Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah

apendistis adalah salah satu kasus bedah abdomen yang paling

sering terjadi didunia. kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing.

Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus

memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang

terinfeksi Adapun ini terjadi pada kelainan nontraumatik yang timbul

mendadak dengan gejala utama dan memerlukan tindakan bedah segera

mungkin. Salah satu dari situasi ini adalah apendisitis [ CITATION Mit15 \l

1057 ].

Apabila apendisitis akut tidak segera ditatalaksana maka akan

menimbulkan komplikasi yang membahayakan yaitu perforasi apendiks

yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses (Papandria dkk,

2016).

Berdasarkan penelitian Papandria pada tahun 2013 sebanyak

683.590 pasien yang menderita apendisitis, 30,3% mengalami perforasi.

Tindakan penatalaksanaan yang paling tepat pada kasus apendisitis

adalah apendektomi. Sekitar 30.000 orang menjalani apendektomi setiap

tahun di Amerika Serikat (R,David, 2015).

Angka kejadian apendisitis didunia menurut WHO (World Health

Organization) insiden apendiks didunia tahun 2014 mencapai 7% dari

keseluruhan jumlah penduduk dunia. Di amerika serikat , lebih dari

250.000 appendectomy dikerjakan tiap tahun, sedangkan insiden

dinegara berkembang seperti jarang pada kelompok sosial ekonomi

1
rendah akan tetapi cenderung meningkat oleh karena pola diit mengikutu

orang barat [ CITATION Mit15 \l 1057 ].

Angkan kejadian appendicitis didunia mencapai 321 juta kasus

tiap tahunnya. Statistik menunjukan bahwa setiap tahun apendisitis

menyerang 10juta penduduk indonesia. Morbiditas angka apendisitis

diindonesia mencapai 95 per 1000 penduduk dan angka ini merupakan

tertinggi diantara negara-negara di Assosiation South East Asia Nation

(ASEAN) (Setyaningrum, 2015).

Berdasarkan data yang dirilis Departemen Kesehatan RI Pada

tahun 2013 jumlah penderita appendicitis di indonesia mencapai 591.819

orang dan meningkat pada tahun 2014 sebesar 596.132 0rang dengan

presentasi 3,36% dan meningkat pada tahun 2015 menjadi 612.435

orang dengan presentasi 3,53%. Tahun 2009, tercatat 2.159 orang

dijakarta yang dirawat di rumah sakit aibat appendicitis (Ummualya,2016).

Melihat data tersebut dan kenyataan bahwa masih banyak kasus

appendicitis yang tidak dilaporkan, Depertemen Kesehatan menganggap

apendicitis merupakan isu prioritas kesehatan ditingkat lokal dan nasional

karena mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat (Depkes

RI,2015).

Data dinas kesehatan provinsi kalimantan selatan jumlah pasien

apendisitis d kalimantan selatan pada tahun 2016 ialah 4.687 pasien dan

tahun 2017 ialah 4.971 pasien.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh

mahasiswa di ruang kumala RSUS dr. H. Moch. Ansari saleh banjarmasin

di dapatkan data 10 penyakit terbanyak di Ruang kumala dan Rawat inap

pada tahun 2017,2018 dn 2019. Data tersebut dapat dilihat pada table

2
berikut. Di dapatkan data dari rekam medis Rsud Ansari Saleh

Banjarmasin pada 3 tahun terakhir,Yaitu data Di Rawat inap dan DI ruang

Kumala :

Table 1.1 Distribusi 10 penyakit terbanyak di Rawat Inap tahun 2017

No Nama penyakit Jumlah


1 Cerebral infaction, unspecified 834
2 Diare 667
3 Tuberculosis of lung, without mention of bacteriologic or Histological 410
4 Pneumonia 383
5 Intracerebral haemorrahage, unspecified 321
6 Diabetes mellitus Non-dependen insulin tanpa komplikasu 279
7 Demam berdarah dengue (DHF) 278
8 Asma b / Asthma 262
9 Chf / Congestive heart failure 260
10 Bacterial sepsis of newborn, unspecified 256
Jumlah 3.848

Berdasarkan data pada tahun 2017 di Rawat inap penyakit yang

tertinggi ialah , cerebral infaction, unspecified dengan jumlah penderita

sebanyak 834 pasien dari jumlah 10 penyakit terbanyak di rawat inap

ialah 3.848 pasien.

Table 1.2 Distribusi 10 penyakit terbanyak di Rawat Inap tahun 2018

No Nama penyakit Jumlah


1 Cerebral infaction, unspecified 912
2 Demam berdarah dengue (DHF) 718
3 Diare 578
4 Tubercolosis Of Lung, Without Of Bacteriological Or Histological 408
5 Intracerebral haemorrhage, unspecified 360
6 Pneumonia 347
7 Diabetes mellitus Non-dependen Insulin tanpa komplikasi 319
8 Severe pre-eclampsia 281
9 Chf / Congestive Heart Failure 260
10 Typhoid Fever / Demam Thypoid 252
jumlah 4.735

Berdasarkan data pada tahun 2018 di Rawat inap penyakit

tertinggi ialah, cerebral infaction,unspecified dengan jumlah penderita

3
sebanyak 912 mengalami kenaikan dan dari jumlah 10 penyakit

terbanyak di rawat inap ialah, 4.735 pasien.

Table 1.3 Distribusi 10 penyakit terbanyak di Rawat Inap tahun 2019

No Nama penyakit Jumlah


1 Cerebral infaction, unspecified 559
2 Diare 505
3 Demam berdarah dengue (DHF) 493
4 Tuberculosis Of Lung, Without Mention Of Bacteriologi Of 400
Histological
5 Pneumonia 392
6 Severe pre-eclampsia 344
7 Other low birth weight 296
8 Chf / Congestive Heart Failure 278
9 Demam dengue (dengue klasik) 275
10 SNH 259
Jumlah 3.801
Sumber : Rekam Medis RS. Ansari Saleh Banjarmasin

Dari data diatas diketahui bahwa penyakit tertinggi cerebral

infaction,unspecified dengan jumlah 559 pasien mengalami penurunan

pada tahun 2019 dan jumlah 10 penyakit terbanyak dirawat inap ialah,

3.801 pasien.

Table 2.1 Distribusi 10 penyakit terbanyak diruang Kumala tahun 2017

No Nama penyakit Jumlah


1 Unilateral or unspecified inguinal hernia, without 148
2 Follow up care involving removal of fracture plate and other internal 105
fixation device
3 Neoplasma jinak payudara 99
4 Appendicitis 67
5 Other specified sites 66
6 Unilateral or unspecified inguinal, with ob 40
7 Appendicitis percurasi 39
8 Struma nodosa / nontoxic goitre, unspecified 38
9 Colic abdomen / other and unspecified abdominal pain 35
10 Ckr / consussion 26
Jumlah 663

Dari data diatas diketahui bahwa pada tahun 2017 klien dengan

apendicitis termasuk kategori 10 penyakit terbanyak menempati urutan ke

4 dengan jumlah 67 kasus dan dari jumlah 10 penyakit terbanyak di

Ruang kumala ialah, 663 pasien.

Table 2.2 Distribusi 10 penyakit terbanyak diruang Kumala tahun 2018

4
No Nama penyakit Jumlah
1 Unilateral or unspecified inguinal hernia,without 158
2 Other specified sites 99
3 Follow-up care removal Of Fracture plate and other internal fixation 96
device
4 Unilateral or unspecified inguinal hernia, without 158
5 Neoplasma jinak payudara 68
6 Appendicitis 52
7 Chf / congestive heart failure 43
8 Chronical tonsillitis 42
9 Ckr / concussion 39
10 Acute transmural myocardial infarction of other si 37
Jumlah 792

Dari data diatas diketahui bahwa pada tahun 2018 penyakit

appendicitis menempati urutan ke 6 dengan jumlah 52 kasus dan dari

jumlah 10 penyakit terbanyak di Ruang kumala ialah, 792 pasien.

