Anda di halaman 1dari 80

Visi:

Pada tahun 2023 menghasilkan Ners yang unggul dalam asuhan keperawatan lanjut usia dengan
menerapkan Ilmu dan Tekonologi Keperawatan

P3.73.20.2.17.028

LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN

GANGGUAN JIWA

Program Studi : Prodi Profesi Ners Tingkat II

Mata Kuliah : Keperawatan Jiwa I

Pembimbing : Nurdiana, M.Sc.

Anggota : 1. Rachmaningrum P.W P3.73.20.2.17.028

2. Rani Dwi Wardhani P3.73.20.2.17.029

3. Safira Ramadhanty P P3.73.20.2.17.030

4. Salsabila Rizqi N P3.73.20.2.17.031

5. Shabrina Nissa P3.73.20.2.17.032

6. Shafana Salsabila P3.73.20.2.17.033

PRODI PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III

TAHUN 2019
A. Harga Diri Rendah

1. Laporan Pendahuluan Harga Diri Rendah

a. Masalah utama
Gangguan konsep diri: Harga Diri Rendah
b. Proses terjadinya masalah
1) Definisi
Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga
dan tidak dapat bertanggung jawab atas kehidupan sendiri, gagal menyesuaikan
tingkah laku dan cita-cita. (Fk. UNDIP , 2001) Kesimpulan harga diri rendah
adalah perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang percayaan diri, harga diri
serta menolak dirinya. Tidak dapat bertanggung jawab atas kehidupan sendiri
serta gagal dalam menyesuaikan tingkah laku dan cita-cita.
2) Tanda-tanda klien dengan harga diri rendah adalah:
a) Perasaan malu terhadap diri sendiri adalah akibat penyakit dan akibat tindakan
terhadap penyakit. 
b) Rasa bersalah terhadap diri sendiri.
c) Merendahkan martabat.
d) Gangguan hubungan sosial seperti menarik diri.
e) Percaya diri kurang.
f) Menciderai diri

3) Penyebab
a) Faktor predisposisi
 Penolakan orang tua
 Harapan orang tua yang tidak realistis.
 Kegagalan yang berulang kali.
 Kurang mempunyai tanggung jawab personal
 Ketergantungan kepada orang lain
 Ideal diri tidak realistis

b) Faktor presipitasi
 Citra tubuh yang tidak sesuai.
 Keluhan fisik
 Ketegangan peran yang dirasakan
 Perasaan tidak mampu
 Penolakan terhadap kemampuan personal
 Perasaan negative menegenai tubuhnya sendiri

4) Mekanisme Koping
Mekanisme koping menurut Deden (2013):
  Jangka pendek:
a) Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis: pemakaian obat-
obatan, kerja keras, menonton tv terus menerus.
b) Kegiatan mengganti identitas sementara: ikut kelompok sosial,
keagamaan, politik.
c) Kegiatan yang memberi dukungan sementara: kompetisi olah raga
kontes popularitas.
d) Kegiatan mencoba menghilangkan anti identitas sementara: penyalahgunaan
obat-obatan.
  Jangka Panjang :
a) Menutup identitas: terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi
dariorang-orang yang berarti, tanpa mengindahkan hasrat, aspirasi atau
potensidiri sendiri.
b) Identitas negatif: asumsi yang pertentangan dengan nilai dan
harapanmasyarakat.
  Mekanisme Pertahanan Ego:
Mekanisme pertahanan ego yang sering digunakan adalah : fantasi,
disasosiasi,isolasi, proyeksi, mengalihkan marah berbalik pada diri sendiri
dan orang lain.
5) Sumber Koping
Mencakup empat aspek yaitu kemampuan personal (personal ability); dukungan
sosial (sosial support); aset material (material asets); dan kepercayaan (belive).

c. Pohon Masalah
Pohon masalah yang muncul menurut Fajariyah (2012)
Resiko Tinggi Perilaku Kekerasan

Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi

Isolasi Sosial: Menarik Diri

Harga Diri Rendah


d. Masalah Keperawatan
1) Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
Data yang perlu dikaji:
a) Malu terhadap diri sendiri akibat penyakit
b) Rasa bersalah terhadap diri sendiri
c) Merendahkan martabat
d) Gangguan hubungan sosial: menarik diri
e) Percaya diri kurang
f) Menciderai diri
g) Pikiran mengarah
h) Kurang terlibat dalam hubungan sosial
i) Meremehkan kemampuan diri
j) Perasaan putus asa dan tidak berdaya

e. Diagnosa Keperawatan
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tidak
efektif

f. Rencana Tindakan Keperawatan


Tujuan umum: Pasien dapat meningkatkan harga dirinya.
1) TUK 1
Pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.
a) Kriteria Evaluasi
Pasien menunjukkan ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang,
ada kontak mata, mau berjabat tangan, menyebutkan nama, menjawab salam,
duduk berdampingan dengan perawat mau mengutamakan masalah yang
dihadapi.
b) Rencana Tindakan Keperawatan
Bina hubungan saling percaya
(1) Sapa pasien dengan ramah
(2) Perkenalkan diri dengan sopan
(3) Tanya nama lengkap dan panggilan yang disukai
(4) Jelaskan tujuan pertemuan
(5) Jujur menepati janjian
(6) Tunjukan sikap empati dan menerima pasien apa adanya
(7) Beri perhatian
2) TUK 2
Pasien dapat mengidentifikasi aspek positif dan kemampuan yang dimiliki:
a) Kriteria Evaluasi
Pasien dapat mengidentifikasi aspek positif dan kemampuan yang dimiliki
pasien.
b) Rencana Tindakan Keperawatan
(1) Diskusi tentang aspek positif yang dimiliki pasien, keluarga, lingkungan
dan kemampuan pasien.
(2) Buat daftar aspek positif pasien, keluarga, lingkungan, dan kemampuan
pasien.
(3) Beri pujian.

3) TUK 3
Pasien dapat menilai kemampuan yang dimiliki untuk dilakukan.
a) Kriteria Evaluasi
Pasien menyebutkan kemampuan yang dapat dilaksanakan
b) Rencana Tindakan Keperawatan
(1) Diskusi tentang kemampuan yang dapat dilaksanakan
(2) Diskusi kemampuan yang dapat dilanjutkan pelaksanaannya.

4) TUK 4
Pasien dapat merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
a) Kriteria Evaluasi
b) Rencana Tindakan Keperawatan

2. Strategi Pelaksanaan Harga Diri Rendah


a. Proses Keperawatan
1) Kondisi Klien
Klien lebih suka menyendiri, banyak diam sulit berkomunikasi dengan teman-
temannya, pandangan mata kosong.
2) Diagnosa Keperawatan
Gangguan isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
3) Tujuan Khusus
TUK:
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya.
b) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
4) Tindakan Keperawatan
a) Bina hubungan saling percaya.
(1) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal 
(2) Perkenalkan diri dengan sopan
(3) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
(4) Jelaskan tujuan pertemuane. Jujur dan menepati janji.
(5) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanyag.
(6) Beri perhatian pada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.

b) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki


(1) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien 
(2) Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian negatif.
(3) Utamakan memberikan pujian yang realistis

b. Strategi Komunikasi dalam Pelaksanaan Tindakan Keperawatan


1) Fase Orientasi.
a) Salam terapeutik
"Selamat pagi mbak, perkenalkan nama saya Sri Sundari, saya biasa
dipanggil Ndari, nama mbak siapa? dan panggilan apa yang mbak sukai?
Baiklah mbak, di sini saya akan menemani mbak, saya akan duduk di
samping mbak, jika mbak akan mengatakan sesuatusaya siap mendengarkan" 
b) Evaluasi/ validasi
"Bagaimana perasaan mbak hari ini, saya ingin sekali ingin membantu
menyelesaikan masalah mbak dan saya harap mbak mau bekerja sama dengan
saya, kalau boleh saya tahuapa yang terjaadi di rumah sehingga mbak sampai
dibawa kemari ?"
c) Kontrak
"Mbak bagaimana kalau hari ini kita bincang-bincang tentang kemampuan
yang mbak miliki,di mana kita ngobrol mbak? berapa lama? baiklah
bagaimana kalau kta nanti ngobrol ditaman selama + 15 menit.

2) Fase Kerja
"Nah, coba mbak cari kemampuan yang bisa mbak lakukan selama sebelum sakit.
Baik, apalagi mbak?"
"Bagus sekali ternyata mbak memiliki kemampuan yang banyak sekali."

3) Fase Terminasi.
a) Evaluasi
"Apa yang mbak rasakan setelah kita bincang-bincang selama 15 menit tadi ?"
"Bisa mbak ulangi lagi apa yang telah kita bicarakan tadi ?" 
b) Rencana tindak lanjut
"Setelah ini kita akan berbicara mengenai kemampuan yang masih bisa mbak
gunakanselama sakit."
c) Kontrak
"Baiklah mbak, waktu kita sudah habis bagaimana kalau kita cukupkan sampai
di sini, kira-kira jam berapa kita bertemu lagi? tempatnya di mana?"
"Baiklah mbak bagaimana kalau kita bertemu lagi jam 11 selama + 20 menit."

B. Isolasi Sosial
1. Laporan Pendahuluan Isolasi Sosial
a. Masalah Utama
Isolasi Sosial
b. Proses Terjadinya Masalah
1) Definisi
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan
mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara
menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Dalami, dkk. 2009).
Isolasi Sosial adalah pengalaman kesendirian seorang individu yang diterima
sebagai perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi yang negative atau
mengancam (Wilkinson, 2007)
2) Etiologi
a) Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
(1) Faktor Perkembangan
(a) Bayi (0–18 Bulan)
Bayi mengomunikasikan kebutuhan menggunakan cara yang paling
sederhana yaitu menangis. Respons lingkungan terhadap tangisan bayi
mempunyai pengaruh yang sangat penting untuk kehidupan bayi di
masa datang. Menurut Ericson, respons lingkungan yang sesuai akan
mengembangkan rasa percaya diri bayi akan perilakunya dan rasa
percaya bayi pada orang lain. Kegagalan pemenuhan kebutuhan pada
masa ini akan mengakibatkan rasa tidak percaya pada diri sendiri dan
orang lain serta perilaku menarik diri.

(b) Prasekolah (18 Bulan–5 Tahun)


Anak prasekolah mulai membina hubungan dengan lingkungan di luar
keluarganya. Anak membutuhkan dukungan dan bantuan dari keluarga
dalam hal pemberian pengakuan yang positif terhadap perilaku anak
yang adaptif sehingga anak dapat mengembangkan kemampuan
berhubungan yang dimilikinya. Hal tersebut merupakan dasar rasa
otonomi anak yang nantinya akan berkembang menjadi kemampuan
hubungan interdependen. Kegagalan anak dalam berhubungan dengan
lingkungan dan disertai respons keluarga yang negatif akan
mengakibatkan anak menjadi tidak mampu pengontrol diri, tidak
mandiri, ragu, menarik diri, kurang percaya diri, pesimis, dan takut
perilakunya salah.

(c) Anak Sekolah (6–12 Tahun)


Anak sekolah mulai meningkatkan hubungannya pada lingkungan
sekolah. Di usia ini anak akan mengenal kerja sama, kompetisi, dan
kompromi. Pergaulan dengan orang dewasa di luar keluarga
mempunyai arti penting karena dapat menjadi sumber pendukung bagi
anak. Hal itu dibutuhkan karena konflik sering kali terjadi akibat
adanya pembatasan dan dukungan yang kurang konsisten dari
keluarga. Kegagalan membina hubungan dengan teman sekolah,
dukungan luar yang tidak adekuat, serta inkonsistensi dari orang tua
akan menimbulkan rasa frustasi terhadap kemampuannya, merasa tidak
mampu, putus asa, dan menarik diri dari lingkungannya.

(d) Remaja (12–20 Tahun)


Usia remaja anak mulai mengembangkan hubungan intim dengan
teman sejenis atau lawan jenis dan teman seusia, sehingga anak remaja
biasanya mempunyai teman karib. Hubungan dengan teman akan
sangat dependen sedangkan hubungan dengan orang tua mulai
independen. Kegagalan membina hubungan dengan teman sebaya dan
kurangnya dukungan orang tua akan mengakibatkan keraguan
identitas, ketidakmampuan mengidentifikasi karier di masa mendatang,
serta tumbuhnya rasa kurang percaya diri.

(e) Dewasa Muda (18–25 Tahun)


Individu pada usia ini akan mempertahankan hubungan interdependen
dengan orang tua dan teman sebaya. Individu akan belajar mengambil
keputusan dengan tetap memperhatikan saran dan pendapat orang lain
(pekerjaan, karier, pasangan hidup). Selain itu, individu mampu
mengekspresikan perasaannnya, menerima perasaan orang lain, dan
meningkatnya kepekaan terhadap kebutuhan orang lain. Oleh
karenanya, akan berkembang suatu hubungan mutualisme. Kegagalan
individu pada fase ini akan mengakibatkan suatu sikap menghindari
hubungan intim dan menjauhi orang lain.

(f) Dewasa Tengah (25–65 Tahun)


Pada umumnya pada usia ini individu telah berpisah tempat tinggal
dengan orang tua. Individu akan mengembangkan kemampuan
hubungan interdependen yang dimilikinya. Bila berhasil akan
diperoleh hubungan dan dukungan yang baru. Kegagalan pada tahap
ini akan mengakibatkan individu hanya memperhatikan diri sendiri,
produktivitas dan kretivitas berkurang, serta perhatian pada orang lain
berkurang.

(g) Dewasa Lanjut (Lebih dari 65 Tahun)


Di masa ini, individu akan mengalami banyak kehilangan, misalnya
fungsi fisik, kegiatan, pekerjaan, teman hidup, dan anggota keluarga,
sehingga akan timbul perasaan tidak berguna. Selain itu, kemandirian
akan menurun dan individu menjadi sangat bergantung kepada orang
lain. Individu yang berkembang baik akan dapat menerima kehilangan
yang terjadi dalam kehidupannya dan mengakui bahwa dukungan
orang lain dapat membantu dalam menghadapi kehilangan yang
dialaminya. Kegagalan individu pada masa ini akan mengakibatkan
individu berperilaku menolak dukungan yang ada dan akan
berkembang menjadi perilaku menarik diri.

(2) Faktor Komunikasi Dalam Keluarga


Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku.
(a) Sikap bermusuhan atau hostilitas
(b) Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
(c) Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk 
mengungkapkan pendapatnya.
(d) Kurang kehangatan, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, ku
rang tegur sapa, komunikasi,kurang terbuka, terutama dalam pemecah
an masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah.
(e) Ekspresi emosi yang tinggi
(f) Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersama
an yangmembuat bingung dan kecemasannya meningkat)

(3) Faktor Sosial Budaya


Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan
oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga,
seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
b) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dari faktor sosio-cultural karena menurunnya stabilitas
keluarga dan berpisah karena meninggal dan fakto psikologis seperti berpisah
dengan orang yang terdekat atau kegagalan orang lain untuk bergantung,
merasa tidak berarti dalam keluarga sehingga menyebabkan klien berespons
menghindar dengan menarik diri dari lingkungan (Stuart and sundeen, 1995).

3) Tanda dan gejala


a) Objektif
(1) Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
(2) Menghindari orang lain, tampak menyendiri, dan memisahkan diri dari orang
lain.
(3) Komunikasi kurang/tidak ada, pasien tidak tampak bercakap-cakap dengan
orang lain.
(4) Tidak ada kontak mata dan sering menunduk.
(5) Berdiam diri di kamar.
(6) Menolak berhubungan dengan orang lain, memutuskan pembicaraan, atau pergi
saat diajak bercakap-cakap.
(7) Tidak tampak melakukan kegiatan sehari-hari, perawatan diri kurang, dan
kegiatan rumah tangga tidak dilakukan.
(8) Posisi janin pada saat tidur.

b) Subjektif
(1) Banyak diam
(2) Tidak mau bicara
(3) Menyendiri
(4) Tidak mau berinteraksi
(5) Tampak sedih
(6) Ekspresi datar dan dangkal
(7) Kontak mata kurang

4) Mekanisme koping
Digunakan sebagai usaha mengatasi ansietas yang merupakan suatu kesepian
nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme koping yang sering digunakan adalah
proyeksi, splitting (pemisah) dan isolasi. Proyeksi merupakan keinginan yang
tidak mampu ditoleransi dan klien mencurahkan emosi kepada orang lain karena
kesalahan sendiri. Splitting, kegagalan individu menginterpretasikan dalam
menilai baik buruk. Isolasi adalah perilaku mengasingkan diri dari orang lain
maupun lingkungan.

