Air Sebagai Komponen Tumbuhan
Air Sebagai Komponen Tumbuhan
PENDAHULUAN
Air merupakan komponen utama tanaman, yaitu membentuk 80-90 % bobot segar jaringan yang
sedang tumbuh aktif. Air sebagai komponen esensial tanaman memiliki peranan antara lain: (a)
sebagai pelarut, di dalamnya terdapat gas, garam, dan zat terlarut lainnya, yang bergerak keluar
masuk sel (b) sebagai pereaksi dalam fotosintesis dan pada berbagai proses hidrolisis (c) air
esensial untuk menjaga turgiditas diantaranya dalam pembesaran sel, pembukaan stomata dan
menyangga bentuk daun-daun muda atau struktur lainnya (Levitt, 1980).
Berbeda dengan sel hewan, sel tumbuhan berdinding, hal ini mengakibatkan timbulnya
tekanan hidrostatik yang disebut turgor, hasil dari perimbangan air tersebut. Tekanan turgor sangat
penting untuk berbagai proses fisiologis, antara lain pembesaran sel, pertukaran gas pada daun,
transpor dalam floem, serta proses transpor melintasi membran. Tekanan turgor juga berperan
dalam kekakuan serta kestabilan mekanis jaringan tanaman (Steudle, 2001).
Kuantitas air yang dibutuhkan oleh tanaman sangat berbeda-beda sesuai dengan jenis
dan lingkungan dimana tumbuhan itu hidup. Tanaman herba menyerap air lebih banyak
dibandingkan tanaman perdu. Tumbuhan golongan xerofit yang hidup di daerah gurun, akan
memanfaatkan hujan yang datang sekali setahun untuk mulai hidup dan berkecambah, berbunga,
berbuah dan mati sebelum air yang ada dalam tanah habis (Dwijoseputro, 1994).
Pentingnya air sebagai pelarut dalam organisme tampak jelas, misalnya pada proses
osmosis. Dalam satu daun, volume sel dibatasi oleh dinding sel dan relatif hanya sedikit aliran air
yang dapat diakomodasi oleh elastisitas dinding sel. Konsekuensi tekanan hidrostatis (tekanan
turgor) berkembang dalam vakuola menekan sitoplasma melawan permukaan dalam dinding sel
dan meningkatkan potensial air vakuola. Dengan naiknya tekanan turgor, sel-sel yang berdekatan
saling menekan, dengan hasil bahwa sehelai daun yang mulanya dalam keadaan layu menjadi
bertambah segar (turgid). Pada keadaaan seimbang, tekanan turgor menjadi atau mempunyai nilai
maksimum dan disini air tidak cenderung mengalir dari apoplast ke vakuola (Fitter dan Hay, 1991).
Plasmolisis adalah suatu proses lepasnya protoplasma dari dinding sel yang diakibatkan
keluarnya sebagian air dari vakuola (Salisbury and Ross, 1992). Menurut Tjitrosomo (1987), jika sel
dimasukan ke dalam larutan gula, maka arah gerak air neto ditentukan oleh perbedaan nilai
potensial air larutan dengan nilainya didalam sel. Jika potensial larutan lebih tinggi, air akan
bergerak dari luar ke dalam sel, bila potensial larutan lebih rendah maka yang terjadi sebaliknya,
artinya sel akan kehilangan air. Apabila kehilangan air itu cukup besar, maka ada kemungkinan
bahwa volume sel akan menurun demikian besarnya sehingga tidak dapat mengisi seluruh
ruangan yang dibentuk oleh dinding sel. Membran dan sitoplasma akan terlepas dari dinding sel,
keadaan ini dinamakan plasmolisis. Sel daun Rhoeo discolor yang dimasukan ke dalam larutan
sukrosa mengalami plasmolisis. Semakin tinggi konsentrasi larutan maka semakin banyak sel yang
mengalami plasmolisis.
Keadaan volume vakuola dapat untuk menahan protoplsma agar tetap menempel pada
dinding sel sehingga kehilangan sedikit air saja akan berakibat lepasnya protoplasma dari dinding
sel. Peristiwa plasmolisis seperti ini disebut plasmolisis insipien. Plasmolisis insipien terjadi pada
jaringan yang separuh jumlahnya selnya mengalami plasmolisis. Hal ini terjadi karena tekanan di
dalam sel = 0. potensial osmotik larutan penyebab plasmolisis insipien setara dengan potensial
osmotik di dalam sel setelah keseimbangan dengan larutan tercapai (Salisbury and Ross, 1992).
