Anda di halaman 1dari 16

Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

BAB 5
BUDAYA PEMBERDAYAAN

Pengertian Pemberdayaan
pemberdayaan atau “empowerment”, menurut merriam webster dan oxfort english dictionery
(dalam prijono dan pranarka, 1996 : 3) mengandung dua pengertian yaitu : pengertian
pertama adalah to give power or authority to, dan pengertian kedua berarti to give ability to or
enable. dalam pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan
kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. sedang dalam pengertian kedua,
diartikan sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan.

Richard Carver (Clutterbuck 2003:3), managing director coverdale Organization,


mendefinisikan pemberdayaan sebagai upaya mendorong dan memungkinkan individu-
individu untuk mengemban tanggung jawab pribadi atas upaya mereka memperbaiki cara
mereka melaksanakan pekerjaan-pekerjaan mereka dan menyumbang pada pencapaian
tujuan-tujuan organisasi. Hal itu menuntut diciptakannya suatu budaya yang mendorong
orang-orang di semua tingkat untuk merasa mereka bisa menghasilkan perubahan dan
membantu mereka mendapatkan kpercayaan diri dan ketrampilan-ketrampilan untuk
menghasilkan perubahan-perubahan itu.

Bowen dan Lawler dalam artikelnya “The empowerment of service workers:what, why, how,
and when,”Sloan Management Review, Spring 1992, volume 33 no.3., menyebut bahwa
pemberdayaan bukanlah :
1. Delegasi.
David Oates menggariskan perbedaan antara delegasi dan pemberdayaan. ”Delegasi,”
katanya, ” dilakukan oleh manajer. Pemberdayaan, jika berjalan dengan baik, dilakukan
oleh bawahan.”
Jack Furrer, direktur pendidikan manajemen di perusahaan farmasi multinasional Ciba-
Geigy di Swiss itu, sependapat : ”seringkali delegasi sama dengan dumping. Kadang-
kadang ia lebih positif dan berupa suatu keseimbangan antara pengarahan dan otonomi.
Tetapi biasanya ia masih tidak memiliki unsur dukungan seperti yang dilibatkan oleh
pemberdayaan.”
2. Tanggung Jawab.
TanggungJawab sendiri bukanlah pemberdayaan, kata Paul Evans, profesor perilaku
organisasional di sekolah bisnis Perancis INSEAD. ” pemberdayaan bukanlah sekedar
masalah menyodorkan tanggung jawab lebih besar di suatu organisasi,” katanya. ” adalah
goblok dan gila untuk melakukan hal itu pada orang-orang yang tidak memiliki
ketrampilan-ketrampilan dan kompetensi-kompetensi untuk memegang kendali atas
pekerjaan mereka.” John Nevin, CEO Firestone, ”Jika Anda ingin membuat gila
seseorang, cara paling mudah untuk melakukannya adalah dengan memberi rasa
tanggung jawab yang dalam, tetapi tanpa otoritas.” Meskipun demikian, Evans dari
INSEAD lebih menyukai istilah Perancis ”Responsabilization” daripada ”empowerment.”
yang disebut belakangan itu, katanya, ”mengandung ciri keamerika-amerikaan yang
paling jelek. Jika orang harus menggunakan istilah itu, saya lebih suka menggunakan
istilah Perancisnya, yang tidak begitu emotif dan menerumuskan.”
3. Trik Pemangkasan ongkos.
”Apakah orang-orang diberdayakan untuk mengembangkan bisnisnya atau mereka
diminta untuk memangkas ongkos-ongkos dan membuahkan keuntungan-keuntungan

1
Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

jangka pendek?” tanya Bernard Taylor dari Henley Management College. ”Orang-orang
tidak bodoh,” katanya: Mereka membutuhkan suatu visi mengenai masa depan dan suatu
jaminan bahwa pekerjaannya masih akan tetap ada dalam beberapa tahun mendatang.
Ini menuntut komitmen untuk mengembangkan bisnis. Tetapi sekarang ini perusahaan-
perusahaan mengalami masalah besar dalam memotivasi karyawan mereka dan
membujuk mereka agar membangun komitmen. Itu terjadi karena serikat-serikat buruh
sudah dibuat tidak berdaya, restrukturisasi besar-besaran telah mengakibatkan PHK
besar-besaran, perusahaan-perusahaan diperdagangkan seperti komoditas, dan para
manajer serta karyawan tidak tahu dari menit yang satu ke menit berikutnya apakah
mereka masih memiliki pekerjaan. Pemberdayaan seringkali diperkenalkan dalam konteks
mentalitas pendudukan masa perang.

Mengapa Pemberdayaan Sekarang Ini Penting?


Meski istilah ”empeworment”dalam konteks manajemen relatif belum lama dikenal, tetapi
embrio lahirnya empowerment dalam teori manajemen sudah lama dikenalkan. Eksperimen
Hawthorne di Westinghouse tahun 1920an, misalnya, ditunjukkan bahwa produktivitas
meningkatkan ketika staf merasa bahwa mereka diberi perhatian. Setelah perang dunia II,
tentara-tentara pendudukan memasang para direktur di perusahaan-perusahaan Jerman,
tetapi mengecam keras gagasan untuk melakukan hal yan sama di negeri mereka sendiri.

Lebih jauh Kernaghan (2003:17) menyebut bahwa baru pada 1960-an, dan yang merupakn
tamparan yang bisa dimengerti terhadap pendekatan waktu dan gerak yang populer dalam
dekade sebelumnya, gagasan tentang keterlibatan kerja yang lebih besar benar-benar
mengemuka. Pada titik itulah sejumlah ilmuwan manajemen, terutama Smith dan McGregor,
Drucker, dan Likert, mulai mempertanyakan peranan orang-orang di tempat kerja baru yang
serba otomatis itu. Hal itu mengarah pada konsep job enrichment bahwa suatu peran kerja
yang lebih bervariasi bisa membuahkan motivasi dan produktivitas yang lebih besar,
meskipun gerak-gerak repetitif mungkin merupakan cara kerja yang secara teknis paling
efisien.

Di Skandinavia selama 1960-an dan 1970-an Einar Torsrud yang berpikiran merdeka itu
beserta kolega-koleganya di Arbedspsykologisk Institute di Oslo mendorong perusahaan-
perusahaan untuk bereksperimen dengan kelompok-kelompok kerja semi otonom. Pada
1970-an, kemajuan-kamajuan teknis dalam peralatan mesin mementingkan untuk
mempromosikan konsep-konsep seperti group technology, dimana produksi difokuskan pada
”sel-sel” di mana tugas-tugas besar ditangani oleh para operator yang mempunyai aneka
ketrampilan. Pada saat yang sama, sejumlah wiraswastawan radikal Eropa, misalnya Houni
yang dari Jerman itu, memberi para karyawan hak untuk menyeleksi manajer-manajer mereka
sendiri dan, akhirnya, kepemilikan atas usaha-usaha mereka sendiri.

Lingkaran-lingkaran kualitas, yang diimpor dari Jepang itu, membuka mata orang-orang barat
terhadap sumbangan potensial yang bisa diberikan oleh orang-orang di tingkat operator, dan
wawasan ini dipertegas oleh popularitas Total Quality Management.