5) Sumber Koping
c. Pohon masalah

d. Masalah keperawatan
Isolasi sosial
DS: - Pasien mengatakan tidak dapat berpikir
- Pasien mengatakan kesepian
DO: - Pasien banyak diam dan menyendiri

e. Diagnosis keperawatan
Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.

f. Rencana Tindakan Keperawatan


Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1) Tujuan
Setelah tindakan keperawatan, pasien mampu melakukan hal berikut.
a) Membina hubungan saling percaya.
b) Menyadari penyebab isolasi sosial.
c) Berinteraksi dengan orang lain.

2) Tindakan
a) Membina hubungan saling percaya.
(1) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien.
(2) Berkenalan dengan pasien, seperti perkenalkan nama dan nama panggilan
yang Anda sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan pasien.
(3) Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.
(4) Buat kontrak asuhan, misalnya apa yang Anda akan lakukan bersama
pasien, berapa lama akan dikerjakan, dan tempatnya di mana.
(5) Jelaskan bahwa Anda akan merahasiakan informasi yang diperoleh
untuk kepentingan terapi.
(6) Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap pasien.
(7) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan.

b) Membantu pasien menyadari perilaku isolasi sosial.


(1) Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang
lain.
(2) Tanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin berinteraksi dengan
orang lain.
(3) Diskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak teman dan bergaul
akrab dengan mereka.
(4) Diskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri dan tidak bergaul
dengan orang lain.
(5) Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik pasien.

c) Melatih pasien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap.


(1) Jelaskan kepada pasien cara berinteraksi dengan orang lain.
(2) Berikan contoh cara berbicara dengan orang lain.
(3) Beri kesempatan pasien mempraktikkan cara berinteraksi dengan orang
lain yang dilakukan di hadapan Anda.
(4) Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu orang teman/anggota
keluarga.Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah
interaksi dengan dua, tiga, empat orang, dan seterusnya.
(5) Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan oleh
pasien.
(6) Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah berinteraksi dengan
orang lain. Mungkin pasien akan mengungkapkan keberhasilan atau
kegagalannya.
(7) Beri dorongan terus-menerus agar pasien tetap semangat
meningkatkan interaksinya.

Tindakan Keperawatan untuk Keluarga


1) Tujuan
Setelah tindakan keperawatan, keluarga mampu merawat pasien isolasi sosial
di rumah.
2) Tindakan
a) Melatih keluarga merawat pasien isolasi sosial.
b) Menjelaskan tentang hal berikut:
(1) Masalah isolasi sosial dan dampaknya pada pasien.
(2) Penyebab isolasi sosial.
(3) Sikap keluarga untuk membantu pasien mengatasi isolasi sosialnya.
(4) Pengobatan yang berkelanjutan dan mencegah putus obat.
(5) Tempat rujukan bertanya dan fasilitas kesehatan yang tersedia bagi pasien.
c) Memperagakan cara berkomunikasi dengan pasien.
d) Memberi kesempatan kepada keluarga untuk mempraktikkan cara
berkomunikasi dengan pasien.

2. Strategi Pelaksanaan Isolasi Sosial


a. Proses keperawatan
1) Kondisi pasien
Data subjektif:
- Pasien mengatakan tidak mampu berpikir
- Pasien mengatakan sepi
Data objektif:
- Pasien banyak diam
- Pasien terlihat menyendiri
- Pasien tampak sedih
2) Diagnosa keperawatan
Isolasi sosial

3) Tujuan tindakan keperawatan


Tujuan umum: Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain secara optimal
Tujuan khusus: Pasien menyebutkan penyebab menarik diri

4) Tindakan keperawatan
- Menanyakan tentang orang yang tinggal serumah atau teman sekamar
pasien
- Menanyakan orang yang paling dekat dengan pasien di rumah atau di
ruang perawatan
- Menanyakan apa yang membuat pasien dekat dengan orang tersebut
- Menanyakan orang tidak dekat dengan pasien di rumah atau di ruang
perawatan.

b. Strategi Komunikasi
SP 1 Pasien: Membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal penyebab
isolasi sosial, membantu pasien mengenal keuntungan berhubungan dan kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain, dan mengajarkan pasien berkenalan.
Orientasi (Perkenalan):
“Assalammu’alaikum ”
“Saya H ……….., Saya senang dipanggil Ibu Her …………, Saya perawat di Ruang
Mawar ini… yang akan merawat Ibu.”
“Siapa nama Ibu? Senang dipanggil siapa?”
“Apa keluhan S hari ini?” Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang keluarga dan
teman-teman S? Mau dimana kita bercakap-cakap? Bagaimana kalau di ruang tamu?
Mau berapa lama, S? Bagaimana kalau 15 menit”
Kerja:
(Jika pasien baru)
”Siapa saja yang tinggal serumah? Siapa yang paling dekat dengan S? Siapa yang jarang
bercakap-cakap dengan S? Apa yang membuat S jarang bercakap-cakap dengannya?”
(Jika pasien sudah lama dirawat)
”Apa yang S rasakan selama S dirawat disini? O.. S merasa sendirian? Siapa saja yang S
kenal di ruangan ini”
 “Apa saja kegiatan yang biasa S lakukan dengan teman yang S kenal?”
 “Apa yang menghambat S dalam berteman atau bercakap-cakap dengan pasien
yang lain?”
 “Menurut S apa saja keuntungannya kalau kita mempunyai teman ? Wah benar, ada
teman bercakap-cakap. Apa lagi ? (sampai pasien dapat menyebutkan beberapa) Nah
kalau kerugiannya tidak mampunyai teman apa ya S ? Ya, apa lagi ? (sampai pasien
dapat menyebutkan beberapa) Jadi banyak juga ruginya tidak punya teman ya. Kalau
begitu inginkah S belajar bergaul dengan orang lain?
«  Bagus. Bagaimana kalau sekarang  kita belajar berkenalan dengan orang lain”
 “Begini lho S, untuk berkenalan dengan orang lain kita sebutkan dulu nama kita dan
nama panggilan yang kita suka asal kita dan hobi. Contoh: Nama Saya S, senang
dipanggil Si. Asal saya dari Bireun, hobi memasak”
“Selanjutnya S menanyakan nama orang yang diajak berkenalan. Contohnya begini:
Nama Bapak siapa? Senang dipanggil apa? Asalnya dari mana/ Hobinya apa?”
“Ayo S dicoba! Misalnya saya belum kenal dengan S. Coba berkenalan dengan saya!”
“Ya bagus sekali! Coba sekali lagi. Bagus sekali”
“Setelah S berkenalan dengan orang tersebut S bisa melanjutkan percakapan tentang hal-
hal yang menyenangkan S bicarakan. Misalnya tentang cuaca, tentang hobi, tentang
keluarga, pekerjaan dan sebagainya.”
Terminasi:
”Bagaimana perasaan S setelah kita  latihan berkenalan?”
”S tadi sudah mempraktekkan cara berkenalan dengan baik sekali”
”Selanjutnya S dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi selama saya tidak ada.
Sehingga S lebih siap untuk berkenalan dengan orang lain.  S mau praktekkan ke pasien
lain. Mau jam berapa mencobanya. Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan
hariannya.”
”Besok pagi jam 10 saya akan datang kesini  untuk mengajak S berkenalan dengan
teman saya, perawat N. Bagaimana, S mau kan?”
”Baiklah, sampai jumpa. Assalamu’alaikum

SP 2 Pasien : Mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap  (berkenalan dengan


orang pertama -seorang perawat)
Orientasi :
“Assalammualaikum S! ”
“Bagaimana perasaan S hari ini?
“Sudah dingat-ingat lagi pelajaran kita tetang berkenalan, Coba sebutkan lagi sambil
bersalaman dengan Suster !”
“Bagus sekali, S masih ingat. Nah  seperti janji saya, saya akan mengajak S mencoba
berkenalan  dengan teman saya perawat N. Tidak lama kok, sekitar 10 menit”
“Ayo kita temui perawat N disana”
Kerja :
(Bersama-sama S saudara mendekati perawat N)
« Selamat pagi perawat N, ini  ingin berkenalan dengan N »
« Baiklah S, S bisa berkenalan dengan perawat N seperti yang kita praktekkan
kemarin « 
(pasien mendemontrasikan cara berkenalan dengan perawat N : memberi salam,
menyebutkan nama, menanyakan nama perawat, dan seterusnya)
« Ada lagi yang S ingin tanyakan kepada perawat N . coba tanyakan tentang keluarga
perawat N »
« Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, S bisa sudahi perkenalan ini. Lalu S bisa
buat janji bertemu lagi dengan perawat N, misalnya  jam 1 siang nanti »
« Baiklah perawat N, karena S sudah selesai berkenalan, saya  dan S akan kembalike
ruangan S. Selamat pagi »
(Bersama-sama pasien saudara meninggalkan perawat N untuk melakukan terminasi
dengan S di tempat lain)
Terminasi:
 “Bagaimana perasaan S setelah berkenalan dengan perawat N”
”S tampak bagus  sekali saat berkenalan tadi” 
”Pertahankan terus  apa yang sudah S lakukan tadi. Jangan lupa untuk menanyakan topik
lain supaya perkenalan berjalan lancar. Misalnya menanyakan keluarga, hobi, dan
sebagainya. Bagaimana, mau coba dengan perawat lain. Mari kita masukkan pada
jadwalnya. Mau berapa kali sehari? Bagaimana kalau 2 kali. Baik nanti S coba sendiri.
Besok kita latihan lagi ya, mau jam berapa? Jam 10? Sampai besok.”

SP 3 Pasien : Melatih Pasien Berinteraksi Secara Bertahap (berkenalan dengan orang


kedua-seorang pasien)
Orientasi:
“Assalammu’alaikum S! Bagaimana perasaan hari ini?
”Apakah S bercakap-cakap dengan perawat N kemarin siang”
(jika jawaban pasien: ya, saudara bisa lanjutkan komunikasi berikutnya orang lain
 ”Bagaimana perasaan S setelah bercakap-cakap dengan perawat N kemarin siang”
”Bagus sekali S menjadi senang karena punya teman lagi”
”Kalau begitu S ingin punya banyak teman lagi?”
”Bagaimana kalau sekarang kita berkenalan lagi dengan orang lain, yaitu pasien O”
”seperti biasa kira-kira 10 menit”
”Mari kita temui dia di ruang makan”
Kerja:
( Bersama-sama S saudara mendekati pasien )
« Selamat pagi , ini ada pasien saya yang ingin berkenalan. »
« Baiklah S, S sekarang bisa berkenalan dengannya seperti yang telah S lakukan
sebelumnya. » 
(pasien mendemontrasikan cara berkenalan: memberi salam, menyebutkan nama, nama
panggilan, asal dan hobi dan menanyakan hal yang sama). »
« Ada lagi yang S ingin tanyakan kepada O»
« Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, S bisa sudahi perkenalan ini. Lalu S bisa
buat janji bertemu lagi, misalnya bertemu lagi jam 4 sore nanti »
(S membuat janji untuk bertemu kembali dengan O)
« Baiklah O, karena S sudah selesai berkenalan, saya  dan S akan kembali ke ruangan S.
Selamat pagi »
(Bersama-sama pasien saudara meninggalkan perawat O untuk melakukan terminasi
dengan S di tempat lain)
Terminasi:
 “Bagaimana perasaan S setelah berkenalan dengan O”
”Dibandingkan kemarin pagi, N tampak lebih baik saat berkenalan dengan
O” ”pertahankan apa yang sudah S lakukan tadi. Jangan lupa untuk bertemu kembali
dengan O  jam 4 sore nanti”
”Selanjutnya, bagaimana jika kegiatan  berkenalan dan bercakap-cakap dengan orang
lain kita tambahkan lagi di jadwal harian. Jadi satu hari S dapat berbincang-bincang
dengan orang lain sebanyak tiga kali, jam 10 pagi, jam 1 siang dan jam 8 malam, S bisa
bertemu dengan N, dan tambah dengan pasien yang baru dikenal. Selanjutnya S bisa
berkenalan dengan orang lain lagi secara bertahap.    Bagaimana S, setuju kan?”
”Baiklah, besok kita ketemu lagi untuk membicarakan pengalaman S. Pada jam yang
sama dan tempat yang sama ya. Sampai besok.. Assalamu’alaikum”
C. Defisit Perawatan Diri
1. Masalah Utama
Defisit perawatan diri
2. Proses terjadinya Masalah
a. Definisi
Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalami kelainan
dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan
sehari-hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur, tidak
menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan penampilan tidak rapi.
Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah yang timbul pada pasien
gangguan jiwa. Pasien gangguan jiwa kronis sering mengalami ketidak pedulian
merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif dan menyebabkan pasien
dikucilkan baik dalam keluarga maupun masyarakat.
Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan dalam; kebersihan diri, makan
berpakaian, berhias diri, makan sendiri, buang air besar atau kecil sendiri (toileting)
(Keliat B.A, dkk, 2011)

b. Penyebab
1) Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kurang perawatan diri adalah,
perkembangan. Dalam perkembangan, keluarga yang terlalu melindungi dan
memanjakan klien dapat menimbulkan perkembangan inisiatif dan keterampilan.
Lalu faktor predisposisi selanjutnya adalah Faktor Biologis, beberapa penyakit
kronis dapat menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri secara
mandiri. Faktor selanjutnya adalah kemampuan realitas yang menurun. Klien
dengan gangguan jiwa mempunyai kemampuan realitas yang kurang, sehingga
menyebabkanketidak pedulian dirinya terhadap lingkungan termasuk perawatan
diri.Selanjutnya adalah faktor sosial, kurang dukungan serta latihan
kemampuandari lingkungannya, menyebabkan klien merasa.

2) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurangnya atau penurunan
motivasi, kerusakan kognisi, atau perseptual, cemas, lelah/ lemah yang dialami
individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan
diri.
Sedangkan menurut Depkes tahun 2000 faktor yang mempengaruhi personal
hygiene adalah body image, praktik sosial, status sosial ekonomi, pengetahuan,
budaya, kebiasaan dan kondisi fisik. Berikut penjabarannya. Gambaran individu
terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya
perubahan fisik sehingga individu tidak perduli dengan dirinya. Pada anak anak
selalu dimanja dalam kebersihan diri maka,kemungkinan akan terjadi perubahan
pola personal hygiene & personal hygiene memerlukan alat dan bahan, seperti
sabun, sikat gigi, shampoo dan alat mandi lainnya yang membutuhkan uang untuk
menyediakannya.

c. Tanda dan gejala


Fisik:
- Adanya gangguan kebersihan diri, contoh:
Rambut kotor, gigi kotor, kuku panjang dan kotor, rambut berantakan
Psikologis:
- Malas dan tidak ada inisiatif
- Menarik diri, isolasi sosial
- Merasa tidak berdaya, hina, rendah diri
Sosial:
- Kurangnya interaksi
- Kurangnya kegiatan
- Tidak mampu berperilaku secara normal

d. Mekanisme Koping
Mekanisme adaptif dan maladaptive

e. Sumber Koping
Keluarga dan teman dekat.

