Anda di halaman 1dari 13

ASCITES

1.1 Definisi
Asites adalah akumulasi cairan (biasanya cairan serosa yang merupakan
cairan berwarna kuning pucat dan jelas) dalam rongga (peritoneal) perut. Rongga
perut terletak di bawah rongga dada, dipisahkan oleh diafragma (Feldman, 2010).
Penyebab utama asites merupakan hipertensi portal yang berhubungan dengan
sirosis hepar. Akan tetapi, keganasan dan infeksi juga dapat menyebabkan asites
(Fauci, 2008).

1.2 Epidemiologi
Pada kebanyakan kasus (kira-kira 75%), asites disebabkan oleh penyakit
sirosis hati, sedangkan 12% kasus disebabkan oleh keganasan peritoneal
("malignant asites"), 5% kasus disebabkan oleh gagal jantung, 2% kasus
disebabkan oleh tuberkulosis peritoneal, dan sisanya disebabkan oleh penyebab
lain seperti sindrom nefrotik dan penyakit pankreas (Krige, 2011)

1.3 Patofisiologi
1.3.1 Hipertensi portal → peningkatan tekanan vena porta merangsang pelepasan
sitokin vasodilator seperti NO, prostasiklin, adenosin, endotoksin) yang
selanjutnya mengakibatkan vasodilatasi perifer dan splanchnic. Vasodilatasi
ini mengakibatkan tubuh mendeteksi terjadinya penurunan volume plasma
melalui baroreseptor. Keadaan hipovolemik ini kemudian mengaktifkan
sistem renin-angiotensin-aldosteron, sistem saraf simpatis, dan
meningkatkan sekresi antidiuretik hormon yang selanjutnya mengakibatkan
vasokonstriksi renal dan retensi garam dan air (Hou, 2010).
 Pre-hepatik : kompresi atau trombosis vena porta; schistosomiasis

 Hepatik : sirosis hepatis; nekrosis hepatik akut; hepatitis viral

 Post-hepatik : sindrom Budd-Chiari, myeloproliferative disorders,

perikarditis konstriktif; gagal jantung kanan, keadaan
hiperkoagulabilitas

1.3.2 Hipoproteinemia → Konsentrasi protein plasma yang rendah, terutama


albumin, menurunkan tekanan osmotik plasma. Normalnya, tekanan
osmotik yang relatif tinggi cenderung menarik cairan ekstravaskular
kembali ke intravaskular. Pada keadaan hipoproteinemia, gradien osmotik
berkurang sehingga cairan yang ditarik dari ekstravaskular juga sedikit. Jika
jumlah cairan ekstravaskular melebihi kapasitas limfatik hepar dan usus,
maka terjadilah asites (Sood, 2009).
 Sindrom nefrotik

 Protein-losing enteropathy

 Malnutrisi
1.3.3 Neoplasma → Sel tumor akan melepaskan faktor pertumbuhan, seperti
VEGF, b-FGF, TGF α dan β , IL8, yang berperan dalam neovaskulariasi dan
meningkatkan permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler
memudahkan terjadinya akumulasi protein dan albumin di rongga
peritoneum. Peningkatan tekanan osmotik ini menarik cairan dari
intravaskuler ke rongga peritoneum. Selain itu, tumor hepar yang besar yang
mengkompresi atau tumbuh ke dalam vena porta atau vena hepatik akan
mengakibatkan hipertensi portal dan asites(Hou, 2010).
 Peritoneal carcinomatosis

 Pseudomyxoma
1.3.4 Miscellaneous → Pankreatik asites terjadi akibat ruptur duktus pankreatikus
atau kebocoran sekresi pankreas dari suatu pseudocyst. Iritasi peritoneum
oleh sekresi pankreas akan mengganggu permeabilitas membran peritoneum
sehingga terjadi akumulasi protein plasma dan cairan di rongga peritoneum.
Pada pembedahan abdomen jika terjadi cedera limfatik dapat
mengakibatkan terjadinya asites kilus (Sood, 2009).
 Pankreatik asites

