Anda di halaman 1dari 23

“MITIGASI BENCANA ALAM”

MITIGASI BENCANA ALIRAN DEBRIS

Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Budi Santoso Wignyosukarto, Dip. HE.

Oleh kelompok 1
1. Pikar Chandra Syah Putro (17/413871/TK/46311)
2. Yotam Adiel Haryanto (17/410458/TK/45815)
3. Sekar Ayu Rinjani (17/410451/TK/45808)
4. Wulan Maulia (17/410457/TK/45814)
5. Rodhiya Nailamuna A. (17/413876/TK/46316)
6. Wanda Aldiyanto (17/413880/TK/46320)
7. Chevin Indra Kusuma A. (17/413847/TK/46287)
8. Raden Aufa Dhia A. (17/413873/TK/46313)
9. Heningtyas Putri A. (17/413855/TK/46295)
10. Ashiela Haruni S.P (17/410418/TK/45775)
11. Farhan (17/413853/TK/46293)
12. Onward A.P Manurung (17/413870/TK/46310)
13. Anugrah Joshua (17/413841/TK/46281)
14. Amando Gultom (17/413839/TK/46279)
15. Roland Pattola (17/413878/TK/46318)

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang rawan bencana, baik bencana alam, sosial,
ekonomi, maupun politik. Bencana alam relatif sering terjadi di Indonesia, sebut saja
banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api, dan sebagainya. Akan
tetapi sangat sedikit masyarakat Indonesia yang mengetahui mengenenai bencana aliran
debris. Rendahnya minat dan kepedulian masyarakat akan pentingnya memahami
bencana aliran debris megakibatkan minimnya pengetahuan akan resiko sehingga
meningkatkan kerentanan masyarakat dalam menghadapi bencana ini. Dampaknya
masyarakat pun harus mengalami resiko yang besar seperti hilangnya orang, timbulnya
korban jiwa, kerusakan bangunan dan infrastruktur, terisolasinya suatu daerah, hilangnya
mata pencaharian masyarakat setempat, dan sebagainya.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari paper ini antara lain:
a) Bagaimana proses terbentuknya aliran debris?
b) Bagaimana manajemen resiko untuk mengatasi bencana aliran debris?
c) Bagaimana upaya mitigasi terhadap bencana aliran debris?
d) Bagaimana tindakan pra-bencana, saat terjadi bencana, dan pasca bencana dari aliran
debris?

1.3 Batasan Masalah


Batasan dari aliran debris yang ditinjau dalam paper ini antara lain mobilized debris flow,
landslide dam debris flow, sand-gravel debris flow, dan mud debris flow

1.4 Tujuan
Tujuan dari penulisan paper ini adalah:
a) Meningkatkan wawasan dan pemahaman masyarakat umum mengenai proses
terbentuknya dan resiko yang ditimbulkan dari aliran debris
b) Meningkatkan resiliance masyarakat terhadap bahaya aliran debris khusunya yang
tinggal dekat dengan daerah rawan bencana
c) Menyumbangkan ide dan gagasan mengenai upaya mitigasi bencana aliran debris
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Transpor Sedimen


Material-material di alam secara alami akan mengalami perpindahan dari suatu
tempat ke tempat yang lainnya, melalui beberapa media perantara seperti air, angin,
maupun gletser. Pergerakan sedimen atau transpor sedimen dengan perantaraan air
dipengaruhi oleh karakteristik material dasar, debit aliran, dan kemiringan dasar saluran.
Transpor sedimen dibedakan menjadi pergerakan sedimen individu dan pergerakan
sedimen massa. Pergerakan sedimen individu utamanya disebabkan oleh tekanan air,
seperti halnya pengankutan butiran-butiran sedimen pada aliran sungai. Sedangkan
pergerakan sedimen massa disebabkan utamanya oleh pengaruh gaya gravitasi. Menurut
Haryono Kusumobroto, 2011, perbedaan antara aliran debris dengan transpor sedimen
pada sungai biasa dapat dilihat pada Tabel 2.1 maupun ilustrasi pada Gambar 2.1.
Tabel 2.1 Perbedaan aliran debris dengan transpor sedimen biasa
Aliran Debris Aliran Sungai Biasa
a. Endapan cenderung cembung di tenga a. Endapan berada pada dasar aliran
h b. Tampang memanjang pergerakan
b. Tampang memanjang membesar di sedimen mandiri di dasar sungai
bagian kepala aliran c. Endapan tidak berlapis
c. Lapisan endapan merata

