Anda di halaman 1dari 14

Definisi limbah atau Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan

sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3)
karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang
baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau
membahayakan kesehatan manusia.

Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti
pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah industri kimia
tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri
kertas, serta pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu. Logam-
logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi rendah. Daftar lengkap limbah
B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap yang juga mencakup peraturan resmi dari Pemerintah
Indonesia.

Limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan
yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya
dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.

Limbah dapat dikatakan sebagai limbah B3 apabila setelah melalui pengujian memiliki salah satu atau
lebih karakteristik mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, penyebab infeksi, dan
bersifat korosif.contoh limbah B3 sebagai berikut:

Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun
domestik(rumah tangga), yang lebih dikenal sebagai sampah, yang kehadirannya pada suatu saat dan
tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara
kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia Senyawa organik dan Senyawa anorganik. Dengan
konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan
terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat
bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.

Limbah memberikan arti teknis adalah sebagai barang yang dihasilkan oleh sebuah proses dan dapat
dikategorikan sebagai bahan yang sudah tidak terpakai . Limbah merupakan buangan yang dihasilkan
dari suatu proses produksi baik industry maupun domestic (rumah tangga atau yang lebih dikenal
sabagai sampah), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan
karena tidak memiliki nilai ekonomis. Jenis sampah ini pada umumnya berbentuk padat dan cair.
Sampah (refuse) atau limbah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau
sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia
(termasuk kegiatan industri), tetapi bukan biologis (karena human waste tidak termasuk didalamnya)
dan umumnya bersifat padat (Azwar, 1990). Sumber sampah bisa bermacam-macam, diantaranya
adalah : dari rumah tangga, pasar, warung, kantor, bangunan umum, industri, dan jalan.

B. Macam-macam Limbah dan Bahaya Limbah

1. Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:

Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal dan banyak
mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap.

Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi.

Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengn lumpur aktif sehingga
banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil proses tersebut.

Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested aerobic maupun
anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak mengandung padatan
organik.

Limbah B3 dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter yaitu total solids residue (TSR),
kandungan fixed residue (FR), kandungan volatile solids (VR), kadar air (sludge moisture content),
volume padatan, serta karakter atau sifat B3 (toksisitas, sifat korosif, sifat mudah terbakar, sifat mudah
meledak, beracun, serta sifat kimia dan kandungan senyawa kimia).

Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti
pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah industri kimia
tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri
kertas, serta pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu. Logam-
logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi rendah. Daftar lengkap limbah
B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap yang juga mencakup peraturan resmi dari Pemerintah
Indonesia.

2. Limbah Logam Berat Beracun di Perairan

Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak di sudut
kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor
atom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7 (Miettinen, 1977). Sebagian logam berat seperti timbal (Pb),
kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang berbahaya. Afinitas yang tinggi terhadap
unsur S menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan
menjadi tak aktif. Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2) juga bereaksi dengan logam berat.
Kadmium, timbal, dan tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat proses transpormasi
melalui dinding sel. Logam berat juga mengendapkan senyawa fosfat biologis atau mengkatalis
penguraiannya (Manahan, 1977).

Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air
dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timah
hitam (Pb), krom (Cr), nikel (Ni), dan kobalt (Co) (Sutamihardja dkk, 1982). Menurut Darmono (1995)
daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke paling rendah terhadap manusia yang mengkomsumsi
ikan adalah sebagai berikut Hg2+ > Cd2+ >Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ Sn2+ > Zn2+. Sedangkan
menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990) sifat toksisitas logam berat
dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok, yaitu bersifat toksik tinggi yang terdiri dari atas unsur-unsur
Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co, sedangkan bersifat
tosik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe.

Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme,
maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat
logam berat ( PPLH-IPB, 1997; Sutamihardja dkk, 1982) yaitu :

Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara
alami sulit terurai (dihilangkan)

Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan membahayakan kesehatan
manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut

Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam
dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan
kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial
dalam skala waktu tertentu

Kadmium dalam air berasal dari pembuangan industri dan limbah pertambangan. Logam ini sering
digunakan sebagai pigmen pada keramik, dalam penyepuhan listrik, pada pembuatan alloy, dan baterai
alkali. Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat ditimbulkannya
berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjer
pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang (Clarkson, 1988; dan Saeni, 1997).