 Nefrogenik asites

 Myxoedema

 Meigs's syndrome

 Post-abdominal surgery

1.4 Manifestasi Klinis
Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi pada asites sirosis yaitu (Sood, 2009):
a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis. Timbulnya ikterus
(penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia sedang menderita
penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika liver sakit dan
tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya
kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama
perjalanan penyakit(Godong, 2013).
b. Timbulnya asites dan edema pada penderita sirosis(Fauci, 2008). Ketika liver
kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk pada
kaki (edema) dan abdomen (asites). Faktor utama asites adalah peningkatan
tekanan hidrostatik pada kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah
timbulnya asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi garam
dan air.
c. Hati yang membesar(Godong, 2013). Pembesaran hati dapat ke atas
mendesak diafragma dan ke bawah. Hati membesar sekitar 2-3 cm, dengan
konsistensi lembek dan menimbulkan rasa nyeri bila ditekan.
d. Hipertensi portal(Sood,2009). Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan
darah vena portal yang memetap di atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal
adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati

1.5 Diagnosis

a) Anamnesis :

Tahap awal untuk menegakkan diagnosis asites adalah dengan melakukan


anamnesis mengenai perjalanan penyakit. Saat melakukan anamnesis sebaiknya
dokter mencari tahu faktor risiko yang dapat menyebabkan gangguan pada hati,
seperti: riwayat kolestasis neonatal, jaundice, hepatitis kronik, riwayat transfusi
atau suntikan, atau riwayat keluarga dengan penyakit hati. Selain itu, biasanya
perlu ditanyakanapakah terjadi peningkatan berat badan yang berlebihan(Kuiper,
2007).

b) Pemeriksaan fisik

Tahap selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh.


Pada awal pemeriksaan fisik, perlu dibedakan apakah pembesaran perut yang
terjadi karena asites, atau penyebab lain seperti: kegemukan, obstruksi usus, atau
adanya massa di abdomen. Flank dullness yang biasanya terdapat pada 90%
pasien dengan asites merupakan tes yang paling sensitif, sedangkan shifting
dullness lebih spesifik tetapi kurang sensitif (Kuiper 2007).
Kemudian difokuskan untuk mendeteksi penyakit hati kronis/sirosis hepatis
seperti adanya hipertensi portal dengan adanya tanda-tanda splenomegali,
bendungan vena-vena dinding perut, hernia umbilical, adanya ikterus, spider nevi,
eritema Palmaris, muka abu-abu, atrofi testis atau ginekomasti pada laki-laki, dan
lain-lain (Shah, 2014).

Pemeriksaan abdomen khusus untuk mendeteksi asites seperti : bunyi


timpani pada perkusi perut pasien yang tidur terlentang disebabkan oleh liku-liku
usus yang berisi udara mengapung diatas cairan asites, perut menbengkak ke
samping kanan dan kiri akibat tekanan dari cairan asites pada dinding perut
(bulging flanks), bunyi pekak pada perut yang berubah apabila pasien dimiringkan
kekiri atau kekanan (shifting dulness) bila cairan sekitar 1500cc (Godong, 2013).

c) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang setelah anamnesis dan pemeriksan fisik penegakan


diagnosis dapat dibantu oleh pemeriksaan penunjang, berupa pemeriksaan
radiologi, dan laboratorium. Pemeriksaan radiologi yang dapatdilakukan meliputi
pemeriksaan rontgen toraks dan abdomen, USG, CT-Scan dan MRI abdomen.
Pemeriksaan laboratorium berupa hematologi rutin, fungsi ginjal dan urinalisis
(Tanto, 2013).

d) Punksi asites

Punksi abdomen merupakan cara yang cepat dan ekonomis untuk


mendiagnosis adanya asites, melihat profil/warna cairan dan analisis cairan untuk
menentukan kasus. Punksi asites aman dilakukan walaupun ditemukan adanya
koagulopati. Indikasi punksi asites adalah asites yang baru timbul sebagai
tindakan rutin, pasien yang dirawat berulang kali, bila terdapat tanda-tanda infeksi
seperti demam, nyeri perut dan leukositosis (Sood, 2010).
Cairan asites dikategorikan menjadi eksudat dan transudat. Berikut adalah
kriteria eksudat dan transudat (Godong, 2013).

