Anda di halaman 1dari 22

TUGAS MAKALAH FARMAKOTERAPI

“TERAPI OBAT PADA IBU HAMIL”

Nama: Zaharatun Nura

Nim : 16330118

Kelas : Farmasi C

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menyusui adalah proses pemberian susu kepada bayi atau anak kecil dengan air susu
ibu (ASI) dari payudara ibu. Bayi menggunakan refleks menghisap untuk mendapatkan dan
menelan susu. Air Susu Ibu (ASI) merupakan satu jenis makanan yang mencukupi seluruh
unsur kebutuhan bayi baik fisik, psikologi, sosial maupun spiritual. ASI mengandung nutrisi,
hormon, unsur kekebalan, faktor pertumbuhan, anti alergi serta anti inflamasi.

Selama menyusui, seorang ibu dapat mengalami berbagai keluhan atau gangguan kesehatan
yang membutuhkan obat. Padahal obat tersebut dapat memberikan efek yang tidak
dikehendaki pada bayi yang disusui. Pada proses menyusui, pemberian beberapa obat
(misalnya ergotamin) untuk perawatan si ibu dapat membahayakan bayi yang baru lahir,
sedangkan pemberian digoxin sedikit pengaruhnya. Beberapa obat yang dapat menghalangi
proses pengeluaran ASI antara lain misalnya estrogen.

Keracunan pada bayi yang baru lahir dapat terjadi jika obat bercampur dengan ASI secara
farmakologi dalam jumlah yang signifikan. Konsentransi obat pada ASI (misalnya iodida)
dapat melebihi yang ada di plasenta sehingga dosis terapeutik pada ibu dapat menyebabkan
bayi keracunan. Beberapa jenis obat menghambat proses menyusui bayi (misalnya
phenobarbital). Obat pada ASI secara teoritis dapat menyebabkan hipersensitifitas pada bayi
walaupun dalam konsentrasi yang sangat kecil pada efek farmakologi. Dengan demikian,
perlu pemahaman yang baik mengenai obat apa saja yang relatif tidak aman hingga harus
dihindari selama menyusui agar tidak merugikan ibu dan bayinya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang kami tulis, maka rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut.

− Apa saja masalah yang sering terjadi pada ibu menyusui?


− Bagaimana proses farmakokinetik dan farmakodinamik pada ibu menyusui?
− Apa saja daftar obat yang dipertimbangkan kontraindikasi selama menyusui dan daftar
pemilihan obat secara umum untuk ibu menyusui?
− Bagaimana pedoman dan pengobatan pada ibu menyusui?

2
1.3. Tujuan Penulisan Makalah
− Untuk mengetahui masalah yang sering terjadi pada ibu menyusui.
− Untuk mengetahui proses farmakokinetik dan farmakodinamik pada ibu menyusui.
− Untuk mengetahui terapi obat pada ibu menyusui.
− Untuk mengetahui daftar obat yang dipertimbangkan kontraindikasi selama menyusui
dan daftar pemilihan obat secara umum untuk ibu menyusui.

3
BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1. Masalah yang Sering Terjadi Pada Ibu Menyusui

1.MASTITIS

Mastitis adalah peradangan payudara yang dapat disertai atau tidak disertai infeksi.
Penyakit ini biasanya menyertai laktasi, sehingga disebut juga mastitis
laktasional atau mastitis puerperalis. Abses payudara, pengumpulan nanah lokal di dalam
payudara, merupakan komplikasi berat dari mastitis. Dua penyebab utama mastitis
adalah stasis ASI dan infeksi.  Patogen yang paling sering diidentifikasi adalah staphilokokus
aureus. Pada mastitis infeksius, ASI dapat terasa asin akibat kadar natrium dan klorida yang
tinggi dan merangsang penurunan aliran ASI. Ibu harus tetap menyusui. Antibiotik (resisten-
penisilin) diberikan bila ibu mengalami mastitis infeksius.
 Gejala mastitis non – infeksius
a. Ibu memperhatikan adanya “bercak panas”, atau area nyeri tekan   yang akut
b. Ibu dapat merasakan bercak kecil yang keras di daerah nyeri tekan tersebut
c. Ibu tidak mengalami demam dan merasa baik-baik saja
 Gejala mastitis infeksius
a.     Ibu mengeluh lemah dan sakit-sakit pada otot seperti flu
b.    Ibu dapat mengeluh sakit kepala
c.     Ibu demam dengan suhu diatas 34°C
d.    Terdapat area luka yang terbatas atau lebih luas pada payudara
e.     Kulit pada payudara dapat tampak kemerahan atau bercahaya (tanda-tanda akhir)
f.     Kedua payudara mungkin terasa keras dan tegang “pembengkakan”

Pengobatan :   
a.     Lanjutkan menyusui
b.    Berikan kompres panas pada area yang sakit
c.     Tirah baring (bersama bayi) sebanyak mungkin
d.    Jika bersifat infeksius, berikan analgesik non narkotik, antipiretik (Ibuprofen, asetaminofen)
untuk mangurangi demam dan nyeri
e.     Pantau suhu tubuh akan adanya demam. Jika ibu demam tinggi (>34°C), periksa kultur susu
terhadap kemungkinan adanya infeksi streptokokal

4
f.     Pertimbangkan pemberian antibiotik anti stafilokokus kecuali jika demam dan gejala
berkurang.
Tabel 1 Penisilin Anti Stafilokokus

