Editor:
May May Maysarah, M.Han.
Layout:
Cover:
Farid
Diterbitkan Oleh:
PUSTAKA SENJA
pustakasenja@yahoo.com
Jl. Ori 1 No 9 c Papringan, Yogyakarta
(Hp. 085741060425, website: www.pustakasenja.com)
ii
Penanganan Konflik
Pendekatan Kearifan Lokal
iii
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
Ketentuan Pidana:
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan Ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait
sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
iv
PENGANTAR PENULIS
v
ragam, segala macam keanekaragaman ini harus dikelola agar
tidak menimbulkan konflik baru. Konflik yang sudah adapun
harus ditangani, agar perdamaian memiliki kesempatan untuk
tumbuh.
Memang tidak ada rumusan baku untuk menangani konflik,
namun hal ini bukan berarti tidak ada pola yang dapat dijadikan
pendekatan umum. Sebagai bahan kajian Damai dan Resolusi
Konflik, buku ini mencoba menghadirkan pendekatan tersebut
secara runtut, mulai dari terminologi atas perihal konflik dan
perdamaian yang menjadi pokok bahasan, hingga membongkar
cara-cara resolusi konflik yang selama ini digunakan untuk
membangun perdamaian di beberapa daerah di Indonesia.
Pendekatan kearifan lokal menjadi praktik baik di daerah
maupun di Indonesia secara umum seperti: Mertitani di
Gemawang Kabupaten Temanggung, Tradisi Nyadran di Giyanti
Wonosobo, toleransi Komunitas Aboge di Kabupaten Banyumas,
Adat Reba di Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur, serta tradisi
Rewang di Bukit Batu Kabupaten Bengkalis. Sebagian berbentuk
aktivitas kultural, yang memang akan sangat berbeda dari satu
daerah dengan daerah lain. Namun pada intinya, upaya
pengangkatan nilai-nilai kearifan lokal yang asli terlahir dari
daerah tersebut untuk kemudian diproyeksikan dalam aktivitas
yang seharusnya dapat menjadi inspirasi dalam membangun
perdamaian di wilayah lainnya, setelah melalui proses modifikasi
yang disesuaikan dengan karakter konflik dan wilayah konflik
terjadi.
vi
Begitu juga Aceh, kohesi kultural hadir seiring dengan
diberi ruangnya nilai-nilai kultural yang sebelumnya
disalahgunakan oleh kelompok separatis. Bahwa konflik
berkembang, seiring dengan berkembangnya aktor dan faktor
konflik, memang seharusnya disadari.
Sebagaimana pun memburuknya sebuah konflik, pola-pola
seperti ini harus didekati, dipahami, dan dikelola dengan baik
agar malah dapat menjadikan potensi penumbuhan benih-benih
perdamaian, fluiditas, rekonsiliasi, dan transformasi konflik dalam
mengatasi konflik seperti ini menjadi kunci, yakni mengubah
nilai-nilai konfliktual menjadi langkah pertama untuk
membangun nilai-nilai perdamaian.
Singkat kata, dalam argumentasi penulis, untuk
menciptakan perdamaian maka perlu menggunakan konsepsi
realitas dalam menangani konflik di Indonesia, sehingga
perdamaian dapat terwujud secara berkelanjutan.
Buku ini ditulis sebagai wujud kontemplasi penulis atas
fenomena konflik di Indonesia. Tentu tidak dapat menjawab
seluruh pertanyaan mengenai bagaimana membangun
perdamaian. Buku ini mungkin hanya memberikan sedikit kajian
mengenai cara-cara penanganan konflik melalui pendekatan
kewilayahan yang menekankan pada aspek realitas, belum
sempurna namun seperti ada harapan baru dalam proses
perdamaian.
Penulis sangat berterima kasih terhadap pihak-pihak yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang turut
berkontribusi terhadap lahirnya buku ini. Menyadari
vii
ketidaksempurnaan dalam proses penulisan, penulis sangat
terbuka terhadap kritik dan saran.
viii
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENULIS ~v
DAFTAR ISI ~ ix
ix
x
Penanganan Konflik
BAB I
SEJARAH KONFLIK DI INDONESIA
DAN PREDIKSI MASA DEPAN
1
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
2
Penanganan Konflik
3
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
4
Penanganan Konflik
5
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
6
Penanganan Konflik
7
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
8
Penanganan Konflik
9
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
10
Penanganan Konflik
BAB II
MEMAHAMI KONFLIK DAN PERDAMAIAN
11
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
12
Penanganan Konflik
13
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
14
Penanganan Konflik
kondisi yang sukar untuk dihindari. Selain itu, konflik juga tidak
hanya membentuk sebuah tindakan yang berakhir kekerasan.
