Anda di halaman 1dari 7

FE UST, Kelas Sistem Ekonomi, 19 Maret 2020

16
NILAI-NILAI DASAR KEINDONESIAAN
Sri-Edi Swasono

Titik-Tolak
Mengawali buku ini dengan mengungkap nilai-nilai utama (core-values) keindonesiaan, tidak terlepas
dari permintaan pimpinan Universitas Indonesia kepada saya untuk menyampaikan Orasi Ilmiah dalam
rangka peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia ke-65 pada 2 Februari 2015 yang lalu. Orasi Ilmiah
saya itu akan terkutip di sana-sini, dan tentu tidak terbebas dari ikatan batin saya sebagai insan
Universitas Indonesia.
Saya masuk sebagai mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 1958 (hampir 57 tahun yang
lalu) dan menjadi Pegawai Negeri sebagai Asisten pengajar sejak tahun 1961 (lebih dari setengah abad
yang lalu) hingga sekarang, dengan segala suka-duka yang setiap insan Universitas Indonesia pasti juga
mengalaminya.
Seperti kita ketahui Universitas Indonesia menyandang tuntutan untuk menjunjung setinggi-
tingginya negeri Indonesia dan nilai-nilai utama keindonesiaan yang dikandungnya. Oleh karena itu
tidaklah cukup bila kita hanya mengangkat nama Indonesia sebatas menggemakan betapa luasnya teritori
Indonesia, yang terbentang sangat luas dari Sabang sampai Merauke dan dari pulau Miangas sampai
pulau Rote. Tentu tidaklah pula akan menjadi lengkap bila kita menambahkannya dengan hanya
mengungkapkan betapa kaya dan hebatnya kita dengan ratusan sukubangsa yang mendiami Indonesia di
ribuan pulau yang tersebar di Nusantara, kemudian kita meresponnya dengan membuka dan mengem-
bangkan Jurusan Antropologi di universitas kita ini. Ribuan pulau yang disatukan oleh lautan ini telah
membentuk satu kawasan maritim nasional, yang kemudian memberi ciri kepada Republik Indonesia
sebagai Negara Maritim atau Negara Kepulauan. (Perihal Indonesia sebagai “negara maritim” akan saya
sampaikan pada Bab IX halaman 140).
Kemudian tentu belumlah cukup pula bila universitas ini mulai sadar tentang perlunya memiliki
Jurusan Ekonomi Maritim atau Jurusan Ekonomi Antarpulau (yang hingga saat ini belum terealisasikan).
Universitas Indonesia berada di Jakarta, di Pulau Jawa, berarti berada di kawasan Barat Indonesia, dan
tentu tidaklah cukup bila kita sekadar menyadari betapa perlunya Universitas Indonesia menerima lebih
banyak mahasiswa yang berasal dari kawasan Timur Indonesia, sebagai cermin indahnya kebhinnekaan
nyata yang kita banggakan.
Lalu untuk kelengkapan utuhnya, entitas apa yang harus kita pangku sebagai universitas
terkemuka yang menyandang nama Universitas Indonesia ini? Barangkali untuk lebih substansial kita
perlu mengartikulasikan apa “nilai-nilai utama keindonesiaan” atau core values Indonesia, yang
merupakan ruh kehidupan bangsa Indonesia yang harus dijunjung Universitas Indonesia, yang sekaligus
merupakan tuntutan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam menjaga eksistensinya, berikut
kebersinambungan abadinya.
Kemudian, dari kurun waktu mana kita mengangkat dan mengartikulasikan nilai-nilai dasar
keindonesiaan yang menjadi ruh kehidupan berbangsa dan bernegara kita? Dalam dimensi peradaban
dan sejarah yang panjang, tentu kita bisa mulai dari zaman Prasejarah di Indonesia, zaman kerajaan-