Gambar 2.1 Ilustrasi aliran debris dan aliran sungai biasa


Secara geofisik bentuk pergerakan sedimen massa dapat berupa:
a) Tanah longsor (landslides and landslips)
Tanah longsor merupakan pergerakan blok tanah diatas bidang longsor tanpa
mengalami perubahahan berarti (relatif utuh) dengan jarak pergerakan pendek.
b) Longsoran debris (debris avalannches)
Longsoran debris merupakan tanah longsor dengan skala besar volume
mencapai jutaan meter kubik. Blok longsoran hancur dengan cepat dan jangkauan
luncuran lebih panjang daripada tanah longsor. Pergerakan longsoran debris
kadangkala masih berlangsung meski kemiringan lereng telah mencapai 3º
c) Aliran piroklastik (piroclastic flows)
Aliran piroklastik merupakan material piroklastik dihasilkan dari erupsi atau
guguran kubah lava gunung api. Selama proses luncuran blok-blok lava panas
bercampur material lain seperti abu dan gas vulkanik yang meluncur menuruni lereng
dan alur menuju ke tempat yang landai. Mekanisme pergerakannya sangat
dipengaruhi oleh tekanan gas yang menyertai
d) Aliran debris (debris flows)
Aliran debris merupakan suatu pergerakan massa secara gravitasi dengan
kecepatan yang sangat tinggi dan memiliki daya rusak besar, sehingga berpotensi
menimbulkan kerugian bagi kehidupan, infrastruktur dan lingkungan. Aliran debris
dapat terjadi di wilayah vulkanik maupun non-vulkanik.
Di wilayah vulkanik, aliran debris dikenal dengan “lahar” yang erat kaitannya
dengan keberadaan gunung api. Lahar disebut juga sebagai volcanic mudflow
(Takahashi, 2007).
2.2 Terminologi Aliran Debris
Aliran debris didefinisikan amat beragam oleh para ilmuwan, seperti debris flow,
mudflow, debris torrent, debris avalanches, dan sebagainya. Berikut beberapa pendapat
ahli mengenai definisi aliran debris.
 Stiny (1910), debris flow berawal dari banjir di lereng curam membawa banyak
material suspended dan bed load yang terus meningkat hingga aliran berubah jadi
massa kental air, tanah, pasir, kerikil, batu dan batang kayu mengalir bagai lava.
 Hutchinson (1968), ilmuan asal Inggris memilah pengertian aliran debris menjadi
channelized debris flow dan hillslope debris flow sesuai pengertian debris avalanches.
 Blackwater (1928), Bull (1964) dan Candell (1957), mengemukakan mudflow
sebagai debris flow dengan kandungan material lebih halus, terjadi di lereng tandus
atau vulkanik.
 Varnes (1996), menyatakan dalam menterjemahkan pengertian debris flow agar tidak
dilakukan secara harfiah saja, tetapi perlu difahami fenomena secara keseluruhan,
yaitu:
o Mulai proses longsoran di suatu kelerengan curam.
o Pergerakan aliran kecepatan tinggi di alur curam.
o Proses pengendapan atau penyebaran di kipas debris atau debris fan.
 T.Takahashi (1960). Sistem pengambilan foto dalam penelitian terhadap mekanisme
kejadian aliran debris dilakukan para peneliti di Jepang. Ini merupakan yang pertama
kali dilakukan di dunia untuk penelitian aliran debris.
2.3 Faktor Pembentukan Aliran Debris
Aliran debris merupakan peristiwa alami yang terbentuk karena beberapa faktor,
3 faktor utama yang memicu terjadinya aliran debris yaitu:
a) Kemiringan dasar yang curam
Kemiringan dasar yang dimaksud merupakan lembah atau alur sungai tempat
pergerakan material. Lembah atau alur dengan kemiringan yang lebih besar dari 15º
sangat berpotensi menyebabkan terjadinya aliran debris. Menurut Baldwin et al.
(1987) aliran debris dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu source area (area sumber
material), main track (alu utama), dan despositional area (area pengendapan).
Source Area Main Track Depositional Area
Gambar 2.2 Alur aliran debris
Source area (kemiringan >15º) merupakan wilayah dimana tanah endapan
terurai dan menjadi aliran debris atau tempat pembentukan aliran debris. Main track
(kemiringan 8º - 15º) merupakan lintasan yang dilalui oleh aliran debris dari source
area dan kecepatan alirannya meningkat bergantung pada kemiringan, halangan,
konfigurasi saluran, dan viskositasnya. Sedangkan ketika aliran debris memasuki
daerah yang kemiringannya rendah, maka pengendapan mulai terjadi, wilayah ini
dinamakan dengan despositional area (kemiringan <8º).
b) Karakteristik material
Material yang terkumpul di lembah atau lereng pegunungan merupakan sumber
atau bahan yang membentuk aliran debris. Karakteristik dari material yang berbeda-
beda mengindikasikan potensi aliran debris yang berbeda pula.
- Jenis Material
Sebuah penelitian laboraturium dilakukan Day (1994) untuk megetahui
pengaruh jenis tanah terhadap potensi terjadinya aliran debris. Empat jenis tanah
yang digunakan antara lain angular gravel (GP) dengan ukuran 12 – 25 mm,
uniform nonplastic sand (SP), silt (ML) dengan batas cair 30 dan indeks
plastisitas 5, dan clay (CH) dengan batas cair 460 dan indeks plastisitas 430.
Tabel 2.2 Hasil penelitian laboraturium
Berdasarkan hasil penelitian seperti pada Tabel 2.2, dapat ditunjukkan
bahwa uji 1 dilakukan pada kerikil bersudut, dimana air mengalir bebas melalui
partikel kerikil karena permeabilitasnya yang tinggi. Uji 2 Pengujian dilakukan
pada pasir seragam, dimana beberapa bagian pasir bergerak dan air mengalir
bebas melalui pori-pori pasir. Uji 3 Pengujian dilakukan pada tanah lanau,
dimana tanah lanau mengalir dari dalam silinder pengujian. Uji 4 Pengujian
dilakukan pada tanah lempung montmorillonite dengan kadar air 407%, tanah
lempung sama sekali tidak mengalir keluar dari silinder karena memiliki sifat
plastisitas yang tinggi.
Ellen dan Fleming (1987) menyatakan bahwa tanah dengan kandungan
lempung lebih dari 35% tidak berpotensi untuk menjadi aliran debris. Uji 5
dilakukan pada campuran 6% montmorillonite dan 94% pasir sedangkan uji 6
dilakukan pada campuran 6% montmorillonite dan 94% lanau. Penambahan 6%
montmotillonite mengurangi potensi tanah untuk mengalami aliran debris. Uji 7
sampai 9 dilakukan pada campuran tanah yang berbeda dari pasir dan lanau,
menunjukkan karakteristik aliran debris.
Pasir dan/atau pasir berlanau merupakan jenis tanah yang berpotensi untuk
menjadi aliran debris, sedangkan tanah berkerikil dan lempung sulit untuk
menjadi aliran debris.
- Permeabilitas tanah
Permeabilitas tanah merupakan kemampuan tanah untuk meloloskan
sejumlah air, nilai permeabilitas tanah dapat ditunjukkan melalui koefisien
permeabilitas tanah. Semakin tinggi nilai koefisien permeabilitas tanah maka
semakin baik tanah dalam meloloskan air. Menurut penelitian yang dilakukan
Day (1994), koefisien permeabilitas tanah memiliki keterkaitan dengan potensi
tanah yang mengalami aliran debris seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Hubungan antara koefisien permeabilitas dengan jarak pengaliran debris
Day meneliti hubungan antara koefisien permeabilitas tanah dengan jarak
pengaliran debris, sebagai analogi potensi terjadinya aliran debris. Berdasarkan
grafik hasil penelitian tersebut dapat ditunjukkan bahwa dengan permeabilitas
tinggi tanah cenderung tidak bergerak jauh yang berarti sulit untuk mengalami
aliran debris. Semakin berkurangnya nilai koefisien permeabilitas maka potensi
terjadinya aliran debris semakin meningkat sampai mencapai titik puncak pada
koefisien permeabilitas 10-4 cm/s dimana tanah bergerak paling jauh
menunjukkan potensi aliran debris yang paling besar. Akan tetapi setelah
melewati nilai 10-4 cm/s berkurangnya koefisien permeabilitas sejalan dengan
semakin rendahnya jarak pengangkutan tanah. Oleh karena itu, Day
menyimpulkan bahwa tanah dengan rentang koefisien permeabilitas 10-2 sampai
10-6 cm/s merupakan tanah yang paling berpotensi untuk menjadi aliran debris.
c) Kuantitas air dalam jumlah yang besar
Johnson and Rodine (1984) mengemukakan parameter utama terjadinya aliran
debris merupakan curah hujan dan intensitas hujan. Semnetara Neary and Swift
(1987) dalam studi kasus aliran debris di selatan Appalachians menyimpulkan bahwa
aliran debris dipicu denganintensitas hujan sebesar 90 -100 mm/jam.
Selain faktor alami, daliran debris juga dapat diakibatkan karena campur tangan manusia
atau faktor buatan antara lain:
a) Penggundulan lahan hutan
b) Perubahan tataguna lahan

