Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH INDIVIDU

Mata Kuliah Kebijakan dan Manajemen Kesehatan

JELVIAN DEBBY PALI K012192024

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
Apa dan bagaimana seharusnya memerangi corona virus ?
(Suatu pendekatan health policy kajian kebijakan kesehatan berdasarkan
pendekatan)
Pemerintah memaksimalkan pengendalian virus corona dengan membatasi interaksi sosial.
“Kebijakan belajar, bekerja, dan beribadah di rumah kita gencarkan. "Hingga saat ini pemerintah
belum memberlakukan karantina wilayah atau lockdown dalam meredam penyebaran virus
corona. Namun Presiden Joko Widodo telah dua kali mengimbau masyarakat untuk sementara
waktu belajar, bekerja, dan beribadah di rumah. Imbaun tersebut seiring meluasnya pasien yang
terjangkit Covid-19 itu di Tanah Air. 

Virus yang pertama kali merebak di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, pada awal Desember
2019 itu telah menyebar ke 151 negara. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus
telah menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, wabah yang berjangkit serempak di mana-mana
dan mencakup wilayah geografi yang luas. Menurut WHO, virus corona sudah bisa menular dari
orang ke orang melalui percikan cairan dari hidung atau mulut penderita yang batuk atau buang
nafas. Percikan cairan ini bisa mengenai benda-benda di sekitar orang tersebut.

Orang lain yang menyentuh benda itu kemudian menyentuh mata, hidung, atau mulut bisa
tertular virus corona pula. Orang juga bisa tertular Covid-19 kalau menghirup percikan cairan
dari penderita yang batuk atau buang nafas. Mengingat vaksin dan obat untuk Covid-19 belum
ditemukan, meminimalkan kontak langsung dan menjaga jarak dengan orang lain merupakan
cara utama untuk menghindari penularannya. “Sangat penting berada lebih dari satu meter dari
orang yang sedang sakit,” demikian penjelasan WHO di laman resminya. Alasan itu pula yang
menjadi salah satu pijakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam membuat
sejumlah langkah. Kepala BNPB Doni Monardo -selaku Ketua Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Covid-19- menyatakan bahwa upaya pemerintah untuk mencegah dan
mengendalikan penyebaran virus tidak akan efektif tanpa dukungan masyarakat.

Pemerintah menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam mengendalikan penularan


Covid-19, termasuk dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Juga mengikuti imbauan
untuk belajar, bekerja, dan beribadah di rumah. Rumah sakit memang akan kewalahan ketika
harus mengisolasi semua orang yang punya riwayat kontak dengan penderita Covid-19. Selain
itu, ada pula di antara orang yang pernah berkontak langsung dengan pasien menghendaki
karantina mandiri selama 14 hari dengan pantauan petugas kesehatan. Orang yang menjalani
isolasi diri, menurut protokol Kementerian Kesehatan, antara lain harus tinggal di rumah, tidak
pergi bekerja dan ke ruang publik, menggunakan kamar terpisah dari anggota keluarga lain, dan
menjaga jarak setidaknya satu meter dari anggota keluarga lain. Selain itu mesti menggunakan
masker, mengukur suhu tubuh secara berkala, menghindari pemakaian bersama alat makan dan
mandi, menerapkan pola hidup bersih dan sehat, serta berjemur di bawah sinar matahari di ruang
terbuka. 
Menjaga Jarak Sosial Pemerintah belum mempertimbangkan untuk menjalankan isolasi
wilayah atau lockdown untuk mengatasi penularan Covid-19. Pemerintah masih
berusaha memaksimalkan upaya pengendalian penyakit tersebut dengan menerapkan pembatasan
interaksi sosial langsung. “Karenanya, kebijakan belajar, bekerja dan beribadah di rumah perlu
kita gencarkan dengan tetap mengedepankan pelayanan untuk kebutuhan pokok, kesehatan dan
layanan publik lainnya,” kata Presiden Jokowi. Di media sosial, orang-orang di berbagai belahan
dunia sedang ramai membahas social distancing atau penerapan jarak sosial untuk mencegah
penularan virus corona. Penerapan jarak sosial mencakup pengurangan interaksi langsung
dengan orang lain selama berada di rumah, sekolah, tempat kerja, tempat umum, mau pun
keramaian.
Menurut panduan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Australia, menjaga jarak
sosial bisa dilakukan dengan tetap berada di rumah saat sakit, tidak berjabat tangan, dan sering-
sering mencuci tangan menggunakan sabun atau cairan pembersih. Selain itu menerapkan etika
bersin dan batuk, mengurangi berbagi makanan di tempat kerja, serta membersihkan barang-
barang yang sering disentuh menggunakan disinfektan. Upaya lainnya adalah melakukan
pertemuan melalui konferensi video atau telepon, menghindari pertemuan besar, serta sebisa
mungkin melakukan pertemuan di tempat terbuka. Di laur itu, menghindari antrean panjang,
menjaga jarak dengan orang setidaknya sekitar satu meter, dan menghindari keramaian. Upaya-
upaya tersebut diharapkan bisa menghentikan atau setidaknya memperlambat laju penularan
virus corona penyebab Covid-19.