Pemberdayaan, dalam segala bentuknya, berkembang pelan dari semua ide ini. Meskipun
demikian, dalam 1980-an trend-trend di dunia bisnis mulai menegaskan pentingnya
melakukan pendelegasian secara lebih luas dan mendelegasikan pekerjaan yng lebih bernilai.
Telah muncul kebutuhan untuk:

2
Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

1. Membuat orgaisasi-organisasi lebih tanggap terhadap pasar.


2. Men-delayer(memangkas tingkat-tingkat struktural) organisasi-organisasi untuk mejadikan
mereka lebih responsif dan cost effective.
3. Mengusahakan agar karyawan-karyawan dari berbagai disiplin berkolaborasi dengan
supervisi yang minimal dengan jalan berkomunikasi secara horizontal. Bukannya secara
vertikal hierarki
4. Mengusahakan agar para CEO dan manajemen puncak, melangkah surut dan melakukan
pekerjaan yang lebih bersifat strategis
5. Menyadap semua sumber-sumber yang bisa membantu mencapai dan meningkatkan
competitiveness
6. Memenuhi harapan-harapan yang lebih tinggi dari angkatan kerja yang pendidikannya
semakin membaik

Michael Osbaldeston, chief executive Ashridge Management College, menegaskan di depan


peserta konferensi tahun 1993 mengapa ia menganggap pemberdayaan telah menjadi begitu
penting akhir-akhir ini:
1. Kecepatan perubahan yang semakin tinggi, turbulensi lingkungan, cepatnya respon
persaingan dan akselerasi permintaan-permintaan pelanggan menuntut kecepatan dan
fleksibilitas tanggapan yang tidak sudah tidak cocok dengan cara kerja organisasi dengan
model kontrol dan komando gaya lama itu.
2. Organisasi-organisasi sendiri tengah berubah. Akibat dari downsizing(perampingan),
delayering(pemangkasan hierarki struktural), dan desentralisasi berarti bahwa metode-
metode kuno pencapaian koordinasi dan kontrol tidak lagi sesuai. Upaya mencapai
kinerja dalam situasi dan kondisi baru ini menuntut agar staff mengemban tanggung
jawab yang jauh lebih besar.
3. Organisasi-organisasi menuntut kerja yang lebih lintas fungsi(cross functional), kerja
sama lebih padu di antara bidang-bidang, integrasi lebih baik dalam proses-proses jika
organisasi yang bersangkutan ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelanggan. Kerja
sama seperti itu bisa dicapai lewat pemberdayaan.
4. Bakat manajerial yang benar-benar bagus semakin dipandang langka dan mahal.
Menggunakannya untuk supervisi langsung terhadap staff yang mampu mengelola diri
sendiri justru menambah kesulitan-keslitan yang sudah ada. Di pihak lain, pemberdayaan
memungkinkan bakat manajerial untuk lebih difokuskan pada tantangan-tantangan
eksternal dan bukan pada problem solving internal.
5. Pemberdayaan bisa mengungkapkan sumber-sumber bakat manajerial, yang dulunya
tidak dikenali, dengan menciptakan situasi dan kondisi dimana bakat bisa tumbuh subur.
6. Staff tidak lagi disiapkan untuk menerima sistem-sistem kontrol dan komando yang kuno
itu. Semakin luasnya ketersediaan pendidikan, penekanan lebih besar pada
pengembangan sepanjang hidup, dan tujuan kepastian keamanan kerja dan peningkatan
yang mantap telah menyumbang pada situasi di mana pekerjaan dinilai berdasarkan
kesempatan-kesempatan pengembangan yang ditawarkan, bukan sebagai pekerjaan itu
sendiri. Organisasi-organisasi yang gagal memenuhi aspirasi-aspirasi ini tidak akan
memperoleh kinerja yang mereka tuntut dan staf terbaik mereka akan terus-menerus
dibuat tak berdaya.

3
Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

Pemberdayaan Karyawan
Pemberdayaan karyawan difokuskan ke karyawan, tingkat terbawah dalam setiap organisasi.
Jika dalam organisasi tradisional, karyawan tidak diperhitungkan dalam pembagian
kekuasaan (power distribution), dengan pemberdayaan karyawan, kekuasaan justru digali dari
dalam diri karyawan

Pemberdayaan karyawan adalah pemberian wewenang kepada karyawan untuk


merencanakan, mengendalikan, dan membuat keputusan tentang pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya, tanpa harus mendapatkan otorisasi secara eksplisit dari manajer di
atasnya. Jika di dalam pendelegasian wewenang, kekuasaan diberikan oleh manajemen
puncak kepada para manajer di bawahnya (bukan kepada karyawan), dalam pemberdayaan
karyawan, kekuasaan digali dari dalam diri setiap karyawan melalui proses pemberdayaan
karyawan (employee empowerment). Pemberian wewenang oleh manajemen kepada
karyawan dilandasi oleh keberdayaan karyawan yang dihasilkan dari proses pemberdayaan
yang dilaksanakan oleh manajemen terhadap karyawan.

Oleh karena pemberdayaan karyawan dilaksanakan dengan menggali potensi yang terdapat
di dalam diri karyawan, maka pemberdayaan berarti pengembangan kekuasaan, bukan
sekadar pendistribusian kekuasaan yang telah ada dan yang telah dimiliki oleh manajemen.
Dengan kata lain, pemberdayaan karyawan memberikan keleluasaan kepada karyawan untuk
melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung
jawab mereka. Sedangkan pendelegasian wewenang memberikan kekuasaan yang telah
dimiliki oleh manajemen tingkat atas untuk didistribusikan ke manajemen di bawahnya.

Pemberdayaan pada dasarnya merupakan pelepasan atau pembebasan, bukan pengendalian


energi manusia sebagaimana yang dilaksanakan dalam pendelegasian wewenang.
Keyakinan Dasar yang Melandasi Pemberdayaan Karyawan

Pemberdayaan karyawan hanya akan terwujud jika dilandasi oleh tiga keyakinan dasar berikut
ini:
1. Subsidarity. Prinsip subsidiarity mengajarkan bahwa badan yang lebih tinggi
kedudukannya tidak boleh mengambil tanggung jawab yang dapat dan harus
dilaksanakan oleh badan yang berkedudukan lebih rendah. Dengan kata lain, mencuri
tanggung jawab orang merupakan suatu kesalahan karena keadaan ini akhirnya
menjadikan orang tersebut tidak terampil.
2. Karyawan pada dasarnya baik. Inti pemberdayaan karyawan adalah keyakinan bahwa
orang pada dasarnya baik. Pemberdayaan karyawan dapat dipandang sebagai
pemerdekaan, karena dengan pemberdayaan, manajer tidak lagi menggunakan
pengawasan, pengecekan, verifikasi, dan mengatur aktivitas orang yang bekerja dalam
organisasi. Manajer melakukan pemberdayaan dengan memberikan pelatihan dan
teknologi yang memadai kepada karyawan, memberikan arah yang benar, dan
membiarkan karyawan untuk mengerjakan semua yang dapat dikerjakan oleh mereka.
Oleh karena konsep pemberdayaan dimulai dari keyakinan bahwa orang pada dasarnya
ingin mengerjakan pekerjaan baik, manajer tidak perlu lagi menerapkan metode guna
membujuk karyawan untuk mengerahkan usaha mereka. Manajer harus memastikan
bahwa karyawan memiliki pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk pekerjaan
mereka, dan manajer harus mendukung usaha karyawan dengan menghilangkan
hambatan apa pun yang mencegah terwujudnya kinerja unggul.