Table 2.3 Distribusi 10 penyakit terbanyak diruang Kumala tahun 2019

No Nama penyakit Jumlah


1 Ckr / concussion 43
2 Unilateral or unspecified inguinal hernia, without 33
3 Appendicitis 22
4 Follow-up care involving removal of fracture plate and other internal 22
fixation device
5 Cleat palate, unspecified, unilateral 21
6 Other specified sites 19
7 Unilateral or unspecified inguinal hernia, with ob 14
8 Appendicitis percurasi 14
9 Burns of multiple regions, no more than second-deg 14
10 Neoplasma jinak payudara 12
214
Sumber : Rekam Medis RS.Ansari Saleh Banjarmasin

Dari data diatas diketahui bahwa pada tahun 2019 di peringkat ke

4 dengan jumlah kasus sebanyak 67 kasus dan dari jumlah 10 penyakit

terbanyak di Ruang kumala ialah, 214 pasien.

Masalah utama yang harus dihadapi setelah Post op Appendicitis

yaitu penyembuhan luka. Luka operasi adalah luka akut yang dibuat

oleh ahli bedah yang bertujuan untuk terapi atau rekonstruksi. Perawatan

luka yang tepat adalah salah satu factor eksternal yang sangat

mendukung dan berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka.

Penerapan teknik perawatan luka yang tepat tersebut dilakukan baik pada

5
saat pasien masih berada diruang operasi maupun setelah pasien

dipindahkan atau dirawat dibangsal perawatan.(potter & perry,2015)

Jika perawatan luka post operasi tersebut tidak dilakukan dengan

baik maka pasien berisiko tinggi terkena infeksi. Infeksi adalah proses

invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi didalam tubuh yang

menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2015).

Infeksi luka post operasi merupakan infeksi nasokomial kedua

terbanyak dirumah sakit yang dapat disebabkan oleh stapylococus

aerues, eucheruceacoli, precus vulgaris, aerobacter, aerogenes,

seudomonas eruginosa dan organisme lainnya. Infeksi luk pasca operasi

bisa terjadi 1-2 hari setelah pasca operasi ditandai dengan antara lain:

kemerahan(rubor), bengkak(tumor), nyeri(dolor), dan demam(color).

(Mayo J Morison 2013).

Perawatan luka post operasi yang tepat dapat mencegah

terjadinya infeksi silang dan dapat mempercepat proses penyembuhan

luka, dengan demikian hari rawat perlu diperhatikan untuk meminimalkan

kejadian infeksi, kasa penutup luka harus diganti lebih awal jika basah,

karena kasa basah meningkatkan kemungkinan kontaminasi bakteri pada

luka operasi (Sjamsuhidayat dan Jong, 2013).

Berdasarkan hasil kasus yang ada diatas, maka mahasiswa

merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai ‘Penatalaksanaan

perawatan luka Dalam Asuhan Keperawatan pada pasien Post Op

Appendicitis Di ruang Kumala (Bedah Umum) RSUD dr. H. Moch. Ansari

Saleh Banjarmasin”.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian diatas, dapat dibuat rumusan masalah

sebagai berikut : “Penatalaksanaan perawatan luka Dalam Asuhan

6
Keperawatan pada pasien Post Op Appendicitis Di ruang Kumala (Bedah

Umum) RSUD dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin”.

C. Tujuan Studi Kasus

1. Tujuan umum

Mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien

appendicitis diruang Kumala RSUD dr. H. Moch Ansari Saleh

Banjarmasin.

2. Tujuan khusus

a. Mampu melakukan pengkajian pada klien Appendicitis Di ruang

Kumala (Bedah Umum) RSUD dr. H. Moch. Ansari Saleh

Banjarmasin

b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien

Appendicitis Di ruang Kumala (Bedah Umum) RSUD dr. H. Moch.

Ansari Saleh Banjarmasin.

c. Mampu menentukan intervensi keperawatan pada klien

Appendicitis Di ruang Kumala (Bedah Umum) RSUD dr. H. Moch.

Ansari Saleh Banjarmasin

d. Mampu melaksanakan implementasi keperawatan pada klien

Appendicitis Di ruang Kumala (Bedah Umum) RSUD dr. H. Moch.

Ansari Saleh Banjarmasin.

e. Mampu melakukan evaluasi tindakan keperawatan pada klien

Appendicitis Di ruang Kumala (Bedah Umum) RSUD dr. H. Moch.

Ansari Saleh Banjarmasin

7
f. Mampu melakukan pendekomentasian pada klien Appendicitis Di

ruang Kumala (Bedah Umum) RSUD dr. H. Moch. Ansari Saleh

Banjarmasin.

D. Manfaat Studi Kasus

1. Bagi Masyarakat

Dapat memberikan meningkatkan pengetahuan masyarakat delam

pemenuhan penyembuhan luka dan mengetahui bagaimana

perawatan luka.

2. Bagi penulis

Sebagai pengembangan kemampuan peneliti dalam

melaksanakan asuhan keperawatan dan menambah wawasan ilmu

pengetahuan bagi peneliti dalam penerapan asuhan keperawatan

pada pasien appedicitis dalam pemenuhan perawatan luka.

3. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Dapat dengan mudah menambah keluasan ilmu pengetahuan dan

teknologi keperawatan dalam meningkatkan kemandirian pasien

dalam perawatan luka appendicitis.

4. Bagi pasien

Dapat memberikan pengetahuan yang lebih kepada pasien

tentang perawatan lukayang benar pada pasien appendicitis.

5. Bagi institusi

Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya yang


berkaitan dengan pengetahuan pada pasien appendicitis dengan
keperawatan luka dan sebagai bahan bacaan diperpustakaan.

8
.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep medis Apendisitis

1. Pengertian

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu

atau umbai cacing (apendiks). usus buntu sebenarnya adalah sekum

(cecum). Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga

memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang

umumnya berbahaya (Nurarif dan Kusuma,2015: 216).

Apendisitis merupakan penyebab yang paling umum dari

imflamasi akut kuadran kanan dan bawah abdomen dan penyebab

yang paling umum dari pembedahan abdomen darurat. Pria lebih

banyak terkena daripada wanita, remaja lebih banyak dari orang

dewasa; insiden tertinggi adalah mereka yang berusia10 sampai 30

tahun ( Baughman dan Hackley,2016: 279).

Jadi, Apendisitis adalah peradangan atau inflamasi pada apendiks

yang dapat terjadi tanpa sebab yang jelas dan merupakan penyebab

paling umum untuk dilakukannya bedah abdomen.

9
Gambar 2.1 Usus besar .(1) kolon transversum (2) kolon asenden (3) kolon desenden
(4) kolon signoid (5) sekum (6) rektum (7) usus buntu
Sumber : indonesia Children, 2016

2. Etiologi

Obstruks pada lumen merupakan etiologi paling sering pada

apendisitis akut. Fecalith (faex = tinja, lithos = batu) merupakan

penyebab paling umum obstruksi apendiks. penyebab yang paling

jarang adalah pembesaran dari jaringan limfoid, penggumpalan

barium dalam pemeriksaan x-ray, tumor, sayur-sayuran dan bijibijian

dari buah, dan parasit dari usus halus. Frekuensi obstruksi meningkat

seiring dengan tingkat keparahan proses inflamasi. Fecalith

ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut, pada 65% kasus

apendisitis gangren tanpa adanya ruptur apendiks (Barger, 2015).

10
Gambar 2.2 appendiks Vermiformis
Sumber : Gastrointestinal System In : Sandler TW. Langman’s Medical
Embryology

Menurut Nuzulul (2013) Apendisitis belum ada penyebab yang

pasti atau yang spesifik tetapi ada faktor predisposisi yaitu :

1. Faktor yang sering terjadi adalah obstruksi lumen. Pada

umumnya obstruksi ini terjadi di :

a. Hiperpalasi dari folikel limfoid

b. Adanya fekolit dalam lumen apendiks

c. Adanya benda asing seperti biji-bijian

d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan

sebelumnya

2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E.coli %

Streptococcus.