kerajaan Kutai, Tarumanegara, Melayu dan Sriwijaya, Mataram, Panjalu, Jenggala, Kediri, kerajaan-
kerajaan di Bali, kerajaan-kerajaan Sunda, kerajaan Singosari dan Majapahit dan kerajaan-kerajaan
berpengaruh lainnya di Sulawesi, Kalimantan dan Maluku, yang semuanya memberi warna kepada
kebhinnekaan dan dinamikanya bagi Indonesia. Tentu tidak. Sebaiknya tentulah kita mulai dari
kebangkitan dan ketercerahan bangsa ini di awal abad ke-20.
Dalam kaitannya dengan Universitas Indonesia yang didirikan pada 1950 di awal kemerdekaan,
65 tahun yang lalu, Universitas Indonesia tidak hampa misi dalam memberi corak keindonesiaan, yang
berarti secara proaktif mengisi dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan
pada tanggal 17 Agustus 1945.
Universitas Indonesia dibentuk sebagai gabungan dari Balai Perguruan Tinggi Republik
Indonesia (yang didirikan tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan) dan Universiteit van Indonesië
(yang didirikan oleh NICA dengan pusat-pusatnya di Jakarta, Surabaya, Makassar, Bogor, Bandung).
Dalam tahun-tahun pertama Universitet Indonesia (sebelum kemudian dirubah menjadi Universitas
Indonesia) dipimpin oleh Prof. Ir. RM Pandji Soerachman dibantu oleh Prof. Ir. W. Z. Johannes.
Perlunya ada corak dan perangai keindonesiaan Universitas Indonesia ini, sejauh yang saya
ketahui, sangat ditekankan oleh para pimpinan/Rektor Universitas Indonesia sejak tahun-tahun
pertamanya, yaitu: Prof. Ir. RM Pandji Soerachman, Prof. Mr.Dr. Soepomo, Prof.Dr. Bahder Djohan gelar
Marah Besar, Prof.Dr. R Soedjono Djoened Poesponegoro dan seterusnya. Oleh karena itu saya memilih
sejak kurun waktu inilah kita mengartikulasikan nilai-nilai utama keindonesiaan, yaitu yang menyertai
Kemerdekaan Indonesia. Nilai-nilai utama keindonesiaan ini oleh para founding fathers sesungguh-
nyalah telah pula diungkap dan dituangkan dalam Pancasila sebagai Weltanschauung Bangsa dan UUD
1945 sebagai pedoman berbangsa dan bernegara.
Pada Pidato Presiden Universitet Indonesia (Prof. Mr. Dr. Soepomo tokoh BPUPKI, perintis
Kemerdekaan Indonesia) pada Dies Natalis Ketiga Universitet Indonesia pada 16 Februari 1953 di
Bandung, dikemukakan kalimat-kalimat kunci sebagai berikut: …Universitet harus merupakan ‘badan
pusat kebudajaan dan badan pusat international understanding’; mufakat dengan hasrat Pemerintah
untuk ‘mengindonisir staf guru-besar Universitet’; ‘hal jang sangat penting adalah soal pendidikan
rohani didalam dunia Universitet’; ‘funksi jang terpenting dari Universitet ialah pendidikan Manusia,
memperkembangkan sifat Manusia didalam tiap2 mahasiswa’; ‘supaja para mahasiswanja bukan sadja
mendjadi orang gunawan, melainkan djuga dan terutama mendjadi orang budiman, penuh bertanggung
djawab terhadap kebahagiaan nusa dan bangsanja’; 1) ‘bagaimana budi-pekerti dari para mahasiswa
dapat terpelihara dengan semestinja’; ‘memadjukan human understanding dan semangat mutual service
diantara para mahasiswa’; ‘membantu Pemerintah dalam usahanja untuk memenuhi kebutuhan
masjarakat akan tumbuhnja kebudajaan baru’; ‘marilah kita ikut serta memimpin proses re-integrasi
dinegara dan masjarakat Indonesia dengan terutama membangun dikalangan Universitet kita sendiri
sikap hidup jang luhur, sesuai dengan filsafat Pantja Sila’.... (Ejaan lama sesuai aslinya).