DOSIS HARIAN
OBAT
DEWASA (gr) CARA
Methcillin (Staphcilin) 4-12 Injeksi
Oxacillin (Prostaphlin) 4-12 Oral, Injeksi
Mnafcillin (Unipen) 4-12 Oral, Injeksi
Cloxacillin (Cloxapen, Tegopen) 1-2 Oral
Dicloxacilin (Dynapen) 0,5-1 Oral
Erythromicin (jika alergi terhadap
penisilin) 0,5-1,0 Oral

2. KANDIDA/SARIAWAN

Merupakan hal yang biasa terjadi pada ibu yang menyusui dan bayi setelah pengobatan
antibiotik. Manifestasinya seperti area merah muda yang menyolok menyebar dari area
puting, kulit mengkilat, nyeri akut selama dan setelah menyusui; pada keadaan yang parah,
dapat melepuh. Ibu mengeluh nyeri tekan yang berat dan rasa tidak nyaman, khususnya
selama dan segera setelah menyusui bayi dapat menderita ruam popok, dengan pustula yang
menonjol, merah, tampak luka dan/atau seperti luka terbakar yang kemerahan. Pada kasus-
kasus yang berat, bintik-bintik atau bercak-bercak putih mungkin terlihat merasakan nyeri
dan menolak untuk mengisap.

Pengobatan :
a.    Obati ibu dan bayinya
b.    Oleskan krim atau losion topikal anti jamur ke puting dan payudara setiap kali sehabis
menyusui, dan seka mulut, lidah dan gusi bayi setiap kali sehabis menyusui
c.    Anjurkan ibu untuk mengkompreskan es pada puting sebelum menyusui untuk mengurangi
nyeri

5
Tabel 2. Pengobatan Kandida atau Sariawan
Obat Aplikasi
Nistatin     Oleskan pada payudara 4 kali sehari
     Berikan supisitoria vagina setiap hari
Klotrimazol      Oleskan pada payudara 4 kali sehari
    Berikan supositoria vagina setiap hari (tersedia
bebas)
Mikonazol Oleskan pada payudara 4 kali sehari
Flukonazol Gunakan dosis oral tunggal 150 mg kandidiasis
vagina

3. CACAR AIR (VIRUS VARISELA ZOSTER)

Periode infeksius dapat bermula 1-5 hari sebelum erupsi vesikel. Lesi bermula dari leher atau
tenggorokan dan menyebar ke wajah, kulit kepala, membran mukosa dan ekstremitas.
Kebanyakan ibu dan pekerja rumah sakit pernah menderita cacar air dan tidak berisiko.
Ketika ibu mengidap cacar air beberapa hari sebelum kelahiran bayi, bayi menjadi berisiko
karena antibodi ibu yang memberikan kekebalan pada bayi belum mempunyai kesempatan
untuk berkembang

Perawatan :

a. Jika ibu sudah pernah mengalami cacar, menyusui akan memberikan antibodi kepada
bayi. Menyusui tidak perlu dihentikan
b. Jika ibu belum pernah mengidap cacar air, ibu dan bayinya harus menerima vaksin
varisela jika mereka sudah terpapar
c. Jika ibu mengidap cacar beberapa hari sebelum melahirkan :
− Ibu dan bayi harus diisolasi secara terpisah jika neonatus tidak mengalami lesi.
Hanya sekitar 50 % bayi yang terpapar akan berkembang menjadi penyakit
− Keluarkan ASI jika bayi ditempatkan pada tempat lain
− Jika bayi menderita lesi, isolasi bayi dengan ibu; menyusui tidak dihentikan.

4. CYTOMEGALOVIRUS (CMV)

6
CMV adalah hal yang umum; 50-80 % populasi memiliki antibodi CMV di dalam darahnya.
Organisme tersebut dapat dijumpai dalam saliva, urin dan ASI. Janin mungkin sudah
terinfeksi sejak di dalam uterus. Masalah kongenital yang paling serius terjadi pada bayi yang
lahir dari ibu yang memiliki CMV primer selama kehamilan. Menyusui merupakan alat yang
penting untuk memberikan imunitas pasif CMV pada bayi. Anak yang disusui, yang
diimunisasi CMV melalui ASI akan terlindungi dari gejala infeksi nantinya dan dari infeksi
primer selama kehamilan.

Perawatan :

− Bayi cukup bulan

Anjurkan supaya bayi cukup bulan disusui jika ibu telah terbukti seropositif selama
kehamilan. Mengkonsumsi ASI yang terinfeksi akan mengarah pada infeksi CMV dan sero-
konversi dari bayi tanpa akibat yang merugikan.

− Bayi preterm

Pertimbangkan dengan hati-hati faktor risiko pemberian ASI dari ibu yang terinfeksi
CMV pada bayi prematur khususnya jika bayi seronegatif. Segera ke neonatolog untuk
evaluasi dan pembuatan keputusan.

5. CACAR AIR (VIRUS VARISELA ZOSTER)

Periode infeksius dapat bermula 1-5 hari sebelum erupsi vesikel. Lesi bermula dari leher atau
tenggorokan dan menyebar ke wajah, kulit kepala, membran mukosa dan akstremitas.

Kebanyakan ibu dan pekerja rumah sakit pernah menderita cacar air dan tidak berisiko.
Ketika ibu mengidap cacar air beberapa hari sebelum kelahiran bayi, bayi menjadi berisiko
karena antibodi ibu yang memberikan kekebalan pada bayi belum mempunyai kesempatan
untuk berkembang.