Melihat wabah Covid-19 secara umum dari sisi kebijakan


pemerintah Indonesia

Ketika negara-negara lain sudah 'full alert' menangani wabah covid-19 ini, pemerintah
kita sempat terlihat tidak serius. Ketidakseriusan ini dalam seketika menjelma menjadi
ketidaksiapan ketika situasinya tereskalasi demikian cepat. Saat Presiden mengumumkan dua
kasus pertama pada 2 Maret 2020, bagi publik pengumuman Presiden itu seolah menegaskan
keraguan terhadap ketidakpercayaan pada jajaran pemerintah sendiri yang sebelumnya, yang
selalu menyangkal kasus itu di Indonesia. Padahal, pemerintah semua negara tetangga justru
mengakui adanya kasus tersebut di negaranya.  Keraguan ini diperparah dengan penanganan
kasus di lapangan yang dipandang tidak memadai: mulai dari lemahnya perlindungan data
pribadi korban, buruknya komunikasi publik, hingga minimnya kesiapan teknis dan medis
mulai dari alat test, APD, hingga kapasitas rumah sakit dan mekanisme pendataan kontak
(contact tracing). Singkatnya, kapasitas pemerintah dalam menangani krisis ini sungguh
dipertanyakan. 
To be fair, memang semua negara overwhelmed. Sistem kesehatan mereka kolaps menghadapi
wabah ini.
Yang membedakan adalah magnitude atau derajat tindakan pemerintah. Dalam ketidaksiapan
yang derajatnya berbeda-beda itu, national leadership harus tetap terlihat dengan jelas.
Langkah pemerintah  membentuk gugus tugas sudah benar arahnya. Namun gugus tugas ini
tidak mendapat power dan mandat yang memadai. Gugus tugas ini seharusnya dipimpin
pejabat setingkat Menteri Koordinator, tidak dirangkap menteri atau kepala badan, melapor
langsung pada Presiden, punya anggaran sendiri, berkoordinasi dengan menteri, kepala daerah,
dan diberi wewenang memberikan perintah kepada machinary of government, seperti lembaga-
lembaga pemerintah termasuk BUMN dan BUMD. Mungkin kita tidak punya bayangan. Tapi
yang saya bayangkan seperti BRR [Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi] Aceh-Nias pasca
Tsunami 2004, seperti itu, bahkan lebih powerful. Menurut saya ini penting karena dua hal.
Pertama, ini menunjukkan keseriusan menangani masalah se-luar biasa dan sepelik ini.

Ini bukan main-main. Karena dampaknya bisa berlipat-lipat dan mempengaruhi


kepercayaan pihak dari dalam maupun luar negeri. Anjloknya rupiah dan IHSG sebagian
diakibatkan karena ketidakpercayaan pihak luar bahwa kita serius menangani ini.  Kedua, ini
menunjukkan kepemimpinan dan kehadiran pemerintah untuk menjaga kepercayaan publik.
Jika terus dibiarkan, dampaknya bukan hanya meluasnya penularan dan korban, tapi juga
runtuhnya kepercayaan warga pada pemerintahan.

Inisiatif dari pemerintah daerah, baik ditingkat kotamadya,


kabupaten, maupun provinsi untuk melakukan lockdown local.

"Inisiatif" lockdown sejumlah pemda sangat bisa dipahami. Mereka yang belum


terdampak pasti tidak akan mau terdampak. Mereka yang sudah terdampak, ingin agar
dampaknya tidak 'menular' kepada yang lain [tetangganya]. Pada akhirnya, yang merasakan di
lapangan adalah pemerintah daerah. Sejumlah pemda sudah kewalahan dengan kasus covid19
dan sistem kesehatan mereka sudah mulai terdampak. Dan karena di era desentralisasi dan
demokratisasi ini kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat setempat dan bertanggungjawab
pada mereka, kepada merekalah, bukan kepada pemerintah pusat, akuntabilitas dituntut.  

Kesulitan yang bisa terjadi jika tidak ada lockdown

Ambillah contoh distribusi APD [Alat Pelindung Diri] yang bikin ramai di media.
Distribusi APD jelas tidak merata.Dalihnya: tidak semua zona merah. Kalau tidak
ada lockdown, ada mobilitas orang dari zona merah ke daerah yang masih aman, misalnya
lewat mudik, maka daerah aman itu akan jadi merah. Lantas apakah zona yang baru merah itu
akan mendapat distribusi alat kesehatan, APD, dan tenaga kesehatan? Belum tentu. Saat ini
saja nakes kita tidak terdistribusi merata.
Data yang saya ingat dari 13 ribu lulusan dokter per tahun, 70 persen maunya bekerja di
Jawa - Bali. 50 persen dari 70 persen ini maunya di Jabodetabek. Itu gambarannya.   Juga
kualitas fasilitas kesehatan kita. Rentang kualitasnya jauh. Nah sekarang masyarakat kita
perantau. Dan semua merantau ke daerah yang sekarang zona merah. Kebayang nggak jika
tidak ada lockdown? Merahnya akan merata. Jadi, dari kacamata ini saja,
langkah lockdown pemda ini sangat wajar dan logis. Kebayang enggak galaunya pemda hari ini
membaca sekian ribu warga menyewa bus pulang kampung? Mereka itu para penjual bakso
dan jamu gendong di Jabotabek yang sekarang sepi pembeli.

Satu sisi, wajar. Daripada merana di Jakarta, mending merana di kampung.

Tapi di sisi lain ... kalau mereka sudah menjadi carrier Covid-19 [pembawa virus], akan segera
jadi zona merah dan kolaps.

Anda mungkin juga menyukai