PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma lahir merupakan akibat trauma mekanik selama proses
kelahiran yang merupakan gabungan dari kekuatan kontraksi kompresi,
putaran, dan tarikan. Beberapa factor yang berperan dalam trauma lahir
adalah factor ibu yang berkaitan dengan kekuan jalan lahir, fator bayi
yang berkaitan dengan diskrepansi antara besar serta posisi bayi dengan
jalan lahir (macrosomia, makrosefalia, anomaly fetus, disproporsi
sefalopelvik,distosia bahu, presentasi abnormal seperti bokong, muka,
dahi, dan letak lintang, premature, partus prsipitarus), factor luar yang
berupa tindakan persalinan (pemakaian forceps, vakum, tindakan versi-
ekstraksi).
Inkontinensia urin didefinisikan oleh internasional continence
society (ICS) sebagai suatu kondisi dimana terjadi kehilangan urin tanpa
disengaja melalui meatus uretra yang dapat berakibat pada masalah social
dan kebersihan yang dapat diobservasi. Terdapat tiga tipe inkontinensia
yaitu inkontinensia stress yang merupakan kehilangan urin tanpa disadari
yang terjadi secara tiba-tiba akibat beberapa aktivitas seperti batuk,
tertawa, dan bersin.
Di Indonesia jumlah penderita inkontinensia urin sangat signifikan.
Pada tahun 2006 diperkirakan sekitar 5,8% dari jumlah penduduk
mengalami inkontinensia urin. Tetapi penanganannya masih sangat
kurang. Hal ini disebabkan karena masyarakat belum tahu tampat yang
tepat untuk berobat disertai kurangnya pemahaman tenaga kesehatan
tentang inkontinensia urin (Depkes, 2012).
Fistula vesiko vaginalis merupakan hubungan abnormal antara
vesikourinaria dengan vagina yang menyebabkan urin keluar terus
menerus melalui vagina. Di eropa dan amerika utara, fistula obsentrik
telah ditemukan sejak seratus tahun yang lalu dan mulai menghilang.
Umumnya kasus ini merupakan efek samping dari terapi bedah dengan
radium dan sinar x yang dalam penatalaksanaan keganasan pada daerah
pelvis. Obsentris fistula muncul akibatkan trauma persalinan yang
mengenai 50.000-100.000 wanita setiap tahun secara global fistula
obsentri merupakan suatu kondisi yang dapat dicegah dan di obati.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Asuhan keperawatan pasien pada Trauma Melahirkan :
Inkontinensia Urin
2. Bagaimana Asuhan keperawatan pasien pada Trauma Melahirkan : Fistula
Genetalia
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui trauma akibat melahirkan : Inkontinensia urin
2. Untuk mengetahui trauma akibat melahirkan : Fistula Genetalia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Trauma melahirkan
Trauma lahir merupakan akibat trauma mekanik selama proses kelahiran yang
merupakan gabungan dari kekuatan kontraksi kompresi, putaran, dan tarikan.
Beberapa factor yang berperan dalam trauma lahir adalah factor ibu yang berkaitan
dengan kekuan jalan lahir, fator bayi yang berkaitan dengan diskrepansi antara besar
serta posisi bayi dengan jalan lahir (macrosomia, makrosefalia, anomaly fetus,
disproporsi sefalopelvik,distosia bahu, presentasi abnormal seperti bokong, muka,
dahi, dan letak lintang, premature, partus prsipitarus), factor luar yang berupa
tindakan persalinan (pemakaian forceps, vakum, tindakan versi-ekstraksi).
Trauma lahir masih merupakan masalah utama dalam pelayanan obstetri. Faktor-
faktor yang diduga berhubungan dengan trauma lahir adalah makrosomia,
disproporsi kepala panggul, persalinan dengan penyulit, presentasi bokong (letak
sungsang), dan penggunaan alat pada proses persalinan. Secara keseluruhan, 5-8
neonatus per 100.000 kelahiran hidup meninggal akibat trauma lahir, sementara 25
neonatus per 100.000 kelahiran hidup meninggal akibat hipoksia.5 Menurut Garcia
dkk,6 faktor risiko yang berhubungan dengan trauma lahir adalah faktor maternal,
bayi, dan proses persalinan.
Menurut Sussman (2000) yang menjelaskan bahwa pengalaman melahirkan
adalah suatu masa krisis di mana proses persalinan merupakan kondisi yang
menegangkan dan mencemaskan bagi wanita dan keluarga, terutama persalinan
dengan tindakan bedah. Sejumlah 8 – 12% wanita tidak dapat menyesuaikan peran
menjadi orang tua dan menjadi sangat tertekan sehingga mencari bantuan tenaga
kesehatan. Melahirkan merupakan kejadian hidup yang sangat berarti bagi ibu,
demikian juga tidak kalah pentingnya perubahan peran menjadi orang tua.