Konflik pada tahap awal terjadi di taraf kognisi yang berdampak
pada perasaan atau kekerasan psikologis, baru kemudian
diekspresikan dalam bentuk tindakan yang mengarah pada
kekerasan fisik dan kehancuran.
Menurut Ju Lan (2005: 10-11), di Indonesia konflik-konflik
yang terjadi umumnya lebih dikategorikan sebagai “konflik
separatis” dan “konflik antara pusat dan daerah”, yang cenderung
dilihat sebagai “konflik vertikal” dan “konflik komunal” yang
dianggap sebagai “konflik horizontal”, dimana didalamnya
termasuk “konflik etnis dan agama” dan “konflik perebutan
sumber daya alam”.
Isu-isu mengenai konflik juga sangat luas, tidak hanya
berbicara mengenai perbedaan keinginan dan kebutuhan yang
menjadi hal dasar yang sulit untuk dihindarkan. Menurut Miall,
setiap konflik, termasuk di dalamnya konflik etnis, pada dasarnya
bukan tidak dapat dihindarkan. Ia dapat dicegah dalam arti
mencegah perwujudan konflik bersenjata atau konflik massa
dengan kekerasan. Namun sumber-sumber potensial konflik perlu
diidentifikasi dan dianalisa, selanjutnya diperlukan berbagai
usaha resolusi konflik (Miall, 2002: 149-151).
Pada pemikiran Johan Galtung (1996), konflik lebih
dipahami sebagai sebuah proses dinamis, yang mana di dalamnya
terdapat struktur, sikap, dan perilaku yang selalu berubah dan
saling mempengaruhi. Merujuk pada pemaknaan konflik di atas,
15
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
Analisis Konflik
Melakukan identifikasi pada konflik yang terjadi, penting
untuk memberi pengaruh pada strategi resolusi konflik yang akan
dipilih serta perlakuan terhadap kelompok yang bersengketa.
Pada saat konflik terjadi, pihak yang berselisih biasanya akan
membentuk kelompok-kelompok baru yang akan memperluas
dan menciptakan dinamika konflik.
Dengan terjadinya konflik, kelompok-kelompok secara
otomatis terbentuk sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Untuk mencapai tujuan tersebut, masing-masing kelompok akan
menciptakan sebuah formasi dan standar organisasi di
kelompoknya agar memiliki kekuatan besar untuk bisa menekan
pihak lain. Sehingga pada tahap selanjutnya formasi kelompok
16
Penanganan Konflik
17
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
Perilaku Sikap
18
Penanganan Konflik
19
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
20
Penanganan Konflik
21
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
22
Penanganan Konflik
23
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
24
Penanganan Konflik
tidak merujuk pada satu faktor, implikasi atas konflik pun juga
dapat mengarah pada berbagai aspek.
Ketika melakukan analisa konflik, pemahaman pada
hubungan dinamis anatara konflik dan perdamaian merupakan
hal yang penting. Sudut pandang tentang penyebab konflik akan
berbeda-beda tergantung dari perspektif yang melihatnya, untuk
itu mengetahui dengan pasti gejala konflik tentunya akan
membantu memahami akar permasalahan dari konflik yang
dihadapi. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan
analisis dan observasi konflik.
Muara akhir dari analisis konflik adalah menciptakan
kondisi damai. Miall (2000:244) menjelaskan mengenai makna
dalam pemeliharaan perdamaian yang lebih luas, yakni
dibutuhkan sebuah tindakan transformatif meliputi usaha-usaha
untuk mentrasformasikan ketidakadilan dan menjembatani posisi
yang bersebarangan.
