nagan Raya. Dalam penetapan pada PP
No.26/2008 tentang RTRWN dan Keppres No.32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung,
kawasan bergambut ini dimasukkan dalam klasifikasi kawasan yang memberikan perlindungan
kawasan bawahannya.
B. Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam, dan Cagar Budaya
1. Cagar Alam (CA), yaitu CA Pinus Jantho dengan luas 16.640,00 Ha terletak di Kabupaten
Aceh Besar dan CA Serbajadi (untuk Raflesia) dengan luas 311,00 Ha terletak di Kabupaten
Aceh Timur.
2. Suaka Margasatwa (SM), luas: 98.347,24 Ha, yaitu Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil, yang
terletak di Kabupaten Aceh Selatan (67.190,27 Ha), Kabupaten Aceh Singkil (26.524,08 Ha),
dan Kota Subulussalam (4.632,88 Ha).
3. Kawasan Pantai Berhutan Bakau, yang tercakup dalam penetapan Hutan Lindung, yaitu sebagai
Hutan Lindung Pesisir/Pantai (lihat A angka 1 di atas).
4. Taman Nasional (TN), luas: 640.204,67 Ha, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), yang
terletak di Kabupaten Aceh Tenggara (273.492,34 Ha), Kabupaten Gayo Lues (210.903,72 Ha),
Kabupaten Aceh Selatan (77.342,26 Ha), Kabupaten Aceh Barat Daya (62.669,89 Ha), Aceh
Singkil (19.223,34 Ha) dan Aceh Tamiang (572,87 Ha).
5. Taman Wisata Alam – Darat (TWA-D), luas: 45.987,00 Ha, yang terdiri atas:
o TWA Iboih Sabang, luas: 1.314,49 Ha, di Kota Sabang;
o TWA Pulau Banyak, luas: 1.346,89 Ha, di Kabupaten Aceh Singkil;
o TWA Anak Laut Singkil, luas: 1.259,00 Ha, di Kabupaten Aceh Singkil;
o TWA Makam Teuku Umar, luas: 505,00 Ha, di Kabupaten Aceh Barat;
o TWA Kuta Malaka, luas: 1.428,00 Ha, di Kabupaten Aceh Besar.
6. Taman Wisata Alam – Laut (TWA-L), luas: 209.239,00 Ha, yang terdiri atas:
o TWAL Pulau Weh Sabang, luas: 5.355,35 Ha, di perairan Kota Sabang, (yang juga
mencakup Kawasan Terumbu Karang);
o TWAL Kepulauan Banyak, luas: 204.379,57 Ha, di Kabupaten Aceh Singkil, (yang juga
mencakup Kawasan Terumbu Karang);
o TWAL Pinang-Siumat-Simanaha (Pisisi), luas: belum teridentifikasi, di Kabupaten
Simeulue, (yang juga mencakup Kawasan Terumbu Karang).
7. Taman Hutan Raya (Tahura), luas: 6.545,24 Ha, yang terdiri atas:
o Tahura Pocut Meurah Intan, luas: 5.724,24 Ha, yang terletak di Kabupaten Aceh
Besar (5.635,44 Ha) dan Kabupaten Pidie (88,72 Ha);
o Tahura Tepah Selatan, luas: 821,00 Ha, yang terletak di Kabupaten Simeulue.
8. Cagar Budaya, luas belum ditentukan, yang terdiri atas:
o Peninggalan Kesultanan Aceh berupa bangunan dan/atau situs di Banda Aceh dan Aceh
Besar;
o Peninggalan Kerajaan Islam Samudera Pasai berupa bangunan dan/atau situs dan
Monumen Samudera Pasai di Aceh Utara.
C. Kawasan Lindung Lainnya
1. Taman Buru (TB), luas: 84.962,53 Ha, yaitu Taman Buru Lingga Isaq, yang terletak di
Kabupaten Aceh Tengah (84.889,32 Ha) dan Kabupaten Bener Meriah (73,21 Ha).
2. Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah (KPPN) yang ditetapkan di Aceh adalah Kebun Plasma
Nutfah (KPN), dengan luas: 3.121,00 Ha, yang terdiri atas:
o KPN Leupung, luas: 1.300,00 Ha, di Kabupaten Aceh Besar, yang dewasa ini masih
terletak dalam kawasan Hutan Produksi, atau merupakan bagian dari kawasan
budidaya;
o KPN Kapur, luas: 1.821,00 Ha, di Kota Subulussalam, yang dewasa masih ini terletak
dalam Areal Penggunaan Lain (APL), atau merupakan bagian dari kawasan budidaya.
3. Kawasan Pengungsian Satwa, yaitu Pusat Konservasi Gajah (PKG) dengan luas: 793,00 Ha, di
Kecamatan Cot Girek Kabupaten Aceh Utara, yang dewasa ini masih terletak dalam kawasan
Hutan Produksi. Pusat Konservasi Gajah ini dimaksudkan sebagai pengganti dari Pusat
Latihan Gajah (PLG) seluas 112,00 Ha yang terletak di Lhok Asan Kabupaten Aceh Utara.
4. Terumbu Karang, yang tercakup dalam penetapan TWAL (Taman Wisata Alam Laut) (lihat huruf
B angka 6 di atas).
5. Koridor Satwa Yang Dilindungi, , yaitu Koridor Singkil – Bengkung, yang terletak di
Kabupaten Aceh Selatan dengan perkiraan luas: 2.307,00 Ha. Koridor tersebut merupakan
bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser yang menyambung dengan Suaka Margasatwa Rawa
Singkil. Koridor Singkil – Bengkung ini merupakan jalur migrasi satwa: gajah, harimau,
beruang, dan satwa lainnya di antara kedua kawasan tersebut.
6. Kawasan Hutan Pendidikan STIK (hutan dengan tujuan khusus), luas: 80,00 Ha, yaitu Hutan
Pendidikan STIK di Kabupaten Aceh Besar, yang dewasa ini masih terletak di dalam kawasan
Hutan Produksi.
Dengan mengacu kepada PP No.26/2008 tentang RTRWN, khususnya Pasal 63 sampai Pasal 71,
ditetapkan kriteria kawasan budidaya secara umum, seperti dikemukakan pada Tabel IV.2.1.
Dikaitkan dengan kajian/analisis mengenai arahan pola ruang, selanjutnya diidentifikasi
kawasan budidaya yang akan ditetapkan dalam RTRW Aceh. Dalam penetapan ini dipilah atas 2
aspek penetapan, yaitu penetapan secara deskriptif dan penetapan secara delineasi pada
wilayah Aceh (yang dapat digambarkan pada Peta Rencana skala 1 : 250.000).
Dalam identifikasi penetapan kawasan budidaya menurut aspek deskriptif pada prinsipnya
ditetapkan untuk semua jenis kawasan budidaya secara umum atau normatif. Sementara penetapan
menurut aspek delineasi pada wilayah Aceh (pada Peta Rencana), diidentifikasikan dengan
istilah: Ditetapkan, untuk penetapan yang ada dalam RTRW Aceh; dan Belum Ditetapkan, untuk
penetapan yang belum atau tidak ada pada wilayah Aceh dan/atau pada tingkat RTRW Aceh.
Selanjutnya untuk delineasi yang Belum Ditetapkan tersebut akan diidentifikasikan dalam
rencana rinci/detail kawasan (Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Aceh), dan RTRW
Kabupaten/Kota di Aceh, dengan skala peta yang lebih besar.
Kawasan budidaya yang ditetapkan delineasinya atau yang diidentifikasikan dengan Ditetapkan
dalam RTRW Aceh ini dimaksudkan sebagai ”kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis
provinsi di Aceh”, sebagaimana yang dimaksudkan dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang Pasal 23 ayat (1) huruf c.
Kawasan budidaya lainnya yang belum ada delineasinya (diidentifikasikan dengan: Belum
Ditetapkan) pada tingkatan RTRW Aceh ini ditetapkan sebagai kegiatan unggulan yang lokasi
pengembangannya ditetapkan menurut Kawasan Andalan Aceh berdasarkan Wilayah Pengembangan
(WP), sehingga disingkat KAA-WP.
Jenis kawasan budidaya ini sesuai dengan penetapan pada RTRWN (PP No.26/2008) meliputi:
1. Kawasan peruntukan hutan produksi (dengan deskripsi tambahan mengenai Hutan Tanaman
Rakyat/HTR dalam Kawasan Hutan Produksi);
2. Kawasan peruntukan hutan rakyat;
3. Kawasan peruntukan pertanian; (dengan pendetailan menurut pertanian tanaman pangan lahan
basah, pertanian tanaman pangan lahan kering, hortikultura, perkebunan, dan peternakan);
4. Kawasan peruntukan perikanan;
5. Kawasan peruntukan pertambangan;
6. Kawasan peruntukan industri;
7. Kawasan peruntukan pariwisata;
8. Kawasan peruntukan permukiman (dengan pendetailan menurut permukiman perkotaan dan
permukiman perdesaan);
9. Kawasan peruntukan lainnya (yang tidak atau belum diidentifikasikan dalam RTRW Aceh ini).
3.8.1.4.2.2. Rencana Penetapan Kawasan Budidaya Yang Memiliki Nilai Strategis Provinsi
Berdasarkan kajian atau analisis mengenai pola ruang kawasan budidaya, kawasan budidaya yang
memiliki nilai strategis provinsi di Aceh, yang didelineasikan dalam Peta Rencana Pola Ruang
Wilayah Aceh meliputi:
· Kawasan hutan produksi, yang terdiri atas hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi
tetap (HP);
· Kawasan pertanian pangan lahan basah (sawah).
Penetapan kawasan hutan produksi sebagai kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis
provinsi di wilayah Aceh didasarkan pada pertimbangan bahwa dari letak dan sebaran kawasan
hutan produksi tersebut dapat dapat berperan:
· Sebagai penyangga atau buffer antara kawasan lindung dengan kawasan budidaya lainnya;
· Ikut memberikan sumbangan dalam fungsi perlindungan terhadap kawasan bawahannya; sehingga
selaras dengan spirit Aceh Hijau dalam tujuan penataan ruang wilayah Aceh.
Penetapan kawasan hutan produksi di wilayah Aceh akan disesuaikan dengan penetapan fungsi
kawasan hutan di wilayah Aceh, khususnya untuk hutan produksi, oleh Kementerian Kehutanan
dan Dinas Kehutanan & Perkebunan Aceh.
Sementara penetapan kawasan pertanian pangan lahan basah (sawah) sebagai kawasan yang
memiliki nilai strategis provinsi di Aceh didasarkan pada pertimbangan:
Penetapan kawasan pertanian pangan lahan basah (sawah) di wilayah Aceh disesuaikan dengan
penetapan Daerah Irigasi (DI) dalam wilayah Aceh yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
dan Wilayah pemerintah Aceh. Catatan: Untuk Daerah Irigasi (DI) yang merupakan kewenangan
Pemerintah Kabupaten/Kota akan menjadi acuan bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penetapan
pola ruang, khususnya budidaya pertanian, dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Pada tabel 2.12 ditunjukkan rencana penetapan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis
pada tingkat RTRW Aceh yang meliputi: kawasan budidaya hutan produksi, kawasan pertanian
pangan lahan basah (sawah). Penggambaran Pola Ruang Wilayah Aceh yang menunjukkan sebaran
kawasan budidaya dimaksud dapat dilihat pada Gambar 2.4.
TABEL IV.2.2
PENETAPAN KAWASAN BUDIDAYA
Tabel 3. 26. Penetapan KawasanNILAI
YANG MEMILIKI Budidaya Yang Memiliki
STRATEGIS PROVINSINilai Strategis Provinsi
DI ACEH
Hutan Produksi Pertanian Pangan Lahan Basah Kaw. Budi-
KABUPATEN/KOTA HPT HP HPK Total DI Pusat DI Aceh Total daya Strat.
(Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha)
1. Sabang - - - - - - - -
2. Kota Banda Aceh - - - - - - - -
3. Aceh Besar - 29.852,61 5.107,40 34.960,01 15.961,00 - 15.961,00 50.921,01
4. Aceh Jaya - 995,69 1.045,21 2.040,90 - 12.707,00 12.707,00 14.747,90
5. Aceh Barat - 201,67 323,51 525,18 - - - 525,18
6. Nagan Raya 68,66 187,81 3.892,97 4.149,43 12.446,00 - 12.446,00 16.595,43
7. Aceh Tengah - 31.681,92 7.575,26 39.257,18 - 2.000,00 2.000,00 41.257,18
8. Benar Meriah - 9.514,61 5.782,82 15.297,43 3.200,00 - 3.200,00 18.497,43
9. Pidie - 18.967,64 8.104,94 27.072,58 19.118,00 1.100,00 20.218,00 47.290,58
10. Pidie Jaya - 139,98 - 139,98 - 3.944,00 3.944,00 4.083,98
11. Bireuen 24,23 1.079,60 327,47 1.431,29 9.683,00 5.862,00 15.545,00 16.976,29
12. Kota Lhokseumawe - - - - - - - -
13. Aceh Utara - 3.308,96 - 3.308,96 28.815,00 3.226,00 32.041,00 35.349,96
14. Kota Langsa - 2.908,25 16,19 2.924,44 - 1.300,00 1.300,00 4.224,44
15. Aceh Timur - 4.652,68 - 4.652,68 3.480,00 8.875,00 12.355,00 17.007,68
16. Aceh Tamiang - 4.898,94 2,85 4.901,79 - 5.800,00 5.800,00 10.701,79
17. Aceh Selatan 91,55 - 137,81 229,37 - 9.740,00 9.740,00 9.969,37
18. Aceh Singkil - 5.332,59 503,44 5.836,04 - - - 5.836,04
18. Subulussalam - 2.032,44 - 2.032,44 - - - 2.032,44
20. Aceh Tenggara - - - - 5.425,00 8.199,00 13.624,00 13.624,00
21. Gayo Lues 12.864,23 10,53 4.484,27 17.359,04 - 4.675,00 4.675,00 22.034,04
22. Aceh Barat Daya - - - - 5.793,00 6.134,00 11.927,00 11.927,00
23. Simeulue 283,10 6.976,97 - 7.260,07 - 3.085,00 3.085,00 10.345,07
Secara khusus, sehubungan dengan spirit Aceh Hijau, fungsi hutan secara keseluruhan menjadi
penting, yang akan meliputi hutan pada kawasan lindung dan hutan pada kawasan budidaya. Bila
luas hutan pada kawasan lindung (sebesar 3.690.244,13 Ha) ditambah dengan luas kawasan hutan
produksi (173.376,89 Ha), maka luas total hutan di Aceh adalah 3.688.872,37 Ha, atau
sebesar 68,62 % dari luas wilayah Aceh.
Mengingat penetapan kawasan lindung yang didelineasikan, atau yang memiliki nilai strategis
provinsi, belum mencakup sejumlah kawasan lindung lainnya, maka dalam kawasan budidaya yang
ditetapkan ini masih terdapat unsur kawasan lindung, terutama yang berkenaan dengan kawasan
perlindungan setempat (sempadan pantai, sempadan sungai, sekitar danau/waduk), cagar budaya,
kawasan lindung geologi (termasuk terumbu karang di ruang laut), dan kawasan lindung lainnya.
Sehubungan dengan penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya yang memiliki nilai
strategis provinsi di Aceh, pada Tabel IV.2.3 ditunjukkan mengani jenis dan sebaran kawasan
lindung dan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis provinsi tersebut menurut masing-
masing kabupaten/kota.
Kawasan budidaya lainnya akan diindikasikan dengan penetapan kegiatan budidaya unggulan
menurut Kawasan Andalan Aceh yang ditetapkan sesuai dengan Wilayah Pengembangan (WP) yang
telah ditetapkan di depan, sehingga disingkat KAA-WP.
Dengan ditetapkannya 10 WP di wilayah Aceh, maka Kawasan Andalan Aceh juga adalah 10 KAA,
yang kemudian disebut sebagai KAA-WP.
Pada tabel 30 ditetapkan kegiatan budidaya pada kawasan andalan darat di wilayah Aceh, dengan
kegiatan yang meliputi gabungan dari beberapa kegiatan:
· Permukiman perkotaan, yaitu permukiman yang terdapat dalam kawasan perkotaan atau kawasan
dengan kegiatan utama bukan pertanian;
· Permukiman perdesaan, yaitu permukiman yang terdapat dalam kawasan perdesaan atau kawasan
dengan kegiatan utama pertanian;
· Pertanian, yang mencakup pertanian pangan lahan basah, pertanian pangan lahan kering,
hortikultura, kebun campuran di sekitar permukiman, dan kegiatan peternakan yang merupakan
bagian dari kegiatan pertanian campuran oleh masyarakat di kawasan perdesaan;
· Perkebunan, yang mencakup perkebunan rakyat dan perkebunan besar, dengan karakter tanaman
monokultur sebagai tanaman utama;
· Perikanan, yang berupa kegiatan perikanan budidaya, baik berupa tambak maupun perikanan
budidaya air tawar (sungai, danau, kolam, dan sebagainya);
· Industri, yang dapat mencakup kawasan industri, zona industri, maupun sentra industri,
baik industri besar, industri menengah, maupun industri kecil/rumah tangga;
· Pariwisata, yang meliputi pariwisata dengan objek wisata alam, objek wisata budaya, maupun
gabungan kedua macam objek tersebut;
· Pertambangan, yang meliputi: pertambangan mineral dan batubara, minyak dan gas bumi,
panas bumi, dan air tanah.
Selain penetapan Kawasan Andalan Aceh di darat, terdapat pula Kawasan Andalan Laut Aceh,
yang meliputi:
1. Kawasan Andalan Laut Aceh di Selat Malaka, yang berhadapan dengan pesisir timur wilayah
Aceh;
2. Kawasan Andalan Laut Aceh di Laut Andaman, yang berhadapan dengan Banda Aceh – Sabang;
3. Kawasan Andalan Laut Aceh di Samudera Hindia, yang berhadapan dengan pesisir barat wilayah
Aceh.
Kegiatan yang diindikasikan pada masing-masing Kawasan Andalan Laut Aceh tersebut dikemukakan
pada tabel 30.
TABEL IV.2.4
Tabel 3. 27. Penetapan Kegiatan Unggulan Pada Kawasan Budidaya Lainnya dalam Kawasan
PENETAPAN KEGIATAN UNGGULAN PADA KAWASAN BUDIDAYA LAINNYA
Andalan Aceh-WP (KAA-WP)
DALAM KAWASAN ANDALAN ACEH - WP (KAA-WP)
Kawasan Andalan Aceh-WP Kabupaten/Kota Luas KAA-WP Luas Kaw. Luas Kaw. Bud. Luas Kaw. Kegiatan Unggulan Pada
No.
(KAA-WP) Yang Tercakup (Ha) Lindung (Ha) Strat.Aceh (Ha) Bud. Lain (Ha) Kaw. Budidaya Lainnya
1. Kawasan Andalan Aceh - Kota Banda Aceh 308.087,75 159.129,80 50.921,01 98.036,94 - Permukiman Perkotaan
WP Basajan Kota Sabang - Permumiman Perdesaan
(Banda Aceh-Sabang-Jantho) Kab. Aceh Besar - Pertanian
- Pariwisata
- Industri
- Perikanan
2. Kawasan Andalan Aceh - Kota Langsa 775.022,60 432.458,04 31.933,92 310.630,64 - Permukiman Perkotaan
WP Timur 1 Kab. Aceh Tamiang - Permumiman Perdesaan
(Langsa-Kuala Simpang-Idi Kab. Aceh Timur - Perkebunan
Rayeuk) - Pertanian
- Industri
- Perikanan
- Pertambangan
3. Kawasan Andalan Aceh - Kota Lhokseumawe 464.440,37 137.758,65 52.326,25 274.355,47 - Permukiman Perkotaan
WP Timur 2 Kab. Aceh Utara - Permumiman Perdesaan
(Lhokseumawe-Bireuen-Lhok Kab. Bireuen - Pertanian
Sukon) - Perkebunan
- Industri
- Perikanan
- Pertambangan
4. Kawasan Andalan Aceh - Kab. Pidie 411.718,18 267.620,42 51.374,56 92.723,20 - Permukiman Perkotaan
WP Timur 3 Kab. Pidie Jaya - Permumiman Perdesaan
(Sigli-Meureudu) - Pertanian
- Perkebunan
- Industri
- Perikanan
- Pertambangan
5. Kawasan Andalan Aceh - Kab. Aceh Tengah 635.804,69 459.768,78 59.754,61 116.281,30 - Permukiman Perkotaan
WP Tengah 1 Kab. Bener Meriah - Permumiman Perdesaan
(Takengon-SpTRedelong) - Perkebunan
- Pariwisata
- Perikanan
6. Kawasan Andalan Provinsi - Kab. Aceh Tenggara 971.953,52 889.459,14 35.658,04 46.836,34 - Permukiman Perkotaan
WP Tengah 2 Kab. Gayo Lues - Permumiman Perdesaan
(Kutacane-Blangkejeren) - Perkebunan
- Pariwisata
- Pertanian
7. Kawasan Andalan Aceh - Kab. Aceh Barat 1.018.069,37 702.456,67 31.868,51 283.744,19 - Permukiman Perkotaan
WP Barat 1 Kab. Aceh Jaya - Permumiman Perdesaan
(Meulaboh-Calang-Suka Mak- Kab. Nagan Raya - Perkebunan
mue) - Pertanian
- Perikanan
- Pariwisata
- Pertambangan
8. Kawasan Andalan Aceh - Kab. Aceh Selatan 605.863,89 545.493,28 21.896,37 38.474,24 - Permukiman Perkotaan
WP Barat 2 Kab. Aceh Barat Daya - Permumiman Perdesaan
(Tapaktuan-Blangpidie) - Perkebunan
- Pertanian
- Perikanan
- Pariwisata
9. Kawasan Andalan Aceh - Kota Subulussalam 302.158,52 178.917,18 7.868,48 115.372,85 - Permukiman Perkotaan
WP Barat 3 Kab. Aceh Singkil - Permumiman Perdesaan
(Subulussalam-Singkil) - Perkebunan
- Perikanan
- Pariwisata
10. Kawasan Andalan Aceh - Kab. Simeulue 182.721,93 121.696,72 10.345,07 50.680,13 - Permukiman Perkotaan
WP Barat 4 (Sinabang) - Permumiman Perdesaan
- Perkebunan
- Perikanan
- Pariwisata
Sumber: Rencana Pola Ruang Wilayah Aceh.
Penggambaran di atas peta rencana secara khusus untuk masing-masing Kawasan Andalan Aceh –
Wilayah Pengembangan (KAA-WP) dan Kawasan Andalan Laut Aceh (KALA) dapat dilihat pada Gambar
dibawah ini.
Penetapan KAA-WP untuk darat dan KALA akan menjadi acuan dalam penyusunan rencana rinci/detail
kawasan strategis nasional dan kawasan strategis Aceh, serta RTRW Kabupaten/Kota yang
berkenaan dengan KAA-WP dan/atau KALA tersebut.
Selain itu, sesuai dengan penetapan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, penetapan KALA (dan pada beberapa bagian juga KAA-WP) akan saling
mengacu dengan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, khususnya RZWP-3-
K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) yang harus serasi, selaras, dan
seimbang dengan RTRW Aceh dan/atau RTRW Kabupaten/Kota. Pada Gambar 4.2.2 dikemukan tentang
tingkatan/tahapan rencana untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan UU No. 27
Tahun 2007 di atas dan keterkaitannya dengan RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah)
dan RTRW Aceh / Kabupaten/Kota. Berkenaan dengan penjelasan tersebut maka direkomendasikan
penyusunan RZWP-3-K Aceh yang akan bersinergi dengan RTRW Aceh.
Secara umum kawasan strategis adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
berdasarkan beberapa pertimbangan. Dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 1
angka 28, 29, dan 30 dikemukakan bahwa:
Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan nagara, pertahanan dan
keamanan Negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah
ditetapkan sebagai warisan dunia.
Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan.
Perbedaan yang tegas antara kawasan strategis nasional (KSN) dengan kawasan strategis
provinsi (KSP) berkaitan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Provinsi.
TABEL V.3.1
Tabel 3. 29. Kawasan Strategis Aceh (KSA)
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS ACEH (KSA)
Sudut Kepentingan KSA &
Karakter Pengembangan KSA Arahan Penanganan KSA
KSA Yang Ditetapkan
A. Pertumbuhan ekonomi:
1. Koridor Banda Aceh - Lhokseuma- - Memiliki sektor unggulan yang dapat mendorong - Mengembangkan pusat-pusat kegiatan ekonomi
we - Langsa - Kuala Simpang pertumbuhan ekonomi wilayah Aceh. yang mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh.
- Pertumbuhan ekonomi yang pesat selayaknya - Mengembangkan dan meningkatkan prasarana
dikendalikan agar tidak menurunkan kinerja ka- dan sarana pendukung pusat-pusat kegiatan eko-
wasan. nomi.
- Mengendalikan pemanfaatan ruang dan alih fung-
si ruang yang dapat menurunkan kualitas ling-
kungan dan layanan transportasi wilayah.
2. Koridor Banda Aceh - Meulaboh- - Memiliki sektor unggulan yang dapat menggerak- - Mengembangkan kegiatan dan pusat-pusat kegi-
Subulussalam kan pertumbuhan ekonomi. atan agroindustri, agromarine, dan wisata alam
- Mempercepat pertumbuhan ekonomi pada kawas- termasuk wisata bahari.
an yang relatif tertinggal. - Keterkaitan dan keterpaduan prasarana wilayah:
transportasi, energi, dan telekomunikasi.
- Pengendalian kelestarian lingkungan di daratan
dan perairan laut di sekitarnya.
B. Sosial budaya:
3. Kawasan Cagar Budaya: Peninggal- - Pelestarian peninggalan budaya Aceh dan nasi- - Pelestarian cagar budaya.
an Kesultanan Aceh di Banda Aceh onal. - Sebagai objek wisata budaya dan religi.
dan Aceh Besar.
4. Kawasan Cagar Budaya: Peninggal- - Pelestarian peninggalan budaya Aceh dan nasi- - Pelestarian cagar budaya.
an Kerajaan Samudera Pasai di onal. - Sebagai objek wisata budaya dan religi.
Aceh Utara.
5. Kawasan Pemakaman Massal Kor- - Memiliki nilai sejarah. - Pelestarian kawasan dengan fungsi khusus.
ban Tsunami dan Museum Bencana - Sebagai objek wisata budaya.
Tsunami 2004 di Banda Aceh.
C. Pendayagunaan sumber daya
alam dan/atau teknologi tinggi:
6. DAS Peusangan - Memiliki sumber daya air yang bersifat lintas ka- - Pemanfaatan sumber daya air untuk energi, irigasi
bupaten, yang dapat didayagunakan untuk men- dan air bersih.
dukung perkembangan wilayah yang pesat di - Konservasi sumber daya air DAS Peusangan, un-
pesisir timur Aceh. tuk menjaga kuantitas dan kualitas air.
D. Fungsi dan Daya Dukung Ling-
kungan:
7. Kawasan Ekosistem Ulu Masen - Perlindungan ekosistem, perlindungan keaneka- - Konservasi alam sebagai suatu ekosistem dengan
ragaman hayati, dan perlindungan wilayah hulu keanekaragaman hayati, dan memberikan perlin-
tata air. dungan terhadap kawasan bawahannya.
- Pembatasan dan pengendalian pembangunan.
8. Kawasan Gunung Seulawah - Perlindungan ekosistem, sebagai gunung berapi - Konservasi alam sebagai suatu ekosistem gunung
(volkanik) yang solitair. berapi (volkanik).
- Pemanfaatan panas bumi Gunung Seulawah.
- Pengendalian kegiatan budidaya di lereng dan ka-
ki Gunung Seulawah.
9. Kawasan Hutan Lindung Pesisir - Perlindungan ekosistem hutan bakau. - Rehabilitasi dan revitalisasi hutan bakau.
(Hutan Bakau) Pesisir Timur Aceh - Pengendalian kegiatan budidaya perikanan dan
(Aceh Tamiang, Langsa, Aceh Timur) permukiman di sekitar kawasan hutan bakau.
10. Kawasan Hutan Bakau di Pesisir - Perlindungan ekosistem hutan bakau. - Rehabilitasi dan revitalisasi hutan bakau.
Barat Aceh (Gosong Telaga - TWA - Pengendalian kegiatan budidaya perikanan dan
Anak Laut Singkil) permukiman di sekitar kawasan hutan bakau.
11. Kawasan TWA/TWAL Pulau Weh - Perlindungan ekosistem darat dan laut yang ter- - Menjaga kualitas kawasan dengan keanekaragam-
Sabang integrasi dalam kawasan. an fauna dan flora.
- Pengendalian pemanfaatan sebagai objek wisata
alam.
12. Kawasan TWA/TWAL Kepulauan - Perlindungan ekosistem darat dan laut yang ter- - Menjaga kualitas kawasan dengan keanekaragam-
Banyak Aceh Singkil. integrasi dalam kawasan. an fauna dan flora.
- Pengendalian pemanfaatan sebagai objek wisata
alam.
Sumber: Hasil Kajian/Analisis.
Kriteria KSA ini adalah memiliki sektor unggulan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
wilayah Aceh, namun pertumbuhan ekonomi yang pesat tersebut selayaknya dikendalikan agar
tidak menurunkan kinerja kawasan.
Arahan penanganan KSA Koridor Banda Aceh – Lhokseumawe – Langsa – Kuala Simpang ini
meliputi:
Wilayah ini memiliki sektor unggulan berupa kegiatan ekonomi berbasis sumber daya
alam di daratan dan perairan laut yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi
(perkebunan, pertanian, perikanan, pariwisata, dan pertambangan).
Kriteria KSA ini adalah memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi,
sehingga dapat mempercepat pertumbuhan kawasan ini sebagai kawasan yang relatif tertinggal.
Arahan penanganan KSA Koridor Banda Aceh – Meulaboh – Subulussalam ini meliputi:
o Pemanfaatan sumber daya air untuk energi (PLTA), irigasi, dan sir bersih bagi
permukiman di pesisir timur Aceh.
o Konservasi sumber daya air DAS Peusangan untuk menjaga kuantitas dan kualitas air,
dengan menjaga kelestarian alam/lingkungan pada DAS Peusangan tersebut.
4. Sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
1. Kawasan Ekosistem Ulu Masen. Kawasan Ekosistem Ulu Masen ini menyambung dengan Kawasan
Ekosistem Leuser, yang dominan terletak di bagian wilayah pegunungan tengah, dengan luas
sekitar 750.000 Ha. Mengacu kepada rencana pola ruang wilayah Aceh, Kawasan Ekosistem
Ulu Masen ini mencakup fungsi yang bervariasi yaitu kawasan lindung (cagar alam, hutan
lindung) dan kawasan budidaya (hutan produksi, dan APL/Areal Penggunaan Lainnya), dan
terletak atau berkenaan dengan wilayah 6 kabupaten, yaitu: Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya,
Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Aceh Tengah. Kriteria KSA ini adalah perlindungan ekosistem,
keanekaragaman hayati (biodiversity), dan wilayah hulu (upstream) tata air.
Arahan penanganan KSA kawasan hutan lindung pesisir (hutan bakau) pesisir timur ini
meliputi:
4. Kawasan Hutan Lindung Pesisir (Hutan Bakau) Pesisir Barat. KSA ini terletak di Gosong
Telaga di pesisir Kabupaten Aceh Singkil. Kriteria KSA ini adalah perlindungan ekosistem
hutan bakau.
Arahan penanganan KSA kawasan hutan lindung pesisir (hutan bakau) pesisir barat ini
meliputi:
Arahan penanganan KSA TWA/TWAL Kepulauan Banyak Aceh Singkil ini meliputi:
Beberapa Permasalahan dan Tantangan Aceh hingga tahun 2017 menurut Rencana Program Jangka
Menengah Aceh adalah sebagai berikut;
Sedangkan Isu strategis Aceh hingga tahun 2017, diprediksi akan terdapat beberapa isu yang
menguat sebagai berikut;
3.8.2.2. Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Pembangunan Aceh hingga 2017
Visi Pembangunan Aceh hingga tahun 2017 adalah Aceh Yang Bermartabat, Sejahtera, Berkeadilan,
Dan Mandiri Berlandaskan Undang-Undang Pemerintahan Aceh Sebagai Wujud Mou Helsinki”.
Misi pembangunan Aceh hingga tahun 2017, terdiri atas beberapa hal diantaranya;
1. Memperbaiki tata kelola Pemerintahan Aceh yang amanah melalui Implementasi dan
penyelesaian peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh (UUPA) untuk menjaga perdamaian yang abadi.
2. Menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan Nilai-Nilai Dinul Islam di semua sector kehidupan
masyarakat.
3. Memperkuat struktur ekonomi dan kualitas sumber daya manusia.
4. Melaksanakan pembangunan Aceh yang proporsional, terintegrasi dan berkelanjutan.
5. Mewujudkan peningkatan nilai tambah produksi masyarakat dan optimalisasi pemanfaatan SDA.
Tujuan Pembangunan Aceh hingga tahun 2017 dan sasaran pembangunan yang akan dilalui/dicapai
adalah sebagai berikut;
Strategi dan kebijakan Pembangunan Aceh hingga 2017 adalah penjabaran dari visi, misi, tujuan
dan sasaran pembangunan Aceh, rangkaian ini menjadi pegangan para pemangku kepentingan Aceh
untuk mengantisipasi berbagai persoalan politik, social, budaya di Aceh.
Rencana Induk Pelabuhan Aceh hingga tahun 2033 akan menjadi bagian perangkat lunak bagi
Gubernur Aceh masa jabatan hingga 2017. Buku Rencana Induk Pelabuhan Aceh akan menjadi panduan
Gubernur dalam pemantauan dan evaluasi sub sektor perhubungan pada dinas perhubungan,
telekomunikasi dan telematika. Gubernur Aceh akan memiliki panduan pengelolaan sub sektor
khusus kepelabuhanan di Aceh untuk memantau gerak perekonomian antar wilyah yang mengandalkan
pelabuhan. Rencana Induk Pelabuhan Aceh akan menjadi pegangan bagi pimpinan Aceh terutama
Gubernur dan Kepala Dinas Perhubungan, Telekomunikasi dan Telematika Aceh. Sub Sektor
Kepelabuhanan ini akan menjadi sub infrastruktur pembangunan di Aceh. Berdasarkan kajian
terhadap RPJMD Aceh hingga pada tahun 2017, didapati bahwa RPJMD Aceh telah mengayomi Rencana
Induk Pelabuhan Aceh yang tertuang didalam misi no 4; tujuan no 1; sasaran pembangunan no 1,
2, 3, 4, 5, 6 dan 7; strategi pembangunan no 1, 2, dan 3; arah kebijakan pembangunan no 1
dan 2; 10 program prioritas pembangunan Aceh 2017 no 8. Berikut gambaran posisi Rencana Induk
Pelabuhan Aceh 2033 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2017.
STRATEGI PEMBANGNAN
SASARAN PEMBANGNAN
TUJUAN PEMBANGNAN
MISI GUBERNUR
VISI GUBERNUR
ARAH KEBIJAKAN
PEMBANGNAN
ACEH
ACEH
1,2,3 Rencana
Visi 4 1 ,4,5, 1,2,3 1,2 8 Induk Pelabuhan
6,7 Aceh
3.8.3. Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
Selaras dengan visi pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 17
tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025, maka visi
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia adalah “Mewujudkan Masyarakat
Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”.
Melalui langkah MP3EI, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi akan menempatkan
Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar
antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0
– 4,5 Triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5
persen pada periode 2011 – 2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025.
Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen
pada periode 2011 – 2014 menjadi 3,0 persen pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi
seperti itu mencerminkan karakteristik negara maju.
Visi 2025 tersebut diwujudkan melalui 3 (tiga) misi yang menjadi focus utamanya, yaitu :
1. Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi
dari pengelolaan asset dan akses SDA, geografis wilayah dan SDM melalui penciptaan
kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antar-kawasan pusat-
pusat pertumbuhan ekonomi.
2. Mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi
pasar domestic dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional
3. Mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun pemasaran
untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovation-driven
economy.
Perubahan pola pikir paling mendasar adalah pemahaman bahwa pembangunan ekonomi membutuhkan
kolaborasi bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan Swasta (dalam
semangat Indonesia Incorporated). Perlu dipahami juga kemampuan pemerintah melalui ABPN dan
APBD dalam pembiayaan pembangunan sangat terbatas. Di sisi lain, semakin maju perekonomian
suatu negara, maka semakin kecil pula proporsi anggaran pemerintah dalam pembangunan ekonomi.
Dinamika ekonomi suatu Negara pada akhirnya akan tergantung pada dunia usaha yang mencakup
BUMN, BUMD dan swasta domestik asing.
Namun demikian, untuk mempercepat implementasi MP3EI, perlu juga dikembangkan metode
pembangunan infrastruktur sepenuhnya oleh dunia usaha yang dikaitkan dengan kegiatan
produksi. Peran Pemerintah adalah menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang memberi
insentif bagi dunia usaha untuk membangun kegiatan produksi dan infrastruktur tersebut secara
paripurna. Insentif tersebut dapat berupa kebijakan (system maupun tariff) pajak, bea masuk,
aturan ketenagakerjaan perijinan, pertanahan, dan lainnya sesuai kesepakatan dengan dunia
usaha. Perlakuan khusus diberikan agar dunia usaha memiliki perspektif jangka panjang dalam
pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi baru. Selanjutnya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah harus membangun linkage semaksimal mungkin untuk mendorong pembangunan daerah sekitar
pusat pertumbuhan ekonomi.
Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia menetapkan sejumlah program utama dan
kegiatan ekonomi utama yang menjadi fokus pengembangan strategi dan kebijakan. Prioritas ini
merupakan hasil dari sejumlah kesepakatan yang dibangun bersama sama dengan seluruh pemangku
kepentingan di dalam serial diskusi dan dialog yang sifatnya interaktif dan partisipatif.
Sebagai dokumen kerja, MP3EI berisikan arahan pengembangan kegiatan ekonomi utama yang sudah
lebih spesifik, lengkap dengan kebutuhan infrastruktur dan rekomendasi perubahan/revisi
terhadap peraturan perundang-undangan yang perlu dilakukan maupun pemberlakuan peraturan-
perundangan baru yang diperlukan untuk mendorong percepatan dan perluasan investasi.
Selanjutnya MP3EI menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional. MP3EI bukan dimaksudkan untuk mengganti dokumen perencanaan pembangunan yang telah
ada seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2007) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, namun menjadi dokumen yang
terintegrasi dan komplementer yang penting serta khusus untuk melakukan percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi. MP3EI juga dirumuskan dengan memperhatikan Rencana Aksi
Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) karena merupakan komitmen nasional yang berkenaan dengan
perubahan iklim global.
Berdasarkan berbagai faktor di atas, maka kerangka desain dari MP3EI 2011 – 2025 dirumuskan
sebagaimana pada gambar dibawah ini.
Pembangunan koridor ekonomi ini juga dapat diartikan seabgai pengembangan wilayah untuk
menciptakan dan memberdayakan basis ekonomi terpadu dan komptetitif serta berkelanjutan.
Percepatan dan perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia melalui pembangunan Koridor Ekonomi
Indonesia memberikan penekanan baru bagi pembangunan ekonomi wilayah sebagai berikut:
1. Koridor Ekonomi Indonesia diarahkan pada pembangunan yang menekankan pada peningkatan
produktivitas dan nilai tambah pengelolaan sumber daya alam melalui perluasan dan
penciptaan rantai kegiatan dari hulu sampai hilir secara berkelanjutan.
2. Koridor Ekonomi Indonesia diarahkan pada pembangunan ekonomi yang beragam dan inklusif,
dan dihubungkan dengan wilayah-wilayah lain di luar koridor ekonomi, agar semua wilayah
di Indonesia dapat berkembang sesuai dengan potensi dan keunggulan masing-masing wilayah.
3. Koridor Ekonomi Indonesia menekankan pada sinergi pembangunan sektoral dan wilayah untuk
meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif secara nasional, regional maupun
global.
4. Koridor Ekonomi Indonesia menekankan pembangunan konektivitas yang terintegrasi antara
sistem transportasi, logistik, serta komunikasi dan informasi untuk membuka akses daerah.
5. Koridor Ekonomi Indonesia akan didukung dengan pemberian insentif fiskal dan non-fiskal,
kemudahan peraturan, perijinan dan pelayanan publik dari Pemerintah Pusat maupun Daerah.