Perawatan :

• Jika ibu sudah pernah mengalami cacar, menyusui akan memberikan antibodi kepada bayi.
Menyusui tidak perlu dihentikan

• Jika ibu belum pernah mengidap cacar air, ibu dan bayinya harus menerima vaksin varisela
jika mereka sudah terpapar

• Jika ibu mengidap cacar beberapa hari sebelum melahirkan :

7
- ibu dan bayi harus diisolasi secara terpisah jika neonatus tidak mengalami lesi.
Hanya sekitar 50 % bayi yang terpapar akan berkembang menjadi penyakit

- keluarkan ASI jika bayi ditempatkan pada tempat lain

- jika bayi menderita lesi, isolasi bayi dengan ibu; menyusui

tidak dihentikan.

6. HEPATITIS B (HBV)

HBV dapat menyebabkan penyakit sistemik (demam, kelemahan) dan ditularkan melalui
kontak dengan darah yang terinfeksi, sekresi tubuh atau transfusi darah. Bayi yang lahir dari
ibu dengan HBV + langsung tertular, kebanyakan terinfeksi di dalam rahim.

Perawatan :

• Semua bayi harus mendapatkan vaksin hepatitis B setelah lahir.

Selain itu, bayi harus menerima imunoglobulin hepatitis B (HBIG)

• Menyusui tidak meningkatkan risiko bayi terinfeksi HBV.

2.2. proses farmakokinetik dan farmakodinamik pada ibu menyusui.

− Farmakokinetika

Hampir semua obat yang diminum perempuan menyusui terdeteksi didalam ASI ,
untungnya konsentrasi obat di ASI umumnya rendah. Konsentrasi obat dalam darah ibu
adalah faktor utama yang berperan pada proses transfer obat ke ASI selain dari faktor-faktor
fisiko-kimia obat. Volume darah/cairan tubuh dan curah jantung yang meningkat pada
kehamilan akan kembali normal setelah 1 bulan melahirkan. Karena itu pemberian obat
secara kronik mungkin memerlukan penyesuaian dosis. Obat yang larut dalam lemak, yang
non-polar dan yang tidak terion akan mudah melewati membran sel alveoli dan kapiler susu.
Obat yang ukurannya kecil (< 200 Dalton) akan mudah melewati pori membran epitel susu.
Obat yang terikat dengan protein plasma tidak dapat melewati membran, hanya obat yang
tidak terikat yang dapat melewatinya. Plasma relatif sedikit lebih basa dari ASI. Karena itu
obat yang bersifat basa lemah di plasma akan lebih banyak dalam bentuk tidak terionisasi dan
mudah menembus membran alveoli dan kapiler susu. Sesampainya di ASI obat yang bersifat
basa tersebut akan mudah terion sehingga tidak mudah untuk melewati membran kembali ke
plasma. Fenomena tersebut dikenal sebagai ion trapping.

8
Rasio M:P adalah perbandingan antara konsentrasi obat di ASI dan di plasma

ibu. Rasio M:P yang >1 menunjukkan bahwa obat banyak berpindah ke ASI ,sebaliknya rasio
M:P < 1 menunjukkan bahwa obat sedikit berpindah ke ASI. Pada umumnya kadar puncak
obat di ASI adalah sekitar 1- 3 jam sesudah ibu meminum obat. Hal ini mungkin dapat
membantu mempertimbangkan untuk tidak memberikan ASI pada kadar puncak. Bila ibu
menyusui tetap harus meminum obat yang potensial toksik terhadap bayinya maka untuk
sementara ASI tidak diberikan tetapi tetap harus di pompa. ASI dapat diberikan kembali
setelah dapat dikatakan tubuh bersih dari obat dan ini dapat diperhitungkan setelah 5 kali
waktu paruh obat.

Rasio benefit dan risiko penggunaan obat pada ibu menyusui dapat dinilai

dengan mempertimbangkan :

1. Farmakologi obat: reaksi yang tidak dikehendaki

2. Adanya metabolit aktif

3. Multi obat : adisi efek samping

4. Dosis dan lamanya terapi

5. Umur bayi.

6. Pengalaman/bukti klinik

7. Farmakoepidemiologi data.

Farmakokinetika bayi.

Absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi pada bayi berbeda nyata dengan orang
dewasa. Kecepatan absorpsi lewat saluran cerna lebih rendah, misalnya absorpsi fenobarbital,
fenitoin, asetaminofen dan Distribusi obat juga akan berbeda karena rendahnya protein
plasma, volume cairan tubuh yang lebih besar dari orang dewasa. Metabolisme obat juga
rendah karena aktivitas enzim yang rendah . Ekskresi lewat renal pada awal kehidupan masih

rendah dan akan meningkat dalam beberapa bulan. Selain banyaknya obat yang diminum
oleh bayi melalui ASI, juga kinetika obat pada bayi menentukan akibat yang ditimbulkan
oleh obat. Yang perlu diperhatikan adalah bila efek yang tidak diinginkan tidak bergantung
dari banyaknya obat yang diminum, misalnya reaksi alergi, maka sedikit atau banyaknya ASI

9
yang diminum bayi menjadi tidak penting, tetapi apakah si bayi meminum atau tidak
meminum ASI menjadi lebih penting.

 Farmakodinamika

Mekanisme kerja obat pada ibu menyusui dapat dikatakan tidak berbeda. Sedangkan
farmakodinamik obat pada bayi masih sangat terbatas dipelajari. Kemungkinan sensitivitas
reseptor pada bayi lebih rendah, sebagai contoh,dari hasil penelitian bahwa sensitivitas d-
tubokurarin meningkat pada bayi.

