Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Jual Beli Gamelan

1. Pengertian Gamelan

Gamelan merupakan ensembel musik yang biasanya menonjolkan

metalofon, gambang, gendang, dan alatnya yang mana merupakan satu

kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata gamelan

sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul/menabuh,

diikuti akhiran yang menjadikannya kata benda. Penalaan dan pembuatan

orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan

menggunakan empat cara penalaan yaitu slendro, pelog, degung dan

madenda1.

Menurut Santoso, gamelan merupakan seperangkat alat musik khas

Indonesia yang kelengkapan instrumennya dapat disesajarkan dengan

simfoni orkhestra di dunia Barat. Sebagaimana alat musik pada umumnya,

mengungkapkan rasa estetika atau rasa mencurahkan keindahan. Gamelan

di Jawa, dan Sunda2.

2. Pengertian Jual Beli Gamelan dengan Cara Inden

Jual beli dalam hukum perdata diatur pada Buku ke III Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1457 yang berbunyi:

Andriani Saptika, 2012, Gamelan dan Karawitan, Jakarta: PT. Multazam Mulia Utama,
1

hal. 1
Frendy Purnomo dan Joko Wiyono, 2017. “Profil Kerajinan Gamelan Karya Indah di
2

Dusun Tawang Desa Semukerep Kecamatan Sidoharjo Kabupaten Wonogiri”, Jurnal Seni Musik,
Nomor 6 (1) Tahun 2017, hal. 3

12
13

“Bahwa yang dimaksud jual beli ialah suatu perjanjian yang mana
pihak yang satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu kebendaan, dan pihak lainnya (pembeli) untuk membayar
harta yang telah dijanjikan”.

Menurut Subekti, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana

pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu

barang dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jual

beli merupakan perjanjian konsensuil, yang berarti bahwa sudah dilahirkan

sebagai suatu perjanjian sah, mengikat atau mempunyai kekuatan hukum

pada detik tercapainya kata sepakat antara kedua belah pihak, seketika

setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut

dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun

harganya belum dibayar3.

Jual beli gamelan secara inden/memesan menurut Kotler dan

Keller adalah suatu proses sosial yang di dalamnya individu dan kelompok

mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan cara

menciptakan, menawarkan dan secara bebas menukarkan produk yang

bernilai dengan pihak lain. Produsen/penjual gamelan membuat produk

gamelan dengan klasifikasi dan harga produk yang sesuai dengan

permintaan konsumen.

Produsen/penjual dalam melakukan pekerjaan harus tepat waktu

baik kedisiplinan dalam bekerja maupun tepat sesuai pesanan yang

diharapkan konsumen/pembeli. Saat pemesanan gamelan oleh konsumen/

3
I Ketut Oka Setiawan, 2017, Hukum Perikatan, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 158-159
14

pembeli dan telah ditentukan harinya, maka produsen/penjual harus

menyelesaikan sesuai hari yang telah disepakati4.

Jadi menurut penulis perjanjian pengikatan jual beli khusus dalam

jual beli gamelan secara inden adalah sebelum dilakukannya jual beli

gamelan dengan memperhatikan masalah pembayaran yang belum bisa

dilakukan secara penuh karena barang yang dipesan belum sepenuhnya

jadi atau masih dalam proses pengerjaan pihak produsen atau penjual.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian jual beli gamelan

secara inden adalah perjanjian kedua belah pihak antara pihak

produsen/penjual kepada pihak konsumen/pembeli, yang mana pihak

penjual/produsen memiliki kewajiban untuk melakukan prestasi dengan

menyerahkan gamelan yang sudah dipesan kepada pihak konsumen/

pembeli dan pihak konsumen/pembeli memiliki kewajiban melakukan

pembayaran atas gamelan yang telah dipesan dengan nominal yang telah

disepakati.

3. Pihak-Pihak dalam Jual Beli Gamelan dengan Cara Inden

a. Pengrajin Gamelan

Pengrajin gamelan dalam hal ini adalah produsen/penjual

gamelan yang berjanji menyerahkan atau memindahkan hak milik atas

barang yang ditawarkan5.

Frendy Purnomo dan Joko Wiyono, Op.Cit, hal. 3-9


4

I Ketut Oka Setiawan, Op.Cit, hal. 158


5
15

b. Konsumen atau Pembeli

Konsumen atau pembeli dalam hal ini adalah pihak yang

berjanji membayar harga yang telah disetujuinya dan pihak yang akan

memperoleh manfaat setelah pesanan gamelan diserahkan.

4. Perjanjian antara Penjual dan Pembeli Gamelan dengan Cara Inden

Perjanjian yang dilakukan antara penjual dan pembeli gamelan

secara inden/memesan. Penjual adalah pengarajin gamelan yang

menuangkan ide pikirannya sehingga menghasilkan karya kerajinan.

Penjual dan pembeli sudah melakukan perjanjian yang disepakati kedua

belah pihak dengan obyek perjanjian 40 set gamelan gamelan besi laras

Pelog dan Slendro gaya Surakarta yang meliputi klasifikasi produk

gamelan, jangka waktu pengerjaan gamelan, dan uang pembayaran.

Setelah kedua belah pihak menyetujui maka pihak pembeli memberikan

uang sebagai down payment dari harga yang telah disepakati.

Perjanjian jual beli secara inden adalah perjanjian konsensual yang

lahir sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat para pihak) saat

tercapainya kata sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur

pokok (essensilia) yaitu mengenai barang dan harganya. Sifat konsensual

dari jual beli disebutkan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang menyatakan

bahwa jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak,

seketika setelahnya orang-orang ini mencapai kata sepakat tentang

kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum

diserahkan, maupun harganya belum dibayar6.

Ibid, hal. 159


6
16

Perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik yang

menimbulkan kewajiban-kewajiban (dan karenanya juga) kepada kedua

belah pihak dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan

lainnya. Yang dimaksud dengan “mempunyai hubungan antara yang satu

dengan yang lain”, adalah bahwa bilamana dalam perikatan muncul dari

perjanjian tersebut yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain disana

berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban7.

Sementara itu, di dalam perikatan dikatakan bahwa ada kreditur

yang mempunyai tagihan dan debitur yang mempunyai utang. Kesemua

tagihan dan utang tersebut tertuju kepada suatu prestasi tertentu 8. Oleh

karena itu tagihan kreditur merupakan tagihan prestasi dan kewajiban/

hutang debitur adalah hutang prestasi.

5. Hubungan Antara Penjual dan Pembeli Gamelan

Perjanjian terjadi apabila para pihak telah sepakat untuk melakukan

jual beli gamelan berdasarkan pemesanan 40 set alat gamelan besi laras

Pelog dan Slendro gaya Surakarta dengan maksimal waktu penyelesaian

tanggal 5 Desember 2012.

Setelah perjanjian maka terjadilah hubungan hukum antara pihak

penjual dan pembeli yang masing-masing harus melakukan hak dan

kewajiban, pihak pembeli berkewajiban memberikan uang down payment,

sisa pembayaan akan diserahkan ketika barang sudah jadi. Perjanjian jual

beli gamelan secara inden ini barang tidak bisa langsung dikuasai oleh

7
J. Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 36-37
8
J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Bandung: Penerbit Alumni, hal. 28
17

pihak pembeli karena barang masih dalam proses pengerjaan dan waktu

penyerahan sudah disepakati kedua belah pihak.

