Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM

Transpirasi dan Respirasi


disusun untuk memenuhi mata kuliah praktikum Fisiologi Tumbuhan

Nama : Ghaida ‘Afifah Wahyu Putri


NPM : 140410200031
Kelompok : 1A

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2022
LAPORAN PRAKTIKUM
TRANSPIRASI
5
6
7
7.1 Tujuan Praktikum
1. Mengukur jumlah air yang hilang dari tanaman pada proses transpirasi dengan cara
penimbangan.
7.2 Pembahasan
Peristiwa hilangnya air pada tumbuhan terdiri atas 5 peristiwa. Peristiwa yang
pertama, yaitu transpirasi. Transpirasi merupakan peristiwa kehilangan air atau
penguapan melalui permukaan tumbuhan. Transpirasi termasuk ke dalam siklus air pada
tahapan hilangnya uap air dari bagian tanaman terutama pada daun. Peristiwa yang
kedua, yaitu gutasi. Gutasi merupakan pelepasan air dalam bentuk tetesan air melalui
hidatoda yang tersebar pada ujung tulang daun atau ujung daun. Peristiwa yang ketiga,
yaitu pelepasan air melalui lentisel. Peristiwa keempat, yaitu pelepasan air melalui
eksudasi pada akar dan peristiwa kelima, yaitu pelepasan air dalam bentuk lendir atau
getah (Advinda, 2018). Selain itu, evaporasi juga termasuk dalam peristiwa kehilangan
air. Hanya saja, evaporasi terjadi pada sungai, laut, danau, reservoir (permukaan air
bebas), dan permukaan tanah (Gode dkk., 2020).
Penguapan air pada transpirasi dapat terjadi melalui stomata, kutikula, dan
lentisel. Sebagian besar peristiwa transpirasi terjadi melalui stomata. Transpirasi
melalui stomata terjadi ketika air menguap dari dinding-dinding sel mesofil yang jenuh
air ke ruang-ruang antarsel. Setelah itu, uap air berdifusi melalui stomata dari ruang-
ruang antarsel menuju ke atmosfer. Transpirasi pada tumbuhan melalui kutikula hanya
sebesar 10% atau kurang dari jumlah air yang hilang melalui daun-daun. Transpirasi
melalui kutikula terjadi secara langsung melalui kutikula epidermis. Sementara
transpirasi melalui lentisel hanya sekitar 0.1%. Transpirasi melalui lentisel terjadi pada
kulit kayu berisi sel-sel yang tersusun lepas (Silaen, 2021).
Pada tanggal 21 April 2022, telah dilaksanakan praktikum berjudul “Transpirasi”.
Untuk praktikum transpirasi kali ini, digunakan dua metode untuk menguji transpirasi
pada tumbuhan. Kedua metode tersebut adalah metode transpirasi menggunakan kobalt
klorida dan metode potometer. Alat yang diperlukan untuk metode kobalt klorida di
antaranya, batang pengaduk, botol vial, cawan petri, gelas kimia, gunting, kaca objek,
dan pinset. Sementara itu, bahan yang diperlukan adalah aquades, kobalt klorida, kertas
saring, dan solatip. Alat yang diperlukan untuk metode potometer adalah bak air, cutter,
potometer, pinset, dan selang, sedangkan bahan yang dibutuhkan adalah air dan
setangkai daun.
Prosedur pertama praktikum transpirasi dengan metode kobalt klorida adalah
dilakukan pembuatan larutan kobalt klorida 3%. Selanjutnya, kertas saring dimasukkan
ke dalam larutan tersebut dan didiamkan selama 1 menit. Setelah itu, kertas saring
diangkat menggunakan pinset dan dipindahkan ke cawan petri. Cawan petri berisi
kertas saring tersebut kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari atau di dalam
oven. Setelah kering yang ditandai dengan kertas berwarna biru, kertas saring yang
belum digunakan disimpan di dalam botol vial. Selanjutnya, kertas saring diletakkan di
bagian atas dan bawah daun lalu masing-masing bagian atas dan bawah ditutup
menggunakan kaca objek dan diberi perekat. Hasil pada video yang ditayangkan