10
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Untuk mengetahui terapi obat pada ibu menyusui.

ASI diketahui sebagai formula terbaik bagi bayi karena mengandung berbagai
nutrisi danzat-zat imunologik yang dibutuhkan oleh bayi. Tetapi kadang-kadang ibu
yang menyusui memerlukan perawatan farmakologik. Terapi obat pada ibu menyusui
tersebut harus diberikand dengan memperhatikan kemungkinan adanya ekskresi obat
kedalam air susu ibu (ASI). Sebagian besar obat yang diberikan kepada ibu menyusui
umumnya tidak berpengaruh terhadap suplai ASI maupun terhadap bayi. ASI
merupakan suatu suspensi lemak dan protein dalam solusi karbohidrat-mineral. Protein
ASI dibentuk dari bahan-bahan yang diperoleh dari sirkulasi maternal. Protein
utamanya adalah kasein dan laktabumin. Ekskresi obat kedalam ASI diduga terjadi
melalui ikatan protein atau melalui ikatan pada permukaan globul lemak ASI. Secara
umum, mekanisme pencapaian obat kedalam ASI adalah dengan mekanisme difusi
pasif melalui membran.Obat dan bahan-bahan kimia yang dikonsumsi oleh ibu ada
yang dapat mencapai ASI dan memberi efek terhadap bayi atau produksi ASI itu
sendiri.Jumlah obat yang mencapai ASI terutama tergantung pada gradien konsentrasi
antara plasma dan ASI. Selain itu juga tergantung pada kelarutan obat di dalam
lemak, pKa (konstanta disosiasi asam), dan kapasitas ikatan protein serta pH ASI.
Karena pH ASI sedikit lebih rendah dari pada pH plasma, basa lemah cenderung
memiliki konsentrasi rasio ASI terhadap plasma yang lebih tinggi dibandingkan asam
lemah. Karenanya, konsentrasi ASI obat-obat basa lemah seperti linkomisin, eritrimisin,
antihistamin, alkaloid, isoniazid, antipsikotik, antidepresan, litium, kinin, tiourasil, dan
metronidazol umumnya sama atau lebih tinggi dari pada konsentrasi plasmanya.
Konsentrasi ASI obat-obat asam lemah seperti barbiturat, fenitoin, sulfonamid, diuretik,
dan penisilin umumnya sama atau lebih rendah dari pada konsentrasi
plasmanya.Signifikansi klinik suatu obat pada ASI tergantung pada konsentrasinya
dalam ASI, jumlah ASI yang dikonsumsi oleh bayi dalam periode waktu tertentu,
absorpsi ASI oleh bayi, dan efek obat terhadap bayi.Sampai saat ini daftar obat-obat
yang dikontraindikasikan bagi ibu menyusui didasarkan pada data-data yang masih
sangat terbatas, antara lain melalui penelitian klinik dan laporan kasus. Karena itu,
walaupun obat-obat jenis tertentu tidak mencantumkan adanya efek samping terhadap

11
ibu menyusui bukan berarti obat-obat tersebut tidak memiliki efek samping semacam
itu. Rasio ASI terhadap plasma suatu obat merupakan suatu perbandingan antara
konsentrasi obat dalam ASI terhadap konsentrasi obat tersebut dalam plasma secara
simultan. Signifikansi klinik rasio ASI terhadap plasma sering disalahpahami, misalnya
rasio ASI terhadap plasma lebih besar atau sama dengan 1 sering dianggap
mempunyai potensi buruk bagi bayi, tetapi jika kadar plasmanya rendah maka kadar
ASInya juga rendah. Contohnya isoniazid yang diberikan kepada ibu menyusui dalam
dosis terapetik yang umumnya akan mencapai konsentrasi plasma sebesar 6μg/mL. Jika
rasio ASI terhadap plasmanya 1 maka bayi yang mengkonsumsi 240 mL ASI hanya
akan mengkonsumsi 1,4 mg setiap kali menyusu, dimana jumlah tersebut jauh dibawah
dosis pediatrik isoniazid yaitu sebesar 10 sampai 20 mg/kg. Karenanya, jarang
dijumpai masalah kecuali suatu obat konsentrasi ASInya tinggi atau suatu obat
memiliki potensi dan toksisitas yang tinggi pada konsentrasi rendah atau suatu obat
memiliki efek kumulatif karena kemampuan metabolisme dan ekskresi bayi terhadap
obat yang masih belum sempurna. Obat yang umumnya tidak berbahaya bagi bayi
antara lain adalah insulin dan epinefrin, dimana keduanya tidak dapat mencapai ASI.
Kafein dan teofilin diekskresi kurang bagus oleh bayi dan dapat terakumulasi sehingga
menyebabkan hiperiritabilitas. Asupan alcohol juga harus dibatasi tidak lebih dari 0,5
g/kg berat badan maternal/hari. Ibu sebaiknya tidak merokok didepan bayinya walaupun
tidak sedang menyusui dan sebaiknya tidak menyusui dalam 2 jam setelah merokok.
Obat-obat yang dikontraindikasikan antara lain obat antikanker,obat-obat radiofarmasetik
walaupun dalam dosis terapetik, ergot dan derivatnya (misalnya, metisergid), litium,
kloramfenikol, atropin, tiourasil, iodid, dan merkuri. Obat-obat tersebut sebaiknya tidak

diberikan kepada ibu menyusui atau menyusui harus dihentikan bila ibu harus diberi
perawatan dengan obat-obat tersebut. obat-obat lain yang juga harus dihindari karena
belum adanya penelitian tentang ekskresinya kedalam ASI adalah obat-obat yang
mempunyai waktu paruh plasma yang panjang, obat-obat yang mempunyai efek toksik
yang poten terhadap sumsum tulang, obat-obat yang harus diberikan dalam dosis tinggi
dan jangka panjang. Tetapi obat-obat yang absorpsi oralnya buruk yang diberikan
secara parenteral kepada ibu tidak memiliki efek yang berati bagi bayi, dimana bayi
tersebut akan mengkonsumsi obat secara oral tetapi tidak akan mengabsorpsinya.