6. Hak dan Kewajiban

Berjanji sesuatu berarti mengikat diri secara membebankan pada

diri sendiri suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu perbuatan9.

a. Hak dan Kewajiban Penjual Gamelan

Pihak penjual memiliki hak untuk menerima pembayaran atas

penjualan 40 set gamelan yang dilakukan dengan cara inden sesuai

perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak, sedangkan

kewajiban dari pihak penjual yaitu:

1) Menyerahkan obyek perjanjian dalam hal ini adalah 40 set gamelan

besi laras Pelog dan Slendro gaya Surakarta.

2) Berdasarkan Pasal 1491 KUHperdata bahwa penjual memiliki

kewajiban penanggungan kepada pembeli untuk menjamin dua hal,

yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan

tenteram, kedua terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang

tersembunyi, atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan

alasan untuk pembatalan pembeliannya.

Selanjutnya, di dalam Pasal 1239 KUHPerdata juga dijelaskan

bahwa “Adapun akibat hukum ataupun sanksi bagi seorang (debitur)

yang melakukan wanprestasi tersebut adalah membayar ganti rugi,

pembatalan perjanjian, peralihan resiko atau membayar biaya

perkara”.
9
Wirjono Prodjodikoro, 1985, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung: PT. Bale
Bandung, hal. 39
18

b. Hak dan Kewajiban Pembeli Gamelan

Hak dari pembeli adalah menerima barang yang telah dibeli

secara inden dalam keadaan baik, sesuai spesifikasi yang diminta

pembeli, dan pembeli juga berhak diberikan sampel atas pesanan.

Tetapi sebelum pembeli menerima dan memiliki haknya, pembeli

harus melaksanakan kewajiban terhadap penjual yaitu membayar harga

dari 40 set gamelan besi laras Pelog dan Slendro gaya Surakarta

berdasarkan harga yang telah disepakati kedua belah pihak.

Hal ini juga diatur dalam Pasal 1516 KUHPerdata yang berbunyi:

“Jika si pembeli tidak membayar harga pembelian, si penjual dapat

menuntut pembatalan pembelian, menurut ketentuan-ketentuan pasal

1266-1267”.

Jadi, apabila pembeli 40 set gamelan tidak dapat melakukan

kewajibannya untuk melakukan pembayaran sesuai kesepakatan, maka

penjual dapat melakukan pembatalan pembelian sesuai perjanjian jual

beli 40 set gamelan secara inden yang telah disepakati kedua belah

pihak.

7. Peraturan yang Mengatur Perjanjian Jual Beli Gamelan dengan Cara

Inden

Peraturan KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian harus

memenui syarat sah sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata

yaitu:

a. Kesepakatan kedua belah pihak;


b. Kecakapan para pihak dalam perjanjian;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
19

Perjanjian antara kedua belah pihak terjadi berdasarkan Pasal 1320

ayat (1) KUHPerdata yang mengatakan bahwa perjanjian lahir karena

adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Jual beli diatur dalam Pasal 1458 KUHPerdata, jual beli itu

dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah kedua

belah pihak mencapai kata sepakat tentang obyek jual beli dan harga yang

harus dibayar meskipun barang belum diserahkan.

Setelah jual beli berlangsung maka menimbulkan hak dan

kewajiban penjual pembeli. Kewajiban pembeli diatur dalam Pasal 1514

KUHPerdata pembeli harus membayar sejumlah uang terhadap obyek jual

beli yang telah disepakati, kewajiban penjual diatur dalam Pasal 1491

KUHPerdata yaitu menjamin penguasaan benda secara aman dan tenteram,

terhadap adanya cacat tersembunyi, maka dapat dilakukan pembatalan

pembelian.

Tanggung jawab atas dasar wanprestasi diatur dalam Pasal 1243

KUHPerdata yaitu penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak

dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan bila debitur telah

dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika

sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan

atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah

ditentukan.

Tanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum diatur

dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang mengatakan bahwa tiap perbuatan


20

melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut.

Tanggung jawab atas dasar ganti kerugian diatur dalam Pasal 1246

KUHPerdata yang mengatakan bahwa biaya, rugi dan bunga yang oleh si

berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya

atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat

dinikmatinya, dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta

perubahan-perubahan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peraturan mengenai jual beli

pada dasarnya dibuat oleh kedua belah pihak, yakni dibuat oleh penjual

dan pembeli yang memuat obyek jual beli, pembayaran, waktu penyerahan

barang dan hak kewajiban kedua belah pihak.

8. Tanggung Jawab Atas Dasar

Tanggung jawab muncul karena adanya kesalahan yang berupa

wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.

a. Wanprestasi

Pengertian wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang

berarti “prestasi buruk”. Selain itu perkataan wanprestasi sering juga

dipadankan pada kata lalai atau alpa, ingkar janji, atau melanggar

perjanjian, bila saja debitur melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak

boleh dilakukan. Wanprestasi berdasarkan bentuknya dibedakan

menjadi tiga, yaitu:


21

1) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya. Dengan kata

lain terlambat melakukan prestasi, artinya meskipun prestasi itu

dilaksanakan atau diberikan tetapi tidak sesuai dengan waktu

penyerahan dalam perikatan.

2) Tidak memenuhi prestasi, artinya prestasi itu tidak hanya

terlambat, tetapi juga tidak bisa lagi dijalankan karena pemenuhan

prestasi tidak mungkin lagi dilaksanakan karena barangnya telah

musnah, prestasi kemudian sudah tidak berguna lagi karena saat

penyerahan mempunyai arti yang sangat penting.

3) Memenuhi prestasi tidak sempurna, artinya prestasi diberikan

tetapi tidak sebagaimana mestinya.

Sedangkan akibat apabila seorang debitur wanprestasi adalah:

1) Kreditur tetap berhak atas pemenuhan perikatan, jika hal iu masih

dimungkinkan.

2) Kreditur memiliki hak atas ganti kerugian baik bersamaan dengan

pemenuhan prestasi maupun sebagai gantinya pemenuhan prestasi.

3) Sesudah adanya wanprestasi, maka overmacht tidak mempunyai

kekuatan untuk membebaskan debitur.

4) Perikatan yang lahir karena perikatan timbal balik, maka

wanptestasi dari pihak pertama memberi hak kepada pihak lain

unruk minta pembatalan kontrak oleh Hakim, sehingga Penggugat

dibebaskan dari kewajibannya. Dalam gugatan pembatalan kontrak

ini dapat juga dimintakan ganti kerugian10.

10
I Ketut Oka Setiawan, Op.Cit, hal. 19-20
22

b. Perbuatan Melawan Hukum

Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang dimaksud

dengan perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan melanggar

hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan

orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut.

Sementara itu, dalam Putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari

1919, mengalami perdebatan di kalangan ahli hukum Belanda.