2.4 Proses Pembentukan Aliran Debris


Proses pembentukan aliran debris karena curah hujan dapat dimodelkan menjadi 3 yakni:
a) Model 1 (Runtuhan bukit langsung membentuk aliran debris)
Deposit material lepas hasil runtuhan mendapat pasokan air hujan, menuruni lereng
alur curam membentuk aliran debris. Pada jarak tertentu mengendap dan menyebar.
b) Model 2 (Longsoran bukit membentuk dam alam, runtuh membentuk aliran debris)
Material hasil runtuhan bukit atau lembah terkumpul sementara di dasar lembah
membentuk dam alam. Ketika muka air di belakang dam naik, akibat limpasan atau
piping tubuh dam runtuh. Material runtuhan dan air membentuk aliran debris
c) Model 3 (Deposit sedimen mengalami pengenceran membentuk aliran debris)
Deposit sedimen di dasar lembah ketika menerima pasokan air curah hujan atau air
lainnya dalam jumlah besar mengalami pengenceran, membentuk aliran debris
menuruni lereng hingga akhirnya mengendap dan menyebar.
Gambar 2.4 Model pembentukan aliran debris

Sedangkan Takahashi (1981) mengklasifikasikan proses pembentukan aliran debris


menjadi 2 tipe yaitu:
a) Mobilized debris flow
Merupakan aliran debris yang terbentuk akibat perubahan tekanan air pori dan
penyebaran gaya yang bekerja pada lapisan debris tertentu. Pembentukan mobilized
debris flow dipengaruhi oleh kuantitas air, dasar saluran, dan sediaan material
sedimen.
Mobilized debris flow terbentuk ketika deposit menerima pasokan air yang melimpah
sehingga terjadilah mekanisme perubahan lapisan sedimen. Pada saat rembesan air
mencapai tinggi tertentu, lapisan sedimen mulai bergerak. Kemiringan dasar saluran
atau alur yang curam membuat sedimen bergerak lebih cepat membentuk aliran debris.
b) Landslide dam debris flow
Merupakan aliran debris yang terbentuk akibat runtuhan dam alam di bagian hulu
sungai. Dam alam (landslide dam), umumnya terbentuk akibat akumulasi material
hasil longsoran lereng bukit dan tebing sungai yang terbentuk dalam waktu singkat
(Schuster dalam T.Takahashi, 1991). Blok massa longsoran meski dalam skala kecil
seringkali mampu membendung aliran sungai.
Takahashi (2007) menyebutkan terdapat 2 tipe longsoran yang mempengaruhi proses
pembentukan aliran debris yakni:
i. Longsoran Dangkal (Shallow landslide), memiliki ciri-ciri antara lain:
- Tebal sekitar 1 meter, biasanya terjadi pada intensitas hujan paling tinggi.
- Kandungan air dalam massa tanah longsoran besar, hal ini sangat dipengaruhi
debit aliran permukaan yang tinggi.
- Proses longsoran berlangsung cepat dan mendadak
ii. Longsoran Dalam (Deep-seated landslide), memiliki ciri-ciri antara lain:
- Waktu muka air mencapai elevasi tinggi relatif lama.
- Mekanisme perubahan longsoran dalam menjadi aliran debris sama sekali
berbeda dengan proses pembentukan aliran debris dari longsoran dangkal.
- Longsoran sangat besar (gigantic landslide) dapat berubah menjadi guguran
debris (debris avalanches), dengan mobilitas material sangat besar dan pada
saat berhenti blok tanah tersebar.
Pada tahun 1988, T. Takahashi dan Kuang melakukan percobaan laboratorium
menggunakan flume, kemudian mengklasifikasikan keruntuhan dam alam secara garis
besar menjadi 3 tipe, yaitu:
a) Tipe 1, keruntuhan akibat overtopping
- Sisi hilir dam curam dan panjang, sehingga tercipta kondisi kritis utk
terbentuknya aliran debris.
- Debit aliran limpasan meningkat oleh terangkutnya material material dam yang
tererosi, berkembang membentuk aliran debris.
- Secara bertahap rembesan air limpahan menjenuhkan tubuh dam, lalu proses erosi
berlangsung cepat.
- Jika dasar sungai di hilirnya curam dan terdapat deposit sedimen memadai, air
limpasan dapat membentuk aliran debris di bagian hilir dam.
- Pada keruntuhan tipe 1 ini, retrogressive erosion berlangsung ke arah hulu, mulai
dari dasar sungai ke tubuh dam dan menghanyutkannya.
b) Tipe 2, keruntuhan akibat longsoran mendadak (sudden sliding)
- Blok material runtuhan awalnya belum sepenuhnya jenuh air, aliran debris tidak
dapat terbentuk seketika.
- Runtuhan berhenti dulu di kaki dam (toe), segera setelah itu sisa material tubuh
dam tersapu sejumlah besar air dari belakang dam, bersama deposit runtuhan
material di kaki dam membentuk aliran debris.
c) Tipe 3, keruntuhan akibat retrogressive failure
- Aliran rembesan menyebabkan runtuhan parsial tubuh dam, tetapi tidak mampu
menggerakkan massa longsoran menjadi aliran debris, sehingga massa longsoran
mengandap di hilir.
- Runtuhan terakhir akibat tekanan air yang tertahan mendorong sebagian sisa
tubuh dam. Air yang lepas membentuk aliran debris jika kemiringan masih
memadai.