Tembaga merupakan logam yang ditemukan dialam dalam bentuk senyawa dengan sulfida (CuS).
Tembaga sering digunakan pada pabrik-pabrik yang memproduksi peralatan listrik, gelas , dan alloy.
Tembaga masuk keperairan merupakan faktor alamiah seperti terjadinya pengikisan dari batuan mineral
sehingga terdapat debu, partikel-partikel tembaga yang terdapat dalam lapisan udara akan terbawa oleh
hujan. Tembaga juga berasal dari buangan bahan yang mengandung tembaga seperti dari industri
galangan kapal, industri pengolahan kayu, dan limbah domestik.

Pada konsentrasi 2,3 – 2,5 mg/l dapat mematikan ikan dan akan menimbulkan efek keracunan, yaitu
kerusakan pada selaput lendir (Saeni, 1997). Tembaga dalam tubuh berfungsi sebagai sintesa
hemoglobin dan tidak mudah dieksresikan dalam urine karena sebagian terikat dengan protein,
sebagian dieksresikan melalui empedu ke dalam usus dan dibuang kefeses, sebagian lagi menumpuk
dalam hati dan ginjal, sehingga menyebabkan penyakit anemia dan tuberkulosis.

Logam timbal (Pb) berasal dari buangan industri metalurgi, yang bersifat racun dalam bentuk Pb-
arsenat. Dapat juga berasal dari proses korosi lead bearing alloys. Kadang-kadang terdapat dalam
bentuk kompleks dengan zat organik seperti hexaetil timbal, dan tetra alkil lead (TAL) (Iqbal dan Qadir,
1990)

Pada hewan dan manusia timbal dapat masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman yang
dikomsumsi serta melalui pernapasan dan penetrasi pada kulit. Di dalam tubuh manusia, timbal dapat
menghambat aktifitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan
penyakit anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah kurangnya nafsu makan,
kejang, kolik khusus, muntah dan pusing-pusing. Timbal dapat juga menyerang susunan saraf dan
mengganggu sistem reproduksi, kelainan ginjal, dan kelainan jiwa (Iqbal dkk 1990; Pallar, 1994)

3. Limbah Udang sebagai Material Penyerap Logam Berat

Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada
hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Neely dan Wiliam, 1969). Kulit
udang mengandung protein (25 % – 40%), kalsium karbonat (45% – 50%), dan khitin (15% – 20%), tetapi
besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. sedangkan kulit kepiting
mengandung protein (15,60% – 23,90%), kalsium karbonat (53,70 – 78,40%), dan khitin (18,70% –
32,20%), hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya (Focher et al., 1992).
Kandungan khitin dalam kulit udang lebih sedikit dari kulit kepiting, tetapi kulit udang lebih mudah
didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai limbah.

Khitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama kali diteliti oleh Bracanot pada
tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fungiue. Pada tahun 1823 Odins mengisolasi
suatu senyawa kutikula serangga janis ekstra yang disebut dengan nama khitin (Neely dan Wiliam,
1969). Khitin merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda,
annelida, molusca, corlengterfa, dan nematoda. Khitin biasanya berkonyugasi dengan protein dan tidak
hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus,
dan pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi (Neely dan Wiliam, 1969). Adanya khitin dapat dideteksi
dengan reaksi warna Van Wesslink. Pada cara ini khitin direaksikan dengan I2-KI yang memberikan
warna coklat, kemudian jika ditambahkan asam sulfat berubah warnanya menjadi violet. Perubahan
warna dari coklat hingga menjadi violet menunjukan reaksi positif adanya khitin.
Khitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan melekul
polimer berantai lurus dengan nama lain -(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin)
(Hirano,b 1986; Tokura, 1995). Struktur khitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi antara
monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada -(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah
gugus hidroksil yangbposisi terikat pada atom karbon yang kedua pada khitin diganti oleh gugus
asetamida (NHCOCH2) sehingga khitin menjadi sebuah polimer berunit N-asetilglukosamin (The Merck
Indek, 1976).

Khitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 (Hirano, 1976) merupakan zat padat yang tak
berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan
pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Khitin kurang larut
dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan
khitosan adalah khitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.

-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosabKhitosan yang disebut juga dengan merupakan turunan dari khitin
melalui proses deasetilasi. Khitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga
jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan skunder. Adanya gugus fungsi ini
menyebabkan khitosan mempunyai kreatifitas kimia yang tinggi (Tokura, 1995).

Khitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan
HNO3, dan H3 PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Khitosan tidak beracun, mudah mengalami
biodegradasi dan bersifat polielektrolitik (Hirano, 1986). Disamping itu khitosan dapat dengan mudah
berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu, khitosan relatif lebih banyak
digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan induistri kesehatan (Muzzarelli, 1986). Saat ini
budi daya udang dengan tambak telah berkembang dengan pesat, karena udang merupakan komoditi
ekspor yang dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non -migas dan merupakan salah satu jenis
biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk
udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya.

Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan pengolahan kerupuk
udang berkisar antara 30% – 75% dari berat udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari
usaha pengolahan udang cukup tinggi (Anonim, 1994). Limbah kulit udang mengandung konstituen
utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu, dan lain-lain (Anonim, 1994).
Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya
pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang, akan
tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah
bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang bagus (Manjang, 1993). Saat ini di Indonesia
sebagian kecil dari limbah udang sudah termanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis,
terasi, dan bahan pencampur pakan ternak. Sedangkan di negara maju seperti Amerika Serikat dan
Jepang, limbah udang telah dimanfaatkan di dalam industri sebagai bahan dasar pembuatan khitin dan
khitosan. Manfaatnya di berbagai industri modern banyak sekali seperti industri farmasi, biokimia,
bioteknologi, biomedikal, pangan, kertas, tekstil, pertanian, dan kesehatan. Khitin dan khitosan serta
turunannya mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi (Lang, 1995).
Isolasi khitin dari limbah kulit udang dilakukan secara bertahap yaitu tahap pemisahan protein
(deproteinasi) dengan larutan basa, demineralisasi, tahap pemutihan (bleancing) dengan aseton dan
natrium hipoklorit. Sedangkan transformasi khitin menjadi khitosan dilakukan tahap deasetilasi dengan
basa berkonsentrasi tinggi, seperti terlihat pada gambar 1 (Ferrer et al., 1996; Arreneuz, 1996., dan
Fahmi, 1997). Khitin dan khitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang digunakan sebagai absorben
untuk menyerap ion kadmium, tembaga, dan timbal dengan cara dinamis dengan mengatur kondisi
penyerapan sehingga air yang dibuang ke lingkungan menjadi air yang bebas dari ion-ion logam berat.
Mengingat besarnya manfaat dari senyawa khitin dan khitosan serta

lectrical Engineering, Pipeline Composite Repair, Maintenance Service, Online Monitoring System,
Industrial Burner, Trading and Consulting

MACAM MACAM LIMBAH, JENIS LIMBAH, LIMBAH B3,DAN PENANGGULANGANYA

HomeEnvironment / Lingkungan HidupMacam macam limbah, Jenis limbah, Limbah B3,dan


Penanggulanganya

February 6, 2015 admin

Definisi limbah atau Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan
sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3)
karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang
baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau
membahayakan kesehatan manusia.

Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti
pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah industri kimia
tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri
kertas, serta pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu. Logam-
logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi rendah. Daftar lengkap limbah
B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap yang juga mencakup peraturan resmi dari Pemerintah
Indonesia.

Limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan
yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya
dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Limbah dapat dikatakan sebagai limbah B3 apabila setelah melalui pengujian memiliki salah satu atau
lebih karakteristik mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, penyebab infeksi, dan
bersifat korosif.contoh limbah B3 sebagai berikut:

Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun
domestik(rumah tangga), yang lebih dikenal sebagai sampah, yang kehadirannya pada suatu saat dan
tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara
kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia Senyawa organik dan Senyawa anorganik. Dengan
konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan
terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat
bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.

Limbah memberikan arti teknis adalah sebagai barang yang dihasilkan oleh sebuah proses dan dapat
dikategorikan sebagai bahan yang sudah tidak terpakai . Limbah merupakan buangan yang dihasilkan
dari suatu proses produksi baik industry maupun domestic (rumah tangga atau yang lebih dikenal
sabagai sampah), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan
karena tidak memiliki nilai ekonomis. Jenis sampah ini pada umumnya berbentuk padat dan cair.

Sampah (refuse) atau limbah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau
sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia
(termasuk kegiatan industri), tetapi bukan biologis (karena human waste tidak termasuk didalamnya)
dan umumnya bersifat padat (Azwar, 1990). Sumber sampah bisa bermacam-macam, diantaranya
adalah : dari rumah tangga, pasar, warung, kantor, bangunan umum, industri, dan jalan.

B. Macam-macam Limbah dan Bahaya Limbah

1. Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:

Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal dan banyak
mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap.

Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi.

Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengn lumpur aktif sehingga
banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil proses tersebut.

Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested aerobic maupun
anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak mengandung padatan
organik.

Limbah B3 dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter yaitu total solids residue (TSR),
kandungan fixed residue (FR), kandungan volatile solids (VR), kadar air (sludge moisture content),
volume padatan, serta karakter atau sifat B3 (toksisitas, sifat korosif, sifat mudah terbakar, sifat mudah
meledak, beracun, serta sifat kimia dan kandungan senyawa kimia).

Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti
pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah industri kimia
tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri
kertas, serta pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu. Logam-
logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi rendah. Daftar lengkap limbah
B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap yang juga mencakup peraturan resmi dari Pemerintah
Indonesia.

2. Limbah Logam Berat Beracun di Perairan

Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak di sudut
kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor
atom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7 (Miettinen, 1977). Sebagian logam berat seperti timbal (Pb),
kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang berbahaya. Afinitas yang tinggi terhadap
unsur S menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan
menjadi tak aktif. Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2) juga bereaksi dengan logam berat.
Kadmium, timbal, dan tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat proses transpormasi
melalui dinding sel. Logam berat juga mengendapkan senyawa fosfat biologis atau mengkatalis
penguraiannya (Manahan, 1977).

Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air
dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timah
hitam (Pb), krom (Cr), nikel (Ni), dan kobalt (Co) (Sutamihardja dkk, 1982). Menurut Darmono (1995)
daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke paling rendah terhadap manusia yang mengkomsumsi
ikan adalah sebagai berikut Hg2+ > Cd2+ >Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ Sn2+ > Zn2+. Sedangkan
menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990) sifat toksisitas logam berat
dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok, yaitu bersifat toksik tinggi yang terdiri dari atas unsur-unsur
Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co, sedangkan bersifat
tosik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe.

Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme,
maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat
logam berat ( PPLH-IPB, 1997; Sutamihardja dkk, 1982) yaitu :

Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara
alami sulit terurai (dihilangkan)
Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan membahayakan kesehatan
manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut

Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam
dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan
kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial
dalam skala waktu tertentu

Kadmium dalam air berasal dari pembuangan industri dan limbah pertambangan. Logam ini sering
digunakan sebagai pigmen pada keramik, dalam penyepuhan listrik, pada pembuatan alloy, dan baterai
alkali. Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat ditimbulkannya
berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjer
pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang (Clarkson, 1988; dan Saeni, 1997).

Tembaga merupakan logam yang ditemukan dialam dalam bentuk senyawa dengan sulfida (CuS).
Tembaga sering digunakan pada pabrik-pabrik yang memproduksi peralatan listrik, gelas , dan alloy.
Tembaga masuk keperairan merupakan faktor alamiah seperti terjadinya pengikisan dari batuan mineral
sehingga terdapat debu, partikel-partikel tembaga yang terdapat dalam lapisan udara akan terbawa oleh
hujan. Tembaga juga berasal dari buangan bahan yang mengandung tembaga seperti dari industri
galangan kapal, industri pengolahan kayu, dan limbah domestik.