3. Pohon Masalah

4. Masalah Keperawatan
Defisit perawatan diri
DS:
- Pasien mengatakan ia merasa lemah
- Pasien mengatakan ia malas menlakukan sesuatu
- Pasien mengatakan malas mandi dan tidak berdaya untuk melakukan kegiatan
- Keluarga Pasien mengatakan pasien menangis hampir setiap malam
- Keluarga Pasien mengatakan pasien tidak tahu cara makan dan minum yang baik
dan benar
DO:
- Rambut pasien terlihat berantakan dan kotor
- Bau mulut dan gigi, kulit kusam dan kotor
- Kuku panjang dan tidak terawatt

5. Diagnosa keperawatan
Defisit perawatan diri

6. Rencana Tindakan Keperawatan

3) Pengkajian Keperawatan
a. Gangguan kebersihan diri ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki
dan
bau, serta kuku panjang dan kotor.
b. Ketidakmampuan berhias/berdandan ditandai dengan rambut acak-acakan,
pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki tidak
bercukur, serta pada pasien wanita tidak berdandan.
c. Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai dengan ketidakmampuan
mengambil
makan sendiri, makan berceceran, dan makan tidak pada tempatnya.
d. Ketidakmampuan BAB atau BAK secara mandiri ditandai dengan BAB atau BAK
tidak pada tempatnya, serta tidak membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK.
4) Diagnosis Keperawatan
Defisit perawatan diri kebersihan diri, makan, berdandan, dan BAK/BAB

5) Rencana Intervensi
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
a. Tujuan
1) Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri.
2) Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik.
3) Pasien mampu melakukan makan dengan baik.
4) Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri.
b. Tindakan keperawatan
1) Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri.
Untuk melatih pasien dalam menjaga kebersihan diri, Anda dapat
melakukan tahapan tindakan berikut.
a) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri.
c) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri.
d) Melatih pasien mempraktikkan cara menjaga kebersihan diri.

2) Melatih pasien berdandan/berhias.


Sebagai perawat dapat melatih pasien berdandan. Untuk pasien laki-laki tentu
harus dibedakan dengan wanita.
a) Untuk pasien laki-laki latihan meliputi:
 Berpakaian,
 Menyisir rambut,
 Bercukur.
b) Untuk pasien wanita, latihannya meliputi:
 berpakaian,
 menyisir rambut,
 berhias.
 Melatih pasien makan secara mandiri.
Untuk melatih makan pasien, dapat melakukan tahapan sebagai berikut.
1) Menjelaskan cara mempersiapkan makan.
2) Menjelaskan cara makan yang tertib.
3) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan.
4) Praktik makan sesuai dengan tahapan makan yang baik.
d. Pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri.
Anda dapat melatih pasien untuk BAB dan BAK mandiri sesuai tahapan
berikut.
1) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai.
2) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK.
3) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK.

2. Strategi Pelaksanaan Defisit Perawatan Diri

SP1 Pasien: Mendiskusikan pentingnya kebersihan diri, cara-cara merawat  


                                diri dan melatih pasien tentang cara-cara perawatan kebersihan diri.

ORIENTASI
“Selamat pagi, kenalkan saya suster R”
”Namanya siapa, senang dipanggil siapa?”
”Saya dinas pagi di ruangan ini pk. 07.00-14.00. Selama di rumah sakit ini saya yang
akan merawat T?”
“Dari tadi suster lihat T menggaruk-garuk badannya, gatal ya?”
” Bagaimana kalau kita bicara tentang kebersihan diri ? ”
” Berapa lama kita berbicara ?. 20 menit ya...?. Mau dimana...?. disini aja ya. ”

KERJA
“Berapa kali T mandi dalam sehari? Apakah T sudah mandi hari ini? Menurut T apa
kegunaannya mandi ?Apa alasan T sehingga tidak bisa merawat diri? Menurut T apa
manfaatnya kalau kita menjaga kebersihan diri? Kira-kira tanda-tanda orang yang
tidak  merawat diri dengan baik seperti apa ya...?, badan gatal, mulut bau, apa lagi...?
Kalau kita tidak teratur menjaga kebersihan diri masalah apa menurut T  yang bisa
muncul ?” Betul ada kudis, kutu...dsb.
   
“Apa yang T lakukan untuk merawat rambut dan muka? Kapan saja T menyisir rambut?
Bagaimana dengan bedakan? Apa maksud atau tujuan sisiran dan berdandan?”
(Contoh untuk pasien laki-laki)
“Berapa kali T cukuran dalam seminggu? Kapan T cukuran terakhir? Apa gunanya
cukuran? Apa alat-alat  yang diperlukan?”. Iya... sebaiknya cukuran 2x perminggu, dan
ada alat cukurnya?”. Nanti bisa minta ke perawat ya.

“Berapa kali T makan sehari?


”Apa pula yang dilakukan setelah makan?” Betul, kita harus sikat gigi setelah makan.”

“Di mana biasanya T berak/kencing? Bagaimana membersihkannya?”. Iya... kita kencing


dan berak harus di WC, Nach... itu WC di ruangan ini, lalu jangan lupa membersihkan
pakai air dan sabun”.

“Menurut T kalau mandi itu kita harus bagaimana ? Sebelum mandi apa yang perlu kita
persiapkan? Benar sekali..T perlu menyiapkan pakaian ganti, handuk, sikat gigi, shampo
dan sabun serta sisir”. 

”Bagaimana kalau sekarang kita ke kamar mandi, suster akan membimbing T


melakukannya. Sekarang T siram seluruh tubuh T termasuk rambut lalu ambil shampoo
gosokkan pada kepala T sampai berbusa lalu bilas sampai bersih.. bagus sekali..
Selanjutnya ambil sabun, gosokkan di seluruh tubuh secara merata lalu siram dengan air
sampai bersih, jangan lupa sikat gigi pakai odol.. giginya disikat mulai dari arah atas ke
bawah. Gosok seluruh gigi T mulai dari depan sampai belakang. Bagus, lalu kumur-
kumur sampai bersih. Terakhir siram lagi seluruh tubuh T sampai bersih lalu keringkan
dengan handuk. T bagus sekali melakukannya. Selanjutnya T pakai baju dan sisir
rambutnya dengan baik.”

TERMINASI
“Bagaimana perasaan T setelah mandi dan mengganti pakaian ? Coba T
sebutkan lagi apa saja cara-cara mandi yang baik yang sudah T lakukan tadi ?”.
”Bagaimana perasaan Tina setelah kita mendiskusikan tentang pentingnya kebersihan diri
tadi ? Sekarang coba Tina ulangi lagi tanda-tanda bersih dan rapi”
”Bagus sekali mau berapa kali T mandi dan sikat gigi...?dua kali pagi dan sore,
Mari...kita masukkan dalam jadual aktivitas harian. Nach... lakukan ya T..., dan beri
tanda kalau sudah dilakukan Spt M ( mandiri ) kalau dilakukan tanpa disuruh, B
( bantuan ) kalau diingatkan baru dilakukan dan T ( tidak ) tidak melakukani? Baik besok
lagi kita latihan berdandan. Oke?” Pagi-pagi sehabis makan.

SP 2 Pasien : Percakapan saat melatih pasien laki-laki berdandan:


a)      Berpakaian
b)      Menyisir rambut
c)      Bercukur

ORIENTASI
“Selamat pagi Pak Tono?
“Bagaimana perasaan bpk hari ini? Bagaimana mandinya?”sudah dilakukan? Sudah ditandai
di jadual hariannya?
“Hari ini kita akan latihan berdandan, mau dimana latihannya. Bagaimana kalau di ruang
tamu ? lebih kurang setengah jam”.

KERJA
“Apa yang T lakukan setelah selesai mandi ?”apa T sudah ganti baju?
“Untuk berpakaian, pilihlah pakaian yang bersih dan kering. Berganti pakaian yang bersih
2x/hari. Sekarang coba bapak ganti baju.. Ya, bagus seperti itu”.
“Apakah T menyisir rambut ? Bagaimana cara bersisir ?”Coba kita praktekkan, lihat ke
cermin, bagus…sekali!
 “Apakah T suka bercukur ?Berapa hari sekali bercukur ?” betul 2 kali perminggu
 “Tampaknya kumis dan janggut bapak sudah panjang. Mari Pak dirapikan ! Ya,
Bagus !” (catatan: janggut dirapihkan bila pasien tidak memelihara janggut)

TERMINASI
“Bagaimana perasaan bapak setelah berdandan”.
“Coba pak, sebutkan cara berdandan yang baik sekali lagi”..
“Selanjutnya bapak setiap hari setelah mandi berdandan dan pakai baju seperti tadi ya! Mari
kita masukan pada jadual kegiatan harian, pagi jam berapa, lalu sore jam berap ?
“Nanti siang kita latihan makan yang baik. Diruang makan bersama dengan pasien yang lain.

SP 3 Pasien: Percakapan melatih berdandan untuk pasien wanita


a)      Berpakaian
b)      Menyisir rambut
c)      Berhias
ORIENTASI
“Selamat pagi, bagaimana perasaaan T hari ini ?Bagaimana mandinya?”Sudah di tandai
dijadual harian ?
“Hari ini kita akan latihan berdandan supaya T tampak rapi dan cantik. Mari T kita dekat
cermin dan bawa alat-alatnya( sisir, bedak, lipstik )
KERJA
“ Sudah diganti tadi pakaianya sehabis mandi ? Bagus….! Nach…sekarang disisir rambutnya
yang rapi, bagus…! Apakah T biasa pakai bedak?” coba dibedakin mukanyaT, yang rata dan
tipis. Bagus sekali.” “  T,  punya lipstik mari dioles tipis. Nach…coba lihat dikaca!
TERMINASI
“Bagaimana perasaan T belajar berdandan”
“T jadi tampak segar dan cantik, mari masukkan dalam jadualnya. Kegiatan harian, sama
jamnya dengan mandi. Nanti siang kita latihan makan yang baik di ruang makan bersama
pasien yang lain”.

SP 4 Pasien : Percakapan melatih pasien makan secara mandiri


a)      Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b)      Menjelaskan cara makan yang tertib
c)      Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d)     Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik

ORIENTASI
“Selamat siang T,”
” Wow...masih rapi dech T”.
“Siang ini kita akan latihan bagaimana cara makan yang baik. Kita latihan langsung di ruang
makan ya..!” Mari...itu sudah datang makanan.“

KERJA
“Bagaimana kebiasaan sebelum, saat, maupun setelah makan? Dimana T makan?”
“Sebelum makan kita harus cuci tangan memakai sabun. Ya, mari kita praktekkan! “Bagus!
Setelah itu kita duduk dan ambil makanan. Sebelum disantap kita berdoa dulu. Silakan
T  yang pimpin!. Bagus..
“Mari kita makan.. saat makan kita harus menyuap makanan satu-satu dengan pelan-pelan.
Ya, Ayo...sayurnya dimakanya.”“Setelah makan kita bereskan piring,dan gelas yang
kotor. Ya betul.. dan kita akhiri dengan cuci tangan. Ya bagus!”  Itu Suster Ani sedang bagi
obat, coba...T minta sendiri obatnya.”

TERMINASI
“Bagaimana perasaan T setelah kita makan bersama-sama”.
”Apa saja yang harus kita lakukan pada saat makan, ( cuci tangan, duduk yang baik, ambil
makanan, berdoa, makan yang baik, cuci piring dan gelas, lalu cuci tangan.)”
” Nach... coba T lakukan seperti tadi setiap makan, mau kita masukkan dalam jadual?.Besok
kita ketemu lagi untuk latihan BAB / BAK yang baik, bagaiman kalau jam 10.00 disini saja
ya...!”

SP 5 Pasien : Percakapan mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK  secara   mandiri


a)      Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b)      Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c)      Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK
Orientasi
“Selamat pagi T ? Bagaimana perasaan T  hari ini ?” Baik..! sudah dijalankan jadual
kegiatannya..?”
“Kita akan membicarakan tentang cara berak dan kencing yang baik?
“ Kira-kira 20 menit ya...T. dan dimana kita duduk? Baik disana dech...!
Kerja
“Cara cebok yang bersih setelah T  berak yaitu dengan menyiramkan air dari arah depan ke
belakang. Jangan terbalik ya, …… Cara seperti ini berguna untuk mencegah masuknya
kotoran/tinja yang ada di anus ke bagian kemaluan kita” 
“Setelah Tono selesai cebok, jangan lupa tinja/air kencing yang ada di kakus/WC
dibersihkan. Caranya siram tinja/air kencing tersebut dengan air secukupnya sampai tinja/air
kencing itu tidak tersisa di kakus/ WC.  Jika Tono membersihkan tinja/air kencing seperti ini,
berarti Tono ikut  mencegah menyebarnya kuman yang berbahaya yang ada pada kotoran/ air
kencing”
“Jangan lupa merapikan kembali pakaian sebelum keluar dari WC/kakus, lalu cuci tangan
dengan menggunakan sabun.”
Terminasi
“Bagaimana perasaan T setelah kita membicarakan tentang cara berak/kencing yang baik?”
“Coba T jelaskan ulang tentang cara BAB?BAK yang baik.” Bagus...!
 “Untuk selanjutnya T bisa  melakukan cara-cara   yang telah dijelaskan tadi ”.
“ Nach...besok kita ketemu lagi, untuk melihat sudah sejauhmana T bisa melakukan jadual
kegiatannya.”

D. Halusinasi

1. Laporan Pendahuluan Halusinasi


a. Masalah Utama
Ganggguan Persepsi sensori: Halusinasi
b. Proses Terjadinya Masalah
1) Definisi
Halusinasi adalah persepsi yang salah atau persepsi sensori yang tidak
sesuai dengan kenyataan seperti melihat bayangan atau suara suara yang
sebenarnya tidak ada. (Yudi hartono, 2012)

Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa adanya
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh pancaindra.
Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami
perubahan sensori persepsi, serta merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan perabaan, atau penciuman. Pasien merasakan stimulus
yang sebetulnya tidak ada. Pasien gangguan jiwa mengalami perubahan dalam hal
orientasi realitas. Salah satu manifestasi yang muncul adalah halusinasi yang
membuat pasien tidak dapat menjalankan pemenuhan dalam kehidupan sehari-
hari.

2) Penyebab
a) Faktor Predisposisi
(1) Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak dapat menimbulkan
gangguan seperti:

(a) Hambatan perkembangan khususnya korteks frontal, temporal dan


citim limbik. Gejala yang mungkin timbul adalah hambatan dalam
belajar, daya ingat dan berbicara
(b) Pertumbuhan dan perkembangan individu pada pranatal, perinatal
neonatus dan kanak kanak.

(2) Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon psikologis diri klien, sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi
ganguan orientasi realitas adalah penolakan atau kekerasan dalam hidup
klien.

Penolakan dapat dirasakan dari keluarga, pengasuh atau teman yang


bersikap dingin,cemas,tidak peduli atau bahkan terlalu melindungi
sedangkan kekerasan dapat bisa berupa konflik dalam rumah tangga
merupakan lingkungan resiko gangguan orientasi realitas.
(3) Sosial Budaya
Kehidupan sosial budaya dapat pula mempengaruhi gangguan
orientasi realitas seperti kemiskinan, konflik sosial, budaya,
kehidupan yang terisolir disertai stres yang menumpuk.

b) Faktor Presipitasi
(1) Stresor sosial budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan
stabilitas keluarga, perpisahan dengan orang yang penting, atau
diasingkan dari kelompok dapat menimbulkan halusinasi.
(2) Faktor biokimia
Berbagai penelitian tentang dopamin, norepinetrin, indolamin, serta
zat halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realitas
termasuk halusinasi.
(3) Faktor psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan mengatasi masalah memungkinkan
berkembangnya gangguan orientasi realitas. Pasien mengembangkan
koping untuk menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan.
(4) Perilaku
Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan orientasi
realitas berkaitan dengan perubahan proses pikir, afektif persepsi,
motorik, dan sosial.

3) Jenis-jenis Halusinasi
4) Tanda dan Gejala
Data Subjektif: Pasien mengatakan..
- Mendengar suara-suara atau kegaduhan
- Mendengar suara yang menagjak bercakap-cakap
- Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
- Melihat bayangan, sinar dan hantu
- Mencium bau-bauan seperti bau darah, urine dll
- Merasakan rasa seperti darah, urine dll
- Merasa takut atau senang dengan halusinasinya
Data Objektif:
- Bicara atau tertawa sendiri
- Marah-marah tanpa sebab
- Mengarahkan telinga kea rah tertentu
- Menutup telinga
- Menunjuk-nunjuk ke daerah tertentu
- Takut pada sesuatu yang tidak jelas
- Mencium bau-bauan tertentu

5) Mekanisme Koping

(a) With Drawal : Menarik diri dan klien sulit mempercayai masalah yang
dialami.
(b) Proyeksi : Menggambarkan dan menjelaskan persepsi yang
membingungkan.
(c) Regresi : Terjadi dalam hubungan sehari hari untuk memproses masalah
dan mengeluarkan sejumlah energi dalam mengatasi cemas. Energi yang
tersisa sedikit sehingga klien menjadi malas beraktivitas.

6) Sumber Koping
Sumber daya keluarga amat diperlukan dengan mengetahui dan
mengerti tentang penyakit, finansial keluarga, waktu dan tenaga keluarga
yang tersedia dan kemampuan keluarga memberikan asuhan (Stuart & Larata,
2015)
7) Tahapan Halusinasi

8) Pohon Masalah

9) Masalah Keperawatan
Gangguan persepsi sensori : Halusinasi

DS: Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien sering terbangun dari


tidurnya pada malam hari dan mengatakan bahwa pasien sering bertemu
dengan istrinya padahal tidak ada siapa-siapa.
DO: - Pasien tampak sering mengobrol sendiri

- Pasien tampak bicara dan tertawa sendiri

- Pasien tampak mengarahkan telinga ke posisi tertentu.

Isolasi sosial (Menarik diri)


a. Diagnosa Keperawatan
i. Perubahan persepsi sensori : Halusinasi berhubungan
dengan menarik diri
Tujuan umum : Pasien dapat mengontrol halusinasi yang di alaminya
Tujuan khusus :
1. Pasien dapat membina hubungan saling percaya
2. Pasien dapat mengetahui halusinasinya
3. Pasien dapat mengontrol halusinasinya
4. Pasien dapat dukungan dari keluarga dalam mengpntrol halusinasinya
5. Pasien dapat menggunakan obat dengan benar (Iskandar
dkk:2012:63)

b. Rencana asuhan keperawatan

Tujuan Kriteria hasil Intervensi


Tuk 1 Pasien dapat 1. Sapa pasien dengan ramah baik
membina verbal maupun non verbal
hubungan saling 2. Perkenalkan nama perawat
percaya 3. Tanya nama lengkap dan panggilan
pasien
4. Jelaskan tujuan pertemuan
5. Tunjukan sikap empati dan
menerima klien apa adanya
6. Beri perhatian pada klien dan
perhatikan kebutuhan dasar klien

Tuk 2 Pasien dapat 1. Adakan kontak sering dan singkat secara


mengenali bertahap
halusinasinya 2. Observasi tingkah laku klien terkait
dengan halusinasinya
3. Bantu klien mengenali
halusinasinya
4. Diskusikan dengan klien situasi yang
menimbulkan atau tidak menimbulkan
halusinasinya,waktu dan frekuensi
terjadinya halusinasi
5. Tanyakan kepada klien apa yang
diraskan saat halusinasi
(Marah,takut,sedih atau senang)

Tuk 3 Pasien dapat 1. Identifikasi bersama klien cara tindakn


mengontrol yang dilakukan jika terjadi
halusinasinya halusinasi(tidur,marah,menyibukkan diri
dll
2. Diskusikan manfaat cara yang dilakukan
klien jika bermanfaat beri pujian
3. Diskusikan cara baru untuk
memutus atau mengontrol halusinasi 4.Bantu
klien memilih dan melatih cara memutus
halusinasi secara
Bertahap

Tuk 4 Pasien dapat 1.Anjurkan klien untuk memberi tahu


dukungan dari keluarga jika mengalami halusinasi
keluarga dalm 2.Diskusikan dengan keluarga pada
mengontrol saat kunjungan rumah
halusinasinya

Tuk 5 Pasien dapat 1. Diskusikan dengan klien dan keluarga


memanfaatkan obat tentang dosis,frekuensi dan manfaat obat
dengan baik 2. Anjurkan klien minta sendiri obat pada
perawat dan merasakan
manfaatnya
3. Anjurkan klien bicara dengan dokter
tentang manfaat dan efek samping obat
yang dirasakan
4. Diskusikan akibat berhenti minum obat
tanpa konsultasi
5. Bantu klien menggunakan obat dengan
prinsip benar

(Iskandar dkk:2012:67)
1. Proses Keperawatan
a. Keadaan klien
Data subjektif : Pasien merasa takut dan tidak mau
bicara,terlihat merenung,terkadang tertawa sendiri
Data objektif : Pasien tidak komunikatif
b. Diagnosa keperawatan
Perubahan persepsi sensori : Halusinasi berhubungan dengan menarik diri
c. Tujuan
1. Pasien dapat membina hubungan saling percaya
2. Pasien dapat mengenali halusinasi
3. Pasien dapat mempraktekan cara menghalau halusinasi dengan menghardik
4. Pasien dapat minum obat dengan benar
d. Tindakan Keperawatan
a. Membina hubungan saling percaya
b. Menjelaskan dan mengenalkan halusinasi pasien
c. Mempraktekan cara menghardik
d. Menjelaskan cara minum obat yang benar

STRATEGI PELAKSANAAN (SP) 


Masalah Utama           : Halusinasi pendengaran
A.    PROSES KEPERAWATAN
1.      Kondisi klien:
-          Petugas mengatakan bahwa klien sering menyendiri di kamar
-          Klien sering ketawa dan tersenyum sendiri
-          Klien mengatakan sering mendengar suara-suara yang membisiki dan isinya tidak jelas serta
melihat setan-setan.
2.      Diagnosa keperawatan:
Gangguan persepsi sensori: halusinasi dengar
B.     Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
1.      Tindakan Keperawatan untuk Pasien
Tujuan tindakan untuk pasien meliputi:
1)      Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya
2)      Pasien dapat mengontrol halusinasinya
3)      Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal
SP 1 Pasien : Membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-cara mengontrol halusinasi,
mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara pertama: menghardik halusinasi
ORIENTASI:
”Selamat pagi bapak, Saya Mahasiswa keperawatan UNDIP yang akan merawat bapak Nama
Saya nurhakim yudhi wibowo, senang dipanggil yudi. Nama bapak siapa?Bapak Senang
dipanggil apa”
”Bagaimana perasaan bapak hari ini? Apa keluhan bapak saat ini”
”Baiklah, bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang suara yang selama ini bapak dengar
tetapi tak tampak wujudnya? Di mana kita duduk? Di ruang tamu? Berapa lama? Bagaimana
kalau 30 menit”
KERJA:
”Apakah bapak  mendengar suara tanpa ada ujudnya?Apa yang dikatakan suara itu?”
” Apakah terus-menerus terdengar atau sewaktu-waktu? Kapan yang paling sering D dengar
suara? Berapa kali sehari bapak alami? Pada keadaan apa suara itu terdengar? Apakah pada
waktu sendiri?”
” Apa yang bapak  rasakan pada saat mendengar suara itu?”
 ”Apa yang bapak lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan cara itu suara-suara itu
hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara-cara untuk mencegah suara-suara itu muncul?
” bapak , ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul. Pertama, dengan menghardik
suara tersebut. Kedua, dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain. Ketiga, melakukan
kegiatan yang sudah terjadwal, dan yang ke empat minum obat dengan teratur.”
”Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan menghardik”.
”Caranya sebagai berikut: saat suara-suara itu muncul, langsung bapak  bilang, pergi saya tidak
mau dengar, … Saya tidak mau dengar. Kamu suara palsu. Begitu diulang-ulang sampai suara itu
tak terdengar lagi. Coba bapak peragakan! Nah begitu, … bagus! Coba lagi! Ya bagus bapak D
sudah bisa”
TERMINASI:
”Bagaimana perasaan D  setelah peragaan latihan tadi?” Kalau suara-suara itu muncul lagi,
silakan coba cara tersebut ! bagaimana kalu kita buat jadwal latihannya. Mau jam berapa saja
latihannya? (Saudara masukkan kegiatan latihan menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan
harian pasien). Bagaimana kalau kita bertemu lagi untuk belajar dan latihan mengendalikan
suara-suara dengan cara yang kedua? Jam berapa D?Bagaimana kalau dua jam lagi? Berapa lama
kita akan berlatih?Dimana tempatnya”
”Baiklah, sampai jumpa.”
SP 2 Pasien : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua: 
       bercakap-cakap dengan orang lain 
Orientasi:
“Selamat pagi bapak Bagaimana perasaan bapak hari ini? Apakah suara-suaranya masih
muncul ? Apakah sudah dipakai cara yang telah kita latih?Berkurangkan suara-suaranya Bagus !
Sesuai janji kita tadi saya akan latih cara kedua untuk mengontrol halusinasi dengan bercakap-
cakap dengan orang lain. Kita akan latihan selama 20 menit. Mau di mana? Di sini saja?
Kerja:
“Cara kedua untuk mencegah/mengontrol halusinasi yang lain adalah dengan bercakap-cakap
dengan orang lain. Jadi kalau bapak mulai mendengar suara-suara, langsung saja cari teman
untuk diajak ngobrol. Minta teman untuk ngobrol dengan bapak Contohnya begini; … tolong,
saya mulai dengar suara-suara. Ayo ngobrol dengan saya! Atau kalau ada orang dirumah
misalnya istri,anak bapak katakan: bu, ayo ngobrol dengan bapak sedang dengar suara-suara.
Begitu bapak Coba bapak lakukan seperti saya tadi lakukan. Ya, begitu. Bagus! Coba sekali lagi!
Bagus! Nah, latih terus ya bapak!”
Terminasi:
“Bagaimana perasaan bapak setelah latihan ini? Jadi sudah ada berapa cara yang bapak pelajari
untuk mencegah suara-suara itu? Bagus, cobalah kedua cara ini kalau bapak mengalami
halusinasi lagi. Bagaimana kalau kita masukkan dalam jadwal kegiatan harian bapak. Mau jam
berapa latihan bercakap-cakap? Nah nanti lakukan secara teratur serta sewaktu-waktu suara itu
muncul! Besok pagi saya akan ke mari lagi. Bagaimana kalau kita latih cara yang ketiga yaitu
melakukan aktivitas terjadwal? Mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 10.00? Mau di mana/Di
sini lagi? Sampai besok ya. Selamat pagi”
SP 3 Pasien : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga: 
       melaksanakan aktivitas terjadwal 
Orientasi: “Selamat pagi bapak Bagaimana perasaan bapak hari ini? Apakah suara-suaranya
masih muncul ? Apakah sudah dipakai  dua cara yang telah kita latih ? Bagaimana hasilnya ?
Bagus ! Sesuai janji kita, hari ini kita akan belajar cara yang ketiga untuk mencegah halusinasi
yaitu melakukan kegiatan terjadwal. Mau di mana kita bicara? Baik kita duduk di ruang
tamu. Berapa lama kita bicara? Bagaimana kalau 30 menit? Baiklah.”
Kerja: “Apa saja yang biasa bapak lakukan? Pagi-pagi apa kegiatannya, terus jam
berikutnya (terus ajak sampai didapatkan kegiatannya sampai malam). Wah banyak sekali
kegiatannya. Mari kita latih dua kegiatan hari ini (latih kegiatan tersebut). Bagus sekali bapak
bisa lakukan. Kegiatan ini dapat bapak lakukan untuk mencegah suara tersebut muncul. Kegiatan
yang lain akan kita latih lagi agar dari pagi sampai malam ada kegiatan.
Terminasi: “Bagaimana perasaan bapak setelah kita bercakap-cakap cara yang ketiga untuk
mencegah suara-suara? Bagus sekali! Coba sebutkan 3 cara yang telah kita latih untuk mencegah
suara-suara. Bagus sekali. Mari kita masukkan dalam jadwal kegiatan harian bapak Coba
lakukan sesuai jadwal ya!(Saudara dapat melatih aktivitas yang lain pada pertemuan berikut
sampai terpenuhi seluruh aktivitas dari pagi sampai malam) Bagaimana kalau menjelang makan
siang nanti, kita membahas cara minum obat yang baik serta guna obat. Mau jam berapa?
Bagaimana kalau jam 12.00 pagi?Di ruang makan ya! Sampai jumpa.”
SP 4 Pasien: Melatih pasien menggunakan obat secara teratur
Orientasi:
“Selamat pagi bapak Bagaimana perasaan bapak hari ini? Apakah suara-suaranya masih
muncul ? Apakah sudah dipakai  tiga cara yang telah kita latih ? Apakah jadwal kegiatannya
sudah dilaksanakan ? Apakah pagi ini sudah minum obat? Baik. Hari ini kita akan
mendiskusikan tentang obat-obatan yang bapak minum. Kita akan diskusi selama 20 menit
sambil menunggu makan siang. Di sini saja ya bapak?”
Kerja:
“bapak adakah bedanya setelah minum obat secara teratur. Apakah suara-suara
berkurang/hilang ? Minum obat sangat penting supaya suara-suara yang bapak dengar dan
mengganggu selama ini tidak muncul lagi. Berapa macam obat yang bapak minum ? (Perawat
menyiapkan obat pasien) Ini yang warna orange (CPZ) 3 kali sehari jam 7 pagi, jam 1 siang dan
jam 7 malam gunanya untuk menghilangkan suara-suara. Ini yang putih (THP)3 kali sehari jam
nya sama gunanya untuk rileks dan tidak kaku. Sedangkan yang merah jambu (HP)  3 kali sehari
jam nya sama gunanya untuk pikiran biar tenang. Kalau suara-suara sudah hilang obatnya tidak
boleh diberhentikan. Nanti konsultasikan dengan dokter, sebab kalau putus obat, bapak akan
kambuh dan sulit untuk mengembalikan ke keadaan semula. Kalau obat habis bapak bisa minta
ke dokter untuk mendapatkan obat lagi. bapak juga harus teliti saat menggunakan obat-obatan
ini. Pastikan obatnya benar, artinya bapak harus memastikan bahwa itu obat yang benar-benar
punya bapak Jangan keliru dengan obat milik orang lain. Baca nama  kemasannya. Pastikan obat
diminum pada waktunya, dengan cara yang benar. Yaitu diminum sesudah makan dan tepat
jamnya  bapak juga harus perhatikan berapa jumlah obat sekali minum, dan harus cukup minum
10 gelas per hari”
Terminasi:
“Bagaimana perasaan bapak setelah kita bercakap-cakap tentang obat? Sudah berapa cara yang
kita latih untuk mencegah suara-suara? Coba sebutkan! Bagus! (jika jawaban benar). Mari kita
masukkan jadwal minum obatnya pada jadwal kegiatan bapak Jangan lupa pada waktunya minta
obat pada perawat atau  pada keluarga kalau di rumah. Nah makanan sudah datang. Besok kita
ketemu lagi untuk melihat manfaat 4 cara mencegah suara yang telah kita bicarakan. Mau jam
berapa? Bagaimana kalau jam 10.00. sampai jumpa.”
2.      Tindakan Keperawatan Kepada Keluarga
a. Tujuan:
1. Keluarga dapat terlibat dalam perawatan pasien baik di di rumah sakit maupun
    di rumah
2. Keluarga dapat menjadi sistem pendukung yang efektif untuk pasien.
       b. Tindakan Keperawatan
Keluarga merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan asuhan keperawatan pada
pasien dengan halusinasi. Dukungan keluarga selama pasien di rawat di rumah sakit sangat
dibutuhkan sehingga pasien termotivasi untuk sembuh. Demikian juga saat pasien tidak lagi
dirawat di rumah sakit (dirawat di rumah). Keluarga yang mendukung pasien secara konsisten
akan membuat pasien mampu mempertahankan program pengobatan secara optimal. Namun
demikian jika keluarga tidak mampu merawat pasien, pasien akan kambuh bahkan untuk
memulihkannya lagi akan sangat sulit. Untuk itu perawat harus memberikan pendidikan
kesehatan kepada keluarga agar keluarga mampu menjadi pendukung yang efektif bagi
pasien  dengan halusinasi baik saat di rumah sakit maupun di rumah.
Tindakan keperawatan yang dapat diberikan untuk keluarga pasien halusinasi adalah: 
1)      Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien
2)      Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang dialami
pasien, tanda dan gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi, dan cara merawat pasien
halusinasi.
3)      Berikan kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara merawat pasien dengan
halusinasi langsung di hadapan pasien
4)      Beri pendidikan kesehatan kepada keluarga perawatan lanjutan pasien

E. Waham
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-menerus, tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006)
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah.
Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien
(Aziz R, 2003).
1. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
1) Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
2) Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
3) Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
4) Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.
b. Faktor Presipitasi
1) Proses pengolahan informasi yang berlebihan
2) Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
3) Adanya gejala pemicu
2. Tanda dan Gejala
a. Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakinninya (tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan
b. Klien tampak tidak mempunyai orang lain
c. Curiga
d. Bermusuhan
e. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan
f. Takut dan sangat waspada
g. Tidak tepat menilai lingkungan/realitas
h. Ekspresi wajah tegang
i. Mudah tersingung

3. Masalah Keperawatan Yang Sering Muncul


a. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Kerusakan komunikasi : verbal
c. Perubahan isi pikir : waham
4. Akibat Yang Sering Muncul
a. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)
Cara berpikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk dan pengorganisasian
bicara (tangensial, neologisme, sirkumtansial)
b. Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi
c. Fungsi emosi
Afek datar, afek tidak sesuai, reaksi berlebihan, ambivalen
d. Fungsi motorik
Impulsif gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotopik gerakan yang
diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang jelas, katatonia.
e. Fungsi sosial : kesepian
f. Isolasi sosial, menarik diri dan harga diri rendah.
5. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang
menakutkan dengan respon neurobiologist yang maladaptive meliputi: regresi
berhubungan dengan masalah proses informasi dengan upaya untuk mengatasi ansietas,
proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi, menarik diri, pada
keluarga: mengingkari.
6. Fase-fase
Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
a. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara fisik
maupun psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang
dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan
menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk
melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi
terpenuhi tetapi kesenjangan antara Reality dengan selft ideal sangat tinggi. Misalnya
ia seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang dianggap sangat
cerdas, sangat berpengalaman dn diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi
karena sangat pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi
juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang ( life span history ).
b. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self
ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan yang
tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi
komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan yang luas,
seseorang tetap memasang self ideal  yang melebihi lingkungan tersebut. Padahal self
reality-nya sangat jauh. Dari aspek pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh,
support system semuanya sangat rendah.
c. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat berat,
karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima
lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum
terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan
koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak
dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
d. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang
dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari
sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma ( Super
Ego ) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
e. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan
sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya
klien lebih sering menyendiri dan menghindar interaksi sosial ( Isolasi sosial ).
f. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering
berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi
( rantai yang hilang ). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham
dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang
keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya
bahwa apa-apa yang dilakukan menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi sosial.
7. Jenis Waham
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenisnya meliputi :
a. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan
khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya
ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau, “Saya punya tambang emas.”
b. Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusaha merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin
menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
c. Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama secara
berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh,
“Kalau saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih setiap hari.”
d. Waham somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu
atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan. Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya pada pemeriksaan
laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan
bahwa ia sakit kanker).
e. Waham nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di
dunia/meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, ”Ini kan alam kubur ya, sewmua yang ada disini adalah roh-roh”.
f. Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang disisipkan ke
dalam pikirannya.
g. Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang tersebut
h. Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan di
luar dirinya.
8. Rentang Respon

9. Pohon Masalah
Resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan

Perubahan Proses Pikir: Waham

Harga Diri Rendah

10. Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji


Masalah Keperawatan : Perubahan Isi Pikir : Waham
a. Data subjektif :
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan.
b. Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak (diri, orang
lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat menilai
lingkungan / realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung.
11. Diagnosa Keperawatan
Perubahan Proses Pikir: Waham
12. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan: Perubahan Proses Pikir: Waham
a. Tujuan umum: Klien tidak terjadi perubahan proses pikir: waham
b. Tujuan khusus :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Tindakan:
a) Bina hubungan. saling percaya: salam terapeutik, perkenalkan diri, jelaskan
tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas
topik, waktu, tempat).
b) Jangan membantah dan mendukung waham klien: katakan perawat menerima
keyakinan klien “saya menerima keyakinan anda” disertai ekspresi menerima,
katakan perawat tidak mendukung disertai ekspresi ragu dan empati, tidak
membicarakan isi waham klien.
c) Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindungi: katakan perawat
akan menemani klien dan klien berada di tempat yang aman, gunakan
keterbukaan dan kejujuran jangan tinggalkan klien sendirian.
d) Observasi apakah wahamnya mengganggu aktivitas harian dan perawatan diri.
2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki
Tindakan:
a) Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realistis.
b) Diskusikan bersama klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan saat
ini yang realistis.
c) Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian anjurkan untuk melakukannya
saat ini (kaitkan dengan aktivitas sehari hari dan perawatan diri).
d) Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai kebutuhan
waham tidak ada. Perlihatkan kepada klien bahwa klien sangat penting.
3) Klien dapat mengidentifikasikan kebutuhan yang tidak terpenuhi
Tindakan :
a) Observasi kebutuhan klien sehari-hari.
b) Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik selama di rumah
maupun di rumah sakit (rasa sakit, cemas, marah)
c) Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham.
d) Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien dan memerlukan
waktu dan tenaga (buat jadwal jika mungkin).
e) Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk menggunakan
wahamnya.
4) Klien dapat berhubungan dengan realitas
Tindakan :
a) Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri, orang lain, tempat dan
waktu).
b) Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi realitas.
c) Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien
5) Klien dapat menggunakan obat dengan benar
Tindakan :
a) Diskusikan dengan kiten tentang nama obat, dosis, frekuensi, efek dan efek
samping minum obat
b) Bantu klien menggunakan obat dengan priinsip 5 benar (nama pasien, obat,
dosis, cara dan waktu).
c) Anjurkan klien membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan
d) Beri reinforcement bila klien minum obat yang benar.

6) Klien dapat dukungan dari keluarga


Tindakan :
a) Diskusikan dengan keluarga melalui pertemuan keluarga tentang: gejala
waham, cara merawat klien, lingkungan keluarga dan follow up obat.
b) Beri reinforcement atas keterlibatan keluarga.
13. Evaluasi
a. Klien percaya dengan perawat, terbuka untuk ekspresi waham
b. Klien menyadari kaitan kebutuhan yg tidak terpenuhi dg keyakinannya (waham) saat
ini
c. Klien dapat melakukan upaya untuk mengontrol waham
d. Keluarga mendukung dan bersikap terapeutik terhadap klien
e. Klien menggunakan obat sesuai program
14. Strategi Pelaksanaan Pada Waham
Berikut ini beberapa contoh pertanyaan yang dapat digunakan sebagai panduan untuk
mengkaji pasien dengan waham :
a. Apakah pasien memiliki pikiran/isi pikir yang berulang-ulang diungkapkan dan
menetap?
b. Apakah pasien takut terhadap objek atau situasi tertentu, atau apakah pasien cemas
secara berlebihan tentang tubuh atau kesehatannya?
c. Apakah pasien pernah merasakan bahwa benda-benda disekitarnya aneh dan tidak
nyata?
d. Apakah pasien pernah merasakan bahwa ia berada diluar tubuhnya?
e. Apakah pasien pernah merasa diawasi atau dibicarakan oleh orang lain?
f. Apakah pasien berpikir bahwa pikiran atau tindakannya dikontrol oleh orang lain atau
kekuatan dari luar?
g. Apakah pasien menyatakan bahwa ia memiliki kekuatan fisik atau kekuatan lainnya
atau yakin bahwa orang lain dapat membaca pikirannya?
Selama pengkajian, kita harus mendengarkan dan memperhatikan semua informasi yang
diberikan oleh pasien tentang wahamnya. Untuk mempertahankan hubungan saling
percaya yang telah terbina, jangan menyangkal, menolak, atau menerima keyakinan
pasien.
Adapun tindakan keperawatan yang dilakukan meliputi:
a. Bina Hubungan Saling Percaya
Sebelum memulai mengkaji pasien dengan waham, kita harus membina hubungan
saling percaya terlebih dahulu agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi.
Tindakan yang harus dilakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya
adalah:
1) Mengucapkan salam terapeutik
2) Berjabat tangan
3) Menjelaskan tujuan interaksi
4) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien.
b. Bantu Orientasi Realita
1) Tidak mendukung atau membantah waham pasien
2) Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman
3) Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari
4) Jika pasien terus menerus membicarakan wahamnya dengarkan
tanpa memberikan dukungan atau menyangkal sampai pasien berhenti
membicarakannya
5) Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai
dengan realitas.
c. Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi
sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut dan marah.
d. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan
emosional pasien
e. Berdikusi tentang kemampuan positif yang dimiliki
f. Bantu melakukan kemampuan yang dimiliki
g. Berdiskusi tentang obat yang diminum
h. Melatih minum obat yang benar
SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya; mengidentifikasi kebutuhan yang tidak
terpenuhi dan cara memenuhi kebutuhan; mempraktekkan pemenuhan kebutuhan
yang tidak terpenuhi

ORIENTASI:
“Selamat pagi, perkenalkan nama saya Kai, saya perawat yang dinas pagi ini di ruang melati.
Saya dinas dari pk 07-14.00 nanti, saya yang akan merawat nona hari ini. Nama nona siapa,
senangnya dipanggil apa?”
“Bisa kita berbincang-bincang tentang apa yang nona X rasakan sekarang?”
“Berapa lama nona X mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15 menit?”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang, nona?”

KERJA:
“Saya mengerti nona X merasa bahwa nona X adalah seorang nabi, tapi sulit bagi saya untuk
mempercayainya karena setahu saya semua nabi sudah tidak adalagi, bisa kita lanjutkan
pembicaraan yang tadi terputus nona?”
“Tampaknya nona X gelisah sekali, bisa nona ceritakan apa yang
nona X rasakan?”
“O... jadi nona X merasa takut nanti diatur-atur oleh orang lain dan tidak punya hak untuk
mengatur diri nona sendiri?”
“Siapa menurut nona yang sering mengatur-atur diri nona?”
“Jadi ibu yang terlalu mengatur-ngatur ya, juga kakak dan adik yang lain?”
“Kalau nona sendiri inginnya seperti apa?”
“O... bagus nona sudah punya rencana dan jadwal untuk diri sendiri”
“Coba kita tuliskan rencana dan jadual tersebut nona”
“Wah..bagus sekali, jadi setiap harinya nona ingin ada kegiatan diluar rumah karena bosan
kalau di rumah terus ya”

TERMINASI
“Bagaimana perasaan nona X setelah berbincang-bincang dengan saya?”
”Apa saja tadi yang telah kita bicarakan? Bagus”
“Bagaimana kalau jadwal ini nona coba lakukan, setuju?”
“Bagaimana kalau saya datang kembali dua jam lagi?”
”Kita bercakap-cakap tentang kemampuan yang pernah nona miliki? Mau di mana kita
bercakap-cakap? Bagaimana kalau di sini lagi?”

SP 2 Pasien: Mengidentifikasi kemampuan positif pasien dan membantu


mempraktekkannya

ORIENTASI
“Selamat pagi nona X, bagaimana perasaannya saat ini? Bagus!”
“Apakah nona X sudah mengingat-ingat apa saja hobi atau kegemaran nona?”
“Bagaimana kalau kita bicarakan hobi tersebut sekarang?”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang tentang hobi nona X tersebut?”
“Berapa lama nona X mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 20 menit tentang hal
tersebut?”

KERJA
“Apa saja hobby nona? Saya catat ya, terus apa lagi?”
“Wah.., rupanya nona X pandai main volley ya, tidak semua orang bisa bermain volley seperti
itu lho X”(atau yang lain sesuai yang diucapkan pasien).
“Bisa nona X ceritakan kepada saya kapan pertama kali belajar main volley, siapa yang dulu
mengajarkannya kepada nona X, dimana?”
“Bisa nona X peragakan kepada saya bagaimana bermain volley yang baik itu?”
“Wah..baik sekali permainannya”
“Coba kita buat jadual untuk kemampuan nona X ini ya, berapa kali sehari/seminggu nona X
mau bermain volley?”
“Apa yang nona X harapkan dari kemampuan bermain volley ini?”
“Ada tidak hobi atau kemampuan nona X yang lain selain bermain volley?”
TERMINASI
“Bagaimana perasaan nona X setelah kita bercakap-cakap tentang hobi dan kemampuan
nona?”
“Setelah ini coba nona X lakukan latihan volley sesuai dengan jadual yang telah kita buat
ya?”
“Besok kita ketemu lagi ya nona?”
“Bagaimana kalau nanti sebelum makan siang? Di kamar makan saja, ya setuju?”
“Nanti kita akan membicarakan tentang obat yang harus nona X minum, setuju?”

SP 3 Pasien :Mengajarkan dan melatih cara minum obat yang benar

ORIENTASI
“Selamat Pagi nona X.”
“Bagaimana nona sudah dicoba latihan volleynya? Bagus sekali”
“Sesuai dengan janji kita dua hari yang lalu bagaimana kalau sekarang kita membicarakan
tentang obat yang nona X minum?”
“Dimana kita mau berbicara? Di kamar makan?”
“Berapa lama nona X mau kita berbicara? 20 atau 30 menit?

KERJA
“Nona X berapa macam obat yang diminum/ Jam berapa saja obat diminum?”
“Nona X perlu minum obat ini agar pikirannya jadi tenang, tidurnya juga tenang”
“Obatnya ada tiga macam nona, yang warnanya oranye namanya CPZ gunanya agar
tenang, yang putih ini namanya THP gunanya agar rileks, dan yang merah jambu ini
namanya HLP gunanya agar pikiran jadi teratur. Semuanya ini diminum 3 kali sehari jam
7 pagi, jam 1 siang, dan jam 7 malam”.
“Bila nanti setelah minum obat mulut nona X terasa kering, untuk membantu mengatasinya
nona bisa banyak minum dan mengisap-isap es batu”.
“Sebelum minum obat ini nona X dan ibu mengecek dulu label di kotak obat apakah benar
nama X tertulis disitu, berapa dosis atau butir yang harus diminum, jam berapa saja harus
diminum. Baca juga apakah nama obatnya sudah benar”
“Obat-obat ini harus diminum secara teratur dan kemungkinan besar harus diminum dalam
waktu yang lama. Agar tidak kambuh lagi sebaiknya nona X tidak menghentikan sendiri obat
yang harus diminum sebelum berkonsultasi dengan dokter”.

TERMINASI
“Bagaimana perasaan nona X setelah kita bercakap-cakap
tentang obat yang nona X minum?. Apa saja nama obatnya? Jam berapa minum obat?”
“Mari kita masukkan pada jadual kegiatan abang. Jangan lupa minum obatnya dan nanti
saat makan minta sendiri obatnya pada suster”
“Jadwal yang telah kita buat kemarin dilanjutkan ya Nona!”
“Nona, besok kita ketemu lagi untuk melihat jadwal kegiatan yang telah dilaksanakan.
Bagaimana kalau seperti biasa, jam 10 dan di tempat sama?”
“Sampai besok.”

F. Resiko Perilaku Kekerasan


Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku seseorang yang
diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Perilaku kekerasan pada diri sendiri
dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk
penelantaran diri. Perilaku kekerasan pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan
untuk melukai atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa
perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada di lingkungan.
Perilaku kekerasan merupakan bagian dari rentang respons marah yang paling
maladaptif, yaitu amuk. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respons
terhadap kecemasan (kebutuhan yang tidak terpenuhi) yang dirasakan sebagai ancaman.
(Stuart dan Sundeen, 1991). Amuk merupakan respons kemarahan yang paling maladaptif
yang ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol,
yang individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan (Keliat, 1991).

Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk

Asertif: Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain.


Frustasi: Kegagalan mencapai tujuan, tidak realitas/terhambat.
Pasif: Respons lanjutan yang pasien tidak mampu mengungkapkan perasaan.
Agresif: Perilaku destruktif tapi masih terkontrol.
Amuk : Perilaku destruktif yang tidak terkontrol.

Perbandingan Perilaku Pasif, Asertif, dan Agresif


Karakteristik Pasif Asertif Amuk
 Nada bicara  Negatif  Positif  Berlebihan
 Menghina diri  Menghargai  Menghina orang
 Dapatkah saya diri sendiri lain
lakukan?  Saya  Anda
dapat/akan selalu/tidak
 Dapatkah ia
 lakukan pernah?
lakukan?

Karakteristik Pasif Asertif Amuk


 Nada suara  Diam  Diatur  Tinggi
 Lemah  Menuntut
 Merengek
 Sikap  Melorot  Tegak  Tegang
tubuh  Menundukan  Relaks  Bersandar ke
kepala depan
 Personal  Orang lain  Menjaga jarak  Memiliki
Space dapat masuk yang teritorial orang
pada menyenangkan lain
territorial  Mempertahankan
pribadinya hak
tempat/teritorial
 Gerakan  Minimal  Memperlihatkan  Mengancam,
 Lemah  gerakan yang ekspansi
 Resah sesuai gerakan
 Kontak Mata Sedikit/tidak  Sekali-sekali  Melotot
ada (intermiten)
sesuai
dengan kebutuhan
interaksi

1. Gejala Atau Tanda Marah (Perilaku)


a. Emosi
1) Tidak adekuat
2) Tidak aman
3) Rasa terganggu
4) Marah (dendam)
5) Jengkel

b. Intelektual
1) Mendominasi
2) Bawel
3) Sarkasme
4) Berdebat
5) Meremehkan
c. Fisik
1) Muka merah
2) Pandangan tajam
3) Napas pendek
4) Keringat
5) Sakit fisik
6) Penyalahgunaan zat
7) Tekanan darah meningkat
d. Spiritual
1) Kemahakuasaan
2) Kebijakan/kebenaran diri
3) Keraguan
4) Tidak bermoral
5) Kebejatan
6) Kreativitas terlambat
e. Sosial
1) Menarik diri
2) Pengasingan
3) Penolakan
4) Kekerasan
5) Ejekan
6) Humor

2. Proses Terjadinya Marah

Ancaman atau kebutuhan

Stres

Cemas
Marah

Merasa kuat Mengungkapkan secara vertikal Merasa tidak adekuat

Menantang Menjaga keutuhan Menantang orang lain

Konsep Marah (Beck,


Masalah Rawlins, Williams,Lega
tidak selesai 1986: 447 dikutip oleh Keliat marah
Mengingkari dan Sinaga, 1991:8)

3. Proses Terjadinya Amuk


Marah Ketegangan Marah tidak
Amuk merupakan respons kemarahan
berkepanjangan menurunyang paling maladaptif
terungkapyang ditandai dengan

perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol, yang individu
Rasa marah teratasi
dapat merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan (Keliat, 1991). Amuk adalah
Muncul rasa bermusuhan
respons marah terhadap adanya stres, rasa cemas, harga diri rendah, rasa bersalah, putus
asa, dan ketidakberdayaan. Rasa bermusuhan menahun

ResponsMarah
marahpadadapat
diri diekspresikan secara internal Marah
atau pada
eksternal.
orang Secara internal
sendiri lain/lingkungan
dapat berupa perilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara eksternal
Depresi destruktif agresif. Respons marah dapat diungkapkan melalui tiga
dapat berupa perilaku Agresif/mengamuk
psikosomatik
cara yaitu (1) mengungkapkan secara verbal, (2) menekan, dan (3) menantang.
Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan
katakata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain akan
memberikan kelegaan pada individu. Apabila perasaan marah diekspresikan dengan
perilaku agresif dan menentang, biasanya dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini
menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku yang
destruktif dan amuk.
4. Pengkajian Keperawatan
a. Faktor Predisposisi
1) Psikoanalisis
Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresif adalah merupakan hasil dari
dorongan insting (instinctual drives).
2) Psikologis
Berdasarkan teori frustasi-agresif, agresivitas timbul sebagai hasil dari
peningkatan frustasi. Tujuan yang tidak tercapai dapat menyebabkan frustasi
berkepanjangan.
3) Biologis
Bagian-bagian otak yang berhubungan dengan terjadinya agresivitas sebagai
berikut.
a) Sistem limbik
Merupakan organ yang mengatur dorongan dasar dan ekspresi emosi serta
perilaku seperti makan, agresif, dan respons seksual. Selain itu, mengatur
sistem informasi dan memori.
b) Lobus temporal
Organ yang berfungsi sebagai penyimpan memori dan melakukan interpretasi
pendengaran.
c) Lobus frontal
Organ yang berfungsi sebagai bagian pemikiran yang logis, serta pengelolaan
emosi dan alasan berpikir.

d) Neurotransmiter
Beberapa neurotransmiter yang berdampak pada agresivitas adalah serotonin
(5-HT), Dopamin, Norepineprin, Acetylcholine, dan GABA.
4) Perilaku (behavioral)
a) Kerusakan organ otak, retardasi mental, dan gangguan belajar mengakibatkan
kegagalan kemampuan dalam berespons positif terhadap frustasi.
b) Penekanan emosi berlebihan (over rejection) pada anak-anak atau godaan
(seduction) orang tua memengaruhi kepercayaan (trust) dan percaya diri (self
esteem) individu.
c) Perikaku kekerasan di usia muda, baik korban kekerasan pada anak (child
abuse) atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga memengaruhi
penggunaan kekerasan sebagai koping.
Teori belajar sosial mengatakan bahwa perilaku kekerasan adalah hasil belajar
dari proses sosialisasi dari internal dan eksternal, yakni sebagai berikut.
a) Internal: penguatan yang diterima ketika melakukan kekerasan.
b) Eksternal: observasi panutan (role model), seperti orang tua, kelompok,
saudara, figur olahragawan atau artis, serta media elektronik (berita kekerasan,
perang, olahraga keras).
5) Sosial kultural
a) Norma
Norma merupakan kontrol masyarakat pada kekerasan. Hal ini mendefinisikan
ekspresi perilaku kekerasan yang diterima atau tidak diterima akan
menimbulkan sanksi. Kadang kontrol sosial yang sangat ketat (strict) dapat
menghambat ekspresi marah yang sehat dan menyebabkan individu memilih
cara yang maladaptif lainnya.
b) Budaya asertif di masyarakat membantu individu untuk berespons terhadap
marah yang sehat.
Faktor sosial yang dapat menyebabkan timbulnya agresivitas atau perilaku
kekerasan yang maladaptif antara lain sebagai berikut.
a) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup.
b) Status dalam perkawinan.
c) Hasil dari orang tua tunggal (single parent).
d) Pengangguran.
e) Ketidakmampuan mempertahankan hubungan interpersonal dan struktur
keluarga dalam sosial kultural.
b. Faktor Presipitasi
Semua faktor ancaman antara lain sebagai berikut.
1) Internal
a) Kelemahan.
b) Rasa percaya menurun.
c) Takut sakit.
d) Hilang kontrol.
2) Eksternal
a) Penganiayaan fisik.
b) Kehilangan orang yang dicintai.
c) Kritik.
5. Diagnosis
a. Pohon Masalah
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

Perilaku kekerasan.
Gangguan konsep diri: harga diri rendah.
b. Diagnosis Keperawatan
1) Risiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan dengan
perilaku kekerasan.
2) Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
6. Rencana Intervensi
Risiko Perilaku Kekerasan
a. Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1) Tujuan
a) Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
b) Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
c) Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
d) Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya.
e) Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya.
f) Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik,
spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
2) Tindakan
a) Bina hubungan saling percaya.
(1) Mengucapkan salam terapeutik.
(2) Berjabat tangan.
(3) Menjelaskan tujuan interaksi.
(4) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu pasien.
b) Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan masa
lalu.
c) Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
(1) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
(2) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis.
(3) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial.
(4) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual.
(5) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual.
d) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat
marah secara:
(1) verbal,
(2) terhadap orang lain,
(3) terhadap diri sendiri,
(4) terhadap lingkungan.
e) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
f) Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
(1) fisik, misalnya pukul kasur dan batal, tarik napas dalam;
(2) obat;
(3) sosial/verbal, misalnya menyatakan secara asertif rasa marahnya;
(4) spiritual, misalnya sholat atau berdoa sesuai keyakinan pasien.
g) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, yaitu latihan napas
dalam dan pukul kasur/bantal, secara sosial/verbal, secara spiritual, dan patuh
minum obat.
h) Ikut sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi
mengontrol perilaku kekerasan.
b. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1) Tujuan
Keluarga dapat merawat pasien di rumah.
2) Tindakan
a) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien.
b) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab, tanda
dan gejala, serta perilaku yang muncul dan akibat dari perilaku tersebut).
c) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu segera
dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain.
d) Latih keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan.
1) Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan tindakan yang
telah diajarkan oleh perawat.
2) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien bila pasien
dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
3) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila pasien
menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.
e) Buat perencanaan pulang bersama keluarga. Strategi Penahanan
c. Strategi Penahanan

Stategi Preventif
Strategi Antisipasi Strategi
Penahanan

• Kesadaran • Komunikasi • Manajemen krisis


diri • Perubahan • Pengasingan
• Pendidikan lingkungan • Pengendalian/pengekangan
pasien • Perilaku
• Latihan asertif • Psikofarmakologi
Rangkaian Intervensi Keperawatan dalam Manajemen Perilaku Kekerasan Manajemen Krisis
d. Manajemen Krisis
1) Identifikasi pemimpin tim krisis.
2) Susun atau kumpulkan tim krisis.
3) Beritahu petugas keamanan yang diperlukan.
4) Pindahkan semua pasien dari area tersebut.
5) Siapkan atau dapatkan alat pengekang (restrains).
6) Susun strategi dan beritahu anggota lain.
7) Tugas penanganan pasien secara fisik.
8) Jelaskan semua tindakan pada pasien, “Kami harus mengontrol Tono, karena
perilaku Tono berbahaya pada Tono dan orang lain. Jika Tono sudah dapat
mengontrol perilakunya, kami akan lepaskan”.
9) Ikat/kekang pasien sesuai instruksi pemimpin (posisi yang nyaman).
10) Berikan obat psikofarmaka sesuai instruksi.
11) Jaga tetap kalem dan konsisten.
12) Evaluasi tindakan dengan tim.
13) Jelaskan kejadian pada pasien lain dan staf seperlunya.
14) Secara bertahap integrasikan pasien pada lingkungan.
e. Pengasingan
Pengasingan dilakukan untuk memisahkan pasien dari orang lain di tempat yang
aman dan cocok untuk tindakan keperawatan. Tujuannya adalah melindungi pasien,
orang lain, dan staf dari bahaya. Hal ini legal jika dilakukan secara terapeutik dan
etis. Prinsip pengasingan antara lain sebagai berikut (Stuart dan Sundeen, 1995: 738).
1) Pembatasan gerak
a) Aman dari mencederai diri.
b) Lingkungan aman dari perilaku pasien.
2) Isolasi
a) Pasien butuh untuk jauh dari orang lain, contohnya paranoid.
b) Area terbatas untuk adaptasi, ditingkatkan secara bertahap.
3) Pembatasan input sensoris
Ruangan yang sepi akan mengurangi stimulus.

f. Pengekangan
Tujuan dari pengekangan adalah mengurangi gerakan fisik pasien, serta
melindungi pasien dan orang lain dari cedera. Indikasi antara lain sebagai berikut.
1) Ketidakmampuan mengontrol perilaku.
2) Perilaku tidak dapat dikontrol oleh obat atau teknik psikososial.
3) Hiperaktif dan agitasi.
Prosedur pelaksanaan pengekangan adalah sebagai berikut.
1) Jelaskan pada pasien alasan pengekangan.
2) Lakukan dengan hati-hati dan tidak melukai.
3) Ada perawat yang ditugaskan untuk mengontrol tanda vital, sirkulasi, dan
membuka ikatan untuk latihan gerak.
4) Penuhi kebutuhan fisik, yaitu makan, minum, eliminasi, dan perawatan diri.
5) Selengkapnya baca Stuart dan Sundeen (1995: 739) dan pedoman pengikatan.
7. Evaluasi
a. Pada pasien
1) Pasien mampu menyebutkan penyebab, tanda dan gejala perilaku kekerasan,
perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, serta akibat dari perilaku kekerasan
yang dilakukan.
2) Pasien mampu menggunakan cara mengontrol perilaku kekerasan secara teratur
sesuai jadwal, yang meliputi:
a) secara fisik,
b) secara sosial/verbal,
c) secara spiritual,
d) terapi psikofarmaka.
b. Pada keluarga
1) Keluarga mampu mencegah terjadinya perilaku kekerasan.
2) Keluarga mampu menunjukkan sikap yang mendukung dan menghargai pasien.
3) Keluarga mampu memotivasi pasien dalam melakukan cara mengontrol perilaku
kekerasan.
4) Keluarga mampu mengidentifikasi perilaku pasien yang harus dilaporkan pada
perawat.
8. Strategi Pelaksanaan Pada Resiko Perilaku Kekerasan
a. Pertemuan Pertama
1) Kondisi klien
Klien tenang, kooperatif, klien mampu menjawab semua pertanyaan yang
diajukan.
2) Diagnosa Keperawatan
Risiko perilaku kekerasan
3) Tujuan Khusus
a) Pasien dapat mengidentifikasi PK
b) Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda PK
c) Pasien dapat menyebutkan jenis PK yang pernah dilakukannya
d) Pasien dapat menyebautkan akibat dari PK yang dilakukannya
e) Pasien dapat menyebutka cara mencegah / mengendalikan PKnya
4) Tindakan Keperawatan
SP 1 Klien :
Membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi penyebab marah,
tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan,
akibat dan cara mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik
pertama ( latihan nafas dalam).
a) Fase Orientasi
“Selamat pagi nona, perkenalkan nama saya Kai. Saya perawat yang dinas di
ruangan ini selama 3 minggu. Hari ini saya dinas pagi dari jam 7 sampai jam
1 siang, jadi selama 3 minggu ini saya yang merawat nona. Nama nona siapa?
Dan senang nya dipanggil apa?”
“Bagaimana perasaan nona X saat ini? Masih ada perasaan kesal atau
marah?”
“Baiklah sekarang kita akan berbincang-bincang tentang perasaan marah yang
nona rasakan,”
“Berapa lama nona mau kita berbincang-bincang ? Bagaimana kalau 10
menit, di mana kita akan bincang-bincang?”
“Bagaimana kalau diruang tamu?”

b) Fase Kerja
“Apa yang menyebabkan nona X marah? Apakah sebelumnya nona X pernah
marah? Terus penyebabnya apa? Samakah dengan yang sekarang? Pada saat
penyebab marah itu ada, seperti rumah yang berantakan, makanan yang tidak
tersedia, air tak tersedia ( misalnya ini penyebab marah klien), apa yang nona
X rasakan?“
“Apakah nona X merasa kesal, kemudian dada nona berdebar-debar, mata
melotot, rahang terkatup rapat, dan tangan mengepal?”
“Apa yang nona lakukan selanjutnya”
“Apakah dengan nona X marah-marah, keadaan jadi lebih baik?
“Menurut nona adakah cara lain yang lebih baik selain marah-marah?
“Maukah nona belajar mengungkapkan marah dengan baik tanpa
menimbulkan kerugian?
“Ada beberapa cara fisik untuk mengendalikan rasa marah, hari ini kita belajar
satu cara dulu,”
“Begini nona, kalau tanda- marah itu sudah nona rasakan nona berdiri lalu
tarik nafas dari hidung, tahan sebentar, lalu keluarkan secara perlahan-lahan
dari mulut seperti mengeluarkan kemarahan, coba lagi nona dan lakukan
sebanyak 5 kali. Bagus sekali nona X sudah dapat melakukan nya.
“Nah sebaiknya latihan ini nona X lakukan secara rutin, sehingga bila
sewaktu-waktu rasa marah itu muncul nona X sudah terbiasa melakukannya”.
c) Fase Terminasi
“Bagaimana perasaan nona X setelah berbincang-bincang tentang kemarahan
nona? ”
“Coba nona X sebutkan penyebab nona marah dan yang nona rasakan dan
apa yang nona lakukan serta akibatnya.”
“Baik, sekarang latihan tadi kita masukkan ke jadwal harian ya nona”
“Berapa kali sehari nona mau latihan nafas dalam ?”
“Bagus.”
“Nanti tolong nona tulis M, bila nona melakukannya sendiri, tulis B, bila nona
dibantu dan T, bila nona tidak melakukan”
“Baik, bagaimana kalau besok kita latihan cara lain untuk mencegah dan
mengendalikan marah nona X?”
”Dimana kita akan latihan, bagaimana kalau tempatnya disini saja ya?”
“Berapa lama kita akan lakukan, bagaimana kalau 10 menit saja”
“Saya pamit dulu ya nona…Selamat pagi.”
b. Pertemuan Kedua
1) Kondisi klien
Klien tenang, kooperatif, ada kontak mata saat berbicara.
2) Diagnosa Keperawatan
Risiko perilaku kekerasan
3) Tujuan khusus
a) Melatih cara mencegah/ mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
kedua
b) Mengevaluasi latihan nafas dalam
c) Melatih cara fisik ke 2: pukul kasur dan bantal
d) Menyusun jadwal kegiatan harian cara kedua
e) Tindakan Keperawatan
SP 2 klien :
Membantu klien latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik ke
dua (evaluasi latihan nafas dalam, latihan mengendalikan perilaku kekerasan
dengan cara fisik ke dua : pukul kasur dan bantal), menyusun jadwal kegiatan
harian cara ke dua.
4) Tindakan Keperawatan
a) Fase Orientasi
“Halo, nona X, masih ingat nama saya. Bagus Nona..ya saya Kai”
“Sesuai dengan janji saya kemarin, sekarang saya datang lagi.
“Bagaimana perasaan Nona saat ini, adakah hal yang menyebabkan Nona
marah?”
“Baik, sekarang kita akan belajar cara mengendalikan perasaan marah dengan
kegiatan fisik untuk cara yang kedua.”
“ mau berapa lama? Bagaimana kalau 10 menit?”
“ Dimana kita bicara? Bagaimana kalau di ruang tamu ini ya Nona”
b) Fase Kerja
“Kalau ada yang menyebabkan Nona marah dan muncul perasaan kesal,
selain nafas dalam Nona dapat memukul kasur dan bantal.”
“Sekarang mari kita latihan memukul bantal dan kasur mari ke kamar nona?
Jadi kalau nanti nona kesal atau marah, nona langsung kekamar dan
lampiaskan marah nona tersebut dengan memukul bantal dan kasur.Nah coba
nona lakukan memukul bantal dan kasur, ya bagus sekali nona
melakukannya!”
“Nah cara ini pun dapat dilakukan secara rutin jika ada perasaan marah,
kemudian jangan lupa merapikan tempat tidur Ya!”
c) Fase Terminasi
“Bagaimana perasaan nona setelah latihan cara menyalurkan marah tadi?”
“Coba nona sebutkan ada berapa cara yang telah kita latih? Bagus!”
“ Mari kita masukkan kedalam jadwal kegiatan sehari-hari nona. Pukul berapa
nona mau mempraktikkan memukul kasur/bantal?
“Bagai mana kalau setiap bangun tidur? Baik jadi jam 5 pagi dan jam 3 sore,
lalu kalau ada keinginan marah sewaktu-waktu gunakan kedua cara tadi ya
Nona.”
“Sekarang nona istirahat, 2 jam lagi kita ketemu ya nona, kita akan belajar
mengendalikan marah dengan belajar bicara yang baik. Sampai Jumpa!”
c. Pertemuan Ketiga
1) Kondisi klien
Klien kooperatif, tenang, ada kontak mata saat berbicara, sesekali nada bicara
agak tinggi.
2) Diagnosa Keperawatan
Risiko perilaku kekerasan
3) Tujuan khusus
(a) Melatih cara mencegah/ mengontrol perilaku kekerasan secara
sosial/verbal
(b) Mengevaluasi jadual harian untuk dua cara fisik
(c) Melatih mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak dengan baik,
meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik
(d) Menyusun jadwal latihan mengungkapkan secara verbal
4) Tindakan Keperawatan
SP3 klien :
Membantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara
sosial/verbal (evaluasi jadwal harian tentang dua cara fisik mengendalikan
perilaku kekerasan, latihan mengungkapkan rasa marah secara verbal
( menolak dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan
dengan baik), susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal)
a) Fase Orientasi
“Halo nona X, masih ingat nama saya? Bagus nona, ya saya Kai”
“Sesuai dengan janji saya 2 jam yang lalu sekarang kita ketemu lagi”
“Bagaimana nona, sudah dilakukan tarik nafas dalam dan pukul kasur bantal?
Apa yang dirasakan setelah melakukan latihan secara teratur?”
“Coba saya lihat jadwal kegiatan hariannya.”
“Bagus, bagaimana kalau kita sekarang latihan cara bicara untuk mencegah
marah?”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang?Bagaimana kalau ditempat yang
sama?”
“Berapa lama nona mau kita berbincang-bincang? Bagaiman kalau 10
menit?”
b) Fase Kerja
“Sekarang kita latihan cara bicara nona untuk mencegah marah. Kalau marah
sudah disalurkan melalui tarik nafas dalam atau pukul kasur dan bantal, dan
sudah lega, maka kita perlu bicara dengan orang yang membuat kita marah.
Ada tiga caranya nona:
Pertama meminta dengan baik tanpa marah dengan suara yang rendah serta
tidak menggunakan kata-kata kasar. Kemarin nona mengatakan penyebab
marahnya karena makanan tidak tersedia, rumah berantakan, Coba nona minta
sediakan makan dengan baik, seperti ‘bu, tolong sediakan makan dan
bereskan rumah’ Nanti biasakan dicoba disini untuk meminta baju, minta obat
dan lain-lain. Coba sekarang nona praktekkan. Bagus nona.”
“Yang kedua, menolak dengan baik, jika ada yang menyuruh dan nona tidak
ingin melakukannya, katakan ‘maaf saya tidak bisa melakukannya karena
sedang ada kerjaan’. Coba nona praktekkan. Bagus nona.”
“Yang ketiga, mengungkapkan perasaan kesal, jika ada perlakuan orang
lain yang membuat kesal nona dapat mengatakan ‘Saya jadi ingin marah
karena perkataan mu itu’. Coba praktekkan. Bagus.”
c) Fase Terminasi
“Bagaimana perasaan nona setelah bercakap-cakap tentang cara mengontrol
marah dengan bicara yang baik?’
“Coba nona sebutkan lagi cara bicara yang baik yang telah kita pelajari.”
“Bagus sekali, sekarang mari kita masukkan dalam jadwal. Berapa kali sehari
nona mau latihan bicara yang baik? bisa kita buat jadwalnya?”
“Coba masukkan dalam jadwal latihan sehari-hari, misalnya meminta obat,
makanan dll. Bagus nanti dicoba ya nona!”
“Bagaimana kalau besok kita ketemu lagi?”
“Besok kita akan membicarakan cara lain untuk mengatasi rasa marah nona
yaitu dengan cara ibadah, nona setuju? Mau dimana nona? Disini lagi? Baik
sampai nanti ya nona…Selamat pagi.”
d. Pertemuan Keempat
1) Kondisi klien
Klien tenang, kooperatif, bicara jelas.
2) Diagnosa Keperawatan
Risiko perilaku kekerasan
3) Tujuan khusus
Pasien dapat mencegah/ mengendalikan PKnya secara spiritual,
4) Tindakan Keperawatan
SP 4 klien :
Bantu klien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara spiritual
(diskusikan hasil latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara fisik dan
sosial/verbal, latihan beribadah dan berdoa, buat jadwal latihan ibadah/
berdoa)
a) Fase Orientasi
“Halo nona X, masih ingat nama saya. Betul Nona, saya Kai.”
“Bagaimana nona, latihan apa yang sudah dilakukan? Apa yang dirasakan
setelah melakukan latihan secara teratur? Bagus sekali, bagaimana rasa
marahnya?”
“Bagaimana kalau sekarang kita latihan cara lain untuk mencegah rasa marah
yaitu dengan ibadah?”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang? Bagaiman kalau ditempat biasa?”
“Berapa lama nona mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 10
menit?”
b) Fase kerja
“Coba ceritakan kegiatan ibadah yang biasa ibu lakukan! Bagus, yang mana
yang mau di coba?”“Nah, kalau ibu sedang marah coba langsung duduk dan
langsung tarik nafas dalam. Jika tidak reda juga marahnya rebahkan badan
agar rileks. Jika tidak reda juga, ambil air wudhu kemudian sholat”.“Ibu bisa
melakukan sholat secara teratur untuk meredakan kemarahan.”
“Coba ibu sebutkan sholat 5 waktu? Bagus, mau coba yang mana? Coba
sebutkan caranya?”
c) Fase terminasi
“Bagaimana perasaan nona setelah kita bercakap-cakap tentang cara yang
ketiga ini?”
“Jadi sudah berapa cara mengontrol marah yang kita pelajari? Bagus”
“Mari kita masukkan kegiatan ibadah pada jadwal kegiatan nona. Mau
berapa kali nona sholat. Baik kita masukkan sholat …….dan …… (sesuai
kebutuhan pasien).”
“Coba nona sebutkan lagi cara ibadah yang dapat nona lakukan bila nona
sedang marah”
“Setelah ini coba nona lakukan sholat sesuai jadwal yang telah kita buat tadi”
“2 jam lagi kita ketemu ya nona, nanti kita bicarakan cara keempat
mengontrol rasa marah, yaitu dengan patuh minum obat!”
“Nanti kita akan membicarakan cara penggunaan obat yang benar untuk
mengontrol rasa marah nona, setuju nona?”
e. Pertemuan Kelima
1) Kondisi klien
Klien tenang, kooperatif, kontak mata ada saat komunikasi.
2) Diagnosa Keperawatan
Risiko perilaku kekerasan
3) Tujuan khusus
Pasien dapat mencegah/ mengendalikan PKnya dengan terapi psikofarmaka
4) Tindakan Keperawatan
SP 5 klien :
Membantu klien latihan mengendalikan PK dengan obat ( bantu pasien
minum obat secara teratur dengan prinsip 5 benar ( benar pasien, benar
nama obat, benar cara minum obat, benar waktu dan benar dosis obat)
disertai penjelasan guna minum obat dan akibat berhenti minum obat, susun
jadwal minum obat secara teratur)
a) Fase Orientasi
“Halo nona X, masih ingat nama saya? bagus Nona..ya saya Kai,”
“Sesuai dengan janji saya 2 jam yang lalu, sekarang kita ketemu lagi”
“Bagaimana bu, sudah dilakukan latihan tarik nafas dalam, pukul kasur
bantal, bicara yang baik serta sholat? Apa yang dirasakan setelah melakukan
latihan secara teratur? Coba kita lihat kegiatannya”
“Bagaimana kalau sekarang kita bicara dan latihan tentang cara minum obat
yang benar untuk mengontrol rasa marah?”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau ditempat tadi?”
“Berapa lama nona mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15
menit?”
b) Fase Kerja (Perawat membawa obat pasien)
“Nona sudah dapat obat dari dokter?”
“Berapa macam obat yang nona minum? warnanya apa saja? Bagus, jam
berapa nona minum? Bagus”
“Obatnya ada 3 macam nona, yang warnanya oranye namanya CPZ gunanya
agar pikiran tenang, yang putih namanya THP agar rileks dan tidak tegang,
dan yang merah jambu ini namanya HLP agar rasa marah berkurang.
Semuanya ini harus nona minum 3x sehari jam 7 pagi, jam 1 siang, dan jam 7
malam”
“Bila nanti setelah minum obat mulut nona terasa kering, untuk membantu
mengatasinya nona bisa mengisap-isap es batu”
“Bila terasa berkunang-kunang, nona sebaiknya istirahat dan jangan
beraktivitas dulu”.
“Nanti dirumah sebelum minum obat ini nona lihat dulu label di kotak obat
apakah benar nama nona tertulis disitu, berapa dosis yang harus diminum, jam
berapa saja harus diminum, baca juga apakah nama obatnya sudah benar?
Disini minta obatnya pada suster kemudian cek lagi apakah benar obatnya”
“Jangan penah menghentikan minum obat sebelum berkonsultasi dengan
dokter ya nona , karena dapat terjadi kekambuhan.”
“Sekarang kita masukkan waktu minum obat kedalam jadwal ya nona”.
c) Fase Terminasi
“Bagaimana perasaan nona setelah kita bercakap-cakap tentang cara kita
minum obat yang benar?”
“Coba nona sebutkan lagi jenis jenis obat yang nona minum! Bagaimana
cara minum obat yang benar?”
“Nah, sudah berapa cara mengontrol perasaan marah yang kita pelajari?
Sekarang kita tambahkan jadwal kegiatannya dengan minum obat. Jangan
lupa laksanakan semua dengan teratur ya”
“Baik, besok kita ketemu lagi untuk melihat sejauh mana nona melaksanakan
kegiatan dan sejauh mana dapat mencegah rasa marah. Selamat siang nona,
sampai jumpa.”

G. Resiko Bunuh Diri


Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat mengancam
kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena merupakan perilaku untuk
mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri disebabkan karena stress yang tinggi dan
berkepanjangan dimana individu gagal dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan
dalam mengatasi masalah. Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan
untuk beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat terjadi
karena kehilangan hubungan interpersonal/ gagal melakukan hubungan yang berarti,
perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri sendiri, cara
untuk mengakhiri keputusasaan (Stuart, 2006).
Bunuh diri menurut Gail W. Stuart dalam buku “Keperawatan Jiwa” dinyatakan sebagai
suatu aktivitas yang jika tidak dicegah, dimana aktivitas ini dapat mengarah pada kematian
(2007). 
Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4 pengertian,
antara lain:
1. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
2. Bunuh diri dilakukan dengan intensi
3. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif), misalnya
dengan tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau secara sengaja
berada di rel kereta api.
1. Rentang Respons

Menurut Shives (2008) mengemukakan rentang harapan putus harapan merupakan


rentang adaptif maladaptif. Respon adaptif merupakan respon yang dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan kebudayaan yang secara umum berlaku, sedangkan respon
maladaptif merupakan respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah
yang kurang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya setempat. Respon
maladaptif antara lain:
a. Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis.
Individu yang tidak berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan masalah,
karena merasa tidak mampu mengembangkan koping yang bermanfaat sudah tidak
berguna lagi, tidak mampu mengembangkan koping yang baru serta yakin tidak ada
yang membantu.
b. Kehilangan, ragu-ragu
Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak realistis akan merasa gagal
dan kecewa jika cita-citanya tidak tercapai. Misalnya kehilangan pekerjaan dan
kesehatan, perceraian, perpisahan individu akan merasa gagal dan kecewa, rendah diri
yang semuanya dapat berakhir dengan bunuh diri.
c. Depresi
Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai dengan kesedihan
dan rendah diri. Biasanya bunuh diri terjadi pada saat individu ke luar dari keadaan
depresi berat.
d. Bunuh diri
Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk mengkahiri
kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir individu untuk memecahkan
masalah yang dihadapi (Laraia, 2005).

Respon Adaptif Respon Mal-


adaptif

Self Growth Indirect Self Self Suicide


Enchancement Promoting Destructive Injury
Risk Taking Behavior

2. Klasifikasi
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
a. Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa seseorang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh diri mungkin
mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih lama
lagi atau mengomunikasikan secara non verbal.
b. Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh
individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
c. Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan.
Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan terjadi jika tidak
ditemukan tepat pada waktunya.
3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala menurut Fitria (2009):
a. Mempunyai ide untuk bunuh diri
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati
c. Impulsif
d. Menunjukan perilaku yang mencurigakan
e. Mendekati orang lain dengan ancaman
f. Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
g. Latar belakang keluarga
4. Faktor yang Mempengaruhi
a. Faktor Mood dan Biokimiawi otak
Ghansyam pandey menemukan bahwa aktivitas enzim di dalam manusia bisa
mempengaruhi mood yang memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri. Pandey
mengetahui faktor tersebut setelah melakukan eksperimen terhadap otak 34 remaja
yang 17 diantaranya meninggal akibat bunuh diri. Ditemukan bahwa tingkat aktivitas
protein kinase C (PKC) pada otak pelaku bunuh diri lebih rendah dibanding mereka
yang meninggal bukan karena bunuh diri. Hj. Rooswita mengatakan, “depresi berat
menjadi penyebab utama. Depresi timbul karena pelaku tidak kuat menanggung
beban permasalahan yang menimpa. Karena terus menerus mendapat tekanan,
permasalahan kian menumpuk dan pada puncaknya memicu keinginan bunuh diri.”

b. Faktor riwayat gangguan mental


Dalam otak kita gterdapat berbagai jaringan, termasuk pembuluh darah. Di dalamnya
juga terdapat serotonin, adrenalin, dan dopamin. Ketiga cairan dalam otak itu bisa
menjadi petunjuk dalam neurotransmiter(gelombang/gerakan dalam otak) kejiwaan
manusia. Karena itu, kita harus waspadai bila terjadi peningkatan kadar ketiga cairan
itu di dalam otak. Biasanya, bila kita lihat dari hasil otopsi para korban kasus bunuh
diri, cairan otak ini tinggi, terutama serotonin. Apa penyebab umum yang
meningkatkan kadar cairan otak itu? Sebagai contoh adanya masalah yang
membebani seseorang sehingga terjadi stress atau depresi. Itulah yang sering
membuat kadar cairan otak meningkat.
c. Faktor meniru, imitasi, dan pembelajaran
Dalam kasus bunuh diri, dikatakan ada Proses Pembelajaran. Para korban memiliki
pengalaman dari salah satu keluarganya yang pernah melakukan percobaan bunuh diri
atau meninggal karena bunuh diri. Tidak hanya itu, bisa juga terjadi pembelajaran
dari pengetahuan lainnya. Proses pembelajran di sini merupakan asupan yang masuk
ke dalam memori seseorang. Memori itu bisa menyebabkan perubahan kimia lewat
pembentukan protein-protein yang erat kaitannya dengan memori. Sering kali banyak
yang idak menyadari Proses Pembelajaran ini sebagai keadaan yang perlu
diwaspadai. Bahkan, kita baru paham kalau pasien sudah diperiksa psikiater/dokter.
Kita perlu memperhatikan bahwa orang yang pernah mencoba bunuh diri denngan cra
yang halus, seperti minum racun bisa melakukan cara lain yang lebih keras dari yang
pertama bila yang sebelumnya tidak berhasil.
d. Faktor isolasi sosial dan Human Relations
Secara umum, stress muncul karena kegagalan beradaptasi. Ini dapat terjadi di
lingkungan pekerjaan, keluarga, sekolah, pergaulan dalam masyarakat, dan
sebagainya. Demikian pula bila seseorang merasa terisolasi, kehilangan hubungan
atau terputusnya hubungan dengan orang lain yang disayangi. Padahal hubungan
interpersonal merupakan sifat alami manusia. Bahkan keputusan bunuh diri juga bisa
dilakukan karena perasaan bersalah. Suami membunuh istri, kemudian dilanjutkan
membunuh dirinya sendiri, bisa dijadikan contoh kasus.

e. Faktor hilangnya perasaan aman dan ancaman kebutuhan dasar


Penyebab bunuh diri yang lain adalah rasa tidak aman. Rasa tidak aman merupakan
penyebab terjadinyabanyak kasus bunuh diri di Jakarta dan sekitarnya akhir-akhir ini.
tidak adanya rasa aman untuk menjalankan usaha bagi warga serta ancaman terhadap
tempat tinggal mereka berpotensi kuat memunculkan gangguan kejiwaan seseorang
hingga tahap bunuh diri.

Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang perilaku


resiko bunuh diri meliputi:
a. Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat pasien berisiko untuk bunuh diri yaitu
gangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
b. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko bunuh diri
adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
c. Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan yang dini,
dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan
dengan bunuh diri.
d. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko
untuk perilaku resiko bunuh diri
e. Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat menimbulkan
perilaku resiko bunuh diri.
5. Pedoman Wawancara dan Psikoterapi
Awali pembicaraan dengan bertanya pada pasien apakah ia pernah merasa ingin
menyerah saja terhadapa hidup ini? atau mereka merasa lebih baik mati. Pendekatan
seperti ini membewa stigma kecil saja dan dapa diterima oleh kebanyakan orang. Lalu
bicaralah soal tepatnya apa yang dipikirkan oleh pasien? Dan catatlah semua pikiran itu.
Begitu masalahnya telah mulai diperbincangkan, gunakan kata seperti “bunuh diri” dan
mati daripada “cidera” atau “melukai” karena beberapa pasien bingung dengan kata-kata
itu dan kebanyakan mereka tidak mau mencederai dirinya, walaupun bila mereka ingin
membunuh dirinya.
Ajukan pertanyaan seperti : berapa sering pikiran bunuh diri anda? Apakah
pikiran bunuh diri anda makin meningkat? Apakah anda hanya punya pikiran yang
kurang baik saja atau pernahkah anda merencanakan cara bunuh dirinya? Apakah pikiran
bunuh diri anda hanya sepintas saja atau benar-benar serius? Pertimbangkan umur pasien
dan kecanggihan serta keinginan dan cara bunuh dirinya. Cocokkan ucapan dan rencana
dari cara yang akan dilakukan itu.
6. Pohon Masalah

Resiko perilaku kekerasan Akibat

Resiko Bunuh Diri Core Problem


Isolasi Sosial
Penyebab

Harga Diri Rendah Penyebab

7. Pengkajian
a. Lingkungan dan upaya bunuh diri : perawat perlu mengkaji peristiwa yang menghina
atau menyakitkan, upaya persiapan, ungkapan verbal, catatan, lukisan, memberikan
benda yang berharga, obat, penggunaan kekerasan, racun.
b. Gejala : perawat mencatat adanya keputusasaan, celaan terhadap diri sendiri, perasaan
gagal dan tidak berharga, alam perasaan depresi, agitasi gelisah, insomnia menetap,
berat badan menurun, bicara lamban, keletihan, withdrawl.
c. Penyakit psikiatrik : uoaya bunuh diri sebelumnya, kelainan, afektif, zat adiktif,
depresi remaja, gangguan mental lansia
d. Riwayat psikososial: bercerai, putus hubungan, kehilangan pekerjaan, stress multiple
(pindah, kehilangan,putus hubungan, masalah sekolah, krisis disiplin), penyakit
kronik.
e. Faktor kepribadian: impulsive, agresif, bermusuhan, kognisi negative dan kaku, putus
asa, harga diri rendah, antisocial
f. Riwayat keluarga : riwayat bunuh diri, gangguan afektif, alkoholisme.
8. Diagnosa Keperawatan
Resiko tinggi mutilasi diri/kekerasan pada diri sendiri sehubungan dengan takut
terhadap penolakan, alam perasaan yang tertekan, reaksi kemarahan, ketidakmampuan
mengungkapkan perasaan secara verbal, ancaman harga diri karena malu, kehilangan
pekerjaan dan sebagainya.
a. Sasaran jangka pendek : klien akan mencari bantuan staf bila ada perasaan ingin
mencederai diri.
b. Saran jangka panjang : klien tidak akan mencederai diri
9. Intervensi dan Rasional
a. Observasi perilaku kliem lebih sering melalui aktivitas dan interaksi rutin, hindari
kesan pengamatan dan kecurigaan pada klien (observasi ketat dibutuhkan supaya
intervensi dapat terjadi jika dibutuhkan untuk memastikan keamanan klien).
b. Tetapkan kontrak verbal dengan klien bahwa ia akan meminta bantuan jika keinginan
untuk bunuh diri dirasakan (mendiskusikan perasaan ingin bunuh diri dengan orang
yang dipercaya memberikan derajat keringanan untuk klien, sikap penerimaan klien
sebagai individu dapat dirasakan)
c. Jika mutilasi diri terjadi, rawat luka klien dengan tidak mengusik penyebabnya jangan
berikan reinforcement positif untuk perilaku tersebut (kurangnya perhatian untuk
perilaku maladaptive dalat menurunkan pengulangan mutilasi).
d. Dorong klien untuk bicara tentang perasaan yang dimilikinya sebelum perilaku ini
terjadi (agar memecahkan masalah dan memahami faktor pencetus).
e. Bertindak sebagai model dalam mengekspresikan kemarahan yang tepat (perilaku
bunuh diri dipandang sebagai marah yang diarahkan pada diri sendiri)
f. Singkirkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien (keamanan klien
merupakan prioritas keperawatan)
g. Arahkan kembali perilakku mutilasi dengan penyaluran fisik (latihan fisik merupakan
cara yang aman untuk menyalurkan ketegangan yang terpendam)
h. Komitmen semua staf untuk memberikan spirit kepada klien(bukti control terhadap
situasi dan memberikan kemanan fisik serta semangat hidup)
i. Berikan obat-obatan sesuai hasil kolaborasi, pantau keefektifan, dan efek samping
(obat penenang seperti ansiolotik/ antipsikotik dapat memberikan efek menenangkan
pada klien dan mencegah perilaku agresif)
j. Gunakan restrain mekanis bila keadaan memaksa sesuai prosedur tetap (bila klien
menolak obat-obatan dan situasi darurat, restrain diperlukan pada jam-jam tertentu)
k. Observasi klien dalam restrain tiap 15 menit/ sesuai prosedur tetap dengan
mempertimbangan keamanan, sirkulasi darah, kebutuhan dasar (keamanan klien
merupakan prioritas keperawatan)
10. Evaluasi
a. Bila mengevaluasi pasien yang cenderung bunuh diri, jangan tinggalkan mereka
sendiri, singkirkan semua benda yang potensial berbahaya.
b. Bila megevaluasi pasien yang baru saja mencoba bunuh diri, nilailah apakah usaha itu
telah direncanakan atau impulsif saja sambil menentukan derajat letalitasnya,
kemungkinan pasien pulih kembali.
c. Pengelolaan bergantung sebagian besar pada diagnosis. Pasien dengan depresi berat
dapat diobati sebagai pasien berobat jalan bila keluarganya dapat mengawasi mereka
dengan seksama dan terapi dapat dimulai dengan segera. Bila tidak, perawatan inap di
rumah sakit diperlukan.
d. Gagasan bunuh diri dari pasien alkoholik biasanya akan membaik dalam beberapa
hari dengan abstinensi. Kebanyakan tidak ada terapi spesifik yang perlu diberikan.
Bila depresi tetap bertahan setelah gejala abstinensi mereda, dugaan besar adalah
gangguan depresi berat. Semua pasien yang cenderung bunuh diri yang mengalami
intoksikasi alkohol atau obat harus dinilai ulang saat mereka lepas pengaruh
alkoholnya.
e. Gagasan bunuh diri pada pasien skizofrenik harus diperhatikan secara serius karena
mereka cenderung mempergunakan cara yang keras dan aneh dengan derajat letalitas
tinggi.
f. Pasien dengan gangguan kepribadian akan mengambil manfaat dari bantuan dan
konfrotasi empatik, dan perlu dilanjutkan pendekatan secara rasional, bertanggung
jawab pada masalah yang mencetuskan dan menyebabkan krisis tersebut.
Keikutsertaan keluarga atau teman dan manipulasi lingkungan dapat membantu untuk
menyelesaikan krisis yang membawa pasien untuk bunuh diri.
g. Perawatan inap di rumah sakit jangka panjang dianjurkan bagi kasus dengan
kecenderungan mutilasi diri, namun perawatan inap jangka pendek tidak akan
mempengaruhi perilaku yang berulang ini. Parasuisida juga mungkin akan
mendapatkan manfaat yang baik dari rehabilitasi jangka panjang, dan stabilisasi
jangka pendek juga diperlukan dari waktu ke waktu, tetapi terapi jangka pendek tidak
akan dapat mempengaruhi secara berarti perjalanan gangguan ini.
11. Strategi Pelaksanaan Resiko Bunuh Diri
a. Kondisi Klien
Sedih, marah, putus asa, tidak berdaya, memberikan isyarat verbal maupun non
verbal
b. Diagnosa Keperawatan
Resiko Bunuh Diri
c. Tujuan
1) Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya
2) Pasien dapat mengungkapkan perasaanya
3) Pasien dapat meningkatkan harga dirinya
4) Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik
d. Tindakan Keperawatan
1) Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan
meminta bantuan dari keluarga atau teman.
2) Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:
a) Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.
b) Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif.
c) Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting
d) Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien
e) Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan
3) Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:
a) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya
b) Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing cara penyelesaian
masalah
c) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih baik
SP 1: Percakapan untuk melindungi pasien dari percobaan bunuh diri
1) Fase Orientasi
“Selamat pagi nona, perkenalkan nama saya Kai. Saya perawat yang dinas di
ruangan ini selama 3 minggu. Hari ini saya dinas pagi dari jam 7 sampai jam
1 siang, jadi selama 3 minggu ini saya yang merawat nona. Nama nona siapa?
Dan senang nya dipanggil apa?”
“Bagaimana perasaan A hari ini? ”
“Bagaimana kalau kita bercakap – cakap tentang apa yang A rasakan selama
ini. Dimana dan berapa lama kita bicara?”
2) Fase Kerja
“Bagaimana perasaan A setelah ini terjadi? Apakah dengan bencana ini A
paling merasa menderita di dunia ini? Apakah A pernah kehilangan
kepercayaan diri? Apakah A merasa tidak berharga atau bahkan lebih rendah
dari pada orang lain? Apakah A merasa bersalah atau mempersalahkan diri
sendiri? Apakah A sering mengalami kesulitan berkonsentrasi? Apakah A
berniat unutuk menyakiti diri sendiri? Ingin bunuh diri atau berharap A mati?
Apakah A pernah mencoba bunuh diri? Apa sebabnya, bagaimana caranya?
Apa yang A rasakan?”
“Baiklah, tampaknya A membutuhkan pertolongan segera karena ada
keinginan untuk mengakhiri hidup. Saya perlu memeriksa seluruh isi kamar A
ini untuk memastikan tidak ada benda – benda yang membahayakan A)”
“Karena A tampaknya mash memilikikeinginan yang kuat untuk mengakhiri
hidup A, saya tidak akan membiarkan A sendiri”
“Apa yang A lakukan jika keinginan bunuh diri muncul?”
“Kalau keinginan itu muncul, maka akan mengatasinya A harus langsung
minta bantuan kepada perawat di ruangan ini dan juga keluarga atau teman
yang sedang besuk. Jadi A jangan sendirian ya, katakan kepada teman
perawat, keluarga atau teman jika ada dorongan untuk mengakhiri
kehidupan.”
“Saya percaya A dapat mengatasi masalah.”
3) Fase Terminasi
“Bagaimana perasaan A sekarang setelah mengetahui cara mengatasi perasaan
ingin bunuh diri?”
“Coba A sebutkan lagi cara tersebut!”
“Saya akan menemani A terus sampapi keinginan bunuh diri hilang.” (jangan
meninggalkan pasien).
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. 2006. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa. Jakarta : FIK,
Universitas Indonesia.
Aziz R, dkk. 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino
Gondoutomo.
Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Edisi 1. Bandung, RSJP
Bandung.
Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika.
Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC.
Kumolo, Gilang C. 2014. Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Dengan Waham di Puri Anggrek RSJ Menur Surabaya. Surabaya: Fakultas Keperawatan
dan Kebidanan, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.
Surasno. 2016. Strategi Pelaksanaan Waham. Purwokerto: STIKES Harapan Bangsa
Purwokerto.
Stuart dan Sundeen. 1991. Principles and Practice of Psychiatric Nursing ed 4. St. Louis: Mosby
Year Book.
Kelliat, Budi Anna. 1991. Proses Keperawatan. Jakarta: Arcan.
Stuart dan Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psychiatric Nursing ed 5. St. Louis: Mosby
Year Book.
Yusuf, Ah., dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Stuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Keliat A. Budi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC.
Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa
Berat bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Hidayah, Annisa D., dkk. 2015. Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Dengan Resiko Bunuh Diri. Yogyakarta: Jurusan Keperawatan, Politeknik Kesehatan
Yogyakarta.
Nugroho, Agung. 2011. Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Resiko Bunuh Diri Di RSJD Amino Gondohutomo Semarang. Salatiga: FIK, Universitas Kristen
Satya Wacana.

DAFTAR PUSTAKA
1. Yudi Hartono Dkk;2012;Buku ajar keperawatan
jiwa;Jakarta;salemba medika
2. Iskandar Dkk;2012;Asuhan Keperawatan Jiwa;Bandung;Refika aditama
3. Budi ana dkk;2011;Keperawatan kesehatan jiwa;jakarta;EGC

DAPUS

https://www.academia.edu/37004552/LAPORAN_PENDAHULUAN_HARGA_DIRI_RENDA
H
https://www.academia.edu/9606072/ASUHAN_KEPERAWATAN_PADA_Tn._I_DENGAN_G
ANGGUAN_HARGA_DIRI_RENDAH_DI_RUANG_BANTENG_RUMAH_SAKIT_JIWA_P
ROVINSI_KALIMANTAN_BARAT_AKADEMI_KEPERAWATAN_POLTEKKES_KEMEN
KES_PONTIANAK
https://www.academia.edu/8133941/Askep_Jiwa_Gangguan_Konsep_Diri_Harga_Diri_Rendah_
LAPORAN_PENDAHULUAN_II
https://www.academia.edu/13410915/LP_ISOLASI_SOSIAL

Anda mungkin juga menyukai