menunjukkan bahwa kertas saring mengalami perubahan warna dari biru menjadi merah
muda. Hal tersebut sesuai dengan prinsip metode transpirasi dengan kobalt klorida.
Menurut Khairuna (2019), prinsip dari metode kobalt klorida adalah kertas akan
berwarna biru cerah ketika kering dan akan berwarna biru pucat lalu perlahan berubah
menjadi merah jambu ketika menyerap air. Perubahan warna pada kertas saring tersebut
menunjukkan bahwa daun yang ditempeli oleh kertas saring mengalami transpirasi.
Metode selanjutnya, yaitu transpirasi menggunakan potometer. Sebelum
mengukur laju transpirasi menggunakan potometer, pipet dan selang diisi air terlebih
dahulu dengan cara dimasukkan ke dalam bak air secara perlahan untuk menghindari
adanya gelembung. Selanjutnya, setangkai daun dimasukkan ke dalam bak air lalu
batang daunnya dipotong di dalam air. Ujung batang tersebut disambungkan ke dalam
selang lalu selang disambungkan ke dalam pipet. Selanjutnya, vaseline atau perekat
ditempelkan pada bagian yang terhubung. Setelah itu, potometer diletakkan secara
perlahan pada stand dan didiamkan selama 24 jam. Kemudian, pergerakan air diamati
dan dicatat. Hasil dari transpirasi menggunakan potometer menunjukkan bahwa air
bergerak dari ujung batang ke pipet. Hal tersebut menunjukkan bahwa tumbuhan
melakukan transpirasi, sesuai dengan prinsip potometer. Khairuna (2019) menyatakan
bahwa prinsip pada potometer adalah mengukur pengambilan air oleh potongan pucuk
dengan asumsi air tersedia dengan bebas untuk tumbuhan. Jumlah air yang diambil oleh
potongan pucuk tersebut akan sama dengan jumlah air yang dikeluarkan oleh
transpirasi.
Transpirasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal tumbuhan. Faktor
internal pertama adalah penutupan stomata. Stomata yang terbuka akan membuat air
menguap. Mekanisme membuka dan menutupnya stomata pada tumbuhan yang toleran
terhadap cekaman kekeringan sangat efektif sehingga jaringan tanaman dapat
menghindari kehilangan air melalui penguapan (Hidayati dkk., 2017). Faktor internal
kedua adalah ukuran dan kerapatan stomata. Jumlah stomata yang lebih sedikit akan
menyebabkan kehilangan air melalui transpirasi semakin kecil (Sakiroh dan Aunillah,
2020). Faktor internal ketiga adalah banyaknya daun pada tumbuhan. Jumlah daun pada
suatu tumbuhan memengaruhi kemampuan tumbuhan untuk melakukan transpirasi
karena banyaknya jumlah daun sebanding dengan banyaknya stomata. Tersedianya
stomata dalam jumlah yang banyak dengan kemampuan bukaan yang optimum dapat
meningkatkan laju transpirasi pada tanaman (Lakitan, 2011). Faktor internal ketiga
adalah penggulungan daun. Penggulungan daun disebabkan oleh cekaman kekeringan
sehingga daun mengalami penurunan luas. Dalam kondisi kering, tanaman akan
beradaptasi dengan memperkecil luas permukaan daun agar tidak terjadi transpirasi
secara berlebihan (Widianti dkk., 2017).
Faktor eksternal yang mempengaruhi transpirasi, yaitu kelembapan, temperatur,
sinar matahari, angin, dan ketersediaan air tanah. Angin berperan dalam pembuatan
menjadi uap air sehingga bisa terjadi penguapan. Gejala laju transpirasi dan
konduktivitas stomata tampak terkait langsung dengan keadaan kadar air dan
kelembaban tanahnya. Semakin tinggi kelembapan dan kadar air tanah semakin tinggi
laju transpirasinya sehingga ketersediaan air tanahnya lebih besar yang menjamin
pasokan air untuk menggantikan volume air yang hilang melalui transpirasi. Apabila air