3. Tergatung pada bentuk apendiks

a. Apendiks yang terlalu panjang

b. Masa apendiks yang pendek

c. Penonjolan jaringan limfoid pada lumen apendiks

d. Kelainan katup di pangkal apendiks

11
Obstruksi pada bagian apendiks menyebabkan tertutupnya kedua

ujung segemn usus (close-loop-obstruction), dan sekresi pada

mukosa apendiks yang normalnya terus menerus menyebabkan

distensi pada apendiks. kapasitas lumen dar apendiks normalnya

hanya 0,1 ml. Sekresi cairan pada distal apendiks yang melebihi

kapasitas menyebabkan peningkatan didalam lumen apendiks.

distensi dari apendiks akan menstimulasi serabut saraf aferen viseral

yang meyebabkan rasa sakit yang tumpul, distensi terjadi secara tiba

– tiba juga menstimulasi terjadinya peristaltik sehingga pada

beberapa nyeri voiseral pada apendiks didahului oleh kram perut.

Sekresi mukosa berlanut pda perkembangan bakteri dalam apendiks

semakin meningkat distensi. Distensi pada tingkat ini dapat

menyebabkan mual, muntah dan nyeri viseral yang berat.

Tekanan pada organ yang semakin meningkat melebihi tekanan

pada vena menyebabkan kapiler dan pembuluh darah venule

tersumbat tetapi aliran darah arteriole menyebabkan pembesaran dan

kongesti vascular. Proses inflamasi kemudian melibatkan bagian

serosa pada apendiks dan kemudian ke arah paritoneum pariental

dimna dihasilkan karakteristik nyeri yang berpindah ke kuadran kanan

bawah. Mukosa saluran cerna termasuk apendiks rentan terhadap

gangguan pada aliran darah oleh sebab itu integritas mukosa

apendiks menjadi terganggu. Dengan distensi yang berlanjut, invasi

bakteri, aliran darah yang tidak adekuat, progresi dari nekrosisi

jaringan dapat menyebabkan munculnya perforasi. Perforasi biasanya

muncul disisi luar obstruksi dari pda ujung karena afek tekanan

infraluminal pada dinding yang paling tipis ( Berger, 2015 ).

12
Gambar 2.3 Variasi dalam posisi apendiks vermodormis
Sumber : Color Atlas Of Human Anatomy Internal organ

3. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen

apendiks oleh hiperplasia folokel limfoid, fekalit, benda asing,

striktutur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau

neoplasma. Obstruksi tersebut mengalami bendungan. Makin lama

mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks

mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan

tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan

menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis

bakteri, ulserasi mukosa. Pada saat inilah akan terjadi apendisitis akut

fokal yang ditandai oleh nyeri apegastrium. Apabila sekresi mukosa

terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal ini akan

menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan

menebus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai

peritonium setempat dengan apendisitis supuraktif akut. Apabila

kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks

yang diikuti dengan gengre. Stadium disebut dengan apendisitis

13
gangrenosa. Bila dinding yang rapuh itu pecah, akan terjadi

apendisitis perforasi. Bila proses di atas berjalan dengan lambat,

omentum dan usus yang berdekatan akan bergerakan ke arah

apendiks hingga akan timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat

apendikularis. Oleh karena itu tindakan yang paling tepat adalah

apendiktomy. Jika tidak maka akan dilakukan tindakan segera

mungkin maka peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses

atau menghilang (Mansjoer,2015).

Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat

terlipat atau tersumbat dengan kemungkinan oleh fekolit (massa keras

dari faeces) atau akibat benda asing. Proses inflamasi atas atau

menyebar hebat secara progresif, abdomen. Akhirnya apendiks yang

terinflamasi berisi pus (Munir ,2014).

Pathway Appendicitis

Apendiks

Hiperplasi folikel Benda asing Erosi mukosa Fekalit Striktur


Tumor
Limfoid apendiks

Obstruksi

Mukosa terbendung

14
Apendiks tergenang

Tekanan intraluminal Nyeri

Aliran darah terganggu

Ulserasi dan invasi bakteri


Pada dinding apendiks

Apendiks

Ke pritonium trombosit pd vena intramural

Peritonitis pembengkakakn dan iskemia

Perforasi

Cemas
Cemas Pembedahan operasi

Luka insisi PK Pendarahan

Defisit
Defisitself
Self Nyeri
Nyeri Jalan masuk kuman

Sumber (Mansjoer,2015 Resiko infeksi

4. Klasifikasi

Menurut nurarif dan kusuma (2015), apendisitis dikalsifikasikan

menjadi 3 yaitu

1. Apendisitis akut

Apendisitis akut merupakan infeksi yang disebabkan oleh

bakteria, dan factor pencetusnya disebabkan oleh sumbatan

lumen apendiks. selain itu hyperplasia jaringan limf, fikalit

(tinja/batu), tumor apendiks dan cacing askaris yang dapat

15
menyebabkan sumbatan dan juga arosi mukosa apendiks karena

parasite (E. Histolytica)

2. Apendisitis rekurens

Apendisitis rekures yaitu jika ada riwayat nyeri berulang

diperyt kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi.

Kalainan ini terjadi bila serangan yang apendisitis akut pertama

kali sembuh spontan. Namun apendisitis tidak pernah kembali

kebentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut.

3. Apendisitis kronik

Apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri

perut kana bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks

secara makroskopik dan mikroskopik (fibrosis menyeluruh di

dinding apendiks, sumbatan parsial atau lumen apendiks, adanya

jaringan parut dan ulkus lama mukosa dan ifiltasi sel inflamasi

kronik), dan keluhan menghilang setelah apendiktomi.

Sedangkan menurut Sjamsuhidayat dan De Jong W (2013)

Apendisitis diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:

1. Apendisitis akut

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang di sadari

oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda

setempat, disertai maupun tidak disertai sangsangan

peritoneum lokal. Gejala apendisitis akut nyeri samar samar

dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah

epigastrium disekitar umbilicus. Keluhan ini sering disertai

16
dengan mual dan muntah. Pada umumnya nafsu makan akan

menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik

mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas

letaknya sehingga merupakan nyeri somatic setempat.

2. Apendisitis kronis

Diagnosa apendisitis kronis baru akan didapat ditegakkan

jika dapat ditemukan adanya riwayat nyeri perut kanan bawah

lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara

makroskopik dan mikriskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis

kronik adalah fibrosis menyeluruh dengan dinding apendiks,

sumbatan parsial maupun totoal lumen apendiks, adanya

jaringan parut da ulkus lama kronik. Insiden apendisitis kronik

antara 1-5%.

5. Penatalaksanaa

Tindakan yang paling tepat dan merupakan satu-satunya pilihan

yang baik adalah apendiktomi. Menurut wibisono dan jeo (2014), ada

hal hal yang perlu diperhatikan:

a. Pre operatif observasi ketat, tirah baring dan puasa. Pemeriksaan

abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah dapat diulang

secara periodik. Foto abdomen dan toraks dapat dilakukan untuk

mencari penyulit lain. Antibiotik intravena spektrum luas dan

analgesik dapat diberikan. Pada apendisitis perforasi perlu

diberikan resusitasi cairan sebelum operasi.

b. Operatif

Apendiktomi terbuka dilakukan dengan insisi transversal

pada kuadran kanan bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik

17
(McArthur-McBurney). Pada diagnosis yang belum jelas dapat

dilakukan subumbilikal pada garis tengahnya.

Laparoskopi apendiktomi, teknik operasi dengan luka dan

kemungkinan infeksi lebih kecil.

c. Pasca operatif

Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya

pendarahan dalam, syok, hipertermi atau gangguan pernapasan.

Pasien dibaringkan dalam posisi fowler dan selama 12 jam

dipuasakan terlebih dahulu. Pada operasi dengan perforasi atau

peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali

normal. Secara bertahap pasien diberi minum, makanan saring,

makanan lunak dan makanan biasa.

B. Konsep prosedur

1. Konsep dasar luka

Luka merupakan kejadian yang sering kita jumpai dalam

kehidupan sehari hari. Luka adalah kerusakan pada fungdi

perlindungan kulit disertai hilangnya kontinuitas jaringan epitel dengan

atau tanpa adanya kerusakan pada jaringan lainnya seperti otot,

tulang dan nervus yang disebabkan oleh beberapa factor, yaitu:

tekanan, sayatan. Dan luka karena operasi (Ryan,2014).

