1.1 Definisi
Asites adalah akumulasi cairan (biasanya cairan serosa yang merupakan
cairan berwarna kuning pucat dan jelas) dalam rongga (peritoneal) perut. Rongga
perut terletak di bawah rongga dada, dipisahkan oleh diafragma (Feldman, 2010).
Penyebab utama asites merupakan hipertensi portal yang berhubungan dengan
sirosis hepar. Akan tetapi, keganasan dan infeksi juga dapat menyebabkan asites
(Fauci, 2008).
1.2 Epidemiologi
Pada kebanyakan kasus (kira-kira 75%), asites disebabkan oleh penyakit
sirosis hati, sedangkan 12% kasus disebabkan oleh keganasan peritoneal
("malignant asites"), 5% kasus disebabkan oleh gagal jantung, 2% kasus
disebabkan oleh tuberkulosis peritoneal, dan sisanya disebabkan oleh penyebab
lain seperti sindrom nefrotik dan penyakit pankreas (Krige, 2011)
1.3 Patofisiologi
1.3.1 Hipertensi portal → peningkatan tekanan vena porta merangsang pelepasan
sitokin vasodilator seperti NO, prostasiklin, adenosin, endotoksin) yang
selanjutnya mengakibatkan vasodilatasi perifer dan splanchnic. Vasodilatasi
ini mengakibatkan tubuh mendeteksi terjadinya penurunan volume plasma
melalui baroreseptor. Keadaan hipovolemik ini kemudian mengaktifkan
sistem renin-angiotensin-aldosteron, sistem saraf simpatis, dan
meningkatkan sekresi antidiuretik hormon yang selanjutnya mengakibatkan
vasokonstriksi renal dan retensi garam dan air (Hou, 2010).
Pre-hepatik : kompresi atau trombosis vena porta; schistosomiasis
Hepatik : sirosis hepatis; nekrosis hepatik akut; hepatitis viral
Post-hepatik : sindrom Budd-Chiari, myeloproliferative disorders,
perikarditis konstriktif; gagal jantung kanan, keadaan
hiperkoagulabilitas
a) Anamnesis :
b) Pemeriksaan fisik
c) Pemeriksaan penunjang
d) Punksi asites
Ratio :
Protein cairan plasma < 0,5 > 0,5
LDH cairan plasma < 0,6 > 0,6
f) USG
USG adalah cara paling mudah dan sangat sensitif, karena dapat mendeteksi
asites walaupun dalam jumlah yang masih sedikit (kira kira 5-10ml). Apabila
jumlah asites sangat sedikit, maka umumnya akan terkumpul di Morison
Pouch,dan di sekitar hati tampak seperti pita yang sonolusen. Asites yang banyak
akan menimbulkan gambaran usus halus seperti lollipop. Pemeriksaan USG juga
dapat menemukan gambaran infeksi, keganasan dan/atau peradangan sebagai
penyebab asites. Asites yang tidak mengalami komplikasi gambaran USG
umumnya anekoik homogen, dan usus tampak bergerak bebas. Asites yang
disertai keganasan atau infeksi akan memperlihatkan gambaran ekostruktur cairan
heterogen, dan tampak debris internal. Usus akan terlihat menempel sepanjang
dinding perut belakang; pada hati atau organ lain; atau dikelilingi cairan.. Namun
demikian, USG memiliki keterbatasan untuk mendeteksi asites pada pasien
obesitas, dan asites yang terlokalisir karena gelombang ultrasound dapat terhalang
oleh jaringan lemak dan gas di dalam lumen (Tanto, 2014).
g) CT Scan
CT Scan memberikan gambaran yang jelas untuk asites. Asites dalam
jumlah yang sedikit akan tampak terlokalisasir pada area perhepatik kanan,
subhepatik bawah, dan pada kavum douglas. Densitas dari gambaran CT Scan
dapat memberi arahan tentang penyebab dari asites (Shah, 2014).
h) MRI
i) Abdominal Parasentesis
Inspeksi
Cairan asites yang normal biasanya mengandung <500 cc/mm3 dan <250
PMN leukosit/mm3. Apabila jumlah PMN >250/mm3 ,bisa diperkirakan
kemungkinan terjadinya SBP. Selain peningkatan PMN, diagnosa SBP ditegakkan
bila jumlah leukosit >500 sel/mm3 dan konsentrasi protein 50.000/mm3 ), dan
30%nya disebabkan oleh karsinoma hepatoseluler (Shah, 2014).
j) SAAG
Sensitivitas kultur mencapai 92% dalam mendeteksi bakteri pada cairan asites.
Hasil kultur yang positif harus dilanjutkan dengan pemeriksaan hitung neutrofil.
Jika hasil hitung neutrofil dalam batas normal dan pasien tidak bergejala maka
hasil kultur dapat diabaikan. Tetapi jika hitung neutrofil >250 sel/mm3 maka
pasien diterapi sesuai SBP. Di lain pihak, sensitivitas pewarnaan gram hanya 10%
untuk deteksi dini kemungkinan SBP (Shah, 2014)
k) Staging Asites
Stage
1 Hanya dapat dideteksi dengan Ultrasound
2 Asites moderate, distensi abdomen ringan
3 Asites masif, distensi abdomen berat
Reafrakter Tidak atau kurang respon terhadap diuretik; efek samping dari
Diuretik
1.6 Tatalaksana
1.6.1. Tatalaksana Non Farmakologis
A. Tirah Baring
Posisi tegak pada pasien dengan sirosis dan asites akan menyebabkan
aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatis, penurunan
laju filtrasi glomerulus, ekskresi natrium, dan penurunan respon terhadap loop
diuretik. Posisi tirah baring dapat memperbaiki proses pembersihan dari ginjal,
sehingga tirah baring sering direkomendasikan pada pasien asites. Akan tetapi,
tirah baring juga memiliki efek negatif yaitu dapat menyebabkan atrofi otot dan
memperpanjang masa rawatan di rumah sakit (Shah, 2014).
