Anda di halaman 1dari 126

Penanganan Konflik

Pendekatan Kearifan Lokal

Dr. Bambang Wahyudi, MM. M.Si.


Penanganan Konflik: Pendekatan Kearifan Lokal
© Dr. Bambang Wahyudi, MM. M.Si.

Editor:
May May Maysarah, M.Han.

Layout:

Dimas Indiana Senja

Cover:

Farid

Diterbitkan Oleh:

PUSTAKA SENJA
pustakasenja@yahoo.com
Jl. Ori 1 No 9 c Papringan, Yogyakarta
(Hp. 085741060425, website: www.pustakasenja.com)

Cetakan 1, September 2018


ISBN : 978-602-6730-40-4

Hak Cipta dilindungi Undang-undang


All right reserved

ii
Penanganan Konflik
Pendekatan Kearifan Lokal

Dr. Bambang Wahyudi, MM. M.Si.

iii
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana:
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan Ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait
sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

iv
PENGANTAR PENULIS

Sebagaimana konflik yang bisa dikelola, perdamaian pun


harus senantiasa dipastikan bisa terbangun, tentunya melalui
sebuah proses panjang yang sebelumnya telah disepakati semua
pihak. Konstruksi sosial masyarakat hingga kini memaksa untuk
tidak dapat dengan mudah memperoleh perdamaian tanpa upaya
apapun, perlu usaha keras.
Kelangkaan, ketimpangan akses, serta prasangka atau
stigma atas dasar Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA)
membuat konflik menjadi hal yang lumrah di berbagai wilayah
terlebih di jika penanganan terhadap konflik kurang tepat. Pada
tahapan selanjutnya konflik yang terjadi akan menimbulkan
kekerasan dengan tingkatan yang berbeda.
Indonesia memiliki rekam sejarah konflik yang tidak
sederhana. Selepas masa kolonialisme, konflik idelogis tentang
bentuk negara telah melahirkan gerakan-gerakan separatis.
Kelompok agama tertentu, menginginkan Indonesia menjadi
negara agama. Suku tertentu bertindak primordial terhadap
akses-akses politik di wilayah masing-masing. Aroma
nasionalisme berubah menjadi etnonasionalisme bahkan
primordialisme yang berpotensi terjadinya disintegrasi bangsa. Di
samping drama kapitalisme yang dengan mudahnya membagi
rakyat Indonesia kedalam berbagai kelas ekonomi yang sangat
timpang dan menghasilkan penindasan yang kemudian dianggap
sebagai konsekuensi wajar dari kemalasan dan keterbelakangan.
Dengan angka atas pulau dan suku di Indonesia yang begitu

v
ragam, segala macam keanekaragaman ini harus dikelola agar
tidak menimbulkan konflik baru. Konflik yang sudah adapun
harus ditangani, agar perdamaian memiliki kesempatan untuk
tumbuh.
Memang tidak ada rumusan baku untuk menangani konflik,
namun hal ini bukan berarti tidak ada pola yang dapat dijadikan
pendekatan umum. Sebagai bahan kajian Damai dan Resolusi
Konflik, buku ini mencoba menghadirkan pendekatan tersebut
secara runtut, mulai dari terminologi atas perihal konflik dan
perdamaian yang menjadi pokok bahasan, hingga membongkar
cara-cara resolusi konflik yang selama ini digunakan untuk
membangun perdamaian di beberapa daerah di Indonesia.
Pendekatan kearifan lokal menjadi praktik baik di daerah
maupun di Indonesia secara umum seperti: Mertitani di
Gemawang Kabupaten Temanggung, Tradisi Nyadran di Giyanti
Wonosobo, toleransi Komunitas Aboge di Kabupaten Banyumas,
Adat Reba di Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur, serta tradisi
Rewang di Bukit Batu Kabupaten Bengkalis. Sebagian berbentuk
aktivitas kultural, yang memang akan sangat berbeda dari satu
daerah dengan daerah lain. Namun pada intinya, upaya
pengangkatan nilai-nilai kearifan lokal yang asli terlahir dari
daerah tersebut untuk kemudian diproyeksikan dalam aktivitas
yang seharusnya dapat menjadi inspirasi dalam membangun
perdamaian di wilayah lainnya, setelah melalui proses modifikasi
yang disesuaikan dengan karakter konflik dan wilayah konflik
terjadi.

vi
Begitu juga Aceh, kohesi kultural hadir seiring dengan
diberi ruangnya nilai-nilai kultural yang sebelumnya
disalahgunakan oleh kelompok separatis. Bahwa konflik
berkembang, seiring dengan berkembangnya aktor dan faktor
konflik, memang seharusnya disadari.
Sebagaimana pun memburuknya sebuah konflik, pola-pola
seperti ini harus didekati, dipahami, dan dikelola dengan baik
agar malah dapat menjadikan potensi penumbuhan benih-benih
perdamaian, fluiditas, rekonsiliasi, dan transformasi konflik dalam
mengatasi konflik seperti ini menjadi kunci, yakni mengubah
nilai-nilai konfliktual menjadi langkah pertama untuk
membangun nilai-nilai perdamaian.
Singkat kata, dalam argumentasi penulis, untuk
menciptakan perdamaian maka perlu menggunakan konsepsi
realitas dalam menangani konflik di Indonesia, sehingga
perdamaian dapat terwujud secara berkelanjutan.
Buku ini ditulis sebagai wujud kontemplasi penulis atas
fenomena konflik di Indonesia. Tentu tidak dapat menjawab
seluruh pertanyaan mengenai bagaimana membangun
perdamaian. Buku ini mungkin hanya memberikan sedikit kajian
mengenai cara-cara penanganan konflik melalui pendekatan
kewilayahan yang menekankan pada aspek realitas, belum
sempurna namun seperti ada harapan baru dalam proses
perdamaian.
Penulis sangat berterima kasih terhadap pihak-pihak yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang turut
berkontribusi terhadap lahirnya buku ini. Menyadari

vii
ketidaksempurnaan dalam proses penulisan, penulis sangat
terbuka terhadap kritik dan saran.

Dr. Bambang Wahyudi, MM. M.Si.

viii
DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS ~v

DAFTAR ISI ~ ix

BAB I SEJARAH KONFLIK DI INDONESIA DAN PREDIKSI MASA


DEPAN ~1
BAB II MEMAHAMI KONFLIK DAN PERDAMAIAN ~11
BAB III PENGENALAN LOCAL WISDOM SEBAGAI METODE
PENYELESAIAN KONFLIK ~37
BAB IV PENANGANAN KONFLIK DENGAN PENDEKATAN
KEARIFAN LOKAL ~61
BAB V MEMBONGKAR RESOLUSI KONFLIK PENDEKATAN
KEARIFAN LOKAL DI ACEH~ 83

BAB VI RELEVANSI TEORI REALITAS DAN PENANGANAN


KONFLIK ~101
PENUTUP ~106
REFERENSI ~109
BIODATA PENULIS ~114

ix
x
Penanganan Konflik

BAB I
SEJARAH KONFLIK DI INDONESIA
DAN PREDIKSI MASA DEPAN

Konflik menjadi barang lumrah yang mungkin saja dapat


ditemui dengan mudah di Indonesia. Terlebih karena kondisi
Indonesia yang secara geografis maupun sosiokultural memiliki
kekhasan yang cenderung berbeda dengan negara lainnya.
Indonesia memiliki ciri geografis berupa luas wilayah yang
terpisahkan oleh lautan dan samudera. Hal itu membuat
penduduk Indonesia tinggal secara terpisah oleh lautan luas, yang
kemudian disadari atau tidak memberikan pengaruh terhadap
kebiasaan dan kebudayaan yang terbentuk di tengah masyarakat.
Dilihat dari sejarah, sebutan kata "Indonesia" sendiri
berasal dari bahasa Latin yaitu Indus yang berarti "Hindia" dan
kata dalam bahasa Yunani nesos yang berarti "pulau". Jadi,
sebutan atau kata Indonesia berarti wilayah Hindia kepulauan,
atau kepulauan yang berada di Hindia. Makna kata tersebut
menunjukkan bahwa nama ini terbentuk jauh sebelum Indonesia
menjadi negara berdaulat.
Pada tahun 1850, George Earl, etnolog berkebangsaan
Inggris, semula mengusulkan istilah Indunesia dan Malayunesia
untuk penduduk "Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu".

1
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Murid dari Earl, bernama James Richardson Logan, menggunakan


kata Indonesia sebagai sinonim dari Kepulauan India.
Akan tetapi penulisan akademik Belanda di media Hindia-
Belanda tidak menggunakan kata Indonesia, tetapi istilah
Kepulauan Melayu (Maleische Archipel); Hindia Timur Belanda
(Nederlandsch Oost Indië), atau Hindia (Indië); Timur (de Oost);
dan bahkan Insulinde (istilah ini diperkenalkan tahun 1860 dalam
novel Max Havelaar (1859), ditulis oleh Multatuli, mengenai kritik
terhadap kolonialisme Belanda).
Sejak saat itu, atau lebih tepatnya pada tahun 1900, nama
Indonesia menjadi lebih umum dikenal pada lingkungan
akademik di luar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia
menggunakannya untuk ekspresi politik. Adolf Bastian dari
Universitas Berlin mempopulerkan nama ini melalui buku
Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884–1894.
Adapun pelajar Indonesia pertama yang menggunakannya ialah
Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), yakni ketika beliau
mendirikan kantor berita di Belanda yang bernama Indonesisch
Pers Bureau pada tahun 1913. Kata Indonesia semakin popular
digunakan sebagai pengganti nama Nusantara atau Kepulauan
Nusantara, yang membentang dari ujung barat Pulau Sumatera
hingga ujung timur Papua. Sebuah sejarah panjang hingga
akhirnya nama Indonesia semakin terkenal seperti saat ini.
Salah satu keunikan dari Indonesia sebagai sebuah negara
ada pada faktor kebangsaannya. Masyarakat Indonesia cenderung
plural. Beragam agama, kebudayaan dan ras hampir ada di

2
Penanganan Konflik

Indonesia. Kondisi tersebut semakin membuat posisi Indonesia


sebagai sebuah negara mendapatkan keuntungan, namun hal ini
pun dapat hadir sekaligus dengan ancaman.
Selain itu, faktor keberlimpahan sumber daya alam dan
keberagaman budaya menjadi dua mata pisau yang berlawanan.
Pada satu sisi dapat memberikan keuntungan bagi identitas ke-
Indonesia-an, namun dalam waktu yang sama sekaligus juga
mengandung ancaman bahkan berujung terjadi konflik jika
kesadaran pluralitas dan persatuan masyarakat melemah.

Konflik Separatisme di Indonesia


Sejarah mencatat sejak awal Indonesia dipersatukan
menjadi sebuah negara beberapa konflik atau pertentangan
muncul sebagai bentuk penolakan terhadap kondisi persatuan
tersebut. Perbedaan keinginan dan kepentingan mengenai
bersatu membentuk negara kesatuan atau berpisah dengan
otoritas kerajaan masing-masing menjadi isu yang mengemuka
saat itu.
Sejak masa itu Indonesia mulai selalu dihantui gerakan
separatisme. Beberapa wilayah memaksa untuk memisahkan diri
dari kedaulatan negara. Luasnya jangkauan wilayah Indonesia
yang membuat terpisahnya jarak satu tempat dengan tempat
lainnya, membuat kedekatan sosial maupun psikologis bangsa
Indonesia sangat mungkin dengan mudah untuk dipecah belah.
Dilihat dari struktur sosiologisnya, masyarakat Indonesia
merupakan sekumpulan bangsa yang memiliki ciri heterogenitas

3
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

dan unik. Secara horizontal, hal ini dapat ditandai adanya


kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku, agama,
adat istiadat, dan primordialisme. Akan tetapi jika dilihat secara
vertikal, struktur masyarakat Indonesia pun memiliki berbagai
lapisan sosial dan ekonomi.
Kemajemukan struktur sosial tersebut dapat dikatakan
selalu mengagendakan persoalan integrasi nasional dari waktu ke
waktu. Seorang ahli bernama Samuel Huntington (1994) bahkan
mengatakan, pada akhir abad ke-20, Indonesia menjadi negara
yang memiliki potensi paling besar untuk hancur setelah
Yugoslavia dan Uni Soviet.
Clifford Geertz (seperti yang diberitakan dalam Kompas,
1994) mengatakan, bahwa apabila bangsa Indonesia tidak pandai-
pandai mengelola keanekaragaman etnik, budaya, dan solidaritas
etnisitas dan kebudayaan tersebut, maka Indonesia akan pecah
menjadi negara-negara kecil.
Memang sejak kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945, Indonesia seringkali dihantui gerakan separatis, seperti
misalnya DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat dan DI/TII Aceh,
PRRI/Permesta Kahar Muzakar di Sulawesi, Angkatan Perang
Ratu Adil (APRA), Gerakan 30 September, dan Gerakan Republik
Maluku Selatan yang menyisakan luka lama. Bahkan sampai
sekarang gerakan itu masih terus berlangsung di di provinsi
paling timur Indonesia, Papua dengan OPM (Organisasi Papua
Merdeka).

4
Penanganan Konflik

Munculnya gerakan-gerakan separatisme terjadi karena


banyak hal, misalnya rasa tidak puas terhadap kebijakan
pemerintahan yang dianggap tidak adil karena melihat adanya
diskriminasi terhadap salah satu wilayah yang tidak mendapat
perhatian secara menyeluruh.
Sejak awal kondisi masyarakat dan wilayah Indonesia
memang terbentuk karena beragam perbedaan, semua pihak
menyadari itu. Pluralitas masyarakat yang bersifat
multidimensional tersebut akan dan telah menimbulkan
persoalan, seperti proses integrasi masyarakat Indonesia secara
horizontal. Sementara stratifikasi sosial menjadi faktor yang
berpengaruh pada bentuk integrasi yang bersifat vertikal.
Indonesia hingga masa reformasi beberapa waktu lalu
masih menunjukkan kondisi yang dapat dikatakan
memprihatinkan. Gerakan-gerakan separatisme yang muncul
sejak awal terbentuknya negara pada dasarnya masih
berlangsung secara laten. Desakan keinginan masyarakat untuk
memisahkan diri dari Indonesia selalu menjadi isu utama yang
terus berkembang. Solusi pada era reformasi berupa perwujudan
otonomi dan desentralisasi rupanya belum menyelesaikan
masalah hingga akar rumput. Jika sudah demikian maka konflik
antara masyarakat melawan pemerintahan sulit dielakan lagi.
Separatis merupakan sebuah gerakan yang berdasarkan
pada keinginan sebuah kelompok atau bangsa untuk memisahkan
diri dari negara yang secara legal dan berdaulat telah
menaunginya. Gerakan-gerakan separatisme dewasa ini

5
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

cenderung sering melalukan diplomasi, seperti dengan mencari


dukungan dan pengakuan dari kelompok atau negara lain atas
pergerakan atau perlawanan yang dilakukannya.
Pada banyak kasus di Indonesia, gerakan separatisme
seringkali berujung kepada kekerasan. Isu yang paling sering
muncul adalah keinginan sebagian kelompok menggunakan
ideologi lain selain Pancasila yang sudah disepakati sejak awal
pembentukan Indonesia.
Salah satu gerakan separatis yang pernah menggegerkan
seluruh penduduk Indonesia adalan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Republik Maluku
Selatan (RMS). Pada beberapa pembahasan dalam buku ini,
penulis akan menggunakan konflik pemerintah dengan kelompok
di Aceh sebagai contoh.
Konflik di Aceh memang tidak terjadi seketika dan bukan
semata karena alasan isu agama seperti yang diberitakan pada
umumnya. Konflik Aceh terjadi dalam proses waktu yang lama
dan dinamika yang panjang. Gejala-gejala konflik sudah lebih dulu
muncul, sayangnya tidak banyak pihak yang menyadari dan
memberikan respons secara tepat terhadap tanda-tanda tersebut.
Konflik Aceh versus pemerintah pusat (Jakarta) memang
tergolong sudah sangat lama berlalu. Akan tetapi sebenarnya ia
baru saja menandai suatu tren aktual transformasi konflik yang
terjadi secara global. Setelah beberapa dasawarsa peta politik
dunia lebih didominasi konflik antarnegara, belakangan ini
kecenderungannya justru semakin merebak pada konflik internal

6
Penanganan Konflik

di dalam suatu negara (interstate conflict), seperti konflik


antaretnik dengan motif politik atau perebutan akses sumber
daya alam ataupun konflik bernuansa separatisme.

Konflik Baru di Masa Depan


Permasalahan-permasalahan ‘baru’ juga hadir di Indonesia
sebagai akibat dari globalisasi seperti isu-isu hak asasi manusia,
perubahan politik, ekonomi dan sosial, sebagian besar
menjadikan isu tersebut sebagai penyebab baru trend konflik.
Indonesia juga terpaksa atau tidak ikut dalam arus perkembangan
trend tersebut.
Konflik di dalam negeri pun menjadi begitu mengemuka
selepas masa kolonialisme. Tidak ada lagi Indonesia yang
melawan bangsa lain dalam bentuk perang terbuka, namun justru
melawan dirinya sendiri. Seperti hadirnya konflik vertikal dan
horizontal sehingga membuat sejarah akan konflik menjadi
sejarah bangsa Indonesia itu sendiri.
Dalam hal ini penulis ingin menyampaikan bahwa sebagai
intinya konflik yang terjadi di Indonesia juga mengalami
perkembangan isu yang juga terwarnai seiring dengan
berkembangnya norma-norma kemanusiaan secara global. Serta
tidak dapat begitu juga disangkal bahwa konflik yang terjadi di
negara lain juga sedikit banyak dapat mewarnai stabilitas sosial
politik lokus-lokus komunitas idelogis dalam negeri. Isu yang
paling kentara dan sering muncul adalah misalnya mengenai

7
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

terancamnya hak asasi manusia suatu kelompok minoritas etnis


tertentu atau ketidakadilan pada kelompok agama tertentu.
Respons yang tepat terhadap kondisi tersebut diperlukan
sebagai salah satu strategi untuk mempersiapkan penyelesaian
konflik yang paling baik, yakni yang dapat membawa ke arah
perdamaian positif. Hal ini membuat tanggung jawab
pembangunan perdamaian tidak hanya menjadi tugas pemerintah
saja, namun seluruh masyarakat seharusnya dapat terlibat untuk
menciptakan suatu kondisi aman, damai, dan sejahtera dapat
terjadi di Indonesia.
Jika dibiarkan, Indonesia hanya akan mengalami
kehancuran dan perpecahan yang tidak bisa dihindarkan lagi,
terlebih dengan karakter geografis yang khas yang merupakan
pemberian Tuhan bagi bangsa Indonesia.
Saat ini, konflik antara pemerintah pusat dengan kelompok
separatis di Aceh sudah selesai. Berbagai usaha penyelesaian
konflik yang terjadi akan banyak dibahas dalam buku ini sebagai
salah satu contoh keberhasilan pemerintah Indonesia dalam
menghadapi konflik vertikal. Meski begitu, masih ada beberapa
pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam menghadapi konflik
dengan isu separatis seperti yang pernah terjadi di Aceh.
Pemerintah juga perlu menyiapkan cara-cara penyelesaian konflik
sejenis itu atau konflik jenis baru jika di kemudian hari terjadi.
Menariknya, perkembangan isu konflik di Indonesia ke
depan justru akan lebih banyak diwarnai oleh isu konflik
horizontal yang melibatkan satu kelompok masyarakat dengan

8
Penanganan Konflik

kelompok masyarakat lainnya. Konflik tersebut akan lebih banyak


dijumpai, terlebih karena rumput kering pemicu konflik seperti
perbedaan adat dan budaya, SARA, politik, dan cerita historis
kewilayahan menjadi makanan sehari-hari masyarakat. Oleh
karenanya sedikit api yang menyulut akar rumput maka konflik
akan segera menyala dan menyebar.
Ke depan, konflik yang terjadi di Indonesia dapat
dikategorikan dalam beberapa jenis; konflik vertikal seperti
gerakan separatisme, konflik horizontal (konflik ini kemungkinan
lebih banyak terjadi) yang dipicu beragam aspek, dan terakhir
kemungkinan konflik asimetris yang terjadi di wilayah Indonesia,
yakni saat konflik terjadi posisi lawan bukan lagi yang dihadapi
namunyang menjadi lawan justru tidak jelas.
Sebelum membahas banyak mengenai penanganan konflik
di Indonesia dan alternative metode dalam penyelesaian konflik,
pada bab selanjutnya akan dibahas mengenai terminologi konflik
dan perdamaian.
Tujuannya yakni untuk menyamakan pandangan mengenai
pemahaman terhadap konflik, resolusi konflik dan perdamaian,
pada bab selanjutnya penulis akan menjelaskan mengenai
terminologi tersebut. Beragam pandangan mengenai pemaknaan
konflik dan perdamaian akan disajikan sebagai referensi bagi
pembaca untuk mendapatkan wawasan yang lebih luas.
Melalui penyajian pembahasan tersebut, maka
diharapkan akan ada beberapa pandangan yang semakin
memperjelas bagaimana proses analisa konflik dapat dilakukan,

9
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

cara apa yang bisa dipilih untuk penyelesaian konflik tersebut,


dan terpenting respons tepat apa yang dapat ditunjukkan dalam
penanganan konflik di Indonesia.

