Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai landasan teori yang akan digunakan pada
bab pengolahan dan analisis data. Teori-teori ini digunakan untuk menunjang
pembahasan dan menjawab rumusan masalah penelitian ini.

2.1 Bencana Longsor


Definisi bencana berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana. Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan bencana
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-
alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana menurut
International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC & RCS) adalah
kejadian yang mendadak dan malang yang secara serius mengganggu fungsi masyarakat
serta menyebabkan kerugian manusia, material, ekonomi dan lingkungan yang
melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasinya dengan sumberdaya sendiri.
Pendapat lain dari World Health Organization International (WHO) menyatakan
bahwa selain mengganggu kondisi eksistensi normal dan penderitaan yang melebihi
kapasitas penyesuaian oleh masyarakat yang terkena dampak, mereka menekankan pada
aspek keberadaan manusia yang terdampak dan paling berarti dibandingkan harta benda
maupun faktor-faktor lainnya. Pendefinisian mengenai bencana maupun faktor-faktor
yang mempengaruhinya baik yang disebabkan oleh alam, non-alam maupun oleh manusia
itu sendiri dapat dipengaruhi oleh adanya aspek keterlibatan manusia dalam
mengolah/memanfaatkan alam itu sendiri. Dalam proses geologi yang terjadi di alam,
berbagai peristiwa yang sering dianggap sebagai bencana oleh manusia sebenarnya
hanyalah proses penyeimbangan energi atau pelepasan energi dalam upaya alam
menyeimbangkan dirinya. Tetapi, peristiwa alam tersebut akan menjadi sebuah bencana
ketika menimbulkan berbagai kerugian bagi manusia.
Berdasarkan Peraturan Menteri PU Nomor 22 Tahun 2007, pengertian bencana
longsor adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam berupa tanah longsor. Tanah longsor itu sendiri adalah perpindahan
material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material
campuran yang bergerak ke bawah atau keluar lereng.
Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut, yaitu air yang
meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai
tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan
tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng. Gejala
umum tanah longsor yaitu munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah
tebing, biasanya terjadi setelah hujan, munculnya mata air baru secara tiba-tiba, tebing
rapuh dan kerikil mulai berjatuhan. (Suharno, 2018).
Longsor itu sendiri terbagi menjadi 6 jenis longsor yaitu longsoran translasi,
longsoran rotasi, longsoran translasi blok batu/pergerakan blok, longsoran rayapan tanah,
longsoran runtuhan batu, longsoran aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan
rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak
memakan korban jiwa manusia adalah longsor aliran bahan rombakan.
a. Longsoran translasi
Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk rata atau menggelombang landau, seperti terlihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Longsor Translasi


Sumber: Safetysign Indonesia
b. Longsoran rotasi
Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk cekung, seperti terlihat pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Longsor Rotasi
Sumber: Safetysign Indonesia
c. Longsoran translasi blok batu/pergerakan blok
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang
gelincir berbentuk rata atau landai. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi
blok batu, seperti terlihat pada Gambar 2.3

Gambar 2.3 Longsoran Translasi Blok Batu


Sumber: Safetysign Indonesia
d. Longsoran rayapan tanah
Longsoran rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat.
Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus yang bergerak merayap lambat atau
cepat, bahkan tidak terkendali. Setelah waktu yang cukup lama, longsoran jenis ini
menyebabkan rumah, pohon atau tiang miring ke bawah, seperti terlihat pada
Gambar 2.4
Gambar 2.4 Longsoran Rayapan Tanah
Sumber: Safetysign Indonesia
e. Longsoran runtuhan batu
Longsoran runtuhan batu adalah longsor yang terjadi ketika sejumlah besar
batuan, tanah, atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas.
Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung terutama di daerah
pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah, seperti
terlihat pada Gambar 2.5

Gambar 2.5 Longsoran Runtuhan Batu


Sumber: Safetysign Indonesia
f. Longsoran aliran bahan rombakan
Longsoran aliran bahan rombakan adalah longsor yang terjadi ketika massa
tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung kemiringan lereng,
volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakan terjadi di sepanjang lembah
dan mampu mencapai ratusan meter. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter
seperti di DAS sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban jiwa cukup
banyak, seperti terlihat pada Gambar 2.6
Gambar 2.6 Longsoran Aliran Bahan Rombakan
Sumber: Safetysign Indonesia