Konektivitas Nasional menyangkut kapasitas dan kapabilitas suatu bangsa dalam mengelola
mobilitas yang mencakup 5 (lima) unsur sebagai berikut:
1. Personel/penumpang, yang menyangkut pengelolaan lalu lintas manusia di, dari dan ke
wilayah.
2. Material/barang abiotik (physical and chemical materials) yang menyangkut mobilitas
komoditi industri dan hasil industri.
3. Material/unsur biotik/species, yang mencakup lalu lintas unsur mahluk hidup di luar
manusia seperti ternak, Bio Toxins, Veral, Serum, Verum, Seeds, Bio-Plasma, BioGen,
Bioweapon.
4. Jasa dan Keuangan, yang menyangkut mobilitas teknologi, sumber daya manusia dan modal
pembangunan bagi wilayah.
5. Informasi, yang menyangkut mobilitas informasi untuk kepentingan pembangunan wilayah yang
saat ini sangat terkait dengan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi.
Total panjang garis pantai Indonesia seluas 54.716 kilometer yang terbentang sepanjang
Samudera India, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Maluku,
Samudera Pasifik, Laut Arafura, Laut Timor, dan di wilayah kecil lainnya. Melekat dengan
Kepulauan Indonesia terdapat beberapa alur laut yang berbobot strategis ekonomi dan militer
global, yaitu Selat Malaka (yang merupakan SLoC), Selat Sunda (ALKI 1), Selat Lombok dan
Selat Makassar (ALKI 2), dan Selat Ombai Wetar (ALKI 3). Sebagian besar pelayaran utama dunia
melewati dan memanfaatkan alur-alur tersebut sebagi jalur pelayarannya.
MP3EI mengedepankan upaya memaksimalkan pemanfaatan SLoC maupun ALKI (Alur Laut Kepulauan
Indonesia) tersebut di atas. Indonesia bisa meraih banyak keuntungan dari modalitas maritim
ini untuk mengakselerasi pertumbuhan di berbagai kawasan di Indonesia (khususnya Kawasan
Timur Indonesia), membangun daya saing maritim, serta meningkatkan ketahanan dan kedaulatan
ekonomi nasional. Untuk memperoleh manfaat dari posisi strategis nasional, upaya Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia perlu memanfaatkan keberadaan SLoC dan ALKI
sebagai jalur laut bagi pelayaran internasional.
Dalam rangka penguatan konektivitas nasional yang memperhatikan posisi geo-strategis regional
dan global, perlu ditetapkan pintu gerbang konektivitas global yang memanfaatkan secara
optimal keberadaan SLoC dan ALKI tersebut di atas sebagai modalitas utama percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi Indonesia. Konsepsi tersebut akan menjadi tulang-punggung yang
membentuk postur konektivitas nasional dan sekaligus diharapkan berfungsi menjadi instrumen
pendorong dan penarik keseimbangan ekonomi wilayah, yang tidak hanya dapat mendorong kegiatan
ekonomi yang lebih merata ke seluruh wilayah Indonesia, tetapi dapat juga menciptakan
membangun kemandirian dan daya saing ekonomi nasional yang solid.
Gambar 3. 12. Konsep Gerbang Pelabuhan dan Bandar Udara Internasional di Masa Depan
Sumber : MP3EI, 2013
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diintegrasikan beberapa komponen konektivitas yang
saling berhubungan kedalam satu perencanaan terpadu. Beberapa komponen dimaksud merupakan
pembentuk postur konektivitas secara nasional (tabel 3.30), yang meliputi: (a) Sistem
Logistik Nasional (SISLOGNAS); (b) Sistem Transportasi Nasional (SISTRANAS); (c) Pengembangan
Wilayah (RPJMN dan RTRWN); (d) Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT). Rencana dari
masing-masing komponen tersebut telah selesai disusun, namun dilakukan secara terpisah. Oleh
karena itu, Penguatan Konektivitas Nasional berupaya untuk mengintegrasikan keempat komponen
tersebut.
Fokus Penguatan Konektivitas Nasional untuk mendukung percepatan dan perluasan pembangunan
ekonomi indonesia adalah sebagai berikut:
• Memperlancar arus pengiriman barang dan jasa secara efisien dan efektif antar-koridor ekonomi untuk daya
saing regional dan global
• Menurunkan biaya logistik dan ekonomi biaya tinggi pengiriman barang dan jasa antar koridor ekonomi
• Penetapan dan peningkatan kapasitas beberapa pelabuhan dan bandara utama sebagai pusat koleksi dan
KONEKTIVITAS distribusi dengan menerapkan manajemen logistik yang terintegrasi (integrated logistic port management).
• Pengembangan interkoneksi antara pelabuhan utama (pusat koleksi dan distribusi) dengan pelabuhan lokal
ANTRA-KORIDOR dan pelabuhan ‘hub’ internasional
EKONOMI • Pengintegrasian multi moda backbone (serat optik, satelit, microwave)
• Penguatan infrastruktur backbone serat optik: pembangunan di Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor
• Ekonomi Sulawesi dan Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku, dan pengintegrasian dengan pelayanan
di koridor ekonomi wilayah barat
• Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk memfasilitasi perdagangan dan pengembangan
Bab regional
sistem inaportnet pada pelabuhan 3 Gambaran Umum Wilayah Perencanaan – Hal 98
Laporan Akhir
Rencana Induk Pelabuhan Laut (RIPL) Aceh
• Menyiapkan dan menetapkan pelabuhan dan bandara sebagai ‘hub’ internasional di Kawasan Barat dan
Timur Indonesia
• Optimalisasi pengoperasian sistem National Single Window (NSW) di pelabuhan dan bandara yang
berfungsi sebagai ‘hub’ internasional melalui peningkatan pelayanan Teknologi Informasi dan Komunikasi
dalam rangka penerapan Customs Advance Trade System (CATS) dan NSW serta terkoneksinya sistem
KONEKTIVITAS jaringan logistik nasional (national supply chain) dengan sistem jaringan logistik ASEAN (ASEAN supply
chain) dan sistem jaringan logistik global (global supply chain) pada pelabuhan dan bandara internasional.
INTERNASIONAL • Peningkatan efisiensi dan produktivitas operasional pelabuhan dan bandara internasional dengan
menerapkan sistem manajemen logistik yang terintegrasi (integrated logistic port management system).
• Membuka link/international gateway baru ke luar negeri sebagai alternatif link yang ada
• Pembangunan international exchange di pusat-pusat pertumbuhan
• Mempersiapkan diri dalam peningkatan pelayanan sarana dan prasarana konektivitas regional dan global
untuk mencapai target integrasi logistik ASEAN pada 2013, integrasi pasar ASEAN pada 2015, dan integrasi
pasar global pada 2020.
Pada tataran regional dan global terdapat perkembangan kerjasama lintas batas yang perlu
diperhatikan terutama adalah komitmen kerjasama pembangunan di tingkat ASEAN dan APEC.
Indonesia perlu mempersiapkan diri mencapai target integrasi bidang logistik ASEAN pada tahun
2013 dan integrasi pasar tunggal ASEAN tahun 2015, sedangkan dalam konteks global WTO perlu
mempersiapkan diri menghadapi integrasi pasar bebas global tahun 2020. Mencermati
ketertinggalan Indonesia saat ini, perkuatan konektivitas nasional akan memastikan
terintegrasinya Sistem Logistik Nasional secara domestik, terhubungnya dengan pusat-pusat
perekonomian regional, ASEAN dan dunia (global) dalam rangka meningkatkan daya saing
nasional. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan dari keterhubungan
regional dan global (regionally and globally connected).
Salah satu dari upaya tersebut, perkuatan konektivitas nasional perlu diintegrasikan dengan
perkembangan kerjasama pembangunan ditingkat ASEAN yang memiliki tujuan:
Upaya di atas dilakukan melalui penguatan jaringan infrastruktur, komunikasi, dan pergerakan
komoditas (barang, jasa, dan informasi) secara efektif dan efisien. Hal ini merupakan bagian
dari konektivitas internasional.
Cetak Biru (blue Print) ini bukan merupakan rencana induk (Master Plan) tetapi lebih
menekankan pada arah dan pola pengembangan Sistem Logistik Nasional pada tingkat kebijakan
(makro) yang nantinya dijabarkan kedalam Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja
Kementerian/Lembaga setiap tahunnya. Oleh karena itu, Sistem Logistik Nasional diharapkan
dapat berperan dalam mencapai sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2010-2014, menunjang implementasi MP3EI, serta mewujudkan visi ekonomi Indonesia tahun 2025
(RPJPN) yaitu “Mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur” sehingga
akan tercapai sasaran PDB perkapita sebesar 14.250-15.500 (empat belas ribu dua ratus lima
puluh hingga lima belas ribu lima ratus) dolar Amerika pada tahun 2025, seperti pada gambar
dibawah ini.
Dengan demikian peran pokok Cetak Biru Sistem Logistik Nasional adalah memberikan arahan dan
pedoman bagi pemerintah dan dunia usaha untuk membangun Sistem Logistik Nasional yang efektif
dan efisien. Bagi pemerintah, Cetak Biru Sistem Logistik Nasional diharapkan dapat membantu
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam menyusun rencana pembangunan di bidang
logistik, serta meningkatkan transparansi dan koordinasi lintas kementerian dan lembaga di
tingkat pusat maupun daerah. Bagi dunia usaha, Cetak Biru Sistem Logistik Nasional diharapkan
dapat membantu pelaku usaha untuk meningkatkan daya saingnya melalui penciptaan nilai tambah
yang lebih tinggi dengan biaya yang kompetitif, meningkatkan peluang investasi bagi usaha
menengah, kecil dan mikro, serta membuka peluang bagi pelaku dan penyedia jasa logistik
nasional untuk menggalang kerjasama dalam skala global.
Sebagai panduan dan pedoman dalam pengembangan Sistem Logistik Nasional bagi para pihak
terkait (pemangku kepentingan), baik pemerintah maupun swasta, dalam:
1) menentukan arah kebijakan logistik nasional dalam rangka peningkatan kemampuan dan daya
saing usaha agar berhasil dalam persaingan global;
2) mengembangkan kegiatan yang lebih rinci, baik pada pemerintah pusat, pemerintah daerah,
pelaku usaha, dan pemangku kepentingan lainnya;
3) mengkoordinasikan, mensinkronkan dan mengintegrasikan para pihak terkait dalam
melaksanakan kebijakan logistik nasional;
4) mengkoordinasikan dan memberdayakan secara optimal sumber daya yang dibutuhkan, dalam
rangka meningkatkan daya saing ekonomi nasional, pertahanan keamanan negara, dan
kesejahteraan rakyat.
5) Sebagai alat untuk mengkomunikasikan Visi, Misi, Tujuan, Arah Kebijakan, dan Strategi,
serta Rencana Aksi pengembangan Sistem Logistik Nasional.
Secara umum sistem logistik di Indonesia saat ini belum memiliki kesatuan visi yang mampu
mendukung peningkatan daya saing pelaku bisnis dan peningkatan kesejahteraan rakyat, bahkan
pembinaan dan kewenangan terkait kegiatan logistik relatif masih bersifat parsial dan
sektoral di masing-masing kementerian atau lembaga terkait, sementara koordinasi yang ada
belum memadai.
a) Komoditas penggerak utama (key commodity factor) sebagai penggerak aktivitas logistik
belum terkoordinasi secara efektif, belum adanya fokus komoditas yang ditetapkan sebagai
komitmen nasional, dan belum optimalnya volume perdagangan ekspor dan impor;
b) Infrastruktur transportasi belum memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas yang
antara lain karena belum adanya pelabuhan hub, belum dikelola secara terintegrasi, efektif
dan efisien, serta belum efektifnya intermodal transportasi dan interkoneksi antara
infrastruktur pelabuhan, pergudangan, transportasi dan wilayah hinterland,
c) Pelaku dan penyedia jasa logistik masih berdaya saing rendah karena terbatasnya jaringan
bisnis pelaku dan penyedia jasa logistik lokal sehingga pelaku multinasional lebih dominan
dan terbatasnya kualitas dan kemampuan pelaku dan penyedia jasa logistik nasional;
d) Teknologi informasi dan komunikasi belum didukung oleh ketersediaan infrastruktur dan
jaringan yang handal, masih terbatasnya jangkauan jaringan pelayanan non seluler, dan
masih terbiasanya menggunakan sistem manual (paper based system) dalam transaksi logistik;
e) SDM logistik masih memiliki kompetensi rendah yang disertai oleh belum memadainya lembaga
pendidikan dan pelatihan bidang logistik;
f) Regulasi dan kebijakan masih bersifat parsial dan sektoral, yang disertai oleh masih
rendahnya penegakan hukum, belum efektifnya koordinasi lintas sektoral, dan belum adanya
lembaga yang menjadi integrator kegiatan logistik nasional.
Kondisi umum di atas menjadi penyebab dari belum optimalnya kinerja sektor logistik nasional
yang tercermin dari tingginya biaya logistik dan pelayanan yang belum optimal, sehingga hal
ini mempengaruhi daya saing dunia usaha di pasar global. Berdasarkan survei yang dilakukan
World Bank pada tahun 2010 yang kemudian dituangkan dalam Logistics Performance Index (LPI),
posisi LPI Indonesia secara menyeluruh berada pada peringkat 75 (tujuh puluh lima) dari 155
(seratus lima puluh lima) negara. Berikut ini adalah gambaran umum perkembangan Sistem
Logistik Nasional yang lebih rinci yang terkait dengan pergerakan barang, infrastuktur
logistik yang mendukung, pelaku dan penyedia jasa logistik, sumber daya manusia, kinerja dan
permasalahan yang dihadapi.
Gambar 3. 16. Pola Spasial Pemenuhan Permintaan Antara Lokal, Antar Provinsi dan Impor
Sumber : Sislognas, 2013
Secara umum kondisi infrastruktur yang ada saat ini masih belum memadai untuk menunjang
kinerja logistik nasional. Hal ini dapat dijelaskan dari gambaran infrastruktur sebagai
berikut:
a) Pelabuhan
Permasalahan utama pelabuhan menyangkut 3 (tiga) hal pokok, yaitu belum tersedianya pelabuhan
hub internasional, rendahnya produktivitas dan kapasitas pelabuhan, dan belum terintegrasinya
manajemen kepelabuhanan.
b) Prasarana Jalan
Terbatasnya kapasitas jalan pada beberapa lintas ekonomi seperti Trans Jawa dan Sumatera
telah berdampak pada bertambahnya waktu tempuh perjalanan, sehingga pada ruas-ruas tersebut
memerlukan peningkatan kapasitas dan pengembangan jaringan baru secara bertahap. Hal tersebut
didasarkan pada kenyataan bahwa menurunnya tingkat pelayanan jalan pada jalur-jalur utama
perekonomian terutama di Jawa dan Sumatera menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan mengurangi
daya saing produk-produk domestik. Selain itu juga kurangnya disiplin pengguna jalan seperti
membawa muatan melebihi kapasitas jalan telah menyebabkan jalan cepat rusak. Kondisi
kerusakan jalan ini juga terjadi di daerah dan kepulauan lainnya, seperti Kalimantan, Sulawesi
dan Papua.
Perkeretaapian nasional masih menghadapi berbagai permasalahan, seperti jalur Kereta Api
yang masih menggunakan single track, banyaknya kondisi rel yang sudah tua dan teknologi yang
sudah usang, dan gerbong yang perlu segera diganti. Konsep bisnis yang diterapkan untuk
Kereta Api barang khususnya pengangkutan kargo kontainer masih menerapkan sistem bisnis
pengangkutan atau transporter, belum menggunakan perspektif konsep bisnis logistik. Selain
yang tersebut diatas, beberapa permasalahan lain adalah: (a) Jalur Angkutan Petikemas TPKB
Gedebage ke Pelabuhan Laut Tanjung Priok terhenti di Pasoso yang jaraknya sekitar 1 (satu)
km dari posisi Terminal Kontainer JICT/Koja, hal ini menimbulkan tambahan handling, waktu
dan biaya, (b) pemeliharaan, baik sarana (gerbong dan lokomotif) maupun prasarana
perkeretaapian, yang belum memadai; dan (c) Jadwal kereta api yang belum sejalan dengan
jadwal pengiriman barang ekspor/impor.
Negara Indonesia yang berupa kepulauan membutuhkan sarana dan prasarana transportasi laut
yang memadai. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan pelayanan dan tingkat keselamatan
angkutan laut (terutama: ferry) yang memadai, yang perlu didukung dengan industri penunjang
galangan kapal dan rancang-bangun kapal ferry nasional yang memadai.
Saat ini angkutan sungai dan penyeberangan memiliki paradigma baru yaitu bahwa angkutan ini
berorientasi pada dinamika lingkungan daerah dan bisnis, harga dinamis, kompetisi layanan
(customer focus), dan entitas infrastruktur – bisnis (mixed). Kedepannya, potret masa depan
industry ferry Indonesia akan menuju pola tarif ferry berbasis pasar (pro-market mechanism).
Sehingga menuntut peremajaan armada kapal angkutan penyeberangan/ferry (excelent ferry ship),
dan peningkatan citra layanan angkutan penyeberangan/ferry (superior services at the highest
safety standard).
e) Transportasi Multimoda
Saat ini, Indonesia belum memiliki konsep multimoda di sektor angkutan barang dan belum
memiliki regulasi yang mengatur prosedur transportasi bagi barang berpindah moda. Selain
itu, akses transportasi multimoda belum memadai, seperti ketika barang dibongkar di Pelabuhan
Tanjung Priok dan satu-satunya akses transportasi pengangkutan barang hanya melalui
transportasi darat. Padahal, infrastruktur jalan yang sangat terbatas menyebabkan lalu lintas
di Pelabuhan Tanjung Priok mengalami kemacetan. Akses jalan kereta api yang ada saat ini
tidak difungsikan lagi, sehingga tidak terdapat alternatif bagi para pelaku industri untuk
dapat mengelola distribusi barangnya secara efektif dan efisien.
1. Infrastruktur yang belum menunjang, seperti akses jalan Kereta Api dari Tanjung Priok
belum bisa langsung ke container yard dan dari Gede Bage masih memerlukan dua kali customs
handling.
2. Gudang transit yang belum memadai, baik dipelabuhan udara maupun di pelabuhan laut.
Visi, Misi, dan Tujuan pengembangan Sistem Logistik Nasional sampai tahun 2025 adalah
“Terwujudnya Sistem Logistik yang terintegrasi secara lokal, terhubung secara global untuk
meningkatkan daya saing nasional dan kesejahteraan rakyat (locally integrated, globally
connected for national competitiveness and social welfare)”
Terintegrasi Secara Lokal (Locally Integrated), diartikan bahwa pada tahun 2025 seluruh
aktivitas logistik di Indonesia mulai dari tingkat pedesaan, perkotaan, sampai dengan antar
wilayah dan antar pulau beroperasi secara efektif dan efisien dan menjadi satu kesatuan yang
terintegrasi secara nasional dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
akan membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Dengan visi terintegrasi
secara lokal ini akan mendorong terwujudnya ketahanan dan kedaulatan ekonomi nasional yang
ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, dan pemerataan antar daerah yang
berkeadilan sehingga akan tercapai peningkatan kesejahteraan masyarakat dan akan menyatukan
seluruh wilayah Indonesia sebagai negara maritim.
Integrasi secara lokal dan keterhubungan secara global sebagaimana disajikan secara skematis
pada Gambar 3.19 dilakukan melalui integrasi dan efisiensi jaringan logistik yang terdiri
atas jaringan distribusi, jaringan transportasi, jaringan informasi, dan jaringan keuangan
yang didukung oleh pelaku dan penyedia jasa logistik. Dengan demikian jaringan sistem logistik
dalam negeri dan keterhubungannya dengan jaringan logistik global akan menjadi kunci
kesuksesan di era persaingan rantai pasok global (global supply chain), karena persaingan
tidak hanya antar produk, antar perusahaan, namun juga antar jaringan logistik dan rantai
pasok bahkan antar negara. Selain itu, integrasi logistik secara lokal dan keterhubungan
secara global akan dapat meningkatkan ketahanan dan kedaulatan ekonomi, kesejahteraan
masyarakat dan perwujudan NKRI sebagai negara maritim.
Terhubung Secara Global (Globally Connected) diartikan bahwa pada tahun 2025, Sistem Logistik
Nasional akan terhubung dengan sistem logistik regional (ASEAN) dan global melalui Pelabuhan
Hub Internasional (termasuk fasilitasi kepabeanan dan fasilitasi perdagangan) dan jaringan
informasi “International Gateways”, dan jaringan keuangan agar pelaku dan penyedia jasa
logistik nasional dapat bersaing di pasar global.
Integrasi secara lokal dan keterhubungan secara global sebagaimana disajikan secara skematis
pada Gambar dibawah ini dilakukan melalui integrasi dan efisiensi jaringan logistik yang
terdiri atas jaringan distribusi, jaringan transportasi, jaringan informasi, dan jaringan
keuangan yang didukung oleh pelaku dan penyedia jasa logistik. Dengan demikian jaringan
sistem logistik dalam negeri dan keterhubungannya dengan jaringan logistik global akan
menjadi kunci kesuksesan di era persaingan rantai pasok global (global supply chain), karena
persaingan tidak hanya antar produk, antar perusahaan, namun juga antar jaringan logistik
dan rantai pasok bahkan antar negara. Selain itu, integrasi logistik secara lokal dan
keterhubungan secara global akan dapat meningkatkan ketahanan dan kedaulatan ekonomi,
kesejahteraan masyarakat dan perwujudan NKRI sebagai negara maritim.
B. Misi
a) Memperlancar arus barang secara efektif dan efisien untuk menjamin pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat dan peningkatan daya saing produk nasional di pasar domestik, regional,
dan global.
b) Membangun simpul-simpul logistik nasional dan konektivitasnya mulai dari pedesaan,
perkotaan, antar wilayah dan antar pulau sampai dengan hub pelabuhan internasional melalui
kolaborasi antar pemangku kepentingan.
C. Tujuan
Sesuai dengan visi dan misi di atas secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam membangun
dan mengembangkan Sistem Logistik Nasional adalah mewujudkan sistem logistik yang
terintegrasi, efektif dan efisien untuk meningkatkan daya saing nasional di pasar regional
dan global, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara lebih spesifik tujuan tersebut
adalah:
a) Menurunkan biaya logistik, memperlancar arus barang, dan meningkatkan pelayanan logistik
sehingga meningkatkan daya saing produk nasional di pasar global dan pasar domestik;
b) Menjamin ketersediaan komoditas pokok dan strategis di seluruh wilayah Indonesia dengan
harga yang terjangkau sehingga mendorong pencapaian masyarakat adil dan makmur, dan
memperkokoh kedaulatan dan keutuhan NKRI;
c) Mempersiapkan diri untuk menghadapi integrasi jasa logistik ASEAN pada tahun 2013 sebagai
bagian dari pasar tunggal ASEAN tahun 2015 dan integrasi pasar global pada tahun 2020.
Berdasarkan visi, misi dan tujuan sebagaimana diuraikan diatas, pengembangan Sistem Logistik
Nasional bertumpu pada 6 (enam) faktor penggerak utama yang saling terkait (Gambar 3.20),
yaitu:
Sesuai dengan visi, misi, tujuan dan arah kebijakan, maka kondisi Sistem Logistik Nasional
yang diharapkan secara skematis disajikan pada Gambar 3.20. dan dirinci sesuai dengan komponen
penggeraknya.
1. Aspek Komoditas
a) Komoditas Pokok dan Strategis
Komoditas pokok adalah barang yang menguasai hajat hidup orang banyak, rawan gejolak,
penyumbang dominan inflasi, dan menentukan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan komoditas
strategis adalah barang yang berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan
nasional. Oleh sebab itu, kelompok barang ini merupakan komoditas khusus dimana pemerintah
dapat melakukan intervensi pasar untuk menjamin ketersediaan stok, menstabilkan harga agar
terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, dan menurunkan disparitas harga antar daerah di
Indonesia.
Komoditas unggulan ekspor adalah komoditas ekspor yang pertumbuhan ekspornya cukup tinggi
dan memiliki nilai tambah tinggi sehingga mampu menghela pertumbuhan ekonomi nasional.
Walaupun sebagai komoditas umum yang pasokan dan penyalurannya mengikuti mekanisme pasar,
namun pemerintah perlu memberikan fasilitasi dan dan bantuan promosi untuk pengembangan
komoditas unggulan ekspor ini agar dapat dipacu peningkatan volume dan nilai ekspornya, serta
didorong pertumbuhan industri hilirnya, dan dijamin kelancaran arus barang secara efektif
dan efisien. Ke depan profil jaringan logistik dan rantai pasok komoditas unggulan ekspor
akan menjangkau pusat pusat produksi dan pusat pusat pertumbuhan untuk menjamin kelancaran
arus barang dari daerah asal barang ke pelabuhan Hub Internasional secara efektif dan efisien.
c) Komoditas Bebas/Umum
Komoditas bebas/umum adalah barang yang digunakan masyarakat untuk mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai komoditas umum yang
pasokan dan penyalurannya mengikuti mekanisme pasar, pemerintah tidak perlu melakukan
intervensi pasar. Namun demikian, pemerintah masih perlu menyusun aturan dan kebijakan guna
menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dan kondusif, dan mendorong produsen nasional
agar mampu bersaing dengan produk impor, dan memberikan perlindungan pada konsumen. Ke depan
profil jaringan logistik dan rantai pasok komoditas bebas akan menjangkau pusat pusat produksi
dan pusat pusat pertumbuhan untuk menjamin kelancaran arus barang dari daerah asal barang ke
konsumen baik domestik maupun Internasional secara efektif dan efisien.
Untuk memperlancar logistik komoditas pokok dan strategis akan dibangun Pusat Distribusi
Regional yang berfungsi sebagai cadangan penyangga nasional dan Pusat Distribusi Propinsi
pada setiap Propinsi yang dapat digunakan sebagai penyangga pada setiap propinsi sebagaimana
disajikan pada gambar 3.21. Selanjutnya, Pusat Distribusi Propinsi akan menjadi penyangga
bagi jaringan Distribusi Kabupaten/Kota. Untuk efisiensi, Pusat Distribusi Regional akan
ditempatkan dan dikelola oleh Pusat Distribusi Propinsi yang ditugaskan sebagai Pusat
Distribusi Regional. Adapun kriteria penempatan Pusat Distribusi Regional adalah jumlah
penduduk, aksesibilitas, daerah konsumen (bukan penghasil dan bukan daerah produsen), dapat
berfungsi sebagai kolektor (pusat konsolidasi) dan distributor, berada pada wilayah dekat
Pelabuhan Utama, dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi pusat perdagangan antar pulau.
Berdasarkan pada kriteria tersebut di atas maka alternatif lokasi Pusat Distribusi Regional
adalah sebagai berikut: untuk Sumatra di Kuala Tanjung Padang, dan Palembang, Jawa di Jakarta,
Semarang, dan Surabaya, Kalimantan di Banjarmasin, Sulawesi di Makassar dan Bitung, Nusa
Tenggara di Larantuka, dan Papua di Sorong dan Jayapura.
Kondisi yang diinginkan adalah terwujudnya Pelaku Logistik (PL) dan Penyedia Jasa Logistik
(PJL) yang terpercaya dan profesional, yang tidak hanya mampu bersaing dan menguasai sektor
logistik dalam tataran lokal dan nasional, tetapi juga mampu bersaing di tataran global
sehingga terwujud “pemain lokal kelas dunia” (world class local players). Khusus untuk
Komoditas Pokok dan Strategis, PL dan PJL Nasional berperan baik disisi hulu (pasokan) maupun
hilir (penyaluran), dan PL dan PJL Internasional dimungkinkan berperan pada kegiatan ekspor
dan impor. Selain itu Pengusaha UKM dan Koperasi memiliki kesempatan seluas untuk berperan
sebagai PL dan PJL pada Jaringan Logistik Lokal dan Nasional.
Peran dan fungsi infrastruktur transportasi adalah memperlancar pergerakan arus barang secara
efektif dan efisien serta dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim, yang
mempunyai kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional (national economic security and
souverignty), dan sebagai wahana pemersatu bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) Ketersediaan jaringan infrastruktur transportasi yang memadai merupakan
faktor penting untuk mewujudkan konektivitas lokal (local connectivity), konektivitas
nasional (national connectivity), dan konektivitas global (global connectivity).
Konsep wilayah depan dan wilayah dalam merupakan lompatan strategis di sektor logistik agar
daya saing produk lokal di pasar domestik dapat meningkat. Selain itu, konsep ini diharapkan
juga dapat menjadi dorongan transformasi pelabuhan Hub International menjadi Logistics Port,
yaitu: sebagai fasilitas untuk memperlancar arus barang menggantikan pelabuhan sebagai tempat
bongkar muat. Secara mikro, konsep ini juga mempercepat paling tidak 2 (dua) hal yaitu: (a)
Pengembangan pelabuhan Short Sea Shipping (SSS) di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua sebagai alternatif pengembangan infrastruktur jalan raya
yang semakin sangat mahal, dan sering terkendala masalah pembebasan lahan, dan (b)
Pengembangan Logistics Support di wilayah laut dalam untuk menunjang aktivitas eksploitasi
kekayaan laut Indonesia di wilayah ZEE.
Infrastruktur dan jaringan transportasi lokal merupakan bagian dari konektivitas domestik
yang diharapkan mampu menghubungkan masyarakat pedesaan, perkotaan (kota, kabupaten, dan
propinsi), pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di dalam satu pulau atau di dalam satu koridor
ekonomi. Pada tahun 2025, secara Nasional diharapkan jaringan infrastruktur transportasi
massal baik darat (kereta api) maupun air (short sea shipping) yang menjadi tulang punggung
harus sudah terbangun sehingga akan mengikat kuat interkoneksi antara kawasan-kawasan
industri, perkotaan, dan pedesaan. Titik simpul logistik yang penting untuk dikembangkan
adalah pelabuhan laut, bandar udara, terminal, pusat distribusi, pusat produksi, dan kawasan
pergudangan yang harus terintegrasi dengan jaringan jalan raya, jalan tol, jalur kereta api,
jalur sungai, jalur pelayaran dan jalur penerbangan. Dengan kondisi ini diharapkan daya saing
produk nasional meningkat, serta kebutuhan bahan pokok dan strategis masyarakat dapat
dipenuhi dengan jumlah yang sesuai dan harga terjangkau.
Infrastruktur dan jaringan transportasi antar pulau merupakan bagian dari konektivitas
domestik yang diharapkan mampu menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baik dalam
(intra) koridor ekonomi dan wilayah dalamnya (hinterland), termasuk daerah tertinggal,
terpencil dan terdepan (perbatasan) maupun antar koridor ekonomi, dan antar pulau (inter
island). Pada tahun 2025, secara nasional diharapkan jaringan infrastruktur transportasi
harus sudah dibangun yang menghubungkan antara kawasan-kawasan industri, perkotaan, dan antar
pulau. Titik simpul transportasi penting antar pulau adalah pelabuhan laut dan bandar udara
yang harus terkoneksi dengan jalur pelayaran dan jalur penerbangan yang memadai dan efisien.
Transportasi antar pulau (pelayaran dalam negeri) memegang peranan yang sangat strategis dan
menjadi tulang punggung transportasi nasional karena sangat menentukan kelancaran arus barang
dan biaya logistik. Oleh sebab itu, pelabuhan laut sebagai salah satu komponen sistem
transpotasi laut perlu ditata sesuai dengan Undang-Undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran,
khususnya yang terkait dengan penataan Pelabuhan Utama, Pelabuhan Pengumpul, dan Pelabuhan
Pengumpan. Pada setiap Propinsi diharapkan memiliki minimal satu pelabuhan pengumpul,
sedangkan pelabuhan pengumpan berada pada Kabupaten/Kota untuk menunjang kelancaran arus
lalu lintas komoditas unggulan ekspor, komoditas pokok, dan serta barang strategis. Oleh
karena besarnya investasi yang diperlukan, dan faktor efektivitas dan efisiensi operasinya,
maka pelabuhan utama tidak perlu dikembangkan di setiap propinsi, sehingga hanya di beberapa
Propinsi yang pelabuhan pengumpannya memenuhi kriteria sebagai Pelabuhan Utama.
Selain memenuhi aspek teknis, Pelabuhan Utama juga harus memenuhi kriteria lain seperti:
mampu melaksanakan volume bongkar/muat barang minimal 6.000.000 (enam juta) ton/tahun atau
5.000.000 (lima juta) TEUs/tahun, mendukung hinterland yang luas dan memiliki pusat
pertumbuhan ekonomi, memperkuat kedaulatan dan ketahanan nasional (ekonomi, politik, hankam,
sosial, budaya, perdagangan, industri), meningkatkan efektifitas implementasi azas cabotage,
mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim (Maritim State), meningkatkan daya saing produk
domestik, berpotensi dapat dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang baru, menghela
“Unusual Business Growth”, memiliki kecukupan lahan untuk pengembangan, tidak menimbulkan
“social cost” yang besar, dan mempermudah pemerataan pembangunan ekonomi secara inklusif.
Selain itu juga lokasi Pelabuhan Utama ini diharapkan terhubung dengan Hub Ekonomi (kawasan
ekonomi khusus, kawasan industri, dan sebagainya), Hub Logistik, dan Hub Pelabuhan
Internasional. Alternatif pelabuhan utama yang perlu dikaji lebih lanjut berdasarkan atas
kriteria tersebut adalah Sabang, Belawan, Kuala Tanjung, Batam, Jakarta, Surabaya,
Banjarmasin, Balikpapan, Makasar, Bitung, Kupang, Sorong, dan Biak.
Selanjutnya untuk menghubungkan wilayah kepulauan baik pada pulau itu sendiri maupun antar
pulau maka harus dijalankan azas cabotage secara penuh melalui jalur pelayaran utama yang
menghubungkan antar pelabuhan utama, melalui jalur pelayaran yang menghubungkan antar
pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpan, serta melalui penggunaan Short Sea Shipping (SSS)
sebagaimana disajikan pada gambar berikut.
Gambar 3. 22. Tatanan Pelabuhan Penting dan Jalur Utama Pelayaran Domestik
Sumber : Sislognas, 2013
Guna mendukung konsep SSS nasional maka perlu dikaji lebih lanjut tentang rute pelayaran,
dan hal-hal yang terkait dengan penyediaan armada kapal niaga yang memiliki karakteristik
teknis diantaranya sebagai berikut:
1. Kebutuhan jenis kapal SSS (short sea shipping) seperti: Pelayaran Rakyat (Pelra) atau
Pelayaran Nusantara, General Cargo Ship, Large Ro-Ro, Small Ro-Ro, Containers on Barge,
Ro-Ro Barge, dan Container Ship, kapal curah cair dan curah padat
2. Kapasitas kapal niaga untuk masing-masing jenis kapal adalah sebagai berikut: Kapal
General Cargo berkisar 1,000–5,000 (seribu hingga lima ribu) ton DWT, Kapal Ro-Ro 1,000
– 5,000 (seribu hingga lima ribu) GT, Kapal Curah Kering 10,000– 50,000 (sepuluh ribu
hingga lima puluh ribu) ton DWT (Handy Size), Kapal Curah Cair 10,000–30,000 (sepuluh
ribu hingga tiga puluh ribu) ton DWT (General Purpose dan Medium Range), dan Kapal
Kontainer 1,000–3,000 (seribu hingga tiga ribu)TEUs (Small dan Feeder max type).
3. Kecepatan kapal niaga yang paling sesuai dengan kebutuhan SSS Indonesia: 10–15 (sepuluh
hingga lima belas) knots, dan 15–20 (lima belas hingga dua puluh) knots.
4. Jarak jangkau kapal, dapat diklasifikasikan kurang dari 400 (empat ratus) mil laut, antara
400 – 600 (empat ratus hingga enam ratus) mil laut, atau lebih besar dari 600 (enam ratus)
mil laut.
5. Analisa komoditi yang cocok diangkut oleh pelayaran SSS.
Infrastruktur dan Jaringan Transportasi Global merupakan bagian dari konektivitas global
(global connectivity) yang diharapkan mampu menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
utama (national gate way) ke pelabuhan hub internasional baik di wilayah barat Indonesia
maupun wilayah timur Indonesia, serta antara Pelabuhan Hub Internasional di Indonesia dengan
Pelabuhan hub internasional di berbagai negara yang tersebar pada lima benua. Pada tahun
2025 diharapkan Sistem Logistik Nasional akan terhubung dengan sistem logistik global,
melalui jaringan infrastruktur multimoda sebagaimana disajikan pada gambar 3.24.
Selain memenuhi persyaratan aspek teknis pelabuhan internasional, lokasi Pelabuhan Hub
Internasional dipilih dengan kriteria diantaranya berada di wilayah depan atau dilalui ALKI,
memperkuat kedaulatan dan ketahanan nasional (ekonomi, politik, hankam, sosial, budaya,
perdagangan, industri), meningkatkan efektifitas azas cabotage, mewujudkan Indonesia sebagai
Negara Maritim, meningkatkan daya tahan dan daya saing produk domestik, filtering barang
impor yang mengancam produsen produk domestik, berpotensi dapat dikembangkan menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi yang baru, menghela “unusual business growth”, memiliki kecukupan lahan
untuk pengembangan, tidak menimbulkan “social cost” yang besar, mempermudah pemerataan
pembangunan ekonomi secara inklusif.
Berdasarkan konsep wilayah depan dan wilayah dalam di atas, maka diharapkan pintu-pintu masuk
(pelabuhan) untuk barang-barang impor, terutama komoditas pokok dan strategis dan barang
impor yang berpotensi merugikan industri domestik, hanya akan diperboleh untuk masuk
Indonesia melalui wilayah depan Negara Indonesia. Pintu wilayah depan ini memiliki peranan
sebagai sarana untuk menyaring barang masuk, yang dilaksanakan melalui proses clearance
pabean, karantina, dan pemenuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku di Indonesia
dengan tidak melanggar azas kesepakatan (agreement) baik ASEAN 2015 maupun WTO 2020.
Selain itu juga lokasi pintu-pintu masuk ini diharapkan menjadi Hub Ekonomi dan Hub Logistik
yang menjadi fasilitator kerjasama Indonesia dengan negara-negara tetangga dalam kerangka
kerjasama segitiga IMT (Indonesia, Malaysia dan Thailand), IMS (Indonesia, Malaysia dan
Singapura), BIMP (Brunei, Indonesia, Malaysia dan Philipina) dan AIDA (Australia dan
Indonesia). Sesuai dengan MP3EI untuk Wilayah Barat Indonesia adalah Kuala Tanjung, sedangkan
untuk Wilayah Timur Indonesia yang menjadi Hub Internasional berdasarkan atas kriteria
tersebut adalah Bitung.
Adapun pergerakan barang dari pintu-pintu masuk ke wilayah dalam Indonesia akan diperlakukan
sebagai pergerakan barang-barang dalam negeri. Dengan demikian tujuan strategis yang ingin
dicapai adalah agar kelancaran barang ekspor bisa dijamin dan distribusi produk nasional
dapat menjangkau seluruh pelosok secara efektif dengan biaya logistik yang rendah dan menjamin
keberlangsungan pasokan.
d) Transportasi Multimoda
Transportasi multi moda adalah transportasi barang dengan menggunakan paling sedikit dua
moda transportasi yang berbeda, atas dasar satu kontrak yang menggunakan dokumen transportasi
multimoda dari sesuatu tempat barang diterima oleh operator transportasi multimoda ke satu
tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang tersebut. Diharapkan pada akhir tahun 2025
telah terwujud sistem transportasi multimoda sebagaimana secara skematis disajikan pada
gambar 3.24. mengilustrasikan paradigma dan perspektif pembangunan transportasi multimoda
yang mempertimbangkan jenis dan karakteristik sistem transportasi yang digunakan, dan
mempertimbangkan sisi efisiensi, efektivitas dan kemudahan sistem operasinya, sehingga mampu
melahirkan sistem transportasi yang berdaya saing tinggi.
e) Pelabuhan Khusus
Pelabuhan khusus diperuntukkan bagi kelancaran operasi ekspor dan impor dalam rangka
mendukung pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus, industri pertambangan dan migas (batu bara,
nikel, tembaga, LNG, minyak dan sebagainya), serta industri perikanan. Mengingat sifat
komoditasnya yang berbasis pada sumber daya alam, maka lokasi dan penyelenggaraannya akan
diatur secara tersendiri.