Perdebatan berlangsung bertahun-tahun dan memperlihatkan suatu

usaha yang hebat dari yang kontra untuk mengemukakan bahwa rasa

keadilan di kalangan masyarakat “diperkosa” oleh yurisprudensi lama

ini. Kecuali itu betul-betul dirasakan ganjil, bila seorang yang

melakukan perbuatan yang terang dianggap tidak pantas oleh

masyarakat, dan dengan perbuatan itu merugikan orang lain, hanya

dapat ditegur untuk memberikan ganti kerugian, jika ia melanggar

langsung suatu pasal dari undang-undang tertentu. Istilah

onrechmatige daad, ditafsirkan secara luas sehingga meliputi juga

suatu perbuatan yang bertentangan dengan suatu kesusilaan atau

dengan yang dianggap pantas dalam pergaulan hidup masyarakat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, maka unsur-

unsur dari perbuatan melawan hukum itu, yaitu:

a. Ada perbuatan melawan hukum;


b. Ada kesalahan;
c. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian;
d. Harus ada kerugian.
23

Menurut Moegni Djojodirjo yang dimaksud dengan

“perbuatan” dalam melawan hukum itu melekat sifat aktif dan pasif

dari suatu perbuatan. Sifat aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja

melakukan suatu perbuatan yang menimbulkan suatu kerugian pada

orang lain. Sebaliknya apabila ia dengan sengaja diam saja atau dengan

lain perkataan, apabila ia dengan pasif saja sehingga menimbulkan

kerugian pada orang lain, maka ia telah “melawan” tanpa harus

menggerakan badannya11.

c. Ganti Rugi

Berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata penggantian biaya,

kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan mulai

diwajibkan bila debitur telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk

memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau

dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu

yang melampaui waktu yang telah ditentukan.

Menurut Yahya Harahap ganti rugi ialah “kerugian nyata” atau

fietelijke nadeel” yang ditimbulkan perbuatan prestasi. Kerugian nyata

ini ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan

oleh pihak debitur12.

Berdasarkan Pasal 1246 KUHPerdata dengan jelas mengatakan

bahwa:

11
Ibid, hal. 107-108
12
Merry Tjoanda, 2010, “Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata”, Jurnal Sasi, Vol. 16, No. 4 Bulan Oktober – Desember 2010, hal. 44
24

“Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut


akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang
telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat
dinikmatinya, dengan tak mengurangi pengecualian-
pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut
dibawah ini”.

Menurut Abdulkadir Muhammad, dari Pasal 1246 KUHPerdata

tersebut, dapat ditarik unsur-unsur ganti rugi adalah sebagai berikut13:

1) Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan


(cost), misalnya ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan.
2) Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang
kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damage).
Kerugian di sini adalah yang sungguh-sungguh diderita.
3) Buang atau keuntungan yang diharapkan (interest). Kerena
debitur lalai, kreditur kehilangan keuntungan yang
diharapkannya.

Guna menghindari tuntutan sewenang-wenang dari pihak

kreditur undang-undang memberikan batasan-batasan ganti kerugian

yang harus oleh debitur sebagai akibat dari kelalaiannya (wanprestasi)

yang meliputi:

1) Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan (Pasal 1247

KUHPerdata).

2) Kerugian dari akibat langsung wanprestasi debitur, seperti yang

tercantum dalam Pasal 1248 KUHPerdata untuk menentukan syarat

akibat langsung dipakai teori adequate. Teori ini berpendapat

bahwa suatu syarat merupakan sebab, jika menurut sifatnya pada

umumnya sanggup untuk menimbulkan akibat. Selanjutnya Hoge

Raad memberikan perumusan bahwa suatu perbuatan merupakan

13
Ibid, hal. 45
25

sebab jika menurut pengalaman dapat diharapkan/diduga akan

terjadinya akibat yang bersangkutan14.

3) Bunga ketika terlambat membayar sejumlah uang (Pasal 1250

KUHPerdata), besarnya bunga ditentukan oleh Pemerintah.

9. Berakhirnya Jual Beli Gamelan Secara Inden

Pada Pasal 1381 KUHPerdata terdapat sepuluh cara hapusnya

suatu perikatan, yaitu:

a. Pembayaran

Berdasarkan Pasal 1393 KUHPerdata menyebutkan sebagai

berikut:

“Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan


dalam perjanjian, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu
tempat, maka pembayaran yang mengenai suatu barang
tertentu, harus dilakukan di tempat dimana barang itu berada
sewaktu perjanjian dibuat”.

b. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penyimpanan atau Penitipan

Berdasarkan Pasal 1407 KUHPerdata menyebutkan bahwa:

“Biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran

pembayaran tunai dan penyimpanan harus dipikul oleh kreditur, jika

hal itu dilakukan sesuai undang-undang”.

Apabila kreditur menolak untuk melakukan pembayaran maka

uang yang akan dibayarkan ditawarkan secara resmi oleh juru sita

pengadilan.

14
Ibid, hal. 47
26

c. Pembaruan Hutang atau Novasi

Berdasarkan Pasal 1413 KUHPerdata ada tiga macam jalan

untuk pembaharuan hutang15:

1) Novasi obyektif, yaitu penggantian perikatan lama dengan


perikatan baru untuk orang yang mengutangkan.
2) Novasi subjektif pasif, yaitu dimana ada dibitur baru
ditunjuk untuk menggantikan debitur lama.
3) Novasi subjektif aktif, yaitu peristiwa dimana kreditur baru
ditunjuk menggantikan kreditur lama.

d. Perjumpaan Hutang atau Kompensasi

Perjumpaan hutang atu kompensasi terjadi apabila dua orang

saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka

suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua orang

tersebut dihapuskan oleh undang-undang ditentukan bahwa di antara

kedua mereka itu telah terjadi suatu perhitungan menghapuskan

perikatannya (Pasal 1425 KUHPerdata).

e. Percampuran Hutang

Terjadi ketika percampuran kedudukan sebagai orang yang

berutang sekaligus menjadi kreditur. Sehingga utang piutang itu

dihapuskan.

f. Pembebasan Hutang

Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai

pembebasan hutang. Secara sederhana pembebasan hutang adalah

perbuatan hukum dimana kreditur melepaskan haknya untuk menagih

Hukum Online, 2013, “Cara-Cara Pembaharuan Utang”, (12 Februari 2013), dalam
15

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5113002d58b0a/cara-cara-pembaruan-utang-(novasi)
diunduh 16 September 2018 pukul 19.33 WIB.
27

piutangnya dari debitur. Menurut Pasal 1439 KUHPerdata pembebasan

hutang tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.

Selanjutnya, dengan adanya pembebasan hutang maka

perikatan menjadi hapus, jika pembebasan hutang dilakukan oleh

seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan atau karena ada

paksaan, kekeliruan, penipuan maka dapat dilakukan pembatalan.

Pasal 1442 menentukan: a) pembebasan hutang yang diberikan kepada

debitur utama, membebaskan para penanggung utang, b) pembebasan

utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebankan

debitur utama, c) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang

penanggung utang tidak membebaskan penanggung lainnya.

g. Musnahnya Barang yang Terutang

Berdasarkan Pasal 1444 KUHPerdata jika barang yang tertentu

yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan

atau hilang hingga tidak diketahui sama sekali apakah barang itu masih

ada, atau tidak ada maka hapuslah perikatannya, asal barang itu

musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai

menyerahkannya.

Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkannya suatu barang,

yang sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadian-kejadian yang

tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga

dengan cara yang sama ditangan kreditur, seandainya barang tersebut

sudah diserahkan kepadanya16.

16
Ficky Nento, 2016, “Tinjauan Hukum Hapusnya Perikatan Jual Beli Barang Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Lex. Crimen, Vol. V / No. 6 Agustus 2016, hal. 75
28

h. Pembatalan

Pembatalan perjanjian dapat diminta oleh salah satu pihak

dalam perjanjian yang merasa dirugikan, suatu perjanjian dapat

dimintakan pembatalan apabila17:

a. Perjanjian yang dibuat melanggar syarat subyektif sahnya


perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1230 ayat 1 dan
2 KUHPerdata, yaitu perjanjian tersebut lahir karena
adanya cacat kehendak (wulsgebreke) antara lain karena
kekhilafan, paksaan atau penipuan atau karena
ketidakcakapan pihak dalam perjanjian sehingga berakibat
perjanjian tersebut dibatalkan (vernietigbaar).
b. Perjanjian yang dibuat melanggar syarat obyektif sahnya
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 ayat 3 dan
4, perjanjian dibuat tidak memenuhi syarat obyek tertentu
atau mempunyai causa yang tidak diperbolehkan seperti
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan sehingga berakibat perjanjian tersebut batal demi
hukum (nietig).

Sesuai ketentuan Pasal 1265 KUHPerdata syarat batal adalah

syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa

segala sesuatu pada keadaan semula seolah-olah tidak ada suatu

perjanjian. Penuntutan pembatalan perjanjian dilakukan melalui

pengadilan sehingga yang membatalkan perjanjian adalah melalui

putusan hakim sesuai ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata.

Selain itu, pembatalan perjanjian yang dapat dibatalkan adalah

pengembalian pada posisi semula sebagaimana halnya sebelum terjadi

perjanjian. Akibat pembatalan perjanjian dapat dilihat dari dua aspek.

Pertama, pembatalan terhadap perjanjian yang melanggar syarat

17
Yuli Dewitasari dan Putu Tuni Cakabawa, 2015, Akibat Hukum terhadap Para Pihak
dalam Perjanjian apabila Terjadi Pembatalan Perjanjian, Denpasar: Bagian Hukum Bisnis
Fakultas Hukum Universitas Udayana, hal. 3
29

subyektif sahnya perjanjian sehingga perjanjian dapat dibatalkan, dan

Kedua, adalah pembatalan terhadap perjanjian yang batal demi hukum

maka perjanjian tersebut tidaklah sah dan perjanjian dianggap tida

pernah ada18.

i. Syarat yang Membatalkan

Pembatalan merupakan pernyataan batalnya suatu perbuatan

hukum atas tuntutan pihak yang menurut undang-undang dibenarkan

untuk menuntut pembatalan seperti itu. Tiga syarat agar supaya

pembatalan dapat dilakukan yaitu, pertama perjanjian itu harus bersifat

timbal balik, kedua harus ada wanprestasi, dan ketiga harus dengan

putusan hakim19.

Berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata ayat (1) dengan jelas

menyatakan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan secara

nyata dengan demikian meskipun tidak tercantum secara nyata, syarat

ini memang ada, sehingga apabila dikemudian hari pihak debitur

wanprestasi, maka berdasarkan ayat (2) pembatalannya harus

dimintakan kepada hakim ayat (3) walaupun syarat batal ini tidak

dicantumkan secara nyata di dalam perjanjian. Jadi pasal tersebut di

atas mengandung suatu keharusan dan tidak boleh dikesampingkan

bahkan diabaikan20.

j. Lewat Waktu
18
Ibid, hal. 3-4
19
Yulia Vera Momuat, Mahasiswi Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, 2014, “Akibat Hukum Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam
Perjanjian terhadap Debitur yang Tidak Aktif dalam Melaksanakan Perjanjian”, Yogyakarta,
hal. 17
20
Ibid, hal. 19
30

Lewat waktu diatur dalam Pasal 1946 KUHPerdata, pengertian

lewat waktu adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk

dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu

dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Sehingga

berdasarkan ketentuan ini lewat waktu seperti yang ditetapkan dalam

undang-undang maka perikatan menjadi hapus.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat diketahui ada dua

macam lewat waktu:

1) Lewat waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu barang

disebut dengan “acquisitive prescription”.

2) Lewat waktu untuk pembebasan dari suatu perikatan atau

dibebaskan dari suatu tuntutan disebut dengan “extinctive

prescription”. Istilah lewat waktu merupakan terjemahan dari

istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verjaring” tetapi ada juga

terjemahan lain yaitu “daluwarsa”.

B. Penyelesaian Perkara Wanprestasi

1. Pengertian Perkara Jual Beli Gamelan

Jual beli seharusnya masing-masing pihak saling melakukan hak

dan kewajiban, tetapi kenyataannya terjadi perkara pembatalan sepihak

dalam pembelian 40 set alat gamelan yang berawal dari perjanjian jual beli

gamelan besi laras Pelog dan Slendro gaya Surakarta pada tanggal 24

Oktober 2012 dengan batas waktu penyelesaian maksimal tanggal 5


31

Desember 2012. Pesanan yang diserahkan kepada pembeli berupa

beberapa sampel gamelan banyak ditemui barang lama, tidak sesuai

spesifikasi dan terlambat dari batas waktu penyelesaian yang telah

disepakati, sehingga penjual tidak menepati perjanjian dan akhirnya

melalukan wanprestasi.

2. Menyusun Surat Gugatan Jual Beli Gamelan

Perkara perdata yang penyelesaiannya dimintakan perantara

pengadilan terjadi antara dua pihak yaitu pihak Penggugat dan pihak

Tergugat yang bersengketa.

Barangsiapa yang merasa hak pribadinya dilanggar oleh orang lain

maka mereka apabila menghendaki campur tangan/penyelesaian lewat

pengadilan maka berdasarkan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBG harus

mengajukan gugatan secara tertulis dan ditujukan kepada Ketua

Pengadilan Negeri dengan permohonan agar pengadilan memanggil kedua

belah pihak untuk menghadap di muka sidang pengadilan, untuk diperiksa

sengketa mereka atas dasar gugatan tersebut.

Persyaratan mengenai isi gugatan dijumpai dalam Pasal 8 No. 3

RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat:

a. Identitas dari para pihak;


b. Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang
merupakan dasar serta alasan dari tuntutan (middelen van den
eis) atau lebih dikenal dengan fundamentum petendi;
c. Tuntutan (onderverp van den eis een dudelijke en bepaalde
conlusie atau petitum) yang terdiri dari dua bagian, yaitu
bagian yang menguraikan peristiwa dan bagian yang
menguraikan tentang hukum.
32

Selanjutnya, di dalam petitum Penggugat harus merumuskan

dengan jelas dan tegas, tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat

berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Begitu pula di dalam

petitum jangan sampai redaksi kalimatnya tidak dapat dieksekusi jika

dikabulkan dalam putusan21. Surat gugatan yang dibuat haruslah

bertanggal menyebutkan dengan jelas identitas Penggugat dan Tergugat.