Ketika luka muncul ada beberapa efek yang akan muncul yaitu :

a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ

Luka merupakan kejadian yang menyebabkan hilangnya seluruh

atau sebagian fungsi organ (Nalwaya,et al 2011)

b. Respon stres simpatis

Reaksi yang sering muncul diklasifikasikan menjadi empat tima.

Tipe satu yaitu reaksi segera atau reaksi vasoaktif substansi sel

18
mast atau basofil yang diikuti dengan reaksi spesifik antgen atau

antibody. Tipe kedua yaitu reaksi sitotiksi berupa reaksi merusak

sel, fagositosis, dan mekanisme bula. Tipa tiga yaitu reaksi imun

kompleks berupa sirkulasi antigen atau antibodi ke jaringan

inflamasi, trombosit rusak, vasoaktif menurun, dan pemearbelitas

vaskuler meningkat. Tipe empat yaitu reaksi hipersensitif

(Arisanty, 2014).

c. Pendarahan atau pembengkuan darah

Luka dapat menyebabkan reaksi pendarahan dan pembekuan

darah akibat respon imun di dalam tubuh. Lesi kulit dapat terjadi

karena gangguan pembuluh darah arteri dan vena. Pendarahan

dibedakan menjadi dua yaitu pendarahan internal dan eksternal.

Pendarahan internal dintandai dengan nyeri pada luka, perubahan

tanda tanda vital dan adanya hematoma yang menyebabkan

penekanan sekitarnya, sehingga dapat menyumbat aliran darah

(Treas dan Wikinson,2013).

d. Kontaminasi bakteri

Semua luka cenderung terkontaminasi bakteri serta mikro

organisme lainnya. Imunitas terhadap bakteri bervariasi

tergantung pada organisme yang hidup di dalam atau di luar sel.

Ada beberapa bakteri dapat ditolak atau bahkan dimusnahkan

oleh sistem pertahanan tubuh dasar, beberapa bakteri telah

mengembangkan kemampuannya untuk memperdaya sistem

pertahanan tubuh (Boyle,2012)

e. Kematian sel

19
Luka dapat menyebabkan kematian sel akibat beberapa factor

yaitu, shear (lipatan), pressure (tekanan), friction (gesekan),

bahan kimia, iskemia (kekurangan oksigen), dan neuropati (mati

rasa). Mekanisme kerusakan pada kulit menyebabkan terjadi luka

( Arisanty,2013).

2. Klasifikasi luka

Luka dapat diklasifikasika berdasarkan mekanisme cideranya

seperti luka sayat. Luka sayat salah satu jenis luka terbuka atau luka

bersih yang disebabkan oleh pisau bedah dengan menimalkan

kerusakan kulit (Mair, 2013).

Luka sayat memiliki resiko infeksi yang tinggi sehingga perlu

adanya tindakan aseftik saat preoperatif untuk mengurangi infeksi

pada area operasi dengan mengunakan bahan lodine, alkohol dan

klorheksidine (Dumville,2014).

3. Proses penyembuhan luka

Secara fisiologis, tubuh dapat memperbaiki kerusakan jaringan

kulit sendiri yang dikenal dengan penyembuhan luka. Cara

penyembuhan luka berdasarkan tipe atau cara penyembuhan luka

secara primer, secara sekunder dan secara tersier. (Arisanty,2013)

Berdasarkan waktu penyembuhannya, luka dapat dibagi menjadi

dua yaitu luka akut dan luka kronis.

a. Luka akut adalah luka yang terjadi kurang dari 5 hari dengan

iikuti proses hemostasis dan inflamsi. Luka akut sembuh atau

menutup sesuai dengan waktu penyembuan luka fisiologi 0-21

hari. Luka akut biasanya sagera mendapatkan penanganan

dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi

komplikasi (Arisanty,2013).

20
b. Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau

sering timbul kembali (rekuren), dimana terjadi gangguan pada

proses penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh

masalah multifaktor dari penderita (Arisanty,2013)

Secara umum proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa

fase penyembuhan dimana dibagi menjadi tiga fase yaitu :

a. Fase inflamasi

Fase inflamasi terjadi pada awal kejadian atau pada saat

luka terjadi hari ke-o sampai hari ke-3 atau hari ke-5. Terdapat

dua kegiatan utama pada fase ini, yaitu respon hemostatic tubuh

selama 5 detik pasca luka. Respon inflamasi adalah reaksi non

spesifik tubuh dalam mempertahankan atau memberi

perlindungan terhadap benda asing yang masuk kedalam tubuh,

tubuh ditandai adanya nyeri, bengkak, panas, kemerahan dan

hilangnya fungsi jaringan. Tubuh mengalami aktifitas biokimia dan

bioseluler dimana reaksi tubuh memperbaiki kerusakan sel kulit,

leukosit memberikan perlindungan dan membersihkan makrofag

(Arisanty,2013).

b. Fase proliferasi

Fase proliferasi terjadi pada hari ke -5 sampai hari ke-7

setelah tiga hari penutupan luka sayat. Fase ini ditandai dengan

pengeluaran dan remodelling pada mariks sel ekstraseluler

(Hubrect & Kirkwood,2014).

c. Fase remodeling

Fase remodeling terjadi pada hari ke-8 hingga satu sampai

dua tahun. Fase ini terbentuknya jaringan kolagen pada kulit untuk

21
penyembuhan luka, jaringan kolagen ini akan membentuk jaringan

baru. Sitokin pada sel endothelial mengaktifkan fakor

pertumbuhan sel dan vaskularisasi pada daerah luka sehingga

luka dapat diminimalkan (Piraino % Salemovic,2015).

4. Perawatan luka

Sayat dalam pengkajian perawatan luka sayat ada beberapa

tahap yang dilakukan yaitu evaluasi luka, tindakan antiseptik,

pembersihan luka, penjahitan luka, penutupan luka, pembalutan,

pemberian antibiotik dan pengangkatan jahitan pengkajian pada saat

luka sayat dapat di lakukan melalui beberapa tahap,yaitu:

a. Evaluasi luka dan pemeriksaan fisik

Tugas perawat adalah mengevaluasi luka dan

pemeriksaan fisik pada pasien dalam mengakaji turgor kulit,

adanya tanda-tanda inflamasi pada daerah sekitar luka, tanda

tanda infeksi, dan kaji nyeri yang dirasakan pasien. Penyembuhan

luka yang baik ditandai dengan mengecilnya ukuran luka,

berkurangnya cairan yang keluar dari luka, meningkatnya kondisi

kulit pada area sekitar luka, dan tanda-tanda infeksi tidak terjadi,

seperti: eritema, cairan purulen, dan bau tidak sedap.

Pemeriksaan pada area luka dapat dilakukan dengan inspeksi

warna, integritas, kontur kulit sedangkan palpasi dilakukan dengan

merasakan suhu tubuh pada kulit, tekstur, kelembapan, ketebalan,

turgor dan mobilitas kulit (Lewis, et al. 2014).

b. Tindakan antiseptik

Tujuan dari tindakan antiseptik adalah membunuh bakteri,

virus dan jamur sehingga mencegah terjadinya infeksi, tindakan ini

22
dapat membantu proses penyembuhan luka khususnya pada fase

proliferasi dan regenerasi. Pemberian cairan antiseptik tidak boleh

berlebihan karena hal tersebut akan menganggu peoses

penyembuhan luka pada fase haemostatis yang memiliki potensi

untuk memperburuk penyembuhan luka. Tindakan antisepti dapat

mempercepat epitelisasi pada area lukasekitar 24-48 jam setelah

dilakukannya insisi (John & Andrew,2014)

c. Pembersihan luka

Pembersihan luka bertuuan untuk mengurangi jumlah

bakteri pada area luka, memperbaiki sel kulit yang telah rusak,

menumbuhkan jaringan baru dan menjaga kelembapan kulit.

Pembersihan daerah luka dilakukan dengan tahapan sebagai

berikut:

1) Melakukan irigasi luka dengan menggunakan normal

saline atau menggunakan cairan antiseptik.

2) Bersihkan area luka dengan kasa yang diberi cairan

normal saline secara lembut untuk menghindari kerusakan

jaringan kulit pada area sekitar kulit maupun jaringan sel

kulit yang baru.

3) Jika perlu berilah dressing sesuai dengan ukuran luka.