Nilai-Nilai Utama Keindonesiaan


Lalu apa sebenarnya yang menjadi nilai-nilai utama keindonesiaan atau core values Indonesia
kita?
Bertitik-tolak dari diktum Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan Konstitusi Indonesia, kita tidak
perlu berspekulasi bahwa nilai-nilai utama keindonesiaan adalah “kebersamaan” (mutualism) yang
berasas “kekeluargaan” (brotherhood) sebagai “kebutuhan bersatu”. Sumpah Pemuda 1928 adalah
ekspresi kebersamaan sebagai satu keluarga besar untuk memenuhi kebutuhan bersatu itu. Ketiganya
berujung pada tuntutan untuk “keberdaulatan” sebagai bangsa yang merdeka.
Kebersamaan
Kebersamaan adalah nature manusia, bahkan merupakan kodrat sebagai manusia2) yang
dikemukakan oleh banyak ahli filsafat, tak terkecuali oleh seorang filsuf Indonesia yang menjadi Ketua
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1945, KRT dr. Radjiman
Wediodiningrat. Ketua BPUPKI ini berpendapat (1944) bahwa asas perorangan berikut pamrih pribadi-
nya adalah penyakit sosial.3) Mohammad Hatta telah merumuskan pandangan hidup bangsa ini melalui
Pasal 33 UUD 1945 bahwa susunan perekonomian Indonesia pun imperatif harus merupakan “usaha
1)1)
Tersimpul nilai-nilai kebangsaan, kebersamaan dan kekeluargaan.
2)2)
Barangkali tentang “kodrat manusia” untuk hidup dalam kebersamaan, kita perlu pula menyimak kutipan-kutipan dari
Fuad Hassan, dalam Fuad Hassan, Kita dan Kami: Sebuah Analisis tentang Modus Dasar Kebersamaan (Jakarta: Penerbit
Winoka, 1974/2009) hlm. 108-110.
3)3)
Lihat Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: Dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke The
End of Laissez-Faire (Jakarta: Prakarsa, 2010), hlm. 100.
bersama” berdasar atas “asas kekeluargaan”, artinya ada kebersamaan dalam berkehidupan ekonomi
nasional.
Kebersamaan merupakan tuntutan hidup, kenyataan empiri yang kemudian menjelma menjadi
ideologi. Bahkan kebersamaan, menjadi adagium atau panduan hidup praktis yang kemudian diyakini
sebagai pepatah atau proverb: “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” (di negara-negara multietnik
Barat berlaku pepatah “l’Union fait la force”. Lebih dari itu kebersamaan merupakan tuntunan agama
untuk hidup berjemaah dan berukhuwah.
Keseluruhannya, kebersamaan menjadikan manusia individu sebagai homo-socious dalam
communitarianism sebagai konsepsi sosiologis. Di sinilah manusia berpadu rasa, keberadaan masing-
masing diperkukuh oleh keberadaan dan keterikatan batin dengan yang lain. Satu sama lain saling
menghargai persamaan dan perbedaannya, dengan demikian diterima suatu paham budaya sebagaimana
disampaikan oleh seorang tokoh besar sosiologi dan komunitarian Amitai Etzioni bahwa privacy is a
societal lisence, privasi individu sebenarnya adalah a mandated privacy dalam konteks the quest for a
communitarian balance.4)
Sekadar sebagai catatan pinggir, nilai-nilai utama keindonesiaan tentulah menolak
eksistensialisme-nya JP Sartre5) yang menganggap manusia lain sebagai rival: “l’enfer, c’est les autres”,
“tu es l’enfer” – neraka itu adalah orang-orang lain, kau adalah nerakaku (naskah drama Huis Clos/Pintu
Tertutup, JP Sartre, 1944/2000)6), lebih lanjut Sartre menegaskan “…the other is the hidden death of my
possibilities…”, “…My original fall is the existence of the Other…”. 7)
Analog dengan ini adalah transformasi “ke-Aku-an” menjadi “ke-Kita-an” (kebersamaan)
terhadap kebhinnekaan nasional kita.8) Dalam transformasi pendekatan individu ke pendekatan
kolektivan ini Fuad Hassan menegaskan bahwa sejak Proklamasi Kemerdekaan, Gestaltung9) Indonesia
tampil satu-dan-bersatu (one-and-united).10) Dengan demikian itu tidak sulit bagi saya untuk menerima
pandangan Radhar Panca Dahana sebagai berikut: “…tidak ada sukubangsa eksis tanpa sukubangsa yang
lain. Karena sebagaimana adagium bahari untuk eksistensi adalah ‘aku ada karena kamu’ (dan
sebaliknya), tidak ada sukubangsa yang orisinil, ia terbentuk oleh sukubangsa lain…tidak ada Melayu
tanpa Gayo, tidak ada Batak tanpa Minang dan seterusnya…demikian pula dalam Betawi ada Melayu,
Jawa, Madura, dan lainnya, begitu pun sebaliknya…”.11) Core values kebersamaan mewujudkan diri

