Anda di halaman 1dari 13

ASCITES

i. Definisi
Asites adalah akumulasi cairan (biasanya cairan serosa yang merupakan cairan
berwarna kuning pucat dan jelas) dalam rongga (peritoneal) perut. Rongga perut
terletak di bawah rongga dada, dipisahkan oleh diafragma (Feldman, 2010). Penyebab
utama asites merupakan hipertensi portal yang berhubungan dengan sirosis hepar.
Akan tetapi, keganasan dan infeksi juga dapat menyebabkan asites (Fauci, 2008).

ii. Epidemiologi
Pada kebanyakan kasus (kira-kira 75%), asites disebabkan oleh penyakit sirosis hati,
sedangkan 12% kasus disebabkan oleh keganasan peritoneal ("malignant asites"),
5% kasus disebabkan oleh gagal jantung, 2% kasus disebabkan oleh tuberkulosis
peritoneal, dan sisanya disebabkan oleh penyebab lain seperti sindrom nefrotik dan
penyakit pankreas (Krige, 2011).

iii. Patofisiologi
Hipertensi portal → peningkatan tekanan vena porta merangsang pelepasan sitokin
vasodilator seperti NO, prostasiklin, adenosin, endotoksin) yang selanjutnya
mengakibatkan vasodilatasi perifer dan splanchnic. Vasodilatasi ini mengakibatkan
tubuh mendeteksi terjadinya penurunan volume plasma melalui baroreseptor.
Keadaan hipovolemik ini kemudian mengaktifkan sistem renin-angiotensin-
aldosteron, sistem saraf simpatis, dan meningkatkan sekresi antidiuretik hormon
yang selanjutnya mengakibatkan vasokonstriksi renal dan retensi garam dan air
(Hou, 2010).
 Pre-hepatik : kompresi atau trombosis vena porta; schistosomiasis
 Hepatik : sirosis hepatis; nekrosis hepatik akut; hepatitis viral
 Post-hepatik : sindrom Budd-Chiari, myeloproliferative disorders, perikarditis
konstriktif; gagal jantung kanan, keadaan hiperkoagulabilitas
Hipoproteinemia → Konsentrasi protein plasma yang rendah, terutama albumin,
menurunkan tekanan osmotik plasma. Normalnya, tekanan osmotik yang relatif
tinggi cenderung menarik cairan ekstravaskular kembali ke intravaskular. Pada
keadaan hipoproteinemia, gradien osmotik berkurang sehingga cairan yang ditarik
dari ekstravaskular juga sedikit. Jika jumlah cairan ekstravaskular melebihi
kapasitas limfatik hepar dan usus, maka terjadilah asites (Sood, 2009).
 Sindrom nefrotik
 Protein-losing enteropathy
 Malnutrisi
Neoplasma → Sel tumor akan melepaskan faktor pertumbuhan, seperti VEGF, b-
FGF, TGF α dan β , IL8, yang berperan dalam neovaskulariasi dan meningkatkan
permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler memudahkan terjadinya
akumulasi protein dan albumin di rongga peritoneum. Peningkatan tekanan
osmotik ini menarik cairan dari intravaskuler ke rongga peritoneum. Selain itu,
tumor hepar yang besar yang mengkompresi atau tumbuh ke dalam vena porta
atau vena hepatik akan mengakibatkan hipertensi portal dan asites (Hou, 2010).
Miscellaneous → Pankreatik asites terjadi akibat ruptur duktus pankreatikus atau
kebocoran sekresi pankreas dari suatu pseudocyst. Iritasi peritoneum oleh sekresi
pankreas akan mengganggu permeabilitas membran peritoneum sehingga terjadi
akumulasi protein plasma dan cairan di rongga peritoneum. Pada pembedahan
abdomen jika terjadi cedera limfatik dapat mengakibatkan terjadinya asites kilus
(Sood, 2009).
 Pankreatik asites
 Nefrogenik asites
 Myxoedema
 Meigs's syndrome
 Post-abdominal surgery