4) Berikan balutan pada area luka tanpa memberikan

penekanan.

d. Penjahitan luka

Teknik penjahitan luka dibedakan menjadi 4 teknik utama

yaitu simple sature, vertical matress suture, horizontal matress

suture, dan subcuticular suture (Jain, Stoke & Tanwar, 2013).

e. Penutupan luka

23
Penutupan luka dapat dilakukan dengan penggunaan

dressing sampai kurun waktu 48-72 jam setelah operasi.

Penutupan luka ini bertujuan untuk mempercepat penyembuhan

luka dengan menyediakan lingkungan yang lembab berpotensi

untuk memperburuk kondisi luka, sebagai bahan pengkajian luka

post operasi, mengabsorbsi eksudat yang keluar dan memberikan

kenyamanan (Dougherty & Lister,2015).

f. Pembalutan

Pembalutan luka operasi bertujuan agar jika terdapat

pendarahan yang dapat diantisipasi dengan penggunaan kasa.

Pembalutan luka lebih banyak dilakukan setelah penggunaan

dressing, setelah dibalut maka kasa difisasi dengan plester agar

tidak bergeser dan membuat pasien merasa nyaman

(Pearce,2013)

g. Pemberian antibiotik

Antibiotik dapat dikombinasikan dengan teknik antiseptik

untuk membunuh bakteri dan fungsi pada area luka insisi.

Antibiotik dibedakan menjadi dua bagian yaitu antibiotil locak dan

antibiotik sistematik. Pemberian antibiotik secara topikal atau jelly

petroleum dapat dilakukan setelah dua hari pasca pangjahitan

luka untuk mempercepat epitelisasi jaringan pada kulit. Antibiotik

prophylactic harus diberikan pada pasien dengan infeksi luka yang

cukup parah (Daesclein,2014)

h. Pengangkatan luka

Jahitan luka insisi dilepaskan untuk mengurangi resiko

kontaminai benang suture dengan jaringan disekitar kulit yang

dapat menyebabkan resiko infeksi. Jaringan dilepaskan dengan

24
cara menentukan titik ikatan jahitan dengan menggunakan pinset

dan mengguntingnya, kemudian tarik kedua jahitan yang

terpotong sesuai arah garis insisi dan jangan menariknya terlalu

kuat karena luk insisi dapat terbuka kembali ( Jain, Stoker &

Tanwar,2015)

5. Komplikasi dalam penyembuhan luka

Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, pendarahan,

dehiscence, dan evicerasi dan juga sinus.

a. Infeksi

Infeksi merupakan reaksi yang timbul jika tidak segera ditagani.

Luka infeksi adalah luka dengan replikasi mikroorganisme lebih

dari 10 pangkat lima per gram jaringan, dapat diketahui melalui

kultur cairan (Arisanty, 2013).

Infeksi biasanya terjadi karena mikro organisme. Infeksi pada luka

ditandai dengan bengkak pada area lokal, kemerahan, panas,

nyeri dan demam ( suhu tubuh lebuh dari 30C), bau yang tidak

sedap atau keluarnya cairan purulen, berubahnya warna cairan

yang mengindikasikan infeksi. Invasi bakteri pada luka dapat

terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah

pembedahan. Pada luka sayat, resiko infeksi akan terjadi dalam 5

sampai 7 hari setelah operasi (Treas dan wilkinson, 2013)

b. Pendarahan

Pendarahan merupakan kejadian yang harus segera

mendapatkan penanganan. Jika perdarahan luar atau dalam

(hematoma) tidak diatasi, maka akan terbentuk satu jaringan

nekrosis pada luka sehingga penting sekali melindungi luka yang

25
mengalami hematoma dan mengalami pendarahan pada luka.

(Arisanty,2013)

c. Dehiscence dan eviscerasi

Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang

paling serius. Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial

atau total. Eviscerasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah

irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan, kurang nutrisi,

multiple trauma,gagal untuk menyatu, batuk berlebihan, muntah

dan dehidrasi mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence

luka (perry dan potter, 2015)

d. Sinus

Sinus merupakan jalan ke permukaan kulit (terowongan)

karena adanya abses atau benda asing yang memberikan efek

iritasi pada kulit yang sehat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi,

misalnya jahitan, serat kassa, dll (Arisanty,2013).

C. Konsep asuhan keperawatan

1. Pengkajian

Menurut Nursalam (2013) pengkajian tahap awal dari proses

keperawatan dan merupakan suatu proses pengumpulan data yang

sistematis dan berbagai sumber untuk mengevaluasi dan

mengidentifikasi status kesehatan klien, tahap pengkajian merupakan

dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan

kebutuhan klien.

a. Identitas klien dan keluarga

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidkan, tanggal

atau jam masuk rumah sakit,nomor register, diagnosis, nama

orang tua,umur, pendidikan, pekerjaan, agama, dan suku bangsa

26
b. Riwayat penyakit sekarang

Pengakijian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien

yang menyebabkn terjadi keluhan/gagguan dan mobilitas seperti

adanya nyeri, kelemahan otot, kelelahan, tinkat mobilitas, daerah

tergagguanya mobilitas, dan lama terjadinya gangguan moilitas.

c. Riwayat penyakit dahulu

Meliputi penyakit apa yang pernah diderita oleh klien

seperti hipertensi, operasi abdomen yang lalu, apakah klien

pernah masuk rumah sakit, obat-obatan yang pernah

digunakan,apakah mempunyai riwayat alergi dan imunisasi apa

yang pernah didapatkan.

d. Riwayat kesehatan keluarga

Adalah keluarga yang pernah menderita penyakit diabetes

melitus, hipertensi, gangguan jiwa tau penyakit kronis lainnya

upaya yang dilakukan dan bagaimana genogramnya.

2. Pola fungsi kesehatan

a. Pola persepsi dan tata laksanaan hidup sehat

Adakah kebiasaan merokok, penggunaan obat-

obatan,alkohol dan kebiasaan olahraga, bagaimana status

ekonomi keluarga kebiasaan merokok dalam memperngaruhi

penyembuhan luka.

b. Pola istirahat tidur

Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat

sehingga dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien.

c. Pola aktivitas

27
Aktivitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak

karena rasa nyeri luka operasi, aktivitas biasanya terbatas karena

harus badrest beberapa waktu lama setelah pembedahan.

d. Pola hubungan dan peran

Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak

bisa melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam

masyarakat. penderita mengalami emosi yang stabil.

e. Pola sensorik dan kognitif

Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan, peran

seta pendengaran, kemampuan, berfikir, mengingat masa lalu,

oriemtasi terhadap orang tua, waktu dan tempat.

f. Pola penaggulangam stress

Kebiasaan klien yang digunakan dalam mengatasi

masalah.

g. Pola tata nilai dan kepercayaan

Bagaimana keyakinan klien pada agamanya dan

bagaimana cara klien mendekatkan diri denagn tuhan selama

sakit.

h. Pola reproduksi seksual

Bagaimana aktivitas seksual yang klien ( jika klien sudah

menikah).

3. Pemeriksaan fisik

a. Gambaran umum

Ditemukan pasien tampak lemah

b. Kesadaran pasien

28
Composmentis cooperatif, eskpresi wajah menahan rasa sakit.

c. Vital sign

TD : nadi normal, frekuensi nadi meningkatkan pernafasan, suhu.

BB : mengalami penurunan berat badan TB : biasanya tidak

mengalami peningkatan.

d. Kepala dan leher

Ekspresi wajah kesakitan, pada kongjungtiva apakah ada warna

pucat.

e. Mata

Biasanya ditemukan adanya kongjuntiva anemis, sclera tidak

ikhterik, pupil isokor, reflek pupil terganggu.

f. Hidung

Biasanya ditemukan adanya pernafasan cuping hidung.

g. Gigi dan mulut

Biasanya ditemukan ulserasi dan adanya bercak-bercak putih

seperti krim yang menunjukkan kandidiasi.

h. Jantung

Biasanya tidak ditemukan kelainan

i. Paru-paru

Apakah bentuknya simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas,

gerakan cuping hidung maupun alat bantu nafas, frekuensi

pernafasan biasanya normal (16-20 kali permenit) apakah ada

ronchi,whezing, stidor.

j. Abdomen

Pada post operasi biasanya sering terjadi ada tidaknya pristaltik

pada usus ditandai dengan distensi abdomen, tidak flatus dan

mual, apakah bisa kencing spontan atau retensi urine, distensi

29
supra pubis, periksa apakah mengalir lancar, tidak ada

pembuntuan serta terfiksasi dengan baik.

k. Kulit

Ada tidaknya oedema, sianosis, pucat, pemerahan luka

pembedahan pada abdomen sebelah kanan bawah.

l. Ekstremitas

Apakah ada keterbatasan dalam aktifitas karena adanya nyeri

yang hebat dan apakah ada kelumpuhan atau kekakuan.