Obat yang mensupresi atau menghambat laktasi antara lain bromokriptin, estradiol,
kontrasepsi oral dosis besar, levodopa, dan antidepresan trazodon serta piridoksin dosis

12
tinggi. Bromokriptin bekerja melalui supresi sekresi prolaktin dari kelenjar hipofise
yang terjadi setelah melahirkan. Obat-obat yang konsumsinya harus diperhatikan dengan
seksama seperti yang disebut di bawah ini. Obat-obat over the counter umunya aman
bagi ibu menyusui, tetapi etiket yang tertera pada kemasan tetap harus diperhatikan
terhadap kemungkinan adanya peringatan akan penggunaannya dan kemungkinan adanya
petunjuk khusus terhadap ibu menyusui. Propiltiourasil dan fenilbutazon dapat diberikan
pada ibu menyusui tanpa adanya efek merugikan terhadap bayinya, tapi metimazol
dikontraindikasikan. Neuroleptik dan antidepresan, sedativa, dan trankuiliser harus
diresepkan dengan hati-hati terhadap dosisnya. Kontrasepsi hormon tunggal dosis
rendah dapat diberikan, sedangkan kontrasepsi dosis tinggi dapat mensupresi laktasi.
Metronidazol dapat diberikan dengan memperhatikan usia bayi dan dosis yang
diberikan pada ibu. Bayi yang menyusu harus diperhatikan dengan cermat bila ibunya
mengkonsumsi obat-obat apapun dalam jangka panjang untuk memastikan tidak ada
perubahan dalam pola makan atau tidurnya. Vaksin-vaksin tidak dikontraindikasikan
selama menyusui. Beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan sebelum
meresepkan obat tertentu kepada ibu menyusui, antara lain: 1. Apakah terapi obat tersebut
benar-benar diperlukan? 2. Memilih obat yang paling aman bagi ibu menyusui. 3. Bila
ada kemungkinan bahwa obat yang akan diberikan dapat berpengaruh pada bayi, perlu
dipertimbangkan pengukuran konsentrasi obat di dalam darah pada bayi yang menyusu
tersebut. 4. Paparan terhadap obat bagi bayi dapat diminimalisasi dengan meminta ibu
untuk meminum obatnya setelah menyusui bayinya. Jika ibu menyusui memerlukan
terapi obat dan obat yang diberikan merupakan obat yang relatif aman maka obat
tersebut sebaiknya dikonsumsi 30 – 60 menit setelah menyusui dan 3 – 4 jam
sebelum waktu menyusui berikutnya. Waktu tersebut umumnya sudah mencukup
dimana darah ibu sudah relatif bersih dari obat dan konsentrasi obat dalam ASI juga
sudah relatif rendah. Pengaruh buruk obat terhadap janin dapat bersifat toksik,
teratogenik maupun letal, tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan paga saat
minum obat. Pengaruh toksik adalah jika obat yang diminum selama masa kehamilan
menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau bio-kimiawi dari janin yang
dikandung, dan biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat setelah kelahiran.
Pengaruh obat bersifat teratogenik jika menyebabkan terjadinya malformasi anatomik
pada petumbuhan organ janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis
subletal. Sedangkan pengaruh obat yang bersifa letal, adalah yang mengakibatkan
kematian

13
janin dalam kandungan. Secara umum pengaruh buruk obat pada janin dapat beragam,
sesuai dengan fase-fase berikut:

• Fase implantasi, yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu. Pada fase
ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin tidak sama sekali. Jika terjadi
pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau berakhirnya kehamilan
(abortus).

• Fase embional atau organogenesis, yaitu pada umur kehamilan antara 4-8
minggu. Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk terjadinya malformasi
anatomik (pengaruh teratogenik). Berbagai pengaruh buruk yang mungkin terjadi pada
fase ini antara lain,

- Gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang biasanya baru muncul
kemudian, jadi tidak timbul secara langsung pada saat kehamilan. Misalnya
pemakaian hormon dietilstilbestrol pada trimester pertama kehamilan terbukti berkaitan
dengan terjadinya adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di kemudian hari (pada
saat mereka sudah dewasa).

- pengaruh letal, berupa kematian janin atau terjadinya abortus.

- pengaruh sub-letal, yang biasanya dalam bentuk malformasi anatomis pertumbuhan


organ, seperti misalnya fokolemia karena talidomid.

• Fase fetal, yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam fase ini
terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh buruk senyawa
asing terhadap janin pada fase ini tidak berupa malformasi anatomik lagi. tetapi
mungkin dapat berupa gangguan pertumbuhan, baik terhadap fungsi-fungsi fisiologik
atau biokimiawi organ-organ. Demikian pula pengaruh obat yang dialami ibu dapat
pula dialami janin, meskipun mungkin dalam derajat yang berbeda. Sebagai contoh
adalah terjadinya depresi pernafasan neonatus karena selama masa akhir kehamilan, ibu
mengkonsumsi obat- obat seperti analgetika-narkotik; atau terjadinya efek samping pada
sistem ekstrapiramidal setelah pemakaian fenotiazin.