2008 tentang Pelayaran. Sampai dengan saat ini, industri perkapalan masih dianggap sebagai
industri yang “terpisah” dengan industri pelayaran dalam mendukung sistem logistik nasional.
Industri ini masih dianggap berdiri sendiri bersama dengan sektor industri alat angkut
lainnya, misalnya: industri mobil. Pembangunan industri perkapalan untuk ke depan adalah
revitalisasi dan pendirian galangan baru yang terletak di sekitar jalur pelayaran domestik
maupun ALKI guna mendukung kehandalan dan keselamatan pelayaran. Lokasi galangan kapal
nasional yang perlu direvitalisasi atau dibangun baru adalah daerah sekitar pelabuhan:
Belawan, Kuala Tanjung, Batam, Jakarta, Surabaya, Banjarmasin/ Balikpapan, Makasar, Bitung,
Sorong, Kupang, dan Biak. Pasokan bahan baku dan bahan antara untuk industri perkapalan di
lokasi tersebut juga harus dibangun sesuai dengan Pusat Distribusi Logistik Provinsi.
Kondisi yang ingin dicapai adalah tersedianya e-Logistik Nasional yang menyediakan layanan
satu atap sistem pengiriman data, dokumen logistik perdagangan, dan informasi secara aman
dan handal untuk melayani transaksi G2G, G2B, dan B2B baik untuk perdagangan domestik maupun
internasional, dan terkoneksi dengan jejaringan logistik ASEAN dan jejaring logistik global
secara on line (One-Stop World Wide Connection and communication of trade messages delivery
system) yang didukung oleh infrastuktur dan jaringan Teknologi Informasi dan Komunikasi yang
handal dan beroperasi secara efisien.
E-Logistik Nasional yang akan dibangun merupakan pengembangan dan integrasi dari NSW, Customs
Advance Trade System (CATS) dan National Integrated Logistics and Intermodal Transportation
System (NILITS), namun tidak hanya untuk mempercepat penanganan dokumen kepabeanan dan
perijinan ekspor-impor, dan kegiatan perdagangan global lainnya, tapi juga untuk keperluan
perdagangan domestik, dengan tujuan agar pergerakan barang/kargo menjadi terdeteksi, tepat
waktu (timely), murah (not costly), dan aman (secure).
Dalam memberikan pelayanan, e-Logistics Nasional harus mampu beradaptasi dengan aktivitas
logistik yang telah ada di dalam negeri maupun di berbagai negara lainnya. E-Logistik Nasional
harus kompatibel dan terintegrasi dengan INSW sehingga akan memperlancar dan mendukung
terlaksananya konektivitas perdagangan baik di tingkat regional maupun internasional. Dengan
demikian, pelaku bisnis dapat mempergunakan e-Logistics Nasional untuk berkomunikasi dan
mengurus aktivitas bisnisnya langsung dengan mitranya di dalam negeri dan mancanegara baik
pelayanan yang bersifat umum maupun pelayanan individu.
Secara umum sasaran yang ingin dicapai adalah tersedianya SDM logistik profesional baik pada
tingkat operasional dan manajerial yang sesuai dengan kebutuhan nasional. Untuk keperluan
tersebut, ke depan perlu dilakukan klasifikasi dan penjejangan profesi logistik, serta
pendirian lembaga pendidikan logistik baik melalui jalur akademik, jalur vokasi, maupun jalur
profesi. Terkait dengan pendidikan profesi logistik, asosiasi terkait dengan logistik
(seperti: ALI, ALFI, dan lain-lain) perlu bekerjasama dengan Badan Nasional Sertifikasi
Profesi (BNSP) dan lembaga pendidikan lainnya untuk membentuk badan akreditasi profesi
logistik dan lembaga assesor yang mendidik dan mengeluarkan sertifikat profesi.
Dalam rangka melindungi kepentingan Negara dan kepentingan berbagai pihak lainnya di sektor
logistik, menjamin kepastian hukum, dan menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi kegiatan
logistik nasional, kondisi yang ingin dicapai ke depan adalah tersedianya landasan hukum,
penegakan hukum (law enforcement), serta implementasi peraturan perundangan yang terkait
dengan logistik. Selain itu, penyelarasan dan sinkronisasi antara peraturan perundangan
logistik baik antar kementerian/lembaga maupun antar Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan
hal yang sangat penting untuk dilakukan, agar terjadi keselarasan peraturan-perundangan yang
dikeluarkan.
7. Aspek Kelembagaan
Kondisi yang diinginkan adalah terbentuknya Kelembagaan Logistik Nasional yang berfungsi
membantu Presiden dalam menyusun kebijakan, mengkoordinasikan, mensinkronkan pelaksanaan
pengembangan Sistem Logistik Nasional. Kelembagaan Nasional Logistik juga bertugas untuk
memastikan agar seluruh rencana aksi Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional dapat
dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga dan pemangku kepentingan lainnya secara efektif,
efisien, dan berkelanjutan. Disamping itu juga bertugas memantau dan mengevaluasi pelaksanaan
kebijakan di bidang logistik nasional, termasuk penanganan berbagai permasalahan yang
bersifat lintas sektor.
Tahapan pengembangan Sistem Logistik Nasional dilakukan melalui suatu tahapan transformasi
yang efektif dan berkelanjutan, dimana proses transformasi ini dituangkan ke dalam tahapan
implementasi (miles stone) dan rencana aksi.
Berikut merupakan Big Win yang yang ingin dicapai dalam rencana aksi Pengembangan Sistem
Logistik Nasional yang harus ditangani secara seksama dan komprehensif oleh berbagai pihak
terkait.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan, dalam rangka
mewujudkan penyelenggaraan pelabuhan yang handal dan berkemampuan tinggi, menjamin efisiensi
nasional dan mempunyai daya saing global guna menunjang pembangunan nasional dan daerah,
perlu menata pelabuhan dalam satu kesatuan Rencana Induk Pelabuhan Nasional serta berdasarkan
Keputusan Menteri Perhubungan nomor 414 tahun 2002 tentang Rencana Induk Pelabuhan Nasional,
ditetapkan untuk wilayah Aceh terdapat 1 pelabuhan utama yakni Sabang dan pelabuhan pengumpul
adalah Meulaboh, Malahayati, Singkil, Lhokseumawe dan Sinabang. Dengan cakupan pelayanan
adalah seluruh wilayah pemerintah Aceh.
Tabel 3. 33. Matrik Hirarki Pelabuhan Aceh Menurut RIPN Indonesia, KP 414/2013
Hirarki Pelabuhan/Terminal
No Kabupaten/Kota Pelabuhan/Terminal Ket
2011 2015 2020 2030
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 Aceh Barat Meulaboh PP PP PP PP *
2 Aceh Barat Daya Susoh PR PR PR PR *
3 Aceh Barat Daya Lhok Pawoh PL PL PL PL
4 Aceh Besar Malahayati PP PP PP PP *
5 Aceh Besar Meulingge PL PL PL PL
6 Aceh Jaya Calang PP PP PP PP *
7 Aceh Jaya Lhok Kruet PL PL PL PL
8 Aceh Selatan Tapak Tuan PR PR PR PR *
9 Aceh Selatan Sibadeh PL PL PL PL
10 Aceh Selatan Meukek PL PL PL PL
11 Aceh Singkil P. Banyak PL PL PL PL
12 Aceh Singkil P. Sarok PL PL PL PL
13 Aceh Singkil Singkil PP PP PP PP *
14 Aceh Singkil Gosong Telaga PL PL PL PL
15 Aceh Tamiang Seruway PL PL PL PL
16 Aceh Timur Idi PR PR PR PR *
17 Aceh Utara Lhokseumawe/Krueng Geukeuh PP PP PP PP *
18 Bireuen Kuala Raja PL PL PL PL
19 Langsa Kuala Langsa PP PP PP PP *
20 Langsa Pusong PL PL PL PL
21 Pidie Sigli PL PL PL PL
22 Pidie Laweung PL PL PL PL
23 Sabang Sabang PU PU PU PU *
24 Banda Aceh Ulee Lheue PP PP PP PP
25 Simeuleu Sibigo PL PL PL PL
26 Simeuleu Sinabang PP PP PP PP *
Sumber: KP 414/2013
Keterangan:
*) adalah terdapat kantor UPT Ditjen HUBLA RI.
1. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 62 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan;
2. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 65 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Pelabuhan Batam;
3. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 35 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Otoritas Pelabuhan Utama;
4. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 36 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan;
Konteks kekinian dari Provinsi tidak terlepas dari dua peristiwa besar yaitu konflik dan
bencana gempa bumi dan tsunami, kedua peristiwa ini mempengaruhi segala aspek kehidupan
masyarakat Aceh. Berbagai indikator pembangunan menunjukkan kecenderungan memburuk akibat
dari kedua peristiwa tersebut. Aceh menjadi satusatunya Provinsi di Indonesia yang terus-
menerus mengalami tingkat pertumbuhan yang rendah atau negatif. Bencana alam melengkapi
penderitaan dengan banyaknya korban nyawa selain kerusakan infrastruktur fisik, ekonomi dan
sosial pada skala masif.
Aceh memasuki masa transisi ekonomi dimana kegiatan ekonomi sekunder mulai mengalami
peningkatan. Proses transisi ini memberikan dampak pada alih fungsi lahan dari lahan pertanian
menjadi lahan permukiman, perkantoran, pertokoan dan pusat-pusat komersial lainnya. Demikian
juga halnya dengan fungsi lahan hutan yang mengalami perubahan menjadi lahan perkebunan dan
penggunaan lainnya yang tidak sesuai dengan RTRW Aceh.
Berdasarkan angka rata-rata nasional, penduduk miskin Aceh masih tergolong tinggi. Demikian
juga halnya dengan ketimpangan antarwilayah masih tergolong tinggi dan daerah tertinggal di
Aceh masih banyak, termasuk di dalamnya daerah-daerah perbatasan dengan provinsi dan negara
tetangga. Usia harapan hidup masyarakat Aceh berada di bawah rata-rata nasional.
Sesuai dengan RTRW Nasional dan RTRW Aceh, beberapa kabupaten/kota telah ditetapkan sebagai
wilayah pengembangan strategis. Namun pengembangan wilayah ini masih belum terlaksana seperti
yang diharapkan. Sehingga masih terlihat ketimpangan pembangunan antarwilayah kabupaten/kota.
Demikian juga dengan posisi strategis Aceh yang berbatasan langsung dengan beberapa negara
tetangga dan didukung dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Aturan
Pelaksanaannya dengan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerjasama Wilayah
pemerintah Aceh dengan Lembaga/Badan di Luar Negeri pada hakikatnya menjadi peluang untuk
melakukan kerjasama dalam berbagai bidang yang mendukung pembangunan Aceh. Namun peluang ini
masih belum dapat dimanfaatkan dengan optimal.
Pembiayaan pembangunan Aceh juga masih tertumpu pada pendanaan yang bersumber dari Pemerintah
sehingga kebutuhan pendanaan pembangunan dalam jumlah besar seperti infrastruktur tidak dapat
dilaksanakan dengan maksimal. Dalam konteks ini, peran dunia usaha untuk mendukung pendanaan
pembangunan masih belum memungkinkan karena belum adanya regulasi yang mengatur peran dunia
usaha dalam pendanaan pembangunan Aceh.
Ketersediaan infrastruktur yang berkualitas merupakan salah satu faktor penentu daya tarik
kawasan/wilayah, di samping faktor kualitas lingkungan hidup, image dan masyarakat (budaya).
Sementara itu, kinerja infrastruktur merupakan faktor kunci dalam menentukan daya saing
global, selain kinerja ekonomi makro, efisiensi pemerintah, dan efisiensi usaha. Dengan
demikian, tantangan pembangunan infrastruktur ke depan adalah bagaimana untuk terus
meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang berkualitas dan kinerjanya semakin dapat
diandalkan agar daya tarik dan daya saing infrastruktur dalam konteks global dapat membaik.
Kondisi saat ini produksi migas Aceh semakin menurun dan diperkirakan akan berakhir pada
tahun 2014 sehingga mempengaruhi sumber pendanaan pembangunan dari sector migas. Permasalahan
ini akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Aceh. Seiring dengan menurunnya cadangan migas
Aceh, maka sektor pertanian menjadi andalan yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi Aceh dan penyerapan tenaga kerja. Namun sektor pertanian ini belum didukung dengan
peningkatan nilai tambah komoditi andalan masing-masing wilayah melalui perbaikan mutu dan
pengolahan komoditas untuk mendorong peningkatan nilai tambah daerah. Demikian juga halnya
terhadap sektor kelautan dan perikanan masih belum mampu untuk meningkatkan kesejahteraan
nelayan karena sebagian besar nelayan Aceh merupakan nelayan tradisional.
Kesepakatan kerja sama IMT-GT ditandatangani pada tahun 1993 dan kerjasama China-AFTA (ASEAN
Free Trade Area) akan dimulai oleh masyarakat ekonomi ASEAN dengan China pada tahun 2011.
Hal ini menuntut perlunya kerjasama yang semakin efektif di tingkat regional sebagai basis
penting dalam mendukung peningkatan ketahanan nasional. Selain itu juga menjadi peluang pasar
bagi produk unggulan daerah untuk mempercepat peningkatan pertumbuhan pembangunan ekonomi
regional.
Untuk mendukung ekspor/impor Indonesia wilayah barat, Sabang ditetapkan sebagai pelabuhan
bebas, namun sampai saat ini Pelabuhan Bebas Sabang belum berkembang secara optimal. Pemanasan
global dan tingkat pencemaran lingkungan masih merupakan permasalahan yang harus dihadapi
karena berdampak pada lingkungan dan kehidupan masyarakat. Belum adanya upaya-upaya
pencegahan dan adaptasi yang dilakukan secara optimal sehingga menyebabkan semakin menurunnya
kualitas lingkungan yang berdampak terhadap berbagai sendi kehidupan.
Kondisi Aceh yang baru lepas dari bencana tsunami dan konflik memberikan sebuah peluang
sekaligus tantangan yang sangat besar bagi pembangunan Aceh. Beberapa isu strategis Aceh
sbb;
10. Kemiskinan
11. Daerah Tertinggal dan Ketimpangan Wilayah
12. Pertahanan dan Keamanan Nasional
Dalam menyusun pengembangan jaringan transportasi, baik untuk jangka menengah maupun jangka
panjang perlu mempertimbangkan beberapa faktor antara lain:
Sistem jaringan transportasi dimasa yang akan datang diharapkan mampu mendukung pengembangan
tata ruang nasional sehingga akan tercapai keterpaduan pengembangan sektor transportasi
dengan sektor ekonomi lainnya dan/dengan pembangunan daerah.
Dalam rangka pengembangan jaringan transportasiwilayahAceh perlu disusun pola yang memuat
indikasi tatanan jaringan transportasi di seluruh wilayah kabupaten yang akan diwujudkan
dalam jangka panjang, yang merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh. Salah satu
kriteria yang digunakan dalam menyusun rancangan pengembangan wilayah jangka menengah dan
panjang adalah kriteria pencapaian dan tingkat kemudahan jasa distribusi serta jasa pelayanan
Pusat Satuan Wilayah Pembangunan Utama (Pusat Jenjang Utama), Pusat Jenjang Kesatu dan Pusat
Jenjang Kedua. Distribusi barang memerlukan jaringan dengan hirarki fungsional sesuai dengan
simpul-simpul pelayanan yang berwujud kota. Oleh karena itu kota merupakan factor yang perlu
dipertimbangkan dalam menentukan hirarki simpul pada penyusunan jaringan transportasi di
masa mendatang.
Dalam pengembangan sistem transportasi di wilayah Aceh, akan dikelompokkan ke dalam beberapa
zona kerja (Otoritas Transportasi) berdasarkan letak geografis dan rencana pengembangan
kawasan strategis Aceh, dengan pengelolaan sebagai berikut:
a) Zona Pusat, terdiri atas Kota Sabang, Kab. Aceh Besar, Kabupaten Pidie serta Kota Banda
Aceh;
b) Zona Utara - Timur, terdiri atas Kab. Pidie Jaya, Kab. Bireun, Kota Lhoksumawe, Kab. Aceh
Tengah, Kab. Bener Meriah, Kab. Aceh Timur, Kota Langsa serta Kab. Aceh Tamiang;
c) Zona Barat, terdiri atas Kab. Aceh Barat, Kab. Nagan Raya serta Kab. Aceh Jaya;dan
d) Zona Tenggara-Selatan, terdiri atas Kab. Aceh Selatan, Kab. Aceh Barat Daya, Kab.
Simerlue, Kab. Gayo Lues, Kab. Aceh Tenggara, Kota Subullussalam serta Kab. Singkil.
Sebagian besar pergerakan tentunya dilakukan dengan menggunakan moda darat, beberapa pasangan
lintasan daratan ke pulau dilayani oleh angkutan penyeberangan. Khusus untuk angkutan barang,
sebagian kecil pergerakan dilakukan dengan menggunakan angkutan laut dan udara. Oleh karena
itu jaringan jalan harus memberikan aksesibilitas terhadap jaringan prasarana laut,
penyeberangan dan udara. Jaringan jalan nasional harus mendukung prasarana laut,
penyeberangan dan udara pada hirarki nasional. Selain itu jaringan jalan provinsi harus
menghubungkan beberapa simpul pelabuhan dan udara yang penting bagi provinsi. Hingga tercapai
keterpaduan antarmoda transportasi.Pola jaringan prasarana jalan regional yang
dikembangkan adalah:
· Jaringan arteri primer yang berperan melayani dan menghubungkan kota antar PKN, PKN
dengan PKW dan antar kota-kota yang melayani kawasan skala besar;
· Jaringan kolektor primer berperan menghubungkan PKW dengan PKL dan/atau kawasan-
kawasan skala kecil dan/atau pintu keluar kedua dan ketiga;
· Jaringan lokal primer berperan menghubungkan PKL dengan PKL dan/atau kawasan-kawasan
skala kecil dan/atau pintu keluar kedua dan ketiga.
Karakteristik pergerakan tentunya tidak lepas pula dari keadaan sosial, politik dan ekonomi
yang ada di provinsi ini. Dan telah diketahui bahwa kondisi sosial dan ekonomi provinsi ini
termasuk pada provinsi yang berkembang dengan cukup pesat, sehingga dapat disimpulkan bahwa
salah satu tujuan peningkatan sistem jaringan jalan yang ada adalah untuk menjangkau daerah
yang belum baik tingkat aksesnya di setiap daerahnya sehingga tidak terjadi ketimpangan
sosial dan ekonomi antardaerah.
Pemekaran wilayah juga merupakan salah satu hal yang amat berpengaruh pada pengembangan
jaringan jalan yang ada karena status jalan akan berpengaruh pada kewajiban setiap unsur
pemerintahan, baik itu pemerintah pusat melalui Departemen Pekerjaan Umum, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, untuk melakukan pemeliharaan, pengelolaan dan
peningkatan prasarana jalan tersebut sesuai dengan fungsinya. Dan diperlukan penataan kembali
terhadap status dan fungsi jalan.
1. Pengembangan dan pemantapan jaringan jalan lintas untuk mendorong perekonomian nasional:
· Banda Aceh - Lhokseumawe - Batas Sumut
· Banda Aceh–Meulaboh-Batas Sumut
· Seulimun–Takangon-Batas Sumut
2. Pengembangan dan pemantapan jaringan jalan arteri primer lainnya:
· Lingkar Kota Banda Aceh
· Banda Aceh- Pelabuhan Krueng Raya
· Banda Aceh - PelabuhanUlee Lheue
· Lambaro-Blang Bintang (Bandara SIM)
· Simpang Lambaro – Sibreh
· Ulee Kareng –Bandara SIM
· Banda Aceh (Simpang Tiga) - Mata Ie
· Simpang Ajun Jeumpet – Lhoknga
· Sp. Kr. Geukueh-Pelabuhan Kr. Geukueh
· Langsa – Pelabuhan Kuala Langsa
· Bireuen – Takengon
· Krueng Mane - Bukit Rata
· Jantho – Keumala
· Teuku Umar Sabang
· Diponegoro Sabang
· Am Ibrahim Sabang
· Perdagangan Sabang
· Yos Sudarso
· Cunda Lhokseumawe
· Batas Kota Banda Aceh - Ketapang Dua - Lamteumen Banda Aceh
(Semua Jalan Arteri Primer yang dijelaskan di atas mempunyai status sebagai jalan nasional,
kecuali ruas Ulee Kareng – Balang Bintang yang merupakan jalan provinsi)
(Semua jalan lokal primer di atas adalah berstatus sebagai jalan provinsi. Selain jalan lokal
primer di atas, dalam RTRW Kabupaten/Kota masih mungkin ditetapkan jalan lokal primer sesuai
dengan kebutuhan dan kebijakan kabupaten/kota yang bersangkutan)
Sedangkan dalam pengembangan prasarana angkutan penumpang dan angkutan barang meliputi:
Arah pengembangan jembatan timbang pada wilayah Aceh berdasarkan zona transportasi meliputi:
1. Zona Utara-Timur
Sementara itu arah pengembangan jaringan pelayanan Angkutan Umum Dalam Provinsi(AKDP), yaitu
pada rute/trayek Sabang - Banda Aceh, Saree - Banda Aceh, Saree – Sigli, Saree – Calang,
Saree – Meulaboh, Saree – Takengon, Banda Aceh – Sigli, Banda Aceh – Calang, Banda Aceh –
Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh –Pelabuhan Malahayati, Sigli –Pelabuhan Malahayati, Sigli
– Meureudu, Meurudu – Bireun, Bireun – Lhoksumawe, Bireun – Takengon, Lhoksumawe – Lhoksukon,
Takengon –Ujung Fatihah, Takengon - Pdk Baru, Takengon – Blangkeujeren, Pdk Baru – Peureulak,
Pdk Baru - Ujung Deh, Lhoksukon – Peureulak, Lhoksukon - Ujung Deh, Peureulak - Ujung Deh,
Peureulak – Langsa, Langsa - Kuala Simpang, Meulaboh –Blang Pidie, Meulaboh – Calang, Ujung,
Fatihah - Blang Pidie, Calang - Ulee Lheue, Tapak Tuan - Blang Pidie, Tapak Tuan –
Subullussalam, Blang Pidie – Meulaboh, Ujung Deh - Blang Pidie, Blangkeujeren – Kutacane,
Kutacane – Subullussalam dan Subullussalam –Pulo Sarok.
Adapun berbagai arah pengembangan penyeberangan Aceh berdasarkan zona pengembangan, seperti:
1. Zona Pusat
· Pelabuhan Balohan, Kota Sabang sebagai pelabuhan yang melayani penyeberangan luar negeri
dan sebagai pertahanan dan keamanan Negara sebagai pulau terluar.
· Pelabuhan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh sebagai pelabuhan yang melayani penyeberangan luar
negeri dan antarkabupaten.
· Pelabuhan Lamteng, Kab. Aceh Besar sebagai pelabuhan yang melayani penyeberangan
antarkabupaten.
2. Zona Utara-Timur
· Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa sebagai pelabuhan yang melayani penyeberangan luar
negeri.
3. Zona Barat
· Pelabuhan Kuala Bubon, Kab. Aceh Barat sebagai pelabuhan yang melayani penyeberangan
antarkabupaten.
4. Zona Selatan-Tenggara
Untuk itu dikembangkan 10 (sepuluh) koridor jaringan prasarana kereta api termasuk yang
sedang dalam proses pembangunan yaitu rute Uleeulee - Banda Aceh - Besitang, Besitang -
Rantau Prapat, Rantau Prapat - Duri - Dumai, Jambi - Betung, Betung - Simpang, Duri -
Pakanbaru - Muaro, Teluk Kuantan -Muarabungo - Jambi, Simpang - Tanjung Api-api, Kertapati
- Simpang - Km3 -Tarahan dan Km 3 - Bakauheni.
Jaringan transportasi kereta api di pulau Sumatera dikembangkan secara bertahap untuk dapat
mewujudkan keterpaduan sistem transportasi kereta api lintas sumatera (Trans Sumatera) yang
meliputi jaringan kereta api di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan
Bandar Lampung.
Untuk itu diperlukan pembangunan jalur baru pada wilayah - wilayah potensial (Lintas Timur
Palembang - kayuagung - Tarahan - Bandar lampung), serta jalur baru yang menghubungkan
jaringan KA dengan pelabuhan laut yang potensial (Dumai, Tanjung antarmoda transportasi.
Arahpengembangan pembangunan jaringan jalan rel kereta api pada wilayah Aceh, yaitu:
1. Jaringan jalur kereta api di pesisir timur, yang menghubungkan Banda Aceh ke Besitang di
Provinsi Sumatera Utara;
2. Jaringan jalur kereta api di pesisir barat, yang menghubungkan Banda Aceh ke Provinsi
Sumatera Utara.
Arah pengembangan pembangunan stasiun kereta api pada wilayah Aceh, yaitu:
1. Banda Aceh
2. Lhokseumawe
3. Sigli
4. Langsa
5. Bireuen
1. Banda Aceh - Sigli - Bireun - Lhoksumawe - Langsa - Besitang Provinsi Sumatera Utara
(Lintas Timur);
2. Banda Aceh – Meulaboh–Tapak Tuan - Subullussalam - Provinsi Sumatera Utara (Lintas Barat).
pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan pelabuhan pengumpan dalam setiap zona pengembangan
transportasi Aceh.
Adanya pelabuhan laut yang berfungsi sebagai pelabuhan hub internasional sangat penting
keberadaannya mengingat Kota Sabang merupakan pulau yang menjadi batas wilayah NKRI dengan
negara lain. Keberadaan pelabuhan hub internasional ini penting karena diharapkan di masa
mendatang Kota Sabang sebagai pintu masuk Indonesia wilayah barat.
Adapun berbagai arah pengembangan jaringan prasarana transportasi laut wilayah Aceh
berdasarkan zona pengembangan, seperti:
1. Zona Pusat
· Pelabuhan Sabang, Kota Sabang sebagai pelabuhan utama hub internasional sebagai prasarana
pendukung terkait dengan fungsi PKSN Sabang. Pelabuhan Sabang juga sebagai pintu masuk
kegiatan ekspor/impor dan angkutan dalam negeri dari/ke zona pusat serta melayani kegiatan
alih muat muatan General Cargo & Peti Kemas dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal
tujuan barang yang terintegerasi dengan Pel. Malahayati (KAPET Bandar Aceh Darusallam)
serta berfungsi sebagai pertahanan dan keamanan Nasional.
· Pelabuhan Malahayati, Kab. Aceh Besar sebagai pelabuhan yang mendukung PKNp Banda Aceh,
dengan fungsi sebagai pelabuhan utama, yang melayani kegiatan ekspor/impor dan angkutan
dalam negeri dari/ke zona pusat serta melayani kegiatan alih muat muatan Curah Kering
selain General Cargo & Peti Kemas dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan
barang yang terintegerasi dengan Pel. Sabang (KAPET Bandar Aceh Darussalam).
2. Zona Utara-Timur
· Pelabuhan Krueng Geukeuh, Kab. Aceh Utara sebagai pelabuhan yang mendukung PKN
Lhokseumawe. Pelabuhan Krueng Geukueh ditetapkan dengan fungsi sebagai pelabuhan utama
yang melayani kegiatan ekspor/impor dan angkutan dalam negeri dari/ke zona barat serta
melayani kegiatan alih muat muatan Peti Kemas, General Cargo, Curah Kering & Curah Cair
(CPO) dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan barang dalam rangka mendukung
program MP3EI.
· Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa sebagai pelabuhan yang mendukung PKW Langsa, dengan
fungsi sebagai pelabuhan pengumpul, yang melayani kegiatan angkutan laut dalam
negeri/antarprovinsi, alih muat angkutan General Cargo & Curah Cair dalam jumlah menengah,
dan sebagai tempat asal tujuan barang.
· Pelabuhan Idi, Kab. Aceh Timur sebagai pelabuhan yang mendukung PKL I di Rayeuk, dengan
fungsi sebagai pelabuhan pengumpan,yang melayani kegiatan angkutan laut dalam provinsi,
alih muat angkutan General Cargo dalam jumlah terbatas dan pengumpan bagi pelabuhan utama
dan pelabuhan pengumpul.
3. Zona Barat
· Pelabuhan Meulaboh, Kab. Aceh Barat sebagai pelabuhan yang mendukung PKW Meulaboh, dengan
fungsi sebagai pelabuhan utama, yang melayani kegiatan ekspor/impor dan angkutan dalam
negeri dari/ke zona barat serta melayani kegiatan alih muat muatan General Cargo, Curah
Kering & Curah Cair (CPO) dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan barang.
· Pelabuhan Calang, Kota Aceh Jaya sebagai pelabuhan yang mendukung PKL Calang, dengan
fungsi sebagai pelabuhan pengumpul, yang melayani kegiatan angkutan laut dalam
negeri/antarprovinsi, alih muat angkutan dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal
tujuan barang.
4. Zona Selatan-Tenggara
· Pelabuhan Singkil, Kab. Singkil sebagai pelabuhan yangmendukung PKL Singkil, dan juga
PKWp Subulussalam, dengan fungsi sebagai pelabuhan utama,yang melayani kegiatan
ekspor/impor dan angkutan dalam negeri dari/ke zona selatan tenggara serta melayani
kegiatan alih muat muatan General Cargo & Curah Cair (CPO) dalam jumlah besar, dan sebagai
tempat asal tujuan barang. Pelabuhan P. Banyak, P. Serok & Gosong Telaga sebagai Pelabuhan
Pengumpan Lokal.
· Pelabuhan Tapak Tuan, Kab. Aceh Selatan sebagai pelabuhan yang mendukung PKL Tapaktuan,
dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpul,yang melayani kegiatan angkutan laut dalam
negeri/antarprovinsi, alih muat angkutan General Cargo & Curah Kering dalam jumlah
menengah, dan sebagai tempat asal tujuan barang. Pelabuhan Sibade dijadikan sebagai
Pelabuhan Pengumpan Lokal.
· Pelabuhan Susoh, Kab. Aceh Barat Daya sebagai pelabuhan yang mendukung PKWp Blangpidie,
dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpan regional,yang melayani kegiatan angkutan laut
dalam provinsi, alih muat angkutan General Cargo dalam jumlah terbatas dan pengumpan bagi
pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul.
· Pelabuhan Sinabang, Kab. Simeulue Daya sebagai pelabuhan yang mendukung PKL Sinabang,
dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpan regional, yang melayani kegiatan angkutan laut
dalam provinsi, alih muat angkutan General Cargo dalam jumlah terbatas dan pengumpan bagi
pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul serta membuka wilayah yang terisolasi.
1. Pengembangan dan pemantapan jaringan pelayanan angkutan laut internasional, yaitu pada
rute:
· Sabang - luar negeri
· Malahayati - luar negeri
· Meulaboh - luar negeri
· Kr. Geukeuh - luar negeri
· Singkil - luar negeri
2. Pengembangan dan pemantapan jaringan pelayanan angkutan laut antarprovinsi, yaitu pada
rute:
· Sabang – antarprovinsi
· Malahayati – antarprovinsi
· Meulaboh – antarprovinsi
· Kr. Geukeuh – antarprovinsi
· Singkil – antarprovinsi
· Kuala Langsa – antarprovinsi
· Tapak Tuan – antarprovinsi
· Calang - antarprovinsi
3. Pengembangan dan pemantapan jaringan pelayanan angkutan laut anta rkabupaten dan membuka
daerah-daerah terisolasi, yaitu pada rute:
· Idi - Kuala Langsa
· Idi - Kr. Geukeuh
· Susoh - Tapak Tuan
· Susoh – Sinabang
· Susoh – Singkil
· Sinabang - Tapak Tuan
· Sinabang Susoh
Liberalisasi moda udara merupakan kebijakan yang berhasil dan menguntungkan pengguna dan/atau
masyarakat dengan penurunan tarif dan peningkatan aksesibilitas di seluruh wilayah Indonesia.
Adapun berbagai arah pengembangan prasarana transportasi udara wilayah Aceh berdasarkan zona
pengembangan, seperti:
1. Zona Pusat
· Bandara Sultan Iskandar Muda sebagai bandara yang mendukung PKNp Banda Aceh, yang akan
melayani penerbangan internasional, dan merupakan bandara pengumpul skala tersier.
Bandara Sultan Iskandar Muda ini terletak di Kabupaten Aceh Besar (Kecamatan Blang
Bintang). Pengembangan bandara ini sejalan dengan rencana mengembangkan core region “Banda
Aceh-Sabang-Aceh Besar” sebagai pintu gerbang Indonesia di bagian barat. Secara khusus
bandara Sultan Iskandar Muda ini merupakan bandara embarkasi haji Indonesia yang terletak
paling barat dan paling dekat ke arah Jeddah dan Madinah di Kerajaan Arab Saudi. Selain
itu Bandara Sultan Iskandar Muda ini juga berperan sebagai Pangkalan Udara. Rencana untuk
Bandara Sultan Iskandar Muda adalah pemantapan dan peningkatan dari pelayanan yang ada
dewasa ini, sebagai pendukung PKNp Banda Aceh.
· Bandara Maimun Saleh, Kota Sabang, sebagai bandara yang mendukung PKW dan PKSN Sabang,
yang akan melayani penerbangan internasional regional, dan merupakan bandara pengumpan.
Bandara Maimun Saleh juga berperan sebagai Pangkalan Udara, yang terutama terkait dengan
penetapannya sebagai PKSN. Rencana untuk Bandara Maimun Saleh adalah pemantapan dan
peningkatan pelayanan dari pelayanan yang ada dewasa ini, sehubungan dengan peranya
sebagai pendukung PKW dan PKSN Sabang.
2. Zona Utara-Timur
· Bandara Malikussaleh sebagai bandara yang mendukung PKN Lhokseumawe, yang akan melayani
penerbangan internasional regional, dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Malikussaleh
ini terletak di Kabupaten Aceh Utara (Kecamatan Muara Batu). Rencana untuk Bandara
Malikussaleh adalah pemantapan dan peningkatan dari pelayanan sehubungan dengan perannya
sebagai pendukung PKN Lhokseumawe.
· Bandara Rambelle, sebagai bandara yang mendukung PKW Takengon, yang akan melayani
penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Rembele ini terletak di
Kabupaten Bener Meriah, sehingga mendukung juga PKL Simpang Tiga Redelong. Rencana untuk
Bandara Rembele adalah pemantapan dan peningkatan pelayanan sehubungan dengan perannya
sebagai pendukung PKW Takengon.
· Bandara Point A, sebagai bandara yang merupakan bandara khusus untuk perusahaan
penambangan migas, yang berdekatan dengan PKL Lhok Sukon, yang akan melayani kepentingan
perusahaan yang bersangkutan, dengan pelayanan domestik dan merupakan bandara pengumpan.
3. Zona Barat
· Bandara Cut Nyak Dien, sebagai bandara yang mendukung PKW Meulaboh, yang akan melayani
penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Cut Nyak Dien ini terletak
di Kabupaten Nagan Raya, sehingga mendukung juga PKL Jeuram-Suka Makmue. Rencana untuk
Bandara Cut Nyak Dien adalah peningkatan dari pelayanan sehubungan dengan perannya sebagai
pendukung PKW Meulaboh.
4. Zona Selatan-Tenggara
· Bandara Teuku Cut Ali, Kab. Aceh Selatan, sebagai bandara yang mendukung PKL Tapaktuan,
yang akan melayani penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Rencana untuk
Bandara Teuku Cut Ali adalah pemantapan dari pelayanan yang ada.
· Bandara Kuala Batu, Kab. Abdya, sebagai bandara yang mendukung PKWp Blangpidie, yang akan
melayani penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Rencana untuk Bandara
Kuala Batu ini adalah peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini, sehubungan dengan
perannya sebagai pendukung PKWp Blangpidie.
· Bandara Lasikin, Kab. Simeulue, sebagai bandara yang mendukung PKL Sinabang, yang akan
melayani penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Lasikin ini
mempunyai arti penting dalam konteks keterkaitan antarbagian wilayah di Aceh (bersama-
sama dengan pelabuhan penyeberangan) sehubungan dengan terpisahnya daratan Pulau Simeulue
dengan daratan utama (mainland) Pulau Sumatera. Rencana untuk Bandara Lasikin adalah
pemantapan dari pelayanan dari pulau-pulau terluar.
· Bandara Gayo Lues, Kab. Gayo Lues, sebagai bandara yang mendukung PKL Blangkejeren, yang
akan melayani penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan.
· Bandara Alas Leuser, Kab. Aceh Tenggara, sebagai bandara yang mendukung PKL Kutacane,
yang akan melayani penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Rencana untuk
Bandara Alas Leuser adalah pemantapan dari pelayanan yang ada.
· Bandara Hamzah Fansyuri, Kab. Singkil, sebagai bandara yang mendukung PKL Singkil, yang
akan melayani penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Hamzah
Fansyuri ini juga akan mendukung pelayanan PKWp Subulussalam. Rencana untuk Bandara Hamzah
Fansyuri adalah peningkatan dari pelayanan sehubungan dengan perannya sebagai pendukung
PKL Singkil dan terutama PKWp Subulussalam.
1. Pengembangan dan pemantapan jaringan pelayanan angkutan udara internasional, yaitu pada
rute:
· St. Iskandar Muda – Penang
· St. Iskandar Muda - Kuala Lumpur
· St. Iskandar Muda – Jeddah
· Malikussaleh – Penang
· Sabang – Penang
· Sabang - Phuket
2. Pengembangan dan pemantapan jaringan pelayanan angkutan udara antar provinsi, yaitu pada
rute:
· St. Iskandar Muda – Jakarta
· Malikussaleh – Medan
· Alas Leuser – Medan
· Point A – Medan
· Gayo Lues – Medan
· Lasikin – Medan
· T. Cut ali – Medan
· H. Fanshuri – Medan
· Rambele - Medan
3. Pengembangan dan pemantapan jaringan pelayanan angkutan udara antar kabupaten dan membuka
daerah-daerah terisolasi, yaitu pada rute:
· Sabang - St. Iskandar Muda
· St. Iskandar Muda – Malikussaleh
· St. Iskandar Muda - Cut Nyak Dien
· St. Iskandar Muda - Gayo Lues
· St. Iskandar Muda - Kuala Batee
· St. Iskandar Muda - Alas Lauser
· Rambele - Alas Leuser
· Cut Nyak Dien – Lasikin
· Kuala Batee - T. Cut Ali
· T. Cut Ali - H. Fansyuri
Transportasi multimoda adalah transportasi barang dengan menggunakan paling sedikit dua moda
transportasi yang berbeda, atas dasar satu kontrak yang menggunakan dokumen transportasi
multimoda dari suatu tempat barang diterima oleh operator transportasi multimoda ke suatu
tempat yang ditentukan untuk barang tersebut. Transportasi multimoda lebih menekankan aspek
pelayanan pengangkutan barang dan penumpang.Namun dari sisi penggunaan alat angkut untuk
kelancaran arus barang dan mobilitas orang, transportasi antarmoda dan multimoda membutuhkan
keterpaduan lebih dari dua moda, baik dalam wujud jaringan pelayanan maupun jaringan
prasarana.