4. Pemeriksaan head to toe

1. Keadaan umum : lemah dan tidak bisa beraktifitas

2. Kesadaran : Composmentis

3. Tanda-tanda vital : suhu, nadi, respirasi dan tekanan darah

4. Pemeriksaan fisik secara head to toe

1) Kulit, rambut dan kuku

a) Inspeksi

Warna kulit, ada tidaknya luka, kebersihan kepala.

Warna kuku dan kebersihan kuku.

b) Palpasi

Suhu tubuh, integritas kulit, tekstur kulit dan turgor.

2) Kepala

a) Inspeksi

Bentuk wajah, warna rambut, kebersihan kulit dan

rambut.

b) Palpasi

Ada tidaknya lesi dan deformitas pada bentuk

kepala.

3) Mata

30
a) Inspeksi

Bentuk mata, kongjungtiva, warna sclera,

kejernihan kornea, dan penglihatan.

b) Palpasi

Tidak terdapat rasa sakit pada sekitar mata

4) Telinga

a) Inspeksi

Bentuk telinga, kebersihan telinga, dan membran

tympany

b) Palpasi

Tidak terdapat gangguan pada pendengaran

5) Hidung

a) Inspeksi

Bentuk hidung, tidak ada pendarahan ataupun

penyumbatan

b) Palpasi

Ada tidaknya dahak atau sinusitas.

6) Mulut

a) Inspeksi

Kebersihan gigi dan

b) Palpasi

Tidak terdapat lesi ataupun luka

7) Leher

a) Inspeksi

Bentuk leher, warna kulit, ada tidaknya

pembengkakan pada leher

31
b) Palpasi

Tidak ada pembesaran pada tiroid

8) Dada

a) Inspeksi

Bentuk dada, ada atau tidaknya retraksi dan warna

kulit.

b) Palpasi

Tidak terdapat peradangan,.

9) Jantung

a) Inspeksi dan palpasi

Frekuensi jantung

b) Auskultasi

Ada atau tidaknya perubahan irama jantung

10) Perut

a) Inspeksi

Bentuk perut, luka pasca operasi, ada tidaknya luka

basah dan bernanah

b) Auskultasi

c) Perkusi

d) Palpasi

e) Ekstermitas

Ekstermitas atas dan bawah apakah berkerja dengan baik

11) Alat kelamin

Tidak ada kelainan bentu atau fungsinya

12) Muskuloskeletal

a) Otot

Bentuk perut

32
b) Persendian

Persendian pada ekstremitas atas dan bawah

apakah bekerja dengan baik.

5. Diagnosa keperawatan

Diangosa keperawatan yang bisa muncul pada klien dengan

pasca operasi appendicitis menurut Herdman (2015) adalah :

a. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit

b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis

c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri

d. Hipertermi berhubungan dengan penyakit, peningkatan laju

metabolisme.

6. Intervensi keperawatan

Menurut Nursalam (2014) rencana keperawatan adalah sebuah

dokumen berupa tulisan tangan yang digunakan dalam

menyelesaikan masalah, tujuan, dan intervensi keperawatan, Cynthia

(2015) menjelaskan intervensi keperawatan yang mungkin muncul

pada diagnosa media pos operasi appendicitis adalah sebagai berikut

Table 3.1 intervensi keperawatan

Diagnosa Hasil yang dicapai (NOC) Intervensi (NIC)


keperawatan nanda
a. Resiko infeksi 1) Immune status 1) Pertahankan
berhubungan 2) Knowledge : teknik aseptik
dengan infection control 2) Batasi
kerusakan 3) Risk control setelah pengunjung bila

33
integritas kulit dilakukan tindakan perlu
keperawatan selama 3) Cuci tangan
1x 30 menit pasien setiap sebelum
tidak mengalami dan sesudah
infeksi dengan tindakan
kriteria hasil : keperawatan
a. Klien bebas dari 4) Gunakan baju,
tanda dan gejala sarung tangan
infeksi sebagai alat
b. Menunjukkan pelindung
kemampuan 5) Lakukan
untuk mencegah dressing luka
timbulnya infeksi dengan teknik
c. Jumlah leukosit aseptik
dalam batas 6) Tingkatkan
normal intake nutrisi
d. Menunjukkan 7) Berikan terapi
perilaku hidup antibiotik
sehat 8) Monitor tanda
e. Status imun, dan gejala
gastrointestinal, infeksi
genitourinari sistematik dan
dalam batas lokal
normal 9) Pertahankan
teknik isolasi
k/p
10) Inspeksi kulit
dan membran
mukosa
tehadap
kemerahan,
panas, drainase
11) Ajarkan pasien
dan keluarga
tanda dan
gejala infeksi
b. Nyeri akut 1) Level pain, 1) Lakukan
berhubungan 2) Pain control pengkajian
dengan agen 3) Comfort level nyeri secara
cidera biologis Setelah dilakukan komprehensif
tindakan termasuk
keperawatan lokasi,
selama... pasien karakteristik,
tidak mengalami durasi,
nyeri, dengan frekuensi,
kriteria hasil : kualitas dan
a. Mampu faktor
mengontrol nyeri presipitasi
(tahu penyebab 2) Observasi
nyeri, mampu reaksi
menggunakan nonverbal dari
tehnik ketidaknyaman

34
nonfarmakologi 3) Bantu pasien
untuk dan keluarga
mengurangi untuk mencari
nyeri, mencari dan
bantuan) menemukan
b. Melaporkan dukungan
bahwa nyeri 4) Kontrol
berkurang lingkungan
dengan yang dapat
menggunakan mempengaruhi
manajemen nyeri nyeri seperti
c. Mamapu suhu ruangan,
mengenali nyeri pencahayaan
(skla,intensitas, dan kebisingan
frekuensi dan 5) Kurangi faktor
tanda nyeri) presipitasi nyeri
d. Menyatakan rasa 6) Kaji tipe dan
nyaman setelah sumber nyeri
nyeri berkurang untuk
e. Tanda dan vital menemukan
dalam rentang intervensi
normal 7) Ajarkan tentang
f. Tidak mengalami teknik non
gangguan tidur farmakologi:
napas dalam,
relaksasi,
distraksi,
kompres
hangat / dingin
8) Berikan
analgetik untuk
mengurangi
nyeri
9) Tingkatkan
istirahat
10) Berikan
informasi
tentang nyeri
seperti sebeb
nyeri, berapa
lama nyeri akan
berkurang dan
antisipasi
ketidaknyaman
an dari
prosedur
11) Monitor vital
sign sebelum
dam seudah
pemberian
analgesik
pertama kali.