Surat gugatan sebaiknya diketik rapi dapat juga ditulis dengan tangan di

atas kertas biasa, perlu diberi materai22.

3. Mengajukan Gugatan ke Pengadilan Negeri

Orang yang mengajukan tuntutan hak ke pengadilan mempunyai

kepentingan untuk memperoeh perlindungan hukum. Suatu tuntutan harus

mempunyai kepentingan hukum yang cukup merupakan syarat utama

untuk dapat diterimanya tuntutan hak itu oleh pengadilan guna diperiksa

point d’enterest, point d’action. Kalau tuntutan hak itu terbukti didasarkan

atas suatu hak, pasti akan dikabulkan.

Setelah gugatan ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya

maka gugatan harus didaftarkan beserta salinannya kepada Kepaniteraan

Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Penggugat harus membayar biaya

perkara yang akan diperhitungkan kelak yang banyaknya buat sementara

ditaksir oleh Ketua Pengadilan Negeri menurut keadaan, untuk biaya

Kantor Kepaniteraan dan ongkos melakukan segala panggilan dan

21
Mohammad Saleh, 2016, Penerapan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya
Ringan pada Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Yogyakarta: Graha Cendekia, hal. 55-57
22
Burhanuddin Hasan dan Harinanto Sugiono, 2015, Hukum Acara dan Praktik Peradilan
Perdata, Bogor: Ghalia Indonesia, hal. 79
33

pemberitahuan yang diwajibkan kedua belah pihak dan harga materai yang

akan dipakai (Pasal 121 Ayat (4) HIR)23.

Setelah gugatan diterima oleh Pengadilan Negeri, telah diberi

nomer perkara dan didaftar dalam buku register, dalam waktu 3 hari kerja

harus sudah diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk ditetapkan

hakim atau majelis hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara

tersebut. Perkara yang bersangkutan dan berkas perkara paling lama dalam

7 hari harus diserahkan pada majelis yang akan memeriksa perkara

tersebut.

Apabila dalam gugatan itu diajukan permohonan sita jaminan,

maka majelis akan bermusyawarah dan bila ada alasan untuk

mengabulkan, maka Ketua Majelis membuat penetapan24.

4. Pemanggilan Para Pihak oleh Pengadilan Negeri

Setelah berkas perkara diserahkan kepada majelis hakim yang akan

memeriksa perkara tersebut maksimal 7 hari setelah menerima berkas

maka di antara 7 hari itu dilakukan untuk pemanggilan kedua belah pihak

dan penentuan hari sidang. Pemanggilan para pihak tidak boleh kurang

dari tiga hari kerja dari hari persidangan (Pasal 122 HIR).

Pemanggilan dilakukan oleh panitera yang diperintah oleh Ketua

Majelis Hakim untuk memanggil kedua belah pihak agar hadir pada waktu

sidang yang telah ditetapkan beserta saksi-saksi yang mereka minta untuk

didengar dan dengan membawa surat-surat bukti yang diperlukan.

23
Mohammad Saleh, Op.Cit, hal. 57
24
Ibid, hal. 57-58
34

Pemanggilan dilakukan oleh juru sita atau petugas lain yang bertindak

sebagai juru sita pengganti dan harus dilakukan berdasar Surat Perintah

Pemanggilan.

Cara melakukan pemanggilan yaitu juru sita harus bertemu dan

berbicara dengan pihak yang dipanggil di tempat kediamannya. Jika di

tempat tersebut tidak ada juru sita harus bertemu dan berbicara dengan

kepala desa yang bersangkutan. Kepala desa harus segera mungkin

memberitahukan pemanggilan itu kepada pihak yang dipanggil. Apabila

pihak yan dipanggil tidak diketahui kediamannya atau yang bersangkutan

tidak dikenal, pemanggilan harus dilakukan denhan perantaraan bupati/

wali kota yang dalam wilayah hukumnnya Penggugat bertempat tinggal.

Apabila pemanggilan tidak dijalankan menurut ketentuan undang-

undang risikonya adalah25:

a. Petugas yang melaksanakan pemanggilan harus memikul biaya


pemanggilan yang tidak sah itu dan wajib memanggil sekali
lagi menurut ketentuan undang-undang.
b. Apabila pemanggilannya salah pihak yang berperkara
menderita kerugian, petugas yang bersangkutan dapat dituntut
ganti kerugian.
c. Pemanggilan yang tidak sah berarti mulai mengulur waktu
perkara karena memerlukan pemanggilan sidang dan
pengadilan menunda pelaksanaan sidang.

5. Proses Pemeriksaan Perkara

a. Perdamaian

Perdamaian dilakukan pada saat sidang pertama setelah Hakim

Ketua membuka sidang dengan menyatakan “sidang dibuka untuk

25
Ibid, hal. 22
35

umum” dengan mengetuk palu. Hakim kemudian memulai dengan

menanyakan identitas Penggugat dan Tergugat. Setelah menanyakan

identitas hakim menghimbau agar dilakukan perdamaian, dalam hal ini

meskipun para pihak menjawab tidak mungkin damai karena usaha

penyelesaian perdamaian sudah dilakukan berkali-kali tetapi hakim

meminta agar dilakukan kembali26.

Menurut Perma No. 1 Tahun 2016 pengertian mediasi

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 yaitu “mediasi adalah cara

penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh

kesepakatan para pihak dibantu oleh mediator”. Dengan terbitnya

Perma No. 1 Tahun 2016, maka proses mediasi mengalami upaya

institusionalisasi ke dalam sistem peradilan yang bertujuan untuk

mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Selain itu juga

berfungsi memaksimalkan lembaga pengadilan dalam penyelesaian

sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat memutus27.

Mediasi di pengadilan pada dasarnya adalah usaha intensifikasi

proses perdamaian (130 HIR/154RBg) agar lebih mendorong

para pihak untuk mengupayakan perdamaian dalam sengketa yang

terjadi28.

Retnowulan Sutanto berpendapat bahwa, mediasi adalah29:

26
Sophar Maru Hutagalung, 2010, Praktik Peradilan Perdata Teknis Menangani Perkara
di Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 66
27
Herri Swantoro, 2016, Strategi & Taktik Mediasi, Jakarta: Kencana, hal. 62
28
Ibid,
29
Ibid, hal 55
36

Pemberian jasa baik dalam bentuk saran untuk menyelesaikan


sengketa para pihak oleh seorang ahli atau beberapa ahli yang
dapat diangkat oleh para pihak sebagai mediator. Salah satu
manfaat mediasi apabila dilihat dari kekuatan putusan yang
dihasilkan adalah karena pada hakikatnya mekanisme mediasi
adalah upaya mengarahkan pihak yang bersengketa
menyelesaikan sengketa secara perdamaian. Putusan
perdamaian hasil mediasi mempunyai kekuatan eksekutorial
sebagaimana putusan yang dihasilkan dari hasil persidangan/
proses litigasi.

b. Pembacaan Gugatan Peggugat

Setelah upaya perdamaian tidak berhasil dilakukan maka

agenda selanjutnya adalah pembacaan gugatan. Sebelum gugatan

dibacakan majelis hakim menanyakan dahulu kepada Penggugat

apakah gugatannya ada perubahan, jika ada diberikan kesempatan

untuk merubah dan dicatat oleh panitera pengganti. Jika tidak ada

perubahan maka agenda siding tetap pembacaan gugatan, namun

dalam praktiknya pembacaan gugatan selalu tidak dilakukan yang

terjadi adalah gugatan dianggap dibacakan sepanjang antara Penggugat

dan Tergugat sepakat.