1. Zona Pusat
2. Zona Utara-Timur
3. Zona Barat
4. Zona Selatan-Tenggara
· Pengembangan Terminal Tipe B (Blang Pidie, Sinabang, Ujung Deh, Subullussalam & Pulo
Sarok)
· Pengembangan Jembatan Timbang (Lawe Perbunga & Jontor)
· Pengembangan Pelabuhan Penyeberangan Antarprovinsi (Sinabang, Singkil & P. Banyak)
· Pengembangan Pelabuhan Penyeberangan Antarkabupaten (Labuhan Haji)
· Pengembangan Pelabuhan Laut Pengumpul (Sinabang & Tapak Tuan)
· Pengembangan Pelabuhan Laut Pengumpan (Susoh)
· Pengembangan Bandar Udara Domestik (T. Cut Ali, Kuala Batee, Lasikin, Gayo Lues, Alas
Lauser & H. Fansyuri)
1. Zona Pusat
2. Zona Utara-Timur
· Pengembangan trayek dari dan ke Terminal Pondok Baru, Terminal Meuruedu, Terminal
Lhoksukon, Terminal Peureulak dan Terminal Kuala Simpang
· Pengembangan Lintas Kereta Api Banda Bireun - Lhokseumawe - Langsa- Sumut
· Pengembangan rute angkutan udara Domestik dari dan ke Bandara Rambele dan Point A
3. Zona Barat
· Pengembangan trayek dari dan ke Terminal Ujung Fatihah, dan Terminal Calang
· Pengembangan Lintasan Penyeberangan Dalam Negeri Dalam Provinsi dari dan ke Penyeberangan
Kuala Bubon
· Pengembangan rute angkutan udara Domestik dari dan ke Bandara Cut Nyak Dien
4. Zona Selatan-Tenggara
· Pengembangan trayek dari dan ke Terminal Blang Pidie, Terminal Sinabang, Terminal
Blangkeukejeren, Terminal Subulussalam dan Terminal Pulo Sarok
· Pengembangan Lintasan Penyeberangan Dalam Negeri Dalam Provinsi dari dan ke Sinabang,
Singkil dan Pulau Banyak
· Pengembangan rute angkutan udara Domestik dari dan ke Bandara T. Cut Ali, Kuala Batee,
Lasikin, Gayo Lues, Alas Leuser, dan Hazah Fansyuri
Sektor transportasi darat yang dominan adalah angkutan jalan raya. Prasarana jalan merupakan
prasarana yang dibutuhkan untuk memungkinkannya terjadi interaksi antar ruang, yaitu dalam
upaya memfasilitasi pergerakan, baik pergerakan orang maupun barang. Dengan adanya prasarana
jalan, maka interaksi spasial dimungkinkan terjadi, baik interaksi yang terjadi akibat
keterkaitan antar aktivitas dalam dua ruang yang berbeda ataupun interaksi antar orang per
orang. Tanpa prasarana jalan, mustahil interaksi dapat terjadi. Selanjutnya, prasarana jalan
ini juga akan mempermudah suatu wilayah untuk dapat diakses dari daerah ataupun Provinsi
Iainnya, dan terlepas dari keterkucilan.
Dengan demikian jelas bahwa bahwa prasarana jaringan jalan merupakan urat nadi perekonomian
Aceh. Hai ini berlaku mengingat bahwa perekonomian pada dasarnya berkembang jika pemenuhan
mobilitas spasial dapat dilakukan dengan baik, sedemikian sehingga interaksi antar ruang
dapat terjadi. Dan, pemenuhan mobilitas ini hanya mungkin jika kinerja layanan prasarana
jaringan jalan yang ada cukup baik, sehingga biaya angkut (transport cost) yang timbul dari
pergerakan masih pada batas-batas yang wajar. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi daerah
hanyalah mungkin terjadi jika kinerja pelayanan prasarana jaringan jalan dapat tetap terjaga,
dan bahkan jika mungkin ditingkatkan dari waktu ke waktu.
Struktur jaringan yang membentuk prasarana jalan di wilayah pemerintah Aceh tidak terlepas
pada tiga aspek utama, yaitu kondisi geografis wilayah, kondisi topografis dan aspek
kesejarahan. Ditinjau dari kondisi geografis, wilayah pemerintah Aceh merupakan ujung utara
Pulau Sumatera di mana keterkaitannya dengan wilayah Sumatera lainnya sejak dahulu sudah
terbentuk. Dalam hal ini, interaksi yang paling intens adalah dengan wilayah Sumatera Utara.
Dengan demikian, ditinjau dari kondisi geografis, orientasi jaringan jalan yang terbentuk
sejak dahulu adalah poros utara selatan, yaitu poros yang menghubungkan kota utama (Banda
Aceh) dengan wilayah Sumatera Utara.
Kebutuhan akan adanya poros utara - selatan yang menghubungkan Banda Aceh dan Sumatera Utara
terbentuk secara evolutif, yaitu sejak zaman kerajaan Pasai dan kerajaan Melayu. Tentunya
pembentukan prasarana jalan di zaman dahulu sangat tergantung pada kondisi topografi,
mengingat teknologi pembuatan jalan pada saat itu masih sangat terbatas. Dengan alasan kondisi
topografis itulah, koridor jalan yang terbentuk pada saat itu adalah koridor di pantai timur
Aceh, menghubungkan kota Banda Aceh, Sigli, Bireun, Lhokseumawe dan Langsa. Koridor ini pada
saat ini dikenal sebagai koridor lintas Timur.
Dalam perkembangannya, hubungan antara wilayah pantai dan pegunungan di kawasan Aceh bagian
tengah dari waktu ke waktu mulai terbentuk. Untuk itu, timbul kebutuhan akan prasarana jalan.
Tetapi mengingat kondisi topografinya relatif berbukit-bukit, maka prasarana jalan yang
terbentuk sangatlah terbatas, yaitu pada beberapa koridor saja di mana hubungan antara pantai
dan daerah pegunungan memang sudah cukup tinggi intensitasnya. Dari proses evolutif
perkembangan jaringan prasarana jalan ini, maka tidaklah heran sampai saat ini wilayah di
pantai barat tidak sepenuhnya terhubung dengan wilayah yang ada di pantai timur.
Dalam perkembangan lebih lanjut, dengan perkembangan teknologi yang makin maju dan juga
dengan alasan pemanfaatan sumber daya alam, maka pada akhir abad ke dua puluh mulai dilakukan
usaha-usaha yang lebih intens untuk menembus wilayah tengan Wilayah pemerintah Aceh, baik
yang menghubungkan wilayah Tengah dengan wilayah pantai ataupun yang menghubungkan utara ke
selatan. Memang patut diakui bahwa pembentukan jaringan jalan yang melewati wilayah tengah
Aceh ini agak lambat, mengingat bahwa kondisi topografinya sangat sulit untuk ditaklukan.
Sejauh ini usaha membangun jaringan jalan koridor utara-selatan yang melewati wilayah tengah
belum sepenuhnya terbentuk.
Dari perkembangan tersebut, maka saat ini terbentuk struktur jaringan jalan yang lebih
berorientasi pada poros utara — selatan, yaitu terdiri dari tiga lintasan: lintas barat,
lintas tengah dan lintas timur. Di antara masing-masing lintasan tersebut terbentuk beberapa
ruas yang berfungsi sebagai feeder, sedemikian sehingga secara keseluruhan struktur jaringan
jalan yang terbentuk adalah struktur jaringan semi-grid, dengan poros utara-selatan.
Sama seperti halnya di Provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, jaringan jalan dalam wilayah
Wilayah pemerintah Aceh dikelola sebagai jalan Nasional, Provinsi dan Jalan Kabupaten/Kota.
Selain itu masih terdapat jalan desa dan jalan-jalan lain yang tidak dikelola secara langsung
oleh pemerintah. Dilihat dari persentase panjang jalan Nasional dan Provinsi terhadap total
panjang jalan, maka jumlahnya relatif kecil. Namun sesuai fungsinya jalan Nasional dan
Provinsi memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi.
Ditinjau secara kewenangan, jalan primer selanjutnya dibagi menjadi jalan nasional sepanjang
1.803,38 Km yang menjadi wewenang Pemerintah pusat dan Jalan Provinsi sepanjang 1.813,33 Km
yang penyelenggaraannya menjadi wewenang Pemerintah Provinsi. Dalam perkembangannya, sejalan
dengan usaha-usaha pemerintah dalam memperbaiki prasarana jaringan jalan, maka secara
bertahap jalan primer ini, yang terdiri dari jalan nasional dan jalan provinsi, dilakukan
perbaikan kondisi teknisnya sedemikian sehingga secara fungsi ditingkatkan, baik untuk jalan
kolektor maupun jalan lokal. Sebagai hasilnya maka beberapa ruas jalan nasional dan provinsi
yang sebelumnya berfungsi sebagai jalan kolektor ditingkatkan menjadi jalan arteri. Begitu
juga beberapa ruas jalan nasional dan provinsi yang berfungsi sebagai jalan lokal ditingkatkan
fungsinya menjadi jalan kolektor, sehingga sampai dengan tahun 2010 panjang jalan telah
2.632,42 km berfungsi sebagai jalan arteri, dan sisanya adalah berfungsi sebagai jalan
kolektor dan jalan lokal.
Tabel 4. 1. Panjang Jalan Nasional dan Provinsi yang Berfungsi Sebagai Jalan Arteri
Status
Kabupaten/Kota Arteri
Jalan
(1) (2) (3)
N -
1 Simeulue
P 256,09
N 127,11
2 Aceh Singkil
P 51,92
N 129,67
3 Aceh Selatan
P 10,00
N 73,01
4 Aceh Tenggara
P 18,50
N 44,34
5 Aceh Timur
P 60,00
N 94,43
6 Aceh Tengah
P 47,63
N 19,27
7 Aceh Barat
P 59,00
N 175,15
8 Aceh Besar
P 23,35
N 171,44
9 Pi d i e
P 126,45
N 124,94
10 Bireuen
P 36,20
N 130,57
11 Aceh utara
P 28,97
N 108,30
12 Aceh Barat Daya
P 2,00
N 135,17
13 Gayo Lues
P 18,00
N 50,83
14 Aceh Tamiang
P -
N 71,76
15 Nagan Raya
P 91,46
N 95,21
16 Aceh Jaya
P -
N 59,15
17 Bener Meriah
P 97,96
N ...
18 Pidie Jaya
P ...
N 9,72
19 Banda Aceh
P 27,41
N 19,57
20 Sabang
P -
N 18,36
21 Langsa
P 7,00
N 9,58
22 Lhokseumawe
P 2,90
N ...
23 Subulussalam
P ...
Status
Kabupaten/Kota Arteri
Jalan
(1) (2) (3)
N 1667,58
Jumlah
P 964,84
Sumber : Aceh Dalam Angka 2011
Dari total jaringan jalan yang ada di wilayah Prop Aceh sepanjang 17.198,28 Km, maka jika
dikelompokkan berdasarkan jenis permukaannya akan terdiri dari 8.221,28 Km dengan permukaan
aspal/beton, 5.505,77 km berpermukaan kerikil dan 3.471,23 Km berpermukaan tanah. Selanjutnya
jika ditinjau dari kondisinya, maka dari 17.198,28 Km total jalan dimaksud, 4.349,10 km
diantaranya berada dalam kondisi baik, 8.183,72 km dalam keadaan rusak sedang, dan 4.595,46
Km dalam keadaan rusak berat selebihnya merupakan jalan yang belum ditembus.
Gambar 4. 4 Kondisi Jalan di Wilayah pemerintah Aceh Berdasarkan Jenis Permukaan Jalan
Sumber : Tim Penyusun, 2013
Gambaran yang lebih rinci mengenai sebaran jalan menurut jenis permukaan maupun kondisi jalan
untuk seluruh Kabupaten/Kota yang ada di Wilayah pemerintah Aceh dapat dilihat pada tabel
dibawah ini. Terlihat dari ketiga tabel bahwa kondisi prasarana jalan belum merata untuk
seluruh Kabupaten/Kota.
Jenis Permukaan
Kabupaten/Kota
Aspal Kerikil Tanah Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5)
4 Aceh Tenggara 320,20 217,80 173,15 711,15
5 Aceh Timur 254,80 452,11 - 706,91
6 Aceh Tengah 285,80 182,31 306,36 774,47
7 Aceh Barat 261,65 181,20 217,60 660,45
8 Aceh Besar 863,90 344,80 114,80 1323,50
9 Pi d i e 638,69 209,05 189,55 1037,29
10 Bireuen 342,55 190,30 254,80 787,65
11 Aceh Utara 542,97 1350,36 399,20 2292,53
12 Aceh Barat Daya 197,90 159,10 161,70 518,70
13 Gayo Lues 102,40 134,65 287,65 524,70
14 Aceh Tamiang 242,98 446,46 78,80 768,24
15 Nagan Raya 55,30 21,80 33,10 110,20
16 Aceh Jaya 127,50 140,80 91,70 360,00
17 Bener Meriah 174,55 78,91 101,87 355,33
18 Pidie Jayax ... ... ... ...
19 Banda Aceh 30,73 123,71 176,93 331,37
20 Sabang 135,92 - - 135,92
21 Langsa 135,10 93,94 24,11 253,15
22 Lhokseumawe 192,78 19,20 11,90 223,88
23 Subulussalamx ... ... ... ...
Jumlah 5588,86 4758,20 3234,53 13581,59
Catatan: x Gabung dengan Kab/Kota asal
Sumber : Aceh Dalam Angka 2011
Status
Kabupaten/Kota Aspal/Beton Kerikil Tanah Jumlah
Jalan
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
15 Nagan Raya N 71,76 - - 71,76
P 91,46 32,31 20,00 143,77
16 Aceh Jaya N 95,21 13,08 - 108,29
P - - 35,00 35,00
17 Bener Meriah N 59,15 2,04 - 61,19
P 97,96 - 29,30 127,26
18 Pidie Jayax N ... ... ... ...
P ... ... ... ...
19 Banda Aceh N 9,72 - - 9,72
P 27,41 - - 27,41
20 Sabang N 19,57 - - 19,57
P - - - -
21 Langsa N 18,36 - - 18,36
P 7,00 - - 7,00
22 Lhokseumawe N 9,58 - - 9,58
P 2,90 - - 2,90
23 Subulussalamx N ... ... ... ...
P ... ... ... ...
Jumlah N 1667,58 135,80 - 1803,38
P 964,84 611,77 236,72 1813,33
Catatan: x Gabung dengan Kab/Kota asal
Sumber : Aceh Dalam Angka 2011
Rusak Belum
Kabupaten/Kota Status Jalan Baik Sedang Jumlah
Berat Tembus
P 25,25 15,00 27,72 - 67,97
K 366,92 1440,66 484,95 - 2292,53
12 Aceh Barat N 102,30 6,00 - - 108,30
P 26,00 - 10,00 - 36,00
K 113,45 178,31 226,94 - 518,70
13 Gayo Lues N 8,84 136,57 - - 145,41
P 30,00 36,03 75,97 - 142,00
K 64,00 193,95 266,75 - 524,70
14 Aceh Tamiang N 35,83 15,00 - - 50,83
P - - - - -
K 147,85 608,99 11,40 - 768,24
15 Nagan Raya N 70,76 1,00 - - 71,76
P 102,46 - 41,31 - 143,77
K - 8,00 102,20 - 110,20
16 Aceh Jaya N 54,71 52,58 1,00 - 108,29
P 5,00 15,00 5,00 10,00 35,00
K - 26,80 333,20 - 360,00
17 Bener Meriah N 14,06 47,13 - - 61,19
P 53,06 53,90 20,30 - 127,26
K 174,35 61,11 119,87 - 355,33
18 Pidie Jayax N ... ... ... ... ...
P ... ... ... ... ...
K ... ... ... ... ...
19 Banda Aceh N 8,16 1,55 - - 9,71
P 26,72 0,69 - - 27,41
K 30,73 244,70 55,94 - 331,37
20 Sabang N 11,91 7,66 - - 19,57
P - - - - -
K 25,45 101,04 9,43 - 135,92
21 Langsa N 12,19 6,16 - - 18,35
P 5,00 2,00 - - 7,00
K 29,97 140,52 82,66 - 253,15
22 Lhokseumawe N 6,02 3,56 - - 9,58
P 2,90 - - - 2,90
K 66,18 155,20 2,50 - 223,88
23 Subulussalam N ... ... ... ... ...
P ... ... ... ... ...
K ... ... ... ... ...
Negara 1120,42 592,81 90,13 - 1803,36
Jumlah Provinsi 820,08 547,63 375,62 70,00 1813,33
Kabupaten 2408,60 7043,28 4129,71 - 13581,59
Sumber : Aceh Dalam Angka 2011
Kondisi prasarana jalan terbaik masih dirasakan pada wilayah di sekitar ibu kota Provinsi.
Dalam hal ini, sebagai contoh adalah Kabupaten Aceh Barat yang memiliki jalan sepanjang
758,76 Km, di mana lebih dari 50% yang kondisinya rusak berat, selebihnya sedang dan baik.
Di lain pihak, untuk daerah-daerah yang agak terpencil, kondisinya kurang menggembirakan.
Di samping kerapatan jaringan jalannya masih rendah, juga kondisi perkerasannya juga tidak
begitu baik. Contohnya adalah kabupaten Aceh Jaya, yang hanya memiliki jalan sepanjang 503,29
Km yang terdiri dari 45% dengan permukaan aspal, 30% dengan permukaan kerikil dan 25%
permukaan tanah dengan kondisi 67% nya rusak.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, struktur jaringan jalan di Wilayah pemerintah Aceh
berbentuk semi-grid system, di mana polanya berorientasi pada poros utara — selatan, di mana
feeder-nya menghubungkan masing-masing poros tersebut. Dengan demikian, maka poros utara-
selatan yang terdiri dari tiga lintas utama merupakan tulang punggung sistem prasarana jalan
Wilayah pemerintah Aceh.
Sebagai tulang punggung bagi wilayah Wilayah pemerintah Aceh, maka tidaklah mengherankan
jika perhatian pemerintah pada prasarana jalan ini sangatlah besar. Karena, bagaimanapun,
orientasi pergerakan yang ada, baik pergerakan berbasis kegiatan ekonomi maupun pergerakan
Iainnya lebih didominasi pada pergerakan dengan orientasi utara — selatan. Dengan demikian,
prasarana jalan yang baik dan mantap pada koridor utara — selatan harus dijaga.
Prasarana jalan yang terbentuk pada poros utara selatan sampai saat ini ada tiga lintasan,
yaitu lintas timur yang menyusuri pantai timur Aceh, lintas tengah yang melewati bagian
tengah Aceh dan lintas barat yang menyusuri pantai barat Aceh. Ketiga jalan lintas tersebut
pada intinya menghubungkan Aceh Utara, yaitu kota Banda Aceh dengan Sumatera Utara.
Dari ketiga jalan pada poros utara-selatan tersebut, maka jalan lintas yang paling banyak
digunakan adalah lintas timur. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan, yaitu pertama,
lintas ini menghubungkan kota-kota yang cukup ramai, seperti Sigli, Bireun, Lhoksemawe dan
langsa, sedemikian sehingga suasana di koridor ini terasa ramai. Selain itu jalan pada lintas
timur ini relatif singkat. Dari sisi pembinaan ruas jalan lintas ini lebih mudah untuk
ditangani, mengingat jalan ini berada pada koridor dengan kondisi topografi yang relatif
datar. Sedemikian, sehingga tidaklah heran, kondisi prasarana jalan pada lintas ini cukup
baik.
Prasarana pada lintas tengah, di lain pihak, karena kondisi topografinya agak berbukit, tidak
seluruhnya sudah tersambung. Ada beberapa ruas yang sampai saat ini belum tersambung, seperti
pada ruas Jalan Seulimo — Jantho — Batas Pidie, ruas batas Aceh Besar — Keumala dan ruas
Keumala — Geumpang, di mana ruas-ruas ini sama sekali belum terhubung. Kaiaupun ada masih
berupa jalan tanah dengan kondisi rusak yang sangat berat.
Prasarana jalan pada lintas timur membentang dari Banda Aceh ke arah Batas Sumatera Utara
bagian timur, menyusuri pantai timur Aceh. Panjang keseluruhan dari prasarana jalan lintas
timur ini adalah 491,20 Km. Secara geometrik, kondisi prasarana jalan pada lintas timur
pada umumnya sudah cukup baik, meskipun belum sepenuhnya sesuai dengan persyaratan teknis
yang disyaratkan. Secara legal, prasarana jalan pada lintas ini difungsikan sebagai jalan
arteri primer, tetapi dalam kenyataannya kondisi teknisnya hanya berupa jalan dengan lebar
rata-rata 7 meter, dengan lebar bahu di kiri kanan 1 sampai 1,5 meter atau 2 meter sampai
2,5 meter. Jika mengacu pada persyaratan teknis jalan arteri hendaknya memiliki lebar
perkerasan minimal 11 meter. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara teknis prasarana
jalan lintas timur ini difungsikan juga sebagai perkerasan jalan, maka secara teknis akan
memenuhi sebagai jalan arteri.
Jika dicermati lebih jauh, memang ada beberapa lokasi di mana lebarnya telah memenuhi sebagai
jalan arteri, yaitu dengan lebar 12 atau 14 meter, seperti misalnya: di ruas N.001.1 pada
lintas Banda Aceh — Sigli Km 00 + 000 s/d 09 + 000, di ruas N.001.2 pada lintas Sigh —
Beureunuen Km109 + 000 s/d 115 + 000, di ruas N.004 pada lintas Beureunuen — Lhokseumawe Km
218 + 200 s/d 221 + 000 dan Km. 262 + 000 s/d 269 + 000, di ruas N.005.3 pada lintas Peureulak
— Langsa Km 439 + 900 s/d 445 + 100, dan di ruas N.006 pada lintas Langsa - Batas Sumut Km
445 + 100 s/d 447 + 000 dan Km. 467 + 000 s/d 470 + 000.
Selanjutnya, jika ditinjau dari jenis perkerasannya, maka hampir semua ruas pada prasarana
jalan lintas timur merupakan perkerasan jalan dengan jenis yang baik, yaitu Asphalt Concrete.
Berdasarkan data terbaru yang diperoleh, kondisi permukaan perkerasan pada umum sangat baik,
di mana jika digunakan parameter IRI, maka besarannya rata-rata di bawah yang disyaratkan
sebagai jalan arteri, yaitu di bawah IRI 8,0. Rata-rata kondisi permukaan perkerasan dalam
range IRI 2,50 sampai IRI 4,18. Kondisi yang dapat dikatakan sangat baik.
Ditinjau dari kondisi jalan, maka secara umum prasarana jalan pada lintas timur memiliki
tingkat pelayanan yang relatif baik, mengingat kondisi jalannya sebagian besar, 76,15% dalam
kondisi baik, 2,57% dalam kondisi rusak sedang dan 21,28% pada kondisi rusak ringan. Tidak
ada sedikitpun pada lintasan timur ini kondisinya rusak berat. Dengan kondisi seperti ini
tentu saja para pengendara yang berorientasi pada perjalanan Banda Aceh ke arah Sumatera
Utara.
Lintas ini pada dasarnya terbentuk secara evolutif dan pada awalnya tidak dicanangkan sebagai
jalan arteri. Pada dasarnya lintas tengah ini pada dasarnya merupakan rangkaian jalan lokal
yang diharapkan menyatu dan membentuk poros utara — selatan. Dengan demikian, jika dilihat
dari kondisi geometriknya dapat terlihat bahwa pada umumnya jalan ini hanya memiliki lebar
yang relatif sangat sempit, meskipun di beberapa tempat memiliki lebar yang cukup memadai.
Secara keseluruhan lebar perkerasan pada lintasan tengah ini sangat bervariasi, mulai dari
yang sangat sempit, yaitu 3,5 meter sampai yang sangat lebar, yaitu 2 x 10 meter. Lebih
lanjut lagi, jika dilihat dari bahu, sebagian besar jalan pada lintas tengah ini memiliki
lebar bahu yang sangat bervariasi juga, mulai dari 0,5 meter sampai 3,0 meter di kiri
kanannya. Sebagian besar dari jalan ini memiliki lebar bahu 1— 1,5 meter.
Dengan melihat kondisi gemetrik jalan seperti ini sangat jelas bahwa jalan ini tidak dapat
dikelompokkan sebagai jalan arteri, meskipun Pemerintah mencanangkannya sebagai jalan arteri.
Memang jika dilihat pada beberapa ruas tertentu memiliki lebar jalan yang memenuhi kriteria
sebagai jalan arteri, mengingat lebarnya lebih dari 11 meter. Kondisi seperti ini biasaya
dijumpai pada beberapa ruas jalan yang terletak di Pidie Km. 41 + 000 s/d 53 + 100 yang
memiliki lebar 2x6,0 meter, di ruas N.049.1 pada jalan Takengon - Genting Gerbang Km. 319 +
450 s/d 322 + 000 dengan lebar 2 x 7,5 meter, di ruas N.014.1 pada jalan Blangkeujeuren -
Lawe Aunan Km. 476 + 450 s/d 481 + 000 dengan lebar jalan 2 x 6,5 m dan di ruas N.014.2 pada
Jalan Laweuanan - Kutacane Km. 581 +700 s/d 582 + 000 dengan lebar jalan 2 x 10 meter.
Dengan kondisi geometrik demikian, maka kapasitas jalan pada lintas tengah ini relatif kecil,
yaitu berkisar antara 2.500 - 2.800 smp per jam, meskipun di beberapa tempat memiliki
kapasitas yang sangat besar, terutama di tempat-tempat dengan lebar jalan Iebih dari 11
meter. Dengan kondisi seperti ini, maka tidaklah mengherankan jika lintas tengah ini bukan
merupakan pilihan utama bagi pergerakan antara Banda Aceh ke Sumatera Utara.
Ditinjau dari kondisi perkerasan, sebagian besar ruas jalan pada lintas tengah memiliki
konstruksi perkerasan lentur yang dilapisi dengan Asphalt Concrete pada permukaannya. Jika
dirata-ratakan, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi perkerasan pada lintas tengah ini
memiliki kondisi yang kurang baik, yaitu dengan 41,29% pada kondisi rusak berat, 25,87 %
dengan kondisi rusak ringan, 9,02 % rusak sedang dan sisanya sebesar 23,82 % pada kondisi
baik.
Ditinjau dari kerangka kesisteman, prasarana jalan pada lintas tengah ini memang sangat
penting bagi perkembangan Wilayah pemerintah Aceh, terutama bagi kabupaten-kabupaten yang
terletak di wilayah tengah. Bagi kabupaten atau kota yang ada di wilayah tengah, prasarana
jalan lintas tengah ini merupakan tulang punggung bagi pergerakan barang maupun orang ke
arah ibu kota Provinsi ataupun ke arah Provinsi Sumatera Utara. Pada batas-batas tertentu,
kemampuan kabupaten di wilayah tengah dalam membangun perekonomiannya sangat tergantung pada
prasarana jalan di lintasan tengah ini.
Prasarana jalan pada lintas barat merupakan jalan poros utara - selatan yang paling panjang,
yaitu dengan total panjang 612,47 Km. Pembentukan prasarana jalan pada lintas barat sebenarnya
hampir sama dengan prasarana pada lintas timur, yaitu sudah tersambung lama. Tetapi dengan
adanya bencana gelombang tsunami yang menghancurkan pantai barat Aceh, rusak pula prasarana
jalan dari sebagian lintas barat, terutama pada ruas di mana bencana tsunami paling besar
gelombangnya. Daerah dimaksud adalah pada koridor Banda Aceh - Calang - Meulaboh, dengan
panjang total 230 Km. Pada ruas inilah kondisi prasarana jalannya menjadi hancur total,
bahkan dapat dikatakan terputus total.
Secara historis prasarana jalan pada lintas barat ini sudah lama terbentuk, yaitu
sebagai penghubung kota-kota pantai yang sudah lama ada seperti Calang,
Meulaboh, Kuala Tuha, Blang Pidie dan Tapak Tuan. Karena sudah lama terbentuk, dan juga
karena terletak pada daerah yang relatif datar, maka secara geometrik ruas-ruas jalan yang
ada pada lintasan ini memiliki kondisi yang cukup baik: gradien yang relatif datar, tikungan
dengan jari-jari yang besar dan badan jalan yang cukup lebar dengan rata-rata lebar jalan 6
meter dan dengan lebar bahu rata-rata 1 — 1,5 meter.
Pada beberapa ruas tertentu masih dijumpai lebar jalan yang sempit, sekitar 4,5 meter dan
lebar bahu 0,5 1,0 meter, seperti di N.015.3 pada Jalan Blang Pidie - Tapak Tuan Km. 374 +
000 s/d 422 + 000 dan di ruas N.017.1 pada Jalan T. Tuan - Bakongan Km. 455 + 000 s/d 456 +
000, Km. 457 + 000 s/d 458 + 000 dan Km. 483 + 000 s/d 501 + 000. Jalan dengan kondisi
geometrik yang seperti ini juga dijumpai di ruas N.017.2 pada jalan Bakongan - Kr Luas Km.
455 + 000 s/d 456 + 000, Km. 457 + 000 s/d 458 + 000 dan Km. 483 + 000 s/d 501 + 000. Hal
yang sama juga dijumpai di ruas N.017.2 pada jalan Bakongan - Kr Luas Km. 521 + 000 s/d 542
+ 000 dan Km. 551 + 000 s/d 556 + 000.
Di lain pihak, pada beberapa ruas lainnya dijumpai prasarana jalan dengan lebar yang cukup
memadai, yaitu lebih dari 11 meter seperti yang disyaratkan sebagai jalan arteri. Ruas-ruas
jalan dengan lebar perkerasan seperti itu dijumpai di ruas N.008.1 pada Jalan Banda Aceh -
Bts. Aceh Barat Krn. 00 + 000 s/d 05 + 000 dengan lebar 2 x 8,8 meter, di ruas N.017.2 pada
jalan Bakongan - Kr Luas Km. 520 *,000 s/d 521 + 000 dengan lebar 2 x 7,0 meter dan di ruas
N.017.3 pada Jalan Kr. Luas - Bts Sumut Km. 592 + 000 s/d 595 + 000 dengan lebar jalan 2 x
6,0 meter.
Dengan kondisi geometrik seperti ini maka sebenarnya secara teknis prasarana jalan pada
lintas barat ini belum sepenuhnya dapat dikatakan sebagai jalan arteri, mengingat bahwa
lebarnya masih kurang di bawah yang disyaratkan, meskipun pada beberapa bagiannya sudah
memenuhi syarat.
Meskipun hantaman yang luar biasa tsunami terhadap ruas jalan Banda Aceh - Calang - Meulaboh
pada tahun 2004 telah menyebabkan ruas jalan ini rusak total dan hilang tak berbekas, namun
mengingat pentingnya prasarana jalan ini, maka pihak pemerintah segera melakukan pembangunan
jalan baru dengan bantuan dari beberapa negara donor. Sampai saat ini, ruas jalan yang telah
benar-benar terbangun adalah ruas jalan Banda Aceh - Batas Aceh Barat dengan panjang total
20,4 Km. Sedangkan sisanya sampai saat ini masih dalam proses pembangunan.
Pada ruas jalan lainnya, kondisi prasarana jalan pada umumnya cukup baik. Hal ini terutama
jika dilihat dari kondisi permukaan perkerasan dengan harga IRI berkisar antara 3,224 sampai
4,349, di bawah standar minimal yang disyaratkan bagi jalan arteri. Dengan lebar jalan yang
rata cukup besar menyebabkan prasarana jalan pada lintas barat ini memiliki kapasitas rata-
rata yang cukup memadai, yaitu sekitar 3.200 smp per jam.
Selanjutnya, jika kondisi jalan diklasifikasikan sebagai: baik, rusak sedang, rusak ringan
dan rusak berat, maka secara umum kondisi prasarana jalan di lintas barat ini kondisinya
sangat baik, terutama pada ruas yang tidak terkena bencana Tsunami. Mengingat ruas jalan
yang terkena tsunami secara proporsi cukup besar, yaitu hampir 34% dari total panjang lintas
barat, maka pengaruhnya terhadap kondisi rata-rata menjadi sangat signifikan. Jika dihitung
secara rata- rata, presentase prasarana jalan dengan kondisi rusak berat menjadi 38,49%,
rusak ringan 18,86%, rusak sedang 2,17 % dan sisanya dengan kondisi baik sebesar 40,57%.
Jalan feeder didefinisikan dalam konteks ini adalah jalan yang berfungsi menghubungkan
wilayah-wilayah di luar koridor jalan poros utama ke jalan poros utama, ataupun menghubungkan
antar poros utama. Dengan definisi ini, maka yang dimaksud dengan jalan feeder adalah jalan-
jalan yang menghubungkan wilayah-wilayah di luar koridor jalan lintas ke jalan lintas itu
sendiri ataupun jalan-jalan yang menghubungkan antar lintas, apakah antara lintas barat
dengan lintas tengah ataupun yang menghubungkan antara lintas itu sendiri.
Secara geografis, jumlah ataupun panjang jalan feeder yang ada di Wilayah pemerintah Aceh
dapat dikatakan sangat terbatas. Hal ini lebih disebabkan karena faktor kondisi fisik wilayah
yang memiliki kondisi topografis yang bergunung-gunung. Dengan kondisi seperti ini, maka
membangun prasarana jalan menjadi sulit dan mahal.
Sampai saat ini, jalan feeder yang telah terbangun di Wilayah pemerintah Aceh baru
menghubungkan wilayah-wilayah yang telah memiliki aktifitas ekonomi yang tinggi ataupun
karena memiliki sumber daya alam. Di sebelah utara, misalnya, jalan feeder yang ada
menghubungkan kota Lhok Kruet dengan kota Tangset. Selain itu di sebelah selatannya juga ada
jalan feeder yang menghubungkan kota Meulaboh dengan Geumpa. Di wilayah bagian timur, jumlah
jalan feeder relatif lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah bagian barat. Beberapa jalan
feeder yang menghubungkan lintas timur dengan lintas tengah di antaranya adalah yang
menghubungkan Biereun dengan Takengon, jalan yang menghubungkan Blangkejeuren dengan Pereula,
dan jalan yang menghubungkan Blangkejeureun dengan Kuala Simpang.
Secara umum, kondisi jalan feeder yang ada dapat dikelompokkan sebagai jalan kolektor. Jalan
jenis ini pada umumnya memiliki lebar perkerasan jalan yang relatif sempit, sekitar 4,0 meter
sampai 7,0 meter. Dengan lebar seperti ini, ditambah dengan kondisi geometrik yang berliku
dan dengan gradien yang berbukit-bukit, menyebabkan kapasitasnya menjadi relatif kecil, yaitu
berkisar antara 2.181 smp/jam sampai 3.432 smp/jam.
Jenis perkerasan dari jalan feeder ini adalah tipe perkerasan lentur dengan lapisan permukaan
berupa Asphalt Concrete. Secara umum kondisi permukaannya sangat baik, di mana nilai IRI-nya
relatif baik, yaitu pada kisaran 2,041 sampai dengan 4,414. Dengan kondisi permukaan seperti
ini, maka kondisi tingkat pelayanannya dapat dikatakan sangat baik.
Kereta api di Aceh berakhir sekitar tahun 1960-an dan upaya membangun kembali rel kereta api
untuk menghubungkan antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) sudah dimulai, namun kegiatan
pembangunannya sempat terhenti akibat terjadinya tsunami di Aceh pada 2004 lalu. Pembangunan
ini nantinya akan menghubungkan pesisir timur Aceh (yang memang sebelumnya telah ada jalur
dan tanah PT. Kereta Api (Persero) dari ibu kota Banda Aceh hingga ke wilayah Divre I Sumatra
Utara. Rel yang digunakan akan menggunakan standar internasional, yakni 1435.
Pada tahun 2010 pembangunan jalur kereta api Aceh mulai dilanjutkan lagi. Pembangunan jalur
kereta api Aceh ini dilanjutkan di wilayah Aceh Utara dan Pemkot Lhokseumawe. Adapun program
pembangunan jalur kereta api di Propinsi Aceh yang menghubungkan Aceh – Langkat (Sumatera
Utara) ditargetkan rampung pada 2012.
Tetapi target ini kemungkinan akan sulit dicapai, hal ini karena banyaknya rel-rel yang telah
hilang, di antaranya rel sepanjang 14 kilometer dari Bireuen menuju Lhokseumawe yang telah
dibangun lima tahun yang lalu sekarang ini telah banyak yang raib entah kemana, hilangnya
rel-rel tersebut terjadi karena dibongkar untuk alasan pembangunan dan keindahan kota seperti
yang dilakukan oleh Pemda Bireuen yang membongkar rel-rel yang terletak di depan pendopo dan
di Jalan Langgar yang kemudian diubah menjadi pusat jajanan malam, Langgar Square namanya.
Masalah yang hampir serupa juga terjadi di beberapa kota lainnya seperti di Kota Langsa dan
Aceh Tamiang. Selain dibongkar karena ada izin dari Bupati kemudian rel-rel tersebut ada
juga yang hilang karena dicuri oleh tangan-tangan jahil. Kemudian di kota Matangglumpangdua
badan jalan rel telah dibongkar dan diratakan karena sedang dibangun jalan dua jalur,
selanjutnya di Krueng Panjoe dan Meuse Kecamatan Kutablang Kabupaten Bireuen relnya juga
telah banyak yang dicuri. Ironisnya tidak hanya relnya yang diambil tetapi bantalannya yang
dari semen dipecahkan kemudian besi yang ada di dalamnya diambil untuk dijual kiloan.
Alokasi dana untuk pembuatan sarana kereta api lintas Banda Aceh-Lhokseumawe yang dibiayai
melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan lintas Lhokseumawe-Watas Langkat
(Sumatera Utara) melalui pinjaman luar negeri. Pada tahun anggaran 2007 lalu, pemerintah
mengalokasikan dana sebesar Rp 100 miliar untuk melanjutkan pembangunan rel kereta api yang
telah dibuat lima tahun lalu sepanjang 14 kilometer dari Bireuen menuju Lhokseumawe.
Dikabarkan sebuah perusahaan perkeretaapian Prancis (SNCF internasional) siap menjalin kerja
sama dengan pemerintah Indonesia untuk membangun rel kereta api di Aceh (Aceh), pasca-
tsunami, 26 Desember 2004. Pihak Perancis juga telah melakukan survei pada 2005 lalu
menyebutkan, jumlah dana yang dibutuhkan untuk membangun jalur kereta api baru dari Banda
Aceh hingga perbatasan wilayah Sumut, sepanjang lebih kurang 450 kilometer dibutuhkan dana
sedikitnya Rp 11 triliun. Tetapi dengan dana yang dialokasikan setiap tahunnya sekitar Rp
100 miliar, maka untuk menyelesaikan pembangunan badan jalan rel kereta api di Aceh butuh
waktu yang cukup lama.
Tetapi program pembangunan jalur kereta api tersebut banyak mendapat kendala di lapangan,
yaitu masalah pembebasan lahan masyarakat yang terkena dampak proyek, termasuk pembebasan
trase lama yang saat ini banyak berdiri sejumlah bangunan masyarakat. Khusus mengenai masalah
pembangunan jalur kereta api di kawasan padat penduduk ini memang sangat sulit untuk
dipecahkan dan dilematis karena kalaupun dipaksakan pembangunannya akan sangat membahayakan
jiwa penduduk karena dekatnya jalur rel kereta api dengan pemukiman penduduk. Solusi dalam
masalah ini banyak pihak yang menyarankan untuk mencari alternatif pembangunan jalur baru
kereta api di Aceh, khususnya untuk jalur-jalur yang sudah padat penduduk.
Saat ini pelabuhan penyeberangan yang dikelola Dinas Perhubungan Wilayah pemerintah Aceh ada
8 (delapan) pelabuhan yaitu: Pelabuhan Uleelheu, Balohan, Lamteng, Meulaboh, Sinabang,
Singkil, P. Banyak, Labuhan Haji. Pelabuhan Meulaboh saat ini sedang dalam kondisi
pembangunan. Data frekuensi dan jumlah penumpang yang naik dan turun pada beberapa pelabuhan
penyeberangan dapat dilihat pada tabel berikut.
Selain transportasi darat, transportasi udara juga memiliki andil dalam memperlancar kegiatan
perekonomian. Bandar udara yang melayani Aceh dan sekitarnya adalah Bandara Internasional
Sultan Iskandar Muda. Pada tahun 2010 jumlah perusahaan komersial yang melayani penerbangan
di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) ada 7 (tujuh) perusahaan, dengan total jumlah
penerbangan sebanyak 2.376 penerbangan.
Jumlah penumpang yang diangkut melalui bandara ini dalam tahun 2010 sebanyak 319.059
penumpang. Keadaan ini mengalami kenaikan sebesar 8,81 persen dibandingkan tahun 2009 yang
berjumlah 293.224 orang. Adapun rasio jumlah penumpang terhadap kapasitas angkutan pada tahun
2010 telah mencapai 95,61 persen. Nilai ini mengalami peningkatan bila dibandingkan pada
tahun 2009 yang mencapai 95,27 persen.
Tabel 4. 9 Pelaksanaan Penerbangan Angkutan Udara Melalui Melalui Bandar Udara Sultan
Iskandar Muda, Tahun 2010
Bandar Udara Perusahaan Frekuensi Jumlah
No.
