Anda di halaman 1dari 3

PATOMEKANISME SESAK NAPAS

Dyspnea berkaitan dengan ventilasi. Ventilasi dipengaruhi oleh

kebutuhan metabolic dari konsumsi oksigen dan eliminasi karbondioksida.

Frekuensi ventilasi bergantung pada rangsangan pada kemoreseptor yang

ada di badan karotid dan aorta. Selain itu, frekuensi ini juga dipengaruhi oleh

sinyal dari reseptor neural yang ada di parenkim paru, saluran udara besar

dan kecil, otot pernapasan, dan dinding toraks.

Pada dyspnea, terjadi peningkatan usaha otot dalam proses inspirasi

dan ekspirasi. Karena dypsnea bersifat subjektif, maka dypsnea tidak selalu

berkorelasi dengan derajat perubahan secara fisiologis. Beberapa pasien

dapat mengeluhkan ketidakmampuan bernapas yang berat dengan

perubahan fisiologis yang minor, sementara pasien lainnya dapat

menyangkal terjadinya ketidakmampuan bernapas walaupun telah diketahui

terdapat deteriorasi kardiopulmonal.

Tidak terdapat teori yang dipakai secara universal dalam menjelaskan

mekanisme dypsnea pada seluruh situasi klinik. Campbell dan Howell (1963)

telah memformulasikan teori length-tension inappropriateness yang

menyatakan defek dasar dari dypsnea adalah ketidakcocokan antara tekanan

yang dihasilkan otot pernafasan dengan volume tidal (perubahan panjang).

Kapanpun perbedaan tersebut muncul, muscle spindle dari otot interkostal

mentransmisikan sinyal yang membawa kondisi bernapas menjadi sesuatu

yang disadari. Reseptor jukstakapiler yang terlokasi di interstitium alveolar


dan disuplai oleh serat saraf vagal tidak termielinisasi akan distimulasi oleh

terhambatnya aktivitas paru. Segala kondisi tersebut akan mengaktivasi

refleks Hering-Breuer dimana usaha inspirasi akan dihentikan sebelum

inspirasi maksimal dicapai dan menyebabkan pernapasan yang cepat dan

dangkal. Reseptor jukstakapiler juga bertanggung jawab terhadap munculnya

dyspnea pada situasi dimana terdapat hambatan pada aktivitas paru, seperti

pada edema pulmonal.

Pada pasien dengan edema pulmonal, cairan yang terakumulasi akan

mengaktifkan serat saraf di interstitium alveolar dan secara langsung

menyebabkan dyspnea. Substansi yang terhirup yang dapat mengiritasi akan

mengaktifkan reseptor di epitel saluran pernafasan dan memproduksi nafas

yang cepat, dangkal, batuk, dan bronkospasm. Dalam merespon

kegelisahan, sistem saraf pusat juga dapat meningkatkan frekuensi

pernapasan. Pada pasien dengan hiperventilasi, koreksi penurunan PCO2

sendiri tidak mengurangi sensasi dari nafas yang tidak tuntas. Ini

merefleksikan interaksi antara pengaruh kimia dan saraf pada pernafasan.

Teori lain mengaitkan dyspnea dengan ketidakseimbangan asam

basa, mekanisme sistem saraf pusat, berkurangnya kapasitas bernafas,

meningkatnya usaha untuk bernafas, peningkatan tekanan transpulmonal,

kelemahan otot respiratorik, meningkatnya kebutuhan oksigen untuk

bernafas, ketidaksinergisan otot interkostal dan diafragma, serta aliran

respirasi yang abnormal.


Dyspnea pada saat aktivitas fisik dapat disebabkan oleh output

ventrikel kiri yang gagal untuk meningkat selama berolahraga dan

mengakibatkan meningkatnya tekanan vena pulmonal. Pada asma kardiak,

bronkospasme diasosiasikan dengan terhambatnya aktivitas paru dan

kemungkinan disebabkan karena cairan edema pada dinding bronkus.

Dyspnea pada akhirnya akan dapat diinduksi oleh empat hal utama, yaitu:

• Meningkatnya kebutuhan ventilasi

• Menurunnya kapasitas ventilasi

• Meningkatnya resistensi saluran nafas

• Menurunnya compliance paru.

Referensi:

Mukerji V. Dypsnea, orthopnea, and paroxysmal nocturnal dyspnea. Diakses

pada Minggu, 12 Oktober 2019. Diunduh dari:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK213/

Anda mungkin juga menyukai