Gambar 2.5 Proses keruntuhan dam alam menurut Takahashi dan Kuang
Sedangkan menurut Costa dan Schuster (1988), keruntuhnya dam alam umumnya
disebabkan oleh limpasan air (overtopping) yang diikuti oleh erosi, rembesan (piping)
melalui tubuh dam, dan longsoran (sliding) pada tubuh dam. Sebagian besar
keruntuhan dam alam disebabkan oleh overtopping, hanya sebagian kecil yang
diakibatkan oleh sliding dan piping.
Skala dan prediksi waktu terjadinya aliran debris atau banjir akibat runtuhnya
dam alam merupakan hal penting untuk diketahui sebagai bagian dari usaha mitigasi
bencana sedimen (sediment related disaster).
2.4 Klasifikasi Aliran Debris
Tabel 2. Klasifikasi praktis aliran debris
Sand-gravel type debris flow Mud-flow type debris flow
Komponen material Kurang dari 20% Lebih dari 20%
< 0,1 mm (umumnya < 10 %) (umumnya 30% – 40%)
Batuan Granit palaezoic Debu vulkanik, tertiary.
Koefisien kecepatan Kurang dari 5 % Lebih dari 5 % , umumnya
aliran ( 10 – 15) %
Perilaku di lokasi dam Terjadi akumulasi pasir Terjadi lompatan (tidak selalu)
(berhenti).
Sumber material dan Dari deposit material dasar sungai Dari longsoran dan letusan
gerakan kemiringan > 15o gunungapi
Karakteristik aliran Batas bagian depan endapan Batas bagian depan endapan tidak
tampak jelas jelas
Sumber : Hiroshi Ikeya, 1981. Survey on methods of copying with debris flow.

BAB 3
MANAJEMEN RESIKO BENCANA

Resiko bencana (risk) adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada


suatu wilayah dan  kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan
kegiatan masyarakat. , akibat kombinasi dari bahaya, kerentanan, dan kapasitas dari daerah
yang bersangkutan.
Bahaya (hazard) adalah suatu kejadian yang mempunyai potensi untuk menyebabkan
terjadinya kecelakaan, cedera, hilangnya nyawa atau kehilangan harta benda. Bahaya ini bisa
menimbulkan bencana maupun tidak. Bahaya dianggap sebuah bencana (disaster) apabila
telah menimbulkan korban dan kerugian.
Kerentanan (vulnerability) adalah rangkaian kondisi yang menentukan apakah bahaya
yang terjadi akan dapat menimbulkan bencana (disaster) atau tidak. Rangkaian kondisi,
umumnya dapat berupa kondisi fisik, sosial dan sikap yang mempengaruhi kemampuan
masyarakat dalam melakukan pencegahan, mitigasi, persiapan dan tindak-tanggap terhadap
dampak bahaya.
Nilai dari sebuah resiko merupakan fungsi dari bencana dan kerentanan. Suatu
kerentanan yang besar bila dihadapkan dengan bencana yang besar maka akan menimbulkan
resiko yang besar pula. Oleh karena bencana merupakan kejadian yang alami dan tidak dapat
diintervensi oleh manusia, maka untuk mengurangi resiko bencana tersebut maka dibutuhkan
tingkat kerentanan yang rendah yakni dengan meningkatkan ketangguhan (resillience) dari
masyarakat.
Kerentanan yang mungkin terjadi di masyarakat dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu:
a) Kerentanan fisik
 Kegagalan desain pada sabo dam atau tanggul
 Kurangnya perawatan pada bagunan sabo atau tanggul
 Pembangunan bangunan pada sempadan sungai
b) Kerentanan lingkungan
 Kurangnya resapan air pada daerah hulu
 Tidak adanya vegetasi di sekitar sempadan sungai untuk mengurangi erosi
 Alih fungsi lahan hutan secara berlebihan
c) Kerentanan sosial
 Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan
 Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat terhadap resiko bencana
 Minimnya lembaga/organisasi swadaya masyarakat yang peduli bencana
d) Kerentanan ekonomi
 Sedikitnya dana pembangunan sabo dam atau tanggul
 Rendahnya anggaran pemeliharaan bangunan sabo dam dan tanggul
Untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam
menghadapi bencana maka diperlukan manajemen resiko yang menyeluruh.
Untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan akibat bencana debris, maka
diperlukan manajemen resiko untuk mengurangi kerentanan khususnya bagi masyarakat di
sekitar daerah rawan bencana aliran debris.
Manajemen resiko bencana debris dilakukan melalui beberapa tahap antara lain:
3.1 Identifikasi Resiko
Bencana aliran debris ditimbulkan oleh beberapa faktor penyebab seperti yang
telah diuraikan pada subbab 2.3 di atas yaitu faktor alami maupun faktor buatan akibat
campur tangan manusia. Faktor alami yang terutama membentuk aliran debris yaitu
kemiringan dasar, karakteristik material, dan kuantitas air. Sedangkan faktor buatan
disebabkan karena perilaku manusia yang kurang berwawasan lingkungan seperti
menebang pohon sembarangnya, membangun rumah di daerah sempadan sungai,
melakukan alih fungsi lahan.
3.2 Analisis Resiko
Bencana aliran debris dapat menimbulkan dampak yang beresiko bagi
masyarakat khususnya yang tinggal di daerah aliran, misalnya: terseretnya benda,
rusaknya infrastruktur bangunan maupun transportasi, kerugian materiil dan ekonomi,
serta timbulnya korban jiwa.
Resiko yang ditimbulkan dari kejadian bencana dapat diklasifikasikan menjadi
3 kategori resiko yaitu rendah, sedang, dan tinggi yang secara mendetail disebutkan
pada poin ketiga.
3.3 Evaluasi Resiko
Menurut Djojosoedarso (2003:14), manajemen resiko dilakukan dengan
menemukan kerugian potensial atau mengidentifikasi seluruh resiko murni yang
dihadapi suatu entitas. Setelah risiko tersebut dapat diidentifikasi, maka perlu segera
dilakukan evaluasi terhadap kerugian potensial yang dapat terjadi meliputi:
a. Menghitung besarnya kemungkinan atau frekuensi terjadinya kerugian.
b. Menilai besarnya kerugian yang mungkin akan diderita.
Tabel 3.1 Evaluasi resiko bencana aliran debris
Rendah Sedang Tinggi
Jarang Terganggunya jaringan
listrik dan
telekomunikasi
Kadang Rusaknya infrastruktur Hilangnya dan
transportasi timbulnya korban
Terputusnya akses jiwa
kegiatan sosial
Sering Tergerusnya lereng Kerugian materiil dan Rusaknya bangunan
sungai (stabilitas ekonomi di sekitar aliran
lereng) Hilangnya mata debris
pencaharian
3.4 Mengatasi Resiko
Setelah melakukan evaluasi terhadap resiko yang mungkin terjadi, institusi-
institusi yang berwenang selanjutnya membuat kebijakan untuk mengatasi resiko
tersebut berdasarkan analisis dan evaluasi resiko yang sudah dilakukan. Tujuannya
adalah untuk meminimalkan resiko pada daerah-daerah yang mungkin terjadi
bencana.
Daerah yang berpotensi terjadi bencana aliran debris diklasifikasikan menjadi
4 zona antara lain
1. Zona 1 (frekuensi tinggi dan kemungkinan tingkat kerusakan tinggi)
Pada kawasan ini, tingkat kerugian akan berdampak besar. Teknik manajemen
risiko yang diaplikasikan adalah dengan menghindari atau relokasi. Infrastruktur
yang dapat dibangun adalah infrastruktur sederhana seperti jalan yang dapat
digunakan untuk kegiatan tanggap darurat. Bangunan Milik Negara pada daerah
ini perlu diminimalisir dan hanya diutamakan terdapat bangunan untuk
pertolongan pada bencana seperti kantor polisi, pemadam kebakaran, fasilitas
kesehatan. Bangunan yang akan dibangun atau telah eksisting harus diperkuat
sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 45/PRT/M/2007 tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara.
2. Zona 2 (frekuensi tinggi tetapi kemungkinan tingkat kerusakan rendah)
Di zona kedua merupakan zona rawan bencana dengan propabilitas bencana yang
sedang sampai tinggi. Teknik manajemen risiko yang diaplikasikan adalah
dengan retensi atau memperkuat bangunan yang ada. Pengendalian yaitu dengan
urban planning dan asuransi. Pada zona ini masih memungkinkan untuk
mendirikan infrastruktur dan bangunan tingkat sederhana dengan melakukan
penguatan.
3. Zona 3 (frekuensi rendah tetapi kemungkinan tingkat kerusakan tinggi)
Di zona ketiga propabilitas bencana rendah dengan tingkat kerusakan tinggi.
Teknik manajemen risiko yang diaplikasikan adalah asuransi dan pengendalian
melalui urban planning. Pada zona ini, infrastruktur dapat didirikan dengan
jumlah yang telah diperhitungkan dan seluruh infrastruktur tersebut di
asuransikan.
4. Zona 4 (frekuensi rendah dan kemungkinan tingkat kerusakan rendah)
Di zona ini probabilitas dan tingkat kerusakan akibat bencana rrendah sehingga
zona 4 merupakan zona aman, dimana semua jenis infrastruktur vital dapat
dibangun..
Pembuatan zonasi tersebut dilakukan untuk mempermudah dalam
merencanakan dan melaksanakan upaya mitigasi bencana aliran debris. Selain itu
zonasi ini juga digunakan untuk memetakan kawasan rawan bencana serta pembuatan
jalur evakuasinya. Upaya mitigasi bencana aliran debris lebih lanjut diuraikan pada
subbab 4.1.