14
BAB IV

PENUTUPAN

4.1. Kesimpulan

Pada masa menyusui seorang ibu dapat mengalami berbagai keluhan atau gangguan
kesehatan yang membutuhkan penggunaan obat, sehingga banyak ibu yang sedang menyusui
menggunakan obat yang dapat memberikan efek yang tidak dikehendaki pada bayi yang
disusui. Beberapa obat dengan karakteristik tertentu dapat diekskresikan melalui ASI.
Karakteristik yang dimaksud antara lain adalah obat yang mudah larut dalam lemak, obat
yang memiliki berat molekul kecil, obat yang terionisasi, dan obat yang berikatan lemah
dengan protein plasma. Tingkat pengetahuan ibu menyusui akan keamanan obat merupakan
faktor yang penting untuk menjaga keselamatan bayi. Apabila ibu menyusui memiliki tingkat
pengetahuan yang baik akan keamanan obat sepanjang menyusui, maka bayi dapat terhindar
dari bahaya efek samping obat. Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan desain
cross sectional terhadap 100 orang responden di Puskesmas Sumbersari Kabupaten Jember.
Sampel responden dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Sebelum kuesioner
dibagikan kepada responden, terlebih dahulu dilakukan uji validitas serta uji reliabilitas.
Kategori tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang keamanan obat dibagi menjadi 3, yaitu
kategori rendah, sedang, dan tinggi. Acuan untuk kategori tersebut, diambil dari nilai rata-rata
± SD pengetahuan ibu menyusui. Analisis deskriptif menunjukkan nilai rata-rata ± SD yaitu
sebesar 6,5 ± 2,4, sehingga untuk nilai di antara 4,1-8,9 termasuk dalam kategori sedang.
Nilai < 4,1 termasuk ke dalam kategori rendah dan nilai > 8,9 termasuk ke dalam kategori
tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu menyusui yang memiliki tingkat
pengetahuan rendah sebesar 20%, tingkat pengetahuan sedang sebesar 57%, dan tingkat
pengetahuan tinggi sebesar 23%. Pada penelitian ini juga dilakukan pengelompokan obat
yang digunakan oleh responden ditinjau dari tingkat keamanannya berdasarkan ketentuan
WHO tahun 2003. Hasilnya adalah di antara obat-obat yang digunakan oleh responden,
terdapat obat yang masuk ke kelompok obat dengan tingkat keamanan kategori satu
(amoksisilin, asam mefenamat, dekstrometorfan HBr, ibuprofen, parasetamol, dan
tetrasiklin), obat dengan tingkat keamanan kategori dua (asetosal dan efedrin HCl), serta obat
dengan tingkat keamanan kategori tiga (klorfeniramin maleat).

Contoh kasus

15
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif
cross sectional. Penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan kuesioner tingkat
pengetahuan kepada ibu menyusui. Data yang diperoleh akan digunakan untuk mengetahui
tingkat pengetahuan tentang keamanan penggunaan obat pada ibu menyusui di Puskesmas
Sumbersari Kabupaten Jember.

Pengambilan data dilakukan di Posyandu dan Puskesmas Sumbersari, Kabupaten


Jember mulai bulan Juni-Juli 2017. Posyandu wilayah kerja Puskesmas Sumbersari terbagi
dalam tujuh Kelurahan yaitu Sumbersari, Kranjingan, Karangrejo, Wirolegi, Antirogo,
Kebonsari, dan Tegalgede. Analisis data dilakukan di Populasi dalam penelitian ini adalah
ibu menyusui yang terdaftar sebagai anggota Posyandu di Puskesmas Sumbersari, Kabupaten
Jember.

Tingkat pengetahuan responden tentang keamanan obat diukur berdasarkan nilai yang
diperoleh dari jawaban berdasarkan 10 soal pada kuesioner tingkat pengetahuan dengan nilai
total yaitu 10. Kategori tingkat pengetahuan responden dibagi menjadi tiga, yaitu kategori
rendah, sedang, dan tinggi. Acuan untuk kategori tersebut, diambil dari nilai rata-rata ± SD
pengetahuan responden. Analisis statistik deskriptif menunjukkan bahwa nilai rata-rata ± SD
yaitu sebesar 6,5 ± 2,4 (Tabel 1), sehingga untuk nilai di antara 4,1-8,9 termasuk dalam
kategori tingkat pengetahuan sedang. Nilai < 4,1 termasuk ke dalam kategori tingkat
pengetahuan rendah dan nilai > 8,9 termasuk ke dalam kategori tingkat pengetahuan tinggi.
Dari total 100 responden hanya 23% yang masuk ke dalam kategori tingkat pengetahuan
tinggi dan sebesar 56% masuk ke dalam

kategori tingkat pengetahuan sedang (Tabel 2 dan 3). Adanya perbedaan tingkat
pengetahuan responden dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain karena daya ingat
individu berbeda-beda dan pengetahuan yang didapatkan dari masing-masing responden juga
berbeda-beda.37 Pada pernyataan yang terkandung di dalam kuesioner bagian tingkat
pengetahuan adalah pernyataan umum mengenai keamanan dalam menggunakan obat pada
masa menyusui. Namun dalam hal ini masih terdapat pernyataan yang jawaban responden
adalah salah dan tidak tahu.