B. Inkontinensia urine
Inkontinensia urin atau pengeluaran urin yang tidak disadari dapat kontinu atau
intermiten. klasifikasi :
1. kontinensia kontinu
a. kelainan kongenital
b. pembentukan fistula setelah tindakan operasi, persalinan, keganasan pelvis atau
terapi radiasi
2. Intkontinensia intermiten
a. inkontinensia stress
b. Disnergia detrusor – kandung kemih tidak stabil
c. inkontinensia desakan
d. inkontinensia luapan (overflow)
Kandung kemih hipotonik
kandung kemih neurogenik
e. deformitas uretra
3. Data Subjektif
Riwayat yang terperinci dari mulai timbul dan sifat gejala urinaria merupakan
prasyarat utama untuk melakukan diagnosis yang akurat. pengosongan yang tidak
disadari yang berkaitan dengan batuk, bersin, mengejan, tertawa atau mengangkat beban
dan tan pa sensasi penuhnya kandung kemih merupakan tanda khas inkontinensia stress.
pengosongan yang tidak disadari segera setelah sensasi penuhnya kandung kemih yang
tidak berhubungan dengan berbagai stress biasanya disebabkan oleh iritasi vesika
(inkontinensia desakan). Gejala-gejala yang bertalian dengan infeksi traktus urinarius
meliputi sering kencing, rasa panas waktu kencing, disuria dan mungkin demam.
apabila pengosongan terjadi secara spontan tanpa disertai berbagai sensasi atau
kerja spesifik, kemungkinan kandung kemih neurogenik atau inkontinensia luapan perlu
dipertimbangkan.
kebocoran saluran kemih yang kontinu memberikan kesan adanya fistula uretero
vagina atau vasikovagina. riwayat pembedahan pelvis melahirkan dengan tindakan
obstetrik radiasi atau trauma insidentil termasuk di dalam nya fraktur pelvis laserasi
traktus urinarus dapat memberikan kunci petunjuk diagnostic.
4. Data Objektif
5. Diagnose Banding
Inkotinensia urin kontinu biasanya disebabkan oleh fistula di antara ureter atau
kandung kemih dan vagina, atau lebih jarang, pada ureter ektopik kongenital. ada kasus
fistula ureterovagina, pasien dapat mengalami perembesan urin dari vaginasecara tidak
sengaja di luar kontrol terhadap kandung kemih itu sendiri, karena satuureter tetap utuh.
Pada kasus fistula vesikovagina (Gb. 88-1 C), kebocorannya konstandan menyeluruh,
karena kandung kemih tidak pernah terisi. Pada kasus fistula uretra, tetesan terjadi setelah
urinasi, karcna urin terkumpul di dalam vaginaselama miksturisi.
Pada saat yang lampau, fistula traktus urinarius sering disebabkan oleh trauma obstetrik.
Sekarang ini, kebanyakan fisula terjadi akibat trauma tra ktus urinarius yang
tidakdiketahui pada waktu pembedahan pelvis. Penyebab-penycbab lainnya meliputi
keganasan, terapi radiasi bagi kanker serviks dan trauma insidentil yang meliputi fraktur
pelvis.
Trauma langsung pada kandung kemih pada saat pembedahan menyebabkan hematuria.
Kecuali jika kandung kemih terdiri dari kateter indwelling, urin yang hilang melalui
vagina dapat tampak segera atau dalam beberapa jam di dalam periode pascaoperasi.Bila
trauma bedah mengurangi pasokan darah kandung kemih, nekrosis jaringanakan
mendahului pembentukan fistula. Inkontinensia urin bisa tidak terjadi sampai 7-14hari
setelah pembeda han. Tindakan bedah yang luas karena keganasan pelvis daniradiasi
pelvis sebelumnya meningkatkan risiko fistula vesikovaginal.
inkontinensia stres adalah keluarnya urin yang tidak disadari pada pancaran melaluiuretra
yang utuh akibat peningkatan tekanan intraabdomen yang mendadak (batuk, berbangkis,
mengangkat, tertawa, atau mengejan). Faktor-faktor penyebabnya meliputi
Deformitas Uretra: Pasien dengan stenosis uretra atau dengan divertikel sering
masihmenetes kan sejumlah moderat urin setelah mengosongkan kandung kemihnya
C. FISTULA GENITALIS
Fistula adalah terdapat hubungan baru dan patologis antara dua ruangan
yang sebelumnya telah ada. Fistula ada yang bersifat kongental, tetapi itu jarang
di jumpai, umumnya fistula bersifat kelinan multipel dan sulit diperbaiki.