B. Diet
Salah satu modifikasi diet yang dapat dilakukan pada pasien asites adalah
membatasi konsumsi natrium. Konsumsi natrium perlu dibatasi sekitar 800 – 1000
mg (2 gr NaCl) untuk mencapai keseimbangan natrium negatif dan menyebabkan
terjadinya proses diuresis. Pada pasien dengan asites ringan-sedang, konsumsi
natrium harus dibatasi sekitar 60 – 90 mmol/hari. Pembatasan konsumsi natrium
khususnya diberikan pada pasien yang tidak respon atau hanya memiliki respon
yang kecil pada terapi dengan obat diuretik (Tanto, 2014)
C. Large Volume Paracentesis (LVP)
LVP dilakukan jika terjadi kegagalan pada terapi dengan diuretik dan
modifikasi diet. VP merupakan suatu prosedur yang menyebabkan pengeluaran
cairan asites sebanyak lima liter atau lebih. LVP lebih efektif daripada
penggunaan diuretik karena dapat mengeluarkan cairan asites dalam jumlah yang
banyak dan dapat mempersingkat masa rawatan di rumah sakit. Salah satu
komplikasi yang paling sering terjadi akibat prosedur LVP adalah Paracentesis-
Induced Circulatory Dysfunction (PICD). Sehingga untuk mencegah terjadinya
PICD, sebelum prosedur LVP sebaiknya diberikan albumin terlebih dahulu. Dosis
albumin yang diberikan adalah 6 – 8 gram untuk setiap liter cairan asites yang
dikeluarkan. Namun karena albumin cukup mahal, maka terapi pengganti yang
dapat diberikan adalah terlipressin, suatu vasopresin prodrug. Komplikasi lain
yang dapat timbul akibat LVP adalah infeksi, perdarahan, gangguan elektrolit dan
perforasi organ contohnya adalah usus (Sood, 2010).
B. Aquaretic Agent
Aquaretik agent adalah antagonis spesifik vasopressin reseptor (V2).
Aquaretik agent bekerja pada tubulus kolektivus ginjal dan menginduksi ekskresi
cairan tanpa mempengaruhi keseimbangan elektrolit. Salah satu contoh aquaretik
agent adalah satavaptan (Shah, 2014).
Hal lain yang harus diedukasikan kepada pasien adalah ketika terapi
mengalami kegagalan dan menjelaskan kepada pasien untuk segera menemui
dokter. Pada kebanyakan kasus gagal fungsi hati memiliki prognosis yang buruk.
Sehingga pasien harus di edukasi mengenai seluruh komplikasi yang berpotensi
fatal dan tanda serta gejala yang dapat dikenali pada tahap awal (Sudoyo, 2009).
1.7 Prognosis
Prognosis pasien dengan asites akibat penyakit pada hati tergantung pada
penyakit yang mendasari, seperti tingkat kesembuhan dari suatu penyakit dan
respon terhadap pengobatan (Shah,2014). Hal ini disebabkan oleh proses
perjalanan penyakit yang kronis dan progresif. Pada pasien dengan asites sekunder
pada gagal hati, memiliki tingkat mortalitas hingga 2 tahun apabila tidak
dilakukan pengobatan (Sherlock, 2002).
Terapi parasentesis bersifat aman dan efektif dalam mengurangi jumlah
cairan mulai dari kecil hingga sedang. Tetapi, prosedur ini beresiko menyebabkan
infeksi pada abdomen dan bisa menyebabkan penurunan tekanan darah atau shock
sehingga tidak sesuai dilakukan pada pasien dengan asites berat. Peritoneo-venous
shunt efektif dalam mengurangi asites tetapi dengan resiko mortalitas hingga 30%
pada saat operasi (Shah, 2014).
Daftar pustaka
1. Feldman, M., 2010. Ascites and spontaneous bacterial peritonitis, 9th
Edition of Gastrointestinal and Liver Disease. Sounders & Elsevier, pp:
1517-1578
2. Fauci, A.S., Longo, D.L., 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine
17th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
3. Krige J.E.J., Beckingham I.J., 2011. Portal hypertension - 2. Ascites,
encephalopathy, and other conditions. BMJ 322 : 416
4. Hou W., Sanyal A.J., 2010. Ascites : Diagnosis and Management. Med Clin
N Am 93 : 801-817
5. Sood, R., 2009. Ascites : Diagnosis and Management. Journal of Indian
Academy of Clinical Medicine 5 (1) : 81-89
6. Kuiper, J.J., DeMan, R.A., Van Buuren, H.R., 2007. Review Article :
Management of Ascites and Associated Complications In Patients With
Cirrhosis. Aliment Pharmacol Ther. 26(2) : 183 – 193
7. Shah, R., 2014. Ascites. Available from:medicine.medscape.com/article
/170907- treatment
8. Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E.A., 2014. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi IV Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius
9. Godong, B., 2013. Patofisologi dan diagnosis asites pada anak. J Indon Med
Assoc. 63 (1) 32-35
10. Puppala, S., 2014. Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt. Available
from : emedicine.medscape.com/article/1423244-overview#a17
11. Sherlock, S., Dooley J., 2002. Disease of the Liver and Biliary System
11th Ed. London: Blackwell Science Ltd a Blackwell Publishing Company
12. Sudoyo, A.W., Setiohadi B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., 2009.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid I. Jakarta: Interna
Publishing