10
Penanganan Konflik

BAB II
MEMAHAMI KONFLIK DAN PERDAMAIAN

Konflik dan perdamaian menjadi dua sisi yang banyak


dipahami masyarakat sebagai sebuah kondisi yang saling
bertentangan. Tidak akan damai jika masih ada konflik dan
begitupun sebaliknya, tidak mungkin terjadi konflik jika sedang
dalam kondisi damai. Benarkah demikian? Konflik dan
perdamaian juga digambarkan menjadi sebuah siklus yang
berputar dan tidak berkesudahan. Dimulai dari perdamaian dan
berakhir dalam konflik, kemudian kembali menjadi damai dan
setelahnya kemudian mengalami konflik.
Menurut Baskoro (2002:6) konflik memiliki cakupan yang
cukup luas, meliputi pertentangan atau bentrokan, persaingan
atau gangguan oleh kelompok secara fisik atau benturan antar
kekuatan-kekuatan yang sulit didamaikan, atau pertentangan
dalam tataran kualitas seperti ide-ide, kepentingan-kepentingan
atau kehendak-kehendak.
Ketika berbicara mengenai konflik kita tidak hanya akan
membicarakan dalam lingkup pelaku konflik, beberapa aspek lain
juga harus dibahas seperti penyebab konflik atau yang disebut
juga dengan isu konflik. Aspek penyebab konflik menjadi sangat
penting dalam proses analisis konfilk, mengetahui penyebab
konflik menentukan pilihan cara penangan konflik yang tepat.

11
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Menurut Miall, (2002:8) konflik biasanya terjadi ketika dua


atau lebih manusia terserap dalam dinamika yang berbeda, dan
kadang-kadang saling berbenturan dalam dimensi-dimensi yang
berbeda pula. Dalam situasi demikian, kelompok-kelompok yang
bertikai akan bersikap, bertindak dan bereaksi dengan cara
kekerasan, menegasi satu sama lain.
Tidak jarang, isu mendasar dari terjadinya sebuah konflik
karena kegagalan manusia beradaptasi dengan situasi baru yang
dihadapinya. Robert Merton (1986:194), menyebutkan lima
tipologi adaptasi atau penyesuaian diri terhadap tindakan atau
struktur yang dialami oleh seseorang.
Respons penerimaan dan penolakan didasarkan pada dua
hal, yakni sarana yang terinstitusionalisasi dan tujuan-tujuan
kultural.
Gambar 1. Tipologi Adaptasi

(Sumber: Robert K. Merton, 1986)

12
Penanganan Konflik

Kelima tipologi adaptasi manusia dalam menghadapi


konflik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Conformity, penyesuaian diri atau konformitas, yaitu suatu
keadaan di mana Individu atau kelompok tetap menerima
tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat
yang menjadi target kultural pula. Kondisi ini merupakan
status paling ideal, di mana tidak ada situasi konflik sama
sekali.
2. Inovation, inovasi yaitu menemukan cara-cara baru dengan
mengubah sarana-sarana yang dipergunakan untuk
mencapai tujuan. Inovasi dilakukan apabila sarana-sarana
dalam masyarakat kurang dapat mengakomodasi cita-cita
bersama. Perkembangan teknologi yang dapat memengaruhi
hajat hidup komunal, seperti terhadap transportasi,
komunikasi, lapangan kerja, dan lain-lain adalah bentuk
irisan situasi yang membutuhkan inovasi.
3. Ritualism, ritualisme atau kepasrahan (pembiasaan), di mana
masyarakat lebih cenderung menggunakan sarana-sarana
yang telah tersedia, tanpa cukup kritis (cenderung
mangabaikan/menolak) terhadap nilai dan norma-norma
yang menjadi nafas cita-cita bersama. Dalam situasi ini,
masyarakat hanya mempergunakan sarana-sarana tersebut
sebagai bentuk aktivitas yang dijalankan secara rutin.
4. Retreatism, penarikan diri, di mana individu atau kelompok
menolak tujuan maupun sarana-sarana yang telah tersedia

13
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

dalam masyarakat. Dengan penarikan diri, individu atu


kelompok
5. Rebelion, pemberontakan, yakni merupakan reaksi yang
sama sekali berbeda dengan keempat tindakan sebelumnya,
di mana tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam
masyarakat ditolak dan berusaha diganti atau dirubah
seluruhnya. Dalam pemberontakan situasi anarki muncul,
tanpa aturan, nilai, dan norma.

Tipologi adaptasi yang dijelaskan oleh Merton memberi


gambaran mengenai hal mendasar dari respons masyarakat pada
perbedaan yang dihadapinya. Secara sederhana, konflik memang
dapat dimaknai sebagai sebuah pertentangan yang terjadi antara
dua orang atau lebih manusia yang tumbuh dalam situasi berbeda.
Pada situasi demikian kelompok yang bertikai akan
bersikap, bertindak, dan bersaksi dengan cara menegasi satu
sama lain (Miall, Ramsbotham, Woodhouse, 1999). Reaksi agresif
terhadap sikap negasi satu sama lain itulah yang menjadikan
konflik berkembang semakin buruk.
Sementara itu, menurut Mayer (2000) konflik dapat
berlangsung pada taraf kognisi (perseption), emosi (feeling), dan
perilaku (action). Mayer menegaskan mengenai tahapan awal
terjadinya konflik dimulai dari pertentangan pada aspek kognisi
atau pemahaman mengenai sesuatu.
Berdasarkan dua pemahaman yang disampaikan para ahli
tersebut, kita dapat menentukan bahwa konflik menjadi suatu

14
Penanganan Konflik

kondisi yang sukar untuk dihindari. Selain itu, konflik juga tidak
hanya membentuk sebuah tindakan yang berakhir kekerasan.
Konflik pada tahap awal terjadi di taraf kognisi yang berdampak
pada perasaan atau kekerasan psikologis, baru kemudian
diekspresikan dalam bentuk tindakan yang mengarah pada
kekerasan fisik dan kehancuran.
Menurut Ju Lan (2005: 10-11), di Indonesia konflik-konflik
yang terjadi umumnya lebih dikategorikan sebagai “konflik
separatis” dan “konflik antara pusat dan daerah”, yang cenderung
dilihat sebagai “konflik vertikal” dan “konflik komunal” yang
dianggap sebagai “konflik horizontal”, dimana didalamnya
termasuk “konflik etnis dan agama” dan “konflik perebutan
sumber daya alam”.
Isu-isu mengenai konflik juga sangat luas, tidak hanya
berbicara mengenai perbedaan keinginan dan kebutuhan yang
menjadi hal dasar yang sulit untuk dihindarkan. Menurut Miall,
setiap konflik, termasuk di dalamnya konflik etnis, pada dasarnya
bukan tidak dapat dihindarkan. Ia dapat dicegah dalam arti
mencegah perwujudan konflik bersenjata atau konflik massa
dengan kekerasan. Namun sumber-sumber potensial konflik perlu
diidentifikasi dan dianalisa, selanjutnya diperlukan berbagai
usaha resolusi konflik (Miall, 2002: 149-151).
Pada pemikiran Johan Galtung (1996), konflik lebih
dipahami sebagai sebuah proses dinamis, yang mana di dalamnya
terdapat struktur, sikap, dan perilaku yang selalu berubah dan
saling mempengaruhi. Merujuk pada pemaknaan konflik di atas,

15
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

kita dapat memahami jika situasi yang konfliktual merupakan hal


yang sulit dihindari. Maka dari itu, kemungkinan masyarakat
Indonesia menghadapi konflik akan lebih besar dikarenakan
kondisi keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia.
Miall (2002) mengatakan konflik adalah aspek intrinsik
dan tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik
adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai atau
norma, dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang
ditimbulkan seiring dengan dinamika sosial. Namun cara kita
menangani konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan.
Adalah mungkin mengubah respon kebiasaan dan melakukan
penentuan pilihan-pilihan yang tepat.

Analisis Konflik
Melakukan identifikasi pada konflik yang terjadi, penting
untuk memberi pengaruh pada strategi resolusi konflik yang akan
dipilih serta perlakuan terhadap kelompok yang bersengketa.
Pada saat konflik terjadi, pihak yang berselisih biasanya akan
membentuk kelompok-kelompok baru yang akan memperluas
dan menciptakan dinamika konflik.
Dengan terjadinya konflik, kelompok-kelompok secara
otomatis terbentuk sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Untuk mencapai tujuan tersebut, masing-masing kelompok akan
menciptakan sebuah formasi dan standar organisasi di
kelompoknya agar memiliki kekuatan besar untuk bisa menekan
pihak lain. Sehingga pada tahap selanjutnya formasi kelompok

16
Penanganan Konflik

yang terbentuk itu bisa saja memperluas dan memperdalam


konflik yang terjadi.
Dinamika aktor konflik dapat dengan mudah memunculkan
konflik baru atau konflik yang meluas. Dalam kondisi ini, muncul
pihak-pihak lain selain pihak utama di konflik awal, yang pada
akhirnya terseret ke dalam situasi konflik. Hal tersebut tentu saja
memperumit upaya untuk mengetahui dan mengurai struktur
atau akar konflik sesungguhnya.
Para ahli menawarkan beberapa cara untuk dapat melihat
konflik yang sebenarnya (real conflict). Mengapa untuk melihat
konflik itu kompleks? Hal tersebut terjadi karena konflik
melibatkan banyak pihak dan memiliki sejarah panjang, tidak ada
konflik yang terjadi seketika dan selesai saat itu juga. Konflik
merupakan rangkaian aktivitas yang terkadang dimulai dari hal
kecil, seperti benang kusut yang memiliki banyak sudut pandang
untuk diurai.
Mayer (2000) menyampaikan sebuah konsep The Wheel of
Conflict sebagai pemahaman terhadap kompleksitas konflik dan
sebab-sebab yang mengakibatkan konflik berproses dalam arah
yang kontradiktoris. Pada penjelasannya, Mayer menjelaskan ada
dua penyebab orang terlibat konflik.
Pertama, terealisasinya kebutuhan-kebutuhan melalui
proses konflik. Kedua, adanya keyakinan jika para pihak yang
berkonflik memiliki kebutuhan yang saling bertentangan.
Konsep mengenai cara membaca konflik juga ditawarkan
oleh Johan Galtung melalui segitiga konflik (The conflict triangle).

17
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Pada penjelasannya, Galtung memaparkan mengenai tiga


komponen ketika akan melihat konflik, yakni Kontradiksi (C),
Sikap (A), dan Perilaku (B).

Gambar 2. The Conflict Triangle


Kontradiksi

Perilaku Sikap

Kontradiksi merupakan suatu kondisi mendasar ketika


adanya ketidaksesuaian dari tujuan masing-masing pihak.
Sementara sikap mengacu pada pemahaman ataupun
kesalahpahaman terhadap kelompok sendiri ataupun kelompok
lawan, sikap sendiri dapat ditunjukkan dalam bentuk positif
maupun negatif. Perilaku sendiri merupakan komponen ketiga
yang mencakup kerjasama dan koersi yang menunjukkan
sekumpulan gerakan baik keakraban atau permusuhan.
Pendekatan lain disampaikan oleh Adam Curle (1971), dia
menjelaskan jika konflik merupakan sebuah gerakan dari posisi
penuh pertentangan dan pertikaian menuju relasi yang penuh
perdamaian. Curle menyampaikan pergerakan menuju

18
Penanganan Konflik

perdamaian bisa dipahami melalui peran yang muncul dari setiap


pergerakan yang melewati empat tahap yakni konflik laten,
konfrontasi dalam konflik terbuka, negosiasi, dan terakhir kondisi
damai yang berkelanjutan.

Isu Konflik Sebagai Dasar Analisis

Saat terjadi konflik, perubahan pada isu konflik seringkali


berkembang dari isu awal yang menjadi dasar konflik terjadi,
karenanya proses analisis konflik menjadi hal yang rumit. Tidak
hanya berbicara mengenai perbedaan kepentingan dan keinginan,
namun juga mengenai perkembangan isu sosial, politik,
kebudayaan dan keamanan.
Munculnya konflik diantaranya disebabkan adanya faktor
identitas kelompok kesenjangan sosial dan ekonomi, politik, serta
prasangka dan dendam. Dinamika tersebut menunjukkan adanya
situasi ketidakpastian atau dikenal dengan situasi anomi, yang
diantaranya dapat dilihat dari situasi atau keadaan sebagai
berikut:
1. Rendahnya “Trust” pada Pemerintah, karena ketidakpastian
situasi politik. Beberapa negara pernah mengalami hal ini,
terutama pada masa-masa genting revolusi. Rendahnya
stabilitas politik menyebabkan pemerintah tidak bisa
menyediakan keamanan yang cukup kepada masyarakat,
sehingga ketidakpercayaan terhadapnya menjadi sangat
rasional.

19
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

2. Ketidakpastian dalam kehidupan ekonomi. Situasi ini dapat


disebabkan oleh situasi dalam negeri maupun luar negeri.
Seringkali, situasi krisis ekonomilah yang menjadi pemicu
konflik dengan skala besar. Indonesia pernah mengalami ini
pada sekitar tahun 1998.
3. Tidak ada harapan pada kehidupan masa depan (membuat
orang/kelompok menjadi pesimis). Hal ini dapat
dikarenakan tidak adanya sistem ketenagakerjaan yang
prorakyat dan tidak tersedianya kebijakan afirmatif untuk
memudahkan para pemuda, misalnya, mendapatkan akses
produktifitas yang maksimal.
4. Terjadi anomi individual, yakni munculnya orang-orang yang
menjadi apatis, tidak memiliki tujuan hidup, dan kerap kali
melakukan tindakan-tindakan menyimpang. Karena tujuan
hidupnya tidak jelas, mudah direkrut untuk melakukan
pembunuhan dan tindakan kekerasan. Profokasi bergerak
dengan sangat mengandalkan orang seperti ini.
5. Sesuatu yang diberikan atau didapat adalah merupakan
haknya dan bukan merupakan pemberian atau bantuan dari
orang lain/pihak luar. Dalam poin inilah mekanisme bantuan
dana (aid) dapat dikritisi. Pemberian bantuan dalam bentuk
dana langsung harus dilakukan secara ketat dan
mendapatkan monitoring dan evaluasi yang memadai. Secara
general oleh siapapun aktor yang diberi dan memberi, alih-
alih dapat menyelesaikan masalah, hal ini dalam beberapa
konteks dapat menciptakan masalah baru. Seperti adanya

20
Penanganan Konflik

kecenderungan kemalasan, atau penerimaan bantuan yang


rentan salah sasaran. Dengan kata lain, skenario bantuan
yang ideal memang tidak hanya memberi ikan, tapi memberi
kail, pancing, dan mengajarkan cara menggunakannya.
6. Karakter temperamental cukup menonjol. Karakter ini bisa
dibentuk karena kebiasaan yang panjang. Faktor ekonomi
dan sosial seringkali mempengaruhi, di samping faktor
kultural yang pada dasarnya dipengaruhi pula situasi sosial
pada masa lalu.

Beberapa situasi mendasar yang dijelaskan di atas menjadi


sebuah isu yang banyak dibicarakan sebagai alasan konflik terjadi.
Isu konflik seringkali berbeda dengan pemicunya. Bahkan tidak
jarang, tindakan sederhana banyak menjadi tanda awal
perselisihan atau pemicu konflik.

Tindakan yang dimaksud bahkan biasanya tidak sesuai


dengan isu konflik yang berkembang pada kemudian hari. Isu
konflik dapat dilihat berdasarkan kondisi perbedaan yang harus
dicarikan penyelesaian masalahnya. Isu dapat diidentifikasi dan
dikelompokan berdasarkan faktor pemicunya.

Respons Terhadap Konflik dan Jalan Menuju Perdamaian

Analisis dan observasi konflik diarahkan pada terciptanya


resolusi konflik, yakni upaya menganangani sebab-sebab konflik
dan membuat relasi baru yang tahan lama dari kelompok-
kelompok yang berkonflik sebelumnya.

21
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Proses resolusi konflik menurut Miall (2002) harus mampu


menunjukkan akar penyebab konflik dalam sebuah kerangka
kerja yang memungkinkan pihak-pihak yang bermusuhan dapat
rujuk kembali melalui rekonsiliasi, kemudian melakukan
trasformasi terhadap pertentangan mereka ke dalam kegiatan
tanpa kekerasan. Rangkaian kegiatan rekonsiliasi dan
transformasi pada dasarnya sangat diperlukan, mengingat
apabila hal ini tidak ada, justru akan mempertahankan kekerasan
itu sendiri.
Istilah resolusi konflik muncul dalam sebuah proses
menuju perdamaian. Resolusi konflik menurut Miall merujuk
pada istilah komprehensif yang mengimplikasikan bahwa sumber
konflik yang dalam dan berakar akan diperhatikan dan
diselesaikan. Hal ini mengimplikasikan bahwa struktur konfliknya
telah berubah. (Miall, 2002:3).
Resolusi konflik sendiri dapat dimaknai sebagai suatu
konsep teoritik untuk mencari solusi atas konflik yang terjadi di
tengah masyarakat. Konflik sebagai sebuah proses, biasanya
diawali oleh adanya penyebab konflik. Proses resolusi konflik
merupakan langkah yang perlu ditempuh untuk mencegah
terjadinya letupan peristiwa kekerasan saat konflik terjadi.
Resolusi konflik bermuara pada sebuah usaha mencapai
perdamaian yang berkelanjutan.
Perdamaian berkelanjutan yakni sebuah keadaan damai
dalam arti positif atau keadaan damai yang sebenarnya dan
seharusnya terjadi. Galtung (1998) mengatakan jika perdamaian

22
Penanganan Konflik

dalam arti negatif dimaknai sebagai sebuah keadaan tanpa


kekerasan baik antarindividu maupun kelompok.
Sementara lebih lanjut dalam arti positif, perdamaian
merujuk pada makna keadilan sosial melalui pemerataan
kesempatan, pembagian kekuasaan dan sumber daya yang adil,
juga perlindungan dan penegakan hukum tanpa keberpihakan.
Dalam pandangan kelompok perdamaian postif, konflik seringkali
dilihat dari akar penyebab terjadinya kekerasan, perang, dan
ketidakadilan. Perdamaian positif mengangkat kembali norma-
norma sosial yang terkadang tercabik akibat konflik, yakni dengan
menciptakan kesadaran penuh untuk mencipatakan masyarakat
yang mematuhi komitmen-komitmennya.
Berbagai pendekatan dalam menghadapi konflik muncul
sebagai respons seketika, misalnya istilah pencegahan konflik,
muncul dengan tujuan mencegah konflik yang sedang terjadi agar
tidak berakhir menjadi sebuah kekerasan. Sementara itu dalam
mengakhiri konflik muncul istilah transformasi, yakni sebagai
sebuah usaha mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik
yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari
pertikaian menjadi kekuatan postif.
Pendekatan lain dalam menghadapi konflik adalah dengan
penyelesaian konflik. yakni sebagai upaya untuk mengakhiri
perilaku kekerasan melalui persetujuan damai. Berbicara
mengenai perdamaian maka kita akan bemuara pada akar nilai-
nilai sosial serta keberadaan institusi yang secara positif
menciptakan dan mengelola konsep dan penerapan perdamaian.

23
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Pada kondisi konflik istilah bina-damai diperkenalkan sebagai


sebuah kondisi pencarian penyebab konflik dengan
mengutamakan isu inti dari pemanfaatan masyarakat dan negara.
Membaca konflik dan menemukan cara mencapai
perdamaian merupakan sebuah usaha panjang. Nilai atas konflik
pun sesungguhnya tidak selalu negatif. Konflik tidaklah harus
selalu dipahami sebagai hal yang buruk dan berakhir dalam
bentuk kekerasan yang destruktif, namun dapat juga dimaknai
sebagai sebuah usaha mencapai perkembangan dan perubahan
seseorang atau suatu kelompok.
Sehingga tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa konflik
tidak hanya dapat mengakibatkan kekerasan, karena sedikit
banyak konflik pada dasarnya diperlukan dalam interaksi
manusia dan interaksi sosial. Konflik menciptakan isu untuk
adanya interaksi tersebut, identifikasi konflik adalah hal yang
esensial.
Pemahaman konflik yang menyeluruh dalam sebuah
interaksi sosial adalah suatu keharusan yang dapat
meminimalisasi dampak kekerasan dari sebuah konflik.
Pemahaman mengenai konflik juga dapat dilihat dari tingkat yang
berbeda bisa dari konflik lokal, nasional, regional dan bahkan
internasional.
Selain itu, konflik juga dapat dilihat dari sudut pandang
berbeda seperti isu sosial, politik, sumber daya, dan keamanan.
Karena pada dasarnya, seperti konsep akar konflik yang selalu

24
Penanganan Konflik

tidak merujuk pada satu faktor, implikasi atas konflik pun juga
dapat mengarah pada berbagai aspek.
Ketika melakukan analisa konflik, pemahaman pada
hubungan dinamis anatara konflik dan perdamaian merupakan
hal yang penting. Sudut pandang tentang penyebab konflik akan
berbeda-beda tergantung dari perspektif yang melihatnya, untuk
itu mengetahui dengan pasti gejala konflik tentunya akan
membantu memahami akar permasalahan dari konflik yang
dihadapi. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan
analisis dan observasi konflik.
Muara akhir dari analisis konflik adalah menciptakan
kondisi damai. Miall (2000:244) menjelaskan mengenai makna
dalam pemeliharaan perdamaian yang lebih luas, yakni
dibutuhkan sebuah tindakan transformatif meliputi usaha-usaha
untuk mentrasformasikan ketidakadilan dan menjembatani posisi
yang bersebarangan.
Melalui kerangka itulah, cakupan resolusi konflik menjadi
lebih luas, tidak hanya sebuah upaya mengakhiri konflik. Terdapat
perbedaan penting dan mendasar pada terminolgi perdamaian
baik berdasarkan makna positif maupun dalam makna negatif
atas sebuah perdamaian.
Apa yang membedakan perdamaian positif dan perdamaian
negatif? Berikut digambarkan mengenai bagan yang dimaksud:

25
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Tabel 1. Perbedaan Antara Damai Positif dan Damai Negatif

Makna damai negatif dan positif yang telah dijelaskan


diatas memberikan gambaran jelas bahwa, dua diksi tersebut
berbeda jauh. Banyak yang masih beranggapan jika konflik atau
kekerasan sudah selesai maka kondisi damai sudah tercipta.
Mungkin saja itu menjadi salah satu proses menuju perdamaian
yang positif, akan tetapi damai yang sebenarnya tidak sampai
pada kondisi tersebut saja, lebih tinggi dari itu, damai yang positif
menunjukkan sebuah interaksi sosial yang lebih tinggi karena
sudah terjadi transformasi hubungan dari kedua pihak yang
berkonflik.