Sebagian besar fistula di akibatkan dari persalinan terlantar. Pertolongan
persainan terlantar sebagian besar dilakukan oleh dukun beranak atau paraji.
Yang tidak mengetahui mekanisme proses persalinan yang benar sehingga
persalinan terlantar. Persalinan terlantar sering terjadi pada:
a. Persalinan letak kepala, sebagi akibat dari ketidak seimbangan antara rongga
panggul dengan lingkar kepala atau sefalopelvik
b. Persalinan letak lintang
c. Kemacetan persalinan letak sungsang khususnya pada pertolongan kepala
janin.
Keadaan persalinan terlantar yang paling sering menimbulkan fistula adalag
pada pertolongan persalinan letak kepala atau sefalopelviks disproposi, sehingga
terjadi tekanan jaringan lunak antara kepala janin dang tulang panggul. Sehingga
terjadi jaringan nekrosis dan diikuti dengan terbentuknya hubungan antara dua
rongga atau ruangan yang sebelumnya telah ada disekitar tekanan sefalopelvik
disproposi. Bentuk fistula diantaranya fistula rectovaginal, fistula rektovesikalis,
dan fistula ureterovaginalis.
1. Fistel kencing
A. Gejala utama
D. Asuhan Keperawatan
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN INKONTINENSIA
URIN
1. Pengkajian
Adapun data-data yang akan di kumpulkan dikaji pada asuhan
keperawatan klien dengan diagnosa medis inkontinensia urine :
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa
medis
b. Keluhan utama
Pada kelayan inkontinensia urine keluhan-keluhan yang ada adalah
nokturia, urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan strategi
c. Riwayat penyakit sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul
keluhan, usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK ( infeksi saluran
kemih ) yang berulang, penyakit kronis yang pernah di derita
e. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga
yang menderita penyakit inkontinensia urine, adakah anggota
keluarga yang menderita DM, hipertensi
f. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
1) B1 (breathing)
Kaji adanya pernafasan adanya gangguan pada palo nafas,
sianosis karena suplai oksigen menurun. Kaji ekspansi dada,
adakah kelainan pada perkusi
2) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung
dan gelisah
3) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4) B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktifitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluhan keluarnya darah
apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik
lesi pada neatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih
mendadah disurea akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya.
Palpasi : rasa nyeri disapat pada daerah supra pubik atau pelvis,
seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing atau dapat
juga diluar waktu kencing.
5) B5 (bowel)
Bising usus adalah peningkatan atau penurunan, adanya nyeri
tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
6) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkan dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya
sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk
menghambat kontraksi kantung kemih.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam
waktu yang lama.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi
kontras oleh urine
d. Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan intake yang
adekuat
3. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya
sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk
menghambat kontraksi kandung kemih.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien
akan bisa melaporkan suatu pengurangan / penghilangan
inkontinesia.
Kriteria Hasil :
Klien dapat menjelaskan penyebab inkontinesia dan rasional
penatalaksaan.
Intervensi :
1) Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih
sehari.
Rasional : Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan
beri distensi kandung kemih
2) Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
Rasional : Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah
terjadinya enurasis
3) Bila masih terjadi inkontinesia kurangi waktu antara berkemih
yang telah direncanakan
Rasional : Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup
untuk menampung volume urine sehingga diperlukan untuk
lebih sering berkemih.
4) Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada
kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45,
lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoran yang
lebih dulu.
Rasional : Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung
kemih.
5) Pantau pemasukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat
masukan cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
Rasional : Dehidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK
dan batu ginjal
6) Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan
tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis/ jadwal
pemberian obat untuk menurunkan frekuensi inkontinensia
b. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinesia, imobilitas dalam
waktu yang lama.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien
dapat berkemih dengan nyaman.
Kriteria Hasil :
Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine
menunjukan tidak adanya bakteri.
Intervensi :
1) Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika
pasien inkontinensia, cuci daerah perineal segera mungkin.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi uretra .
2) Jika dipasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x
sehari (Merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada
waktu akan tidur) dan setelah buang air besar.
Rasional : Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk
memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.
3) Ikuti kewaspadaan umum (Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak
dengan cairan tubuh atau darah yang terjadi (Memberikan
perawatan perineal, pengosongan kantung drainase urine,
penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik aseptik bila
melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari
kateter Indwelling.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi silang
4) Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2 jam
dan anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400ml / hari.
Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan .
Rasional : Untuk mencegah stasis urine.
5) Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
a) Tingkatkan masukan sari buah berri .
b) Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
c) R : Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman . Karena
jumlah sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan
memelihara keasaman urine. Peningkatan masukan cairan
sari buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi
saluran kemih.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi
kontras oleh urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
kerusakan integritas kulit teratasi.
