Anda di halaman 1dari 35

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT CAMPAK

Epidemiologi campak (measles) atau rubeola masih tinggi. Menurut

WHO, pada tahun 2015 terdapat sejumlah 195.762 kasus campak di seluruh

dunia. Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia dan sebagian besar

penderitanya adalah individu yang tidak mendapatkan imunisasi campak. Campak

masih banyak ditemukan di negara-negara Eropa, Asia-Pasifik dan Afrika. Tidak

terdapat perbedaan secara jenis kelamin maupun ras.

Menurut WHO, pada tahun 2015 terdapat sejumlah 195.762 kasus campak

di seluruh dunia. Penyakit campak merupakan salah satu penyebab kematian

terbesar pada anak, meskipun vaksin campak mudah ditemukan dan terjangkau.

Pada tahun 2015 terdapat 134.200 anak yang meninggal akibat campak, terbanyak

pada anak usia di bawah 5 tahun. Angka cakupan imunisasi campak di seluruh

dunia mencapai 85% pada tahun 2015.

Di Indonesia dilaporkan terdapat sejumlah 12.222 kasus campak pada tahun 2014.

Menurut kelompok umur, pada tahun 2007-2015 proporsi kasus campak terbesar

terdapat pada kelompok umur 5-9 tahun dan kelompok umur 1-4 tahun dengan

proporsi masing-masing sebesar 32,2% dan 25,4%. Namun jika dihitung rata-rata

umur tunggal, kasus campak pada bayi <1 tahun merupakan kasus yang tertinggi,

yaitu sebanyak 9,5%. Frekuensi KLB terjadi sebanyak 173 kejadian dengan

jumlah 2.104 kasus.

Campak dalam bahasa latin dikenal dengan nama morbili atau morbillia

dan rubeola, yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama masern,

1
dalam bahasa Islandia dikenal dengan nama mislingar dan measles dalam bahasa

Inggris. Penyakit Campak (Rubeola, Campak 9 hari, measles) adalah suatu infeksi

virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, batuk,

konjungtivitis( peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan ruam kulit.

Penyakit ini disebabkan karena infeksi virus campak yaitu virus rubeola golongan

Paramyxovirus dari pada genus Morbillivirus. Penularan terjadi melalui percikan

ludah dari hidung, mulut maupun tenggorokan penderita campak (airborne

disease).

Kemungkinan 90% bahwa orang lain akan terpengaruh atau terkena

penyakit ini selama mereka belum divaksinasi atau belum memperoleh kekebalan

dari campak. Penyakit ini biasanya menyerang anak-anak pra sekolah dan anak-

anak SD, meskipun tidak menutup kemungkinan menyerang orang dewasa yang

belum pernah terkena penyakit ini. Jika orang yang sudah terkena penyakit ini,

makan sepanjang hidupnya tidak akan terkena penyakit campak ini lagi. Penderita

bisa menularkan infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum rimbulnya ruam kulit

dan 4 hari setelah ruam kulit ada. Masa inkubasi adalah 10-12 hari sebelum gejala

muncul, 14 hari hingga ruam muncul. Imunisasi (MMR) pada usia 12 bulan dan 4

tahun.

2
PEMBAHASAN

A. SEJARAH PENYAKIT CAMPAK DI DUNIA

1. Era pra-vaksin

Pada abad ke-9, seorang dokter Persia menerbitkan salah satu

catatan tertulis pertama tentang penyakit campak. Francis Home,

seorang dokter Skotlandia, menunjukkan pada 1757 bahwa campak

disebabkan oleh agen infeksi dalam darah pasien. Pada tahun 1912,

campak menjadi penyakit yang dapat diberitahukan secara nasional di

Amerika Serikat, yang mengharuskan penyedia layanan kesehatan dan

laboratorium AS untuk melaporkan semua kasus yang didiagnosis.

Pada dekade pertama pelaporan, rata-rata 6.000 kematian terkait

campak dilaporkan setiap tahun.

Pada dekade sebelum 1963 ketika vaksin tersedia, hampir semua

anak terkena campak pada saat mereka berusia 15 tahun. Diperkirakan

3 hingga 4 juta orang di Amerika Serikat terinfeksi setiap tahun. Juga

setiap tahun, antara kasus yang dilaporkan, diperkirakan 400 sampai

500 orang meninggal, 48.000 dirawat di rumah sakit, dan 1.000

menderita ensefalitis (pembengkakan otak) dari campak.

2. Pengembangan Vaksin

Pada tahun 1954, John F. Enders dan Dr. Thomas C. Peebles

mengumpulkan sampel darah dari beberapa siswa yang sakit selama

wabah campak di Boston, Massachusetts. Mereka ingin mengisolasi

3
virus campak dalam darah siswa dan membuat vaksin campak. Mereka

berhasil mengisolasi campak dalam darah David Edmonston yang

berusia 13 tahun.

Pada tahun 1963, John Enders dan rekannya mengubah jenis virus

campak Edmonston-B menjadi vaksin dan melisensikannya di

Amerika Serikat. Pada tahun 1968, vaksin campak yang lebih baik dan

lebih lemah, yang dikembangkan oleh Maurice Hilleman dan

rekannya, mulai didistribusikan. Vaksin ini, yang disebut strain

Edmonston-Enders (sebelumnya "Moraten") telah menjadi satu-

satunya vaksin campak yang digunakan di Amerika Serikat sejak tahun

1968. Vaksin campak biasanya dikombinasikan dengan gondong dan

rubella (MMR), atau dikombinasikan dengan gondong, rubella, dan

varicella (MMRV).

3. Eliminasi Campak

Pada tahun 1978, CDC menetapkan tujuan untuk menghilangkan

campak dari Amerika Serikat pada tahun 1982. Meskipun tujuan ini

tidak terpenuhi, meluasnya penggunaan vaksin campak secara drastis

mengurangi tingkat penyakit. Pada tahun 1981, jumlah kasus campak

yang dilaporkan adalah 80% lebih sedikit dibandingkan dengan tahun

sebelumnya. Namun, wabah campak pada tahun 1989 di antara anak-

anak usia sekolah yang divaksinasi mendorong Komite Penasihat

Praktik Imunisasi (ACIP), Akademi Pediatrik Amerika (AAP), dan

Akademi Dokter Keluarga Amerika (AAFP) untuk merekomendasikan

4
dosis kedua vaksin MMR untuk semua anak. Menyusul penerapan

yang luas dari rekomendasi ini dan peningkatan cakupan vaksin MMR

dosis pertama, kasus campak yang dilaporkan bahkan semakin

menurun. Campak dinyatakan dihilangkan (tidak ada penularan

penyakit terus menerus selama lebih dari 12 bulan) dari Amerika

Serikat pada tahun 2000. Ini berkat program vaksinasi yang sangat

efektif di Amerika Serikat, serta kontrol campak yang lebih baik di

wilayah Amerika.