BAB 4
PRA BENCANA

Sebagaimana didefinisikan dalam UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,


penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan
bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Rangkaian kegiatan tersebut pada dasarnya ada
tiga tahapan yakni :
1. Pra bencana
2. Tanggap Darurat
3. Pasca bencana
Pada bab 4 ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai kegiatan pra bencana yang
terdiri dari 3 subbab yakni mitigasi bencana, kesiapsiagaan, dan early warning system.

4.1 Mitigasi Bencana


Upaya mitigasi bencana lahar hujan menurut Ferad Puturuhu (2015) dapat dibagi
menjadi tiga kegiatan yaitu upaya mitigasi non struktural, struktural dan peran serta
masyarakat.
A. Mitigasi Non Struktural
Mitigasi non strukural merupakan upaya mengurangi dampak bencana dengan cara
pembuatan kebijakan undang-undang penanggulangan bencana (UU PB) selain itu juga
arahan RTRW, dan kesadaran masyarakat terhadap bencana yang ada disekitarnya.
Kegiatan mitigasi non struktural terdiri dari:
 Pembentukan kelompok kerja yang beranggotakan dinas-instansi terkait ditingkat
daerah sebagai bagian untuk melaksanakan dan mentapakan pembagian peran dan
kerja atas upaya-upaya nonfisik penanggulangan mitigasi bencana lahar hujan,
 Merekomendasikan perbaikan prasarana dan sarana pengendalian bencana lahar
hujan,
 Memonitor dan mengevaluasi parameter kerawanan bencana lahar hujan yang
dperlukan untuk meramalkan bencana lahar hujan,
 Menyiapkan peta daerah rawan bencana lahar hujan dilenggkapi dengan rute
pengungsian, lokasi posko, dan lokasi pengamatan,
 Mengecek dan menguji sarana sistem peringatan dini yang ada dan mengambil
langkah-langkah pemeliharaannya
 Perencanaan logistik dan penyediaan dana, peralatan, dan material kegiatan yang
diperlukan untuk kegiatan tanggap darurat. Persediaan pangan dan air.
 Perencanaan dan penyiapan SOP untuk tahap tanggap darurat, diantaranya identifikasi
daerah rawan, identifikasi jalur evakuasi, tempat pengungsian, dan penyediaan
logistik, dapur umum, obat-obtan dan tenda darurat.
 Pelasanaan sistem informasi bencana lahar hujan, dengan penyampaian langsung pada
masyarakat, melalui media informasi media elektronika maupun media cetak.
 Melakukan pelatihan evakuasi untuk kesiapsiagaan masyarakat dan kesiapan tempat
pengungsian beserta perlengkapan jika terjadi bencana sewaktu-waktu, dan
 Melaksanakaan penyuluhan pada masyarakat atas peta rawan bencana lahar hujan
yang ada ditemapat tinggal mayarakat setempat.
B. Mitigasi Struktural
Mitigasi struktural merupakan upaya untuk meminimalkan bencana yang
dilakukan melalui pembagunan prasaran fisik dan pemanfaatan teknologi. Kegiatan
mitigasi struktural terdiri dari;
 Pembangunan sabo dam
 Pembangunan tembok penahan dan tanggul disepanjang sungai yang menjadi jalur
lintasan lahar
 Melakukan reboisasi pada bagian hulu untuk mengurangi debit aliran lahar,
pembangunan tanggul, dan sistem pembangunan yang sesuai dengan kondisi
bencana yang terjadi.