iv. Manifestasi Klinis


Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi pada asites sirosis yaitu (Sood, 2009):
A. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis. Timbulnya ikterus
(penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia sedang menderita
penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika liver sakit dan
tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya
kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama
perjalanan penyakit(Godong, 2013).
b. Timbulnya asites dan edema pada penderita sirosis(Fauci, 2008). Ketika liver
kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk pada
kaki (edema) dan abdomen (asites). Faktor utama asites adalah peningkatan
tekanan hidrostatik pada kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah
timbulnya asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi garam
dan air.
c. Hati yang membesar (Godong, 2013). Pembesaran hati dapat ke atas
mendesak diafragma dan ke bawah. Hati membesar sekitar 2-3 cm, dengan
konsistensi lembek dan menimbulkan rasa nyeri bila ditekan.
d. Hipertensi portal (Sood,2009). Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan
darah vena portal yang memetap di atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal
adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati

v. Diagnosis
Anamnesis
Tahap awal untuk menegakkan diagnosis asites adalah dengan melakukan
anamnesis mengenai perjalanan penyakit. Saat melakukan anamnesis sebaiknya
dokter mencari tahu faktor risiko yang dapat menyebabkan gangguan pada hati,
seperti: riwayat kolestasis neonatal, jaundice, hepatitis kronik, riwayat transfusi
atau suntikan, atau riwayat keluarga dengan penyakit hati. Selain itu, biasanya
perlu ditanyakanapakah terjadi peningkatan berat badan yang berlebihan(Kuiper,
2007).

Pemeriksaan fisik
Tahap selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada
awal pemeriksaan fisik, perlu dibedakan apakah pembesaran perut yang terjadi
karena asites, atau penyebab lain seperti: kegemukan, obstruksi usus, atau adanya
massa di abdomen. Flank dullness yang biasanya terdapat pada 90% pasien dengan
asites merupakan tes yang paling sensitif, sedangkan shifting dullness lebih spesifik
tetapi kurang sensitif (Kuiper 2007).
Kemudian difokuskan untuk mendeteksi penyakit hati kronis/sirosis hepatis seperti
adanya hipertensi portal dengan adanya tanda-tanda splenomegali, bendungan
vena-vena dinding perut, hernia umbilical, adanya ikterus, spider nevi, eritema
Palmaris, muka abu-abu, atrofi testis atau ginekomasti pada laki-laki, dan lain-lain
(Shah, 2014).
Pemeriksaan abdomen khusus untuk mendeteksi asites seperti : bunyi timpani pada
perkusi perut pasien yang tidur terlentang disebabkan oleh liku-liku usus yang
berisi udara mengapung diatas cairan asites, perut menbengkak ke samping kanan
dan kiri akibat tekanan dari cairan asites pada dinding perut (bulging flanks), bunyi
pekak pada perut yang berubah apabila pasien dimiringkan kekiri atau kekanan
(shifting dulness) bila cairan sekitar 1500cc (Godong, 2013).

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang setelah anamnesis dan pemeriksan fisik penegakan
diagnosis dapat dibantu oleh pemeriksaan penunjang, berupa pemeriksaan
radiologi, dan laboratorium. Pemeriksaan radiologi yang dapatdilakukan meliputi
pemeriksaan rontgen toraks dan abdomen, USG, CT-Scan dan MRI abdomen.
Pemeriksaan laboratorium berupa hematologi rutin, fungsi ginjal dan urinalisis
(Tanto, 2013).

Punksi asites
Punksi abdomen merupakan cara yang cepat dan ekonomis untuk mendiagnosis
adanya asites, melihat profil/warna cairan dan analisis cairan untuk menentukan
kasus. Punksi asites aman dilakukan walaupun ditemukan adanya koagulopati.
Indikasi punksi asites adalah asites yang baru timbul sebagai tindakan rutin, pasien
yang dirawat berulang kali, bila terdapat tanda-tanda infeksi seperti demam, nyeri
perut dan leukositosis (Sood, 2010). Cairan asites dikategorikan menjadi eksudat
dan transudat. Berikut adalah kriteria eksudat dan transudat (Godong, 2013).