JENIS TES TRANSUDAT EKSUDAT


Makroskopi Kuning muda Warna bermacam-macam
Jernih Keruh
Bekuan tidak ada Sering ada bekuan
BJ < 1018 BJ > 1018
Jumlah sel leukosit < 500 > 500
Hitung Jenis Sel MN PMN > (akut)
MN > (kronik)
Rivalta Neg/Pos Lemah Pos
Protein < 50% plasma > 50%
< 2,5 gr/dl > 4,0 gr/dl
Glukosa = plasma < plasma
LDH < 60% plasma > 60% plasma

Ratio :
Protein cairan plasma < 0,5 > 0,5
LDH cairan plasma < 0,6 > 0,6

e) Rontgen toraks dan abdomen

Asites masif mengakibatkan elevasi difragma dengan atau tanpa adanya


efusi pleura. Pada foto polos abdomen asites ditandai dengan adanya kesuraman
yang merata, batas organ jaringan lunak yang tidak jelas, seperti: otot psoas, liver
dan limpa. Udara usus juga terlihat mengumpul di tengah (menjauhi garis lemak
preperitoneal), dan bulging flanks.

f) USG

USG adalah cara paling mudah dan sangat sensitif, karena dapat mendeteksi
asites walaupun dalam jumlah yang masih sedikit (kira kira 5-10ml). Apabila
jumlah asites sangat sedikit, maka umumnya akan terkumpul di Morison
Pouch,dan di sekitar hati tampak seperti pita yang sonolusen. Asites yang banyak
akan menimbulkan gambaran usus halus seperti lollipop. Pemeriksaan USG juga
dapat menemukan gambaran infeksi, keganasan dan/atau peradangan sebagai
penyebab asites. Asites yang tidak mengalami komplikasi gambaran USG
umumnya anekoik homogen, dan usus tampak bergerak bebas. Asites yang
disertai keganasan atau infeksi akan memperlihatkan gambaran ekostruktur cairan
heterogen, dan tampak debris internal. Usus akan terlihat menempel sepanjang
dinding perut belakang; pada hati atau organ lain; atau dikelilingi cairan.. Namun
demikian, USG memiliki keterbatasan untuk mendeteksi asites pada pasien
obesitas, dan asites yang terlokalisir karena gelombang ultrasound dapat terhalang
oleh jaringan lemak dan gas di dalam lumen (Tanto, 2014).

g) CT Scan
CT Scan memberikan gambaran yang jelas untuk asites. Asites dalam
jumlah yang sedikit akan tampak terlokalisasir pada area perhepatik kanan,
subhepatik bawah, dan pada kavum douglas. Densitas dari gambaran CT Scan
dapat memberi arahan tentang penyebab dari asites (Shah, 2014).

h) MRI

MRI adalah pemeriksaan yang sangat baik digunakan dalam mendeteksi


cairan di rongga peritoneum. Pada anakanak pemeriksaan MRI ini lebih disukai
karena waktu pemeriksaan yang lebih singkat (Tanto, 2014).

i) Abdominal Parasentesis

Abdominal parasentesis umum dikerjakan pada pasien dengan asites yang


belum diketahui penyebabnya, dan pada pasien dengan penambahan jumlah asites
yang sangat cepat,perburukan klinis, disertai demam dan nyeri perut. Pemeriksaan
ini berguna untuk mendeteksi terjadinya spontaneous bacterial peritonitis (SBP).
Cairan asites kemudian dikirim untuk mengetahui jumlah sel, albumin, kultur
asites, protein total, gram stain dan sitologi. Pemeriksaan cairan asites meliputi
(Tanto, 2014):

 Inspeksi

Sebagian besar cairan asites berwarna transparan dan kekuningan. Warna


cairan akan berubah menjadi merah muda jika terdapat sel darah Merah >10
000/µl, dan menjadi merah jika SDM >20 000/µl. Cairan asites yang berwarna
merah akibat trauma akan bersifat heterogen dan akan membeku, tetapi jika
penyebabnya non trauma akan bersifat homogen dan tidak membeku. Cairan
asites yang keruh menunjukan adanya infeksi.

