Virus yang pertama kali merebak di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, pada awal Desember
2019 itu telah menyebar ke 151 negara. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus
telah menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, wabah yang berjangkit serempak di mana-mana
dan mencakup wilayah geografi yang luas. Menurut WHO, virus corona sudah bisa menular dari
orang ke orang melalui percikan cairan dari hidung atau mulut penderita yang batuk atau buang
nafas. Percikan cairan ini bisa mengenai benda-benda di sekitar orang tersebut.
Orang lain yang menyentuh benda itu kemudian menyentuh mata, hidung, atau mulut bisa
tertular virus corona pula. Orang juga bisa tertular Covid-19 kalau menghirup percikan cairan
dari penderita yang batuk atau buang nafas. Mengingat vaksin dan obat untuk Covid-19 belum
ditemukan, meminimalkan kontak langsung dan menjaga jarak dengan orang lain merupakan
cara utama untuk menghindari penularannya. “Sangat penting berada lebih dari satu meter dari
orang yang sedang sakit,” demikian penjelasan WHO di laman resminya. Alasan itu pula yang
menjadi salah satu pijakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam membuat
sejumlah langkah. Kepala BNPB Doni Monardo -selaku Ketua Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Covid-19- menyatakan bahwa upaya pemerintah untuk mencegah dan
mengendalikan penyebaran virus tidak akan efektif tanpa dukungan masyarakat.
Ketika negara-negara lain sudah 'full alert' menangani wabah covid-19 ini, pemerintah
kita sempat terlihat tidak serius. Ketidakseriusan ini dalam seketika menjelma menjadi
ketidaksiapan ketika situasinya tereskalasi demikian cepat. Saat Presiden mengumumkan dua
kasus pertama pada 2 Maret 2020, bagi publik pengumuman Presiden itu seolah menegaskan
keraguan terhadap ketidakpercayaan pada jajaran pemerintah sendiri yang sebelumnya, yang
selalu menyangkal kasus itu di Indonesia. Padahal, pemerintah semua negara tetangga justru
mengakui adanya kasus tersebut di negaranya. Keraguan ini diperparah dengan penanganan
kasus di lapangan yang dipandang tidak memadai: mulai dari lemahnya perlindungan data
pribadi korban, buruknya komunikasi publik, hingga minimnya kesiapan teknis dan medis
mulai dari alat test, APD, hingga kapasitas rumah sakit dan mekanisme pendataan kontak
(contact tracing). Singkatnya, kapasitas pemerintah dalam menangani krisis ini sungguh
dipertanyakan.
To be fair, memang semua negara overwhelmed. Sistem kesehatan mereka kolaps menghadapi
wabah ini.
Yang membedakan adalah magnitude atau derajat tindakan pemerintah. Dalam ketidaksiapan
yang derajatnya berbeda-beda itu, national leadership harus tetap terlihat dengan jelas.
Langkah pemerintah membentuk gugus tugas sudah benar arahnya. Namun gugus tugas ini
tidak mendapat power dan mandat yang memadai. Gugus tugas ini seharusnya dipimpin
pejabat setingkat Menteri Koordinator, tidak dirangkap menteri atau kepala badan, melapor
langsung pada Presiden, punya anggaran sendiri, berkoordinasi dengan menteri, kepala daerah,
dan diberi wewenang memberikan perintah kepada machinary of government, seperti lembaga-
lembaga pemerintah termasuk BUMN dan BUMD. Mungkin kita tidak punya bayangan. Tapi
yang saya bayangkan seperti BRR [Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi] Aceh-Nias pasca
Tsunami 2004, seperti itu, bahkan lebih powerful. Menurut saya ini penting karena dua hal.
Pertama, ini menunjukkan keseriusan menangani masalah se-luar biasa dan sepelik ini.
Ambillah contoh distribusi APD [Alat Pelindung Diri] yang bikin ramai di media.
Distribusi APD jelas tidak merata.Dalihnya: tidak semua zona merah. Kalau tidak
ada lockdown, ada mobilitas orang dari zona merah ke daerah yang masih aman, misalnya
lewat mudik, maka daerah aman itu akan jadi merah. Lantas apakah zona yang baru merah itu
akan mendapat distribusi alat kesehatan, APD, dan tenaga kesehatan? Belum tentu. Saat ini
saja nakes kita tidak terdistribusi merata.
Data yang saya ingat dari 13 ribu lulusan dokter per tahun, 70 persen maunya bekerja di
Jawa - Bali. 50 persen dari 70 persen ini maunya di Jabodetabek. Itu gambarannya. Juga
kualitas fasilitas kesehatan kita. Rentang kualitasnya jauh. Nah sekarang masyarakat kita
perantau. Dan semua merantau ke daerah yang sekarang zona merah. Kebayang nggak jika
tidak ada lockdown? Merahnya akan merata. Jadi, dari kacamata ini saja,
langkah lockdown pemda ini sangat wajar dan logis. Kebayang enggak galaunya pemda hari ini
membaca sekian ribu warga menyewa bus pulang kampung? Mereka itu para penjual bakso
dan jamu gendong di Jabotabek yang sekarang sepi pembeli.
Tapi di sisi lain ... kalau mereka sudah menjadi carrier Covid-19 [pembawa virus], akan segera
jadi zona merah dan kolaps.