Pada konsentrasi 2,3 – 2,5 mg/l dapat mematikan ikan dan akan menimbulkan efek keracunan, yaitu
kerusakan pada selaput lendir (Saeni, 1997). Tembaga dalam tubuh berfungsi sebagai sintesa
hemoglobin dan tidak mudah dieksresikan dalam urine karena sebagian terikat dengan protein,
sebagian dieksresikan melalui empedu ke dalam usus dan dibuang kefeses, sebagian lagi menumpuk
dalam hati dan ginjal, sehingga menyebabkan penyakit anemia dan tuberkulosis.

Logam timbal (Pb) berasal dari buangan industri metalurgi, yang bersifat racun dalam bentuk Pb-
arsenat. Dapat juga berasal dari proses korosi lead bearing alloys. Kadang-kadang terdapat dalam
bentuk kompleks dengan zat organik seperti hexaetil timbal, dan tetra alkil lead (TAL) (Iqbal dan Qadir,
1990)

Pada hewan dan manusia timbal dapat masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman yang
dikomsumsi serta melalui pernapasan dan penetrasi pada kulit. Di dalam tubuh manusia, timbal dapat
menghambat aktifitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan
penyakit anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah kurangnya nafsu makan,
kejang, kolik khusus, muntah dan pusing-pusing. Timbal dapat juga menyerang susunan saraf dan
mengganggu sistem reproduksi, kelainan ginjal, dan kelainan jiwa (Iqbal dkk 1990; Pallar, 1994)

3. Limbah Udang sebagai Material Penyerap Logam Berat

Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada
hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Neely dan Wiliam, 1969). Kulit
udang mengandung protein (25 % – 40%), kalsium karbonat (45% – 50%), dan khitin (15% – 20%), tetapi
besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. sedangkan kulit kepiting
mengandung protein (15,60% – 23,90%), kalsium karbonat (53,70 – 78,40%), dan khitin (18,70% –
32,20%), hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya (Focher et al., 1992).
Kandungan khitin dalam kulit udang lebih sedikit dari kulit kepiting, tetapi kulit udang lebih mudah
didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai limbah.

Khitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama kali diteliti oleh Bracanot pada
tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fungiue. Pada tahun 1823 Odins mengisolasi
suatu senyawa kutikula serangga janis ekstra yang disebut dengan nama khitin (Neely dan Wiliam,
1969). Khitin merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda,
annelida, molusca, corlengterfa, dan nematoda. Khitin biasanya berkonyugasi dengan protein dan tidak
hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus,
dan pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi (Neely dan Wiliam, 1969). Adanya khitin dapat dideteksi
dengan reaksi warna Van Wesslink. Pada cara ini khitin direaksikan dengan I2-KI yang memberikan
warna coklat, kemudian jika ditambahkan asam sulfat berubah warnanya menjadi violet. Perubahan
warna dari coklat hingga menjadi violet menunjukan reaksi positif adanya khitin.

Khitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan melekul
polimer berantai lurus dengan nama lain -(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin)
(Hirano,b 1986; Tokura, 1995). Struktur khitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi antara
monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada -(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah
gugus hidroksil yangbposisi terikat pada atom karbon yang kedua pada khitin diganti oleh gugus
asetamida (NHCOCH2) sehingga khitin menjadi sebuah polimer berunit N-asetilglukosamin (The Merck
Indek, 1976).

Khitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 (Hirano, 1976) merupakan zat padat yang tak
berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan
pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Khitin kurang larut
dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan
khitosan adalah khitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.

-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosabKhitosan yang disebut juga dengan merupakan turunan dari khitin
melalui proses deasetilasi. Khitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga
jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan skunder. Adanya gugus fungsi ini
menyebabkan khitosan mempunyai kreatifitas kimia yang tinggi (Tokura, 1995).

Khitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan
HNO3, dan H3 PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Khitosan tidak beracun, mudah mengalami
biodegradasi dan bersifat polielektrolitik (Hirano, 1986). Disamping itu khitosan dapat dengan mudah
berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu, khitosan relatif lebih banyak
digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan induistri kesehatan (Muzzarelli, 1986). Saat ini
budi daya udang dengan tambak telah berkembang dengan pesat, karena udang merupakan komoditi
ekspor yang dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non -migas dan merupakan salah satu jenis
biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk
udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya.

Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan pengolahan kerupuk
udang berkisar antara 30% – 75% dari berat udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari
usaha pengolahan udang cukup tinggi (Anonim, 1994). Limbah kulit udang mengandung konstituen
utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu, dan lain-lain (Anonim, 1994).
Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya
pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang, akan
tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah
bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang bagus (Manjang, 1993). Saat ini di Indonesia
sebagian kecil dari limbah udang sudah termanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis,
terasi, dan bahan pencampur pakan ternak. Sedangkan di negara maju seperti Amerika Serikat dan
Jepang, limbah udang telah dimanfaatkan di dalam industri sebagai bahan dasar pembuatan khitin dan
khitosan. Manfaatnya di berbagai industri modern banyak sekali seperti industri farmasi, biokimia,
bioteknologi, biomedikal, pangan, kertas, tekstil, pertanian, dan kesehatan. Khitin dan khitosan serta
turunannya mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi (Lang, 1995).

Isolasi khitin dari limbah kulit udang dilakukan secara bertahap yaitu tahap pemisahan protein
(deproteinasi) dengan larutan basa, demineralisasi, tahap pemutihan (bleancing) dengan aseton dan
natrium hipoklorit. Sedangkan transformasi khitin menjadi khitosan dilakukan tahap deasetilasi dengan
basa berkonsentrasi tinggi, seperti terlihat pada gambar 1 (Ferrer et al., 1996; Arreneuz, 1996., dan
Fahmi, 1997). Khitin dan khitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang digunakan sebagai absorben
untuk menyerap ion kadmium, tembaga, dan timbal dengan cara dinamis dengan mengatur kondisi
penyerapan sehingga air yang dibuang ke lingkungan menjadi air yang bebas dari ion-ion logam berat.
Mengingat besarnya manfaat dari senyawa khitin dan khitosan serta tersedianya bahan baku yang
banyak dan mudah didapatkan maka perlu pengkajian dan pengembangan dari limbah ini sebagai bahan
penyerap terhadap logam-logam berat diperairan.

4. Limbah Deterjen

Deterjen merupakan produk teknologi yang strategis, karena telah menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari masyarakat modern mulai rumah tangga sampai industri. Deterjen umumnya tersusun atas
lima jenis bahan penyusun, yaitu :

surfaktan, yang merupakan senyawa Alkyl Bensen Sulfonat (ABS) yang berfungsi untuk mengangkat
kotoran pada pakaian. ABS memiliki sifat tahan terhadap penguraian oleh mikroorganisme
(nonbiodegradable).
senyawa fosfat (bahan pengisi), yang mencegah menempelnya kembali kotoran pada bahan yang
sedang dicuci. Senyawa fosfat digunakan oleh semua merk deterjen memberikan andil yang cukup besar
terhadap terjadinya proses eutrofikasi yang menyebabkan Booming Algae (meledaknya populasi
tanaman air)

Pemutih dan pewangi (bahan pembantu), zat pemutih umumnya terdiri dari zat natrium karbonat.
Menurut hasil riset organisasi konsumen Malaysia (CAP) Pemutih dapat menimbulkan kanker pada
manusia. sedangkan untuk penwangi lebih banyak merugikan konsumen karena bahan ini membuat
makin tingginya biaya produksi, sehingga harga jual produk semakin mahal. Padahal zat pewangi tidak
ada kaitannya dengan kemampuan mencuci.

bahan penimbul busa, yang sebenarnya tidak diperlukan dalam proses pencucian dan tidak ada
hubungan antara daya bersih dengan busa yang melimpah.

Fluorescent, berguna untuk membuat pakaian lebih cemerlang.

Menurut Asosiasi Pengusaha Deterjen Indonesia (APEDI), surfaktan anionik yang digunakan di Indonesia
saat ini adalah alkyl benzene sulfonate rantai bercabang (ABS) sebesar 40% dan alkyl benzene sulfonate
rantai lurus (LAS) sebesar 60%. Dibandingkan dengan LAS, ABS merupakan senyawa yang lebih sukar
terurai secara alami. Oleh karenanya, pada banyak negara di dunia penggunaan ABS telah dilarang dan
diganti dengan LAS. Sedangkan di Indonesia, peraturan mengenai larangan penggunaan ABS belum ada.
Beberapa alasan masih digunakannya ABS dalam produk deterjen, antara lain karena : harganya murah,
kestabilannya dalam bentuk krim pasta dan busanya melimpah.

Penggunaan deterjen dapat mempunyai risiko bagi kesehatan dan lingkungan. Risiko deterjen yang
paling ringan pada manusia berupa iritasi (panas, gatal bahkan mengelupas) pada kulit terutama di
daerah yang bersentuhan langsung dengan produk. Hal ini disebabkan karena kebanyakan produk
deterjen yang beredar saat ini memiliki derajat keasaman (pH) tinggi. Dalam kondisi iritasi/terluka,
penggunaan produk penghalus apalagi yang mengandung pewangi, justru akan membuat iritasi kulit
semakin parah.

Dalam jangka panjang, air minum yang telah terkontaminasi limbah deterjen berpotensi sebagai salah
satu penyebab penyakit kanker (karsinogenik). Proses penguraian deterjen akan menghasilkan sisa
benzena yang apabila bereaksi dengan klor akan membentuk senyawa klorobenzena yang sangat
berbahaya. Kontak benzena dan klor sangat mungkin terjadi pada pengolahan air minum, mengingat
digunakannya kaporit (dimana di dalamnya terkandung klor) sebagai pembunuh kuman pada proses
klorinasi. Saat ini, instalasi pengolahan air milik PAM dan juga instalasi pengolahan air limbah industri
belum mempunyai teknologi yang mampu mengolah limbah deterjen secara sempurna.

Penggunaan fosfat sebagai builder dalam deterjen perlu ditinjau kembali, mengingat senyawa ini dapat
menjadi salah satu penyebab proses eutrofikasi (pengkayaan unsur hara yang berlebihan) pada
sungai/danau yang ditandai oleh ledakan pertumbuhan algae dan eceng gondok yang secara tidak
langsung dapat membahayakan biota air dan lingkungan. Di beberapa negara Eropa, penggunaan fosfat
telah dilarang dan diganti dengan senyawa substitusi yang relatif lebih ramah lingkungan.
Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, konsumen mempunyai hak untuk memperoleh
informasi suatu produk secara jelas, hak untuk memilih dan hak untuk menuntut/menggugat produsen
apabila produk mereka tidak sesuai dengan klaimnya Berkaitan dengan hak konsumen tersebut,
diperlukan transparansi dari produsen mengenai kandungan produk deterjen yang dihasilkannya dalam
bentuk pelabelan komposisi bahan baku.

Persepsi masyarakat bahwa deterjen yang menghasilkan busa melimpah mempunyai daya cuci yang baik
adalah tidak benar. Untuk merubah persepsi tersebut, diperlukan partisipasi baik dari pihak konsumen
maupun produsen. Di satu pihak, konsumenharus tahu bahwa tidak ada kaitan antara daya cuci dan
busa melimpah. Di lain pihak, produsen seharusnya tidak lagi menggunakan “busa melimpah” dalam
mempromosikan produknya.

Produksi deterjen Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton. Sedangkan tingkat konsumsinya,
menurut hasil survey yang dilakukan oleh Pusat Audit Teknologi di wilayah Jabotabek pada tahun 2002,
per kapita rata-rata sebesar 8,232 kg.

Regulasi yang berkaitan dengan deterjen di Indonesia masih belum sepenuhnya mengakomodasi aspek
lingkungan. Standar, sebagai salah satu produk regulasi, yang berlaku sekarang dan digunakan sebagai
acuan bagi produk deterjen sudah berumur lebih dari 15 tahun dan tidak sesuai lagi dengan tuntutan
produk yang berwawasan lingkungan, sehingga perlu direvisi, seiring dengan perkembangan teknologi
dan perkembangan baku mutu lingkungan.

5. Limbah Tinja

Bagian yang paling berbahaya dari limbah domestik adalah mikroorganisme patogen yang terkandung
dalam tinja, karena dapat menularkan beragam penyakit bila masuk tubuh manusia, dalam 1 gram tinja
mengandung 1 milyar partikel virus infektif, yang mampu bertahan hidup selama beberapa minggu pada
suhu dibawah 10 derajat Celcius. Terdapat 4 mikroorganisme patogen yang terkandung dalam tinja yaitu
: virus, Protozoa, cacing dan bakteri yang umumnya diwakili oleh jenis Escherichia coli (E-coli). Menurut
catatan badan Kesehatan dunia (WHO) melaporkan bahwa air limbah domestik yang belum diolah
memiliki kandungan virus sebesar 100.000 partikel virus infektif setiap liternya, lebih dari 120 jenis virus
patogen yang terkandung dalam air seni dan tinja. Sebagian besar virus patogen ini tidak memberikan
gejala yang jelas sehingga sulit dilacak penyebabnya.

Saat ini E-coli adalah mikroorganisme yang mengancam Kali Mas. Bakteri penghuni usus manusia dan
hewan berdarah panas ini telah mengkontaminasi badan air Kali Mas, dari Kajian Dhani Arnantha staf
peneliti Lembaga kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah menyebutkan bahwa di Hulu Kali Mas
tepatnya di daerah Ngagel jumlah E-coli dalam 100 ml air Kali Mas mencapai 350 milyar – 1600 milyar
padahal dalam baku mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam PP 82/2001 tentang Pengendalian
Limbah cair menyebutkan bahwa badan air yang dimanfaatkan sebagai bahan baku air minum seperti
Kali Mas kandungan E-coli dalam 100 ml air tidak boleh lebih dari 10.000.
Setelah tinja memasuki badan air, E-coli akan mengkontaminasi perairan, bahkan pada kondisi tertentu
E-coli dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh dan dapat tinggal di dalam pelvix ginjal dan
hati.

Tingginya tingkat pencemaran domestik Kali Mas memberikan dampak yang signifikan terhadap kualitas
kesehatan masyarakat yang tinggal disepanjang bantaran Kali Mas, hal ini merujuk pada data yang
dikeluarkan oleh Paguyuban Kanker Anak Jawa Timur RSUD Dr Soetomo Oktober 2003 yang
menyebutkan bahwa 59% penderita kanker anak adalah leukimia dan sebagian besar dari penderita
kanker ini tinggal di Daerah Aliran Sungai Brantas (termasuk Kali Surabaya dan Kali Mas). Jenis Kanker
lainnya yang umum diderita Anak yang tinggal di Bantaran Kali adalah kanker syaraf (neuroblastoma),
Kanker kelenjar getah bening (Limfoma), kanker ginjal (tumor wilms), dan Kanker Mata.

Ancaman serius ini harus memicu peran aktif Pemerintah dalam mengendalikan pencemaran domestik,
karena dibandingkan dengan Limbah cair industri, penanganan sumber limbah domestik sulit untuk
dikendalikan karena sumbernya yang tersebar. Upaya yang dimaksudkan bukan penyuluhan kepada
masyarakat untuk tidak membuang tinja atau deterjen kesungai, tetapi lebih kepada mengarahkan
industri-industri kita untuk menerapkan cleaner production (industri yang berwawasan lingkungan)
dengan menerapkan pengolahan limbah dan menghasilkan produk-

Anda mungkin juga menyukai