35
c. Hambatan 1) Joint movement : 1) Monitor vital
mobilitas fisik active sign sebelum/
berhubungan 2) Mobility level sesudah latihan
dengan nyeri 3) Self care : ADLs dalamlihat
4) Transfer respon pasien
performance setelah saat latihan
dilakukan tindakan 2) Konsultasikan
keperawatan dengan terapi
selama... gangguan fisik tentang
mobilitas fisik teratas rencana
dengan kriteria hasil ambulasi
a. Klien meningkat sesuai dengan
dalam aktivitas kebutuhan
fisik 3) Bantu klien
b. Mengerti tujuan untuk
dari peningkatan menggunakan
mobilitas tongkat saat
c. Memverbalisasik berjalan dan
an perasaan cegah terhadap
dalam cedera
meningkatkan 4) Ajarkan pasien
kekuatan dan atau tenaga
kemampuan kesehatan lain
berpindah tentang teknik
d. Meningkatkan ambulasi
penggunaan alat 5) Kaji
bantu untuk kemampuan
mobilisasi pasien dalam
(walker) mobilisasi
6) Latih pasien
dalam
pemenuhan
kebutuhan
ADLs secara
mandiri sesuai
kemampuan
7) Dampingi dan
bantu pasien
saat mbilisasi
dan bantu
penuhi
kenutuhan
ADLs ps.
8) Berikan alat
bantu jika klien
memerlukan
9) Ajarkan klien
bagaimana
merubah posisi
dan berikan
bantuan jika
diperlukan

36
e. Hipertermi Thermoregulasi 1) Monitor suhu
berhubung 1) Suhu 36,5-37,5C sesering
an dengan 2) Nadi dan RR dalam mungkin
proses rentang normal 2) Monitor warna
peradanga 3) Tidak ada kulit dan suhu
n perubahan warna 3) Monitor
kulit dan tidak ada tekanan darah,
pusimg, merasa nadi dan RR
nyaman 4) Monitor
perubuhan
tingkat
kesadaran
5) Monitor intake
dan output
6) Berikan anti
piretik:
7) Kelola anti
biotik
8) Selimuti pasien
9) Berikan cairan
intravena
10) Kompres
pasien pada
lipatan paha
dan aksila
11) Tingkatkan
sirkulasi darah
12) Tingkatkan
intake cairan
dan nutrisi
13) Monitor TD,
nadi, suhu dan
RR.
14) Catat adanya
fruktuasi
tekanan darah
15) Monitor hidrasi
seperti turgor
kulit,
kelembaban
membran
mukosa

7. Implementasi keperawatan

Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana

tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakn tindakan yang sudah

direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat, apakah

37
rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan oleh pasien saat ini.

Semua tindakan yang telah dilaksankan beserta respons pasien

didokumentasikan (Prabowo,2015)

8. Evaluasi keperawatan

Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari

tindakan keperawatan kepada pasien. Evaluasi dapat dibagi menjadi

dua yaitu : evaluasi proses dan evaluasi hasil yang dilakukan dengan

melakukan membandingkan antara respon pasien dan tujuan khusus

serta umum yang telah ditentukan. Evaluasi dapat dilakukan dengan

menggunakan pendekatan SOAP, sebagai berikut :

a. S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang

dilaksanakn dapat di ukur dengan menanyakan kepada pasien

langsung

b. O : Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang

dilaksanakn. Dapat di ukur dengan mengobservasi perilaku pasien

saat tindakan dilakukan.

c. A : Analisis ulang atas data subjektif ataupun objektif untuk

menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah

baru atau data yang kontradiksi dengan masalah yang ada.

d. P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis

pada respon pasien yang terdiri dari tindakan lanjut pasien dan

tindakan lanjut oleh perawat.

Rencana tindakan lanjut dapat berupa :

a. Rencana diteruskan jika masalah tidak berubah

b. Rencana dimodifikasi jika masalah tetap, semua tindakan sudah

dijalankan tetapi hasil belum memuaskan

38
c. Rencana akan dibatalkan jika ditemukan masalah baru dan bertolak

belakang dengan masalah yang ada serta diagnosa lama dibatalkan

d. Rencana atau diagnosa selesai jika tujuan sudah tercapai dan yang

diperlukan adalah memelihara dan mempertahankan kondisi yang

baru.

Pasien dan keluarga perlu dibantu dilibatkan dalam evaluasi agar

dapat melihat perubahan berusaha mempertahankan dan

memelihara. Pada evaluasi dangan diperlukan reinforment untuk

menguatkan perubahan yang positif. Pasien dan keluarga juga

dimotivasi untuk melakukan self-reinforment (Prabowo,2015).

9. Dokumentasi keperawatan

Pendokumentasian adalah salah satu peran perawat sebagai

tanggung jawab keperawatan. Kompenen yang digunakan mencakup

tiga aspek yaitu:

a. Komunikasi.

b. Proses keperawatan.

c. Standar keperawatan.

Pendokumentasian dilakukan pada saat pemberian asuhan

keperawatan dalam setiap proses keperawatan sebagai bukti legalitas

tindakan dalam hukum (Nursalam,2014).

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rencana Studi Kasus

39
Rencana studi kasus yang dilakukan oleh peneliti adalah deskriftif

dengan rancangan studi kasus. Yaitu menerapkan asuhan keperawatan

pada pasien post operasi appendicitis dengan penatalaksanaan

perawatan luka yang sedang dirawat di ruang kumala RSUD. Dr. H.

Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.

Studi kasus ini dalam bentuk studi kasus adalah studi yang

mengeksporasi suatu masalah keperawatan dengan batasan terperinci,

memiliki pengambilan data yang mendalam dan menyertakan berbagai

sumber informasi. Penelitian studi kasus dibatasi oleh waktu dan tempat,

serta kasus yang dipelajari berupa peristiwa, aktivitas atau individu

metode yang digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi

pasien (Nursalam,2015)

B. Subyek Penelitia

Subjek merupakan hal atau orang yang akan dikenal kegiatan

pengambilan kasus (Sugiyono,2014). Subjek studi kasus dalam studi

kasus ini adalah 2 orang pasien post op appendicitis di ruang Kumala

RSUD dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin. Untuk menghindari terjadi

bias penelitian maka subjek penelitian harus memiliki kriteria inklusi dan

kriteria eksklusi, dimana kriteria itu menentukan dapat dan tidaknya

sample tersebut digunakan.

1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum objek penelitian suatu

populasi target yang terjangkau yang akan di teliti. Pertimbangan

ilmiah harus menjadi pedoman dalam menentukan kriteria inklusi

(Nursalam,2014). Kriteria inklusi yang digunakan pada penelitia ini

adalah :

a. Pasien post operasi appendicitis

40
b. Pasien yang bersedia menjadi responden penelitian

c. Pasien post operasi appendicitis yang mengalami masa

perawatan lebih atau sama dengan 3 hari

2. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian

dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sample

penelitian yang penyebabnya antara lain adalah adanya hambatan

etis, menolak menjadi responden atau berada pada suatu keadaan

yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penelitian (Nursalam,

2014)

Kriteria eksklusi yang digunakan dalam penelitian adalah

a. Pasien post operasi selain operasi appendicitis

b. Pasien yang tidak bersedia menjadi responden penelitian\

c. Pasien post operasi appendicitis yang menjalani rawat jalan

C. Fokus Studi

Fokus studi kasus pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Perawatan luka.

2. Asuhan keperawatan pada pasien post operasi appendicitis.

D. Definisi Operasional

1. Perawatan luka adalah tindakan aseptic yang dilakukan untuk

mencegah terjadinya infeksi pada luka yang dilakukn secara teratur

dan membantu proses penyembuhan luka.

2. Asuhan keperawatan pada pasien post apoerasiapendicitis suatu

bentuk pelayanan kesehatan keperawatan yang merupakan bagian

integraf dari pelayanan kesehatan yang komperensif meliputi bio,

psiko, sosial dan spiritual yang diberikan langsung kepada pasien

41
post operasi apendisitis. Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi

pada usus buntu atau umbai cacing ( apendiks).

E. Lokasi dan waktu penelitian

Studi kasus ini di akan dilakukan di ruang kumala RSUD dr. H.

Moch. Ansari Saleh Banjarmasin. Di jalan Brig. Jend. H. Hasan Basri

No.1 Telp (0511) 6780000 Fax. (0511) 6700001. Waktu pelaksanaan

studi kasus ini dilaksanakan dari bulan Januari s/d maret 2020 selama 3

bulan.