JENIS TES TRANSUDAT EKSUDAT


Makroskopi Kuning muda Warna bermacam-macam
Jernih Keruh
Bekuan tidak
ada Sering ada bekuan
BJ < 1018 BJ > 1018
Jumlah sel
leukosit < 500 > 500
Hitung Jenis Sel MN PMN > (akut)
MN > (kronik)
Rivalta Neg/Pos Lemah Pos
Protein < 50% plasma > 50%
< 2,5 gr/dl > 4,0 gr/dl
Glukosa = plasma < plasma
LDH < 60% plasma > 60% plasma

Ratio :
Protein cairan
plasma < 0,5 > 0,5
LDH cairan
plasma < 0,6 > 0,6

Rontgen toraks dan abdomen


Asites masif mengakibatkan elevasi difragma dengan atau tanpa adanya efusi pleura.
Pada foto polos abdomen asites ditandai dengan adanya kesuraman yang merata, batas
organ jaringan lunak yang tidak jelas, seperti: otot psoas, liver dan limpa. Udara usus
juga terlihat mengumpul di tengah (menjauhi garis lemak preperitoneal), dan bulging
flanks.

Ultrasonography (USG)
USG adalah cara paling mudah dan sangat sensitif, karena dapat mendeteksi asites
walaupun dalam jumlah yang masih sedikit (kira kira 5-10 ml). Apabila jumlah asites
sangat sedikit, maka umumnya akan terkumpul di Morison Pouch,dan di sekitar hati
tampak seperti pita yang sonolusen. Asites yang banyak akan menimbulkan gambaran
usus halus seperti lollipop. Pemeriksaan USG juga dapat menemukan gambaran
infeksi, keganasan dan/atau peradangan sebagai penyebab asites. Asites yang tidak
mengalami komplikasi gambaran USG umumnya anekoik homogen, dan usus tampak
bergerak bebas. Asites yang disertai keganasan atau infeksi akan memperlihatkan
gambaran ekostruktur cairan heterogen, dan tampak debris internal. Usus akan terlihat
menempel sepanjang dinding perut belakang; pada hati atau organ lain; atau
dikelilingi cairan.. Namun demikian, USG memiliki keterbatasan untuk mendeteksi
asites pada pasien obesitas, dan asites yang terlokalisir karena gelombang ultrasound
dapat terhalang oleh jaringan lemak dan gas di dalam lumen (Tanto, 2014).

CT Scan
CT Scan memberikan gambaran yang jelas untuk asites. Asites dalam jumlah yang
sedikit akan tampak terlokalisasir pada area perhepatik kanan, subhepatik bawah,
dan pada kavum douglas. Densitas dari gambaran CT Scan dapat memberi arahan
tentang penyebab dari asites (Shah, 2014).

Abdominal Parasentesis
Abdominal parasentesis umum dikerjakan pada pasien dengan asites yang
belum diketahui penyebabnya, dan pada pasien dengan penambahan jumlah asites
yang sangat cepat,perburukan klinis, disertai demam dan nyeri perut. Pemeriksaan
ini berguna untuk mendeteksi terjadinya spontaneous bacterial peritonitis (SBP).
Cairan asites kemudian dikirim untuk mengetahui jumlah sel, albumin, kultur
asites, protein total, gram stain dan sitologi. Pemeriksaan cairan asites meliputi
(Tanto, 2014):
Inspeksi
Sebagian besar cairan asites berwarna transparan dan kekuningan. Warna
cairan akan berubah menjadi merah muda jika terdapat sel darah Merah >10
000/µl, dan menjadi merah jika SDM >20 000/µl. Cairan asites yang berwarna
merah akibat trauma akan bersifat heterogen dan akan membeku, tetapi jika
penyebabnya non trauma akan bersifat homogen dan tidak membeku. Cairan asites
yang keruh menunjukan adanya infeksi.
Hitung jumlah sel
Cairan asites yang normal biasanya mengandung <500 cc/mm3 dan <250
PMN leukosit/mm3. Apabila jumlah PMN >250/mm3 ,bisa diperkirakan
kemungkinan terjadinya SBP. Selain peningkatan PMN, diagnosa SBP ditegakkan
bila jumlah leukosit >500 sel/mm3 dan konsentrasi protein 50.000/mm3 ), dan
30%nya disebabkan oleh karsinoma hepatoseluler (Shah, 2014).