Terminologi Konflik dan Perdamaian

Berada dalam analisis konflik membuat kita mengenal


beberapa daftar istilah yang banyak dipakai baik oleh para
akademisi maupun praktisi yang terjun di wilayah penanganan

26
Penanganan Konflik

konflik. Paling tidak beberapa kata yang dikenalkan dalam bagian


ini merupakan kata-kata yang akan sering disebutkan pada bab-
bab selanjutnya. Daftar istilah popular yang digunakan dalam
menangani konflik tersebut akan penulis jelaskan dengan
beberapa kata sebagai berikut:
Konflik, merupakan sebuah kondisi yang tidak dapat
dihindari dari kehidupan sosial manusia. Konflik menjadi
berkembang setelah masing-masing pihak membentuk kelompok-
kelompok yang bertujuan sama dengan kepentingannya. Istilah
konflik menjadi popular karena terjadi mulai dari tahap kognisi,
emosi, dan bahkan perilaku.
Analisis Konflik, adalah sebuah usaha dalam membaca
situasi konflik untuk menemukan pendekatan-pendekatan yang
sesuai dalam merespons konflik yang terjadi. Menganalisis konflik
berarti memilah konflik menjadi beberapa aspek konfliktual yang
lebih spesifik yang merupakan kondisi natural dari konflik. Hal ini
termasuk menelaah aktor-aktor yang terlibat, faktor yang
membuat konflik menjadi memungkinkan, maupun dinamika
situasi yang terkait dengan pengamatan terhadap kondisi eskalasi
dan deaskalasi konflik.
Analisis konflik dapat menggunakan perspektif beberapa
ahli sebagai instrumen pendukung. Diantaranya adalah analisis
konflik melalui Pohon Konflik yang fokus pada anatomi konflik
dan model analisis konflik Glasl yang menitikberatkan pada
dinamika konflik atau situasi eskalasi dan deeskalasi.

27
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Sebagaimana anatomi pohon, alat analisis konflik Pohon


Konflik membagi faktor konflik kedalam tiga hal, yakni akar (yang
merepresentasikan penyebab struktural dari konflik), batang
(merupakan hambatan yang terdekat), dan cabang (mewakili
indikator atau gejala-gejala konflik yang terlihat di permukaan).

Batang memberi gambaran atas


penyebab terdekat yang dapat
dilihat dari faktor konflik yang
muncul di permukaan. Sebagai
contoh, adalah perbedaan
kepentingan dan perbedaan
berbasis SARA

Cabang
Merupakan beragam faktor konflik
yang muncul di permukaan.
Contohnya adalah pengungsi
dengan masyarakat di sekitar
pengungsian, masalah agraria, dll.

Akar adalah penyebab struktural


dari konflik. Contohnya adalah
ketidakadilan, deprivasi ekonomi,
rendahnya tingkat pendidikan,
pemerintahan yang yang lemah,
dll

Gambar 3. Pohon Konflik

28
Penanganan Konflik

Berbicara mengenai anatomi konflik, maka perdamaian pun


dapat digambarkan sebagai anatomi bunga perdamaian.

Kelopak mencerminkan ekspresi


perdamaian yang dapat diamati di
permukaan. Seperti meningkatnya ekspresi
kebudayaan, stabilnya ekonomi, dll.

Tangkai memberi gambaran


atas penyebab munculnya
perdamaian di permukaan,
misal adanya tradisi dialog,
dan ekspresi toleransi
lainnya

Tangkai memberi gambaran atas


penyebab munculnya perdamaian
di permukaan, misal adanya
tradisi dialog, dan ekspresi
toleransi lainnya

Selain kedua anatomi yang telah dijelaskan sebelumnya,


analisis konflik juga dapat dilihat dengan menggunakan analisis
model Glasl. Dalam model tersebut, Glasl membagi tahapan
konflik menjadi sembilan, yakni:

29
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

1) Hardening, yakni merupakan keadaan ketegangan dan


pertentangan yang masih memungkinkan adanya kerjasama
meskipun dengan unsur persaingan yang masih dapat
dikendalikan;
2) Debates / Polemics, merupakan polarisasi dalam perasaan,
pikiran, atau perilaku. Dalam posisi ini para pihak sama-
sama ingin mendominasi posisi satu sama lain dengan tidak
adanya pemikiran atau konsepsi yang dapat menjadi
penjembatan;
3) Action / Not Words, adalah tahapan di mana empati mulai
hilang sehigga para pihak yang bertentangan mulai tidak
sungkan untuk ‘main tangan’ atau melakukan aksi-aksi
profokatif yang mengarah pada kekerasan fisik. Dalam posisi
ini, kejasama sudah hampir tidak mungkin dilakukan karena
terjadi bentuk persaingan terbuka;
4) Images / Coalition, di mana strategi koalisi mulai dilakukan
oleh masing-masing pihak yang berseteru. Mereka mencari
dan berkelompok dengan aktor-aktor lain yang memiliki
posisi atau pilihan sikap yang sama untuk menyerang atau
mengalahkan pihak yang lain. Dalam posisi ini, prasangka
(prejudice) digunakan sebagai metode memandang pihak
lawan;
5) Lose of Face, atau membuka kedok pihak lain dan saling
menyerang di ranah publik. Meskipun tidak selalu dilakukan
dengan kekerasan-yang bisa jadi telah terjadi di masa lalu-
konfrontasi dimulai dari ‘perang idelogi’. Dan dalam level

30
Penanganan Konflik

tertentu, yang dipertontonkan di publik adalah rivalitas


kebaikan lawan kejahatan, kemuliaan lawan kekejaman, dan
sebagainya yang dimulai dari proses-proses pemaksaan
perspektif atau sudut pandang agar dianggap benar oleh
publik;
6) Strategy of Threat, yakni penggunaan ketakutan sebagai
bentuk strategi mengalahkan pihak lawan. Dalam level ini,
ancam-mengancam dan peluncuran ultimatum terakselerasi
dan jamak sekali ditemui;
7) Limited Destruction, merupakan situasi penggambaran
kekacauan di mana sinisme mulai melewati moralitas yang
seharusnya dipegang para aktor sesuai dengan identitas
masing-masing. Dalam level ini para aktor mulai menjadi
bias secara nilai dan ideologi. Hal ini sering dipercontohkan
dalam kontestasi politik yang meggunakan simbol-simbol
agama, mamun mengesampingkan nilai perdamaian sesama
manusia;
8) Fragmentation of The Enemy; merupakan bentuk
kelumpuhan dan disintegrasi yang nyata. Terjadi kehancuran
total, baik secara fisik, mental, spiritual dari salah satu atau
semua pihak yang bermusuhan. Termasuk di dalamnya
sistem sosial, politik, dan ekonomi yang sebelumnya telah
terbentuk dan berjalan secara pasti.
9) Together into The Abyss, yakni situasi kehancuran total
setelah adanya konfrontasi fisik dan non-fisik yang
berlangsung secara terus-menerus. Kehancuran total berarti

31
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

kelumpulan infrastruktur – apabila konfrontasi dilakukan


pada sebuah negara selain keruntuhan struktur sosial,
poliitk, ekonomi, dan keamanan yang telah lebih dahulu
hancur. Dalam situasi ini, ekestensi dan konsep kemanusiaan
menjadi pembahasan yang krusial.

Mengambil dari Malik, Marieta, dan Rofinus (2016), analisis


konflik dalam perspektif Eskalasi Glasl dapat digunakan untuk
membuat kalkulasi terhadap skenario perlawanan. Pada tahapan
1 hingga 3, masih dimungkinkan untuk adanya situasi win-win
atau sama-sama menang. Sementara pada tahap 4 hingga 6, status
pihak yang bermusuhan cenderung win-lose atau satu pihak
menang dan satu pihak lainnya kalah. Sedangkan pada tahap 7
hingga 9, yang terjadi adalah saling kalah atau lose-lose.
Pada tahapan awal, intervensi atas konflik oleh pihak ke-3
dapat berupa negosiasi atau fasilitasi. Dalam level yang lebih
tinggi, mediasi oleh pihak yang perlu dibuktikan netralitasnya
dapat pula menjadi alternatif. Namun dalam level konflik
tereskalasi tinggi, perlu dilakukan arbitrasi/adjudikasi hingga
intervensi power untuk terlebih dahulu meredakan ketegangan.
Resolusi Konflik, yakni sebagai usaha menangani sebab-
sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan
tahan lama di antara kelompok yang saling bermusuhan.
Perspektif resolusi konflik mulai berkembang pada tahun 1950
dan mengalami masa kejayaan pada 1980-an (Kriesberg, 2008
dalam Malik, Marietha, dan Rofinus, 2008) pada masa isu-isu

32
Penanganan Konflik

sosial yang cenderung konfliktual berkembang pasca masa


kolonialisme. Pada masa-masa tersebut, isu identitas bergerser
dari antarnegara menjadi antarbangsa dalam negara.
Terlepas dari beberapa negara yang pada akhirnya
terpecah, pada waktu itu muncul kesadaran bahwa konflik dapat
terjadi karena permasalahan struktur sosial, politik, dan ekonomi.
Kesadaran akan hal ini membuat intervensi konflik dengan
pilihan menggunakan perspektif resolusi konflik, di mana
manusia mulai berpikir untuk tidak hanya meredakan konflik,
namun mulai mencoba menyelesaikan masalah-masalah
fundamental yang menyebabkan konflik mengemuka dengan cara
yang damai dan konstruktif bukan malah membuat konflik
mengeskalasi.
Transformasi Konflik, ialah usaha untuk mengubah pihak-
pihak yang berkonflik membentuk hubungan baru yang bernilai
positif daripada hubungan lama yang negatif. John Paul Lederach
(1997) menjelaskan bahwa pendekatan transformasi konflik
dapat menjadi alternatif pada konflik-konflik tertentu yang
terkadang sulit untuk diselesaikan. Jika pada resolusi konflik yang
menjadi titik berat adalah isu konflik, maka dalam transformasi
konflik titik fokusnya pada hubungan kontekstual antar pihak
yang berkonflik.
Dalam pendekatan transformasi konflik, jangka waktu
intervensi bisa sangat panjang, karena tidak menargetkan hasil
yang revolusioner. Peran pemimpin sangat penting dalam
transformasi konflik. Mulai dari tataran top leadership (seperti

33
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

pemimpin militer, politik, agama), lalu middle-range leadership


(pemimpin sektor tertentu, seperti akademisi atau ahli lainnya),
hingga dalam level grassroot leadership atau pemimpin lokal
(pemimpin komunitas masyarakat).
Perdamaian, ialah kondisi ketika msyarakat tidak saja
sekadar terbebas dari situasi konflik, namun juga kondisi
tercapainya nilai keadilan, pemerataan kesempatan, dan
distribusi kekuasaan dan penegakan hukum yang tidak berpihak.
Situasi damai dapat dibedakan menjadi damai negatif dan damai
positif.
Pada perdamaian negatif, tidak ditemukan konflik aktual
antar dua pihak, namun terdapat ketimpangan struktural yanda
dapat menjadi potensi konflik. Hal ini bisa menjadi konflik laten,
yakni konflik yang dapat mengemuka di kemudian hari.
Sedangkan dalam perdamaian positif, selain tidak ada konflik
terbuka, namun ketimpangan fundamental tidak terjadi.
Perdamaian positif lahir dari keadilan struktural yang ditegakkan
dengan baik.
Kearifan lokal, merupakan nilai-nilai berupa
penggambaran dari adat-istiadat maupun norma-norma yang
berlaku di masyarakat yang disepakati bersama dan dijalankan di
tengah masyarakat tanpa ada unsur paksaan. Memahami kearifan
lokal menjadi satu hal penting untuk menentukan pendekatan
realitas pada sebuah kondisi konflik yang sedang dihadapi.
Saat ini nilai kearifan lokal sudah semakin digalakan untuk
diterapkan tidak hanya dalam aspek kebudayaan saja, bahkan

34
Penanganan Konflik

dalam buku ini dibahas mengenai cara menangani konflik yang


menggunakan metode kearifan lokal di masing-masing wilayah
yang sedang berkonflik.

Menentukan Cara Menuju Perdamaian

Pengenalan mengenai konflik dan perdamaian menjadi


salah satu cara menyamakan persepsi terhadap kondisi tersebut.
Sebelum menentukan jenis pendekatan yang akan diambil dalam
menangani konflik, maka sebelumnya penulis menjelaskan
mengenai terminologi konflik dan perdamaian dalam tinjauan
teori di kalangan akademisi.
Pada proses analisis konflik hasil yang diharapkan adalah
memilih pendekatan yang tepat sebagai bentuk respons terhadap
konflik. Beberapa pilihan pendekatan baik objektif dan subjektif
dapat menjadi pertimbangan mendasar untuk pemilihan
pendekatan yang dimaksud.
Dewasa ini pendekatan terhadap konflik juga memasuki
wilayah kebudayaan. Sebagai khasanah budaya, kearifan lokal
cukup berhasil digunakan sebagai metode penyelesaian konflik
yang efektif. Terlebih pada kasus-kasus yang melibatkan
kekerasan.
Peran penting dari kepala adat menjadi hal utama dari
keberhasilan penggunaan kearifan lokal sebagai salah satu
strategi konflik. Dengan melihat pentingnya kearifan lokal untuk
penyelesaian konflik, pada bab berikutnya akan dijelaskan secara
lebih rinci mengenai cara penyelesaian konflik menggunakan

35
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

pendekatan kearifan lokal. Juga akan disertakan beberapa contoh


nilai-nilai perdamaian yang terkandung dalam kearifan lokal yang
ada dalam sistem masyarakat Indonesia.

36
Penanganan Konflik

BAB III
PENGENALAN LOCAL WISDOM SEBAGAI METODE
PENYELESAIAN KONFLIK

Local wisdom atau dikenal dengan istilah kearifan lokal


merupakan sebuah nilai atau istiadat setiap wilayah yang
memiliki muatan kebijaksanaan. Pendekatan menggunakan
kearifan lokal menjadi salah satu alternatif metode yang dapat
diterapkan sebagai metode menyelesaikan konflik.
Kearifan lokal dapat dipahami sebagai hasil pemikiran
masyarakat setempat yang diselimuti kebijaksanaan, bernilai
positif, dan kemudian diikuti dan diyakini oleh seluruh anggota
masyarakat tanpa adanya paksaaan. Setiap wilayah cenderung
memiliki kearifan lokal yang berbeda satu sama lain.
Kearifan lokal merupakan kearifan lingkungan dalam
bentuk tata nilai atau perilaku hidup dalam masyarakat di suatu
tempat atau daerah, baik antarsesama masyarakat maupun dalam
berinteraksi dengan lingkungan mereka. Kearifan lokal tidak
sama pada tempat, waktu, dan suku bangsa. Perbedaan ini
disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidup yang
berbeda-beda sesuai dengan lingkungan alam dan sosialnya
(Situmorang & Simanjuntak, 2015).
Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang secara
eksplisit muncul dari periode panjang, yang ikut berevolusi

37
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

bersama dengan masyarakat dan lingkungannya dalam sebuah


sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama (Tiezzi, E., N.
Marchettini, & M. Rossini, 2012).
Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam
masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber
energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat
untuk hidup bersama secara dinamis dan damai.
Pengertian tersebut merupakan sebuah pemaparan yang
menggambarkan mengenai posisi kearifan lokal yang tidak
sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh,
yaitu mampu membuat dinamisasi proses kehidupan masyarakat
yang penuh keadaban.
Mengungkap makna dari suatu kearifan lokal dalam bentuk
tertentu, seperti tradisi, membutuhkan pemahaman mendalam.
Setiap tradisi tentunya memiliki makna penghormatan terhadap
leluhur dan juga memiliki nilai positif sebagai bentuk hubungan
yang berkesinambungan anatara generasi terdahulu dengan
generasi berikutnya (Wasino, 2006).
Dalam pembahasan ini, kearifan lokal merupakan sebuah
tawaran strategi dalam proses penanganan konflik dengan fokus
kajian pada realitas wilayah konflik terjadi. Kearifan lokal
menjelaskan mengenai nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat
secara sukarela.
Pada implementasinya, pihak-pihak yang terlibat dalam
upacara adat atau penegakan sistem kearifan lokal memegang
peran penting untuk menyampaikan tawaran perdamaian bagi

38
Penanganan Konflik

pihak-pihak yang berselisih. Tidak hanya nilai-nilai kebudayaan


yang menjadi faktor utama yang diadopsi pada strategi resolusi
konflik beberapa gagasan penting lain juga memberikan masukan
penting.
Unsur gagasan dalam kearifan lokal yakni termasuk yang
berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan, serta
estetika. Dengan demikian, kearifan lokal lebih dititikberatkan
sebagai kemampuan suatu wilayah dalam menyerap serta
mengadakan seleksi dan pengelolaan secara aktif terhadap
pengaruh kebudayaan luar atau asing, sehingga tercapai bentuk
ciptaan baru yang tidak terdapat di wilayah lain.
Jika demikian, maka kearifan lokal selanjutnya dapat
dijadikan sebagai alternatif dalam mencegah dan menyelesaikan
konflik sosial. Nilai-nilai positif yang terkandung dalam setiap
kearifan lokal, baik dalam bentuk kesenian, permainan, maupun
ajaran dapat digali dan diaktualisasikan dalam kehidupan sosial
sehari-hari, yang kemudian nilai-nilai penting di dalamnya
diambil sebagai nilai utama dalam penyelesaian sebuah konflik.
Secara substansial, kearifan lokal didefinisikan menjadi
nilai-nilai utama yang berlaku dalam suatu masyarakat, yakni
nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam
bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat.
Oleh karena itu, benar adanya jika Geertz (1983)
menegaskan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat
menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya.
Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur

39
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan


masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan
peradaban masyarakatnya.

Refleksi Nilai Damai dalam Kearifan Lokal

Kearifan lokal dapat berupa norma susila yang dipegang


kuat oleh anggota komunitas tertentu yang kemudian menjadi
dasar dalam berperilaku. Kearifan lokal juga dapat ditunjukkan
dengan aktivitas kultural yang menekankan aspek kebersamaan
dan filosofi-filosofi yang mendalam.
Sebelum membahas mengenai implementasi nilai-nilai
dalam kearifan lokal pada strategi resolusi konflik, maka pada
bagian ini penulis akan terlebih dahulu menyajikan beberapa
gambaran mengenai contoh kearifan lokal yang terdapat di
beberapa wilayah di Indonesia;
1. Adat Mertitani di Gemawang Kabupaten Temangggung
Dusun Mandang di Gemawang secara geografi merupakan
pemukiman dengan mayoritas perkebunan, penduduknya
kebanyakan merupakan petani yang mengelola hasil tanaman di
sana. Menjelang musim bertani penduduk setempat biasanya
menggelar upacara adat Mertitani. Melalui upacara tersebut
diharapkan hasil tani akan lancar dan mendapatkan hasil yang
memuaskan.
Upacara adat Mertitani diturunkan dari satu generasi
hingga ke generasi berikutnya secara tradisi dan menggunakan
lisan, oleh karenanya akan sulit menemukan sejarah tertulis dari

40
Penanganan Konflik

pelaksanaan adat tersebut. Hal ini menjadi salah satu ciri khas
kebudayaan. Sifat turun-temurun ini sedikit banyak membuat
Upacara Mertitani tidak dapat dengan mudah ditemukan tangan
pertama penyampai nilai. Maka dengan itu kurun waktu
munculnya adat atau kebudayaan tidak akan dibahas lebih lanjut.
Pada tahapan awal persiapan upacara Mertitani semua
peserta mempersiapkan sesaji Mertani. Dalam fase ini,
kebersamaan masyarakat terlihat jelas, seluruh peserta bergotong
royong dengan sukarela. Pemimpin acara tersebut yakni sesepuh
dusun Mandang dengan pembagian tugas yang telah disepakati
jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan upacara Mertitani
dilaksanakan.
Pada pelaksaan upacara adat Mertitani, setiap warga
kemudian membawa kemenyan yang telah dipersiapkan secara
bergantian kepada sesepuh Dusun untuk diberikan doa.
Kemenyan ini merupakan simbol yang menjadi perantara untuk
menyampaikan doa, sementara sesaji menggambarkan
pengorbanan. Semua warga juga mengumpulkan sejumlah hasil
pertanian di salah satu tempat upacara Mertitani dilaksanakan.
Setelah acara pemberian doa, para warga kemudian berkeliling
dusun atau dikenal dengan istilah kirab.
Tujuan pelaksanaan upacara Mertitani sendiri yakni
sebagai ungkapan syukur, permohonan keselamatan kepada
Tuhan serta sebagai sarana untuk menghormati leluhur desa
Mandang. Upacara tersebut juga menunjukkan adanya fungsi

41
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

spiritual yang ingin dicapai, berupa peningkatan kepercayaan


adanya Tuhan dalam pemberian keselamatan.
Selain itu pada pelaksanaan upacara juga menunjukkan
sarana interaksi dan komunikasi antar warga, sehingga terjadi
kontak sosial dengan sesama warga di dusun tersebut. Sebagai
media sosial, tradisi ini dapat menciptakan kebersamaan,
kerukunan, gotong-royong, solidaritas, serta mewujudkan
komunikasi antarwarga yang tidak memandang status sosial dan
ekonominya. Point utama dalam pelaksanakaan adat Mertitani
adalah pengajaran mengenai rasa syukur dalam peristiwa penting
yang dihadapi penduduk desa Gemawang.
Pelaksanaan adat Mertitani juga memberikan penegasan
terhadap kesamaan derajat dalam sebuah sistem sosial, melalui
kegiatan tersebut, dijelaskan lebih tegas jika perbedaan yang
biasanya menjadi alasan konflik merupakan hal yang lumrah dan
bisa saja diabaikan. Adat tersebut juga berusaha menegaskan jika
persaudaraan dan gotong royong merupakan nilai utama yang
lebih penting untuk diperhatikan.