Tujuan Penerbangan Per Bulan Penerbangan
(1) (2) (3) (4) (5)
1 BTJ-KUL AIR ASIA 16 192
2 BTJ-PEN FIREFLY 12 144
Garuda
Indonesia
3 BTJ-MES-CGK Airlines 30 360
Sriwijaya
4 BTJ-MES-CGK Airlines 30 360
Batavia
5 BTJ-MES-CGK Airlines 30 240
6 BTJ-MES-CGK Lion Airlines 60 720
7 MES-SNB-MEQBTJ NBA 8 72
8 MES-TPN-BTJ NBA 4 36
9 MES-BPD-BTJ NBA 4 36
10 MES-KTC-BTJ NBA 8 72
11 MES-TPN-KTJ NBA 4 36
12 MES-TKN-BTJ NBA 4 36
13 MES-TKN-MES NBA 4 36
14 MES-SKL-BTJ NBA 4 36
Jumlah 2.376
Sumber : Aceh Dalam Angka 2011
3000
2900
2800
2700
421 423
2600 Internasional
2500 Domestik
2400
2461 2463
2300
2200
Pesawat Datang Pesawat Berangkat
Gambar 4. 7 Grafik Jumlah Pesawat yang Datang dan Berangkat Melalui Bandar Udara Sultan
Iskandar Muda, Tahun 2010
Sumber : Tim Penyusun, 2013
300000
290000
280000
270000
260000 Internasional
250000 Domestik
240000
230000
220000
Penumpang Datang Penumpang
Berangkat
Gambar 4. 8 Grafik Jumlah Penumpang yang Datang dan Berangkat Melalui Bandar Udara Sultan
Iskandar Muda, Tahun 2010
Sumber : Tim Penyusun, 2013
Tabel 4. 10 Jumlah Pesawat dan Penumpang yang Datang dan Berangkat Melalui Bandar Udara
Sultan Iskandar Muda, Tahun 2010
Pada sub bahasan ini, akan dibahas mengenai kondisi umum menyeluruh dari pelabuhan menurut
ketersediaan data dari biro-biro perencanaan di Aceh, kemudian dibahas mengenai 11 pelabuhan
umum/kargo dengan lebih mendetail yakni kondisi pelabuhan, aktifitas pelabuhan, rute armada
kapal yang melayani pelabuhan, komoditas bongkar muat, permasalahan dan usulan rekomendasi
permasalahan di 11 pelabuhan yang masuk dalam lingkup pekerjaan Rencana Induk Pelabuhan Aceh
hingga tahun 2033. Kondisi pelabuhan akan menguraikan tentang catatan sejarah pelabuhan,
regulasi dan aturan yang ada serta berisi mengenai profil sarana dan prasarana pelabuhan.
Aktifitas pelabuhan akan menguraikan mengenaik aktifitas apa saja yang ada dimasing-masing
pelabuhan hingga kepada tingkat produktifitas pelabuhan. Komoditas bongkar muat adalah
penjelasan mengenai jenis komoditas yang masuk maupun keluar dari pelabuhan. Sedangkan
permasalahan akan menguraikan daftar masalah dari tiap pelabuhan laut baik itu masalah teknis
dan masalah non teknis seperti regulasi pemerintah yang berdampak kepada produktifitas
pelabuhan. Terakhir adalah usulan rekomendasi terhadap permasalahan pelabuhan yang dihadapi.
Didalam menguraikan kondisi dan permasalahan tersebut, pelabuhan yang ada akan dikelompokkan
berdasarkan arahan zonasi pengembangan strategis wilayahnya. Yakni zona pusat yang terdiri
atas pelabuhan Sabang dan Malahayati, Zona Timur yang terdiri atas pelabuhan Krueng Geukeuh,
Kuala Langsa dan Idi, Zona Barat terdiri atas pelabuhan Meulaboh dan Calang, serta Zona
Selatan Tenggara yang melinkupi atas pelabuhan laut Singkil, pelabuhan laut Sinabang,
pelabuhan laut Tapaktuan dan pelabuhan laut Susoh Surin.
Berdasarkan data dari Biro Statistik Aceh, nilai impor Aceh dari pelabuhan yang ada di Aceh
sejak tahun 2006 hingga tahun 2011 mengalami pergerakan yang dinamis dan kejutan. Kejutan
pergerakan barang melalui pelabuhan Aceh terjadi pada tahun 2007 dan 2009. Pada tahun 2007
bongkar barang di pelabuhan Aceh mencapai 334 juta kilo dengan nilai transaksi mencapai 30
juta US $. Sedangkan pada tahun 2009 jumlah barang yang melalui pelabuhan Aceh mencapai 530
juta kilo dengan nilai transaksi mencapai 119 juta US $. (lih tabel dibawah ini)
Tabel 4. 11 Nilai Impor Wilayah pemerintah Aceh Menurut Pelabuhan Bongkar (Tahun/Kilo)
Tahun/Berat (Kilo)
No
Pelabuhan 2006 2007 2008 2009 2010 2011
1 Sabang 2,674,600 965 17,332 - - -
Ulee
2 147,589 - 63,140,000 - - -
Lheue
3 Sigli - - - - - -
Lhokseuma
4 249,054,493 177,642,814 117,041,987 205,705,177 124,174,420 98,404,143
we
5 Idi - - - - - -
6 Langsa - - - 7,379,707 16,964,288 139,501
7 Calang - - - - - -
8 Meulaboh - - - 529,553 5,296,360 999,768
9 Susoh - - 214 - - -
10 Sinabang - - 55 1,103,700 1,070,000 -
11 Tapaktuan 125,724 13,200 140 19,998 28,935,434 -
12 Bakongan - - 14 172 205,707 - -
13 Singkil - - - - - -
Tahun/Berat (Kilo)
No
Pelabuhan 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Labuhan
14 - - - - - -
Haji
Blang
15 311 - - 11,988 - -
Bintang
Blang
16 Lancang 13,556,985 445,648 683,631 538,000 - -
(Arun)
Krueng
17 6,018,900 9,960,243 1,520 15,238,452 10,526,606 13,801,279
raya
Kuala
18 4,267 475,368 134,400 3,749,647 2,191,495 1,301,055
Langsa
19 Lhok Nga 19,457,489 145,775,407 20,122,000 296,000,284 52,629,459 45,260,000
Jumlah 291,042,364 334,315,652 201,143,287 530,484,222 241,790,072 159,907,757
Sumber: BPS Aceh, Juli 2013
Berdasarkan analisis dari asal barang bongkar menurut pelabuhan yang ada di Aceh, secara
konstan dan dinamis pelabuhan yang berproduktifitas adalah pelabuhan Lhokseumawe, pelabuhan
Blang LAncang (Arun), pelabuhan Krueng Raya, Pelabuhan Kuala Langsa, dan Pelabuhan Lhok Nga.
Tabel 4. 12 Nilai Impor Wilayah pemerintah Aceh Menurut Pelabuhan Bongkar (Tahun/US $)
Tahun/Nilai (US$)
No Pelabuhan
2006 2007 2008 2009 2010 2011
(1
(2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
)
1 Sabang 320,717 4,464 57,751 - - -
2 Ulee Lheue 331,503 - 2,578,198 - - -
3 Sigli - - - - - -
16,777,5 18,459,4 376,705,1 28,248,43 12,358,3 27,697,9
4 Lhokseumawe
22 98 77 5 64 02
5 Idi - - - - 603 -
2,972,23
6 Langsa - - - 3,630,196 115,036
1
7 Calang - - - - - -
11,054,2
8 Meulaboh - - - 2,345,540 699,836
79
9 Susoh - - 4,163 - - -
10 Sinabang - - 187 469,072 453,062 -
1,591,70
11 Tapaktuan 47,295 10,428 3,409 123,868 -
6
12 Bakongan - - 14,671 1,320,645 - -
13 Singkil - - - - - -
14 Labuhan Haji - - - - - -
15 Blang Bintang 921 - - 92,764 - -
Blang Lancang 12,061,3 2,068,14 57,234,04
16 3,100,526 - -
(Arun) 73 9 3
3,867,80 6,510,08 9,275,31
17 Krueng raya 148,811 4,571 6,934,462
6 7 8
2,091,52 1,925,55
18 Kuala Langsa 7,255 784,357 28,301 2,712,367
7 1
6,438,71 5,453,74 16,665,72 1,866,07 1,851,44
19 Lhok Nga 816,952
0 1 9 6 2
36,136,1 30,650,4 383,315,9 119,779,1 38,899,9 41,567,0
Jumlah
13 50 14 30 45 96
Sumber: BPS Aceh, Juli 2013
600,000,000
500,000,000
400,000,000
100,000,000
-
Th Th Th Th Th Th 2011
2006 2007 2008 2009 2010
Berdasarkan hasil olahan data dari BPS Aceh tahun 2006 hingga tahun 2011, terdapat beberapa
pelabuhan yang besar didalam produktifitas impornya, yakni pelabuhan Lhokseumawe, pelabuhan
Blang Lancang, pelabuhan Kreung Raya, pelabuhan Kuala Langsa dan pelabuhan Lhok Nga.
400,000,000
350,000,000
300,000,000
Sabang
250,000,000
Lhokseumawe
50,000,000
-
Th 2006 Th 2007 Th 2008 Th 2009 Th 2010 Th 2011
Melihat data statistic dari Aceh melalui pola masuknya barang ke Aceh. Baik itu melalui
darat, udara dan laut. Negara-negara yang melakukan ekspor ke Aceh (Indonesia), atau barang
masuk ke Aceh adalah berasal dari benua asia, eropa dan arab. Negara yang masuk dalam lingkup
Asean meliputi Mayasia, Singapura, Thailand, Vietnam. Sedangkan Negara dari Asia lainnya
adalah Hongkong, Jepang. Juga ada Amerika, Australia, Inggris, Prancis, Jerman, Belgia,
Finlandia, Switzerland, Italia, Spanyol, Korea, Taiwan, China, India, Polandia, Mexico,
Brasil, United Arab Emirate, Kuwait dan Eropa Lainnya.
Berdasarkan nilai dan jumlah barang yang masuk ke Aceh Negara penyumpang impor adalah
Malaysia, Singapura, Vietnam, China, Korea, Thailand, Pakistan dan Kuwait.
Tahun/Nilai (US$)
No Pelabuhan
Th 2006 Th 2007 Th 2008 Th 2009 Th 2010 Th 2011
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 Sabang 601,663 257,600 644,029 12,000 - 66,776
2 Ulee Lheue - - - - - -
3 Sigli - - - - - -
4 Lhokseumawe 799,551,328 117,978,253 128,970,534 87,471,725 18,770,392 20,214,545
5 Idi - - - - - -
6 Langsa 213,750 - - 14,149,697 8,035,946 -
7 Calang - - - - - -
8 Meulaboh - - - 23,000 1,391,745 12,782,767
9 Susoh - - - 13,000 - -
Tahun/Nilai (US$)
No Pelabuhan
Th 2006 Th 2007 Th 2008 Th 2009 Th 2010 Th 2011
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
10 Sinabang - 16,732 - 19,000 72,000 23,000
11 Tapaktuan - 955 - 86,108 - -
12 Bakongan - - 7,708 954 - -
13 Singkil - - - - - -
14 Labuhan Haji - - - - - -
15 Blang Bintang - - - - - 24,400
Blang Lancang
16 1,227,174,006 1,731,727,872 2,104,395,034 2,335,255,529 1,266,057,475 796,537,419
(Arun)
17 Krueng raya - - 38,500 - - -
18 Kuala Langsa 5,249,800 4,204,961 74,859 8,724,351 83,008,060 286,063
19 Lhok Nga - - - - - -
Jumlah 2,032,790,547 1,854,186,373 2,234,130,664 2,445,755,364 1,377,335,618 829,934,970
Sumber: BPS Aceh, Juli 2013
Membaca pola pergerakan data barang yang masuk dari 19 pelabuhan yang ada di Aceh, berdasarkan
pelabuhan yang memiliki produktifitas dalam melakukan impor (masuk) juga memiliki
produktifitas sebagai pelabuhan ekspor (keluar) adalah pelabuhan Sabang, Lhokseumawe, Langsa,
Meulaboh, Sinabang, Tapaktuan, Bakongan, Blang Lancang (Arun), Krueng Raya, dan Kuala Langsa.
Namun jika dilihat dari frekuensi dan nilai ekspor/barang keluar hanya ada beberapa pelabuhan
yang memiliki produktifitas yang baik. Diantaranya adalah pelabuhan Sabang, Lhokseumawe,
Blang Lancang, Krueng Raya, Kuala Langsa dan Lhok Nga.
Tahun/Berat (Kg)
No Pelabuhan
Th 2006 Th 2007 Th 2008 Th 2009 Th 2010 Th 2011
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 Sabang 628,964 3,003,050 48,016,220 200,000 - 238,020
2 Ulee Lheue - - - - - -
3 Sigli - - - - - -
4 Lhokseumawe 1,668,944,071 279,035,738 171,715,357 209,958,093 82,367,389 75,279,869
5 Idi - - - - - -
6 Langsa 750,000 - - 31,638,588 13,950,999 -
7 Calang - - - - - -
8 Meulaboh - - - 5,000 30,974,104 277,456,358
9 Susoh - - - 46 - -
10 Sinabang - 9,360 - 40,000 15,000 5,000
11 Tapaktuan - 180 - 1,735 - -
12 Bakongan - - 16,567 171 - -
13 Singkil - - - - - -
14 Labuhan Haji - - - - - -
15 Blang Bintang - - - - - 26
Blang Lancang
16 2,549,301,873 3,288,140,829 3,158,852,262 6,931,441,762 2,095,906,979 1,109,017,106
(Arun)
Tahun/Berat (Kg)
No Pelabuhan
Th 2006 Th 2007 Th 2008 Th 2009 Th 2010 Th 2011
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
17 Krueng raya - - 7,700,000 - - -
18 Kuala Langsa 4,450,000 3,003,750 82,094 18,577,601 181,499,906 835,605
19 Lhok Nga - - - - - -
Jumlah 4224074908 3573192907 3386382500 7191862996 2404714377 1462831984
Sumber: BPS Aceh, Juli 2013
2,500,000,000
2,000,000,000
Sabang
1,500,000,000 Lhokseumawe
Blang Lancang (Arun)
1,000,000,000 Krueng raya
Kuala Langsa
500,000,000 Lhok Nga
-
Th 2006 Th 2007 Th 2008 Th 2009 Th 2010 Th 2011
Berdasarkan olahan dari data ekspor statistic BPS Aceh, terlihat pergerakan barang dari Aceh
ke luar dari wilayah Aceh mencapai hingga ke Negara Negara di Asia, Eropa dan Australia.
Interaksi pola pergerakan barang ini mencerminkan adanya hubungan ekonomi yang baik terhadap
potensi dan hasil bumi dari Aceh, kebutuhan masyarakat Aceh dengan Negara-negara yang
menikmati atau membutuhkan komoditas dari Aceh. Negara Negara tersebut adalah Malaysia,
Thailand, Philipina, Singapura, Vietnam, Myanmar, Hongkong, Jepang / Japan, Amerika Serikat
/ U.S.A, Australia, Amerika / Rest of America, Belanda / Netherlands, Jerman / Germany,
Korea, Taiwan, China, India, Srilangka, Colombia, Bangladesh, Eropa lainnya / Rest of Europe.
Dan jika dikaji lebih mendalam maka Negara terbesar tujuan ekspor Aceh adalah Jepang, Korea
dan Thailand.
Masuknya barang-barang ini tidak hanya melalui pelabuhan namun paling besar adalah melalui
perjalanan darat dari pelabuhan Belawan di Medan provinsi Sumatera Utara. Interaksi ini
sangat baik karena didukung dengan prasarana jalan lintas Aceh- Sumatera Utara yang baik.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1969 Tentang Susunan Dan Tata
Kerja Kepelabuhanan Dan Daerah Pelayaran, beberapa definisi pelabuhan yang diatur didalamnya
adalah pelabuhan yang diusahakan yaitu pelabuhan dalam pembinaan Pemerintah yang sesuai
kondisi, kemampuan dan perkembangan potensinya diusahakan menurut asas-asas/hukum perusahaan
atas ketetapan Menteri;
Pelabuhan yang tidak diusahakan: adalah pelabuhan dalam pembinaan Pemerintah yang sesuai
kondisi, kemampuan dan perkembangan potensinya masih lebih menonjol sifat "overheidszorg"
dan atau yang belum ditetapkan sebagai pelabuhan yang diusahakan; Pelabuhan otonom: adalah
pelabuhan yang diserahi wewenang untuk mengatur diri sendiri dengan suatu peraturan
perundangan tersendiri; Pelabuhan khusus: adalah pelabuhan yang khusus untuk melayani suatu
kegiatan industri yang penyelenggaraannya dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan;
Pelabuhan Laut dan Pelabuhan Pantai: adalah pelabuhan sebagaimana yang diatur dalam Undang-
undang Pelayaran Indonesia tahun 1936 dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Untuk wilayah Aceh sendiri, terdapat beberapa pelabuhan yang diusahakan dibawah wewenang PT.
perusahaan pelayaran Indonesia 1. Yakni pelabuhan Sabang, pelabuhan Lhokseumawe, pelabuhan
Malahayati/Lhok Nga/Ulee Lheue, pelabuhan Meulaboh dan pelabuhan Kuala Langsa. Pelabuhan
tersebut berada dibawak kantor perwakilan pelindo 1 Cabang Lhokseumawe. Berdasarkan data
yang masuk, kunjungan kapal baik itu dari dalam negeri dan luar negeri sejak tahun 2008
hingga 2010 mengalami aktifitas yang dinamis. Pada pelabuhan Sabang, peningkatan kunjungan
kapal terjadi pada tahun 2009 dengan jumlah kunjungan mencapai 2.203 kapal. Sama halnya
dengan pelabuhan Lhokseumawe yang mengalami kunjungan kapal sebanyak 564 kapal. Sedangkan
pelabuhan Lhokseumawe pada tahun terus mengalami peningkatan dan kunjungan terbanyak pada
tahun 2011 yakni berjumlah 1643 kapal. Untuk pelabuhan Meulaboh dan pelabuhan Kuala Langsa,
mengalami produktifitas tertinggi pada tahun 2008. (lihat tabel dibawah ini).
2,500
2,000
1,500
1,000 Th 2008
500
- Th 2009
Th 2010
Arus barang di pelabuhan yang diusahakan oleh pemerintah pusat melalui PT PELINDO menurut
olahan data statistic dan bantuan analisis grafikasi dari masing-masing pelabuhan kegiatan
arus barang ekspor cenderung sedikit/dalam kuantitas yang tidak sebanding dengan kuantitas
barang yang masuk/impor. Dalam hal ini dapat dikatakan seluruh pelabuhan yang diusahakan
oleh PT PELINDO, dibawah kementerian perhubungan, direktorat jenderal perhubungan laut masih
berdominansi impor. Tingkat kegiatan ekspor masih kecil. Hal ini berdampak pada pengusahaan
pelabuhan dan pengusahaan armada perkapalan yang masuk ke pelabuhan yang diusahakan tersebut.
Artinya kegiatan pelabuhan yang diusahakan di Aceh belum berdaya saing.
Berdasarkan data yang masuk pada dinas perhubungan, komunikasi dan telekomunikasi Aceh dari
tahun 2008 sampai dengan tahun 2010, pelabuhan yang memiliki produktifitas paling besar
adalah Lhokseumawe, Malahayati/Lhok Nga/Ulee Lheue. Sedangkan pelabuhan Sabang, Meulaboh dan
Kuala Langsa cukup besar.
Tahun
No Pelabuhan Keg
2008 2009 2010
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
I/B 152,796 102,036 80,494
1 Sabang
E/M 15,101 56,639 27,588
I/B 864,375 1,419,720 609,452
2 Lhokseumawe
E/M 4,223,452 26,433,477 4,947,623
I/B 6,739,349 35,665,687 261,949
3 Malahayatl, Lhok Nga, Ulee Lheue
E/M 74,167 69,273,204 498,981
I/B 7,107 7,616 101,961
4 Meulaboh
E/M 202,165 122,162 159,949
1/B 4,325 1,232 2,078
5 Kuala Langsa
E/M 13,024 6,995 6,054
Sumber: Dishubkomintel Aceh 2013
180,000
160,000
152,796
140,000
120,000
100,000 102,036
I/B
80,000 80,494
E/M
60,000 56,639
40,000
27,588
20,000
15,101
-
Th 2008 Th 2009 Th 2010
30,000,000
26,433,477
25,000,000
20,000,000
15,000,000 E/M
I/B
10,000,000
864,375 1,419,720
- 609,452
Th 2008 Th 2009 Th 2010
120,000,000
69,273,204
100,000,000
80,000,000
60,000,000 E/M
I/B
40,000,000
35,665,687
20,000,000
574,167
6,739,349 261,949
- 498,981
Th 2008 Th 2009 Th 2010
Gambar 4. 15 Grafik Arus Barang di Pelabuhan Malahayati, Lhok Nga, Ulee Lheue
Sumber : Tim Penyusun, 2013
300,000
202,165 159,949
250,000
200,000 122,162
150,000 E/M
I/B
100,000 101,961
77,616
57,107
50,000
-
Th 2008 Th 2009 Th 2010
20,000
18,000
13,024
16,000
14,000
12,000
10,000 E/M
I/B
8,000 6,995 6,054
6,000
4,000 4,325
2,000 2,078
1,232
-
Th 2008 Th 2009 Th 2010
4.3. Kondisi dan Permasalahan 11 Pelabuhan Umum di Aceh Menurut Zona Pengembangan
Pada sub bahasan ini dibahas secara mendetail tiap pelabuhan yang disurvey. Tiap pelabuhan
akan dibahas menurut data dan informasi dari data primer dan sekunder yang didapat. Tiap
pembahasan akan dikelompokkan menjadi sub bahasan kondisi pelabuhan berupa tabulasi profil
sarana dan prasarana pelabuhan, aktifitas pelabuhan berupa bongkar dan muat, rute armada
kapal yang masuk melalui pelabuhan, komoditas yang masuk dan keluar melalui pelabuhan,
dokumentasi dari masing-masing pelabuhan, permasalahan dalam pengelolaan pelabuhan dan
usulan/rekomendasi dari permasalahannya.
A. Kondisi
Menurut catatan sejarah, pelabuhan laut Sabang pada tahun 1881 Pemerintah Hindia Belanda
mendirikan Kolen Station. Awalnya, pelabuhan tersebut dijadikan pangkalan batu bara untuk
Angkatan Laut Kerajaan Belanda, tetapi kemudian juga mengikutsertakan kapal pedagang
untuk mengirim barang ekspor. Pada tahun 1887, firma Delange dibantu Sabang Haven
memperoleh kewenangan untuk membangun sarana penunjang pelabuhan. Era pelabuhan bebas di
Sabang dimulai pada tahun 1895, dikenal dengan istilah Vrij Haven dan dikelola oelh Sabang
Maatschaappij. Pada tahun 1942 Sabang diduduki oleh pasukan Jepang, kemudia dibombardir
pesawat Sekutu hingga mengalami kerusakan fisik dan terpaksa tutup. Pada masa awal
kemerdekaan semua asset Pelabuhan Sabang Maatschaappij dibeli oleh Pemerintah Indonesia.
Kemudian pada 1965 dirintisnya gagasan awal untuk membuka kembali pelabuhan. Pada tahun
1886 pelabuhan Sabang kembali ditutup dan kembali beraktifitas pada tahun 2002. Pelabuhan
ini dikelola oleh Badan Pengusahaan Kawasan Bebas Sabang (BPKS Sabang).
Pelabuhan Bebas Sabang sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2010 dan Undang-
Undang Nomor 37 tahun 2010 dapat melakukan perdagangan bebas, kegiatan ekspor dan impor
melalui pelabuhan bebas Sabang.
Berikut ini adalah perkembangan pelabuhan dan perdagangan bebas Sabang sejak tahun 1884
hingga tahun 2000;
1) Tahun 1884, Rencana Belanda untuk mendirikan suatu Kolestation di Balohan
2) Tahun 1887, Firma De Lange membangun sarana penunjang untuk fasilitas pelabuhan
dengan mendirikan Sabang Haven.
3) Tahun 1895, Dibuka pelabuhan bebas dan dikelola oleh Sabang Mactscappaij.
4) 1942, Sabang diduduki oleh Jepang dan mengalami kehancuran fisik, Sabang sebagai
pelabuhan bebas ditutup. Pelabuhan Sabang dijadikan menjadi Pelabuhan Pertahanan
militer
5) Tahun 1945, Indonesia Merdeka tetapi Sabang Masih diduduki oleh Belanda sampai
dengan 29 Desember 1949 yaitu saat terjadinya Konverensi Meja Bundar
6) Tahun 1950, Dengan ketetapan Mentri Pertahanan Republik Indonesia Serikat Nomor
9/MP/50 dan Pulau Weh diserahkan kepada Angkatan Laut Republik Indonesia serikat
untuk dijadikan sebagai Basis Pertahanan Maritim Republik Indonesia.
7) Tahun 1963, Sabang ditetapkan sebagai Pelabuhan Bebas dengan Penetapan Presiden
No. 10 Tahun 1963.
8) Tahun 1964, Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 22 Tahun 1964 dibentuklah
suatu lembaga Komando Pelaksana Pembangunan Proyek Pelabuhan Bebas Sabang (KP4BS)
9) Tahun 1965, Kotapraja Sabang dibentuk dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1965.
10) Tahun 1970, Diterbitkannya Undang-undang No. 3 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
11) Diterbitkannya Undang-undang No. 4 Tahun 1970 tentang Penetapan Sabang sebagai
Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
12) Tahun 1985, Status Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Sabang ditutup oleh Pemerintah RI melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1985.
13) Tahun 1993, Posisi Sabang mulai diperhitungkan kembali dengan dibentuknya
Kerjasama Ekonomi Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT).
14) Tahun 1997, Dilaksanakannya Jambore Ilmu Pengetahuan dan Teknologi BPPT di Sabang
untuk mengkaji kembali pengembangan Sabang.
15) Tahun 1998, Kota Sabang dan Kecamatan Pulo Aceh dijadikan sebagai Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang bersama-sama KAPET lainnya diresmikan
oleh Presiden BJ. Habibie dengan Keppres No. 171 tanggal 26 September 1998.
16) Tahun 2000, Pencanangan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas oleh Presiden KH. Abdurrahman Wahid di Sabang dengan diterbitkannya Inpres
No. 2 Tahun 2000 pada tanggal 22 Januari 2000.
17) Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.2 Tahun 2000
tanggal 1 September 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Sabang.
18) Diterbitkannya Undang-undang No. 37 Tahun 2000 tanggal 21 Desember 2000 tentang
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Beberapa instansi pemerintah yang turut mendukung pelayanan pelabuhan Sabang sebagai berikut;
1) Administrator Pelabuhan
2) PT Pelindo 1
3) BPKS
4) Bea dan Cukai
5) Imigrasi
6) Karantina Kesehatan
7) Karantina Tumbuhan
8) Distrik NAvigas
9) KP3
10) Kantor Pelayanan Umum, seperti Kantor Pos Telekomunikasi, Giro, Bank BPK dan BRI,
Pemadam kebakaran dan Rumah Sakit Umum.
B. Aktifitas Pelabuhan
Aktifitas pelabuhan Sabang hingga tahun 2012, masih didominasi oleh kegiatan impor
barang dari berbagai Negara diantaranya Malaysia, Thailand dan Singapore.
C. Rute Pelayaran Armada Kapal
Adapun beberapa rute armada kapal yang masuk ke pelabuhan Sabang sebagai berikut;
1) Singapore – Pelabuhan Sabang (Aceh)
2) Thailand – Pelabuhan Sabang (Aceh)
3) Malaysia – Pelabuhan Sabang (Aceh)
D. Komoditas Bongkar/Muat
Beberapa komoditas yang masuk dan keluar melalui pelabuhan Sabang sebagai berikut;
1) Ban, Dump Truck, Mini Bus, Jeep, Sedan, Kendaraan Roda Dua, Velg Racing, Spare
Part, Motor Shaft, Car Seat, Freezer.
2) Aspal, Gula Pasir, makanan vegetarian, Alat berat, mesin bekas, mesin minuman,
sepatu, mesin, tas, karpet, beras, tali, helm, kaca, pakaian, mainan, jam,
bunga, kacang hijau,
3) Ekspor/Keluar : kelapa
E. Foto Dokumentasi Survey
F. Permasalahan
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pelabuhan Sabang sebagai berikut;
1) Masih rendahnya voume barang ekspor dari Sabang.
2) Undang-undang pengoperasian pelabuhan bebas belum jelas, dan terkesan berbelit-
belit.
3) Petunjuk teknis ekspor dan impor yang belum ada.
4) Rencana pengembangan pemerintah Sabang untuk dapat memasukkan barang ke wilayah
pabean di Aceh Daratan.
G. Rekomendasi
Beberapa usulan dalam usaha untuk meningkatkan kinerja pelabuhan sebagai berikut;
1) Regulasi ekspor dan impor dalam bentuk pedoman atau keputusan kepala badan
pengusahaan
2) Bekerjasama dengan pemerintah pusat dalam usaha untuk menyusun regulasi pemasukan
barang dari wilayah non pabean (Sabang-FTZ) ke wilayah pabean Aceh (Daratan).
3) Perlunya penyusunan regulasi berupa SKB antar berbagai instansi teknis di wilayah
sabang dan pemerintah pusat dalam hal ini adalah Dewan Harian Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas dibawah Kementerian Koordinator Ekonomi dengan Anggota
Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri lainnya.
4) Pengembangan jasa usaha pelabuhan ekspor perikanan di pelabuhan Sabang, melalui
penyusunan regulasi bersama dengan pemerintah pusat.
5) Koordinasi yang terjadwal rutin dengan pemerintah pusat republik Indonesia.
A. Kondisi
Berdasarkan catatan sejarah, pelabuhan Malahayati dibangun sejak abad ke-16, masa
kelustanan Iskandar Muda. Pada zaman tersebut pelabuhan ini digunakan untuk pangkalan
angkatan laut kerajaan. Dahulunya pelabuhan ini banyak disinggahi oleh kapal dari China.
Dan masa pengelolaan ke PT PELINDO dimulai sejak tahun 1970.
Berdasarkan MOU (Memorandum of Understanding) antara pemerintah Aceh dengan PT PELINDO 1
pada pertengahan Maret 2013. Pelabuhan Malahayati menjadi pelabuhan Peti Kemas dan dalam
waktu dekat akan melayani angkutan peti kemas.
B. Aktifitas Pelabuhan
Aktifitas pelabuhan Malahayati meliputi kegiatan jasa bongkar dan muat. Berdasarkan
catatan dari kantor penyelenggara aktifitas di pelabuhan mencakup bongkar muatan seperti
beras, gula, aspal, semen. Sedangkan kegiatan ekspor belum ada sama sekali.
C. Rute Pelayaran Armada Kapal
Berdasarkan data dari kantor PELINDO Lhokseumawe, asal kapal dan tujuan kapal yang masuk
sebagai berikut;
1) Teluk Bayur (Padang, Sumatera Barat) – Krueng Raya (Malahayati) Aceh Besar
(Aceh)
2) Selat Panjang (Provinsi Riau) – Krueng Raya, Malahayati (Aceh Besar)
3) Surabaya (tanjung perak) – Krueng Raya, Malahayati (Aceh Besar)
4) Thailand – Singapura – Krueng Raya, Malahayati (Aceh Besar)
5) Panama – Singapura – Krueng Raya, Malahayati (Aceh Besar)
6) Mongolia – Singapura – Krueng Raya, Malahayati (Aceh Besar)
D. Komoditas Bongkar/Muat
Saat ini komoditas yang masuk melalui pelabuhan Malahayai sebagai berikut;
1) Semen
2) Gula
3) Beras
4) Aspal
E. Foto Dokumentasi Survey
Dermaga Pelabuhan
Fasilitas Keamanan Dermaga
F. Permasalahan
Beberapa permasalahan yang terjadi di pelabuhan Malahayati sebagai berikut;
1) Pasca rehabilitasi dan rekonstruksi yang lalu, banyak pengusaha yang bangkrut dan
tidak melakukan aktifitas di pelabuhan. Pengusaha yang ada sekarang (baru) adalah
pengusaha baru yang belum memahami seluk beluk berbisnis di usaha pelabuhan kargo.
2) Aktifitas bongkar dan muat barang di pelabuhan Malahayati tidak banyak, karena
komoditas pertanian dan perkebunan dari Aceh lebih memilih angkutan/moda
transportasi darat untuk dibawa ke Belawan Medan.
3) Adanya tambatan kapal palung/boat nelayan pada alur masuk pelayaran di pelabuhan.
G. Rekomendasi
Adapun beberapa usuran rekomendasi dalam upaya peningkatan kinerja pelabuhan Malahayati
sebagai berikut;
1) Mendukung dan menyiapkan pelabuhan sebagai fasilitas moda transportasi komoditas
perkebunan dan pertanian.
2) Mendukung melalui penyiapan pelabuhan Malahayati melalui pengembangan dan
pemantapan pelabuhan kelas dunia dalam upaya mendukung rencana kerja pemerintah
terutama mewujudkan program MP3EI.
3) Meminta dukungan kepada pemerintah Indonesia, dalam hal ini adalah kementerian
perdagangan agar mengikutsertakan pelabuhan Malahayati sebagai pelabuhan Ekspor
dan Impor khusus untuk kebutuhan intra Aceh dan regional Aceh
B. Aktifitas Pelabuhan
Aktifitas pelabuhan Krueng Geukeuh terdiri atas jasa bongkar muat, jasa tambat kapal,
penumpukan gudang dan lapangan, terminal pelabuhan dan jasa penundaan. Berdasarkan data
yang ada, sejak tahun 2009 hingga pada tahun 2012 tingkat kunjungan kapal mengalami
peningkatan yang cukup baik dimana pada tahun 2012 mengalami peningkatan 100% yakni
mencapai 446 kunjungan kapal. Dan jika didetailkan berdasarkan asal Negara kapal, didapat
bahwa kunjungan kapal dari luar negeri mengalami peningkatan yang sangat baik. Dimana
pada tahun 2012 kunjungan kapal mencapai 215 kali. Sama halnya dengan kunjungan kapal
dari dalam negeri pada tahun 2012 mencapai 231 kali kunjungan.
Jika dianalisis berdasarkan bongkar muat barang, maka impor barang (pemasukan) barang ke
pelabuhan cenderung turun dan menunjukkan aktifitas nol jika tidak ada kebijakan dari
pemerintah pusat dalam hal ini Republik Indonesia melalui kementerian perdagangan.
Sedangkan ekspor (barang keluar) tidak ada sama sekali sejak tahun 2010 hingga sekarang.
Gejala ini sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan aktifitas pelabuhan dan ekonomi
Aceh, khususnya Kabupaten Aceh Utara.
Untuk aktifitas bongkar dan muat antar pulau (dalam negeri) cenderung lebih baik, dan
aktifitas ini membaik, komoditas ini dapat dipastikan berupa semen dan bahan konstuksi
lainnya yang dibutuhkan oleh antar regional wilayah di Aceh. Sedangkan untuk aktifitas
muat komoditas/barang tidak ada sama sekali sejak tahun 2012. Hal ini dapat dipastikan
penggunaan pelabuhan sebagai fasilitas transportasi barang/komoditas masih minim.
Untuk produksi jasa tambat di pelabuhan laut Krueng Geukeuh dari dalam negeri, berdasarkan
data dari kantor pelabuhan mengalami kecenderungan yang baik dan meningkat. Pada tahun
2012 mencapai 1 juta Gt/Etmal (lih tabel 4.5).
Sedangkan untuk jasa penundaan pelabuhan kapal, untuk kapal dari dalam negeri mengalami
peningkatan yang baik. Pada tahun 2012 mengalami peningkatan hingga 522 jam. Sedangkan
kapal dari luar negeri cenderung mengalami penurunan bahkan dapat mencapai angka nol.
Secara umum, dengan memperhatikan data aktifitas pelabuhan Krueng Geukeuh dari tahun 2009
hingga pada tahun 2012 aktifitas pelabuhan dari luar negeri mengalami penurunan yang
sangat mengkhawatirkan dan perlu kebijakan khusus untuk meningkatkan kembali kinerja
pelabuhan. Sedangkan aktifitas kapal dari dalam negeri perlu terus dijaga berkesinambungan
dengan baik.
500
450 446
400
350
300
250
200 197
150 143
100 98
50
0
Th 2009 Th 2010 Th 2011 Th 2012
450000
400000 397412 391582
350000 354600
326490
300000
250000
200000
150000
100000
50000
0
Th 2009 Th 2010 Th 2011 Th 2012
Gambar 4. 21. Grafik Jumlah (Ton) Bongkar Muat Kapal Pelabuhan Krueng Geukeuh
Sumber : Tim Penyusun, 2013
250
231
215
200
150
122 LN
100 105 DN
75
50 57
41 38
0
Th 2009 Th 2010 Th 2011 Th 2012
250000
234163
217194
200000
150000
131828 Ekspor
100000 Impor
50000
29552
0 0 0 178 0
Th 2009 Th 2010 Th 2011 Th 2012
Gambar 4. 23 Grafik Ekspor dan Impor (Dalam dan Luar Negeri) Pelabuhan
Sumber : Tim Penyusun, 2013
400000
350000 362029
300000
265406
250000
50000
0 3832 1672 0 0
Th 2009 Th 2010 Th 2011 Th 2012
2,000,000
1,842,961 1,889,211
1,800,000
1,600,000
1,555,101
1,400,000
1,200,000
400,000
289,151
200,000
-
Th 2009 Th 2010 Th 2011 Th 2012
50,000
45,000 44,177
40,000
35,000
30,000
25,000 25,600 Gudang
21,728 Lapangan
20,000
15,000
10,000
5,000 5,700
3,305
- 88 - 600
Th 2009 Th 2010 Th 2011 Th 2012
400,000
375,097
350,000
333,787
300,000 296,675
278,669
250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
-
Th 2009 Th 2010 Th 2011 Th 2012
600
522
500
400 396
100 103
31
0
Th 2009 Th 2010 Th 2011 Th 2012
F. Permasalahan
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pelabuhan Krueng Geukeeuh Lhokseumawe sebagai
berikut;
1) optimalisasi pelabuhan Krueng Geukueh masih terbentur larangan impor dari Menteri
Perdagangan. Pemerintah, melarang impor sejumlah produk industri seperti pakaian
dan makanan ringan, alas kaki, juga barang-barang elektronik. “Permendag
(Peraturan Menteri Perdagangan) Nomor 57 Tahun 2010 berkontribusi mematikan ekspor
impor Aceh.
2) Belum/tidak adanya aktifitas muat barang/komoditas selain daripada muatan pupuk
dari PT Asean dan PT PIM.
3) Implikasi tidak adanya muatan barang ke kapal yang masuk, mengakibatkan Biaya
bongkar dan muat menjadi mahal.
G. Rekomendasi
Beberapa rekomendasi dalam upaya peningkatan pelayanan pelabuhan laut Krueng
Geukeuh/Lhokseumawe sebagai berikut;
1) Mendukung program dari Badan Usaha Milik Negara(BUMN) terhadap mengaktifkan
kembali Kilang Gas Arun sebagai receiving Gas untuk wilayah Aceh dan Sumatera
Utara.
2) Mendukung dan menyiapkan pelabuhan sebagai fasilitas moda transportasi komoditas
perkebunan dan pertanian.
3) Mendukung kegiatan supply base bagi perusahaan pertambangan minyak dan gas yang
beroperasi di Aceh seperti Zaratex, Medco, Traingle dan Conoco.
4) Mendukung melalui penyiapan pelabuhan Krueng Geukeuh melalui pengembangan dan
pemantapan pelabuhan kelas dunia dalam upaya mendukung rencana kerja pemerintah
terutama mewujudkan program MP3EI.
5) Meminta dukungan kepada pemerintah Indonesia, dalam hal ini adalah kementerian
perdagangan agar mengikutsertakan pelabuhan Lhokseumawe sebagai pelabuhan Ekspor
dan Impor khusus untuk kebutuhan intra Aceh dan regional Aceh.
A. Kondisi
Menurut catatan sejarah, pelabuhan Kuala Langsa dibangun pada tahun 1900 bersamaam dengan
dibangunnya jalan kereta api dari kuala Langsa. Pelabuhan ini selesai dibangun pada tahun
1905 sedangkan kereta api selesai dibangun pada tahun 1913. Sejak tahun 1905 sampai dengan
1914 Pelabuhan Kuala Langsa mulai berfungsi dengan ramaina kegiatan bongkar muat barang
serta keluar masuknya kapal dan perahu perahu nelayan maupun pedagang.
