Anda di halaman 1dari 6

Pengertian Desa Menurut Para Ahli

Berikut ini adalah definisi dari desa menurut ahlinya.

2. W.S. Thompson

Pengertian desa menurut W. S. Thompson adalah salah satu tempat yang menampung penduduk.

3. I Nyoman Beratha

Pengertian desa menurut I Nyoman Beratha adalah kesatuan masyarakat hukum berdasarkan
susunan asli yang memiliki badan pemerintah di dalam suatu wilayah kecamatan.

4. R.H Unang Soenardjo

Pengertian desa menurut R.H Unang Soenardjo adalah suatu kesatuan masyarakat berdasarkan
adat dan hukum adat yang menetap dalam suatu wilayah yang tertentu batas-batasannya,
memiliki ikatan lahir dan batin yang sangat kuat, baik karena seketurunan maupun karena sama-
sama memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan; memiliki susunan pengurus
yang dipilih bersama; memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan
urusan rumah tangga sendiri.

5. Vernor C. Finch dan Glenn T. Trewartha

Pengertian desa menurut Vernor C. Finch dan Glenn T. Trewartha adalah tempat tinggal yang
terdiri dari persawahan dan bangunan sederhana.

6. P.J. Bournen

Pengertian desa menurut P.J. Bournen adalah salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama
sebanyak beberapa ribu orang yang hampir semuanya saling mengenal. Kebanyakan dari mereka
hidup dari sektor pertanian, perikanan, dan usaha-usaha lainya yang dapat dipengaruhi oleh
hukum alam. Dalam tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga.

7. Rifhi Siddiq

Pengertian desa menurut Rifhi Siddiq adalah suatu wilayah yang mempunyai tingkat kepadatan
rendah yang dihuni oleh penduduk dengan interaksi sosial yang bersifat homogen, bermata
pencaharian di bidang agraris serta mampu berinteraksi dengan wilayah lain di sekitarnya.

8. D. Anderson

Pengertian desa menurut D. Anderson adalah suatu tempat yang memiliki jumlah penduduk
paling sedikit 2.500 jiwa.

9. Koentjaraningrat
Pengertian desa menurut Koentjaraningrat adalah komunitas kecil yang menetap tetap di suatu
tempat.

10. Egon E. Bergel

Pengertian desa menurut Egon E. Bergel adalah setiap pemukiman para petani.

11. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

Pengertian desa menurut KBBI adalah kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga
yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang kepala desa) atau desa
merupakan kelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan.

12. Saniyanti Nurmuharimah

Pengertian desa menurut Saniyanti Nurmuharimah adalah wilayah yang dihuni oleh masyarakat
yang memiliki sistem pemerintahan sendiri.

13. Paul H Landis

Pengertian desa menurut Paul H Landis adalah suatu wilayah yang jumlah penduduknya kurang
dari 2.500 jiwa dengan ciri-ciri sebagai berikut:

 Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.
 Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukuan terhadap kebiasaan.
 Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam sekitar
seperti iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah
bersifat sambilan.

14. UU No 6 Tahun 2014

Pengertian desa menurut UU. No. 6 Tahun 2014 adalah desa dan desa adat atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

15. UU No. 22 Tahun 1999

Pengertian desa menurut UU. No. 22 Tahun 1999 adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan
Nasional dan berada di daerah Kabupaten.

16. UU. No. 5 Tahun 1979


Pengertian desa menurut UU. No 5 Tahun 1979 adalah suatu wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

17. William Ogburn Dan MF. Nimkoff

Pengertian desa menurut William Ogburn Dan MF. Nimkoff adalah kesatuan organisasi
kehidupan sosial di dalam daerah terbatas

18. S. D Misra

Pengertian desa menurut S.D. Misra adalah suatu kumpulan tempat tinggal dan kumpulan daerah
pertanian dengan batas-batas tertentu yang luasnya antara 50-1000 are.

19. R. Bintarto

Pengertian desa menurut R. Bintarto adalah perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-
unsur fisiografis, sosial, ekonomis politik, kultural setempat dalam hubungan dan pengaruh
timbal balik dengan daerah lain.