2. Tradisi Nyadran di Giyanti, Wonosobo

Sadranan atau nyadran secara umum dapat dikatakan


sebagai bentuk ritual melalui doa dan sedekahan (uba
rampe/makanan) yang dimaksudkan untuk mendoakan arwah
orang yang sudah meninggal. Tradisi ini secara luas dikenal oleh
masyarakat Jawa sebagai kegiatan bersih desa maupun
peringatan masuknya bulan Sura.

42
Penanganan Konflik

Bulan Sura merupakan sebutan lain bagi bulan Muharram


dalam penanggalan masyarakat Jawa. Secara etimologis, kata Sura
berasal dari bahasa Arab yaitu asyura yang artinya sepuluh, lebih
tepatnya tanggal 10 bulan Muharram (Sholikhin, 2010).
Pada masyarakat Giyanti, Tradisi Nyadran atau disebut
juga Nyadran Sura merupakan acara wajib yang diselenggarakan
rutin setiap tahun. Masyarakat Giyanti tidak pernah meninggalkan
tradisi ini sejak pertama digelar ratusan tahun lalu.
Tradisi Nyadran merupakan wujud kepedulian masyarakat
dalam nguri-uri budaya yang diwariskan leluhur Dusun Giyanti.
Pada pelaksanaannya, tradisi ini menyisipkan kesenian lokal yang
dipadukan dengan seni modern untuk menarik minat dan
partisipasi generasi muda Giyanti.
Menjelang pelaksanaan Tradisi Nyadran, seluruh
masyarakat ikut andil membantu persiapan setiap rangkaian
kegiatan tradisinya tanpa memandang usia, agama maupun
golongan. Bukan hanya perayaan tahunan masyarakat sudah
memaknai Nyadran sebagai ungkapan rasa syukur atas
keharmonisan dusunnya.
Banyaknya rangkaian kegiatan dalam Tradisi Nyadran
membuat panitia harus membaginya dalam beberapa hari
menjadi beberapa kegiatan utama yakni:
1. Pawai budaya atau karnaval budaya
Kegiatan ini melibatkan seluruh masyarakat Giyanti. Semua
pihak melakukan pawai atau berkeliling dari satu desa ke desa
atau bahkan kecamatan lain dengan rute yang telah ditentukan

43
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

oleh panitia. Mereka menggunakan kendaraan sambil sesekali


berhenti dan mementaskan tarian atau kesenian yang telah
disiapkan oleh masing-masing RT yang ada di Dusun Giyanti.
Pawai budaya ini juga merupakan tanda mulai digelarnya Tradisi
Nyadran di Giyanti yang bertujuan untuk memperkenalkan seni
dan budaya Giyanti kepada masyarakat di luar dusun.
2. Bersih dusun

Kegiatannya melibatkan seluruh masyarakat Giyanti, mereka
biasanya akan membersihkan lingkungan di sekitar tempat yang
akan digunakan atau dilewati selama pelaksanaan Tradisi
Nyadran. Masyarakat bergotong royong membersihkan
wilayahnya, warga yang rumahnya berada di pinggir jalan raya
dihias lampu warna-warni atas inisiatif sendiri. Selain
membersihkan secara fisik, bersih desa pada dasarnya juga
mengarah pada nilai kebersihan secara spiritual. Doa-doa
dideraskan untuk menjaga agar lingkungan terbebas dari hal-hal
yang merusak, termasuk kejahatan dan kekacauan.
3. Dekorasi Panggung

Panitia inti dibantu beberapa warga lainnya menghias
panggung dan Sanggar Kertojanti yang akan digunakan untuk
acara inti serta pentas seni. Dalam mendekorasi panggung, terasa
sekali nilai-nilai kegotongroyongan diterapkan.
Selain proses dekorasi panggung yang menjadi demonstrasi
kebersamaan masyarakat, dekorasi panggung juga merupakan
bentuk pemujaan atas nilai-nilai kesenian tradisional, sehingga

44
Penanganan Konflik

atribut-atribut estetika secara kultural semacam kembali


dihidupkan ditenggah modernitas yang seringkali melupakan
aspek-aspek kultural tersebut.
4. Membuat tempat makanan dan rias tenong
Dalam Tradisi Nyadran, terdapat pembagian tugas
berdasarkan gender. Setiap anggota masyarakat, baik para
pemuda dan bapak-bapak di sana biasanya bertugas untuk
membuat tempat makanan dari bahan bambu dengan dibentuk
seperti rumah-rumahan.
Sementara itu, di depan beberapa rumah yang berada di
pinggir jalan menuju Sanggar Kertojanti, ibu-ibu dari setiap
rumah bertugas menghias tenong. Tenong adalah tempat
menyimpan makanan dari anyaman bambu berbentuk bulat
dengan ukuran cukup besar yang akan dibawa pada saat acara inti
Tradisi Nyadran. Kegotong-royongan ini merupakan bentuk
pembagian kerjasama yang konstruktif yang dapat menjadi
contoh kooperasi kultural antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat.

5. Mengirim makanan ke sanak saudara yang tinggal di luar dusun



Pengiriman makanan ke sanak saudara jauh dilaksanakan
sehari sebelum acara inti. Hal ini dilakukan sebagai bentuk upaya
mengundang mereka untuk hadir pada acara keesokan harinya,
yakni acara inti Tradisi Nyadran.
Kegiatan ini telah dilakukan secara turun-temurun layaknya
menjelang hari raya keagamaan. Cara tradisional untuk

45
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

mengundang dengan mengirimkan makanan ini merupakan


bentuk dari penghormatan dan kasih sayang yang mulai memudar
pada era daring ini.
6. Pentas seni

Tradisi Nyadran mangagendakan pentas seni yang meliputi
seni tradisonal hingga modern. Tidak hanya Lengger dan Kuda
Kepang khas Dusun Giyanti, terdapat pula kesenian masa kini
seperti band, akustik, dance modern, pantomim, sulap, stand up
comedy, beat box dan tentunya musik dangdut yang menjadi
kesukaan banyak orang kebanyakan.
Penggiat seni yang mengisi pentas tidak hanya berasal dari
Dusun Giyanti saja, namun juga datang dari luar daerah. Semua
seniman menampilkan totalitas pertunjukkan di panggung pentas.
Pentas seni digelar siang malam hingga menjelang pelaksanaan
dan pada saat acara inti Tradisi Nyadran.
7. Acara inti tradisi nyadran

Acara inti Tradisi Nyadran dilaksanakan dalam satu hari
yang selalu jatuh pada hari jum’at atau selasa yang penanggalan
Jawa termasuk pasaran Kliwon. Acara inti dilakukan dengan
berbagai ritual dan adat istiadat, seperti berikut:
a. Ziarah Makam Leluhur Pendiri Dusun Giyanti yaitu makam
Ki 
Mertoloyo dan Ki Monyet;
b. Tenongan, aktifitas di mana ibu-ibu yang merupakan
perwakilan dari tiap rumah di 
Dusun Giyanti membawa
tenong bersama-sama ke sebuah tempat, yakni Sanggar

46
Penanganan Konflik


Kertojanti;
c. Acara Puncak di Sanggar Kertojanti, diawali dengan
sambutan- 
sambutan, pembacaan riwayat berdirinya Dusun
Giyanti dan pentas 
seni yang dihadiri oleh pejabat
Pemerintah Kabupaten Wonosobo;
d. Pembacaan Doa Penutup oleh Sesepuh Dusun;
e. Rebutan Makanan dalam Tenong, pada saat pembacaan doa

seluruh tenong yang dibawa oleh para ibu diambil panitia
dan dibariskan di sepanjang jalan raya untuk direbutkan oleh
masyarakat yang menyaksiakan acara tersebut; dan
f. Mengambil Air Bunga, air ini dibawa pada saat ziarah makam
oleh panitia dan simpan di bawah pohon persis di sebelah
kiri Sanggar Kertojanti untuk selanjutnya diambil oleh
masyarakat setelah pembacaan doa.

8. Doa lintas agama

Selain rangkaian ritual, aspek spiritualitas dalam Tradisi


Nyadran menjadi sangat penting. Pembacaan doa dalam Tradisi
Nyadran menjadi bagian yang tidak boleh terpisahkan.
Pembacaan Doa dilaksanakan secara lintas agama dan dipimpin
oleh perwakilan dua agama, yakni Katolik dan Islam.
Kegiatan ini dilakukan pada malam hari setelah acara inti
Tradisi Nyadran. Doa lintas agama ini menjadi penggambaran
bahwa Tradisi Nyadran merupakan kegiatan kultural yang
menjadi miliki masyarakat dengan identitas agama apapun.

47
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

9. Salametan kobol-kobol

Semacam pesta penutup, Salametan Kobol-kobol membuat
seluruh warga Dusun Giyanti, baik laki-laki dan perempuan dari
segala usia, agama, dan klasifikasi sosial apapun, merayakan
bersama. Acara diawali dengan pembacaan doa secara Islam.
Kemudian dilanjutkan dengan menari bersama sambil
menyanyikan lagu kobo-kobol dengan diiringi gamelan.
Acara perayaan ini diakhiri dengan bertukar makanan,
yakni nasi tumpeng lengkap dengan lauk di atasnya yang dibawa
dari rumah masing-masing. Slametan Kobol-kobol menjadi
perwujudan acara santai dan meriah yang menandakan adanya
kedekatan personal antara satu sama lain. Selain itu, Slametan
Kobol-kobol bagaimanapun telah menjadi ruang publik yang
membuat hubungan satu sama lain terjaga.

10. Pagelaran wayang kulit



Pada dasarnya, penutup yang sebenarnya untuk Tradisi
Nyadran adalah pagelaran wayang kulit. Acara ini memiliki makna
filosofis yang mendalam. Meski membutuhkan biaya yang tidak
sedikit, pagelaran wayang kulit dilaksanakan selama 2 malam 1
hari penuh. Pagelaran wayang kulit di Giyanti cenderung istimewa
karena hanya dilaksanakan dua kali dalam setahun. Masyarakat
Giyanti memiliki minat yang tinggi untuk wayang kulit, sehingga
dalang yang dipilih adalah dalang yang terkenal di Jawa Tengah.

48
Penanganan Konflik

3. Toleransi Komunitas Aboge di Kabupaten Banyumas


Aboge (Alif, Rebo, Wage) adalah komunitas Islam minoritas
yang tersebar di beberapa wilayah, seperti Kabupaten Banyumas,
Purbalingga, Cilacap, Wonosobo, Jombang, dan Kabupaten
Madiun. Kekhasan dari komunitas ini adalah digunakannya
penanggalan Islam Jawa dalam menetapkan awal Ramadhan dan
Hari Raya.
Perpaduan antara agama dan budaya terlihat dari
perhitungan penanggalan yang merupakan gabungan dari aksara
atau huruf arab dengan hari penanggalan jawa. Ritual keagamaan
yang dilakukan komunitas ini didasarkan pada kepercayaan yang
diturunkan oleh para leluhur dan diyakini selama bertahun-tahun.
Dalam contoh ini, bentuk-bentuk akulturasi budaya nampak
kental pada upacara ritual yang dilaksanakan.
Pelajaran penting yang dapat diambil dari kehidupan
komunitas Aboge adalah sikap toleransi yang tinggi. Mereka
memercayai jika keanekaragaman umat, ras, golongan, dan agama
merupakan hasil ciptaan Tuhan sehingga saling menghormati
adalah sebuah keharusan. Jika tidak dilaksanakan akan sama saja
dengan menentang Tuhan. Nilai religiusitas menjadi hal utama
dalam pandangan komunitas Aboge. Tetuhanan merupakan
norma tertinggi yang akan selalu dipatuhi dalam setiap kondisi.
Komunitas ini mengajarkan makna perdamaian dengan
bersama dalam keragaman, meskipun pada perayaan hari raya
berbeda dengan komunitas muslim lainnya, namun mereka
nantinya akan berbaur dalam adat saling maaf memaafkan,

49
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

kegiatan gotong royong, dan kegiatan lainnya yang mengharuskan


dilaksanakan secara bersama-sama.
Membandingakan dengan aktivitas sebelumnya, terdapat satu
perbedaan dasar meskipun perbedaan yang menonjol dari
komunitas ini dengan masyarakat lainnya tidak serta merta
membuat mereka saling membenci. Pada intinya kebersamaan
dalam sebuah keragaman menjadi nilai penting diterapkannya
perdamaian dalam sudut pandang mereka.

4. Adat Reba di Ngada

Upacara adat Reba menjadi salah satu jenis kearifan lokal


yang terbukti efektif menyelesaikan konflik di tengah masyarakat
di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Upacara adat Reba
merupakan salah satu kegiatan tahunan yang dilaksanakan
masyarakat Ngada. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian
yang disampaikan Silverius Betu tahun 2017.
Kata Reba terdiri dari dua suku kata yang artinya sangat
berbeda yaitu re dan ba. Re bisa berarti bunyi suara hujan atau
banjir di sungai yang didengar dari kejauhan. Re juga bisa berarti
“menyangkal” atau mungkir atau tidak mengakui. Hal Ini
mengarah pada tantangan dalam perjalanan hidup manusia dan
menjadi sumber konflik dalam masyarakat. Sedangkan Ba berarti
“hampa” atau “tidak berisi”, juga megandung pengertian
“perbuatan maha dahsyat yang mematikan ternak besar maupun
kecil ataupun manusia (go noa daba/noa da leba)”.

50
Penanganan Konflik

Pengertian yang lain adalah “rebahnya tanaman jagung


akibat angin yang kencang (go wara da leba/ da ba)”. Upacara
Adat Reba secara simbolis merupakan keinginan untuk
membangkitkan kerinduan dan harapan akan suasana damai dan
harmoni di masa lampau, damai dan harmoni saat ini dan damai
dan harmoni di masa datang.
Budaya Ngadha mengajarkan bahwa melanggar ajaran
leluhur atau melanggar adat adalah sumber utama bencana dalam
hidup bersama, baik dalam rumah adat, dalam suku, dalam
kampung maupun dalam kehidupan bermasyarakat (lika lia lapu
gobo).
Keberhasilan upacara adat Reba tidak terlepas dari adanya
aktor-aktor penting yang mampu melakukan diskusi dengan bijak
hingga menyelesaikan konflik. Dalam upacara adat reba semua
anggota rumah harus pulang ke sa’o atau rumah adat sebagai
simbol persatuan, kebersamaan, dan perdamaian. Sa’o juga
berhubungan erat dengan hak atas tanah warisan dan struktur
kepemimpinan. Segala perselisihan dan konflik mulai dibahas
bersama dan diselesaikan.
Praktek peradilan adat masyarakat Ngada biasanya terjadi
pada saat Upacara Adat Reba. Menurut Damianus Bilo (Stefanus
Djawa Nai, 2002) penyelesaian masalah dalam upacara adat reba
dimulai dengan inventaris masalah atau konflik yang terjadi
melalui laporan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak
kepada tua-tua adat disertai dengan permohonan untuk
menyelesaikan masalah mereka. Juga melalui inisiatif dari tua-tua

51
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

adat dengan harapan agar konflik yang terjadi bisa diselesaikan


dan keharmonisan dalam hidup bersama kembali terjalin.
Menurut pelaku adat di kampung Guru Sina (Silverius Betu,
2017) setelah masalah atau konflik diinventarisir maka para tua
adat akan memilah-milah masalah, mana yang harus diselesaikan
mulai dari dalam rumah adat dan mana yang langsung
diselesaikan di dalam kampung.
Masalah antar pribadi atau keluarga dalam satu rumah adat
biasanya diselesaikan dari rumah adat, kalau tidak bisa
diselesaikan maka akan diselesaikan dalam suku dan kalau juga
tidak selesai maka akan dibawah ke pengadilan di tengah
kampung atau tere lengi. Sedangkan masalah antar suku lansung
diselesaikan di tere lengi.
Ada beberapa tahapan penyelesaian masalah dalam
upacara adat Reba di Ngada; pertama, One Sao pada tahapan
internal rumah adat Sao Meze Teda Lewa penyelesaian masalah
yang dilakukan antar rumah adat, Babho one Nua yakni
penyelesaian permasalahan dalam satu kampong seperti
Musyawarah Kampong atau menggunakan pengadilan adat di
kampong. Tura Jaji, sebuah keputusan untuk melakukan
perjanjian damai dengan kampung lain.

5. Rewang di Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis


Kabupaten Bengkalis memiliki salah satu jenis kearifan
lokal yang menggambarkan beberapa nilai gotong royong, salah
satunya adalah tradisi Rewang. Tradisi rewang sering

52
Penanganan Konflik

dilaksanakan pada penyertaan pelaksanaan pernikahan yang


secara langsung, masyarakat dapat bergotong-royong
mengesampingkan perbedaan tingkat sosial, agama dan ras yang
biasanya menjadi sumber konflik. Adat istiadat ini mengandung
nilai-nilai positif yang dipertahankan serta ditransfer secara turun
temurun kepada generasi berikutnya, meskipun saat ini terpaan
tantangan atas kecanggihan teknologi dan kemajuan zaman terus
menerpa.
Tradisi ini dijalankan ketika menjelang pelaksanaan
pernikahan. Rewang merupakan tradisi gotong royong untuk
menyukseskan acara pernikahan dengan cara mengumpulkan
masyarakat. Setiap warga akan diundang oleh tuan rumah dan
dijemput secara langsung tidak bisa diwakilkan, dan jika
undangan itu harus diwakilkan maka walinya adalah orang
terpandang di keluarga tersebut.
Acara jemput angota rewang ini biasanya diadakan dalan 7-
10 hari sebelum acara dilangsungkan. Masyarakat yang menjadi
anggota Rewang tersebut kemudian akan bertugas beberapa hari
sebelum pesta digelar untuk melalukan segala persiapan. Anggota
Rewang biasanya masih keluarga atau kerabat dekat tuan rumah.
Relasi tuan rumah dengan lingkungan sekitar menunjukan
seberapa banyak anggota Rewang yang terbentuk. Tradisi ini
menjadi menarik karena mampu melibatkan banyak orang
terlepas dari kelompok ekonomi, tingkat pendidikan, etnis,
maupun agama tertentu untuk bekerjasama menyukseskan acara
pernikah tuan rumah yang mengundangnya.

53
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Pembagian tugas dilaksanakan sesuai dengan kemampuan


anggota Rewang, tanpa ada komando atau sifat memaksa dari
siapa pun. Kesadaran pada masing-masing anggota tersebut
menciptakan kebersamaan yang dapat dirasakan dengan sangat
baik dalam pelaksanaan tradisi ini.

6. Adat Suloh di Aceh

Kearifan lokal merupakan bagian dari identitas diri sebuah


suku bangsa, sama halnya dengan wilayah lainnya Aceh juga
memiliki beragam kearifan lokal yang semakin menunjukkan
kekhasan wilayah tersebut. Karakter masyarakat Aceh yang
menganut Islam dengan kuat tentunya membentuk nilai-nilai adat
yang di wilayah tersebut tidak heran jika kemudian kearifan lokal
yang terbentuk merupakan hasil asimilasi dari nilai-nilai Islam
yang dijalankannya.
Adat dan agama (Islam) telah sedemikian rapi bekerja
sama dalam penyusunan struktur sosial masyarakat Aceh, namun
hal ini tidak berarti tidak ada konflik di dalamnya, seperti
penerapan syariah Islam sedikit banyak telah membuka peluang
itu. Dalam struktur lembaga adat bisa kita lihat peran (role) dan
sekaligus kontestasi antara adat dan agama.
Di masyarakat Aceh dikenal dengan adat suloh, menurut
beragam sumber dijelaskan jika adat suloh ini merupakan ajaran
yang berasal dari Islam yang bermakna islah yang bermakna
memperbaiki keadaan atau upaya perdamaian. Suloh merupakan
tradisi yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Pada tradisi tersebut

54
Penanganan Konflik

menjelaskan mengenai cara-cara penyelesaian konflik yang


sangat demokratis, tanpa harus ada pertumpahan darah dari
kedua belah pihak baik konflik vertikal maupun horizontal dapat
diselesaikan dengan baik.
Tradisi suloh bisanya diterapkan pada upaya penyelesaian
konflik untuk kasus di luar pidana yang tidak menimbulkan
korban jiwa. Kasus-kasus yang diselesaikan menggunakan
pendekatan ini berupa sengketa perekonomian, misalnya konflik
batas wilayah, perebutan sentra ekonomi dan lain-lain selama
konflik belum berakhir menjadi kekerasan dan berjatuhan korban
jiwa.
Pada tradisi suloh peran tokoh adat sangatlah penting,
melalui institusi adat yang telah lebih dulu ada, peyelesaian kasus
dilakukan dengan maksud kemudian tidak memperluas konflik
yang terjadi. Beberapa keuntungan dari penyelesaian adat ini
diantaranya; pertama, dinamika konflik tidak semakin meluas,
kedua, mempersingkat waktu penyelesaian konflik karena tidak
menggunakan jalur hukum formal, dan ketiga, isu konflik tidak
semakin meluas.
Peusijuek dan Peumat Jaroe adalah bentuk aktivitas adat
dan budaya yang juga melekat dengan tradisi suloh. Pada aktivitas
peusijeuk kedua pihak yang bersengketa dipertemukan untuk
melakukan negosiasi ataupun mediasi. Terakhir adanya sesi
peumat jaroe yang merupakan kegiatan ritual berjabat tangan
setelah konflik tersebut dianggap selesai.

