Anda di halaman 1dari 38

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengkajian stok meliputi penggunaan berbagai perhitungan statistik dan

matematik untuk membuat dugaan kuantitatif mengenai reaksi dari berbagai

populasi ikan terhadap beberapa alternatif pengelolaan. Orientasi utama dari

pengkajian stok adalah untuk melangkah lebih jauh dari berbagai prediksi

kuantitatif dan harus mampu memprediksi produksi beserta kisaran nilainya,

berbagai risiko yang mungkin ditimbulkan dari adanya penangkapan yang

berlebihan terhadap berbagai populasi induk yang sedang memijah (spawning

population), dan perlunya membiarkan ikan tumbuh sampai ukuran tertentu

sebelum ditangkap. Pengkajian stok berperan penting dalam berbagai hal untuk

perkembangan perikanan, diantaranta menyelaraskan (fine tunning) sistem

perikanan dengan produksi yang lebih tinggi, mengembangkan berbagai rencana

untuk rehabilitasi stok terutama bila tahap perkembangan awal menghasilkan

penangkapan berlebih (Syamsiyah, 2010).

Ikan biji nangka (Upeneus moluccensis Blkr.) termasuk ke dalam jenis

ikan demersal. Sebagai ikan konsumsi, ikan ini bernilai kurang ekonomis

dibandingkan beberapajenis ikan demersal lainnya. Ikan ini banyak digunakan

sebagai bahan baku pakan dalam budidaya udang dan ikan. Ikan biji nangka di

laut Cina Selatan hidup pada kedalaman 50 - 110 m. Kedalaman optimalhabitat

ikan biji nangka (famili Mullidae) berkisar 40-60 m. Hasil survei dengan trawl

oleh Direktorat Jenderal Perikanan di perairan sekitar Bengkulu, Selat Sunda dan

Laut Jawa menunjukkan bahwa genus Upeneus umumnya tertangkap di perairan


2

yang dangkal (10-39 m), meskipun teftangkap juga pada kedalaman antara 100-

159 m dan 190-300 m. Akan tetapi di perairan dalam hasil tangkapannya sedikit.

Kebanyakan ikan biji nangka hidup di dasar perairan dengan jenis substrat

berlurnpur atau lumpur bercampur dengan pasir, namun ditemukan pr-rla adanya

ikan biji nangka yang mencari makan sampai di daerah karang (Sjafei, 2001).

Pada sirip dorsal ikan biji nangka terdapat 8 jari-jari keras dan 9 jari-jari

lemah, sirip anal terdapat 1 jari-jari keras dan 7 jari-jari lemah, sirip pektoral

terdapat 15-16 jari-jari lemah. Jumlah sisik pada lateral line sebanyak 34-37 buah

sisik (hingga pada pangkal ekor). Tubuh tertutup oleh sisik stenoid. Tinggi badan

pada sirip pertama hingga sirip terakhir bagian dorsal kurang lebih 29-30 % dari

panjang standarnya (SL), tinggi pada bagian ekor hingga peduncle sekitar 11-12

% dari panjang standarnya, dan tinggi maksimum kepala adalah 23-35 % dari

panjang standarnya. Panjang maksimum ikan biji nangka yang tertangkap di alam

adalah 230 mm (Syamsiyah, 2010).

Umur ikan bisa ditentukan dari sebaran frekuensi panjang melalui analisis

kelompok umur karena panjang ikan dari umur yang sama cenderung membentuk

suatu sebaran normal. Dengan mengelompokkan ikan dalam kelas-kelas panjang

dan menggunakan modus panjang kelas tersebut bisa diketahui kelompok umur

ikan. Untuk menghitung pertumbuhan atau laju pertumbuhan dapat digunakan

hasil identifikasi kelompok umur. Penggunaan analisis frekuensi panjang dalam

bidang perikanan, untuk memperoleh dugaan parameter pertumbuhan yaitu

panjang teoritis, koefisien pertumbuhan, dan umur ikan (Syamsiyah, 2010).

Distribusi Frekuensi adalah penyusunan data dalam bentuk kelompok

mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar berdasarkan kelas-kelas interval dan
3

kategori tertentu. Manfaat penyajian data dalam bentuk Distribusi Frekuensi

adalah untuk menyederhanakan penyajian data sehingga menjadi lebih mudah

untuk dibaca dan dipahami sebagai bahan informasi. Tabel Distribusi Frekuensi

disusun bila jumlah data yang akan disajikan cukup banyak, sehingga apabila

disajikan dengan menggunakan tabel biasa menjadi tidak efektif dan efisien serta

kurang komunikatif (Setyawan, 2013).

Model Von Bertalanffy adalah model yang digunakan untuk mengetahui

pertumbuhan ikan dari panjang minimum sampai panjang maksimum dari dua

proses berlawanan yaitu anabolisme dan katabolisme. Proses anabolisme

merupakan sistesis protein, sedangkan proses katabolisme merupakan

perombakan protein. Model Von Bertalanffy juga digunakan untuk mengetahui

parameter populasi ikan serta untuk mengetahui parameter pertumbuhan ikan


-k (t-to)
dirumuskan dalam Lt = L∞ (1 – exp ) dengan keterangan Lt = Panjang ikan

pada umur ke t, L∞ = Panjang Infinitif, K = Koefisien pertumbuhan (per hari), t 0

(Dugaan umur teoritis ikan pada panjang ke nol (Anisyah, 2016).

Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan mortalitas

penangkapan (F) terhadap mortalitas total (Z). Perhitungan laju eksploitasi

digunakan untuk menduga jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan

jumlah total ikan yang mati karena semua factor baik factor alami maupun faktor

penangkapan (Pauly, 1984): Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi

optimum adalah: Foptimum = M dan Eoptimum = 0,5. Nilai Eksploitasi optimal

adalah 0,5. Sehingga jika nilai eksploitasi lebih dari 0,5 maka dapat dikatakan

indikasi dari kondisi lebih tangkap terutama akibat penangkapan

(Yuanda et al., 2015).


4

Pengelolaan sumberdaya perikanan menunjuk pada makna tanpa

melakukan penangkapan sama sekali belum tentu dapat mengamankan stok

sumberdaya ikan di lautan, akan tetapi dalam kondisi yang berkesinambungan

dapat dilakukan penangkapan ikan dalam volume penangkapan terbesar (MSY :

Total Potensi Lestari), sehingga kegiatan penangkapan dan kegiatan 15 pecegahan

dalam rangka mempertahankan volume sumberdaya alam di lautan dapat

berlangsung secara berkesinambungan. Beberapa informasi tersebut diantaranya,

proses-proses biologi dan ekonomi dari setiap perikanan (Syamsiyah, 2010).

Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Menduga pertumbuhan, laju mortalitas, dan laju eksploitasi ikan biji nangka.