tanah tersedia dalam jumlah cukup, transpirasi akan terus berlangsung. Sinar matahari
akan menyebabkan stomata terbuka, juga menyebabkan suhu meningkat. Suhu yang
tinggi akan menyebabkan penguapan sehingga laju transpirasi meningkat (Suryani dkk.,
2003).
Transpirasi dimulai dari penyerapan air ke dalam akar secara osmosis. Sebagian
besar air akan bergerak menurut gradien potensial air melalui xilem. Air yang masuk ke
dalam xilem akan mengalami tekanan besar karena penguapan yang berlangsung di
bagian atas. Selanjutnya, sebagian ion akan bergerak melalui simplas dari epidermis
akar ke xilem lalu ke atas melalui arus transportasi (Silaen, 2021). Mesofil daun sel-
selnya tersusun renggang dengan adanya ruang-ruang udara dan dikelilingi oleh
dinding-dinding sel mesofil yang jenuh terhadap air. Setelah tiba di mesofil daun, air
akan menguap dari dinding-dinding yang basah tersebut menuju ruang antarsel.
Selanjutnya, terjadi difusi melalui stomata dari ruang antarsel ke atmosfer di luar. Pada
saat stomata terbuka, difusi uap air ke atmosfer akan terjadi. Namun, difusi akan sulit
terjadi bila atmosfer memiliki kelembapan yang tinggi karena difusi hanya dapat terjadi
jika terdapat selisih konsentrasi uap air antara ruang udara dalam daun dan udara luar.
Tumbuhan mengontrol cairan pada jaringannya melalui beberapa mekanisme. Salah
satunya adalah mengendalikan laju hilangnya air, terutama melalui transpirasi
(Advinda, 2018). Ketersediaan air dalam tumbuhan kaitannya erat dengan transpirasi.
Tanaman tidak akan mampu hidup tanpa air karena air adalah faktor utama yang
berperan dalam proses fisiologi tanaman. Namun, ketersediaan air di dalam tanah
merupakan salah satu cekaman abiotik yang dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Oleh karena itu, transpirasi pada tumbuhan memiliki peran
yang penting untuk mengatasi hal tersebut dengan mengendalikan laju hilangnya air
(Felania, 2017).
Laju transpirasi dapat terganggu karena cekaman kekeringan yang dialami
tanaman. Tanaman mengalami kekurangan air akibat keterbatasan air dalam lingkungan
tempat tumbuhnya (Felania, 2017). Selain karena kurangnya suplai air di lingkungan,
cekaman kekeringan juga dapat disebabkan oleh peristiwa transpirasi yang terjadi
secara berlebihan sehingga tumbuhan menjadi kehilangan banyak air (Silaen, 2021).
Terganggunya transpirasi akibat kekurangan air dapat memengaruhi semua aspek
perutmbuhan pada tanaman, meliputi proses fisiologi, biokimia, anatomi, dan
morfologi. Ketika tumbuhan kekurangan air, sebagian stomata daun akan menutup
sehingga masuknya CO2 ke dalam tumbuhan menjadi terhambat dan aktivitas
fotosintesis pun menurun. Tanaman yang kekurangan air juga umumnya akan
mengalami hambatan saat proses sintesis protein dan dinding sel sehingga ukurannya
menjadi lebih kecil jika dibandingkan dengan tumbuhan yang normal (Song dkk.,
2011).
7.3 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa
transpirasi pada tumbuhan dapat dibuktikan dengan metode transpirasi dengan kobalt
klorida ataupun metode potometer. Beberapa tumbuhan mengalami transpirasi untuk
mengendalikan laju kehilangan air agar ketersediaan air di dalam tumbuhan dapat tetap
terjaga. Transpirasi pada tumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internalnya, di antaranya, penutupan stomata, kerapatan stomata,
jumlah daun pada tumbuhan, dan penggulungan daun. Sementara faktor eksternalnya
terdiri atas kelembapan, temperatur, sinar matahari, angin, dan ketersediaan air tanah.