Tahun 1942 sampai dengan 1949 kegiatan bongkar muat dan kunjungan kapal sangat berkurang
akibat terjadinya perang dengan Belanda dan Jepang. Tahun 1950 kegiatan mulai berkembang
dimana kapal berukuran 1000 DWT dapat memasuki pelabuhan untu mengangkut karet, kopi,
biji dan hasil bumi lainnya dengan tujuan Singapore, Malaysia dan mengimpor barang
kebutuhan makanan, kain, barang kelontong, sparepart dan lainnya yang dikenal pada saat
itu adalah zaman barter. Kegiatan ini berlangsung dari tahun 1955 sampai dengan 1960.
Pada tahun 1969 Pelabuhan Kuala Langsa ditetapkan sebagai Pelabuhan Umum yang terbuka
untuk pelayaran luar negeri berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Perdagangan, menteri
keuangan dan Menteri Perhubungan dengan surat nomor 363 A/KPB/XI/69, No Kep.
818/MK/4/II/69 dan SK 43/0/69 tanggal 20 November 1969. Pada tahun 1981 dan tahun 1984
alur pelayaran pada ambang luar menuju Pelabuhan di keruk sepanjang 3000 m dengan lebar
80 m kedalaman s/d 7 LWS (Low Water Spring/Muka Air Laut Surut Terendah) yang tadinya
hanya mempunyai kedalaman 1,5 s/d 2 m LWS. Sehingga saat itu kapal berukuran sampai dengan
6000 DWT dapat memasuki pelabuhan Kuala Langsa.
Pada bulan November 1993 pernah dilakukan survey check sounding alur pelayaran pelabuhan
Kuala Langsa oleh tim survey PT Pelabuhan Indonesia 1 (Persero) dan didapati bawa alur
pelayaran mempunyai kedalaman rata-rata 6,5 m sampai dengan 7,5 m LWS. Tahun 1994 dibangun
dermaga beton sepanjang 75 m lebar 10 m luas 750 m2, dengan daya dukung 2 ton/m2 sebagai
pengganti dermaga konstruksi besi/kayu sepanjang 100 m dan lebar 8 m yang sudah tidak
dapat difungsikan lagi. Kemudian pada tahun 1996 juga dibangun gudang 1 dengan konstruksi
beton panjang 40 m lebar 12,5 m luas 500 2 dengan daya dukung 2 ton/m2, dengan kapasitas
1000 ton.
Pada tahun 1999 alur pelayaran diantara pulau Pusong dan Telaga Tujuh kembali dikeruk
sehingga mempunyai kedalaman s.d 7 LWS, hal ini menyikapi keinginan para pengusaha
pengguna jasa kepelabuhanan baik yang sudah memanfaatkan maupun yang akan memanfaatkan.
Beberapa pelabuhan khusus yang memiliki peranan penting dalam perekonomian di Aceh Timur
dimasa sebelum konflik Aceh (1994) sebagai berikut;
1) PT Aceh Prima Plywood, kegiatan industry kayu lapis
2) PT. Hugurya Sawmill, kegiatan industry kayu lapis
3) PT. Tjipta Rimba Djaya Sawmill, industry kayu lapis
4) PT. Raja Garuda Mas Sawmill, kegiatan industry kayu
5) PT. Wiralanao Sawmill, kegiatan industry kayu
Pada tahun 2000 kembali Pelabuhan Kuala Langsa mengalami dampak dari adanya konflik di
daerah Istimewa Aceh khususnya ditingkat II Aceh Timur sehingga aktivitas perekonomian
menjadi terganggu dimana berbagai pelaku usaha di Aceh Timur tutup dan pelayanan jasa
kepelabuhanan tutup.
Beberapa potensi wilayah pelayanan pelabuhan Kuala LAngsa yang meliputi Kabupaten Aceh
Timur, Gayo Lues, Bener Meriah adalah adanya komoditas perkayuan/plywood, kayu log, arang
bakau, minyak sawit, karet dan ikan.
Tim Percepatan Fungsionalisasi Pelabuhan Kuala Langsa;
Sejak tahun 2012, Pemerintah Kota Langsa melalui keputusan Walikota membentuk Tim
Percepatan Fungsionalisasi Pelabuhan Kuala Langsa. Dasar pembentukan tim ini merupakan
bagian dari catatan sejarah panjang pelabuhan Kuala Langsa dalam mendukung perekonomian
Aceh khususnya Kabupaten Aceh Timur. Upaya ini merupakan untuk mendapatkan peningkatan
pendapatan daerah, pengentasan kemiskinan dan membuka lapangan usaha pekerjaan disektor
pelabuhan yang lebih luas. Hal ini dipandang sangat baik dengan sudut pandang bahwa
Pelabuhan Kuala Langsa menjadi mitra pemerintah Indonesia dalam hal ini adalah PT
Pelabuhan Indonesia 1 (Region Sumatera) yang mendukung pengembangan pelabuhan
Belawan/Kuala Tanjung (Sumatera Utara).
Beberapa usulan pengembangan dari Tim Percepatan Fungsionalisasi Pelabuhan Langsa sebagai
berikut;
1) Pengembangan jangka pendek dan menengah (2003 – 2012), terdiri;
a. Pembersihan Areal + 13 Ha
b. Pengerukan Alur Pelayaran Spj. 5 Mil dan Reklamasi
c. Penimbunan dan Pemadatan Areal + 13 Ha
d. Pembangunan Dermaga Kapal Penumpang 15 x 100 M1
e. Pembangunan Lapangan Parkir 800 M2
f. Taman Penghijauan
g. Pembangunan Tangki Timbun CPO
h. Pembangunan Talud Penahan 1.500 M1
i. Sarana Air Bersih
j. Bungker BBM
k. Pembangunan Mesjid
l. Drainase Areal Pelabuhan Penumpang
m. Pintu Gerbang Pelabuhan
2) Pengembangan jangka panjang (2013 – 2027), terdiri;
a. Pembangunan Dermaga Kapal Barang 75 x 15 M1 dan Trestle 40 x 10 M1
b. Pembangunan Gudang 40 x 15 M1
c. Perkerasan Lapangan Penumpukan
d. Pembangunan Jalan Akses Terminal Barang
e. Relokasi Kantor Syahbandar 20 x 15 M1
f. Jaringan Drainase Pelabuhan Barang
g. Pembangunan Kantor KPPP / Bea Cukai
h. Perlengkapan Kantor / Mobiler
i. Taman / Penghijauan
j. CRANE dan Mobil Bongkar Muat (FORK LIFT)
k. Sarana Pendukung Lainnya
l. Pembangunan Infrastruktur Kawasan Industri Kuala Langsa
m. Peningkatan Jalan Menuju Kuala Langsa
Total biaya yang dibutuhkan terhadap keseluruhan rencana pengembangan mencapai lebih dari
Rp. 450 miliar.
B. Aktifitas Pelabuhan
Aktifitas pelabuhan laut Kuala Langsa terdiri atas bongkar muat barang. Berdasarkan data
dari kantor penyelenggara pelabuhan laut Kuala Langsa sejak tahun 2000 hingga 2009
pelabuhan beraktifitas dengan baik.
Tabel 4. 32 Kunjungan Kapal di Pelabuhan Laut Kuala Langsa Tahun 2000 s/d 2009
No Uraian Sat 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1 Pelayaran
Luar Negeri.
1) Kapal
Asing
a. Liner Call - - - - - - - - - -
Grt - - - - - - - - - -
b. Tramper Call 12 - - - - - - - - -
Reguler Grt 1937 - - - - - - - - -
c. Tramper Call - 6 5 7 3 - - 1 - -
Non Grt - 5340 6313 6330 2508 - - 782 - -
Reguler
2) Kapal Call 41 30 48 11 37 37 49 130 241 125
Nasional Grt 9102 3493 5735 2937 21969 23516 17035 25535 55359 26901
Jumlah Call 53 36 53 18 40 37 49 131 241 125
Grt 11039 8833 12048 9267 24477 23516 17035 26317 55359 26901
2 Pelayaran
Dalam Negeri
1) Kapal
Nasional
1) Antar Call 61 7 9 17 28 22 16 10 5 2
Pelabuhan Grt 39989 3598 3360 9857 26313 22381 14358 6743 3450 2444
2) Kapal Call 13 - - - - - - - - -
Asing Grt 6056 - - - - - - - - -
Jumlah Call 74 7 9 17 28 22 16 10 5 2
Grt 46045 3598 3360 9857 26313 22381 14358 6743 3450 2444
Jumlah 1 dan Call 127 43 62 35 68 59 65 141 246 127
2 Grt 57084 12431 15408 19124 50790 45897 31393 33060 58809 29345
Sumber : Kantor Penyelenggara Pelabuhan Pelindo Kuala Langsa, 2013
C. Jenis Kapal
Adapun jenis kapal yang masuk ke pelabuhan Kuala Langsa sebagai berikut;
1) Tanker
2) Motor
3) Barge (Tongkang)
4) TB (tug Boat)
E. Komoditas Bongkar/Muat
Berdasarkan data dari kantor penyelenggara pelabuhan laut Kuala Langsa, beberapa komoditas
yang masuk dan keluar pelabuhan sebagai berikut;
1) Phenol, bahan kimia industry
2) Tiang pancang dermaga
3) Methanol, bahan kimia industry
4) Lem (glue)
F. Foto Dokumentasi Survey
G. Permasalahan
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh pelabuhan umum (kargo) Kuala Langsa dan Pelabuhan
penumpang Kuala Langsa sebagai berikut;
A. Kondisi
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan wawancara yang dilakukan dengan petugas kantor
pelabuhan, didapatkan bahwa pelabuhan yang ada tidak berfungsi sebagai pelabuhan umum.
Namun lebih kepada PPI (pelabuhan pendaratan ikan). PPI Idi merupakan milik wilayah
pemerintah Aceh dibawah kendali UPTD Kelautan dan Perikanan Aceh. Kawasan pelabuhan ini
dapat berkembang sebagai pelabuhan umum, namun diperlukan berbagai instrument kebijakan
dan dukungan kegiatan perekonomian yang kuat dari wilayah pelayanan pelabuhan.
Sesuai dengan arahan RTRW Aceh pasal 19 mengenai jenis pelabuhan, hirarki dan fungsi
serta berdasarkan zonasi rencana pengembangan kawasan strategis Aceh. Diharapkan
pelabuhan Idi dapat menjadi pelabuhan pengumpan regional dengan jenis layanan utama
general cargo dan curah cair dalam lingkup nasional. Dan didalam pasal 27 mengenai system
sarana dan prasarana pelabuhan pendaratan ikan telah ditetapkan di Aceh Timur (Idi). Maka
pengembangan kawasan pelabuhan ini harus terintegrasi pelabuhan laut dengan fungsi layanan
kargo dan pelabuhan perikanan dengan layanan utama kegiatan industri perikanan.
Berdasarkan hasil pengamatan dan data dari dinas, beberapa sarana dan prasarana pelabuhan
laut dan PPI Idi kabupaten Aceh Timur sebagai berikut;
6) Dermaga umum 25 m x 10 m
7) Dermaga PPI
8) Kantor Pelabuhan IDI, DITJENHUBLA, KEMENHUB
9) Kantor Pengelola Pelabuhan Dinas Perhubungan Pemkab Aceh Timur
10) Bangunan Pelelangan Ikan
11) Luas kawasan pelabuhan saat ini 62 hektar, dengan rencana pengembangan sampai dengan
144 hektar
12) Kedalaman alur laut pasang mencapai 3 m, surut mencapai 1,5 m.
Rencana pengembangan Pelabuhan Idi & PPI Idi adalah sebagai berikut ;
1) Pengembangan kawasan industry pengalengan ikan
2) Pengembangan kawasan industry tepung ikan
3) Pengembangan kawasan industry ikan ekspor
4) Pengembangan dermaga industry
5) Pengembangan kawasan pembuatan dan perawatan ikan
6) Pengembangan kawasan docking
7) Pengembangan area pergudangan
8) Pengembangan area penginapan nelayan
9) Pengembangan pertokoan
10) Pengembangan SPBU
11) Pengembangan reservoir, Genset, Water Tower
12) Pengembangan dermaga
13) Pengembangan cold storage
14) Pengembangan area pelelangan ikan
15) Pengembangan area packing
16) Pengembangan area pemasaran ikan
17) Pembangunan kantor perikanan
B. Aktifitas Pelabuhan
Aktifitas pelabuhan saat ini adalah sebagai Pelabuhan pendaratan ikan.
D. Komoditas Bongkar/Muat
Belum ada aktifitas bongkar/muat barang komoditas selain ikan
F. Permasalahan
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, dengan memperhatikan amanah dari rancangan
qanun RTRW Aceh beberapa permasalahan Pelabuhan Idi sebagai berikut;
1) Belum tercapainya fungsi pelabuhan Idi sebagai pelabuhan dengan fungsi utama kargo,
sehingga perlu dilakukan peningkatan produktifitas komoditas ekonomi regional wilayah
pelayanan pelabuhan Idi seperti Kabupaten Bener Meriah, Kab Aceh Tengah, Kabupaten
Aceh Tamiang, Kota Langsa, Sebagian Kab Gayo Lues. Kabupaten yang berada di sekitar
pelayanan pelabuhan memiliki potensi pengembangan komoditas seperti kelapa sawit,
karet, kelapa, kakao dan holtikultura.
G. Rekomendasi
Dalam rangka upaya meningkatkan layanan pelabuhan Idi, beberapa rekomendasi yang dapat
diberikan sebagai berikut;
1) Pengembangan dan peningkatan kawasan pelabuhan terintegrasi antara pelabuhan kargo
dan pelabuhan perikanan sesuai dengan masterplan dan detail desain yang telah
dirancang oleh Wilayah pemerintah Aceh.
2) Pengembangan kawasan pelabuhan sebagai pelabuhan dengan fokus utama perikanan,
perkebunan, dan barang kebutuhan pangan.
A. Kondisi
Secara umum kondisi pelabuhan Meulaboh dalam kondisi baik dan beroperasional dengan baik.
Sarana dan prasarana pelabuhan sudah sangat baik dan mendukung kegiatan bongkar/muat
armada kapal yang masuk ke pelabuhan. Pelabuhan Meulaboh merupakan pelabuhan yang sangat
penting dalam system transportasi laut pada zona barat, selatan tenggara bahkan pusat
Aceh. Peranan ini terlihat dari beroperasinya PT Perusahaan Pelayaran Indonesia (PELINDO)
melalui kantor perwakilan di Meulaboh dengan kantor cabang di Malahayati.
Bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten Aceh Barat (Meulaboh) komposisi penerimaan jasa
kepelabuhanan dibagi menjadi 80:20. Dimana 80% penerimaan bea jasa kepelabuhanan masuk
ke PT. PELINDO 1 dan sisanya sebesar 20% masuk penerimaan asli daerah (PAD) Pemerintah
Kabupaten Aceh Barat (Meulaboh).
Beberapa instansi yang aktif didalam kawasan pelabuhan adalah Syahbandar, Kepolisian,
TNI Angkatan Laut, Dinas Perhubungan dan KPLP.
B. Aktifitas Pelabuhan
Aktifitas pelabuhan laut Meulaboh saat ini berlangsung dengan baik, kegiatan bongkar dan
muat relative lebih baik dibandingkan dengan beberapa pelabuhan lainnya di zona selatan
tenggara.
Berdasarkan data yang ada, kedatangan kapal juga berasal dari pelabuhan khusus dan
pelabuhan umum. Pada tahun 2011 jumlah kapal yang datang dari pelabuhan khusus berjumlah
68 kali. Dan jumlah kedatangan dari dalam negeri pada tahun 2011 berjumlah 36 dan luar
negeri 10 kali.
D. Komoditas Bongkar/Muat
Berdasarkan data dari kantor penyelenggaran pelabuhan laut Meulaboh, beberapa komoditas
yang masuk dan keluar melalui pelabuhan laut Meulaboh sebagai berikut;
1) Batu Bara
2) Crude Palm Oil (CPO)
3) Semen
4) Aspal
5) Bahan bangunan lainnya
6) Beras
7) Rencana pengembangan pemasukan barang minuman/makanan
F. Permasalahan
Berdasarkan hasil temuan lapangan dari wawancara yang dilakukan dengan petugas kantor
penyelenggara pelabuhan sebagai berikut;
1) Koordinasi antara pemerintah kabupaten Aceh Barat, melalui dinas perhubungan
dengan pihak syahbandar PT PELINDO terkait adanya armada kapal perintis dari
Kementerian Perhubungan.
2) Kurangnya fasilitas pendukung lainnya seperti pagar pengaman, kapasitas dermaga
yang masih kecil yang berdampak kepada jumlah antrian layanan armada kapal
menjadi lama.
3) Tidak adanya kolam pelabuhan dan break water pada kawasan labuh kapal. Hal ini
berdampak kepada armada kapal yang tidak bisa berlabuh pada saat musim angin.
4) Kondisi dermaga yang perlu ditingkatkan.
5) Dermaga milik Pelindo kondisi sudah tidak layak. Dermaga milik BRR masih layak
6) WC/toilet umum milik BRR kondisi masih layak tetapi memerlukan perawatan. Perlu
penambahan jumlah
7) Mushalla (tempat ibadah), kantin untuk orang kerja belum ada
8) Pagar perlu penambahan di lahan fasilitas darat.
9) perumahan karyawan belum ada
10) Air Bersih perlu penambahan jaringan
11) Drainase jalan belum ada terlihat ada genangan pada beberapa tempat
12) Jalan lingkungan dalam pelabuhan belum ada sehingga tidak ada batas pergerakan
orang dan barang.
G. Rekomendasi
Beberapa rekomendasi terhadap upaya peningkatan pelayanan kepelabuhanan sebagai
berikut;
1) Peningkatan kapasitas dermaga baik itu dermaga
2) Pembangunan kolam pelabuhan dan break water
3) Kerjasama dalam pengelolaan pelayanan armada barang dan orang yakni kapal perintis
yang merupakan bantuan dari KEMENHUB.
A. Kondisi
Pelabuhan Calang merupakan pelabuhan yang telah hancur terkena dampak bencana tsunami
pada tahun 2004. Pelabuhan ini mendapat penanganan berupa rekonstruksi/pembangunan
kembali pada tahun 2008. Sedangkan detail desainnya dibantu oleh UNDP dan dirancang pada
tahun 2006.
Pelabuhan ini terletak di Desa Teluk Lho’ Kubu Bahagia, Kecamatan Krueng Subee, Kabupaten
Aceh jaya, Wilayah pemerintah Aceh.
Pada saat pelaksanaan pembangunan (tahun 2008), konstruksi pelabuhan Calang mengalami
kendala dimana saat itu pembangunan dilaksanakan oleh BRR NAD Nias, kemudian dilaksanakan
kembali melalui review desain dan supervise pembangunan pelabuhan Calang oleh BRR NAD
Nias pada tahun 2009. Dan saat pada tahun 2010 hingga saat ini, pembangunan masih
dilanjutkan.
Pekerjaan yang terealisasi pada tahun 2008 sebagai berikut;
1) Sistem rangka bangunan kantor pelabuhan
2) System rangka bangunan rumah pompa dan genset
3) Water reservoir
4) Lapangan penumpukan
5) Pondasi dan lantai gudang
6) Dinding penahan/revetment
7) Pagar keliling pelabuhan.
Pada tahun 2009, beberapa realisasi pembangunan fasilitas pelabuhan Calang sebagai
berikut;
1) Fasilitas sisi laut pelabuhan, pengadaan tiang pancang untuk trestle Ro-Ro (277,66
ton)
2) Fasilitas sisi darat pelabuhan;
1) Perkerasan jalan area pelabuhan (beton)
2) Drainase, sepanjang 155,8 m
3) Gudang, 20 m x 40 m
4) Kantor Pelabuhan, 198 m2
5) Terminal penumpang, 168 m2
6) Rumah genset dan rumah tangki minyak, 28 m2
7) Elevated water tank, 10 m2
8) Rumah jaga, 45 m2
9) Pembangunan dan pemasangan system suplai daya
10) Distribusi daya
11) Penerangan luar ruangan
12) System penerangan dan soket daya
13) Jaringan penangkal petir
14) Air conditioning
15) System suplai
16) Plumbing system
17) Sewerage system
B. Aktifitas Pelabuhan
Aktifitas pelabuhan Calang hingga saat ini belum ada, baik itu bongkar maupun kegiatan
memuat barang. Demikian juga halnya dengan aktifitas penumpang. Namun pelabuhan Calang
sudah dapat digunakan sebagai pelabuhan singgah oleh kapal-kapal yang mengalami hambatan
dalam pelayaran karena cuaca ekstrim.
C. Rute Pelayaran Armada Kapal
Diharapkan rute pelayaran yang akan berlangsung pada pelabuhan ini sebagai berikut;
1) Calang – Sinabang (Simeuleu)
F. Permasalahan
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pelabuhan Calang sebagai berikut;
4) Belum adanya break water disisi kiri dan kanan dermaga, sehingga menyulitkan aktifitas
bongkar muat kapal.
5) Belum adanya aktifitas bongkar/muat di pelabuhan Calang, yang artinya kegiatan ekonomi
yang memanfaatkan pelabuhan dan armada pelayaran belum ada.
G. Rekomendasi
Rekomendasi terhadap penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh penyelenggara pelabuhan
Calang sebagai berikut;
1) Pembangunan break water pada sisi kiri dan kanan dermaga pelabuhan agar tidak
mengganggu proses bongkar/muat di dermaga.
2) Melakukan kerjasama dengan pihak swasta dalam hal ini adalah perusahaan pelayaran
untuk melayani pelayaran dengan rute antar wilayah di dalam provinsi dan luar
provinsi/regional.
A. Kondisi
Pelabuhan Laut Singkil merupakan salah satu pelabuhan laut di Aceh yang terkena dampak
bencana tsunami. Seluruh sarana dan prasarana pelabuhan laut rusak bahkan area pelabuhan
sudah tergerus (bergeser) ke laut. Sehingga harus direkonstruksi dan dibangun kembali di
area yang baru pada lokasi yang sama. Pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi BRR (Badan
Rekonstruksi dan Rehabilitasi NAD Nias) melakukan pembangunan pelabuhan penyeberangan
yang telah rusak. Pelabuhan penyeberangan ini digunakan untuk penduduk yang melakukan
kegiatan ke Pulau Simeuleu dan Pulau Banyak. Prioritas pembangunan dermaga penyeberangan
diambil oleh BRR NAD Nias karena memiliki peranan penting dalam distribusi barang terutama
sembako ke Pulau Simeuleu dan Pulau Banyak.
Sedangkan dermaga kargo/umum masih dalam tahap pembangunan hingga saat ini oleh Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut Republik Indonesia. Direncanakan dermaga kargo ini sepanjang
100 meter dengan lebar 6 meter.
B. Aktifitas Pelabuhan
Aktifitas pelabuhan Singkil belum ada karena masih dalam tahap pembangunan. Aktifitas
yang ada adalah di dermaga penyeberangan untuk melayani rute Singkil – Pulau Banyak -
Pulau Simeuleu.
Sebelum terkena bencana tsunami dan gempa bumi, aktifitas pelabuhan Singkil adalah
bongkar/muat komoditas semen dari Padang (Provinsi Sumatera Barat) dan CPO (Crude Palm
Oil) ke Medan (Provinsi Sumatera Utara) dan Jakarta (Provinsi DKI Jakarta).
C. Rute Pelayaran Armada Kapal
Berdasarkan data dari kantor penyelenggara pelabuhan Singkil, rute pelayaran armada
kapal di pelabuhan laut Singkil sebagai berikut;
1) Singkil – Padang (Provinsi Sumatera Barat)
2) Singkil – Medan (Provinsi Sumatera Utara)
3) Singkil – Jakarta (Provinsi DKI Jakarta)
4) Singkil – Pulau Banyak (Kabupaten Aceh Singkil/Aceh)
5) Singkil – Pulau Simeuleu (Kabupaten Simeuleu/Aceh)
D. Komoditas Bongkar/Muat
Adapun komoditas bongkar/muat sebelum tsunami adalah Semen, CPO. Sedangkan komoditas yang
diangkut melalui dermaga penyeberangan Singkil adalah sembako, bahan bangunan, hasil
pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan.
E. Foto Dokumentasi
F. Permasalahan
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas kantor unit penyelenggara pelabuhan Singkil
beberapa permasalahan dalam masa pembangunan pelabuhan sebagai berikut;
1) Permasalahan tanah yang digunakan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini adalah
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan dalam pembangunan
pelabuhan laut Singkil. Proses penggunaan tanah ini belum selesai dibicarakan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Aceh Singkil. Bahwa tanah milik
DITJENHUBLA telah menjadi pantai (tergerus) akibat dari bencana tsunami. Sehingga
didalam rekonstruksinya DITJENHUBLA menggunakan tanah milik pemerintah daerah Aceh
Singkil.
2) Tidak adanya koordinasi yang baik antara DITJENHUBLA dengan pemerintah daerah Aceh
Singkil terutama dalam hal pelaksanaan pembangunan pelabuhan laut Singkil.
3) Adanya keinginan dari pemerintah Kabupaten Aceh Singkil agar pembuatan Masterplan
Pelabuhan Aceh Singkil (Pulo Sarok) dilakukan bersama-sama oleh DITJENHUBLA dan
Pemerintah Daerah Aceh Singkil, karena dermaga penyeberangan yang dikelola oleh
Dinas Perhubungan Aceh Singkil juga berada di dalam kawasan pelabuhan laut Aceh
Singkil. Hal ini menjadi penting untuk mengefisienkan pengelolaan kawasan
pelabuhan.
4) Adanya harapan dari pemerintah daerah Aceh Singkil, pelabuhan Aceh Singkil (Pulo
Sarok) segera selesai sehingga dapat beroperasi sebagai pelabuhan barang.
5) Adanya harapan dari pemerintah daerah Aceh Singkil, semakin berperannya pelabuhan
Malahayati sebagai pelabuhan utama Aceh, sehingga pelabuhan Aceh Singkil dapat
berperan sebagai pelabuhan pengumpan dan pengumpan regional.
G. Rekomendasi
Adapun beberapa rekomendasi terhadap permasalahan diatas sebagai berikut;
1) Koordinasi antara pemerintah daerah Aceh Singkil dengan Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan semakin ditingkatkan dan
diharmonisasikan, terutama penyelesaian masalah tanah pengembangan pelabuhan
kargo/penyeberangan Aceh Singkil (Pulo Sarok).
2) Dukungan pemerintah daerah dalam peningkatan produktifitas komoditas pertanian,
peternakan, perkebunan dan lainnya.
A. Kondisi
Pelabuhan Sinabang, yang terletak di Kabupaten Simeuleu merupakan pelabuhan yang juga
terkena dampak gempa dan tsunami pada tahun 2004. Kerusakan pelabuhan sangat
memprihatinkan dan sampai saat ini masih digunakan oleh para pelaku usaha dan pemerintah.
Pemerintah Pusat Republik Indonesia melalui BRR NAD Nias telah membangun kawasan pelabuhan
baru dengan fungsi utama kargo yagn terletak di kawasan Teluk Sinabang. Namun pelabuhan
baru belum dapat beraktifitas karena belum dipindahkannya aktifitas pelabuhan lama ke
pelabuhan baru. Belum berpindahnya aktifitas ini karena tidak adanya kesepakatan antara
pemerintah daerah kabupaten Simeuleu dengan pemerintah pusat yakni Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut. Mekanisme pengelolaan dan pembagian jasa pelayanan pelabuhan belum
dapat disepakati bersama.
Selain itu permasalahan lain yang dihadapi oleh pelabuhan laut Sinabang adalah
perkembangan kota di sekitar area pelabuhan yang semakin meningkat. Pergerakan truk
pengangkutan barang yang melintasi sudah tidak sesuai dengan perkembangan kota.
B. Aktifitas Pelabuhan
Aktifitas pelabuhan Sinabang berjalan dengan baik, aktifitas bongkar muat dilakukan
dengan baik dan hamper setiap bulan selalu ada barang yang masuk dan keluar melalui
pelabuhan Sinabang.
Beberapa perusahaan yang melakukan pelayaran melalui pelabuhan Sinabang sebagai
berikut;
F. Permasalahan
Berdasarkan hasil pembicaraan dengan kantor penyelenggara pelabuhan laut Sinabang, dan
dinas perhubungan komintel Kabupaten Simeuleu, beberapa permasalahan yang ada sebagai
berikut;
1. Belum dapat beroperasinya pelabuhan umum kargo yang baru, karena belum disepakatinya
mekanisme operasi kerjasama dan bagi hasil jasa pelayanan pelabuhan antara DITJENHUBLA
Kementerian Perhubungan Republik Indonesia dengan Pemerintah Kabupaten Simeuleu/Aceh.
2. Berkembangnya pusat kawasan perkotaan di sekitar pelabuhan lama, yang mengakibatkan
turunnya kualitas lingkungan kawasan perkotaan di area pelabuhan, sehingga harus
segera berpindahnya aktifitas pelabuhan lama ke pelabuhan baru di kawasan teluk
Sinabang.
3. Rendahnya kualitas sumber daya manusia pada dinas perhubungan laut kabupaten Simeuleu
dalam pengelolaan pelabuhan kargo Sinabang, yang berkonsekuensi kepada ketidak siapan
pemerintah daerah sehingga pemerintah pusat turun tangan dalam mengelola kawasan
pelabuhan
4. Jumlah armada kapal yang masih sedikit melayani di pelabuhan Sinabang.
5. Perlunya pengembangan industry perikanan di Simeuleu.
G. Rekomendasi
Beberapa rekomendasi /usulan dalam meningkatkan kinerja pelayanan pelabuhan Sinabang
sebagai berikut;
1. Segera disepakatinya mekanisme pengelolaan antara pemerintah kabupaten
Simeuleu/Dinas Perhubungan dengan Pemerintah Pusat/Ditjenhubla Kementerian
Perhubungan dalam pengelolaan jasa pelayanan pelabuhan Sinabang, pada pelabuhan baru
dan dapat beroperasi
2. Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia dinas perhubungan kabupaten
Simeuleu dalam pengelolaan/manajemen pelabuhan umum kargo.
3. Peningkatan jumlah armada kapal kargo.
A. Kondisi
Secara umum kondisi pelabuhan Tapaktuan sangat baik, dilengkapi dengan berbagai fasilitas
pelabuhan seperti dermaga, gudang, lapangan penumpukan, trestle, cause way, pusat
pelayanan informasi, kantor, pos penjagaan dan workshop.
Berikut ini adalah tabel profil pelabuhan Tapaktuan.
B. Aktifitas Pelabuhan
Berdasarkan data dari Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Tapaktuan, Kementerian
Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Republik Indonesia, aktifitas pelabuhan
sejak tahun 2007 hingga pada tahun 2011 didominasi oleh aktifitas bongkar daripada
aktifitas memuat. Lihat tabel dibawah ini.
Frekuensi kapal yang masuk ke pelabuhan Tapaktuan dari tahun 2007 hingga tahun 2011 secara
umum mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari tahun 2008 hingga tahun 2010
Sedangkan dari sisi volume bongkar/muat yang ada, kecenderungan yang ada adalah didominasi
oleh kegiatan bongkar. Lihat tabel dibawah ini.
D. Komoditas Bongkar-Muat
Berdasarkan data yang ada dari kantor penyelenggara pelabuhan laut Tapaktuan, komoditas
yang diangkut pada tahun 2007 – 2011 adalah semen.
F. Permasalahan
Berdasarkan hasil survey lapangan berupa pengamatan dan wawancara dengan petugas pelabuhan
Tapaktuan sebagai berikut ;
1. Tidak adanya barang atau komoditas yang diangkut melalui pelabuhan ini keluar dari
pelabuhan. Yang artinya para pelaku usaha yang berada pada kabupaten Gayo Luwes, Aceh
Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Subulussalam masih menggunakan
sarana armada darat untuk mengirimkan komoditasnya ke luar Aceh, dalam Aceh dan terutama
ke Medan Provinsi Sumatera Utara.
2. Adanya keinginan dari pemerintah daerah Kabupaten Aceh Selatan, dalam hal ini adalah
Wilayah pemerintah Aceh terhadap bagi hasil penerimaan bea jasa pelabuhan Tapaktuan.
Keinginan ini menjadi landasan penting dalam peran serta daerah dalam mendukung peranan
pelabuhan Tapaktuan di Aceh. Sehingga diperlukan landasan hokum yang tepat agar keinginan
ini dapat diwujudkan bersama antara Wilayah pemerintah Aceh dan Pemerintah Republik
Indonesia melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan Republik
Indonesia.
G. Rekomendasi
Menghadapi berbagai permasalahan yang ada di pelabuhan Tapaktuan diatas, maka beberapa
usulan rekomendasi penyelesaian permasalahan sebagai berikut;
1. Sosialisasi penggunaan armada laut dalam distribusi komoditas ke daerah pusat
pengolahan komoditas seperti ke Kota Banda Aceh maupun ke Lhokseumawe.
2. Peningkatan volume produksi komoditas diwilayah pelayanan pelabuhan Tapaktuan
diataranya Kabupaten Gayoluwes, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh
Singkil, Subulussalam dan Simeuleu.
3. Pengembangan armada laut yang dapat dinikmati oleh pengusaha komoditas, terjangkau
secara ekonomi, aman nyaman dan tepat waktu dalam pelayanan.
4. Pembentukan peraturan daerah melalui keputusan Gubernur dan atau Bupati terhadap bea
jasa pelabuhan Tapaktuan melalui kerjasama pengelolaan jasa pelabuhan.
4.3.4.4. Pelabuhan Laut Susoh dan Surin di Kabupaten Aceh Barat Daya
A. Kondisi
Kondisi pelabuhan Susoh di Kabupaten Aceh Barat Daya sudah tidak beroperasi, bahkan
bangunan sarana dan prasarana yang ada sudah mulai rusak. Pelabuhan Laut Susoh, merupakan
pelabuhan yang telah ada/beroperasi sejak tahun 1977. Pasca rehabilitasi dan rekonstruksi
pelabuhan ini digunakan untuk distribusi semen dari Padang provinsi Sumatera Barat. Selain
itu pelabuhan ini juga pernah digunakan untuk pengangkutan hasil tambang berupa biji besi
yaitu dari PT Pinang Sejati Utama.
Penyebab dari tidak beroperasinya pelabuhan Susoh adalah terjadinya sedimentasi yang
berakibat pada dangkalnya areal pelabuhan laut. Sedimentasi adalah suatu proses
pengendapan material yang ditransport oleh media air, angin, es, atau gletser di suatu
cekungan. Delta yang terdapat di mulut-mulut sungai adalah hasil dan proses pengendapan
material-material yang diangkut oleh air sungai, sedangkan bukit pasir (sand dunes) yang
terdapat di gurun dan di tepi pantai adalah pengendapan dari material-material yang
diangkut oleh angin. sedimentasi dapat dibedakan: a.sedimentasi air terjadi di sungai.
b.sedimentasi angi biasanya disebut sedimentasi aeolis c. sedimentasi gletser
mengahasilkan drumlin, moraine, ketles, dan esker.
Berikut ini adalah profil data sarana dan prasarana pelabuhan laut Susoh
B. Aktifitas Pelabuhan
Hingga saat ini aktifitas pelabuhan sudah tidak ada.
C. Rute Pelayaran Armada Kapal
Sejak beroperasinya pelabuhan laut Susoh, rute pelayaran armada yang masuk ke pelabuhan
Susoh sebagai berikut;
1. Padang (Provinsi Sumatera Barat) – Susoh (Kab Aceh Barat Daya)
2. Susoh (Kab Aceh Barat Daya) – Malahayati (Kab Aceh Besar)
D. Komoditas Bongkar/Muat
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala bidang pelabuhan laut pemerintah Kabupaten
Aceh Barat Daya, komoditas yang masuk adalah semen.
Kerusakan dan sedimentasi pada dermaga Trestle pelabuhan yang sudah rusak
pelabuhan
F. Permasalahan
Beberapa permasalahan yang ada di pelabuhan Susoh sebagai berikut;
1. Sedimentasi pada kawasan pelabuhan yang mengakibatkan pendangkalan pada pelabuhan,
sehingga armada kapal tidak dapat bersandar melakukan bongkar/muat.
2. Tidak adanya koordinasi antara KPLP Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian
Perhubungan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Barat Daya.
3. Tidak adanya aktifitas kapal di pelabuhan.
G. Rekomendasi
Rekomendasi terhadap peningkatan kinerja pelabuhan sebagai berikut;
1. Review dan peninjauan kembali pelabuhan susoh sebagai pelabuhan laut pengumpan
regional.
2. Studi kelayakan, masterplan dan detail desain rencana pelabuhan baru pengganti
pelabuhan Susoh di Desan Surin.
3. Peningkatan produksi komoditas perekonomian di Kabupaten Aceh Barat Daya, Nagan
Raya dan kabupaten sekitarnya.
Sesuai dengan kebijakan pengembangan transportasi laut Aceh yang akan lebih diarahkan untuk
pelayanan angkutan batang, maka analisa pemodelan transportasi yang dikembangkan dibatasi
pada model angkutan barang yang ditujukan untuk memprediksi permintaan lalu-lintas barang
pada pelabuhan eksisting dan tahun perencanaan (sesuai rentang jangka waktu perencanaan).
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 2 (Metodologi dan Pendekatan) pada dasarnya analisis
ini menggunakan pendekatan analisis pemodelan transportasi 4 (empat) tahap, yakni : Trip
Generation, Trip Distribution, Moda Split, dan Trip Assignment.
Secara garis besar, proses dalam analisis pemodelan ini adalah sebagai berikut:
· Karakteristik sistem kegiatan wilayah kajian yang ada saat ini, serta
Hal ini disebut juga sebagai pengembangan model pada tahun dasar (base year model).
2. Formulasi model pada tahun dasar, selanjutnya digunakan untuk memprediksi permintaan
lalu-lintas barang, khususnya untuk moda transportasi laut, sebagai masukan untuk analisa
pengembangan prasarana, sarana dan jaringan rute pelayaran transportasi laut di masa
mendatang, dengan terlebih dahulu melakukan perkiraan atau perumusan skenario
perkembangan parameter-parameter model di masa mendatang.
“Time horizon” adalah rentang waktu yang dikaji dalam pemodelan dan peramalan “transport
demand”. Sesuai dengan keperluan kajian, “time horizon” yang digunakan dalam kajian ini
adalah dalam periode 20 (dua puluh) tahun mendatang.
Basis data pemodelan adalah kondisi tahun dasar yaitu tahun 2013. Kondisi tahun dasar
selanjutnya dikembangkan kedalam suatu model yang disebut sebagai “Model Tahun Dasar”,
setelah divalidasikan dengan hasil-hasil survei yang telah dilakukan. Hasil dari model yang
telah divalidasi tersebut, selanjutnya digunakan sebagai basis untuk memperkirakan permintaan
lalu-lintas barang moda transportasi laut pada tahun-tahun berikutnya.
1. Sistem kegiatan wilayah akan berkembang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh,
mencakup : proyeksi penduduk, pertumbuhan ekonomi, penggunaan lahan, dan sistem sarana dan
prasarana wilayah.
2. Sistem jaringan prasarana dan sarana transportasi khususnya untuk moda transportasi bukan-
laut akan berkembang sesuai dengan rencana dan program definitif yang ada berdasarkan masukan
dari instansi terkait di lingkungan Pemerintah Aceh.
Model untuk tahun dasar (base year) akan menggambarkan kondisi permintaan (demand) lalu-
lintas serta kinerja pelayanan sistem transportasi khususnya moda transportasi laut yang
tersedia (supply) di wilayah studi, yang berbasis pada hasil-hasil pengumpulan data baik
data primer maupun data sekunder.
Sebagai tahap awal dalam analisis pemodelan, perlu ditetapkan terlebih dahulu sistem zona
asal tujuan perjalanan (zoning system) dari wilayah studi. Sistem zona asal tujuan perjalanan
sangat terkait dengan kondisi tata guna lahan dan dengan mempertimbangkan batas administrasi
yang merupakan basis agregasi ketersediaan data. Menurut pertimbangan ideal, pembagian zona
asal tujuan perjalanan didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain adalah :
· Berdasarkan pola penggunaan lahan dengan mengacu pada homogenitas penggunaan lahan sebagai
bahan untuk menentukan nilai produksi dan tarikan perjalanan dalam suatu wilayah.