2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Longsor


Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar
dibandingkan gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan
dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng,
air, beban serta berat jenis tanah batuan. Bencana longsor ini dapat disebabkan oleh
berbagai faktor baik alam maupun manusia. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya longsor, yaitu:
1. Iklim (curah hujan)
Penyebab terjadinya longsor dari faktor iklim adalah curah hujan. Besarnya curah
hujan, intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan tekanan hujan
terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan longsor
(Barus, 1999). Air permukaan yang membuat tanah menjadi basah dan jenuh akan
sangat rawan terhadap longsor. Hujan yang tidak terlalu lebat, tetapi
berkepanjangan durasi hujannya lebih dari 1 atau 2 hari akan berpeluang untuk
menimbulkan tanah longsor (Soedrajat, 2007). Selanjutnya, hujan dengan curahan
dan intensitas tinggi, misalnya 50 mm yang berlangsung lama (lebih dari 6 jam)
berpotensi menyebabkan longsor, karena pada kodisi tersebut dapat terjadi
penjenuhan tanah oleh air yang meningkatkan massa tanah. (Litbang Departemen
Pertanian, 2006).
Pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PMPU) No 22 Tahun 2007 dijelaskan
pengaruh curah hujan dalam stabilitas lereng. Curah hujan mempunyai pengaruh
atau bobot sebesar 15% dalam terjadinya longsoran. Curah hujan mempunyai
intensitas pengaruh yang besar/tinggi pada longsor apabila curah hujan rata-rata
sebesar 2500 mm/tahun atau lebih dari 70 mm/jam tetapi berlangsung terus
menerus selama lebih dari 2 jam hingga beberapa hari. Curah hujan mempunyai
intensitas pengaruh sedang apabila curah hujan berkisar antara 30-70 mm/jam
berlangsung tidak lebih dari 2 jam dan hujan tidak setiap hari atau curah hujan
rata-rata tahunan antara 1000-2500 mm/tahun. Curah hujan mempunyai intensitas
pengaruh yang rendah apabila curah hujan rata-rata kurang dari 1000 mm/tahuh
atau curah hujan kurang dari 30 mm/jam dan berlangsung tidak lebih dari 1 jam
dan hujan tidak terjadi setiap hari.
2. Topografi
Indikator faktor topografi dalam longsor adalah lereng atau kemiringan lereng.
Lereng atau kemiringan lereng adalah salah satu faktor pemicu terjadinya erosi
dan longsor di lahan pegunungan atau perbukitan. Peluang terjadinya erosi dan
longsor makin besar dengan semakin curamnya lereng. Kemiringan dan panjang
lereng adalah dua unsur topografi yang paling berpengaruh besar terhadap
terjadinya longsor. Unsur lain yang berpengaruh adalah konfigurasi, keseragaman
dan arah lereng. Makin curam lereng, makin besar kemungkinan gerakan tanah
dari atas ke bawah lereng. (Barus, 1999).
Kemiringan lereng menjadi faktor yang sangat penting dalam proses terjadinya
tanah longsor. Pembagian zona kerentanan sangat terkait dengan kondisi
kemiringan lereng. Kondisi kemiringan lereng lebih dari 150 perlu mendapat
perhatian terhadap kemungkinan bencana tanah longsor dan tentunya dengan
mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mendukung. Pada dasarnya sebagian
besar wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau pegunungan yang
membentuk lahan miring. Namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring
berbakat atau berpotensi longsor. Potensi terjadinya gerakan pada lereng juga
tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lerengnya, struktur geologi,
curah hujan, vegetasi penutup, dan penggunaan lahan pada lereng tersebut.
(Karnawati, 2001).
Pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PMPU) No 22 Tahun 2007 dijelaskan
lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang
terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin.
Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah apabila ujung lereng
mempunyai bobot yang sangat tinggi dalam kerawanan longsor yaitu sebesar
30%. Secara umum tingkat kemiringan lereng yang mencapai 40% atau lebih
memiliki sensitivitas tingkat kerawanan yang tinggi, kemiringan lereng yang
berkisar antara 21-40% memiliki sensitivitas tingkat kewaranan sedang dan
kemiringan lereng dengan tingkat kerawanan rendah adalah 0-20%.
3. Geologi (batuan)
Struktur geologi dalam lereng sangat menentukan kelakuan lereng. Sebagai
contoh rangkaian, tebal dan letak bidang dasar batuan berpengaruh secara
langsung terhadap potensi kestabilan. Ketidakmenerusan (discontinuoity) seperti
patahan, lipatan dan kekar harus dipelajari dengan cermat, dalam memprediksi
stabilitas lereng secara akurat, penting untuk memperhatikan urutan bidang lemah
dan kuat, permukaan runtuhan yang telah lalu, zona patahan dan pengaruh
hidrogeologi. (Hardiyanto, 2006).
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PMPU) No 22 tahun 2007 dijelasakan
batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran
antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan
mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan
terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal. Faktor batuan dalam
terjadinya longsoran memiliki bobot 20%. Kriteria batuan yang memiliki
sensitivitas tingkat kerawanan longsor tinggi adalah batuan penyusun lereng yang
terlihat banyak struktur retakan. Sensitivitas tingkat kerawanan longsor sedang
adalah batuan penyusun lereng yang terlihat terdapat retakan tetapi lapisan batuan
tidak miring ke arah luar lereng, sedangkan kriteria sensitivitas tingkat kerawanan
longsor rendah berupa lereng yang tersusun oleh batuan dan tanah namun ada
struktur retakan/kekar pada batuan.
4. Vegetasi
Faktor vegetasi berpengaruh terhadap longsor melalui pengaruh akar dan
kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan
pengaruhnya terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah, dan transpirasi yang
mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Suatu vegetasi penutup tanah
yang baik seperti rumput yang tebal atau rimba yang lebat akan menghilangkan
pengaruh hujan dan topografi terhadap longsor. Akan tetapi, kebutuhan manusia
akan pangan, sandang dan permukiman membuat semua tanah tidak dapat
dibiarkan tertutup oleh hutan dan padang rumput. (Arsyad, 1989).
Pengaruh vegetasi adalah pada penambahan beban lereng, menambah tekanan
geser, gaya mendorong atau gaya menahan. Beban tanaman/vegetasi tersebut
menambah kemantapan lereng pada sudut sekitar 340 atau kurang, sedangkan
untuk sudut yang lebih besar maka beban tanaman akan dapat mengganggu
kestabilan lereng. Sistem perakaran dari tanaman dapat menambah kohesi yang
akan menghambat terjadinya longsor. Vegetasi memodifikasi kandungan air
dalam tanah dengan menurunkan muka air tanah akibat adanya evapotranspirasi,
sehingga dapat menunda tingkat kejenuhan air tanah. Dengan demikian akan
menambah kemantapan lereng.
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan
adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang
kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh
dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan
penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang
longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama. (Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum No 22 tahun 2007).
5. Kondisi tanah
Jenis tanah sangat menentukan terhadap potensi erosi dan longsor. Tanah yang
gembur karena mudahnya air masuk ke dalam permukaan tanah akan lebih
berpotensi longsor dibandingkan dengan tanah yang padat (massive) seperti tanah
bertekstur liat (clay). Hal ini dapat terlihat juga dari kepekaan erosi tanah. Nilai
kepekaan erosi tanah menunjukan mudah tidaknya tanah mengalami erosi,
ditentukan oleh berbagai sifat fisik dan kimia tanah. Makin kecil nilai kepekaan
erosi tanah makin tidak peka suatu tanah terhadap erosi. (Sitorus, 2006).
Dalam hal kekritisan stabilitas lereng menurut Saptohartono (2007) pada
intensitas hujan yang sama 127,4 mm/jam, tekstur tanah pasir cenderung lebih
cepat mencapai kondisi kritis sekitar 0,023 jam, dibandingkan tekstur tanah
lempung 0,03 jam dan tanag liat sekitar 0,08 jam setelah terjadi hujan.
6. Pengelolaan lahan
Faktor manusia yang paling menentukan apakah tanah yang diusahakannya akan
rusak dan tidak produktif atau menjadi baik dan produktif secara lestari.
Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh manusia terhadap penggunaan lahan
tentu akan berdampak pada longsor dan lingkungannya. (Kartasapoetro, 2006).
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PMPU) No 22 tahun 2007 memaparkan
faktor manusia yang berkaitan dengan penggunaan lahan terdapat lima indikator
yaitu berkaitan dengan pembangunan konstruksi (bobot 20 %), pencetakan kolam
(seperti area persawahan) (bobot 10%), pola tanam (bobot 10%), drainase (bobot
10%), kepadatan penduduk (bobot 30%), serta pemotongan dan penggalian lereng
(bobot 20%).
Pemanfaatan lahan untuk pembangunan konstruksi khusunya di atas lereng yang
terjal memiliki sensitivitas tingkat kerawanan yang tinggi apabila dilakukan
pembangunan konstruksi dan beban yang terlalu besar dan melampaui daya
dukung. Sensivitas tingkat kerawanan longsor sedang apabila dilakukan
pembangunan konstruksi dan beban yang masih sedikit, tetapi belum melampaui
daya dukung dan sensitivitas tingkat kerawanan rendah apabila dilakukan
pembangunan konstruksi beban yang masih sedikit dan belum melampaui daya
dukung tanah, atau tidak ada pembangunan konstruksi.
Pencetakan kolam juga termasuk salah satu dalam pemanfaatan lahan oleh
manusia. Di dalam indikator pencetakan kolam, kriteria sensivitas kerawanan
longsor tinggi apabila dilakukan pencetkan kolam yang dapat mengakibatkan
merembesnya air kolam ke lereng, sensitivitas rendah apabila terdapat pencetakan
kolam tetapi ada perembasan air kolam ke dalam lereng dengan intensitas yang
kecil, serta sensitivitas rendah apabila sama sekali tidak dilakukan pencetakan
kolam pada lereng.
Penggalian dan pemotongan lereng memiliki sensivitas kerawanan yang tinggi
apabila intensitas penggalian/pemotongan lereng tinggi tanpa memperhatikan
struktur perlapisan tanah/batuan pada lereng dan tanpa perhitungan analisis
kestabilan lereng, sensitivitas sedang apabila intensitas penggalian/pemotongan
lereng rendah, serta memperhatikan struktur perlapisan tanah/batuan pada lereng
dan perhitungan analisis kestabilan lereng dan sensitivitas rendah apabila tidak
melakukan penggalian atau pemotongan lereng.
Drainase atau saluran irigasi merupakan salah satu faktor yang menentukan
terjadinya longsor. Sistem drainase yang layak akan dapat mencegah terlalu
lamanya tanah tergenang air secara berlebihan. (Kartasapoetra, 2005).