F. Metode dan instrumen pengumpulan data

1. Teknik pengumpulan data

Teknik yang dilakukan pada saat pengumpulan data studi kasus

adalah sebgai berikut (Nursalam, 2014)

a. Wawancara

Pada stdui kasus ini data yang diperoleh dari hasis

wawancara yang berisi tentang identitas kepala keluarga, identitas

anggota keluarga, riwayat keluarga inti, tahap perkembangan

keluarga, keluarga utama klien, riwayat penyakit sekarang ,

dahulu, riwayat penyakit keluarga dan lain-lain.

b. Observasi dan pemeriksaan fisik

Dalam studi kasus ini, observasi dan pemeriksaan fisik

menggunakan pendekatan IPPA (inspeksi, palpasi, perkusi,

auskultasi) pada sistem tubuh klien.

c. Studi dokumentasi dan angket

Studi dokumentasi diperoleh dengan melihat atau

menganalisis dokumen-dokumen hasil dari pemeriksaan

diagnostik dan data lain yang relevan.

d. Daftar ceklis

42
Daftar ceklis yaitu menggunakan daftar yang memuat

nama observer disertai jenis gejala yang diamati

e. Skala penelitian

G. Analisa data

Analisa data dilakukan dengan cara mengemukakan fakta,

selanjutnya dibandingkan dengan teori yang ada dan selanjutnya

dituangkan dalam opini pembahasan (Alimul Aziz,2013)

H. Penyajian Data

a. Data akan disajikan secara narasi dan dapat disertai dengan

cuplikan ungkapan verbal dari subjek penelitian yang merupakan

data pendukungnya sesuai dengan format asuhan keperawatan.

b. Tabel untu pengkajian, analisa data, diagnosa, intervensi,

implementasi, dan evaluasi.

I. Etika penelitian studi kasus

Pertimbangan etika dalam penelitian ini dilaksanakan dengan

memenuhi prinsip-prinsip the five right of human subjekcts in research.

1. Hak untuk self determination

Menghormati harkat dan martabat manusia yaitu menghormati

otonomi dalam mengambil kepuusan sendiri dan melindungi agar

penelitian tersebut tidak merugikan orang lain. Hal ini peneliti

melakukan salah satunya dengan cara meminta kesedian responden

untuk menjadi sampel penelitian dengan terlebih dahulu menjelaskan

maksud dan tujuan penelitian, mengajukan informed concent dan

lembar persetujuan untuk dilakukan tindakan infasif namun apabila

responden tidak bersedia untuk menjadi sampel pada penelitian

tersebut maka peneliti menghormati keputusan yang diambilnya tanpa

memaksanya.

43
2. Hak terhadap privacy dan dignity

Merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasian hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang

akan dilaporkan pada hasil riset. Penelitian dijelaskan bahwa data

yang diperoleh dari responden akan dijga kerahasiaanya oleh peneliti

3. Hak anonymity dan confidentiality

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang

memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan

cara tidak memberikan atau mencamtumkan nama responden pada

lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar

pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan. Untuk

menjaga kerahasiaan pada lembar yang telah diisi oleh responden,

penulis tidak mencamtumkan nama secara lengkap, responden cukup

mencamtumkan nama inisial saja.

4. Hak terhadap penanganan yang adil

Berkeadilan artinya tidak ada unsur deskriminasi atau hal-hal yang

dapat merugikan orang lain. Deskriminasi dari segi ras, agama, dan

lain-lain terhadap responden tidak bioleh ada sehingga dalam

penelitian ini berusaha memperlakukan responden sesuai dengan

harkat dan martabatnya sebagai manusia.

5. Hak untu mendapatkan perlindungan dari ketidaknyamanan

Menyangkut kewajiban membantu orang lain dilakukan dengan

mengupayakan manfaat maksimal dengan kerugian minimal.

Diikutsertakan subjek manusa dalam penelitian kesehatan

dimaksudkan untuk membantu tercapainya tujuan penelitian yang

44
dilakukan. Prinsip tidak merugikan, menyatakan bahwa jika orang lain

tidak dapat melakukan hal-hal bermanfaat, maka minimal tidak

merugikan orang lain. Prinsip tidak merugikan bertujuan agar subjek

penelitian tidak diperlakukan sebagai sarana dan memberikan

perlindungan terhadap tindakan penyalahgunaan.

DAFTAR PUSTAKA

45
Arisanty, I. P. (2015). Manajemen Perawatan Luka :Konsep Dasar. Jakarta :
EGG.
Alimul Aziz. J, Boyle, Allan 2009. Acute Myocardial Infaction. In: CURRENT
Diagnosis & Treatment Cardiology Third Edition. New York:The McGraw-
Hill Companies, Inc.
Ball, W. J. & Bindler, C. R. 2015. Pediatric Nursing Caring of Children. Pearson :
New Jersey
Baughman, D. & Hackley, J. 2016. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGG.
Barger DH, jaffe BM. The appendix. Dalam: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar
TR, Dunn DL, Hunter JG, Pallock RE, editor. Schwartz manual of surgery.
Edisi ke-8. New York: The McGraw Hill companies; 2013 hlm.784-799.
Boyle, Maureen, 2015. Pemulihan Luka. Jakarta : EGC
Browne, N. T. 2014. Nursing Care of the Pediatric Surgical Patient. USA : Jones
& Bartlett Learning.
Bagian Rekam Medis RSUD Ansari saleh, Banjarmasin , 2017-2019, laporan
tahunan RSUD ansari saleh, Appedicitis.
Cynthia, M. T. (2015). Diagnosa Keperawatan dengan Implementasi
Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC.
Bryant, R. A., & Nix, D.P, (2015). Chronic Wound: Current Management
Concepts, ed. 10. USA : Elsevier.
Daeschlein, G.(2013). Antimicrobal and Antiseptic Strategies in Wound
Management. Internasional Wound Journal, 10(1), 9-14.
Direja, ade herman surya. (2016). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa,
Yogyakarta : Nuha Medika.
Dougherty, L.,& Listen, S.(2015). The Royal Marsden Manual of Clinical Nursing
Procudurce, ed. 9. Inggris :NHS Foundation.
Dumville, J.C., McFarlane, E., Edwards, P., Lipp, A.,& Holmes, A. (2015).
Preoperative skin antiseptics for preventing surgical wound infections
after clean surgery: Intervention Review, Issue 3, hal.1. inggris :Willey.
Grace, P. & Borley, N. (2014). Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Granick, M.S., & Teot, L (2015). Surgical Wound Healing and Management, ed
2.USA : Informa Healthcare.
Kemenkes RI. (2015). Pedoman interpretasi data klinik. Kementerian kesehatan
Republik Indonesia.
Munir.(2014).Appendicitis. http//ktimunir.blogspot.com/2011/03/appendicitis.
html),.
Morison, M. J. (2015). Manajement Luka. Jakarta: EGC.
Mansjoer, (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapus.

46
Muttaqin, Arif, 2013. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Kardiovaskuler. Jakarta : Salemba Medika.
Mitrawati (2015). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : Salemba
Medika.
Nursalam, 2013. Proses dan Dokumentasi keperawatan ; Konsep dan Praktik.
Jakarta: salemba medika.
Nurarif, A. & Kusuma, H.(20150. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diangnosa Medis & Nanda. Yogyakarta : Mediaction.
Papandri , DKK 2014. Acute Myocardial Infarction. In: CURRENT Diagnosis &
Treatment Cardiology Third Edition. New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Pearce, E. (2014). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta ;Gramedia
pustaka.
Perry & Potter. (2015). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, proses
dan praktik. Edisi: 4, Jakara: EGC.
Prabowo, Eko. (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta : Nuha Medika.
Ryan Set al, 2014, Radiological features of the appendix in Anatomy for
Diangnostic Imaging, 2nd Ed, Elsevier, London, UK, 164-5.
Sjamushidajat, R. Dan De Jong W, (2015). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta ; EGC.
Setyaningrum, Wahyu Adi. (2013). Asuhan Keperawatan pada klien dengan post
op operasi apendicitis hari ke-1 di ruang Dahlia RSUD Banyudono.
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jurnal.
Sugiyono, (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung ;
Alfabeta.
Treas and Wilkinson. (2015) appendicitis and infection of appendix. Seminars in
diangnostic pathology, Elsevier Publisher, New york, US, 86-97.
Wijaya, A.S dan Putri, Y. M. (2015). Keperawatan Medikal Bedah 2, keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika.
Wilkinson, J. M. (2015). Buku Saku Diangnosis Keperawatan: diagnosis NANDA,
intevensi NIC, criteria hasil NOC edisi 9. Jakarta: EGC.
William, L., & Wilkins. (20150. Nursing Procedures, ed. 5. Philadelphia : Wolter
Kluwer.

47

Anda mungkin juga menyukai