Gambar 4.1 Mekanisme banjir lahar pada bangunan sabo


Berdasarkan manajemen resiko yang telah dilakukan, maka dirumuskan upaya
mitigasi terhadap bencana aliran debris melalui upaya konstruktif dan non konstruktif
berikut.
4.1.1 Upaya Konstruktif
Aliran debris dapat dikontrol dan diminimalisir dampaknya dengan 3
pendekatan yaitu, pengendalian erosi selebar DAS, menghempaskan debris diatas
jalan, dan melewatkan debris melaui gorong gorong atau bawah jembatan (Reihsen
dan Horison, 1971).
Penghempasan aliran debris dari jalan dapat dicapai dengan 3 cara, yaitu
membelokan aliran dari jalan, cekungan debris, dan pipa atau jaring besi tegangan
tinggi.

Gambar 4.2 Skema cekungan debris

Gambar 4.3 Penggunaan jaring besi tegangan tinggi untuk menangkap aliran debris

Di Sleman, Yogyakarta di mana terdapat Gunung Merapi dan setiap meletus


ditambah guyuran hujan deras mengakibatkan debrish flow yang membawa material –
material letusan gunung seperti bongkahan batu besar dan pasir. Konstruksi yang
sangat berperan adalah Sabo dam dan Tanggul.
Sabo Dam dan Tanggul
Sabo Dam merupakan terminologi umum untuk bangunan penahan,
perlambatan dan penanggulangan aliran lahar di sepanjang sungai yang berpotensi
terlanda lahar. Beberapa Sabo Dam seperti tanggul, cek dam dan konsolidasi dam telah
dibangun di kawasan Gunungapi Merapi. Sabodam merupakan bangunan pengendali
aliran debris atau lahar yang dibangun melintang pada  alur sungai. Prinsip kerja
Bangunan Sabo adalah mengendalikan sedimen dengan cara menahan, menampung dan
mengalirkan material / pasir yang terbawa oleh aliran dan meloloskan air ke hilir.
Selama masa kejadian banjir lahar pasca erupsi Merapi tahun 2010, sebanyak 77
unit sabodam yang ada di sungai–sungai lahar Merapi mengalami kerusakan atau
bahkan hanyut terbawa aliran lahar (Balai Besar Wilayah Sungai Serayu – Opak, 2011).
Sabodam dibangun dengan fungsi untuk mengendalikan sedimen dengan cara menahan,
menampung dan  mengalirkan sedimen. Tata letak pembangunan sabodam di daerah
gunung api dilakukan pada daerah produksi sedimen sampai dengan
daerah pengendapan sedimen. Di daerah tersebut batuan dasar alur sungai sudah
tertimbun endapan hasil letusan gunung api, sehingga letaknya cukup dalam.
4.1.2 Upaya Non Konstruktif
Aliran debris adalah kejadian yang tidak dapat diprediksi dan bergerak sangat
cepat. Akan tetapi dengan pengamatan berbagai kondisi alam yang cermat dapat
memprediksi aliran yang akan terjadi.
1. Pengamatan area sekitar
Aliran Debris dapat membahayakan jembatan, memutus kabel listrik, dan
mengerosi jalan. Oleh karena itu, kita perlu memastikan bahwa kondisi
jembatan stabil dan aman, tidak ada jaringan listrik atau gas. Sebagai tambahan
perlu adanya saluran drainase yang akan menampung aliran debris yang dapat
memberi efek pada pengevakuasian nanti.

2. Pengamatan konsistensi debris


Aliran debris yang dari hulu dapat membawa material material besar seperti
batu atau kayu yang dapat membahayakan nantinya di sepanjang saluran aliran.
Kecepatan aliran dan konsistensinya perlu diperhatikan guna mendukung proses
tangggap darurat.
3. Pengamatan cuaca
Aliran debris semakin membahayakan ketika bertemu dengan air yang
bercampur dengan tanah. Oleh karena itu perlu adanya pengamatan terhadap
curah hujan, sistem irigasi dan saluran pipa air yang mungkin terjadi kebocoran.
4. Pengamatan terhadap suara
Suara tumbangnya pohon, bergeraknya material besar seperti batu dan material
debris lainnya dapat mengindikasikan terjadinya aliran debris terutama di hulu.
Perlu adanya juga sebuah dokumen atau pembukuan mengenai data-data
mengenai semua pengamatan, seperti foto udara material debris dan sebagainya.
Lalu perlu adanya perhitungan tentang luas area yang terdampak dan jarak aliran
debris akan terjadi sehingga dapat mempermudah dalam evakuasi nantinya.
Upaya mitigasi dilakukan oleh institusi terkait antara lain:
1. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, dan larangan
2. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang,
ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan dengan
pencegahan bencana.
3. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
4. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang aman.
5. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.
6. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi bencana.
Setelah adanya semua upaya tersebut, nantinya perlu adanya sosialisali
terhadap masyarakat terutama didaerah aliran yang dapat terdampak aliran debris.
Materi sosialisasi yang perlu disampaikan adalah latar belakang terjadi aliran debris
dan mitigasinya dari pra bencana, saat kondisi tanggap darurat, dan pasca bencana.