7.4 Daftar Pustaka


Advinda, L. 2018. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Yogyakarta: Deepublish
Publisher.
Felania, C. 2017. Pengaruh Ketersediaan Air terhadap Pertumbuhan Kacang Hijau
(Phaseolus radiatus). Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan
Biologi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Gode, D., Kurnianto, Y. F., dan Kusumastuti, C. 2020. perbandingan nilai
evapotranspirasi menggunakan metode thornthwaite dan blaney-cridle di
Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Flores
Timur. Jurnal Dimensi Pratama Teknik Sipil, 9(1), 64-69.
Hidayati, N., Hendrati, R.L., Triani, A., dan Sudjino. 2017. Pengaruh kekeringan
terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman nyamplung (Callophylum
inophyllum L.) dan johar (Cassia florida Vahl.) dari provenan yang berbeda.
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 11(2), 99-111.
Khairuna. 2019. Diktat Fisiologi Tumbuhan. Medan: Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara.
Lakitan, B. 2011. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Rajawali Press.
Sakiroh, S., dan Aunillah, A. 2020. Bentuk, Ukuran dan Kerapatan Stomata Daun dari
Lima Varietas Kopi Arabika (Coffea arabika L.). In Seminar Nasional Lahan
Suboptimal (No. 1).
Silaen, S. 2021. Pengaruh transpirasi tumbuhan dan komponen di dalamnya.
Agroprimatech, 5(1), 14-20.
Song, Nio, Banyo, dan Yunia. 2011. Konsentrasi klorofil daun sebagai indikator
kekurangan air pada tanaman. Jurnal Ilmiah Sains, 11(2), 169-170.
Widianti, P., Violita, V., dan Chatri, M. 2017. Luas dan indeks stomata daun tanaman
padi (Oryza sativa L.) varietas cisokan dan batang piaman akibat cekaman
kekeringan. Jurnal Bioscience, 1(2), 77-86.
LAPORAN PRAKTIKUM
RESPIRASI
8.1 Tujuan Praktikum
1. Menghitung jumlah CO2 yang dihasilkan dalam proses respirasi.
8.2 Pembahasan
Suatu ciri hidup yang hanya dimiliki khusus oleh tumbuhan hijau adalah
kemampuan dalam menggunakan zat karbon dari udara untuk diubah menjadi bahan
organik serta diasimilasi dalam tubuh tumbuhan. Tumbuhan tinggi pada umumnya
tergolong pada organisme autotrof, yaitu makhluk hidup yang dapat mensintesis sendiri
senyawa organik yang dibutuhkannya. Hal tersebut dikenal dengan fotosintesis. Jika
fotosintesis merupakan proses pembentukan, maka proses pemecahan atau katabolisme
disebut sebagai respirasi (Hutubessy dan Tungga, 2009). Katabolisme merupakan
proses pemecahan senyawa kompleks (organik) menjadi sederhana (anorganik). Energi
yang dihasilkan dari proses ini akan diubah menjadi ATP (Adenocyn Triphosphate)
untuk digunakan dalam berbagai aktivitas sel. Respirasi sel merupakan salah satu
contoh katabolisme yang memiliki tujuan menghasilkan energi dari penguraian bahan
makanan, seperti CO2, asam lemak, dan asam amino yang menghasilkan CO2, H2O, dan
energi (Sari dan Prayudyaningsih, 2017).
Setiap tumbuhan memiliki kemampuan untuk berespirasi. Respirasi merupakan
peristiwa yang terjadi pada tumbuhan melalui proses oksidasi molekul organik oleh
oksigen dari udara membentuk karbondioksida dan air. Respirasi menghasilkan banyak
senyawa karbon yang dibutuhkan sebagai prekursor untuk biosintesis senyawa organik
lainnya. Proses respirasi dapat dimulai dengan tersedianya glukosa yang berperan
sebagai substrat dari respirasi. Namun selain glukosa, dapat juga berasal dari sukrosa,
heksosa fosfat dan triosa fosfat yang berasal dari fotosintesis dan perombakan pati,
fruktosa, gula-gula lainnya, lemak terutama triasilgliserol, asam-asam organik, dan
kadang-kadang protein (Khairuna, 2019).
Sistem respirasi terbagi menjadi respirasi aerob dan anaerob. Perbedaan dari
kedua sistem respirasi tersebut terletak pada lokasi proses glikolisis berlangsung. Pada
respirasi anaerob glikolisis terjadi di sitoplasma, sedangkan pada respirasi aerob
glikolisis terjadi di mitokondria. Selain itu, energi yang dihasilkan dari respirasi aerob
lebih besar dibandingkan dengan respirasi anaerob. Pada respirasi aerob dihasilkan
energi sebesar 688 kkal, sedangkan pada respirasi anaerob energi yang dihasilkan hanya
sebesar 429 kkal (Buckman and Brady, 1982). Respirasi anaerob merupakan reaksi
pemecahan karbohidrat untuk mendapatkan energi tanpa menggunakan oksigen.
Respirasi anaerob terjadi pada jaringan yang kekurangan oksigen akan tumbuhan yang
terendam air, biji – biji yang kulit tebal yang sulit ditembus oksigen, dan sering disebut
sebagai proses fermentasi. Bahan baku respirasi anaerob pada peragian adalah glukosa.
Selain glukosa, bahan baku seperti fruktosa, galaktosa dan maltosa juga dapat diubah
menjadi alkohol. Hasil akhirnya adalah alkohol, karbon dioksida dan energi (Novitasari,
2017). Berikut merupakan reaksi yang terjadi pada respirasi anaerob:

C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2 + 21Ka

Sementara itu, respirasi aerob adalah respirasi yang menggunakan oksigen bebas
untuk mendapatkan energi. Respirasi ini terjadi melalui beberapa tahap, yaitu glikolisis,
siklus krebs, dan sistem transpor elektron (Novitasari, 2017). Glukosa digunakan
sebagai bahan utama dalam proses respirasi aerob. Pada tahapan glikolisis, satu molekul
glukosa yang terdiri atas atom karbon dipecah menjadi dua molekul asam piruvat, 2
NADH, dan 2 ATP (Devi, 2018). Asam piruvat kemudian akan dioksidasi
menggunakan oksigen sebagai oksidatornya dalam proses dekarboksilasi oksidatif (DO)
dan bereaksi dengan koenzim A untuk membentuk asetil koenzim A (KoA). Hasil akhir
dari DO, yaitu berupa 2 molekul asetil KoA, 2 molekul NADH, dan 2 molekul CO2.
Setelah itu, asetil KoA masuk ke tahap siklus Krebs sebanyak 2 kali dan dihasilkan 6
molekul NADH, 2 molekul FADH2, 2 molekul ATP, dan 4 molekul CO 2 (Nugrahani,
2013). Selanjutnya, pada tahapan transpor elektron terjadi reaksi pemindahan elektron
melalui proses reaksi redoks. Hidrogen yang dimiliki oleh NADH dan FADH2 dibawa
ke dalam serangkaian reaksi redoks yang melibatkan enzim, sitokrom, quinon,
pirodoksin, dan flavoprotein. Pada tahap akhir transpor elektron, oksigen akan
mengoksidasi elektron dan ion hidrogen (H) sehingga dihasilkan air (H2O). Secara
keseluruhan, respirasi sel menghasilkan total 38 ATP dan satu molekul glukosa.
Namun, untuk melakukan transpor elektron diperlukan 2 ATP sehingga hasil bersih dari
setiap respirasi sel, yaitu 36 ATP (Sari dan Prayudyaningsih, 2017). Berikut merupakan
reaksi yang terjadi pada respirasi aerob:

C6H12O6 + 6H2O + 38 ADP → 6H2O + 6CO2 + 38 ATP

Pada tanggal 21 April 2022 telah dilaksanakan praktikum berjudul “Respirasi”.