Friedrich Hoffmann, seorang dokter Jerman, pertama kali

menggambarkan sebuah kasus rubella pada tahun 1740. George de

Maton menyarankan itu berbeda dari penyakit lain seperti campak dan

demam berdarah pada tahun 1814. Karena setiap kasus yang tercatat

pertama kali terjadi di Jerman, penyakit ini menjadi dikenal sebagai

"campak Jerman." Nama rubella berasal dari kata Latin yang berarti

"sedikit merah," yang pertama kali digunakan pada tahun 1866.

Sepanjang abad ke-20, penelitian medis menemukan bahwa rubella

disebabkan oleh virus dan dapat ditularkan melalui tetesan udara.

Penelitian tentang sindrom rubela kongenital mulai ekstensif setelah

beberapa kasus yang timbul dari infeksi epidemi di Australia pada

tahun 1940. Pada tahun 1962, virus diisolasi dalam kultur jaringan,

memungkinkan penelitian awal untuk vaksin dimulai. Vaksin virus

hidup yang dilemahkan dilisensikan pada tahun 1969 dan

diperkenalkan dalam kombinasi dengan vaksin lain segera setelah itu.

5
Pengenalan vaksinasi telah sangat mengurangi insiden infeksi virus

dan dianggap langka di antara negara-negara maju saat ini.

B. SEJARAH PENYAKIT CAMPAK DI INDONESIA

Sepanjang sejarah, penyakit menular seperti cacar dan campak

telah memakan banyak korban di seluruh dunia. Stanley A Plotkin, Walter

A Orenstein, Donald A. Henderson, dan Bernard Moss menuliskan dalam

buku mereka, di Eropa pada abad ke-18, sekitar 400 ribu nyawa melayang

karena cacar setiap tahun. Sampai akhirnya pada tahun 1796, Edward

Jenner, menemukan vaksin pertama di dunia, yakni untuk penyakit cacar.

Pusat Penanganan dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika

Serikat, dalam sebuah rilisnya, April 1999, menyatakan bahwa vaksinasi

adalah satu dari sepuluh pencapaian terbaik di bidang kesehatan

masyarakat pada abad 20. Karena adanya vaksinasi, taraf kesehatan

masyarakat meningkat secara signifikan

Mengutip WHO, berdasarkan data yang disajikan Gap Foundation,

imunisasi menjadi faktor utama pencegah kematian anak. Hal itu berujung

pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan ekonomi negara menjadi

lebih maju.

Dari data tersebut, diketahui bahwa setiap 1 dolar AS yang

digunakan dalam investasi imunisasi, dapat menghemat 16 dolar AS

tabungan kesehatan dan akhirnya meningkatkan produktivitas ekonomi

seseorang.

6
Dengan adanya vaksin, orang-orang tak perlu lagi khawatir

anaknya terjangkit polio, cacar, campak, difteri, dan lain-lain. Dalam

beberapa kasus, suatu negara bahkan dapat terbebas sama sekali dari

penyakit-penyakit tersebut.

Indonesia menjadi salah satu contoh. Melalui program imunisasi,

jumlah pengidap polio bisa ditekan sampai 1 persen dibanding sebelum

imunisasi dilakukan

Berdasarkan catatan WHO, Indonesia sudah melakukan program

imunisasi untuk penyakit cacar sejak 1950-an. Namun, imunisasi kala itu

belum dilakukan dalam skala besar seperti sekarang. Manajemennya pun

masih jauh dari kata baik. Berdasarkan catatan WHO, Indonesia sudah

melakukan program imunisasi untuk penyakit cacar sejak 1950-an.

Namun, imunisasi kala itu belum dilakukan dalam skala besar seperti

sekarang. Manajemennya pun masih jauh dari kata baik. Itu terbukti dari

pecahnya wabah cacar pada 1967. Saat itu, wabah bermula di Jawa Timur

dan akhirnya merebak ke provinsi lain. WHO mencatat ada sekitar 100

ribu kasus di Jawa --dan itu belum termasuk kasus yang terjadi di pulau

lain,

Untuk mengatasinya, pemerintah memutuskan untuk melakukan

program pembasmian cacar dengan bantuan WHO. Operasi imunisasi

bermula di Jawa dan Bali pada 1968, lalu bersambung ke pulau-pulau lain

selama setahun kemudian.

7
Strategi yang pemerintah terapkan saat itu adalah imunisasi dari

desa ke desa. Demi melaksanakan strategi tersebut, pemerintah

membentuk tim beranggotakan 3-4 orang untuk menyambangi masing-

masing desa. Sayangnya, strategi itu tidak berjalan maksimal. WHO

menilai eksekusi di lapangan dan pengawasan dari pusat masih lemah.

Sistem pengawasan dan pelaporan penyakit pun masih perlu banyak

perbaikan.

Hal yang ditakutkan pun terjadi. Pada 14 Desember 1971,

Indonesia lagi-lagi mengalami wabah cacar di Sepatan, Tangerang. Wabah

itu berawal dari banyaknya kasus cacar yang tidak dilaporkan petugas

setempat ke pemerintah pusat. Alasannya, mereka takut dihukum karena

dianggap tidak mampu mengendalikan wabah di daerahnya.

Pemerintah segera menangani kasus tersebut agar wabah tidak

tersebar luas. Tidak ada catatan pasti soal bagaimana pengananan

dilakukan, namun, wabah berhasil dihentikan ketika baru mencapai 3 desa.

Akhirnya, pada 23 Januari 1972, Desa Gaga dan Kuhandap menjadi dua

desa terakhir yang terkena wabah cacar di Indonesia.

Dua tahun setelah itu, perwakilan WHO datang ke Indonesia untuk

melihat apakah Indonesia sudah aman dari cacar. Pada 25 April 1974,

WHO menyatakan Indonesia bebas cacar sepenuhnya. Kasus difteri pun

tak kalah besar. Pada tahun 1990 hingga 2000, Indonesia mengalami

sebanyak 9482 kasus. Angka tersebut sangat besar, menjadi nomor dua

paling tinggi di dunia dan hanya kalah dari India yang berjumlah 53.503

8
kasus. Namun pada dekade selanjutnya, angka ini terus mengalami

penurunan di tahun-tahun berikutnya. Dalam rentang waktu 2011-2015,

hanya terdapat 3.203 kasus di Indonesia, dari 26.363 kasus yang tercatat di

seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, angka difteri dapat ditekan lewat

imunisasi DPT rutin yang dilakukan tiap tahun. Pemerintah mewajibkan

setiap anak yang duduk di bangku kelas 1 SD untuk mendapatkan

imunisasi tersebut.