 Hitung jumlah sel

Cairan asites yang normal biasanya mengandung <500 cc/mm3 dan <250
PMN leukosit/mm3. Apabila jumlah PMN >250/mm3 ,bisa diperkirakan
kemungkinan terjadinya SBP. Selain peningkatan PMN, diagnosa SBP ditegakkan
bila jumlah leukosit >500 sel/mm3 dan konsentrasi protein 50.000/mm3 ), dan
30%nya disebabkan oleh karsinoma hepatoseluler (Shah, 2014).
j) SAAG

Dahulu asites dikategorikan menjadi eksudat dan transudat. Eksudat jika


konsentrasi protein >25 g/l, dan transudat jika konsentrasi protein < 25g/l. Tujuan
pembagian ini adalah untuk mencari penyebab asites, misalnya asites pada kasus
keganasan bersifat eksudat, sedangkan pada sirosis bersifat transudat.

Saat ini pembagian tersebut sudah digantikan oleh pemeriksaan Serum


Asites Albumin Gradient ( SAAG). SAAG ini mengklasifikasikan asites menjadi
hipertensi portal (SAAG) > 1,1 g/dl) dan non hipertensi portal (SAAG< 1.1 g/dl).
Cara penghitungan SAAG adalah dengan menghitung jumlah albumin cairan
asites dikurangi jumlah albumin serum. Hal tersebut erat hubungannya dengan
tekanan vena porta. Pemeriksaan ini 97% akurat untuk membedakan asites dengan
atau tanpanya hipertensi portal. Beberapa penyebab asites berdasarkan pembagian
menurut nilai SAAG dapat dilihat pada tabel dibawah (Puppala, 2014).

Gradien tinggi (>1,1 g/dl) Gradien rendah (<1,1 g/dl)


Sirosis Tuberculosis peritoneum
Alcholis hepatits Karsinoma peritoneum
Gagal jantung Pancreatic asites
Metastatis kanker hati Biliary asites
Gagal hati fuminan Sindroma nefrotik
Butt Chiari Syndrome Serositis
Thrombosis vena porta Obstruksi atau infark usus
Vena occlusive disease
Fatty liver pada kehamilan
Myxooedema

Kultur atau pewarnaan gram

Sensitivitas kultur mencapai 92% dalam mendeteksi bakteri pada cairan asites.
Hasil kultur yang positif harus dilanjutkan dengan pemeriksaan hitung neutrofil.
Jika hasil hitung neutrofil dalam batas normal dan pasien tidak bergejala maka
hasil kultur dapat diabaikan. Tetapi jika hitung neutrofil >250 sel/mm3 maka
pasien diterapi sesuai SBP. Di lain pihak, sensitivitas pewarnaan gram hanya 10%
untuk deteksi dini kemungkinan SBP (Shah, 2014)

k) Staging Asites

Stage
1 Hanya dapat dideteksi dengan Ultrasound
2 Asites moderate, distensi abdomen ringan
3 Asites masif, distensi abdomen berat
Reafrakter Tidak atau kurang respon terhadap diuretik; efek samping dari
Diuretik

1.6 Tatalaksana

1.6.1. Tatalaksana Non Farmakologis

A. Tirah Baring

Posisi tegak pada pasien dengan sirosis dan asites akan menyebabkan
aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatis, penurunan
laju filtrasi glomerulus, ekskresi natrium, dan penurunan respon terhadap loop
diuretik. Posisi tirah baring dapat memperbaiki proses pembersihan dari ginjal,
sehingga tirah baring sering direkomendasikan pada pasien asites. Akan tetapi,
tirah baring juga memiliki efek negatif yaitu dapat menyebabkan atrofi otot dan
memperpanjang masa rawatan di rumah sakit (Shah, 2014).