20. Sutarjo Kartohadikusumo

Pengertian desa menurut Sutarjo Kartohadikusumo adalah kesatuan hukum tempat tinggal suatu
masyarkat yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri merupakan pemerintahan
terendah di bawah camat.
Perundang-undangan Pemerintah Hindia Belanda mewariskan lima jenis peradilan,
antara lain Gouvernments-rechtspraak (Peradilan Gubernemen), Inheemsche rechtspraak
(Peradilan Pribumi atau Peradilan Adat), Zelfbestuur rechtspraak (Peradilan Swapraja),
Godsdienstige rechtspraak (Peradilan Agama), dan Dropjustitie (Peradilan Desa).
Inheemsche rechtspraak diterjemahkan dengan istilah pengadilan adat atau peradilan
adat. Sehingga disimpulkan yang dimaksud pengadilan adat atau peradilan adat dalam Undang-
Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 adalah Inheemsche rechtspraak. Dasar perundang-
undangan peradilan adat di jaman Hindia Belanda adalah Pasal 130 Indische Staatsregeling (IS)
yang menyatakan bahwa di mana saja penduduk asli tidak dibiarkan mempunyai peradilan
sendiri, di Indonesia dilakukan peradilan atas nama raja. Di mana penduduk dibiarkan
mempunyai peradilan sendiri, di situ terdapat peradilan asli (peradilan adat). Pengaturan lebih
lanjut terhadap peradilan adat ini terdapat dalam S. 1932 Nomor 80 yang dikenal dengan
Regeling van de Inheemsche Rechtsspraak.
Proses penyelesaian secara adat lebih dikenal dengan nama peradilan adat, sehingga
yang dimaksud dengan peradilan adat adalah acara yang berlaku menurut hukum adat dalam
memeriksa, mempertimbangkan, memutuskan dan menyelesaikan suatu perkara kesalahan adat.
Hukum adat tidak mengenal instansi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Penjara. Tugas
pengusutan, penuntutan, peradilan dilaksanakan oleh prowatin adat bersangkutan yang dibantu
oleh orang-orang muda.
Konsep peradilan adat antara lain Peradilan adat adalah sistem peradilan yang hidup
dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia, Peradilan adat berdasarkan pada
hukum adat, Peradilan adat bukan merupakan bagian dari sistem peradilan negara, Perdilan adat
berwenang mengadili perkara-perkara adat, baik yang berupa sengketa maupun pelanggaran
hukum adat, Peradilan adat berwenang mengadili perkara-perkara antara warga kesatuan
masyarakat hukum adat.
Dalam masyarakat Indonesia di masa kolonial terdapat peradilan bagi penduduk
pribumi yang disebut Dropjustitie (Peradilan Desa). Dropjustitie adalah peradilan yang
dilaksanakan oleh Hakim Desa atau disebut Hakim Adat, baik dalam lingkungan peradilan
gubernemen, peradilan pribumi/peradilan adat, maupun peradilan swapraja di luar Jawa dan
Madura, yang berwenang mengadili perkara-perkara kecil yang merupakan urusan adat atau
urusan desa. Walaupun sesungguhnya peradilan desa sudah lama berlaku dalam kehidupan
masyarakat di pedesaan, namun Pemerintah Hindia Belanda baru mengakuinya pada Tahun
1935, ketika disisipkannya Pasal 3a R.O. dengan Stb. 1935 No. 102. Menurut Hazairin, hakim
desa adalah suatu lembaga desa yang kehadirannya dalam setiap masyarakat hukum adat
merupakan conditio sine qua non sebagai alat perlengkapan kekuasaan desa selama desa itu
sanggup mempertahankan wajah aslinya dan sifat-sifat keistimewaanya sebagai kesatuan sosial
ekonomi yang dapat berdiri sendiri. Kekuasaan hakim desa tidak terbatas kepada perdamaian
saja, tetapi meliputi kekuasaan memutuskan semua silang sengketa dalam semua bidang hukum
tanpa membedakan antara pengertian pidana, perdata, publik dan sipil.
Menurut Abdul Rachman, dua bentuk peradilan tersebut sebenarnya tidak ada
perbedaan yang prinsipil. Peradilan desa umumnya terdapat pada hampir seluruh Nusantara pada
masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial, namun peradilan adat ditemukan pada
masyarakat hukum adat teritorial maupun geneologis.
Dari perspektif UU Nomor 1 dart Tahun 1951 dimana eksistensi Pengadilan Adat mulai
tidak diakui dan dihapuskan yang berlanjut setelah dikodifikasikan Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970), yang kemudian dirubah dengan UU Nomor
35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) tidak dikenal lagi
eksistensi Pengadilan Adat. Pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU drt 1 Tahun 1951 disebutkan
bahwa, “Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentuan oleh Menteri Kehakiman
dihapuskan...segala Pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtstreekbestuurd gebied)
kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian
tersendiri dari peradilan Adat”.
Penjelasan otentik pasal tersebut menyebutkan dasar pertimbangan penghapusan
peradilan adat karena peradilan adat tidak memenuhi persyaratan sebagai alat perlengkapan
pengadilan sebagaimana yang dikehendaki oleh UUDS dan tidak dikehendaki rakyat. Akan
tetapi, penghapusan peradilan adat dalam konteks di atas, hakikatnya tidak menghapuskan jenis
peradilan adat dalam bentuk lain yaitu peradilan desa (dorpjustitie).  Aspek dan dimensi ini
bertitik tolak sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU drt 1 Tahun 1951 yang menegaskan
bahwa, “Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak
kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-
desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3a Rechterlijke Organisatie”.
Konklusi dasar konteks di atas, tersirat dan tersurat menentukan peradilan adat yang
dihapuskan berdasarkan undang-undang darurat adalah peradilan adat dalam arti inheemsche
rechtspraak,sedangkan kewenangan peradilan adat yang dilakukan oleh kepala-kepala kesatuan
masyarakat hukum adat yaitu peradilan desa (dorpjustitie) tetap dilanjutkan. Padahal
sebelumnya, pada zaman Hindia Belanda Peradilan Adat dikenal dalam dua bentuk yaitu
Peradilan Pribumi atau Peradilan Adat(Inheemsche rechtspraak) dan Peradilan
Desa (Dorpjustitie).  Kemudian dimensi ini berlanjut pada zaman pendudukan Jepang peradilan
adat tetap diakui dan berlangsung, walaupun UU Nomor 14 Tahun 1942 (dirubah dengan UU
Nomor 34 Tahun 1942), telah menyederhanakan sistem peradilan dimana perbedaan peradilan
gubernemen dan peradilan untuk orang pribumi telah dihapuskan.
Akan tetapi walaupun kebijakan formulatif secara nasional tidak mengakui eksistensi
peradilan adat fakta aktual dan faktual kebijakan aplikatif melalui Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya. Misalnya, sebagai salah satu contohnya
pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana
dalam ratio decidendi putusan disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar hukum adat
kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat/obat adat) maka
yang bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam
persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama
melanggar hukum adat dan dijatuhkan pidana penjara menurut ketentuan KUH Pidana (Pasal 5
ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951) sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan
berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk Verklaard).

Anda mungkin juga menyukai