4
Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

3. Trust-based relationship. Pemberdayaan karyawan menekankan aspek kepercayaan


yang diletakkan oleh manajemen kepada karyawan. Dari pemberdayaan karyawan,
hubungan yang tercipta antara manajemen dengan karyawan adalah hubungan berbasis
kepercayaan (trust-based relationship) yang diberikan oleh manajemen kepada karyawan,
atau sebaliknya kepercayaan yang dibangun oleh karyawan melalui kinerjanya.

Dalam pendelegasian wewenang, manajer tingkat atas memiliki wewenang karena posisinya
(position-based power) dan kemudian mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada
manajer yang lebih rendah posisinya. Manajer yang lebih rendah ini juga menerima
wewenang karena posisinya, sehingga dia pun memperoleh position-based power.
Sedangkan di dalam pemberdayaan karyawan, karyawan memperoleh wewenang bukan
berdasarkan posisinya, namun karena kinerjanya (performance-based power). Tanpa kinerja,
karyawan tidak akan mampu menumbuhkan kepercayaan dalam diri manajemen, sehingga
trust-based relationship tidak akan dapat terwujud.

Pemberdayaan dari Sudut Pandang Manajer


Di dalam organisasi masa depan, yang di dalamnya knowledge workers dominan dalam
penciptaan produk dan jasa dengan menggunakan smart technology, manajer perlu
memandang karyawan sebagai sumber daya yang secara optimum mampu memberikan
kontribusi di dalam perwujudan visi organisasi. Agar dapat optimum, manajer perlu mengubah
mindset mereka di dalam memandang karyawan, agar pas dengan smart technology yang
digunakan oleh organisasi, serta karakteristik pekerja dan pekerjaan mereka.

Menurut Mulyadi (2001: 162) Keyakinan dasar yang perlu dimiliki oleh para manajer untuk
mewujudkan mindset pemberdayaan karyawan adalah:
1. Karyawan adalah manusia. Manajer harus memandang sisi manusia dalam diri
karyawan, bukan hanya dari sisi pekerjaannya, karena karyawan adalah orang yang
usahanya sangat menentukan sukses suatu perusahaan yang membuat produk dan
menyediakan jasa bagi customers. Setiap orang dipandang memiliki kemampuan untuk
memahami dan memberikan kontribusi dalam mewujudkan visi perusahaan. Manajer
harus memandang karyawannya sebagai orang dewasa yang pantas untuk memikul
tanggung jawab yang lebih besar atas pekerjaannya, atas pekerjaan kelompoknya, dan
akhirnya atas sukses perusahaan secara keseluruhan.
2. Orang pada dasarnya baik. Inti pemberdayaan karyawan adalah keyakinan bahwa
orang pada dasarnya baik. Sebagai manusia yang berakal sehat dan makhluk yang
berpikir, orang memiliki kecenderungan alami untuk berhasil dalam pekerjaannya.
Manajer melakukan pemberdayaan dengan memberikan pelatihan dan teknologi yang
memadai kepada karyawan, memberikan arah yang benar, dan membiarkan karyawan
untuk mengerjakan semua yang dapat dikerjakan oleh mereka. Manajer harus
memastikan bahwa karyawan memiliki pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk
pekerjaan mereka, dan ia harus mendukung usaha karyawan dengan menghilangkan
hambatan apa pun yang mencegah terwujudnya kinerja unggul.
3. Birokrasi membunuh inisiatif. Satu aspek organisasi yang paling merusak
pemberdayaan adalah berjenjangnya tingkat manajerial. Dalam pemberdayaan karyawan,
tanggung jawab atas pekerjaan dikembalikan ke tangan karyawan. Dengan demikian
karyawan memperoleh motivasi yang lebih besar terhadap pekerjaan mereka, karena
mereka bertanggung jawab atas pekerjaan mereka, dan organisasi memperoleh
penghematan signifikan dengan penghilangan jenjang manajemen yang tidak menambah

5
Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

nilai bagi customer. Manajer harus mengidentifikasi aspek organisasi meskipun


kelihatannya efisien, mengajari karyawan untuk tidak mengerjakan, tidak mencoba, dan
tidak peduli tentang pekerjaan mereka.
4. Tugas manajer adalah menyediakan pelatihan, teknologi, dan dukungan bagi
karyawan. Manajer harus melihat karyawan yang memiliki kesempatan yang harus
dikembangkan dan diperluas untuk tujuan pemberian layanan kepada customers”.
Manajer bertanggung jawab untuk menyediakan teknologi memadai dan pelatihan bagi
karyawan untuk memungkinkan mereka mengerjakan apa yang dapat mereka kerjakan.
Di samping itu, manajer harus memberikan dukungan selama proses perubahan
karyawan dalam memikul tanggung jawab baru ini. Jika manajer tidak memiliki kesediaan
untuk menerima kesalahan dan kegagalan, karyawan akan cenderung kembali ke cara
kerja lama yang telah dikenal sebelumnya.

Dalam banyak hal boleh jadi pemberdayaan adalah suatu hal yang dirasa sulit oleh suatu
organisasi. Pemberdayaan karyawan tentunya dapat menimbulkan suatu perubahan secara
besar –besaran dalam struktur yang telah diterapkan selama ini. Organisasi harus bisa
menghilangkan kendala –kendala yang dapat mencegah macetnya pemberdayaan, seperti
birokrasi yang bertele – tele serta pengambilan keputusan yang kurang pas. Sebuah
pemberdayaan adalah upaya membongkar dan membangun kembali struktur suatu
oraganisasi ataupun perusahaan mulai dari nol.

Clutterbuck (2003:47) terdapat struktur – struktur pemberdayaan yang pas untuk dibangun
yaitu:
1. The Bull’s Eye
Menempatkan pelanggan di tengah dan membangun organisasi diseputar kebutuhan –
kebutuhan mereka. Mengesampingkan gagasan tentang hirarki, dan sebagai gantinya
menempatkan peran-peran sesuai dengan arti pentingnya bagi custumer.
2. The Amoeba
Secara konstan mengubah bentuk eksternal dengan membelah diri menjadi unit – unit
kecil yang baru.
3. The Star
Teradopsi oleh organisasi – organisasi yang melayani sejumlah kecil pelanggan yang
sangat penting. Organisasi ini seakan menjadi organisasi klien/custumer mereka,
seringkali bekerja di tempat custumer dan membangun organisasi-organisasi mereka di
seputar kebutuhan-kebutuhan custumer.
4. Organisasi Boundaryless (Nirbatas)
Organisasi begitu responsive kepada pelanggan. Begitu responsivnya seakan batas-
batas antara custumer dan organisasi menjadi begitu kabur sampai tidak ada artinya.
5. Organisasi Chemical Soup
Dalam struktur yang relatif masih langka ini, tim-tim berevolusi untuk proyek-proyek
spesifik, kemudian luruh menjadi kombinasi-kombinasi baru sesuai dengan kebutuhan.