2.3 Manajemen Bencana


Manajemen bencana adalah suatu proses terpadu, dinamis, dan berlanjut dalam
rangka meningkatkan kualitas tindakan yang berhubungan dengan observasi, analisis
bencana, pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat,
rehabilitasi, dan rekonstruksi bencana berdasarkan UU No 24 Tahun 2007.
Secara umum, manajemen bencana bertujuan untuk:
1. Membatasi dan mencegah jumlah korban manusia, material, dan lingkungan
hidup
2. Mengurangi resiko bencana bagi penduduk dalam bentuk korban jiwa, kerugian
ekonomi dan kerusakan sumber daya alam.
3. Mengurangi atau menghilangkan penderitaan dan kesulitan korban.
4. Mengembalikan korban bencana dari daerah pengungsian ke daerah asal bila
memungkinkan.
5. Merelokasi korban ke daerah baru yang aman dan layak huni.
6. Mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti transportasi, air minum,
listrik, dan komunikasi termasuk mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial
daerah yang terkena bencana.
7. Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi dalam konteks pembangunan.
8. Meminimalisasi kerugian pada individu, masyarakat, dan negara.
9. Meminimalisasi penderitaan yang ditanggung oleh individu dan masyarakat yang
terkena bencana.
10. Menghindari kerugian pada individu, masyarakat, dan negara melalui tindakan
dini, tindakan ini merupakan pencegahan yang dilakukan sebelum bencana itu
terjadi.
11. Memperbaiki kondisi sehingga individu dan masyarakat dapat mengatasi
permasalahan akibat bencana.
12. Menjadi landasan perencanaan pembangunan.
13. Meningkatkan kepedulian masyarakat untuk menghadapi dan mengurangi
dampak dan resiko bencana sehingga masyarakat dapat hidup aman.
Secara umum manajemen bencana meliputi tahapan-tahapan yaitu, pra-bencana,
saat terjadi bencana, dan pasca-bencana. Kegiatan-kegiatan manajemen bencana yang
berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Siklus Bencana Berkelanjutan