Praktikum respirasi dilakukan untuk mengetahui jumlah CO2 yang dihasilkan dari
respirasi tumbuhan. Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode
bromthymol blue sebagai indikator keberadaan CO2. Alat yang diperlukan di antaranya,
2 buah tabung reaksi dan rak tabung reaksi, sedangkan bahan yang diperlukan adalah 20
mL bromthymol blue dan 10 benih kacang merah. Prosedur dari metode bromthymol
blue ini, yaitu bromthymol blue dimasukkan ke dalam masing-masing tabung reaksi
sebanyak 10 mL. Selanjutnya, benih kacang merah dimasukkan ke dalam tabung reaksi
masing-masing sebanyak 5 buah dengan ketentuan: (a) tabung A berisi 5 benih yang
telah berkecambah, (b) tabung B berisi 5 benih yang telah direbus. Setelah itu, tunggu
selama 24 jam dan amati perubahannya. Banyaknya CO2 yang dihasilkan dari proses
respirasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

V x N x 0.22 x T
BanyaknyaCO 2= mgCO 2 / gr / jam
5

Keterangan: V = Perbedaan volume


N = Normalitas
T = Waktu

Hasil dari perlakuan tersebut menunjukkan terjadinya perubahan warna larutan


bromthymol blue dari biru menjadi kuning pada tabung A. Sementara pada tabung B
tidak terjadi perubahan warna. Hal tersebut menandakan bahwa karbondioksida
dihasilkan pada tabung A, tetapi tidak dihasilkan pada tabung B. Hasil tersebut sesuai
dengan pernyataan Pujisiswanto dkk. (2014), bahwa oksigen yang diperlukan oleh
kecambah untuk proses metabolisme akan digunakan dalam proses respirasi sehingga
perkecambahan menghasilkan CO2. Sari dkk. (2016), juga menyatakan bahwa
bromthymol blue akan mengalami perubahan warna larutan menjadi kuning apabila pH-
nya bersifat asam, menjadi biru apabila memiliki pH di atas 7.5, dan berwarna hijau
apabila pH-nya netral. Mackereth et al. (1989) mengungkapkan bahwa nilai pH
dipengaruhi oleh keberadaan karbondioksida. Semakin tinggi kadar pH, maka kadar
karbondioksida akan semakin rendah. Karbondioksida yang dihasilkan dari respirasi
tumbuhan ketika dilepaskan akan bereaksi dengan air membentuk asam karbonat yang
kemudian direduksi menjadi bikarbonat lalu menjadi karbonat sehingga dapat
menjadikan pH bernilai rendah.
Laju respirasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah substrat.
Substrat respirasi merupakan setiap senyawa organik yang dioksidasikan dalam
respirasi, atau senyawa-senyawa yang terdapat dalam sel tumbuhan yang secara relatif
banyak jumlahnya dan biasanya direspirasikan menjadi karbondioksida dan air. Substrat
berupa karbohidrat yang dikandung dalam tumbuhan itu sendiri. Misal glukosa,
fruktosa, sukrosa, pati, asam organik, dan protein. Semakin banyak atau tinggi substrat
dari suatu organisme maka hasil dari respirasi yang dihasilkan akan semakin tinggi,
begitu pula dengan substrat yang rendah maka hasil respirasi yang dihasilkan juga akan
turut rendah. Selain faktor substrat, terdapat faktor ketersediaan oksigen, usia
tumbuhan, dan suhu. Ketersediaan oksigen berpengaruh karena pada mitokondria,
sebagai salah satu tempat berlangsungnya respirasi, dapat berfungsi normal pada
konsentrasi oksigen sebesar 0,05%. Sementara itu, oksigen yang tersedia di udara hanya
memiliki konsentrasi sebesar sekitar 21%. Respirasi aerob membutuhkan oksigen untuk
dapat melakukan respirasi dan menghasilkan produk. Kurangnya ketersediaan oksigen
akan memperlambat laju respirasi yang berakibat pada terhambatnya perkecambahan
(Riana dan Hernawati, 2011). Selanjutnya, yaitu faktor suhu. Suhu yang tinggi
menyebabkan peningkatan respirasi di atas laju fotosintesis. Namun, laju respirasi yang
lebih besar daripada laju fotosintesisnya dapat mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan. Faktor lainnya yang memengaruhi laju respirasi adalah umur. Jaringan
muda mampu melakukan respirasi lebih kuat dibandingkan dengan jaringan tua karena
jaringan tersebut lebih aktif sehingga memerlukan lebih banyak energi. Kecepatan
respirasi juga akan meningkat pada saat masa pertumbuhan dan menurun ketika masa
diferensiasi atau pendewasaan. Hal tersebut merupakan salah satu alasan digunakannya
benih dalam fase perkecambahan dalam praktikum berjudul “Respirasi” ini (Andriani
dkk., 2019).
8.3 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa respirasi
pada tumbuhan dapat diketahui dengan bantuan larutan bromthymol blue sebagai
indikator CO2. Benih yang berkecambah mengubah larutan bromthymol blue menjadi
kuning karena menghasilkan CO2 dari proses metabolisme selama perkecambahan.
Proses perkecambahan memiliki laju respirasi yang tinggi karena benih yang baru
berkecambah tergolong jaringan muda. Selain itu, keberadaan CO2 juga memengaruhi
tinggi rendahnya pH. Karbondioksida yang dihasilkan dari respirasi tumbuhan ketika
dilepaskan akan bereaksi dengan air membentuk asam karbonat yang kemudian
direduksi menjadi bikarbonat lalu menjadi karbonat sehingga dapat menjadikan pH
bernilai rendah. pH yang bernilai rendah akan mengubah warna larutan bromthymol
blue karena larutan tersebut berwarna kuning ketika suasananya asam (pH rendah).