Snyder (1994:112) menyebut bahwa untuk mewujudkan paradigma pemberdayaan


karyawan, perlu ditanamkan personal values dalam diri para manajer yang pas dengan
paradigma tersebut, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai:

6
Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

1. Kejujuran.
Manajer dan karyawan harus mengatakan keadaan dan kondisi yang sebenarnya antar
kedua belah pihak. Manajer juga harus memberikan informasi yang dimilikinya kepada
karyawan untuk memungkinkan karyawan mengambil keputusan secara efektif. Dalam
pemberdayaan karyawan, karyawanlah yang diberi tanggung jawab untuk pengambilan
keputusan. Dengan menggunakan akses ke data yang sama, menggunakan alat analisis
yang sama, dan melakukan analisis yang sama sehingga keputusan bisa di ambil. Hal ini
sangat berbeda dengan manajemen tradisional. Pengambilan keputusan serta pemikiran
dilaksanakan oleh manajer, pembicaraan dilaksanakan oleh supervisor, dan pelaksanaan
dilakukan oleh karyawan
2. Kerendahan hati.
Pemberdayaan karyawan berarti pemberian tanggung jawab lebih besar kepada
karyawan untuk mengambil keputusan. Dengan demikian, dapat terjadi inisiatif karyawan
jauh lebih baik dibandingkan yang dilakukan oleh manajer. Kerendahan hati untuk
mengakui kinerja karyawan harus merupakan suatu nilai yang dijunjung tinggi oleh
manajer, jika pemberdayaan karyawan dikehendaki berhasil dalam suatu organisasi.
Tugas manajer adalah membuat karyawan yang berada di bawah wewenangnya menjadi
terkenal karena kinerjanya. Tugas ini hanya dapat dilakukan oleh manajer yang memiliki
kerendahan hati.
Pemberdayaan Karyawan Dari sudut Pandang karyawan.
Dari sudut karyawan, pemberdayaan karyawan berkaitan dengan bagaimana karyawan
dipercaya oleh manajer untuk mengambil keputusan tentang pekerjaan yang menjadi
tanggung jawab karyawan. Gambar di bawah ini melukiskan building blocks kultur organisasi
yang berlandaskan pada mindset pemberdayaan karyawan ditinjau dari sudut pandang
karyawan.

Selanjutnya Snyder (1994:104) menyebut bahwa untuk dapat dipercaya oleh manajer, perlu
dibangun keyakinan dasar dan nilai dasar dalam diri karyawan, yaitu:
1. Kepercayaan (trust) yang tumbuh dalam diri manajer terhadap karyawan.
Pemberdayaan karyawan hanya akan terwujud jika karyawan dapat dipercaya oleh
manajer. Oleh karena itu, karyawan perlu menanamkan keyakinan dalam dirinya bahwa ia
dapat merencanakan, mengimplementasikan rencana, dan mengendalikan implementasi
rencana pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya atau tanggung jawab kelompoknya
jika manajer mempercayai (trust) karyawan.
2. Kepercayaan manajer terhadap karyawan tumbuh karena kompetensi dan karakter
yang dibangun dalam diri karyawan.
Kompetensi dimiliki oleh karyawan jika ia berkemampuan untuk menggunakan
knowledge. Keunggulan suatu bisnis dibandingkan dengan bisnis lainnya terletak pada
knowledge atau kemampuan sumber daya manusianya dalam menerapkan informasi
yang berkaitan dengan sain (science), teknik, sosial, ekonomi, dan manajerial ke dalam
pekerjaan dan kinerja mereka knowledge bukan merupakan sumber daya bisnis, namun
merupakan sumber daya sosial, yang tidak dapat dipertahankan kerahasiaannya untuk
jangka panjang. Oleh karena itu, personel harus senantiasa meng-up date dan
meningkatkan knowledge mereka agar organisasi tempat mereka bekerja memiliki
keunggulan dibandingkan dengan pesaingnya. Dengan demikian, untuk mempertahankan
posisi unggul organisasi mereka, personel harus menjadi life-long learners.

7
Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

Sedangkan nilai dasar yang perlu dijunjung tinggi oleh karyawan agar ia dapat dipercaya oleh
manajer dan teman sekerja lain dalam tim kerja adalah:
1. Kejujuran. Kejujuran adalah kemampuan orang untuk mengatakan suatu kenyataan
sebagaimana adanya, yang membutuhkan keberanian jiwa, karena seringkali adanya
dampak yang tidak menguntungkan bagi karyawan. Untuk membangun kepercayaan
dengan manajer dan teman sekerja, kejujuran merupakan nilai yang harus dijunjung
tinggi.
2. Keberanian. Keberanian adalah keteguhan hati dalam mempertahankan pendirian,
keyakinan, prinsip, visinya. Nilai keberanian perlu dijunjung tinggi karyawan untuk
memacu karyawan dalam mengemban tanggung jawab pengambilan keputusan atas
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Di samping itu, kreativitas penerapan
pengetahuan memerlukan nilai keberanian dalam diri karyawan untuk mengungkapkan
dan mengimplementasikannya.
3. Integritas. Integritas adalah kemampuan orang untuk mewujudkan apa yang telah
diucapkan atau janjikan oleh orang tersebut menjadi suatu kenyataan, dalam situasi
apa pun. Karyawan perlu menjunjung tinggi integritas, dengan cara mewujudkan semua
komitmen yang telah mereka sanggupi ke dalam tindakan nyata.
Jika karyawan telah menjanjikan sesuatu kepada customer, dan meskipun untuk
merealisasikan komitmen kepada customer tersebut, ia harus mengorbankan sumber
daya tertentu, dan ia tetap teguh dengan komitmen yang telah dijanjikan kepada
customer, terlepas dari sumber daya yang harus dikorbankan, ia adalah karyawan yang
menjunjung tinggi integritas dalam memenuhi komitmennya kepada customer.
Customer akan memilih berhubungan dengan perusahaan yang karyawannya
menjunjung tinggi integritas, karena hanya orang yang berintegritas pantas dijadikan
partner dalam bekerja.
4. Mental berlimpah. Mental berlimpah (abundant mentality) adalah kemampuan jiwa
seseorang dalam menerima keberhasilan, kelebihan, keberuntungan, dan penghargaan
yang diperoleh orang lain. Mental berlimpah sangat diperlukan, karena karyawan
bekerja dalam tim kerja (teamwork), yang bersama dengan karyawan lain bahu-
membahu memenuhi kebutuhan customer. Perwujudah nilai mental berlimpah antara
lain: (1) ringan hati untuk memberikan selamat atas keberhasilan rekan sekerja, (2)
menghindarkan diri dari sikap merendahkan prestasi kerja rekan sekerja, (3)
membiasakan diri melihat “the bright side of everyone and everything”.
5. Kesabaran dalam mewujudkan visi. Kesabaran adalah kekuatan hati orang untuk
menerima kelainan yang terjadi terhadap dirinya dalam jangka waktu panjang,
menyalurkan semangat secara ajeg dan tekun sampai terwujudnya visi yang telah
dirumuskan. Kesabaran dalam mewujudkan visi merupakan nilai yang perlu dijunjung
tinggi oleh karyawan.