1. Pra-bencana
a. Pencegahan (prevention)
Pencegahan merupakan upaya melakukan pencegahan terjadinya bencana,
upaya ini yang menitikberatkan pada upaya penyebarluasan dan pengendalian
berbagai peraturan perundang-undangan.
b. Mitigasi (mitigation)
Mitigasi bencana serangkaian upaya untuk mengurangi dan memperkecil
akibat yang ditimbulkan oleh bencana, baik melalui pembangunan fisik
(mitigasi struktural) maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi bencana (mitigasi non-struktural).
c. Kesiapsiagaan (preparedness)
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian dan melalui langkah yang
tepat dan berdaya guna seperti mendidik dan melatih masyarakat khususnya
di daerah rawan bencana.
d. Peringatan dini (early warning)
Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan atau usaha pemberian peringatan
sesegera mungkin kepada masyarakat, agar dapat memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk menyelamatkan diri.
2. Saat terjadi bencana
a. Tanggap darurat (response)
Tanggap darurat merupakan upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian
bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa
penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi, dan pengungsian.
b. Bantuan darurat (relief)
Bantuan darurat merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, tempat tinggal
sementara, sanitasi, air bersih, dan obat-obatan.
3. Pasca bencana
a. Pemulihan (recovery)
Proses pemulihan darurat kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan
memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula, seperti
memperbaiki jalan, listrik, dan air bersih.
b. Rehabilitasi (rehabilitation)
Rehabilitasi merupakan upaya langkah yang diambil setelah kejadian bencana
untuk membantu memperbaiki rumah tinggal, fasilitas umum, dan fasilitas
sosial, dan menghidupkan kembali roda perekonomian.
c. Rekonstruksi (reconstruction)
Rekonstruksi adalah program jangka menengah dan jangka panjang guna
perbaikan infrastruktur, sosial, dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan
masyarakat pada kondisi yang sama atau lebih dari sebelumnya.
Untuk dapat melaksanakan manajemen bencana dengan baik, maka diperlukan
beberapa aspek pendukung seperti pengkajian, koordinasi, dan manajemen informasi
yang baik. Selain itu, mobilisasi sumber, keterkaitan lokal-nasional dan internasional juga
berperan dalam menjamin keberlangsungan manajemen bencana. Hal penting dari
keterkaitan tersebut adalah adanya kerjasama yang baik antara pemerintah, militer,
masyarakat, swasta dan akademisi dalam melaksanakan manajemen bencana tersebut.

2.4 Mitigasi Bencana Longsor


Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, mitigasi didefinisikan sebagai
serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Secara
umum pengertian mitigasi adalah usaha untuk mengurangi dan/ atau meniadakan korban
dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum
terjadinya bencana, yaitu terutama kegiatan penjinakan/ peredaman atau dikenal dengan
istilah mitigasi.
Tujuan utama mitigasi bencana yaitu:
1. Mengurangi resiko bencana bagi penduduk dalam bentuk korban jiwa, kerugian
ekonomi dan kerusakan sumber daya alam.
2. Menjadi landasan perencanaan pembangunan.
3. Meningkatkan kepedulian masyarakat untuk menghadapi serta mengurangi
dampak dan resiko bencana sehingga masyarakat dapat hidup aman.
Untuk melakukan penanggulangan bencana, diperlukan informasi sebagai dasar
perencanaan penanganan bencana yang meliput:
1. Lokasi dan kondisi geografis wilayah bencana serta perkiraan jumlah penduduk
yang terkena bencana.
2. Jalur transportasi dan sistem telekomunikasi.
3. Ketersediaan air bersih, bahan makanan, fasilitas sanitasi, tempat penampungan
dan jumlah korban.
4. Tingkat kerusakan, ketersediaan obat-obatan, peralatan medis serta tenaga
kesehatan.
5. Lokasi pengungsian dan jumlah penduduk yang mengungsi.
6. Perkiraan jumlah korban yang meninggal dan hilang.
7. Ketersediaan relawan dalam berbagai bidang keahlian.
Mitigasi merupakan salah satu komponen dalam penanggulangan bencana, yang
tujuannya untuk mengurangi korban, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan
sekecil mungkin. Setiap saat manusia tidak lepas terhadap risiko sehingga pemahaman
terhadap risiko bencana diperlukan sebagai dasar untuk penanggulangan bencana.
Mitigasi bencana perlu didasarkan oleh macam dan penyebab bencana, sehingga upaya
yang harus dilakukan harus disesuaikan dengan faktor penyebabnya.
Pada dasarnya rangkaian kegiatan penanggulangan bencana ini dapat dibagi
dalam empat tahapan yakni:
1. Tahap pencegahan dan mitigasi.
2. Tahap kesiapsiagaan.
3. Tahap tanggap darurat.
4. Tahap pemulihan.
Dapat dilihat skema lingkup bahasan rencana penanggulangan bencana pada
Gambar 2.8.
Siklus bencana yang digambarkan pada Gambar 2.8, sebaiknya tidak dipahami
sebagai suatu pembagian tahapan yang tegas, dimana kegiatan pada tahap tertentu akan
berakhir pada saat tahapan berikutnya dimulai. Akan tetapi harus dipahami bahwa setiap
waktu semua tahapan dilaksanakan secara bersama-sama dengan porsi kegiatan yang
berbeda. Misalnya pada tahap pemulihan, kegiatan utamanya adalah pemulihan tetapi
kegiatan pencegahan dan mitigasi juga sudah dimulai untuk mengantisipasi bencana yang
akan datang
Gambar 2.8 Skema Lingkup Bahasan Rencana Penanggulangan
Bencana