Serum Asites Albumin Gradient (SAAG)


Dahulu asites dikategorikan menjadi eksudat dan transudat. Eksudat jika
konsentrasi protein >25 g/l, dan transudat jika konsentrasi protein < 25g/l. Tujuan
pembagian ini adalah untuk mencari penyebab asites, misalnya asites pada kasus
keganasan bersifat eksudat, sedangkan pada sirosis bersifat transudat.
Saat ini pembagian tersebut sudah digantikan oleh pemeriksaan Serum Asites
Albumin Gradient (SAAG). SAAG ini mengklasifikasikan asites menjadi
hipertensi portal (SAAG) > 1,1 g/dl) dan non hipertensi portal (SAAG< 1.1 g/dl).
Cara penghitungan SAAG adalah dengan menghitung jumlah albumin cairan asites
dikurangi jumlah albumin serum. Hal tersebut erat hubungannya dengan tekanan
vena porta. Pemeriksaan ini 97% akurat untuk membedakan asites dengan atau
tanpanya hipertensi portal. Beberapa penyebab asites berdasarkan pembagian
menurut nilai SAAG dapat dilihat pada tabel dibawah (Puppala, 2014).

Gradien tinggi (>1,1 g/dl) Gradien rendah (<1,1 g/dl)

Sirosis Tuberculosis peritoneum


Alcholis hepatits Karsinoma peritoneum
Gagal jantung Pancreatic asites
Metastatis kanker hati Biliary asites
Gagal hati fuminan Sindroma nefrotik

Butt Chiari Syndrome Serositis


Thrombosis vena porta Obstruksi atau infark usus
Vena occlusive disease
Fatty liver pada kehamilan
Myxooedema

Kultur atau pewarnaan gram


Sensitivitas kultur mencapai 92% dalam mendeteksi bakteri pada cairan asites.
Hasil kultur yang positif harus dilanjutkan dengan pemeriksaan hitung neutrofil.
Jika hasil hitung neutrofil dalam batas normal dan pasien tidak bergejala maka
hasil kultur dapat diabaikan. Tetapi jika hitung neutrofil >250 sel/mm3 maka
pasien diterapi sesuai SBP. Di lain pihak, sensitivitas pewarnaan gram hanya 10%
untuk deteksi dini kemungkinan SBP (Shah, 2014).

vi. Tatalaksana
Tatalaksana Non Farmakologis
A. Tirah Baring
Posisi tegak pada pasien dengan sirosis dan asites akan menyebabkan
aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatis,
penurunan laju filtrasi glomerulus, ekskresi natrium, dan penurunan respon
terhadap loop diuretik. Posisi tirah baring dapat memperbaiki proses
pembersihan dari ginjal, sehingga tirah baring sering direkomendasikan pada
pasien asites. Akan tetapi, tirah baring juga memiliki efek negatif yaitu dapat
menyebabkan atrofi otot dan memperpanjang masa rawatan di rumah sakit
(Shah, 2014).
B. Diet
Salah satu modifikasi diet yang dapat dilakukan pada pasien asites
adalah membatasi konsumsi natrium. Konsumsi natrium perlu dibatasi sekitar
800 – 1000 mg (2 gr NaCl) untuk mencapai keseimbangan natrium negatif dan
menyebabkan terjadinya proses diuresis. Pada pasien dengan asites ringan-
sedang, konsumsi natrium harus dibatasi sekitar 60 – 90 mmol/hari.
Pembatasan konsumsi natrium khususnya diberikan pada pasien yang tidak
respon atau hanya memiliki respon yang kecil pada terapi dengan obat diuretik
(Tanto, 2014)

C. Large Volume Paracentesis (LVP)


LVP dilakukan jika terjadi kegagalan pada terapi dengan diuretik dan
modifikasi diet. VP merupakan suatu prosedur yang menyebabkan pengeluaran
cairan asites sebanyak lima liter atau lebih. LVP lebih efektif daripada
penggunaan diuretik karena dapat mengeluarkan cairan asites dalam jumlah
yang banyak dan dapat mempersingkat masa rawatan di rumah sakit. Salah
satu komplikasi yang paling sering terjadi akibat prosedur LVP adalah
Paracentesis-Induced Circulatory Dysfunction (PICD). Sehingga untuk
mencegah terjadinya PICD, sebelum prosedur LVP sebaiknya diberikan
albumin terlebih dahulu. Dosis albumin yang diberikan adalah 6 – 8 gram
untuk setiap liter cairan asites yang dikeluarkan. Namun karena albumin cukup
mahal, maka terapi pengganti yang dapat diberikan adalah terlipressin, suatu
vasopresin prodrug. Komplikasi lain yang dapat timbul akibat LVP adalah
infeksi, perdarahan, gangguan elektrolit dan perforasi organ contohnya adalah
usus (Sood, 2010).