55
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Proses penyelesaian konflik dianggap selesai jika dua


aktivitas adat tersebut telah dilaksanakan. Dalam proses peumat
jaroe (Abidin Nurdin: 2013) pihak ketiga yang menjadi mediator
biasanya akan mengucapkan kata-kata khusus seperti “nyoe kaseb
oh no, bek na deundam le. Nyoe beujeut keu jalinan silaturrahmi,
karena nyan ajaran agama geutanyoe (masalah ini cukup di sini
jangan diperpanjang lagi. Bersalaman ini diharapkan menjadi
awal dari jalinan silaturrahmi anatara Anda berdua, sebab ini
ajaran agama kita).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, peran tokoh
adat dalam penyelesain konflik dengan pendekatan kearifan lokal
ini sangat penting. Lembaga adat itu dimulai dari level paling
bawah (gampong) sampai pada adat tertinggi di level kesultanan.
Kehadiran lembaga tersebut adalah sebagai pengontrol dan
pengendali terhadap sosial keagamaan yang ada di dalam
lembaga kemasyarakatan Aceh. Dalam hal ini, strata sosial dalam
masyarakat Aceh ada lima yaitu Gampong, Mukim, Sagou,
Nanggroe dan Kerajaan atau Negara.
Gampong dalam masyarakat Aceh merupakan suatu sistem
kemasyarakatan yang dapat mengatur diri sendiri, sekaligus
gampong sebagai suatu kesatuan yang mengorganisasikan
masyarakat yang berdomisili di lingkungan administrasi atau
lingkungan hukum desa, hingga sampai saat ini masih berlaku
tradisi seperti ini di Aceh.
Melalui lembaga adat tersebut, sengketa atau konflik dapat
diselesaikan dengan lebih cepat. Sebagai bentuk alternative

56
Penanganan Konflik

dispute resolutions, adat ataupun kebudayaan memang menjadi


salah satu langkah yang dipandang efektif untuk penyelesaian
konflik. Terlebih posisi sistem adat tersebut mempunyai
kecocokan dengan sistem sosial di wilayah yang bersangkutan.
Akan tetapi, kontrol sosial masih tetap sangat diperlukan
terhadap seseorang atau sekelompok orang untuk menjaga
stabilitas dan keharmonisan organisasi, mulai dari tingkat desa
sampai ke pemerintahan kota, yang bersifat mendidik, mengajak,
sekaligus memaksa individu atau kelompok masyarakat (jika
diperlukan) untuk mematuhi peraturan-peraturan atau
ketentuan-ketentuan, nilai-nilai, serta norma-norma yang berlaku.

Pokok–Pokok Nilai Damai dalam Kearifan Lokal

Kearifan lokal pada masing-masing wilayah membentuk


sebuah mekanisame sosio-kultural yang tidak diketahui
masyarakat namun juga dihormati dan diamalkan. Mekanisme
yang terbentuk dapat berupa sanksi adat ataupun nilai moral
yang ditaati bersama. Pada dasarnya kearifan lokal selalu
memberikan pelajaran mengenai perdamaian dan kerukunan baik
dengan sesama masyarakat, lingkungan maupun dengan Tuhan
penciptanya.
Dari beberapa penggambaran mengenai contoh kearifan
lokal yang telah disampaikan sebelumnya, penulis mendapatkan
nilai umum yang penting dan mengandung pokok-pokok
perdamaian. Nilai-nilai tersebut diterima masyarakat adat sebagai

57
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

sebuah keharusan yang dilaksanakan secara sukarela. Berikut


beberapa nilai yang dimaksud;
1. Solidaritas Sosial, nilai gotong-royong memang menjadi
keuntungan penting bangsa Indonesia. Saling membantu
antara anggota Rewang dan tuan rumah merupakan salah
satu bukti nyata adat Rewang mengandung nilai solidaritas
yang tinggi. Bahkan pada pelaksanaannya, tradisi ini tidak
mengenal pembedaan antara penduduk asli maupun warga
pendatang. Melalui tradisi Rewang tersebut solidaritas sosial
terbentuk dan terlihat dari kerelaan anggota adat Rewang
dalam memberikan tidak hanya materi namun juga tenaga
dan waktu.
2. Peran penting kepala adat, Kekuatan penting dari tokoh adat
yang dituakan menjadi faktor utama penggunaan budaya
sebagai salah satu alat penyelesaian konflik. Pemimpin adat
biasanya menjadi tokoh yang sangat dipatuhi dan
berpengaruh kuat. Informasi atau arahan yang
disampaikannya sudah sangat pasti akan diterima oleh para
pelaku adat.
3. Integrasi sosial, Kegiatan Nyadran tidak hanya menunjukan
solidaritas sosial, akan tetapi juga menunjukan persatuan
dan kesatuan semua pihak yang ada di lingkungan sekitar.
Tanpa membedakan kelompok etnis, agama, maupun strata
sosial, semua pihak mengarah pada satu tujuan bersama,
yakni suksesnya acara syukuran yang digelar.

58
Penanganan Konflik

4. Religiusitas, nilai keagamaan menjadi moral utama yang


ditaati oleh masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan budaya
lokal di komunitas Aboge. Terdapat semacam hukum yang
disepakati, bahwa melanggar ketentuan sosial sama dengan
melanggar ketentuan Tuhan. Menggunakan prinsip tersebut,
maka hubungan sosial masyarakat Aboge terlaksana dengan
baik sesuai dengan kepercayaan dan hubungannya dengan
Tuhan.
5. Nilai toleransi, kesadaran pada perbedaan yang menjadi
karakter utama manusia tidak membuat masing-masing
masyarakat menjadi saling membenci. Tumbuhnya rasa
toleransi menjadi dasar kerukunan kehidupan di tengah
masyarakat yang saling berbeda satu sama lain.
6. Nilai Transformasi Hubungan, pada tradisi adat Aceh, terlihat
jika sekelompok masyarakat membuat sebuah sistem sosial
yang mengajarkan adanya tahapan lanjut dari sekadar
menyelesaikan konflik namun juga memperbaiki hubungan
kedua pihak agar kembali seperti semula atau menjadi lebih
baik lagi. Lembaga adat melalui tokoh adat mengajarkan jika
penyelesaian konflik justru bukan target perdamaian yang
diharapkan, menciptakan perubahan relasi dari pihak yang
berkonflik adalah tahapan lebih lanjut dari konflik yang
dihadapi.

Pada kelima pokok-pokok nilai perdamaian yang ada dalam


beragam kearifan lokal di Indonesia tersebut, kita sepertinya

59
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

sudah menyadari jika hakikatnya setiap kelompok manapun akan


lebih menjungjung perdamaian daripada kondisi kekerasan. Nilai
tersebut tentunya sudah menjadi modal utama bagi terciptanya
keinginan terbentuknya perdamaian di tengah masyarakat.
Nilai-nilai perdamaian yang terdapat dalam kearifan lokal
sebuah wilayah tentunya dapat dimanfaatkan untuk melakukan
resolusi konflik ketika menghadapi sebuah konflik. Bagaimana
cara menyelesaikan konflik menggunakan kearifan lokal akan
dibahas dalam bab selanjutnya dalam buku ini.

60
Penanganan Konflik

BAB IV
PENANGANAN KONFLIK
DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

Pendekatan resolusi konflik menunjukkan akar penyebab


konflik yang berkembang menjadi kekerasan oleh pihak-pihak
yang bermusuhan. Resolusi konflik mencoba mencari sumber dari
pertentangan, berusaha untuk mentransformasikan ketidakadilan
dan penyumbatan komunikasi yang mungkin semakin
memperparah keadaan.
Oleh karena itu, proses damai yang saat ini dijalankan
harus diikuti dengan usaha transformasi konflik yang menyeluruh
di semua aspek dengan dilakukan secara terus menerus untuk
memastikan perdamaian permanen dapat terwujud. Resolusi
konflik dapat dimaknai sebagai bentuk penyelesaian konflik
hingga babak akhir dengan tujuan agar tidak mengulangi proses
damai yang mungkin pernah gagal pada masa-masa sebelumnya.
Resolusi konflik pada hakekatnya adalah upaya proses
penyelesaian konflik dengan jalan nir kekerasan dan lebih
mengedepankan cara-cara demokratis. Proses resolusinya adalah
melalui cara-cara dialog, konsensus untuk mencapai kesepakatan
damai untuk kepentingan bersama, tanpa ada yang merasa
menang dan kalah (win-win solution).
Proses ini juga melibatkan upaya untuk mendorong
perubahan perilaku yang positif dari para aktor konflik. Resolusi

61
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

konflik diharapkan dapat menangani sebab-sebab konflik guna


melangkah lebih maju kepada penciptaan suatu hubungan baik
dan damai yang langgeng (perpetual peace) di antara kelompok-
kelompok yang berkonflik. Resolusi konflik tersebut sekaligus
mengandung arti serangkaian proses guna menyelesaikan konflik.
Strategi resolusi konflik, pada prinsipnya berusaha
menghindari cara-cara kekerasan. Untuk penyelesaian konflik
yang tuntas memang harus diupayakan terjadinya suatu
transformasi penanganan konflik dari yang bersifat koersif atau
berorientasi pada hard power menuju pendekatan nirkekerasan,
yakni melampaui tujuan perdamaian negatif menuju perdamaian
positif (Rachman, 2004: 28).
Realitas mengenai adanya peran penting kearifkan lokal
dalam suatu masyarakat yang bernilai perdamaian memberi
dampak pada terciptanya rangkaian usaha resolusi konflik dengan
implementasi nilai-nilai tersebut.
Hingga kini, pendekatan kearifan lokal menjadi salah satu
cara yang dapat diterapkan sebagai landasan nilai yang nantinya
diharapkan lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat.
Kearifan lokal dalam hal ini dimaknai sebagai realitas yang dapat
dijadikan acuan dalam penyelesaian sebuah konflik. Selain itu,
pendekatan kearifan lokal menyumbang pertimbangan dan
preferensi terhadap pemilihan aktor-aktor untuk terlibat dalam
penyusunan strategi resolusi konflik yang diharapkan tepat dan
mewakili aspirasi pihak-pihak yang berkonflik.

62
Penanganan Konflik

Pendekatan strategi penyelesaian sebuah konflik


diharapkan dapat menunjukkan akar penyebab konflik agar
memungkinkan pihak-pihak yang bermusuhan dan bertentangan
dapat melakukan komunikasi serta membuka rekonsiliasi, hingga
perdamaian dapat diperoleh. Penyelesaian konflik dapat merujuk
pada terpenuhi tujuan transformasi konflik.
Dengan demikian, proses damai yang saat ini dijalankan
harus diikuti dengan usaha transformasi konflik yang menyeluruh
di semua aspek dan terus menerus untuk memastikan
perdamaian permanen dapat terwujud. Proses perdamaian yang
dimaksud adalah dengan memperhatikan beberapa prosedur
sebelum menentukan strategi yang dimaksud. Adapun prosedur
tersebut yakni:

a. Mengurai Konflik dan Menciptakan Perdamaian


Melakukan analisis terhadap kasus yang sedang dihadapi
dan menemukan konflik nyata merupakan langkah awal dalam
menentukan respons terhadap konflik. Memahami konflik
menjadi langkah penting menyiapkan strategi yang akan disusun
untuk memberikan respons yang tepat pada konflik tersebut.
Kesalahan melakukan analisis dan memahami konflik dapat
membuat konflik tereskalasi dengan cepat.
Begitupun dengan proses memahami secara rinci
mengenai permasalahan yang sedang dihadapi memang bukan
perkara mudah. Kecenderungan melihat dari sudut pandang
masalah yang Nampak (konflik real) merupakan hal wajar.

63
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Masalah waktu analisis yang singkat memungkinkan hanya


konflik terlihat yang dapat dicari penyelesaian masalahnya. Akan
tetapi, masalah-masalah yang tertutup biasanya justru menjadi
pintu awal menuju perdamaian abadi yang diinginkan.
Masalah yang tertutup dalam konflik menjadi semacam
rumput kering yang selalu siap terbakar jika ada pemicunya,
misal isu ketidakadilan, perbedaan adat istiadat, cara komunikasi
yang berbeda, perbedaan kepentingan dan lain sebagainya.
Proses mengurai permasalahan dilakukan dengan cara
menjawab minimal pertanyaan 5W+1H yakni siapa aktor yang
berkonflik, apa isu yang menjadi dasar konflik terjadi, dimana
wilayah konflik berlangsung, kapan konflik terjadi (fokus pada
timeline konflik), kenapa konflik bisa terjadi (analisis konflik
fokus pada trigger), dan terakhir bagaimana konflik terjadi
(fokus pada dinamika konflik).

b. Memahami Tahap Penyelesaian Konflik


Setelah target perdamaian telah ditentukan, proses
selanjutnya adalah melakukan penyelesaian konflik dengan
memilih beragam metode seperti yang akan dijelaskan
selanjutnya. Namun demikian metode tersebut bukan tidak
mungkin untuk dikolabirasikan, artinya tidak seperti huruf
alfabet yang harus dimulai dari A secara satu persatu hingga
berakhir di Z. Lompatan-lompatan proses dan pendekatan
metode dapat dipilih disesuaikan dengan wilayah dan karakter
konflik yang dihadapi.

64
Penanganan Konflik

- Mediasi
Mediasi, merupakan cara “aman” bagi pihak-pihak yang
bertikai untuk bertemu dengan tetap memberikan kesempatan
pada mereka untuk memegang kendali atas berbagai persoalan
hubungan dan hasil-hasilnya. Proses ini dapat digunakan sebagai
langkah awal dalam menghadapi konflik. Mediasi dilakukan oleh
pihak ketiga untuk tujuan mencipatakan posisi netral dari kedua
pihak yang berselisih.
Mediasi yang baik ditentukan oleh kemahiran mediator
dalam menciptakan suasana dipercaya oleh kedua pihak yang
bersengketa. Tanpa terciptanya kondisi “percaya” maka tidak
akan kelompok yang bersedia melakukan proses mediasi. Pada
tahapan ini keinginan dari kedua pihak yang bersengketa
didengarkan dan dipenuhi, jika ada yang bertentangan
menemukan jalan tengah menjadi solusi awal dari masalah
tersebut.
Salah satu syarat mediator diterima oleh pihak yang
berkonflik adalah sikap netral dari mendukung kedua pihak yang
berselisih. Meskipun demikian bukan berarti mediator benar-
benar netral, mediator haruslah tetap berpihak pada jalan
perdamaian yang ingin dituju.

- Rekonsiliasi
Rekonsiliasi, merupakan upaya penyelesaian konflik
dengan cara nirkekerasan, dapat dilakukan dengan dialog dan
mediasi sesuai dengan dinamika konflik yang sedang terjadi.

65
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Dalam usaha menangani sebab-sebab konflik, maka perlu


membangun hubungan baru dan tahan lama diantara kelompok-
kelompok yang bermusuhan, salah satu cara yang harus dilakukan
yakni melalui sarana komunikasi dan tata relasi yang baru. Agar
kebekuan kelompok-kelompok tersebut dapat mencair dan
bersama-sama serta bekerjasama membangun perdamaian.

Tabel 2. Pola Rekonsiliasi Konflik Di Indonesia

Daerah
No Pola Rekonsiliasi Resolusi Konflik
Konflik
1. Sumatera Rekonsiliasi mantan Rekonsiliasi yang
Barat. PRRI/ PRRI/PERMESTA, baik dari dilaksanakan secara
PERMESTA, kalangan militer, sipil, pelajar vertikal maupun horizontal
Tahun 1958. dan mahasiswa, yang diikuti kesadaran dan
menyerahkan diri dan komitmen masing-masing
direhabilitasi oleh pihak. Sehingga rekonsiliasi
Pemerintah: tidak hanya secara formal
1. Sebagian diantara mereka, saja, tapi punya makna
melanjutkan reunifikasi atau substansi,
pengabdiannya di bidang dan dalam
militer, berdasarkan perkembangannya lebih
syarat tertentu. bersifat permanen.
2. Sebagian kembali dalam
kehidupan masyarakat
sipil, wiraswasta, pelajar
dan mahasiswa.
2. Sambas, Pihak yang bertikai (Etnis Rekonsiliasi dilaksanakan
Kalimantan Dayak dan etnis Madura) karena adanya kesadaran

66
Penanganan Konflik

Daerah
No Pola Rekonsiliasi Resolusi Konflik
Konflik
Barat. melakukan rekonsiliasi bersama, khususnya
Konflik Etnis. dengan duduk dalam satu mereka yang bertikai,
Tahun 1997. meja, difasilitasi oleh Pemda, untuk saling menjaga
DPR dan Tokoh Masyarakat. komitmen masing-masing
Mereka sepakat agar terhadap perdamaian.
kehidupan normal dan damai Dalam perkembangannya
bisa terlaksana. Usai berlanjut rekonsiliasi
pertemuan mereka saling politik dan sosial seperti
berjabat tangan, berangkulan, asimulasi (perkawinan)
untuk melupakan konflik antar etnis, sehingga
yang pernah terjadi dan rekonsiliasi dapat bertahan
sepakat menatap kehidupan lama, dan lebih bersifat
masa depan yang rukun. permanen.
3. Mataram, Konflik Patemon Karang Rekonsiliasi, meskipun
Nusa Genteng, secara formal belum belum dilakukan secara
Tenggara pernah diadakan rekonsiliasi, formal, namun dalam
Barat. dan oleh Pemkot dibangun proses komunikasi mulai
Konflik tembok yang memisahkan mencair dengan sendirinya,
Patemon, antara kedua desa tersebut. karena kepentingan dan
Karang Namun rekonsiliasi dilakukan keterkaitan individu dalam
Genteng, secara alami, melalui kehidupan sosial maupun
Tahun 2001. komunikasi dalam kehidupan ekonomi. Namun
sehari-hari seperti bekerja di dinamikanya masih rentan
ladang, datang ke tempat terhadap konflik.
hajatan (mayoritas kaum
perempuan) dan dalam
kegiatan ekonomi secara
perlahan komunikasi antar
individu dari kedua desa
tersebut mulai mencair

67
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Daerah
No Pola Rekonsiliasi Resolusi Konflik
Konflik
meskipun tidak secara
terbuka, karena masih
sensitif dicurigai sebagai
mata-mata antar kelompok.
4. Sulawesi Pertemuan Malino untuk Masing-masing komunitas
Tengah. Poso pada tanggal 18 sampai yang bertikai menunjukkan
Konflik Poso, dengan 20 Desember 2001, kesepakatan perdamaian,
Tahun 2001. yang dihadiri oleh perwakilan dan mempunyai komitmen
dari tokoh-tokoh yang untuk mewujudkan
bertikai, selanjutnya dikenal keamanan dan perdamaian
dengan kesepakatan bersama, yang difasilitasi
deklarasi Malino 2. oleh pemerintah yang lebih
bersikap dan bertindak
sebagai mediator dan
motivator dalam
penyelesaian konflik.
Sehingga lebih bersifat
permanen dan tahan lama.

Sumber: Bambang Wahyudi, 2013


Beberapa proses rekonsiliasi konflik pernah berhasil
dilakukan dalam beberapa konflik yang terjadi di Indonesia. Pola
rekonsiliasasi tersebut tentunya tidak dapat digunakan secara
utuh dalam praktek konflik yang terjadi di wilayah dan waktu
yang berbeda. Mengapa? Karena dalam menghadapi konflik,
wilayah dan waktu yang berbeda menentukan pilihan respons
yang tepat dalam melakukan penyelesaian konflik. Konsep
mengenai kesesuaian wilayah dan waktu konflik merupakan

68
Penanganan Konflik

konsep mengenai realitas yang akan banyak dibahasa pada bab


terakhir buku ini.

- Transformasi

Setelah terjadi tahap rekonsiliasi dan akar permasalahan


konflik dapat dipahami, maka tahap berikutnya adalah
transformasi konflik. Dalam transformasi konflik, faktor-faktor
yang sebelumnya konfliktual, diupayakan untuk dapat
ditransformasikan dalam proses membangun budaya damai dan
peningkatan kapasitas kelembagaan baik formal maupun non
formal. Langkah rekonsiliasi setidaknya dapat dijadikan sebagai
sebuah tahapan awal perjalanan panjang “Transformasi Konflik”.
Transformasi konflik secara tidak langsung dapat
memberikan kesadaran pada pihak-pihak yang berkonflik,
setidaknya bahwa upaya tersebut penting untuk dilakukan karena
apapun yang terjadi, manusia atau masyarakat dapat berubah ke
arah perbaikan.
Konsep-konsep tentang transformasi konflik tanpa
kekerasan diperlukan sebagai sebuah kerangka konseptual bagi
langkah-langkah analisa menuju pengakhiran konflik, disamping
untuk memikirkan tentang kemungkinan melakukan intervensi
dalam konflik. Untuk itu peneliti mengacu pada pemikiran Miall,
tentang lima aspek penting dalam transformasi konflik, sebagai
berikut:
“Resolusi konflik dalam kelompok atau antar kelompok,
diperlukan transformasi konflik tanpa kekerasan dengan
mengenalisa lima aspek yaitu: (1) transformasi konteks, (2)

69
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

transformasi struktur, (3) transformasi aktor, (4)


transformasi persoalan, (5) transformasi kelompok dan
personil (Miall, 2002: 250-252).”

Transformasi Konteks. Seperti halnya relasi yang


bergerak secara interkoneksi, konflik pun demikian. Konflik
dilihat dalam konteks lokal, nasional, regional dan internasional,
merupakan sudut pandang kritis bagi dinamika konflik.
Perubahan dalam konteks dapat mempunyai efek lebih
dramatis dibandingkan perubahan pada pihak-pihak yang bertikai
atau dalam hubungan mereka. Konteks konflik yang berubah
tentu akan berpengaruh pada usaha penyelesaian konflik.
Selanjutnya perlu dicermati bagaimana mengidentifikasi
kelompok-kelompok atau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
tersebut serta memahami kepentingan dan posisi masing-masing.
Dengan kata lain, perlu pemahaman konflik dari kedua perspektif
pihak yang berselisih.
Hal ini penting untuk mempermudah proses pendekatan
agar dapat membuka kembali hubungan yang telah terputus
antara kedua kelompok. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengadakan dialog-dialog lanjutan dengan dibantu mediator.
Transformasi konteks, berarti harus berangkat dari inisiatif
kedua pihak yang secara formal maupun informal belum pernah
melakukan perundingan/ dialog. Maka diperlukan interverensi
dari pihak lain untuk menjembatani hubungan antar kelompok
yang bertikai.