Pemberdayaan merupakan tantangan berat bagi para manajer dan supervisor. Karena
mereka dilatih untuk memecahkan masalah dan memberikan keputusan. Semua pimpinan
tentunya setuju bahwa sebuah pemberdayaan adalah vital bagi peningkatan efisiensi bisnis
dan kualitas.Banyak di antara manajer mengkhawatirkan potensi pemberdayaan dapat
menciptakan sebuah anarki dan mereka berupaya menciptakan batas – batas sebuah
pemberdayaan. Terdapat anggapan bahwa sebuah pemberdayaan tidak akan dapat
memecahkan sebuah masalah, atau pemberdayaan tidak akan dapat berjalan dalam setiap
situasi. Dalam beberapa hal, pemberdayaan memang tidak cocok untuk diterapkan, para

8
Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

manajer telah menyadari hal tersebut. Hingga tidak jarang jika manajer harus mengambil
resiko dengan membiarkan orang – orangnya membuat keputusan.

Ketika sebuah organisasi mengalami sebuah perampingan dan orang – orang lini depan
mengambil tanggung jawab besar, maka dalam hal ini yang akan cenderung menjadi pihak
terdepak adalak manajer menengah. Namun sesungguhnya pemberdayaan tidak selalu
mengancam eksistensi manajer dan supervisor, sebaliknya mereka semakin dibutuhkan oleh
perusahaan yang diberdayakan, hanya saja peranan mereka harus berubah secara dinamis.

Seorang manajer yang memberdayakan harus menjadi seseorang konselor atau penasihat
bagi tim dan individu – individu pada suatu perusahaan. Tugas manajer bukan dikaitkan
dengan pemecahan masalah atau mencari jawaban – jawaban, melainkan tugas seorang
manajer adalah membantu orang – orang memahami dengan jelas bagaimana mereka
mengelola suatu situasi.Tugas manajer bukanlah memberikan perintah, namun
mengartikulkasikan tujuan – tujuan atau visi bersama dan mendorrong karyawan untuk
bersama – sama meraihnya.

Manajer harus mendefinisikan tujuan – tujuan tim dengan jelas dan memberikan umpan balik
secara konstan. Penting bagi manajer untuk melakukan intervensi bagaimana sebuah
pekerjaan dilakukan. Manajer harus mempunyai perhatian pribadi dalam mengembangkan
karir karyawan dengan jalan memastikan mereka mengetahui dan menyadari kesempatan –
kesempatan dan mendorong mereka agar meraih kesempatan – kesempatan yang ada.

Bagi manajer melepaskan control bukan berarti melepas tanggung jawab, tetapi ia harus
mendapatkan cara – cara baru untuk mempengaruhi orang – orang sehingga mereka
menggunakan kebebasan baru mereka dengan bijaksana. Menurut Fery (1993:205)
menyebut skema prosesnya sebagai berikut :

MEMBERITAHU  MENJUAL  MELATIH  MEMUNGKINKAN  MEMBERDAYAKAN

Supervisor hendaknya ditempatkan sebagai agen perubahan, karena supervisor merupakan


penghubung antara lantai dasar dengan manajer pada sebuah perusahaan. Setelah inisiatif
sebuah pemberdayaan diambil, banyak supervisor merasa bahwa suatu perubahan
mengakibatkan stress, menantang, sekaligus juga mengancam kekuasaan dan keamanan.
Peranan supervisor dapat bergeser dari motivator, perencana, dan enabler. Tentu bukan hal
yang mudah bagi seorang supervisor lini depan. Banyak yang mencapai posisi manajemen
berdasarkan kompetensi tehnis mereka, bukan karena motivasi mereka untuk memimpin dan
mengelola orang – orang lain.

Tugas seorang manajer menengah adalah mendorong para supervisor memampukan tim –
tim mereka menggunakan ketrampilan – ketrampilan baru dan menerima tanggung jawab dan
akuntanbilitas. Agar manajer menengah dapat bekerja secara efektif, manajer senior harus
melepaskan banyak dari peran kepemimpinannya. Dalam mengembangkan manajer yang
terberdayakan dan memberdayakan adalah dengan system penghargaan. Sebuah
penghargaan yang akan diberikan harus berdasarkan pada kemampuan mereka dalam
mengerahkan bawahan secara signifikan dan juga penilaian dalam jangka waktu yang
panjang.

9
Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

Pemberdayaan karyawan atau biasa disebut dengan employee empowerment, merupakan


sebuah gagasan ideal yang memanusiakan manusia dalam arti yang sesunguhnya di dalam
organisasi. Tak ada lagi garis komando birokrasi yang bertele-tele dan prosedur yang rumit.
Semudah itukah idea pemberdayaan karyawan ini dapat direalisasi di semua organisasi? Bagi
organisasi yang masih kovensioanal, membangun pemberdayaan bagi karyawaannya
merupakan pekerjaan yang tidak mudah, bahkan dalam organisasi goverment yang memang
disyaratkan adanya birokrasi yang ketat, tampak mustahil pemberdayaan karyawan ini dapat
dibangun.

Para peneliti di Amerika Hmieleski dan Ensley dari Neeley School of Business Texas pada
tahun 2000an (Clutterbuck 2003:75), menemukan bahwa tidak semua dapat efektif dibangun
dengan memperdayakan karyawannya. Berikut beberapa temuan hasil penelitiannya, Dalam
situasi tertentu –yakni dalam situasi bisnis kewirausahaan yang berkembang pesat-
kepemimpinan bergaya komando justru bisa lebih efektif. “Gaya kepemimpinan yang bersifat
memberi pemberdayaan semakin tidak cocok dengan adanya petualangan-pertualangan baru
dengan tim yang anggotanya beragam, dalam lingkungan-lingkungan yang dinamis jurusan
manajemen tersebut.

Hmieleski dan tim pendukungnya dari Rensselaer Polytechnic Institute di Troy, New York
menjelaskan kenapa bisa demikian. Menurut mereka, hal itu karena orang dengan beragam
latar belakang, pola pikir dan perilaku yang berbeda, membutuhkan waktu lama untuk
mencapai konsensus atas tujuan bersama dalam lingkungan bisnis yang menghendaki aksi
cepat.

Hmieleski dan Ensley meneliti 168 manajer pada 66 firma dari daftar 500 perusahaan Amerika
yang erkembang cepat. Mereka juga meneliti 417 manajer puncak pada 154 firma yang dipilih
secara acak. Hmieleski mengakui adanya kearifan konvensional yang masih dipegang, bahwa
perusahaan dengan kepemimpinan yang memberdayakan memiliki keunggulan kompetitif
dalam soal fleksibilitas, inovasi dan kreativitas. Sedangkan kepempinan yang memerintah
dilihat sebagai seseuatu yang ketinggalan jaman.