Kriteria hasil:
1) Jumlah bakteri <100.000/ml
2) Kulit periostomal penuh
3) Suhu 37c
4) Urine jernih dengan sendimen minimal.
Intervensi
1) Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam
Rasional : untuk mengindetifikasi kemajuan atau penyimpanan
dari hasil yang diharapkan
2) Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor
terdefekasi. Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum
memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-kira
setengah inci lebih besar dan diameter stoma untuk menjamin
ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit
periastomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah
seperempat sampai setengah penuh.
Rasional : peningkatan berat urine dapat merusak segel
periostomal,memungkinkan kebocoran urin. Pemajanan
menetap pada kulit periostomal terhadap asam urin dapat
menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.
A. Pengkajian
1. Nama , Jenis kelamin, alamat, no. medikal record, penanggung jawab,
agama, tgl. masuk dll
2. TTV TD, Suhu, Pernafasan, Nadi
3. Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Kesehatan dahulu
Biasanya terjadi partus lama, partus dengan tindakan SC,
Karsinoma, Radiasi, Trauma operasi atau kelainan kongenital, aborsi,
pelecehan seksual atau pemerkosaan.
b) Riwayat kesehatan sekarang Biasanya terjadi kelumpuhan, Inkontinensia
urin, haid biasanya terganggu, kulit sekitar anus tebal, infeksi pada jalan
lahir, dinding vesika menonjol keluar dan keluar cairan dari rektum.
c) Riwayat kesehatan keluarga
d) Riwayat menstruasi
haid klien terganggu dengan terjadi amnorhoe sekunder
4. Pemeriksaan fisik
Head to toe
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri b.d iritasi mukosa, proses inflamasi
2. Resiko tinggi infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh, proses pembedahan
3. Gangguan konsep diri b.d perubahan pola defekasi
4. Ansietas b.d perubahan status kesehatan
5. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi kesalahan intrevetasi
C. Intervensi keperawatan
D. Implementasi
Pelaksanaan asuhan keperawatan merupakan radiasi daripada rencana
tindakan keperawatan yang telah diterapkan. Meliputi tindakan independent,
dependent, dan interpendent. Pada pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan,
validasi, rencana keperawatan, mendokumentasikan rencana keperawatan
memberikan asuhan keperawatan dan pengumpulan data. (Susan Martin, 1998).
E. Evaluasi
Evaluasi adalah hasil akhir dari proses keperawatan dilakukan untuk
mengetahui sampai dimana keberhasilan tindakan yang diberikan sehingga dapat
menemukan intervensi yang akan dilanjutkan. (Susan Martin, 1998)
B. Telaah Kritis
Penilaian kritis terhadap informasi
Ajukan pertanyaan:
Diagnosis: ada kesesuaian sempel dengan yang ditemukan pada
praktek umumnya.
Therapy: penentuan kelompok treatmen dilakukan secara
random seluruh bahan percobaan yang terdaftar dihitung untuk
kesimpulan studi, kelompok treatmen sama pada saat awal
studi.
Bahaya: exposur dan pengukuruan hasil untuk setiap kelompok
sama.
Prognosis: sampel mewakili inti dari suatu kelainan/gangguan
Follow up waktunya cukup dan lengkap
C. Mengaplikasikan evidence
Diagnosis: tes terjangkau, akurat, dan dapat dilakukan di
laboratorium
Therapy: percobaan yang sama dari kelompok studi, sehingga
dapat diaplikasikan dan manfaat dari percobaan tersebut adalah
dapat mempercepat proses penyembuhan luka bakar dan
meningkatkan kualitas hidupnya.
Bahaya: hasil studi dapat diaplikasikan kepada pasien, tidak
terdapat resiko yang merugikan pada penderita yang
melakukan terapi tersebut.
Prognosis: pasien serupa dengan kelompok pasien yang ada
pada study, evidence mempengaruhi pilihan dalam therapy.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Inkontinensia urin didefinisikan oleh internasional continence
society (ICS) sebagai suatu kondisi dimana terjadi kehilangan urin tanpa
disengaja melalui meatus uretra yang dapat berakibat pada masalah social
dan kebersihan yang dapat diobservasi
Fistula vesiko vaginalis merupakan hubungan abnormal antara
vesikourinaria dengan vagina yang menyebabkan urin keluar terus
menerus melalui vagina.
B. Saran
Kami sadar bahwa makalah yang kami susun masih banyak terdapat
kesalahan. oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
yang positif dan membangun, guna penyusunan makalah kami berikutnya agar
dapat tersusun lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
GINEKOLOGI. (2010). Fakultas kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, EDISI 2.
MM, T. W. (2014). Faktor Risiko Trauma Lahir. Sari Pediatri, 15, 294.