4.2 Kesiapsiagaan
Masyarakat sebagai individu maupun masyarakat secara keseluruhan dapat
berperan secara signifikan dalam upaya mitigasi bencana terhadap lahar hujan yang
terjadi. Hal ini sesuai dengan upaya mitigasi yang harus mendudukan masyarakat
sebagai subjek bukannya objek penanggulangan bencana. Langkah-langkah yang dapat
dilakukan dalam mitigasi yang megikut sertakan peran masyarakat diantaranya adalah:
 tidak tinggal dalam bantaran sungai,
 melakukan reboisasi dibagian hulu,
 ikut serta dan aktif dalam pelatihan dan penyuluhan tanggap bencana dalam upaya
mitigasi bencana.

4.3 Early Warning System


Mitigasi bencana aliran debris dapat dilakukan dengan menggunakan kemajuan
teknologi yakni dengan mengembangkan suatu sistem peringatan dini bencana (early
warning system). Contoh pemgembangan early warning system aliran debris oleh
Hardjosuwarno dkk. yang diterbitkan dalam Jurnal Sabo Vol. 3 No. 1 halaman 15 – 28
pada Mei 2012 merupakan EWS yang diterapkan pada daerah aliran Kali Putih,
Kabupaten Jember, Jawa Timur. Tujuan pengembangan early warning system ini adalah
untuk mengantisipasi dan meminimalkan resiko yang timbul akibat aliran debris yang
terjadi secara tiba-tiba. Hal ini sesuai dengan UU No 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana Pasal 26, ayat 1 huruf a, yang mengamanatkan bahwa
masyarakat berhak untuk mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya
bagi kelompok masyarakat rentan bencana
Prakiraan aliran debris pada penelitian tersebut dilakukan dengan model
hidrologi, model keruntuhan bendung, dan simulasi 2D banjir debris. Ketiga model
tersebut diintegrasikan menjadi satu berbasis SIG sehingga menghasilkan rambatan
banjir dan daerah yang terancam. Melalui kemajuan teknologi informasi dan komunikasi,
informasi peringatan dini aliran debris dapat disebarluaskan ke pos-pos pemantau di
lapangan menggunakan radio dan diteruskan kepada penduduk menggunakan kentongan
dan sirine, agar mereka yang bermukim di daerah terancam dapat menyelamatkan diri. .
Penyebaran
Model Model simulasi Simulasi aliran
Akuisisi data Prakiraan debit informasi
keruntuhan 2D banjir debris berbasis
realtime banjir debris melalui
bendung alam debris SIG
komunikasi

Gambar 4.4 Proses prakiraan peringatan dini aliran debris


Proses prakiraan peringatan dini aliran debris dijelaskan melalui tahap berikut:
1. Akuisisi Data Realtime
Data curah hujan realtime diperoleh dengan memasang alat penakar hujan yang
dilengkapi dengan perangkat telemetri seluler di DAS. Data tersebut langsung diterima
stasiun induk yang berfungsi selain menerima data juga menyimpan data.
2. Prakiraan Debit Banjir Debris
Metode yang digunakan dalam memprakirakan banjir debris merupakan simulasi
yang memperhitungkan keruntuhan bendung alam yang terbentuk oleh material
longsoran tebing tersebut yang dipicu oleh curah hujan di hulu bendung. Timbunan
longsoran dengan ketinggian tertentu membendung air hujan sehingga menimbulkan
tampungan air di hulu bendung. Keruntuhan bendung alam akan terjadi pada saat muka
air tampungan bendung alam mencapai penuh. Oleh karena itu, prakiraan banjir debris
diawali dengan perhitungan hidrograf aliran akibat curah hujan yang akan mengisi
tampungan bendung sampai penuh hingga terjadi overtopping, maka bendung alam
mengalami keruntuhan. Selanjutnya baru dilakukan perhitungan rambatan banjir debris.
Ketiadaan data debit di hulu dapat diatasi dengan model curah hujan-debit metode
Nakayasu maupun metode lainnya untuk mendapatkan hidrograf satuan sintetik. Bentuk
unit hidrograf ditentukan oleh karakteristik DAS dan curah hujan dalam satuan waktu
tertentu. Dengan metode ini, prediksi kejadian banjir debris ke depan dapat dihitung
berdasarkan hidrograf yang ditimbulkan oleh curah hujan di hulu menggunakan data
curah hujan stasiun pengukur yang dapat dipantau seeara realtime.
3. Model Keruntuhan Bendung Alam
Bendung alam terbentuk menutupi lembah sungai dengan bentuk profil melintang
seperti huruf V. Model yang dikembangkan mempunyai dua elemen yaitu model
tampungan (waduk) dan model bendung alam. Model keruntuhan bendungan didekati
dengan keruntuhan bendungan urugan tanah dengan lubang keruntuhan yang berbentuk
trapesium yang ukurannya tumbuh membesar sampai dengan ukuran maksimumnya.
Parameter keruntuhan adalah tinggi dan lebar dasar lubang keruntuhan rerata dan
maksimum.
Hidrograf banjir akibat keruntuhan bendung dihitung dengan model penelusuran
waduk pool-level dimana air waduk melimpah melalui lubang keruntuhan yang tumbuh
melebar dan dasar lubang bergerak turun. Waktu keruntuhan dibagi dalam pias-pias
waktu atau interval dan dalam setiap interval waktu dilakukan hitungan penelusuran
waduk dengan pendekatan kekekalan massa yaitu Qout – Qin = Δvol. Proses penelusuran
dihentikan ketika kedalaman air di hilir mendekati atau sama dengan hulu sehingga Q out
= Qin hidrograf. Selanjutnya hidrograf outflow diinputkan dalam program simulasi 2D
yang akan menghasilkan rambatan banjir dari waktu ke waktu dan daerah yang terancam
bahaya banjir di sepanjang sungai. Model tersebut selanjutnya diintegrasikan dalam
perangkat lunak aplikasi berbasis GIS yang dikembangkan.
4. Model Simulasi 2D Banjir Debris
Persamaan aliran 2D yang mempengaruhi dinamika aliran didasarkan pada
persamaan persamaan momentum baik arah x dan arah y, persamaan keseimbangan,
persamaan kekekalan massa pada dasar sungai, dan persamaan Ashida, Egashira, dan
Kamamoto untuk mempertimbangkan erosi tebing. (Yamashita, 2005)
Proses perkiraan atau pemodelan aliran debris pada daerah yang diperkirakan terdampak
ditunjukkan melalui Gambar 4.5 di bawah ini