D. Transjugular Intrahepatic Portosistemic Shunt (TIPS)


TIPS adalah suatu prosedur yang dilakukan dengan membuat suatu jalur
untuk menghubungkan vena porta dan vena hepatika sehingga menyebabkan
penurunan tekanan porta. TIPS lebih efektif dalam mengeluarkan cairan asites
jika dibandingkan dengan prosedur paracentesis. Prosedur TIPS dapat
menurunkan tekanan porta dan memperbaiki ekskresi natrium ginjal. Salah
satu efek samping yang timbul akibat prosedur TIPS adalah hepatik
ensefalopati. Prosedur TIPS tidak dapat dilakukann bila kadar bilirubin > 3
mg/dl, protrombin time > 20 detik, dan kadar kreatinin serum > 2 mg/dl8.
Kontraindikasi absolut untuk prosedur TIPS adalah gagal hati yang berat dan
progresif, ensefalopati berat, penyakit polikistik liver, dan gagal jantung.
Kontraindikasi relatif untuk prosedur TIPS adalah trombosis vena porta dan
vena hepatika, hipertensi pulmonal, sindrom hepatopulmonal, dan infeksi aktif.
Komplikasi yang dapat timbul akibat prosedur TIPS adalah fistula pembuluh
darah biliar, hematom liver, migrasi stent, perdarahan intraabdomen, infeksi
akibat penggunaan stent, peritonitis, gagal jantung, trauma liver dan
jantung(Tanto, 2014).

E. Peritoneovenosus Shunt (PVS) / LaVeen Shunt


PVS merupakan prosedur yang bertujuan untuk mengembalikan cairan
asites ke sistem vena sentral. Prosedur PVS khususnya dilakukan pada pasien
dengan asites refrakter. Prosedur PVS lebih baik daripada parasentesis untuk
terapi jangka panjang asites. Prosedur PVS menyebabkan penurunan volume
plasma, menghambat renin, aldosteron, noradrenalin, dan konsentrasi hormon
anti diuretik sehingga terjadi peningkatan diuresis, natriuresis, dan pengeluaran
cairan. Prosedur ini juga diikuti dengan peningkatan aliran darah ginjal dan
laju filtrasi glomerulus. Komplikasi yang timbul akibat prosedur PVS adalah
sepsis, peritonitis, DIC, dan perdarahan varises akibat peningkatan tekanan
porta (Shah, 2010).