Tapi, kenyataannya, menurut dia, tidak sesederhana itu. Kepemimpinan adalah sesuatu yang
kontekstual dan sangat kompleks, dan kedua tipe tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan. Masing-masing tergantung pada variabel-variabel tim internal dan juga variabel
eksternal dalam dinamika industri.Temuan itu juga menyebutkan bahwa, kepemimpinan
bergaya pemberdayaan, yang secara umum diyakini paling efektif dalam lingkungan dengan
tim yang berbeda-beda dan perubahan yang cepat, ternyata kurang efektif dalam kondisi yang
di bawah itu.

“Lingkungan-lingkungan yang tumbuh dengan cepat menuntut keputusan-keputusan yang


diambil dengan cepat pula,” kata Dr Hmieleski seperti dilaporkan management-issues. “Di
sinilah kepemimpinan yang memerintah diperlukan, karena bisa dengan cepat menjelaskan
apa pekerjaan yang diperlukan untuk dilakukan saat itu, dan oleh siapa.” Dalam tim yang
terdiri atas bermacam-macam orang dan dalam lingkungan yang stabil, kepemimpinan
pemberdayaan unggul sebagai pilihan yang pasti karena lingkungan semacam itu memberi
waktu bagi anggota tim untuk menciptakan keputusan-keputusan bersama. Dalam lingkungan
seperti ini, sikap memerintah dapat “menyinggung” anggota tim dan mengurangi komitmen
mereka pada tantangan.

10
Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

Dalam tim yang lebih seragam anggotanya, peneliti menemukan bahwa yang berlalu adalah
kebalikannya. Dalam lingkungan yang dinamis, sikap memerintah tidak diperlukan karena
anggota tim cenderung berbagi dalam tujuan yang sama. Dalam kondisi seperti ini, kinerja
terbaik perusahaan dicapai ketika dipimpin oleh pemimpin yang menerapkan pemberdayaan.
Pendelegasian Wewenang Versus Pemberdayaan Karyawan
Mulyadi (2003:288) mengungkapkan bahwa secara sepintas pendelegasian wewenang
hampir sama dengan pemberdayaan karyawan. Sebenarnya jika dicermati, dua konsep
tersebut berbeda secara mendasar. Jika manajemen tidak memahami perbedaan substansi
kedua konsep tersebut, manajemen tidak akan mengambil manfaat optimum dari konsep
pemberdayaan karyawan, dan akan mengakibatkan manajemen cenderung ke functional
fixation.

Pemahaman terhadap perbedaan mendasar di antara keduanya akan meningkatkan


kompetensi eksekutif dalam mengimplementasikan secara efektif program pemberdayaan
karyawan, sehingga potensi seluruh personel organisasi dapat secara optimum dikerahkan
untuk membawa maju organisasi dengan pesat.

Pendelegasian Wewenang
Pada dasarnya organisasi perusahaan bukan merupakan organisasi demokratis, karena
kekuasaan yang berada di tangan manajemen puncak tidak berasal dari manajer yang ada di
bawahnya dan karyawan. Manajemen puncak tidak dipilih oleh karyawan, namun dipilih oleh
rapat umum pemegang saham (sebagai lembaga yang menjadi forumnya para pemilik
modal), dan oleh karena itu, wewenang berasal dari lembaga tersebut. Wewenang kemudian
didistribusikan oleh manajemen puncak kepada manajer-manajer yang berada di bawahnya
melalui mekanisme pendelegasian wewenang.

Konsep Pendelegasian Wewenang


Delegasi wewenang lebih ditujukan kepada manajer, bukan karyawan. Dalam organisasi
fungsional hirarkhis, pembagian kekuasaan (power distribution) hanya dilaksanakan di
kalangan manajer, tidak sampai kepada karyawan.

Pendelegasian wewenang adalah pemberian wewenang oleh manajer yang lebih atas kepada
manajer yang lebih rendah untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan otorisasi secara
eksplisit dari manajer pemberi wewenang pada waktu wewenang tersebut akan dilaksanakan.
Dari definisi pendelegasian wewenang tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Pendelegasian wewenang dilakukan dari manajer yang lebih tinggi posisinya ke manajer
yang lebih rendah (bukan kepada karyawan).
2. Manajer yang lebih rendah posisinya memerlukan otorisasi secara eksplisit dari manajer
pendelegasi wewenang pada waktu akan melaksanakan wewenang yang telah
didelegasikan kepadanya.
3. Pemberian wewenang yang dilaksanakan dalam pendelegasian wewenang masih bersifat
setengah-setengah. Jika kepada manajer bawah saja manajer tingkat atas
mendelegasikan/ wewenang secara setengah-setengah, dapat dibayangkan seberapa
rendah tingkat kepercayaan manajemen tingkat atas kepada karyawan untuk
pengambilan keputusan.
4. Pendelegasian wewenang lebih menekankan pada aspek pengendalian dan kepatuhan
daripada pemberian kebebasan dalam pelaksanaan wewenang yang telah didelegasikan

11
Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

tersebut. Pengendalian untuk menciptakan kepatuhan bawahan dilakukan oleh manajer


jenjang lebih atas melalui tiga instrumen pengendalian, yaitu:
a. Melalui otorisasi secara eksplisit sebelum wewenang dilaksanakan oleh manajer yang
lebih rendah,
b. Melalui laporan pertanggungjawaban pelaksanaan wewenang yang dibuat oleh
manajer tingkat yang lebih rendah ke manajer pemberi wewenang,
c. Melalui audit kinerja (performance audit) yang dilaksanakan oleh auditor intern.

Di dalam kondisi yang ekstrem, delegasi wewenang dapat berupa gofer delegation, yaitu
suatu bentuk delegasi wewenang yang menuntut manajer penerima delegasi wewenang
hanya melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh pemberi wewenang.

Kondisi yang Cocok untuk Pendelegasian Wewenang


Sistem pendelegasian wewenang cocok diimplementasikan dalam kondisi berikut ini:
1. Karyawan terdiri dari tenaga kerja tidak terampil dan tidak terdidik. Di masa lalu,
pekerjaan umumnya berupa serangkaian tugas sederhana dan manual yang
dilaksanakan oleh pekerja tidak terampil dan tidak terdidik, sehingga pekerjaan semacam
itu mudah diamati pelaksanaannya. Atau yang dikenal sebagai organisasi hirarkis, yang
mendasarkan prinsip komando dan kepatuhan di dalam menjalankan organisasi yang
cocok untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan manual, yang dilaksanakan oleh pekerja
tidak terampil dan tidak terdidik.
2. Informasi tidak dapat diakses oleh karyawan karena keterbatasan teknologi yang
digunakan untuk mengolah data. Di masa lalu, informasi diolah secara manual, sehingga
secara fisik, data dikumpulkan secara terpusat di suatu tempat (tentu saja di bawah
penguasaan manajemen tingkat atas) dan secara eksklusif pula dimanfaatkan oleh
manajemen tingkat atas. Dengan demikian, karena keterbatasan teknologi pengolahan
data ini, wajar jika setiap karyawan akan melaksanakan pekerjaan, mereka memerlukan
rantai otorisasi dari para manajer di atas mereka karena di tangan manajer puncaklah
informasi yang diperlukan berada.
3. Lingkungan bisnis yang dihadapi oleh perusahaan adalah stabil. Lingkungan bisnis yang
stabil memberikan toleransi kepada panjangnya rantai komando dalam pengambilan
keputusan. Di dalam lingkungan seperti itu, perubahan jarang terjadi, sehingga kecepatan
pengambilan keputusan bukan merupakan kebutuhan penting organisasi.