Kondisi sel yang terplasmolisis tersebut dapat dikembalikan ke kondisi semula.
Pengembalian dari kondisi terplasmolisis ke kondisi semula ini dikenal dengan istilah
deplasmolisis. Prinsip kerja dari deplasmolisis ini hamper sama dengan plasmolisis. Tapi
konsentrasi medium dibuat hipotonis sehingga yang terjadi adalah cairan memenuhi ruang antar
dinding sel dengan membran sel bergerak keluar, sedangkan air yang berada di luar bergerak
masuk ke dalam dan dapat menembus membran sel karena membran sel mengizinkan molekul-
molekul air untuk masuk ke dalam. Masuknya molekul ari ke dalam tersebut mengakibatkan ruang
sitoplasma terisi kembali dengan cairan sehingga membran sel kembali dengan cairan sehingga
akibat timbulnya tekanan turgor akibat gaya kohesi dan adhesi air yang masuk. Akhir dari peristiwa
ini adalah sel kembali ke keadaan semula (Ferdinan dan Ariwibowo, 2007).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa osmosis adalah difusi air melalui selaput yang
permeabel secara differensial dari suatu tempat berkonsentrasi tinggi ketempat berkonsentrasi
rendah. Pertukaran air antara sel dan lingkungan adalah suatu faktor yang sangat penting
sehingga memerlukan suatu penamaan khusus yaitu osmosis( Salisbury,1995).
Suatu percobaan yang menunjukan proses osmosis adalah suatu percobaan yang
mengamati suatu lubang bawah dari tabung gelas ditutup dengan selaput. Selaput itu berfungsi
sebagai membran permeabel secara diferensiasi, yang meloloskan melekul-molekul air secara
cepat, tetapi menghalangi molekul yang lebih besar (Dwidjoseputro,1984).
Tekanan osmosis cairan dapat ditentukan dengan cara mencari suatu larutan yang
mempunyai tekanan osmosis sama dengan cairan tersebut. Dalam cara ini kita dapat mengambil
patokan pada terjadinya peristiwa plasmolisis sel.dalam keadan insipien plasmolisis tekanan
osmosis cairan sel adalah sama dengan tekanan osmosis larutan dalam massa jaringan sel
tersebut direndam. Plasmolisis dapat dilihat dibawah mikroskop sebagai suatu percobaan (Lakitan,
2004).
Adanya potensial osmosis cairan sel air murni cenderung untuk memasuki sel, sedangkan
potensial turgor yang berada di dalam sel mengakibatkan air untuk cenderung meninggalkan sel.
Saat pengaturan potensial osmosis maka potensial turgor harus sama dengan 0. Agar potensial
turgor sama dengan 0 maka haruslah terjadi plasmolisis. Plasmolisis adalah suatu proses lepasnya
protoplasma dari dinding sel yang diakibatkan keluarnya sebagian air dari vakuola (Salisbury and
Ross, 1992). Penentuan nilai osmotic cairan sel dapat pula dilakukan dengan metode “Chardakov”.
PELAKSANAAN PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Senin 23 Februari 2015 pada pukul 14.00 WIB di
Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Universitas Andalas, Padang.
Cara Kerja
Percobaan A. Plasmolisis dan deplasmolisis pada jaringan epidermis.
Permukaan epidermis bawah Rhoe discolor disayat selapis tipis dengan menggunakan pisau silet
yang tajam. Potongan tersebut diletakkan pada kaca objek dan ditetesi 2-3 tetes air, ditutup
dengan cover glass dan diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran rendah. Sel-sel yang
bewarna ungu ditepi irisan diamati antara lain adanya sel-sel yang tidak berpigmen, adanya
nucleus, dan partikel subsel lainnya didalam sel. Kemudian ditambah 2- 3 tetes NaCl 1 M diantara
gelas preparat dan kaca penutup melalui salah satu sisinya. Air yang berlebihan di tepi kaca dilap
dengan menngunakan tissue. Penambahan tetesan larutan sukrosa terus dilakukan sehingga ikut
terserap oleh kertas tissue kedalam kaca. Kemudian diamati penurunan volume protoplas dan
perhatikan benang-benang sitoplasmatik tak berpigmen tetap melekat pada dinding sel dan dicatat
waktunya. Lalu kertas tissue diletakkan untuk menyerap NaCl 1M dan ditambahkan lagi beberapa
tetes air disisi kaca berlawanan. Diamati. Lakukan hal yang sama untuk larutan Nacl 1 M
ditambahkan dengan air.
Di isi 7 tabung reaksi dengan aquades sebanyak 15 mL, kemudian isi tabung reaksi ke 8 dengan
metanol, dan tabung reaksi ke-9 dengan aseton sebanyak 15. Dibuat potongan umbi Ipoemea
batatas dengan menggunakan pengebor gabus sebanyak 9 potong. Potongan pertama masukan
ke dalam tabung reaksi berisi aquades, dijadikan sebagai kontrol. Panaskan selama satu menit
potongan ke dua hingga ke enam dengan suhu 40 0C, 500C, 600C, 700C, dan 800C, setelah
dipanaskan masukan kedalam tabuang reaksi berisi aqudes, tutup dengan alumunium foil dan beri
label. Potongan umbi ke tujuh didinginkan dalam suhu 4-5 0C selama satu menit masukan kedalam
tabuang reaksi berisi aqudes, tutup dengan alumunium foil dan beri label. Potongan umbi ke
delapan dimasukan kedalam tabuang reaksi berisi metanol, dan potongan umbi ke sembilan
dimasukan kedalam tabuang reaksi berisi aseton. Disimpan selama satu jam, setelah satu jam
umbi dikeluarkan, dihitung nilai absorbane menggunakan absorbanemeter.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, didapatkan hasil yaitu pada perlakuan pertama
dimana sayatan epidermis Rhoeo discolor yang ditambahkan aquades menunjukkan sel berada
dalam keadaan normal, dimana dinding sel tidak mengalami pengkerutan dan sel memiliki banyak
pigmen antosianin. Kemudian sel mengalami plasmolisis ketika ditambahkan dengan NaCl, yaitu
dinding sel mengalami pengekerutan dan banyak sel yang kehilangan pigmen antosianin.
Selanjutnya sel akan mengalami deplasmolisis ketika ditambahkan dengan aquades kembali,
dimana dinding sel mulai mengembah dan jumlah sel yang berpigmen hampir mendekati jumlah
sel saat keadaan normal.
Menurut (Rostika, 2007), sebagaimana diketahui bahwa plasmolisis dapat terjadi pada
lingkungan dengan molaritas yang tinggi, dan durasi yang lebih lama akan memperparah tingkat
plasmolisis sel. Durasi rendam selama 45 menit ternyata dapat menyebabkan penurunan daya
hidup kultur hingga 30% sehingga perlakuan tersebut tidak direkomendasikan. Perlakuan yang
optimal adalah durasi rendam 30 menit.
Kembalinya kondisi sel yang telah terplasmolisis ke keadaan semula disebut dengan
deplasmolisis. Deplasmolisis merupakan kebalikan dari plasmolisis, yaitu menyatunya kembali
membran plasma yang telah lepas dari dinding sel. Deplasmolisis terjadi jika sel tumbuhan
diletakkan di larutan hipotonik, sel tumbuhan akan menyerap air dan juga tekanan turgor
meningkat. Banyaknya air yang masuk ke dalam sel akan menyebabkan terjadinya deplasmolisis.
Membran plasma akan mengembang sehingga akan melekat kembali pada dinding sel (Campbell,
2002).
Hal ini menandakan bahwa sel akan kembali pulih jika diberikan penetralan atau dibilas
dengan pelarut murni seperti air. Air dapat melarutkan lebih banyak jenis bahan kimia dibandingkan
dengan zat cair lainnya. Sifat ini disebabkan karena air memiliki konstanta dielektrik yang sangat
tinggi . Konstanta merupakan ukuran untuk menetralisisr daya tarik menarik antara molekul atau
atom yang bermuatan listrik berbeda (Lakitan, 2004).
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka dapat diketahui bahwa tekanan osmotik
yang diberikan oleh masing-masing konsentrasi akan berbeda-beda. Hal itu dapat dilihat pada
presentase plasmolisis yang terjadi pada daun Rhoeo discolor yang juga berbeda. Penentuan ini
dilakukan dengan cara menghitung jumlah sel yang berwarna ungu di awal dan sel yang berwarna
ungu diakhir setelah dilakukan perendaman dalam kosentrasi larutan yang berbeda. Semakin
tinggi konsentrasi maka akan semakin tinggi jumlah sel yang terplasmolisis.
Larutan yang di dalamnya terdapat sekumpulan sel dimana 50% berplasmolisis dan 50%
tidak berplasmolisis disebut plasmolisis insipien. Plasmolisis ini terjadi apabila sel berada dalam
keadaan tanpa tekanan. Nilai potensial osmosis sel dapat diketahui dengan menghitung nilai
potensial osmosis larutan sukrosa yang isotonik terhadap cairan sel. Berdasarkan hasil praktikum,
plasmolisis insipien terjadi pada konsentrasi 0,16 M dengan potensial osmosis 44,8 %. Menurut
Salisbury dan Ross (1992), potensial air murni pada tekanan atmosfer dan suhu yang sama
dengan larutan tersebut sama dengan nol, maka potensial air suatu larutan air pada tekanan
atmosfer bernilai negatif.
Hal ini disebabkan oleh tingginya molaritas media dengan sukrosa berkonsentrasi tinggi
sehingga sel mengalami plasmolisis di mana proses keluarnya air dari dalam sel justru lebih
dominan daripada proses penyerapan nutrisi. Sebagaimana sifat membran sel yang semi
permeabel, sel akan menyerap nutrisi (bersama dengan penyerapan air) jika molaritas larutan
pada lingkungannya adalah lebih rendah daripada molaritas cairan di dalam sel (Rostika, 2007).
Dari 10 perlakuan, 9 perlakuan dengan konsentrasi sukrosa berbeda mengalami
plasmolisis sedangkan 1 perlakuan yang dijadikan kontrol tidak mengalami plasmolisis. Hal ini
sesuai dengan pendapat Tjitrosomo (1987), bahwa sel yang isinya air murni tidak mengalami
plasmolisis. Jika suatu sel dimasukan ke dalam air murni, maka struktur sel itu terdapat potensial
air yang nilainya tinggi (0), sedangkan di dalam sel terdapat nilai potensial air yang lebih rendah
(negatif). Hal ini menyebabkan air akan bergerak dari luar sel masuk ke dalam sel sampai tercapai
keadaan setimbang.
C. Mengukur Potensi air jaringan dengan metoda chardakov
(Sumber : 1B kelas D)
D. Melihat pengaruh suhu dan senyawa kimia terhadap permeabilitas membran sel
1. Kontrol 0,01
2. 40 0,04
3. 50 0
4. 60 0,01
5. 70 0,01
6. 80 0,01
1. 4–5 0,02
1. Aseton 0,01
2. Metanol 0,01
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dengan tiga perlakuan yaitu panas, dingin dan
pemberian senyawa kimia. Pada perlakuan panas, keadaan umbi jalar sewaktu perendaman
adalah tenggelam ke dasar tabung reaksi.Tidak ada pengaruh yang tampak jelas sewaktu terjadi
perendaman di dalam air. Perbedaan yang terjadi adalah pada nilai absorban yang didapat. Nilai
absorban yang tinggi adalah pada suhu 400C dengan nilai 0,04 nm. Nilai absorban yang terendah
adalah pada suhu 50oC dengan panjang gelombang 0 nm. Walaupun jenis umbi yang direndam
adalah sama, tetapi nilai absorban yang didapat dari absorban adalah berbeda dikarenakan
panjnag gelombang yang digunakan dalam melakukan pengukuran berbeda.
Dari literatur yang ada, menunjukan nilai absorban akan semakin berpengaruh atau
bertambah besar seiring dengan penambahan suhu. Tetapi hasil yang kami dapat tidak sesuai
dengan yang ada dalam literatur karena nilai absorban yang didapat beragam. Perbedaan
permeabilitas sangat bergantung pada besar kecilnya molekul yang lewat dan ditentukan dengan
besarnya pori-pori membran. Tapi pada membran plasma sel hidup besarnya molekul tidak
berpengaruh, hal ini disebabkan adanya kaitan antara kelarutan zat dalam salah satu komponen
membrane (Dwijoseputro, 1994).
Pada perlakuan dingin, umbi yang direndam tengelam dan tidak ada perbedaan hasil
yang nyata. Nilai absorban yang didapat dari suhu 40C 0,02 nm. Menurut Hayati (2002),
perubahan fisik di dalam sel selama kriopreservasi berkaitan dengan derajat penurunan suhu.
Prinsip utama dari derajat penurunan suhu ialah kecepatan optimum yang dapat memberi
kesempatan air keluar dari sel secara kontinu bertahap sebagai respons sel terhadap kenaikan
konsentrasi larutan ekstraseluler yang semakin tinggi di antara kristal es yang terbentuk. Jika
derajat penurunan suhu berlangsung lambat, air akan banyak keluar dari sel untuk mencapai
keseimbangan potensial kimiawi air intraseluler dan ekstraseluler serta terjadi dehidrasi untuk
menghindari pembekuan intraseluler. Apabila media pengencer didinginkan di bawah tingkat
pendinginan maka kristal es menggumpal dan air akan mengalami pengkristalan keluar sebagai
es.
Jika derajat penurunan suhu berlangsung cepat, keseimbangan potensial air akan
terganggu dan air intraseluler akan membeku. Pada derajat penurunan suhu yang sangat cepat
akan terbentuk kristal es yang halus di dalam sel yang mempunyai energi permukaan yang besar
dan tidak stabil serta cenderung membentuk kristal es yang besar. Kondisi ini akan mengakibatkan
kerusakan dan kematian sel (Hayati, 2002).
Pada perlakuan kimia maka didapatkan nilai absorban yang berbeda pula. Pada
pengukuran panjang gelombang 525 aseton memiliki absorban senilai 0,324 nm, berbeda dengan
methanol senilai 0,001 nm. Sedangkan pada panjang gelombang 540 nilai absorban aseton yaitu
1,290 nm dan pada methanol senilai 0,021 nm.
Pada perlakuan kimia dapat dilihat nilai absorban yang didapatkan pada larutan aseton
sama dengan larutan methanol. Hal ini tidak sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa
aseton lebih tinggi dari pada metanol yang berarti senyawa methanol bersifat lebih polar dibanding
aseton, sehingga aseton akan lebih mudah melarutkan membran sela yang bersifat polar. Zat
terlarut yang terdapat dalam sel akan cepat keluar jika sela dilarutkan dengan aseton dibandingkan
dengan metanol. Ini merupakan penyerapan positif dan berlaku pula untuk pelarut lainnya
( Salisbury dan Ross, 1995).
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan maka dapat ditarik kesimpulan yaitu
1. Plasmolisis terjadi lebih lama daripada Deplasmolisis, Plasmolisis terjadi selama 3 menit dan
deplasmolisis terjadi selama 1 menit 27 detik.
2. Plasmolisis insipient terjadi pada larutan berkonsentrasi 0,16 M yang mendekati 50% yaitu
sekitar 44,8 %.
3. Potensial air berbeda-beda pada tiap konsentrasi, terjadi arah pergerakan berbeda. Pada
konsentrasi 0,2 M melayang, 0,1 M, 0,3 M, 0,4 M, 0,5 M dan 0,6 M mengapung.
4. Pada pengaruh suhu panas, nilai absorban paling tinggi yaitu 0,04 nm pada suhu 40 oC, pada
suhu dingin 0,02 nm pada suhu 4oC-5oC, serta pengaruh senyawa kimia seperti aseton dan
metanol nilai absorban sama yaitu 0,01 nm.
DAFTAR PUSTAKA
Fitter, A.H dan R.K.M. Hay. 1998. Fisiologi Lingkungan Tanaman.Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Lakitan, Benjamin. 2004. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Levitt, J. 1980. Responses of plants to environmental stresses: Water, radiation, salt, and other
stresses. Vol II. Academic Press. New York-London;Toronto;Sydney-San Francisco.
Rostika. 2007. Kriopreservasi Tanaman Purwoceng (Pimpinella Pruatjan Molk.) dengan Teknik
Vitrifikasi. Berita Biologi 8(6). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi
dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor
Salisbury, B. Frank dan Cleon W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid I. ITB: Bandung.
Salisbury, F. B dan C.W. Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Terjemahan oleh Diah R. Lukman
dan Sumaryono, 1995. Penerbit ITB. Bandung.
Steudle E. 2001. The cohesion-tention mechanism and the acquisition of water by plant roots.
Annu. rev. Plant Physiol. Mol. Biol. 52:847:75.