70
Penanganan Konflik

Peran pihak ketiga, pertama-tama adalah memperluas


pemahaman maupun kemampuan pihak-pihak yang bertikai,
untuk menyadari dan menerima harkat dan martabat pihak lain.
Sekaligus memberi kesempatan kepada masing-masing pihak
untuk menyadari atau mengakui aneka kesalahan dan
memperbaiki hubungan.
Aneka kejadian di masa lalu atau kesan-prasangka tertentu
yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun, bisa membuat
orang/kelompok sosial menjadi sangat kaku. Mereka cenderung
tidak mau mencoba menempuh solusi dengan memperbaiki relasi
atau hubungan sehingga integrasi sosial menjadi sangat sulit
untuk dibentuk.
Kejelasan tentang tujuan, peran, tanggung jawab, dan
perbedaan pandangan tentang pengalaman masa lalu perlu
diselesaikan, sebelum menangani permasalahan konflik lainnya.
Selanjutnya diimplementasikan melalui kegiatan-kegiatan di
berbagai bidang kehidupan, berdasarkan skala prioritas, sesuai
dengan kondisi dan situasi daerah yang dapat membangun
kembali hubungan antara kelompok-kelompok yang bertikai.
Transformasi Struktural. Struktur konflik termasuk
dalam hal ini adalah aktor-aktor, persoalan, dan tujuan atau
hubungan yang tidak sesuai yang menjadi bagian tak terpisahkan
dari konflik itu sendiri. Konflik menyangkut struktur, seringkali
melibatkan persoalan tentang keadilan dan tujuan-tujuan yang
saling tidak sejalan.

71
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Transformasi struktur diperlukan untuk menyelesaikan


konflik akibat ketimpangan yang dibiarkan berkepanjangan di
masyarakat. Transformasi konflik mengakui bahwa perdamaian
dan keadilan tidak terpisahkan. Perdamaian tanpa keadilan
bukanlah perdamaian sejati, sementara keadilan tanpa
perdamaian tidak akan bertahan lama.
Untuk mengubah struktur konflik, seringkali dituntut
usaha intensif demi menghasilkan perubahan yang diharapkan.
Maka diperlukan intervensi yang dapat dipercaya oleh kelompok
yang bertikai. Melalui transformasi struktur diharapkan dapat
mengurangi dominasi kelompok, mengeliminasi rasa saling
curiga, dan pada akhirnya bisa bersama-sama bekerja untuk
membangun perdamaian yang positif.
Transformasi Aktor. Pihak-pihak yang bertikai harus
menentukan kembali arah mereka, mengabaikan atau
memodifikasi tujuan yang ingin dicapai dan mengadopsi
perspektif yang berbeda secara radikal. Mereka harus dapat
menerima perbedaan sebagai suatu kekuatan yang dapat dikemas
dalam bingkai demokrasi, untuk mewujudkan perdamaian.
Perdamaian telah mendorong semua pihak untuk menahan diri
dan mencoba saling memahami dan harus berinteraksi.
Pemisahan pihak-pihak yang bertikai dan pengintegrasian
mereka kembali merupakan bentuk perubahan penting.
Perubahan aktor yang berkonflik juga merupakan salah satu cara
untuk menyelesaikan konflik. Banyak konflik menjadi semakin

72
Penanganan Konflik

mudah diselesaikan, manakala terjadi perubahan dalam


kepemimpinan para pihak.
Transformasi Persoalan. Dinamika konflik mencakup
adanya dinamika atas persoalan. Hal ini sangat mungkin karena
adanya dinamika posisi ataupun mungkin kepentingan pihak-
pihak yang berkonflik. Posisi pihak konflik terhadap suatu isu
serta kemunculan isu-isu atau persoalan konfliktual yang baru,
maka konflikpun dapat berbah. Dalam kasus ini, membingkai
kembali persoalan secara jelas, dapat menjadi upaya membuka
jalan bagi penyelesaian.
Perbedaan-perbedaan kepentingan dapat dicarikan
solusinya melalui pendekatan dengan jalur politik, sosial budaya,
ekonomi dan bidang kehidupan sosial lainnya dengan sesuai
terhadap makna demokrasi dan tetap dalam koridor hukum yang
berlaku. Perubahan posisi aktor konflik sangat berhubungan
dengan perubahan kepentingan dan perubahan tujuan, termasuk
perubahan bagi transformasi aktor, transformasi konteks dan
transformasi struktur konflik.
Transformasi kelompok dan personal. Pemimpin
memegang peranan yang fundamental dalam resolusi konflik,
termasuk dalam hal ini menawarkan rekonsiliasi maupun
berkompromi dengan pihak yang sebelumnya menjadi lawan
dalam suatu konflik. Usaha kompromi ini menjadi tanggung jawab
bagi kedua pihak yang berkonflik.
Tanggung jawab pertama dan utama untuk mencegah,
mengelola dan mentransformasikan konflik, terletak pada mereka

73
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

yang terlibat dan para pemimpinnya. Transformasi konflik


mempersyaratkan perubahan nyata dalam kepentingan, tujuan
dari pihak-pihak yang terlibat.
Langkah-langkah tersebut harus diikuti dengan perubahan
dalam hati dan pikiran para aktor yang berkonflik, agar dapat
memberikan kesadaran bahwa perdamaian dan persaudaraan
jauh lebih mulia dan berharga daripada permusuhan.
Transformasi konflik mempunyai makna menggeser faktor
konfliktual yang dapat mengarah kepada kekerasan dalam suatu
kondisi, menggunakan suatu mekanisme kooperatif antara pihak-
pihak yang berkonflik hingga tercapainya suasana damai.
Pada dasarnya, manusia meskiipun memiliki latar belakang
yang berbeda selalu dapat bekerja sama. Hal ini dikarenakan
kepentingan dan kebutuhan yang seringkali memiliki prasyarat
lingkungan yang kondusif, atau dengan lain kondisi damai.
Kesadaran akan kebutuhan terhadap perdamaian inilah yang
diinginkan dicapai oleh semua makanisme penyelesaian konflik.
Di samping penguatan basis sosial, ekonomi, dan politik,
terdapat hal yang perlu diperhatikan lainnya, yakni peran
pendidikan. Mendidik merupakan upaya konkrit dalam membawa
masyarakat pada area pemahaman yang benar terhadap makna
perdamaian yang seharusnya ada dalam kehidupan sehari-hari.
Fase transformasi konflik merupakan serangkaian proses
yang dapat menghasilkan kondisi positif untuk menyelesaikan
sebuah konflik. Perkembangan konflik atau dikenal dengan
dinamika konflik menentukan cara terbaik dalam menghadapi

74
Penanganan Konflik

konflik yang terjadi. Mengenali dasar isu dalam proses


trasnformasi konflik menjadi hal penting dalam mendapatkan
jawaban bagaiaman konflik dapat dihadapi dan diselesaikan.

c. Revitalisasi Eksistensi Kearifan Lokal


Pemahaman mengenai metode penanganan konflik
menjadi dasar dari pihak-pihak yang memiliki keinginan
menciptakan perdamaian pascakonflik terjadi. Pada tahapan ini
eksistensi kearifan lokal perlu lebih dulu menjadi perhatian
penting, pasalnya tidak banyak yang memahami dan memilih
pendekatan kearifan lokal sebagai metode dalam penyelesain
sebuah konflik. Padahal aspek realitas kewilayahan menjadi hal
utama yang menentukan efektivitas metode penyelesaian konflk
yang sedang dihadapi.
Aksi revitalisasi kearifan lokal pada sebuah wilayah
memang seharusnya sudah dikerjakan sejak jauh-jauh hari,
bahakan sebenarnya bukan menjadi kewajiban mediator atau
pihak lain yang ingin menciptakan kondisi damai. Akan tetapi,
eksistensi kearifan lokal akan menjadi hal utama ketika
pendekatan tersebut menjadi alternative dispute resolution dalam
menyelesaikan konflik yang sedang terjadi.
Cara utama yang dapat dilakukan adalah dengan cara
pengajaran di tingkat lembaga adat, realisasi yang dilakukan
dengan mengaktifkan kembali peran lembaga adat sebagai tempat
melestarikan wujud kearifan lokal tersebut. Lembaga adat yang

75
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

dimaksud dimulai sejak level tekecil seperti keluarga hingga


tingkat sosial yang lebih besar di masyarakat.
Upaya lain dari revitalisasi kearifan lokal ada;ah dengan
melibatkan seluruh aspek masyarakat mulai dari LSM, akademisi,
mahasiswa, perempuan bahkan lembaga atau institusi
pemerintah. Jika kondisi tersebut tercapai, maka ajaran mengenai
nilai-nilai perdamaian yang tekandung dalam kearifan lokal akan
terus diketahui dan ditaati dengan baik oleh masyarakat.

Perspektif Perdamaian dari Kearifan Lokal


Menciptakan perdamaian bagi bangsa Indonesia menjadi
sebuah keharusan konstitusional karena tertuang dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Adakalanya
tidak banyak yang menyadari jika Indonesia memiliki falsafah
pancasila yang merupakan pondasi kuat terhadap pembentukan
perdamaian di tengah masyarakat Indonesia yang beragam.
Tanggung jawab moral yang besar dalam menciptakan
perdamaian yang berkelanjutan tidak hanya di wilayah Indonesia,
akan tetapi di dunia.
Pada umumnya, kebudayaan setempat akan menetapkan
sebuah aturan baku yang disepakati mengenai tata tindak dan
perilaku masyarakatnya. Seringkali kebudayaan memang berbeda
dari satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Perbedaan inilah yang juga berpotensi menjadi bumerang
dan bagian dari pemicu konflik. Minimnya wawasan mengenai hal
tersebut menjadi pupuk menyebarnya kebencian satu sama lain

76
Penanganan Konflik

dan lahir dari kelompok-kelompok yang berbeda. Sudut pandang


untuk memahami perbedaan menjadi sebuah kekayaan memang
bukan perkara mudah. Salah satu jalan pengenalan tersebut
adalah menjadikan kebudayaan sebagai pendekatan dalam proses
menuju perdamaian.
Perdamaian merupakan nilai penting dan utama dari setiap
masyarakat Indonesia. Tidak ada satupun manusia yang senang
berhadapan dengan konflik dan konfrontasi yang lahir dengan
mudahnya oleh perbedaan. Hal ini kemudian membuat semua
pihak cenderung nyaman berada dilingkungan yang sama
dengannya. Kondisi tersebut mengakibatkan pemikiran kurang
terbuka terhadap kehidupan orang lain yang juga berbeda
dengannya.
Nilai perdamaian sudah sejak lama ada dalam sendi
kehidupan budaya masyarakat. Beberapa contoh mengenai nilai
perdamaian yang ada dalam kearifan lokal masyarakat Indonesia
sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Melihat kondisi ini
muncul pertanyaan, kapan nilai kearifan lokal tersebut dapat
diimplementasikan dalam strategi resolusi konflik?
Tidak ada konsepsi yang dapat menjamin dengan pasti
kapan waktu yang tepat sebuah strategi dapat diterapkan untuk
menyelesaikan konflik. Sama halnya dengan penjelasan mengenai
kecocokan penerapan satu strategi pada sebuah wilayah dengan
wilayah lainnya. Dalam menghadap hal tersebut, memang analisis
dan pemahanan yang mendalam terhadap konflik mutlak
diperlukan.

77
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Untuk menujukkan konsepsi pasti mengenai strategi yang


tepat dalam penangana konflik, konspe realitas wilayah dalam
wujud kearifan lokal memang dapat menjadi pilihan yang efektif,
terlebih realitas wilayah Indonesia yang berbeda-beda tentunya
benar-benar membutuhkan kejelian melihat peluang besar dalam
menciptakan perdamaian.
Melihat kondisi itulah maka referensi mengenai nilai-nilai
kearifan lokal pada masing-masing wilayah menjadi hal baku
sebelum akhirnya memilih menggunakan kearifan lokal sebagai
strategi penangana konflik yang terjadi. Bukan perkara mudah
dan perlu usaha maksimal untuk mengimplementasikan pilihan
yang telah diambil.

Tantangan Implementasi Penanganan Konflik dengan


Pendekatan Kearifan Lokal

Kesulitan menentukan pilihan strategi dalam penyelesain


konflik tidak selesai sampai disitu. Pada implementasinya,
pemilihan pendekatan kearifan lokal pun ternyata mendapatkan
tantangan, diantaranya:

- Sentimen Etnis
Sentimen etnis (etnisitas) membuat klasifikasi “kami” dan
“mereka” semakin tegas. Dalam mengatasi konflik, etnisitas
dijadikan kendaraan untuk menegakkan kohesi sosial dan
solidaritas dari masing-masing etnis. Selanjutnya dikatakan,
ketika etnis pendatang baru terus berdatangan dan bertempat
tinggal di wilayah-wilayah komunal, jumlah populasi komunitas

78
Penanganan Konflik

tersebut akan jauh melampaui sumber daya lingkungan yang


tersedia.
Struktur hubungan antaretnis antara para pendatang dan
anggota masyarakat lokal pun berubah seiring dengan mulai
memasuknya para pendatang ke dalam sektor-sektor ekonomi
yang sebelumnya merupakan lahan eksklusif bagi masyarakat
lokal.
Dalam beberapa kasus, para pendatang juga menciptakan
aktivitas ekonomi yang berbeda dengan masyarakat lokal.
Masyarakat etnis lokal terkesan terdiskreditkan dan merasa
menderita, karena hilangnya hak-hak istimewa dalam ekonomi
dan politik yang sebelumnya hanya diakses oleh mereka.
Akhirnya hubungan simbolik kedua kelompok etnis tersebut
berubah menjadi perebutan sumber daya, termasuk kedudukan
dan kekuasaan (Abubakar, 2006:87).
Semakin kuat konflik etnis diantara dua kelompok yang
bertikai, maka semakin dalam pula permusuhan diantara
keduanya. Konflik antar kelompok dan solidaritas kelompok
dapat membuat tekanan untuk terjadinya konflik berkepanjangan.
Kekuatan solidaritas internal dan integrasi sosial kelompok
dapat bertambah tinggi karena tingkat permusuhan atau konflik
dengan kelompok luar bertambah besar. Kekompakan yang
semakin tinggi dari suatu kelompok berdampak pada kelompok-
kelompok lainnya dalam lingkungan itu, khususnya kelompok
yang bermusuhan atau secara potensial dapat menimbulkan
permusuhan.

79
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Perbedaan-perbedaan yang ada dalam kelompok maupun


antar kelompok merupakan hasil dinamika sosial yang
berlangsung secara alamiah selama dan setelah konflik. Misalnya
terbentuk proses emosionalitas dan rasionalitas, baik yang
tumbuh di dalam kelompoknya masing-masing, maupun saat
mereka harus hidup berdampingan dengan berbagai kelompok
lain yang ada di sekelilingnya.
Semua proses tersebut membentuk perbedaan-perbedaan
antarkelompok, yang terus terjadi hingga terbentuknya
perbedaan dan pertentangan kelompok (etnis) itu sendiri.
Sentimen etnis dapat bersumber dari sejarah dan hubungan sosial
yang timpang.
Faktor masa lalu ini (sejarah) dapat menjadi hambatan
komunikasi antara kedua kelompok etnik tersebut. Di samping
adanya keputusan politik yang dianggap menguntungkan satu
pihak dan merugikan pihak lain, faktor masa lalu pun berdampak
pada konflik etnik yang berkepanjangan.
Di lain pihak, ketidakpuasan dalam ranah kultural dapat
meningkatkan solidaritas politik, primordialisme,
etnonasionalisme, dan gerakan separatisme pada setiap etnis
tertentu. Di samping adanya kekecewaan akibat represi negara,
dan eksploitasi pusat atas kekayaan daerah, maka semangat
nasionalisme etnik di kalangan kelompok tertindas makin
tumbuh.

80
Penanganan Konflik

- Perbedaan Persepsi Damai


Pentingnya pemahaman mengenai perdamaian memberi
dampak besar terhadap terciptanya tujuan perdamaian yang
sebenarnya. Pada kasus konflik vertikal pemerintah vs
masyarakat, perbedaan persepsi mengenai damai tersebut
seringkali muncul dan merusak sistem yang telah dibangun ke
arah stabilitas perdamaian. Perbedaan arah perdamaian yang
diinginkan seringkali menjadi kendala besar tidak selesai atau
terulangnya konflik serupa.
Salah satu pihak biasanya mengartikan perdamaian sebagai
sebuah kondisi damai dengan mengusung kontrol dirinya atas
suatu kondisi yang diciptakan, dengan kata lain faktor egoisme
tetap dipertahankan. Tentunya hal tersebut merugikan pihak lain
yang mengartikan perdamaian sebagai situasi tanpa konfrontasi
dalam kehidupan yang sebenarnya seperti terbebas dari
keterkekangan dan ketidakadilan.
Pada contoh kasus konflik Aceh, perbedaan pemahaman
mengenai perdamaian terjadi karena perkembangan situasi.
Terdapat keadaan-keadaan seperti: 1) Damai, namun hanya
sekadar ketiadaan perang; 2) Masih adanya bibit permusuhan dan
perbedaan konstruksi perdamaian, 3) masih didominasi kendali
keamanan, 4) kelompok-kelompok yang ada masih bersifat unit-
unit besar, saling berseberangan; 5) adanya tuntutan pemekaran
wilayah; 6) masih berpotensi pada konflik kekerasan.
Tantangan implementasi resolusi konflik yang telah
dijelaskan tersebut tentunya tidak bisa dielakan lagi. Semua pihak

81
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

harus menyadari jika sentimen etnis serta perbedaan mengenai


cara pandang perdamaian justru dapat menjadi penghalang
terciptanya tujuan damai yang ingin dicapai.
Pada bab selanjutnya penulis akan sedikit membahas
mengenai keberhasilan wilayah Aceh dalam menghadapi
tantangan penyelesaian konflik yang terjadi di sana. Melalui
pembahasan mengenai penanganan konflik di Aceh, kita akan
membongkar cara-cara yang telah dilakukan di sana.
Melalui pembahasan tersebut, tujuan utama yang ingin
dicapai adalah mempelajari dari keberhasilan sekaligus tahapan
kegagalan yang pernah dialami Aceh. Konsep realitas yang
dikenalkan dalam penyelesaian konflik di Aceh ini juga akan
menjadi fokus pembahasan selanjutnya. Ke depan, realitas
kebudayaan berupa kearifan lokal dipercaya menjadi bagian
penting dari keberhasilan penanganan konflik.

82
Penanganan Konflik

BAB V
MEMBONGKAR RESOLUSI KONFLIK
PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL DI ACEH

Dinamika konflik Aceh pasca MoU Helsinki, masih menarik


untuk dianalisis dari perspektif resolusi konflik. Hal tersebut
didasarkan pada pemikiran-pemikiran sebagai sebagai berikut:
(1) Masih ada dua aroma sekaligus yang dapat dicium dan
dilihat di Langsa (Aceh), yakni aroma konflik dan aroma
perdamaian. Aroma perdamaian mungkin lebih tepat dibaca
sebagai perdamaian antara GAM dengan Pemerintah RI.
Sedangkan aroma konflik bisa dilihat antara masyarakat Aceh
sendiri (Aceh GAM dengan Aceh RI) sehingga tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa telah terjadi pergeseran konflik, meskipun lebih
bersifat laten, namun dinamikanya masih sering ditandai dengan
berbagai bentuk tindakan kekerasan. Karena konflik biasanya
dimulai dari ketegangan-ketegangan yang bersifat laten, lalu
berkembang menjadi konflik terbuka, seperti pengerahan
kekuatan dan penggunaan kekerasan. Konflk yang ada menjurus
pada sifat-sifat destruktif.
(2) Permasalahan di Aceh khususnya Langsa masih
menjadi isu strategis baik di tingkat internasioal, regional,
nasional, maupun di tingkat lokal. Di tingkat lokal, tokoh
masyarakat formal maupun non-formal dan masyarakat Aceh
secara aktif hendaknya ikut berperan dan bertanggung jawab

83
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

dalam mewujudkan masa depan Aceh yang lebih baik, dan tetap
dalam kerangka NKRI. Namun satu hal yang perlu diingat bahwa
persoalan di Aceh bukan hanya permasalahan Rakyat Indonesia
yang berada di Aceh saja, melainkan juga permasalahan Rakyat
Indonesia secara keseluruhan. Sebagaimana dikatakan Miall,
bahwa tanggung jawab pertama dan utama untuk mencegah,
mengelola dan mentransformasikan konflik internal dengan
kekerasan terletak pada penduduk negara-negara yang terlibat
konflik terutama pada semua pemimpin regional, nasional dan
lokal (Miall, 2002).
(3) Dalam konflik Aceh, selain GAM juga muncul kelompok
anti GAM, keadaan demikian menunjukkan fenomena yang
“problematik” atau “paradoks”, dimana dalam setiap daerah
konflik di Indonesia timbul pembelahan-pembelahan kelompok
yang pro dan kontra terhadap Pemerintah Pusat. Sebagaimana
yang terjadi di Aceh antara kelompok Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dengan kelompok Front Perlawanan Separatis GAM
(FPSG), pasca MoU Helsinki berubah menjadi KPA dan PETA,
kemudian muncul Forum Komunikasi Anak Bangsa (FORKAB).
Dalam pandangan Miall, munculnya mobilisasi kelompok
dengan melihat strategi dan tindakan komunal, merupakan upaya
penting untuk menelusuri jejak dimana kelompok-kelompok yang
satu tidak puas akan mengartikulasikan keluhan dengan
mobilisasi, menentukan tujuan dan strategi, yang pada akhirnya
mengarahkan tantangan terhadap pemegang kekuasaan (Miall,
2002: 137).