2) Menentukan Hubungan Panjang bobot tubuh dan Faktor kondisi ikan biji

nangka di Perairan Utara Jawa

3) Merumuskan alternatif pengelolaan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan

Utara Jawa.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi biologi berupa laju

pertumbuhan, kisaran ukuran panjang ikan biji nangka yang tertangkap, hubungan

panjang bobot, mortalitas serta status stok ikan biji nangka yang dapat digunakan

sebagai dasar pertimbangan pengelolaan perikanan ikan biji nangka di Perairan

Utara Jawa.
5

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Biji Nangka (Upeneus moluccensis)

Gambar 1. Ikan Biji Nangka (Upeneus moluccensis)

Ikan Biji Nangka memiliki bentuk tubuh dengan ukuran kepala yang

relatif kecil serta mulut ramping yang moncong dan terdapat sepasang sungut

pada dagunya. Pada sirip dorsal berwarna coklat tua pada ujungnya. Pada tulang

punggung kedua sampai keempat kira-kira setengah dari panjang tubuh berwarna

merah muda, warna putih pada perut, dan terdapat dua garis kuning mengkilat

pada kedua sisi tubuh. Sirip anus (anal) dan sirip dada berwarna pucat. Warna

sirip ekor (caudal) kuning dan berbentuk cagak. Ikan Biji Nangka menmiliki

beberapa ciri khas, pada sirip dorsal ikan Biji Nangka terdapat 8 jari-jari keras dan

9 jari-jari lemah, sirip anal terdapat 1 jari-jarikeras dan 7 jari-jari lemah, sirip

pektoral terdapat 15-16 jari-jari lemah. Jumlah sisikpada lateral line sebanyak 34-

37 buah sisik (hingga pada pangkal ekor). Tubuhtertutup oleh sisik stenoid.

Tinggi badan bagian dorsal kurang lebih 29-30 % dari panjang standarnya (SL),

tinggi padabagian ekor hingga peduncle sekitar 11-12 % dari panjang standarnya,
6

dan tinggimaksimum kepala adalah 23-35 % dari panjang standarnya

(Syamsiyah, 2010).

Ikan Biji Nangka (U. moluccensis) di perairan Teluk Labuan, Banten

diperoleh ukuran pertama kali ikan Kuniran matang gonad sebesar 120 mm (ikan

jantan) dan 125 mm (ikan betina) spesies ikan yang sama (U. moluccensis) di

perairan Teluk Jakarta memperoleh ukuran pertama kali ikan Biji Nangka matang

gonad sebesar 173 mm (ikan jantan) dan 155 mm (ikan betina). Ukuran pertama

kali matang gonad ikan kuniran (U. moluccensis) di Teluk Antalya, Turki sebesar

110 mm untuk ikan betina dan 105 mm untuk ikan jantan. Ikan Biji Nangka

(U. moluccensis) di Teluk Iskenderun, Mediterania Timur diperoleh ukuran

pertama kali matang gonad ikan kuniran betina dan jantan adalah 110 mm

(Husna, 2012).

Ikan Biji Nangka termasuk ikan demersal yang bersifat berkelompok

(schooling), hidup di perairan payau dan laut pada kedalaman rata-rata 10-90

m.Banyak ditemukan di perairan pantai hingga wilayah estuari. Kebanyakan ikan

Biji Nangka hidup di dasar perairan dengan jenis substrat berlumpur dengan pasir,

namun ditemukan pula adanya ikan Biji Nangka yang mencari makan sampai di

daerah karang, ikan Biji Nangka dapat menjadi bottom feeder (pemakan biota

yang berada di dasar perairan) yang baik dengan jenis substrat berpasir (white

sand) atau bahkan sampai di sekitar gugusan karang (Syamsiyah, 2010).

Ikan Biji Nangka (Upeneus moluccensis) merupakan jenis ikan yang

memiliki bentuk badan memanjang sedang, pipih samping dengan penampang

melintang bagian depan punggung, serta ukuran maksimum tubuhnya yang dapat

mencapai 20 cm. Ikan ini banyak ditemukan di perairan pantai. Kebiasaan


7

makanan ikan Biji Nangka adalah 59,49% jenis udang, 14,51% ikan-ikan kecil,

dan 13,51% moluska. Ikan Biji Nangka (Mullidae) termasuk ke dalam jenis ikan

demersal. Sebagai ikan konsumsi, ikan ini bernilai kurang ekonomis dibandingkan

beberapa jenis ikan demersal lainnya. Ikan ini banyak digunakan sebagai bahan

baku pakan dalam budidaya udang dan ikan. Ikan Biji Nangka tersebar hampir di

seluruh wilayah perairan Indonesia. Seperti yang diketahui, kelompok ikan

demersal mempunyai ciri-ciri bergerombol tidak terlalu besar, aktifitas relatif

rendah dan gerak ruaya juga tidak terlalu jauh. Sehingga dari ciri-ciri yang

dimiliki tersebut, kelompok ikan demersal cenderung relatif rendah daya tahann

(Triana, 2011).

Hubungan Panjang Bobot

Hubungan panjang bobot ikan merupakan salah satu informasi pelengkap

yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber daya perikanan, misalnya

dalam penentuan selektifitas alat tangkap agar ikan–ikan yang tertangkap hanya

yang berukuran layak tangkap. Pengukuran panjang–berat ikan bertujuan untuk

mengetahui variasi berat dan panjang tertentu dari ikan secara individual atau

kelompok–kelompok individu sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan,

kesehatan, produktifitas dan kondisi fisiologis termasuk perkembangan gonad.

Analisa hubungan panjang–berat juga dapat mengestimasi faktor kondisi atau

sering disebut dengan index of plumpness (Mulfizar et al., 2012).

Nilai pangkat (b) dari analisis tersebut dapat menjelaskan pola

pertumbuhan. Nilai b yang lebih besar dari 3 menunjukkan bahwa tipe

petumbuhan ikan tersebut bersifat allometrik positif, artinya pertumbuhan bobot

lebih besar dibandingkan petumbuhan panjang. Nilai b lebih kecil dari 3


8

menunjukkan bahwa tipe pertumbuhan ikan bersifat allometrik negatif, yakni

pertumbuhan panjang lebih besar daripada pertumbuhan bobot. Jika nila b sama

dengan 3, tipe pertumbuhan ikan bersifat isometrik yang artinya pertumbuhan

panjang sama dengan petumbuhan bobot. Perhitungan hubungan panjang dan

bobot antara ikan jantan dan betina sebaiknya dipisahkan, karena umumnya

terdapat perbedaan hasil antara ikan jantan dan ikan betina (Damayanti, 2010).

Bervariasinya nilai b dari setiap spesies ikan dipengaruhi oleh: spesies

ikan itu sendiri, kondisi perairan, jenis ikan, tingkat kematangan gonad, tingkat

kedewasaan ikan, musim dan waktu penangkapan. Berdasarkan uji t terhadap

koefisien regresi (b) dari persamaan hubungan panjang total dengan bobot tubuh

menunjukkan berbeda dengan 3. Berarti pola pertumbuhan ikan bersifat

allometrik negative yang menunjukkan bahwa, pertambahan panjang total lebih

cepat dari pertambahan bobot tubuh dengan derajat hubungan yang sangat kuat

sekali dengan nilai r antara 0,903 –0,907. Berarti besar sekali pengaruh

pertambahan panjang total terhadap pertambahan bobot tubuh yaitu sebesar 81,5 –

82,3 %,sedangkan sisanya merupakan faktor lingkungan dimanat hitung > t table

α 0,05 (Pulungan et al., 2012).

Hubungan panjang dan bobot ikan dianalisis untuk mengetahui pola

pertumbuhannya. Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan dapat ditentukan dari

nilai konstanta b hubungan panjang berat ikan tersebut. Jika b=3, maka

pertumbuhannya bersifat isometrik (pertambahan panjang sebandingdengan

pertambahan berat). Jika b≠3 maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik

(pertambahan panjang tidak sebanding dengan pertambahan berat). Apabila

b>3,maka hubungannya bersifat allometrik positif dimana pertambahan berat


9

lebih dominan dari pertambahanpanjangnya, sedangkan jika b<3, maka hubungan

yangterbentuk bersifat allometrik negatif dimana pertambahanpanjang lebih

dominan dari pertambahan beratnya. Untuk menentukan bahwa nilai b

berbedanyata atau tidak dengan 3, maka digunakan uji-t. Faktor-kondisi ikan

umumnya antara 0,5-2,0 untuk pola pertumbuhan isometrik (Wujdi et al., 2012).

Faktor Kondisi

Analisa hubungan panjang–berat juga dapat mengestimasi faktor kondisi

atau sering disebut dengan index of plumpness, yang merupakan salah satu hal

penting dari pertumbuhan untuk membandingkan kondisi atau keadaan kesehatan

relatif populasi ikan atau individu tertentu. Berat relatif (Wr) dan koefesien (K)

faktor kondisi di gunakan untuk mengevaluasi faktor kondisi dari setiap individu.

Berat relatif (Wr) di tentukan berdasarkan persamaan Rypel & Richter (2008)

sebagai berikut: Wr = (W/Ws) x 100 Wr adalah berat relatif, W berat tiap-tiap

ikan, dan Ws adalah berat standar yang diprediksi dari sampel yang sama karena

dihitung dari gabungan regresi panjang-berat melalui jarak antar spesies :

Ws = a Lb Koefesien kondisi Fulton (K) ditentukan dengan rumus sebagai

berikut: K= WL-3 x 100 dimana K adalah faktor kondisi, W adalah berat ((g), L

adalah panjang (mm) dan -3 adalah koefesien panjang untuk memastikan bahwa

nilai K cenderung bernilai 1. Faktor kondisi merupakan akumulasi lemak dan

perkembangan gonad. Faktor kondisi secara tidak langsung menunjukkan kondisi

fisiologis ikan yang menerima pengaruh dari faktor intrinsik (perkembangan

gonad dan cadangan lemak) dan faktor ekstrinsik (ketersediaan sumberdaya

makanan dan tekanan lingkungan) (Mulfizar et al., 2012).


10

Nilai faktor kondisi ikan selain dipengaruhi oleh tingkat kematangan

gonad juga dapat dipengaruhi oleh bobot makanan yang terdapat dalam saluran

pencernaan. Selain itu ukuran dan umur ikan serta kondisi lingkungan dimana

ikan itu berada dapat juga mempengaruhi nilai faktor kondisi ikan. Nilai faktor

kondisi (kemontokan ikan) akan bervariasi untuk setiap spesies ikan. Bahwa ikan

yang memiliki nilai faktor kondisi 1 –3 menandakan ikan tersebut bentuk

tubuhnya kurang pipih (Pulungan et al., 2012).

Faktor kondisi menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi

kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Penggunaan nilai faktor kondisi

secara komersiil mempunyai arti penting menentukan kualitas dan kuantitas

daging ikan yang tersedia untuk dapat dimakan. Ikan-ikan yang badannya kurang

pipih atau montok memiliki harga K berkisar antara 1-3. perbedaan nilai faktor

kondisi dipengaruhi oleh kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad,makanan,

jenis kelamin, dan umur ikan (Wujdi et al., 2012).

Distribusi Frekuensi

Analisis hubungan panjang dan bobot merupakan aspek penting dalam

mempelajari biologi ikan, fisiologi, ekologi, dan merupakan dasar yang digunakan

untuk mengetahui informasi tentang faktor kondisi ikan serta mendeterminasi sifat

pertumbuhan ikan apakah isometrik atau alometrik. Hubungan panjang dan bobot

juga dapat digunakan untuk mendeterminasi bobot dan biomassa jika hanya

ukuran panjang yang diperoleh sebagai indikasi perbandingan parameter

pertumbuhan dari daerah yang berbeda. Analisis hubungan panjang dan bobot

dimaksudkan untuk mengukur variasi bobot harapan untuk panjang tertentu dari

ikan secara individual atau kelompok-kelompok individu sebagai suatu petunjuk


11

tentang kegemukan, kesehatan, perkembangan gonad, dan sebagainya. Kegunaan

lain dari analisis hubungan panjang dan bobot yaitu dapat digunakan untuk

melakukan estimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness,

yang merupakan salah satu derivat penting dari pertumbuhan untuk

membandingkan kondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau

individu tertentu (Faizah, 2010).

Data yang menggambarkan hubungan panjang berat dari ikan perlu

diketahui dalam upaya untuk pengembangan perikanan secara umum. Hubungan

panjang-berat menggambarkan hubungan dinamika populasi ikan, pola

pertumbuhan stok ikan, perkembangan gonad dan kondisi umum ikan,

perbandingan bentuk tubuh dari kelompok ikan yang berbeda. Data ikan

membantu untuk menentukan hubungan secara matematik antara dua variabel dan

menghitung variasi dari berat pada panjang setiap individu ikan. Dalam

pengelolaan perikanan, hubungan panjang-berat berguna baik untuk penggunaan

penelitian dasar maupun aplikasi. Adapun informasi data hubungan panjang dan

berat ikan dapat dimanfaatkan untuk manajemen dan konservasi suatu perairan

(Sasmita, 2018).

Analisis distrtibusi ukuran panjang ikan dilakukan dengan pendekatan

historgram distribusi panjang, kelompok ukuran panjang dilakukan dengan

pengelompokkan ke dalam kelas-kelas ukuran panjang tubuh. Panjang tubuh

sangat berhubungan dengan berat tubuh. Hubungan panjang dengan berat seperti

hubungan kubik yaitu bahwa berat sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Namun,

hubungan yang terdapat pada ikan sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan

panjang ikan berbeda-beda. Hubungan panjang dan berat dihitung dalam suatu
12

bentuk rumus yang umum yaitu: w= aLb Dimana: W = Berat L = Panjang a & b =

konstanta Untuk mendapatkan nilai konstanta a dan b maka hubungan panjang

dan berat rumus berat dan panjang ditranformasikan ke dalam logaritma, maka

akan di dapatkan persamaan : log W = log a + b log L (Susanto, 2017).

Kohort

Kurva normal yang menggambarkan jumlah kohort dari sebaran frekuensi

panjang. Kohort adalah sekelompok individu ikan dari jenis yang sama dan

berasal dari tempat pemijahan yang sama. Terdapat 4 kohort, ikan tongkol

mengalami pertumbuhan panjang, dilihat dengan pergeseran ke arah kanan dan

perubahan ukuran panjang ikan untuk tiap waktu pengambilan contoh

(Dewi et al., 2013).

Beberapa penelitian lainnya menyatakan bahwa dalam satu stok jenis-jenis

ikan pelagis kecil memiliki kohort umumnya lebih dari satu. Jumlah kohort lebih

dari dua pada penelitian ini bisa saja terjadi, tetapi pada kohort dengan ukuran

panjang yang kecil (ikan-ikan muda) masih belum tertangkap nelayan pukat

cincin. Pola rekrutmen pertama yang puncaknya terjadi pada bulan Februari

diduga berasal dari pemijahan bulan Juni–Juli pada tahun sebelumnya, sedangkan

rekrutmen kedua yang puncaknya terjadi pada bulan Juli diduga berasal dari

musim pemijahan pada bulan Februari pada tahun yang sama. Terjadinya

rekrutmen sebanyak dua kali dalam setahun menyebabkan sumber daya ikan

memiliki 2 kelompok umur (kohort) (Wudji, 2013).

Kelompok umur diduga melalui analisis sebaran frekuensi panjang karena

frekuensi panjang ikan umumnya berasal dari umur yang sama dan cenderung

akan membentuk sebaran normal. Berdasarkan metode normal separation yang


13

terdapat pada paket program Fisat II dapat menggambarkan jumlah kohort dari

sebaran frekuensi panjang (Tangke, 2014).

Analisis kelompok ukuran ikan menunjukkan terdapat tiga kelompok umur

dan hal ini menunjukkan terdapat tiga kohort atau generasi yang hidup bersama

dalam satu waktu di lingkungan perairan yang sama. Menurut Suwarso dan

Hariati (2002) yang menyatakan bahwa kelompok ukuran (kohort) yaitu

sekelompok individu ikan dari jenis yang sama yang berasal dari pemijahan yang

saman (Utami et al., 2018).

Pertumbuhan Von Bertalanffy

Model Von Bertalanffy adalah model pertumbuhan yang berkaitan dengan

panjang atau ukuran suatu organisme yang merupakan selisih dari dua proses

berlawanan yaitu katabolisme dan anbolisme. Parameter koefisien pertumbuhan

sangat berperan penting dalan model von bertalanffy. Sementara asumsi koefisien

pertumbuhan b konstanta, hanya dapat menggambarkan dinamika pertumbuhan

ikan dalan lingkungan yang konstan. Sehingga jika koefisien pertumbuhan b

diganti dengan fungsi yang bervariasi menurut waktu yaitu b(t), maka akan

memberikan realisme biologi tambahan dari model von bertalanffy ke dalam suatu

populasi yang memungkinkan tingkat pertumbuhan ikan dengan variasi waktu

(Anisyah, 2016).

Model pertumbuhan yang berhubungan dengan panjang ikan, dimana

rumus ini digunakan untuk menunjukkan pertumbuhan panjang ikan pada umur

satu tahun lebih muda, artinya pertumbuhan ikan pada umur tertentu tidak

mengalami perubahan panjang pada satu tahun kemudian. Yang rumusnya

dikemukaan oleh Von Bertalanffy kemudian disebut Model Von Bertalanffy


14

adalah sebagai berikut : Lt = L∞ ( 1 – e [– K ( t-t0)]) Keterangan: Lt = Panjang

ikan pada saat umur t (satuan waktu) L∞ = Panjang maksimum secara teoritis

(panjang asimtotik) K = Koefisien pertumbuhan (per satuan waktu) t0 = umur

teoritis pada saat panjang sama dengan nol (Yuanda, 2015).

Kurva pertumbuhan merupakan pertumbuhan panjang dan bobot yang

dihubungkan dengan waktu tertentu. Pertumbuhan ilmiah autokatalitik yaitu

pertumbuhan pada fase awal hidupnya lambat kemudian cepat lalu kembali

lambat. Titik inflasi pada kurva yaitu titik perubahan fase penaikan ke fase

perlambatan. Kurva pertumbuhan berbentuk signoid mewakili pertumbuhan

populasi dari berbagai kelompok umur yang diambil dari tahun ke tahun, dimana

pengukuran dilakukan pada setiap tahun. Antara satu titik dengan titik yang

lainnya dapat menggunakan garis lurus (Anisyah, 2016).

Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Mortalitas 

terdiri dari mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Mortalitas  alami 

adalah  mortalitas  yang  terjadi  akibat  selain  penangkapan  meliputi  berbagai 

peristiwa  seperti  kematian,  predasi,  penyakit,  dan  usia  tua.  Laju  mortalitas 

alami  berkaitan  dengan  nilai  parameter  pertumbuhan  von Bertalanffy  yaitu K 

dan  L∞.  Ikan  yang  pertumbuhannya  (K)  tinggi  mempunyai  nilai  M  tinggi 

dan  sebaliknya.  Nilai  M 

berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit daripada

ikan kecil .  Sedangkan  mortalitas  penangkapan  adalah mortalitas  yang 

terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan. Laju mortalitas  penangkapan 

merupakan  suatu  fungsi  dari  upaya  penangkapan,  yang  mencakup jumlah, 


15

jenis,  efektivitas  dari  penangkapan  dan  waktu  yang  digunakan  untuk 

melakukan penangkapan (Sukamto, 2010).

Laju eksploitasi (E) merupakan bagian dari suatu kelompok umur yang

akan ditangkap selama ikan tersebut hidup, sehingga laju eksploitasi juga

didefinisikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah

total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alami maupun faktor

penangkapan. Stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan

(F) sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan

0.5. Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui

untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan

(Syamsiyah, 2010).

Laju eksploitasi optimal sumber daya ikan sebesar 0,5 yang berarti

besarnya mortalitas alami sama dengan mortalitas penangkapan. Nilai E yang

lebih besar dari 0,5 mengindikasikan bahwa laju eksploitasi sumber daya ikan

berada pada kondisi tangkap lebih (over-eksploitasi). Keadaan mengatakan bahwa

sudah terlihat adanya gejala tangkap lebih di perairan. Kondisi tersebut

mengindikasikan pula bahwa penurunan stok ikan disebabkan oleh tingginya

kegiatan penangkapan (Octoriani, 2015).

Rekomendasi Pengelolaan

Pengelolaan sumberdaya ikan saat ini sangat minim dukungan data ilmiah

terkait denan aspek-aspek diantaranya biologi ikan, dinamika populasi,

lingkungan akuatik dan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan.

Sumberdaya ikan selar dapat tetap lestari apabila dilakukan pengelolaan dengan

baik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengelola sumberdaya ikan
16

yang berkelanjutan. Sumberdaya ikan selar saat ini dalam kondisi terancam karena

terus menerus ditangkap oleh nelayan sepanjang tahun (Santoso et al., 2017).

Pengelolaan sumberdaya perikanan menunjuk pada makna tanpa

melakukan penangkapan sama sekali belum tentu dapat mengamankan stok

sumberdaya ikan di lautan, akan tetapi dalam kondisi yang berkesinambungan

dapat dilakukan penangkapan ikan dalam volume penangkapan terbesar (MSY :

Total Potensi Lestari), sehingga kegiatan penangkapan dan kegiatan pecegahan

dalam rangka mempertahankan volume sumberdaya alam di lautan dapat

berlangsung secara berkesinambungan. Untuk menghadapi penipisan sumberdaya

perikanan dan untuk merumuskan progam pengelolaan yang berhasil diperlukan

beberapa informasi. Beberapa informasi tersebut diantaranya, proses-proses

biologi dan ekonomi dari setiap perikanan (Syamsiyah, 2010).

Pengelolaan perikanan terhadap jenis ikan tertentu di suatu perairan

dimaksudkan untuk meningkatkan produksi ikan dan mempertahankannya pada

tingkat hasil yang stabil mendekati produksi optimumnya. Ketersediaan informasi

tentang aspek biologi memiliki arti penting sebagai upaya dalam pengelolaan

sumberdaya ikan, karena dikhawatirkan sumberdaya ikan pada masa mendatang

akan semakin menurun dengan penangkapan yang dilakukan sepanjang tahun.

Beberapa aspek biologi yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi ukuran ikan

yang tertangkap yakni panjang minimum dan maksimum, ukuran pertama kali

matang gonad (Lm), ukuran pertama kali ikan tertangkap (Lc), tipe pemijahan,

tingkat kematangan gonad (TKG), hubungan panjang-berat serta bentuk

pertumbuhan (Santoso et al., 2017).


17

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)

Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur dengan posisi koordinat

secara geografis pada 060 53’ 30.81” LS dan 1120 17’ 01.22” BT. Pengumpulan

data primer dilakukan pada tanggal 7 Februari 2010 sampai 27 Maret 2010.

Sedangkan pengumpulan data sekunder dilaksanakan pada bulan Januari 2010

sampai dengan bulan Februari 2010. Peta lokasi daerah penangkapan ikan biji

nangka (U. sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang didaratkan di

PPN Brondong, Lamongan, Jawa Timur.

Gambar 2. Lokasi Penangkapan Ikan Biji Nangka (Upeneus sulphureus)

Pengumpulan Data Penelitian


Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan

sekunder. Pengumpulan data primer yang dilakukan mencakup pengukuran

panjang dan bobot ikan contoh dengan interval waktu 8 hari selama 2 bulan,

contoh ikan biji nangka yang digunakan sebanyak 1 050 ekor. Ikan biji nangka

diperoleh dari beberapa nelayan yang mendaratkan ikan tersebut di PPN

Brondong. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada saat pengambilan


18

contoh, ikan biji nangka yang ditangkap di daerah Bawean. Proses pengambilan

ikan contoh dilakukan secara acak dari beberapa nelayan yang ada. Panjang ikan

biji nangka yang diukur adalah panjang total menggunakan meteran dengan

ketelitian 1 mm. Sedangkan bobot ikan biji nangka ditimbang dengan timbangan

dengan ketelitian 0.1 gram. Pengambilan contoh ikan biji nangka di PPN

Brondong.

Pengumpulan data dan informasi lainnya dilakukan dengan cara observasi

dan wawancara terhadap nelayan ikan biji nangka. Informasi yang diperoleh dari

hasil wawancara berupa data unit penangkapan ikan biji nangka (pemilik, mesin,

kapal, nelayan atau anak buah kapal dan alat tangkap), kegiatan operasi,

penangkapan, daerah penangkapan, dan biaya operasi penangkapan. Informasi ini

kemudian akan digunakan untuk mendeskripsikan kegiatan perikanan biji nangka

di Pantai Utara Jawa yang didaratkan di PPN Brondong.

Analisis Data

Hubungan panjang bobot

Analisis parameter hubungan panjang dan bobot dilakukan untuk

memperoleh nilai b yang digunakan untuk mengetahui pola pertumbuhan dari

suatu spesies ikan. Penentuan analisis hubungan panjang dan bobot dapat

dilakukan dengan rumus sebagai berikut (Effendie 1979).

W = aLb

Keterangan:

W = bobot ikan biji nangka (gram)


19

L = panjang ikan biji nangka (mm)

a dan b = konstanta yang didapatkan dari perhitungan regresi

Nilai b didapat dari rumus berikut:

Nilai a didapat dari rumus berikut:


a = 10b0

Pola hubungan panjang dan bobot dapat diduga dari nilai konstanta b

dengan hipotesis:

H : ß=3, bersifat isometrik (pertumbuhan panjang sebanding dengan

pertumbuhan bobot).

H0 1 : ß≠3, bersifat allometrik, yaitu:a) Bila nilai ß>3, allometrik positif

(pertumbuhan bobot lebih dominan) b) Bila nilai ß<3, allometrik

negatif (pertumbuhan panjang lebih dominan).

Setelah mengetahui nilai ß maka dilakukan uji lanjut sebagai berikut:

t hitung =|3|
S

Nilai Sb dapat dihutung menggunakan rumus sebagai berikut:

Faktor kondisi

Analisis faktor kondisi ditentukan berdasarkan jenis kelamin ikan jantan

dan betina yang sudah diketahui pola pertumbuhan dari nilai b hubungan

panjangdan bobot. Pola pertumbuhan ikan isometrik (b=3), maka analisis faktor

kondisi menggunakan rusmus sebagai berikut (Effendie 2002).

FK = W10^5
20

aLb
Keterangan:

K = faktor kondisi

W = bobot ikan biji nangka (gram)

L = panjang ikan biji nangka (mm)

Faktor kondisi ikan jika pola pertumbuhan allometrik (b<3 atau b>3),

maka dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

FK= W
aLb
Keterangan:

K = faktor kondisi

W = bobot ikan biji nangka (gram)

L = panjang ikan biji nangka (mm)

a dan b = koefisien pertumbuhan

Tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad

Musim pemijahan diduga dengan frekuensi tingkat kematangan gonad dan

indeks kematangan gonad menurut waktu pengamatan. Tingkat kematangan

gonad dilakukan dengan pengamatan perubahan yang terjadi pada gonad (FAO

1974). Penentuan IKG dilakukan dengan rumus (Effendie 1979) sebagai berikut:

IKG (%)= BG x 100%


BT

Keterangan:

BG = bobot gonad (gram)

BT = bobot total (gram)


21

Sebaran frekuensi panjang dan identifikasi kelompok umur

Sebaran frekuensi panjang dilakukan dengan analisis data frekuensi

panjang menggunakan program Microsoft Excel. Selanjutnya menurut Gayanilo

et al. (1994) in Fandri (2012), untuk membuat kurva sebaran normal

menggunakan nilai rata-rata panjang dan simpangan baku masing-masing

kelompok umur. Menurut ^ }, j =1,2..., G (G= banyaknya sebaran normal yang

bercampur) adalah fungsi Boer (1996), fungsi objektif yang digunakan dalam

pendugaan {kemungkinan maksimum (maximum likehood function).

Keterangan:
fi = frekuensi ikan biji nangka pada kelas panjang ke-i (i = 1, 2, ...,N).
µj = rata-rata panjang kelompok umur ke-j.
sj = simpangan baku panjang kelompok umur ke-j.
Pj = proporsi ikan biji nangka dalam kelompok umur ke-j (j =1, 2, .., G).
dengan ketentuan:

Fungsi diatas merupakan fungsi kepadatan sebaran normal dengan nilai

tengah dan simpangan baku merupakan titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi

objektif panjang digunakan untuk memperoleh { ^^ ^ } kemudian dapat

digunakan dalam menduga parameter pertumbuhan, dengan cara mencari turunan

pertama panjang masing-masing.


22

Parameter Pertumbuhan

Model pertumbuhan von Bertalanffy dapat digunakan untuk menduga

parameter pertumbuhan (Sparre dan Venema 1999), dengan persamaan sebagai

berikut:

Pendugaan nilai koefisien laju pertumbuhan K dan L diduga dengan

analisis frekuensi panjang ikan menggunakan metode ELEFAN I dalam software

FISAT II. Nilai t diperoleh melalui persamaan Pauly (1984).

Keterangan:

Lt = panjang ikan biji nangka pada saat umur t (mm)

L8 = panjang asimtotik ikan biji nangka (mm)

K = koefisien laju pertumbuhan (bulan)

t = umur ikan biji nangka (bulan)

t0 = umur ikan biji nangka pada saat panjang ikan sama dengan nol (bulan)

Ukuran pertama kali matang gonad (LM)

Metode Spearman-Karber digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan

pertama kali matang gonad (Udupa 1896) sebagai berikut:

Selang kepercayaan 95% bagi log Lm dibatasi sebagai berikut:

Antilog
23

Keterangan:

m = log panjang ikan pada kematangan gonad pertama

xk = nilai tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad

x = log pertambahan panjang pada nilai tengah

pi = proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i

ni = jumlah ikan pada kelas panjang ke-i

qi =1–p

Lm = panjang ikan pertama kali matang gonad

Ukuran pertama kali tertangkap (Lc)

Metode Beverton dan Holt (1957) in Sparre dan Venema (1999)

digunakan untuk menduga ukuran pertama kali ikan kembung tertangkap dengan

formula:

Keterangan:

SL = nilai dugaan

L = nilai tengah kelas panjang (mm)

a dan b = konstanta pada rumus kurva logistik

Lc = panjang ikan pertama kali tertangkap (mm)

Mortalitas dan laju eksploitasi


24

Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan
berdasarkan data komposisi panjang, sehingga diperoleh persamaan sebagai
berikut:

Keterangan:

M = mortalitas alami

L88 = panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy (mm)

K = koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy

T0 = umur ikan biji nangka pada saat panjang 0

T = rata-rata suhu permukaan air (°C).

Sedangkan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju eksploitasi (E)

ditentukan dengan rumus, yaitu:

F= Z-M

E= F
F+M

Keterangan:

M = laju mortalitas alami

F = laju mortalitas penangkapan

Z = mortalitas total

T = rata-rata suhu permukaan air (oC).


25

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil dari studi kasus ini adalah sebagai berikut:

Hubungan panjang bobot

Gambar 3. Hubungan panjang bobot total contoh ikan biji nangka

Berdasarkan grafik hubungan panjang bobot ikan biji nangka (Gambar 3)

diperoleh persamaan W = 0.0001 L2.47 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar

93%. Hal tersebut menunjukkan bahwa model dugaan mampu menjelaskan data

sebesar 93 %. Pola pertumbuhan ikan biji nangka yang di tangkap di Pantai Utara

Jawa Timur adalah allometrik negatif, artinya pertumbuhan panjang lebih cepat

dibandingkan pertumbuhan bobot


26

Tabel 1. Hubungan panjang bobot ikan biji nangka pada setiap pengambilan

contoh di Perairan Utara Jawa.

Pengambilan Contoh Waktu b R2 Pola Pertumbuhan

ke-
1 07 Februari 2010 2,52 0.89 allometrik negatif

2 15 Februari 2010 2,68 0.96 allometrik negatif

3 23 Februari 2010 2.73 0.93 allometrik negatif

4 03 Maret 2010 2.51 0.90 allometrik negatif

5 11 Maret 2010 2.64 0.96 allometrik negatif

6 19 Maret 2010 2.39 0.93 allometrik negatif

7 27 Maret 2010 2.40 0.89 allometrik negatif

Berdasarkan tabel di atas, diperoleh pola pertumbuhan ikan biji nangka p

ada pengambilan contoh I hingga VII adalah allometrik negatif yang

menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang lebih cepat dari pada pertumbuhan

bobot.
27

Sebaran frekuensi panjang

Ikan biji nangka yang diamati selama penelitian berjumlah 1 050 ekor.

Hasil sebaran frekuensi panjang ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh

disajikan pada Gambar 2.

Gambar 4 . Sebaran frekuensi panjang ikan biji nangka


28

Kohort

Gambar 5. Kelompok ukuran panjang ikan biji nangka

Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa pada setiap waktu pengambilan

contoh menghasilkan kelompok ukuran panjang ikan contoh yang berbeda-beda.

Pengambilan contoh I diperoleh tiga kelompok ukuran panjang. Pengambilan

contoh II, III, dan IV diperoleh empat kelompok ukuran panjang. Pengambilan

contoh V dan VI diperoleh tiga kelompok ukuran panjang. Dan pada

pengambilan contoh VII diperoleh empat kelompok ukuran panjang.


29

Tabel 2. Sebaran kelompok ukuran ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa

Tanggal Kelompok Nilai Tengah Indeks Sparasi


Ukuran
07 Februari 2010 1 124.50 ± 10.81
2 147.45 ± 5.28 2,85
3 167.22 ± 7.48 3,10
15 Februari 2010 1 145.50 ± 3.91 2
2 173.49 ± 6.54 3 5.36
3 201.36 ± 6.01 4 4.44
4 230.85 ± 6.80 4.60
23 Februari 2010 1 142.91 ± 9.64
2 178.66 ± 8.17 4.01
3 213.98 ± 6.76 4.73
4 259.50 ± 8.33 6.03
03 Maret 2010 1 169.99 ± 9.77
2 201.48 ± 7.16 3 3.72
3 233.67 ± 6.03 4.88
11 Maret 2010 1 164.62 ± 9.93
2 211.96 ± 7.05 5.58
3 233.69 ± 2.93 4.35
19 Maret 2010 1 163.81 ± 15.15
2 234.67 ± 6.87 3 6.44
3 264.35 ± 5.50 4.35
27 Maret 2010 1 148.70 ± 11.76
2 175.53 ± 5.12 3.18
3 206.31 ± 5.12 4.35
4 260.82 ± 7.63 6.54

Hasil analisis parameter pertumbuhan ikan biji nangka yaitu koefisien

pertumbuhan (K) dan panjang infinitif (L∞,) serta umur teoritis ikan pada saat

panjang sama dengan nol (t0) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Parameter pertumbuhan berdasarkan model von Bertalanfy (L∞, K) dan

t0 ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa (Februari-Maret 2010)

Parameter Nilai
K (per tahun) 0.28
L ∞ (mm) 313.43
to (tahun) -0.55 -0.55
30

Berdasarkan Tabel 4 diperoleh persamaan pertumbuhan Von Bertallanfy

ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Timur sebagai berikut.

Lt=313.43(1-e (0.28(t+0.55))

Kurva pertumbuhan ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Timur

(Gambar 9) diperoleh dengan memplotkan umur (bulan) dan panjang total ikan

(mm) sampai ikan berumur 30 bulan.

Gambar 6. Kurva pertumbuhan ikan biji nangka

Mortalitas dan laju eksploitasi

Pada suatu stok yang telah dieksploitasi perlu untuk membedakan

mortalitas penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas total (Z) adalah

penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M).

Ketiga jenis mortalitas tersebut perlu dianalisis. Pendugaan mortalitas total (Z)

ikan biji nangka dilakukan dengan kurva hasil penangkapan yang dilinierkan

berbasis data panjang (length converted catch curve), seperti yang disajikan pada

Gambar 7.
31

Gambar 7. Kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang : titik

yang digunakan dalam analisis regresi untuk menduga Z)

Berdasarkan kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang

diperoleh dugaan laju mortalitas total (Z) = -b. Dugaan mortalitas alami (M) ikan

biji nangka dihitung menggunakan persamaan Pauly (1984) dengan nilai T yaitu

rata-rata suhu perairan Pantai Utara Jawa Timur sebesar 28.4 0C. Menurut Pauly

(1984), faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata

perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L∞) dan laju

pertumbuhan (K). Hasil analisis dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan

biji nangka disajikan pada Tabel 4

Tabel 4. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan biji nangka di Peariran Utara

Jawa

Laju Nilai per (tahun)


Mortalitas Total (Z) 2.18
Mortalitas Alami (M) 0.32
Mortalitas Penangkapan (F) 1.86
Eksploitasi (E) 0.85
32

Pembahasan

Hubungan Panjang Bobot Tubuh

Analisis mengenai hubungan panjang bobot dimanfaatkan untuk

mengetahui pola pertumbuhan suatu organisme dan kelompok umur. Hasil

perhitungan hubungan panjang dan bobot pada gambar 3 memberikan persamaan

W = 0.0001 L2.47 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 93%. Hal tersebut

menunjukkan bahwa model dugaan mampu menjelaskan data sebesar 93 %. Pola

pertumbuhan ikan biji nangka yang di tangkap di Pantai Utara Jawa Timur adalah

allometrik negatif, artinya pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan

pertumbuhan bobot dimana b≠3 sehingga memiliki pertumbuhan alometrik. Hal

ini sesuai dengan Wudji et al (2012) yang menyatakan bahwa untuk mengetahui

pola pertumbuhan ikan dapat ditentukan dari nilai konstanta b hubungan panjang

berat ikan tersebut. Jika b=3, maka pertumbuhannya bersifat isometrik

(pertambahan panjang sebandingdengan pertambahan berat). Jika b≠3 maka

hubungan yang terbentuk adalah allometrik (pertambahan panjang tidak

sebanding dengan pertambahan berat). Apabila b>3,maka hubungannya bersifat

allometrik positif dimana pertambahan berat lebih dominan dari

pertambahanpanjangnya, sedangkan jika b<3, maka hubungan yangterbentuk

bersifat allometrik negatif dimana pertambahanpanjang lebih dominan dari

pertambahan beratnya.

Sebaran frekuensi panjang

Ikan biji nangka yang diamati selama penelitian berjumlah 1 050 ekor.

Analisis sebaran frekuesi panjang dapat digunakan untuk menduga kelompok

umur ikan. Hal ini disebabkan histogram frekuensi panjang ikan dapat
33

menggambarkan beberapa kelompok umur yang masing-masing menyebar

menurut sebaran normal. Jumlah ikan yang diambil berbeda beda setiap bulannya

bergantung pada hasil tangkapan nelayan. Pada Gambar 4 terdapat pergeseran

modus kelas panjang dari pengambilan contoh I hingga pengambilan contoh VII.

Pergeseran yang terjadi cenderung ke arah kanan dan membentuk kelompok

ukuran baru pada setiap pengambilan contoh yang dilakukan. Pergeseran tersebut

menunjukkan adanya pertumbuhan pada setiap pengambilan contoh. Pada

pengambilan contoh V hingga VII terlihat munculnya kelompok-kelompok

ukuran baru di bagian kiri, hal ini diduga adanya individuindividu baru yang

masuk (rekruitment) sehingga membentuk kelompok ukuran panjang yang baru.

Pada pengambilan contoh I hingga VII, panjang ikan yang dominan

tertangkap berkisar 170-175 mm dan 200-205 mm, sedangkan panjang ikan yang

paling sedikit tertangkap berkisar 80-85 mm. Panjang maksimum ikan yang

diamati berdasarkan pengambilan contoh di PPN Brondong adalah 300 mm, hal

ini sesuai dengan Munro (1967) in Fahmi (2002) yang menyebutkan bahwa ikan

biji nangka dapat mencapai panjang maksimum 300 mm.

Kohort

Pada setiap waktu pengambilan contoh menghasilkan kelompok ukuran

panjang ikan contoh yang berbeda-beda sehingga menghasilkan lebih darisatu

kelompok umur atau kohort. Pengambilan contoh I diperoleh tiga kelompok

ukuran panjang atau 3 kohort. Pengambilan contoh II, III, dan IV diperoleh empat

kelompok ukuran panjang atau 4 kohort. Pengambilan contoh V dan VI diperoleh

tiga kelompok ukuran panjang atau 3 kohort. Dan pada pengambilan contoh VII

diperoleh empat kelompok ukuran panjang atau 2 kohort. Banyaknya kelompok


34

umur atau kohort tersebut merupakan adanya generasi yang hidup bersama dalam

satu waktu di lingkungan perairan yang sama Hal ini sesuai dengn Utami et al

(2018) yang menyatakan bahwa Analisis kelompok ukuran ikan menunjukkan

terdapat tiga kelompok umur dan hal ini menunjukkan terdapat tiga kohort atau

generasi yang hidup bersama dalam satu waktu di lingkungan perairan yang sama.

Menurut Suwarso dan Hariati (2002) yang menyatakan bahwa kelompok ukuran

(kohort) yaitu sekelompok individu ikan dari jenis yang sama yang berasal dari

pemijahan yang sama.

Pertumbuhan Von Bertalanffy

Hasil analisis parameter pertumbuhan ikan biji nangka yaitu koefisien

pertumbuhan (K) dan panjang asimtotik (L∞) serta umur teoritis ikan pada saat

panjang sama dengan nol (t0). Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy yang

terbentuk dari ikan contoh selama penelitian diperoleh Lt = 313,43 {1-e-

0,28(t+0,55)}. Panjang asimtotik (infinitif) sebesar 313,43 dan nilai koefisien

pertumbuhan (K) sebesar 0,28 per tahun serta nilai t0 didapatkan secara empiris

yaitu -0,55.

Laju Eksploitasi

Moratalitas tahunan M. F, dan Z ikan biji nangka diperoleh masing-masing

0,32; 1.86; dan 2,18 pertahun. Kurva hasil tangkapan dalam menduga nilai Z.

Perhitungan nilai Z yang didasari nilai R 2 terbesar pada analisis regresi. Nilai

dugaan kematian karena penangkapan (F) sebesar 1.86 pertahun diperoleh dari

pengurangan nilai M terhadap Z.

Nilai dugaan Mortalitalis total (Z) dari penelitian ini sebesar 2,18 pertahun

terlihat lebih kecil dari nilai dugaan Z yang diperoleh Oktaviani (2013), yaitu 2,18
35

pertahun. Hal ini akibat dari kematian karena penangkapan yang tinggi dari ikan

kembung (F = 1.72 pertahun) yang diperoleh dari penelitian ini. Menurut Gulland

(1971) bahwa suatu sumberdaya yang dieksploitasi dalam kondisi optimun

apabila nilai F = M, yaitu Eopt = 0,5. Hal ini sesuai dengan Octoriani (2013) yang

menyatakan bahwa laju eksploitasi optimal sumber daya ikan sebesar 0,5 yang

berarti besarnya mortalitas alami sama dengan mortalitas penangkapan. Nilai E

yang lebih besar dari 0,5 mengindikasikan bahwa laju eksploitasi sumber daya

ikan berada pada kondisi tangkap lebih (over-eksploitasi). Keadaan mengatakan

bahwa sudah terlihat adanya gejala tangkap lebih di perairan. Kondisi tersebut

mengindikasikan pula bahwa penurunan stok ikan disebabkan oleh tingginya

kegiatan penangkapan.

Rekomendasi Pengelolaan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terdapat dua garis besar

metode pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara

Jawa bagian timur, yaitu pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap

dan pengontrolan jumlah penangkapan.

a. Pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap

Terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengontrol ukuran ikan biji

nangka yang tertangkap. Pertama, memodifikasi alat tangkap yang digunakan agar

lebih selektif sehingga ikan-ikan yang berukuran kecil dan ukuran pertama kali

matang gonad tidak ikut tertangkap

b. Pengontrolan jumlah upaya penangkapan ikan biji nangka. Laju eksploitasi ikan

biji nangka di Perairan Utara Jawa sudah mengindikasikan adanya over

eksploitasi.
36

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ikan biji nangka (U. sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa memilki

pola pertumbuhan allometrik negatif yang menunjukkan bentuk tubuh yang

cenderung kurus karena pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan

pertumbuhan bobot. Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy ikan biji nangka

adalah Lt = 313.43 [1 – e (-0.28(t+0.55)) ].

2. Laju mortalitas ikan biji nangka sebagian besar disebabkan aktifitas

penangkapan dengan laju eskploitasinya sebesar 0.85 per tahun yang

menunjukkan adanya overeksploitasi.

3. Alternatif pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan

Utara Jawa melalui pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap

dengan dua pendekatan, yaitu pengaturan ukuran mata jaring bagian kantong

pada alat tangkap dogol dan tidak melakukan kegiatan penangkapan pada

musim pemijahan.

Saran

Dalam penelitian selanjutnya disarankan untuk dilakukan penelitan dan

kajian mengenai dinamika stok ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa dengan

pendekatan bioekonomi, diperlukan juga kajian yang sama pada musim berbeda

yaitumewakili musim timur


37

DAFTAR PUSTAKA

Anisyah. 2016. Analisis Persamaan Von Bertalanffy dengan Koefisien Variasi.


[SKRIPSI]. Universitas Islam Negeri Maulana Manik Ibrahim, Malang.

Damayanti, W. 2010. Kajian Stok Sumberdaya Ikan Selar (Caranx Leptolepis


Cuvier, 1833) di Perairan Teluk Jakarta dengan Menggunakan Sidik
Frekuensi Panjang. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor

Faizah, R dan B. I. Prisantoso. 2010. Hubungan Panjang Dan Bobot, Sebaran


Frekuensi Panjang, Dan Faktor Kondisi Tuna Mata Besar
(Thunnus Obesus) Yang Tertangkap Di Samudera Hindia. 3(3): 183-189.

Mulfizar, Z.A. Muchlisin, I. Dewiyanti. 2012. Hubungan Panjang Berat dan


Faktor Kondisi Tiga Jenis Ikan yang Tertangkap di Perairan Kuala Gigieng
Aceh Besar Provinsi Aceh. 1 (1). ISSN 2089-7790.

Octoriani, W., A. Fahrudin dan M. Boer. 2015. Laju Eksploitasi Sumber Daya
Ikan yang Tertangkap Pukat Cincin di Selat Sunda. Jurnal Marine
Fisheries. 6 (1): 69-76.

Pulungan, C. P., Indra J. Z., Sukendi dan Mansyurdin. 2012. Sebaran Ukuran,
Hubungan Panjang-Berat dan Faktor Kondisi Ikan Pantau Janggut
(Esomus metallicus AHL) di Sungai Tenayan dan Tapung Mati, Riau.
Jurnal Perikanan dan Keluatan. 17 (2).

Santoso, H., N. Tumanduk, H. Ondang, dan R. Sarnga. 2017. Beberapa Aspek


Biologi Ikan Selar (Selar crumenophthalmus Bloch 1793) yang Didaratkan
di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung. Jurnal Buletin Marine. 14(1): 8-
15.

Sasmita, S., N. Pebruwanti Dan I. Fitrani. 2018. Distribusi Ukuran Ikan Teri Hasil
Tangkapan Jaring Puring Di Perairan Pulolampes, Kabupaten Brebes
Jawa Tengah. Journal of Fisheries and Marine Science. 2(2).

Setyawa, D, A. 2013. Distribusi Frekuensi. Buku Ajar Poltekkes Kemenkes


Surakarta.

Sjafei, D, S. dan R, Susilawati. 2001. Beberapa Aspek Biologi Ikan Biji


Nangkaupeneus Moluccensr's Bikr. di Perairan Teluk Labuan, Banten.
Jurnal Iktiologi Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 1 (1) : 35-39 :
1693-0339.

Sukamto, O. 2010. Kajian Dinamika Stok   Ikan Mata Besar


(Priacanthus Tayenus Richardson, 1846)   di Perairan Utara Jawa Timur
Yang  Didaratkan   di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong,
Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. [Skripsi]. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
38

Susanto, M. ,K. N. E. Bataragoa Dan R. D. Moningkey. 2017. Distribusi Ukuran


Dan Pertumbuhan Ikan Payangka Muda Ophieleotris Aporos (Bleeker) Di
Danau Tondano. Jurnal Ilmiah Platax. 5(2). ISSN: 2302-3589.

Syamsiyah, N, N. 2010. Studi Dinamika Stok Ikan Biji Nangka


(Upeneus Sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang
Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten
Lamongan, Provinsi Jawa Timur. [SKRIPSI]. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Syamsiyah, N. N. 2010. Studi Dinamika Stok Ikan Biji Nangka


(Upeneus Sulphureus Cuvier, 1829) di Perairan Utara Jawa yang
Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten
Lamongan, Provinsi Jawa Timur. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Wujdi, A., Suwarso danWudianto. 2012. Hubungan Panjang Bobot Faktor


Kondisi dan Struktur Ukuran Ikan Lemuru (Sardinella Lemuru Bleeker,
1853) di Perairan Selatbali. 4 (2).

Yuanda, D. M, B, Mulya. A, Muhtadi. 2015. Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi


Ikan Teri Pekto (Stolephorus Waitei) di Perairan Belawan Kota Medan
Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Yuanda, D., M. B. Mulya Dan A. Muhtadi. 2015. Pertumbuhan Dan Laju


Eksploitasi Ikan Teri Pekto (Stolephorus Waitei)
Di Perairan Belawan Kota Medan Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai