Pada tahun 2023 menghasilkan Ners yang unggul dalam asuhan keperawatan lanjut usia dengan
menerapkan Ilmu dan Tekonologi Keperawatan
P3.73.20.2.17.028
GANGGUAN JIWA
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2019
A. Harga Diri Rendah
a. Masalah utama
Gangguan konsep diri: Harga Diri Rendah
b. Proses terjadinya masalah
1) Definisi
Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga
dan tidak dapat bertanggung jawab atas kehidupan sendiri, gagal menyesuaikan
tingkah laku dan cita-cita. (Fk. UNDIP , 2001) Kesimpulan harga diri rendah
adalah perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang percayaan diri, harga diri
serta menolak dirinya. Tidak dapat bertanggung jawab atas kehidupan sendiri
serta gagal dalam menyesuaikan tingkah laku dan cita-cita.
2) Tanda-tanda klien dengan harga diri rendah adalah:
a) Perasaan malu terhadap diri sendiri adalah akibat penyakit dan akibat tindakan
terhadap penyakit.
b) Rasa bersalah terhadap diri sendiri.
c) Merendahkan martabat.
d) Gangguan hubungan sosial seperti menarik diri.
e) Percaya diri kurang.
f) Menciderai diri
3) Penyebab
a) Faktor predisposisi
Penolakan orang tua
Harapan orang tua yang tidak realistis.
Kegagalan yang berulang kali.
Kurang mempunyai tanggung jawab personal
Ketergantungan kepada orang lain
Ideal diri tidak realistis
b) Faktor presipitasi
Citra tubuh yang tidak sesuai.
Keluhan fisik
Ketegangan peran yang dirasakan
Perasaan tidak mampu
Penolakan terhadap kemampuan personal
Perasaan negative menegenai tubuhnya sendiri
4) Mekanisme Koping
Mekanisme koping menurut Deden (2013):
Jangka pendek:
a) Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis: pemakaian obat-
obatan, kerja keras, menonton tv terus menerus.
b) Kegiatan mengganti identitas sementara: ikut kelompok sosial,
keagamaan, politik.
c) Kegiatan yang memberi dukungan sementara: kompetisi olah raga
kontes popularitas.
d) Kegiatan mencoba menghilangkan anti identitas sementara: penyalahgunaan
obat-obatan.
Jangka Panjang :
a) Menutup identitas: terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi
dariorang-orang yang berarti, tanpa mengindahkan hasrat, aspirasi atau
potensidiri sendiri.
b) Identitas negatif: asumsi yang pertentangan dengan nilai dan
harapanmasyarakat.
Mekanisme Pertahanan Ego:
Mekanisme pertahanan ego yang sering digunakan adalah : fantasi,
disasosiasi,isolasi, proyeksi, mengalihkan marah berbalik pada diri sendiri
dan orang lain.
5) Sumber Koping
Mencakup empat aspek yaitu kemampuan personal (personal ability); dukungan
sosial (sosial support); aset material (material asets); dan kepercayaan (belive).
c. Pohon Masalah
Pohon masalah yang muncul menurut Fajariyah (2012)
Resiko Tinggi Perilaku Kekerasan
e. Diagnosa Keperawatan
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tidak
efektif
3) TUK 3
Pasien dapat menilai kemampuan yang dimiliki untuk dilakukan.
a) Kriteria Evaluasi
Pasien menyebutkan kemampuan yang dapat dilaksanakan
b) Rencana Tindakan Keperawatan
(1) Diskusi tentang kemampuan yang dapat dilaksanakan
(2) Diskusi kemampuan yang dapat dilanjutkan pelaksanaannya.
4) TUK 4
Pasien dapat merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
a) Kriteria Evaluasi
b) Rencana Tindakan Keperawatan
2) Fase Kerja
"Nah, coba mbak cari kemampuan yang bisa mbak lakukan selama sebelum sakit.
Baik, apalagi mbak?"
"Bagus sekali ternyata mbak memiliki kemampuan yang banyak sekali."
3) Fase Terminasi.
a) Evaluasi
"Apa yang mbak rasakan setelah kita bincang-bincang selama 15 menit tadi ?"
"Bisa mbak ulangi lagi apa yang telah kita bicarakan tadi ?"
b) Rencana tindak lanjut
"Setelah ini kita akan berbicara mengenai kemampuan yang masih bisa mbak
gunakanselama sakit."
c) Kontrak
"Baiklah mbak, waktu kita sudah habis bagaimana kalau kita cukupkan sampai
di sini, kira-kira jam berapa kita bertemu lagi? tempatnya di mana?"
"Baiklah mbak bagaimana kalau kita bertemu lagi jam 11 selama + 20 menit."
B. Isolasi Sosial
1. Laporan Pendahuluan Isolasi Sosial
a. Masalah Utama
Isolasi Sosial
b. Proses Terjadinya Masalah
1) Definisi
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan
mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara
menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Dalami, dkk. 2009).
Isolasi Sosial adalah pengalaman kesendirian seorang individu yang diterima
sebagai perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi yang negative atau
mengancam (Wilkinson, 2007)
2) Etiologi
a) Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
(1) Faktor Perkembangan
(a) Bayi (0–18 Bulan)
Bayi mengomunikasikan kebutuhan menggunakan cara yang paling
sederhana yaitu menangis. Respons lingkungan terhadap tangisan bayi
mempunyai pengaruh yang sangat penting untuk kehidupan bayi di
masa datang. Menurut Ericson, respons lingkungan yang sesuai akan
mengembangkan rasa percaya diri bayi akan perilakunya dan rasa
percaya bayi pada orang lain. Kegagalan pemenuhan kebutuhan pada
masa ini akan mengakibatkan rasa tidak percaya pada diri sendiri dan
orang lain serta perilaku menarik diri.
b) Subjektif
(1) Banyak diam
(2) Tidak mau bicara
(3) Menyendiri
(4) Tidak mau berinteraksi
(5) Tampak sedih
(6) Ekspresi datar dan dangkal
(7) Kontak mata kurang
4) Mekanisme koping
Digunakan sebagai usaha mengatasi ansietas yang merupakan suatu kesepian
nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme koping yang sering digunakan adalah
proyeksi, splitting (pemisah) dan isolasi. Proyeksi merupakan keinginan yang
tidak mampu ditoleransi dan klien mencurahkan emosi kepada orang lain karena
kesalahan sendiri. Splitting, kegagalan individu menginterpretasikan dalam
menilai baik buruk. Isolasi adalah perilaku mengasingkan diri dari orang lain
maupun lingkungan.
5) Sumber Koping
c. Pohon masalah
d. Masalah keperawatan
Isolasi sosial
DS: - Pasien mengatakan tidak dapat berpikir
- Pasien mengatakan kesepian
DO: - Pasien banyak diam dan menyendiri
e. Diagnosis keperawatan
Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
2) Tindakan
a) Membina hubungan saling percaya.
(1) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien.
(2) Berkenalan dengan pasien, seperti perkenalkan nama dan nama panggilan
yang Anda sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan pasien.
(3) Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.
(4) Buat kontrak asuhan, misalnya apa yang Anda akan lakukan bersama
pasien, berapa lama akan dikerjakan, dan tempatnya di mana.
(5) Jelaskan bahwa Anda akan merahasiakan informasi yang diperoleh
untuk kepentingan terapi.
(6) Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap pasien.
(7) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan.
4) Tindakan keperawatan
- Menanyakan tentang orang yang tinggal serumah atau teman sekamar
pasien
- Menanyakan orang yang paling dekat dengan pasien di rumah atau di
ruang perawatan
- Menanyakan apa yang membuat pasien dekat dengan orang tersebut
- Menanyakan orang tidak dekat dengan pasien di rumah atau di ruang
perawatan.
b. Strategi Komunikasi
SP 1 Pasien: Membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal penyebab
isolasi sosial, membantu pasien mengenal keuntungan berhubungan dan kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain, dan mengajarkan pasien berkenalan.
Orientasi (Perkenalan):
“Assalammu’alaikum ”
“Saya H ……….., Saya senang dipanggil Ibu Her …………, Saya perawat di Ruang
Mawar ini… yang akan merawat Ibu.”
“Siapa nama Ibu? Senang dipanggil siapa?”
“Apa keluhan S hari ini?” Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang keluarga dan
teman-teman S? Mau dimana kita bercakap-cakap? Bagaimana kalau di ruang tamu?
Mau berapa lama, S? Bagaimana kalau 15 menit”
Kerja:
(Jika pasien baru)
”Siapa saja yang tinggal serumah? Siapa yang paling dekat dengan S? Siapa yang jarang
bercakap-cakap dengan S? Apa yang membuat S jarang bercakap-cakap dengannya?”
(Jika pasien sudah lama dirawat)
”Apa yang S rasakan selama S dirawat disini? O.. S merasa sendirian? Siapa saja yang S
kenal di ruangan ini”
“Apa saja kegiatan yang biasa S lakukan dengan teman yang S kenal?”
“Apa yang menghambat S dalam berteman atau bercakap-cakap dengan pasien
yang lain?”
“Menurut S apa saja keuntungannya kalau kita mempunyai teman ? Wah benar, ada
teman bercakap-cakap. Apa lagi ? (sampai pasien dapat menyebutkan beberapa) Nah
kalau kerugiannya tidak mampunyai teman apa ya S ? Ya, apa lagi ? (sampai pasien
dapat menyebutkan beberapa) Jadi banyak juga ruginya tidak punya teman ya. Kalau
begitu inginkah S belajar bergaul dengan orang lain?
« Bagus. Bagaimana kalau sekarang kita belajar berkenalan dengan orang lain”
“Begini lho S, untuk berkenalan dengan orang lain kita sebutkan dulu nama kita dan
nama panggilan yang kita suka asal kita dan hobi. Contoh: Nama Saya S, senang
dipanggil Si. Asal saya dari Bireun, hobi memasak”
“Selanjutnya S menanyakan nama orang yang diajak berkenalan. Contohnya begini:
Nama Bapak siapa? Senang dipanggil apa? Asalnya dari mana/ Hobinya apa?”
“Ayo S dicoba! Misalnya saya belum kenal dengan S. Coba berkenalan dengan saya!”
“Ya bagus sekali! Coba sekali lagi. Bagus sekali”
“Setelah S berkenalan dengan orang tersebut S bisa melanjutkan percakapan tentang hal-
hal yang menyenangkan S bicarakan. Misalnya tentang cuaca, tentang hobi, tentang
keluarga, pekerjaan dan sebagainya.”
Terminasi:
”Bagaimana perasaan S setelah kita latihan berkenalan?”
”S tadi sudah mempraktekkan cara berkenalan dengan baik sekali”
”Selanjutnya S dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi selama saya tidak ada.
Sehingga S lebih siap untuk berkenalan dengan orang lain. S mau praktekkan ke pasien
lain. Mau jam berapa mencobanya. Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan
hariannya.”
”Besok pagi jam 10 saya akan datang kesini untuk mengajak S berkenalan dengan
teman saya, perawat N. Bagaimana, S mau kan?”
”Baiklah, sampai jumpa. Assalamu’alaikum
b. Penyebab
1) Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kurang perawatan diri adalah,
perkembangan. Dalam perkembangan, keluarga yang terlalu melindungi dan
memanjakan klien dapat menimbulkan perkembangan inisiatif dan keterampilan.
Lalu faktor predisposisi selanjutnya adalah Faktor Biologis, beberapa penyakit
kronis dapat menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri secara
mandiri. Faktor selanjutnya adalah kemampuan realitas yang menurun. Klien
dengan gangguan jiwa mempunyai kemampuan realitas yang kurang, sehingga
menyebabkanketidak pedulian dirinya terhadap lingkungan termasuk perawatan
diri.Selanjutnya adalah faktor sosial, kurang dukungan serta latihan
kemampuandari lingkungannya, menyebabkan klien merasa.
2) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurangnya atau penurunan
motivasi, kerusakan kognisi, atau perseptual, cemas, lelah/ lemah yang dialami
individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan
diri.
Sedangkan menurut Depkes tahun 2000 faktor yang mempengaruhi personal
hygiene adalah body image, praktik sosial, status sosial ekonomi, pengetahuan,
budaya, kebiasaan dan kondisi fisik. Berikut penjabarannya. Gambaran individu
terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya
perubahan fisik sehingga individu tidak perduli dengan dirinya. Pada anak anak
selalu dimanja dalam kebersihan diri maka,kemungkinan akan terjadi perubahan
pola personal hygiene & personal hygiene memerlukan alat dan bahan, seperti
sabun, sikat gigi, shampoo dan alat mandi lainnya yang membutuhkan uang untuk
menyediakannya.
d. Mekanisme Koping
Mekanisme adaptif dan maladaptive
e. Sumber Koping
Keluarga dan teman dekat.
3. Pohon Masalah
4. Masalah Keperawatan
Defisit perawatan diri
DS:
- Pasien mengatakan ia merasa lemah
- Pasien mengatakan ia malas menlakukan sesuatu
- Pasien mengatakan malas mandi dan tidak berdaya untuk melakukan kegiatan
- Keluarga Pasien mengatakan pasien menangis hampir setiap malam
- Keluarga Pasien mengatakan pasien tidak tahu cara makan dan minum yang baik
dan benar
DO:
- Rambut pasien terlihat berantakan dan kotor
- Bau mulut dan gigi, kulit kusam dan kotor
- Kuku panjang dan tidak terawatt
5. Diagnosa keperawatan
Defisit perawatan diri
3) Pengkajian Keperawatan
a. Gangguan kebersihan diri ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki
dan
bau, serta kuku panjang dan kotor.
b. Ketidakmampuan berhias/berdandan ditandai dengan rambut acak-acakan,
pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki tidak
bercukur, serta pada pasien wanita tidak berdandan.
c. Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai dengan ketidakmampuan
mengambil
makan sendiri, makan berceceran, dan makan tidak pada tempatnya.
d. Ketidakmampuan BAB atau BAK secara mandiri ditandai dengan BAB atau BAK
tidak pada tempatnya, serta tidak membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK.
4) Diagnosis Keperawatan
Defisit perawatan diri kebersihan diri, makan, berdandan, dan BAK/BAB
5) Rencana Intervensi
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
a. Tujuan
1) Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri.
2) Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik.
3) Pasien mampu melakukan makan dengan baik.
4) Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri.
b. Tindakan keperawatan
1) Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri.
Untuk melatih pasien dalam menjaga kebersihan diri, Anda dapat
melakukan tahapan tindakan berikut.
a) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri.
c) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri.
d) Melatih pasien mempraktikkan cara menjaga kebersihan diri.
ORIENTASI
“Selamat pagi, kenalkan saya suster R”
”Namanya siapa, senang dipanggil siapa?”
”Saya dinas pagi di ruangan ini pk. 07.00-14.00. Selama di rumah sakit ini saya yang
akan merawat T?”
“Dari tadi suster lihat T menggaruk-garuk badannya, gatal ya?”
” Bagaimana kalau kita bicara tentang kebersihan diri ? ”
” Berapa lama kita berbicara ?. 20 menit ya...?. Mau dimana...?. disini aja ya. ”
KERJA
“Berapa kali T mandi dalam sehari? Apakah T sudah mandi hari ini? Menurut T apa
kegunaannya mandi ?Apa alasan T sehingga tidak bisa merawat diri? Menurut T apa
manfaatnya kalau kita menjaga kebersihan diri? Kira-kira tanda-tanda orang yang
tidak merawat diri dengan baik seperti apa ya...?, badan gatal, mulut bau, apa lagi...?
Kalau kita tidak teratur menjaga kebersihan diri masalah apa menurut T yang bisa
muncul ?” Betul ada kudis, kutu...dsb.
“Apa yang T lakukan untuk merawat rambut dan muka? Kapan saja T menyisir rambut?
Bagaimana dengan bedakan? Apa maksud atau tujuan sisiran dan berdandan?”
(Contoh untuk pasien laki-laki)
“Berapa kali T cukuran dalam seminggu? Kapan T cukuran terakhir? Apa gunanya
cukuran? Apa alat-alat yang diperlukan?”. Iya... sebaiknya cukuran 2x perminggu, dan
ada alat cukurnya?”. Nanti bisa minta ke perawat ya.
“Menurut T kalau mandi itu kita harus bagaimana ? Sebelum mandi apa yang perlu kita
persiapkan? Benar sekali..T perlu menyiapkan pakaian ganti, handuk, sikat gigi, shampo
dan sabun serta sisir”.
TERMINASI
“Bagaimana perasaan T setelah mandi dan mengganti pakaian ? Coba T
sebutkan lagi apa saja cara-cara mandi yang baik yang sudah T lakukan tadi ?”.
”Bagaimana perasaan Tina setelah kita mendiskusikan tentang pentingnya kebersihan diri
tadi ? Sekarang coba Tina ulangi lagi tanda-tanda bersih dan rapi”
”Bagus sekali mau berapa kali T mandi dan sikat gigi...?dua kali pagi dan sore,
Mari...kita masukkan dalam jadual aktivitas harian. Nach... lakukan ya T..., dan beri
tanda kalau sudah dilakukan Spt M ( mandiri ) kalau dilakukan tanpa disuruh, B
( bantuan ) kalau diingatkan baru dilakukan dan T ( tidak ) tidak melakukani? Baik besok
lagi kita latihan berdandan. Oke?” Pagi-pagi sehabis makan.
ORIENTASI
“Selamat pagi Pak Tono?
“Bagaimana perasaan bpk hari ini? Bagaimana mandinya?”sudah dilakukan? Sudah ditandai
di jadual hariannya?
“Hari ini kita akan latihan berdandan, mau dimana latihannya. Bagaimana kalau di ruang
tamu ? lebih kurang setengah jam”.
KERJA
“Apa yang T lakukan setelah selesai mandi ?”apa T sudah ganti baju?
“Untuk berpakaian, pilihlah pakaian yang bersih dan kering. Berganti pakaian yang bersih
2x/hari. Sekarang coba bapak ganti baju.. Ya, bagus seperti itu”.
“Apakah T menyisir rambut ? Bagaimana cara bersisir ?”Coba kita praktekkan, lihat ke
cermin, bagus…sekali!
“Apakah T suka bercukur ?Berapa hari sekali bercukur ?” betul 2 kali perminggu
“Tampaknya kumis dan janggut bapak sudah panjang. Mari Pak dirapikan ! Ya,
Bagus !” (catatan: janggut dirapihkan bila pasien tidak memelihara janggut)
TERMINASI
“Bagaimana perasaan bapak setelah berdandan”.
“Coba pak, sebutkan cara berdandan yang baik sekali lagi”..
“Selanjutnya bapak setiap hari setelah mandi berdandan dan pakai baju seperti tadi ya! Mari
kita masukan pada jadual kegiatan harian, pagi jam berapa, lalu sore jam berap ?
“Nanti siang kita latihan makan yang baik. Diruang makan bersama dengan pasien yang lain.
ORIENTASI
“Selamat siang T,”
” Wow...masih rapi dech T”.
“Siang ini kita akan latihan bagaimana cara makan yang baik. Kita latihan langsung di ruang
makan ya..!” Mari...itu sudah datang makanan.“
KERJA
“Bagaimana kebiasaan sebelum, saat, maupun setelah makan? Dimana T makan?”
“Sebelum makan kita harus cuci tangan memakai sabun. Ya, mari kita praktekkan! “Bagus!
Setelah itu kita duduk dan ambil makanan. Sebelum disantap kita berdoa dulu. Silakan
T yang pimpin!. Bagus..
“Mari kita makan.. saat makan kita harus menyuap makanan satu-satu dengan pelan-pelan.
Ya, Ayo...sayurnya dimakanya.”“Setelah makan kita bereskan piring,dan gelas yang
kotor. Ya betul.. dan kita akhiri dengan cuci tangan. Ya bagus!” Itu Suster Ani sedang bagi
obat, coba...T minta sendiri obatnya.”
TERMINASI
“Bagaimana perasaan T setelah kita makan bersama-sama”.
”Apa saja yang harus kita lakukan pada saat makan, ( cuci tangan, duduk yang baik, ambil
makanan, berdoa, makan yang baik, cuci piring dan gelas, lalu cuci tangan.)”
” Nach... coba T lakukan seperti tadi setiap makan, mau kita masukkan dalam jadual?.Besok
kita ketemu lagi untuk latihan BAB / BAK yang baik, bagaiman kalau jam 10.00 disini saja
ya...!”
D. Halusinasi
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa adanya
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh pancaindra.
Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami
perubahan sensori persepsi, serta merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan perabaan, atau penciuman. Pasien merasakan stimulus
yang sebetulnya tidak ada. Pasien gangguan jiwa mengalami perubahan dalam hal
orientasi realitas. Salah satu manifestasi yang muncul adalah halusinasi yang
membuat pasien tidak dapat menjalankan pemenuhan dalam kehidupan sehari-
hari.
2) Penyebab
a) Faktor Predisposisi
(1) Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak dapat menimbulkan
gangguan seperti:
(2) Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon psikologis diri klien, sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi
ganguan orientasi realitas adalah penolakan atau kekerasan dalam hidup
klien.
b) Faktor Presipitasi
(1) Stresor sosial budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan
stabilitas keluarga, perpisahan dengan orang yang penting, atau
diasingkan dari kelompok dapat menimbulkan halusinasi.
(2) Faktor biokimia
Berbagai penelitian tentang dopamin, norepinetrin, indolamin, serta
zat halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realitas
termasuk halusinasi.
(3) Faktor psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan mengatasi masalah memungkinkan
berkembangnya gangguan orientasi realitas. Pasien mengembangkan
koping untuk menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan.
(4) Perilaku
Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan orientasi
realitas berkaitan dengan perubahan proses pikir, afektif persepsi,
motorik, dan sosial.
3) Jenis-jenis Halusinasi
4) Tanda dan Gejala
Data Subjektif: Pasien mengatakan..
- Mendengar suara-suara atau kegaduhan
- Mendengar suara yang menagjak bercakap-cakap
- Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
- Melihat bayangan, sinar dan hantu
- Mencium bau-bauan seperti bau darah, urine dll
- Merasakan rasa seperti darah, urine dll
- Merasa takut atau senang dengan halusinasinya
Data Objektif:
- Bicara atau tertawa sendiri
- Marah-marah tanpa sebab
- Mengarahkan telinga kea rah tertentu
- Menutup telinga
- Menunjuk-nunjuk ke daerah tertentu
- Takut pada sesuatu yang tidak jelas
- Mencium bau-bauan tertentu
5) Mekanisme Koping
(a) With Drawal : Menarik diri dan klien sulit mempercayai masalah yang
dialami.
(b) Proyeksi : Menggambarkan dan menjelaskan persepsi yang
membingungkan.
(c) Regresi : Terjadi dalam hubungan sehari hari untuk memproses masalah
dan mengeluarkan sejumlah energi dalam mengatasi cemas. Energi yang
tersisa sedikit sehingga klien menjadi malas beraktivitas.
6) Sumber Koping
Sumber daya keluarga amat diperlukan dengan mengetahui dan
mengerti tentang penyakit, finansial keluarga, waktu dan tenaga keluarga
yang tersedia dan kemampuan keluarga memberikan asuhan (Stuart & Larata,
2015)
7) Tahapan Halusinasi
8) Pohon Masalah
9) Masalah Keperawatan
Gangguan persepsi sensori : Halusinasi
(Iskandar dkk:2012:67)
1. Proses Keperawatan
a. Keadaan klien
Data subjektif : Pasien merasa takut dan tidak mau
bicara,terlihat merenung,terkadang tertawa sendiri
Data objektif : Pasien tidak komunikatif
b. Diagnosa keperawatan
Perubahan persepsi sensori : Halusinasi berhubungan dengan menarik diri
c. Tujuan
1. Pasien dapat membina hubungan saling percaya
2. Pasien dapat mengenali halusinasi
3. Pasien dapat mempraktekan cara menghalau halusinasi dengan menghardik
4. Pasien dapat minum obat dengan benar
d. Tindakan Keperawatan
a. Membina hubungan saling percaya
b. Menjelaskan dan mengenalkan halusinasi pasien
c. Mempraktekan cara menghardik
d. Menjelaskan cara minum obat yang benar
E. Waham
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-menerus, tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006)
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah.
Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien
(Aziz R, 2003).
1. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
1) Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
2) Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
3) Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
4) Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.
b. Faktor Presipitasi
1) Proses pengolahan informasi yang berlebihan
2) Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
3) Adanya gejala pemicu
2. Tanda dan Gejala
a. Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakinninya (tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan
b. Klien tampak tidak mempunyai orang lain
c. Curiga
d. Bermusuhan
e. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan
f. Takut dan sangat waspada
g. Tidak tepat menilai lingkungan/realitas
h. Ekspresi wajah tegang
i. Mudah tersingung
9. Pohon Masalah
Resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan
ORIENTASI:
“Selamat pagi, perkenalkan nama saya Kai, saya perawat yang dinas pagi ini di ruang melati.
Saya dinas dari pk 07-14.00 nanti, saya yang akan merawat nona hari ini. Nama nona siapa,
senangnya dipanggil apa?”
“Bisa kita berbincang-bincang tentang apa yang nona X rasakan sekarang?”
“Berapa lama nona X mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15 menit?”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang, nona?”
KERJA:
“Saya mengerti nona X merasa bahwa nona X adalah seorang nabi, tapi sulit bagi saya untuk
mempercayainya karena setahu saya semua nabi sudah tidak adalagi, bisa kita lanjutkan
pembicaraan yang tadi terputus nona?”
“Tampaknya nona X gelisah sekali, bisa nona ceritakan apa yang
nona X rasakan?”
“O... jadi nona X merasa takut nanti diatur-atur oleh orang lain dan tidak punya hak untuk
mengatur diri nona sendiri?”
“Siapa menurut nona yang sering mengatur-atur diri nona?”
“Jadi ibu yang terlalu mengatur-ngatur ya, juga kakak dan adik yang lain?”
“Kalau nona sendiri inginnya seperti apa?”
“O... bagus nona sudah punya rencana dan jadwal untuk diri sendiri”
“Coba kita tuliskan rencana dan jadual tersebut nona”
“Wah..bagus sekali, jadi setiap harinya nona ingin ada kegiatan diluar rumah karena bosan
kalau di rumah terus ya”
TERMINASI
“Bagaimana perasaan nona X setelah berbincang-bincang dengan saya?”
”Apa saja tadi yang telah kita bicarakan? Bagus”
“Bagaimana kalau jadwal ini nona coba lakukan, setuju?”
“Bagaimana kalau saya datang kembali dua jam lagi?”
”Kita bercakap-cakap tentang kemampuan yang pernah nona miliki? Mau di mana kita
bercakap-cakap? Bagaimana kalau di sini lagi?”
ORIENTASI
“Selamat pagi nona X, bagaimana perasaannya saat ini? Bagus!”
“Apakah nona X sudah mengingat-ingat apa saja hobi atau kegemaran nona?”
“Bagaimana kalau kita bicarakan hobi tersebut sekarang?”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang tentang hobi nona X tersebut?”
“Berapa lama nona X mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 20 menit tentang hal
tersebut?”
KERJA
“Apa saja hobby nona? Saya catat ya, terus apa lagi?”
“Wah.., rupanya nona X pandai main volley ya, tidak semua orang bisa bermain volley seperti
itu lho X”(atau yang lain sesuai yang diucapkan pasien).
“Bisa nona X ceritakan kepada saya kapan pertama kali belajar main volley, siapa yang dulu
mengajarkannya kepada nona X, dimana?”
“Bisa nona X peragakan kepada saya bagaimana bermain volley yang baik itu?”
“Wah..baik sekali permainannya”
“Coba kita buat jadual untuk kemampuan nona X ini ya, berapa kali sehari/seminggu nona X
mau bermain volley?”
“Apa yang nona X harapkan dari kemampuan bermain volley ini?”
“Ada tidak hobi atau kemampuan nona X yang lain selain bermain volley?”
TERMINASI
“Bagaimana perasaan nona X setelah kita bercakap-cakap tentang hobi dan kemampuan
nona?”
“Setelah ini coba nona X lakukan latihan volley sesuai dengan jadual yang telah kita buat
ya?”
“Besok kita ketemu lagi ya nona?”
“Bagaimana kalau nanti sebelum makan siang? Di kamar makan saja, ya setuju?”
“Nanti kita akan membicarakan tentang obat yang harus nona X minum, setuju?”
ORIENTASI
“Selamat Pagi nona X.”
“Bagaimana nona sudah dicoba latihan volleynya? Bagus sekali”
“Sesuai dengan janji kita dua hari yang lalu bagaimana kalau sekarang kita membicarakan
tentang obat yang nona X minum?”
“Dimana kita mau berbicara? Di kamar makan?”
“Berapa lama nona X mau kita berbicara? 20 atau 30 menit?
KERJA
“Nona X berapa macam obat yang diminum/ Jam berapa saja obat diminum?”
“Nona X perlu minum obat ini agar pikirannya jadi tenang, tidurnya juga tenang”
“Obatnya ada tiga macam nona, yang warnanya oranye namanya CPZ gunanya agar
tenang, yang putih ini namanya THP gunanya agar rileks, dan yang merah jambu ini
namanya HLP gunanya agar pikiran jadi teratur. Semuanya ini diminum 3 kali sehari jam
7 pagi, jam 1 siang, dan jam 7 malam”.
“Bila nanti setelah minum obat mulut nona X terasa kering, untuk membantu mengatasinya
nona bisa banyak minum dan mengisap-isap es batu”.
“Sebelum minum obat ini nona X dan ibu mengecek dulu label di kotak obat apakah benar
nama X tertulis disitu, berapa dosis atau butir yang harus diminum, jam berapa saja harus
diminum. Baca juga apakah nama obatnya sudah benar”
“Obat-obat ini harus diminum secara teratur dan kemungkinan besar harus diminum dalam
waktu yang lama. Agar tidak kambuh lagi sebaiknya nona X tidak menghentikan sendiri obat
yang harus diminum sebelum berkonsultasi dengan dokter”.
TERMINASI
“Bagaimana perasaan nona X setelah kita bercakap-cakap
tentang obat yang nona X minum?. Apa saja nama obatnya? Jam berapa minum obat?”
“Mari kita masukkan pada jadual kegiatan abang. Jangan lupa minum obatnya dan nanti
saat makan minta sendiri obatnya pada suster”
“Jadwal yang telah kita buat kemarin dilanjutkan ya Nona!”
“Nona, besok kita ketemu lagi untuk melihat jadwal kegiatan yang telah dilaksanakan.
Bagaimana kalau seperti biasa, jam 10 dan di tempat sama?”
“Sampai besok.”
Adaptif Maladaptif
b. Intelektual
1) Mendominasi
2) Bawel
3) Sarkasme
4) Berdebat
5) Meremehkan
c. Fisik
1) Muka merah
2) Pandangan tajam
3) Napas pendek
4) Keringat
5) Sakit fisik
6) Penyalahgunaan zat
7) Tekanan darah meningkat
d. Spiritual
1) Kemahakuasaan
2) Kebijakan/kebenaran diri
3) Keraguan
4) Tidak bermoral
5) Kebejatan
6) Kreativitas terlambat
e. Sosial
1) Menarik diri
2) Pengasingan
3) Penolakan
4) Kekerasan
5) Ejekan
6) Humor
Stres
Cemas
Marah
perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol, yang individu
Rasa marah teratasi
dapat merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan (Keliat, 1991). Amuk adalah
Muncul rasa bermusuhan
respons marah terhadap adanya stres, rasa cemas, harga diri rendah, rasa bersalah, putus
asa, dan ketidakberdayaan. Rasa bermusuhan menahun
ResponsMarah
marahpadadapat
diri diekspresikan secara internal Marah
atau pada
eksternal.
orang Secara internal
sendiri lain/lingkungan
dapat berupa perilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara eksternal
Depresi destruktif agresif. Respons marah dapat diungkapkan melalui tiga
dapat berupa perilaku Agresif/mengamuk
psikosomatik
cara yaitu (1) mengungkapkan secara verbal, (2) menekan, dan (3) menantang.
Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan
katakata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain akan
memberikan kelegaan pada individu. Apabila perasaan marah diekspresikan dengan
perilaku agresif dan menentang, biasanya dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini
menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku yang
destruktif dan amuk.
4. Pengkajian Keperawatan
a. Faktor Predisposisi
1) Psikoanalisis
Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresif adalah merupakan hasil dari
dorongan insting (instinctual drives).
2) Psikologis
Berdasarkan teori frustasi-agresif, agresivitas timbul sebagai hasil dari
peningkatan frustasi. Tujuan yang tidak tercapai dapat menyebabkan frustasi
berkepanjangan.
3) Biologis
Bagian-bagian otak yang berhubungan dengan terjadinya agresivitas sebagai
berikut.
a) Sistem limbik
Merupakan organ yang mengatur dorongan dasar dan ekspresi emosi serta
perilaku seperti makan, agresif, dan respons seksual. Selain itu, mengatur
sistem informasi dan memori.
b) Lobus temporal
Organ yang berfungsi sebagai penyimpan memori dan melakukan interpretasi
pendengaran.
c) Lobus frontal
Organ yang berfungsi sebagai bagian pemikiran yang logis, serta pengelolaan
emosi dan alasan berpikir.
d) Neurotransmiter
Beberapa neurotransmiter yang berdampak pada agresivitas adalah serotonin
(5-HT), Dopamin, Norepineprin, Acetylcholine, dan GABA.
4) Perilaku (behavioral)
a) Kerusakan organ otak, retardasi mental, dan gangguan belajar mengakibatkan
kegagalan kemampuan dalam berespons positif terhadap frustasi.
b) Penekanan emosi berlebihan (over rejection) pada anak-anak atau godaan
(seduction) orang tua memengaruhi kepercayaan (trust) dan percaya diri (self
esteem) individu.
c) Perikaku kekerasan di usia muda, baik korban kekerasan pada anak (child
abuse) atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga memengaruhi
penggunaan kekerasan sebagai koping.
Teori belajar sosial mengatakan bahwa perilaku kekerasan adalah hasil belajar
dari proses sosialisasi dari internal dan eksternal, yakni sebagai berikut.
a) Internal: penguatan yang diterima ketika melakukan kekerasan.
b) Eksternal: observasi panutan (role model), seperti orang tua, kelompok,
saudara, figur olahragawan atau artis, serta media elektronik (berita kekerasan,
perang, olahraga keras).
5) Sosial kultural
a) Norma
Norma merupakan kontrol masyarakat pada kekerasan. Hal ini mendefinisikan
ekspresi perilaku kekerasan yang diterima atau tidak diterima akan
menimbulkan sanksi. Kadang kontrol sosial yang sangat ketat (strict) dapat
menghambat ekspresi marah yang sehat dan menyebabkan individu memilih
cara yang maladaptif lainnya.
b) Budaya asertif di masyarakat membantu individu untuk berespons terhadap
marah yang sehat.
Faktor sosial yang dapat menyebabkan timbulnya agresivitas atau perilaku
kekerasan yang maladaptif antara lain sebagai berikut.
a) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup.
b) Status dalam perkawinan.
c) Hasil dari orang tua tunggal (single parent).
d) Pengangguran.
e) Ketidakmampuan mempertahankan hubungan interpersonal dan struktur
keluarga dalam sosial kultural.
b. Faktor Presipitasi
Semua faktor ancaman antara lain sebagai berikut.
1) Internal
a) Kelemahan.
b) Rasa percaya menurun.
c) Takut sakit.
d) Hilang kontrol.
2) Eksternal
a) Penganiayaan fisik.
b) Kehilangan orang yang dicintai.
c) Kritik.
5. Diagnosis
a. Pohon Masalah
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Perilaku kekerasan.
Gangguan konsep diri: harga diri rendah.
b. Diagnosis Keperawatan
1) Risiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan dengan
perilaku kekerasan.
2) Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
6. Rencana Intervensi
Risiko Perilaku Kekerasan
a. Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1) Tujuan
a) Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
b) Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
c) Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
d) Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya.
e) Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya.
f) Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik,
spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
2) Tindakan
a) Bina hubungan saling percaya.
(1) Mengucapkan salam terapeutik.
(2) Berjabat tangan.
(3) Menjelaskan tujuan interaksi.
(4) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu pasien.
b) Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan masa
lalu.
c) Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
(1) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
(2) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis.
(3) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial.
(4) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual.
(5) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual.
d) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat
marah secara:
(1) verbal,
(2) terhadap orang lain,
(3) terhadap diri sendiri,
(4) terhadap lingkungan.
e) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
f) Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
(1) fisik, misalnya pukul kasur dan batal, tarik napas dalam;
(2) obat;
(3) sosial/verbal, misalnya menyatakan secara asertif rasa marahnya;
(4) spiritual, misalnya sholat atau berdoa sesuai keyakinan pasien.
g) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, yaitu latihan napas
dalam dan pukul kasur/bantal, secara sosial/verbal, secara spiritual, dan patuh
minum obat.
h) Ikut sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi
mengontrol perilaku kekerasan.
b. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1) Tujuan
Keluarga dapat merawat pasien di rumah.
2) Tindakan
a) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien.
b) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab, tanda
dan gejala, serta perilaku yang muncul dan akibat dari perilaku tersebut).
c) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu segera
dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain.
d) Latih keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan.
1) Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan tindakan yang
telah diajarkan oleh perawat.
2) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien bila pasien
dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
3) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila pasien
menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.
e) Buat perencanaan pulang bersama keluarga. Strategi Penahanan
c. Strategi Penahanan
Stategi Preventif
Strategi Antisipasi Strategi
Penahanan
f. Pengekangan
Tujuan dari pengekangan adalah mengurangi gerakan fisik pasien, serta
melindungi pasien dan orang lain dari cedera. Indikasi antara lain sebagai berikut.
1) Ketidakmampuan mengontrol perilaku.
2) Perilaku tidak dapat dikontrol oleh obat atau teknik psikososial.
3) Hiperaktif dan agitasi.
Prosedur pelaksanaan pengekangan adalah sebagai berikut.
1) Jelaskan pada pasien alasan pengekangan.
2) Lakukan dengan hati-hati dan tidak melukai.
3) Ada perawat yang ditugaskan untuk mengontrol tanda vital, sirkulasi, dan
membuka ikatan untuk latihan gerak.
4) Penuhi kebutuhan fisik, yaitu makan, minum, eliminasi, dan perawatan diri.
5) Selengkapnya baca Stuart dan Sundeen (1995: 739) dan pedoman pengikatan.
7. Evaluasi
a. Pada pasien
1) Pasien mampu menyebutkan penyebab, tanda dan gejala perilaku kekerasan,
perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, serta akibat dari perilaku kekerasan
yang dilakukan.
2) Pasien mampu menggunakan cara mengontrol perilaku kekerasan secara teratur
sesuai jadwal, yang meliputi:
a) secara fisik,
b) secara sosial/verbal,
c) secara spiritual,
d) terapi psikofarmaka.
b. Pada keluarga
1) Keluarga mampu mencegah terjadinya perilaku kekerasan.
2) Keluarga mampu menunjukkan sikap yang mendukung dan menghargai pasien.
3) Keluarga mampu memotivasi pasien dalam melakukan cara mengontrol perilaku
kekerasan.
4) Keluarga mampu mengidentifikasi perilaku pasien yang harus dilaporkan pada
perawat.
8. Strategi Pelaksanaan Pada Resiko Perilaku Kekerasan
a. Pertemuan Pertama
1) Kondisi klien
Klien tenang, kooperatif, klien mampu menjawab semua pertanyaan yang
diajukan.
2) Diagnosa Keperawatan
Risiko perilaku kekerasan
3) Tujuan Khusus
a) Pasien dapat mengidentifikasi PK
b) Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda PK
c) Pasien dapat menyebutkan jenis PK yang pernah dilakukannya
d) Pasien dapat menyebautkan akibat dari PK yang dilakukannya
e) Pasien dapat menyebutka cara mencegah / mengendalikan PKnya
4) Tindakan Keperawatan
SP 1 Klien :
Membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi penyebab marah,
tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan,
akibat dan cara mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik
pertama ( latihan nafas dalam).
a) Fase Orientasi
“Selamat pagi nona, perkenalkan nama saya Kai. Saya perawat yang dinas di
ruangan ini selama 3 minggu. Hari ini saya dinas pagi dari jam 7 sampai jam
1 siang, jadi selama 3 minggu ini saya yang merawat nona. Nama nona siapa?
Dan senang nya dipanggil apa?”
“Bagaimana perasaan nona X saat ini? Masih ada perasaan kesal atau
marah?”
“Baiklah sekarang kita akan berbincang-bincang tentang perasaan marah yang
nona rasakan,”
“Berapa lama nona mau kita berbincang-bincang ? Bagaimana kalau 10
menit, di mana kita akan bincang-bincang?”
“Bagaimana kalau diruang tamu?”
b) Fase Kerja
“Apa yang menyebabkan nona X marah? Apakah sebelumnya nona X pernah
marah? Terus penyebabnya apa? Samakah dengan yang sekarang? Pada saat
penyebab marah itu ada, seperti rumah yang berantakan, makanan yang tidak
tersedia, air tak tersedia ( misalnya ini penyebab marah klien), apa yang nona
X rasakan?“
“Apakah nona X merasa kesal, kemudian dada nona berdebar-debar, mata
melotot, rahang terkatup rapat, dan tangan mengepal?”
“Apa yang nona lakukan selanjutnya”
“Apakah dengan nona X marah-marah, keadaan jadi lebih baik?
“Menurut nona adakah cara lain yang lebih baik selain marah-marah?
“Maukah nona belajar mengungkapkan marah dengan baik tanpa
menimbulkan kerugian?
“Ada beberapa cara fisik untuk mengendalikan rasa marah, hari ini kita belajar
satu cara dulu,”
“Begini nona, kalau tanda- marah itu sudah nona rasakan nona berdiri lalu
tarik nafas dari hidung, tahan sebentar, lalu keluarkan secara perlahan-lahan
dari mulut seperti mengeluarkan kemarahan, coba lagi nona dan lakukan
sebanyak 5 kali. Bagus sekali nona X sudah dapat melakukan nya.
“Nah sebaiknya latihan ini nona X lakukan secara rutin, sehingga bila
sewaktu-waktu rasa marah itu muncul nona X sudah terbiasa melakukannya”.
c) Fase Terminasi
“Bagaimana perasaan nona X setelah berbincang-bincang tentang kemarahan
nona? ”
“Coba nona X sebutkan penyebab nona marah dan yang nona rasakan dan
apa yang nona lakukan serta akibatnya.”
“Baik, sekarang latihan tadi kita masukkan ke jadwal harian ya nona”
“Berapa kali sehari nona mau latihan nafas dalam ?”
“Bagus.”
“Nanti tolong nona tulis M, bila nona melakukannya sendiri, tulis B, bila nona
dibantu dan T, bila nona tidak melakukan”
“Baik, bagaimana kalau besok kita latihan cara lain untuk mencegah dan
mengendalikan marah nona X?”
”Dimana kita akan latihan, bagaimana kalau tempatnya disini saja ya?”
“Berapa lama kita akan lakukan, bagaimana kalau 10 menit saja”
“Saya pamit dulu ya nona…Selamat pagi.”
b. Pertemuan Kedua
1) Kondisi klien
Klien tenang, kooperatif, ada kontak mata saat berbicara.
2) Diagnosa Keperawatan
Risiko perilaku kekerasan
3) Tujuan khusus
a) Melatih cara mencegah/ mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
kedua
b) Mengevaluasi latihan nafas dalam
c) Melatih cara fisik ke 2: pukul kasur dan bantal
d) Menyusun jadwal kegiatan harian cara kedua
e) Tindakan Keperawatan
SP 2 klien :
Membantu klien latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik ke
dua (evaluasi latihan nafas dalam, latihan mengendalikan perilaku kekerasan
dengan cara fisik ke dua : pukul kasur dan bantal), menyusun jadwal kegiatan
harian cara ke dua.
4) Tindakan Keperawatan
a) Fase Orientasi
“Halo, nona X, masih ingat nama saya. Bagus Nona..ya saya Kai”
“Sesuai dengan janji saya kemarin, sekarang saya datang lagi.
“Bagaimana perasaan Nona saat ini, adakah hal yang menyebabkan Nona
marah?”
“Baik, sekarang kita akan belajar cara mengendalikan perasaan marah dengan
kegiatan fisik untuk cara yang kedua.”
“ mau berapa lama? Bagaimana kalau 10 menit?”
“ Dimana kita bicara? Bagaimana kalau di ruang tamu ini ya Nona”
b) Fase Kerja
“Kalau ada yang menyebabkan Nona marah dan muncul perasaan kesal,
selain nafas dalam Nona dapat memukul kasur dan bantal.”
“Sekarang mari kita latihan memukul bantal dan kasur mari ke kamar nona?
Jadi kalau nanti nona kesal atau marah, nona langsung kekamar dan
lampiaskan marah nona tersebut dengan memukul bantal dan kasur.Nah coba
nona lakukan memukul bantal dan kasur, ya bagus sekali nona
melakukannya!”
“Nah cara ini pun dapat dilakukan secara rutin jika ada perasaan marah,
kemudian jangan lupa merapikan tempat tidur Ya!”
c) Fase Terminasi
“Bagaimana perasaan nona setelah latihan cara menyalurkan marah tadi?”
“Coba nona sebutkan ada berapa cara yang telah kita latih? Bagus!”
“ Mari kita masukkan kedalam jadwal kegiatan sehari-hari nona. Pukul berapa
nona mau mempraktikkan memukul kasur/bantal?
“Bagai mana kalau setiap bangun tidur? Baik jadi jam 5 pagi dan jam 3 sore,
lalu kalau ada keinginan marah sewaktu-waktu gunakan kedua cara tadi ya
Nona.”
“Sekarang nona istirahat, 2 jam lagi kita ketemu ya nona, kita akan belajar
mengendalikan marah dengan belajar bicara yang baik. Sampai Jumpa!”
c. Pertemuan Ketiga
1) Kondisi klien
Klien kooperatif, tenang, ada kontak mata saat berbicara, sesekali nada bicara
agak tinggi.
2) Diagnosa Keperawatan
Risiko perilaku kekerasan
3) Tujuan khusus
(a) Melatih cara mencegah/ mengontrol perilaku kekerasan secara
sosial/verbal
(b) Mengevaluasi jadual harian untuk dua cara fisik
(c) Melatih mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak dengan baik,
meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik
(d) Menyusun jadwal latihan mengungkapkan secara verbal
4) Tindakan Keperawatan
SP3 klien :
Membantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara
sosial/verbal (evaluasi jadwal harian tentang dua cara fisik mengendalikan
perilaku kekerasan, latihan mengungkapkan rasa marah secara verbal
( menolak dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan
dengan baik), susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal)
a) Fase Orientasi
“Halo nona X, masih ingat nama saya? Bagus nona, ya saya Kai”
“Sesuai dengan janji saya 2 jam yang lalu sekarang kita ketemu lagi”
“Bagaimana nona, sudah dilakukan tarik nafas dalam dan pukul kasur bantal?
Apa yang dirasakan setelah melakukan latihan secara teratur?”
“Coba saya lihat jadwal kegiatan hariannya.”
“Bagus, bagaimana kalau kita sekarang latihan cara bicara untuk mencegah
marah?”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang?Bagaimana kalau ditempat yang
sama?”
“Berapa lama nona mau kita berbincang-bincang? Bagaiman kalau 10
menit?”
b) Fase Kerja
“Sekarang kita latihan cara bicara nona untuk mencegah marah. Kalau marah
sudah disalurkan melalui tarik nafas dalam atau pukul kasur dan bantal, dan
sudah lega, maka kita perlu bicara dengan orang yang membuat kita marah.
Ada tiga caranya nona:
Pertama meminta dengan baik tanpa marah dengan suara yang rendah serta
tidak menggunakan kata-kata kasar. Kemarin nona mengatakan penyebab
marahnya karena makanan tidak tersedia, rumah berantakan, Coba nona minta
sediakan makan dengan baik, seperti ‘bu, tolong sediakan makan dan
bereskan rumah’ Nanti biasakan dicoba disini untuk meminta baju, minta obat
dan lain-lain. Coba sekarang nona praktekkan. Bagus nona.”
“Yang kedua, menolak dengan baik, jika ada yang menyuruh dan nona tidak
ingin melakukannya, katakan ‘maaf saya tidak bisa melakukannya karena
sedang ada kerjaan’. Coba nona praktekkan. Bagus nona.”
“Yang ketiga, mengungkapkan perasaan kesal, jika ada perlakuan orang
lain yang membuat kesal nona dapat mengatakan ‘Saya jadi ingin marah
karena perkataan mu itu’. Coba praktekkan. Bagus.”
c) Fase Terminasi
“Bagaimana perasaan nona setelah bercakap-cakap tentang cara mengontrol
marah dengan bicara yang baik?’
“Coba nona sebutkan lagi cara bicara yang baik yang telah kita pelajari.”
“Bagus sekali, sekarang mari kita masukkan dalam jadwal. Berapa kali sehari
nona mau latihan bicara yang baik? bisa kita buat jadwalnya?”
“Coba masukkan dalam jadwal latihan sehari-hari, misalnya meminta obat,
makanan dll. Bagus nanti dicoba ya nona!”
“Bagaimana kalau besok kita ketemu lagi?”
“Besok kita akan membicarakan cara lain untuk mengatasi rasa marah nona
yaitu dengan cara ibadah, nona setuju? Mau dimana nona? Disini lagi? Baik
sampai nanti ya nona…Selamat pagi.”
d. Pertemuan Keempat
1) Kondisi klien
Klien tenang, kooperatif, bicara jelas.
2) Diagnosa Keperawatan
Risiko perilaku kekerasan
3) Tujuan khusus
Pasien dapat mencegah/ mengendalikan PKnya secara spiritual,
4) Tindakan Keperawatan
SP 4 klien :
Bantu klien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara spiritual
(diskusikan hasil latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara fisik dan
sosial/verbal, latihan beribadah dan berdoa, buat jadwal latihan ibadah/
berdoa)
a) Fase Orientasi
“Halo nona X, masih ingat nama saya. Betul Nona, saya Kai.”
“Bagaimana nona, latihan apa yang sudah dilakukan? Apa yang dirasakan
setelah melakukan latihan secara teratur? Bagus sekali, bagaimana rasa
marahnya?”
“Bagaimana kalau sekarang kita latihan cara lain untuk mencegah rasa marah
yaitu dengan ibadah?”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang? Bagaiman kalau ditempat biasa?”
“Berapa lama nona mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 10
menit?”
b) Fase kerja
“Coba ceritakan kegiatan ibadah yang biasa ibu lakukan! Bagus, yang mana
yang mau di coba?”“Nah, kalau ibu sedang marah coba langsung duduk dan
langsung tarik nafas dalam. Jika tidak reda juga marahnya rebahkan badan
agar rileks. Jika tidak reda juga, ambil air wudhu kemudian sholat”.“Ibu bisa
melakukan sholat secara teratur untuk meredakan kemarahan.”
“Coba ibu sebutkan sholat 5 waktu? Bagus, mau coba yang mana? Coba
sebutkan caranya?”
c) Fase terminasi
“Bagaimana perasaan nona setelah kita bercakap-cakap tentang cara yang
ketiga ini?”
“Jadi sudah berapa cara mengontrol marah yang kita pelajari? Bagus”
“Mari kita masukkan kegiatan ibadah pada jadwal kegiatan nona. Mau
berapa kali nona sholat. Baik kita masukkan sholat …….dan …… (sesuai
kebutuhan pasien).”
“Coba nona sebutkan lagi cara ibadah yang dapat nona lakukan bila nona
sedang marah”
“Setelah ini coba nona lakukan sholat sesuai jadwal yang telah kita buat tadi”
“2 jam lagi kita ketemu ya nona, nanti kita bicarakan cara keempat
mengontrol rasa marah, yaitu dengan patuh minum obat!”
“Nanti kita akan membicarakan cara penggunaan obat yang benar untuk
mengontrol rasa marah nona, setuju nona?”
e. Pertemuan Kelima
1) Kondisi klien
Klien tenang, kooperatif, kontak mata ada saat komunikasi.
2) Diagnosa Keperawatan
Risiko perilaku kekerasan
3) Tujuan khusus
Pasien dapat mencegah/ mengendalikan PKnya dengan terapi psikofarmaka
4) Tindakan Keperawatan
SP 5 klien :
Membantu klien latihan mengendalikan PK dengan obat ( bantu pasien
minum obat secara teratur dengan prinsip 5 benar ( benar pasien, benar
nama obat, benar cara minum obat, benar waktu dan benar dosis obat)
disertai penjelasan guna minum obat dan akibat berhenti minum obat, susun
jadwal minum obat secara teratur)
a) Fase Orientasi
“Halo nona X, masih ingat nama saya? bagus Nona..ya saya Kai,”
“Sesuai dengan janji saya 2 jam yang lalu, sekarang kita ketemu lagi”
“Bagaimana bu, sudah dilakukan latihan tarik nafas dalam, pukul kasur
bantal, bicara yang baik serta sholat? Apa yang dirasakan setelah melakukan
latihan secara teratur? Coba kita lihat kegiatannya”
“Bagaimana kalau sekarang kita bicara dan latihan tentang cara minum obat
yang benar untuk mengontrol rasa marah?”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau ditempat tadi?”
“Berapa lama nona mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15
menit?”
b) Fase Kerja (Perawat membawa obat pasien)
“Nona sudah dapat obat dari dokter?”
“Berapa macam obat yang nona minum? warnanya apa saja? Bagus, jam
berapa nona minum? Bagus”
“Obatnya ada 3 macam nona, yang warnanya oranye namanya CPZ gunanya
agar pikiran tenang, yang putih namanya THP agar rileks dan tidak tegang,
dan yang merah jambu ini namanya HLP agar rasa marah berkurang.
Semuanya ini harus nona minum 3x sehari jam 7 pagi, jam 1 siang, dan jam 7
malam”
“Bila nanti setelah minum obat mulut nona terasa kering, untuk membantu
mengatasinya nona bisa mengisap-isap es batu”
“Bila terasa berkunang-kunang, nona sebaiknya istirahat dan jangan
beraktivitas dulu”.
“Nanti dirumah sebelum minum obat ini nona lihat dulu label di kotak obat
apakah benar nama nona tertulis disitu, berapa dosis yang harus diminum, jam
berapa saja harus diminum, baca juga apakah nama obatnya sudah benar?
Disini minta obatnya pada suster kemudian cek lagi apakah benar obatnya”
“Jangan penah menghentikan minum obat sebelum berkonsultasi dengan
dokter ya nona , karena dapat terjadi kekambuhan.”
“Sekarang kita masukkan waktu minum obat kedalam jadwal ya nona”.
c) Fase Terminasi
“Bagaimana perasaan nona setelah kita bercakap-cakap tentang cara kita
minum obat yang benar?”
“Coba nona sebutkan lagi jenis jenis obat yang nona minum! Bagaimana
cara minum obat yang benar?”
“Nah, sudah berapa cara mengontrol perasaan marah yang kita pelajari?
Sekarang kita tambahkan jadwal kegiatannya dengan minum obat. Jangan
lupa laksanakan semua dengan teratur ya”
“Baik, besok kita ketemu lagi untuk melihat sejauh mana nona melaksanakan
kegiatan dan sejauh mana dapat mencegah rasa marah. Selamat siang nona,
sampai jumpa.”
2. Klasifikasi
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
a. Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa seseorang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh diri mungkin
mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih lama
lagi atau mengomunikasikan secara non verbal.
b. Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh
individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
c. Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan.
Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan terjadi jika tidak
ditemukan tepat pada waktunya.
3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala menurut Fitria (2009):
a. Mempunyai ide untuk bunuh diri
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati
c. Impulsif
d. Menunjukan perilaku yang mencurigakan
e. Mendekati orang lain dengan ancaman
f. Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
g. Latar belakang keluarga
4. Faktor yang Mempengaruhi
a. Faktor Mood dan Biokimiawi otak
Ghansyam pandey menemukan bahwa aktivitas enzim di dalam manusia bisa
mempengaruhi mood yang memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri. Pandey
mengetahui faktor tersebut setelah melakukan eksperimen terhadap otak 34 remaja
yang 17 diantaranya meninggal akibat bunuh diri. Ditemukan bahwa tingkat aktivitas
protein kinase C (PKC) pada otak pelaku bunuh diri lebih rendah dibanding mereka
yang meninggal bukan karena bunuh diri. Hj. Rooswita mengatakan, “depresi berat
menjadi penyebab utama. Depresi timbul karena pelaku tidak kuat menanggung
beban permasalahan yang menimpa. Karena terus menerus mendapat tekanan,
permasalahan kian menumpuk dan pada puncaknya memicu keinginan bunuh diri.”
7. Pengkajian
a. Lingkungan dan upaya bunuh diri : perawat perlu mengkaji peristiwa yang menghina
atau menyakitkan, upaya persiapan, ungkapan verbal, catatan, lukisan, memberikan
benda yang berharga, obat, penggunaan kekerasan, racun.
b. Gejala : perawat mencatat adanya keputusasaan, celaan terhadap diri sendiri, perasaan
gagal dan tidak berharga, alam perasaan depresi, agitasi gelisah, insomnia menetap,
berat badan menurun, bicara lamban, keletihan, withdrawl.
c. Penyakit psikiatrik : uoaya bunuh diri sebelumnya, kelainan, afektif, zat adiktif,
depresi remaja, gangguan mental lansia
d. Riwayat psikososial: bercerai, putus hubungan, kehilangan pekerjaan, stress multiple
(pindah, kehilangan,putus hubungan, masalah sekolah, krisis disiplin), penyakit
kronik.
e. Faktor kepribadian: impulsive, agresif, bermusuhan, kognisi negative dan kaku, putus
asa, harga diri rendah, antisocial
f. Riwayat keluarga : riwayat bunuh diri, gangguan afektif, alkoholisme.
8. Diagnosa Keperawatan
Resiko tinggi mutilasi diri/kekerasan pada diri sendiri sehubungan dengan takut
terhadap penolakan, alam perasaan yang tertekan, reaksi kemarahan, ketidakmampuan
mengungkapkan perasaan secara verbal, ancaman harga diri karena malu, kehilangan
pekerjaan dan sebagainya.
a. Sasaran jangka pendek : klien akan mencari bantuan staf bila ada perasaan ingin
mencederai diri.
b. Saran jangka panjang : klien tidak akan mencederai diri
9. Intervensi dan Rasional
a. Observasi perilaku kliem lebih sering melalui aktivitas dan interaksi rutin, hindari
kesan pengamatan dan kecurigaan pada klien (observasi ketat dibutuhkan supaya
intervensi dapat terjadi jika dibutuhkan untuk memastikan keamanan klien).
b. Tetapkan kontrak verbal dengan klien bahwa ia akan meminta bantuan jika keinginan
untuk bunuh diri dirasakan (mendiskusikan perasaan ingin bunuh diri dengan orang
yang dipercaya memberikan derajat keringanan untuk klien, sikap penerimaan klien
sebagai individu dapat dirasakan)
c. Jika mutilasi diri terjadi, rawat luka klien dengan tidak mengusik penyebabnya jangan
berikan reinforcement positif untuk perilaku tersebut (kurangnya perhatian untuk
perilaku maladaptive dalat menurunkan pengulangan mutilasi).
d. Dorong klien untuk bicara tentang perasaan yang dimilikinya sebelum perilaku ini
terjadi (agar memecahkan masalah dan memahami faktor pencetus).
e. Bertindak sebagai model dalam mengekspresikan kemarahan yang tepat (perilaku
bunuh diri dipandang sebagai marah yang diarahkan pada diri sendiri)
f. Singkirkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien (keamanan klien
merupakan prioritas keperawatan)
g. Arahkan kembali perilakku mutilasi dengan penyaluran fisik (latihan fisik merupakan
cara yang aman untuk menyalurkan ketegangan yang terpendam)
h. Komitmen semua staf untuk memberikan spirit kepada klien(bukti control terhadap
situasi dan memberikan kemanan fisik serta semangat hidup)
i. Berikan obat-obatan sesuai hasil kolaborasi, pantau keefektifan, dan efek samping
(obat penenang seperti ansiolotik/ antipsikotik dapat memberikan efek menenangkan
pada klien dan mencegah perilaku agresif)
j. Gunakan restrain mekanis bila keadaan memaksa sesuai prosedur tetap (bila klien
menolak obat-obatan dan situasi darurat, restrain diperlukan pada jam-jam tertentu)
k. Observasi klien dalam restrain tiap 15 menit/ sesuai prosedur tetap dengan
mempertimbangan keamanan, sirkulasi darah, kebutuhan dasar (keamanan klien
merupakan prioritas keperawatan)
10. Evaluasi
a. Bila mengevaluasi pasien yang cenderung bunuh diri, jangan tinggalkan mereka
sendiri, singkirkan semua benda yang potensial berbahaya.
b. Bila megevaluasi pasien yang baru saja mencoba bunuh diri, nilailah apakah usaha itu
telah direncanakan atau impulsif saja sambil menentukan derajat letalitasnya,
kemungkinan pasien pulih kembali.
c. Pengelolaan bergantung sebagian besar pada diagnosis. Pasien dengan depresi berat
dapat diobati sebagai pasien berobat jalan bila keluarganya dapat mengawasi mereka
dengan seksama dan terapi dapat dimulai dengan segera. Bila tidak, perawatan inap di
rumah sakit diperlukan.
d. Gagasan bunuh diri dari pasien alkoholik biasanya akan membaik dalam beberapa
hari dengan abstinensi. Kebanyakan tidak ada terapi spesifik yang perlu diberikan.
Bila depresi tetap bertahan setelah gejala abstinensi mereda, dugaan besar adalah
gangguan depresi berat. Semua pasien yang cenderung bunuh diri yang mengalami
intoksikasi alkohol atau obat harus dinilai ulang saat mereka lepas pengaruh
alkoholnya.
e. Gagasan bunuh diri pada pasien skizofrenik harus diperhatikan secara serius karena
mereka cenderung mempergunakan cara yang keras dan aneh dengan derajat letalitas
tinggi.
f. Pasien dengan gangguan kepribadian akan mengambil manfaat dari bantuan dan
konfrotasi empatik, dan perlu dilanjutkan pendekatan secara rasional, bertanggung
jawab pada masalah yang mencetuskan dan menyebabkan krisis tersebut.
Keikutsertaan keluarga atau teman dan manipulasi lingkungan dapat membantu untuk
menyelesaikan krisis yang membawa pasien untuk bunuh diri.
g. Perawatan inap di rumah sakit jangka panjang dianjurkan bagi kasus dengan
kecenderungan mutilasi diri, namun perawatan inap jangka pendek tidak akan
mempengaruhi perilaku yang berulang ini. Parasuisida juga mungkin akan
mendapatkan manfaat yang baik dari rehabilitasi jangka panjang, dan stabilisasi
jangka pendek juga diperlukan dari waktu ke waktu, tetapi terapi jangka pendek tidak
akan dapat mempengaruhi secara berarti perjalanan gangguan ini.
11. Strategi Pelaksanaan Resiko Bunuh Diri
a. Kondisi Klien
Sedih, marah, putus asa, tidak berdaya, memberikan isyarat verbal maupun non
verbal
b. Diagnosa Keperawatan
Resiko Bunuh Diri
c. Tujuan
1) Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya
2) Pasien dapat mengungkapkan perasaanya
3) Pasien dapat meningkatkan harga dirinya
4) Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik
d. Tindakan Keperawatan
1) Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan
meminta bantuan dari keluarga atau teman.
2) Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:
a) Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.
b) Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif.
c) Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting
d) Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien
e) Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan
3) Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:
a) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya
b) Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing cara penyelesaian
masalah
c) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih baik
SP 1: Percakapan untuk melindungi pasien dari percobaan bunuh diri
1) Fase Orientasi
“Selamat pagi nona, perkenalkan nama saya Kai. Saya perawat yang dinas di
ruangan ini selama 3 minggu. Hari ini saya dinas pagi dari jam 7 sampai jam
1 siang, jadi selama 3 minggu ini saya yang merawat nona. Nama nona siapa?
Dan senang nya dipanggil apa?”
“Bagaimana perasaan A hari ini? ”
“Bagaimana kalau kita bercakap – cakap tentang apa yang A rasakan selama
ini. Dimana dan berapa lama kita bicara?”
2) Fase Kerja
“Bagaimana perasaan A setelah ini terjadi? Apakah dengan bencana ini A
paling merasa menderita di dunia ini? Apakah A pernah kehilangan
kepercayaan diri? Apakah A merasa tidak berharga atau bahkan lebih rendah
dari pada orang lain? Apakah A merasa bersalah atau mempersalahkan diri
sendiri? Apakah A sering mengalami kesulitan berkonsentrasi? Apakah A
berniat unutuk menyakiti diri sendiri? Ingin bunuh diri atau berharap A mati?
Apakah A pernah mencoba bunuh diri? Apa sebabnya, bagaimana caranya?
Apa yang A rasakan?”
“Baiklah, tampaknya A membutuhkan pertolongan segera karena ada
keinginan untuk mengakhiri hidup. Saya perlu memeriksa seluruh isi kamar A
ini untuk memastikan tidak ada benda – benda yang membahayakan A)”
“Karena A tampaknya mash memilikikeinginan yang kuat untuk mengakhiri
hidup A, saya tidak akan membiarkan A sendiri”
“Apa yang A lakukan jika keinginan bunuh diri muncul?”
“Kalau keinginan itu muncul, maka akan mengatasinya A harus langsung
minta bantuan kepada perawat di ruangan ini dan juga keluarga atau teman
yang sedang besuk. Jadi A jangan sendirian ya, katakan kepada teman
perawat, keluarga atau teman jika ada dorongan untuk mengakhiri
kehidupan.”
“Saya percaya A dapat mengatasi masalah.”
3) Fase Terminasi
“Bagaimana perasaan A sekarang setelah mengetahui cara mengatasi perasaan
ingin bunuh diri?”
“Coba A sebutkan lagi cara tersebut!”
“Saya akan menemani A terus sampapi keinginan bunuh diri hilang.” (jangan
meninggalkan pasien).
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. 2006. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa. Jakarta : FIK,
Universitas Indonesia.
Aziz R, dkk. 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino
Gondoutomo.
Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Edisi 1. Bandung, RSJP
Bandung.
Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika.
Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC.
Kumolo, Gilang C. 2014. Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Dengan Waham di Puri Anggrek RSJ Menur Surabaya. Surabaya: Fakultas Keperawatan
dan Kebidanan, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.
Surasno. 2016. Strategi Pelaksanaan Waham. Purwokerto: STIKES Harapan Bangsa
Purwokerto.
Stuart dan Sundeen. 1991. Principles and Practice of Psychiatric Nursing ed 4. St. Louis: Mosby
Year Book.
Kelliat, Budi Anna. 1991. Proses Keperawatan. Jakarta: Arcan.
Stuart dan Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psychiatric Nursing ed 5. St. Louis: Mosby
Year Book.
Yusuf, Ah., dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Stuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Keliat A. Budi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC.
Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa
Berat bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Hidayah, Annisa D., dkk. 2015. Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Dengan Resiko Bunuh Diri. Yogyakarta: Jurusan Keperawatan, Politeknik Kesehatan
Yogyakarta.
Nugroho, Agung. 2011. Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Resiko Bunuh Diri Di RSJD Amino Gondohutomo Semarang. Salatiga: FIK, Universitas Kristen
Satya Wacana.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yudi Hartono Dkk;2012;Buku ajar keperawatan
jiwa;Jakarta;salemba medika
2. Iskandar Dkk;2012;Asuhan Keperawatan Jiwa;Bandung;Refika aditama
3. Budi ana dkk;2011;Keperawatan kesehatan jiwa;jakarta;EGC
DAPUS
https://www.academia.edu/37004552/LAPORAN_PENDAHULUAN_HARGA_DIRI_RENDA
H
https://www.academia.edu/9606072/ASUHAN_KEPERAWATAN_PADA_Tn._I_DENGAN_G
ANGGUAN_HARGA_DIRI_RENDAH_DI_RUANG_BANTENG_RUMAH_SAKIT_JIWA_P
ROVINSI_KALIMANTAN_BARAT_AKADEMI_KEPERAWATAN_POLTEKKES_KEMEN
KES_PONTIANAK
https://www.academia.edu/8133941/Askep_Jiwa_Gangguan_Konsep_Diri_Harga_Diri_Rendah_
LAPORAN_PENDAHULUAN_II
https://www.academia.edu/13410915/LP_ISOLASI_SOSIAL