B. Diet

Salah satu modifikasi diet yang dapat dilakukan pada pasien asites adalah
membatasi konsumsi natrium. Konsumsi natrium perlu dibatasi sekitar 800 – 1000
mg (2 gr NaCl) untuk mencapai keseimbangan natrium negatif dan menyebabkan
terjadinya proses diuresis. Pada pasien dengan asites ringan-sedang, konsumsi
natrium harus dibatasi sekitar 60 – 90 mmol/hari. Pembatasan konsumsi natrium
khususnya diberikan pada pasien yang tidak respon atau hanya memiliki respon
yang kecil pada terapi dengan obat diuretik (Tanto, 2014)
C. Large Volume Paracentesis (LVP)
LVP dilakukan jika terjadi kegagalan pada terapi dengan diuretik dan
modifikasi diet. VP merupakan suatu prosedur yang menyebabkan pengeluaran
cairan asites sebanyak lima liter atau lebih. LVP lebih efektif daripada
penggunaan diuretik karena dapat mengeluarkan cairan asites dalam jumlah yang
banyak dan dapat mempersingkat masa rawatan di rumah sakit. Salah satu
komplikasi yang paling sering terjadi akibat prosedur LVP adalah Paracentesis-
Induced Circulatory Dysfunction (PICD). Sehingga untuk mencegah terjadinya
PICD, sebelum prosedur LVP sebaiknya diberikan albumin terlebih dahulu. Dosis
albumin yang diberikan adalah 6 – 8 gram untuk setiap liter cairan asites yang
dikeluarkan. Namun karena albumin cukup mahal, maka terapi pengganti yang
dapat diberikan adalah terlipressin, suatu vasopresin prodrug. Komplikasi lain
yang dapat timbul akibat LVP adalah infeksi, perdarahan, gangguan elektrolit dan
perforasi organ contohnya adalah usus (Sood, 2010).

D. Transjugular Intrahepatic Portosistemic Shunt (TIPS)


TIPS adalah suatu prosedur yang dilakukan dengan membuat suatu jalur
untuk menghubungkan vena porta dan vena hepatika sehingga menyebabkan
penurunan tekanan porta. TIPS lebih efektif dalam mengeluarkan cairan asites jika
dibandingkan dengan prosedur paracentesis. Prosedur TIPS dapat menurunkan
tekanan porta dan memperbaiki ekskresi natrium ginjal. Salah satu efek samping
yang timbul akibat prosedur TIPS adalah hepatik ensefalopati. Prosedur TIPS
tidak dapat dilakukann bila kadar bilirubin > 3 mg/dl, protrombin time > 20 detik,
dan kadar kreatinin serum > 2 mg/dl8. Kontraindikasi absolut untuk prosedur
TIPS adalah gagal hati yang berat dan progresif, ensefalopati berat, penyakit
polikistik liver, dan gagal jantung. Kontraindikasi relatif untuk prosedur TIPS
adalah trombosis vena porta dan vena hepatika, hipertensi pulmonal, sindrom
hepatopulmonal, dan infeksi aktif. Komplikasi yang dapat timbul akibat prosedur
TIPS adalah fistula pembuluh darah biliar, hematom liver, migrasi stent,
perdarahan intraabdomen, infeksi akibat penggunaan stent, peritonitis, gagal
jantung, trauma liver dan jantung(Tanto, 2014).
E. Peritoneovenosus Shunt (PVS) / LaVeen Shunt