Hal tersebut di atas dapat menghemat waktu karena pada

dasarnya gugatan tersebut sudah dibaca oleh Tergugat ketika gugatan

disampaikan pengadilan (juru sita) minimal 3 hari sebelum

persidangan pertama di mulai30.

c. Jawaban Tergugat

30
Elfrida R Gultom, 2017, “Hukum Acara Perdata Edisi 2”, Jakarta: Mitra Wacana
Media, hal. 40-41
37

Di dalam HIR tidak ada ketentuan yang mewajibkan Tergugat

untuk menjawab gugatan Penggugat. Pasal 121 ayat 2 HIR hanya

menentukan bahwa Tergugat dapat menjawab baik secara tertulis

maupun lisan. Jawaban Tergugat dapat berupa pengakuan, tetapi dapat

juga berupa bantahan (verweer).

Jawaban Tergugat atas gugatan Pengggugat, dibagi menjadi

dua yaitu31:

1) Jawaban Tergugat terhadap pokok perkara, disebut juga ver weer

ten principale atau materiel verweer, yaitu tangkisan atau

pembelaan yang diajukan Tergugat terhadap pokok perkara. Esensi

jawaban terhadap pokok perkara ditujukan terhadap pokok perkara

yang sengaja dibuat dan dikemukakan Tergugat, baik secara lisan

atau tertulis dengan tujuan untuk melumpuhkan kebenaran dalil

gugatan yang dituangan dalam jawaban. Isi dari jawaban Tergugat

dapat diklsifikasikan, antara lain:

a) Pengakuan (bekentenis), Tergugat dibenarkan dan

diperbolehkan memberikan jawaban berisi pengakuan terhadap

dalil gugatan Penggugat dan seluruh dalil gugatan.

b) Membantah dalil gugatan

Disebut juga membantah perkara (ver weer ten principles).

Semua dalil gugatan dibantah keberadaan dan kebenarannya,

merupakan hak dari Tergugat. Dengan adanya hak tersebut

31
M. Yahya Harahap, 2017, Hukum Acara Perdata Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika,
hal. 530 - 535
38

maka melekat kewajiban untuk mengemukakan alasan tentang

bantahan sesuai ketentuan Pasal 113 RV, sasaran bantahannya

yaitu kebenaran dalil gugatan, bantahan ditujukan ke arah

fakta, melumpuhkan kekuatan pembuktian.

c) Tidak memberi pengakuan dan bantahan

Jawaban Tergugat hanya berisi mengenai peernyataan,

menyerahkan sepenuhnya penilaian kebenaran dalil gugatan

kepada majelis hakim. Meskipun tidak memberi pengakuan

atau bantahan, Tergugat harus memperhatikan bahwa sikap

Tergugat harus tegas dalam jawaban untuk menyerahkan

kepada hakim penilaian kebenaran dalil gugatan dan tidak

mematikan hak Tergugat mengajukan bantahan pada tingkat

banding.

2) Jawaban Tergugat diluar pokok perkara, merupakan suatu

tangkisan atau eksepsi yang tidak langsung menyangkut pokok

perkara sebagai pernyataan keberatan yang bertujuan untuk

menggagalkan gugatan dari segi hukum formal. Jenis-jenis eksepsi

yaitu32:

a) Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie)

Eksepsi ini berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila

gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan

yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan

32
Ibid, hal. 496 - 521
39

tidak dapat diterima (niet onvantkelijke verklaard). Eksepsi

prosesual dapat dibagi menjadi tiga bagian:

(1) Eksepsi Tidak Berwenang Mengadili, yaitu pengadilan

tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan,

tetapi lingkungan atau pengadilan lain yang berwenang

untuk mengadilinya.

(2) Tidak Berwenang Secara Absolut, yaitu berkaitan

langsung dengan pembagian lingkungan peradilan dan

peradilan khusus.

(3) Tidak Berwenang Secara Relatif, yaitu berkaitan dengan

eksepsi kewenangan relatif berakaitan langsung dengan

Pasal 118 HIR dan Pasal 99 RV mengenai actor sequitur

forum rei (forum domicili), actor sequitur forum rei

dengan hak opsi, actor sequitur forum rei tanpa hak opsi,

tempat tinggal Penggugat, forum rei sitae, forum rei sitae

dengan hak opsi, domisili pilihan.

b) Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi

Terdiri dari berbagai bentuk atau jenis yaitu:

(1) Eksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah

Terhadap surat luasa khusus dapat diajukan berbagai

bentuk eksepsi antara lain:

(a) Surat kuasa bersifat umum.


40

(b) Surat kuasa tidak memenuhi syarat formil yang

digariskan.

(c) Surat kuasa dibuat orang yang tidak berwenang.

(2) Eksepsi Error In Persona

Tergugat dapat mengajukan eksepsi ini apabila gugatan

mengandung error in persona yang disebut exception in

persona. Jenis eksepsi error in persona meliputi:

(a) Eksepsi diskualifikasi atau gemis aanhoedanigheid.

(b) Keliru pihak yang ditarik sebagai Tergugat.

(c) Exception plurium litis consorlium.

(3) Exception Res Judicata atau Ne Bis In Idem

Kasus perkara yang sama tidak dapat diperkarakan dua

kali. Landasan hukumnya terdapat dalam Pasal 1917

KUHPerdata.

(4) Exceptio Obscuur Libel

Yang dimaksud dengan obscuur libel, formulasi gugatan

tidak jelas atau kabur. Dalam praktik dikenal beberapa

bentuk gugatan kabur yaitu:

(a) Tidak jelasnya dasar hukum dalil gugatan.

(b) Tidak jelasnya objek sengketa.

(c) Petitum gugat tidak jelas.

(d) Masalah posita wanprestasi dan perbuatan melawan

hukum.
41

d. Replik

Sejalan dengan asas audi alteram partem, kepada Penggugat

diberi hak untuk menanggapi jawaban yang diajukan Tergugat dan

mengajukan pembelaan kepentingannya, dan secara teknis disebut

replik, dengan demikian replik merupakan jawaban atas jawaban

Tergugat.

Replik terdiri dari dalil-dalil yang dikemukakan Penggugat,

untuk menyanggah atau menolak sebagian atau seluruh dalil-dalil yang

dikemukakan Tergugat dalam jawabannya33.

e. Duplik

Duplik diartikan sebagai jawaban kedua oleh Tergugat, duplik

adalah jawaban balik terhadap replik Penggugat. Hal tersebut

ditegaskan oleh Pasal 142 Reglement of de Rechtsvordering (RV) yang

memberi hak kepada Penggugat mengajukan replik atas jawaban

Tergugat dan selanjutnya memberi hak kepada Tergugat mengajukan

duplik terhadap replik Penggugat34.

Selanjutnya, di dalam duplik Tergugat memperkuat dalil-dalil

yang dikemukakan dalam jawaban dan berusaha mementahkan dalil-

dalil yang dikemukakan dalam replik Penggugat.

33
Hukum Online, 2017, “Hak Tergugat / Turut Tergugat Untuk Mengajukan Jawaban”,
(Rabu, 14 Juni 2017), dalam http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt590af0c32fd0a/hak-
tergugat-turut-tergugat-untuk-mengajukan-jawaban diunduh Selasa, 11 September 2018 pukul
10.30 WIB.
34
Ibid.
42

f. Pembuktian

1) Pengertian Pembuktian

Yang dimaksud pembuktian ialah meyakinkan hakim

terhadap kebenaran atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu

sengketa. Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu

hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka

hakim atau pengadilan. Membuktikan itu hanya diperlukan apabila

timbul suatu perselisihan35, sebagaimana dalam Pasal 163 HIR

yang berbunyi:

“Barangsiapa menyatakan memiliki barang suatu hak atau


menyebutkan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya
atau untuk membantah hak orang lain maka wajib
membuktikan hak itu atau adanya perbuatan tersebut”.

Tugas hakim sebagaimana disebutkan di atas adalah

menetapkan hukum atau undang-undang secara khas ataupun

menerapkan hukum atau undang-undang antara dua pihak yang

bersangkutan. Dalam sengketa yang berlangsung para pihak

mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan36.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pembuktian

dimaksudkan sebagai serangkaian tata tertib yang harus diindahkan

dalam melangsungkan peratura dimuka hakim.

35
Maisara Sunge, 2012, “Beban Pembuktian Dalam Perkara Perdata”, Jurnal Inovasi,
Volume 9, No. 2 Juni 2012, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo, hal. 2-3
36
Ibid.
43

2) Beban Pembuktian

Suatu masalah yang sangat penting dalam beban

pembuktian adalah masalah pembagian beban pembuktian. Sebab

dalam pembagian beban pembuktian harus dilakukan secara adil

san tidak berat sebelah. Pembagian ini harus berdasarkan Pasal 163

HIR berarti bahwa kedua belah pihak baik Penggugat meupun

Tergugat dapat dibebankan dengan pembuktian37.

Penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya

sedang Tergugat berkewajiban membuktikan kebenaran

bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran

bantahan Tergugat demikian pula sebaliknya Tergugat diwajibkan

untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan38.

Menurut Prodjodikoro mengatakan bahwa39:

Dalam perjalanannya acara perkara perdata harus


diperhatikan betul-betul jangan sampai kepentingan kedua
belah pihak dirugikan. Dengan pembebanan salah satu
pihak yang berperkara untuk membuktikan hal sesuatu
tentunya sedikit banyak pihak itu dirugikan, sebab ia akan
kalah perkaranya apabila ia tidak membuktikan. Maka dari
itu beban pembuktian mestinya harus diserahkan kepada
pihak yang dengan ini paling sedikit dirugikan.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pihak-pihak

berperkara harus dibebani pembuktian untuk membuktikan

kebenarannya, yang akan diputus oleh Hakim.

37
Ibid, hal. 5
38
Ibid.
39
Ibid, hal. 5-6
44

3) Alat Bukti

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 164 HIR Bukti-bukti

yang dihaturkan di persidangan dibagi menjadi 5 yaitu:

(i) Bukti surat, dalam proses perdata bukti tertulis


merupakan bukti yang paling utama terutama dalam
lalu lintas perdagangan seringkali sengaja disediakan
suatu bukti yang dapat dipakai. Bukti surat ada 3
macam yaitu surat biasa, akta otentik, akta di bawah
tangan.
Perbedaannya terletak pada cara pembuatannya sehelai
surat biasa dibuat tidak dengan maksud dijadikan bukti,
sehelai akta dibuat dengan sengaja di hadapan pejabat
yang berwenang untuk dijadikan alat bukti, sedangan
akta di bawah tangan yaitu akta yang dibuat dengan
tulisan tangan sendiri dan ditandatangani pihak-pihak
yang membuatnya40.
(ii) Bukti Saksi
Saksi-saksi itu ada yang secara kebetulan melihat atau
mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan di
muka hakim, ada pula yang memang disengaja diminta
menyaksikan suatu perbuatan hukum yang sedang
dilakukan41.

Berdasarkan Pasal 1907 BW kesaksian itu harus disertai

dengan alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang

diterangkan itu, pendapat maupun perkiraan-perkiraan yang

diperoleh dengan jalan pikiran bukan suatu kesaksian.

Seorang saksi tidak boleh memberikan keterangan yang

berupa kesimpulan karena menarik kesimpulan adalah tugas hakim

dan setiap saksi diwajibkan menurut cara agamanya bersumpah

bahwa ia menerangkan yang sebenarnya42.

40
Retnowulan Sutanto, 1989, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung:
Mandar Maju, hal. 94
41
R. Subekti, 1989, Hukum Acara Perdata, Bandung: Bina Cipta, hal. 100
42
Ibid, hal. 102
45

4) Persangkaan

Apabila susah menemukan saksi yang melihat atau

mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka dapat

diusahakan pembuktian dengan persangkaan43.

Persangkan adalah suatu kesimpulan yang diambil dari

suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Persangkaan dibagi

menjadi dua yaitu persangkaan hakim apabila hakim yang menarik

kesimpulan, dan persangkaan undang-undang apabila yang

menarik kesimpulan undang-undang44.

5) Pengakuan

Berdasarkan Pasal 174 H.I.R bahwa pengakuan yang

diucapkan di hadapan hakim menjadi bukti yang cukup untuk

memberatkan orang yang mengaku itu, baik pengakuan itu

diucapkan sendiri baikpun diucapkan oleh seorang yang istimewa

dikuasakan untuk melakukannya.

Ada 2 macam pengakuan yang dikenal dalam hukum acara

perdata yaitu pengakuan yang dilakukan di depan persidangan dan

pengakuan dilakukan di luar persidangan45.

Dengan demikian pengakuan yang dilakukan di depan

sidang mempunyai kekuatan bukti yang sempurna, sedangkan

43
Ibid, hal. 107
44
Ibid.
45
Retnowulan Sutanto, 1986, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung:
Alumni, hal. 59
46

mengenai pengakuan di luar sidang perihal penilaian terhadap

kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim

atau merupakan bukti yang bebas46.

6) Sumpah

Pasal 177 H.I.R menyebutkan bahwa apabila sumpah telah

diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi untuk meminta bukti

tambahan dari orang yang disumpah itu yaitu perihal dalil yang

dikuatkan dengan sumpah termaksud. Yang disumpah adalah salah

satu pihak, Penggugat atau Tergugat oleh karena itu yang menjadi

alat bukti adalah keterangan salah satu pihak yang dikuatkan

dengan sumpah itu sendiri47.

7) Kesimpulan Pembuktian

Setelah proses pembuktian berakhir, majelis hakim

memberikan kesimpulan pembuktian karena majelis hakim

berwenang untuk melakukan penilaian pembuktian yang diajukan

oleh para pihak. Apabila para pihak diwakili oleh kuasa hukum,

maka kuasa hukum diperbolehkan untuk menyimpulkan tetapi

tidak bisa menentukan kesimpulan pembuktian. Kesimpulan yang

dibuat oleh kuasa hukum hanya diberikan kepada majelis hakim

dan majelis hakim yang akan menilai kecocokan pembuktian.

46
Ibid.
47
Ibid, hal. 62
47

g. Putusan

1) Pengertian Putusan

Setelah mengetahui duduknya perkara yang sebenarnya,

maka pemeriksaan terhadap perkara dinyatakan selesai kemudian

dijatuhkan putusan. Putusam hakim adalah suatu pernyataan yang

oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberikan wewenang untuk

itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, tetapi juga

pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian

diucapkan oleh hakim di persidangan48.

Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya No. 5/1959

tanggal 20 April 1959 dan No. I/1962 tanggal 7 Maret 1962

menginstruksikan antara lain agar pada waktu putusan diucapkan

konsep putusan harus sudah selesai. Sekalipun maksud surat

edaran tersebut untuk mencegah hambatan dalam penyelesaian

perkara tetapi dapat dicegah pula adanya perbedaan isi putusan

yang diucapkan dan yang ditulis. Kalau ada perbedaan antara yang

diucapkan dan yang tertulis maka yang sah adalah yang diucapkan:

lahirnya putusan itu sejak diucapkan49.

48
Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
hal. 211-212
49
Ibid, hal. 212
48

2) Macam-Macam Putusan

Pasal 185 ayat 1 HIR (Pasal 196 ayat 1 Rgb) membedakan

antara putusan akhir dan putusan yang bukan putusan akhir.

Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau

perkara dalam satu tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini

ada yang bersifat menghukum (condemnatoir), ada yang bersifat

menciptakan (constitutif) dan ada pula yang bersifat menerangkan

atau menyatakan (declaratoir)50.

Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat

menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi, pada

umumnya putusan condemnatoir itu berisi hukuman untuk

Tergugat membayar sejumlah uang. Putusan condemnatoir

memiliki kekuatan mengikat hak eksekutorial kepada Penggugat

yang berarti memberi hak kepada Penggugat untuk menjalankan

putusan secara paksa melalui pengadilan51.

Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan atau

menciptakan suatu keadaan hukum. Putusan constitutif ini pada

umunya tidak dapat dilaksanakan karena tidak menetapkan hak

atas suatu prestasi tertentu, maka akibat hukumnya atau

pelaksanaanya tidak tergantung pada bantuan daripada pihak lawan

yang dikalahkan.

50
Ibid, hal. 231
51
Ibid, 232
49

Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat

menerangkan atau menyatakan apa yang sah, putusannya bersifat

menolak gugatan. Putusan declaratoir murni tidak mempunyai

upaya memaksa karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa

bantuan pihak lawan yang dikalahkan untuk melaksanakannya

sehingga hanya memiliki kekuatan mengikat saja52.

Disamping putusan akhir masih dikenal putusan pengadilan

yang bukan putusan akhir atau disebut putusan sela atau putusan

antara, yang berfungsi memperlancar pemeriksaan perkara. Selain

Pasal 185 ayat 1 HIR yang membedakan antara putusan akhir dan

putusan yang bukan akhir, Pasal 48 RV membedakan antara

putusan praeparatoir dan interlocutoir. Putusan praeparatoir

adalah putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai

pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir. Sedangkan

putusan interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan

pembuktian53.

Selain yang tersebut di atas, RV masih mengenal dua

putusan lainnya yang bukan putusan akhir, yaitu putusan insidentil

dan provisionil (Pasal 332 Rv). Putusan insidentil adalah putusan

yang berhubungan dengan incident, yaitu peristiwa yang

menghentikan prosedur peradilan biasa. Sedangkan putusan

provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan provisional

52
Ibid
53
Ibid, hal. 232
50

yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara

diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak

sebelum putusan akhir dijatuhkan54.

3) Pertimbangan Putusan Hakim

Pertimbangan atau yang sering disebut juga considerans

merupakan dasar dari putusan. Pertimbangan dalam putusan

perdata dibagi menjadi 2 yaitu pertimbangan tentang duduknya

perkara atau peristiwanya dan pertimbangan tentang hukumnya.

Yang dimuat di dalam bagian pertimbangan dari putusan tidak lain

adalah alasan-alasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada

masyarakat mengapa ia sampai mengambil putusan demikian55.

Alasan dan dasar dari pada putusan harus dimuat dalam

pertimbangan putusan (Pasal 184 HIR, 195 Rbg, 23 UU. No 14

Tahun 1970). Ketentuan tersebut mengharuskan setiap putusan

memuat ringkasan yang jelas dari tuntutan dan jawaban, alasan

dasar dari pada putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis,

pokok perkara, beaya perkara, serta hadir tidaknya para pihak, pada

waktu putusan diucapkan oleh hakim56.

Adanya alasan obyektif sebagai dasar dari putusan

menyebabkan putusan mempunyai nilai obyektif, maka oleh karena

itu Pasal 178 HIR dan 50 RV mewajibkan hakim karena

54
Ibid, hal. 233
55
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal. 178
56
Ibid, hal. 178-179
51

jabatannya melengkapi segala alasan hukum yang tidak

dikemukakan oleh para pihak57.

4) Pelaksanaan Putusan Hakim

Putusan hakim memiliki kekuatan eksekutorial yaitu

kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan

itu secara paksa oleh alat-alat Negara58. Pelaksaan putusan atau

eksekusi pengadilan dalam perkara perdata dapat dibedakan

menjadi 3 macam, yaitu:

a) Pelaksanaan putusan yang menghukum seseorang untuk

membayar sejumlah uang, prestasi yang dilakukan dengan

pembayaran sejumlah uang. Pelaksanaannya diatur dalam Pasal

196 HIR/ 208 Rgb59.

b) Pelaksanaan putusan yang menghukum seseorang untuk

melakukan suatu perbuatan, hal ini diatur dalam Pasal 225 HIR

(Pasal 259 Rgb). Apabila seseorang yang dihukum tidak

melakukan sesuatu perbuatan dalam tenggang waktu yang

ditentukan, maka pihak yang dimenangkan dapat meminta

kepada ketua pengadilan agar perbuatan yang tidak dilakukan

oleh pihak yang kalah itu dinilai dengan sejumlah uang60.

57
Ibid, hal. 179
58
Ibid, hal. 200
59
Djamanat Samosir, 2011, Hukum Acara Perdata Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara
Perdata, Bandung: Nuansa Aulia, hal. 338
60
Wirjono Prodjodikoro, 1984, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung: Sumur
Bandung, hal. 135
52

c) Pelaksanaan putusan riil, ekseskui rill ini tidak diatur dalam

HIR tetapi diatur dalam Pasal 1033 RV. Putusan riil adalah

putusan yang memerintahkan pengosongan atas benda tidak

bergerak, apabila orang yang dihukum untuk mengosongkan

benda tetap tidak mau memenuhi surat perintah hakim, maka

hakim meminta bantuan kepada juru sita supaya dengan

bantuan panitera pengadilan dan bila perlu dengan alat

kekuasaan negara, agar barang tetap itu dikosongkan61.

61
Ibid, hal. 137

Anda mungkin juga menyukai