4)4)
Amitai Etzioni, The Limits of Privacy (New York: Basic Books, 1999), hlm. 196-197. Amitai Etzioni adalah seorang ahli
sosiologi terkemuka dan dikenal sebagai tokoh communitarianism.
5)5)
Penolakan ini dikemukakan dalam Disertasi Doktor dari Fuad Hassan di Universitas Indonesia (1967) yang dikenal
sebagai menyajikan suatu pencerahan, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul yang sama, Fuad Hassan,
op.cit. Penolakan serupa banyak dikemukakan oleh Radhar Panca Dahana (budayawan), yang pandangan-pandangan budayanya
2013-2015 banyak saya simak.
6)6)
Dikutipkan dari Radhar Panca Dahana, 2015.
7)7)
JP Sartre, Being and Nothingness (New York, 1956), hlm. 261 dan 264, dikutipkan dari Fuad Hassan, op.cit., hlm. 106.
8)8)
Memang transformasi dari perilaku individu ke perilaku kelompok kolektifnya mengandung berbagai analogical bias.
Dalam hal perilaku ekonomi, misalnya Kenneth Arrow mengajukan “impossibility theorem”-nya, yaitu theorem yang ia kem-
bangkan sebagai upaya menggabungkan preferensi-preferensi masing-masing anggota masyarakat (individu) menjadi preferensi
sosial (social preference), sambil menjelaskan secara teoretis bagaimana sulitnya menggabung dan mentransformasikan preferensi-
preferensi individual menjadi preferensi sosial, lihat Kenneth J Arrow, Social Choice and Individual Values, 2nd ed. (New York:
Wiley, 1963). Dengan bahasa saya, theorem ini dapat saya ibaratkan sebagai upaya mentransformasi preferensi-preferensi individu-
al dalam tataran paham individualisme menjadi suatu Vertrag (kontrak sosial) ataupun dari tataran paham kebersamaan
(mutualism) menjadi suatu Gesamt-Akt (konsensus sosial) yang mencerminkan preferensi sosial (kolektif) dalam kehidupan
ekonomi. Lihat Sri-Edi Swasono, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan (Jakarta: UNJ-Press, 2004), hlm. x. Lebih lanjut saya
berpendapat bahwa analogical bias berikut ini patut dianggap tolerable, saya gambarkan sebagai berikut: “…dalam kehidupan
ekonomi masyarakat, social preference interdependen dengan, tetapi bukan gabungan dari individual preferences...”, yang
mewujudkan suatu “Gestalt” sosial dinamis, lihat Demokrasi Ekonomi: Komitmen dan Pembangunan Indonesia, Pidato
Pengukuhan Guru Besar saya di Universitas Indonesia, Jakarta 13 Juli 1988 (Jakarta: UI- Press, 1988), hlm. 15.
9)9)
Gestalt/Gestaltung adalah khas istilah Jerman yang tidak mudah dicari padanannya dalam bahasa lain, yang artinya
meliputi keutuhan makna shape, form, arrangement, design, decoration, suatu presentation atau appearance of a totality
(konversasi dengan Enoch Markum, 2015). Saya cenderung mengartikannya dalam bahasa Indonesia sebagai suatu kristalisasi yang
memberikan corak dan membentukkan suatu perangai.
10)10)
Fuad Hassan, op.cit., hlm. 133.
11)11)
Konversasi dengan Radhar Panca Dahana (2015).
sebagai faktor operatif yang sarat dengan toleransi untuk memperkukuh kekolektivan dan kohesi
nasional.
Sementara itu multietnisitas dan multikulturalisme masih merupakan problem krusial di Eropa
Barat saat ini khususnya Jerman, Perancis dan Italia, yang cenderung berbau sikap xenophobic,
sedangkan bagi Indonesia perihal ini adalah nature-nya bangsa ini dan merupakan suatu keniscayaan.
Dari segi ideologi kebersamaan atau mutualism adalah suatu doktrin yang menempatkan inter-
dependensi elemen-elemen sosial sebagai penentu hubungan-hubungan individu dan sosial, di mana
kegiatan kolektif diikat oleh sentimen kekeluargan yang menumbuhkan semangat saling tolong-
menolong, saling menghormati perbedaan dan saling mengutamakan kepentingan bersama.12) Dimensi
kebersamaan Indonesia sebagai “negara maritim” atau “negara kepulauan” akan menjadi “khas”, di sini
berlaku doktrin kelautan Indonesia: “lautan menyatukan Indonesia”. Artinya ribuan pulau Indonesia
tidak “dipisahkan” oleh lautan, tetapi “disatukan” oleh lautan.
Asas Kekeluargaan
Sedangkan asas kekeluargaan atau brotherhood (bukan nepotistic kinship) adalah suatu prinsip
atau asas dalam hidup bersama ibarat sebagai keluarga, masing-masing terjalin dalam satu hati, saling
mengasihi, saling asah-asih-asuh, saling menerima perbedaan, menjaga keutuhan kesatuan, menguta-
makan keyakinan bersama tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing. Asas kekeluargaan adalah ke-
ukhuwah-an yang dituntut oleh agama. Dalam kebersamaan hidup asas kekeluargaan dan dalam asas
kekeluargaan hidup kebersamaan.13)
Asas kekeluargaan tak lain adalah the brotherhood of men – padanan dari ajaran Johann
Christoph Friedrich von Schiller, “alle Menschen werden Bruder”. Untuk hal ini perlu dicatat: di sinilah,
dalam paham kebersamaan dan asas kekeluargaan, Soekarno, Hatta dan Ki Hadjar Dewantara, tiga tokoh
Bapak Bangsa, berada pada satu titik perjuangan ideologi nasional.
Runtuhnya Tembok Berlin (9-11-1989) disyukuri oleh seluruh dunia dan diperingati besar-
besaran dengan pagelaran konser di Berlin pada tanggal 25 Desember 1989, khusus untuk itu dibentuk
orkes simfoni gabungan dari orkes-orkes simfoni terkemuka di Eropa, di Schauspielhaus Berlin
dimainkan dengan megah Beethoven Symphony No. 9 dengan conductor tamu Leonard Bernstein dari
The New York Philharmonic Orchestra, yang last movement-nya mengumandangkan Ode an die Freude-
nya pujangga besarnya Jerman, Johann Christoph Friedrich von Schiller: “alle Menschen werden
Bruder” – all men are brothers, menegaskan the brotherhood of men. Kekuatan brotherhood ini telah
menjadi suatu tuah yang menyatukan negara-negara Eropa menjadi Uni Eropa sebagai satu “keluarga
besar” yang dibangun oleh sejarah dan peradaban Barat.
Kebutuhan Bersatu
Sebagai bangsa yang tercerahkan di awal abad ke-20 yang berjuang dan berperang melepaskan
diri dari keterjajahan untuk merdeka, maka persatuan dan kehendak bersatu menjadi nilai-nilai utama
keindonesiaan (core values Indonesia) pula, yang menyertai kebersamaan dan asas kekeluargaan. Tidak
ada kemerdekaan tanpa persatuan.
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang multietnik dan multikulturalistik. Indonesia memiliki
tidak kurang dari 750 sukubangsa, bahkan ada yang mengatakan, tanpa catatan jelas dan rinci, mencapai
lebih dari 1.000 sukubangsa. Apa yang dapat saya sajikan adalah catatan pada tahun 1995 sebagaimana
dapat diperiksa pada Lampiran I di halaman 214-216, jumlah sukubangsa sebanyak 506.
Dari sukubangsa-sukubangsa yang satu sama lain berbeda-beda dan diekspresikan dengan istilah
“bhinneka”, kemerdekaan nasional Indonesia telah menjadikannya sebagai “tunggal ika”. Cita-cita “per-

12)12)
Lihat Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: Dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke The
End of Laissez-Faire (Jakarta: Prakarsa, 2010), khususnya tentang doktrin Webster’s mutualism.
13)13)
Lihat Sri-Edi Swasono, Doktrin Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: Dari Klasikal dan Neoklasikal sampai
ke The End of Laissez-Faire, Loc.cit., Sri-Edi Swasono, Menegakkan Demokrasi Ekonomi: Globalisasi dan sistem Ekonomi
Indonesia, Orasi Ilmiah Dies Natalis Universitas Sumatera Utara, 20 Agustus 2014 (Medan: USU-Press, 2014).
satuan” Indonesia (kemudian menjadi Sila ke-3 Pancasila) adalah suatu idaman lama. Perlunya
kebhinnekaan ditransformasikan menjadi “ketunggalikaan” telah diantisipasi oleh Mohammad Hatta
pada tahun 1932, 83 tahun yang lalu. Mohammad Hatta sebagai salah satu tokoh perintis perjuangan
kemerdekaan, menyatakan:
“…tidak ada kemerdekaan tanpa persatuan…dengan persatuan kita maksud persatuan bangsa,
satu bangsa yang tidak dapat dibagi-bagi…di dalam pangkuan bangsa yang satu itu boleh terdapat
pelbagai paham politik…dan kalau datang marabahaya yang menimpa pergerakan, di sanalah tempat
kita menunjukkan persatuan hati, di sanalah kita harus berdiri sebaris…kita menyusun ‘persatuan’…
kita menolak ‘persatéan’…”.14)
Ketokohan Hatta sebagai anggota Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda dan kemudian
menjadi Ketua perhimpunan ini, sebagaimana dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo, terwujud dari sikap
proaktif Hatta dalam ikut melahirkan “Manifesto Politik” Perhimpunan Indonesia 1925 (yang diper -
siapkannya sejak 1923), sebagai Zeitgeist.15) Manifesto Politik ini menegaskan bahwa tanpa persatuan dan
kesatuan mustahil perjuangan kemerdekaan akan berhasil.
Karenanya ketika 13 tahun kemudian, pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya di
BPUPKI dan kemudian pidato itu diberi judul “Lahirnya Pancasila”, langsung oleh Hatta disambut
sebagai dasar “persatuan hati” yang ia idamkan sejak tahun 1932, agar “persatuan” tidak sekedar menjadi
persatéan. Dengan demikian Pancasila menjadi common denominator (suatu “penyebut” yang sama
dalam angka-angka pecahan), yang mentransformasikan “kebhinnekaan” menjadi “ketunggalikaan”.
Di sini saya menemukan persatuan yang bermula dari “kehendak bersatu” atau “kebutuhan
bersatu”, le désir d’être ensemble, the desire to assemble adalah pula merupakan the core values
Indonesia dalam tujuan mencapai, meraih dan mempertahankan kemerdekaan nasional. Di sinilah
makna tuah lama “tan hanna dharma mangrwa”-nya Mpu Tantular.
Kehendak bersatu yang membentuk “persatuan” bisa terjadi hanya bila ada “rasa bersama” atau
“persatuan hati” yang selanjutnya membentuk budaya “kebersamaan”.
Keberdaulatan
Kita telah dijajah secara bertahap sejak lebih dari 350 tahun. Selama itu kita melawan, berontak,
sekali-kali menang, namun akhirnya kita terkalahkan dan terjajah. Perjuangan melawan keterjajahan
telah melahirkan pahlawan-pahlawan lokal dan nasional, melawan penjajah dan sekaligus melawan para
komprador, pengkhianat-pengkhianat bangsa sendiri. Kelanjutan dari “kehendak bersatu” adalah untuk
menjadi suatu nation yang merdeka. Perjuangan melawan penjajah dan menolak keterjajahan adalah
perjuangan tanpa akhir untuk mencapai kemerdekaan dan keberdaulatan. Akhirnya de facto Indonesia
merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. De jure Indonesia merdeka pada 27 Desember 1949 yang ditandai
dengan “penyerahan kedaulatan” dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat. Dengan
demikian kita telah memenuhi tuntutan perlunya mengemban nilai-nilai utama (core-values) Indonesia,
yang secara nasional memangku taraf puncak keberdaulatan, sehingga sepenuhnya mampu mengukir
sendiri identitas nasional kita (Pancasila).

Pancasila Asas Bersama – Common Denominator

Bila kita berada di lingkungan berbagai universitas, baik yang negeri maupun yang swasta, yang
secara eksklusif mendapat label universitas nasionalis, di situ nampak ditandai dengan dimilikinya pusat-
pusat studi Pancasila serta dengan tekun tetap menyediakan matakuliah Pancasila atau yang terkait
dengan Pancasila. Universitas-universitas semacam ini menerima Pancasila sebagai “kebudayaan”. Ini
berarti diterima adanya “budaya Pancasila” (atau “budaya ber-Pancasila”), yaitu Pancasila sebagai nilai-
14)14)
Lihat Daulat Ra’jat, 20 April 1932.
15)15)
Prof. Sartono Kartodirdjo berulang kali menyatakan pendapatnya kepada saya pribadi bahwa Sumpah Pemuda 1928
dan pleidooi Hatta “Indonesië Vrij” 1928, merupakan amplification dari Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia 1925, lihat Sri-
Edi Swasono (ed.) Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat (Jakarta: Yayasan Hatta, 2002), hlm. 633.
nilai luhur yang digali dari bumi Indonesia, yang kemudian perlu disosialisasikan, atau dengan kata lain,
“dibudayakan”, yang berarti mengakui adanya proses enculturation dan enculturated.
Pancasila adalah suatu common denominator bagi Indonesia dan sekaligus sebagai
Weltanschauung-nya16) Indonesia merdeka. (Pancasila sebagai “pandangan hidup bangsa” dan sebagai
“Dasar Negara” akan saya uraikan lebih lanjut dalam Bab IV buku ini, halaman 39).
Pancasila bukan wahana, tetapi ruh atau “hatinya bangsa” (Soekarno) atau “persatuan hatinya
bangsa” (Hatta) yang harus tetap hidup sebagai Dasar Negara. Tanpa Pancasila Indonesia tidak akan ada.
Di atas Pancasila sebagai Dasar Negara berdirilah Pilar-Pilar berbangsa dan bernegara. Pancasila
sebagai Dasar Negara mendukung Pilar-Pilar dan memberi warna atau corak kepada keempat-empat
Pilar yang ditegakkannya yaitu: pertama, Proklamasi Kemerdekaan, sebagai keputusan eksistensial
tertinggi (de hoogste beslissing); kedua, UUD 1945; ketiga, NKRI; dan keempat, Bhinneka Tunggal Ika.
Tanpa Pancasila sebagai Dasar, maka Pilar-Pilar itu akan mengambang, éla-élo, akan terombang-ambing
oleh ombak dan godaan-godaan.
Dengan neoliberalisme yang dipelihara Pemerintah saat ini, yang tanpa rasa risih masih
diajarkan secara luas di kampus-kampus kita, makin berkembanglah sikap mengabaikan dan me-
remehkan Pancasila. Sejak beberapa waktu lampau, berbudaya Pancasila dalam penyelenggaraan Negara
makin tersingkirkan.
Pancasila ibarat “penyebut yang sama” (common denominator) bagi multietnisitas dan
multikulturalisme Indonesia. Ibarat 1/2 tidak akan terjumlahkan dengan 1/3 dan 1/4 manakala ketiga-
nya tidak tertransformasikan dalam penyebut yang sama, yaitu 1/2 menjadi 6/12, 1/3 menjadi 4/12
dan 1/4 menjadi 3/12. Tanpa ruh atau penyebut yang sama maka “persatuan” hanya akan menjadi
“persatéan”. Pancasila mentransformasi kebhinnekaan menjadi ketunggalikaan.
Oleh karena itu Pancasila adalah “asas bersama” bagi yang bhinneka agar menjadi tunggal-ika.
Pancasila adalah entitas doktrin kebersamaan Indonesia.
Keterjerumusan kita pada neoliberalisme, yang antara lain mengutamakan dasar untung-rugi
dalam berperikehidupan ekonomi, telah mempertajam ketimpangan teritorial, merenggangkan persatuan
hati, merusak rasa-bersama dan kebersamaan sebagai keluarga besar, dengan akibatnya memperenggang
kohesi nasional.

Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan Dasar Demokrasi Indonesia


Dari kebersamaan yang berasas kekeluargaan ini pulalah bangsa Indonesia menjunjung tinggi
budaya musyawarah untuk mufakat dalam berdemokrasi sesuai kebhinnekaan bangsa kita yang sarat
dengan multietnisitas dan multikulturalisme. Di sinilah kita menghormati perbedaan-perbedaan dalam
suatu kedamaian. Di sinilah keberadaan masing-masing diperkuat oleh yang lain. Di sinilah “kami” dan
“mereka” tertransformasi dengan sukarela menjadi “kita” sebagai idaman bersama. Dari sini kita
menyelenggarakan demokrasi berdasar prinsip “semua diwakili”, bukan “semua dipilih”. Demokrasi
begini kita laksanakan melalui MPR (ketika kita masih memiliki Utusan-utusan dari Daerah-daerah dan
dari Golongan-golongan berdasar UUD 1945 asli). Di sini pulalah kita hidup bergotong-royong, catatan
berikut menggambarkan gotong-royong sebagai landasan hidup bersama, saling tolong-menolong,
bekerjasama dan bersinergi, untuk saling lebih bermakna satu sama lain, yang tersebar di pulau-pulau
dan sukubangsa-sukubangsa seluruh Indonesia.
Budaya gotong-royong dan tradisi bergotong-royong sebagai salah-satu wujud paham kerjasama
atau kooperativisme tersebar di seluruh Indonesia. Istilah “meuseuraya” (saya kutip dari keterangan
Prof. Rusjdi Ali Muhammad) sebagai istilah lokal untuk gotong-royong di Aceh. Di Tapanuli untuk
gotong-royong digunakan istilah “marsiadapari”; di Minangkabau “gotong-royong”; di Jawa

16)16)
Pancasila sebagai Weltanschauung atau Philosophische-Grondslag Indonesia. Jerman di zaman Hitler memiliki
national-sozialistische Weltanschauung. Uni Soviet di zaman Lenin mempunyai Marxistische Weltanschauung. Dai Nippon
didirikan di atas Tennoo Koodoo Seishin Weltanschauung. Ibn Saud mendirikan Arabia dengan Weltanschauung berdasarkan atas
agama. Lihat Pidato Soekarno pada Sidang BPUPKI 1 Juni 1945 (Lahirnya Pancasila).
Tengah/Timur “gotong-royong”; di Periangan/Jawa Barat “sauyunan” atau “sabilulungan”; di Madura
“ajungrojung” atau “songosong lombung”; di Kalimantan Selatan (Banjar) “blegawi baimbai” atau
“manutung”; Kalimantan Timur (Kutai) “bebaya” atau “olah-bebaya”; Makassar (Sulawesi Selatan)
“sipatuo-sipatokong”; di Manado (Sulawesi Utara) “mapalus”; di Kepulauan Sangir Talaud (Sulawesi
Utara) “mane’e”; di Maluku Tengah “masohi”; Maluku Utara (Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo) “bobari”; di
Timor (Tetun) “hakawak”; di Bunaq (Nusa Tenggara Timur) “lurin”; di Bali “menyame-braya”.
Demokrasi Indonesia adalah suatu consociation democracy, demokrasi mengutamakan prinsip
“semua diwakili”, untuk mencapai konsensus melalui musyawarah, yang pada hakikatnya tidak
mengandalkan pada demokrasi liberal yang mengutamakan prinsip “semua dipilih”. “Semua terwakili”
meredam dominasi mayoritas yang dalam multietnisitas mengandung potensi non-emansipatori dengan
segala pengaruh negatifnya terhadap integrasi nasional. 17)
Apa yang dikemukakan di atas bukan merupakan adagium baru, kita mengenal kata-kata populer
dalam Star Trek, “…Greeting. I am pleased to see that we are different. May we together become greater
than the sum of us…”.18) Inilah sinergi dalam togetherness dan cooperation untuk bangsa yang
berbhinneka.

Catatan Penutup
Telah menjadi kebijakan Presiden yang memisah pendidikan dasar dan menengah dan
pendidikan tinggi, sehingga kita memiliki dua kementerian di dalam pendidikan nasional kita: Kemen-
terian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Tentu diharapkan kedua kementerian ini tetap dengan sebaik-baiknya berada di jalur konstitusi
kita sebagaimana ditetapkan pada Pasal 31 Ayat (3) UUD 2002, yang menegaskan: “Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang”.
Apa yang perlu kita garis bawahi adalah tiga untai perkataan, yaitu “satu sistem pendidikan
nasional”, “ketakwaan serta akhlaq mulia”, dan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Berdasar pesan
konstitusi ini, maka tidak perlu dikhawatirkan bahwa pendidikan Pancasila dan keindonesiaan akan
diabaikan pada pendidikan tinggi kita. Demikian pula tidak perlu diragukan bahwa dalam rangka
merespon globalisasi pendidikan tinggi akan hanya melahirkan “gunawan” yang bukan sekaligus “budi-
man” seperti digariskan oleh Presiden Universitet Indonesia (pidato Dies Natalis UI, 1953). Sebagaimana
telah saya kemukakan di depan.
Dengan demikian itu maka kecemasan bahwa dengan pendidikan tinggi kita diarahkan untuk
menghasilkan profesional dan teknisi canggih untuk memenuhi tuntutan globalisasi an sich, yang tidak
mengemban pekerti sebagai homo-socious atau pun homo-humanus, haruslah sejak awal kita tepis dan
sekaligus kita hindarkan bersama-sama. Pendidikan nasional Indonesia tidak untuk melahirkan manusia-
manusia Indonesia sebagai komoditi ekonomi, tapi tetap untuk melahirkan manusia Indonesia
seutuhnya, yang menyandang core values Indonesia: kebersamaan, asas kekeluargaan dan kebutuhan
bersatu.

17)17)
Perihal ini disinggung oleh Koentjaraningrat pula, terkait dengan masalah integrasi nasional dan budaya “primordial”
di Belgia dan Yugoslavia. Lihat Koentjaraningrat (penyunting Meutia Hatta), Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional
(Jakarta: UI-Press, 1993).
18)18)
Dikutip dari William B. Gudykunst dan Young Yun Kim, Communicating with the Strangers (Boston: McGraw: Hill,
1997), hlm. 3.

Anda mungkin juga menyukai