PVS merupakan prosedur yang bertujuan untuk mengembalikan cairan


asites ke sistem vena sentral. Prosedur PVS khususnya dilakukan pada pasien
dengan asites refrakter. Prosedur PVS lebih baik daripada parasentesis untuk
terapi jangka panjang asites. Prosedur PVS menyebabkan penurunan volume
plasma, menghambat renin, aldosteron, noradrenalin, dan konsentrasi hormon anti
diuretik sehingga terjadi peningkatan diuresis, natriuresis, dan pengeluaran cairan.
Prosedur ini juga diikuti dengan peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus. Komplikasi yang timbul akibat prosedur PVS adalah sepsis,
peritonitis, DIC, dan perdarahan varises akibat peningkatan tekanan porta (Shah,
2010).
F. Transplantasi Hepar
Asites yang terjadi pada pasien dengan penyakit sirosis hati
mengindikasikan suatu tahap akhir dari penyakit dan harus selalu mendapatkan
pertimbangan terapi yang khusus. Salah satu terapi yang dapat diberikan adalah
transplantasi hepar. Untuk pasien dengan asites refrakter, transplantasi hepar akan
mengontrol keadaan penyakit dengan efektif (Sood, 2010).

1.6.2. Tatalaksana Farmakologis


A. Diuretik
Tujuan terapi dengan menggunakan diretik adalah menurunkan morbiditas
dan mencegah komplikasi pada pasien asites. Sasaran terapi diuretik adalah
penurunan berat badan tidak lebih dari 1 kg/hari pada pasien dengan asites dan
edema dan tidak lebih dari 0,5 kg/hari pada pasien dengan asites (Tanto, 2014).
Obat diuretik awal yang dapat digunakan adalah Spironolakton, suatu
antagonis aldosteron. Spironolakton bekerja dengan menurunkan reabsorbsi
natrium di tubulus distal. Dosis awal yang dapat digunakan adalah 50 – 100
mg/hari dan dosis maksimal yang dapat digunakan adalah 400 mg/hari(Sood,
2010). Efek samping yang paling sering timbul akibat penggunaan spironolakton
adalah hiperkalemia dan ginekomasti (Shah, 2010). Efek samping lainnya adalah
penurunan libido, impotensi, kram otot, dan gangguan menstruasi (Sood, 2010).
Untuk mengatasi ginekomastia, terapi pengganti spironolakton yang dapat
digunakan adalah Amiloride. Dosis amiloride yang digunakan yaitu 10 – 40
mg/hari. Akan tetapi, amiloride lebih mahal dan kurang efektif dibandingkan
spironolakton (Sood, 2010).
Jika pasien tidak respon dengan spironolakton, obat diuretik lain yang
dapat digunakan adalah furosemide. Dosis awal furosemid adalah 20 – 40 mg/hari
dan dosis maksimal furosemide adalah 160 mg/hari. Efek samping furosemide
yaitu hipokalemia, metabolik hipokloremia alkalosis, hiponatremia, dan
hipovolemia sehingga dapat menimbulkan gangguan ginjal dan ensefalopati
(Shah, 2014).
Untuk mengurangi resiko hiperkalemia, terapi kombinasi yang dapat
digunakan adalah kombinasi furosemide dan spironolakton. Dosis terapi yang
direkomendasikan yaitu 40 mg furosemide untuk 100 mg spironolakton. Dosis
maksimal yang dapat dipakai untuk terapi kombinasi yaitu spironolakton 400
mg/hari dengan furosemide 160 mg/ahri. Pasien yang mendapatkan terapi
kombinasi ini harus dimonitor secara ketat yaitu penurunan berat badan, elektrolit,
urea, dan kreatinin (Godong, 2014).

B. Aquaretic Agent
Aquaretik agent adalah antagonis spesifik vasopressin reseptor (V2).
Aquaretik agent bekerja pada tubulus kolektivus ginjal dan menginduksi ekskresi
cairan tanpa mempengaruhi keseimbangan elektrolit. Salah satu contoh aquaretik
agent adalah satavaptan (Shah, 2014).