16
Tabel 1. Statistik Deskriptif Skor Tingkat Pengetahuan Responden

Variab Jumla Skor Skor Rata- Std


el h min maks rata deviasi
respon skor
den
Tingkat 100 1 10 6,5 2,4
pengeta
huan

Pada pernyataan pertama sebesar 36% responden tidak mengetahui bahwa ada
beberapa obat yang diminum oleh responden dapat masuk ke dalam ASI. Pada kenyataannya,
terdapat beberapa obat yang dapat keluar melalui ASI meskipun dalam jumlah yang sangat
rendah. Obat yang masuk ke dalam ASI dapat bervariasi tergantung pada sifat fisikokimia
dari masing-masing molekul obat.24 Karakteristik obat yang dapat masuk ke dalam ASI
adalah obat yang bersifat larut lemak, obat dengan ikatan protein lemah, obat yang berada
dalam bentuk tidak terion, dan obat dengan berat molekul <200 Dalton.30

Tabel 2. Kategori Tingkat Pengetahuan Responden

Tabel 2. Kategori Skor total Kategori tingkat Persentase (%)


Tingkat berdasarkan rata- pengetahuan
Pengetahuan rata skor
Responden No  standar deviasi
1 < 4,1 Rendah 20
2 4,1-8,9 Sedang 57
3  8,9 Tinggi 23
Pada pernyataan kedua, terdapat sebesar 46% responden yang beranggapan bahwa
obat yang diperbolehkan penggunaannya pada bayi dianggap tidak dapat digunakan oleh ibu
menyusui. Padahal obat yang diberi izin untuk digunakan pada bayi umumnya tidak
membahayakan.15 Menurut Wells et al., (2015) strategi untuk mengurangi risiko penggunaan
obat yang terekskresikan melalui ASI adalah dengan memilih obat untuk ibu menyusui yang
aman digunakan pada bayi. Sementara terkait pernyataan ketiga pada kuisioner, terdapat
sebesar 23% responden beranggapan bahwa bayi tidak perlu dipantau secara cermat terhadap
efek samping yang mungkin muncul saat responden menggunakan obat. Menurut penelitian
Chaves & Lamounier (2004), terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan mengenai
peresepan obat terhadap ibu menyusui. Salah satunya dengan memberikan informasi kepada

17
ibu menyusui untuk mengamati gerak bayi yang dapat dikaitkan dengan terjadinya efek
samping seperti perubahan dalam pola makan bayi, perubahan pola tidur bayi, bayi resah atau
gelisah, dan gangguan pencernaan.

Pada pernyataan keempat, terdapat sebesar 53% responden yang beranggapan bahwa
pemberian jarak waktu antara menyusui dan minum obat dapat meningkatkan risiko efek
samping obat. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat responden yang hanya memberikan jarak
antara waktu menyusui dan minum obat selama 15 menit saja. Padahal, jarak waktu yang
perlu diberikan sekitar 3-4 jam.41 Jeda waktu antara menyusui dan minum obat dapat
ditentukan dengan melihat waktu paruh dari obat yang digunakan. Dengan melihat waktu
paruh suatu senyawa obat, diharapkan dapat mengurangi potensi efek samping yang mungkin
timbul pada bayi-bayi dimana sang ibu sedang mendapatkan terapi obat. Strategi
menggunakan obat saat ibu menyusui menggunakan obat sekali dalam sehari, maka gunakan
obat sebelum masa tidur bayi paling panjang misal pada malam hari. Untuk ibu menyusui
yang menggunakan obat beberapa kali dalam sehari, maka penggunaan obat diberikan saat
setelah selesai menyusui.17

Pernyataan selanjutnya pada kuesioner terkait usia bayi saat responden mengonsumsi
obat. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 44% responden yang beranggapan bahwa
semakin muda usia bayi maka risiko obat semakin rendah. Menurut penelitian Berlin (2013)
mengatakan bahwa bayi neonatus sampai usia 2 minggu sangat rentan terhadap toksisitas
suatu obat. Terdapat tiga kategori keterpaparan suatu obat pada bayi berdasarkan usia, bayi
berisiko tinggi dengan usia neonatus atau <1 bulan, bayi berisiko sedang pada usia < dari 6
bulan dan bayi berisiko rendah pada usia 6-18.20 Semakin dini (muda) usia bayi, risiko bayi
terpapar obat dan menimbulkan efek samping akan semakin besar. Hal ini berkaitan organ
hati dan ginjal pada bayi yang belum berfungsi secara optimal.40

Pada pernyataan keenam yang tertera pada kuisioner, sebesar 48% responden yang
beranggapan bahwa obat dalam bentuk krim atau salep lebih tidak aman untuk digunakan
daripada tablet/kapsul/pil. Padahal menurut penelitian Hotham & Hotham (2015), dalam
peresepan suatu obat pada ibu menyusui perlu untuk memberikan rute alternatif agar
meminimalkan responden terpapar suatu obat. Contohnya dengan memilih terapi topikal atau
lokal daripada terapi oral ataupun parenteral bila memungkinkan.11 Tujuan dari pemilihan
rute pemberian penggunaan obat pada ibu menyusui adalah agar dapat menghasilkan jumlah
obat terkecil yang sampai pada bayi.16 Selain itu, sebesar 17% responden beranggapan

18
bahwa tidak perlu bertanya kepada dokter/bidan/apoteker terkait keamanan obat yang
digunakan. Padahal, jika ibu menyusui meragukan keamanan penggunaan obat pada masa
menyusui, maka ibu menyusui perlu untuk mencari informasi kepada tenaga kesehatan
terdekat.22

Sebesar 37% responden beranggapan bahwa obat yang memiliki kandungan bahan
aktif lebih dari satu lebih aman digunakan oleh responden. Menurut Chaves & Lamounier
(2004), obat yang mengandung satu bahan aktif saja lebih baik digunakan oleh ibu menyusui
daripada obat dengan kombinasi.