F. Transplantasi Hepar
Asites yang terjadi pada pasien dengan penyakit sirosis hati
mengindikasikan suatu tahap akhir dari penyakit dan harus selalu mendapatkan
pertimbangan terapi yang khusus. Salah satu terapi yang dapat diberikan
adalah transplantasi hepar. Untuk pasien dengan asites refrakter, transplantasi
hepar akan mengontrol keadaan penyakit dengan efektif (Sood, 2010).
Tatalaksana Farmakologis
A. Diuretik
Tujuan terapi dengan menggunakan diretik adalah menurunkan
morbiditas dan mencegah komplikasi pada pasien asites. Sasaran terapi
diuretik adalah penurunan berat badan tidak lebih dari 1 kg/hari pada pasien
dengan asites dan edema dan tidak lebih dari 0,5 kg/hari pada pasien dengan
asites (Tanto, 2014).
Obat diuretik awal yang dapat digunakan adalah Spironolakton, suatu
antagonis aldosteron. Spironolakton bekerja dengan menurunkan reabsorbsi
natrium di tubulus distal. Dosis awal yang dapat digunakan adalah 50 – 100
mg/hari dan dosis maksimal yang dapat digunakan adalah 400 mg/hari(Sood,
2010). Efek samping yang paling sering timbul akibat penggunaan
spironolakton adalah hiperkalemia dan ginekomasti (Shah, 2010). Efek
samping lainnya adalah penurunan libido, impotensi, kram otot, dan gangguan
menstruasi (Sood, 2010). Untuk mengatasi ginekomastia, terapi pengganti
spironolakton yang dapat digunakan adalah Amiloride. Dosis amiloride yang
digunakan yaitu 10 – 40 mg/hari. Akan tetapi, amiloride lebih mahal dan
kurang efektif dibandingkan spironolakton (Sood, 2010).
Jika pasien tidak respon dengan spironolakton, obat diuretik lain yang
dapat digunakan adalah furosemide. Dosis awal furosemid adalah 20 – 40
mg/hari dan dosis maksimal furosemide adalah 160 mg/hari. Efek samping
furosemide yaitu hipokalemia, metabolik hipokloremia alkalosis,
hiponatremia, dan hipovolemia sehingga dapat menimbulkan gangguan ginjal
dan ensefalopati (Shah, 2014).
Untuk mengurangi resiko hiperkalemia, terapi kombinasi yang dapat
digunakan adalah kombinasi furosemide dan spironolakton. Dosis terapi yang
direkomendasikan yaitu 40 mg furosemide untuk 100 mg spironolakton. Dosis
maksimal yang dapat dipakai untuk terapi kombinasi yaitu spironolakton 400
mg/hari dengan furosemide 160 mg/ahri. Pasien yang mendapatkan terapi
kombinasi ini harus dimonitor secara ketat yaitu penurunan berat badan,
elektrolit, urea, dan kreatinin (Godong, 2014).
B. Aquaretic Agent
Aquaretik agent adalah antagonis spesifik vasopressin reseptor (V2).
Aquaretik agent bekerja pada tubulus kolektivus ginjal dan menginduksi
ekskresi cairan tanpa mempengaruhi keseimbangan elektrolit. Salah satu
contoh aquaretik agent adalah satavaptan (Shah, 2014).

vii. Prognosis
Prognosis pasien dengan asites akibat penyakit pada hati tergantung pada
penyakit yang mendasari, seperti tingkat kesembuhan dari suatu penyakit dan
respon terhadap pengobatan (Shah,2014). Hal ini disebabkan oleh proses
perjalanan penyakit yang kronis dan progresif. Pada pasien dengan asites
sekunder pada gagal hati, memiliki tingkat mortalitas hingga 2 tahun apabila
tidak dilakukan pengobatan (Sherlock, 2002).
Terapi parasentesis bersifat aman dan efektif dalam mengurangi jumlah
cairan mulai dari kecil hingga sedang. Tetapi, prosedur ini beresiko
menyebabkan infeksi pada abdomen dan bisa menyebabkan penurunan tekanan
darah atau shock sehingga tidak sesuai dilakukan pada pasien dengan asites
berat. Peritoneo-venous shunt efektif dalam mengurangi asites tetapi dengan
resiko mortalitas hingga 30% pada saat operasi (Shah, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Feldman, M., 2010. Ascites and spontaneous bacterial peritonitis, 9th Edition of
Gastrointestinal and Liver Disease. Sounders & Elsevier, pp: 1517-1578
Fauci, A.S., Longo, D.L., 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Ed. USA:
The McGraw-Hill Companies, Inc.
Krige J.E.J., Beckingham I.J., 2011. Portal hypertension - 2. Ascites, encephalopathy, and
other conditions. BMJ 322 : 416
Hou W., Sanyal A.J., 2010. Ascites : Diagnosis and Management. Med Clin N Am 93 :
801-817
Sood, R., 2009. Ascites : Diagnosis and Management. Journal of Indian Academy of
Clinical Medicine 5 (1) : 81-89

Kuiper, J.J., DeMan, R.A., Van Buuren, H.R., 2007. Review Article : Management of
Ascites and Associated Complications In Patients With Cirrhosis. Aliment Pharmacol
Ther. 26(2) : 183 – 193
Shah, R., 2014. Ascites. Available from:medicine.medscape.com/article /170907-
treatment

Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E.A., 2014. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi IV Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius
Godong, B., 2013. Patofisologi dan diagnosis asites pada anak. J Indon Med Assoc. 63 (1)
32-35
Puppala, S., 2014. Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt. Available from :
emedicine.medscape.com/article/1423244-overview#a17
Sherlock, S., Dooley J., 2002. Disease of the Liver and Biliary System 11th Ed.
London: Blackwell Science Ltd a Blackwell Publishing Company
Sudoyo, A.W., Setiohadi B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid I. Jakarta: Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai