Anda di halaman 1dari 20

CRITICAL JOURNAL REVIEW

MK.PSIKOLOGIKESEHATAN
PRODI S1 GIZI

Skor Nilai :

CRITICAL JOURNAL REVIEW


Psikologi Kesehatan
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Kesehatan.

Ruth Olga Fanela Situmorang


5193240008

Dosen Pengampu:

Dra. Uswatun Hasanah,M.Si


Yatty Destani Sandy, SST, M.Gizi
Latifah Rahman Nufazriah, S.Pd,M.Kes

PROGRAM STUDI S1 ILMU GIZI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
Maret 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah senantiasa memberkati dalam
menyelesaikan Critical Journal Review (CJR), adapun tugas ini dikerjakan untuk
memenuhi mata kuliah Psikologi Kesehatan.
Penulis berharap Critical Journal Review (CJR) dapat memberikan manfaat dan
menjadikan penambahan wawasan sekaligus pemahaman terhadap materi Psikologi
Kesehatan. Semoga setelah penyelesaian penulisan Crtical Journal Review ini penulis
dapat semakin memahami tentang bagaimana cara penyusunan Critical Journal
Review.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Critical Journal Review ini masih
terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran serta
bimbingan dari para dosen demi penyempurnaan di masa-masa yang akan datang.

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. 2


DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 4
A. Rasionalisasi Pentingnya Critical Journal Review ....................................................... 4
D. Identitas Jurnal yang Direview .................................................................................................. 5
BAB II ................................................................................................................................................ 6
RINGKASAN ISI JURNAL ................................................................................................................. 6
JURNAL UTAMA ............................................................................................................................... 6
BAB III ............................................................................................................................................... 9
PEMBAHASAN.................................................................................................................................. 9
A. Pembahasan Isi Jurnal ........................................................................................................... 9
B. Kelebihan dan Kekurangan ................................................................................................ 10
BAB IV ............................................................................................................................................. 11
PENUTUP ........................................................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 12

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi Pentingnya Critical Journal Review


Critical Journal Review (CJR) sangat penting buat kalangan pendidikan
terutama buat mahasiswa/i. Dikarenakan dengan mengkritik suatu jurnal maka
mahasiswa/i dapat membandingkan dua jurnal dengan tema yang sama, dapat
melihat mana jurnal yang perlu diperbaiki dan mana jurnal yang sudah baik
untuk digunakan berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis
pada jurnal tersebut. Setelah dapat mengkritik junal maka diharapkan
mahasiswa/i dapat membuat suatu jurnal karena sudah mengetahui bagaimana
kriteria jurnal yang baik dan benar untuk digunakan, dan sudah mengerti
bagaimana cara menulis atau langkah-langkah apa saja yang diperlukan dalam
penulisan jurnal.
B. Tujuan Penulisan Critical Journal Review
Critical Book Review ini dibuat bertujuan untuk penyelesaian tugas dalam mata
kuliah Psikologi Kesehatan Universitas Negeri Medan, dapat menambah
wawasan mengenai penyusunan jurnal serta materi-materi Psikologi
Kesehatan.
C. Manfaat Critical Journal Review
 Dapat membandingkan dan mengetahui satu atau dua jurnal yang
direview.
 Dapat meningkatkan analisis kita terhadap suatu jurnal.
 Supaya kita dapat mengetahui teknik-teknik penulisan CJR yang benar
 Menambah pengetahuan kita tentang isi dari jurnal sebagai referensi

4
D. Identitas Jurnal yang Direview

 JURNAL UTAMA
1. Judul Artikel :Hubungan Antara Pola Konsumsi Pangan
danAktifitas Fisik dengan Kejadian
Osteoporosis Pada Lansia di Panti Werdha
Bogor
2. Nama Jurnal :Jurnal Gizi dan Pangan
3. Edisi Terbit :Juli 2013
4. Pengarang Artikel :Avliya Quratul, Sri Anna
5. Kota Terbit :Bogor
6. Vol /No : 8/2
7. Hal : 123-128
8. ISSN : 1978-1059

 JURNAL PEMBANDING
1. Judul Artikel : Hubungan Antara Pola Konsumsi dan
Aktifitas Fisik dengan Status Gizi Pada
Lansia di Panti Sosial Tresna
2. Nama Jurnal : Jurnal Kesmas
3. Edisi Terbit : September 2012
4. Pengarang Artikel : Nurika Ismayanti, Solikhah
5. Kota Terbit : Yogyakarta
6. Vol/No : 6/3
7. Hal : 162-173
8. ISSN : 1978-0575

5
BAB II
RINGKASAN ISI JURNAL
JURNAL UTAMA
Pada umumnya usia lanjut diartikan sebagai usia saat memasuki masa pensiun
yang di Indonesia dapat berkisar antara usia di atas 55 tahun. Salah satu perubahan
fisik yang terjadi seiring pertambahan usia adalah terjadinya penurunan massa tulang
yang sering disebut osteoporosis. Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan berkurangnya massa tulang dan adanya perubahan mikroarsitektur jaringan
tulang yang berakibat menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan
tulang serta risiko terjadinya patah tulang (Harvey & Cooper 2004). Terdapat banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya osteoporosis diantaranya konsumsi pangan dan
aktivitas fisik (Lane 2003). Studi epidemiologis yang dilakukan menunjukkan bahwa
asupan zat gizi makro dan mikro dalam tubuh merupakan salah satu faktor yang dapat
memperlambat kejadian osteoporosis di masa lanjut usia. Selain memenuhi asupan zat
gizi, perlu juga memperhatikan aktivitas fisik. Menurut Hoger dan Hoeger (2005),
kurangnya aktivitas fisik pada seorang individu di masa muda akan berdampak pada
penurunan kepadatan tulang di masa lanjut usia.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pola konsumsi pangan, status gizi, tingkat
kecukupan energi, protein, kalsium, dan fosfor; mengkaji aktivitas fisik; mengkaji nilai
densitas tulang; dan menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan dan
aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis pada lansia di Panti Werdha Bogor.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang dilaksanakan di Panti Werdha
Tresna dan Panti Werdha Hanna Bogor pada bulan Maret—April 2013. Pemilihan
tempat dilakukan secara purposive.
Status gizi didefinisikan sebagai keadaan ke-sehatan tubuh seseorang atau
kelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi), dan
penggunaan (utilisasi) zat-zat gizi makanan (Hsu et al. 2006). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar subjek (40.5%) memiliki status gizi lebih
(IMT>22.9). Sebagian besar subjek yang tidak mengalami osteoporosis memiliki status
gizi lebih sebesar 50.0%, sedangkan yang berstatus gizi normal dan kurus masing-
masing sebesar 25%. Subjek yang osteoporosis sebagian besar memiliki status gizi
normal (41.4%), sebesar 37.9% memiliki status gizi lebih dan 20.7% memiliki status
gizi kurang. Subjek yang berada pada kategori gizi lebih cenderung disebabkan karena
mengonsumsi pangan dalam jumlah ba-nyak dan tidak melakukan aktivitas fisik.
Sebaliknya, subjek yang berada pada kategori gizi kurang cen-derung mengonsumsi
pangan dalam jumlah sedikit dan juga karena terdapat gangguan kesehatan yang
menyebabkan penurunan nafsu makan.
Secara keseluruhan tingkat aktivitas fisik subjek termasuk dalam kategori
aktivitas ringan (81.1%), namun terdapat perbedaan sebaran antara subjek yang
tidak osteoporosis dengan yang osteoporosis, dimana sebesar 89.7% yang
osteoporosis memiliki tingkat aktivitas ringan, sedangkan pada subjek yang tidak
osteoporosis hanya sebesar 50.0% yang memiliki tingkat aktivitas ringan.

Hubungan Karakteristik Subjek dengan Kejadian Osteoporosis


Berdasarkan analisis antara subjek yang ber-usia 55—64 tahun dengan subjek
yang berusia ≥65 tahun diketahui bahwa pada selang CI: 0.08—2.35 terdapat angka 1,

6
maka usia 55—64 tahun belum merupakan faktor penghambat terjadinya osteopo-
rosis pada subjek penelitian ini. Hal ini menjelaskan bahwa meningkatnya usia
bukanlah satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap kejadian osteoporosis.
Berdasarkan analisis antara tingkat pendidik-an rendah dengan tingkat pendidikan
tinggi pada subjek diketahui bahwa pada selang CI: 0.28—3.84 terdapat angka 1,
maka tingkat pendidikan rendah belum merupakan faktor risiko terjadinya osteopo-
rosis pada subjek penelitian ini.

JURNAL PEMBANDING

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa penduduk lansia di


Indonesia pada tahun 2020 mendatang sudah mencapai angka 11,34% atau tercatat
28,8 juta orang, balitanya tinggal 6,9% yang menyebabkan jumlah penduduk lansia
terbesar di dunia.1 Hal ini mungkin terjadi akibat adanya perubahan pola makan dan
gaya hidup penduduk Indone-sia disamping perubahan struktur penduduk Indonesia.
Perubahan struktur penduduk Indo-nesia ditandai dengan meningkatnya proporsi
penduduk usia produktif dan lansia serta menurunnya proporsi penduduk balita.
Kelompok rentan gizi adalah kelompok masyarakat yang paling mudah
menderita ke-lainan gizi, bila suatu masyarakat terkena kekurangan penyediaan
makanan, dan lansia masuk ke dalam salah satu kelompok rentan gizi. Faktor yang
dapat mempengaruhi kese-hatan seseorang salah satunya adalah diet. Bertambahnya
usia seseorang, menyebabkan kecepatan metabolisme tubuh cenderung turun.
Permasalahan tersebut dapat diatasi den-gan memberikan kebutuhan gizi yang
adekuat untuk lansia.
Asupan makanan yang tidak seimbang juga dapat menyebabkan konsumsi yang
berle-bihan yang berhubungan dengan perubahan dalam gaya hidup yang akan
berpengaruh terhadap munculnya berbagai penyakit tidak menular pada lansia.5
Selain pemberian nu-trisi yang baik, aktivitas fisik juga merupakan hal yang perlu
diperhatikan pada lansia. Olahraga teratur dan istirahat yang cukup dapat
memperlambat penuaan jantung dan pem-buluh darah serta menurunkan risiko
penyakit jantung koroner.6
Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia menjadi salah satu indikator
keberhasilan pembangunan sekaligus sebagai tantangan dalam pembangunan. Apabila
permasalahan tersebut tidak diantisipasi dari sekarang, maka tidak tertutup
kemungkinan bahwa proses pembangunan akan mengalami berbagai hambatan. Hal
tersebut menyebabkan perma-salahan lanjut usia harus menjadi perhatian kita semua,
baik pemerintah, lembaga masyarakat maupun masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di PSTW Unit Abiyoso Yogyakarta,
pada 53 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang ditetapkan oleh
peneliti, diperoleh data responden yang memiliki pola konsumsi tidak baik se-banyak
15 responden (28,3%), sedangkan responden yang memiliki pola konsumsi yang baik
sebanyak 38 responden (71,7%).
Hasil tersebut kemungkinan dapat disebabkan oleh kemunduran kondisi fisik pada
lansia. Kemunduran kondisi fisik, misalnya gigi menjadi ompong, pemasan-gan gigi
palsu yang tidak baik, tangan gemetar (buyutan) dan kelainan fungsi fisik yang lain,
maka sering para lansia menjadi sulit mengunyah atau menyuapi dirinya sendiri,
akibatnya makanan yang dikonsumsi tidak cukup jumlahnya.8 Pola kon-sumsi yang

7
tidak baik dapat menyebabkan timbulnya masalah dalam kesehatan. Masalah
kesehatan yang terjadi dapat berupa kurang gizi.
Status gizi lansia yang ada di PSTW Unit Abiyoso Yogyakarta, menunjukkan
bahwa responden dengan status gizi tidak baik ada sebanyak 33 responden (62,3%),
sedangkan 20 responden (37,7%) memiliki status gizi yang baik. Status gizi yang tidak
baik dapat terjadi karena ketidakseimbangan gizi. Keti-dakseimbangan gizi yaitu
ketidakseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan, menyebabkan lansia kurang gizi
atau menjadi kegemukan. Pada lansia yang kurang gizi masalahnya adalah kemampuan
indera rasa lidah yang menurun, juga menurunnya kemampuan tubuh mencerna
makanan. Pengaruh lingkungan ikut menyebabkan konsumsi makan menjadi rendah,
sehingga tidak mencukupi kebutu-han. Demikian sebaliknya, lansia yang kegemukan
disebabkan oleh konsumsi yang relatif tetap sedangkan kebutuhan menurun.
Penurunan kebutuhan ini disebabkan oleh metabolisme dan aktivitas yang juga ikut
menurun.

8
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Isi Jurnal
Pada jurnal utama dijelaskan bahwa salah satu perubahan fisik yang terjadi
seiring pertambahan usia adalah terjadinya penurunan massa tulang yang
sering disebut osteoporosis. Berdasarkan hasil penelitian pada jurnal ini lebih
mengacu pada suatu contoh penyakit pada lansia, yaitu osteoporosis.
Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa
tulang dan adanya perubahan mikroarsitektur jaringan tulang yang berakibat
menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang serta risiko
terjadinya patah tulang (Harvey & Cooper 2004). Terdapat banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya osteoporosis diantaranya konsumsi pangan dan
aktivitas fisik (Lane 2003).

Sementara pada jurnal pembanding, menjelaskan usia lansia adalah usia yang
rentan terhadap penyakit . Kelompok rentan gizi adalah kelompok masyarakat
yang paling mudah menderita ke-lainan gizi, bila suatu masyarakat terkena
kekurangan penyediaan makanan, dan lansia masuk ke dalam salah satu
kelompok rentan gizi. Faktor yang dapat mempengaruhi kese-hatan seseorang
salah satunya adalah diet. Bertambahnya usia seseorang, menyebabkan
kecepatan metabolisme tubuh cenderung turun. Permasalahan tersebut dapat
diatasi den-gan memberikan kebutuhan gizi yang adekuat untuk lansia.

Asupan makanan yang tidak seimbang juga dapat menyebabkan konsumsi yang
berle-bihan yang berhubungan dengan perubahan dalam gaya hidup yang akan
berpengaruh terhadap munculnya berbagai penyakit tidak menular pada
lansia.5 Selain pemberian nu-trisi yang baik, aktivitas fisik juga merupakan hal
yang perlu diperhatikan pada lansia. Olahraga teratur dan istirahat yang cukup
dapat memperlambat penuaan jantung dan pem-buluh darah serta
menurunkan risiko penyakit jantung coroner.

9
B. Kelebihan dan Kekurangan
Secara keseluruhan kedua jurnal memiliki struktur yang lengkap. Kedua jurnal
sama sama membahas mengenai faktor aktivitas pada lansia dapat
mempengaruhi status gizi, penyakit, dan psikologi lansia. Pada jurnl utama
lebih memfokuskan pada osteoporosis karena mengacu pada hasil penelitian.
Artinya, cakupan pembahasan kurang luas. Tetapi kelebihannya adalah, materi
yang disajikan lebih khusus atau spesifik. Sedangkan, pada jurnal pembanding
cakupannya luas, dan menyajikan pengetahuan yang lebih umum. Secara
bahasa, kedua jurnal memuat bahasa Indonesia yang mudah dimengerti.

10
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Tingkat kecukupan kalsium dan aktivitas fisik yang kurang merupakan
faktor risiko terhadap kejadian osteoporosis pada subjek penelitian ini.
- Aktivitas fisik lansia di PSTW Unit Abiyoso Yogyakarta Tahun 2011,
sebagian besar memiliki aktivitas fisik dengan kategori berolahraga.

- 3) Status gizi lansia di PSTW Unit Abiyoso Yogyakarta Tahun 2011,


sebagian besar memiliki status gizi dengan kategori yang tidak baik

B. Rekomendasi
Perlu adanya penelitian lanjutan yang serupa dengan variabel penelitian yang lebih lengkap
(pendidikan, umur, jenis kelamin dan lain-lain) dan menggunakan metode penilaian gizi
selain metode food recall 24 jam.

11
DAFTAR PUSTAKA

Quratul,Avliya,2013, Hubungan Antara Pola Konsumsi Pangan danAktifitas Fisik dengan


Kejadian Osteoporosis Pada Lansia di Panti Werdha Bogor,Jurnal Gizi Pangan,Vol.8 No.2,
123-128

Ismayanti, Nurika.2012, Hubungan Antara Pola Konsumsi dan Aktifitas Fisik dengan
Status Gizi Pada Lansia di Panti Sosial Tresna,Jurnal Kesmas, Vol.6 No.3, 162-173

12
ISSN 1978 - 1059
Jurnal Gizi dan Pangan, Juli 2013, 8(2): 129—136

POLA KONSUMSI PANGAN, AKTIVITAS FISIK, RIWAYAT PENYAKIT, RIWAYAT DEMENSIA


KELUARGA, DAN KEJADIAN DEMENSIA PADA LANSIA DI PANTI WERDHA TRESNA BOGOR

(Food Consumption Patterns, Physical Activity, History of the Disease, Family History of Dementia,
and Incidence of Dementia in Elderly in Tresna Werdha Nursing, Bogor)

Chairunnisa Utami Pratiwi1*, Sri Anna Marliyati 1, dan Melly Latifah2

1
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680
2
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor,
Bogor 16680

ABSTRACT

The objective of this study were to analyze the patterns of food consumption, physical activity, history
of disease, family history of dementia, and incidence of dementia in elderly in Werdha Tresna, nursing
home, Bogor. Research design was cross sectional study with 42 elderly as subjects. The results showed that
there were significant correlation between the level of education, adequacy of level vitamin A, vitamin B1,
vitamin B2, vitamin B6, vitamin C, history of diabetes and physical activity with incidence of dementia in
elderly (p<0.05). There were no significant correlation between age, adequacy of level folic acid, history of
hypertension, and family history of dementia with incidence of dementia in elderly (p>0.05).

Keywords: cognitive, dementia, memory, patterns of consumption, physical activity

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, riwayat
demensia keluarga, dan kejadian demensia pada lansia di Panti Werdha Tresna, Bogor. Desain penelitian ini
adalah cross sectional dengan subjek penelitian sebanyak 42 lansia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan, tingkat kecukupan vitamin A, vitamin B1,
vitamin B2, vitamin B6, vitamin C, riwayat penyakit diabetes mellitus, dan aktivitas fisik dengan kejadian
demensia pada lansia (p<0.05). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia, tingkat kecukupan asam
folat, riwayat hipertensi, dan riwayat demensia keluarga dengan kejadian demensia pada lansia (p>0.05).

Kata kunci: aktivitas fisik, demensia, kognitif, memori, pola konsumsi

Korespondensi: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor,
*

Bogor 16680. Email: nizza_22@rocketmail.com

JGP, Volume 8, Nomor 2, Juli 2013 129


Pratiwi dkk.

PENDAHULUAN Jumlah dan Cara Penarikan Subjek


Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia lansia yang tinggal di Panti Werdha Tresna, Bo-
nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lan- gor atau sejumlah 42 orang. Lansia yang tinggal
jut usia (pasal 1 ayat 2), lanjut usia adalah sese- di panti, seluruhnya berjenis kelamin perempuan.
orang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Subjek harus memiliki kriteria sebagai berikut: ber-
Di Indonesia sendiri pada tahun 2000, jumlah lansia sedia untuk menjadi subjek penelitian, sehat, dan
me-ningkat mencapai 9.99% dari seluruh penduduk memiliki tingkat kesadaran yang masih baik. Subjek
Indonesia dengan usia harapan hidup 65—70 tahun. yang sudah tidak dapat berkomunikasi dengan baik
Pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 30 juta dan memiliki gangguan pendengaran tidak dimasuk-
orang dengan usia harapan hidup 70—75 tahun. kan dalam penelitian.
Peningkatan usia harapan hidup di Indonesia
akan meningkatkan jumlah penduduk usia lanjut. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Perlu diwaspadai adanya peningkatan penyakit yang Data primer meliputi karakteristik subjek,
berhubungan dengan proses degeneratif, diantara- pola konsumsi pangan, status gizi, aktivitas fisik,
nya demensia, yang gejalanya berupa ketidakmam- riwayat penyakit, riwayat demensia keluarga, dan
puan untuk hidup mandiri dan akan menjadi beban keadaan kognitif subjek. Data sekunder meliputi
keluarga, masyarakat dan negara. Demensia meru- data gambaran umum dan jadwal kegiatan panti.
pakan kumpulan gejala klinik yang disebabkan oleh Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara se-
berbagai latar belakang penyakit dan ditandai oleh cara langsung dengan kuesioner, pengukuran lang-
hilangnya memori jangka pendek, gangguan global sung, dan penggunaan data kesehatan dari pihak
fungsi mental (termasuk fungsi bahasa), mundurnya panti Werdha Tresna.
kemampuan berpikir abstrak, kesulitan merawat
diri sendiri, perubahan perilaku, emosi labil, dan Pengolahan dan Analisis Data
hilangnya pengenalan waktu dan tempat. Proses pe- Analisis yang digunakan dalam penelitian ini
nuaan otak abnormal merupakan bagian dari proses adalah analisis deskriptif dan inferensia. Analisis
degenerasi pada seluruh organ tubuh. Hal ini akan deskriptif digunakan untuk menggambarkan karak-
menimbulkan berbagai gangguan neuropsikologis teristik subjek, kebiasaan makan, frekuensi kon-
dan masalah yang terbesar adalah demensia. sumsi makan, tingkat kecukupan gizi, aktivitas fisik,
Gray et al. (2008) menyebutkan bahwa de- status gizi, riwayat penyakit, riwayat demensia ke-
mensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan luarga subjek, dan kondisi kognitif untuk melihat
kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penya- risiko kejadian demensia pada subjek. Penelitian
kit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubah- ini menggunakan metode semi kuantitatif untuk
an kepribadian dan tingkah laku. Demensia sangat mengetahui frekuensi makan dan kebiasaan makan
berkaitan dengan lanjut usia. Menurut Richard et subjek dengan wawancara menggunakan Food Fre-
al. (2007), kejadian demensia berkaitan dengan dua quency Questionnaires (FFQ). Metode kuantitatif
faktor, yaitu protective factors dan risk factors. recall 2x24 jam digunakan untuk mengetahui kon-
Protective factors terdiri dari tingkat pendidikan, sumsi pangan subjek.
aktivitas fisik, dan pola konsumsi. Pola makan yang Clinical Dementia Rating Scale (CDR) didesain
baik dan beraneka ragam dapat memperbaiki mutu untuk mengukur demensia yang berkelanjutan. CDR
gizi makanan seseorang (Slamet 2009). Zat gizi mikro menggambarkan lima tingkatan demensia dalam
diketahui berkaitan dengan kejadian demensia pada enam faktor yaitu daya ingat, orientasi, penilaian
lansia, terutama vitamin B kompleks. Kekurangan dan pemecahan masalah, kehidupan bermasyarakat,
vitamin B kompleks pada lansia dapat meningkatkan hobi dan rumah tangga, dan perawatan diri. Masing-
risiko terjadinya demensia. Risk factors terdiri dari masing dari tingkatan demensia memiliki skor 0; 0.5;
usia, riwayat penyakit, dan riwayat demensia kelu- 1; 2; dan 3. Skor 0 (healthy) berarti subjek masih
arga. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pola sehat. Skor 0.5 (questionable dementia) merujuk
konsumsi pangan, aktivitas fisik, riwayat penyakit, pada subjek dengan kerusakan kognitif namun belum
riwayat demensia keluarga, dan kejadian demensia demensia akan tetapi memiliki risiko tinggi untuk
pada lansia. menjadi demensia di masa mendatang. Skor 1, 2, 3
merujuk pada subjek dengan demensia ringan (mild
METODE dementia), sedang (moderate dementia), dan berat
(severe dementia) (OTA 1987).
Desain, Tempat, dan Waktu Untuk memperhitungkan perbedaan dalam
Penelitian ini menggunakan desain Cross Sec- ukuran tubuh dan komposisi, energi dari kegiatan
tional yang dilaksanakan di Panti Werdha Tresna, dihitung sebagai BMR per menit, juga disebut se-
Bogor pada bulan Maret—Mei 2013. Pemilihan tem- bagai Physical Activity Ratio (PAR), dan energi dari
pat dilakukan secara purposive. kegiatan selama 24 jam ini dinyatakan sebagai BMR

130 JGP, Volume 8, Nomor 2, Juli 2013


Demensia pada Lansia

per 24 jam dengan menggunakan nilai PAL (Physi- sarapan oleh panti yang dilakukan sekitar pukul
cal Activity Level) (FAO/WHO/UNU 2001). Nilai PAL 06.00 pagi. Menu sarapan pagi biasanya berupa nasi
dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu PAL≥1<1.4 dikata- dan lauk pauk. Keseluruhan subjek terbiasa untuk
kan sedentary atau tidak aktif, PAL≥1.4<1.6 dikata- makan siang dan makan malam secara teratur.
kan kurang aktif, PAL≥1.6<1.9 dikatakan aktif, dan Kebiasaan minum. Asupan air pada lan-
PAL≥1.9<2.5 dikatakan sangat aktif. sia harus lebih diperhatikan karena osmoreseptor
Analisis inferensia digunakan untuk melihat kurang sensitif sehingga mereka kerap tidak merasa
hubungan antar variabel. Hubungan antara karak- haus. Minuman yang biasa diminum subjek ketika
teristik lansia, tingkat kecukupan vitamin A, vita- pagi atau malam adalah teh manis dan air putih.
min B1, vitamin B2, vitamin B6, asam folat, vitamin Sebesar 66.7% subjek yang demensia biasa minum
C, aktivitas fisik, riwayat penyakit, dan riwayat de- teh manis ketika pagi atau malam hari, dan sebe-
mensia keluarga dengan kejadian demensia dianali- sar 50% subjek yang tidak demensia biasa minum
sis dengan uji korelasi Spearman. Faktor-faktor yang air putih ketika pagi atau malam hari. Konsumsi air
berpengaruh terhadap kejadian demensia pada lan- putih rata-rata untuk subjek yang demensia sebagian
sia di Panti Werdha Tresna Bogor dianalisis dengan besar adalah sebanyak 3 gelas sehari, dan 5—8 gelas
uji multiregresi logistik. sehari untuk subjek yang tidak demensia.

HASIL DAN PEMBAHASAN Status Gizi


Status gizi didefinisikan sebagai keadaan ke-
Karakteristik Subjek sehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang
Subjek penelitian berjumlah 42 wanita lan- diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi),
sia dengan kisaran usia antara 60 sampai 82 tahun. dan penggunaan (utilisasi) zat-zat gizi makanan
Berdasarkan pemeriksaan CDR, sebanyak 57.1% (Hsu 2006). Batas ambang nilai IMT menurut Dep-
lansia mengalami demensia dan 42.9% lansia tidak kes (2005) untuk orang Indonesia adalah <18.5 kg/
mengalami demensia. Sebagian besar subjek de- m2 termasuk dalam kategori kurus, 18.5—25.0 kg/
mensia tidak sekolah (54.2%) dan sebagian besar m2 untuk kategori normal, dan >25 kg/m2 untuk ka-
subjek tidak demensia merupakan tamatan Sekolah tegori gemuk. Hasil analisis status gizi menunjukkan
Dasar (33.3%). Sebagian besar subjek telah menikah sebanyak 62.3% subjek yang demensia memiliki sta-
dengan jumlah keluarga tergolong kecil yaitu <4 tus gizi normal dan 55.6% untuk subjek yang tidak
orang. demensia.

Pola Kosumsi Pangan Tingkat Kecukupan Gizi


Frekuensi makan. Berdasarkan hasil wawan- Energi dibutuhkan untuk segala aktivitas yang
cara FFQ, subjek yang demensia dan tidak demen- dilakukan oleh tubuh, diantaranya untuk memper-
sia mengonsumsi nasi sebanyak 20—21 kali/minggu tahankan proses yang dilakukan oleh organ dalam,
atau 2—3 kali per hari. Pangan hewani yang paling melaksanakan aktivitas luar, tumbuh, dan untuk
sering dikonsumsi dari keseluruhan subjek adalah menjaga agar tubuh tetap hangat. Kebutuhan akan
telur (5—6 kali seminggu). Selain telur, jenis pangan kalori menurun seiring dengan pertambahan usia,
hewani yang sering dikonsumsi oleh subjek adalah karena metabolisme seluruh sel dan kegiatan otot
daging ayam yaitu rata-rata 3—4 kali/minggu. Tahu berkurang (Arisman 2004).
dan tempe adalah pangan sumber protein nabati Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
yang paling sering dikonsumsi oleh keseluruhan sub- tahun 2004, diketahui angka kecukupan energi untuk
jek. Rata-rata frekuensi konsumsi tahu dan tempe wanita di atas 60 tahun adalah 1 600 kkal. Rata-
pada subjek yang demensia dan tidak demensia rata AKG untuk energi yang telah dikonversi sesuai
adalah sebanyak 8—9 dan 6—7 kali dalam seminggu. berat badan masing-masing subjek adalah sebesar
Pisang dan pepaya merupakan buah yang paling se- 1 321 kkal. Rata-rata asupan energi subjek yang
ring dikonsumsi subjek. Pisang dan pepaya rata-rata demensia (1 270 kkal) lebih rendah dibandingkan
dikonsumsi 1—2 kali dalam seminggu. Wortel dan kol dengan subjek yang tidak demensia (1 546 kkal).
merupakan sayuran yang paling sering dikonsumsi Perbedaan rata-rata asupan adalah 300 kkal untuk
subjek. Frekuensi konsumsi wortel dan kol pada sub- energi. Meskipun terdapat perbedaan untuk asupan
jek rata-rata 2—3 kali dalam seminggu. energi subjek yang demensia dan tidak demensia,
Kebiasaan makan. Sebagian besar subjek rata-rata tingkat kecukupan energi dari kedua
memiliki frekuensi makan 3 kali sehari. Sebagian kelompok subjek tergolong cukup (100—119% AKE).
besar subjek dari kedua kelompok selalu sarapan Protein mempunyai fungsi utama untuk per-
pagi, yaitu sebesar 80.0% untuk subjek yang de- tumbuhan dan pemeliharaan jaringan, pembentuk-
mensia dan sebesar 83.3% untuk subjek yang tidak an senyawa esensial, regulasi keseimbangan air,
demensia. Waktu sarapan pagi biasanya pada pukul pembentukan antibodi, transportasi zat gizi, dan
05.30—06.30. Hal ini berkaitan dengan penyediaan lain-lain. Rata-rata AKG untuk protein yang telah

JGP, Volume 8, Nomor 2, Juli 2013 131


Pratiwi dkk.

dikonversi sesuai berat badan masing-masing subjek Asam folat mampu meningkatkan konsentrasi
adalah sebesar 40.4 g. Rata-rata asupan protein sub- plasma docosahexaenoic acid (DHA) dan eicosapen-
jek yang demensia (31.6 g) lebih rendah dibanding- taenoic acid (EPA). EPA, DHA, dan asam arakhidonat
kan dengan subjek yang tidak demensia (41.4 g). Per- berperan dalam kejadian demensia dengan mere-
bedaan rata-rata konsumsi adalah sekitar 10 g untuk gulasi kembali ekspresi gen yang berkaitan dengan
protein. Perbedaan rata-rata asupan menyebabkan neurogenesis, neurotransmisi, dan konektivitas. EPA,
adanya perbedaan untuk tingkat kecukupan harian DHA, dan asam arakhidonat mampu meningkatkan
protein subjek. Rata-rata tingkat kecukupan protein asetilkolin di otak dan menghambat senyawa anti-
untuk subjek yang demensia tergolong defisit ringan inflamasi yang melindungi neuron dari aktivitas si-
karena hanya memenuhi 80—89% AKP, sedangkan totoksik berupa berbagai rangsangan stres oksidatif
untuk subjek yang tidak demensia tergolong normal (Das 2008). Diketahui seluruh subjek dari kedua
karena sudah memenuhi sekitar 90—119% AKP. kelompok (demensia dan tidak demensia) memiliki
Vitamin A merupakan substansi yang tidak tingkat kecukupan asam folat yang tergolong defisit,
larut dalam air dan disimpan dalam tubuh terutama yaitu <77% AKG asam folat harian.
di hati yang kemudian dilepas dalam aliran darah Sebagian besar subjek yang demensia (66.7%)
untuk digunakan oleh seluruh sel epitel tubuh, ter- memiliki tingkat kecukupan vitamin C yang kurang
masuk mata dan sel-sel benih fosforeseptor mata (<77% AKG) dan sebagian besar subjek yang tidak de-
(Arisman 2004). Seluruh subjek memiliki tingkat mensia (55.6%) memiliki tingkat kecukupan vitamin
kecukupan vitamin A yang cukup (≥77% AKG). Ting- C yang cukup (>77% AKG). Hal ini berkaitan dengan
kat kecukupan vitamin A yang cukup untuk kedua perbedaan rata-rata konsumsi buah dan sayur sub-
kelompok subjek berkaitan dengan rata-rata asupan jek yang demensia dan subjek yang tidak demensia.
vitamin A yang cukup. Sayur dan buah merupakan sumber vitamin C yang
Kekurangan vitamin B1 dapat ditandai dengan baik untuk dikonsumsi. Rata-rata asupan vitamin C
adanya penurunan nafsu makan, depresi mental, untuk subjek yang tidak demensia sekitar 69.4 mg
dan lemah. Defisiensi kronis vitamin B1 akan mun- dan sekitar 52.2 mg untuk subjek yang demensia.
cul gejala kelainan neurologis seperti kebingungan Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak
(mental) dan kehilangan koordinasi mata. Sebagian dalam tubuh, yaitu sekitar 1%. Fosfor berperan da-
besar subjek dari kedua kelompok (demensia dan lam pembentukan tulang dan gigi, penyimpanan dan
tidak demensia) memiliki tingkat kecukupan vitamin pengeluaran energi (perubahan ATP dengan ADP).
B1 yang tergolong defisit, yaitu <77% AKG vitamin B1 Sebagian besar subjek dari kedua kelompok (de-
harian. Hal ini berkaitan dengan rendahnya konsumsi mensia dan tidak demensia) memiliki tingkat kecu-
bahan pangan yang banyak mengandung vitamin B1. kupan fosfor yang tergolong cukup, yaitu ≥77% AKG
Rata-rata asupan vitamin B1 untuk kedua kelompok fosfor harian. Tingkat kecukupan fosfor yang cukup
subjek tergolong rendah, dimana hanya sekitar 0.46 berkaitan dengan rata-rata asupan fosfor untuk ke-
mg untuk subjek yang tidak demensia dan sekitar dua kelompok subjek yang tergolong cukup, dimana
0.26 mg untuk subjek yang demensia. untuk subjek yang tidak demensia sekitar 866.4±SD
Vitamin B2 atau riboflavin merupakan kom- mg dan sekitar 637.6 mg untuk subjek yang demen-
ponen suatu enzim yang dikenal sebagai flavoprotein sia.
dan terlibat dalam reaksi metabolisme intermediet. Besi merupakan mineral mikro yang paling
Sebagian besar subjek dari kedua kelompok memiliki banyak terdapat dalam tubuh, yaitu sebanyak 3—5
tingkat kecukupan vitamin B2 yang tergolong defisit, g. Besi memiliki beberapa fungsi esensial dalam tu-
yaitu <77% AKG vitamin B2 harian. Rata-rata asupan buh seperti alat angkut oksigen dari paru-paru ke
vitamin B2 untuk kedua kelompok subjek tergolong jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron dalam
rendah, dimana hanya sekitar 0.54 mg untuk subjek sel, dan sebagai bagian dari berbagai reaksi enzim
yang tidak demensia dan sekitar 0.32 mg untuk sub- dalam jaringan tubuh. Sebagian besar subjek dari
jek yang demensia. kedua kelompok memiliki tingkat kecukupan besi
Sumber utama vitamin B6 adalah daging, ung- yang cukup, yaitu ≥77% AKG besi harian. Hal ini
gas, ikan, kentang, ubi jalar, sayur-sayuran, susu, berkaitan dengan banyaknya subjek yang mengon-
dan biji-bijian. Kekurangan vitamin B6 menyebabkan sumsi pangan yang banyak mengandung Fe seperti
gejala kulit rusak, syaraf motorik terganggu, dan ke- susu, ikan, ayam, dan bayam. Sumber besi yang baik
lainan darah. Subjek yang tidak demensia sebagian adalah dari makanan hewani seperti daging, ayam,
besar sudah memiliki tingkat kecukupan vitamin B6 telur, dan ikan. Sumber besi yang lainnya yaitu serea-
yang cukup, yaitu ≥77% AKG vitamin B6 harian. Per- lia, kacang-kacangan, sayuran hijau, dan beberapa
bedaan tingkat kecukupan vitamin B6 pada kedua jenis buah. Daya absorpsi besi berbeda untuk bahan
kelompok subjek berkaitan dengan perbedaan rata- pangan satu dengan lainnya. Rata-rata asupan besi
rata asupannya. Rata-rata asupan vitamin B6 untuk untuk kedua kelompok subjek yang tergolong cukup,
subjek yang tidak demensia sekitar 1.34 mg dan dimana untuk subjek tidak demensia sekitar 16.1 mg
sekitar 0.97 mg untuk subjek yang demensia. dan sekitar 15.2 mg untuk subjek demensia.

132 JGP, Volume 8, Nomor 2, Juli 2013


Demensia pada Lansia

Aktivitas Fisik Tabel 1. Distribusi Subjek berdasarkan Hasil Peng-


Subjek yang sudah mengalami demensia se- ukuran Keadaan Kognitif Subjek dengan
bagian besar hanya duduk-duduk dan tidur sepan- CDR (Clinical Dementia Rating)
jang hari serta tidak melakukan aktivitas fisik
Jumlah dan Persentase
apapun. Subjek yang tidak mengalami demensia se- Aspek CDR
bagian besar masih aktif (55.6%). Subjek yang tidak n %
mengalami demensia masih melakukan aktivitas 0 5 11.9
fisik secara normal. Subjek masih mengikuti senam 0.5 14 33.3
lansia, jalan-jalan sekeliling panti, dan mengerja- Daya Ingat 1 7 16.7
kan pekerjaan rumah secara mandiri, sehingga nilai
2 7 16.7
PAL yang didapat masih tergolong aktif. Aktivitas
fisik yang baik mampu meningkatkan aliran oksigen 3 9 21.4
ke otak. Otak membutuhkan oksigen untuk oksidasi 0 9 21.4
glukosa dalam produksi energi listrik yang memicu 0.5 13 31.0
ingatan kita. Otak hanya menyumbang 2% dari berat
Orientasi 1 6 14.3
tubuh tetapi kebutuhan akan oksigen sangat besar
yaitu sekitar 20% dari berat tubuh. 2 5 11.9
3 9 21.4
Keadaan Kognitif Subjek 0 8 19.0
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan 0.5 14 33.3
kognitif dan memori yang dapat memengaruhi ak- Penilaian dan
Pemecahan 1 4 9.5
tivitas sehari-hari. CDR menggambarkan lima ting-
Masalah
katan demensia dalam enam faktor yaitu daya i- 2 5 11.9
ngat, orientasi, penilaian dan pemecahan masalah, 3 11 26.2
kehidupan bermasyarakat, hobi dan rumah tangga, 0 14 33.3
dan perawatan diri. Distribusi subjek berdasarkan
0.5 6 14.3
hasil pengukuran keadaan kognitif subjek dengan Kehidupan
CDR (Clinical Dementia Rating) pada seluruh subjek 1 9 21.4
Bermasyarakat
dapat dilihat pada Tabel 1. 2 1 2.4
Tabel 1 menunjukkan faktor pertama yaitu 3 12 28.6
daya ingat. Sebagian besar lansia memiliki skor CDR 0 8 19.0
sebesar 0.5 dengan persentase 33.3%. Skor 0.5 da-
0.5 9 21.4
lam faktor daya ingat memiliki arti bahwa lansia Hobi dan Rumah
sering lupa akan hal tertentu namun terbatas (be- 1 6 14.3
tangga
lum terlalu banyak). Faktor kedua yaitu orientasi, 2 5 11.9
diketahui sebagian besar lansia memiliki skor CDR 3 14 33.3
0.5 dengan persentase 31%. Skor 0.5 dalam orientasi
0 13 31.0
menunjukkan bahwa lansia berorientasi penuh ke-
cuali yang berhubungan dengan waktu. Faktor ketiga 0.5 3 7.1
yaitu penilaian dan pemecahan masalah, diketahui Perawatan Diri 1 15 35.7
sebagian besar lansia memiliki skor CDR 0.5 dengan 2 1 2.4
persentase 33.3%. Skor 0.5 dalam penilaian dan pe- 3 10 23.8
mecahan masalah berarti lansia mengalami sedikit
ketidakmampuan untuk memecahkan masalah dan yang dialami lansia. Faktor keenam yaitu perawatan
dalam hal menentukan persamaan dan perbedaan diri. Sebagian besar lansia memiliki skor CDR 1 de-
juga mengalami kesulitan. Faktor keempat yaitu ngan persentase 35.7%. Skor 1 dalam perawatan diri
kehidupan bermasyarakat. Sebagian besar lansia berarti lansia membutuhkan sedikit bantuan untuk
memiliki skor CDR 0 dengan persentase 33.3%. Skor perawatan dirinya. Hal ini terkait dengan tergang-
0 dalam kehidupan bermasyarakat berarti lansia gunya fungsi kognitif serta keterbatasan fisik yang
masih mampu secara mandiri untuk menjalankan dialami lansia.
kegiatan hariannya seperti berbelanja, bekerja,
serta menjadi sukarelawan dalam kelompok sosial. Riwayat Demensia Keluarga
Faktor kelima yaitu hobi dan rumah tangga, diketa- Sebagian besar subjek yang demensia tidak
hui sebagian besar lansia memiliki skor CDR 3 de- diketahui riwayat demensia keluarganya (50.0%).
ngan persentase 33.3%. Skor 3 dalam hobi dan rumah Sebesar 25.0% subjek demensia diketahui tidak ada
tangga berarti lansia sudah mampu mengerjakan riwayat keluarga demensia dan ada riwayat keluarga
pekerjaan rumah apapun. Hal ini berkaitan dengan demensia. Subjek tidak demensia sebagian besar
terganggunya fungsi kognitif serta keterbatasan fisik tidak ada riwayat keluarga yang demensia (72.2%).

JGP, Volume 8, Nomor 2, Juli 2013 133


Pratiwi dkk.

Riwayat Penyakit menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif


Riwayat penyakit yang menjadi fokus dalam yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin
penelitian ini adalah hipertensi, diabetes mellitus, B1, B2, dan B6 dengan kejadian demensia (p<0.05).
dan stroke. Berdasarkan hasil wawancara pada sub- Hal ini berarti semakin rendah tingkat kecukupan
jek diketahui sebagian besar subjek tidak ada ri- vitamin B1, B2, dan B6 maka semakin tinggi nilai
wayat penyakit tersebut. Diketahui sebesar 66.7% CDR. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa
subjek yang demensia tidak ada riwayat penyakit terdapat hubungan antara kekurangan vitamin B
dan sebesar 38.9% subjek yang tidak demensia tidak dengan gangguan metabolik pada penyusun struk-
ada riwayat penyakit (Tabel 2). tural jaringan otak, seperti phospholipids dan my-
Tabel 2. Sebaran Subjek berdasarkan Riwayat Pe- elin, serta sinyal molekul, seperti neurotransmitter
nyakit (Koseoglu 2011).
Hasil uji korelasi antara tingkat kecukupan
Tidak asam folat dengan kejadian demensia menunjukkan
Demensia
Riwayat Penyakit Demensia tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ting-
n % n % kat kecukupan asam folat dengan kejadian demensia
Tidak ada riwayat penyakit 16 66.7 7 38.9 (p>0.05). Namun uji korelasi tersebut menunjukkan
adanya kecenderungan negatif yang berarti bahwa
Hipertensi 6 25.0 5 27.8
semakin rendah tingkat kecukupan asam folat maka
Diabetes mellitus 0 0.0 4 22.2 semakin tinggi nilai CDR. Menurut Morris et al. dan
Hipertensi & Fridman (2005), terdapat hubungan antara asupan
0 0.0 1 5.6
diabetes mellitus asam folat dengan fungsi kognitif.
Hipertensi & stroke 2 8.3 1 5.6 Hasil uji korelasi antara tingkat kecukupan
vitamin C dengan kejadian demensia menunjukkan
Hubungan Karakteristik Subjek dengan Kejadian terdapat hubungan negatif yang signifikan antara
Demensia tingkat kecukupan vitamin C dengan kejadian de-
Hasil uji korelasi antara usia subjek dengan mensia (p<0.05), yang berarti bahwa semakin rendah
kejadian demensia menunjukkan bahwa tidak terda- tingkat kecukupan vitamin C maka semakin tinggi
pat hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil terse- nilai CDR. Studi Engelhart et al. (2003), konsumsi
but sejalan dengan penelitian yang dilakukan Tani tinggi vitamin C diketahui terkait dengan risiko le-
dan kawan-kawan tahun 2007. Penelitian tersebut bih rendah terhadap demensia.
menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara
usia dengan kerusakan kognitif pada subjek. Namun Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Demen-
terlihat adanya kecenderungan positif yang berarti sia
bahwa semakin tua usia subjek maka semakin tinggi Hasil uji korelasi antara aktivitas fisik dengan
pula nilai CDR. kejadian demensia menunjukkan terdapat hubung-
Hasil korelasi antara tingkat pendidikan de- an negatif yang signifikan (p<0.05). Semakin tinggi
ngan kejadian demensia menunjukkan hubungan tingkat aktivitas subjek maka semakin rendah nilai
negatif signifikan (p<0.05). Hal ini sejalan dengan CDR. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang
Richard et al. (2007) yang menyebutkan bahwa sub- dilakukan di Kanada untuk 9008 subjek berusia di
jek dengan pendidikan di bawah 8 tahun mengalami atas 65 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Le-
kejadian demensia 2.6 kali lebih besar dibanding werin (2005) menunjukkan adanya hubungan yang
subjek dengan pendidikan di atas 8 tahun. signifikan antara subjek yang memiliki aktivitas fisik
dan yang tanpa aktivitas fisik dengan kejadian de-
Hubungan Tingkat Kecukupan Vitamin A, B1, B2, mensia.
B6, Asam Folat, dan Vitamin C dengan Kejadian
Demensia Hubungan Riwayat Demensia Keluarga dan Ri-
Hasil uji korelasi antara tingkat kecukupan wayat Penyakit dengan Kejadian Demensia
vitamin A dengan kejadian demensia menunjukkan Hasil uji korelasi antara riwayat demensia
hubungan negatif signifikan (p<0.05). Hal ini berarti keluarga dengan kejadian demensia menunjukkan
semakin rendah tingkat kecukupan vitamin A maka tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05).
semakin tinggi nilai CDR. Nilai CDR yang semakin Namun terdapat kecenderungan positif yang berarti
tinggi menunjukkan semakin buruknya kondisi kog- bahwa dengan adanya orangtua subjek yang men-
nitif seorang subjek. Menurut Goodman (2006), ka- derita demensia maka semakin tinggi nilai CDR. Hal
dar vitamin A di otak menurun seiring dengan ber- ini diduga karena adanya 33.3% dari keseluruhan
tambahnya usia dan semakin rendah pada orang lansia yang menjadi subjek tidak diketahui ada atau
yang menderita demensia. tidaknya riwayat demensia keluarganya.
Hasil uji korelasi antara tingkat kecukupan Hasil uji korelasi antara riwayat penyakit
vitamin B1, B2, dan B6 dengan kejadian demensia hipertensi dengan kejadian demensia menunjuk-

134 JGP, Volume 8, Nomor 2, Juli 2013


Demensia pada Lansia

kan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan sebagian besar masih aktif (55.6%). Sebagian besar
(p>0.05). Namun hasil uji korelasi tersebut juga subjek dari kedua kelompok tidak ada riwayat penya-
menunjukkan adanya kecenderungan positif yang kit. Sebagian subjek yang demensia tidak diketahui
berarti bahwa dengan adanya hipertensi pada sub- riwayat demensia keluarganya (50.0%) dan sebagian
jek maka semakin tinggi nilai CDR. besar subjek yang tidak demensia tidak ada riwayat
Hasil uji korelasi antara riwayat penyakit dia- demensia keluarga (72.2%). Terdapat hubungan yang
betes mellitus dengan kejadian demensia menunjuk- signifikan antara tingkat kecukupan vitamin A, vita-
kan bahwa terdapat hubungan positif yang signifi- min B1, vitamin B2, vitamin B6, vitamin C, tingkat
kan (p<0.05), hal ini berarti bahwa dengan adanya pendidikan, riwayat diabetes mellitus, dan aktivitas
diabetes mellitus pada subjek maka semakin tinggi fisik dengan kejadian demensia. Berdasarkan uji re-
nilai CDR. Menurut Richard et al. (2007), diabetes gresi logistik yang berpengaruh terhadap kejadian
mellitus merupakan faktor risiko untuk terjadinya demensia adalah aktivitas fisik.
demensia pada subjek. Panti sebaiknya memerhatikan aktivitas fisik
harian subjek agar kesehatan subjek tetap terjaga.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian De- Aktivitas fisik yang cukup mampu meningkatkan
mensia aliran oksigen ke otak sehingga daya ingat subjek
Faktor-faktor yang berhubungan signifikan tetap terjaga. Selain itu perlu diperhatikan juga ke-
dengan kejadian demensia diantaranya tingkat ke- beragaman pangan subjek. Diperlukan adanya ahli
cukupan vitamin A (X1), vitamin B1 (X2), vitamin gizi untuk mengatur pola makan subjek agar tingkat
B2 (X3), vitamin B6 (X4), vitamin C (X5), riwayat kecukupan zat gizi harian subjek baik zat gizi mikro
penyakit diabetes mellitus (X6), aktivitas fisik (X7), maupun zat gizi makro terpenuhi dengan baik.
dan tingkat pendidikan (X8). Berdasarkan hasil uji
regresi logistik, diketahui hanya aktivitas fisik yang DAFTAR PUSTAKA
memiliki pengaruh signifikan terhadap kejadian
demensia pada lansia sedangkan faktor lain hanya Arisman. 2004. Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi dalam Daur
berhubungan signifikan namun tidak berpengaruh. Kehidupan. EGC, Jakarta.
Semakin tinggi level aktivitas fisik maka semakin Das UN. 2008. Folic acid and polyunsaturated fatty
rendah kejadian demensia pada lansia di panti acids improve cognitive function and prevent
Werdha Tresna. depression, dementia, and Alzheimer’s di-
sease-but how and why? Prostaglandins Leu-
KESIMPULAN kot Essent Fatty Acids, 78(1), 11—20.
Engelhart MJ, Geerlings MI, Ruitenberg A, van Switen
Frekuensi makan sebagian besar subjek ada- JC, Hofman A, Witteman JC & Breteler MM.
lah 3 kali sehari dengan nasi sebagai pangan sumber 2003. Dietary intake of antioxidants and risk
karbohidratnya. Pangan sumber hewani yang banyak of Alzheimer disease. JAMA, 287(24), 3223—
dikonsumsi adalah telur ayam, sedangkan pangan 3232.
nabati yang biasa dikonsumsi adalah tahu dan tem- Fridman S. 2005. High folic acid intake is not a risk
pe. Sayuran yang banyak dikonsumsi adalah wortel factor for cognitive decline: misinterpreta-
dan kol. Buah-buahan yang biasa dikonsumsi adalah tion of results. Arch Neurol, 62, 1786—1793.
pepaya dan pisang. Goodman AB. 2006. Retinoid receptors, transport-
Tingkat kecukupan energi sebagian besar sub- ers, and metabolizers as therapeutic targets
jek yang demensia tergolong lebih, dan untuk subjek in late onset Alzheimer disease. J Cell Physiol,
yang tidak demensia tergolong normal atau cukup. 209(3), 598—603.
Tingkat kecukupan protein sebagian besar subjek Gray SL, Anderson ML, Crane PK, Breitner JC, McCor-
yang demensia tergolong defisit berat, sedangkan mick W, Bowen JD, Teri L, & Larson E. 2008.
subjek yang tidak demensia tergolong cukup. Se- Antioxidant vitamin supplement use and risk
luruh subjek memiliki tingkat kecukupan vitamin A of dementia or Alzheimer’s disease in older
yang cukup. Tingkat kecukupan vitamin B1, vitamin adults. J Am Geriatr Soc, 56(2), 291—96.
B2, asam folat sebagian besar subjek dari kedua ke- Hsu & Yi-Hsiang et al. 2006. Relation of body com-
lompok tergolong defisit (<77% AKG harian). Tingkat potition, fat mass, serum lipids to osteopo-
kecukupan vitamin B6 dan vitamin C sebagian besar rosis fractures and bone mineral density in
subjek yang demensia tergolong defisit (<77% AKG Chinese men and women. Am J Clin Nutr, 83,
harian), dan untuk subjek yang tidak demensia ter- 146—154.
golong cukup (≥77% AKG harian). Tingkat kecukupan Koseoglu E. 2011. Alzheimer’s Disease Pathogenesis-
fosfor dan besi sebagian besar subjek dari kedua Core Concepts, Shifting Paradigms and Thera-
kelompok tergolong cukup (≥77% AKG harian). peutic Targets. Erciyes University, Medicine
Sebagian besar subjek yang demensia sudah Faculty, Neurology Department, Kayseri, Tur-
tidak aktif (66.7%), dan subjek yang tidak demensia key : In Tech http://ebookee.org/Alzheimer-

JGP, Volume 8, Nomor 2, Juli 2013 135


Pratiwi dkk.

s-Disease-Pathogenesis-CoreConcepts Shifting- tamin B12 intake and cognitive decline among


Paradigms-and TherapeuticTargets_1373966. community-dwelling older persons. Arch Neu-
pdf [diakses 10 Mei 2013]. rol, 62, 641—646.
Lewerin C, Matousek M, Steen G, Johansson B, Steen OTA. 1987. Confronting Alzheimer’s Disease and O-
B, & Nilsson-Ehle H. 2005. Significant corre- ther Dementias. Science Information Resource
lations of plasma homocysteine and serum Center, Washington DC.
methylmalonic acid with movement and cog- Richard JH, Solane PD, Warshaw GA, Bernard MA, &
nitive performance in elderly subjects but no Flaherty E. 2007. Primary care geriatrics- a
improvement from short-term vitamin the- case based approach. Elsevier, 5,156—164.
rapy: a placebo-controlled randomized study. Tani J. 2008. Dietary vitamins B, folic acid and cogni-
Am J Clin Nutr, 81(5), 1155—62. tive impairment in the elderly. Maj Kedokteran
Morris MC, Evans DA, Bienias JL, Tangney CC, Hebert Indonesia, 58(3), 68—72.
LE, & Scherr PA. 2005. Dietary folate and vi-

136 JGP, Volume 8, Nomor 2, Juli 2013

Anda mungkin juga menyukai