Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA LANJUTAN PADA DIAGNOSA

KEPERAWATAN RESIKO BUNUH DIRI

Disusun Oleh :

SIGIT YULIANTO 196070300111007

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020
1. Konsep Resiko Bunuh Diri
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh sesorang
untuk mengahiri kehidupanya. Perilaku bunuh diri adalah tindakan yang
dilakukan secara sengaja untuk membunuh dirinya sendiri. Bunuh diri
melibatkan ambivalensi antara keinginan untuk hidup dan keinginan untuk
mati. Perilaku bunuh diri terdiri dari tiga tingkatan berupa ide/syarat bunuh
diri, ancaman bunuh diri, dan percobaan bunuh diri(Videbeck,2011).
Percobaan bunuh diri merupakan salah satu kegawatdaruratan psikiatri. Kata
bunuh diri berasal dari kata suicidere yang merupakan bahasa latin, sui
memiliki arti ‘diri’ dan caedere memilki arti “membunuh”. Jadi bunuh diri
adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan sadar oleh seorang untuk
mengahiri hidupnya. Ada beberapa tingkatan dalam bunuh diri yang
dijelaskan sebagai berikut:
a. Ide Bunuh Diri ( Suicidal Ideation) merupakan suatu gagasan,pikiran
atau fantasi untuk membunuh dirinya sendiri yang diberitahukan kepada
orang lain secara verbal,tulisan atau pekerjaan seni.
b. Niat Bunuh Diri (Suicide Intent) adalah sebuah komitmen dan keinginan
pasien untuk meninggal dengan cara membunuh dirinya sendiri.
c. Rencana Bunuh Diri (Suicide Plan) adalah sebuah strategi, menetapkan
waktu, dan sarana prasarana untuk melaksanakan tindakan membunuh
dirinya sendiri.
d. Ancaman Bunuh Diri (Suicide Threats) merupukan sebuah ungkapan
baik langsung maupun tulisan untuk melakukan tindakan bunuh diri
akan tetapi pada ahirnya tidak melakukan.
e. Isyarat Bunuh Diri (Suicide Gesture ) merupakan sebuah usaha melukai
dirinya sendiri oleh seseorang yang tidak memiliki niat atau harapan
untuk meninggal akan tetapi oleh orang lain diartikan sebagai upaya
untuk bunuh diri.
f. Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempts) adalah sebuah keadaan
dimanan seseorang telah melakukan upaya bunuh diri akan tetapi belum
menyebabkan kematian.
g. Bunuh Diri Selesai (Completed Suicide ) merupakan sebuah kematian
yang diakibatkan oleh seseorang yang mengahiri kehidupannya seniri.
Risiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena
merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri
disebabkan karena stres yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu
gagal dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi
masalah. Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan
untuk beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan
terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti, perasaan marah/bermusuhan (Azizah,
Zainuri & Akbar, 2016).
Menurut Durkheim, bunuh diri dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini disebabkan
oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan
individu itu seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan interaksi
dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka tidak menikah
lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan
mereka yang menikah.
b. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk
bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia
merasa kelompok tersebut sangat mengharapkannya.
c. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara
individu dan masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan
norma-norma kelakuan yang biasa. Individu kehilangan pegangan dan
tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak memberikan kepuasan
padanya karena tidak ada pengaturan atau pengawasan terhadap
kebutuhan-kebutuhannya.
2. Presdisposisi RBD
Faktor predisposis pada klien dengan resiko bunuh diri menurut Stuart (2011)
adalah :
a. Biologis,meliputi faktor herediter mengalami gangguan jiwa, penyakit
fisik, riwayat pengguna napza, riwayat nyeri kronik, faktor herediter dan
penyakit terminal.
b. Psikologisantara lainkekerasan masa kanak-kanak, riwayat keluarga
bunuh diri, homoseksual saat remaja.kegagalan dalam mencapai
harapan.
c. Sosial dan budayaantara lainperceraian, perpisahan hidup sendiri dan
tidak bekerja.
3. Presipitasi RBD
Perilaku deskrutif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang dialami
oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun
percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi
sangat rentan(Azizah, Zainuri & Akbar, 2016).
4. Penilaian Terhadap Stresor
a.Kognitif : mengungkapkan tidak berguna/ merasa gagal, mengungkapkan
putus asa/ tidak ada harapan, mengungkapkan ada keinginan bunuh diri,
mengungkapkan pernah mencoba bunuh diri, mengungkapkan orang yang
gagal, merasa kurang energi/letih, bingung, tidak dapat berpikir logis, tidak
mampu membuat tujuan hidup, tidak dapat mengambil keputusan, pikiran
negatif terhadap diri, tidak mampu memecahkan masalah, ragu-ragu/
ambivalensi, tidak ada harapan hidup.
b.Afektif : merasa malu, merasa kecewa, sedih, murung, marah, ketakutan,
khawatir, curiga, afek datar/ tumpul, malu, kecewa.
c.Fisiologis : merasa dada berdebar-debar, mengatakan tidak dapat tidur,
mengatakan tidak selera makan, tidak dapat tidur nyenyak, merasa letih,
merasa lemas, menahan nafas, tekanan darah meningkat, denyut nadi
meningkat, frekuensi nadi meningkat.
d.Perilaku : gaduh gelisah, tidak mampu merawat diri, menolak minum obat,
banyak diam, menarik diri dari lingkungan, berbicara seperlunya,
menunjukkan perilaku menunjukkan isyarat keinginan bunuh diri, impulsif,
melakukan percobaan bunuh diri, membeli obat atau alat untuk percobaan
bunuh diri, mudah menangis.
e.Sosial : mengatakan malas bicara, mengatakan malas berinteraksi, acuh
dengan lingkungan, mengurung diri, kontak mata mudah beralih
5. Sumber Koping
Tingkah laku bunuh diri biasanya berhubungan dengan faktor sosial dan
kultural. Durkheim membuat urutan tentang tingkah laku bunuh diri. Ada tiga
subkategori bunuh diri berdasarkan motivasi seseorang, yaitu sebagai
berikut(Yusuf, Fitryasari & Nihayati, 2015).
1. Bunuh diri egoistik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.
2. Bunuh diri altruistik
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
3. Bunuh diri anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.
6. Mekanisme Koping
Mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku pengerusakan
diri tak langsung adalah pengingkaran (denial). Sementara, mekanisme
koping yang paling menonjol adalah rasionalisasi, intelektualisasi, dan
regresi(Yusuf, Fitryasari & Nihayati, 2015).
7. Diagnosisi RBD
Risiko bunuh diri berhubungan dengan harga diri rendah.
8. Intervensi
8.1.Psikoterapi Individu,Keluarga,dan Kelompok Pada RBD
1) Terapi Individu
Cognitive behavioral therapy (CBT) adalah pemberian terapi tersebut
diharapkan mampu membuat klien beradaptasi dengan stimulus baru
dan mempertahankan perilaku yang diharapkan (nurturance),
melakukan perilaku baru atau perilaku yang dilatih (stimulation), dan
mampu menjaga/mempertahankan perilaku dari stimulus yang kurang
menyenangkan (protection). Pemberian pemberian Assertive Training
(AT) dan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) pada klien dengan resiko
bunuh diri adalah bertujuan untuk memperkuat mekanisme koping pada
sistem kognator klien yang berhubungan dengan masalah kognitif dan
emosi (Riris, Hamid&Putri, 2014). Hasil Penelitian Sukma, Keliat dan
Mustikasari (2015) menyatakan perpaduan terapi CBT mammpu
menurunkan tanda dan gejala pada pasien dengan Risiko Bunuh Diri
Prosedur Pelaksanaan Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
a. Sesi I: Pengkajian
Perawat harus mampu melakukan pengkajian mengenai segala

macam pengalaman yang pemah dialami oleh individu baik yang

berupa ancaman yang pemah terjadi pada dirinya yang dapat

menyebabkan hilangnya kemampuan individu didalam memproses

segala bentuk informasi secara efektif

b. Sesi ll: Terapi Kognitif


Terapi kognitif dilakukan dengan tujuan untuk dapat memfokuskan

kembali antara pola pikir, kepercayaan dan prinsip diri kepada

sesama sehingga mempunyai bentuk pemikiran yang Iebih positif


lagi. Selain itu, melalui terapi ini klien akan dilatih untuk tetap

mempertahankan pola pikir positif yang telah terbentuk agar semakin

percaya diri ketika menghadapi situasi penuh tekanan dan konflik.

c. Sesi III: Terapi Perilaku


Terapi perilaku dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk terapi yang

mana akan mengajarkan individu untuk melakukan perilaku yang

awalnya negatif menjadi positif sehingga klien dapat mengontrol

pen'laku negatifnya. Perilaku dapat diamati.diukur. & dicatat baik

oleh diri sendiri maupun orang lain. Melalui terapi perilaku individu

diharapkan mampu untuk menyikapi segala bentuk persoalan hidup

yang dihadapi dengan pen'laku asertif Menurut Stuart (2013)

menambahkan bahwa pada sesi terapi perilaku ini, terapis akan

meminta klien untuk memperagakan kemampuan positif yang

dimiliki sebelumnya dan mendorongya untuk terus berlatih sehingga

dapat meningkatkan keterampilan positifnya.

d. Sesi IV: Evaluasi Terapi Kognitif Dan Terapi Perilaku


Pada sesi ini, perawat akan meIakukan evaluasi lebih lanjut tentang

pengalaman klien didalam menghadapi masaIah dengan

menggunakan analisis perilaku.

e. Sesi V: Kemampuan Mengubah Pola Pikir dan perilaku negatif


Sehingga Meminimalkan Kambuh.
Pikiran akan mempengaruhi respon emosi dan perilaku. Pikiran yang

positif dapat menghasilkan perasaan dan perilaku yang positif pula

sehingga hal ini dapat membuat individu tersebut metasa


nyaman.Ketrampilan berpikir dan berperilaku positif harus dilatih

secara terus menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan dalam hidup

sebagai kunci utama didalam mencegah terjadi kekambuhan.

2) Terapi Kelompok
Penelitian yang dilakukan Bregman (1984) menyatakan bahwa
Assertiveness Training berpengaruh positif terhadap kemampuan
berkomunikasi secara asertif dengan melibatkan aspek nonverbal.
Metode Assertiveness Training akan memotivasi klien untuk lebih
berperan aktif berfikir dan berlatih terhadap kemampuan sosial atau
verbal yang diajarkan.
Adapun langkah-langkah dalam strategi latihan asertif adalah sebagai
berikut:
a. Rasionalstrategi.
Yaitu konselor memberikan rasional/ menjelaskan maksud penggunaan
strategi.Konselor memberikan overview tahapan-tahapan implementasi
strategi.
b. Identifikasi keadaan yang menimbulkan persoalan.
Yaitu konselor meminta klien menceritakan secara terbuka
permasalahan yang dihadapi dan sesuatu yang dilakukan atau
dipikirkan pada saat permasalahan timbul.
c. Membedakan perilaku asertif dan tidak asertif serta mengeksplorasi
target.Yaitu konselor dank lien membedakan perilaku asertif dan
perilaku tidak asertif serta menentukan perubahan perilaku yang
diharapkan.
d. Bermain peran, pemberian umpan balik serta pemberian model
perilaku yang lebih baik.
Klien bermain peran sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi.Konselor member umpan balik secara verbal, pemberian
model perilaku yang lebih baik, pemberian penguat positif dan
penghargaan.
e. Melaksanakan latihan dan praktik
Klien mendemonstrasikan perilaku yang asertif sesuai dengan target
perilaku yang diharapkan.
f. Mengulang latihan
Klien mengulang latihan kembali tanpa bantuan pembimbing
g. Tugas rumah dan tindak lanjut
Konselor member tugas rumah pada klien, dan meminta klien
mempraktekkan perilaku yang diharapkan dan memeriksa perilaku
target apakah sudah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
h. Terminasi
Konselor menghentikan program bantuan
3) Terapi Keluarga : Terapi Psikoedukasi Keluarga.
Psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan kemampuan
keluarga karena dalam pelaksanaan terapi mengandung unsur
meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengajarkan
teknik yang dapat membantu keluarga untuk mengetahui gejala-gejala
penyimpangan perilaku serta peningkatan dukungan bagi anggota
keluarga itu sendiri. Psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan
pengetahuan anggota keluarga tentang penyakit dan pengobatan,
meningkatkan kemampuan keluarga dalam upaya menurunkan angka
kekambuhan, mengurangi beban keluarga, melatih keluarga untuk lebih
bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar anggota
keluarga dan orang lain.
Berdasarkan evidance based practicepsikoedukasi keluarga
adalah terapi yang digunakan untuk memberikan informasi pada
keluarga untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam merawat
anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa, sehingga
diharapkan keluarga akan mempunyai koping yang positif terhadap
stress dan beban yang dialaminya (Goldenberg & Goldengerg, 2004).
Dengan melakukan psikoedukasi maka seorang perawat akan dapat
langsung memberikan pelayanan yang efektifdan efisien untuk
menyelesaikanmasalah kepada keluarga dengan anggota keluarga
perilaku kekerasan.
4) Komplenter
Terapi musik adalah suatu proses yangterencana bersifat
preventif, dalam usahapenyembuhan terhadap penderita yangmengalami
kelainan atau hambatan dalampertumbuhannya, baik fisik motorik,sosial
emosional, maupun mentalintelegensi. Terapi musik
menggunakanmusik atau elemen musik oleh seseorangterapis untuk
meningkatkan,mempertahankan dan mengembalikankesehatan mental,
fisik, emosional dan spiritual (Suryana, 2012). Menurut Bernhard
(2003), jenisjenismusikdibedakanmenjadidua yaitu:musik klasik dan
musik non klasik. Musikklasik merupakan sebuah musik yangdibuat dan
ditampilkan oleh orang yangterlatih secara profesional
melaluipendidikan musik.musik non klasik yangbiasa diajarkan adalah
musik pop, jazz, rock dan blues.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspaningrum dkk (2015)
menyatakan terapimusik klasik Mozart berpengaruh terhadap
kemampuan mengontrol halusinasi pada pasienhalusinasi di RSJ Dr.
Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah.
8.2.Interpersonal Therapy Pada RBD
Interpersonal Theraphy adalah sebuah psikoterapi yang memiliki batasan
waktu yang jelas, berfokus pada hubungan interpersonal dan meiliki
tujuan untuk menghilangkan gejala dan meningkatkan fungsi interpersonal
individu (Robertson, Rushton, dan Wurm, 2008). Prinsip utama dalam
terapi interpersonal adalah bahwa depresi dan distress muncul dalam
sebuah konteks interpersonal. Depresi mungkin memiliki berbagai macam
penyebab dan etiologi, namun trigger dari kemunculan episode-episode
depresif yang dialami oleh klien melibatkan adanya gangguan dalam
attachment dengan figure-figur yang menurut klien signifikan, atau
hambatan dalam menjalankan peran social tertentu.
Terdapat beberapa hal dalam pelaksanaan terapi interpersonal yang
mungkin ditemukan pula dalam bentuk psikoterapi lain. Pada terapi
interpersonal, terapis juga melakukan klarifikasi mengenai keadan mood
dari klien terkait dengan peristiwa interpersonal, analisis pola komunikasi,
dan proses pengambilan keputusan, peningkatan kemampuan
interpersonal dan beberapa pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh
klien (Verdeli& Weissman, dalam Corsini & Wedding, 2011). Terapi
interpersonal juga memiliki prinsip-prinsip yang serupa dengan Cognitive
Behavioral Therapy (CBT), dimana terapi berfokus pada peristiwa yang
here and now, terstruktur, menggunakan teknik-teknik serupa, dan
berusaha membantu klien untuk mengoptimalkan pilihan-pilihan yang
dimiliki klien untuk mengatasi masalahnya. Meskipun demikian, terapi
interpersonal tidak fokus untuk berusaha mencari tahu automatic distorted
thoughts klien seperti yang dilakukan dalam CBT melalui pemberian
pekerjaan rumah yang sistematis. Terapi interpersonal juga lebih berfokus
untuk membantu klien mengeksplorasi dan memodifikasi pola-pola
komunikasi yang maladaptive yang dapat menyebabkan dan
memeprtahankan distress yang klien alami (Verdeli & Weissman, dalam
Corsini & Wedding, 2011).
8.3.Psychodinamic Therapy pada RBD
Dengan menggunakan model dynamic interpersonal terapy yang terdiri
dari 3 fase yaitu (Luyten, P., De Meulemeester, C., & Fonagy, P. 2019):
Fase 1 (sesi 1-4)
Melibatkan pasien dalam perawatan adalah fokus pertama dari fase awal.
Pasien biasanya datang menolak penjelasan psikologis untuk kondisinya
dan memiliki riwayat negative dengan para profesional kesehatan. Satu-
satunya cara bagi terapis untuk melakukannya melawan perasaan ini
adalah dengan validasi empati dan perasaan kuat dari pembatalan pasien,
dalam kombinasi dengan mengakui realitas penderitaan mereka. sebagian
dicapai oleh terapis dan pasien memutuskan bersama pada focus terapi
yang akan dijalankan. mengacu pada pola hubungan atau kelekatan afektif
kognitif berulang yang berhubungan dengan timbulnya dan lamanya
gejala pasien.
Fase 2 (sesi 5-12)
terdiri dari bekerja melalui rencana terapi yang telah disusun di sesi awal
dan memperkuat kemajuan terapeutik. Tujuan ini dicapai dengan proses
bersama dimana pasien dibantu untuk mengenali pola perlekatan
interpersonal tipikal dalam kehidupan sehari-hari, dengan fokus pada
kapasitas pasien untuk merenungkan dampak dari pola ini pada diri yang
diwujudkan, orang lain, dan hubungan diri dengan orang lain. Di dinamyc
interpersonal terapi, terapis secara aktif mendorong dan mendukung
perubahan. Di fase tengah terapis menggunakan rangkuman penuh
intervensi psikodinamik: (1) mendukung intervensi (jaminan, dukungan,
dan empati); (2) intervensi yang menumbuhkan mentalisasi; (3) intervensi
ekspresif seperti pandangan teoritis, yang termasuk terbatas fokus pada
hubungan transferensi saat yang tepat, (4) teknik pengarahan (mis.,
mendorong pasien untuk mengubah cara dia berinteraksi dengan orang
lain)
Fase 3 (sesi 13-16)
Berfokus pada pemberdayaan pasien untuk melanjutkan proses perubahan
terapi sendiri. Ini dimulai dengan berbagi draft "selamat tinggal" surat
yang ditulis oleh terapis. Surat ini memberikan gambaran umum tentang
(1) masalah yang muncul, (2) focus terapi, (3) apa yang telah dicapai
dalam hal berubah, dan (4) apa yang belum tercapai. Surat ini sering
memancing reaksi emosional yang sangat kuat pada pasien.
9. Evaluasi Keperawatan
Proses evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan dari tindakan
keperawatan dan strategi rencana tindakan keperawatan selanjutnya. Evaluasi
tindakan pada pasien untuk menilai adanya penurunan atau peningkatan tanda
dan gejala harga diri rendah pasien serta kemampuan pasien dalam
meningkatkan harga diri rendah dengan menyadari kemampuan positif yang
pasien miliki (Wuryaningsih, Windarwati, Dewi, Deviantony & Hadi, 2018).

10. Dokumentasi Keperawatan


Dokumentasi keperawatan pada catatan perkembangan perawatan sangat
penting dilakukan perawat. Dokumen ini merupakan bukti tertulis asuhan
keperawatan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dokumen ini jga
merupakan media komunikasi antara perawat maupun perawat- tenaga
kesehatan lainnya sebagai pertimbangan perencanaan tindakan selanjutnya
(Wuryaningsih, Windarwati, Dewi, Deviantony & Hadi, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L.M., Zainuri, I., & Akbar, A. 2016."Buku ajar keperawatan kesehatan
jiwa".Indomedika pustaka.Yogyakarta. hal.226
Stuart, G. W., Keliat (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa
Stuart. Edisi Indonesia: Elsevier. Hal 221
Yusuf, A.H., Fitryasari, R., & Nihayati, H.E. 2015. Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa.Jakarta Selatan. Salemba Medika. Hal.96
Videbeck, S.L. (2020). Psychiatric-Mental Health Nursing. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins
NANDA, (2012).Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.Cetakan
2011. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Riris, R.O., Hamid, A.Y., & Putri, Y.S.E. (2014). Manajemen Kasus Spesialis
Keperawatan Jiwa Klien Risiko Perilaku Kekerasan Dengan Pendekatan
Model Adaptasi Roy Dan Johnson’sbehavioral System Model Unit Intensive
Rs Mm Di Bogor . Jurnal Keperawatan Jiwa .No. 2(2). Hal. 129-137
Damayanti dan Iskandar.(2014). Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung : Refika
Aditama
Bernhard, S.L. (2003). Panduan Bagi Orang Tua Les Musik UntukAnda. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Suryana, D. (2012). Terapi Musik. Jakarta: Wsite
Cuijpers, Pim; Geraedts, Anna S.; van Oppen, Patricia; Andersson, Gerhard;
Markowitz, John C.; van Straten, Annemieke (2011). Interpersonal
Psychotherapy for Depression: A Meta-Analysis. American Journal of
Psychiatry. 168 (6): 581–92. doi:10.1176/appi.ajp.2010.10101411.
Wade, Carole., Tavris, Carol & Garry, Maryanne. 2014. “Psikologi: Edisi
Kesebelas Jilid 1”. Jakarta: Erlangga.
Stuart, G. W. (2011). Principles and Practice of Psychiatric Nursing(9 ed.). Missouri:
Mosby, inc
Stuart, G. W. (2013). Principles and Practice of Psychiatric Nursing(9 ed.). Missouri:
Mosby, inc
Wuryaningsih, Windarwati, Dewi, Deviantony & Hadi.(2018). Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa 1. Jember: UPT Percetakan dan Penerbitan
Universitas Jember

Anda mungkin juga menyukai