· Berdasarkan aspek demografi sebagai unsur dinamis dari suatu parameter penentu pergerakan
perjalanan suatu zona
Adapun bentuk dari sistem zona asal tujuan perjalanan yang ditetapkan pada studi ini dibatasi
oleh ketersediaan data sosial ekonomi terbaru, kemungkinan untuk diprediksi perkembangannya
di masa depan, kebutuhan validasi model angkutan laut dan penerapannya. Berdasarkan hal
tersebut, maka sistem zona asal tujuan perjalan dalam pemodelan di wilayah studi dibagi dalam
32 (tiga puluh dua) zona mengacu pada zona kabupaten/kota dan zona eksternal yang berpengaruh
(lihat Tabel 5.1 dan gambar 5.1), yang terdiri dari :
· 23 (dua puluh tiga) zona internal yang berbasis pada wilayah kabupaten/kota dan pelabuhan
laut yang ada di Aceh.
· 9 (sembilan) zona eksternal, yang berbasis pada wilayah provinsi, dan negara-negara tujuan
eksport-import.
Model jaringan transportasi merupakan representasi dari sistem jaringan prasarana dan sarana
transportasi yang tersedia pada suatu wilayah. Model jaringan transportasi dapat dikembangkan khusus
untuk 1 (satu) jensi moda transportasi, misal: model jaringan jalan, atau gabungan dari beberapa moda
transportasi. Sesuai dengan tujuan analisa , maka model jaringan transportasi yang dikembangan dalam
studi ini adalah merupakan gabungan dari model jaringan jalan dan model jaringan transportasi laut,
dengan inti kajian pada prediksi lalu-lintas angkutan barang.
Dalam pemodelan jaringan transportasi ini, prasarana jaringan jalan, prasarana pelabuhan, sarana
(armada kapal laut) dan rute pelayaran disusun sedemikian rupa dan direpresentasikan sebagai node dan
link. Node dapat merupakan representasi dari simpang jalan, pelabuhan, atau pusat zona,
sedangkan link dapat merupakan representasi dari ruas-ruas jalan, atau rute pelayaran yang dilayani
oleh armada kapal laut yang tersedia. Setiap node dan link mempunyai karakteristik yang unik dan
berisi informasi sebagai berikut :
• Node berisi informasi mengenai koordinat, kapasitas pelayanan dari simpang jalan, kapasitas
pelabuhan terhadap lalu-lintas barang, dan kapal laut.
• Link berisi informasi mengenai panjang ruas jalan, jarak rute pelayaran, kapasitas ruas jalan,
kapasitas angkut barang dari suatu rute pelayaran, dan kecepatan jelajah sebagai fungsi dari waktu
tempuh perjalanan.
Keseluruhan proses pengembangan model jaringan transportasi di atas, dilakukan dengan bantuan perangkat
lunak perencanaan transportasi “TRANPLAN”. Model jaringan transportasi wilayah studi untuk tahun dasar
(2013), total terdiri dari 32 pusat zona, 134 node dan 304 link. Pada gambar 5.2 dan 5.3, disajikan
peta dasar model dan model jaringan transportasi Aceh dalam format program TRANPLAN.
Secara umum, model bangkitan perjalanan dibentuk untuk memperkirakan besaran permintaan perjalanan
dari setiap zona yang ada di wilayah studi. Adapun parameter yang umum digunakan dalam perkiraan ini
adalah data karakteristik sistem kegiatan menurut zona, antara lain meliputi :
Studi Tatrawil Aceh (2011), telah mengembangkan model bangkitan pergerakan wilayah Aceh, dengan
menggunakan parameter jumlah penduduk dan PDRB (non migas) dengan harga konstan, yang
dirumuskan dengan persamaan berikut:
Dimana:
X2 = PDRB (Rp)
Kelemahan umum dari penggunaan persamaan di atas adalah menggeneralisasi berbagai jenis
produksi (komoditas) menjadi satu variabel PDRB. Beberapa pihak meragukan metode pendekatan
yang digunakan dalam memprediksi bangkitan pergerakan barang di atas. Adib Kanafani dalam
bukunya Transportation Demand Analysis (1983) menegaskan bahwa “Motivasi transportasi barang
dapat dikatakakan murni motivasi ekonomi. Oleh karena itu analisa permintaan transportasi
barang lebih tepat menggunakan analisa formal teori permintaan ekonomi”.
Terdapat 3 (tiga) aspek fundamental dalam analisis permintaan transportasi barang. Pertama,
bahwa proses optimisasi biaya transportasi barang sangat mempengaruhi keputusan penggunaan
suatu pelayanan angkutan barang. Oleh karena itu, model prediksi permintaan angkutan barang
yang baik harus memodelkan semua perhitungan biaya angkutan secara representatif. Kedua,
bahwa model permintaan angkutan barang diturunkan dari permintaan terhadap bebagai
komoditas barang antara lokasi konsumsi dengan lokasi produksi yang terpisah secara spatial.
Ketiga, model permintaan angkutan barang cenderung memiliki sedikit fluktuasi dan memuncak,
karena kemungkinan sebagian besar komoditas menggunakan pergudangan dalam rangka memastikan
pasokan tak terputus untuk menyerap fluktuasi permintaan.
Salah satu pendekatan yang sering digunakan untuk memprediksi permintaan angkutan barang
adalah analisa Surplus-Defisit. Secara umum model Surplus-Defisit merupakan model yang
relatif sederhana yang menggunakan asumsi bahwa suatu komoditas pada suatu daerah disebut
surplus bila tingkat produksi lebih besar dari tingkat konsumsi, dan disebut defisit bila
tingkat produksi lebih kecil dari tingkat konsumsi. Kedua kondisi ini (surplus atau defisit)
akan berpotensi menimbulkan pergerakan komoditas masuk bila defisit, dan keluar bila surplus.
Dengan demikian, model bangkitan perjalanan (trip generation) di wilayah Aceh diturunkan
berdasarkan model surplus-defisit terhadap komoditas yang ada.
Dalam rangka pemodelan bangkitan perjalanan ini, telah dilakukan analisa surplus-defisit
menurut wilayah Kabupaten/Kota terhadap sebanyak 34 (tiga) puluh empat jenis komoditas yang
ada di wilayah Aceh seperti disajikan pada tabel berikut:
Hasil analisa surplus defisit kondisi tahun dasar disajikan pada Tabel 5.3 dan gambar 5.4.
Pada tabel 5.3 dapat dilihat bahwa jenis komoditas padi merupakan pembangkit perjalanan
barang tertinggi di wilayah Aceh (volume 1,77 juta ton), berikutnya adalah komoditas kelapa
sawit (1,1 juta ton), komoditas buah (761,3 ribu ton), komoditas tebu (481 ribu ton), dan
jenis komoditas lainnya dibawah 300 ribu ton. Bila dilihat menurut kabupaten/kota, maka
kabupaten Aceh Utara menempati posisi pembangkit perjalanan barang tertinggi (volume 810,3
ribu ton), selanjutnya.
Tabel 5. 3. Analisis Surplus Defisit Komoditas Utama Menurut Kabupaten/Kota Tahun Dasar (Ton)
Gambar 5. 4. Grafik Analisa Surplus Defisit Komoditas Menurut Kab/Kota Tahun Dasar
Sumber: Tim Penyusun, 2013
dan kabupaten/kota lainnya di bawah 320 ribu ton. Adapun untuk memprediksi bangkitan perjalanan barang
pada zona-zona eksternal (di luar wilayah Aceh) untuk kondisi tahun dasar (2013) dilakukan dengan
mengadopsi data bangkitan perjalanan wilayah eksternal dari hasil Studi Tatrawil Aceh (2011).
Dalam model ini, hasil analisa model bangkitan perjalanan diprediksi distribusi perjalanannya ke zona-
zona lainnnya, sehingga dari model ini dapat diperkirakan Matriks Asal Tujuan barang antar zona. Model
yang digunakan adalah gabungan antara model surplus-defisit komoditas dan model gravitasi (gravity
model). Melalui model ini, perjalanan barang suatu jenis komoditas didistribusikan dari zona surplus
menuju zona defisit tedekat dengan mengikuti karakteristik jarak/waktu tempuh perjalanan antar zona
(mengacu pada model gravitasi). Dalam penerapannya proses iterasi pendistribusian perjalanan setiap
jenis komoditas antar zona dilakukan menggunakan software program ME2, atau program estimasi MAT dari
maximum enthropy (Matrix Estimation from Maximum Enhthropy). Hasil estimasi Bangkitan Perjalanan (Trip
Generation) dan Distribusi Perjalanan (Trip Distribution) barang di wilayah studi pada tahun dasar
(2013) disajikan pada gambar 5.5 dan 5.6.
Gambar 5. 6. Garis Permintaan Perjalanan Barang (Desire Line) Tahun Dasar (2013)
Sumber: Tim Penyusun, 2013
Pada gambar 5.6 dapat dilihat adanya hubungan yang kuat antara hampir seluruh zona yang ada di wilayah
Aceh dengan zona Medan dsk. (zona 24) dan zona Lintas Timur Sumatera dan Jawa (zona 25). Hal ini
dapat dimengerti, mengingat hasil analisa surplus defisit yang menunjukkan bahwa sebagian besar zona
yang ada di wilayah Aceh berpotensi surplus, bahkan untuk total wilayah Aceh sendiri volume surplus
jauh lebih tinggi dibandingkan volume defisit. Artinya komoditas barang yang surplus ini akan dibawa
ke luar Aceh (ke zona eksternal), sementara zona Medan dan Lintas Timur Sumatera merupakan zona
terdekat yang dapat menampung berbagai jenis komoditas yang suplus di wilayah Aceh. Selanjutnya
hubungan yang relatif sedang juga terjadi antara zona-zona di wilayah Aceh dengan zona Padang dan
Lintas Barat Sumatera (zona 26).
Adapun untuk zona eksternal mancanegara (Singapore dan Malaysia) menunjukkan hubungan lemah dan
relatif sedang dengan zona-zona di pantai Timur Aceh bagian Tengah .
Secara umum model pemilihan moda (moda split) yang digunakan adalah model yang relatif sederhana.
Untuk perjalanan antar zona yang terpisah dengan laut, maka pemilihan angkutan barang moda laut
ditentukan dengan melihat kecenderungan komposisi pemilihan jenis moda antara moda laut dan udara
yang ada. Sedangkan untuk perjalanan antar zona yang tidak terpisah oleh laut, maka pemilihan angkutan
barang moda laut dilakukan dengan menggunakan software model pembebanan perjalanan (TRANPLAN), dimana
persentase pemilihan moda angkutan laut ditentukan oleh perbandingan waktu tempuh perjalanan antar
zona , antara moda angkutan jalan (darat) dan moda angkutan laut.
Model pembebanan perjalanan (trip assignment) dilakukan guna menentukan pilihan rute jaringan
transportasi yang akan digunakan untuk perjalanan barang antar zona. Dalam penerapannya, model ini
dilakukan melalui pembebanan Mariks Asal Tujuan (MAT) barang dari hasil analisa model distribusi
perjalanan terhadap model jaringan transportasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Adapun metode
pembenanan perjalanan yang digunakan adalah metode “stochastic”, atau model yang tidak memperhitungkan
batasan kapasitas namun telah memperhitungkan persepsi perseorangan terhadap waktu tempuh, dimana
pengguna angkutan disebarkan kepada beberapa pilihan rute.
Dalam penerapannya proses pembebanan perjalanan ini juga menggunakan software pemdelan transportasi
(TRANPLAN). Dari hasil proses pembebanan perjalanan ini, dihasilkan perkiraan volume lalu-lintas
barang (ton) pada seluruh rute jaringan transportasi yang ada.
Berdasarkan hasil pemodelan trip assignment tahun dasar, dapat diperkirakan besaran permintaan lalu-
lintas (traffic demand) barang pada setiap rute jaringan transportasi yang ada, termasuk pada jaringan
transportasi laut di wilayah kajian pada tahun dasar (2013) seperti disajikan pada Gambar 5.7.
Pada gambar 5.7 terlihat bahwa volume lalu-lintas barang sebagian besar terkonsentrasi pada jaringan
jalan lintas Timur Aceh. Adapun untuk rute pelayaran, permintaan lalu-lintas barang tertinggi terdapat
pada rute antara pelabuhan Krueng Geukuh (Lhokseumawe) dengan pelabuhan yang ada di sepanjang Lintas
Timur Sumatera dan Pulau Jawa. Rute yang cukup potensial lainnya adalah rute antara pelabuhan Singkil
dan pelabuhan Sinabang (Simeulue). Disamping itu, rute pelayaran dari pelabuhan Krueng Geukuh, Kuala
Langsa dan Malahayati yang menuju mancanegara (Malaysia dan Singapore) juga nampak cukup prospektif.
Gambar 5. 7. Permintaan Lalu Lintas Barang Pada Jaringan Transportasi Aceh Tahun Dasar (2013)
Sumber: Tim Penyusun, 2013
Hal lain yang menarik untuk dicermati adalah tingginya volume lalu-lintas barang pada jalur Sidikalang-
Kabanjahe-Medan (Provinsi Sumatera Utara). Kemungkinan hal ini terjadi akibat masih buruknya akses
jalan penghubung antara zona di sepanjang jalur lintas Barat dan Selatan Aceh menuju jalur lintas
Timur Aceh, sehingga komoditas hasil bumi yang berasal dari zona-zona tersebut dibawa langsung menuju
ke Medan. Oleh karena itu, perbaikan jalan akses penghubung antara jalur lintas Barat, lintas Tengah,
dan lintas Timur Aceh adalah sangat penting untuk segera direalisasikan guna meningkatkan akses dari
zona-zona produksi komoditas yang ada di Aceh menuju Pelabuhan Laut yang akan dikembangkan di pesisir
Timur dan Barat Aceh.
Berbagai data yang diperlukan guna memprediksi Surplus-Defisit komoditas utama di wilayah
Aceh telah dikumpulkan dan diolah guna melihat kecenderungan perkembangan produksi berbagai
jenis komoditas yang ada. Disamping kecenderungan perkembangan produksi juga dipertimbangkan
keterbatasan pengembangan lahan produksi yang ada di setiap Kabupaten/ Kota. Hasil analisa
prediksi Surplus-Defisit berbagai jenis komoditas utama menurut Kabupaten/Kota di wilayah
Aceh mulai tahun 2015 samppai tahun 2035 disajikan pada tabel 5.4 sampai 5.8.
Terdapat beberapa jenis komoditas utama yang memiliki potensi Ekspor sebagai berikut:
A. Kakao
Berdasarkan data dari Institut Pertanian Bogor Tahun 2010, Indonesia berada pada posisi
ketiga sebagai negara pengekspor kakao di dunia dengan produksi rata-rata 621.308 ton. Negara
yang menjadi tujuan utama ekspor untuk produksi ini adalah Amerika Serikat kemudian diikuti
oleh negara Malaysia dan Singapore. Negara lain seperti Belgia, Inggris, India, Jepang dan
Belanda juga mengimpor Kakao dari Indonesia dengan persentase kecil. Jerman dan China juga
mengimpor Kakao dari Indonesia dengan persentase sekitar 2 %.
Tabel 5. 4. Analisis Surplus Defisit Komoditas Utama Menurut Kab/Kota Tahun 2015 (Ton)
Tabel 5. 5. Analisis Surplus Defisit Komoditas Utama Menurut Kab/Kota Tahun 2020 (Ton)
Tabel 5. 6. Analisis Surplus Defisit Komoditas Utama Menurut Kab/Kota Tahun 2025 (Ton)
Tabel 5. 7. Analisis Surplus Defisit Komoditas Utama Menurut Kab/Kota Tahun 2030 (Ton)
Tabel 5. 8. Analisis Surplus Defisit Komoditas Utama Menurut Kab/Kota Tahun 2035 (Ton)
Berdasarkan data di atas, maka produksi Kakao yang surplus di Wilayah Aceh (hasil analisa
prediksi Surplus-Defisit) dapat diekspor ke negara-negara yang menjadi tujuan utama ekspor
Kakao Indonesia mencakup negara: Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Belgia, Inggris,
India, Jepang, Belanda, Jerman dan China.
B. Kopi
Berdasarkan data dari Institut Pertanian Bogor Tahun 2010, Indonesia berada pada posisi
keempat sebagai negara produsen kopi terbesar di dunia dengan produksi rata-rata setiap
tahunnya sebesar 630.845,7 ton. Negara yang menjadi tujuan utama ekspor kopi Indonesia adalah
Jepang, Amerika Serikat dan Jerman. Tahun 2009 menjadikan total volume ekspor Indonesia pada
posisi 510.030.400 Kg, negara utama masih mendominasi hasil kopi Indonesia. Pada tahun 2009
ini yang menjadi tujuan utamnya adalah negara Jerman dengan mengimpor sebesar 15,4 persen
dari total 59,4 persen ekspor kopi Indonesia kenegara utama, dibawahnya ada Amerika Serikat
dan Jepang yang masing-masing mendapatkan ekspor dari Indonesia sebesar 14 persen dan 10,5
persen dari total ekspor Indonesia. Negara utama lainnya mengimpor pada rentang yang sama
dan hanya Belgia yang mengimpor diatas 5 persen dari total ekspor Indonesia.
C. Pinang
Negara Importir Pinang dari Indonesia adalah India, Pakistan, Bangladesh, China dan Srilanka.
Pinang ini dijadikan sebagai bahan baku untuk industri farmasi, tekstil dan bahkan produk
makanan/minuman. Permintaan pinang meningkat di negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
Inggris, Kanada, Australia, Singapure, Belanda dan Selandia Baru.
D. Cengkeh
Produksi Cengkeh Indonesia di pasar dunia berada di posisi teratas. Berdasarkan data dari
Institut Pertanian Bogor, Indonesia merupakan negara pengimpor Cengkeh terbesar di dunia
dengan rata-rata produksi 79.987,6 ton. Singapura merupakan negara tujuan ekspor paling besar
yaitu sebesar 34,9 persen atau sebesar 2.212.623 kg dari total volume ekspor cengkeh
Indonesia. Belanda dan India menjadi negara tujuan ekspor selanjutnya dengan persentase
berturut-turut adalah 24,8 persen dan 15,8 persen.
E. Kelapa
Indonesia berada pada posisi satu sebagai negara produsen kelapa di dunia dengan rata-rata
produksi 17.855.000 ton dalam tahun 2001, 2005 dan 2008. Singapura merupakan negara tujuan
utama dimana lebih dari 80 persen produksi kelapa Indonesia diekspor ke negara ini.
Selanjutnya Jerman, Malaysia, China, Belanda, Inggris, Belgia dan Jerman mengimpor dari
Indonesia dibawah 4 persen. Perkembangan ekspor kelapa Indonesia ke sebelas negara tujuan
ekspor utama pada tahun 2001, 2005 dan 2009 dapat dilihat pada gambar berikut ini.
F. Kelapa Sawit
Total volume ekspor CPO Indonesia kepasar dunia pada tahun 2009 adalah 9.566.746.050 Kg dan
total 82,2 persennya diekspor kenegara utama. Hanya ada empat negara utama yang mengimpor
dibawah nol persen dari total ekspor CPO Indonesia pada tahun ini, yaitu Australia, Inggris,
Jepang dan Amerika Serikat, sedangkan Belgia tidak impor CPO dari Indonesia. India, Belanda,
Malaysia dan Singapura merupakan negara utama dengan volume ekspor CPO Indonesia yang tinggi
yaitu 46 persen diekspor ke India, 11 persen diekspor ke Belanda dan Malaysia serta 6,3
persen diekspor ke Singapura dari total ekspor CPO negara Indonesia.
G. Kemiri
Negara tujuan ekspor untuk produksi kemiri Indonesia adalah Singapura, Malaysia, Belanda
dan Arab Saudi.
H. Karet
Volume ekspor karet alam Indonesia ke dunia meningkat pada tahun 2009 menjadi 9.147.316 Kg,
dimana sebesar 73,3 persennya diekspor kenegara Utama. China menjadi negara tujuan utama
diantara sebelas negara lainnya dengan mengimpor 61,4 persen dari total ekspor Indonesia ke
dunia. Sementara Malaysia dan Amerika Serikat menjadi negara utama yang memiliki volume
ekspor karet alam Indonesia terbesar kedua dan ketiga dengan persentase masing - masing 8,3
persen dan 2,5 persen dari total ekspor kedunia.
I. Pala
Peningkatan volume ekspor pada tahun 2009 ditutup dengan volume 9.264.087 Kg yang diekspor
keseluruh dunia. Pada tahun ini semua negara utama mengimpor pala dari Indonesia dengan
persentase total 54,3 persen dari total volume ekspor Indonesia. Negara utama yang menjadi
tujuan ekspor utama adalah Amerika Serikat, dengan impor pala sebesar 13,9 persen dari total
ekspor Indonesia, dibawahnya ada negara Belanda mengimpor 8,7 persen, Jerman mengimpor 6,5
persen, Malaysia mengimpor 5,9 persen, Jepang mengimpor 5,5 persen, Belgia mengimpor sebesar
4,9 persen dan Singapura yang mengimpor pala sebesar 3,9 persen dari total volume ekspor
pala Indonesia kedunia, sedangkan untuk negara utama lainnya berada pada rentang 0,05 persen
hingga 2,5 persen.
Berdasarkan data ekspor beberapa jenis komoditas utama di atas, serta hasil analisa prediksi
Surplus-Defisit komoditas, maka dapat diprediksi volume eksport komoditas dari Aceh menuju
ke 11 (sebelas) negara tujuan eksport mulai tahun 2015 sampai tahun 2035 seperti disajikan
pada tabel 5.9 sampai 5.13.
Tabel 5. 10. Prediksi Ekspor Komoditas Aceh Tahun 2020 (Dalam Ton)
Tabel 5. 11. Prediksi Ekspor Komoditas Aceh Tahun 2025 (Dalam Ton)
Tabel 5. 12. Prediksi Ekspor Komoditas Aceh Tahun 2030 (Dalam Ton)
Tabel 5. 13. Prediksi Ekspor Komoditas Aceh Tahun 2035 (Dalam Ton)
Wilayah Aceh memiliki komoditas tambang yang cukup potensial menjadi pembangkit perjalanan
(demand) barang di pelabuhan-pelabuhan yang ada. Terdapat dua jenis komoditas tambang yang
cukup potensial di wilayah Aceh, yakni: besi (besi dan besi titian) dan batubara.
A. Besi
· Besi yang terdapat di Kabupaten Aceh Besar sebesar 36.800.000 ton dan Kabupaten Pidie
sebesar 10.000 ton,
· Besi titian yang terdapat di Kabupaten Aceh Besar sebesar 7.200.000 ton dan Kabupaten
Pidie sebesar 1.200.000 ton,
• Besi di kabupaten Aceh Jaya. Mengingat tidak ada data produksi pertambangan di kabupaten
ini, maka prediksi volume tambang didasarkan pada luas lahan usaha pertambangan yang
sudah mendapat ijin dari Dinas Pertambangan dan Energi Aceh dan dalam tahap eksplorasi,
seperti pada tabel berikut.
Dari luas total lahan usaha diprediksikan produktifitas bijih besi di kabupaten ini adalah
2.000 ton/Ha, sehingga diperoleh potensi total tambang bijih besi sebesar 37.244.000 ton.
B. Batu Bara
Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya memiliki potensi tambang berupa batu bara.
Prediksi volume tambang pada kabupaten ini didasarkan pada luas lahan usaha pertambangan
yang sudah mendapat ijin dari Dinas Pertambangan dan Energi Aceh dan dalam tahap eksplorasi,
sebagai berikut:
Tabel 5. 15. Luas Lahan Usaha Pertambangan di Aceh Barat dan Nagan Raya
Dari luas total lahan usaha pertambangan batu bara pada kedua kabupaten ini diperkirakan
adanya cadangan 3 % hingga kedalaman 10 meter, maka akan diperoleh perkiraan volume batu
bara sebesar 281.418.000,- ton. Perkiraan ini bisa membesar ataupun mengecil tergantung pada
realisasi konsesi dan ditemukan/tidaknya kandungan barubara pada masa yang akan datang.
Prediksi permintaan (demand) pelabuhan untuk komoditas tambang dibuat berdasarkan asumsi 0,1
% dari volume produksi pada tahun 2015 akan menggunakan pelabuhan terdekat, dan untuk tahun-
tahun berikutnya diperkirakan demand komoditas tambang di pelabuhan akan tumbuh rata-rata
sebesar 3 %/tahun.
Untuk komoditas tambang batubara diperkirakan untuk tujuan ekspor. Hal ini mengacu pada
informasi dari Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), dimana sekitar 80% produk
batubara Indonesia diperuntukan untuk ekspor sedang sisanya baru digunakan didalam negeri.
Adapun negara tujuan ekspor batubara Indonesia sebagian besar adalah di Asia. Saat ini ada
3 negara yang menjadi tujuan ekspor batubara terbesar Indonesia, yaitu: Jepang, China dan
India. Untuk India, batubara Indonesia banyak digunakan sebagai campuran produksi batubara
negara tersebut yang kualitasnya rendah, dengan demand sekitar 600-650 juta ton per tahun.
Sedangkan negara yang berpotensi meningkatkan permintaan baturabanya dari Indonesia yaitu
China dan Jepang. Hal tersebut lantaran kedua negara ini pada tahun depan akan lebih banyak
menggunakan batubara untuk pembangkit listriknya. China melakukan impor batubara dari
Indonesia sebanyak 100 hingga 200 juta ton per tahun. Sedangkan Jepang mencapai 60 juta ton
per tahun, dan mempunyai potensi menambah menjadi 100 juta ton.
Berdasarkan informasi ini, maka diasumsikan bahwa demand komoditas batubara di pelabuhan
Aceh akan diekspor ke negara: India, Cina dan Jepang, dengan komposisi: India (66,67%), Cina
(22,22%) dan Jepang (11,11%).
Untuk komoditas besi dan besi titian di pelabuhan Aceh juga diasumsikan akan diekspor, dengan
negara utama tujuan ekspor adalah Cina dan India. Negara Cina merupakan negara pengkonsumsi
dan produsen besi terbesar di dunia, selanjutnya adalah India. Komoditas besi dari pelabuhan
Aceh diperkirakan akan diekspor 80% ke Cina dan 20% ke India.
Dengan asumsi tujuan ekspor dari komoditas tambang di atas, maka terdapat 3 (tiga) pelabuhan
utama (pelabuhan ekspor-impor) terdekat yang diperkirakan akan melayani perjalanan komoditas
tambang (besi dan batubara), yakni: pelabuhan Malahayati, pelabuhan Krueng Geukueh, dan
pelabuhan Meulaboh. Sehingga dapat diprediksi permintaan (demand) perjalanan komoditas
tambang menurut pelabuhan pada tahun 2015 sampai 2035, seperti disajikan pada tabel 5.16.
Secara garis besar, proses pemodelan tahun perencanaan dilakukan dengan cara memasukkan
parameter-parameter model yang telah diproyeksikan ke tahun perencanaan ke dalam model yang
telah dikembangkan untuk tahun dasar. Dengan demikian, terdapat dua hal yang perlu
diperkirakan kondisinya di masa mendatang, yakni:
1. Permintaan Perjalanan atau Matriks Asal Tujuan (MAT) barang, yang juga merupakan fungsi
dari perkembangan produksi komoditas dari hasil analisa prediksi Surplus-Defisit
komoditas di masa mendatang, serta hasil analisa distribusi perjalanan (trip distribution)
dari berbagai komoditas tersebut.
2. Skenario Sistem Sarana dan Prasarana Transportasi, dalam hal ini meliputi: sistem jaringan
jalan, lokasi pelabuhan laut, dan ketersediaan rute pelayaran angkutan barang moda laut.
Ketersediaan sarana (armada) kapal laut diasumsikan mengikuti permintaan angkutan barang
yang ada.
Model untuk memprediksi bangkitan dan distribusi perjalanan barang di wilayah studi adalah
relatif sama dengan yang telah dijelaskan dalam pemodelan tahun dasar. Dalam hal ini bangkitan
perjalanan barang diprediksi berdasarkan hasil analisa prediksi Surplus-Defisit komoditas,
dan prediksi Ekspor wilayah Aceh yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Selanjutnya
hasil prediksi bangkitan lalu-lintas barang didistribusikan perjalananannya ke setiap zona
yang ada menggunakan model gravitasi (gravity model) menggunakan software program ME2.
Hasil model bangkitan dan distribusi perjalanan berupa Matriks Asal Tujuan Barang mulai tahun
2015 sampai 2035 disajikan pada tabel 5.17 sampai 5.21. Untuk memudahkan pemahaman terhadap
kondisi pola perjalanan barang tahun perencanaan, pada gambar 5.15 dan 5.16 disajikan gambar
Produksi dan Tarikan Perjalanan serta Garis Permintaan Perjalanan (Desire Lines) Barang di
wilayah studi pada tahun 2020.
Pada gambar 5.15 dapat dilihat bahwa pola bangkitan (produksi dan tarikan) perjalanan pada
tahun 2020 menunjukkan adanya sedikit perbedaan dengan pola bangkitan perjalanan pada tahun
dasar (2013). Pada tahun 2020 diperkirakan zona mancanegara India dan Eropa (zona 30) akan
menjadi penarik perjalanan terbesar di samping zona kota Medan dsk (zona 24) dan zona Lintas
Timur Sumatera dan Jawa (zona 25). Selanjutnya adalah zona mancanegara Cina, Jepang dan USA
(zona 31) juga akan menjadi penarik perjalanan barang terbesar kedua di samping zona Padang
dan lintas Barat Sumatera (zona 26).
Tingginya tarikan perjalanan ke zona mancanegara India dan Eropa (zona 30) dan Cina, Jepang
dan USA (zona 31) disebabkan oleh negara-negara tersebut merupakan negara tujuan ekspor
komoditas tambang Aceh (besi dan batubara). Untuk negara tetangga Singapore (zona 28) dan
Malaysia (zona 27) diperkirakan tetap akan menjadi penarik perjalanan barang yang cukup
besar, khususnya untuk komoditas barang non-tambang.
Tabel 5. 16. Prediksi Matrik Asal Tujuan Barang Antar Zona Di Wilayah Aceh Tahun 2015 (Puluhan Ton)
Tabel 5. 17. Prediksi Matrik Asal Tujuan Barang Antar Zona Di Wilayah Aceh Tahun 2020 (Puluhan Ton)
Tabel 5. 18. Prediksi Matrik Asal Tujuan Barang Antar Zona Di Wilayah Aceh Tahun 2025 (Puluhan Ton)
Tabel 5. 19. Prediksi Matrik Asal Tujuan Barang Antar Zona Di Wilayah Aceh Tahun 2030 (Puluhan Ton)
Tabel 5. 20. Prediksi Matrik Asal Tujuan Barang Antar Zona Di Wilayah Aceh Tahun 2035 (Puluhan Ton)
Gambar 5. 16. Garis Permintaan Perjalanan Barang (desire line) Tahun 2020
Sumber : Tim Penyusun, 2013
Pada gambar 5.15 dapat dilihat bahwa pola komposisi produksi dan tarikan perjalanan pada
tahun 2020 adalah tidak begitu jauh berbeda dengan pola produksi dan tarikan perjalanan pada
tahun dasar (2013), hanya besarannya saja yang meningkat sesuai dengan hasil analisa prediksi
Surplus-Defisit komoditas di wilayah studi. Zona kota Medan dsk (zona 24) dan zona Lintas
Timur Sumatera dan Jawa (zona 25) tetap menjadi zona pembangkit dan penarik perjalanan barang
terbesar di wilayah studi.
Namun demikian, pada tahun 2020 diprediksi terdapat zona pembangkit dan penarik perjalanan
baru, yakni negara-negara tujuan ekspor. Negara Cina, Jepang, dan Amerika Serikat (zona 31)
diprediksi akan menjadi zona penarik perjalanan barang yang cukup besar. Berikutnya adalah
negara Singapore (zona 28) dan Malaysia (zona 27). Negara India, Jerman, Belgia dan Belanda
(zona 30) juga diprediksi akan menarik perjalanan barang yang relatif sedikit lebih rendah
dibandingkan Malaysia.
Adapun gambaran “desire line” tahun 2020 (lihat gambar 5.16) pada umumnya juga mengikuti
pola yang sama dengan kondisi tahun dasar (2011), hanya ketebalannya saja yang semakin tebal
sejalan dengan waktu. Zona kota Medan dsk. (zona 24) dan zona Lintas Timur Sumatera dan Jawa (zona
25) diprediksi tetap akan memiliki hubungan yang relatif sangat kuat dengan zona-zona yang ada di
wilayah Aceh, diikuti oleh zona kota Padang dan zona Lintas Barat Sumatera (zona 26).
Untuk negara-negara tujuan ekspor diprediksi bahwa negara Cina, Jepang dan Amerika Serikat (zona 31)
akan memiliki garis permintaan perjalanan yang relatif cukup kuat dengan zona-zona penghasil komoditas
ekspor di wilayah Aceh, bahkan lebih kuat dibandingkan dengan negara Singapore dan Malaysia. Sedangkan
untuk negara India, Jerman , Belgia dan Belanda (zona 30) memiliki garis permintaan perjalanan sedikit
lebih lemah dibandingkan dengan negara Malaysia. Secara keseluruhan garis permintaan perjalanan ke
semua negara tujuan ekspor (termasuk Thailand) menunjukkan adanya hubungan yang relatif cukup
potensial, kecuali untuk negara Australia (zona 32) cenderung relatif kurang potensial.
Sebagai tahap awal dalam pemodelan pembebanan perjalanan (trip assignment) pada tahun
perencanaan, perlu ditetapkan terlebih dahulu skenario jaringan transportasi, mencakup:
skenario sistem jaringan jalan, dan skenario jaringan transporasi laut (lokasi pelabuhan dan
rute pelayaran), yang akan digunakan untuk pengembangan model jaringan transportasi di masa
medatang. Secara umum, skenario sistem jaringan transportasi di masa mendatang mengacu pada
berbagai rencana dan program-program pengembangan sistem jaringan jalan dan transportasi
laut yang termuat dalam RTRW Aceh, RTRW tiap Kabupaten/Kota, serta berbagai masukan dari
Instansi terkait (Bappeda, dan Dinas Perhubungan) di lingkungan Pemerintah Aceh.
Secara umum, sistem jaringan transportasi wilayah studi pada tahun perencanaan dikembangkan
dengan pertimbangan pada aspek: cakupan (jangkauan) area pelayanan, efisiensi dan keterpaduan
dengan rencana pengembangan sistem transportasi yang ada di wilayah Aceh, dengan arahan
sebagai berikut:
a. Sistem jaringan jalan di wilayah Aceh dikembangkan sesuai dengan arahan dalam RTRW
Aceh (dijelaskan pada Bab 3).
b. Memantapkan kondisi jaringan jalan yang ada, khususnya untuk jalan lintas Timur dan
Barat.
c. Merealisasikan kesinambungan jalan Lintas Tengah dengan membangun segmen lintas yang
masih terputus antara Geumpang-Pameu-Takengon.
d. Meningkatkan kemantapan dan aksesibilitas jalan penghubung antara jalan Lintas Barat,
Lintas Tengah dan Timur, mencakup ruas-ruas jalan:
a. Sistem transportasi laut di wilayah Aceh difokuskan untuk melayani angkutan barang,
dengan lingkup pelayanan wilayah internal (dalam wilayah Aceh) dan eksternal (dari/ke
wilayah luar wilayah Aceh).
c. Pelabuhan Sabang diarahkan sebagai Pelabuhan Utama untuk melayani agkutan barang
(general cargo dan kontainer) nasional dan internasional, dan lebih difokuskan untuk
pelayanan “cargo/container trashipment”.
d. Pelabuhan Malahayati diarahkan sebagai Pelabuhan Utama untuk melayani angkutan barang
(general cargo dan kontainer) nasional dan internasional, dan ekspor-impor, dan lebih
difokuskan untuk pelayanan ke negara tujuan India, Eropa dan Thailand (sebelah Utara
dan Barat Aceh).
e. Pelabuhan Krueng Geukueh diarahkan sebagai Pelabuhan Utama untuk melayani agkutan
barang (general cargo, curah cair dan curah kering, kontainer) nasional dan
internasional, ekspor-impor, dan lebih difokuskan untuk pelayanan ke negara tujuan
Malaysia, Singapore, Cina, Jepang dan Amerika Serikat (tujuan internasional) dan ke
pelabuhan-pelabuhan utama di sepanjang pesisir Timur Sumatera dan Pulau Jawa.
f. Pelabuhan Kuala Langsa diarahkan sebagai Pelabuhan Pengumpul untuk melayani agkutan
barang (general cargo, curah cair dan curah kering, kontainer) nasional dan
internasional, ekspor-impor, yang terintegrasi dengan Pelabuhan Fery Internasional
(tujuan Malaysia dan Singapore).
h. Pelabuhan Meulaboh diarahkan sebagai Pelabuhan Utama untuk melayani angkutan barang
(general cargo, dan kontainer) nasional dengan tujuan pelabuhan-pelabuhan utama di
sepanjang pesisir Barat Sumatera, serta angkutan barang internasional, ekspor-impor
dengan tujuan negara India dan Eropa, juga untuk pelayanan angkutan komoditas tambang
(batubara) tujuan ekspor.
i. Pelabuhan Susoh diarahkan sebagai Pelabuhan Pengumpul untuk melayani agkutan barang
(general cargo, dan kontainer) nasional, dan lebih difokuskan untuk pelayanan menuju
pelabuhan-pelabuhan utama di sepanjang pesisir Barat Sumatera.
k. Pelabuhan Tapak Tuan diarahkan sebagai Pelabuhan Pengumpan Regional untuk melayani
agkutan barang (general cargo) nasional, dan lebih difokuskan untuk pelayanan menuju
pelabuhan-pelabuhan utama di sepanjang pesisir Barat Sumatera.
m. Dalam rangka efisiensi maka pengoperasian sistem transportasi laut di wilayah Aceh
akan dipadukan dengan pelayanan moda transportasi jalan raya. Dalam hal ini sarana
angkutan jalan raya dan prasarana jaringan jalan akan dimanfaatkan seoptimal mungkin
dalam rangka memperpendek jarak rute pelayaran antar pelabuhan. Dengan demikian:
· Bila terdapat lebih dari satu pelabuhan pada suatu jalur jalan lintas, maka rute
pelayaran pada tiap pelabuhan sebaiknya dibagi sedemikian rupa sehingga rute
pelayarannya merupakan rute dengan jarak terpendek antar pelabuhan asal dan
tujuan.
· Rute pelayaran jarak pendek antar pelabuhan pada wilayah daratan Aceh (pulau
Sumatera) sebaiknya dihindari, karena akan kalah bersaing dengan moda angkutan
jalan raya.
Proses ini dilakukan dengan membebankan MAT perjalanan untuk tahun perencanaan (2015 – 2035)
terhadap model jaringan transportasi wilayah studi di masa mendatang. Adapun metode trip
assignment yang digunakan adalah sama dengan yang digunakan untuk pemodelan tahun dasar,
yakni metode “stochastic”. Untuk proses ini digunakan program TRANPLAN. Dari proses ini dapat
diprediksi permintaan lalu-lintas barang pada tahun perencanaan (2015 -2035).
Berdasarkan hasil proses pemodelan pembebanan MAT perjalanan tahun perencanaan (2015 – 2035)
terhadap model jaringan transportasi wilayah studi di masa mendatang, dapat diprediksi
permintaan (demand) lalu-lintas angkutan barang di tiap pelabuhan di wilayah Aceh seperti
disajikan pada tabel 5.19. Sebagai gambaran, hasil prediksi permintaan lalu-lintas barang di
wilayah studi pada tahun 2020 disajikan pada gambar 5.17.
Gambar 5. 17. Permintaan Lalu Lintas Barang Pada Jaringan Transpotasi Aceh 2020
Sumber : Tim Penyusun, 2013
Tabel 5. 21. Prediksi Bongkar Muat Barang di Pelabuhan Aceh 2015 2035 (Ton)
Pada gambar 5.17 terlihat bahwa rute pelayaran angkutan laut yang memiliki permintaan lalu-
lintas barang tinggi (tidak termasuk rute pelayaran transhipment pelabuhan Sabang) adalah
rute pelayaran tujuan mancanegara India dan Eropa, dengan pelabuhan asal adalah pelabuhan
Malahayati dan pelabuhan Meulaboh. Berikutnya adalah antara pelabuhan Krueng Geukueh dengan
pelabuhan-pelabuhan utama di pesisir Timur pulau Sumatera dan pulau Jawa, kemudian dari
pelabuhan Krueng Geukueh dan pelabuhan Malahayati menuju negara Cina, Jepang dan Amerika
Serikat, kemudian rute pelayaran dari pelabuhan Meulaboh menuju pelabuhan-pelabuhan utama di
sepanjang pesisir Barat pulau Sumatera, yang memiliki permintaan lalu-lintas relatif sama
dengan rute-rute pelayaran ke negara Singapore, dan Malaysia.