4.2. Saran

Obat hanya digunakan jika diperlukan dan pengobatan tidak dapat ditunda. Faktor yang harus
diperhatikan : Pemilihan obat Pertimbangkan apakah obat dapat diberikan secara langsung
dengan aman pada bayi Pilih obat yang sedikit melalui ASI dengan memprediksikan ratio-
M/P paling rendah. Hindari formulasi obat yang long action (misalnya sustained release)
Pertimbangkan rute pemberian obat yang dapat menurunkan ekskresi obat kedalam ASI Jika
memungkinkan hindari penggunaan jangka lama  Waktu menyusui Hindari menyusui selama
konsentrasi obat mencapai pncak plasmanya. Jika memungkinkan rencanakan menyusui
sebelum pemberian dosis obat berikutnya Pertimbangan lain Selalu mengamati bayi terhadap
tanda-tanda yang tidak biasa atau gejala kliniknya (seperti : sedasi, iritasi,rash, menurunkan
nafsu makan, kesukaran menelan) Tidak melanjutkan menyusui selama terapi obat jika resiko
terhadap bayi lebih berat. Berikan pengetahuan yang cukup kepada pasien untuk
meningkatkan pemahaman terhadap factor-factor yang beresiko.

Keamanan Obat yang Digunakan Pada Masa Menyusui


Pada kuesioner penelitian ini terdapat pertanyaan terkait obat yang digunakan pada masa
menyusui yang bertujuan untuk mengetahui kategori keamanan obat menurut WHO 2003.
Responden tidak hanya dapat menyebutkan satu jenis obat, melainkan dapat lebih dari satu.
Hasil yang didapatkan dari responden tentang obat yang digunakan pada masa menyusui,
persentase tertinggi sebanyak 91 orang responden (53,2%) menggunakan parasetamol,
sedangkan persentase terendah masing-masing sebesar satu orang responden (0,6%)
menggunakan tetrasiklin, efedrin HCl, dan vitamin C (Tabel 4).

Tabel 4. Kategori Obat yang

19
Pernah Digunakan oleh
Responden Berdasarkan Tingkat
Keamanannya Sesuai
Rekomendasi WHO (2003)
Nama Kategori n = 171 (%)
Amoksisilin 1 5 (2,9)
Asam mefenamat 1 13 (7,6)
Asam folat 1 6 (3,5)
Dextrometorphan HBr 1 5 (2,9)
Fe 1 6 (3,5)
Ibuprofen 1 2 (1,2)
Parasetamol 1 91 (53,2)
Tetrasiklin 1 1 (0,6)
Asetosal 2 4 (2,3)
Efedrin HCl 2 1 (0,6)
Vitamin C 2 1 (0,6)
Klorfenamin 3 36 (21,1)

20
DAFTAR PUSTAKA

 Anonim, 2005, Interaksi Obat. Ditjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat


Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
 Anonim, 2000, Daftar Obat Indonesia, Jakarta
 Anonim, 1999, Laporan Penelitian Praktek Kerja Profesi di RSAB Harapan
Kita
 Harkness, Richard, 1984, Interaksi Obat, Penerbit ITB, Bandung
 Rubin, Peter, 1999, Peresepan Untuk Ibu Hamil, Penerbit Hipokrates, Jakarta
 Anonim, 2004, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan
Anak (PWS-KIA). Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat
Kesehatan Keluarga, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
 Anonim, 2004, Pedoman Pelayanan Farmasi (Tata Laksana Terapi Obat)
Untuk Pasien Geriatri. Ditjen Pelayanan Kesehatan dan Alat
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
 Katzung B.G., Basic & Clinical Pharmacology, 6th ed. 1995, Prentice-Hall
International Ltd.
 D.C.Knoppert, Safety of drug in pregnancy and lactation in Pharmacotherapy
Self-Assessment Programm, 3rd ed, module Women’s health,
American College of Clinical Pharmacy: Kansas 1999:1-24.
 Milsap RL., W J. Jusko Pharmacokinetics in the infants, Environ Health
 Perspect 102(Suppl 11):000-000 (1994)
 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Manajemen laktasi buku pedoman
bagi bidan dan petugas kesehatan di puskesmas. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat.
 16. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelayanan Farmasi untuk
Ibu Hamil dan Menyusui. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik; 2006.
 17. Dipiro JT., et al. Pharmacotherapy handbook, Seventh Edition. New York: Mc
Graw-Hill Inc; 2009.
 18. Ellfolk M. & Hultzcsh S. Analgesic, antiphlogistic and anesthetics. drugs during
pregnancy and lactation (treatment options and risk assessment). Third Edition.
United Kingdom: Academic Press; 2015.

21
 19. Fikawati S., Syafiq A., Purbaningrum PR., Karima K. 2014. Energy consumption
of lactating mother: current situation and problems. Makara Journal of Health
Research. 2014 Aug ;18(2): 58-64.
 20. Hale TW. Maternal medication during breastfeeding. Clinical Obstetrics and
Gynecology. 2004 Sep; 47(3): 696-711.

22

Anda mungkin juga menyukai