Kultur yang Dihasilkan dari Sistem Pendelegasian Wewenang


Berkaitan dengan cultur, Mulyadi (2003:297) mengemukakan bahwa sistem pendelegasian
wewenang yang dikembangkan dalam organisasi traditional membentuk kultur organisasi
berikut ini:
1. Membentuk pemimpin yang berpegang pada kedudukannya (position-based leadership),
dan bergaya otoriter yang mengandalkan pada komando untuk memperoleh kepatuhan
bawahan. Sistem pendelegasian wewenang menghasilkan pemimpin yang memiliki
kekuasaan karena posisi yang didudukinya. Pemimpin seperti ini memiliki gaya
kepemimpinan otoriter, yang mengandalkan komando untuk memperoleh kepatuhan dari
bawahannya.
2. Membentuk karyawan yang patuh, tidak kreatif, dan tidak berinisiatif. Sistem
pendelegasian wewenang menghasilkan personel yang patuh terhadap perintah, dan
karena pengendalian yang diciptakan cenderung berlebihan, sistem ini juga
mengakibatkan karyawan tidak mempunyai inisiatif dan tidak kreatif.

12
Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

3. Menghasilkan hubungan berdasar ketidakpercayaan (distrust) antara manajer atas


dengan manajer di bawahnya. Konsep pendelegasian wewenang menekankan aspek
pengendalian dan tidak didasarkan pada trust dalam hubungan antara manajer yang lebih
atas dengan manajer bawahannya. Distribusi wewenang dalam organisasi didasarkan
pada power-based relationship dimana wewenang bersumber dari manajer tingkat atas,
yang memiliki wewenang karena kedudukannya (position-basedpower). Manajer tingkat
atas kemudian mendelegasikan sebagian wewenangnya (yang diperoleh karena
posisinya tersebut) kepada manajer yang lebih rendah, sehingga terciptalah hubungan
berbasis kekuasaan (power-based relationship) antara kedua manajer tersebut.

Prospek bagi Karyawan


Di tempat kerja sekarang, seringkali pekerja memiliki pendidikan lebih tinggi daripada
manajernya, terutama di dalam perusahaan berteknologi tinggi. Bahkan umumnya, pekerja
memiliki pengetahuan lebih banyak mengenai pekerjaannya dibandingkan dengan manajer
mereka.

Oleh karena itu, pandangan manajemen terhadap karyawan perlu di-up date. Pandangan
manajemen terhadap karyawan akan menentukan keberhasilan pengembangan potensi
karyawan. Pandangan terhadap karyawan yang mendukung usaha pemberdayaan karyawan
adalah:
1. Orang adalah aktiva organisasi yang paling bernilai dan merupakan keunggulan
kompetitif yang paling tinggi. Seberapa canggih teknologi yang dimanfaatkan oleh
organisasi dan seberapa maju sistem yang digunakan oleh organisasi dalam menjalankan
bisnis, kualitas produk dan jasa yang dihasilkannya sangat ditentukan oleh kualitas
sumber daya manusia yang mengoperasikannya. Teknologi dan sistem yang canggih
hanya akan produktif di tangan sumber daya manusia yang memiliki komitmen tinggi dan
produktif. Oleh karena itu, perlu disadari oleh manajemen bahwa aktiva yang paling
bernilai bagi organisasi perusahaan adalah sumber daya manusia.
2. Gedung dan aktiva tetap lain akan mengalami depresiasi nilainya karena
pemakaian, sementara orang memiliki kesempatan untuk bertumbuh dengan
berlalunya waktu. Berbeda dengan aktiva tetap, sumber daya manusia memiliki potensi
untuk tumbuh dan berkembang selama dimanfaatkan dalam organisasi. Manusia memiliki
potensi yang tidak terbatas jika orang menyadarinya dan menggali serta mengembangkan
potensi tersebut. Jika manajemen mau dan mampu menyediakan lingkungan dan sistem
untuk menyediakan kesempatan bagi karyawan dalam membangun potensi mereka
selama bekerja, karyawan akan mencapai tingkat potensi optimum yang diperlukan oleh
organisasi untuk maju. Jika dicermati lebih lanjut, sebenarnya karyawan adalah orang
yang melakukan banyak pekerjaan yang sangat menentukan dan bermakna bagi
organisasi. Contoh pekerjaan yang dilaksanakan oleh karyawan yang seringkali
dipandang tidak bermakna oleh manajemen tradisional: (1) melakukan interaksi dengan
customers, (2) melakukan interaksi dengan pemasok, (3) melakukan interaksi dengan
mitra bisnis, (4) mengelola dan melakukan improvement terhadap proses, (5) mengubah
tuntutan customers ke dalam produk dan jasa.

Cara Pemberdayaan Karyawan


Reynolds (1997:4) menyebut bahwa pemberdayaan karyawan pada dasarnya membentuk
karyawan yang produktif dan berkomitmen. Pemberdayaan karyawan berangkat dari
keinginan untuk menggali seluruh potensi yang terdapat dalam diri seiuruh karyawan untuk

13
Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

diarahkan dalarn memajukan organisasi. Untuk menjadikan karyawan produktif, karyawan


harus memiliki kompetensi memadai dan produktivitas karyawan sangat ditentukan oleh
kualitas lingkungan kerja yang dibangun di dalam organisasi. Tanpa lingkungan kerja
berkualitas, karyawan dengan kompetensi tinggi tidak akan produktif. Oleh karena itu,
pemberdayaan karyawan pada hakikatnya merupakan usaha untuk menjadikan karyawan
produktif dan berkomitmen. Pemberdayaan karyawan hanya dapat diwujudkan melalui:
1. Pembangunan kompetensi karyawan dan penyediaan sumber daya yang diperlukan
untuk mewujudkan kompetensi karyawan.
2. Pembangunan lingkungan kerja berkualitas.
3. Karyawan yang memiliki kompetensi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya memerlukan
lingkungan kerja yang menumbuhkan komitmen di dalam dirinya untuk menghasilkan
kinerja unggul.

Kompetensi karyawan akan menghasilkan produk dan jasa berkualitas di dalam lingkungan
kerja yang kondusif, yaitu:
1. Terdapat kepercayaan timbal balik (mutual trust) antara manajemen dengan karyawan.
2. Terdapat komitmen karyawan terhadap misi, visi, core beliefs, dan core values organisasi.
3. Kesediaan manajemen puncak untuk memberikan wewenang kepada karyawan untuk
mengambil keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawab karyawan,
4. posisi (position-based reward).

Dampak Positif Pemberdayaan Karyawan


Menurut Askenas et.all (1995:43) Pemberdayaan Karyawan paling tidak memiliki dua dampak
penting yaitu dampak terhadap struktur organisasi dan terhadap sistem informasi
manajemen.. Dampak pemberdayaan terhadap struktur organisasi adalah sebagai berikut:
1. Organisasi lebih mendatar. Jenjang organisasi dibangun untuk melaksanakan
pengendalian terhadap pelaksanaan wewenang yang didelegasikan kepada manajer
dibawahnya. Agar pengendalian jauh lebih efektif dalam diri karyawan ditumbuhkan self-
imposed control melalui pendidikan, pelatihan, dan penyediaan teknologi memadai
sehingga karyawan mampu mengambil keputusan berkualitas dan organisasi dapat
mengurangi kebutuhan pengendalian dari pihak lain. Jika karyawan memiliki kemampuan
seperti itu, fungsi manajer menengah menjadi tidak relevan, sehingga jenjang manajer
menengah dapat dihapus dari struktur organisasi sehingga biaya pengoperasian
organisasi menjadi berkurang secara drastis.
2. Arus informasi terutama ke arah horisontal. Pemberdayaan karyawan menjadikan
karyawan mampu merencanakan, mengendalikan, dan mengambil keputusan atas
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan demikian arus informasi vertikal
tidak lagi diperlukan oleh karyawan, karena karyawan dapat melakukan akses ke pusat
informasi dan dapat mengambil keputusan berkualitas atas pekerjaannya. Dengan
demikian, orientasi karyawan akan diarahkan ke horisontal, karena di arah itulah
customer berada dan ke arah itulah semestinya semua kompetensi karyawan ditujukan.
3. Kecepatan pengambilan keputusan, yang dapat dinikmati oleh customers.
Pemberdayaan karyawan meningkatkan kecepatan pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh organisasi dalam berhubungan dengan customers.
4. Berkurangnya distorsi informasi. Rantai komando yang terdapat di dalam sistem
pendelegasian wewenang memiliki kelemahan bawaan karena panjangnya rantai
komando dan tingginya risiko terdistorsi informasi yang dikomunikasikan. Pemberdayaan

14
Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

karyawan memotong rantai komando tersebut, sehingga mengurangi secara signifikan


risiko terdistorsinya informasi yang dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan.
5. Komitmen karyawan untuk melakukan improvement meningkat. Orientasi karyawan
ke sistem yang digunakan untuk menghasilkan value bagi customer meningkatkan
komitmen karyawan terhadap improvement terhadap sistem, karena menimbulkan
kesadaran bahwa customer-lah yang menentukan kelangsungan hidup organisasi.
6. Pergeseran dari responsibility-at-the-top organization ke responsibility-based
organization. Di dalam organisasi yang karyawannya telah diberdayakan, tanggung
jawab atas jalannya bisnis perusahaan dapat diserahkan sepenuhnya kepada karyawan.
Sehingga, organisasi berubah menjadi responsibility-based organization (suatu organisasi
yang tanggung jawab atas jalannya bisnis berada di tangan setiap orang dalam
organisasi).
7. Perubahan dari organisasi orang bayaran ke organisasi orang bisnis. Di dalam
organisasi yang karyawannya telah diberdayakan, karyawan diberi wewenang untuk
akses ke pusat informasi dan untuk mengambil keputusan bisnis yang menjadi tanggung
jawabnya. Dan setiap keputusan bisnis yang mengandung risiko dan tanggung jawab
untuk menanggung risiko bisnis tersebut, karyawan memperoleh penghargaan yang
sepadan. Dengan demikian, karyawan yang berdaya menjadi pelaku-pelaku bisnis, bukan
lagi sekadar orang bayaran (hired hands).

Dampak Pemberdayaan Karyawan Terhadap Sistem Informasi Manajemen


Pemberdayaan karyawan akan berdampak terhadap sistem informasi manajemen di bawah
ini:
1. Karyawan menjadi pemakai informasi untuk pengambilan keputusan. Di dalam
manajemen kontemporer, pemakai informasi untuk pengambilan keputusan harian adalah
karyawan. Bahkan keputusan-keputusan yang dipandang strategik di dalam manajemen
tradisional, sekarang dapat dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu, ahli desain sistem
informasi manajemen perlu menyadari perubahan ini dan memasukkan perubahan ini ke
dalam desain sistem informasinya.
2. Informasi keuangan menjadi tipe informasi yang dibutuhkan oleh karyawan.
Pemberdayaan karyawan melibatkan karyawan ke dalam keputusan-keputusan yang
berdampak keuangan. Oleh karena itu, sistem informasi akuntansi perlu didesain
sehingga karyawan dapat melakukan akses ke pusat informasi akuntansi untuk
memungkinkan karyawan mempertimbangkan besarnya cost effective pekerjaan mereka
di dalam menghasilkan value bagi customers.

Secara esensial, pemberdayaan karawan dibutuhkan setiap individu, kelompok bahkan setiap
organisasi. Organisasi yang berkeinginan terus maju dan dapat melayani custumernya
dengan baik haruslah organisasi yang “luwes” mudah beradaptasi dan menyesuaikan dengan
kebutuhan lingkungan. Lingkungan organisasi butuh pelayanan, pemeliharaan, dan
kemakmuran, hanya karyawan yang berdaya sajalah yang dapat melakukan itu semua.
Karyawan yang berdaya tidak secara tiba-tiba atau given mereka harus dibentuk diproses
oleh organisasi. Perlu membangun mindset manajemen yang memberikan kesempatan luas
bagi personalianya untuk tumbuh berkembang sesuai dengan potensinya, talentanya,
komptensinya, bukan lagi bergaya birokrat, dan prosedur yang bertele-tele. Banyak dampak
positip dari pemberdayaan karyawan ini dampak yang palng mudah dirasakan adalah,
karyawan merasa dipercaya, dihargai, kepuasan kerja mudah dirasakan oleh setiap karyawan
komitmen kerja tak lagi masalah bagi organisasi.

15
Budaya Organisasi dan Kepemimpinan 2020

Pustaka
1. Setyawan, Johny.,Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen. Salemba Empat,
2001
2. Clutterbuck, David., The Power of Empowerment. Kogan Page, 2003.
3. Reynolds, Larry., The Trust Effect: Creating the High Trust, High Performance
Organization. London: Nicholas Brealey Publishing, 1997
4. Snyder, Neil H., James D.Dowd, Jr., Dianne. ,Vision, Values, and Courage: Leadership for
Quality Management. New York: The Free Press, 1994
5. Oates, D., Leadership: The Art of Delegation, Century Bussiness Books: London, 1993.
6. “Empowerment, a leap of faith?”Management Training, Agustus, 1993
7. Bowen, D.E. dan Lawler, E.E.,”The Empowerment of Service Workers:What, Why, How,
and When,”Sloan Management Review,Spring ,1992, Volume 33,no. 3.
8. Frey, R.,”Empowermrnt or else,.”Harvard Bussiness Review,September-Oktober, 1993
9. Greenberg, Jerald., Managing Bahavior in Organizations, Fisher College of Bussiness
The Ohio State University, Pearson Prentce Hall, 2005

16

Anda mungkin juga menyukai