Adapun permintaan lalu-lintas barang menurut pelabuhan (lihat tabel V.22) menunjukkan bahwa
pelabuhan Sabang merupakan pelabuhan dengan permintaan bongkar muat tertinggi, yakni sebesar
2,3 juta ton pada tahun 2015 dan sebesar 4,2 juta ton pada tahun 2035. Tingginya permintaan
lalu-lintas di pelabuhan Sabang disebabkan oleh perkiraan permintaan lalu-lintas transhipment
yang tinggi di pelabuhan ini. Pada posisi ke-dua adalah pelabuhan Krueng Guekueh dengan
volume bongkar muat barang sebesar 1,1 juta ton pada tahun 2015, dan relatif hampir sama
dengan pelabuhan Malahayati (sebesar 1,08 juta ton), namun pada tahun 2020 sampai 2035,
pelabuhan Krueng Geukueh diperkirakan akan memiliki volume bongkar-muat barang jauh lebih
tinggi daripada pelabuhan Malahayati, khususnya mulai tahun 2025 atau sejak pelabuhan ini
dapat melayani angkutan komoditas tambang. Pelabuhan Meulaboh menempati posisi berikutnya,
dengan perkiraan volume bongkar muat barang sebesar 947,4 ribu ton pada tahun 2015 dan sebesar
1,53 juta ton pada tahun 2035. Tingginya permintaan angkutan barang di pelabuhan Meulaboh
disebabkan cukup besarnya volume bongkar muat komoditas kelapa sawit (CPO) dan tambang
(batubara) di pelabuhan ini (tujuan ekspor).
Pelabuhan Singkil, Sinabang, dan Kuala Langsa memiliki permintaan lalu-lintas angkutan barang
yang relatif hampir sama, yakni sekitar 140-150 ribu ton pada tahun 2015 dan sekitar 230-250
ribu ton pada tahun 2035. Untuk pelabuhan Calang, meskipun memiliki permintaan lalu-lintas
angkutan barang yang relatif rendah pada tahun 2015, namun mulai tahun 2025 atau sejak
melayani angkutan komoditas tambang, pelabuhan Calang memiliki volume bongkar muat barang
yang menjadi relatif sedikit lebih tinggi dibandingkan pelabuhan Singkil, Sinabang dan Kuala
Langsa, yakni sebesar 211 ribu ton pada tahun 2025 dan 282 ribu ton pada tahun 2035.
Dengan mengacu pada hasil analisa prediksi permintaan (demand) angkutan barang wilayah
Aceh pada sub bab sebelumnya, maka pada bagian ini akan dilakukan analisa kebutuhan
pengembangan sistem transportasi laut di wilayah Aceh, mencakup 3 (tiga) aspek:
Terdapat tiga hal yang menjadi dasar pertimbangan pengembangan prasarana pelabuhan di
wilayah Aceh, sebagai berikut:
1. Permasalahan kualitas pelayanan pelabuhan yang ada saat ini, sebagaimana yang
telah dijelaskan pada bab 4.
2. Permasalahan efisiensi pengoperasian sistem transportasi laut yang ada saat ini
maupun di masa mendatang, terkait dengan sebaran lokasi pelabuhan dan rute
pelayaran yang belum efisien, disebabkan antara lain:
a. Terlalu banyaknya pelabuhan yang berdekatan, dengan rute pelayaran yang sama
(tumpang tindih).
b. Perencanaan pelabuhan (angkutan laut) yang tidak (kurang) terpadu dengan moda
angkutan jalan raya dan prasarana jaringan jalan. Seharusnya sistem jaringan
jalan dapat diandalkan untuk memperpendek jarak rute pelayaran, mengingat
waktu tempuh melalui jalan raya yang relatif lebih cepat, dan biaya operasi
kendaraan jalan raya yang juga lebih murah.
1. Prasarana pelabuhan laut di wilayah Aceh diarahkan untuk melayani angkutan barang,
dengan lingkup pelayanan wilayah internal (dalam wilayah Aceh) dan eksternal
(dari/ke wilayah luar wilayah Aceh). Untuk melayani permintaan perjalanan
kendaraan jalan raya antar pulau, diarahkan untuk dilayani oleh moda transportasi
ASDP (kapal dan dermaga Ferry/Ro-ro).
2. Bila terdapat lebih dari satu pelabuhan pada suatu jalur jalan lintas, maka rute
pelayaran pada tiap pelabuhan sebaiknya dibagi sedemikian rupa sehingga rute
pelayarannya merupakan rute dengan jarak terpendek antar pelabuhan asal dan
tujuan.
3. Rute pelayaran jarak pendek antar pelabuhan pada wilayah daratan Aceh (pulau
Sumatera) sebaiknya dihindari, karena akan kalah bersaing dengan moda angkutan
jalan raya..
4. Secara rinci pengembangan prasarana pelabuhan di wilayah Aceh dijelaskan pada bab
6 (Rencana Induk Pengembangan Pelabuhan Laut Wilayah Aceh).
1. Dalam rangka meminimasi dampak sosial yang akan ditimbulkannya, maka dalam
pengembangan rute pelayaran di wilayah Aceh diupayakan semaksimal mungkin tidak
mengubah rute pelayaran yang sudah ada dan beroperasi saat ini. Bila terdapat rute
pelayaran yang dianggap kurang efisien sehingga perlu dihilangkan, maka
penghapusan rute tersebut harus dilakukan secara bertahap.
2. Cakupan area pelayanan angkutan laut (coverage service area) dikembangkan untuk
dapat melayani potensi ekspor komoditas Aceh.
3. Konsepsi rute pelayaran yang akan dikembangkan di masa mendatang (dijelaskan lebih
detail pada bab 6) mengacu pada kombinasi antara sistem koridor (corridor system)
dan sirkulator (circulator system). Sistem koridor merupakan rute utama yang
bersifat end to end dan berada di jalur utama, sedangkan sistem sirkulator
merupakan rute memutar yang diperlukan sebagai feeder (pengumpan) dari sistem
koridor, yang dapat menjaring penumpang sampai ke pulau kecil.
4. Rute sistem koridor (Utama) akan melayani angkutan barang dari/ke luar wilayah
Aceh, dan terdiri dari:
5. Rute sistem sirkulator (Feeder) akan melayani angkutan barang dalam wilayah Aceh
(internal wilayah Aceh) atau antar Kabupaten/Kota:
6. Secara rinci pengembangan rute pelayaran di wilayah Aceh dijelaskan pada bab 6
(Rencana Induk Pelabuhan dan Rute Pelayaran Wilayah
Sesuai dengan azas yang umum digunakan dalam perencanaan transportasi, maka rencana induk
pelabuhan Aceh disusun berdasarkan azas - azas sebagai berikut :
1. Efisien, dalam rangka mewujudkan efisiensi biaya transportasi yang diperlukan untuk
mendukung sekaligus mendorong perkembangan kegiatan ekonomi wilayah Aceh, dimana tujuan
akhirnya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan umum
pembangunan.
2. Keadilan, dalam melayani seluruh masyarakat wilayah Aceh sesuai dengan karakteristik
permintaan yang ada.
3. Transparansi dan Akuntabel, dalam manajemen pelaksanaan pembangunannya. Hal ini sesuai
dengan prinsip dasar profesionalisme dalam manajemen pembangunan.
4. Realistis, dalam arti tidak sulit untuk dilaksanakan disesuaikan dengan kemampuan
manajemen, teknologi, dan pendanaan yang ada.
5. Kesisteman, dimana elemen-elemen dari setiap rencana dirumuskan secara sistematis, saling
mendukung antara elemen rencana yang satu dengan elemen rencana yang lainnya, sehingga
dapat terrwujud suatu kerangka kerja (network) pelayanan sistem transportasi yang optimal.
6. Keterpaduan Intra dan Antar Moda, terkait dengan prinsip kesisteman, maka rencana induk
pelabuhan Aceh akan dirumuskan secara terpadu dengan moda transportasi lainnya
(transportasi darat dan udara), saling mendukung antar moda yang satu dengan moda lainnya,
maupun intra moda itu sendiri.
8. Koordinasi dan Sinkronisasi, dalam rangka memadukan atau menyelaraskan rencana induk
pelabuhan Aceh terhadap rencana-rencana sektor pembangunan lainnya, juga untuk menampung
berbagai masukan dan aspirasi dari setiap stakeholder yang ada.
Disamping azas-azas tersebut di atas, rencana induk pelabuhan Aceh juga disusun berdasarkan
pertimbangan :
1. Aspek Demand berdasarkan kebutuhan atau permintaan aktual pasar (Market Approach)
2. Aspek arahan perencanaan; berdasarkan arahan tata ruang wilayah (Planning Objectives
Approach)
A. Kebijakan Pengembangan
Dengan mengacu pada prinsip pengembangan sistem transportasi di atas, serta isu pelabuhan
laut Aceh yang telah dijelaskan pada bab IV, maka kebijakan pengembangan pelabuhan laut Aceh
dirumuskan sebagai berikut :
1. Kebijakan-1 : Mengembangkan Pelabuhan Laut Aceh Yang Andal dan Berdaya Saing Tinggi Dalam
Rangka Mendukung Pengembangan Perekonomian Wilayah Aceh.
2. Kebijakan-2 : Mengembangkan Pelabuhan Laut Aceh Sebagai Simpul Utama Dari Sistem Logistik
Wilayah Aceh, Nasional, dan Internasional. Dalam hal ini, pelabuhan laut Aceh diarahkan
sebagai simpul utama koleksi dan distribusi aliran lalu-lintas barang (komoditas) baik
dalam skala pelayanan internal wilayah Aceh, maupun skala pelayanan nasional dan
internasional.
3. Kebijakan-3 : Mengembangkan Pelabuhan Laut Aceh Yang Terintegrasi Dengan Rencana Tata
Ruang dan Sistem Jaringan Transportasi Wilayah Aceh. Dalam hal ini, pengembangan pelabuhan
laut Aceh perlu memperhatikan rencana pengembangan pusat-pusat kegiatan dan pelayaan,
sentra-sentra produksi komoditas unggulan, dan rencana sistem jaringan transportasi moda
lainnya (darat dan udara), sedemikian rupa sehingga lokasi pelabuhan Aceh (eksisting
maupun rencana) beserta jaringan rute pelayarannya merupakan bagian yang terintegrasi
dengan rencana sistem jaringan transportasi wilayah Aceh.
B. Strategi Pengembangan
1. Memantapkan fungsi dan peran pelabuhan yang telah ada (eksisting) sesuai dengan
Tatanan Kepelabuhanan dalam RTRW Aceh.
2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas berbagai prasarana dan fasilitas pada pelabuhan
utama yang potensial (pelabuhan unggulan), agar memiliki daya saing tinggi terhadap
1. Mempertahankan rute pelayaran yang sudah ada dan beroperasi saat ini. Bila terdapat rute
pelayaran yang dianggap kurang efisien sehingga perlu dihilangkan, maka penghapusan rute
tersebut dilakukan secara bertahap.
2. Memperluas cakupan area pelayanan (coverage service area) jaringan rute pelayaran sehingga
dapat menjangkau seluruh pelabuhan yang menjadi simpul koleksi dan distribusi aliran
komoditas unggulan Aceh, baik dalam skala pelayanan wilayah Aceh, Nasional, maupun
Internasional.
3. Mengembangkan rute pelayaran dengan konsep kombinasi antara sistem koridor (corridor
system) dan sirkulator (circulator system). Sistem koridor merupakan rute utama yang
bersifat end to end dan berada di jalur utama (trunk route), sedangkan sistem sirkulator
merupakan rute memutar yang diperlukan sebagai feeder (pengumpan) dari sistem koridor,
yang dapat menjaring permintaan angkutan laut hingga ke simpul pelabuhan terdekat dari
sentra-sentra produksi komoditas unggulan Aceh.
4. Rute sistem koridor (Utama) akan melayani angkutan barang dari/ke luar wilayah Aceh, dan
terdiri dari:
5. Rute sistem sirkulator (Feeder) akan melayani angkutan barang dalam wilayah Aceh (internal
wilayah Aceh) atau antar Kabupaten/Kota:
6. Pengembangan rute sistem koridor dan sirkulator dapat memanfaatkan rute pelayaran yang
telah ada saat ini, dan/atau dapat melalui pengembangan rute-rute baru, sehingga nantinya
cakupan area pelayanan (coverage service area) dari rute sistem koridor dan sirkulator
ini mampu menjangkau hampir seluruh pelabuhan terdekat dari sentra-sentra produksi dan
seluruh pelabuhan terdekat dari pusat pemasaran komoditas unggulan Aceh.
7. Mengembangkan sistem layanan angkutan laut secara terpadu, sehingga dapat terwujud
interkoneksi antara rute-rute pelayaran yang ada. Hal ini dapat dilakukan antara lain
melalui koordinasi jadwal keberangkatan antara pelayaran yang satu dengan yang lainnya.
Lebih lanjut lagi, integrasi sistem ongkos angkutan perlu mulai dirintis untuk memberikan
kenyamanan bagi masyarakat dalam menggunakan angkutan laut.
1. Untuk melayani permintaan lalu-lintas barang pada rute utama sistem koridor, dilayani
oleh:
a. Kapal Besar /PELNI (sekaligus pengangkut penumpang) dengan jadwal tetap (reguler)
minimal dua kali seminggu.
a. Kapal Besar Perintis/ PELNI (sekaligus pengangkut penumpang) dengan jadwal tetap
(reguler) minimal sekali seminggu.
3. Pengembangan Sarana Armada Kapal Laut di masa mendatang secara umum diarahkan untuk lebih
meningkatkan keamanan, kenyamanan, kecepatan, dan efisiensi biaya operasi kapal.
A. Ketentuan Umum
1. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas
tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan
sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa
terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan
keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan
intra-dan antarmoda transportasi.
2. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan
untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang
dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau
antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan
tata ruang wilayah.
3. Tatanan Kepelabuhanan adalah suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis,
hierarki pelabuhan, Rencana Induk Pelabuhan, dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra-
dan antarmoda serta keterpaduan dengan sektor lainnya.
4. Hierarki pelabuhan sesuai UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, terdiri dari:
a. Pelabuhan Utama adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut
dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan internasional
dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta
angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.
b. Pelabuhan Pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan
laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah menengah, dan
sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan
dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.
c. Pelabuhan Pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan
laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas,
merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat
asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan
pelayanan dalam provinsi. Pelabuhan pengumpan dibagi lagi menjadi:
5. Pelabuhan Laut adalah pelabuhan yang dapat digunakan untuk melayani kegiatan angkutan
laut dan/atau angkutan penyeberangan yang terletak di laut atau di sungai.
4. Rencana Induk Pelabuhan adalah pengaturan ruang kepelabuhanan yang memuat tentang
kebijakan pelabuhan, rencana lokasi dan hierarki pelabuhan yang merupakan pedoman dalam
penetapan lokasi, pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan.
Pada tabel 6.1 sampai 6.5 disajikan beberapa referensi yang menjadi dasar pertimbangan dalam
penetapan hirarki pelabuhan Aceh.
2. Pelabuhan
alih kapal
(transhipment)
nasional
Tabel 6. 2. Matrik Hirarki Pelabuhan Aceh Menurut Rqanun RTRW Aceh 2032
Penetapan
Jenis Hirarki
Layanan/Fungsi/Peran Visi Zona (Psl 19
Pelabuhan Pelabuhan
ay 4)
Pelabuhan Hub Port, Transhipment, Pintu Pusat (Psl 19 ay 5)
Utama Export and Import, Gerbang Pelabuhan Sabang
Container, General cargo Utama Pulau (Kota Sabang)
for International and Sumatera
National Services - Utara - Krueng Geukeuh
Timur
- Tenggara Singkil
Selatan
- Tenggara Surin & Susoh
Selatan
- Barat Meulaboh
- Pusat Malahayati
Pelabuhan Export and Import, - Utara - Kuala Langsa
Pengumpul Container, General Timur
cargo, liquid bulk and
dry bulk for
International and
National Services. And
Internasional ferry Port
Penetapan
Jenis Hirarki
Layanan/Fungsi/Peran Visi Zona (Psl 19
Pelabuhan Pelabuhan
ay 4)
Pelabuhan Export and Import, - Barat Calang
Pengumpan Container, General
Regional cargo, liquid bulk and
dry bulk for
International and
National services And
Domestic ferry Port
General cargo, liquid - Tenggara Sinabang
bulk for national Selatan
services - Tenggara Tapak Tuan
Selatan
- Utara - Idi
Timur
Pelabuhan - - -
Pengumpan
Lokal
Hirarki Pelabuhan/Terminal
No Kabupaten/Kota Pelabuhan/Terminal Ket
2011 2015 2020 2030
1 Aceh Barat Meulaboh PP PP PP PP *
2 Aceh Barat Daya Susoh PR PR PR PR *
3 Aceh Barat Daya Lhok Pawoh PL PL PL PL
4 Aceh Besar Malahayati PP PP PP PP *
5 Aceh Besar Meulingge PL PL PL PL
6 Aceh Jaya Calang PP PP PP PP *
7 Aceh Jaya Lhok Kruet PL PL PL PL
8 Aceh Selatan Tapak Tuan PR PR PR PR *
9 Aceh Selatan Sibadeh PL PL PL PL
10 Aceh Selatan Meukek PL PL PL PL
11 Aceh Singkil P. Banyak PL PL PL PL
12 Aceh Singkil P. Sarok PL PL PL PL
13 Aceh Singkil Singkil PP PP PP PP *
14 Aceh Singkil Gosong Telaga PL PL PL PL
15 Aceh Tamiang Seruway PL PL PL PL
16 Aceh Timur Idi PR PR PR PR *
17 Aceh Utara Lhokseumawe/Krueng PP PP PP PP *
Geukeuh
18 Bireuen Kuala Raja PL PL PL PL
19 Langsa Kuala Langsa PP PP PP PP *
20 Langsa Pusong PL PL PL PL
21 Pidie Sigli PL PL PL PL
22 Pidie Laweung PL PL PL PL
23 Sabang Sabang PU PU PU PU *
24 Banda Aceh Ulee Lheue PP PP PP PP
25 Simeuleu Sibigo PL PL PL PL
26 Simeuleu Sinabang PP PP PP PP *
Sumber: KP 414/2013
Penetapan Zona
Hirarki Pelabuhan
(Psl 19 ay 4) Wilayah Cakupan Layanan Nama Pelabuhan
Menurut KP 414/2013
Rqanun RTRW Aceh
Pusat Kota Banda Aceh, Aceh Besar dan Pelabuhan (PU) Pelabuhan Utama
Pidie Sabang
Pusat Malahayati (PP) Pelabuhan
pengumpul
Utara – Timur Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Krueng Geukeuh (PP) Pelabuhan
Aceh Tenggara, Kabupaten Pidie pengumpul
Utara – Timur Jaya, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Kuala Langsa (PP) Pelabuhan
Aceh Utara, Kabupaten Aceh Tengah, pengumpul
Utara – Timur Kabupaten Bener Meriah dan Kota Idi (PR) Pelabuhan
Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, Pengumpan Regional
Kabupaten Aceh Tamiang dan Kota
Langsa.
Tabel 6. 5. Matrik Hirarki Pelabuhan Berdasarkan Kajian MP3EI, TATRAWIL Aceh, SISLOGNAS, RIPNAS, Kapasitas Pelabuhan dan Kriteria Tata Ruang
Sistem
UU No 2
Hirarki Kota (PP
Penetapan Zona Tahun
Nama Pelabuhan Kapasitas RIPNAS (KP 26/2008
Rqanun RTRW Aceh MP3EI Tatrawil Aceh SISLOGNAS 2000
Pelabuhan Menurut RTRW Pelabuhan 414/2013) ttg
(Psl 19 ay 4) Ttg KP
Aceh RTRWN
PBPB
RI)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Pelabuhan Sabang/Pelabuha Pelabuhan 12 LWs | Pelabuhan
sabang Pusat Sabang Sabang Primer
Utama n Strategis Utama 15.000 DWT Utama
Lhokseumawe/Pel
Krueng Pelabuhan Pelabuhan 10 LWs | Pelabuhan
Utara - Timur abuhan - - Primer
Geukeuh Utama Utama 10.000 DWT Pengumpul
Strategis
Pelabuhan Pelabuhan 8 LWs | Pelabuhan
Singkil Tenggara Selatan - - - Tersier
Utama Utama 4000 DWT Pengumpul
Pelabuhan Pelabuhan
Pelabuhan 5 LWs |
Surin & Susoh Tenggara Selatan - Pengumpan - Pengumpan - Sekunder
Utama 3000 DWT
Regional Regional
Pelabuhan Pelabuhan 6 LWs | Pelabuhan
Meulaboh Barat - - - Sekunder
Utama Utama 3000 DWT Pengumpul
Malahayati Malahayati
sebagai sebagai
Pelabuhan Pelabuhan 9 LWs | Pelabuhan
Malahayati Pusat pelabuhan pelabuhan - Tersier
Utama Utama 17.000 DWT Pengumpul
primer/Strategi primer/Strate
s gis
Pelabuhan Pelabuhan Lhokseumawe/K 10 LWs | Pelabuhan
Kuala Langsa Utara - Timur - - Sekunder
Pengumpul Pengumpul rueng Geukeuh 10.000 DWT Pengumpul
Pelabuhan
Pelabuhan 4 LWs | 500 Pelabuhan
Calang Barat Pengumpan - - - Tersier
Pengumpul DWT Pengumpul
Regional
Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan
8 LWs |
Sinabang Tenggara Selatan Pengumpan - Pengumpan - Pengumpan - Tersier
4000 DWT
Regional Regional Regional
Pelabuhan Pelabuhan
Pelabuhan 11 LWs |
Tapak Tuan Tenggara Selatan Pengumpan - - Pengumpan - Tersier
Pengumpul 3000 DWT
Regional Regional
Pelabuhan Pelabuhan
Pelabuhan 4 LWs | 700
Idi Utara - Timur Pengumpan - - Pengumpan - Tersier
Pengumpan DWT
Regional Regional
Sumber: Tim Penyusun, 2013
Dengan mengacu pada beberapa referensi tabel di atas, data kondisi dan permasalahan prasarana
pelabuhan yang telah dijelaskan pada Bab IV, hasil analisa prediksi permintaan (demand) lalu-
lintas di tiap pelabuhan (bab 5), serta rumusan kebijakan dan strategi pengembangan yang
telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, maka dirumuskan Rencana Hierarki Pelabuhan Aceh,
seperti disajikan pada Tabel 6.6.
Pada tabel 6.6 dapat dilihat bahwa terdapat 10 (sepuluh) pelabuhan yang prioritas akan
dikembangkan di wilayah Aceh, terdiri dari:
Pelabuhan barang mempunyai dermaga yang dilengkapi dengan fasilitas bongkar-muat barang.
Pada dasarnya pelabuhan barang harus mempunyai perlengkapan-perlengkapan berikut ini:
a. Dermaga harus panjang dan harus dapat menampung seluruh panjang kapal atau setidak-
tidaknya 80% dari panjang kapal. Hal ini disebabkan karena muatan dibongkar muat melalui
bagian muka, belakang dan tengah kapal.
b. Mempunyai halaman dermaga yang cukup lebar untuk keperluan bongkar muat barang. Barang
yang akan dimuat disiapkan diatas dermaga dan kemudian diangkat dengan crane masuk kapal.
Demikian pula pembongkarannya dilakukan dengan crane dan barang diletakkan diatas dermaga
yang kemudian diangkat ke gudang.
d. Tersedia jalan dan halaman untuk pengambilan/pemasukan barang dari dan ke gudang serta
mempunyai fasilitas untuk reparasi
a. Barang-barang potongan (Multi Purpose) yaitu, barang-barang yang dikirim dalam bentuk
satuan seperti mobil, truk, mesin, dan barang-barang yang dibungkus dalam peti, karung,
drum dan sebagainya.
b. Muatan curah/lepas (Bulk Multi Purpose) yang dimuat tanpa pembungkus seperti batu-bara,
biji-bijian, minyak dan sebagainya.
c. Peti kemas (container), yaitu suatu peti yag ukurannya telah distandarisasi sebagai
pembungkus barang-barang yang dikirim. Karena ukurannya teratur dan sama maka
penempatannya akan lebuh dapat diatur dan penganngkutannya dapat dilakukan dengan alat
tersendiri yang lebih efisien.
Usulan tahapan pengembangan pelabuhan pada studi ini direncanakan sebagai berikut :
Bongkar muat dari darat ke kapal dilakukan dengan bantuan alat bantu darat atau alat bantu
yang melekat pada kapal, pelayanan muatan dalam satu tahun pada tahun 2015 dihitung satu
hari bekerja 12 jam, Berth Occupancy Ratio (BOR) sebesar 40%, selanjutnya kenaikan kinerja
operasional diasumsikan sebesar 2.5% pertahun. Jumlah efektif hari kerja dalam satu tahun
dihitung selama 6 hari kerja perminggu sehingga total setahun adalah 312 hari kerja.
Pengembangan Pelabuhan Aceh dilaksanakan secara bertahap dari tahun 2015 sampai dengan tahun
2035 didasarkan pada perkembangan arus muatan barang. Untuk perhitungan kebutuhan dermaga
barang digunakan asumsi dan rumus berikut:
a. Jumlah efektif hari kerja dalam satu tahun => 312 hari
d. Produktifitas gang per jam diambil untuk rata-rata adalah 323 ton/gang
= Jumlah efektif kerja dalam satu hari x produktifitas gang per jam
Dimana 1 TEU’s = 1 Kontainer dengan daya angkut 10,5 ton. Jumlah crane per hari tahun
2015, dihitung berdasarkan = (jumlah efektif kerja dalam satu hari) x (produktifitas
crane per jam)
g. Jumlah gang per hari, dihitung berdasarkan = Bongkar muat barang per tahun/jumlah efektif
hari kerja dalam satu tahun/produktifitas gang per hari.
h. Jumlah crane per hari, dihitung berdasarkan: = Bongkar muat contanier per tahun/jumlah
efektif hari kerja dalam satu tahun/produktifitas crane per hari
Sesuai dengan Standar kinerja Utilisasi DEPHUB – Dirjen Perhubungan Laut tahun 1999,
disebutkan bahwa jumlah gang yang melayani kapal = panjang kapal dibagi 50 meter, dengan
rumusan tersebut dapat ditarik kesimpulan:
k. Jumlah kapal cargo per hari = (panjang kapal cargo/ 137) x BOR
l. Jumlah kapal kontainer per hari = (panjang kapal kontainer/ 137) x BOR
m. Kebutuhan panjang dermaga Multi Purpose dan peti kemas dihitung berdasarkan asumsi jenis
kapal yang akan masuk dalam perairan tersebut berbobot 10.000 DWT dalam hal ini Loa =
137 m, beam = 19,9 m, draft = 8,5m.
Lapangan penumpukan peti kemas harus memiliki luasan yang cukup untuk menampung peti kemas
yang datang maupun yang akan diangkut. Letak lapangan ini sebaiknya dekat dengan dermaga
untuk mengurangi perjalanan dari traktor-trailer. Untuk menghitung kebutuhan luas Container
Park Area (CPA) adalah sebagai berikut :
Luas area penumpukan dihitung dengan pendekatan sebagai berikut: {Bongkar muat pertahun x
prosentase penumpukan di area terbuka x waktu tinggal x kebutuhan ruang x 1.25 x ( 1 +
faktor keamanan)}/ jumlah hari kalender pertahun x rata rata tinggi tumpukan) dimana 1,25
adalah faktor perhitungan pada waktu sibuk
Adalah gudang untuk memuat barang ke container dan juga membongkar barang dari container
gudang. Untuk menghitung Container Freight Station Area (CFSA) adalah sebagai berikut :
Dimana :
Prosentase banyaknya container melalui CFS adalah 25% dan yang langsung dan menuju CPA adalah
75%.
Peralatan bantu angkat yang diperlukan untuk penanganan bongkar muat di pelabuhan disesuaikan
dengan jenis barang atau kemasan yang akan dipindahkan. Pada terminal cargo/multi purpose
diperlukan peralatan-peralatan: mobile crane, forlift, head truk dan trailer. Perhitungan
kebutuhan peralatan bantu angkat dihitung berdasarkan Bongkar Muat Barang
UNCTAD 1987 merekomendasikan jumlah peralatan yang dibutuhkan untuk 10 gang termasuk kegiatan
di dalam gudang dan faktor pemeliharaan adalah sebagai berikut:
Perhitungan untuk kebutuhan area parkir untuk truk adalah sebagai berikut :
Dengan mengacu pada asumsi dan metode perhitungan di atas, maka dapat dihitung kebutuhan
pengembangan fasiitas dan peralatan pada 10 (sepuluh) pelabuhan yang dikaji, seperti
disajikan pada tabel 6.7 sampai 6.16.
Tabel 6. 8. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Sabang Th. 2015 - 2035
Kebutuhan Tahun
No Jenis Fasilitas & Alat Satuan
2015 2020 2025 2030 2035
1 Panjang dermaga meter 339 339 339 339 339
2 Gudang Cargo m2 197 206 219 243 267
3 Lapangan Penumpukan m2 1,531 1,600 1,701 1,890 2,074
4 Luas lahan parkir truk m2 730 751 781 837 892
5 Container yard CY m2 500 600 700 800 900
6 Container Freight
500 500 600 700 800
Station CFS m2
7 REACSTACKER. 45 ton unit 0 0 0 0 0
8 MOBIL CRANE 60 ton unit 0 0 0 0 0
9 MOBIL CRANE 45 ton unit 1 1 1 1 1
10 MOBIL CRANE 25 ton unit 1 1 1 1 1
11 FORKLIFT Manitou. 7.5 1 1 1 1 1
ton unit
12 FORKLIFT. 5 ton unit 0 0 0 0 0
13 FORKLIFT. 3 ton unit 1 1 1 1 1
14 Trailer unit 1 1 1 1 1
15 Ro-ro unit 0 0 0 0 0
Sumber: Tim Penyusun, 2013
Tabel 6. 10. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Krueng Geukuh Th. 2015-2035
6 Container Freight
1,900 2,000 2,200 2,400 2,600
Station CFS m2
16 Trailer unit 3 2 2 2 2
17 Ro-ro unit 2 2 2 2 1
Tabel 6. 11. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Meulaboh Th. 2015-2035
Tabel 6. 12. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Singkil Th. 2015-2035
Tabel 6. 13. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Susoh Th. 2015-2035
Tabel 6. 14. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Kuala Langsa Th. 2015-2035
Tabel 6. 15. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Calang Th. 2015-2035
Tabel 6. 16. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Tapak Tuan Th. 2015-2035
Kebutuhan Tahun
No Jenis Fasilitas & Alat Satuan
2015 2020 2025 2030 2035
1 Panjang dermaga meter 187 187 187 187 187
2 Gudang Cargo m2 10 11 12 13 14
3 Lapangan Penumpukan m2 103 107 114 126 138
4 Luas lahan parkir truk m2 129 131 132 136 139
5 REACSTACKER 45 ton unit 0 0 0 0 0
6 MOBIL CRANE 60 ton unit 0 0 0 0 0
7 MOBIL CRANE 45 ton unit 0 0 0 0 0
8 MOBILE CRANE 10 ton unit 1 1 1 1 1
9 FORKLIFT Manitou. 7.5 0 0 0 0 0
ton unit
10 FORKLIFT. 5 ton unit 0 0 0 0 0
11 FORKLIFT. 3 ton unit 1 1 1 1 1
12 Trailer unit 0 0 0 0 0
13 Ro-ro unit 0 0 0 0 0
Tabel 6. 17. Kebutuhan Fasilitas dan Peralatan di Pelabuhan Sinabang Th. 2015-2035
Kebutuhan Tahun
No Jenis Fasilitas & Alat Satuan
2015 2020 2025 2030 2035
1 Panjang dermaga meter 187 187 187 187 187
2 Gudang Cargo m2 1,062 1,063 1,091 1,148 1,210
3 Lapangan Penumpukan m2 10,454 10,464 10,737 11,303 11,911
4 Luas lahan parkir truk m2 3,253 3,256 3,334 3,495 3,668
5 REACSTACKER 45 ton unit 0 0 0 0 0
6 MOBIL CRANE 60 ton unit 0 0 0 0 0
7 MOBIL CRANE 45 ton unit 1 1 1 1 1
8 MOBILE CRANE 10 ton unit 1 1 1 1 1
Kebutuhan Tahun
No Jenis Fasilitas & Alat Satuan
2015 2020 2025 2030 2035
9 FORKLIFT Manitou. 7.5 1 1 1 1 1
ton unit
10 FORKLIFT. 5 ton unit 0 0 0 0 0
11 FORKLIFT. 3 ton unit 1 1 1 1 1
12 Trailer unit 1 1 1 1 1
13 Ro-ro unit 0 0 0 0 0
A. Ketentuan Umum
1. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan,
kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.
2. Rute adalah trayek atau lintasan pelayanan angkutan dari satu pelabuhan ke pelabuhan
lainnya.
3. Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat adalah usaha rakyat yang bersifat tradisional dan mempunyai
karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan dengan menggunakan kapal
layar, kapal layar bermotor, dan/atau kapal motor sederhana berbendera Indonesia dengan
ukuran tertentu,
4. Pelayaran-Perintis adalah pelayanan angkutan di perairan pada trayek-trayek yang
ditetapkan oleh Pemerintah untuk melayani daerah atau wilayah yang belum atau tidak
terlayani oleh angkutan perairan karena belum memberikan manfaat komersial,
5. Alur-Pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar, dan bebas hambatan
pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari.
Dengan mengacu pada kebijakan dan strategi pengembangan dan ketentuan umum di atas, serta
data kondisi dan permasalahan rute pelayaran yang telah dijelaskan pada Bab IV, maka
dirumuskan rencana induk pengembangan Rute Pelayaran di Pelabuhan wilayah Aceh, seperti
disajikan pada Tabel 6.17.
Tabel 6. 18. Rencana Induk Rute Pelayaran Di Pelabuhan Wilayah Aceh Th. 2015 - 2035
Dengan mengacu pada tabel 6.17, maka pada gambar 6.1 disajilan Rencana Induk Pelabuhan dan
Rute Pelayaran di Wilayah Aceh.
A. Ketentuan Umum
1. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga
angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang
berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan
terapung yang tidak berpindah-pindah..
2. Kelaiklautan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal,
pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan,
kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen
keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal untuk
berlayar di perairan tertentu.
3. Keselamatan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi,
bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan
termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan
sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
4. Badan Klasifikasi adalah lembaga klasifikasi kapal yang melakukan pengaturan kekuatan
konstruksi dan permesinan kapal, jaminan mutu material marine, pengawasan pembangunan,
pemeliharaan, dan perombakan kapal sesuai dengan peraturan klasifikasi.
3. Kapal Negara adalah kapal milik negara digunakan oleh instansi Pemerintah tertentu yang
diberi fungsi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
menegakkan hukum serta tugas-tugas Pemerintah lainnya.
4. Kapal Asing adalah kapal yang berbendera selain bendera Indonesia dan tidak dicatat dalam
daftar kapal Indonesia.
5. Awak Kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh pemilik atau
operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum
dalam buku sijil.
6. Nakhoda adalah salah seorang dari Awak Kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal
dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
8. Kenavigasian adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran,
Telekomunikasi-Pelayaran, hidrografi dan meteorologi, alur dan perlintasan, pengerukan
dan reklamasi, pemanduan, penanganan kerangka kapal, salvage dan pekerjaan bawah air
untuk kepentingan keselamatan pelayaran kapal.
9. Navigasi adalah proses mengarahkan gerak kapal dari satu titik ke titik yang lain dengan
aman dan lancar serta untuk menghindari bahaya dan/atau rintanganpelayaran.
10. Alur-Pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar, dan bebas hambatan
pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari.
11. Salvage adalah pekerjaan untuk memberikan pertolongan terhadap kapal dan/atau muatannya
yang mengalami kecelakaan kapal atau dalam keadaan bahaya di perairan termasuk mengangkat
kerangka kapal atau rintangan bawah air atau benda lainnya.
1. Memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang secara massal melalui perairan dengan
selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman, dan berdaya guna, dengan biaya
yang terjangkau oleh daya beli masyarakat;
3. Mengembangkan kemampuan armada angkutan nasional yang tangguh di perairan serta didukung
industri perkapalan yang andal sehingga mampu memenuhi kebutuhan angkutan, baik di dalam
negeri maupun dari dan ke luar negeri;
d. Mengembangkan usaha jasa angkutan di perairan nasional yang andal dan berdaya saing serta
didukung kemudahan memperoleh pendanaan, keringanan perpajakan, dan industri perkapalan
yang tangguh sehingga mampu mandiri dan bersaing;
e. Mewujudkan sumber daya manusia yang berjiwa bahari, profesional, dan mampu mengikuti
perkembangan kebutuhan penyelenggaraan pelayaran; dan
1. Untuk melayani permintaan lalu-lintas barang pada rute utama sistem koridor, dilayani
oleh:
a. Kapal Besar /PELNI (sekaligus pengangkut penumpang) dengan jadwal tetap (reguler)
minimal dua kali seminggu.
a. Kapal Besar Perintis/ PELNI (sekaligus pengangkut penumpang) dengan jadwal tetap
(reguler) minimal sekali seminggu.
3. Pengembangan Sarana Armada Kapal Laut di masa mendatang secara umum diarahkan untuk lebih
meningkatkan keamanan, kenyamanan, kecepatan, dan efisiensi biaya operasi kapal.
Dengan mengacu pada rencana induk yang telah dijelaskan sebelumnya, selanjutnya dirumuskan
indikasi program pengembangan pelabuhan Aceh, yang secara rinci disajikan pada Tabel 6.18
sampai 6.27.
Tabel 6. 21. Indikasi Program Pengembangan Pelabuhan Krueng Geukuh Th. 2015-2035
Tabel 6. 25. Indikasi Program Pengembangan Pelabuhan Kuala Langsa Th. 2015-2035
Tabel 6. 27. Indikasi Program Pengembangan Pelabuhan Tapak Tuan Th. 2015-2035
Disamping usulan program fisik yang tercantum pada tabel-tabel di atas, guna mendukung rencana
pengembangan pelabuhan Aceh diusulkan juga program pendukung (non-fisik) sebagai berikut:
3. Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) Dalam Pengembangan Prasarana Pelabuhan, Rute Pelayaran
dan Sarana Armada Kapal. Program KPS diperlukan dalam rangka mempercepat proses
pembangunan di bidang perhubungan laut, terkait dengan keterbatasan anggaran pembangunan
yang tersedia. Dalam hal ini perlu dikaji dan dievaluasi kegiatan (proyek) yang pantas
untuk dikerjasamakan dengan pihak Swasta dengan prinsip saling menguntungkan.
5. Integrasi Jaringan Transportasi Laut Dengan Moda Transportasi Lainnya, khususnya jaringan
jalan dan ASDP. Perlu diusulkan kepada Pemerintah Aceh c.q. Dinas PU Bina Marga untuk
meningkatkan kondisi ruas jalan yang ada, agar lalu-lintas komoditas utama dari sentra-
sentra produksi dapat dengan mudah mencapai Pelabuhan terdekat yang ada di wilayah Aceh.
Untuk itu diusulkan program peningkatan dan pembangunan jalan meliputi:
b. Peningkatan kondisi jalan Lintas Tengah dan pembangunan segmen-segmen ruas jalan
lintas Tenga yang masih terputus antara Geumpang-Pameu-Takengon.
c. Peningkatan kondisi jalan penghubung antara jalan Lintas Barat, Lintas Tengah dan
Timur, mencakup ruas-ruas jalan:
· Takengon-Bireun
· Meulaboh-Tutut-Geumpang
· Keumala-Sigli
· Blangkejeren-Lokop-Peunaron-Peureulak
CV PROFESTAMA PLAN
Engineering and Planning Consultant
Jalan Tanah Tinggi No. 7 Keuramat
Banda Aceh 23123, Telp (0651) 21622
Email: profestama7@yahoo.co.id, luthfi1965@yahoo.co.id, tiar.poerba@gmail.com