Melalui kerangka itulah, cakupan resolusi konflik menjadi
lebih luas, tidak hanya sebuah upaya mengakhiri konflik. Terdapat
perbedaan penting dan mendasar pada terminolgi perdamaian
baik berdasarkan makna positif maupun dalam makna negatif
atas sebuah perdamaian.
Apa yang membedakan perdamaian positif dan perdamaian
negatif? Berikut digambarkan mengenai bagan yang dimaksud:
25
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
26
Penanganan Konflik
27
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
Cabang
Merupakan beragam faktor konflik
yang muncul di permukaan.
Contohnya adalah pengungsi
dengan masyarakat di sekitar
pengungsian, masalah agraria, dll.
28
Penanganan Konflik
29
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
30
Penanganan Konflik
31
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
32
Penanganan Konflik
33
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
34
Penanganan Konflik
35
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
36
Penanganan Konflik
BAB III
PENGENALAN LOCAL WISDOM SEBAGAI METODE
PENYELESAIAN KONFLIK
37
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
38
Penanganan Konflik
39
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
40
Penanganan Konflik
pelaksanaan adat tersebut. Hal ini menjadi salah satu ciri khas
kebudayaan. Sifat turun-temurun ini sedikit banyak membuat
Upacara Mertitani tidak dapat dengan mudah ditemukan tangan
pertama penyampai nilai. Maka dengan itu kurun waktu
munculnya adat atau kebudayaan tidak akan dibahas lebih lanjut.
Pada tahapan awal persiapan upacara Mertitani semua
peserta mempersiapkan sesaji Mertani. Dalam fase ini,
kebersamaan masyarakat terlihat jelas, seluruh peserta bergotong
royong dengan sukarela. Pemimpin acara tersebut yakni sesepuh
dusun Mandang dengan pembagian tugas yang telah disepakati
jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan upacara Mertitani
dilaksanakan.
Pada pelaksaan upacara adat Mertitani, setiap warga
kemudian membawa kemenyan yang telah dipersiapkan secara
bergantian kepada sesepuh Dusun untuk diberikan doa.
Kemenyan ini merupakan simbol yang menjadi perantara untuk
menyampaikan doa, sementara sesaji menggambarkan
pengorbanan. Semua warga juga mengumpulkan sejumlah hasil
pertanian di salah satu tempat upacara Mertitani dilaksanakan.
Setelah acara pemberian doa, para warga kemudian berkeliling
dusun atau dikenal dengan istilah kirab.
Tujuan pelaksanaan upacara Mertitani sendiri yakni
sebagai ungkapan syukur, permohonan keselamatan kepada
Tuhan serta sebagai sarana untuk menghormati leluhur desa
Mandang. Upacara tersebut juga menunjukkan adanya fungsi
41
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
42
Penanganan Konflik
43
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
44
Penanganan Konflik
45
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
46
Penanganan Konflik
Kertojanti;
c. Acara Puncak di Sanggar Kertojanti, diawali dengan
sambutan-
sambutan, pembacaan riwayat berdirinya Dusun
Giyanti dan pentas
seni yang dihadiri oleh pejabat
Pemerintah Kabupaten Wonosobo;
d. Pembacaan Doa Penutup oleh Sesepuh Dusun;
e. Rebutan Makanan dalam Tenong, pada saat pembacaan doa
seluruh tenong yang dibawa oleh para ibu diambil panitia
dan dibariskan di sepanjang jalan raya untuk direbutkan oleh
masyarakat yang menyaksiakan acara tersebut; dan
f. Mengambil Air Bunga, air ini dibawa pada saat ziarah makam
oleh panitia dan simpan di bawah pohon persis di sebelah
kiri Sanggar Kertojanti untuk selanjutnya diambil oleh
masyarakat setelah pembacaan doa.
47
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
9. Salametan kobol-kobol
Semacam pesta penutup, Salametan Kobol-kobol membuat
seluruh warga Dusun Giyanti, baik laki-laki dan perempuan dari
segala usia, agama, dan klasifikasi sosial apapun, merayakan
bersama. Acara diawali dengan pembacaan doa secara Islam.
Kemudian dilanjutkan dengan menari bersama sambil
menyanyikan lagu kobo-kobol dengan diiringi gamelan.
Acara perayaan ini diakhiri dengan bertukar makanan,
yakni nasi tumpeng lengkap dengan lauk di atasnya yang dibawa
dari rumah masing-masing. Slametan Kobol-kobol menjadi
perwujudan acara santai dan meriah yang menandakan adanya
kedekatan personal antara satu sama lain. Selain itu, Slametan
Kobol-kobol bagaimanapun telah menjadi ruang publik yang
membuat hubungan satu sama lain terjaga.
48
Penanganan Konflik
49
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
50
Penanganan Konflik
51
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
52
Penanganan Konflik
53
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
54
Penanganan Konflik
55
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
56
Penanganan Konflik
57
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
58
Penanganan Konflik
59
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
60
Penanganan Konflik
BAB IV
PENANGANAN KONFLIK
DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL
61
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
62
Penanganan Konflik
63
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
64
Penanganan Konflik
- Mediasi
Mediasi, merupakan cara “aman” bagi pihak-pihak yang
bertikai untuk bertemu dengan tetap memberikan kesempatan
pada mereka untuk memegang kendali atas berbagai persoalan
hubungan dan hasil-hasilnya. Proses ini dapat digunakan sebagai
langkah awal dalam menghadapi konflik. Mediasi dilakukan oleh
pihak ketiga untuk tujuan mencipatakan posisi netral dari kedua
pihak yang berselisih.
Mediasi yang baik ditentukan oleh kemahiran mediator
dalam menciptakan suasana dipercaya oleh kedua pihak yang
bersengketa. Tanpa terciptanya kondisi “percaya” maka tidak
akan kelompok yang bersedia melakukan proses mediasi. Pada
tahapan ini keinginan dari kedua pihak yang bersengketa
didengarkan dan dipenuhi, jika ada yang bertentangan
menemukan jalan tengah menjadi solusi awal dari masalah
tersebut.
Salah satu syarat mediator diterima oleh pihak yang
berkonflik adalah sikap netral dari mendukung kedua pihak yang
berselisih. Meskipun demikian bukan berarti mediator benar-
benar netral, mediator haruslah tetap berpihak pada jalan
perdamaian yang ingin dituju.
- Rekonsiliasi
Rekonsiliasi, merupakan upaya penyelesaian konflik
dengan cara nirkekerasan, dapat dilakukan dengan dialog dan
mediasi sesuai dengan dinamika konflik yang sedang terjadi.
65
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
Daerah
No Pola Rekonsiliasi Resolusi Konflik
Konflik
1. Sumatera Rekonsiliasi mantan Rekonsiliasi yang
Barat. PRRI/ PRRI/PERMESTA, baik dari dilaksanakan secara
PERMESTA, kalangan militer, sipil, pelajar vertikal maupun horizontal
Tahun 1958. dan mahasiswa, yang diikuti kesadaran dan
menyerahkan diri dan komitmen masing-masing
direhabilitasi oleh pihak. Sehingga rekonsiliasi
Pemerintah: tidak hanya secara formal
1. Sebagian diantara mereka, saja, tapi punya makna
melanjutkan reunifikasi atau substansi,
pengabdiannya di bidang dan dalam
militer, berdasarkan perkembangannya lebih
syarat tertentu. bersifat permanen.
2. Sebagian kembali dalam
kehidupan masyarakat
sipil, wiraswasta, pelajar
dan mahasiswa.
2. Sambas, Pihak yang bertikai (Etnis Rekonsiliasi dilaksanakan
Kalimantan Dayak dan etnis Madura) karena adanya kesadaran
66
Penanganan Konflik
Daerah
No Pola Rekonsiliasi Resolusi Konflik
Konflik
Barat. melakukan rekonsiliasi bersama, khususnya
Konflik Etnis. dengan duduk dalam satu mereka yang bertikai,
Tahun 1997. meja, difasilitasi oleh Pemda, untuk saling menjaga
DPR dan Tokoh Masyarakat. komitmen masing-masing
Mereka sepakat agar terhadap perdamaian.
kehidupan normal dan damai Dalam perkembangannya
bisa terlaksana. Usai berlanjut rekonsiliasi
pertemuan mereka saling politik dan sosial seperti
berjabat tangan, berangkulan, asimulasi (perkawinan)
untuk melupakan konflik antar etnis, sehingga
yang pernah terjadi dan rekonsiliasi dapat bertahan
sepakat menatap kehidupan lama, dan lebih bersifat
masa depan yang rukun. permanen.
3. Mataram, Konflik Patemon Karang Rekonsiliasi, meskipun
Nusa Genteng, secara formal belum belum dilakukan secara
Tenggara pernah diadakan rekonsiliasi, formal, namun dalam
Barat. dan oleh Pemkot dibangun proses komunikasi mulai
Konflik tembok yang memisahkan mencair dengan sendirinya,
Patemon, antara kedua desa tersebut. karena kepentingan dan
Karang Namun rekonsiliasi dilakukan keterkaitan individu dalam
Genteng, secara alami, melalui kehidupan sosial maupun
Tahun 2001. komunikasi dalam kehidupan ekonomi. Namun
sehari-hari seperti bekerja di dinamikanya masih rentan
ladang, datang ke tempat terhadap konflik.
hajatan (mayoritas kaum
perempuan) dan dalam
kegiatan ekonomi secara
perlahan komunikasi antar
individu dari kedua desa
tersebut mulai mencair
67
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
Daerah
No Pola Rekonsiliasi Resolusi Konflik
Konflik
meskipun tidak secara
terbuka, karena masih
sensitif dicurigai sebagai
mata-mata antar kelompok.
4. Sulawesi Pertemuan Malino untuk Masing-masing komunitas
Tengah. Poso pada tanggal 18 sampai yang bertikai menunjukkan
Konflik Poso, dengan 20 Desember 2001, kesepakatan perdamaian,
Tahun 2001. yang dihadiri oleh perwakilan dan mempunyai komitmen
dari tokoh-tokoh yang untuk mewujudkan
bertikai, selanjutnya dikenal keamanan dan perdamaian
dengan kesepakatan bersama, yang difasilitasi
deklarasi Malino 2. oleh pemerintah yang lebih
bersikap dan bertindak
sebagai mediator dan
motivator dalam
penyelesaian konflik.
Sehingga lebih bersifat
permanen dan tahan lama.
68
Penanganan Konflik
- Transformasi
69
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
70
Penanganan Konflik
71
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
72
Penanganan Konflik
73
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
74
Penanganan Konflik
75
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
76
Penanganan Konflik
77
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
- Sentimen Etnis
Sentimen etnis (etnisitas) membuat klasifikasi “kami” dan
“mereka” semakin tegas. Dalam mengatasi konflik, etnisitas
dijadikan kendaraan untuk menegakkan kohesi sosial dan
solidaritas dari masing-masing etnis. Selanjutnya dikatakan,
ketika etnis pendatang baru terus berdatangan dan bertempat
tinggal di wilayah-wilayah komunal, jumlah populasi komunitas
78
Penanganan Konflik
79
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
80
Penanganan Konflik
81
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
82
Penanganan Konflik
BAB V
MEMBONGKAR RESOLUSI KONFLIK
PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL DI ACEH
83
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
dalam mewujudkan masa depan Aceh yang lebih baik, dan tetap
dalam kerangka NKRI. Namun satu hal yang perlu diingat bahwa
persoalan di Aceh bukan hanya permasalahan Rakyat Indonesia
yang berada di Aceh saja, melainkan juga permasalahan Rakyat
Indonesia secara keseluruhan. Sebagaimana dikatakan Miall,
bahwa tanggung jawab pertama dan utama untuk mencegah,
mengelola dan mentransformasikan konflik internal dengan
kekerasan terletak pada penduduk negara-negara yang terlibat
konflik terutama pada semua pemimpin regional, nasional dan
lokal (Miall, 2002).
(3) Dalam konflik Aceh, selain GAM juga muncul kelompok
anti GAM, keadaan demikian menunjukkan fenomena yang
“problematik” atau “paradoks”, dimana dalam setiap daerah
konflik di Indonesia timbul pembelahan-pembelahan kelompok
yang pro dan kontra terhadap Pemerintah Pusat. Sebagaimana
yang terjadi di Aceh antara kelompok Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dengan kelompok Front Perlawanan Separatis GAM
(FPSG), pasca MoU Helsinki berubah menjadi KPA dan PETA,
kemudian muncul Forum Komunikasi Anak Bangsa (FORKAB).
Dalam pandangan Miall, munculnya mobilisasi kelompok
dengan melihat strategi dan tindakan komunal, merupakan upaya
penting untuk menelusuri jejak dimana kelompok-kelompok yang
satu tidak puas akan mengartikulasikan keluhan dengan
mobilisasi, menentukan tujuan dan strategi, yang pada akhirnya
mengarahkan tantangan terhadap pemegang kekuasaan (Miall,
2002: 137).
84
Penanganan Konflik
85
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
86
Penanganan Konflik
87
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
88
Penanganan Konflik
89
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
90
Penanganan Konflik
91
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
92
Penanganan Konflik
93
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
94
Penanganan Konflik
95
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
96
Penanganan Konflik
97
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
98
Penanganan Konflik
99
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
100
Penanganan Konflik
BAB VI
RELEVANSI TEORI REALITAS DAN PENANGANAN KONFLIK
101
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
102
Penanganan Konflik
103
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
104
Penanganan Konflik
105
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
PENUTUP
106
Penanganan Konflik
107
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
108
Penanganan Konflik
REFERENSI
Abdullah, Irwan, Ibnu Mujib dan M. Iqbal Ahnaf (ed). 2008. Agama
Dan Kearifan Lokal Dalam Tantangan Global. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Abubakar, Irfan. 2006. Modul Resolusi Konflik Agama dan Etnis di
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
Ananta, Aris. 2007. The Population and Conflict Aceh. Singapore:
ISEAS.
Baskoro, Rony TB Niti. 2002. Paradoksal Konflik dan Otonomi
Daerah. Jakarta: Peradaban.
Bhakti, Ikrar Nusa. 2008. Beranda Perdamaian: Aceh Tiga Tahun
Pasca MoU Helsinki. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Coser, Louis A. 1967. Continuites in The Study of Social Conflict.
New York: Free Press.
Darwis, Djamaludin. 2007. Mengelola Konflik Membangun Damai:
Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik. Semarang:
WMC (Walisongo Mediation Centre).
Djawa Nai, Stefanus (Penyunting). (2002). Peranan Hukum
Pertanahan Dalam Pembanguan Daerah Otonom Ngada.
Bajawa: Sekretariat Pemda Ngada.
Fisher, Simon, Sue Williams, Steve Williams, Richard Smith,Jawed
Ludin, Dekha Ibrahim Adi, S.N. Kartika, Meiske D. T, Rita
Maharani dan Dwlati N.Rini. (2000). Mengelola Konflik:
109
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
110
Penanganan Konflik
111
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
Juli-Desember .
Keynote Speech, Pangdam Iskandar Muda, Disampaikan Dalam
Lokakarya Menyongsong Aceh Damai Di Masa Depan. Pada
Tanggal 27 Mei 2008. Lhokseumawe, Provinsi NAD.
Kontras, Seri Aceh, Mempertimbangkan Aceh di bawah Darurat
Militer, Jakarta, Februari 2004 dan Kontras Aceh Damai
Dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu,
Jakarta, Februari 2006.
Netowuli, Rofinus. 2015. Kekuatan Budaya Dan Nilai-Nilai
Keagamaan Dalam Resolusi Konflik Demi Terwujudnya
Rekonsiliasi Dan Budaya Damai : Studi Pada Masyarakat
Ngada Di Flores Nusa Tenggara Timur. Tesis. Bogor:
Universitas Pertahanan.
Nurdin, Abidin. 2013. Revatilasai Kearifan Lokal di Aceh: Peran
Budaya dalam Menyelesaikan Konflik Masyarakat. Analisis,
Volume XIII, Nomor 1, Juni 2013.
Rachman, Abdul, Moch Nurhasim, Fadjri Alihar, Lamijo. 2004.
Negara dan Masyarakat Dalam Konflik Aceh: Studi Tentang
Peran Pemerintah dan Masyarakat Dalam Penyelesaian
Konflik Aceh.
Sulistiyono, Edi. 2013. Kajian Foklor Upacara Adat Mertitani di
Dusun Mandang Desa Sucen Kecamatan Gemawang
Kabupaten Temanggung. Skripsi. Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta.
120
112
Penanganan Konflik
113
Dr. Bambang Wahyudi, MM.M.Si.
BIODATA PENULIS
114