84
Penanganan Konflik

(4) Secara teoritis, konflik selalu ada dalam kehidupan


manusia dan inhern dalam sebuah proses sosial. Analisis
sosiologis tentang konflik, pada umumnya membahas tentang
dimensi penyebab konflik, perkembangan konflik dan resolusi
konflik dalam arti bagaimana menemukan formulasi resolusi
konflik yang dapat dikembangkan dalam penyelesaian konflik
menuju perdamaian positif. Terkait konflik Aceh, meski sudah ada
kesepakatan perdamaian antara Pemerintah Pusat dan GAM serta
berbagai cara dan pendekatan yang dilakukan pasca MoU
Helsinki. Namun fakta di lapangan masih mengindikasikan adanya
potensi konflik. Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya mencari
model resolusi konflik yang komprehensif, namun dapat
digunakan secara empirik di Aceh merupakan hal yang penting.
Hal ini dikarenakan konflik di Aceh memiliki tipologi yang cukup
kompleks dan melibatkan banyak pihak, di samping mempunyai
sejarah pertikaian yang cukup panjang. Miall mengatakan, dalam
penyelesaian konflik, bukan hanya pihak yang bertikai yang harus
dilibatkan, namun juga pihak yang terimbas konflik (Miall, 2002:
253). Selanjutnya dalam menganalisa resolusi konflik, penulis
menggunakan teori Hugh Miall, dalam bukunya, “Contemporary
Conflict Resolution” terjemahan Tri BS (2002) yang merupakan
karya bersama Oliver Ramsbolon, Tom Woodhouse.
Miall dalam buku tersebut banyak menguraikan tentang
berbagai konflik, termasuk sifat dan karakter konflik, peran
mediasi dan negosiasi dalam konflik, serta cara mengelola,
melokalisasikan, dan menyelesaikan konflik secara damai. Hal ini

85
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

dapat dikatakan menjadi landasan konseptual untuk membangun


resolusi konflik kontemporer sebagai alternatif yang relevan
terhadap dinamika konflik di Langsa (Aceh).
Setidaknya dari empat hal tersebut, dinamika konflik di
Langsa sangat dan masih diperlukan resolusi konflik
nirkekerasan. Hal ini karena format dari konflik antara GAM
dengan Pemerintah Pusat serta masyarakat Aceh Non-GAM lebih
mudah pada suatu dikotomi konflik dari pada integrasi dan
rekonsiliasi. Integrasi sosial di Langsa (Aceh) masih memerlukan
proses panjang dan perlu sinergi dari berbagai pihak yang punya
atensi terhadap perdamaian. Termasuk pihak-pihak yang
terimbas konflik terutama tokoh masyarakat Aceh baik formal
maupun non-formal.
Menurut Wahyudi, dalam dinamika konflik Aceh untuk
mencegah terjadinya eskalasi konflik yang mengarah pada tindak
kekerasan, maka semua pihak sebaiknya menyamakan persepsi
tentang konflik Aceh. Sehingga lebih efektif apabila segala bentuk
perundingan yang dilaksanakan dapat melibatkan semua unsur
yang terkait dalam konflik Aceh, khususnya GAM yang berada di
Aceh, Front Perlawanan Separatis GAM (FPSG), yang belakangan
sering kita dengar eksistensinya, tokoh masyarakat formal
maupun informal termasuk para ulama. Sehingga komitmen dan
kesepakatan yang telah dicapai dalam perundingan langsung
dapat dipertanggung jawabkan oleh semua pihak, tidak hanya
oleh Pemerintah dan GAM. (B. Wahyudi, Jurnal Paskal: Vol.4 No.
17, Agustus 2005).

86
Penanganan Konflik

Belajar dari resolusi konflik yang telah dilakukan Aceh


pada masa itu, membuat kita dapat menemukan sebuah formula
resolusi konflik yang terintegarasi dengan budaya lokal. Formula
tersebut disusun karena kearifan lokal merupakan bagian penting
dalam sistem sosial masyarakat.
Konflik berkepanjangan di Aceh khususnya di Langsa, salah
satunya bersandar pada masalah perbedaan etnis dan sentimen
satu etnis terhadap etnis lainnya. Di Langsa, mayoritas
penduduknya adalah etnis Aceh dan etnis Jawa, meskipun ada
etnis lain, seperti: Melayu, Gayo, Batak, Padang dan Cina. Di
Langsa, perbedaan-perbedaan tersebut yang diwarnai dengan
sejarah konflik yang berkepanjangan, akhirnya terakumulasi dan
terekspresikan menjadi sentimen etnis, dan dalam
perkembangannya berpengaruh terhadap kedalaman konflik itu
sendiri.
Sentimen etnis75 (pembedaan etnis) cenderung lebih kuat
di Langsa, terutama antara sebagian suku Aceh terhadap
keturunan Jawa, dan secara signifikan berkontribusi terhadap
munculnya kelompok-kelompok Aceh RI. Bangkitnya
nasionalisme etnik tidak saja dipandang sebagai proses
dekolonialisme, tapi juga berangkat dari imajinasi-imajinasi
kolektif di kalangan etnik tentang identitas, dan sejarah masa
silam yang bisa menyatukan semangat kebersamaan.
Semakin kuat konflik etnis diantara dua kelompok yang
bertikai (baca: etnis Aceh dan etnis keturunan Jawa yang ada di
Langsa/Aceh), maka semakin dalam pula permusuhan diantara

87
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

keduanya. Konflik antar kelompok dan solidaritas kelompok


dapat membuat tekanan untuk terjadinya konflik yang semakin
mengakar.
Menurut Coser (1976:67), kekuatan solidaritas internal
dan integrasi kelompok internal dapat bertambah tinggi karena
tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok eksternal
menjadi bertambah besar. Kekompakan yang semakin tinggi dari
suatu kelompok berdampak pada kelompok-kelompok lainnya
dalam lingkungan tersebut, khususnya kelompok yang
bermusuhan atau secara potensial dapat menimbulkan
permusuhan.
Jika kita cermati konflik di Aceh khususnya kelompok GAM,
tindakan kolektif berupa perlawanan terhadap negara dilakukan
secara besar-besaran. Dalam melakukan aksi-aksi kekerasan
terhadap warga masyarakat Aceh yang tidak mendukung
perjuangannya pun, muncul istilah ‘cuak’ dan ‘sipai’ yang secara
umum berarti mata-mata atau pemberontak.
Hal ini pada akhirnya juga berdampak pula pada
munculnya perilaku dan aksi kolektif kelompok (‘cuak’ dan
keluarga ‘sipai’ serta korban) lain yang menjadi kekuatan baru
dan melakukan tindakan kolektif berupa perlawanan terhadap
GAM.
Selain sentimen etnis yang ada dalam masyarakat Aceh,
kehidupan beragama juga dapat dianggap sebagai faktor
pendukung terhadap kedalaman konflik antara GAM dengan
Pemerintah RI dan antara GAM dengan masyarakat Aceh,

88
Penanganan Konflik

khususnya yang tergabung dalam kelompok Front Perlawanan


Separatis GAM.
Menurut Hoffman, fakta menunjukkan sekitar seperempat
dari semua kelompok teroris dan sekitar separuh diantaranya
adalah yang paling berbahaya di atas bumi terutama semata
termotivasi oleh perhatian religius. (Hoffman; 1993: 12)
Mereka percaya bahwa Tuhan tidak hanya berkenan
dengan tindakan mereka, tetapi Tuhan itu menuntut
dilaksanakannya tindakan tersebut. Hal ini disebabkan karena
tindakan mereka dianggap suci, merupakan cerminan suatu
perasaan yang dikombinasikan antara mengharapkan masa depan
yang lebih baik serta balas dendam untuk masa lalu, contohnya
menghalalkan darah orang Jawa dan menganggap kafir bagi
mereka yang membantu dan bekerja sama dengan Pemerintah RI.
Dalam masyarakat Aceh, kehidupan beragama sangatlah
dominan sehingga seringkali menentukan segala aspek kehidupan
masyarakat. Dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh, misalnya
dalam perjuangannya melawan penjajahan Belanda, terdapat
persepsi bahwa agama menegaskan tentang hal-hal yang
diperbolehkan untuk menegakkan keadilan dan perjuangan bagi
penindasan dan penggrogotan nilai-nilai masyarakat dengan jalan
seperti (1) perang syahid, berjuang sampai titik darah
penghabisan, (2) membunuh kaum penindas, (3) pembinasaan
penguasa yang dzalim.
Untuk lebih memperjelas mengenai proses analisis konflik
yang pernah dilakukan di Aceh, berikut penulis tampilkan

89
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

mengenai model analisis resolusi konflik yang digambarkan


sebagai berikut:
Gambar 2. Model Analisis Resolusi Konflik Aceh GAM vs Aceh
RI

Sumber: Bambang Wahyudi, 2013

Masalah yang paling serius akan dihadapi pasca konflik


adalah menjaga perdamaian, yaitu ketika implementasi atas
kesepakatan yang dihasilkan selama perdamaian tengah
diperhatikan dengan sangat baik. Masyarakat pada dasarnya
masih berada dalam suatu situasi kekhawatiran, karena masih
banyak beredar senjata ilegal di tangan pihak-pihak tertentu.
Kondisi ini terlihat dan ditandai dengan meningkatnya tindakan
kriminalitas dengan menggunakan senjata api.
Masa transisi di Aceh masih diwarnai oleh merebaknya
konflik-konflik internal yang diawali dengan terjadinya polarisasi

90
Penanganan Konflik

yang tajam di tingkat elit. Mereka cenderung malah sibuk


memperebutkan sumber daya politik dan ekonomi, seperti halnya
dengan menjamurnya partai-partai baru khususnya di tingkat
lokal.
Oleh karena itu, era transisi bisa dikatakan sebagai era
pertarungan politik yang krusial bagi masyarakat. Fenomena
parlok akan berdampak negatif bagi masyarakat dan demokrasi
Aceh, apabila fenomena itu sekadar menjadi manifestasi dari
fanatisme ke-Aceh-an. Hal ini dikarenakan dapat berpengaruh
pada semangat perdamaian dan membentuk kerentanan
miskomunikasi terkait integrasi nasional maupun integrasi sosial.
Perdamaian di Langsa nampaknya masih didominasi oleh
kontrol dan adanya keterpisahan serta keterputusan hubungan
antara kelompok-kelompok yang berseberangan. Hal ini tidak
menunjukkan perbaikan pada keadaan damai jangka panjang,
yang pada dasarnya sangat membutuhkan sebuah pola kerjasama
dan perpaduan antara kelompok-kelompok tersebut.
Sementara masyarakat Langsa sendiri masih menginginkan
perdamaian dalam arti sebenarnya, yaitu damai dalam kehidupan,
damai dalam hati dan pikiran, agar mudah mencari rezeki, mudah
dalam berinteraksi sosial dan berkomunikasi serta silaturahmi
dengan sanak saudara. Masyarakat bisa kembali ke aktivitas
habitatnya masing-masing, ke kebun, ke sawah, berdagang,
melaut dan lain-lain. Utamanya jangan ada dusta diantara mereka.

91
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Perdamaian di Aceh masih didominasi oleh kontrol dan


kekerasan, keterpisahan dan keterputusan hubungan antara
kelompok-kelompok yang berseberangan masih sangat mencolok.
Hal ini belum menunjukkan perbaikan pada keadaan damai
jangka panjang, yang membutuhkan sebuah pola kerja sama dan
perpaduan antara kelompok-kelompok yang ada. Atau dikenal
dengan istilah damai negatif (negative peace).
Banualam mengatakan bahwa damai negatif adalah suatu
keadaan yang menuntut serangkaian struktur sosial yang
memberikan keamanan dan perlindungan dari tindakan-tindakan
kekerasan fisik langsung yang dilakukan oleh individu, kelompok,
atau bangsa terhadap yang lainnya. Penekanan dalam damai
negatif diberikan kepada kontrol atas kekerasan. Strategi
utamanya adalah keterputusan hubungan dimana kelompok-
kelompok yang berkonflik dipisahkan satu sama lain.
Secara umum, kebijakan damai negatif semata-mata
menjadi perwujudan kekerasan itu sendiri. Karenanya, kebijakan
ini dianggap tidak memadai untuk menjamin keadaan damai
jangka panjang (sustainable). Malahan dengan menekan
dihilangkannya ketegangan sebagai akibat dari konflik sosial,
maka upaya-upaya damai negatif justru dapat mengarah kepada
kekerasan yang lebih besar di masa depan (Banualam, 2006: 23).
Sementara itu masyarakat masih menginginkan
perdamaian dalam arti yang sebenarnya, yaitu damai dalam
kehidupan, serta damai dalam hati dan pikiran. Kedamaian itu
perlu agar mereka mudah mencari rezeki, mudah dalam

92
Penanganan Konflik

berinteraksi sosial dan berkomunikasi dengan sesama sanak


saudara. Artinya, orang bisa kembali ke habitatnya masing-
masing, dan tempat mereka mencari penghidupan tanpa perlu
merasa ketakutan.
Menurut Abubakar, damai positif mengandaikan
masyarakat yang berinteraksi dalam berbagai bentuk kerjasama:
mengandaikan organisasi sosial yang terdiri dari ragam orang
dengan sengaja bekerja sama dalam rangka maslahat bagi semua.
Ia juga melibatkan usaha yang menciptakan keadaan-keadaan
positif yang dapat mengatasi sebab-sebab utama konflik yang
menghasilkan kekerasan. (Abubakar. 2006, 25).
Tidak dipungkiri bahwa, pasca MoU Helsinki, memang
membawa banyak kemajuan yang dapat dirasakan oleh
masyarakat Aceh, khususnya dalam perkembangan sistem politik
yang lebih demokratis. Namun di sisi lain masih banyak
permasalahan yang timbul dan memiliki efek domino bila
dibiarkan. Dalam jangka panjang tentunya hal tersebut akan
mengganggu terciptanya perdamaian di masa yang akan datang.
Di samping itu, potensi konflik jelas kembali menyeruak dan
dapat memunculkan konflik kembali di masa yang akan datang.
Format dari konflik antara GAM dengan Pemerintah RI
serta masyarakat Aceh Non-GAM lebih mudah pada suatu
dikotomis konflik daripada pengintegrasian. Dengan kata lain,
lebih semerbak aroma busuk konfliknya dibandingkan aroma
bunga perdamaian, jika didekati dan dirasakan dari Bumi Serambi
Mekah. Penduduk Kota Langsa yang sebenarnya dikenal sangat

93
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

heterogen, namun jika dilihat dari kelompok-kelompok tempat


tinggal mereka, maka akan cenderung homogen, artinya dominasi
kelompok tertentu.
Dengan demikian, rehabilitasi, rekonsiliasi, dan reintegrasi
sosial di Langsa dan Aceh secara keseluruhan masih merupakan
proses panjang dan perlu resolusi konflik yang sinergis dari
berbagai pihak. Terkhusus mereka yang terlibat sebagai aktor-
aktor dalam konflik, sekaligus sebagai aktor-aktor dalam
menciptakan proses perdamaian positif, karena akan
berpengaruh positif pada integrasi nasional maupun integrasi
sosial.
Penyelesaian konflik dengan menggunakan realitas yakni
dalam bentuk pemanfaatan budaya setempat, yang sesuai dengan
wilayah konflik merupakan konsep mendasar dari cara
menghadapi konflik. Akan banyak dibahas mengenai hal tersebut
pada bab selanjutnya.
Dalam buku ini dijelaskan mengenai generalisasi alur
penyelesaian konflik, artinya penulis menekankan bahwa tidak
ada panduan baku menggunakan pendekatan tertentu, karena
setiap penyelesaian konflik akan disesuaikan dengan konteks
konflik, utamanya budaya lokal.
Fenomena konflik dengan berbagai persoalan yang masih
tertinggal seringkali terjadi karena adanya kegagalan dalam
melakukan identifikasi masalah, sehingga akar permasalahan
konflik belum tertangani dengan baik. Hal inilah yang membuat
mengapa konflik yang terjadi di daerah-daerah sulit untuk

94
Penanganan Konflik

diselesaikan dan sering timbul kembali dalam bentuk konflik


kekerasan yang lain. Seringkali alasannya adalah dalam setiap
langkah penyelesaian konflik, selalu ada masalah yang belum
diselesaikan.
Ibaratnya adalah memadamkan api konflik, namun masih
meninggalkan bara sehingga apabila ditiup sedikit saja, apinya
akan dengan mudah menyala kembali. Beberapa hal yang
mewarnai adalah hal seperti: 1) perebutan tanah, 2) ketidakadilan
dalam berbagai macam urusan (ekonomi, politik, pendidikan), 3)
generasi muda yang tidak sekolah dan tidak bekerja, 4)
penegakan hukum yang masih loyo, 5) jatuhnya kepercayaan
terhadap hampir semua lembaga (formal, adat). (Tamrin
Tomagola, dalam wawancara Metro TV, tanggal 26 Januari 2009).
Teori Realitas dalam Resolusi Konflik berangkat dari
masyarakat tingkat bawah dan berbagai kelompok-kelompok
yang ada dengan berbagai varian persoalannya. Selanjutnya dapat
dibuat skala prioritas dalam rangka mencairkan miskomunikasi
yang terjadi antar kelompok dalam masyarakat. Untuk
mengantisipasi dan mencegah terjadinya pergeseran konflik yang
mengarah pada tindakan kekerasan, semua pihak harus
menyamakan persepsi. Seluruh potensi masyarakat baik formal
maupun informal harus terlibat aktif untuk mewujudkan
perdamaian positif yakni dengan membangun keadilan dan
demokrasi melalui pendekatan kearifan lokal dengan tahapan
Rekonsiliasi dan Transformasi Konflik.

95
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Resolusi konflik pada hakekatnya adalah upaya proses


penyelesaian konflik dengan cara nirkekerasan dan lebih
mengedepankan pendekatan demokratis. Proses resolusi yang
dilakukan adalah melalui cara-cara dialog, konsensus untuk
mencapai kesepakatan damai untuk kepentingan bersama, tanpa
ada yang merasa menang dan kalah (win-win solution). Proses ini
juga melibatkan upaya untuk mendorong perubahan perilaku
yang positif berdasarkan realitas dari para aktor konflik, dan
akhirnya menangani sebab-sebab konflik guna melangkah lebih
maju kepada penciptaan suatu hubungan yang langgeng.
Upaya-upaya rekonsiliasi hendaknya dapat menyentuh
persoalan mendasar dan substansi kedua kelompok tersebut
melalui pendekatan yang berbeda-beda dalam upaya membangun
perdamaian positif dengan sebuah pola kerja sama dan
perpaduan antara kelompok. Memang belum ada “resep paling
manjur” yang dapat diterapkan untuk mengatasi segala jenis
konflik, tapi setidaknya dapat merubah situasi yang ada menjadi
nir kekerasan. Bukan semata-mata untuk menghilangkan konflik
atau nirkonflik.
Substansi Teori Realitas dalam menangani konflik adalah
masing-masing kelompok dapat merasakan adanya perlakuan
keadilan, keterlibatan dan kenyamanan untuk merealisasikan
aktivitasnya meski dalam berbagai perbedaan. Mereka perlu
hidup rukun dan damai. Hal tersebut merupakan langkah bijak
menuju damai bukan sebaliknya dengan kebijakan yang
cenderung Rekaya Fragmatis dan terlihat sebagai politik balas

96
Penanganan Konflik

dendam dan saling mengintimidasi/mendiskreditkan pihak lain


untuk menunjukkan kekuatan masing-masing kelompok. Sehebat
apapun politik seperti itu, justu akan bermuara kepada dendam
yang tak berkesudahan, dimana dendam akan melahirkan
dendam baru dan seterusnya.
Beberapa poin penting yang harus diperhatikan ketika
menangani konflik adalah memutus cerita panjang mengenai
konflik yang mungkin akan diturunkan dari satu generasi ke
generasi lainnya. Dalam posisi tersebut konflik dapat dirasakan
sebagai sebuah rantai panjang yang akan sulit diselesaikan. Salah
satu upaya untuk memutus rantai tadi adalah dengan melakukan
pembinaan intensif untuk menghilangkan eksklusifisme atau
miskomunikasi dari masing-masing kelompok yang telah atau
berpotensi berkonflik.
Kesalahan komunikasi mungkin saja berawal dari
rendahnya rasa percaya terhadap satu sama lain. Pada
kenyataannya, memelihara kepercayaan (trust building) untuk
memelihara perdamaian pasca penyelesaian konflik adalah upaya
yang lebih berat dibandingkan dengan mencapai perdamaian itu
sendiri. Sedikit banyak pasti ada suatu kecurigaan antara pihak-
pihak yang berdamai. Apalagi bagi kelompok-kelompok yang
secara formal atau non-formal belum pernah menyatakan diri
menginginkan perdamaian.
Tujuan dari komunikasi akan tercapai apabila dilakukan
secara bersama-sama, tidak menuntut pelaksanaan oleh satu
pihak saja. Perlu adanya suatu upaya bekerja sama untuk

97
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

kepentingan bersama, sehingga proses memaknai perdamaian


yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik. Karenanya dalam
resolusi dan rekonsiliasi konflik, perlu adanya sinergi antara
kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, termasuk
kelompok elit yang cenderung memiliki power dan mendominasi
pergerakan dan perkembangan kelompok.
Apabila kepercayaan antara satu sama lain rendah, maka
akan berdampak pada terbentuknya polarisasi yang bisa
memperparah konflik dan menjauhkan proses perdamaian
berkelanjutan. Polarisasi kelompok sosial dalam hal ini perlu
diminimalisasi, yakni antara lain melalui pertemuan-pertemuan
yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.
Termasuk dalam hal ini adalah individu-individu yang punya
pengaruh dan peranan dalam proses perdamaian seperti elit
pemerintah, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat.
Di luar aktor konflik, pihak-pihak yang secara langsung
maupun tidak langsung memberikan pengaruh atas konflik
merupakan potensial mediator yang dapat dipercaya sebagai
pihak ketiga penyampai informasi. Hadirnya mediator yang tepat,
melalui kegiatan mediasi, setidaknya dapat menghasilkan
pemecahan konflik bagi pihak-pihak yang betikai. Proses mediasi
seperti ini merupakan kesempatan emas untuk memberikan
kesempatan pada pihak-pihak yang selama konflik jarang
dipertemukan secara langsung untuk komunikasi sebagai bentuk
jembatan menuju perdamaian.

98
Penanganan Konflik

Kehadiran mediator juga sama pentingnya dalam fase


memelihara perdamaian. Kelompok masyarakat yang terbentuk
saat konflik terjadi membutuhkan sosok yang dapat dipercaya
oleh berbagai pihak, kondisi tersebut dapat dimanfaatkan
perannya oleh mediator. Keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat
dapat menjadi simbol pemersatu, untuk itu integrasi masyarakat
bukan melulu menjadi tanggung jawab negara, tetapi perlu
dikembalikan kepada tradisi masyarakat itu sendiri.
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, merupakan
istilah yang tepat untuk menggambarkan pentingnya posisi
kebudayaan setempat dalam perjalanan menuju perdamaian.
Dengan melibatkan para tokoh masyarakat, ulama, akademisi,
tokoh adat serta berbagai komponen lain yang kompeten dan
punya atensi terhadap perdamaian.
Dalam mewujudkan perdamaian pascakonflik, memang
diperlukan kearifan masyarakat untuk meleburkan kelompok
masyarakat yang cenderung sudah terkotak-kotak dalam
sejumlah organisasi sosial maupun organisasi politik. Seperti di
Aceh, konflik yang terjadi dalam komunitas masyarakat, baik yang
bersifat individual (internal keluarga), antarindividu, maupun
antarkelompok, biasanya diselesaikan menggunakan bingkai adat
ataupun sekaligus menggunakan bingkai agama.
Pola agama dan adat ini ternyata dapat membawa kepada
kedamaian yang abadi dan permanen (Syahrial, 2006:5). Namun
dalam perkembangannya, nilai-nilai adat dan agama tersebut
mulai luntur dan menjadi kurang dipercaya lagi oleh masyarakat.

99
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Karena itu perlu dibangun kembali kepercayaan pada lembaga


adat dan agama tersebut melalui kerjasama dengan Pemerintah
Daerah dan Tokoh Masyarakat. Hal ini penting sebagai upaya
mensosialisasikan dan memberikan dukungan sarana yang
dibutuhkan.

100
Penanganan Konflik

BAB VI
RELEVANSI TEORI REALITAS DAN PENANGANAN KONFLIK

Kajian mengenai pentingnya peran realitas unsur


kewilayahan pada saat proses penyelesaian konflik menjadi salah
satu tema inti dalam pembahasan buku ini. Unsur kewilayahan
dalam hal ini berkaitan dengan kearifan lokal atau kebudayaan
yang melekat dengan kekhasan masing-masing wilayah. Pada saat
terjadi konflik dan pada proses penyelesaiannya, keberadaan
unsur kearifan lokal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai salah
satu pendekatan yang terbukti berhasil ketika diterapkan dalam
konflik Aceh.
Menghadirkan realitas dalam konsep penyelesaian konflik
bukan kali ini saja dijelaskan dalam sebuah teori, beberapa
penjelesan ahli telah menyebutkan jika pendekatan penyelesaian
konflik harus disesuaikan dengan kondisi konflik terjadi.
Pengertian sederhana tersebut menjelaskan mengenai pentingnya
pengenalan kewilayahan sebelum kemudian menentukan cara
apa yang tepat untuk menghadapi konflik yang terjadi.
Kewilayahan yang banyak dijelaskan dalam buku ini adalah
kearifan lokal yang tentunya sudah sejak lama diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Mengenalkan
kearifan lokal tersebut bukan hal yang mudah terlebih,
beragamnya karakteristik kewilayahan Indonesia yang tentunya
berdampak pada jenis kearifan lokal yang mungkin saja justru
saling bertentangan satu sama lain.

101
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Ada beberapa fokus isu yang harus diperhatikan ketika


menggunakan kearifan lokal sebagai penyelesaian konflik, yakni
jenis konflik dan dinamika konflik. Kedua faktor tersebut
menentukan tepat tidaknya melibatkan kearifan lokal dalam
penyelesaian sebuah konflik yang tengah terjadi. Metode yang
menerapkan kearifan lokal sebagai penyelesaian konflik akan
relevan jika digunakan dalam situasi konflik horizontal dengan
dinamika konflik belum mencapai kerusakan. Mengapa demikian?
Sebab kondisi konflik yang sudah memuncak (kekerasan)
tentunya hanya akan selesai setelah lebih dulu meredam
kekerasan.
Kajian mengenai penatapan realitas dalam penyelesaian
konflik bukan barang baru yang perlu dikenal kalangan akademis.
Hugg Miall (2000) misalnya, mengakui adanya fluiditas proses
konflik dimana penyelesaian konflik harus terlibat dalam
pergeseran hubungan yang kompleks. Artinya, strategi
penyelesaian konflik harus disesuaikan dengan konflik yang
sedang terjadi. Penggunaan kearifan lokal harus juga disesuaikan
dalam situasi konflik yang terjadi. Istilah realitas penulis kenalkan
sebagai sebuah pedoman khas yang dapat digunakan oleh
pembaca dalam proses resolusi konflik.
Konflik sendiri adalah aspek intrinsik dan tidak mungkin
dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah sebuah
ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang
muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan
sosial. Namun cara kita menangani konflik adalah persoalan

102
Penanganan Konflik

kebiasaan dan pilihan. Adalah mungkin mengubah respon


kebiasaan dan melakukan penentuan pilihan-pilihan yang tepat
(Miall, 2002: 7-8).

Posisi Realitas dalam Penanganan Konflik

Konflik di Indonesia tidak dapat dilihat dari satu dimensi


tertentu, tetapi harus dipahami dalam suatu kerangka yang
kompleks dengan memperhatikan beberapa aspek serta
mencakup berbagai perbedaan agama, etnis, kebudayaan.
Colombijn menilai, survive atau tidaknya Indonesia dalam
prospek perdamaian, sangat tergantung pada analisa apakah para
pemimpin Indonesia mau menerima keanekaragaman sebagai hal
yang positif mengarah pada transparansi pembangunan
kebangsaan atau tidak. Jika setiap masyarakat masih melihat
keanekaragaman sebagai sesuatu hal yang negatif dan harus
dihancurkan atas nama mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, maka negara tidak akan bertahan, dan
prediksi Indonesia akan terpecah belah mungkin benar-benar
terjadi.
Keanekaragaman dalam bentuk kearifan lokal merupakan
bagian dari konsep realitas yang menjadi perhatian penting saat
menghadapi konflik di Indonesia. Pendekatan realitas berkaitan
erat dengan dinamika kekerasan yang dihasilkan dari konflik.
Untuk meghadapi konflik perlu dipertimbangkan adanya
organisasi atau kelompok lokal yang mempunyai kedekatan
dengan sumber kondlik serta mengerti kondisi lokal.

103
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Implementasi pendekatan realitas dapat dilakukan dengan


cara memusatkan analisis pada akar konflik, keterkaitan
melakukan analisis pada kekerasan dan tidak menjadikannya
alternatif penyelesaian, dan menganalisis keterkaitan satu isu
konflik dengan konflik lainnya.
Tahapan awal yang diperlukan ketika akan melakukan
analisis pada akar konflik adalah membedakan antara posisi
pihak-pihak yang bertikai dan kepentingan serta kebutuhan
tersembunyi mereka, sehingga kepentingan pihak-pihak yang
berbeda dapat direkonsiliasikan. Bagi proses rekonsiliasi konflik,
pentingnya fluiditas dengan pergeseran hubungan yang kompleks
dalam proses rekonsiliasi diakui dengan baik dan menjadi
perhatian penting untuk diselesaikan.
Penanganan konflik dengan pendekatan nir kekerasan atau
dalam khusus realitas berbentuk kearifan lokal sejauh ini telah
berhasil menghentikan dinamika konflik dan berjalan menuju
kesepakatan. Tantangan besar ketika konflik sudah sampai pada
kekerasan, penanganan dengan basis kearifan lokal menjadi sulit
untuk diimplementasikan.
Tahap selanjutnya dalam analisis konflik berbasi realitas
adalah penguasaan terhadap kondisi demografi wilayah tersebut
yang akan banyak berpengaruh pada posisi dan komposisi
konflik, seiring dengan berkobarnya konflik. Tidak hanya
demografis sturktur sosial secara sosiologis juga harus dipahami
secara menyeluruh.

104
Penanganan Konflik

Struktur sosial, secara sosiologis dapat dikatakan sebagai


tatanan masyarakat yang terdiri atas bagian yang saling
tergantung dan membentuk suatu pola tertentu. Bagian-bagian
tersebut dapat terdiri atas pola perilaku individu atau kelompok,
institusi, maupun masyarakat (Kamanto, 2004: 52). Perubahan
struktur sosial masyarakat berpengaruh secara signifikan
terhadap pola perilaku individu atau kelompok, institusi maupun
masyarakat, karena berpotensi menimbulkan konflik bila tidak
dikelola dengan baik. Struktur sosial masyarakat berpengaruh
terhadap dinamika konflik.
Pascakonflik untuk mewujudkan perdamaian memang
diperlukan kearifan masyarakat untuk memecahkan stereotif dan
kelompok-kelompok masyarakat yang cenderung sudah terkotak-
kotak, baik dalam sejumlah organisasi sosial dan organisasi
politik. Agar lebih cepat terjadi komunikasi diantara kelompok-
kelompok yang ada, sebaiknya dilakukan secara bersama-sama
dan bekerja sama untuk kepentingan bersama, dalam memaknai
perdamaian yang diharapkan.
Melihat kondisi tersebut, maka sebenarnya sudah tidak ada
jalan lagi bagi kekerasan dan paksaan digunakan sebagai
pendekatan penyelesaian konflik. Penanganan konflik yang
bertujuan pada terciptanya perdamaian berkelanjutan hanya
dibutuhkan pendekatan nir kekerasan, salah satunya dengan
pertimbangan realitas dalam wujud kearifan lokal.

105
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

PENUTUP

Sebuah invoasi membutuhkan proses panjang agar dapat


diterima oleh semua pihak. Buku merupakan langkah awal dari
usaha penulis untuk bisa mengenalkan sebuah cara baku dalam
menangani konflik, tentu tidak banyak yang sepakat dengan cara-
cara yang ditawarkan dalam buku ini, terlebih perbedaan
karakteristik wilayah, jenis konflik yang sedang dihadapi dan
dinamika konflik. Kesemuanya ikut menentukan cara yang tepat
untuk menangani konflik secara spesifik.
Menggunakan kearifan lokal sebagai strategi penyelesaian
konflik memang semakin membuat rumit untuk bisa
membakukan metode penanganan konflik. Tidak semua akan
dengan mudah menerima konsep tersebut, terlebih dalam
penulisan buku ini penulis berharap terciptanya sebuah kajian
baru mengenai konsep realitas yang secara utuh dijelaskan dalam
proses-proses resolusi konflik. Realitas yang dijelaskan dalam
buku ini hanyalah mengambil satu sampel berupa kearifan lokal
yang saat ini menjadi tinjauan dari aspek kebudayaan yang
disertai dengan tahpan Rekonsiliasi dan Transformasi.
Kekayaaan bangsa Indonesia melalui keberagaman
kearifan lokal membuat cara-cara menangani konflik tentu
bersifat dinamis yang juga harus disesuaikan dengan unsur
kewilayahan. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam
penyajian buku ini. Pertama, metode menghadapi konflik yang
ditawarkan merupakan sebuah kolaborasi antara kajian ilmiah

106
Penanganan Konflik

dengan konsep yang disusun oleh penulis berdasarkan studi


lapangan.
Kedua, contoh kasus yang dihadirkan dalam buku ini
merupakan hasil penelitian ilmiah, yakni pelajaran dari kondisi
Aceh dalam menangani konflik dan melakukan transformasi
perdamaian yang dicita-citakan. Ketiga, beberapa ragam kearifan
lokal yang dijadikan contoh dalam buku ini hanya sebagian dari
sekian banyak jenis kearifan lokal yang ada di Indonesia. Keadaan
itu tentunya semakin membuat cara-cara menangani konflik
semakin beragam dan kontekstual. Keempat, buku ini
menegaskan mengenai pentingnya pemahaman terhadap konflik
sebelum kemudian menentukan cara yang tepat untuk menangani
dan menyelesaikan konflik.
Posisi Indonesia yang rentan terjadi konflik tentunya
membutuhkan sebuah pola baru yang mengantarkan satu per satu
langkah dalam menangani konflik. Dalam buku ini dijelaskan
bagaimana proses yang dapat ditempuh saat menghadapi konflik.
Tidak hanya bagi para akademisi dan praktisi yang
memperhatikan konflik, buku ini juga dikemas dalam bahasa yang
ringan agar dapat dijadikan pedoman bagi siapa saja yang
mungkin menangani konflik dan harus membuat trasnformasi
menuju perdamaian yang berkelanjutan.
Untuk menangani konflik di Indonesia ada beberapa tahap
yang harus lakukan, yang pertama adalah memahami konflik.
Bagian ini sangat penting untuk menentukan metode tepat
menghadapi konflik. Mengetahui sumber konflik adalah tahapan

107
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

lanjut dari proses yang harus dihadapi ketika seseorang akan


menganalisis cara menuju perdamaian.
Merancang resolusi konflik yang tepat menjadi sebuah
proses yang rumit setelah memahami konflik dan menentukan
sumber konflik yang tengah ditangani. Untuk itu, pada tahapan ini
cara-cara fleksibel perlu diterapkan dan disesuaikan dengan
dinamika konflik, agar bisa dilakukan dengan menggunakan unsur
kewilayahan yang disesuaikan dengan karakter khas masing-
masing konflik.
Sebagai penuntup, penulis ingin menegaskan jika kajian
realitas yang dimaksud dalam buku ini merupakan penamaan atas
konsep yang telah disusun. Penggunaan realitas berupa
kebudayaan dalam wujud kearifan lokal menjadi salah satu
pendekatan dalam menerapkan cara-cara resolusi konflik yang
dapat digunakan ketika menghadapi konflik. Terdapat beragam
penjelasan mengenai realitas lain yang disesuaikan dengan
dinamika konflik yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Ke depan semoga harapan adanya realitas menangani
konflik dalam kajian teoritis dan akademis seolah akan
memberikan gambaran baru mengenai bagaimana setiap wilayah
dapat menentukan cara yang paling efektif ketika terjadi
perselisihan di wilayahnya. Perlu keterlibatan dari semua pihak
yang kemudian dapat menyelesaikan konflik dengan cara unik
dari kekhasan wilayah konflik terjadi.

108
Penanganan Konflik

REFERENSI

Abdullah, Irwan, Ibnu Mujib dan M. Iqbal Ahnaf (ed). 2008. Agama
Dan Kearifan Lokal Dalam Tantangan Global. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Abubakar, Irfan. 2006. Modul Resolusi Konflik Agama dan Etnis di
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
Ananta, Aris. 2007. The Population and Conflict Aceh. Singapore:
ISEAS.
Baskoro, Rony TB Niti. 2002. Paradoksal Konflik dan Otonomi
Daerah. Jakarta: Peradaban.

Bhakti, Ikrar Nusa. 2008. Beranda Perdamaian: Aceh Tiga Tahun
Pasca MoU Helsinki. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Coser, Louis A. 1967. Continuites in The Study of Social Conflict.
New York: Free Press.
Darwis, Djamaludin. 2007. Mengelola Konflik Membangun Damai:
Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik. Semarang:
WMC (Walisongo Mediation Centre).
Djawa Nai, Stefanus (Penyunting). (2002). Peranan Hukum
Pertanahan Dalam Pembanguan Daerah Otonom Ngada.
Bajawa: Sekretariat Pemda Ngada.
Fisher, Simon, Sue Williams, Steve Williams, Richard Smith,Jawed
Ludin, Dekha Ibrahim Adi, S.N. Kartika, Meiske D. T, Rita
Maharani dan Dwlati N.Rini. (2000). Mengelola Konflik:

109
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Ketrampilan Dan Strategi Untuk Bertindak. Jakarta: The


British Council Indonesia.
Galtung, Johan. 1996. Perdamaian Atau Konflik, Pembangunan Dan
Konflik, Perkembangan Dan Peradaban. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Geertz, Clifford. (1992). Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Huntington, Samuel P. 1994. Partisipasi Politik Negara
Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta.
Lederach, J.P . Building Peace. 1997. Sustainable Reconciliation in
Divided Societies. Washington D.C. United State Institute of
Peace.
Merton, Robert K. 1986. Social Theory and Social Structure. New
York: The Free Press.
Miall, Hugh, dkk. 2002. Resolusi Damai Konflik Kontemporer,
Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik
Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Miall, Hugh, dkk. 2002. Resolusi Damai Konflik Kontemporer,
Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik
Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Miall,Hugh,et.al. 1999. Contemporary Conflict Resolutions, The
Prevention Management and Transformation of Ready
Conflict. Cambridge: Polity Press.
Wahyudi, Bambang. 2013. Resolusi Konflik Untuk Aceh (Kiprah

110
Penanganan Konflik

Masyarakat Aceh Non GAM dalam Perdamaian di Serambi


Mekah Pasca MoU Helsinki). Jakarta: Makmur Cahaya Ilmu.
JURNAL DAN PENELITIAN
Bakri, Hendry. (2015). Resolusi Konflik Melalui Pendekatan
Kearifan Lokal Pela Gandong di Kota Ambon. The POLITICS:
Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanudin, Vol. 1,
No. 1.
Betu, Silverius. 2017. Upacara Adat Reba Sebagai Resolusi Konflik
Di Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tesis.
Bogor: Universitas Pertahanan.
Darisma, Nuryani Siti. 2017. Aktualisasi Nilai-Nilai Tradisi
Nyadran Sebagai Kearifan Lokal Dalam Membangun Budaya
Damai di Dusun Giyanti Desa Kadipaten Kecamatan
Selomerto Kabupaten Wonosobo. Tesis. Bogor: Universitas
Pertahanan
Fidiyani, Rini. 2013. Kerukunan Umat Beragama di Indonesia
(Belajar Keharmonisan dan Toleransi Umat Beragama di
Desa Cikakak, Kec. Wangon, Kabupaten Banyumas. Jurnal
Dinamika Hukum Vol. 13 No.3 September 2013.
Gardono Sudjatmiko, Iwan. 2006. “From Peace Making to Peace
Building (The Case of Aceh)”, Paper Presented at session 5,
RC 01, the XV World Congress of Sociology (International
Sociological Association), Juli 25. Durban, South Africa.
Hasbullah. 2012. Rewang: Kearifan Lokal dalam Membangun
Solidaritas dan Integrasi Sosial Masyarakat di Desa Bukit
Batu Kabupaten Bengkalis. Jurnal Sosial Budaya Vol. 9 No. 2

111
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

Juli-Desember .
Keynote Speech, Pangdam Iskandar Muda, Disampaikan Dalam
Lokakarya Menyongsong Aceh Damai Di Masa Depan. Pada
Tanggal 27 Mei 2008. Lhokseumawe, Provinsi NAD.
Kontras, Seri Aceh, Mempertimbangkan Aceh di bawah Darurat
Militer, Jakarta, Februari 2004 dan Kontras Aceh Damai
Dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu,
Jakarta, Februari 2006.
Netowuli, Rofinus. 2015. Kekuatan Budaya Dan Nilai-Nilai
Keagamaan Dalam Resolusi Konflik Demi Terwujudnya
Rekonsiliasi Dan Budaya Damai : Studi Pada Masyarakat
Ngada Di Flores Nusa Tenggara Timur. Tesis. Bogor:
Universitas Pertahanan.
Nurdin, Abidin. 2013. Revatilasai Kearifan Lokal di Aceh: Peran
Budaya dalam Menyelesaikan Konflik Masyarakat. Analisis,
Volume XIII, Nomor 1, Juni 2013.
Rachman, Abdul, Moch Nurhasim, Fadjri Alihar, Lamijo. 2004.
Negara dan Masyarakat Dalam Konflik Aceh: Studi Tentang
Peran Pemerintah dan Masyarakat Dalam Penyelesaian
Konflik Aceh.
Sulistiyono, Edi. 2013. Kajian Foklor Upacara Adat Mertitani di
Dusun Mandang Desa Sucen Kecamatan Gemawang
Kabupaten Temanggung. Skripsi. Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta.

120

112
Penanganan Konflik

Surat Kabar dan Website


Http://article.melayu.online.com
Kompas, Agustus 1994.
Nyadran Giyanti, Tradisi Tahunan yang Diklaim jadi Simbolisasi
Indonesia Mini. (23 Oktober 2015). diakses pada 9 Juli
2017. dari:
http://wonosobozone.blogspot.co.id/2015/10/nyadran-
giyanti- tradisi-tahunan-yang.html
Ritual Nyadran Giyanti Diikuti Ratusan Warga. (24 Oktober 2015).
diakses pada 9 Juli 2017. dari:
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/ritual-nyadran-
giyanti- diikuti-ratusan-warga/
www.acehinstitute.org

113
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.

BIODATA PENULIS

Buku ini ditulis oleh Dr. Bambang


Wahudi, MM., M.Si, dosen tetap
program magister di Program Studi
Damai dan Resolusi Konflik,
Fakultas Keamanan Nasional,
Universitas Pertahanan. Perspektif
resolusi konflik beliau lahir dari
pendidikan doktoral Sosiologi dan
magister Kriminologi dari
Universitas Indonesia, serta beberapa pelatihan profesional
diantaranya Conflict Resolution Management at District and
Provincial Level oleh Australia Indonesia Partnership dan Kursus
Fungsional Riset dan Pengembangan Pertahanan oleh
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.

114

Anda mungkin juga menyukai