Merujuk data Kementerian Kesehatan, cakupan imunisasi DPT

pada periode 2007-2015 mencapai 90%-100%. Meski demikian, di tahun-

tahun tersebut, jumlah kasus difteri justru cenderung meningkat. Provinsi

Jawa Timur menjadi kontributor terbesar, yakni sebesar 74 persen dari

seluruh kasus di Indonesia pada 2014. Penyakit lain yang angkanya sudah

jauh tertekan di Indonesia adalah polio. Pada 1984, ada lebih dari 800

kasus polio yang tercatat. Setelah pengawasan dan imunisasi yang gencar

selama 10 tahun, hanya ada 24 kasus pada 1994.

Salah satu contoh operasi imunisasi terjadi pada 30 dan 31 Agustus

2005. Saat itu, lebih dari 750 ribu petugas kesehatan mendatangi rumah

warga di seluruh Indonesia untuk melakukan vaksinasi terhadap 24 juta

balita. Ini menjadi perwujudan program Pekan Imunisasi Nasional yang

rutin pemerintah adakan setiap tahun. Imunisasi polio secara massal di

Indonesia pertama kali dilakukan pada 1995, dan sejak saat itu pula,

Indonesia dinyatakan bebas polio. Kasus terakhir polio di Indonesia ada di

Probolinggo, Jawa Tengah. Pengidapnya hanya satu orang pada 23 Juni

9
1995. "Ini tidak akan mungkin terjadi tanpa bantuan masyarakat dan

perencanaan yang matang dari pemerintah," kata Nyoman Kandun, mantan

Dirjen Penanganan Penyakit Menular dan Kesehatan Lingkungan tahun

2005-2008 kepada WHO. Dia mengungkapkan, tanpa kolaborasi dari

semua pihak, upaya pemerintah untuk memberantas penyakit lewat

imunisasi tidak akan berhasil.

Upaya pemerintah yang dimaksud Nyoman adalah Pekan

Imunisasi Nasional (PIN). Program tahunan pemerintah ini memberikan

imunisasi gratis bagi seluruh warga Indonesia. Selain PIN, sebetulnya

pemerintah telah menerapkan Program Pengembangan Imunisasi semenjak

1977. Itu merupakan program yang dicanangkan WHO untuk membasmi

penyakit-penyakit infeksi yang mematikan.

Melihat lebih jauh, imunisasi sebenarnya sudah sampai ke

Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Dalam bukunya Sejarah

Kedokteran di Bumi Indonesia (2005), A A Loedin menjelaskan bahwa

vaksin cacar pertama datang ke Batavia pada Juni 1804. Menurut

Peraturan Dinas Kesehatan Sipil tahun 1820, program imunisasi

dilaksanakan rutin setiap minggu di bawah pengawasan seorang inspektur.

Menurut Loedin, pola tersebut masih jauh dari kata sempurna.

Vaksin-vaksinnya pun masih didatangkan dari Eropa, sehingga

jangkauan imunisasinya masih sangat terbatas. Baru pada 1884, dr.

Schucknik Kool berhasil membuat vaksin dengan menggunakan sapi

sebagai tempat pembiakan di Meester Cornelis (Jatinegara).

10
Sejak saat itu ilmu vaksinasi cacar terus disempurnakan oleh

pribumi terdidik. Bahkan saat ini, Indonesia menjadi salah satu basis

produksi vaksin yang diakui WHO lewat BUMN Biofarma. Menurut

sebuah jurnal berjudul Imunisasi: Sejarah dan Masa Depan, yang dibuat

oleh Samsuridjal Djauzi dan Dirga Sakti Rambe, statistik menunjukkan

cakupan imunisasi nasional sudah cukup baik setiap tahunnya. Kejadian

penyakit spesifik yang dapat dicegah dengan vaksinasi juga relatif

menurun.

Sampai saat ini, Indonesia telah memiliki vaksin BCG, DPT,

Hepatitis B, Campak dan Polio. Imunisasi vaksin-vaksin tersebut pun terus

dilakukan secara rutin. Daftar vaksin ini juga diharapkan terus bertambah.

Masih menurut jurnal di atas, setidaknya sebanyak 300 uji klinis tengah

berlangsung untuk vaksin-vaksin baru.

C. PENGERTIAN PENYAKIT CAMPAK

Campak dalam sejarah anak telah dikenal sebagai pembunuh

terbesar, meskipun adanya vaksin telah dikembangkan lebih dari 30

tahun yang lalu, virus campak ini menyerang 50 juta orang setiap tahun

dan menyebabkan lebih dari 1 juta kematian. Insiden terbanyak

berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas penyakit campak yaitu

pada negara berkembang, meskipun masih mengenai beberapa negara

maju seperti Amerika Serikat.

11
Campak adalah suatu penyakit akut yang sangat menular yang

disebabkan oleh virus. Campak disebut juga rubeola, morbili, atau

measles. Penyakit ini ditularkan melalui droplet ataupun kontak dengan

penderita. Penyakit ini memiliki masa inkubasi 8-13 hari. Campak ditandai

dengan gejala awal demam, batuk, pilek, dan konjungtivitis yang

kemudian diikuti dengan bercak kemerahan pada kulit (rash).

Campak adalah salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah

dengan imunisasi dan masih masalah kesehatan di Indonesia. Penyakit ini

umumnya menyerang anak umur di bawah lima tahun (Balita) akan tatapi

campak bisa menyerang semua umur. Campak telah banyak diteliti,

namun masih banyak terdapat perbedaan pendapat dalam penanganannya.

Imunisasi yang tepat pada waktunya dan penanganan sedini mungkin akan

mengurangi komplikasi penyakit ini.

Campak yang disebut juga dengan measles atau rubeola merupakan

suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh

paramixovirus yang pada umumnya menyerang anak-anak. Penyakit ini

ditularkan dari orang ke orang melalui percikan liur (droplet) yang

terhirup. Campak ialah penyakit infeksi virus akut, menular yang

ditandai dengan 3 stadium, yaitu: stadium kataral, stadium erupsi dan

stadium konvalesensi.

1. Stadium kataral : Di tandai dengan enantem (bercak koplik) pada

mukosa bukal dan faring, demam ringan sampai sedang, konjungtivitis

ringan, koryza, dan batuk.

12
2. Stadium erupsi : Ditandai dengan ruam makuler yang muncul berturut-

turut pada leher dan muka, tubuh, lengan dan kaki dan disertai oleh

demam tinggi.