Setiap kejadian tanah longsor yang pernah terjadi, apa yang ada disekitar area
longsoran akan rusak atau hancur, seperti jalan, maka akses transportasi darat akan
terhambat, karena jalan yang akan di lintasi oleh kendaraan tertutup oleh timbunan tanah,
kemudia instalasi listrik, akses listrik di daerah tersebut akan padam dikarenakan kabel
atau tiang listrik yang berada di daerah longsoran tersebut roboh dan putus kabelnya,
kemudian tempat tinggal, warga yang tinggal di daerah sekitar longsoran tersebut akan
kehilangan tempat tinggal, dan jika ada sarana Pendidikan di sekitar daerah longsoran
maka sarana Pendidikan akan terganggu, perputaran ekonomi di daerah tersebut tidak
akan jalan.
Adapun mitigasi longsor yang dapat dibagi menjadi 2 bentuk yaitu:
1. Mitigasi longsor secara struktural, berupa pembuatan infrastruktur sebagai
pendorong untuk meminimalisir dampak dan potensi bencana longsor seperti
pembangunan dinding penahan tanah, pembangunan saluran air, pengelolaan
jenis tanaman yang digunakan, dan pemasangan sistem peringatan dini longsor.
2. Mitigasi longsor secara non struktural, berupa pengelolaan tata ruang dan
pelatihan untuk meningkatkan kemampuan kapasitas masyarakat seperti
mengadakan sosialisasi, mengadakan pelatihan dan simulasi bencana longsor,
membentuk kelompok masyarakat siaga bencana, dan membuat peraturan terkait
untuk mencegah terjadinya bencana longsor.

Untuk mencegah hal tersebut dapat dilakukan upaya-upaya seperti:


1. Tidak mencetak sawah dan membuat kolam pada lereng bagian atas di dekat
pemukiman.
2. Membuat terasering atau sengkedan pada lereng yang terjal bila membangun
pemukiman.
3. Menutup retakan tanah dan dipadatkan agar air tidak masuk ke dalam tanah
melalui retakan.
4. Tidak melakukan penggalian di bawah lereng yang terjal.
5. Tidak menebang pohon di lereng.
6. Tidak membangun rumah di bawah tebing.
7. Tidak mendirikan permukiman di tepi lereng yang terjal.
8. Tidak mendirikan bangunan di bawah tebing yang terjal.
9. Tidak memotong tebing jalan menjadi tegak.
10. Tidak mendirikan rumah di tepi sungai yang rawan erosi.
Tahapan mitigasi bencana tanah longsor:
A. Kegiatan pra bencana
Kegiatan pra bencana dilakukan dalam situasi sebelum terjadi bencana dan dalam
situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Hal ini dilakukan untuk mengurangi atau
menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun
kerentanan pihak yang terancam bencana. Kegiatan tersebut antara lain:
1. Pemetaan
a. Pemetaan zona kerentanan gerakan tanah
Pemetaan kerentanan gerakan tanah menyajikan informasi visual tingkat
kerentanan/kerawanan terhadap potensi bahaya gerakan tanah, kemungkinan
dampaknya terhadap lingkungan sekitarnya, seperti manusia, pemukiman, sarana
prasarana, harta benda. Pemetaan kerentanan gerakan tanah merupakan data dasar
dalam melakukn antisipasi bencana dan sebagai pertimbangan dalam penyusunan
analisis risiko bencana gerakan tanah.
b. Pemetaan zona risiko bencana gerakan tanah
Pemetaan risiko gerakan tanah dilakukan untuk mengetahui tingkat risiko
suatu objek bencana di dalam zona kerentanan tanah. Peta ini digunakan
sebagai acuan dalam pengaturan tata ruang wilayah yang berbasis risiko
bencana dan dapat direvisi sesuai dengan potensi dan perkembangan daerah
tersebut.
2. Pemantauan
Pemantauan gerakan tanah dilakukan melalui pemantauan gerakan tanah yang
berkesinambungan maupun temporer, untuk mengetahui tingkat perkembangan
gerakan tanah, laju pergerakan, faktor penyebab bencana dan tingkat kerusakan
yang ditimbulkan oleh gerakan tanah serta antisipasi kemungkinan bencana
garakan tanah serupa yang mungkin terjadi diwaktu yang akan dating.
Pemantauan gerakan tanah dilakukan pada pemukiman padat dan daerah vital dan
strategis.
3. Peringatan dini dan penyebaran informasi
Peringatan dini adalah serangkaian pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat
oleh lembaga yang berwenang. Metodologi peringatan dini yang dapat dilakukan
antara lain:
a. Membuat peta tumpeng susun antara peta curah hujan dan zona kerentanan
gerakan tanah (peta perkiraan wilayah potensi terjadi gerakan tanah) yang
disebarluaskan setiap bulan kepada pemerintah daerah.
b. Penyebarluasan informasi daerah rawan gerakan tanah.
c. Penyebarann leaflet dan poster tentang tata cara mitigasi dan penanggulangan
bencana gerakan tanah.
d. Tanda-tanda peringatan dini sebagai upaya peningkatan kewaspadaan
masyarakat terhadap ancaman bahaya gerakan tanah dibuat pemerintah
daerah.
4. Penyelidikan gerakan tanah
Penyelidikan gerakan tanah bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi
mengenai potensi bencana gerakan tanah, faktor pengontrol dan pemicu gerakan
tanah, sebaran zona kerentanan gerakan tanah dan rekomendasi teknis langkah-
langkah penanggulangannya.
5. Penguatan ketahanan masyarakat
Peningkatan dan penyebarluasan informasi kebencanaan untuk membentuk
masyarakat siaga bencana. Kegiatan peningkatan kapasitas untuk penguatan
ketahanan masyarakat meliputi:
a. Pemanfaatan sumberdaya masyarakat
Meningkatkan, kemampuan dan budaya masyarakat untuk membentuk
masyarakat siaga bencana dengan melakukan pelatihan untuk pelaksana
penanggulangan bencana masyarakat.
b. Penyebaran informasi kebencanaan
Penyebarluasan informasi kebencanaan bertujuan untuk meningkatkan
kewaspadaan masyarakat yang tinggal di zona rentan bencana menengah dan
tinggi.
c. Sosialisasi dan penyuluhan
Sosialisasi dan penyuluhan adalah penyampaian informasi tentang gerakan
tanah, penyelidikan, pengetahuan, pemeriksaan, pemantauan, dan pemetaan
gerakan tanah oleh lembaga yang berwenang kepada pelaksana
penanggulangan bencana alam.
d. Pendidikan dan pelatihan kebencanaan
Pendidikan dan pelatihan kebencanaan dilaksanakan terutama terhadap
masyarakat yang tinggal di zona kerentanan gerakan tanah tinggi. Pendidikan
dan pelatihan ini mencakup manajemen kedaruratan, membangun koordinasi,
komunikasi dan kerjasama, pemahaman daerah rawan bencana dan prosedur
tetap evakuasi.
e. Rencana kontijensi
Penyiapan dan penyusunan rencana kontijensi dilakukan pada daerah yang
berpotensi terkena bencana gerakan tanah. Tujuannya apabila terjadi bencana
pemerintah dan pemerintah daerah Bersama dengan masyarakat mampu
menyiapkan diri dan mengoperasikan dokumen kontijensi menjadi
operasional pada saat tanggap darurat.
6. Mitigasi gerakan tanah struktural
Mitigasi gerakan tanah secara struktural dan rekayasa untuk mengurangi atau
menghindari kemungkinan dampak bahaya antara lain memindahkan
permukiman dari daerah rentan gerakan tanah dan atau melakukan rekayasa
teknologi. Mitigasi struktural untuk mengurangi dampak bahaya merupakan
wewenang pemerintah daerah atau instansi terkait.
B. Kegiatan saat bencana
Tanggap darurat bencana dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana
dilakukan. Hal ini untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman
maupun kerentanan pihak yang terancam bencana yang dilakukan oleh tim tanggap
darurat. Kegiatan ini untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan yang meliputi
evaluasi potensi terjadi gerakan tanah susulan, dampak dan sebaran gerakan tanah,
rekomendasi teknis langkah-langkah penanggulangan serta pemulihan sarana dan
prasarana. Tim tersebut berkoordinasi dengan pemerintah daerah/BPBD, dan melakukan
sosialisasi bersama pemerintah daerah/BPBD kepada masyarakat untuk antisipasi potensi
terjadi bencana gerakan tanah susulan.
C. Kegiatan pasca bencana
Kegiatan pasca bencana dilakukan setelah terjadi bencana gerakan tanah untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan. Kegiatan pasca bencana tanah meliputi
penentuan daerah relokasi yang aman terhadap bencana, perbaikan/rehabilitasi
lingkungan daerah bencana, perbaikan atau pembangunan kembali prasarana dan sarana
umum. Kegiatan rekonstruksi antara lain:
1. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik
dan tahan bencana.
2. Perbaikan drainase lereng/tanah.
3. Pengurangan susut lereng sebelum pembangunan sarana dan prasarana.
4. Penghijauan kembali lereng.
5. Pembuatan penahan lereng/retaining wall untuk menstabilkan lokasi hunian.

2.5 Peraturan Terkait Mitigasi Bencana Longsor


Menanggapi kejadian bencana yang terjadi di Indonesia, terutama pada saat
bencana tsunami yang melanda Provinsi Nanggro Aceh Darussalam pada tahun 2004,
pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana. Tujuan dibuatnya peraturan tersebut antara lain untuk
memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana dan menjamin
terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan
menyeluruh antara masyarakat maupun pemerintah. Kemudian pemerintah pun membuat
pedoman penataan ruang kawasan rawan bencana longsor pada Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 22 Tahun 2007.
Pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22 Tahun 2007, penetapan
kawasan rawan bencana longsor dan zona berpotensi longsor didasarkan pada hasil
pengkajian terhadap daerah yang diindikasikan berpotensi longsor atau lokasi yang
diperkirakan akan terjadi longsor akibat proses alami.
Pengkajian untuk menetapkan apakah suatu kawasan dinyatakan rawan terhadap
bencana longsor dilakukan sekurang-kurangnya dengan menerapkan tiga bidang studi
yang berbeda. Ahli geologi mengkaji struktur tanah, jenis batuan, dan tata air tanah
(makro), ahli teknik sipil mengkaji kelerengan dan kemantapan tanah (mikro), sedangkan
ahli pertanian mengkaji jenis tutupan lahan atau vegetasi.
Penetapan kawasan rawan bencana longsor dilakukan melalui identifikasi dan
inventarisasi karakteristik (ciri-ciri) fisik alami yang merupakan faktor-faktor pendorong
yang menyebabkan terjadinya longsor. Secara umum terdapat 14 faktor pendorong yang
dapat menyebabkan terjadinya longsor sebagai berikut:
a. Curah hujan yang tinggi
b. Lereng yang terjal
c. Lapisan tanah yang kurang padat dan tebal
d. Jenis batuan (litologi) yang kurang kuat
e. Jenis tanaman dan pola tanam yang tidak mendukung penguatan lereng
f. Getaran yang kuat (peralatan berat, mesin pabrik, kendaraan bermotor)
g. Susutnya muka air danau/bendunngan
h. Beban tambahan seperti konstruksi bangunan dan kendaraan angkutan
i. Terjadinya pengikisan tanah atau erosi
j. Adanya material timbunan pada tebing
k. Bekas longsoran lama yang tidak segera ditangani
l. Adanya bidang diskontinuitas
m. Penggundulan hutan
n. Daerah pembuangan sampah
2.6 Rekayasa Penanganan Keruntuhan Lereng
Pedoman Konstruksi dan Bangunan Departemen Pekerjaan Umum menyatakan
bahwa pemilihan metode penanggulangan keruntuhan lereng tergantung dari beberapa
faktor yaitu:
a. Identifikasi penyebab (penggerusan pada kaki lereng, penimbunan pada kepala
keruntuhan lereng, pemotongan pada kaki lereng dan sebagainya)
b. Faktor teknik (luas daerah keruntuhan lereng), jenis deposit material lereng dan
sebagainya.
c. Kemungkinan pelaksanaan (biaya, teknik pelaksanaan, kemampuan pelaksana
dan sebagainya)
d. Faktor ekonomi (material setempat dan sebagainya).
Pendekatan penanggulangan berdasarkan umur kestabilan lereng dapat
digolongkan kedalam 2 kategori, yaitu penanggulangan darurat dan penanggulangan
permanen.
Penanggulangan darurat adalah tindakan penanggulangan yang sifatnya
sementara dan umumnya dilakukan sebelum penanggulangan permanen dilaksanakan

Hal-hal yang dapat dilakukan pada saat penanggulangan darurat seperti:


a. Mencegah masuknya air permukaan ke dalam daerah keruntuhan lereng dengan
membuat saluran terbuka
b. Mengerikan kolam-kolam yang adda di bagian atas daerah keruntuhan lereng
c. Mengalirkan genangan air dan mata air yang tertimbun maupun yang terbuka
d. Menutup rekahan dengan tanah liat
e. Membuat pasangan bronjong pada kaki keruntuhan lereng
f. Penimbunan kembali bagian yang rusak akibat keruntuhan lereng
g. Pelebaran ke arah tebing
h. Membuang runtuhan tebing ke bagian kaki lereng
i. Membuat bangunan penahan dari karung diisi tanah
j. Pemotongan bagian kepala keruntuhan lereng
Penanggulangan permanen memerlukan waktu untuk penyelidikan, analisis dan
perencanaan yang matang. Metode penanggulangan keruntuhan lereng dibedakan dalam
tiga kategori yaitu:
a. Mengurangi gaya-gaya yang menimbulkan gerakan tanah dengan cara:
1. Pengendalian air permukaan
2. Mengubah geometri lereng
b. Menambah gaya-gaya yang menahan gerakan dengan cara:
1. Pengendalian air rembesan
2. Penambatan
3. Penimbunan pada kaki lereng (beban kontra)
c. Jika kedua metode di atas tidak dapat mengatasi keruntuhan lereng yang terjadi
maka dilakukan penanggulangan dengan tindakan lain (stabilisasi, relokasi,
bangunan silang, dan penggunaan bahan ringan).
Pemilihan tipe penanggulangan gerakan tanah dan batuan disesuaikan dengan tipe
gerakan dan faktor penyebab. Selanjutnya disusun kemungkinan penanggulangan untuk
tipe jatuhan, gelincir, dan aliran dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Pemilihan Penanggulangan Berdasarkan Tipe Pergerakan

Sumber: Pedoman Departemen Pekerjaan Umum


2.7 Penelitian Terdahulu
Pada penelitian ini terdapat beberapa referensi yang berperan sebagai penelitian
terdahulu mengenai konsep mitigasi longsor. Penelitian terdahulu tersebut untuk
mengetahui sejauh mana posisi penelitian ini.
1. Nur Ainun Jariyah dan Syahrul Donie, Universitas Muhammadiyah Surakarta
2016, Mitigasi Bencana Terhadap Bahaya Longsor (Studi kasus di Kabupaten
Kuningan, Jawa Barat)
Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa faktor penyebab masyarakat masih tetap
tinggal di daerah longsor adalah karena
1. mereka masih harus mempertahankan warisan nenek moyang;
2. tidak ada pilihan tempat lain;
3. tidak ada biaya;
4. mata pencaharian sudah ada tempat tinggalnya;
5. sudah betah karena tanah kelahiran;
6. tempat relokasi kurang sesuai dengan masyarakat.
Mitigasi yang telah dilakukan oleh masyarakat agar terhindar dari bahaya adalah
telah dilakukan
1. perbaikan dan pembersihan saluran air;
2. pengalihan saluran air jika saluran sudah tidak layak;
3. pembangunan pembentengan TPT (Tembok Penahan Tebing) dengan
pemasangan baru atau brojong kawat;
4. perbaikan dan pembersihan saluran air;
5. menutup retakan-retakan sebelum musim hujan.
2. Lulu Mari Fitria, STTNAS Yogyakarta 2015, Mitigasi Bencana Longsor Di
Lereng Gunung Wilis Kabupaten Nganjuk
Berdasarkan hasil dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa tingkat ancaman
bahaya dan kerentanan menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penentuan dan
perumusan mitigasi bencana longsor di Lereng Gunung Wilis, Kabupaten Nganjuk.
Mitigasi dilakukan didasarkan pada zonasi tingkatan risiko mitigasi bencana longsor.
Arahan mitigasi di Kawasan rawan longsor Lereng Gunung Wilis Kabupaten Nganjuk,
adalah upaya mitigasi dengan menurunkan tingkat kerentanannya dan tingkat ancaman
bahayanya, dilakukan dengan melihat ancamannya yang menengah-tinggi, arahan
mitigasi lebih ditekankan pada mitigasi tingkat kerentanan dibandingkan dengan tingkat
ancaman karena mempertimbangkan dari dampak sosial dan ekonomi.
3. Heru Setiawan, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Makassar 2015, Kajian Bentuk Mitigasi Bencana Longsor dan
Tingkat penerimaannya Oleh Masyarakat Lokal
Pemerintah dan stakeholder yang lain melakukan berbagai upaya mitigasi bencana
untuk meminimalisir terjadinya bencana di Kecamatan Tawangmangu. Terdapat dua
bentuk mitigasi yang dilakukan yaitu mitigasi secara struktural dan non-struktural. Secara
umum tingkat penerimaan masyarakat terhadap program mitigasi bencana longsor
dikategorikan dalam tingkat sedang dengan persentase 38%, kemudian diikuti oleh
tingkat rendah dengan 33%, dan tingkat tinggi dengan 49%. Faktor yang mempengaruhi
tingkat penerimaan masyarakat terhadap program mitigasi longsor adalah umur, jenis
kelamin, dan pengalaman terhadap longsor.
4. Amni Zarkasyi Rahman, Universitas Diponegoro 2015, Kajian Mitigasi
Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Banjarnegara
Mitigasi bencana tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara dilakukan secara
struktural maupun non-struktural. Mitigasi struktural dilakukan dengan penyusun data
base daerah potensi bahaya dan pemasangan Early Warning System (EWS). Mitigasi non-
struktural dilakukan dengan pemberian informasi, sosialisasi serta pelatihan dan simulasi
bencana.
Upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan efektivitas mitigasi bencana adalah
dengan pembentukan masyarakat tangguh serta desa tangguh bencana.
5. Bondan Fiqi Riyalda, Iyan Turyana, dan Eko Santoso, Perekayasa Pertama dan
Madya pada Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB) 2018, Sistem
Informasi Bencana Tanah Longsor (Si-Benar) Berbasis Web Kecamatan Cililin,
Kabupaten Bandung Barat
Aplikasi sistem informasi bencana tanah longsor (Si-Benar) berbasis web ini
merupakan solusi untuk memberikan informasi faktual mengenai data-data yang
berhubungan dengan potensi bencana tanah longsor di wilayah Desa Cililin, Kecamatan
Cililin, Kabupaten Bandung Barat. Diharapkan dengan adanya aplikasi ini, monitoring
dan evaluasi terhadap pengurangan resiko bencana tanah longsor pada daerah tersebut
dapat berjalan dengan baik dan dapat meminimalisir besarnya kerugian korban jiwa dan
harta akibat bencana tanah longsor, karena potensi terjadinya bencana tanah longsor dapat
dideteksi lebih awal.
6. Arifuddin Biki, Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Pohuwato
Provinsi Gorontalo 2015, Penguatan Kapasitas Kelompok Masyarakat Peduli
Bencana Dalam Kesiapsiagaan Bencana Tanah Longsor di Kabupaten
Bandung Barat
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan memfokuskan pada penguatan
kapasitas kelompok masyarakat peduli dengan pengurus, anggota kelompok dan
masyarakat.
Kemudian dari pelaksanaan kegiatan tersebut menghasilkan susunan
kegiatan/program kerja, pelaksanaan kemudian tidak terlepas sampai disitu, selanjutnya
susunan kegiatan/program kerja kemudian dibuatkan dalam sebagai dokumen penting
dan secara khusus dapat menjadi pegangan yang dapat mempermudah pemahaman,
menambah pengetahuan dan kejelasan akan kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan.
Selanjutnya untuk kegiatan yang ketiga pengkomunikasian kegiatan/program
merupakan upaya mempermudah pemahaman pengurus, anggota, dan masyarakat dalam
mengartikan kegiatan/program kerja secara sederhana sesuai dengan pemahaman
masyarakat lokal.

Anda mungkin juga menyukai