Gambar 4.5 Skema pemodelan aliran debris


Sistem EWS yang dikembangkan Hardjosuwarno, dkk. di Kali Putih, Jember, Jawa
Timur tersebut dilengkapi dengan data logger yang dapat menampilkan data pada display,
modem pengirim data, dan antena. Data logger dapat menyimpan data hujan sampai dengan
10 tahun. Perangkat modem GSM berfungsi mengirimkan data seeara menerus ke stasiun
induk dengan menggunakan media GPRS. Data yang tersimpan di dalam data logger dapat
diunduh melalui internet ataupun secara langsung di lapangan dengan media RS-232
menggunakan SEBA software.
Sistem EWS Aliran Debris
Untuk membuat sistem peringatan dini aliran debris diperlukan beberapa sistem dan sub-
sistem yang menunjang proses pemodelan, prakiraan, dan penyebaran informasi sehingga
informasi peringatan dini tersebut dapat diterima oleh masyarakat.
1. Stasiun Induk Prakiraan Dini
Peralatan telemetri yang dipasang pada stasiun induk adalah seperangkat komputer
server yang berfungsi sebagai penerima data dari lapangan, penyimpanan dan pengolah
data.
2. Sub-Sistem Prakiraan Banjir Debris
Sub-sistem ini berfungsi memproses data curah hujan realtime menjadi informasi akan
terjadinya banjir debris.
a) Model Curah Hujan-Debit
b) Model Keruntuhan Bendung
c) Model Simulasi 2D Banjir Debris
3. Sub-Sistem Komunikasi
Informasi prakiraan terjadinya banjir debris harus secepatnya sampai ke warga agar
mereka dapat menyelamatkan diri sebelum banjir datang. Sub-sistem komunikasi
merupakan jaringan komunikasi yang berfungsi menyampaikan informasi prakiraan
banjir debris dari Stasiun Induk ke pas-pos pemantau di lapangan menggunakan handy
talkie (HT), selanjutnya meneruskanya kepada warga di daerah bahaya menggunakan
media sirine manual dan kentangan.

BAB 5
TANGGAP DARURAT

Kegiatan tanggap darurat bencana merupakan kegiatan yang dilakukan pada saat
bencana terjadi, meliputi kegiatan evakuasi terhadap masyarakat yang terdampak. Kegiatan
evakuasi dapat efektif bila sistem peringatan dini berjalan dengan baik sehingga terdapat
selang waktu antara evakuasi dengan datangnya bencana.
Hal-hal yang perlu dilakukan oleh masyarakat pada saat terjadi bencana antara lain:
1. Tidak berjalan dekat saluran aliran debris dan jembatan yang dilalui aliran debrih
2. Hubungi instansi yang berhubungan dengan penanggulangan bencana
Hal-hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan institusi terkait pada saat terjadi
bencana antara lain:
1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya
2. Penetapan status darurat bencana
3. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terutama yang dekat dengan tanggul aliran
4. Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang diungsikan, misalnya sembako, selimut,
pakaian, air bersih, dan lainnya.

BAB 6
PASCA BENCANA

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi


rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk
mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi
normal yang lebih baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali.
Kegiatan-kegiatan rehabilitasi yang dilakukan meliputi:
1. Pemulihan psikologis korban
2. Pelayanan kesehatan
3. Pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya
Sedangkan tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk membangun kembali sarana dan
prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna.
1. Pembangunan dan perbaikan kembali bangunan tanggul dan sabo dam jika terjadi
kerusakan
2. Merekonstruksi bangunan tersebut dengan material yang lebih baik dan lebih tahan
terhadap gempa guna meminimalisir lagi dampak bencana.
3. Perbaikan lingkungan daerah dan prasarana umum yang terkena bencana aliran debris
seperti rumah, jalan, jembatan, atau sarana prasarana lain
4. Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat

BAB 7
PENUTUP

Aliran debris adalah bencana yang dapat terjadi dan meningkat probabilitas
kejadiannya ketika musim penghujan. Aliran debris dapat menyebabkan tertimbunnya jalan
oleh material yang di bawa, merusak jembatan, dan bangunan bangunan lainnya yang
dilalui sepanjang aliran debris. Perlu adanya mitigasi bencana untuk meminimalisir dampak
dari bencana tersebut. Oleh karena dampak akibat bencana tersebut tidak hanya kerugian
materiil tapi juga bias menyebabkan kerugian jiwa.
Adapun mitigasi pra bencana yang dilakukan berupa upaya konstruktif dan non
konstruktif. Pada tanggap darurat dilakukan pengevakuasian serta pemberian logistik pokok
terahadap korban. Pada pasca bencana dilakukan rehabilitasi psikologi dan sosial
masyarakat, serta rekonstruksi bangunan yang terdampak aliran debris.
DAFTAR PUSTAKA

Djojosoedarso, S., 2003. Prinsip-prinsip Manajemen Risiko Edisi Revisi. Salemba Empat,
Jakarta, ISBN 979- 691-171-X.
Haryono, Djoko L., dan Ahad L. 2008. Mitigasi Bencana Aliran Debris Sungai Belanting
Secara Non Struktural Desa Belanting Kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok
Timur – Nusa Tenggara Barat. Yogyakarta.
Hardjosuwarno, Sutikno, dkk. 2012. Pengembangan Sistem Prakiraan dan Peringatan Dini
Aliran Debris di Kali Putih, Kabupaten Jember. Yogyakarta.
Juani, Rohman & Dorojatun, Helvita. 2019. Manajemen Resiko Bencana Untuk
Pembangunan Infrastruktur. Jakarta.
Kusumosubroto, Haryono. 2011. Presentasi Aliran Debris dan Lahar.
https://www.scribd.com/doc/268347175/Phenomena-Aliran-Debris-Dan-Faktor-
Pembentuknya diakses pada tanggal (1 September 2019)

Anda mungkin juga menyukai