3. Stadium konvalesensi : Ditandai dengan hilangnya ruam sesuai

urutan munculnya ruam, dan terjadi hiperpigmentasi.

D. VEKTOR PENYAKIT CAMPAK

Campak disebabkan oleh virus RNA dari famili paramixoviridae,

genus Morbillivirus. Selama masa prodormal dan selama waktu

singkat sesudah ruam tampak, virus ditemukan dalam sekresi

nasofaring, darah dan urin. Virus dapat aktif sekurang- kurangnya 34 jam

dalam suhu kamar.

Virus campak dapat diisolasi dalam biakan embrio manusia atau

jaringan ginjal kera rhesus. Perubahan sitopatik, tampak dalam 5-10 hari,

terdiri dari sel raksasa multinukleus dengan inklusi intranuklear. Antibodi

dalam sirkulasi dapat dideteksi bila ruam muncul. Penyebaran virus

maksimal adalah melalui percikan ludah (droplet) dari mulut selama masa

prodormal (stadium kataral). Penularan terhadap penderita rentan sering

terjadi sebelum diagnosis kasus aslinya. Orang yang terinfeksi menjadi

menular pada hari ke 9-10 sesudah pemajanan, pada beberapa keadaan

dapat menularkan hari ke 7. Tindakan pencegahan dengan melakukan

isolasi terutama di rumah sakit atau institusi lain, harus dipertahankan dari

hari ke 7 sesudah pemajanan sampai hari ke 5 sesudah ruam muncul.

13
E. GEJALA KLINIS PENYAKIT CAMPAK

Masa inkubasi 10-20 hari dan kemudian timbul gejala-gejala

yang dibagi dalam 3 stadium, yaitu:

1. Stadium kataral (prodormal)

Stadium ini berlangsung selama 4-5 hari disertai gambaran klinis

seperti demam, malaise, batuk, fotopobia, konjungtivitis, dan coryza.

Menjelang akhir dari stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul

enantem, terdapat bercak koplik berwarna putih kelabu sebesar ujung

jarum dan dikelilingi oleh eritema. Lokasinya di mukosa bukal

yang berhadapan dengan molar bawah. Gambaran darah tepi leukopeni

dan limfositosis.

2. Stadium erupsi

Coryza dan batuk bertambah. Timbul enantem atau titik merah di

palatum durum dan palatum mole. Kadang – kadang terlihat bercak

koplik. Terjadi eritem bentuk makulopapuler disertai naiknya suhu

badan. Diantara macula terdapat kulit yang normal. Mula-mula eritema

timbul dibelakang telinga, bagian atas lateral tengkuk sepanjang

rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat

perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam

mencapai anggota bawah pada hari ke 3, dan menghilang sesuai urutan

terjadinya. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di sudut

mandibula dan di daerah leher belakang. Sedikit terdapat

14
splenomegali, tidak jarang disertai diare dan muntah. Variasi yang

biasa terjadi adalah Black Measless, yaitu morbili yang disertai

dengan perdarahan di kulit, mulut, hidung, dan traktus digesti

3. Stadium konvalesensi

Erupsi berkurang menimbulkan bekas yang berwarna lebih tua atau

hiperpigmentasi (gejala patognomonik) yang lama kelamaan akan

hilang sendiri. Selain itu ditemukan pula kelainan kulit bersisik.

Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik untuk morbilli.

Pada penyakit-penyakit lain dengan eritema atau eksantema ruam kulit

menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai normal

kecuali bila ada komplikasi.

F. DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS PENYAKIT CAMPAK

Diagnosis dibuat dari gambaran klinis, selama stadium

prodormal, sel raksasa multinuklear dapat ditemukan pada apusan

mukosa hidung. Virus dapat diisolasi pada biakan jaringan. Angka leukosit

cenderung rendah dengan limfositosis relatif. Pungsi lumbal pada

penderita dengan ensefalitis campak biasanya menunjukkan kenaikan

protein dan sedikit kenaikan limfosit. Kadar glukosa normal. Bercak

koplik dan hiperpigmentasi adalah patognomonis untuk rubeola/campak.

Prognosis baik pada anak dengan keadaan umum yang baik, tetapi

prognosis buruk bila keadaan umum buruk, anak yang sedang menderita

penyakit kronis atau pabila ada komplikasi.

15
Angka kematian kasus di Amerika Serikat telah menurun pada

tahun-tahun ini sampai tingkat rendah pada semua kelompok umur,

terutama karena keadaan sosioekonomi membaik.

Campak bila dimasukkan pada populasi yang sangat rentan,

akibatnya bencana. Kejadian demikian di pulau Faroe pada tahun 1846

mengakibatkan kematian sekitar seperempat, hampir 2000 dari populasi

total tanpa memandang umur.

G. CARA PENULARAN PENYAKIT CAMPAK

Lesi campak terdapat di kulit, membran mukosa nasofaring,

bronkus, dan saluran cerna dan pada konjungtiva. Eksudat serosa dan

proliferasi sel mononuklear dan beberapa sel polimorfonuklear terjadi

disekitar kapiler. Ada hiperplasi limfonodi, terutama pada apendiks. Pada

kulit, reaksi terutama menonjol sekitar kelenjar sebasea dan folikel

rambut. Bercak koplik pada mukosa bukal pipi berhadapan dengan molar

II terdiri dari eksudat serosa dan proliferasi sel endotel serupa dengan

bercak pada lesi kulit. Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh infeksi

bakteri sekunder.

Pada kasus ensefalomielitis yang mematikan, terjadi demielinisasi

pada daerah otak dan medulla spinalis. Pada SSPE (Subacute Sclerosing

Panencephalitis) dapat terjadi degenerasi korteks dan substansia alba

16
H. PROSES TERJADINYA PENYAKIT CAMPAK

CAMPAK
Menempel pada epitel traktus Tiga hari setelah invasi, replikasi
Virus (ditularkan melalui respiratorius dan kolonisasi berlanjut pada
HAMBATAN infeksi droplet lewat mulai dari hidung sampai traktus
kelenjar limfe regional dan
udara) respiratorius bagian bawah
INTERAKSI SOSIAL terjadi viremia yang pertama

ii
HAMBATAN RESIKO Tebentuklah giant cells karena
INFEKSI adanya proses infeksi oleh virus dan Terjadi viremia menyebar pada semua
timbul peradangan yang merupakan kedua setelah 5- sistem retikuloendotelial NYERI
proses patologik ruam dan infilrat 7 hari dari
peribronchial paru dan menyebar ke
infeksi awal
otak sehingga mengakibatkan edema
serta perdarahan Virus dapat
berbiak juga pada susunan
Pada hari ke-10 sejak awal saraf pusat dan
RISIKO TINGGI infeksi mulai timbul ruam menimbulkan gejala klinik
PERUBAHAN Menyebar juga di kulit dan makulopapuler warna encefalitis
melakukan kolonisasi sehingga kemerahan
mengakibatkan batuk,pilek,mata
merah, dan demam semakin tinggi
RISIKO INTEGRITAS
Terjadilah penurunan masa KULIT
Luka yang dalam di mulut konvelesen dan hipervaskularisasi
Berubah menjadi desquamasi dan
hiperpigmentasi karena pada awalnya terjadi mereda dan menyebabkan ruam
perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit menjadi makin gelap
PERUBAHAN
KETIDAKEFEKTIFAN PROSES KELUARGA
BERSIHAN JALAN NAPAS