8.4 Daftar Pustaka


Khairuna. 2019. Diktat Fisiologi Tumbuhan. Medan: Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara.
Pujisiswanto, H., Yudono, P., Sulistyaningsih, E., dan Sunarminto, B. H. 2014.
Pengaruh asam asetat sebagai herbisida pratumbuh terhadap perkecambahan
jagung. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan, 15(1), 61-67.
Sari, D. Y. R., Saputro, T. B., dan Muhibuddin, A. 2016. Uji potensi fermentasi etanol
yeast tanah yang diisolasi dari metode budidaya SDN di Daerah Batu, Jawa
Timur. Jurnal Sains dan Seni ITS, 5(2), E-39-E-43.
Mackereth, F. J. H., Heron, J., and Talling, J. F. 1989. Water analysis: some revised
methods for limnologists. The Quarterly Review of Biology, 54(2).
Devi, S. Y. T. 2018. Perbedaan Kadar Glukosa Darah pada Serum Yang Dipisah dan
Tidak Dipisah dari Endapan. Skripsi. Semarang: Universitas Muhammadiyah
Semarang.
Sari, R., dan Prayudyaningsih, R. 2017. Karakter isolat rhizobia dari tanah bekas
tambang nikel dalam memanfaatkan oksigen untuk proses metabolismenya.
Info Teknis EBONI, 14(2), 123-136.
Riana, R. R., & Hernawati, D. 2014. Perbedaan konsumsi oksigen (O2) pada proses
respirasi kecambah. Penelitian Internal, 1-7.
Novitasari, R. 2017. Proses Respirasi Seluler pada Tumbuhan. In Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan Biologi dan Biologi (pp. 89-96).
Hutubessy, J. I. B., dan Tungga, D. 2009. Produksi karbondioksida (CO 2) sebagai
indikator respirasi pada berbagai sayuran. Agrica, 2(1), 36-38.
Nugrahani, W. 2013. Konsumsi Minuman Oksigen dan Dampaknya Terhadap Performa
Saat Berolahraga, Profil Lipid, Glukosa Darah dan SGOT/SGPT. Tesis.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Andriani, V., dan Karmila, R. 2019. Pengaruh temperatur terhadap kecepatan
pertumbuhan kacang tolo (Vigna sp.). STIGMA: Jurnal Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Unipa, 12(1), 49-53.

Anda mungkin juga menyukai