1.8 Edukasi dan Pencegahan


Asites merupakan komplikasi dari penyakit-penyakit yang dapat diobati.
Sehingga dengan mengobati penyakit yang mendasari akan dapat menghilangkan
asites, contohnya asites pada tuberkulosa peritonitis. Asites yang disebabkan
penyakit yang tidak dapat disembuhkan memerlukan pengobatan tersendiri.
Biasanya hanya dilakukan pengobatan paliatif dengan parasentesis
berulang(Sudoyo, 2009). Pasien yang mengalami asites sebaiknya membatasi
konsumsi garam, membatasi konsumsi cairan, meningkatkan konsumsi sumber
makanan yang mengandung albumin tinggi seperti putih telur dan tidak
mengkonsumsi zat yang bersifat merusak hati seperti alkohol (Sherlock, 2002).

Hal lain yang harus diedukasikan kepada pasien adalah ketika terapi
mengalami kegagalan dan menjelaskan kepada pasien untuk segera menemui
dokter. Pada kebanyakan kasus gagal fungsi hati memiliki prognosis yang buruk.
Sehingga pasien harus di edukasi mengenai seluruh komplikasi yang berpotensi
fatal dan tanda serta gejala yang dapat dikenali pada tahap awal (Sudoyo, 2009).

Edukasi juga pasien mengenai distensi abdomen yang disertai nyeri


walaupun diuretik yang diberikan sudah maksimal. Hal ini merupakan masalah
yang sering muncul, sehingga beritahu pasien bahwa dia harus segera menemui
dokter (Sherlock, 2002).

1.7 Prognosis
Prognosis pasien dengan asites akibat penyakit pada hati tergantung pada
penyakit yang mendasari, seperti tingkat kesembuhan dari suatu penyakit dan
respon terhadap pengobatan (Shah,2014). Hal ini disebabkan oleh proses
perjalanan penyakit yang kronis dan progresif. Pada pasien dengan asites sekunder
pada gagal hati, memiliki tingkat mortalitas hingga 2 tahun apabila tidak
dilakukan pengobatan (Sherlock, 2002).
Terapi parasentesis bersifat aman dan efektif dalam mengurangi jumlah
cairan mulai dari kecil hingga sedang. Tetapi, prosedur ini beresiko menyebabkan
infeksi pada abdomen dan bisa menyebabkan penurunan tekanan darah atau shock
sehingga tidak sesuai dilakukan pada pasien dengan asites berat. Peritoneo-venous
shunt efektif dalam mengurangi asites tetapi dengan resiko mortalitas hingga 30%
pada saat operasi (Shah, 2014).


Daftar pustaka
1. Feldman, M., 2010. Ascites and spontaneous bacterial peritonitis, 9th
Edition of Gastrointestinal and Liver Disease. Sounders & Elsevier, pp:
1517-1578
2. Fauci, A.S., Longo, D.L., 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine
17th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
3. Krige J.E.J., Beckingham I.J., 2011. Portal hypertension - 2. Ascites,
encephalopathy, and other conditions. BMJ 322 : 416
4. Hou W., Sanyal A.J., 2010. Ascites : Diagnosis and Management. Med Clin
N Am 93 : 801-817
5. Sood, R., 2009. Ascites : Diagnosis and Management. Journal of Indian
Academy of Clinical Medicine 5 (1) : 81-89

6. Kuiper, J.J., DeMan, R.A., Van Buuren, H.R., 2007. Review Article :
Management of Ascites and Associated Complications In Patients With
Cirrhosis. Aliment Pharmacol Ther. 26(2) : 183 – 193
7. Shah, R., 2014. Ascites. Available from:medicine.medscape.com/article
/170907- treatment

8. Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E.A., 2014. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi IV Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius
9. Godong, B., 2013. Patofisologi dan diagnosis asites pada anak. J Indon Med
Assoc. 63 (1) 32-35
10. Puppala, S., 2014. Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt. Available
from : emedicine.medscape.com/article/1423244-overview#a17
11. Sherlock, S., Dooley J., 2002. Disease of the Liver and Biliary System
11th Ed. London: Blackwell Science Ltd a Blackwell Publishing Company
12. Sudoyo, A.W., Setiohadi B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., 2009.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid I. Jakarta: Interna
Publishing

Anda mungkin juga menyukai