17
I. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT CAMPAK

Riwayat alamiah penyakit campak melalui tahap-tahap sebagai berikut :

1. Tahap prepatogenesis

Pada tahap ini individu berada dalam keadaan normal/sehat tetapi

mereka pada dasarnya peka terhadap kemungkinan terganggu oleh

serangan agen penyakit (stage of suseptibility). Walaupun demikian

pada tahap ini sebenarnya telah terjadi interaksi antara penjamu dengan

bibit penyakit. Tetapi interaksi ini masih terjadi di luar tubuh, dalam

arti bibit penyakit masih ada diluar tubuh pejamu dimana para kuman

mengembangkan potensi infektifitas, siap menyerang peniamu. Pada

tahap ini belum ada tanda-tanda sakit sampai sejauh daya tahan tubuh

penjamu masih kuat. Namun begitu penjamunva ‘lengah’ ataupun

memang bibit penyakit menjadi lebih ganas ditambah dengan kondisi

lingkungan yang kurang menguntungkan pejamu, maka keadaan

segera dapat berubah. Penyakit akan melanjutkan perjalanannya

memasuki fase berikutnya, tahap patogenesis.

2. Tahap Patogenesis

Tahap ini meliputi 4 sub-tahap yaitu:

a. Tahap Inkubasi : Masa inkubasi penyakit campak adalah 10-13

hari. Pada tahap ini individu belum merasakan bahwa dirinya sakit

b. Tahap Dini : Mulai timbulnya gejala dalam waktu 7-14 hari setelah

terinfeksi, yaitu berupa Panas badan, nyeri tenggorokan, hidung

18
meler (Coryza), batuk (Cough), Bercak Koplik, nyeri otot, mata

merah.

c. Tahap Lanjut : munculnya ruam-ruam kulit yang berwarna merah

bata dari mulai kecil-kecil dan jarang kemudian menjadi banyak

dan menyatu seperti pulau-pulau. Ruam umumnya muncul pertama

dari daerah wajah dan tengkuk, dan segera menjalar menuju dada,

punggung, perut serta terakhir kaki-tangan. Pada saat ruam ini

muncul, panas si anak mencapai puncaknya (bisa mencapai 40

derajad Celsius), ingus semakin banyak, hidung semakin mampat,

tenggorok semakin sakit dan batuk-batuk kering dan juga disertai

mata merah.

d. Tahap Akhir : berakhirnya perjalanan penyakit campak yang dapat

berada pada 5 keadaan yaitu :

- Sembuh sempurna, yakni bibit penyakit menghilang dan tubuh

menjadi pulih, sehat kembali.

- Sembuh dengan cacat, yakni bibit penyakit menghilang,

penyakit sudah tidak ada, tetapi tubuh tidak pulih sepenuhnya,

meninggalkan bekas gangguan yang permanen berupa cacat.

- Karier, di mana tubuh penderita pulih kembali, namun penyakit

masih tetap ada dalam tubuh tanpa memperlihatkan gangguan

penyakit.

- Penyakit tetap berlangsung secara kronik

- Berakhir dengan kematian

19
J. DETERMINAN KEJADIAN PENYAKIT CAMPAK

1. Host (Pejamu)

Beberapa faktor Host yang meningkatkan risiko terjadinya campak

antara lain:

a. Umur

Pada sebagian besar masyarakat, maternal antibodi akan

melindungi bayi terhadap campak selama 6 bulan dan penyakit

tersebut akan dimodifikasi oleh tingkat maternal antibodi yang tersisa

sampai bagian pertama dari tahun kedua kehidupan. Tetapi, di

beberapa populasi, khususnya Afrika, jumlah kasus terjadi secara

signifikan pada usia dibawah 1 tahun, dan angka kematian mencapai

42% pada kelompok usia kurang dari 4 tahun. Di luar periode ini,

semua umur sepertinya memiliki kerentanan yang sama terhadap

infeksi. Umur terkena campak lebih tergantung oleh kebiasaan

individu daripada sifat alamiah virus.

Di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Australia, anak-anak

menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, tetapi ketika memasuki

sekolah jumlah anak yang menderita menjadi meningkat.

Sebelum imunisasi disosialisasiksan secara luas, kebanyakan

kasus campak di negara industri terjadi pada anak usia 4-6 tahun

ataupun usia sekolah dasar dan pada anak dengan usia yang lebih muda

di negara berkembang. Cakupan imunisasi yang intensif menghasilkan

perubahan dalam distribusi umur dimana kasus lebih banyak pada anak

20
dengan usia yang lebih tua, remaja, dan dewasa muda. Penelitian

Casaeri dengan desain kasus kontrol di Kabupaten Kendal

menyebutkan bahwa anak dengan usia rentan yakni kurang dari 15

tahun memiliki kemungkinan risiko 4,9 kali lebih besar untuk

terinfeksi campak dibanding pada anak umur kurang rentan.

b. Jenis Kelamin

Tidak ada perbedaan insiden dan tingkat kefatalan penyakit

campak pada wanita ataupun pria. Bagaimanapun, titer antibodi

wanita secara garis besar lebih tinggi daripada pria. Kejadian campak

pada masa kehamilan berhubungan dengan tingginya angka aborsi

spontan.

Berdasarkan penelitian Suwono di Kediri dengan desain

penelitian kasus kontrol mendapatkan hasil bahwa berdasarkan jenis

kelamin, penderita campak lebih banyak pada anak laki-laki yakni

62%.

c. Umur pemberian Imunisasi

Sisa antibodi yang diterima dari ibu melalui plasenta

merupakan faktor yang penting untuk menentukan umur imunisasi

campak dapat diberikan pada balita. Maternal antibodi tersebut dapat

mempengaruhi respon imun terhadap vaksin campak hidup dan

pemberian imunisasi yang terlalu awal tidak selalu menghasilkan

imunitas atau kekebalan yang adekuat. Pada umur 9 bulan, sekitar 10%

bayi di beberapa negara masih mempunyai antibodi dari ibu yang

21
dapat mengganggu respons terhadap imunisasi. Menunda imunisasi

dapat meningkatkan angka serokonversi. Secara umum di negara

berkembang akan didapatkan angka serokenversi lebih dari 85% bila

vaksin diberikan pada umur 9 bulan.

Sedangkan di negara maju, anak akan kehilangan antibodi

maternal saat berumur 12-15 bulan sehingga pada umur tersebut

direkomendasikan pemberian vaksin campak. Namun, penundaan

imunisasi dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan

mortalitas akibat campak yang cukup tinggi di kebanyakan

negara berkembang.

Penelitian kohort di Arkansas menyebutkan bahwa jika

dibandingkan dengan anak yang mendapatkan vaksinasi pada usia

>15 bulan, anak yang mendapatkan vaksinasi campak pada usia <12

bulan memiliki risiko 6 kali untuk terkena campak. Sedangkan anak

yang mendapatkan vaksinasi campak pada usia 12-14 bulan

memiliki risiko 3 kali untuk terkena campak dibanding dengan anak

yang mendapat vaksinasi pada usia 15 bulan.

Sedangkan sebuah studi kasus kontrol yang juga dilakukan di

Arkansas menyebutkan bahwa anak yang mendapatkan vaksinasi

campak pada usia 12-14 bulan memiliki kemungkinan risiko terkena

campak 5,6 kali lebih besar dibanding anak yang mendapatkan vaksin

pada usia 15 bulan atau lebih.

d. Pekerjaan

22
Dalam lingkungan sosioekonomis yang buruk, anak-anak lebih

mudah mengalami infeksi silang. Kemiskinan bertanggung jawab

terhadap penyakit yang ditemukan pada anak. Hal ini karena

kemiskinan mengurangi kapasitas orang tua untuk mendukung

perawatan kesehatan yang memadai pada anak, cenderung

memiliki higiene yang kurang, miskin diet, miskin pendidikan.

Frekuensi relatif anak dari orang tua yang berpenghasilan rendah 3

kali lebih besar memiliki risiko imunisasi terlambat dan 4 kali lebih

tinggi menyebabkan kematian anak dibanding anak yang orang tuanya

berpenghasilan cukup.

e. Pendidikan

Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi bagaimana

seseorang untuk bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam

hidupnya. Orang yang berpendidikan lebih tinggi biasanya akan

bertindak lebih rasional. Oleh karena itu orang yang berpendidikan

akan lebih mudah menerima gagasan baru. Pendidikan juga

mempengaruhi pola berpikir pragmatis dan rasional terhadap adat

kebiasaan, dengan pendidikan lebih tinggi orang dapat lebih mudah

untuk menerima ide atau masalah baru.

Penelitian Agunawan di desa Saung Naga Kecamatan Baturaja

Barat dengan desain cross sectional menyebutkan bahwa ada hubungan

antara pendidikan ibu dengan kejadian penyakit campak pada balita

(p=0,000).

23
f. Imunisasi

Vaksin campak adalah preparat virus yang dilemahkan dan

berasal dari berbagai strain campak yang diisolasi. Vaksin dapat

melindungi tubuh dari infeksi dan memiliki efek penting dalam

epidemiologis penyakit yaitu mengubah distribusi relatif umur kasus

dan terjadi pergeseran ke umur yang lebih tua. Pemberian

imunisasi pada masa bayi akan menurunkan penularan agen infeksi

dan mengurangi peluang seseorang yang rentan untuk terpajan pada

agen tersebut. Anak yang belum diimunisasi akan tumbuh menjadi

besar atau dewasa tanpa pernah terpajan dengan agen infeksi tersebut.

Pada campak, manifestasi penyakit yang paling berat biasanya terjadi

pada anak berumur kurang dari 3 tahun. Pemberian imunisasi pada

umur 8-9 bulan diprediksi dapat menimbulkan serokonversi pada

sekurang-kurangnya 85% bayi dan dapat mencegah sebagian besar

kasus dan kematian. Dengan pemberian satu dosis vaksin campak,

insidens campak dapat diturunkan lebih dari 90%. Namun karena

campak merupakan penyakit yang sangat menular, masih dapat terjadi

wabah pada anak usia sekolah meskipun 85-90% anak sudah

mempunyai imunitas.

Sebuah penelitian kohort yang dilakukan terhadap 627 siswa

di Arkansas mendapatkan bahwa anak yang tidak mendapatkan

vaksinasi berisiko 20 kali untuk terkena campak daripada anak yang

memiliki riwayat vaksinasi pada usia 15 bulan atau lebih. Berdasarkan

24
penelitian I Made Suardiyasa di kabupaten Tolitoli Sulawesi Tengah

menyebutkan bahwa anak yang tidak diimunisasi berisiko 29 kali

untuk terkena campak dibanding anak yang mendapat imunisasi.

g. Status gizi

Kejadian kematian karena campak lebih tinggi pada kondisi

malnutrisi, tetapi belum dapat dibedakan antara efek malnutrisi

terhadap kegawatan penyakit campak dan efek yang ditimbulkan

penyakit campak terhadap nutrisi yang dikarenakan penurunan selera

makan dan kemampuan untuk mencerna makanan.

Scrimshaw mencatat bahwa kematian karena campak pada

anak-anak yang ada di desa Guatemala menurun dari 1% menjadi

0,3% tiap tahunnya ketika anak-anak tersebut diberikan suplemen

makanan dengan kandungan protein tinggi. Sedangkan pada desa yang

menjadi kontrol dimana anak-anak tersebut tidak diberikan suplemen

protein, angka kematian menunjukkan angka 0,7%. Tetapi karena

hanya 27% saja dari anak- anak tersebut yang secara teratur

mengkonsumsi protein ekstra, dapat disimpulkan bahwa perubahan

rate yang didapatkan pada kasus observasi tidak seluruhnya

disebabkan oleh suplemen makanan.

Dari sebuah studi dinyatakan bahwa elemen nutrisi utama yang

menyebabkan kegawatan campak bukanlah protein dan kalori tetapi

vitamin A. Ketika terjadi defisiensi vitamin A, kematian atau kebutaan

menyertai penyakit campak. Apapun urutan kejadiannya, kematian

25
yang berhubungan dengan penyakit campak mencapai tingkat yang

tinggi, biasanya lebih dari 10% terjadi pada keadaan malnutrisi.

h. Asi Eksklusif

Sebanyak lebih dari tiga puluh jenis imunoglobulin terdapat di

dalam ASI yang dapat diidentifikasi dengan teknik-teknik terbaru.

Delapan belas diantaranya berasal dari serum si ibu dan sisanya

hanya ditemukan di dalam ASI/kolostrum. Imunoglobulin yang

terpenting yang dapat ditemukan pada kolostrum adalah IgA, tidak saja

karena konsentrasinya yang tinggi tetapi juga karena aktivitas

biologiknya.

2. Agent

Penyebab infeksi adalah virus campak, anggota genus Morbilivirus

dari family Paramyxoviridae.

3. Enviroment

Epidemi campak dapat terjadi setiap 2 tahun di negara berkembang

dengan cakupan vaksinasi yang rendah. Kecenderungan waktu

tersebut akan hilang pada populasi yang terisolasi dan dengan jumlah

penduduk yang sangat kecil yakni <400.000 orang

Status imunitas populasi merupakan faktor penentu. Penyakit akan

meledak jika terdapat akumulasi anak-anak yang suseptibel. Ketika

penyakit ini masuk ke dalam komunitas tertutup yang belum pernah

mengalami endemi, suatu epidemi akan terjadi dengan cepat dan

26
angka serangan mendekati 100%. Pada tempat dimana jarang

terjangkit penyakit, angka kematian bisa setinggi 25%.

K. PENCEGAHAN PENYAKIT CAMPAK

1. Pencegahan

a. Imunisasi aktiv

Imunisasi campak awal dapat diberikan pada usia 12-15

bulan tetapi mungkin diberikan lebih awal pada daerah dimana

penyakit terjadi (endemik). Imunisasi aktif dilakukan dengan

menggunakan strain Schwarz dan Moraten. Vaksin tersebut

diberikan secara subcutan dan menyebabkan imunitas yang

berlangsung lama. Dianjurkan untuk memberikan vaksin morbili

tersebut pada anak berumur 10 – 15 bulan karena sebelum umur 10

bulan diperkirakan anak tidak dapat membentuk antibodi secara

baik karena masih ada antibodi dari ibu. Akan tetapi dianjurkan

pula agar anak yang tinggal di daerah endemis morbili dan terdapat

banyak tuberkulosis diberikan vansinasi pada umur 6 bulan dan

revaksinasi pada umur 15 bulan. Di Indonesia saat ini masih

dianjurkan memberikan vaksin morbili pada anak berumur 9 bulan

ke atas.

Vaksin morbili tersebut dapat diberikan pada orang yang

alergi terhadap telur. Hanya saja pemberian vaksin sebaiknya

ditunda sampai 2 minggu sembuh. Vaksin ini juga dapat diberikan

27
pada penderita tuberkulosis aktif yang sedang mendapat

tuberkulosita. Akan tetapi vaksin ini tidak boleh diberikan pada

wanita hamil, anak dengan tuberkulosis yang tidak diobati,

penderita leukemia dan anak yang sedang mendapat pengobatan

imunosupresif.

b. Imunisasi Pasif

Imunisasi pasif dengan kumpulan serum orang dewasa,

kumpulan serum konvalesens, globulin plasenta atau gamma

globulin kumpulan plasma adalah efektif untuk pencegahan dan

pelemahan campak. Campak dapat dicegah dengan menggunakan

imunoglobulin serum dengan dosis 0,25 mL/kg diberikan secara

intramuskuler dalam

5 hari sesudah pemajanan tetapi lebih baik sesegera

mungkin. Proteksi sempurna terindikasi untuk bayi, anak dengan

penyakit kronis dan untuk kontak dibangsal rumah sakit anak

isolasi.

2. Pengobatan

Simtomatik yaitu antipiretika bila suhu tinggi, sedativum, obat

batuk dan memperbaiki keadaan umum. Tindakan lain adalah

pengobatan segera terhadap komplikasi yang timbul.

Diberikan sedatif, antipiretik untuk demam tinggi, tirah baring dan

masukan cairan yang cukup. Penderita harus dilindungi dari kontak

dengan cahaya yang kuat selama masa fotofobia. Adanya komplikasi

28
seperti ensefalitis, SSPE, bronkopneumonia pada setiap kasus harus

dinilai secara individual.

3. Five level Prevention

a. Health Promotion

Promosi kesehatan (health promotion) merupakan upaya

pencegahan penyakit tingkat pertama. Sasaran dari tahap ini yaitu

pada orang sehat dengan usaha peningkatan derajat kesehatan. Hal

ini juga disebut sebagai pencegahan umum yakni meningkatkan

peranan kesehatan perorangan dan masyarakat secara optimal,

mengurangi peranan penyebab serta derajat risiko serta

meningkatkan secara optimal lingkungan yang sehat (Noor, 2000).

Promosi kesehatan dalam upaya mencegah terjadinya

penyakit campak dalam berbagai upaya seperti :

1) Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang

pentingnya melakukan atau menerapkan PHBS (Perilaku

Hidup Bersih dan Sehat) sejak dini, guna mencegah

terjadinya atau masuknya agent-agent penyakit khususnya

penyakit infeksi seperti virus campak serta memberikan

kesadaran pada masyarakat tentang pentingnya imunisasi

campak.

2) Melakukan seminar-seminar kesehatan bagi masyarakat

tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka

29
peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang optimal,

seperti tata cara dalam melakukan hygiene perorangan

maupun hygiene masyarakat.

3) Melakukan perbaikan lingkungan sosial seperti kepadatan

rumah tangga, hubungan antar anggota rumah tangga dan

lain-lain.

4) Peningkatan kesegaran jasmani seperti; membiasakan diri

melakukan olahraga secara teratur (Noor, 2000).

b. Spesifik Protection

Pencegahan khusus merupakan serangkaian dari health

promotion. Pencegahan khusus ini terutama ditujukan kepada

penjamu dan atau penyebab, untuk meningkatkan daya tahan tubuh

maupun untuk mengurangi resiko terhadap penyakit tertentu

( Noor, 2000).

Pencegahan khusus (spesifik protection) dalam upaya

mencegah terjadinya penyakit campak dapat dilakukan dengan

berbagai upaya seperti :

1) Dapat melakukan modifikasi lingkungan seperti; perbaikan

sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan

dalam hal ini sarana air bersih, jamban keluarga, saluran

pembuangan air limbah (SPAL) dan tempat pembuangan

sampah.

30
2) Perbaikan status gizi perorangan maupun masyarakat, seperti ;

makan dengan teratur (3 kali sehari), mengkonsumsi bahan

makanan yang mengandung zat gizi yang dibutuhkan oleh

tubuh sehingga terbentuk daya tahan tubuh yang lebih baik dan

dapat melawan agent penyakit pada saat masuk kedalam tubuh.

3) Pemberian imunisasi campak ini juga bertujuan untuk

membentuk sistem kekebalan tubuh anak balita melalui anti

gen yang dimasukan kedalam tubuh berupa virus campak yang

telah di lemahkan. Sehingga dengan masuknya anti gen

tersebut kedalam tubuh di harapkan dapat memberikan atau

meningkatkan daya tahan tubuh anak terhadap virus campak

jika menyerangnya (Noor, 2000).

c. Early Diagnosis and Prompt Treatment

Diagnosis dini dan pengobatan dini (early diagnosis and

prompt treatment) merupakan upaya pencegahan penyakit tingkat

kedua. Sasaran dari tahap ini yaitu mereka yang menderita

penyakit atau terancam akan menderita suatu penyakit. Adapun

tujuan dari pencegahan tingkat kedua ini yaitu sebagai berikut :

1) Meluasnya penyakit/terjadinya wabah pada penyakit menular.

2) Menghentikan proses penyakit lebih lanjut dan mencegah

komplikasi.

31
Diagnosis dini dan terapi awal (early diagnosis and prompt

treatment) dalam upaya mencegah terjadinya penyakit campak

dapat dilakukan dengan berbagai upaya seperti :

a) Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui; pemeriksaan

berkala disarana pelayanan kesehatan untuk memastikan bahwa

seseorang benar tidak menderita penyakit campak dan

gangguan kesehatan lainnya.

b) Melakukan screening (pencarian penderita penyakit campak)

melalui penerapan suatu tes atau uji tertentu pada orang yang

belum mempunyai atau menunjukkan gejala dari suatu

penyakit dengan tujuan untuk mendeteksi secara dini adanya

suatu penyakit campak.

c) Melakukan pengobatan dan perawatan penderita penyakit

campak sehingga penderita tersebut cepat mengalami

pemulihan atau sembuh dari penyakitnya (Noor, 2000).

d. Disability Limitation

Pembatasan kecacatan (disability limitation) merupakan

tahap pencegahan tingkat ketiga. Adapun tujuan dari tahap ini yaitu

untuk mencegah terjadinya kecacatan dan kematian karena suatu

penyebab tertentu. Pembatasan kecacatan (disability limitation)

dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan akibat penyakit

campak dapat dilakukan dengan upaya seperti : mencegah proses

penyakit lebih lanjut yaitu dengan melakukan pengobatan dan

32
perawatan khusus secara berkesinambungan atau teratur sehingga

proses pemulihanpun dapat berjalan dengan baik dan cepat. Pada

dasarnya penyakit campak tidak memberikan atau membuat

penderita menjadi cacat pada bagian tubuh tertentu. Akan tetapi hal

ini tidak menutup kemungkinan dapat terjadi jika penderita

mengalami penyakit campak dan disertai dengan infeksi

oleh agent lainnya (Noor, 2000).

e. Rehabilitation

Rehabilitasi (rehabilitation) merupakan serangkaian dari

tahap pemberantasan kecacatan (disability limitation). Rehabilitasi

ini bertujuan untuk berusaha mengembalikan fungsi fisik,

psikologis dan sosial seoptimal mungkin.

Rehabilitasi (rehabilitation) yang dapat dilakukan dalam

menangani penyakit campak yaitu sebagai berikut :

1) Rehabilitasi fisik jika terdapat gangguan fisik akibat penyakit

campak.

2) Rehabilitasi mental/psycho rehabilitation dari penderita

campak, sehingga penderita tidak merasa minder dengan orang

atau masyarakat yang ada disekitarnya karena pernah menderita

penyakit campak.

3) Rehabilitasi sosial bagi penderita campak sehingga tetap dapat

melakukan kegiatan di lingkungan sekitar bersama teman atau

masyarakat lainnya yang berdaya guna (Noor, 2000)

33
L. KOMPLIKASI PENYAKIT CAMPAK

Pada penyakit campak terdapat resistensi umum yang menurun

sehingga dapat terjadi alergi (uji tuberkulin yang semula positif berubah

menjadi negatif). Keadaan ini menyebabkan mudahnya terjadi komplikasi

sekunder seperti :

1. Bronkopneumonia

Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh virus campak atau oleh

pneumococcus, streptococcus, staphylococcus. Bronkopneumonia

ini dapat menyebabkan kematian bayi yang masih muda, anak

dengan malnutrisi energi protein, penderita penyakit menahun seperti

tuberkulosis, leukemia dan lain-lain. Oleh karena itu pada keadaan

tertentu perlu dilakukan pencegahan

2. Kompilkasi neurologis

Kompilkasi neurologis pada morbili seperti hemiplegi,

paraplegi, afasia, gangguan mental, neuritis optica dan ensefalitis.

3. Encephalitis morbili akut

Encephalitis morbili akut ini timbul pada stadium eksantem, angka

kematian rendah. Angka kejadian ensefalitis setelah infeksi morbili

ialah 1:1000 kasus, sedangkan ensefalitis setelah vaksinasi dengan

virus morbili hidup adalah 1,16 tiap 1.000.000 dosis

4. SSPE (Subacute Scleroting panencephalitis)

34
SSPE yaitu suatu penyakit degenerasi yang jarang dari susunan

saraf pusat. Ditandai oleh gejala yang terjadi secara tiba-tiba seperti

kekacauan mental, disfungsi motorik, kejang, dan koma. Perjalan

klinis lambat, biasanya meninggal dalam 6 bulan sampai 3 tahun

setelah timbul gejala spontan. Meskipun demikian, remisi spontan

masih dapat terjadi. Biasanya terjadi pada anak yang menderita

morbili sebelum usia 2 tahun. SSPE timbul setelah 7 tahun

terkena morbili, sedang SSPE setelah vaksinasi morbili terjadi 3 tahun

kemudian.

Penyebab SSPE tidak jelas tetapi ada bukti-bukti bahwa virus

morbilli memegang peranan dalam patogenesisnya. Anak menderita

penyakit campak sebelum umur 2 tahun, sedangkan SSPE bisa timbul

sampai 7 tahun kemudian SSPE yang terjadi setelah vaksinasi campak

didapatkan kira-kira 3 tahun kemudian. Kemungkinan menderita SSPE

setelah vaksinasi morbili adalah 0,5-1,1 tiap 10.000.000, sedangkan

setelah infeksi campak sebesar 5,2-9,7 tiap 10.000.000.

5. Immunosuppresive measles encephalopathy

Didapatkan pada anak dengan morbili yang sedang menderita

defisiensi imunologik karena keganasan atau karena pemakaian obat-

obatan imunosupresif.

35

Anda mungkin juga menyukai