Anda di halaman 1dari 144

0Sekilas Perbedaan Pemakaian “Bahasa Pria” dan “Bahasa Wanita”

OPINI | 17 December 2011 | 16:46 Dibaca: 325   Komentar: 0   Nihil

Dalam sosiolinguistik, bahasa dan jenis kelamin memiliki hubungan yang sangat erat. Ada
ungkapan “mengapa cara berbicara wanita berbeda dengan laki-laki?” Dengan kata lain, kita
tertuju pada beberapa faktor yang menyebabkan wanita lebih suka menggunakan bahasa standar
dibandingkan pria. Berkaitan dengan itu, patut dicermati bahasa sebagai bagian sosial, perbuatan
yang berisi nilai, yang mencerminkan keruwetan jaringan sosial, politik, budaya, dan hubungan
usia dalam masyarakat.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa wanita, di dalam masyarakat, sadar bahwa status mereka
lebih rendah daripada laki-laki sehingga mereka menggunakan bentuk bahasa yang lebih standar
daripada laki-laki. Pendapat ini mengatakan bahwa hal tersebut ada hubungannya dengan cara
pria memperlakukan wanita karena kesenjangan yang dimiliki. Kesenjangan antara pria dan
wanita terlihat dari segi fisik, suara, maupun faktor sosiokultural dalam bertutur (misalnya
kesopanan). Dalam bidang pekerjaan, misalnya, wanita memiliki peran yang berbeda daripada
pria. Wanita lebih sering menduduki posisi kedua, jarang menjadi orang pertama, misalnya
sebagai sekretaris, anggota parleman, karyawan biasa, dan lain-lain.

Terdapat beberapa perbedaan berbahasa antara pria dan wanita, di antaranya dalam fonologi,
morfologi, dan diksi. Dalam segi fonologi, antara pria dan wanita memiliki beberapa perbedaan,
seperti halnya di Amerika wanita menggunakan palatal velar tidak beraspirasi, seperti kata kjatsa
(diucapkan oleh wanita) dan djatsa (diucapkan oleh pria). Di Skotlandia, sebagian besar wanita
menggunakan konsonan /t/ pada kata got, not, water, dan sebagainya. Sementara itu, pria lebih
sering mengubah konsonan /t/ dengan konsonan glotal tak beraspirasi. Dalam bidang morfologi,
Lakoff menyatakan bahwa wanita sering menggunakan kata-kata untuk warna, seperti mauve,
beige, aquamarine, dan lavender yang jarang digunakan oleh pria. Selain itu, wanita juga sering
menggunakan kata sifat, seperti adorable, charming, divine, lovely, dan sweet. Dilihat dari diksi,
wanita memiliki kosa kata sendiri untuk menunjukkan efek tertentu terhadap mereka. Kata dan
ungkapan seperti so good, adorable, darling, dan fantastic. Di samping itu bahasa inggris
membuat perbedaan kata tertentu berdasarkan jenis kelamin seperti actor-actress, waiter-
waitress, mr.-mrs. Pasangan kata lain yang menunjukkan perbedaan yang serupa adalah boy-girl,
man-woman, bachelor-spinter dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena adanya kesadaran
masyarakat bahwa perbedaan pilihan kosa kata ini dibuat, menggambarkan peran masing-masing
yang dipegang oleh pria dan wanita

Dalam hal panggilan wanita juga berbeda dengan pria. Biasanya dalam menggunakan panggilan
untuk mereka (wanita) sering digunakan kata-kata seperti dear, miss, lady atau bahkan babe
(baby). Dalam bersosialisasi, biasanya laki-laki lebih sering berbicara seputar olah raga, bisnis,
politik, materi formal, atau pajak. Sementara itu, topik yang dibicarakan oleh wanita lebih
menjurus kepada masalah kehidupan sosial, buku, makanan, minuman, dan gaya hidup.

Menurut Janet Holmes, “Women are designated the role of modelling correct behaviour in the
community.” Dalam sudut pandang ini, wanita diharapkan lebih sopan saat bertutur. Tidak dapat
dibayangkan seorang wanita menggunakan kata mengumpat “keras”, misalnya meneriakkan
damn atau shit; wanita hanya akan bilang oh dear atau fudge. Dalam makian bahasa Jawa,
misalnya, wanita takkan mengatakan asu, namun menyopankannya dengan bentuk asem (pada
perkembangan selanjutnya, asem dijadikan makian oleh sebagian besar orang Jawa, termasuk
pria, yang ingin menyopankan makiannya). Dengan menggunakan bahasa yang sopan atau
standar, wanita mencoba melindungi keinginan atau kebutuhan mereka. Dalam kata lain, wanita
menuntut status sosial yang lebih.

Sumber: dari mana saja :D

ewasa ini pandangan modern yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman adalah bahwa kaum
wanita adalah mitra sejajar dari kaum pria. Diskriminasi jender sudah harus dibuang jauh-jauh
bukan hanya dari benak dan hati, tetapi terutama di dalam perbuatan sehari-hari. Pandangan
modern tanpa diskriminasi jender memerlukan usaha yang sungguh-sungguh dan waktu yang
mamadai untuk menanam, memupuk dan mengembangkannya melalui berbagai kegiatan sosial
dan pendidikan (Napitupulu, 2001:16). Hubungan antara bahasa dan jender merupakan
hubungan antara bahasa dan gagasan kita tentang pria dan wanita (Goddard & Patterson,
2000:21). Oleh karena itu, istilah jender merupakan karateristik yang diharapkan oleh
masyarakat dari seseorang atas dasar jenis kelaminnya. Dengan kata lain, jender ditentukan
oleh persepsi dan pandangan masyarakat perihal bagaimana jenis seks tertentu berperilaku dan
memainkan perannya dalam masyarakat (Eckert & Ginet, 2003:7). Beberapa ahli bahasa telah
melakukan penelitian tentang perbedaan bahasa antara pria dan wanita yang antara lain
dilakukan oleh Wardhaugh (1988) dan Lakoff (1975). Fromklin dan Rodman (1988:15)
menyebutkan bahwa di Jepang, tuturan kata-kata antara pria dan wanita terdiri atas dua dialek
yang berbeda, misalnya penggunaan partikel ne yang dilakukan oleh para wanita untuk
mengakhiri suatu kalimat. Juga penggunaan bentuk watasi atau atasi, sementara oleh para pria
menggunakan bentuk wasi atau ore. Dalam bahasa Muskogean, Koasati, kata-kata yang
berakhiran dengan s, misalnya dalam kata lakawos diucapkan oleh laki-laki. Jika diucapkan oleh
perempuan, kata tersebut akan berakhiran dengan l dan berubah menjadi lakawol Wanita
dengan gaya bahasa yang terkesan pemalu, tertutup, genit, dan kurang percaya diri sudah
mulai ditinggalkan. Sebaliknya, wanita masa kini sudah bergaya tutur cerdas, terbuka, dan
mandiri yang tercermin saat mereka mengungkapkan pikiran dan gagasannya baik secara lisan
maupun tertulis. Dengan semakin gencarnya gerakan “arus kemitrasejajaran” (gender
mainstream) antara pria dan wanita dan makin terbukanya akses informasi, maka sekarang
wanita lebih memiliki rasa percaya diri dalam berbahasa.v

Gender dan Bahasa
Posted: Februar 24, 2012 in Studi

0
 

1 Votes

“Gender dan Bahasa” merupakan sebuah disiplin ilmu yang relatif masih baru dalam linguistik
modern. Namun, para ahli antropologi telah meneliti keragaman bahasa laki-laki dan perempuan
ini sejak abad ke-17. Pada penelitian-penelitian tersebut, diungkapkan karakteristik perbedaan
penggunaan bahasa antara perempuan dan laki-laki (Grimm, 2008: 19).

Pada awal abad ke-20 diskusi mengenai gender serta gaya bahasa yang digunakannya telah
banyak bermunculan. Seorang ahli sosiolinguistik bernama Otto Jespersen telah melakukan
penelitian di bidang ini sejak tahun 1960. Kemudian pada dekade berikutnya yaitu dalam kurun
waktu 1970-an, tiga buku yang mengambil tema “Gender dan Bahasa” ini diterbitkan. Ketiga
buku tersebut masing-masing berjudul Language and the Woman`s Place yang dikarang oleh
Robin Lakoff (1975); Male/Female Language dari Mary Ritchie Key (1975); dan satu karya
lainnya yang ditulis oleh Barrie Thorne und Nancy Henley (1975) berjudul Language and Sex:
Difference and Dominance (Grimm, 2008: 19).

Menurut Grimm (2008:7), gender merupakan:

  „eine über biologische Geschlechtsunterschiede hinausgehende Bezeichnung, die primär


erlerntes geschlechtsspezifisches Verhalten kennzeichnet, das nicht notwendigerweise an
biologische Funktionen gekoppelt ist. Gemeint sind also  die psychologischen, kulturellen und
sozialen Dimensionen von Geschlechtszugehörigkeit, die gesellschaftlichen Erwartungen und
Konventionen, die mit Männlichkeit und weiblichkeit verbunden werden. Male und female geben
die beiden Ausprägungen der Variablen sex an, und masculine und feminine sind die
entsprechenden Werte für gender“.

Istilah “gender” dalam bahasa menurut Grimm adalah salah satu yang menjadikan perbedaan
jenis kelamin biologis, terutama menunjuk pada perilaku gender secara spesifik yang belum
tentu terkait dengan fungsi biologis. Oleh karena itu, kita harus memahami berbagai dimensi
seperti: psikologis, budaya dan sosial. Dalam kehidupan sosial gender sangat berkaitan erat
dengan maskulinitas dan feminitas. Coates (2004: 4) mencoba membedakan kedua istilah itu
sebagai berikut: istilah ‘seks’ atau jenis kelamin merujuk pada perbedaan biologis. Sementara
itu,  istilah ‘gender’ digunakan untuk menggambarkan kategori sosial berdasarkan jenis kelamin
tersebut.
Istilah „bahasa perempuan“ dan „bahasa laki-laki“ banyak sekali kita temukan dalam bahasa dan
gender. Grimm (2008: 8) berpendapat, bahwa kedua istilah ini menyiratkan baik perempuan
ataupun laki-laki memiliki kekhasan bahasa. Sebetulnya baik perempuan ataupun laki-laki tidak
sepenuhnya menggunakan kata-kata yang berbeda. Perbedaan itu hanyalah terletak pada
penggunaan „preferensi“ linguistik. Dalam kaitannya dengan bahasa dan gender yang biasa kita
dengar saat ini, „bahasa laki-laki“ atau “bahasa perempuan” digunakan sebagai bentuk
generalisasi mengenai perilaku „bahasa laki-laki“ dan „bahasa perempuan“ (Grimm 2008:10).

Oppermann dan Weber (1995) mengatakan di dalam buku mereka yang berjudul „Frauensprache
– Männersprache“, bahwa pria di mata perempuan pada saat berbicara, mereka lebih terkesan
linear, sederhana, tidak komprehensif, tidak memperlihatkan emosi, biasanya dalam kalimat
pendek, dan dalam bentuk pernyataan serta berorientasi hirarkis. Sebaliknya, wanita di mata pria
biasanya mereka pada saat berbicara tidak terstruktur, konstruksi kalimat biasanya dalam bentuk
pasif, banyak menggunakan kalimat Konjunktiv untuk memperlihatkan kesopanan, lebih bersifat
pertanyaan, serta cenderung tidak fokus pada pembicaraan. Khusus di dalam percakapan
berbahasa Jerman, biasanya wanita sering menggunakan frase seperti „vielleicht“ (mungkin),
„eigentlich“ (sebenarnya) atau „Ich würde vorschlagen“ (kalau boleh saya menyarankan).
Wanita juga dikatakan sebagai pendengar yang baik dan lebih mudah saat berinteraksi. Lalu kita
dapat menarik kesimpulan bahwa kaum pria berbicara lebih langsung pada tujuan (to the point)
dan jelas, sementara kebanyakan wanita berbicara biasanya tidak langsung.

Perempuan dan Bahasanya: Cermin Pengaruh Jenis Kelamin dalam Faktor Pilihan
Berbahasa dan Mitos di Sekitarnya
oleh Yayasan Pendidikan STIE/STKIP YAPTI Jeneponto pada 19 November 2011 pukul 0:08 ·

Artikel

Ganjar Harimansyah

Pembahasan tentang perempuan dan bahasanya atau masalah bahasa dan perempuan biasanya
mengarah pada pemaparan perbedaan (cara) berbahasa antara perempuan dan laki-laki. Di
beberapa negara maju, seperti Prancis, Inggris, Amerika, Jepang, dan Jerman, pembahasan
masalah itu sudah lama menjadi perhatian beberapa linguis dan telah dilakukan sejak tahun
1920-an. Misalnya, pada tahun 1922, Otto Jespersen menulis sebuah buku dengan judul
Language: Its Nature, Development, and Origin. Dalam salah satu bab buku itu, Jespersen
khusus membahas bahasa perempuan. Ia memberikan pendapatnya bahwa perempuan agak
malu-malu jika menyebut bagian anggota tubuh mereka dengan cara terang-terangan, tidak
seperti laki-laki (muda) yang lebih suka menyebutnya tanpa aling-aling. Jespersen juga
menyinggung bahwa bahasa yang digunakan oleh perempuan lebih kerap menggunakan kata
sifat apabila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan laki-laki. Misalnya, perempuan sering
menggunakan adorable, charming, sweet, atau lovely dibandingkan dengan kata yang netral,
seperti great, terrific, cool, atau neat.

Penelitian yang memusatkan kajian pada hubungan antara bahasa dan gender dipelopori oleh
Robin Tolmach Lakoff.  Di dalam bukunya Language and Women’s Place (1975), ia
mengemukakan teori tentang keberadaan bahasa perempuan. Lakoff menyatakan bahwa terdapat
banyak hal yang mendasari munculnya perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam
berbahasa. Digambarkan bahwa bahasa laki-laki lebih tegas, matang, dan laki-laki suka berbicara
terang-terangan dengan kosakata yang tepat. Namun, bahasa yang digunakan oleh perempuan
tidak tegas, tidak secara terang-terangan (menggunakan kata-kata kiasan), dan berhati-hati ketika
mengungkapkan sesuatu, serta kerap menggunakan kata yang lebih halus dan sopan atau melalui
isyarat (metapesan). Di samping itu, menurut Lakoff, seorang perempuan jika merasa kurang
yakin terhadap suatu masalah, ia akan mempersoalkan kepada dirinya dan tidak mempunyai
keyakinan terhadap diri mereka sendiri. Oleh karena itu, banyak masalah yang timbul berakhir
dengan tanda tanya (Lakoff, 2004; Kuntjara, 2004:3—4).

Asumsi umum sudah menyiratkan bahwa perempuan dan laki-laki memang berbeda dalam
menggunakan bahasa karena dari segi seks mereka berbeda. Para ahli linguistik pun sependapat
bahwa perbedaan karakteristik bahasa yang digunakan antara laki-laki dan perempuan dapat
diamati dan dibedakan. Hal yang diyakini itu tidak dapat diganggu gugat dalam kehidupan
masyarakat. Interseksualitas merupakan sebuah anomali dalam kehidupan masyarakat. Bahwa
laki-laki dan perempuan berbicara secara berbeda adalah sangat alamiah (Coulmas, 2005:36).

Dalam khazanah sosiolinguistik, pada umumnya pembahasan tentang perbedaan penggunaan


bahasa antara perempuan dan laki-laki ditumpukan pada konteks jaringan sosial dan maksud
pembicara (speakers meaning). Maksud pembicara sangat ditentukan oleh konteks, yaitu waktu,
tempat, peristiwa, kelas, etnik, agama, lingkungan sosial, ekonomi, politik, proses, keadaan, dan
mitra tutur. Maksud pembicara itu dapat disimak dari kosakata yang dipilihnya. Dalam bahasa
Indonesia, misalnya, kalimat yang berbunyi “Saya mau mengawini dia” atau “Saya akan
menceraikan dia” dapat langsung ditentukan siapa yang diacu “saya” dan “dia”. ”Saya” dalam
kalimat itu pasti laki-laki dan ”dia” perempuan. Penentuan referen ”saya” seorang laki-laki dan
”dia” itu perempuan karena dalam jaringan sosial masyarakat kita, yang dapat dilekatkan dengan
kata ”mengawini” dan ”menceraikan” adalah lelaki, sedangkan perempuan hanya dapat
”dikawini” dan ”diceraikan”.

Jika kita melihat konteks struktur bahasa, kalimat ”Rina mengawini Herman” atau ”Herman
dicerai Rina” tidaklah salah, sepanjang ada fungsi gramatikal subjek (S), predikat (P), dan objek
(O). Namun, bahasa bukan hanya masalah intrinsik struktur bahasa, melainkan juga masalah
ektrinsik-konteks budaya. Oleh karena itu, kalimat ”Herman mengawini Rina” atau ”Rina
diceraikan Herman” dianggap memenuhi kaidah struktur kalimat dan konteks budaya. Selama
budaya di Indonesia masih berideologi patriarki, perempuan mustahil untuk dapat ”mengawini”
dan ”menceraikan” laki-laki meskipun perempuan lebih kaya, sangat berkuasa, atau
berkedudukan dan berstatus lebih tinggi daripada lelaki.
Seiring dengan banyaknya kajian hubungan antara bahasa dan jenis kelamin atau gender sejak
awal 1990-an, telah terjadi lonjakan baru yang menarik di dalam pembahasan cara berbahasa
perempuan dan laki-laki. Materi yang dipersoalkan tidak lagi hanya menyangkut masalah
linguistik, tetapi juga psikologi. Tidak terhitung buku psikologi populer telah ditulis
menggambarkan laki-laki dan perempuan sebagai dua makhluk asing. Percakapan di antara
keduanya sering menimbulkan kesalahpahaman. Contoh buku yang sukses membicarakan hal
itu, misalnya, buku Deborah Tannen, You Just Don't Understand: Women and Men in
Conversation dan buku John Gray, Men Are from Mars, Women Are from Venus. Dua buku
tersebut menduduki daftar buku pelarap (bestseller) di dunia.

Di dalam buku psikologi populer, seperti buku Tannen dan Gray, pada umumnya pendapat yang
dikemukakan hampir sama dengan yang dinyatakan Jespersen dan Lakoff, yakni laki-laki dan
perempuan berbeda secara fundamental dalam cara mereka menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi.  Mereka seolah-olah membangun proposisi "mitos Mars dan Venus". Semua
versi dari mitos itu membuat beberapa premis dasar atau semua klaim seperti berikut.

1. Masalah bahasa dan komunikasi lebih penting bagi perempuan daripada laki-laki karena
perempuan lebih sering berbicara daripada laki-laki.
2. Perempuan lebih terampil secara verbal dibandingkan dengan laki-laki.
3. Tujuan laki-laki dalam menggunakan bahasa cenderung tentang mendapatkan sesuatu,
sedangkan perempuan cenderung tentang membuat hubungan dengan orang lain. Laki-
laki lebih banyak berbicara tentang data dan fakta, sedangkan perempuan lebih banyak
berbicara tentang orang, perasaan, dan hubungan antarmanusia.
4. Cara laki-laki menggunakan bahasa bersifat kompetitif serta mencerminkan kepentingan
umum mereka dalam memperoleh dan mempertahankan status. Cara penggunaan
bahasa perempuan adalah kooperatif, mencerminkan preferensi mereka untuk
kesetaraan dan keharmonisan.
5. Perbedaan sering menyebabkan "miskomunikasi" antara perempuan dan laki-laki;
mereka terkadang salah mengartikan niat masing-masing. Hal itu menyebabkan masalah
berinteraksi antara laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan premis dasar dan klaim tersebut, pendapat bahwa laki-laki dan perempuan
"berbicara dengan pilihan bahasa yang berbeda" telah menjadi sebuah dogma. Namun,
kebenarannya masih perlu dipertanyakan. Kebenarannya harus diperlakukan seperti hipotesis
untuk diselidiki atau sebagai klaim yang harus disepakati. Ide bahwa laki-laki dan perempuan
berbeda secara fundamental dalam cara mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi
adalah sebuah mitos dalam kehidupan sehari-hari: kepercayaan yang tersebar luas, tetapi palsu.
Sebagai contoh, tempat kerja call-center adalah sebuah domain yang mengandung mitos tentang
bahasa dan jenis kelamin dapat memiliki efek merugikan, tetapi di sisi lain menguntungkan
perempuan. Pekerja di tempat itu melibatkan kontak langsung dengan pelanggan dan menuntut
pekerja memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Banyak perusahaan berkeyakinan
bahwa perempuan cocok ditempatkan di call-center karena secara alami cara berbahasanya lebih
berkualitas daripada laki-laki. Salah satu hasil pemikiran semacam itu adalah bentuk
diskriminasi.  Pelamar kerja laki-laki harus membuktikan bahwa mereka memiliki keterampilan
berkomunikasi, sedangkan perempuan hanya diasumsikan memiliki keterampilan
berkomunikasi. Dalam perekonomian saat ini, kesempatan bekerja di layanan berbasis ”call
center” mungkin bukan kabar baik bagi laki-laki.

Hal itu seharusnya mengingatkan kita bahwa hubungan antara jenis kelamin tidak hanya tentang
perbedaan kemampuan berbicara, tetapi juga tentang kekuasaan (Thomas dan Wareing, 1999).
Harapan lama bahwa perempuan akan melayani dan merawat orang lain tidak berhubungan
dengan posisi mereka sebagai "makhluk kedua". Namun, dalam mitos Mars dan Venus, fakta
bahwa kita (masih) hidup dalam masyarakat yang didominasi laki-laki seperti pepatah ”gajah di
pelupuk mata tidak tampak, tungau di seberang lautan tampak”.

Pada tahun 2006, misalnya, sebuah buku ilmu pengetahuan populer karya Louann Brizendine,
The Female Brain, menyatakan bahwa perempuan rata-rata mengucapkan 20.000 kata sehari,
sedangkan laki-laki rata-rata hanya mengucapkan 7.000.  Banyak penelitian mutakhir yang pada
akhirnya skeptis dengan mitos itu. Salah satunya adalah Mark Liberman, seorang profesor
fonetik yang telah bekerja secara ekstensif dengan merekam pembicaraan. Pandangan skeptisnya
telah mendorong Liberman menyelidiki catatan kaki dari buku itu untuk mencari tahu dari mana
penulis telah mendapat angka itu. Apa yang ia temukan bukan rujukan akademis, melainkan
referensi dari buku pengembangan diri.  Setelah menelusuri kepustakaan populer, Liberman
menemukan beberapa klaim statistik yang bertentangan. Ia mengemukakan bahwa penulis yang
berbeda (dan kadang-kadang bahkan penulis yang sama dalam buku yang berbeda) memberikan
rata-rata kata yang diucapkan perempuan per hari sekitar 4.000 sampai dengan 25.000 kata.  Dia
menyimpulkan bahwa tidak seorang pun pernah melakukan studi menghitung kata yang
dihasilkan oleh sampel perempuan dan laki-laki dalam satu hari. Klaim variabel tersebut
merupakan dugaan murni mereka (Greene, 2011: 54—56).

Setelah Liberman menunjukkan hal itu dalam sebuah artikel koran, penulis The Female Brain
mengakui bahwa klaimnya tidak didukung oleh bukti dan mengatakan akan dihapus dari edisi
mendatang.  Namun, pendapat negatif sudah terbangun bahwa perempuan bicara tiga kali lebih
banyak daripada laki-laki. Berbagai upaya untuk menghilangkan kesan itu sangat sulit, termasuk
status mitos tentang fakta itu.

Daftar Pustaka

Coulmas, Florian. 2005. Sociolinguistics, The Study of Speakers’ Choices. New york: Cambridge
University Press.

Duranti, Alessandro. 2001. The Key Term in Language and Culture. Oxford: Blackwell.
Publisher.

Greene, Robert Lane. 2011. You Are What You Speak: Grammar Grouches, Language Laws,
and the Politics of Identity. New York: Delacorte Press.

Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman.

Jespersen, Otto. 1922. Language: Its Nature, Development and Origin. New York: The
MacMillan Company.
Kuntjara, Esther. 2004. Gender, Bahasa dan Kekuasaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Lakoff, Robin Tolmach. 2004. Language and Woman's Place: Text and Commentaries (edisi
revisi dan diperluas; dieditori oleh Mary Bucholtz). New York: Oxford University Press.

Tannen, Deborah. 1991. You Just Don't Understand: Women and Men in Conversation. New
York: Ballantine Books.

Thomas, Linda and Shân Wareing. 2003. Language, Society, and Power. New York: Routledge.

Suka · Komentari · Bagikan

Perempuan dan Bahasanya: Cermin Pengaruh Jenis Kelamin dalam Faktor Pilihan
Berbahasa dan Mitos di Sekitarnya
oleh Yayasan Pendidikan STIE/STKIP YAPTI Jeneponto pada 19 November 2011 pukul 0:08 ·

Artikel

Ganjar Harimansyah

Pembahasan tentang perempuan dan bahasanya atau masalah bahasa dan perempuan biasanya
mengarah pada pemaparan perbedaan (cara) berbahasa antara perempuan dan laki-laki. Di
beberapa negara maju, seperti Prancis, Inggris, Amerika, Jepang, dan Jerman, pembahasan
masalah itu sudah lama menjadi perhatian beberapa linguis dan telah dilakukan sejak tahun
1920-an. Misalnya, pada tahun 1922, Otto Jespersen menulis sebuah buku dengan judul
Language: Its Nature, Development, and Origin. Dalam salah satu bab buku itu, Jespersen
khusus membahas bahasa perempuan. Ia memberikan pendapatnya bahwa perempuan agak
malu-malu jika menyebut bagian anggota tubuh mereka dengan cara terang-terangan, tidak
seperti laki-laki (muda) yang lebih suka menyebutnya tanpa aling-aling. Jespersen juga
menyinggung bahwa bahasa yang digunakan oleh perempuan lebih kerap menggunakan kata
sifat apabila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan laki-laki. Misalnya, perempuan sering
menggunakan adorable, charming, sweet, atau lovely dibandingkan dengan kata yang netral,
seperti great, terrific, cool, atau neat.

Penelitian yang memusatkan kajian pada hubungan antara bahasa dan gender dipelopori oleh
Robin Tolmach Lakoff.  Di dalam bukunya Language and Women’s Place (1975), ia
mengemukakan teori tentang keberadaan bahasa perempuan. Lakoff menyatakan bahwa terdapat
banyak hal yang mendasari munculnya perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam
berbahasa. Digambarkan bahwa bahasa laki-laki lebih tegas, matang, dan laki-laki suka berbicara
terang-terangan dengan kosakata yang tepat. Namun, bahasa yang digunakan oleh perempuan
tidak tegas, tidak secara terang-terangan (menggunakan kata-kata kiasan), dan berhati-hati ketika
mengungkapkan sesuatu, serta kerap menggunakan kata yang lebih halus dan sopan atau melalui
isyarat (metapesan). Di samping itu, menurut Lakoff, seorang perempuan jika merasa kurang
yakin terhadap suatu masalah, ia akan mempersoalkan kepada dirinya dan tidak mempunyai
keyakinan terhadap diri mereka sendiri. Oleh karena itu, banyak masalah yang timbul berakhir
dengan tanda tanya (Lakoff, 2004; Kuntjara, 2004:3—4).

Asumsi umum sudah menyiratkan bahwa perempuan dan laki-laki memang berbeda dalam
menggunakan bahasa karena dari segi seks mereka berbeda. Para ahli linguistik pun sependapat
bahwa perbedaan karakteristik bahasa yang digunakan antara laki-laki dan perempuan dapat
diamati dan dibedakan. Hal yang diyakini itu tidak dapat diganggu gugat dalam kehidupan
masyarakat. Interseksualitas merupakan sebuah anomali dalam kehidupan masyarakat. Bahwa
laki-laki dan perempuan berbicara secara berbeda adalah sangat alamiah (Coulmas, 2005:36).

Dalam khazanah sosiolinguistik, pada umumnya pembahasan tentang perbedaan penggunaan


bahasa antara perempuan dan laki-laki ditumpukan pada konteks jaringan sosial dan maksud
pembicara (speakers meaning). Maksud pembicara sangat ditentukan oleh konteks, yaitu waktu,
tempat, peristiwa, kelas, etnik, agama, lingkungan sosial, ekonomi, politik, proses, keadaan, dan
mitra tutur. Maksud pembicara itu dapat disimak dari kosakata yang dipilihnya. Dalam bahasa
Indonesia, misalnya, kalimat yang berbunyi “Saya mau mengawini dia” atau “Saya akan
menceraikan dia” dapat langsung ditentukan siapa yang diacu “saya” dan “dia”. ”Saya” dalam
kalimat itu pasti laki-laki dan ”dia” perempuan. Penentuan referen ”saya” seorang laki-laki dan
”dia” itu perempuan karena dalam jaringan sosial masyarakat kita, yang dapat dilekatkan dengan
kata ”mengawini” dan ”menceraikan” adalah lelaki, sedangkan perempuan hanya dapat
”dikawini” dan ”diceraikan”.

Jika kita melihat konteks struktur bahasa, kalimat ”Rina mengawini Herman” atau ”Herman
dicerai Rina” tidaklah salah, sepanjang ada fungsi gramatikal subjek (S), predikat (P), dan objek
(O). Namun, bahasa bukan hanya masalah intrinsik struktur bahasa, melainkan juga masalah
ektrinsik-konteks budaya. Oleh karena itu, kalimat ”Herman mengawini Rina” atau ”Rina
diceraikan Herman” dianggap memenuhi kaidah struktur kalimat dan konteks budaya. Selama
budaya di Indonesia masih berideologi patriarki, perempuan mustahil untuk dapat ”mengawini”
dan ”menceraikan” laki-laki meskipun perempuan lebih kaya, sangat berkuasa, atau
berkedudukan dan berstatus lebih tinggi daripada lelaki.

Seiring dengan banyaknya kajian hubungan antara bahasa dan jenis kelamin atau gender sejak
awal 1990-an, telah terjadi lonjakan baru yang menarik di dalam pembahasan cara berbahasa
perempuan dan laki-laki. Materi yang dipersoalkan tidak lagi hanya menyangkut masalah
linguistik, tetapi juga psikologi. Tidak terhitung buku psikologi populer telah ditulis
menggambarkan laki-laki dan perempuan sebagai dua makhluk asing. Percakapan di antara
keduanya sering menimbulkan kesalahpahaman. Contoh buku yang sukses membicarakan hal
itu, misalnya, buku Deborah Tannen, You Just Don't Understand: Women and Men in
Conversation dan buku John Gray, Men Are from Mars, Women Are from Venus. Dua buku
tersebut menduduki daftar buku pelarap (bestseller) di dunia.

Di dalam buku psikologi populer, seperti buku Tannen dan Gray, pada umumnya pendapat yang
dikemukakan hampir sama dengan yang dinyatakan Jespersen dan Lakoff, yakni laki-laki dan
perempuan berbeda secara fundamental dalam cara mereka menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi.  Mereka seolah-olah membangun proposisi "mitos Mars dan Venus". Semua
versi dari mitos itu membuat beberapa premis dasar atau semua klaim seperti berikut.

1. Masalah bahasa dan komunikasi lebih penting bagi perempuan daripada laki-laki karena
perempuan lebih sering berbicara daripada laki-laki.
2. Perempuan lebih terampil secara verbal dibandingkan dengan laki-laki.
3. Tujuan laki-laki dalam menggunakan bahasa cenderung tentang mendapatkan sesuatu,
sedangkan perempuan cenderung tentang membuat hubungan dengan orang lain. Laki-
laki lebih banyak berbicara tentang data dan fakta, sedangkan perempuan lebih banyak
berbicara tentang orang, perasaan, dan hubungan antarmanusia.
4. Cara laki-laki menggunakan bahasa bersifat kompetitif serta mencerminkan kepentingan
umum mereka dalam memperoleh dan mempertahankan status. Cara penggunaan
bahasa perempuan adalah kooperatif, mencerminkan preferensi mereka untuk
kesetaraan dan keharmonisan.
5. Perbedaan sering menyebabkan "miskomunikasi" antara perempuan dan laki-laki;
mereka terkadang salah mengartikan niat masing-masing. Hal itu menyebabkan masalah
berinteraksi antara laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan premis dasar dan klaim tersebut, pendapat bahwa laki-laki dan perempuan
"berbicara dengan pilihan bahasa yang berbeda" telah menjadi sebuah dogma. Namun,
kebenarannya masih perlu dipertanyakan. Kebenarannya harus diperlakukan seperti hipotesis
untuk diselidiki atau sebagai klaim yang harus disepakati. Ide bahwa laki-laki dan perempuan
berbeda secara fundamental dalam cara mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi
adalah sebuah mitos dalam kehidupan sehari-hari: kepercayaan yang tersebar luas, tetapi palsu.
Sebagai contoh, tempat kerja call-center adalah sebuah domain yang mengandung mitos tentang
bahasa dan jenis kelamin dapat memiliki efek merugikan, tetapi di sisi lain menguntungkan
perempuan. Pekerja di tempat itu melibatkan kontak langsung dengan pelanggan dan menuntut
pekerja memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Banyak perusahaan berkeyakinan
bahwa perempuan cocok ditempatkan di call-center karena secara alami cara berbahasanya lebih
berkualitas daripada laki-laki. Salah satu hasil pemikiran semacam itu adalah bentuk
diskriminasi.  Pelamar kerja laki-laki harus membuktikan bahwa mereka memiliki keterampilan
berkomunikasi, sedangkan perempuan hanya diasumsikan memiliki keterampilan
berkomunikasi. Dalam perekonomian saat ini, kesempatan bekerja di layanan berbasis ”call
center” mungkin bukan kabar baik bagi laki-laki.

Hal itu seharusnya mengingatkan kita bahwa hubungan antara jenis kelamin tidak hanya tentang
perbedaan kemampuan berbicara, tetapi juga tentang kekuasaan (Thomas dan Wareing, 1999).
Harapan lama bahwa perempuan akan melayani dan merawat orang lain tidak berhubungan
dengan posisi mereka sebagai "makhluk kedua". Namun, dalam mitos Mars dan Venus, fakta
bahwa kita (masih) hidup dalam masyarakat yang didominasi laki-laki seperti pepatah ”gajah di
pelupuk mata tidak tampak, tungau di seberang lautan tampak”.

Pada tahun 2006, misalnya, sebuah buku ilmu pengetahuan populer karya Louann Brizendine,
The Female Brain, menyatakan bahwa perempuan rata-rata mengucapkan 20.000 kata sehari,
sedangkan laki-laki rata-rata hanya mengucapkan 7.000.  Banyak penelitian mutakhir yang pada
akhirnya skeptis dengan mitos itu. Salah satunya adalah Mark Liberman, seorang profesor
fonetik yang telah bekerja secara ekstensif dengan merekam pembicaraan. Pandangan skeptisnya
telah mendorong Liberman menyelidiki catatan kaki dari buku itu untuk mencari tahu dari mana
penulis telah mendapat angka itu. Apa yang ia temukan bukan rujukan akademis, melainkan
referensi dari buku pengembangan diri.  Setelah menelusuri kepustakaan populer, Liberman
menemukan beberapa klaim statistik yang bertentangan. Ia mengemukakan bahwa penulis yang
berbeda (dan kadang-kadang bahkan penulis yang sama dalam buku yang berbeda) memberikan
rata-rata kata yang diucapkan perempuan per hari sekitar 4.000 sampai dengan 25.000 kata.  Dia
menyimpulkan bahwa tidak seorang pun pernah melakukan studi menghitung kata yang
dihasilkan oleh sampel perempuan dan laki-laki dalam satu hari. Klaim variabel tersebut
merupakan dugaan murni mereka (Greene, 2011: 54—56).

Setelah Liberman menunjukkan hal itu dalam sebuah artikel koran, penulis The Female Brain
mengakui bahwa klaimnya tidak didukung oleh bukti dan mengatakan akan dihapus dari edisi
mendatang.  Namun, pendapat negatif sudah terbangun bahwa perempuan bicara tiga kali lebih
banyak daripada laki-laki. Berbagai upaya untuk menghilangkan kesan itu sangat sulit, termasuk
status mitos tentang fakta itu.

Daftar Pustaka

Coulmas, Florian. 2005. Sociolinguistics, The Study of Speakers’ Choices. New york: Cambridge
University Press.

Duranti, Alessandro. 2001. The Key Term in Language and Culture. Oxford: Blackwell.
Publisher.

Greene, Robert Lane. 2011. You Are What You Speak: Grammar Grouches, Language Laws,
and the Politics of Identity. New York: Delacorte Press.

Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman.

Jespersen, Otto. 1922. Language: Its Nature, Development and Origin. New York: The
MacMillan Company.

Kuntjara, Esther. 2004. Gender, Bahasa dan Kekuasaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Lakoff, Robin Tolmach. 2004. Language and Woman's Place: Text and Commentaries (edisi
revisi dan diperluas; dieditori oleh Mary Bucholtz). New York: Oxford University Press.
Tannen, Deborah. 1991. You Just Don't Understand: Women and Men in Conversation. New
York: Ballantine Books.

Thomas, Linda and Shân Wareing. 2003. Language, Society, and Power. New York: Routledge.

Suka · Komentari · Bagikan

menulis dan terus belajar serta belajar terus.

0inShare
Share

Gender dalam Bahasa

OPINI | 18 November 2009 | 22:52 Dibaca: 2178   Komentar: 6   2 dari 2 Kompasianer


menilai Bermanfaat

HAL yang jarang disentuh oleh ahli bahasa dalam membahas polemik kebahasaan adalah tentang
jenis kelamin atau sebut saja dengan istilah “gender” dalam berbahasa. Maka itu, sebagai sebuah
refleksi bulan bahasa yang memang bertepatan pada bulan ini, 28 Okotober, kita lihat sekilas
bahasa dalam kaitannya terhadap relasi gender.

Bahasa dalam gender yang saya maksudkan pada warkah ini adalah pengungkapan, gaya, dan
kemungkinan soal ketabuan bahasa yang diucapkan oleh si penutur, baik lelaki maupun
perempuan. Hal ini memang perkara sederhana, tetapi ini pulalah yang “jauh” dari kajian para
pakar. Padahal, jika benar-benar ditilik, ternyata kosa kata tertentu yang hidup dan diucapkan
dalam masyarakat kita, cenderung mengalami ketidakseimbangan gender. Artinya, soal gender
dalam bahasa seyogianya juga bisa jadi telaah para “aktivis gender” sehingga tidak memaknai
relasi gender hanya pada pekerjaan dan pakaian semata.

Sejauh ini, para ahli psikologi banyak berkesimpulan bahwa bahasa laki-laki dan perempuan
memiliki perbedaan. Perbedaan itu sederhananya ditekankan pada nada dan intonasi.
Selanjutnya, perempuan kerap jadi subordinasi kaum laki dalam bahasa yang diwujudkan pada
berbagai unsur kosa kata, ugkapan, istilah, dan tataran gramatikalnya. Hal ini sudah menggejala
hampir ke semua ranah. Misalnya saja dalam bidang pekerjaan asusila, pada perempuan melekat
istilah PSK, pelacur, lonte, murahan, tante girang, dan sejenisnya. Sedangkan bagi lelaki yang
suka melakoni ‘pekerjaan’ yang sama, hanya mendapat istilah “hidung belang” dan “mata
keranjang”. Ini menunjukkan bahwa subordinasi bahasa terhadap perempuan lebih banyak
daripada untuk kaum laki.
Masih pada tataran yang sama, dalam ungkapan emosional semisal makian atau kejengkelan pun,
kosa kata yang banyak digunakan mengacu pada “barang/alat” dalam milik perempuan. Hal ini
berlaku hampir pada semua bahasa di semesta, misalnya bahasa Aceh, kita kenal ungkapan
(maaf) pukoima, papleumo, aneuk tét mie, ‘ok mai, brét ma keuh, dan lain-lain. Semua sebutan
itu mengacu pada bagian-bagian tertentu perempuan. Sedangkan pada lelaki, kalaupun ada
maksud untuk ungkapan serupa, hanya beberapa kosa kata seperti boh dan krèh. Ungkapan
emosional seperti itu juga berlaku pada bahasa Indonesia. Kita mengenal istilah pukimaknya itu
yang merupakan “bagian dalam” kaum perempuan. Sangat jarang ditemukan ungkapan negatif
demikian yang diambil dari “punya” kaum lelaki.

Kasus ini seakan menegaskan posisi kaum perempuan sebagai ‘warga kelas dua’ di dunia. Hal
tersebut semakin kentara pada pemakaian nama belakang yang kerap diambil dari nama
“bapak/ayah”. Akibatnya, begitu lahir, bayi perempuan kerap menyandang nama ayahnya
walaupun tidak melekat menjadi semacam marga. Misalnya, bayi perempuan yang baru lahir
memiliki bapak bernama Ibrahim, bayi tersebut akan disebut anak si Ibrahim atau nama ayahnya
langsung melekat pada nama si bayi/anak, seperti Mutia Ahmat yang maksudnya Mutia binti
Ahmat. Kemudian, ketika si perempuan sudah menikah, ia menyandang pula nama suaminya,
seperti Marlinda Abdullah Puteh, Nani Yudhoyono.

Beberapa Kasus

Hasil penelitian terdahulu oleh para ahli menyebutkan sejumlah kasus terkait bahasa pada
perempuan dan lelaki. Disebutkan bahwa perempuan dalam berbahasa lebih banyak bergerak
atau menggerakkan gesturnya (anggota tubuh). Amati saja jika ada sepasang muda-mudi sedang
bicara, siapa yang lebih banyak mencubit atau memukul-mukul halus? Dalam hal intonasi suara
pun, kaum perempuan sering memanjangkan intonasinya pada akhir kalimat yang kedengaran
“memanja”.

Sebuah hasil penelitian yang diutarakan oleh Sumarsono dan Partana dalam Sosiolinguistik
(2002:105) menyatakan bahwa di Kepulauan Antillen Kecil, Hindia Barat, ternyata bahasa yang
digunakan oleh perempuan mengalami perbedaan dengan bahasa lelakinya. Disebutkan bahwa
terdapat sejumlah kosa kata dan frasa yang hanya boleh disebutkan oleh kaum laki, tetapi tidak
boleh diucapkan kaum perempuan. Sebaliknya, ada kosa kata tertentu yang hanya menjadi
“milik” perempuan, meskipun kaum laki tahu arti dan maknanya.

Konsep ini berkenaan dengan “tabu” dalam ilmu bahasa. Artinya, ada sejumlah kata tertentu
yang apabila diucapkan akan dipahami maknanya sebagai suatu bagian yang “tabu” atau
pantang. Ironis, pantang pengucapan tersebut kebanyakan dititikberatkan pada perempuan yang
lagi-lagi mengakibatkan kaum perempuan terdiskriminasi.

Sebagai contoh kasus, di Zulu, Afrika, seorang istri tidak boleh menyebut nama mertua laki-laki
atau saudara lelaki mertua tersebut. Sangking pantangnya bagi mereka, jika kedapatan seorang
menantu menyebut nama mertuanya yang laki-laki, bisa-bisa dibunuh. Ini menunjukkan bahwa
bagi masyarakat Zulu, ada kosa kata tertentu yang “haram” disebutkan oleh kaum
perempuannya. Bahkan, larangan atau tabu ini merambah pada bunyi-bunyi bahasa. Para
perempuan tidak dibolehkan membunyikan huruf “Z” sehingga untuk kata amanzi (air)
diucapkan amandabi. Namun, bagi para lelaki, dibolehkan membunyikan “Z”.

Hal semacam ini tentu saja berpengaruh pada relasi gender. Masih untung di daerah kita yang
menjunjung tinggi budaya ketimuran, penggunaan bahasa pada lelaki dan perempuan tidak
sampai separah itu. Namun demikian, yang mesti kita kurangi adalah pengucapan kosa kata yang
mendeskreditkan perempuan semisal untuk ungkapan emosional seperti di atas sehingga antara
lelaki dan perempuan tetap memiliki kesetaraan bahasa. Semoga bahasa kita tetap jaya. Selamat
memperingati Bulan Bahasa.

Gender (cara pengucapan: [gènder]) dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas
yang dikaitkan dengan jenis kelamin individu (seseorang) dan diarahkan pada peran sosial atau
identitasnya dalam masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai "seperangkat peran,
perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan, yang
dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat."[1]

Konsep gender berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang bersifat
biologis, walaupun dalam pembicaraan sehari-hari seks dan gender dapat saling dipertukarkan.
Ilmu bahasa (linguistik) juga menggunakan istilah gender (alternatif lain adalah genus) bagi
pengelompokan kata benda (nomina) dalam sejumlah bahasa. Banyak bahasa, yang terkenal dari
rumpun bahasa Indo-Eropa (contohnya bahasa Spanyol) dan Afroasiatik (seperti bahasa Arab),
mengenal kata benda "maskulin" dan "feminin" (beberapa juga mengenal kata benda "netral").

Dalam isu LGBT, gender dikaitkan dengan orientasi seksual. Seseorang yang merasa identitas
gendernya tidak sejalan dengan jenis kelaminnya dapat menyebut dirinya "intergender", seperti
dalam kasus waria.

Dalam konsep gender, yang dikenal adalah peran gender individu di masyarakat, sehingga orang
mengenal maskulinitas dan femininitas. Sebagai ilustrasi, sesuatu yang dianggap maskulin dalam
satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminin dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri
maskulin atau feminin itu tergantung dari konteks sosial-budaya bukan semata-mata pada
perbedaan jenis kelamin.

Telaah Ketimpangan Gender dalam Bahasa Indonesia

D. Jupriono

dijadikan alam pria dan wanita


dua makhluk dalam asuhan dewata
ditakdirkan bahwa pria berkuasa
adapun wanita lemah lembut
manja ...
wanita dijajah pria
sejak dulu
(Ismail Marzuki, 1959?)

Pendahuluan: Masyarakat, Kebudayaan, dan Bahasanya

Benarkah bahasa Indonesia (BI) berjenis kelamin lelaki? Beragam jawaban bisa
disodorkan, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Di sini, BI
akan dibedah dari perspektif gender, sebagai matra sentral Feminisme. Dengan
perspektif gender, nanti akan dibuktikan bahwa BI lebih memihak penutur lelaki
ketimbang perempuan biarpun jelas sekali bahwa BI juga dituturkan oleh separuh
masyarakat wanita. Singkat kata, senang atau tidak, BI bias maskulin.

Mengapa BI memihak lelaki, inilah soalnya! Dengan sedikit penyederhanaan, boleh


dikatakan bahwa pembiasan gender itu terjadi karena masyarakat Indonesia juga
meletakkan lelaki pada tataran lebih tinggi di atas perempuan. Mengapa masyarakat
"menjunjung" lelaki dan "menjinjing" perempuan? Mengapa tidak sebaliknya? Atau,
mengapa pula keduanya tidak diletakkan dalam garis egaliter? Karena, kebudayaan
yang dihasilkan dan diikuti masyarakat pun memihak lelaki!

Kebudayaan? Di sinilah kita mendudukkan kebudayaan sebagai terdakwa, seakan-


akan yang salah memang budayanya. Dalam pengertian yang luas, apa yang disebut
kebudayaan mencakup seluruh aktivitas noninstingtif masyarakat tertentu. Pengertian
bahwa kebudayaan adalah kesenian, seperti yang banyak dipahami orang selama ini,
merupakan pengertian yang sempit dan disempitkan. Aktivitas noninstingtif--yang hanya
bisa diperoleh dengan belajar--berwujud gagasan, tindakan, dan benda karya budaya.
Yang termasuk di dalamnya adalah peralatan dan perlengkapan hidup, sistem ekonomi
dan mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek), kesenian, sistem religi, dan bahasa (Koentjaraningrat, 1964: 79). Untuk diskusi
ini, kenyataan bahasa sebagai salah satu unsur bagian dari budaya perlu
digarisbawahi.

Di samping sebagai bagian, bahasa juga merupakan wahana budaya. Sebagai wahana
budaya, bahasa akan merekam semua aktivitas masyarakatnya. Bahasa adalah cermin
budaya. Maka, bahasa pun tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur budaya lain di
masyarakat itu.1) Itulah sebabnya, jika ingin mengetahui unsur-unsur budaya suatu
masyarakat secara keseluruhan, orang harus mempelajari bahasa masyarakat yang
bersangkutan sebagai konteksnya. Ingat, "bahasa menunjukkan bangsa". Dalam hal ini,
menarik diungkap di sini keyakinan J.H. Greenberg (Samsuri, 1986) bahwa: "Language
may no longer be conceived rather be viewed as part of the whole and functionally
related to it."

Telaah Interdisipliner: Metode dan Rumusan Masalah


Telaah ini menerapkan ancangan (approach) kualitatif etnografis. Dengan ancangan ini,
data yang diambil tergolong data lunak (soft data), berupa tuturan bahasa, dan bukan
angka-angka (Kirk dan Miller, 1986). Sumber data dalam telaah ini diambil dari latar
alami (natural setting), yakni tuturan alamiah keseharian. Instrumen yang dipakai
adalah kemampuan penelaah itu sendiri. Sebagai human instrument, manusia dapat
menghasilkan data berketerpercayaan cukup tinggi sebab hanya manusia sendirilah
yang sanggup memahami keseluruhan konteks dan perilaku kehidupannya. Dilihat dari
kemurniannya, telaah ini bersifat interdisipliner, antara Linguistik dan Studi Perempuan
(Women Study). Dengan ini, akan dipersoalkan perihal tersubordinasinya perempuan
oleh dominasi lelaki, keterpurukan nasib perempuan dalam bayangan cengkeraman
kekuasaan lelaki--sebagai cermin paling mencolok dari apa yang biasa disebut sebagai
ketimpangan gender, sebagai kaki tangan ideologi patriarki.2)

Bagaimana cara mencandra semua masalah di atas--inilah soal metodologisnya. Soal-


soal sosial-politik, hukum, interaksi manusia, kekuasaan (termasuk kekuasaan lelaki
atas perempuan), lazimnya disoroti dengan pendekatan perilaku (behavioral approach).
Dengan pendekatan ini yang dicandra adalah perbuatan, tindakan, kekerasan, dst.
masyarakat. Untuk telaah ketimpangan gender pun, ini tidak keliru.3) Akan tetapi, jelas
sekali bahwa dengan begitu ketimpangan ini lebih banyak disoroti dari sisi perilaku
masyarakatnya saja, yang membentuk realitas sosiobehavioral, Padahal, survei
membuktikan bahwa ketimpangan gender juga dapat disorot dari segi kebahasaannya,
yang akan membentuk realitas simbolis. Dari segi kebahasaan, penyorotan akan
dilakukan dengan pendekatan verbal (verbal approach), yang sebenarnya sudah sering
diterapkan orang.4) Pendekatan verbal bisa membuktikan bahwa "lelaki menang,
perempuan kalah" dapat dilihat dari bahasanya.Dengan pendekatan verbal, data verbal
yang masuk akan dikaji dengan analisis isi (content analysis). Teknik ini akan dilengkapi
dengan domain analysis, terutama dalam menyusun kategorisasi data. Topik bincang
dalam tulisan ini adalah "Bagaimana saja wujud ketimpangan gender yang terungkap
dalam bahasa Indonesia?".

Wujud Ketimpangan Gender Masyarakat dalam Bahasa Indonesia

Ketimpangan gender dalam bahasa Indonesia terungkap dalam wujud: nama penanda
status keluarga/perkawinan, penyebutan keberadaan atau tindakan, keniscayaan
struktur, dan inisiatif pengucapan. Masing-masing akan dibahas dalam bagian berikut.

Pemakaian Nama Penanda Status Keluarga/Perkawinan

Sejak lahir dari guwagarba sang ibu, manusia sudah dikotak-kotakkan ke dalam
gender: "lelaki" dan "perempuan". Setiap anak harus tunduk pada orang-tuanya. Untuk
melanggengkan eksistensi keluarga, pada beberapa suku, etnis, dan kelompok sosial
lain, terdapat adat mencantumkan nama ayah--dan bukan nama ibu!--di belakang nama
anak. Atau, jika pada komunitasnya tidak mengenal adat itu, saat dewasa yang dipilih
sebagai nama tambahan adalah nama ayah dan bukan ibu. Misalnya seorang anak
lelaki bernama Bambang dan anak perempuan bernama Linda, berayahkan
Notosusanto dan beribukan Juminten. Jika Bambang dan Linda sudah dewasa, dan
ada keinginan untuk melanggengkan nama orang-tua, yang dipilih untuk ditambahkan
adalah Notosusanto dan bukan Juminten. Maka, terbentuklah nama Bambang
Notosusanto dan Linda Notosusanto. Rasanya betapa ganjilnya jika dipilih *Bambang
Juminten dan *Linda Juminten. Alih-alih dengan itu, seorang artis yang bernama Lisa A.
Riyanto, misalnya, hampir bisa dipastikan ia anak dari komponis A. Riyanto yang sudah
almarhum itu.

Setelah berumah tangga, nasib lelaki dan perempuan masih tetap tidak sama. Seorang
istrilah yang lazim menambahi namanya dengan nama suaminya, dan bukan
sebaliknya: suami menambahi namanya dengan nama istrinya--sungguh mustahil!
Maka, yang ada Tien Soeharto dan bukan *Soeharto Tien.

Penyebutan terhadap Keberadaan dan Tindakan

Nasib perempuan dan lelaki tidak sama, termasuk dalam hal menerima sebutan,
predikat, atau julukan untuk suatu tindakan atau keberadaan. Ketimpangan tersebut
dapat dipilah-pilah lagi ke dalam ketimpangan sebutan berikut.

Sebutan yang Maskulin dan Feminin

Beberapa kosakata sebutan klasik juga membelah manusia menjadi sebutan yang
bersifat feminin dan sebutan yang berbau maskulin. Untuk sebutan yang feminin kita
kenal, misalnya, "ibu kota, induk semang, nenek moyang, dewi malam ('bulan'), putri
malu (sejenis bunga), ibu pertiwi, dan ratu adil, dan bukan *bapak kota, *jago semang,
*kakek moyang, *dewa malam, *putra malu, *bapak pertiwi, dan *raja adil". Dengan
memakai ibu, induk, nenek, dewi, putri, dan ratu, nuansa kesan yang memancar adalah
kedamaian, kepasifan, ketenangan, kesabaran. Agaknya sudah menjadi "kodrat",
bahwa kata-kata ini diciptakan khusus buat yang serba pasif, diam, dan damai.

Sebutan yang bercorak maskulin berkesan menguasai, agresif, garang. Dalam


khasanah kosakata BI klasik kita temukan misalnya raja hutan ('singa, macan'), raja
siang ('matahari'), dewa maut, dewa perang. Dalam kosakata BI kontemporer, untuk
sesuatu yang bersifat garang, pemberani, dan agresif itu, kita pakai raja jalanan ('suka
mengebut'), raja judi, raja copet, bapak pembangunan, bapak koperasi, bapak
pendidikan nasional, jago matematika, jago nggambar, dan jelas bukan *ratu judi, *ratu
copet, *ibu pembangunan, *ibu koperasi, *ibu pendidikan nasional, *babon matematika,
*babon nggambar.

Layak dipertanyakan kebenaran ini, memang. Siapa pun tahu, harimau atau singa yang
disebut raja hutan tadi belum tentu berjenis kelamin jantan, dan memang tidak harus
jantan; siapa pun sulit menolak realitas bahwa seorang siswa yang dipredikati jago
matematika belum tentu berkelamin lelaki. Pak Harto disebut-sebut sebagai "Bapak
Pembangunan", Bung Hatta "Bapak Koperasi", dan Ki Hajar Dewantara "Bapak
Pendidikan Nasional". Semua setuju. Masalahnya, andai saja--memang hanya andai--
pelopor pembangunan itu Mbak Mega, perintis koperasi itu Mbak Tutut, dan tokoh
pendidikan itu Bu Toeti Heraty, apakah kita sportif menyebut ketiga beliau itu sebagai
"*Ibu Pembangunan", "*Ibu Koperasi", dan "*Ibu Pendidikan Nasional"? Saya tidak
berani berspekulasi. R.A. Kartini pun belum pernah disebut "Ibu Pendidikan" atau
sebutan lain yang tidak menuansakan bias gender lelaki.

Sebutan Pelecehan Martabat

Gejala penghalusan pengucapan sesuatu--biasa disebut eufemisme--kadang memang


menerbitkan kesan sopan, tenang, indah, anggun. Seseorang yang sedang makan
siang bersama, dan tiba-tiba perutnya mules, misalnya, ia toh tak mungkin mengatakan
"Maaf, saya mau berak" jika ia belum siap dituduh tidak sopan. Ia mesti menghaluskan
pengucapannya: "Maaf, saya mau ke belakang". Tentu saja, semua yang makan siang
itu benar-benar menyadari bahwa acuan berak dan ke belakang adalah kurang lebih
sama saja. Akan tetapi, konotasi yang muncul berbeda. Dalam konteks seperti ini
eufemisme menemukan tempatnya untuk diterapkan.p> Bagaimana eufemisme dalam
pemartabatan lelaki-perempuan dalam dunia "kerja"? Masih tepatkah digunakan? Tidak
semuanya. Kata pelacur, karena dipandang vulgar, norak, menjijikkan, harus
"dihaluskan", diganti dengan wanita tunasusila atau WTS--dan justru singkatannya
inilah yang lebih populer. Jadi, orang bisa menepuk dada, seakan di Indonesia tak ada
pelacur lagi, yang ada hanyalah wanita-wanita tuna susila saja. Perasaan menjadi lega.
Bahwa kebanggaan ini baru berada dalam tataran slogan, dan dalam realitasnya tetap
saja "emangnye gue pikirin", itu soal lain.

Sehubungan dengan kajian ini, jika kata WTS digencarkan dan pelacur dihapus,
apakah ini berarti bahwa yang nakal perempuan saja, sedangkan lelaki tak ada yang
tunasusila? Padahal, adalah fakta bahwa "pria penghibur", "bawon", "gigolo", "teko",
"bandot", memang ada. Inilah cermin paling buruk dari pelecehan gender yang
menempatkan perempuan pelacur pada posisi yang lebih terlecehkan, sekalipun lakon
yang dijalani sama persis dengan lelaki pelacur. Dengan demikian, layak sekali jika
perempuan Indonesia tersinggung.5) Ini diskriminasi perlakuan seksual.

Lalu, bagaimana? Jika istilah WTS tetap dipertahankan, harus ada kata khusus untuk
menunjuk pada lelaki pelacur. Jika boleh, saya akan mengusulkan istilah "pria
tunasusila" atau PTS untuk yang satu ini. Masalahnya, jika PTS dipilih, mahasiswa
perguruan tinggi "luar negeri" se-Indonesia akan memprotes keras. Dan, saya belum
siap diprotes. Maka, ganti lagi dengan yang lain, semisal "lelaki tunasusila" atau LTS.
Dengan ini pembagian kerja secara seksual benar-benar ada dan adil. Lain lagi jika
dipandang tidak usah ada tambahan istilah semacam LTS itu, WTS pun mesti dihapus,
dan diganti dengan kata baru lagi yang netral, yang mampu mewadahi baik WTS
maupun LTS. Atau, barangkali kembali ke pelacur lagi. Untuk ini, bagaimana kalau
saudara-saudara kita yang masih menderita itu kita sebut saja "manusia tunasusila"
(MTS). Masalahnya lagi, ini jelas memerahkan telinga saudara kita yang belajar,
mengajar, atau alumni madrasah tsanawiyah. Begini saja: orang tunasusila (OTS)?

Degradasi Konsep Martabat


Dengan degradasi, makna kata menjadi enteng, remeh, bahkan ujung-ujungnya bisa
melenceng dari konsep dasarnya. Degradasi terhadap perjuangan kerja perempuan,
misalnya, akan sering muncul di sekitar kita, yang memang merupakan masyarakat
patriarkis. Karena beban kondisi ini, saya sering melihat kekikukan ibu pekerja ("wanita
karier", WK) berpenghasilan tinggi, bahkan sebagian dari mereka melebihi gaji
suaminya, manakala saya tanyakan berapa gajinya. Mengherankan, gaji tinggi melebihi
suami kok malu. Apa salahnya? Perhatikan kutipan wawancara berikut!

Saya: Wah gajinya besar dong. Cepet kaya, Bu, nanti.

WK : Ah, nggak juga. Itu kan menurut situ.

Saya: Gaji segitu besar lho, Bu. Ini kan di atas gaji suami.
Hebat.

WK : Ah, saya kan cuma istri. Jadi, hanya sekadar membantu suami
saja.

Pernyataan "cuma istri, hanya sekadar membantu suami" merupakan pantulan dari
rasa kikuk mereka. Pernyataan ini melemahkan realitas yang sesungguhnya: bahwa
mereka benar-benar menolong suami dari banting tulang mencukupi kebutuhan, jadi
tidak sekadar melengkapi, tetapi benar-benar menyelamatkan ketahanan ekonomi
keluarga, sebagai survival strategy. Mereka malu mengakui. Toh mereka merasa
hanyalah figuran pendamping belaka, semantara suami tercinta adalah aktor utama
kepala keluarga. Padahal, mereka banar-benar bekerja! Itu memang hak dan buah
kegigihan mereka.

Kebanyakan dari mereka mengidap semacam "sindrom takut sukses" (fear of success
syndrom), khawatir menyaingi dan menyinggung suami. Aneh, tapi bukti berbicara
bahwa tidak sedikit suami merasa terusik cengkeraman hegemoninya menerima
kenyataan ini. Adalah bukti juga bahwa biarpun bergaji lebih kecil, jadi memang hanya
sekadar membantu--dalam arti yang sesungguhnya--seorang suami memilih berkelahi
ketimbang harus mengakui: "*Ah, saya ini 'kan cuma sekadar membantu penghasilan
istri?"

Sebutan Pembatasan Berkebebasan

Jika orang percaya bahwa lelaki dan perempuan diciptakan sama-sama dari tanah,
sama hak dan kewajibannya sebagai hamba Tuhan, semestinya tak ada lagi
pemasungan gender satu dan pemerdekaan gender lain. Dengan standar ganda ini,
perempuan dipaksa oleh kulturnya untuk selalu diam, patuh, mengalah, sebab ramai,
melawan, dan sifat agresif lainnya hanya boleh dilakukan oleh sesamanya yang
bergender lelaki. Berikut ini cuplikan obrolan ibu dengan anak perempuannya (AP) yang
hendak menuntut Pak Lurahnya yang telah memotong kiriman duit dari suami di
perantauan (Malaysia) perempuan itu, perhatikan!

Ibu: Kamu nggak bisa begitu. Bagaimanapun dia itu wong dhuwur
lho. Lurah kok mau dilawan.

Kita ini orang kecil, Nduk. Lagipula, kita itu kan perempuan
to. Dipikir ..., Nduk!

AP : Mbok, tapi ini kan duit laki saya. Jadi ya termasuk duitku
juga. Aku kan bininya.

Di Malaysia dia kan kerja keras. Apa dikira di sana dia


cuma kluyuran tok. Siang

malam dia kerja keras kayak kuda. Ee ... kok di sini


dipotong orang seenaknya.

Emangnya duit kakeknya!

Ibu: Kamu itu dinasihati kok sukanya ngeyel. Nduk, ingat kamu itu
perempuan lho. Cuma

perempuan. Nggak ada ceritanya, perempuan bisa menang.


Perempuan saja kok macem

-macem. Mbok tunggu saja nanti kalau lakimu sudang pulang.


Biar dia yang ngurus.

Ini urusan lelaki. Sementara diam dan nerimo saja.


Dalam fragmen wacana di muka dipertentangkan soal apa yang pantas dan apa yang
tabu dilakukan oleh perempuan. Soal gugat-menggugat--menggugat pak lurah lagi--
bukan kawasan garapan perempuan. Ini urusan lelaki. Dalam kasus ini AP dan Ibu tidak
hanya menderita karena mereka wong cilik (rakyat jelata), tetapi juga karena gender
mereka yang bukan lelaki. Maka, sempurna sudah kekalahan mereka. Masyarakat luas
menerima pandangan ini sebagai kebenaran. Maka, lelaki di sekitarnya akan
memandang AP sebagai perempuan aneh, bahkan tak tahu diri. Malahan, ibunya
sebagai sesama perempuan pun tidak berpihak kepadanya. "Perempuan saja kok
macem-macem," katanya. Inilah dampak nyata hegemoni ideologi patriarki.

Tentu saja, Ibu ini tak salah. Dia memang hidup dalam penjara budaya masyarakat
yang patriarkis, yang secara tegas menempatkan perempuan sebagai perawat sektor
domestik, sedang lelaki sebagai penguasa sektor publik (Budiman, 1981), dengan
imbangan penghargaan yang tak sama. Inilah produk paling diskriminatif dari
pembagian kerja secara seksual (sexual division of labour) (Beneria, 1979: 205).
Ungkapan bahwa soal menggugat pak lurah, ini urusan lelaki, dalam wacana di atas,
merupakan fakta yang tak terbantahkan dalam pembagian yang tak adil ini.

Sebagai bandingan, perhatikan dialog rekayasa berikut. Pada masyarakat yang


kebudayaannya berada dalam cengkeraman hegemoni lelaki, seperti lingkungan kita
ini, mungkinkah dialog antarlelaki berikut dapat kita temui?

*Gede: Sudahlah kita mengalah saja. Apa sih jeleknya orang


ngalah. Ingat kita ini kan lelaki. Masak mau menuntut pak lurah.
Kan nggak pantas.
*Bejo: Iya ya, ... kita 'kan lelaki. Lelaki saja kok macam-macam.
Pembagian kerja secara seksual juga menempatkan citra (image) apa yang selayaknya
pantas muncul dan apa yang haram nongol dalam wacana, percakapan, atau peristiwa
tutur lainnya. Realitas citra ini begitu kuatnya sehingga melembaga ke dalam berbagai
matra kehidupan, salah satunya dalam dunia pendidikan, khususnya dalam buku-buku
bacaan. Di sini masyarakat membangun stereotipe apa yang pantas untuk lelaki dan
apa yang boleh dilakukan oleh perempuan. Oleh karena itu, yang paling sering kita
baca dalam buku adalah contoh-contoh kalimat berikut.6)

 Ayah memperbaiki mesin mobil.


 Ibu menjahit baju.
 Ibu memasak di dapur.
 Adikku yang manis menimang boneka.
 Aku bermain layang-layang.

Gelegar sadar kemitrasejajaran membahana membubung tinggi saat ini. Semua pihak
menyadari bahwa pembagian kerja secara seksual itu tidak adil dan hanya membuang
sia-sia energi perempuan yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi pembangunan.
Akan tetapi, tindakan dalam wilayah semantis kultural misalnya bahasa yang
mendukung perobohan tembok ketimpangan gender itu belum muncul juga. Malahan,
kalau boleh menduga, pembakuan bahasa Indonesia lewat penerbitan buku Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) pada 1988 (edisi II 1993), entah sadar entah
tidak, boleh jadi justru merupakan upaya melanggengkan kemapanan status quo
hegemoni patriarki di masyarakat kita. Kalimat-kalimat yang dicontohkan, misalnya,
tampak benar tidak bebas muatan politik gender maskulin. Perhatikan kutipan dari
TBBBI berikut.

1. Ayah sudah berangkat ke kantor. (hal. 427)


2. Siti masih sering pulang malam, atau malah pagi buta. (438)
3. Ibunya terus menjahit sampai tengah malam sungguhpun dia telah merasakan
adanya kelainan dalam dadanya. (460)
4. Ibu sedang memasak, sedangkan ayah sedang membaca koran. (463)
5. Suami Lastri baru pulang dari Amsterdam. (473)
6. Dokter H. Kamaruzzaman (52 tahun), Direktur RSU Dr. Zainal Abidin, Banda
Aceh, Jumat malam meninggal secara mendadak. (477)
7. Aku suka kepada wanita itu sebagai sekretaris, dan dia sangat menyenangkan
sebagai kawan, tetapi jelas akan menyusahkan sekali sebagai kawan hidup.
(478)

Contoh-contoh ini diambil secara acak dari dua bab terakhir, yang memang membahas
kalimat dan wacana. Akan tetapi, jika bab-bab lain ditelaah, hasilnya sama saja. Kalau
dicermati, tampak benar bahwa kalimat-kalimat ini memang bias gender: memihak
lelaki, menohok perempuan. Pada kalimat (1), apakah yang bekerja di kantor hanya
dimonopoli ayah? Kalimat (2) pembaca pasti menarik kesan negatif pada Siti yang pasti
perempuan itu. Coba diandaikan, jika Siti diganti Suto (ini pasti lelaki) apakah yang
muncul tetap kesan minor? Mengapa hanya lelaki yang pantas begitu? Kalimat (1), (5),
(6), dan (7) mengukuhkan lelaki melenggang di sektor publik (public sphere),
sedangkan pada kalimat (2), (3), dan (4) perempuan dipaksa berkutat di kesumpekan
kawasan domestik (domestic sphere).

Bahwa contoh-contoh kalimat itu ditulis hanya secara kebetulan, itu mungkin saja. Akan
tetapi, semua penulis TBBBI adalah masyarakat Indonesia, hidup bergumul dengan
masyarakat yang mendominankan nilai lelaki dan mensubordinasikan nilai perempuan.
Jadi, jika mereka terperangkap dalam budaya patriarki seperti itu, ini bukan barang
aneh. Apalagi--harap tahu saja--92% dari tim penyusunnya lelaki tulen, hanya seorang
yang perempuan.7) Sebutan Negatif, Sebutan Positif Berdasarkan kategori ini, kesan
remeh, sepele, kecil, yang hanya mengganggu saja, pantas dikenakan pada
perempuan. Sementara, mitos soal-soal besar, penting, yang menentukan segalanya,
hanya layak untuk lelaki. Padahal, dalam kenyataan lelaki pun sama saja, bahkan
mungkin lebih negatif, dari perempuan. Begitulah, karena yang distereotipekan cerewet
adalah perempuan, muncullah ungkapan "dasar mulut nenek-nenek" atau "dasar mulut
perempuan", dan bukan "*dasar mulut kakek-kakek" atau "*dasar mulut lelaki". Padahal,
menurut pengamatan D. Spender (1980), lelakilah yang mendominasi pembicaraan,
melontarkan interupsi, sementara perempuan dicatat lebih banyak bertanya
menanggapi lelaki.

Kenyataan yang menguntungkan diterima oleh kaum lelaki. Jika ungkapan mulut
perempuan, dasar betina, misalnya, menempati kesan buruk, tidak demikian halnya
dengan bersikap jantan. Bahkan, meskipun dasar laki-laki sebenarnya juga minor,
posisinya terkesan lebih "mahal" di atas dasar betina, misalnya. Sebutan Penstandaran
Gender Adalah realitas kehidupan bahwa di dunia ini selalu ada sesuatu yang berada
dalam garis kontinum. Kontinum standar "besar", misalnya mencakup dari sangat
besar, agak besar, agak kecil, sampai sangat kecil; demikian juga "berat", "tinggi", dan
"banyak", dll. Dalam kontinum tersebut, lazimnya yang dipakai sebagai ukuran (standar)
adalah posisi yang mayor (berat, tinggi, besar, banyak, tebal) dan bukan yang minor
(ringan, rendah, kecil, sedikit, tipis). Oleh karena itu, dalam percakapan tentang berat
badan dan tebal papan, misalnya, kalimat yang mungkin muncul adalah "Berapa berat
badanmu?" dan "Tebal papan kayu ini 0,15cm", dan pasti bukan "*Berapa ringan
badanmu?" dan "Tipis papan kayu ini 0,15cm." (biarpun 0,15cm itu memang tergolong
relatif tipis). Mengapa demikian? Ya, memang begitu: bahwa yang ditetapkan sebagai
standar pasti yang mayor, bukan yang minor!

Bagaimana dalam ranah pergenderan? Ini baru masalah! Seperti diketahui, hakikatnya,
hanya ada dua kontras gender: lelaki >< perempuan, feminin >< maskulin, jantan ><
betina. Oleh karena itu, tidak bisa konsep dasar dikotomi gender ini ditempatkan pada
garis kontinum; hakikatnya, memang tidak ada "*sangat lelaki", "*agak perempuan",
"*lebih betina", misalnya. Akan tetapi, lain konsep, lain fakta. Dalam realitas empiris,
kelompok gender lelaki/maskulin selalu dijadikan ukuran, rujukan, bandingan, standar.
Maka, untuk memandang gender perempuan/feminin pun, standar bakunya juga
kebakuan lelaki/maskulin.

Barisan lelaki dianggap superior, tegar, dan rasional, sedangkan perempuan selalu
ditempatkan pada stereotipe emosional, sentimentil, cengeng, malu-malu. Barangkali,
inilah sebabnya mengapa yang ada adalah "putri malu" dan bukan "*putra malu". Oleh
karena itu, jika seorang perempuan terlihat malu-malu, itu sudah semestinya, sudah
"kodrat".8) Maka, yang pantas menduduki posisi kepala keluarga adalah ayah dan
bukan ibu.

Sebagai standar, segala perilaku lelaki yang distereotipekan masyarakat harus diikuti,
jika ingin disebut jantan atau lelaki sejati. Seorang lelaki harus bersikap laki-laki. Lelaki
yang terkesan klemar-klemer, lamban, pasif, kewanita-wanitaan akan dipandang
negatif: "Lelaki kok begitu". Sebaliknya, seorang perempuan yang "tomboy", yang
kelaki-lakian--asal tidak terlampau jauh saja, asal masih mau dandan dan berparfum--
menerima nasib yang berbeda, yang tidak negatif. Maka, kesan apa yang muncul
mendengar/membaca kalimat-kalimat berikut?

8. Doni mengenakan rok mini.


9. Dina memakai celana.
10. Cowok atletis itu malu-malu, grogi, keluar keringat dinginnya.
11. Cewek seksi itu tampil yakin dan penuh percaya diri.

Lelaki pakai rok? "Ah, yang bener aja!" Bisa-bisa yang bersangkutan dianggap miring.
Umumnya orang, entah lelaki entah perempuan, akan berkonotasi negatif terhadap
kalimat (8) dan (10). Sebab, "rok mini, malu-malu, grogi" bukan standar. Itu 'kan khas
perempuan. Jangan lupa, yang berbau perempuan itu nonstandar. Bukankah
standarnya selalu "celana, yakin, PD", sebagai akibat dari penetapan gender lelaki
sebagai standar? Sebaliknya, terhadap Dina dan cewek seksi itu pada kalimat (9) dan
(11), orang akan mempersembahkan konotasi positif, sebab ciri-ciri yang disosokkan
kedua perempuan itu sudah maskulin, artinya sudah standar.

Inilah biang kerok persoalan realitas simbolis bahasa: bahwa jika disebut mahasiswa,
yang dimaksud adalah baik mahasiswa lelaki maupun mahasiswa perempuan, tetapi
jika yang disebut mahasiswi, yang dimaksud pastilah hanya mahasiswa perempuan.
Maka, orang pun latah, dan khawatir: jika hanya disebut "wartawan", "sastrawan",
"polisi" saja, apakah orang sudah paham pasti; ini harus ditegaskan lagi, jika yang
dimaksud adalah oknum perempuan, sehingga menjadi wanita wartawan , sastrawan
wanita, dan polisi wanita (polwan). Realitas simbolis ini memantulkan anggapan diam-
diam bahwa jurnalistik, sastra, dan kepolisian itu seakan-akan sektor garapan lelaki,
bukan kodratnya perempuan. Dalam kebudayaan Barat, bahkan lebih gila lagi; ini
tercermin dalam bahasanya juga.9)

Lelaki memang menjadi standar. Dalam bahasa Inggris, misalnya, untuk menyebut
manusia pada umumnya, orang meminjam kata man, dan bukan woman. Artinya, kalau
disebut man, yang dimaksud adalah 'baik lelaki maupun perempuan', akan tetapi jika
disebut woman, yang diacu pastilah 'hanya perempuan'. Sebab, sekali lagi, lelaki itu
standar, sedang perempuan substandar, "belum manusia utuh". Maka, layak saja,
ketika D. Spender bermaksud menggambarkan bahwa manusialah pencipta bahasa,
sebenarnyalah tersirat juga anggapan bahwa yang lebih banyak menentukan adalah
lelaki. Denggan kondisi ini, Spender mesti meminjam dulu kata man, dan bukan
woman, untuk konsep manusia. Maka, ia menjuduli bukunya Man Made Language
(1980), dan bukan *Woman Made Language.10)

Keniscayaan Struktur akibat Konvensi Kebudayaan Masyarakat

Dalam kebudayaan kita, ada kesepakatan legal membudaya bahwa yang bisa
"mengawini" dan "menceraikan" adalah lelaki, sedangkan perempuan, sabar atau tidak,
hanya bisa "dikawin" dan "diceraikan" saja. Dalam keadaan terpaksa, pihak perempuan
yang merasa sudah tidak percaya lagi pada lelaki, akan bertindak aktif dan menuntut.
Biarpun begitu, tetap saja, dia hanya bisa "minta dikawin" dan "minta diceraikan".
Undang-undang perkawinan (katanya sih) begitu. Maka, langsung bisa ditebak siapa
yang diacu "saya", "aku", "kamu", dan "dia" dalam kalimat-kalimat berikut.

1. Saya mau mengawinimu asal kamu tidak menuntut macam-macam.


2. Seandainya sekadar boros dan cerewet saja, aku masih bisa menerima. Tapi,
masalahnya dia itu selingkuh. Maka, tak ada pilihan lain, aku akan
menceraikannya, meskipun sebenarnya aku masih cinta.

Bagaimana seandainya pihak perempuan yang lebih kaya, berkuasa, berkedudukan,


lebih tinggi statusnya daripada lelaki? Selama jarum sejarah budaya masyarakat masih
berputar pada lingkaran ideologi patriarki, obsesi perempuan untuk dapat mengawini
dan menceraikan lelaki benar-benar bagai menunggu tenggelamnya perahu gabus atau
terapungnya batu. Sungguh utopis!

Dalam tuntutan struktur bahasa, sepanjang ada fungsi gramatikal subjek (S), predikat
(P), kemudian juga objek (O) dan keterangan (K), dengan pola urutan ketat P-O dengan
letak S dan K manasuka, kalimat "*Leli mengawini Joko" atau "*Joko dicerai Leli", apa
salahnya. Tetapi, soal bahasa bukan hanya struktur, melainkan juga realitas kultur.
Dalam kultur masyarakat kita, seorang perempuan dapat "kawin dengan", "minta cerai
dari", "bercerai dari", dan "diceraikan oleh", tetapi tidak dapat "mengawini" atau
"menceraikan" lelaki (Moeliono & Dardjowidjojo, 1988; Alwi dkk., 1993). Maka, kalimat
semacam "Joko mengawini Leli" atau "Leli diceraikan Joko" berada dalam keniscayaan
struktur. Kepastian struktur ini mengukuhkan dirinya karena kultur, bukan karena
struktur.

Inisiatif Ekspresi dalam Komunikasi

Entah sampai kapan, kebiasaan yang dianggap wajar dan baik adalah lelakilah
pengambil inisiatif pertama, sedang perempuan hanya pantas menunggu dan
merespon inisiatif sang lelaki pujaan. Tugas masing-masing terbelah tegas: lelaki
beraksi, perempuan bereaksi. Oleh karena itu, dalam dunia komunikasi (pergaulan,
perpacaranan, perkencanan), misalnya, yang sering terjadi adalah lelaki yang
mengungkapkan cinta lebih dulu, lelakilah yang mengirimi surat cinta lebih dulu. Ini
menunjukkan bahwa inisiatif ekspresi atau prakarsa pengucapan berada di tangan
lelaki. Mustahilkah perempuan menyatakan perasaan cintanya terlebih dahulu? Tidak
juga. Memang terjadi dan tidak hanya satu dua. Tetapi, jelas bahwa yang oleh
masyarakat dianggap wajar dan pantas memulai, memprakarsai, dan berinisiatif adalah
pihak lelaki. Bahwa setelah mereka resmi pacaran, atau resmi nikah, perempuan
mendahului "menyergap" itu soal lain. Perempuan yang "kebelet" nekat terus terang
menyatakan perasaannya terlebih dahulu ("Aku cinta kamu") harus siap disoroti dengan
nada minor: Perempuan kok begitu! Tetapi, makhluk Tuhan yang satu ini tak kehabisan
taktik. Dia menyiumpan sebuah rekayasa simbolis: tetap lebih dahulu menyatakan
perasaannya, tetapi tidak transparan, "tidak langsung buka kulit, tampak isi". Biasanya,
ia akan menyelubungi gejolak perasaan yang diekspresikan dengan kata-kata samar,
dibantu dengan sikap sedikit malu-malu, isyarat dan perhatian, dan pilihan konteks
situasi yang tepat. Repotnya kalau sang lelaki tidak segera menangkap isyarat itu,
entah karena memang lelaki ini tergolong tidak mengerti, bebal, goblog, atau mungkin
sebenarnya mengerti, tetapi pura-pura tidak tahu: sungguh celaka!

Inisiatif ekspresi semacam ini merupakan sebuah konvensi budaya. Maka, pembaca
atau pendengar mana pun segera dapat menarik implikasi konvensionalnya (Samsuri,
1996): siapa yang dirujuk oleh kata aku (ku) dan dia (ia) dalam kutipan berikut. Aku
sangat mencintainya. Jika nanti sudah menjadi milikku, akan kusayangi dia. Akan
kucium keningnya. Kubelai rambutnya dan kuremas jarinya yang lentik itu. Tetapi, aku
ragu, apa dia mau. Meskipun tidak disebut eksplisit siapa "aku" dan "dia" dalam kutipan
ini, orang tidak akan salah menangkap siapa "aku" dan "dia" tersebut: "aku" pasti lelaki
dan "dia" niscaya perempuan, lain tidak. Mengapa? Ya itu tadi, budaya masyarakat
telah memagari simbol dan mempedomani interpretasi terhadap simbol-simbol bahasa
itu.

Simpulan: Mau ke mana Bahasa Indonesia?

Ketimpangan gender masyarakat Indonesia tercermin ke dalam BI berwujud:

(1) penambahan nama sebagai penanda status keluarga/perkawinan;

(2) penyebutan keberadaan dan tindakan, meliputi:


(a) sebutan kemaskulinan dan kefemininan,

(b) sebutan pelecehan martabat,

(c) sebutan degradasi konsep dasar martabat,

(d) sebutan pembatasan berkebebasan,

(e) sebutan kenegatifan dan kepositifan, dan

(f) sebutan penstandaran gender;

(3) keniscayaan struktur akibat konvensi kebudayaan, dan

(4) inisiatif ekspresi dalam komunikasi.

Quo vadis ketimpangan gender ini? Dari keempat deskripsi ketimpangan gender dalam
BI ini, tampaknya yang mungkin bisa berubah adalah penambahan nama penanda
status, sebagian penyebutan keberadaan dan tindakan, dan inisiatif ekspresi.
Perubahan ini akan terjadi sejalan dengan perubahan masyarakat berikut nilai,
pandangan hidupnya, khususnya terhadap eksistensi gender. Ada gejala sebagian
perempuan karier tidak lagi menambahi namanya dengan nama ayah atau suaminya.
Sebutan pelecehan martabat gender, semacam WTS, bisa jadi akan tergeser sejalan
dengan kesadaran perempuan bahwa yang bisa bertuna susila bukan hanya monopoli
perempuan. Apalagi inisiatif ekspresi, sekarang rasanya bukan aneh jika perempuan
lebih dulu menyatakan cintanya. Sekalipun yang terakhir ini lebih merupakan kasus
parsial sporadis belaka, bisa diprediksikan pada masa-masa mendatang fakta ini akan
berkembang, sejalan dengan semakin samar dan relatifnya nilai moral masyarakat,
terutama dalam menyikapi gender, dalam arus globalisasi budaya yang kian "nyah-
nyoh" (permisive) ini.

Konvensi budaya menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mendudukkan


lelaki di atas segala-galanya. Dengan begini, konvensi masyarakat memposisikan lelaki
sebagai standar mutu, baik dalam memandang lelaki maupun perempuan. Konvensi ini
juga telah menarik garis tegas stereotipe lelaki dan stereotipe perempuan dengan hasil
yang sudah jelas sama-sama kita sadari: ketimpangan gender. Dalam posisi yang
serba timpang ini, lelaki mendominasi, sedang perempuan tersubordinasi, ke dalam
peran-peran yang dikontrol oleh cengekeraman hegemoni lelaki.

Karena bahasa mewadahi realitas masyarakat yang timpang seperti itu, bahasa
Indonesia berada dalam genggaman lelaki. Dengan demikian, bahasa ini mungkin
bergender lelaki. Sampai kapankah bahasa kita berkelamin lelaki? Sampai kapankah
dendang lagu "... wanita dijajah pria ... sejak dulu" terus kita nikmati? Kita tak mungkin
menjawabnya "Belum tahu dia!" sebab persoalan ini menyangkut semua segi
kehidupan masyarakat, tempat BI digunakan dan peluang BI mewahanai kehidupan itu.
Catatan

1. Dengan begini, pada sisi satu bahasa merupakan bagian budaya, sedangkan
pada sisi lain ia menjadi wahana, wadah, dan alat budaya. Keunikan ini
membuktikan bahwa bahasa itu "bermuka dua". Periksa: Samsuri, ".
Kebudayaan, masyarakat, dan bahasa Indonesia. Buletin Yaperna, Berita Ilmu-
ilmu Sosial dan Kebudayaan, 1975: 14--23; juga dalam "Kebudayaan dan
Bahasa Indonesia", Kertas Kerja Seminar Bulan Bahasa di FPBS IKIP Malang,
28 Oktober 1986.
2. Ideologi patriarki memandang bahwa wanita itu inferior, lemah, bodoh, tak
berdaya, dan hanya bisa bergantung pada lelaki, maka demi kelangsungannya
mereka harus "dibimbing" (baca: dikuasai!) terus-menerus oleh lelaki yang
dianggap lebih superior, kuat, pintar. Lihat Arief Budiman, Pembagian Kerja
Secara Seksual (Jakarta: PT Gramedia, 1981). Konsep ini dekat dengan
seksisme, ketimpangan gender, dominasi lelaki, subordinasi perempuan,
supremasi kekuasaan lelaki, dan hegemoni pria.
3. Banyak sekali kajian yang menerapkan pendekatan perilaku, sekadar contoh:
Mies Grijns dkk., "Gender, Marginalisation and Rural Industry", Warta Studi
Perempuan, Vol. No. , 1994; Muh. Asfar, "Wanita dan Politik: antara Karir Pribadi
dan Jabatan Suami", Prisma XXV/5, Mei 1996.
4. Dengan pendekatan verbal, ketimpangan gender dalam bahasa Inggris dikaji
oleh Victoria Fromkin dan Robert Rodman, An Introduction to Language, Edisi V,
Cet. V (Fort Worth: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1993), khususnya bab
"Language in Society", subbab 'Language and Sexim' (hal. 306--312); tinjauan
sekilas terhadap ketimpangan gender dalam bahasa Inggris dan Indonesia, lih.
Siusana Kweldju, "Penelitian Seksisme Bahasa dalam Kerangka Penelitian
Stereotipi Seks", Warta Studi Perempuan, Vol. 4, No. 1, hal. 7--18, 32; juga
Kweldju (1991).
5. Inilah salah satu tajuk bincang Samsuri dalam orasi ilmiahnya pada Rapat Senat
Terbuka Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dalam rangka dies natalisnya
yang ke-38, 24 Agustus 1996, dimuat dalam jurnal FSU in the Limelight, Vol. 5,
No. 1, Oktober 1996, hal. 1--14.
6. Dalam hal ini saya (dkk.) pernah mengadakan penelitian tentang ini berjudul
"Ideologi Gender-Patriarki dalam Buku Teks Bahasa Indonesia Sekolah Dasar"
(Divisi Pemberdayaan Perempuan, LPK2I, 1994). Temuan penelitian itu adalah
bahwa 74% dari semua buku teks pelajaran Bahasa Indonesia untuk SD, terbitan
dari 17 penerbit penerbit di Jawa Timur dan jawa Tengah, selalu menempatkan
pelaku lelaki (bapak, abang, aku) pada sektor atau tindakan yang secara
stereotipis layak dilakukan oleh maskulin (memperbaiki mesin, bermain layang-
layang), sebaliknya selalu memposisikan perempuan terpuruk dan berkutut
dalam sektor dan tindakan yang stereotpe feminin (memasak, bermain boneka).
7) TBBBI edisi I (1988), dari 11 penyusun, hanya 1 orang saja yang perempuan
(W.H.C.M. Lalamentik, Ph.D.). TBBBI edisi II (1993), dari 14 pakar bahasa yang
memberikan saran penyempurnaan, hanya 2 orang yang perempuan. Inilah
sumber kecurigaan bahwa gender lelaki mendominasi perempuan dan itu
membayangi contoh-contoh kalimat pada buku itu.
7. Bagi pejuang Feminisme Liberal dan Feminisme Radikal, hanya ada tiga hal
yang bisa dikategorikan ke dalam "kodrat wanita", yaitu menstruasi, melahirkan,
dan menyusui--sesuatu yang memang hanya bisa "dilakukan" oleh perempuan.
Lih. S. Harding, The Science Question in Feminism (Ithaca, New York: Cornell
University Press, 1986). Dalam pandangan kelompok ini, mengasuh anak,
memasak, merawat rumah bukan monopoli perempuan, merupakan peran-peran
yang bisa berubah sesuai dengan budaya masyarakat (nurture), dan bukan
kodrat (nature) perempuan, sebab lelaki juga (harus) bisa.
8. Sebagai contoh, berikut ini dikutipkan beberapa saja. The American College
Dictionary (1947) mendefenisikan bahwa "doctor, n, ... a man of great learning".
Graduate School of Management UCLA (The Balloon XXII, 6) menulis: "A
businessman is agressive; a businesswoman is pushy .... A businessman is good
on details; she's picky ... He follows through; she doesn't know when to quit ... He
stands firm; she's hard .... He is a man of the world; she's been around .... He
isn't afraid to say what is on his mind; she's mouthy .... He exercises authority
diligenttly; she's power mad .... He's closemouthed; she's secretive. He climbed
the ladder of success; she slept her way to the top. Bahkan, lebih tegas lagi,
Fromkin dan Rodman, Opcid., hal 307, mengutip: "When I asked 'What walks on
four legs in the morning, two at noon, and three in the evening', you answerd,
'Man'. You didn't say anything about women. When you say Man, ... you include
women too. Everyone knows that." Lihat juga konsep gender dalam Crystal
(1985: 133-134).
9. Lih. D. Spender, Man Made Language (London: Routledge & Kegan Paul, 1980).

Daftar Pustaka

Bhasin, K. 1990. What is Patriarchy. New Delhi: Kali for Women.

Budiman, A. 1981. Pembagian Kerja secara Seksual. Jakarta: PT Gramedia.

Coates, J. 1986. Women, Men and Language: A Sociolinguistic Account of Sex


Differences in Language. London: Longman.

Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya. 1997. Masalah dominasi gender dalam


Developmentalisme. Tempo Interaktif, II/16, 23 Juni.

Frank, F. dan F. Ashen. 1983. Language and the Sexes. New York: State University of
New York Press.

Jupriono, D. 1995. Kamus Kecil Istilah Studi Perempuan. Malang: Divisi Pemberdayaan
Perempuan, LP3K Multimatra.

Kirk, J. dan M.L. Miller. 1986. Reliability and Validity in Qualitative Research. Beverly
Hills: Sage Publication.
Kweldju, S. 1993. Penelitian seksisme bahasa dalam kerangka penelitian stereotipi
seks. Warta Studi Perempuan 4/1: 7--18.

Samsuri. 1996. Bahasa Indonesia, pemakaiannya, dan implikasi kemasyarakatannya.


FSU in the

Telaah Ketimpangan Gender dalam Bahasa Indonesia

D. Jupriono

dijadikan alam pria dan wanita


dua makhluk dalam asuhan dewata
ditakdirkan bahwa pria berkuasa
adapun wanita lemah lembut
manja ...
wanita dijajah pria
sejak dulu
(Ismail Marzuki, 1959?)

Pendahuluan: Masyarakat, Kebudayaan, dan Bahasanya

Benarkah bahasa Indonesia (BI) berjenis kelamin lelaki? Beragam jawaban bisa
disodorkan, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Di sini, BI
akan dibedah dari perspektif gender, sebagai matra sentral Feminisme. Dengan
perspektif gender, nanti akan dibuktikan bahwa BI lebih memihak penutur lelaki
ketimbang perempuan biarpun jelas sekali bahwa BI juga dituturkan oleh separuh
masyarakat wanita. Singkat kata, senang atau tidak, BI bias maskulin.

Mengapa BI memihak lelaki, inilah soalnya! Dengan sedikit penyederhanaan, boleh


dikatakan bahwa pembiasan gender itu terjadi karena masyarakat Indonesia juga
meletakkan lelaki pada tataran lebih tinggi di atas perempuan. Mengapa masyarakat
"menjunjung" lelaki dan "menjinjing" perempuan? Mengapa tidak sebaliknya? Atau,
mengapa pula keduanya tidak diletakkan dalam garis egaliter? Karena, kebudayaan
yang dihasilkan dan diikuti masyarakat pun memihak lelaki!

Kebudayaan? Di sinilah kita mendudukkan kebudayaan sebagai terdakwa, seakan-


akan yang salah memang budayanya. Dalam pengertian yang luas, apa yang disebut
kebudayaan mencakup seluruh aktivitas noninstingtif masyarakat tertentu. Pengertian
bahwa kebudayaan adalah kesenian, seperti yang banyak dipahami orang selama ini,
merupakan pengertian yang sempit dan disempitkan. Aktivitas noninstingtif--yang hanya
bisa diperoleh dengan belajar--berwujud gagasan, tindakan, dan benda karya budaya.
Yang termasuk di dalamnya adalah peralatan dan perlengkapan hidup, sistem ekonomi
dan mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek), kesenian, sistem religi, dan bahasa (Koentjaraningrat, 1964: 79). Untuk diskusi
ini, kenyataan bahasa sebagai salah satu unsur bagian dari budaya perlu
digarisbawahi.

Di samping sebagai bagian, bahasa juga merupakan wahana budaya. Sebagai wahana
budaya, bahasa akan merekam semua aktivitas masyarakatnya. Bahasa adalah cermin
budaya. Maka, bahasa pun tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur budaya lain di
masyarakat itu.1) Itulah sebabnya, jika ingin mengetahui unsur-unsur budaya suatu
masyarakat secara keseluruhan, orang harus mempelajari bahasa masyarakat yang
bersangkutan sebagai konteksnya. Ingat, "bahasa menunjukkan bangsa". Dalam hal ini,
menarik diungkap di sini keyakinan J.H. Greenberg (Samsuri, 1986) bahwa: "Language
may no longer be conceived rather be viewed as part of the whole and functionally
related to it."

Telaah Interdisipliner: Metode dan Rumusan Masalah

Telaah ini menerapkan ancangan (approach) kualitatif etnografis. Dengan ancangan ini,
data yang diambil tergolong data lunak (soft data), berupa tuturan bahasa, dan bukan
angka-angka (Kirk dan Miller, 1986). Sumber data dalam telaah ini diambil dari latar
alami (natural setting), yakni tuturan alamiah keseharian. Instrumen yang dipakai
adalah kemampuan penelaah itu sendiri. Sebagai human instrument, manusia dapat
menghasilkan data berketerpercayaan cukup tinggi sebab hanya manusia sendirilah
yang sanggup memahami keseluruhan konteks dan perilaku kehidupannya. Dilihat dari
kemurniannya, telaah ini bersifat interdisipliner, antara Linguistik dan Studi Perempuan
(Women Study). Dengan ini, akan dipersoalkan perihal tersubordinasinya perempuan
oleh dominasi lelaki, keterpurukan nasib perempuan dalam bayangan cengkeraman
kekuasaan lelaki--sebagai cermin paling mencolok dari apa yang biasa disebut sebagai
ketimpangan gender, sebagai kaki tangan ideologi patriarki.2)

Bagaimana cara mencandra semua masalah di atas--inilah soal metodologisnya. Soal-


soal sosial-politik, hukum, interaksi manusia, kekuasaan (termasuk kekuasaan lelaki
atas perempuan), lazimnya disoroti dengan pendekatan perilaku (behavioral approach).
Dengan pendekatan ini yang dicandra adalah perbuatan, tindakan, kekerasan, dst.
masyarakat. Untuk telaah ketimpangan gender pun, ini tidak keliru.3) Akan tetapi, jelas
sekali bahwa dengan begitu ketimpangan ini lebih banyak disoroti dari sisi perilaku
masyarakatnya saja, yang membentuk realitas sosiobehavioral, Padahal, survei
membuktikan bahwa ketimpangan gender juga dapat disorot dari segi kebahasaannya,
yang akan membentuk realitas simbolis. Dari segi kebahasaan, penyorotan akan
dilakukan dengan pendekatan verbal (verbal approach), yang sebenarnya sudah sering
diterapkan orang.4) Pendekatan verbal bisa membuktikan bahwa "lelaki menang,
perempuan kalah" dapat dilihat dari bahasanya.Dengan pendekatan verbal, data verbal
yang masuk akan dikaji dengan analisis isi (content analysis). Teknik ini akan dilengkapi
dengan domain analysis, terutama dalam menyusun kategorisasi data. Topik bincang
dalam tulisan ini adalah "Bagaimana saja wujud ketimpangan gender yang terungkap
dalam bahasa Indonesia?".

Wujud Ketimpangan Gender Masyarakat dalam Bahasa Indonesia

Ketimpangan gender dalam bahasa Indonesia terungkap dalam wujud: nama penanda
status keluarga/perkawinan, penyebutan keberadaan atau tindakan, keniscayaan
struktur, dan inisiatif pengucapan. Masing-masing akan dibahas dalam bagian berikut.

Pemakaian Nama Penanda Status Keluarga/Perkawinan

Sejak lahir dari guwagarba sang ibu, manusia sudah dikotak-kotakkan ke dalam
gender: "lelaki" dan "perempuan". Setiap anak harus tunduk pada orang-tuanya. Untuk
melanggengkan eksistensi keluarga, pada beberapa suku, etnis, dan kelompok sosial
lain, terdapat adat mencantumkan nama ayah--dan bukan nama ibu!--di belakang nama
anak. Atau, jika pada komunitasnya tidak mengenal adat itu, saat dewasa yang dipilih
sebagai nama tambahan adalah nama ayah dan bukan ibu. Misalnya seorang anak
lelaki bernama Bambang dan anak perempuan bernama Linda, berayahkan
Notosusanto dan beribukan Juminten. Jika Bambang dan Linda sudah dewasa, dan
ada keinginan untuk melanggengkan nama orang-tua, yang dipilih untuk ditambahkan
adalah Notosusanto dan bukan Juminten. Maka, terbentuklah nama Bambang
Notosusanto dan Linda Notosusanto. Rasanya betapa ganjilnya jika dipilih *Bambang
Juminten dan *Linda Juminten. Alih-alih dengan itu, seorang artis yang bernama Lisa A.
Riyanto, misalnya, hampir bisa dipastikan ia anak dari komponis A. Riyanto yang sudah
almarhum itu.

Setelah berumah tangga, nasib lelaki dan perempuan masih tetap tidak sama. Seorang
istrilah yang lazim menambahi namanya dengan nama suaminya, dan bukan
sebaliknya: suami menambahi namanya dengan nama istrinya--sungguh mustahil!
Maka, yang ada Tien Soeharto dan bukan *Soeharto Tien.

Penyebutan terhadap Keberadaan dan Tindakan

Nasib perempuan dan lelaki tidak sama, termasuk dalam hal menerima sebutan,
predikat, atau julukan untuk suatu tindakan atau keberadaan. Ketimpangan tersebut
dapat dipilah-pilah lagi ke dalam ketimpangan sebutan berikut.

Sebutan yang Maskulin dan Feminin

Beberapa kosakata sebutan klasik juga membelah manusia menjadi sebutan yang
bersifat feminin dan sebutan yang berbau maskulin. Untuk sebutan yang feminin kita
kenal, misalnya, "ibu kota, induk semang, nenek moyang, dewi malam ('bulan'), putri
malu (sejenis bunga), ibu pertiwi, dan ratu adil, dan bukan *bapak kota, *jago semang,
*kakek moyang, *dewa malam, *putra malu, *bapak pertiwi, dan *raja adil". Dengan
memakai ibu, induk, nenek, dewi, putri, dan ratu, nuansa kesan yang memancar adalah
kedamaian, kepasifan, ketenangan, kesabaran. Agaknya sudah menjadi "kodrat",
bahwa kata-kata ini diciptakan khusus buat yang serba pasif, diam, dan damai.

Sebutan yang bercorak maskulin berkesan menguasai, agresif, garang. Dalam


khasanah kosakata BI klasik kita temukan misalnya raja hutan ('singa, macan'), raja
siang ('matahari'), dewa maut, dewa perang. Dalam kosakata BI kontemporer, untuk
sesuatu yang bersifat garang, pemberani, dan agresif itu, kita pakai raja jalanan ('suka
mengebut'), raja judi, raja copet, bapak pembangunan, bapak koperasi, bapak
pendidikan nasional, jago matematika, jago nggambar, dan jelas bukan *ratu judi, *ratu
copet, *ibu pembangunan, *ibu koperasi, *ibu pendidikan nasional, *babon matematika,
*babon nggambar.

Layak dipertanyakan kebenaran ini, memang. Siapa pun tahu, harimau atau singa yang
disebut raja hutan tadi belum tentu berjenis kelamin jantan, dan memang tidak harus
jantan; siapa pun sulit menolak realitas bahwa seorang siswa yang dipredikati jago
matematika belum tentu berkelamin lelaki. Pak Harto disebut-sebut sebagai "Bapak
Pembangunan", Bung Hatta "Bapak Koperasi", dan Ki Hajar Dewantara "Bapak
Pendidikan Nasional". Semua setuju. Masalahnya, andai saja--memang hanya andai--
pelopor pembangunan itu Mbak Mega, perintis koperasi itu Mbak Tutut, dan tokoh
pendidikan itu Bu Toeti Heraty, apakah kita sportif menyebut ketiga beliau itu sebagai
"*Ibu Pembangunan", "*Ibu Koperasi", dan "*Ibu Pendidikan Nasional"? Saya tidak
berani berspekulasi. R.A. Kartini pun belum pernah disebut "Ibu Pendidikan" atau
sebutan lain yang tidak menuansakan bias gender lelaki.

Sebutan Pelecehan Martabat

Gejala penghalusan pengucapan sesuatu--biasa disebut eufemisme--kadang memang


menerbitkan kesan sopan, tenang, indah, anggun. Seseorang yang sedang makan
siang bersama, dan tiba-tiba perutnya mules, misalnya, ia toh tak mungkin mengatakan
"Maaf, saya mau berak" jika ia belum siap dituduh tidak sopan. Ia mesti menghaluskan
pengucapannya: "Maaf, saya mau ke belakang". Tentu saja, semua yang makan siang
itu benar-benar menyadari bahwa acuan berak dan ke belakang adalah kurang lebih
sama saja. Akan tetapi, konotasi yang muncul berbeda. Dalam konteks seperti ini
eufemisme menemukan tempatnya untuk diterapkan.p> Bagaimana eufemisme dalam
pemartabatan lelaki-perempuan dalam dunia "kerja"? Masih tepatkah digunakan? Tidak
semuanya. Kata pelacur, karena dipandang vulgar, norak, menjijikkan, harus
"dihaluskan", diganti dengan wanita tunasusila atau WTS--dan justru singkatannya
inilah yang lebih populer. Jadi, orang bisa menepuk dada, seakan di Indonesia tak ada
pelacur lagi, yang ada hanyalah wanita-wanita tuna susila saja. Perasaan menjadi lega.
Bahwa kebanggaan ini baru berada dalam tataran slogan, dan dalam realitasnya tetap
saja "emangnye gue pikirin", itu soal lain.

Sehubungan dengan kajian ini, jika kata WTS digencarkan dan pelacur dihapus,
apakah ini berarti bahwa yang nakal perempuan saja, sedangkan lelaki tak ada yang
tunasusila? Padahal, adalah fakta bahwa "pria penghibur", "bawon", "gigolo", "teko",
"bandot", memang ada. Inilah cermin paling buruk dari pelecehan gender yang
menempatkan perempuan pelacur pada posisi yang lebih terlecehkan, sekalipun lakon
yang dijalani sama persis dengan lelaki pelacur. Dengan demikian, layak sekali jika
perempuan Indonesia tersinggung.5) Ini diskriminasi perlakuan seksual.

Lalu, bagaimana? Jika istilah WTS tetap dipertahankan, harus ada kata khusus untuk
menunjuk pada lelaki pelacur. Jika boleh, saya akan mengusulkan istilah "pria
tunasusila" atau PTS untuk yang satu ini. Masalahnya, jika PTS dipilih, mahasiswa
perguruan tinggi "luar negeri" se-Indonesia akan memprotes keras. Dan, saya belum
siap diprotes. Maka, ganti lagi dengan yang lain, semisal "lelaki tunasusila" atau LTS.
Dengan ini pembagian kerja secara seksual benar-benar ada dan adil. Lain lagi jika
dipandang tidak usah ada tambahan istilah semacam LTS itu, WTS pun mesti dihapus,
dan diganti dengan kata baru lagi yang netral, yang mampu mewadahi baik WTS
maupun LTS. Atau, barangkali kembali ke pelacur lagi. Untuk ini, bagaimana kalau
saudara-saudara kita yang masih menderita itu kita sebut saja "manusia tunasusila"
(MTS). Masalahnya lagi, ini jelas memerahkan telinga saudara kita yang belajar,
mengajar, atau alumni madrasah tsanawiyah. Begini saja: orang tunasusila (OTS)?

Degradasi Konsep Martabat

Dengan degradasi, makna kata menjadi enteng, remeh, bahkan ujung-ujungnya bisa
melenceng dari konsep dasarnya. Degradasi terhadap perjuangan kerja perempuan,
misalnya, akan sering muncul di sekitar kita, yang memang merupakan masyarakat
patriarkis. Karena beban kondisi ini, saya sering melihat kekikukan ibu pekerja ("wanita
karier", WK) berpenghasilan tinggi, bahkan sebagian dari mereka melebihi gaji
suaminya, manakala saya tanyakan berapa gajinya. Mengherankan, gaji tinggi melebihi
suami kok malu. Apa salahnya? Perhatikan kutipan wawancara berikut!

Saya: Wah gajinya besar dong. Cepet kaya, Bu, nanti.

WK : Ah, nggak juga. Itu kan menurut situ.

Saya: Gaji segitu besar lho, Bu. Ini kan di atas gaji suami.
Hebat.

WK : Ah, saya kan cuma istri. Jadi, hanya sekadar membantu suami
saja.

Pernyataan "cuma istri, hanya sekadar membantu suami" merupakan pantulan dari
rasa kikuk mereka. Pernyataan ini melemahkan realitas yang sesungguhnya: bahwa
mereka benar-benar menolong suami dari banting tulang mencukupi kebutuhan, jadi
tidak sekadar melengkapi, tetapi benar-benar menyelamatkan ketahanan ekonomi
keluarga, sebagai survival strategy. Mereka malu mengakui. Toh mereka merasa
hanyalah figuran pendamping belaka, semantara suami tercinta adalah aktor utama
kepala keluarga. Padahal, mereka banar-benar bekerja! Itu memang hak dan buah
kegigihan mereka.

Kebanyakan dari mereka mengidap semacam "sindrom takut sukses" (fear of success
syndrom), khawatir menyaingi dan menyinggung suami. Aneh, tapi bukti berbicara
bahwa tidak sedikit suami merasa terusik cengkeraman hegemoninya menerima
kenyataan ini. Adalah bukti juga bahwa biarpun bergaji lebih kecil, jadi memang hanya
sekadar membantu--dalam arti yang sesungguhnya--seorang suami memilih berkelahi
ketimbang harus mengakui: "*Ah, saya ini 'kan cuma sekadar membantu penghasilan
istri?"

Sebutan Pembatasan Berkebebasan

Jika orang percaya bahwa lelaki dan perempuan diciptakan sama-sama dari tanah,
sama hak dan kewajibannya sebagai hamba Tuhan, semestinya tak ada lagi
pemasungan gender satu dan pemerdekaan gender lain. Dengan standar ganda ini,
perempuan dipaksa oleh kulturnya untuk selalu diam, patuh, mengalah, sebab ramai,
melawan, dan sifat agresif lainnya hanya boleh dilakukan oleh sesamanya yang
bergender lelaki. Berikut ini cuplikan obrolan ibu dengan anak perempuannya (AP) yang
hendak menuntut Pak Lurahnya yang telah memotong kiriman duit dari suami di
perantauan (Malaysia) perempuan itu, perhatikan!

Ibu: Kamu nggak bisa begitu. Bagaimanapun dia itu wong dhuwur
lho. Lurah kok mau dilawan.

Kita ini orang kecil, Nduk. Lagipula, kita itu kan perempuan
to. Dipikir ..., Nduk!

AP : Mbok, tapi ini kan duit laki saya. Jadi ya termasuk duitku
juga. Aku kan bininya.

Di Malaysia dia kan kerja keras. Apa dikira di sana dia


cuma kluyuran tok. Siang

malam dia kerja keras kayak kuda. Ee ... kok di sini


dipotong orang seenaknya.

Emangnya duit kakeknya!

Ibu: Kamu itu dinasihati kok sukanya ngeyel. Nduk, ingat kamu itu
perempuan lho. Cuma

perempuan. Nggak ada ceritanya, perempuan bisa menang.


Perempuan saja kok macem
-macem. Mbok tunggu saja nanti kalau lakimu sudang pulang.
Biar dia yang ngurus.

Ini urusan lelaki. Sementara diam dan nerimo saja.


Dalam fragmen wacana di muka dipertentangkan soal apa yang pantas dan apa yang
tabu dilakukan oleh perempuan. Soal gugat-menggugat--menggugat pak lurah lagi--
bukan kawasan garapan perempuan. Ini urusan lelaki. Dalam kasus ini AP dan Ibu tidak
hanya menderita karena mereka wong cilik (rakyat jelata), tetapi juga karena gender
mereka yang bukan lelaki. Maka, sempurna sudah kekalahan mereka. Masyarakat luas
menerima pandangan ini sebagai kebenaran. Maka, lelaki di sekitarnya akan
memandang AP sebagai perempuan aneh, bahkan tak tahu diri. Malahan, ibunya
sebagai sesama perempuan pun tidak berpihak kepadanya. "Perempuan saja kok
macem-macem," katanya. Inilah dampak nyata hegemoni ideologi patriarki.

Tentu saja, Ibu ini tak salah. Dia memang hidup dalam penjara budaya masyarakat
yang patriarkis, yang secara tegas menempatkan perempuan sebagai perawat sektor
domestik, sedang lelaki sebagai penguasa sektor publik (Budiman, 1981), dengan
imbangan penghargaan yang tak sama. Inilah produk paling diskriminatif dari
pembagian kerja secara seksual (sexual division of labour) (Beneria, 1979: 205).
Ungkapan bahwa soal menggugat pak lurah, ini urusan lelaki, dalam wacana di atas,
merupakan fakta yang tak terbantahkan dalam pembagian yang tak adil ini.

Sebagai bandingan, perhatikan dialog rekayasa berikut. Pada masyarakat yang


kebudayaannya berada dalam cengkeraman hegemoni lelaki, seperti lingkungan kita
ini, mungkinkah dialog antarlelaki berikut dapat kita temui?

*Gede: Sudahlah kita mengalah saja. Apa sih jeleknya orang


ngalah. Ingat kita ini kan lelaki. Masak mau menuntut pak lurah.
Kan nggak pantas.
*Bejo: Iya ya, ... kita 'kan lelaki. Lelaki saja kok macam-macam.
Pembagian kerja secara seksual juga menempatkan citra (image) apa yang selayaknya
pantas muncul dan apa yang haram nongol dalam wacana, percakapan, atau peristiwa
tutur lainnya. Realitas citra ini begitu kuatnya sehingga melembaga ke dalam berbagai
matra kehidupan, salah satunya dalam dunia pendidikan, khususnya dalam buku-buku
bacaan. Di sini masyarakat membangun stereotipe apa yang pantas untuk lelaki dan
apa yang boleh dilakukan oleh perempuan. Oleh karena itu, yang paling sering kita
baca dalam buku adalah contoh-contoh kalimat berikut.6)

 Ayah memperbaiki mesin mobil.


 Ibu menjahit baju.
 Ibu memasak di dapur.
 Adikku yang manis menimang boneka.
 Aku bermain layang-layang.
Gelegar sadar kemitrasejajaran membahana membubung tinggi saat ini. Semua pihak
menyadari bahwa pembagian kerja secara seksual itu tidak adil dan hanya membuang
sia-sia energi perempuan yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi pembangunan.
Akan tetapi, tindakan dalam wilayah semantis kultural misalnya bahasa yang
mendukung perobohan tembok ketimpangan gender itu belum muncul juga. Malahan,
kalau boleh menduga, pembakuan bahasa Indonesia lewat penerbitan buku Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) pada 1988 (edisi II 1993), entah sadar entah
tidak, boleh jadi justru merupakan upaya melanggengkan kemapanan status quo
hegemoni patriarki di masyarakat kita. Kalimat-kalimat yang dicontohkan, misalnya,
tampak benar tidak bebas muatan politik gender maskulin. Perhatikan kutipan dari
TBBBI berikut.

1. Ayah sudah berangkat ke kantor. (hal. 427)


2. Siti masih sering pulang malam, atau malah pagi buta. (438)
3. Ibunya terus menjahit sampai tengah malam sungguhpun dia telah merasakan
adanya kelainan dalam dadanya. (460)
4. Ibu sedang memasak, sedangkan ayah sedang membaca koran. (463)
5. Suami Lastri baru pulang dari Amsterdam. (473)
6. Dokter H. Kamaruzzaman (52 tahun), Direktur RSU Dr. Zainal Abidin, Banda
Aceh, Jumat malam meninggal secara mendadak. (477)
7. Aku suka kepada wanita itu sebagai sekretaris, dan dia sangat menyenangkan
sebagai kawan, tetapi jelas akan menyusahkan sekali sebagai kawan hidup.
(478)

Contoh-contoh ini diambil secara acak dari dua bab terakhir, yang memang membahas
kalimat dan wacana. Akan tetapi, jika bab-bab lain ditelaah, hasilnya sama saja. Kalau
dicermati, tampak benar bahwa kalimat-kalimat ini memang bias gender: memihak
lelaki, menohok perempuan. Pada kalimat (1), apakah yang bekerja di kantor hanya
dimonopoli ayah? Kalimat (2) pembaca pasti menarik kesan negatif pada Siti yang pasti
perempuan itu. Coba diandaikan, jika Siti diganti Suto (ini pasti lelaki) apakah yang
muncul tetap kesan minor? Mengapa hanya lelaki yang pantas begitu? Kalimat (1), (5),
(6), dan (7) mengukuhkan lelaki melenggang di sektor publik (public sphere),
sedangkan pada kalimat (2), (3), dan (4) perempuan dipaksa berkutat di kesumpekan
kawasan domestik (domestic sphere).

Bahwa contoh-contoh kalimat itu ditulis hanya secara kebetulan, itu mungkin saja. Akan
tetapi, semua penulis TBBBI adalah masyarakat Indonesia, hidup bergumul dengan
masyarakat yang mendominankan nilai lelaki dan mensubordinasikan nilai perempuan.
Jadi, jika mereka terperangkap dalam budaya patriarki seperti itu, ini bukan barang
aneh. Apalagi--harap tahu saja--92% dari tim penyusunnya lelaki tulen, hanya seorang
yang perempuan.7) Sebutan Negatif, Sebutan Positif Berdasarkan kategori ini, kesan
remeh, sepele, kecil, yang hanya mengganggu saja, pantas dikenakan pada
perempuan. Sementara, mitos soal-soal besar, penting, yang menentukan segalanya,
hanya layak untuk lelaki. Padahal, dalam kenyataan lelaki pun sama saja, bahkan
mungkin lebih negatif, dari perempuan. Begitulah, karena yang distereotipekan cerewet
adalah perempuan, muncullah ungkapan "dasar mulut nenek-nenek" atau "dasar mulut
perempuan", dan bukan "*dasar mulut kakek-kakek" atau "*dasar mulut lelaki". Padahal,
menurut pengamatan D. Spender (1980), lelakilah yang mendominasi pembicaraan,
melontarkan interupsi, sementara perempuan dicatat lebih banyak bertanya
menanggapi lelaki.

Kenyataan yang menguntungkan diterima oleh kaum lelaki. Jika ungkapan mulut
perempuan, dasar betina, misalnya, menempati kesan buruk, tidak demikian halnya
dengan bersikap jantan. Bahkan, meskipun dasar laki-laki sebenarnya juga minor,
posisinya terkesan lebih "mahal" di atas dasar betina, misalnya. Sebutan Penstandaran
Gender Adalah realitas kehidupan bahwa di dunia ini selalu ada sesuatu yang berada
dalam garis kontinum. Kontinum standar "besar", misalnya mencakup dari sangat
besar, agak besar, agak kecil, sampai sangat kecil; demikian juga "berat", "tinggi", dan
"banyak", dll. Dalam kontinum tersebut, lazimnya yang dipakai sebagai ukuran (standar)
adalah posisi yang mayor (berat, tinggi, besar, banyak, tebal) dan bukan yang minor
(ringan, rendah, kecil, sedikit, tipis). Oleh karena itu, dalam percakapan tentang berat
badan dan tebal papan, misalnya, kalimat yang mungkin muncul adalah "Berapa berat
badanmu?" dan "Tebal papan kayu ini 0,15cm", dan pasti bukan "*Berapa ringan
badanmu?" dan "Tipis papan kayu ini 0,15cm." (biarpun 0,15cm itu memang tergolong
relatif tipis). Mengapa demikian? Ya, memang begitu: bahwa yang ditetapkan sebagai
standar pasti yang mayor, bukan yang minor!

Bagaimana dalam ranah pergenderan? Ini baru masalah! Seperti diketahui, hakikatnya,
hanya ada dua kontras gender: lelaki >< perempuan, feminin >< maskulin, jantan ><
betina. Oleh karena itu, tidak bisa konsep dasar dikotomi gender ini ditempatkan pada
garis kontinum; hakikatnya, memang tidak ada "*sangat lelaki", "*agak perempuan",
"*lebih betina", misalnya. Akan tetapi, lain konsep, lain fakta. Dalam realitas empiris,
kelompok gender lelaki/maskulin selalu dijadikan ukuran, rujukan, bandingan, standar.
Maka, untuk memandang gender perempuan/feminin pun, standar bakunya juga
kebakuan lelaki/maskulin.

Barisan lelaki dianggap superior, tegar, dan rasional, sedangkan perempuan selalu
ditempatkan pada stereotipe emosional, sentimentil, cengeng, malu-malu. Barangkali,
inilah sebabnya mengapa yang ada adalah "putri malu" dan bukan "*putra malu". Oleh
karena itu, jika seorang perempuan terlihat malu-malu, itu sudah semestinya, sudah
"kodrat".8) Maka, yang pantas menduduki posisi kepala keluarga adalah ayah dan
bukan ibu.

Sebagai standar, segala perilaku lelaki yang distereotipekan masyarakat harus diikuti,
jika ingin disebut jantan atau lelaki sejati. Seorang lelaki harus bersikap laki-laki. Lelaki
yang terkesan klemar-klemer, lamban, pasif, kewanita-wanitaan akan dipandang
negatif: "Lelaki kok begitu". Sebaliknya, seorang perempuan yang "tomboy", yang
kelaki-lakian--asal tidak terlampau jauh saja, asal masih mau dandan dan berparfum--
menerima nasib yang berbeda, yang tidak negatif. Maka, kesan apa yang muncul
mendengar/membaca kalimat-kalimat berikut?
8. Doni mengenakan rok mini.
9. Dina memakai celana.
10. Cowok atletis itu malu-malu, grogi, keluar keringat dinginnya.
11. Cewek seksi itu tampil yakin dan penuh percaya diri.

Lelaki pakai rok? "Ah, yang bener aja!" Bisa-bisa yang bersangkutan dianggap miring.
Umumnya orang, entah lelaki entah perempuan, akan berkonotasi negatif terhadap
kalimat (8) dan (10). Sebab, "rok mini, malu-malu, grogi" bukan standar. Itu 'kan khas
perempuan. Jangan lupa, yang berbau perempuan itu nonstandar. Bukankah
standarnya selalu "celana, yakin, PD", sebagai akibat dari penetapan gender lelaki
sebagai standar? Sebaliknya, terhadap Dina dan cewek seksi itu pada kalimat (9) dan
(11), orang akan mempersembahkan konotasi positif, sebab ciri-ciri yang disosokkan
kedua perempuan itu sudah maskulin, artinya sudah standar.

Inilah biang kerok persoalan realitas simbolis bahasa: bahwa jika disebut mahasiswa,
yang dimaksud adalah baik mahasiswa lelaki maupun mahasiswa perempuan, tetapi
jika yang disebut mahasiswi, yang dimaksud pastilah hanya mahasiswa perempuan.
Maka, orang pun latah, dan khawatir: jika hanya disebut "wartawan", "sastrawan",
"polisi" saja, apakah orang sudah paham pasti; ini harus ditegaskan lagi, jika yang
dimaksud adalah oknum perempuan, sehingga menjadi wanita wartawan , sastrawan
wanita, dan polisi wanita (polwan). Realitas simbolis ini memantulkan anggapan diam-
diam bahwa jurnalistik, sastra, dan kepolisian itu seakan-akan sektor garapan lelaki,
bukan kodratnya perempuan. Dalam kebudayaan Barat, bahkan lebih gila lagi; ini
tercermin dalam bahasanya juga.9)

Lelaki memang menjadi standar. Dalam bahasa Inggris, misalnya, untuk menyebut
manusia pada umumnya, orang meminjam kata man, dan bukan woman. Artinya, kalau
disebut man, yang dimaksud adalah 'baik lelaki maupun perempuan', akan tetapi jika
disebut woman, yang diacu pastilah 'hanya perempuan'. Sebab, sekali lagi, lelaki itu
standar, sedang perempuan substandar, "belum manusia utuh". Maka, layak saja,
ketika D. Spender bermaksud menggambarkan bahwa manusialah pencipta bahasa,
sebenarnyalah tersirat juga anggapan bahwa yang lebih banyak menentukan adalah
lelaki. Denggan kondisi ini, Spender mesti meminjam dulu kata man, dan bukan
woman, untuk konsep manusia. Maka, ia menjuduli bukunya Man Made Language
(1980), dan bukan *Woman Made Language.10)

Keniscayaan Struktur akibat Konvensi Kebudayaan Masyarakat

Dalam kebudayaan kita, ada kesepakatan legal membudaya bahwa yang bisa
"mengawini" dan "menceraikan" adalah lelaki, sedangkan perempuan, sabar atau tidak,
hanya bisa "dikawin" dan "diceraikan" saja. Dalam keadaan terpaksa, pihak perempuan
yang merasa sudah tidak percaya lagi pada lelaki, akan bertindak aktif dan menuntut.
Biarpun begitu, tetap saja, dia hanya bisa "minta dikawin" dan "minta diceraikan".
Undang-undang perkawinan (katanya sih) begitu. Maka, langsung bisa ditebak siapa
yang diacu "saya", "aku", "kamu", dan "dia" dalam kalimat-kalimat berikut.
1. Saya mau mengawinimu asal kamu tidak menuntut macam-macam.
2. Seandainya sekadar boros dan cerewet saja, aku masih bisa menerima. Tapi,
masalahnya dia itu selingkuh. Maka, tak ada pilihan lain, aku akan
menceraikannya, meskipun sebenarnya aku masih cinta.

Bagaimana seandainya pihak perempuan yang lebih kaya, berkuasa, berkedudukan,


lebih tinggi statusnya daripada lelaki? Selama jarum sejarah budaya masyarakat masih
berputar pada lingkaran ideologi patriarki, obsesi perempuan untuk dapat mengawini
dan menceraikan lelaki benar-benar bagai menunggu tenggelamnya perahu gabus atau
terapungnya batu. Sungguh utopis!

Dalam tuntutan struktur bahasa, sepanjang ada fungsi gramatikal subjek (S), predikat
(P), kemudian juga objek (O) dan keterangan (K), dengan pola urutan ketat P-O dengan
letak S dan K manasuka, kalimat "*Leli mengawini Joko" atau "*Joko dicerai Leli", apa
salahnya. Tetapi, soal bahasa bukan hanya struktur, melainkan juga realitas kultur.
Dalam kultur masyarakat kita, seorang perempuan dapat "kawin dengan", "minta cerai
dari", "bercerai dari", dan "diceraikan oleh", tetapi tidak dapat "mengawini" atau
"menceraikan" lelaki (Moeliono & Dardjowidjojo, 1988; Alwi dkk., 1993). Maka, kalimat
semacam "Joko mengawini Leli" atau "Leli diceraikan Joko" berada dalam keniscayaan
struktur. Kepastian struktur ini mengukuhkan dirinya karena kultur, bukan karena
struktur.

Inisiatif Ekspresi dalam Komunikasi

Entah sampai kapan, kebiasaan yang dianggap wajar dan baik adalah lelakilah
pengambil inisiatif pertama, sedang perempuan hanya pantas menunggu dan
merespon inisiatif sang lelaki pujaan. Tugas masing-masing terbelah tegas: lelaki
beraksi, perempuan bereaksi. Oleh karena itu, dalam dunia komunikasi (pergaulan,
perpacaranan, perkencanan), misalnya, yang sering terjadi adalah lelaki yang
mengungkapkan cinta lebih dulu, lelakilah yang mengirimi surat cinta lebih dulu. Ini
menunjukkan bahwa inisiatif ekspresi atau prakarsa pengucapan berada di tangan
lelaki. Mustahilkah perempuan menyatakan perasaan cintanya terlebih dahulu? Tidak
juga. Memang terjadi dan tidak hanya satu dua. Tetapi, jelas bahwa yang oleh
masyarakat dianggap wajar dan pantas memulai, memprakarsai, dan berinisiatif adalah
pihak lelaki. Bahwa setelah mereka resmi pacaran, atau resmi nikah, perempuan
mendahului "menyergap" itu soal lain. Perempuan yang "kebelet" nekat terus terang
menyatakan perasaannya terlebih dahulu ("Aku cinta kamu") harus siap disoroti dengan
nada minor: Perempuan kok begitu! Tetapi, makhluk Tuhan yang satu ini tak kehabisan
taktik. Dia menyiumpan sebuah rekayasa simbolis: tetap lebih dahulu menyatakan
perasaannya, tetapi tidak transparan, "tidak langsung buka kulit, tampak isi". Biasanya,
ia akan menyelubungi gejolak perasaan yang diekspresikan dengan kata-kata samar,
dibantu dengan sikap sedikit malu-malu, isyarat dan perhatian, dan pilihan konteks
situasi yang tepat. Repotnya kalau sang lelaki tidak segera menangkap isyarat itu,
entah karena memang lelaki ini tergolong tidak mengerti, bebal, goblog, atau mungkin
sebenarnya mengerti, tetapi pura-pura tidak tahu: sungguh celaka!
Inisiatif ekspresi semacam ini merupakan sebuah konvensi budaya. Maka, pembaca
atau pendengar mana pun segera dapat menarik implikasi konvensionalnya (Samsuri,
1996): siapa yang dirujuk oleh kata aku (ku) dan dia (ia) dalam kutipan berikut. Aku
sangat mencintainya. Jika nanti sudah menjadi milikku, akan kusayangi dia. Akan
kucium keningnya. Kubelai rambutnya dan kuremas jarinya yang lentik itu. Tetapi, aku
ragu, apa dia mau. Meskipun tidak disebut eksplisit siapa "aku" dan "dia" dalam kutipan
ini, orang tidak akan salah menangkap siapa "aku" dan "dia" tersebut: "aku" pasti lelaki
dan "dia" niscaya perempuan, lain tidak. Mengapa? Ya itu tadi, budaya masyarakat
telah memagari simbol dan mempedomani interpretasi terhadap simbol-simbol bahasa
itu.

Simpulan: Mau ke mana Bahasa Indonesia?

Ketimpangan gender masyarakat Indonesia tercermin ke dalam BI berwujud:

(1) penambahan nama sebagai penanda status keluarga/perkawinan;

(2) penyebutan keberadaan dan tindakan, meliputi:

(a) sebutan kemaskulinan dan kefemininan,

(b) sebutan pelecehan martabat,

(c) sebutan degradasi konsep dasar martabat,

(d) sebutan pembatasan berkebebasan,

(e) sebutan kenegatifan dan kepositifan, dan

(f) sebutan penstandaran gender;

(3) keniscayaan struktur akibat konvensi kebudayaan, dan

(4) inisiatif ekspresi dalam komunikasi.

Quo vadis ketimpangan gender ini? Dari keempat deskripsi ketimpangan gender dalam
BI ini, tampaknya yang mungkin bisa berubah adalah penambahan nama penanda
status, sebagian penyebutan keberadaan dan tindakan, dan inisiatif ekspresi.
Perubahan ini akan terjadi sejalan dengan perubahan masyarakat berikut nilai,
pandangan hidupnya, khususnya terhadap eksistensi gender. Ada gejala sebagian
perempuan karier tidak lagi menambahi namanya dengan nama ayah atau suaminya.
Sebutan pelecehan martabat gender, semacam WTS, bisa jadi akan tergeser sejalan
dengan kesadaran perempuan bahwa yang bisa bertuna susila bukan hanya monopoli
perempuan. Apalagi inisiatif ekspresi, sekarang rasanya bukan aneh jika perempuan
lebih dulu menyatakan cintanya. Sekalipun yang terakhir ini lebih merupakan kasus
parsial sporadis belaka, bisa diprediksikan pada masa-masa mendatang fakta ini akan
berkembang, sejalan dengan semakin samar dan relatifnya nilai moral masyarakat,
terutama dalam menyikapi gender, dalam arus globalisasi budaya yang kian "nyah-
nyoh" (permisive) ini.

Konvensi budaya menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mendudukkan


lelaki di atas segala-galanya. Dengan begini, konvensi masyarakat memposisikan lelaki
sebagai standar mutu, baik dalam memandang lelaki maupun perempuan. Konvensi ini
juga telah menarik garis tegas stereotipe lelaki dan stereotipe perempuan dengan hasil
yang sudah jelas sama-sama kita sadari: ketimpangan gender. Dalam posisi yang
serba timpang ini, lelaki mendominasi, sedang perempuan tersubordinasi, ke dalam
peran-peran yang dikontrol oleh cengekeraman hegemoni lelaki.

Karena bahasa mewadahi realitas masyarakat yang timpang seperti itu, bahasa
Indonesia berada dalam genggaman lelaki. Dengan demikian, bahasa ini mungkin
bergender lelaki. Sampai kapankah bahasa kita berkelamin lelaki? Sampai kapankah
dendang lagu "... wanita dijajah pria ... sejak dulu" terus kita nikmati? Kita tak mungkin
menjawabnya "Belum tahu dia!" sebab persoalan ini menyangkut semua segi
kehidupan masyarakat, tempat BI digunakan dan peluang BI mewahanai kehidupan itu.

Catatan

1. Dengan begini, pada sisi satu bahasa merupakan bagian budaya, sedangkan
pada sisi lain ia menjadi wahana, wadah, dan alat budaya. Keunikan ini
membuktikan bahwa bahasa itu "bermuka dua". Periksa: Samsuri, ".
Kebudayaan, masyarakat, dan bahasa Indonesia. Buletin Yaperna, Berita Ilmu-
ilmu Sosial dan Kebudayaan, 1975: 14--23; juga dalam "Kebudayaan dan
Bahasa Indonesia", Kertas Kerja Seminar Bulan Bahasa di FPBS IKIP Malang,
28 Oktober 1986.
2. Ideologi patriarki memandang bahwa wanita itu inferior, lemah, bodoh, tak
berdaya, dan hanya bisa bergantung pada lelaki, maka demi kelangsungannya
mereka harus "dibimbing" (baca: dikuasai!) terus-menerus oleh lelaki yang
dianggap lebih superior, kuat, pintar. Lihat Arief Budiman, Pembagian Kerja
Secara Seksual (Jakarta: PT Gramedia, 1981). Konsep ini dekat dengan
seksisme, ketimpangan gender, dominasi lelaki, subordinasi perempuan,
supremasi kekuasaan lelaki, dan hegemoni pria.
3. Banyak sekali kajian yang menerapkan pendekatan perilaku, sekadar contoh:
Mies Grijns dkk., "Gender, Marginalisation and Rural Industry", Warta Studi
Perempuan, Vol. No. , 1994; Muh. Asfar, "Wanita dan Politik: antara Karir Pribadi
dan Jabatan Suami", Prisma XXV/5, Mei 1996.
4. Dengan pendekatan verbal, ketimpangan gender dalam bahasa Inggris dikaji
oleh Victoria Fromkin dan Robert Rodman, An Introduction to Language, Edisi V,
Cet. V (Fort Worth: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1993), khususnya bab
"Language in Society", subbab 'Language and Sexim' (hal. 306--312); tinjauan
sekilas terhadap ketimpangan gender dalam bahasa Inggris dan Indonesia, lih.
Siusana Kweldju, "Penelitian Seksisme Bahasa dalam Kerangka Penelitian
Stereotipi Seks", Warta Studi Perempuan, Vol. 4, No. 1, hal. 7--18, 32; juga
Kweldju (1991).
5. Inilah salah satu tajuk bincang Samsuri dalam orasi ilmiahnya pada Rapat Senat
Terbuka Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dalam rangka dies natalisnya
yang ke-38, 24 Agustus 1996, dimuat dalam jurnal FSU in the Limelight, Vol. 5,
No. 1, Oktober 1996, hal. 1--14.
6. Dalam hal ini saya (dkk.) pernah mengadakan penelitian tentang ini berjudul
"Ideologi Gender-Patriarki dalam Buku Teks Bahasa Indonesia Sekolah Dasar"
(Divisi Pemberdayaan Perempuan, LPK2I, 1994). Temuan penelitian itu adalah
bahwa 74% dari semua buku teks pelajaran Bahasa Indonesia untuk SD, terbitan
dari 17 penerbit penerbit di Jawa Timur dan jawa Tengah, selalu menempatkan
pelaku lelaki (bapak, abang, aku) pada sektor atau tindakan yang secara
stereotipis layak dilakukan oleh maskulin (memperbaiki mesin, bermain layang-
layang), sebaliknya selalu memposisikan perempuan terpuruk dan berkutut
dalam sektor dan tindakan yang stereotpe feminin (memasak, bermain boneka).
7) TBBBI edisi I (1988), dari 11 penyusun, hanya 1 orang saja yang perempuan
(W.H.C.M. Lalamentik, Ph.D.). TBBBI edisi II (1993), dari 14 pakar bahasa yang
memberikan saran penyempurnaan, hanya 2 orang yang perempuan. Inilah
sumber kecurigaan bahwa gender lelaki mendominasi perempuan dan itu
membayangi contoh-contoh kalimat pada buku itu.
7. Bagi pejuang Feminisme Liberal dan Feminisme Radikal, hanya ada tiga hal
yang bisa dikategorikan ke dalam "kodrat wanita", yaitu menstruasi, melahirkan,
dan menyusui--sesuatu yang memang hanya bisa "dilakukan" oleh perempuan.
Lih. S. Harding, The Science Question in Feminism (Ithaca, New York: Cornell
University Press, 1986). Dalam pandangan kelompok ini, mengasuh anak,
memasak, merawat rumah bukan monopoli perempuan, merupakan peran-peran
yang bisa berubah sesuai dengan budaya masyarakat (nurture), dan bukan
kodrat (nature) perempuan, sebab lelaki juga (harus) bisa.
8. Sebagai contoh, berikut ini dikutipkan beberapa saja. The American College
Dictionary (1947) mendefenisikan bahwa "doctor, n, ... a man of great learning".
Graduate School of Management UCLA (The Balloon XXII, 6) menulis: "A
businessman is agressive; a businesswoman is pushy .... A businessman is good
on details; she's picky ... He follows through; she doesn't know when to quit ... He
stands firm; she's hard .... He is a man of the world; she's been around .... He
isn't afraid to say what is on his mind; she's mouthy .... He exercises authority
diligenttly; she's power mad .... He's closemouthed; she's secretive. He climbed
the ladder of success; she slept her way to the top. Bahkan, lebih tegas lagi,
Fromkin dan Rodman, Opcid., hal 307, mengutip: "When I asked 'What walks on
four legs in the morning, two at noon, and three in the evening', you answerd,
'Man'. You didn't say anything about women. When you say Man, ... you include
women too. Everyone knows that." Lihat juga konsep gender dalam Crystal
(1985: 133-134).
9. Lih. D. Spender, Man Made Language (London: Routledge & Kegan Paul, 1980).

Daftar Pustaka
Bhasin, K. 1990. What is Patriarchy. New Delhi: Kali for Women.

Budiman, A. 1981. Pembagian Kerja secara Seksual. Jakarta: PT Gramedia.

Coates, J. 1986. Women, Men and Language: A Sociolinguistic Account of Sex


Differences in Language. London: Longman.

Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya. 1997. Masalah dominasi gender dalam


Developmentalisme. Tempo Interaktif, II/16, 23 Juni.

Frank, F. dan F. Ashen. 1983. Language and the Sexes. New York: State University of
New York Press.

Jupriono, D. 1995. Kamus Kecil Istilah Studi Perempuan. Malang: Divisi Pemberdayaan
Perempuan, LP3K Multimatra.

Kirk, J. dan M.L. Miller. 1986. Reliability and Validity in Qualitative Research. Beverly
Hills: Sage Publication.

Kweldju, S. 1993. Penelitian seksisme bahasa dalam kerangka penelitian stereotipi


seks. Warta Studi Perempuan 4/1: 7--18.

Samsuri. 1996. Bahasa Indonesia, pemakaiannya, dan implikasi kemasyarakatannya.


FSU in the

Ketimpangan Gender Pada Kosakata & Ungkapan Bahasa Indonesia


by D. Jupriono

20 Agustus 2009

Ambar Andayani 1
D. Jupriono 2

Beberapa kosakata dan ungkapan bahasa Indonesia mencerminkan bahwa: wanita pemelihara
kehidupan yang sabar, sedang lelaki penguasa kehidupan; perempuan selalu menjadi korban
dan disalahkan, sedang lelaki tidak dipersoalkan; jabatan, prestasi, organisasi, atau pekerjaan
biasanya diisi lelaki, jika diisi perempuan dianggap suatu “kelainan”; perempuan penerima
identitas, sedangkan lelaki pemberi identitas. Beberapa struktur gramatikal bahasa Indonesia
menunjukkan perempuan itu pasif, sedang lelaki aktif. Kosakata yang berkonotasi lelaki menjadi
standar untuk menyebut lelaki maupun perempuan. Dalam kebijakan institusional tergambar
jelas betapa perempuan masih menjadi beban masalah dan tidak pernah mencapai kesetaraan.
Beberapa ungkapan mencerminkan bahwa istri boleh berpenghasilan/berkedudukan melebihi
suami, tetapi tidak diakui.

Kata-kata kunci:
ketimpangan gender, kosakata, ungkapan, identitas, struktur gramatikal

Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan; artinya, bahasa hanyalah bagian dari
sekumpulan unsur dalam kebudayaan (kesenian, sistem religi, sistem ekonomi, sistem sosial,
dll.). Sebagai unsur, ternyata bahasa juga mewadahi segala kekayaan kebudayaan; dengan kata
lain, bahasa adalah cermin kebudayaan. Bagaimana watak kebudayaan suatu masyarakat
tercermin dalam bahasa yang digunakan dalam masyarakatnya (Hudson, 1986). Nilai-nilai
stratifikasi sosial yang mendominasi suatu masyarakat, misalnya, akan tampak dalam ragam
bahasa yang digunakan masyarakat yang mencerminkan hubungan tidak sejajar antarkelompok
dalam masyarakat (Spolsky, 2001).

Dalam Sosiolinguistik kita mengenal bermacam ragam bahasa dalam masyarakat. Apa yang
terjadi pada ragam bahasa masyarakat bukanlah hal yang tidak terkontrol atau variasi bebas,
akan tetapi selalu berhubungan dengan konteks sosial. Dikatakan oleh Labov, Bailey, dan
Trudgill bahwa “what earlier linguists had considered irregularity or ‘free variation’ in linguistic
behavior, can be found to show regular and predictable statistical patterns” (Saville-Troike,
1982). Ragam bahasa tersebut merupakan variasi yang terjadi pada masyarakat yang
merupakan aspek-aspek yang dihasilkan oleh penuturnya untuk berkomunikasi dalam
masyarakat.

Jika aspek penutur tersebut dipandang dari segi gendernya, akan didapat secara garis besar dua
ragam bahasa, yaitu ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa perempuan (Kweldju, 1993).
Dikatakan “secara garis besar”, sebab dari sudut pandang gender, realitas ragam bahasa
ternyata tidak hanya itu. Beberapa penelitian terakhir, misalnya, menunjukkan adanya ragam
bahasa kelompok homoseksual (gay dan lesbian) (Sari et al., 2003). Meskipun demikian,
pembahasan dalam tulisan ini dibatasi hanya pada perbedaan ragam bahasa lelaki dan
perempuan yang mengarah pada ketimpangan gender.

Fokus tulisan ini adalah ketimpangan gender yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Demi
kerincian, fokus ini akan dijabarkan ke dalam bagian-bagian berikut: (1) kajian teoretis
ketimpangan gender dalam bahasa dan (2) bentuk-bentuk ketimpangan gender pada kosakata
dan ungkapan dalam bahasa Indonesia.
Kajian Teoretis Ketimpangan Gender dalam Bahasa

Penelitian Coates (1991) menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris, bahasa yang digunakan
oleh kelompok lelaki (selanjutnya disebut ragam bahasa lelaki) berbeda dengan bahasa yang
digunakan oleh kelompok perempuan (selanjutnya disebut ragam bahasa perempuan).
Perbedaan tersebut ada dalam semua aspek kebahasaan, yaitu kosakata, gramatika, dan
fonologi, sampai-sampai soal penggunaan dan pemilihan partikel dalam kalimat.

Dalam berbahasa, kedua kelompok dipersepsi menampilkan cara berbahasa yang berbeda.
Perbedaan tersebut cenderung memojokkan kelompok perempuan dalam posisi inferior dan
subordinat, sedang kelompok lelaki diangkat dalam posisi superior dan dominan. Kelompok
perempuan diharapkan lebih lembut (lady like) dibandingkan dengan kelompok lelaki (Lakoff,
1979). Di samping itu, juga dipandang wajar bahwa kelompok perempuan di Inggris, USA, dan
Belanda, lebih banyak berbicara (cerewet) dan bergunjing, berbicara lebih sopan, dan tidak
mengumpat, lebih banyak menggunakan adjektiva (sebagai cermin lebih emosional ketimbang
rasional), dan penguasaan kosakatanya tidak sebanyak lelaki (Coates, 1991). Bahkan, ragam
bahasa perempuan sering distereotipekan sebagai naif, emosional, bodoh, pasif, kurang
meyakinkan, terlalu boros kata-kata, dan remeh (Kramarae, 1982).

Dalam ragam bahasanya, kelompok perempuan distereotipekan lebih inferior (Spolsky, 2001).
Karena kedudukannya inilah perempuan lebih merasa perlu berhati-hati dalam berbahasa.
Kehati-hatian ini tampak dalam kebiasaannya yang lebih menaati norma-norma baku
kebahasaan dan kecenderungan untuk selalu menggunakan bahasa yang berprestise (Trudgill,
1984), sedangkan pada lelaki tidak ada “keharusan” seperti ini. Akibatnya, perempuan dalam
berbahasa lebih banyak melakukan hiperkoreksi. Realitasa ini, menurut (Coates, 1991),
sebenarnya merefleksikan bahwa di bawah sadarnya perempuan menduduki posisi yang kurang
mapan, lebih subordinat, dan lebih inferior, dibandingkan dengan kelompok lelaki.

Hal ini juga menunjukkan adanya ketimpangan gender dalam bahasa. Perbedaan yang
menjurus pada ketimpangan antara ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa perempuan ini
tampak pada perbedaan kosakata dan ungkapan, fonologis, dan gramatika.

Dalam hal kosakata dan ungkapan, ragam bahasa perempuan lebih banyak menggunakan kata-
kata adjektiva, kosakata lebih sedikit, manja, irasional, dan berusaha mencapai norma standar
dan standar ini dibuat kelompok lelaki (Kramarae, 1981; Coates, 1991). Dalam fonologi, nada
akhir kalimat dalam ragam bahasa perempuan lebih berlagu dan lebih tinggi, sehingga terkesan
kurang tegas, sedang nada pada ragam bahasa lelaki lebih rendah yang menyatakan ketegasan
(Kramarae, 1981). Dalam gramatika, kelompok perempuan lebih banyak menggunakan kalimat
majemuk setara, sebagai cermin ketidakmampuan menempatkan mana yang inti (induk) dan
mana yang kurang inti (anak kalimat) (Lakoff, 1979). Menurut Jespersen (dalam Kweldju, 1993),
kelompok perempuan tidak banyak menggunakan logika dalam gramatika, tetapi lebih banyak
menggunakan intonasi dan intonasi ini merupakan cermin kekuatan emosinya. Oleh karena itu,
bagaimanapun, ragam bahasa perempuan lebih sering membuat kesalahan dibandingkan
dengan ragam bahasa lelaki. Lakoff (1979) juga mencatat bahwa perempuan lebih banyak
menggunakan tag questions sebagai cermin ketidaktegasannya bersikap.

Perbedaan-perbedaan tersebut lebih menampakkan stratifikasi ketimbang diferensiasi yang


berujung pada ketimpangan gender. Sebagai korban yang selalu dipersepsi lebih negatif,
inferior, dan subordinat adalah perempuan, sedangkan lelaki dipersepsi secara kultural lebih
positif, superior, dan dominan.

Ketimpangan Gender dalam Kosakata dan Ungkapan Bahasa Indonesia

Kosakata suatu bahasa mewadahi seluruh ketimpangan gender. Dalam kosakata dan ungkapan
bahasa Indonesia pun terjadi ketimpangan gender pada ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa
perempuan. Contoh-contoh berikut diharapkan dapat memperjelas perbedaan kedua ragam
tersebut.

Pertama, beberapa ungkapan mencerminkan keberadaan wanita sebagai pemelihara


kehidupan yang sabar, sedang lelaki sebagai penguasa kehidupan (cf. Kweldju, 1993).
Perempuan-istri selalu menjadi ibu rumah tangga, sedang lelaki-suami otomatis menduduki
posisi sebagai kepala rumah tangga, sebodoh apa pun lelaki itu—maaf, andai saja suami itu
bodoh. Sebagai ibu rumah tangga, perempuan bertanggung jawab atas segala pekerjaan di
dalam rumah, misalnya memasak, mencuci, mengasuh dan mengajari anak, menjaga dan
merawat rumah—yang serba membutuhkan kelembutan dan kesabaran. Semua jenis pekerjaan
tak berupah tersebut memunculkan ungkapan pekerjaan perempuan. Pendidikan anak lebih
dibebankan kepada perempuan-istri ketimbang suami, termasuk mengajari anak berbahasa,
sehingga muncul istilah bahasa ibu (mother language). Istilah anak mama dan kasih sayang ibu,
termasuk ungkapan alah Mak, aduh Mak—dan bukan *alah Pak, *aduh Pak—juga menunjukkan
bahwa anak dipersepsi secara sosial sebagai urusan perempuan. Tanggung jawab istri sebagai
perawat rumah memunculkan istilah nyonya rumah. Tetapi, penguasa tertinggi tetap lelaki-
suami, sehingga acuan istilah kepala rumah tangga dan tuan rumah selalu kepada suami.

Kedua, beberapa ungkapan dan struktur gramatikal menunjukkan bahwa seakan-akan


perempuan itu ditakdirkan pasif, sedang lelaki dikodratkan aktif. Kepasifan perempuan (istri) ini
juga ditempuh sebagai upaya untuk selalu menyenangkan, menjaga perasaan, dan
menghormati lelaki (suami) (Spender, 1985). Seorang perempuan boleh saja jatuh cinta, tetapi
ia harus menjaga dan bertahan jangan sampai ia mendahului mengungkapkan cinta terlebih
dahulu. Ia mesti pasif menunggu. Maka, yang muncul dalam ungkapan gramatikal adalah Dina
dipacari/ dilamar/ dipinang/ dinikahi/ diperistri Indra dan tentu bukan Dina *memacari/
*melamar/ *meminang/ *menikahi/ *mempersuami Indra. Seorang istri tidak dapat
*menceraikan suami—sejahat apa pun suami itu—sebab kultur Indonesia hanya memberi
kesempatan kepada istri untuk meminta cerai atau minta diceraikan.

Sebuah ungkapan populer juga mencerminkan ketimpangan gender bias lelaki: dapur, sumur,
lulur, kasur. Ungkapan ini jelas-jelas memerahkan telinga kelompok feminis aliran apa pun.
Sebagai bandingan, dalam bahasa Jawa pun, yang justru lebih kaya, ada ungkapan yang
berkenaan dengan betapa rendahnya peranan perempuan. Misalnya perempuan itu hanya
awan dadi theklek, bengi dadi lemek (siang jadi bakiak, malam jadi alas untuk ditindih), masak,
macak, manak (memasak, merias diri, melahirkan) atau pun neng omah, olah-olah, mlumah,
mbegagah ngablah-ablah (di rumah, memasak, tidur terbuka menelentang) (Sobary, 2000).
Boleh saja, ungkapan ini dikatakan sebagai sekadar beraroma traditional gender-based
ideology, tetapi bahwa hal tersebut jelas fakta empiris konkret, sungguh tidak perlu diragukan.

Ketiga, beberapa kosakata dan ungkapan menunjukkan perempuan selalu menjadi korban dan
disalahkan, sedang lelaki tidak dipersoalkan kesalahannya. Perempuan yang menjual diri sering
disebut wanita panggilan, tetapi entah mengapa lelaki yang membutuhkan tidak pernah disebut
*pria pemanggil. Yang sering dipersoalkan dan diucapkan adalah keperawanan atau kegadisan
seorang perempuan dan tidak pernah dipermasalahkan keperjakaan seorang lelaki. Dalam
dunia prostitusi, misalnya, sesungguhnya baik lelaki sebagai “pembeli” maupun perempuan
sebagai “penjual” sama-sama berbuat tidak susila (asusila), tetapi sebutan yang ada hanya
wanita tuna susila (WTS) dan tidak pernah ada *pria tuna susila (PTS) (Jupriono, 2003).

Keempat, beberapa kebiasaan nama dan panggilan menunjukkan bahwa perempuan sebagai
penerima identitas, sedangkan lelaki pemberi identitas (cf. Kuntjara, 2003). Seorang
perempuan-istri bernama Linda Astuti, setelah diperistri seorang lelaki bernama Subandi, di
lingkungan sekitarnya mendadak sontak dipanggil Ny. Subandi atau Bu Subandi oleh
tetangganya dan ia hilang identitasnya sehingga jarang disapa sebagai Ny. Linda atau Bu Astuti.
Sementara, suaminya tetap pada identitasnya semula sebagai Pak Subandi—dan tidak mungkin
dipanggil *Pak Linda atau *Tuan Astuti. Ini sungguh-sungguh tidak ada kesejajaran. Seorang
perempuan yang menjadi “istri tak sah” dilabeli sebutan piaraan, istri gelap, atau pun
simpanan, tetapi lelaki yang menjadikannya begitu tidak mendapat sebutan apa pun, misalnya
*pemiara, *suami gelap, atau pun *penyimpan. Seorang istri langsung mendapat nama baru
begitu suaminya menjabat, dan jika istri menjabat, suami bebas atau tidak usah nama baru.
Begitu suaminya terpilih sebagai kepala desa (kades), istri akan dipanggil Bu Kades, dan wajib
mengikuti pembekalan bagi istri kepala desa di tingkat kabupaten. Tetapi, suami yang istrinya
menjadi kades, tidak usah dipanggil *Pak Kades dan tidak ada program negara *pembekalan
bagi suami kepala desa.

Kelima, kosakata yang berkonotasi lelaki menjadi standar baik untuk menyebut lelaki maupun
perempuan. Julukan jago matematika, misalnya, berlaku baik untuk Rangga yang lelaki maupun
Susi yang perempuan, kalau memang kedua memenuhi kualifikasi cerdas mengerjakan soal-soal
matematika; tidak pernah ada *betina matematika sekalipun pemenang juaranya adalah Susi.
Dengan kata lain, kata jago ini digunakan sebagai standar baik untuk lelaki maupun perempuan.
Contoh lain: bapak pembangunan, bapak koperasi, bapak pendidikan. Belum pernah ada—atau
mungkin tidak lazim—entah mengapa: *ibu pembangunan, *ibu koperasi, *ibu pendidikan,
misalnya.

Jika kosakata itu berbau perempuan, konotasi semantisnya cenderung negatif. Misalnya, Bejo
yang perangainya kewanita-wanitaan disikapi sebagai negatif, disamakan dengan banci.
Sebaliknya, perangai Eny yang tomboy, asal masih mau sedikit berdandan saja, akan diterima
lebih positif—misalkan dianggap malah “modern”, “masa kini”, “gaul”—oleh sekitarnya.

Keenam, beberapa kosakata mencerminkan bahwa suatu jabatan, prestasi, organisasi, atau
pekerjaan biasanya diisi oleh seorang lelaki, jika diisi oleh perempuan dianggap suatu
“kelainan” atau kekecualian, dan untuk itu harus diembel-embeli kata wanita. Sebutan
profesor, kesebelasan, pesilat, wartawan cenderung menggiring orang untuk menafsirkan
bahwa semua itu untuk lelaki. Jika dilekatkan kepada perempuan, biasanya menjadi profesor
wanita, kesebelasan wanita, pesilat wanita, wartawan wanita—seakan-akan hal itu suatu
keganjilan. Seorang lelaki tidak usah disebut *lelaki karier ketika sukses berkarier, tetapi
seorang perempuan yang bekerja di sektor publik langsung harus disebut wanita karier.

Ketujuh, ungkapan pemanggilan juga menempatkan perempuan sebagai golongan kelas dua,
sehingga selalu disebut “setelah lelaki”. Yang lazim diungkapkan dalam pertemuan resmi, rapat,
khotbah, ceramah, adalah Bapak-bapak, Ibu-ibu yang saya hormati…, Bapak-bapak dan Ibu-ibu
yang berbahagia, … dan pastilah bukan *Ibu-ibu, Bapak-bapak yang saya hormati, … *Ibu-ibu
dan Bapak-bapak yang berbahagia, … Dalam surat undangan pun yang lazim tercetak adalah
Kepada Yth.: Bpk/Ibu/Sdr. … dan tentu bukan *Kepada Yth.: Ibu/Bpk/Sdr. …

Kedelapan, dalam kebijakan institusional baik sektoral maupun nasional pun tergambar jelas
betapa perempuan terus dan masih menjadi beban masalah dan tidak pernah mencapai
kesetaraan seperti lelaki. Karena gerak nasib perempuan dirasakan ketinggalan, peranannya
perlu terus ditingkatkan melalui ungkapan menteri peranan perempuan, Hari Kartini, dan Hari
Ibu. Sebaliknya, lelaki tidak menjadi masalah, sehingga tidak membutuhkan *menteri urusan
lelaki, *Hari Kartini, dan *Hari Bapak. Sebagai bagian dari masalah, bahkan kedudukan
perempuan disejajarkan dengan anak-anak, sehingga perlu dibangun Balai Kesehatan Ibu dan
Anak (BKIA), sedangkan kaum bapak tidak memerlukan karena dianggap sudah mandiri dan
sudah dapat menolong diri sendiri. Bahkan, perempuan disamakan kedudukannya dengan
benda mati, misalnya dalam ungkapan harta, tahta, wanita, atau peluru dan wanita. Hal ini
menggambarkan fakta bahwa nasib perempuan tersubordinasi, bahkan sampai tingkat bahasa
sekalipun.

Kesembilan, beberapa ungkapan mencerminkan bahwa istri boleh berpenghasilan/


berkedudukan melebihi suami, tetapi tidak diakui, atau kalau diakui, dengan malu-malu.
Misalnya seorang istri yang berdagang, yang penghasilannya benar-benar jauh di atas suami—
sehingga sesungguhnya merupakan tumpuan kebutuhan material keluarga—dengan rendah
hati akan mengatakan: hanya membantu suami, untuk tambah-tambah saja, hanya kerja
sambilan, atau bahkan yah …ketimbang menganggurlah. Dia akan mendapat cap buruk,
penilaian negatif, dari sekeliling jika saja mengatakan *Saya yang menanggung kebutuhan
keluarga, penghasilan suami cuma berapa.

Secara psikologis kultural, terdapat ketakutan “menyaingi” atau “mengalahkan” suami pada
seorang istri. Dalam dunia psikologi ada istilah syndrome of success fear.—suatu fenomena
seorang istri takut kelihatan lebih sukses ketimbang suaminya, takut suaminya tampak lebih
bodoh (Sudarwati, 2003). Dalam hal demikian, seorang istri juga mengalami “kematian subjek”:
menjadi diri sendiri pun tidak berani.

Kesimpulan

Beberapa kesimpulan dapat ditarik di sini sehubungan dengan ketimpangan gender pada
kosakata dan ungkapan dalam bahasa Indonesia, sebagai berikut. (1) Beberapa ungkapan
mencerminkan wanita pemelihara kehidupan yang sabar, sedang lelaki penguasa kehidupan. (2)
Beberapa struktur gramatikal bahasa Indonesia menunjukkan perempuan itu pasif, sedang
lelaki aktif. (3) Beberapa kosakata dan ungkapan menunjukkan perempuan selalu menjadi
korban dan disalahkan, sedang lelaki tidak dipersoalkan. (4) Beberapa kebiasaan nama dan
panggilan menunjukkan bahwa perempuan penerima identitas, sedangkan lelaki pemberi
identitas. (5) Kosakata yang berkonotasi lelaki menjadi standar untuk menyebut lelaki maupun
perempuan. (6) Beberapa kosakata mencerminkan bahwa suatu jabatan, prestasi, organisasi,
atau pekerjaan biasanya diisi lelaki, jika diisi perempuan dianggap suatu “kelainan” dan untuk
itu harus diembel-embeli kata wanita. (7) Ungkapan pemanggilan juga menempatkan
perempuan sebagai golongan kelas dua. (8) Dalam kebijakan institusional tergambar jelas
betapa perempuan masih menjadi beban masalah dan tidak pernah mencapai kesetaraan (9)
Beberapa ungkapan mencerminkan bahwa istri boleh berpenghasilan/berkedudukan melebihi
suami, tetapi tidak diakui.

Tulisan ini menyimpan beberapa kekurangan. Pertama, data yang disajikan amat terbatas.
Pemakaian bahasa dalam iklan—yang diduga kuat mengandung ketimpangan gender—belum
tercakup dis ini. Maka, jika kajian ini dilanjutkan, selayaknya diadakan pengayaan data. Kedua,
kajian ketimpangan gender sesungguhnya dapat diperdalam ke arah relasi gender dan
kekuasaan di antara penutur lelaki dan penutur perempuan. Tulisan ini terlalu umum untuk
diarahkan ke situ walaupun gagasan tentang relasi kekuasaan tersebut sudah dicakup. Sekadar,
menyodorkan saran, buku Esther Koentjara (2003), Gender, bahasa, dan Kekuasaan, dapat
dimanfaatkan dalam hal ini. Ketiga, sebagai kajian sosiolinguistik, sesungguhnya kajian ini hanya
menerapkan salah satu pendekatan (sosiokultural), padahal ada beberapa pendekatan yang
dapat diterapkan, misalnya pendekatan psikodinamis, kognitif, dan sosiokultural (Kweldju,
1993).

Daftar Pustaka Acuan

Budiman, K. 1992. “Subordinasi Perempuan dalam Bahasa Indonesia”. Dalam B. Santoso et al.
(ed.), Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa). Yogyakarta: Kanisius & Lembaga Studi Realino.
Coates, J. 1991. Women, Men, and Language: A Sociolinguistics Account of Sex Differences in
Language. London: Longman.
Hudson, R.A. 1986. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Jupriono, D. 1997. “Bahasa Indonesia, Bahasa Lelaki?”. FSU in the Limelight 5(2) Juli.
Jupriono, D. 2003. “Ideologi Patriarki pada Singkatan WTS: Konstruksi Simbolis Ketidakadilan
Gender”. Parafrase 3(1), Februari.
Kramarae, C. 1981. Women and Men Speaking: Frameworks for Analysis. London: Newbury
House Pub., Inc.
Kuntjara, E. 2003. “Gender, Bahasa, dan Kekuasaan”. Surabaya: Fakultas Sastra, Universitas
Kristen Petra.
Kweldju, S. 1993. “Penelitian Seksisme Bahasa dalam Kerangka Penelitian Stereotipi Seks”.
Warta Studi Perempuan 4(1).
Lakoff, R. 1979. “Talking Like a Lady”. Dalam B.J. Wishart & L.C. Reichman (ed.), Modern
Sociolinguistics Issues. New York: MacMillan Pub. Co. Inc.
Sari, N.I., A. Kuntarti, A.C. Rahayu. 2003. “Diksi dalam Ragam Bahasa Prokem di Kalangan Gay di
Surabaya Pusat”. Parafrase 4(1) Februari.
Saville-Troike, M. 1982. The Ethnography of Communication: An Introduction. Oxford: Basil
Blackwell.
Sobary, M. 2000. “Wanodya” (Hal. 149—151) dalam Kang Sejo Melihat Tuhan. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Spender, D. 1985. Man Made Language. London: Routledge & Kegan Paul.
Spolsky, B. 2001. Sociolinguistics. Oxford: Oxford University Press.
Sudarwati M. 2003. “Pola Kepemimpinan Partisipatif, Dukungan Sosial Suami, dan Fear Succes
dengan Motivasi Kerja pada Wanita Karier di Surabaya”. (Tesis tidak dipublikasikan). Program
Studi Magister Psikologi, Program Pascasarjana, Untag Surabaya
Trudgill, P. 1984. Sociolinguistics. Harmonsworth: Penguin Books.

Gender dan Bahasa Vernakular dalam Pengajaran BIPA

14 September, 2009 | Edisi: #4 | Kategori: Liukan Lidah

Oleh Lucia Tyagita Rani*

Setiap orang memiliki alasan yang berbeda ketika belajar bahasa lain selain bahasa pertamanya
(B1). Bahasa Indonesia adalah bahasa asing yang cukup banyak dipelajari di dunia. Pemelajaran
bahasa Indonesia untuk orang asing memiliki suatu sistem yang disebut BIPA (Bahasa Indonesia
bagi Penutur Asing). BIPA mengalami perkembangan dalam hal teknik pengajaran dan
penyampaian materi kepada pemelajar, mengingat pelajaran bahasa yang disampaikan adalah
bahasa kedua (B2) bagi pemelajar. Sebagian besar pemelajar BIPA di Indonesia adalah
pemelajar dewasa yang setidaknya sudah menguasai B1 mereka dengan fasih.

Pengajaran bahasa secara tidak langsung berhubungan dengan orientasi gender pengajar maupun
pemelajar. Banyak yang menyalahartikan istilah gender. Istilah ini sering diartikan sebagai
pembedaan dalam jenis kelamin. Di sisi lain, istilah gender dibedakan dengan seks (jenis
kelamin). Isu gender mulai mencuat di Amerika di akhir 1960 dan awal 1970. Saat itu studi
gender mulai banyak diminati dan ditelaah lebih dalam, baik dari segi penyetaraan maupun
penelitian mengenai isu-isu yang terkait dengan penggunaan gender dalam bahasa.

Pada pengajaran BIPA, bahasa yang diajarkan juga memiliki variasi dari segi bentuk bahasa.
Banyak di antara lembaga pengajaran BIPA yang hanya mengajarkan bahasa formal, tetapi juga
banyak di antaranya yang mengajarkan bentuk-bentuk bahasa lain selain bahasa formal. Pokok
bahasan dalam artikel ini adalah hubungan antara gender dengan bahasa vernakular dalam
pengajaran BIPA.

Bahasa dan Gender

Terminologi gender digunakan untuk mendeskripsikan kategori sosial yang berdasarkan jenis
kelamin. Tampak jelas perbedaan antara gender dengan jenis kelamin (sex) seperti apa yang
diutarakan Coates : bahwa jenis kelamin mengarah ke perbedaan organ biologis seseorang
sedangkan gender adalah perbedaan dalam kategori sosial (1993). Secara umum, gender dibagi
menjadi dua: maskulin dan feminin. Ini berbeda dengan pengistilahan jenis kelamin: laki-laki
dan perempuan. Pada awalnya perbedaan gender disamaratakan dengan perbedaan jenis kelamin,
tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan mecuatnya isu gender di Amerika istilah ini tidak
lagi sama.

Disadari atau tidak, gender penutur membedakan bentuk-bentuk ujaran dan pemilihan bahasa
dalam komunikasi. Pada bahasa Inggris, perbedaan gender terlihat jelas dari bentuk-bentuk
bahasanya. Beberapa kata di bahasa Inggris ditandai dengan sufiks untuk menunjukkan bentuk
feminin (actress, stewardess). Akan tetapi Graddlol dan Swann (1989), juga Ponynton (1989),
menyatakan bahwa bentuk-bentuk penambahan sufiks ini lambat laun tergerus juga.

Robin Lakoff adalah orang yang paling banyak berbicara tentang hubungan gender dengan
bahasa, khususnya bahasa Inggris. Menurut Lakoff (1975) perbedaan status sosial dan gender di
masyarakat (khususnya Amerika Serikat) tercermin dari adanya perbedaan dalam pemilihan
bahasa. Perbedaan ini terlihat dari pola sintaksis, semantik, dan gaya bertutur. Gender feminin
menggunakan bahasa standar lebih banyak daripada gender maskulin. Di lain pihak, gender
maskulin menggunakan lebih banyak bahasa vernakular dibandingkan gender feminin. Akan
tetapi, gender feminin menggunakan bahasa vernakular di situasi santai dan saat lawan bicaranya
memiliki hubungan yang cukup dekat dengan dirinya.

Bahasa standar yang digunakan gender feminin dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, antara lain:
(1) kurangnya pengakuan akan status sosial. Gender feminin menggunakan bahasa standar untuk
mendapatkan pengakuan status sosial; (2) lingkungan sosial mengharapkan gender feminin     
berlaku lebih “baik” daripada gender maskulin. Gender feminin adalah model untuk pemelajaran
bahasa pada anak-anak sehingga bahasa yang digunakan harus standar; dan (3) gender feminin
sebagai kelompok bawahan (subordinate) diharuskan untuk bertutur lebih sopan. Oleh karena
itu, mereka menggunakan bentuk-bentuk ujaran standar agar dapat dipandang ‘lebih’ oleh
masyarakat.

Bentuk-bentuk bahasa juga berbeda jika dilihat berdasarkan perbedaan gender. Bentuk-bentuk
bahasa yang diteliti oleh Lakoff (1975) adalah bentuk-bentuk bahasa bergender feminin. Ciri-ciri
dari bahasa bergender feminin antara lain: (1) pembatasan leksikal (fillers): you know, sort of,
dsb.; (2) pembubuhan kata tanya: dia cantik, ya kan?; (3) penaikkan intonasi pada kalimat
deklaratif: Ini bagus?; (4) adanya “empty” adjektif: cute, charming, lucu, dsb.; (5) penggunaan
terminologi warna yang lebih spesifik: magenta, biru laut, turqoise, dsb.; (6) penggunaan kata-
kata penguatan: just, so (I like him so much.); (7) penggunaan tata bahasa yang sangat baku; (8)
penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang sangat santun; (9) penghindaran bentuk-bentuk tuturan
untuk mengumpat; dan (10) adanya penekanan untuk menunjukkan empati.

Gender feminin menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang lebih formal dikarenakan adanya
tuntutan sosial yang lebih tinggi terhadap mereka. Gender feminin menekankan bentuk bahasa
yang standar dan formal karena mereka berpikir jika mereka tidak melakukan itu maka mereka
tidak akan didengar. Tuntutan ini tidak terlalu dibebankan pada gender maskulin. Gender
maskulin juga lebih banyak menginterupsi ujaran dibandingkan feminin. Interupsi ini dilakukan
untuk “membungkam” lawan bicara. Di lain pihak, gender feminin menyediakan feedback untuk
mendukung tuturan lawan bicaranya dibandingkan maskulin.

Bahasa Vernakular dan Bahasa Standar

Bahasa yang kita gunakan dalam tuturan memiliki ragam yang berbeda-beda. Ragam bahasa ini
dibedakan menurut situasi dan konteks ujaran dalam komunikasi. Salah satu ragam bahasa yang
dikenal adalah ragam bahasa vernakular. Menurut Holmes (2001), bahasa vernakular adalah
bahasa yang tidak dikodifikasi atau jenis bahasa yang tidak standar. Bahasa vernakular juga
dikatakan sebagai sebuah bahasa yang bukan merupakan bahasa resmi suatu negara dalam
konteks tertentu dan merupakan jenis bahasa yang paling kolokial dalam khasanah bahasa
seseorang.

Selain bahasa vernakular, masyarakat bahasa juga menggunakan ragam bahasa formal dalam
komunikasi, sesuai dengan situasinya. Bahasa formal sering diidentikkan dengan bentuk bahasa
standar. Masih menurut Holmes (2001), bahasa standar adalah bahasa yang sudah memunyai
aturan tata bahasa atau sudah dikodifikasi (contohnya memunyai tata bahasa baku dan maktub
sebagai lema kamus). Bahasa standar dinilai lebih bergengsi oleh masyarakat dan berfungsi
sebagai bahasa Tinggi (T) berdampingan dengan keragaman bahasa R (Rendah). Bahasa standar
memiliki tiga ciri umum: berpengaruh dalam suatu masyarakat, sudah terkodifikasi dan cukup
stabil, dan berperan sebagai bahasa T. Penjabaran tentang perbedaan bahasa vernakular dan
bahasa standar berkaitan dengan pengajaran bahasa dan pemilihan bahasa berdasarkan gender.

Hubungan Antara Gender dengan Bahasa Vernakular

Penggunaan ragam bahasa memiliki perbedaan berdasarkan pada perbedaan gender. Gender
feminin lebih sedikit menggunakan bahasa vernakular. Biasanya mereka menggunakan bahasa
vernakular di situasi santai dengan keakraban yang dekat. Hal ini dikarenakan gender feminin
lebih mempertimbangkan faktor-faktor sosial yang dibebankan masyarakat pada mereka
sehingga, untuk menimbulkan rasa aman, mereka menggunakan bahasa standar.

Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, gender maskulin memunyai kebebasan yang lebih
luas daripada feminin karena tuntutan sosial mereka tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu, dalam
memilih ragam bahasa mereka lebih bebas untuk menentukan. Gender maskulin lebih banyak
menggunakan bahasa vernakular untuk menunjukkan sifat ‘macho‘. Penggunaan ini berterima
dalam masyarakat, baik masyarakat barat maupun timur.

Gender dan Bahasa Formal dan Informal dalam BIPA

Secara umum pemelajaran BIPA mengajarkan dua bentuk bahasa, formal dan informal, yang
disesuaikan dengan kebutuhan pemelajar. Pemelajar yang berlatar belakang politik biasanya
akan diajarkan bentuk bahasa formal karena ada kemungkinan besar mereka memerlukan bahasa
standar untuk berkomunikasi. Hal ini terlihat pada pemelajar yang bekerja sebagai korps
diplomatik. Bagi pemelajar yang memang ingin memelajari bahasa sehari-hari, bentuk-bentuk
bahasa nonformal juga diajarkan selain pengajaran bahasa standar. Secara tidak langsung, bentuk
bahasa informal (vernakular) biasanya dikuasai pemelajar jika ia banyak berinteraksi langsung
dengan penutur asli.

Berdasarkan uraian teoretis tentang gender dan bahasa vernakular, dapat disimpulkan bahwa ada
kemungkinan besar pengajar feminin akan lebih banyak menggunakan bentuk-bentuk bahasa
standar daripada bentuk-bentuk bahasa vernakular. Hal ini akan berbeda jika hubungan antara
pengajar dengan pemelajar sudah cukup dekat maka pengajar feminin juga dapat menggunakan
bentuk-bentuk bahasa vernakular. Berikut adalah contoh-contoh ujaran pengajar di kelas BIPA
berdasarkan gender.

Maskulin

-      Mas Hasan sukanya olah raga apa?

-      Biar lebih adil kita acak.

-      Orang pertama nyebur, terus?

-      Jadi, si Clement ini disuruh mundur.

-      Di paragraf kedua apa lagi nih masalahnya?

-      Saya kasih waktu 5 menit!

-      Mau bicara duluan?

-      Udah dapet semua?

Feminin

-      Mereka tidak bilang seperti itu.

-      Sebentar, Anda akan bicara sesudah mas Taceddin.

-      Silakan mas Ali.

-      Apa sih mensusah?

-      Apakah makna selatan Jakarta dengan Jakarta selatan berbeda?

-      Aduh, itu bagus sekali mas Erdam.

-      Ada lagi yang mau coba menjawab? Pak Bedir?

-      Nanti di Ragunan kita akan lihat hewan-hewan yang lucu. Ya, gitu, deh.
Berdasarkan contoh yang diberikan terlihat bahwa pemerolehan atau pemelajaran bahasa
vernakular di kelas BIPA lebih diakomodasi oleh pengajar maskulin. Pengajar feminin lebih
banyak menggunakan bahasa standar untuk meminimalkan kesalahpahaman yang mungkin
diterima pemelajar. Bahasa vernakular digunakan pengajar feminin untuk menunjukkan
hubungan yang cukup erat dengan pemelajar. Bahasa vernakular yang digunakan adalah yang
sebelumnya diproduksi oleh pemelajar.

Implikasi dalam Perumusan Materi dan Metode Pengajaran BIPA

Pada pengajaran BIPA, materi yang diajarkan harus sesuai dengan kebutuhan pemelajar sehingga
jika pemelajar merasa perlu untuk belajar bahasa vernakular, pengajar harus dapat
mengakomodasi hal tersebut (tanpa mempertimbangkan gender). Harus disadari bahwa bentuk-
bentuk bahasa yang akan banyak ditemui pemelajar dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa
vernakular. Oleh karena itu, pengajar sedikit banyak harus memasukkan unsur-unsur bahasa
vernakular dalam pengajarannya.

Ketika mengajarkan bahasa vernakular, pengajar dapat menjadikan materi ini sebagai bagian dari
materi kebudayaan. Materi dapat disesuaikan dan sebaiknya bersifat situasional dan fungsional
sehingga pemelajar dapat belajar bahasa standar dan vernakular. Metode pengajaran yang
kontekstual akan lebih mendukung pembelajaran bahasa vernakular. Hal ini disebabkan bahasa
vernakular akan terlihat lebih nyata tergantung dari situasi yang menyertainya. Pengajar harus
berpandangan bahwa pengajaran bahasa vernakular secara tidak langsung (dituturkan oleh
pengajar dalam situasi yang sesuai) dapat memperkaya khasanah bahasa pemelajar BIPA.

Daftar Pustaka

Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. Malaysia: Longman.

Martin, Judith N and Thomas K Nakayama. 2000. Intercultural Communication in Contexts.


California: Mayfield Publishing Company.

McKay, Sandra Lee and Nancy H. Hornberger. 1996. Sociolinguistics and Language Teaching.
USA: Cambridge University Press.

Hubungan bahasa dengan jenis kelamin (sex), — Presentation Transcript

 1. Hubungan Bahasa dengan jenis kelamin (Sex), Gender(Gender) Perbedaan cara


berbahasa antara kedua jenis kelaminmemang ada. Beberapa penelitian telah
membenarkan perbedaan itu.Diantaranya yang berhubungan dengan penggunaan
bentuk-bentukbahasa yang bersifat baku dan tinggi (cf. Chambers 1995:102)i. “Wanita
memperlihatkan tahap kepekaan yang lebih tinggi terhadap ciri-ciri bahasa yang diberi
penilaian yang tinggi, daripada lelaki” (Wolfram 1969:76).ii. “Wanita memperlihatkan
tingkat kesadaran yang tinggi terhadap norma yang tinggi pada penggunaan bahasa
mereka yang sebenarnya serta sikap mereka terhadap bahasa” (Wolfram & Fasold
1974:161)
 2. iii. „Wanita, dengan mengambil dengan beberapa variable seperti umur,pendidikan,
den pendidikan sosial, menghasilkan kebanyakan bentuk-bentuk bahasa, yang lebih
dekay sifatnya dengan bentuk- bentuk bahasa baku, atau menggunakan bentuk-bentuk
bahasa yang lebih tinggi, dibanding dengan lelaki (Trudgill 1983:161)iv “Dalam keadaan
strtifikasi sosiolinguistik yang baik, lelaki lebih banyak menggunakan bentuk-bentuk tak
baku , dibandingkan dengan wanita
 3. 6.2 Jenis Kelamin dan Gender Jenis kelamin dan gender merupakan dua hal yang
berbeda: Jenis kelamin merupakan suatu konsep biologi. Sedangkan gender adalah satu
manifestasi sosiologi, yaitu di tentukan akibat proses sosiologi. Gender sebagai istilah
linguistik juga dikaitkan dengan salah satu kategori tatabahasa yang digunakan untuk
menganalisis golongan kata, terutama nama untuk dibedaka dengan yang :a. Maskulin
(„lelaki/jantan‟) seperti “dewa”, “seniman”, “steward”, („pelayan lelaki dalam kapal
terbang‟), dan “tiger‟ („harimau jantan‟)
 4. b. Feminim („wanita/betina‟) seperti”dewi”, “seniwati” “stewardess” („harimau
betina‟), sertac. Neuter („bukan lelaki/jantan atau wanita/betina‟) seperti “batu”,
“sabun”, “malam”, “ball” („bola‟), dan “sun” („matahari‟). Gender ini dikenal sebagai
“natural gender” dan merujukkepada jenis kelamin dan objek yang benar –benar nyata
didunia.Gender yang tidak mempunyai kaitan persoalan dengan jeniskelamin dikenal
sebagai “gramatical gender” („gender tatabahasa„). Istilah konsep gender diatas
dikaitkan dengan kategori sosial.
 5. 6.3 Perbedaan Bahasa Akibat Jenis Kelamin Tidak banyak wanita yang mengahadapi
masalah dalam bahasa. Wanita lebih baik dalam membaca, wanita juga menunjukan
prestasi yang lebbih baik dari lelaki pada bidang menguji kemampuan berbahasa. Ada
perbedaan antara dua jenis kelamin ini, yaitu perbedaan tinggi nada suara. Selain itu,
perbedaan biologi yang tidak bersifat linguistik juga banyak, diantaranya:1. Wanita tidak
sebesar atau seberat lelaki, ini disebabkan kurangnya otot pada badan wanita.2. Wanita
agak kurang rabun warna dibandingkan lelaki.3. Lelaki lebih banyak di temui kiri
daripada wanita yang menilis kiri.
 6. 4. Wanita tidak mudah botak apabila usia mereka meningkat5. Wanita diperkirakan
lebih cepat dewasa, serta dapat hiduplebih lama6. Wanita tidak mudah dijangkiti
berbagai macam penyakit (Tailor &Ounsted 1972)6.4 Perbedaan Bahasa Akibat
Gendera. Penggunaan kata adverba (keterangan) yang berlebihan dan sangatdisukai
wanita.b. Kaum wanita dikatakan suka “banyak bicara”c. Bahasa wanita lebih
“halus/sopan” darp pada lelaki yang penuhdengan kata kasar seperti mencarut.D.
Wanita dianggap lebih asli sifatnya daripada bahasa lelaki, terutamayang berkenaan
dengan dialek suatu daerah
 7. 6.5 Pola Bahasa Wanita dan Bahasa LelakiMasyarakat koasati, sebuah golongan AS,
menggunakan dua bentuk bahasa:satu di tuturkan wanita dan satu lagi dituturkan oleh
lelaki (Hass: 1944).Bentuk Bahasa Bentuk Bahasa MaknaWanita LelakiO: til O: tis saya
sedang menyala apiLakawwil, Lakawwis saya sedang bicaraWanita dibenarkan
mengunakan bentuk bahasa lelaki ketika berbicara denganlelaki, begitu juga sebaliknya.
Bahasa, Perempuan, Resistensi
Oleh: Bandung Mawardi

Bahasa mengandung sekian tanda tanya dan tanda seru dalam wacana gender. Definisi bahasa
sebagai sistem simbol arbitrer untuk komunikasi rentan dengan bias dan diskriminasi. Bahasa
dalam wacana gender memang melahirkan polemik panjang terkait dengan basis pengetahuan
dan praktik komunikasi sosial. Bahasa adalah medan pertarungan ideologi legitimasi dalam
wacana gender.
Kehadiran bahasa merupakan manifestasi ideologi legitimasi dalam pamrih sosial dan politis.
Bahasa memberi pembebasan dan pengekangan makna untuk politik perbedaan. Bahasa
dengan sistem dan struktur tertentu susah bersih dari intervensi, hegemoni, dominasi, dan
manipulasi pemaknaan. Kondisi rentan dalam bahasa menjadi acuan perdebatan hakikat dan
implikasi bahasa dengan tendensi gender.
Shan Wareing (1999) menilai bahwa bahasa dalam perspektif gender kerap mengacu pada
praktik perbedaan karena stereotipe historis dan empiris. Pemahaman atas bahasa dan gender
mungkin untuk didedahkan dengan kajian teori dominasi dan teori perbedaan. Teori dominasi
memiliki dalil bahwa perbedaan wacana antara lelaki dan perempuan mengacu pada
perbedaan kekuasaan. Perbedaan itu membuat dominasi lelaki dalam praktik komunikasi
menemukan klaim pembenaran atau kelumrahan. Perempuan dalam penjelasan teori dominasi
kerap berada dalam posisi minoritas dan lemah dalam otoritas pemaknaan bahasa. Teori
perbedaan hadir dengan dalil bahwa perbedaan bahasa antara lelaki dan perempuan mengacu
pada pemisahan antara lelaki dan perempuan pada tahap-tahap penting kehidupan mereka.
Perbedaan kerap muncul karena lelaki identik dengan intensitas sosialisasi dan agresivitas.
Perempuan dalam teori perbedaan cenderung berada dalam posisi inferior atas nama etika,
kelamin, atau ideologi. Bahasa itu rentan dan tidak netral dari bias gender.
Praktik komunikasi antara lelaki dan perempuan dalam pandangan kritis memang selalu
mengandung ambiguitas resepsi dan pemaknaan. Bahasa dalam klaim otoritas lelaki cenderung
menjadi parameter atau kodrat sosial. Bahasa dalam otoritas perempuan pun harus menempati
posisi sebagai instrumen atau periferal karena vonis tak utuh atau tak sempurna. Kondisi itu
memungkinkan perempuan untuk merebut otoritas sejajar atau melakukan resistensi dalam
ranah ideologi sampai pada mekanisme produksi dan resepsi bahasa.

***
Jacques Lacan dalam studi kritis tentang bahasa menemukan bahwa hakikat dan fungsi bahasa
menetukan eksistensi, subjek, dan identitas. Lacan percaya subjek manusia tidak mungkin ada
tanpa bahasa tapi subjek tidak bisa direduksi menjadi bahasa. Otoritas dan kapasitas dalam
bahasa menjadi alasan perbedaan subjek dan identitas. Teori Lacan itu mendapatkan
tanggapan kritis dari kaum feminis untuk melakukan resistensi atas dominasi lelaki dalam
bahasa. Lacan dengan jeli menunjukkan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi karena
struktur sosial, agama, ekonomi, politik, dan bahasa. Kaum feminis memahami penjelasan
Lacan itu sebagai argumentasi kritis untuk resistensi atas nama emansipasi dan kesetaraan.
Praktik resistensi untuk emansipasi cenderung menemukan bentuk dan ruh dalam tulisan.
Kaum feminis dengan tulisan memiliki kemungkinan untuk merumuskan diri dan menentukan
peran untuk menafsirkan dunia dalam perspektif perempuan. Tulisan dalam kadar tertentu
cenderung mengandung progresivitas politik bahasa ketimbang dengan praktik bicara di ruang
publik. Tulisan dalam ideologi legitimasi kaum feminis menunjukkan struktur dan sistem
berbeda dalam pamrih-pamrih emansipasi. Tulisan sebagai manifestasi otoritas bahasa menjadi
pertaruhan eksistensi, subjek, dan identitas perempuan.
Helene Cixous percaya tulisan adalah manifestasi otoritas perempuan. Tulisan menjadi bukti
politis resistensi perempuan untuk merumuskan kembali aspek-aspek kultutral dan
menentukan peran dalam ruang kultural. Tulisan adalah resistensi perempuan dengan kekuatan
ampuh untuk merubuhkan hierarki dan patriarki. Tulisan merepresentasikan suara perempuan
untuk menamai dan memaknai realitas.

***

David Garddol dan Joan Swann dalam Gender Voice (1989) menengarai ada tiga macam
hubungan stereotipe dalam wacana bahasa dan gender: (1) bahasa mencerminkan pembagian
sosial dan ketidaksetaraan; (2) perbedaan atau ketidaksetaraan tercipta karena perilaku
linguistik yang seksis; dan (3) bahasa dan gender berada dalam ranah perseteruan untuk saling
memberi pengaruh. Tiga macam hubungan itu mengandung konklusi bahwa perempuan
mengalami inferiorisasi dan penindasan dalam bahasa. Gugatan atau resistensi kaum
perempuan atas struktur dan stereotipe bahasa mutlak dilakukan untuk tidak menjadi kaum
diam, kaum kalah, atau kaum tunduk.
Bahasa adalah kuasa untuk penentuan eksistensi, subjek, dan identitas. Permainan kuasa mesti
menjadi pertemuan perbedaan untuk penciptaan dan perebutan makna dalam bahasa. Bahasa
adalah otoritas untuk kaum perempuan dalam pamrih tunduk atau bebas dalam politik
perbedaan dan gugatan atas patriarki dan falosentrisme. Bahasa sebagai otoritas tentu
membutuhkan mekanisme dan sistem untuk membuat klasifikasi atas realitas-realitas.
Luce Irigaray mengingatkan bahwa kaum perempuan membutuhkan bahasa mereka sendiri.
Bahasa untuk kaum perempuan adalah bahasa untuk manifestasi merumuskan hakikat dan
peran. Perempuan membutuhkan bahasa untuk kebebasan menjadi manusia dalam kesetaraan.
Kebutuhan itu bukan impian atau ilusi. Irigaray menjelaskan ikhtiar memiliki bahasa sendiri
untuk kaum perempuan mesti direalisasikan dengan transformasi kultural secara substantif dan
radikal. Praktik politis atas ikhtiar itu adalah dengan bicara dan menulis sebagai perempuan.
Praktik bahasa itu merupakan bukti negasi atau resistensi terhadap dominasi lelaki dalam klaim
eksklusif kaum lelaki untuk penamaan dan pemaknaan realitas.
Bahasa dan gender memang perkara pelik dalam keramaian wacana gender sebagai realisasi
pemikiran-pemikiran kritis. Pemahaman atas bahasa dan gender membutuhkan intensitas dan
ekstensitas dalam membaca dan menilai acuan-acuan patriarki. Bahasa dalam kultur patriaki
kerap menemukan legitimasi dan kodifikasi dalam sistem dan institusi pendidikan, politik,
kesusastraan, atau media massa. Kondisi itu menjadi tanda tanya dan tanda seru untuk kaum
perempuan ketika ingin melakukan resistensi dalam pamrih emansipasi dan kesetaraan gender
dengan bahasa. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (8 Oktober 2oo8)

25 Jun 2010 5 Comments

by Gumono in Sosiolinguistik

Bahasa dalam Perspektif Jender

Pendahuluan

Penelitian bahasa yang dikaitkan dengan jender dalam sosiolinguistik telah mengalami
perkembangan yang sangat menarik. Hal itu terbukti dengan bergesernya paradigma penelitian
ke arah penelitian yang tidak semata-mata hanya meneliti variasi bahasa berkaitan dengan sex
dalam pengertian biologis, melainkan telah menuju kepada paradigma penelitian jender sebagai
konsep sosial dan budaya.

Berkaitan dengan istilah jender, tampaknya perlu dijelaskan terlebih dahulu adanya perbedaan
pengertian sex dan gender. Menurut Wodak dan Benke dalam Coulmas (1998: 128), istilah sex
digunakan untuk mengacu kepada perbedaan biologis atau anatomis antara pria dan wanita,
sedangkan jender mengacu kepada perbedaan sosial dan budaya antara pria dan wanita. Namun,
perlu pula dibedakan antara pengertian jender dalam sosiolinguistik dan jender dalam linguistik
deskriptif. Jender dalam linguistk deskriptif dipahami sebagai pembagian kategori gramatikal
nomina ke dalam kelas yang dapat diberi ciri secara mendasar berdasarkan sex. Pembagian itu
meliputi maskulin, feminin, dan netral (Matthews 1997: 142).

Berdasarkan landasan pemikiran seperti itu, pada bahasan bahasa dan jender dikemukakan (1)
(ketidak)samaan, perbedaan, dominasi, (2) perbedaan (3) dominasi, (4) jender dan variasi
fonetik, (5) jaringan sosial, (6) jender dalam lintasan budaya, (7) idiologi linguistik, dan (8)
reformasi bahasa.

1. Ke(tidak)samaan, Perbedaan, dan Dominasi

Perempuan dan laki-laki berbeda dalam berbahasa. Mengapa? Jawaban yang jelas ialah karena
mereka berbeda. Ha! apa yang lebih masuk akal daripada memaharni bahwa kedua jenis kelamin
itu berbeda? Hal yang diyakini tidak dapat diganggu gugat dalam kehidupan manusia.
Interseksualitas merupakan sebuah anomali dalam setiap masyarakat. Kebanyakan orang
mengetahui bahwa apa yang terjadi dan seharusnya terjadi pada kedua jenis kelamin tersebut.
Bahwa perempuan dan laki-laki berbicara secara berbeda, adaiah benar-benar alamiah. Hal ini
dapat dilihat dari perangkat tuturan yang dimiliki kedua jenis kelamin tersebut. Bidang vokal
laki-laki lebih panjang, laring mereka lebih besar, suara mereka lebih dalam sebab vibrasi cord
vokal laki-laki lebih rendah frekuensinya daripada perempuan. Rata-rata suara laki-laki di antara
80 dan 200 siklus per detik sedangkan perempuan antara 120 dan 400 hertz. Frekuensi suara
ditentukan oleh kondisi fisik, bentuk dan panjang bidang vokal. Adakah perbedaan dalam hal titi
nada berimbas kepada kenyataan bahwa perempuan dan laki-laki berbicara secara berbeda?
Tentu saja demikian. Bagaimanapun bidang vokal seperti sebuah terompet. Kita tidak dapat
memaksanya bersuara seperti sebuah piano walaupun terdapat berbagai cara untuk
memainkannya. Hal ini tentu saja membuat manusia berbicara sesuai dengan ruang lingkup
pilihan yang mungkin ada.

Seorang penyanyi yang piawai dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dengan suaranya dengan
rentangan frekuensi yang luar biasa. Penampilan tersebut merupakan hasil dari latihan yang
dilakukannya. Daiam kebudayaan yang berbeda, musik recital akan berbeda-beda cirinya. Suara
utama pada Opera Peking misalnya terdengar berbeda bagi telinga yang tidak biasa
mendengarnya. Kumpulan orang-orang yang berkabung di Yunani membunyikan suara ratapan
yang melengking. Perbedaan yang demikian terjadi disebabkan oleh tradisi kultur masing-
masing masyarakat. Kegiatan berbicara juga merupakan bagian dari tradisi kultural dan oleh
sebab itu berbeda di antara budaya yang berbeda. Misalnya, di Korea terdapat register tuturan
perempuan yang ditandai oleh titi nada yang tinggi. Di Jepang, terdapat temuan bahwa selama
tiga dekade antara tahun 1950-an dan 1980-an rata-rata titi nada suara faki-laki Jepang naik
secara signifikan. Selama periode itu juga terjadi percampuran tempat kerja antara laki-laki dan
perempuan Jepang yang terus meningkat. Tidak ada bukti yang tidak dapat dibantah bahwa
perubahan sosial menyebabkan perubahan suara laki-laki. Akan tetapi akan terdapat penjelasan
yang mungkin dan menjadi hipotesis yang menarik untuk dibuktikan dalam kaitannya dengan
perubahan sosial. Tampaknya yang terjadi dewasa ini laki-laki berubah berbicara seperti
perempuan

Bukti eksperimen menyatakan bahwa terdapat alasan-alasan sosiolinguistik terhadap perbedaan


dalam titi nada antara laki-laki dan perempuan. Ohara (1997) merekam percakapan natural dan
bacaan kalimatkalimat dalam bahasa Jepang dan Inggris oleh orang yang sama. Ohara
menemukan bahwa wanita berbicara dengan titi nada yang Iebih tinggi dalam bahasa Jepang
daripada Bahasa lnggris. Sementara itu, titi nada laki-laki sama pada kedua bahasa. Dari
observasi diketahui bahwa titi nada pembicara yang sama bervariasi tergantung kepada bahasa
yang digunakannya. Dapat disimpulkan bahwa norma sosial mempengaruhi titi nada. Pembicara
dapat melanggar norma yang berlaku, namun selagi bahasa merupakan “permainanan” bersama
kebanyakan pembicara setia pada norma tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa mengapa
perempuan dalam penelitian Ohara berbicara dengan titinada yang lebih tinggi dalam bahasa
Jepang dari pada bahasa Inggris.

Kebanyakan hubungan antara kedua jenis kelamin yang dulunya

dianggap alamiah atau pemberian Tuhan telah dianggap sebagai konstruksi budaya. Titi nada
adalah hal yang menarik dalam kaitan ini karena hal ini tampaknya lebih dekat dengan urusan
alamiah dan fisik daripada misalnya katakata yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan, cara
mereka menyapa satu sama lain, dan gejala etiket linguistik lainnya. Ketiga hal tersebut lebih
berkaitan dengan kondisi sosial yang mengharapkan adanya variasi. Jika titi nada suara laki-laki
dan perempuan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan budaya, ciri-ciri perilaku tuturan
lainnya seharusnya bervariasi berdasarkan kedua jenis kelamin tersebut. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa bentuk-bentuk linguistik yang digunakan oleh laki-laki dan
perempuan berbeda dalam semua masyarakat tuturan.

Topik tentang perbedaan ini telah menarik perhatian pergerakan feminis di masyarakat barat dan
menjadi agenda perhatian mereka sejak pertengahan tahun 1970-an. Banyak sarjana dan aktivis
mempertanyakan gagasan kelaziman dalam masyarakat barat dan mulai mempertanyakan
bagaimana konsep feminin dan maskulin yang mereka inginkan. Ada sarana lain untuk
meningkatkan peranan jenis kelamin. Dalam opera Cina seperti halnya di teater Kabuki Jepang
karakter perempuan dimainkan oleh laki-laki. Hal ini jugs umumnya terjadi di panggung
Shakespeare di Inggris. Peran berdasarkan jenis kelamin dilakonkan dalam kehidupan sehari-
hari. Setiap masyarakat dan budaya rnemiliki skrip yang berbeda-beda.

2. Perbedaan

Pada awal mula studi tentang sosiolinguistik, terjadi polernik dan perdebatan tentang perilaku
‘tuturan berkaitan jenis kelamin (sex)’ harus dipahami sebagai sesuatu yang berbeda atau
dominan (Camerson, 1992). Kedua pendekatan tersebut berupaya mendapatkan penjelasan lebih
lanjut mengapa suatu masyarakat menonjolkan atau tidak menonjolkan perbedaan dari kedua
jenis kelamin tersebut dan bagaimana bahasa digunakan sebagai penanda perbedaan yang
dimaksud, akan tetapi penjelasannya berbeda. Dengan melihat sifat dan bentuk perilaku bahasa
laki-laki (men) dapat dikenal sebagai laki-laki dan perempuan sebagai perempuan. Penjelasan
seperti di atas, contohnya seperti yang terjadi pada kaum perempuan di kota New York,
ditemukan, bahwa penggunaan bahasa non-standard lebih sedikit dibandingkan kaum laki-laki.
Pendapat yang berbeda mengasumsikan karena peranan perempuan dalam mengasuh anak
menjadikan mereka sadar akan statusnya.

Hal ini dilakukan semata-mata dimaksudkan dalam rangka meningkatkan meraih peluang ke
depan dan statusnya (Labov, 1990; Gordon, 1997). Kecenderungan serupa terjadi pula pada
beberapa masyarakat bahasa, seperi Norwich (Trudgill, 1984) dan Amsterdam (Berouwer dan
van Hoult, 1992). Perbedaan perilaku berbahasa antara laki dan perempuan juga terjadi karena
beberapa alasan, seperti kekuasaan (power) dan dominasi (domination). Perbedaan lain
disebabkan adanya perbedaan norma dalam percakapan sebagai akibat dari interaksi yang hanya
berlangsung/terjadi pada teman kelompok berjenis kelamin tunggal.

Perbedaan pola pergE.,,ulan menyebabkan anak laki-laki menjadi konsen dengan status dan
penonjolan dirinya, sementara bagi anak perempuan lebih cocok untuk melibatkan diri secara
langsung dan memahami. Hasil dari bentuk percakapan tersebut digambarkan sebagai persaingan
(competitive) dan kerjasama (cooperative) (Eckert, 1989; Tannen, 1991).

3. Dominasi

Pendekatan dominasi berfokus pada kekuasaan ‘dan ketidaksetaraan. Variasi khusus jenis
kelamin dalam perilaku bahasa seperti dikemukakan dan penguatan perbedaan kekuasaan.
Contoh, kesepakatan dalam penambahan nama suami di depan nama istri setelah menikah dan
menggunakan nama yang hampir sama dengan nama ayah untuk keturunan selanjutnya (anak
cucu) dianggap bukan sebagai hal yang netral, akan tetapi sebagai wujud dominasi kaum laki-
laki. (Gibbon, 1999: 61). Sementara itu, pendekatan dominasi menekankan pada fungsi bahasa
sebagai alat yang digunakan dalam berbagai cara untuk menggalang dominasi kaum laki-laki.
Hal ini juga sebagai pujian terhadap bahasa itu sendiri dengan kekuatan memengaruhi atau
menentukan pikiran. Contoh dalam buku Spender yang berjudul Man Made Language
didasarkan atas konsep bahwa bahasa yang menentukan batas dunia kita. (Spender, 1985: 139).
Pikiran ditentukan oleh sebuah bahasa yang khas, bagaimana kita dapat memutuskan terjemahan
suatu bahasa ke dalam bahasa lain benar atau tidak? Bahasa bukan sebuah rumah pesakitan yang
takterelakkan dari pikiran. Bahasa adalah sebuah sistem terbuka yang memperkenankan siapa
saja untuk membuat pilihan-pilihan, termasuk segala hal yang berkenaan dengan penolakan jenis
kelaminisme atau sebaliknya dengan bahasa yang menyakitkan (offensive).

4. Jender dan Variasi Fonetik

Penggunaan variasi linguistik disebabkan beberapa faktor, diantaranya banyak survey yang
mengungkapkan dengan jelas bahwa strata sosial berhubungan dengan hal tersebut. Misalnya
dalam bahasa !nggris penggunaan akhiran ‘ing’, pada kata running, walking dan jogging dibaca
dengan (in) atau ing (in). Pada kelompok sosial tertentu akan ditemukan variasi-variasi seperti
ini. Dalam kapasitas seseorang di mana is berada, perempuandan laki-laki tidak hanya berbicara
sebagai dirinya sendiri, namun mereka dapat berbicara seperti seorang guru dan murid, teman
dan orang asing, dan sebagainya. Hubungan yang kompleks antara jenis pekerjaan, tingkat sosial,
jaringan perkenalan, punya anak atau tidak, bekerja atau tidak dianggap mempengaruhi perilaku
berbicara.

Labov (1990) dikutip Coulmas, 2005: 40) telah melakukan pengamatan berkali-kali dan
menyimpulkan bahwa perempuan cenderung memilih variasi standar daripada laki-laki.
Pemilihan variasi fonetik tersebut lebih disebabkan berbagai motif dan kondisi. Contoh
peningkatan pemakain bentuk ‘in’ dalam bahasa lnggris dari kelompok sosial tinggi sampai
kelompok sosial yang rendah. Semakin tinggi status kelompok sosial semakin tinggi penggunaan
variasi ‘in’. Seperti tampak pada gambar 3.1 hal 41. Jika dilihat dari jenis kelamin, akan tampak
bahwa laki-laki lebih banyak menggunakan variasi ‘in daripada perempuan. Penggunaan variasi
oleh perempuan dengan frekuaensi yang lebih tinggi daripada laki-laki disebabkan adanya
keinginan perempuan dalam memperbaiki posisi sosialnya atau supaya tidak dianggap inferior
daripada lakilaki. Berkaitan dengan hal tersebut dipertegas oleh Fasold.

5. Jaringan Sosial

James dan Milroy mengemukakan bahwa peranan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan
dalam jaringan sosial terefleksikan dalam bentuk tuturan mereka. Contohnya, kata dalam bahasa
Inggris yang memiliki vokal depan rendah [da] seperti dalam kata that memiliki variasi lokal
dengan vokal belakang

Begitu juga pada kata-kata ‘trap’, dan ‘rather’ memiliki variasi lokal  vokal depan rendah
sedangkan variasi standarnya ialah [e]. Variasi standar lebih banyak digunakan oleh perempuan.
Perempuan cenderung melakukan interaksi dalam jaringan yang intens dan lebih kompleks dan
mereka tampaknya menguhubungkan variasi pilihan bahasanya dengan struktur jaringan
personal dari pada laki-laki.

Di samping perbedaan yang bersifat fonetik dan fonemik juga terdapat perbedaan dalam asepk
tatabahasa (gramatikal). Seperti terlihat dalam hasil survei-survei pada dialek perkotaan. Tampak
pada survei tersebut dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain, seperti kelas sosial, etnik, dan
umur para perempuan secara konsekuen menggunakan bentuk-bentuk yang lebih mendekati
ragam baku atau logat dengan prestise tinggi dibandingkan dengan bentuk-bentuk yang
digunakan oleh laki-laki, seperti contoh adalah sedikitnya perempuan yang menggunakan
kalimat nonbaku, seperti kalimat “I don’t want none” yang baku ialah “I want nothing” atau “I
don’t want anything” (Sumarsono dan Partana, 2002: 111).

Hubungan antara jender, jaringan sosial, dan bentuk-bentuk tuturan yang dipilih merupakan hal
yang kompleks. Analisis jaringan membantu menjelaskan perbedaan-perbedaan yang berkaitan
dengan jenis kelamin dalam kemunculan variasi-variasi fonetik. Jenis kelamin pembicara
merupakan variabel primer ditambah dengan variabel-variabel tambahan. Adanya perbedaan
antara perempuan yang memiliki anak dan perempuan yang tidak memiliki anak. Lebih jauh lagi
adanya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam jaringan sosial misalnya
perempaun lebih banyak berurusan dengan keluarga dan laki-laki lebih banyak berurusan dengan
lingkungan.

Brouwer dan van Hout mengemukakan bahwa perempuan yang memiliki anak dan pekerjaan
lebih banyak menggunakan bahasa standar. Variabel bebas yang berkaitan dengan aspek sosial
seperti jender dan variabel terikat seperti variasi fonetik.

1. 6. Jender Lintas Budaya

Dalam hal budaya atau tradisi ternyata ditemukan perbedaan perilaku berbicara di setiap daerah
di dunia. Setiap orang berbicara untuk menunjukkan identitas mereka dalam kelompok budaya
tertentu bahkan terdapat peredaan bahasa yang digunakan untuk menunjukkan tingkat kesopanan
yang dikemas menjadi sistem gramatikal daripada hanya sekedar makna secara Ieksikal dalam
pilihan fonetik itu sendiri.

Dalam masyarakat tradisional atau primitif kebiasaan kawin di luar keluarga (exogamy) dapat
merubah marga dan suku. Perempuan dan laki-laki dapat berbicara berbeda sesuai dengan
situasi.

1. 7. Ideologi Linguistik

Secara umum hubungan yang kompleks antara jenis kelamin dan perilaku berbicara melibatkan
sebuah bahasa yang telah terbentuk sejak lama dari generasi terdahulu, sebagai formasi ideologi
dari tradisi etnolinguistik komunitas tersebut. Pada kedua tingkatan tersebut pembicara dapat
memilih apakah is harus berusaha mereproduksi ulang atau merubah aturan yang sudah ada, baik
disengaja maupun tidak disengaja.

Pendapat Hibiya (1988) dalam beberapa kajian yang dilakukan secara komprehensif yaitu
menyangkut variasi sosiofonetik dalam tuturan/bahasa Jepang, ditemukan tidak terdapat
hubungan jender yang signifikan di antara setiap variabel yang diteliti. Perbedaan jender dalam
bahasa Jepang mungkin kurang dari apa yang biasa diterima sebagai suatu kenyataan. M. Inoue
(1994: 322) berpendapat: kita harus memahami. bahwa kajian sosiolinguistik tidak berfokus pada
tuturan tetapi pada ideologi linguistik penutur. Pertanyaan yang diajukan terhadap bahasa Jepang
ialah bagaimana dan mengapa terdapat hubungan antara “kewanitaan” dan tuturan menjadi topik
utama dalam kajian sosiolinguistik yang berkaitan dengan jender. M. Inoue lebih jauh
menyatakan bahwa hal seperti itu bukan peninggalan feodai Jepang akan tetapi merupakan
produk modernisasi di Jepang pada abad ke 19 yang direproduksi dalam konsep yang
kontemporer menyangkut femaleness dan Japanesness. Hubungan yang kompleks antara jenis
kelamin dan perilaku tuturan melibartkan bahasa yang dibentuk oleh beberapa generasi penutur
bahasa itu. Begitu juga halnya dengan pembentukan ideologi dari tradisi etnolinguistik
masyarakat itu. Pada kedua tingkatan penutur tersebut membuat pilihan sehingga mereproduksi
dan merubah kesepakatan yang ada tanpa disadari atau dalam beberapa hal dilakukan secara
sengaja.

8. Reformasi Bahasa
Ekspresi-ekspresi jenis kelamin yang ada di dalam kalimat sintaksis leksikal dan tingkat
morfologi dalam bahasa Inggris dan lainnya sudah banyak mengalami perubahan. Misalnya saja
penulisan “Essay on Man” cenderung merujuk pada jenis kelamin laki-laki, dirubah menjadi
“Essay on Humanity”. Hal ini merupakan usaha reformasi bahasa yang sudah terlanjur menjadi
alat diskriminatif. Usaha untuk mengurangi jenis kelamin dalam bahasa Inggris menunjukkan
keberhasilan. Begitu pula dengan komunikasi orang Belanda (Dutch) yang melakukan hal yang
sama. Tidak hanya dilihat dari hal tersebut pada kenyataannya sebuah pergerakan sosial yang
muncul pada abad ke 20 menunjukkan bahwa di negara barat yang merupakan industri kelas
tinggi penggunaan bahasa cenderung menunjukkan jenis kelamin dalam beberapa hal. Poin
utama adalah perubahan yang dibawa oieh bahasa feminim menunjukkan bahwa bahasa
dipengaruhi secara nyata oieh pilihan dari si pembicara dengan sengaja.

Penutup

Mengapa pola interaksi pria berbeda dengan wanita? Apakah ini disebabkan oleh status
subordinat wanita pada sebagian besar masyarakat sehingga wanita harus menjadi makhluk yang
kooperatif? Atau ada alasan lain? Memang cukup jelas bahwa faktor subordinasi lebih memadai
untuk menjelaskan hal tersebut dibandingkan status pekerjaan, kelas sosial, atau faktor sosial
lain.

Like

Laki-laki & Wanita sosok yang berbeda

Author: Budi Utami Fahnun

4 May

Dari seorang teman ( “firliana putri” )

Laki-laki dan perempuan adalah sosok yang berbeda. Dalam banyak hal. Karena itu, kita tidak
bisa begitu saja menyamakan keduanya, meskipun - tentu saja - mereka sama-sama manusia.

Perbedaan itu, mulai dari yang bersifat fisik sampai yang bersifat psikis. Dari bentuk maupun
fungsinya. Dalam menghadapi masalah, maupun cara menyelesaikannya. Dan dalam berbagai
kebiasaan mereka sehari-hari, termasuk aktivitas mereka di dalam rumah tangga.

Para ahli otak, bahkan menyebut otak perempuan dan otak lelaki memiliki perbedaan struktur
dan fungsi, yang terbentuk sejak mereka di dalam kandungan. Di antaranya, otak lelaki memiliki
bagian otak reptil yang lebih besar dibandingkan wanita. Padahal, ini adalah bagian yang
bertanggungjawab terhadap perilaku kasar seseorang.

Karena bagian ini lebih besar dan lebih aktif pada seorang lelaki, maka tidak heran lelaki
berperilaku lebih kasar dibandingkan dengan wanita. Seperti seekor reptil. Kalau sedang emosi,
cenderung untuk mengandalkan fisik. Seperti memukul, membanting, berkata kasar dan
sebagainya. Sedangkan pada wanita, bakal menyikapi dengan lebih hati-hati dan terkontrol.
Pada perempuan, fungsi otaknya lebih tajam dalam menangkap situasi yang terjadi di sekitarnya.
Terutama yang terkait dengan perasaan emosional, seperti sedih dan gembira. Termasuk
perubahan ekspresi lawan bicaranya, atau bahasa tubuh mereka, dibandingkan lelaki.

Ternyata semua itu juga berpangkal pada struktur dan fungsi otak yang berbeda antara keduanya.
Pada wanita sistem limbiknya bekerja 8 kali lebih kuat dibandingkan dengan lelaki. Inilah yang
memungkinkan wanita menjadi lebih perasa. Cuma, sayangnya, kepekaan ini juga membuat
wanita lebih emosional dalam bersikap: gampang merasa sedih dan gembira.

Pada umumnya wanita juga memiliki kemampuan bahasa dan mendiskripsikan persoalan secara
lebih mendetil. Ternyata ini disebabkan sel-sel otak yang bertanggungjawab terhadap
kemampuan bahasa pada perempuan tersebar dalam wilayah yang luas di otak kanan maupun
otak kiri. Sehingga, pada wanita yang mengalami stroke, kebanyakan mereka tidak kehilangan
kemampuan bicaranya. Sel-sel yang berkait dengan fungsi bicara masih berjalan dengan baik.
Suatu hal yang jarang terjadi pada pria. Kebanyakan pria jika kena stroke, kemampuan bicaranya
bakal menurun drastis.

Kemampuan berbahasa dan perasaan yang halus itu memberikan kemampuan kepada seorang
wanita untuk bisa menjelaskan perasaannya dengan lebih mengesankan dibandingkan
kebanyakan lelaki. Secara struktural, otak wanita memiliki saraf penghubung antara otak kanan
dan kirinya lebih tebal dibandingkan pria.

Dalam hal seksualitas, keduanya juga memiliki kemampuan dan kencenderungan berbeda.
Meskipun masing-masing memiliki libido atau nafsu yang relatif sama. Perbedaan itu lebih pada
cara memperoleh dan melakukannya.

Wanita memiliki saraf-saraf seksualitas yang lebih tersebar dibandingkan lelaki. Hampir di
seluruh tubuhnya. Sedangkan lelaki lebih terkonsentrasi pada daerah genitalnya.

Selain itu, wanita cenderung bersikap pasrah dalam beraktifitas seksual. Sedangkan lelaki lebih
bersifat agresif. Kenikmatan dan kepuasan mereka berbeda. Ini disebabkan oleh bagian otak
yang disebut preoptic medial yang terdapat di hypothalamus. Bagian ini kaya dengan saraf-saraf
penerima rangsangan seksual yang fungsi dan jumlahnya berbeda pada lelaki dan perempuan.

Wanita lebih suka bergaya lordosis alias pasrah telentang, sedangkan lelaki lebih suka agresif
dan bergaya kiposis atau menungging. Meskipun pada prakteknya bisa sangat bervariasi. Itu
dikarenakan perbedaan fungsi preoptic medial-nya. Yang satu peka terhadap rangsangan hormon
estrogen, sedangkan yang lelaki peka terhadap hormon androgen.

Otot-otot dan saraf yang bekerja pada sekitar daerah vital mereka pun berbeda. Pada lelaki, ia
baru bisa melakukan hubungan seksual jika otot dan sarafnya menegang aktif. Sedangkan pada
wanita, tidak perlu kondisi seperti itu. Meskipun otot dan sarafnya sedang pasif, seorang wanita
tetap bisa melakukan hubungan intim. Saraf-saraf seksual di tulang punggung lelaki memiliki
jumlah dan ketebalan lebih banyak dibandingkan perempuan. Yang disebut sebagai Nukleus
Onuf’s, berfungsi mengatur aktif tidaknya alat genital.
Perbedaan lainnya adalah pada kemampuan mengelola rasa sakit dan stres. Ternyata perempuan
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan pria. Ini pun disebabkan oleh perbedaan
otak mereka.

Sejak usia baligh, perempuan sudah terbiasa didera nyeri dan stres disebabkan oleh perubahan
kondisi menjelang haid alias menstruasi. Nyeri karena datang bulan itu, seringkali datang
bersamaan dengan gejolak emosi dan stres.

Belum lagi, ketika mereka melahirkan. Rasa sakit dan stres semakin meningkat. Tapi mereka
bisa mengatasinya dengan baik. Dan berulangkali terjadi, seiring dengan jumlah anak yang
mereka lahirkan. Mereka bisa mengelola nyeri dan stres itu lebih baik daripada pria.

Belum lagi, masa menyusui, masa membesarkan dan mendidik anak, serta berbagai masalah
rumah tangga yang datang silih berganti. Wanita memiliki daya tahan yang lebih baik
dibandingkan pria. Meskipun, kelihatannya wanita kalah berotot dan lebih lemah. Dan
seterusnya. Dan sebagainya.

Pada dasarnya, pada bagian ini saya hanya ingin mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan
memang berbeda. Berbagai penelitian bidang kedokteran dan biologi telah membuktikan hal itu.
Mereka memang memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Karena itu harus diperlakukan
secara berbeda pula. Karena, sesungguhnyalah mereka adalah sosok yang berbeda, dalam fisik,
tingkah laku, maupun ukuran kebahagiaannya

“jangan konyol, kamu akan lulus ujian”. “lupakan tentang si jelek itu, kamu
akanmendapatkan orang lain yang lebih baik”. “banyak yang telah menderita daripadakamu,
jangan mengasihani dirimu sendiri”Cara lain downward talk adalah dengan menyela atau interupsi
pembicaraanorang lain. Dengan menginterupsi orang lain menegaskan bahwa
komunikasinyalebih penting daripada orang lain.

2.a. Power Play (Kekuasaan Berperan / Terdapat Unsur Paksaan)

A d a l a h ti p e d o w n w a r d t a l k y a n g m e r e n d a h k a n d a n c e n d e r u n g
m e m a k s a orang lain.Diantaranya :

Nobody UpstairBiasanya dilakukan dengan menolak atau mengabaikan pembicaraan orang


lain.Pura-pura ti dak mendengarkan meskipun telah berkali-kali diucapkan.
Kadangdilakukan dengan menolak kata ti dak untuk sebuah permintaan.
Mengabaikanetika umum seperti : (ketuk pintu sebelum masuk, dilarang mengintip laci
oranglain) juga bentuk dari nobody upstair.


 You Owe MeS u a t u k o m u n i k a s i y a n g m e n u n t u t o r a n g l a i n a g a r m e m e n u h i n y a
a t a s d a s a r menurutinya atas dasar balas jasa terhadap kebaikan yang telah diterima.Contoh :
“bagaimana kamu bisa meninggalkan perusahaan ini, setelah apa yangkami lakukan padamu?”

MethaporMemberikan opini negatif atau kesan dengan hiasan / metafora.Contoh : “Bagaimana


kamu bisa menyukainya, dia kan kayak babi”Berikut saran Claude Steiner untuk mengantisipasi
semacam “power play”. Terdiridari 3 management strategy, diantaranya :1.Sampaikan
perasaanmu. Katakan bila kamu marah, kesal, tersinggung atauterganggu dengan
ucapannya.2 . J e l a s k a n p e r i l a k u y a n g k a m u ti d a k s u k a i . S a m p a i k a n d e n g a n
bahasa yangmenjelaskan (bukan mengevaluasi) secara spesifik perilaku
y a n g ti d a k d i s u k a i . M i s a l : m e m b a c a e m a i l t a n p a i j i n , m e n g u n g k i t - u n g k i t
m a s a l a h hutang budi, menjelek-jelekan pacar.3

3.Sampaikan respon yang diijinkan agar bisa sama-sama nyaman.


C o n t o h : saya minta agar kamu ketuk pintu dulu sebelum masuk.

2.b. Gobbledygook 

Adalah penggunaan bahasa yang rumit dan membingungkan padahal tidakdiperlukan.


Biasanya terdapat pada dokumen pemerintahan, legal dan medicalkontrak dan penulisan
ilmiah.

2.c. Equality 

(Kesetaraan)Sering kali bentuk inti midasi dan manipulasi menggunakan downward


talkdilakukan melalui kesenjangan. Meskipun management strategy dalam menghadapipower
play, namun solusi terampuh untuk menghadapi hampir semua power playa d a l a h
kesetaraan (equality). Kesetaraan yang dimaksud dalam
k o m u n i k a s i diantaranya tidak diinterupsi dan dianggap tidak penting.

Lying

(Berbohong)
Defi nisi menurut Random House Dicti onar y, berbohong adalah pernyataanyang
ti dak benar yang bertujuan untuk menipu, suatu yang salah dan biasanyadigunakan
untuk memperoleh kesan yang lebih baik. Berbohong dapat dilakukandengan
menambahkan atau mengurangi fakta. Jadi, jika beberapa informasi ataufakta
penti ng dihilangkan sehingga bisa memberikan pemahaman yang
berbeda( c e n d e r u n g s a l a h ) , m a k a d a p a t d i s e b u t j u g a b e r b o h o n g a t a u
m e m b e r i k a n pernyataan palsu.Berbohong sebagian besar secara verbal, tapi juga dilakukan
dengan elemenn o n - v e r b a l a g a r l e b i h d i p e r c a y a o r a n g l a i n .
D i a n t a r a n y a a d a l a h d e n g a n m e n g g u n a k a n e k s p r e s i m u k a ti d a k
b e r s a l a h , a n g g u k a n d a n s e b a g a i n y a . Kebohongan mulai dari yang
bertujuan baik (diperbolehkan / white lie) sampaidengan berbohong besar
semuanya menggunakan satu kesamaan formula yangmenyampaikan informasi salah
yang dirancang sedemikian rupa sehingga semuaorang dapat mempercayai kebenarannya.

 Alasan untuk Berbohong

Banyak alasan untuk berbohong dan situasi yang menyebabkannya. Namundapat


disederhanakan jadi 2 alasan utama : (1) untuk memperoleh penghargaan,( 2 ) u n t u k
menghindari hukuman / sanksi. Carl Camden, Michael Mtley dan
A n n Wilson (1984) dalam studinya tentang kebohongan baik / kecil (white lie)
dalamkomunikasi individu, diketahui 4 macam penghargaan yang mendasari
kebohongan(motif) :

Kebutuhan dasar4

Bohong untuk memenuhi kebutuhan dasar, misal : untuk uang ataupun materiil.

AfiliasiBohong untuk meningkatkan hubungan atau mengurangi konflik dengan lawanbicara.


Contoh : bohong untuk mencegah perpecahan.

Harga diri (self esteem) / kebanggaan / pamerBohong untuk meningkatkan atau


mempertahankan harga diri individu, orang y a n g d i w a k i l i d a n j u g a l a w a n
b i c a r a . C o n t o h : b o h o n g u n t u k m e n i n g k a t k a n kompetensi seseorang, mengenai cita
rasa atau masakan.

Kepuasan diri sendiri (self gratification)Bohong untuk memperoleh kepuasan pribadi. Contoh :
bohong untuk humor ataubohong agar disukai orang lain.Biasanya berbohong agar dapat
penghargaan bagi diri atau menghindarihukuman bagi diri sendiri. Hasil analisis Camden,
Montley dan Wilson terhadap 322kebohongan di ketahui bahwa : 75,8 persen untuk
kepentingan pembohong, 21,7persen untuk kepenti ngan orang yang menyuruh
berbohong, 2,5 persen untukkepentingan orang lain.K a d a n g t e r d a p a t
k e s e p a k a t a n t a k t e r t u l i s d a l a m m a s y a r a k a t u n t u k menghindari
berkata jujur. Misalnya bila terdapat pertanyaan tentang dekorasi rumah dan
dijawab dengan pujian (ti dak berkata jujur), hal ini dianggap bukan bertujuan untuk
mendapatkan informasi tetapi untuk memperoleh pujian.

 Apakah Berbohong Efektif ?

K e b o h o n g a n m e m i l i k i d i m e n s i e ti k a d a n e f e k ti fi t a s , d a n k e d u a n y a
p e r l u dipertimbangkan. Dimensi etika berkaitan tentang mana yang baik dan mana yangburuk.
Berbohong pada dasarnya bertentangan secara etik karena setiap individub e r h a k u n t u k
memilih berdasarkan informasi terbaik yang tersedia. Denganb e r b o h o n g
kepada orang lain, misalnya dengan menyembunyikan
s e b a g i a n informasi sehingga orang tersebut membuat keputusan berdasarkan asumsi
yangtidak benar atau salah.D i m e n s i e f e k ti fi t a s p e r l u d i p e r ti m b a n g k a n a p a k a h
k e b o h o n g a n t e r s e b u t sukses atau gagal dalam memperoleh penghargaan / keinginan atau
menghimbausangsi. Banyak kebohongan efektif, orang bisa mencapai puncak
kesuksesandalamprofesinya dan menghasilkan banyak kekayaan melalui kebohongan dan
penipuan.  T i d a k d i r a g u k a n l a g i b a h w a b e r b o h o n g d a p a t b e r m a n f a a t d i
berbagai aspek.5

Namun berbohong juga membawa konsekuensi dan masalah yang serius sehinggakita harus
mempertimbangkan kembali keinginan untuk berbohong.

Kebohongan dan Tidak Konsisten

Seper ti yang telah disebut kan, komusikasi dikirimkan dan diter ima seca ra satu
kesatuan verbal dan non verbal, begitu juga kebohongan. Sangat sulit
untuk berbohong non verbal secara meyakinkan, seringkali kebohongan digagalkan
olehk o m u n i k a s i n o n v e r b a l . S a n g a t m u d a h b e r b o h o n g s e c a r a l i s a n
d i b a n d i n g k a n berbohong melalui ekspresi muka dan bahasa tubuh. Apabila ada perbedaan
antaralisan dan non verbal, justru lawan bicara lebih mempercayai informasi non
verbal.Akibatnya pembohong tidak akan mendapatkan yang diinginkan melainkan reputasiyang
cacat akibat berbohong.B e r b o h o n g j u g a b e r p e n g a r u h t e r h a d a p
d i r i s e n d i r i . A p a b i l a a n d a menganggap berbohong adalah salah
d a n a n d a m e l a k u k a n n y a , m a k a s e c a r a psikologi dapat mengakibatkan konflik
intrapersonal.

Kebohongan dan Penolakan Interpersonal

M a s a l a h b e s a r y a n g ti m b u l d a r i b e r b o h o n g a d a l a h p e n o l a k a n
g r u p / k o m u n i t a s / m a s y a r a k a t k e ti k a b e r b o h o n g t e r u n g k a p .
Meskipun pada saatbersamaan mereka juga berbohong, namun
m e r e k a ti d a k m e n y u k a i b a h k a n mengutuk pembohong. Konsekuensi bila
kebohongan tertangkap bervariasi, mulaidari sekedar diacuhkan hingga pengusiran dari gruo atau
komunitas.Selain itu komunikasi pembohong yang terungkap secara drasti s
menurun m e n j a d i ti d a k e f e k ti f . H a l i n i d i k a r e n a k a n m a s y a r a k a t ti d a k d a p a t
l a g i m e n i l a i informasi yang disampaikan jujur atau bohong. Pendapat / perkataan
pembohongtersebut akhirnya diacuhkan meskipun dia kemudian berkata jujur.

Honesty (Kejujuran)

Law an dari kebohongan adalah kejujuran. Juju r buka n berarti melukai


perasaan s e s e o r a n g a t a u p u n m e n g h a n c u r k a n g a m b a r a n / i m e j y a n g
m e r e k a b a n g u n . Kejujuran secara efektif dilakukan hanya pada hubungan yang lebih
dekat, bertukarpikiran atau pengalaman, curhat dan komunikasi yang lebih
mendalam. Dengan mengetahui penggunaannya, kecil kemungkinan bahwa dengan berkata
jujur malahm e n y e b a b k a n o r a n g l a i n m e n g e t a h u i s e s u a t u y a n g ti d a k s i a p
a t a u ti d a k m a u mereka ketahui.

Self-Talk dan Other Talk (hanya membicarakan diri


d a n h a n y a membicarakan orang lain)

 
Bany ak orang yang egos entr is, mereka teris menerus membicar akan diri s e n d i r i
(pekerjaan, karir, keluarga, kisah cinta, masalah, prestasi dan
j u g a kegagalan). Jarang sekali mereka menanyakan keadaan orang lain.  Terdapat pula
orang sangat berkebalikan dan malah jarang membicarakan d i r i m e r e k a . M e r e k a
i n i l a h o r a n g - o r a n g y a n g i n g i n m e n g e t a h u i s e g a l a s e s u a t u tentang orang lain
tapi tidak mau menceritakan diri mereka sendiri. Mereka tidakm a u m e n c e r i t a k a n
a p a p u n t e n t a n g d i r i m e r e k a y a n g d a p a t m e m b u a t m e r e k a rapuh. Sehingga
interaksi yang terjadi menimbulkan kesan kurang mempercayai karena tidak
menceritakan apapun tentang diri sendiri.

Keseimbangan

Semu a inter aksi haru s seimbang, kadan g-kad ang self-talk, ladang-la dang o t h e r -
t a l k d a n ti d a k h a n y a c e n d e r u n g k e s e l f t a l k a t a u p u n o t h e r t a l k
s a j a . Komunikasi adalah proses dua arah masing-masing orang harus berperan
sebagais u m b e r d a n p e n e r i m a i n f o r m a s i . S e h i n g g a i n t e r a k s i
k o m u n i k a s i l e b i h menyenangkan.

Gossip

Menurut Random house dictionary, gosip adalah omong kosong atau rumor,teru tama
mengenai kehidup an prib adi orang lain. Gosip merupakan bagian tak terelakan dari
interaksi keseharian. Tidak bergosip bisa jadi menghilangkan salahsatu bentuk komunikasi yang
paling menyebangkan.

Beberapa Masalah Akibat Gosip

G o s i p m e n i m b u l k a n m a s a l a h s e r i u s b i l a ti d a k d i k e l o l a s e c a r a b a i k
d a n berimbang, maka dari itu keinginan kita untuk bergosip sebaiknya dikendalikan.

Etika yang Berlaku

Gosip cenderung melanggar etika. Sissela Bok dalam “secrets” ada 3 macamgosip yang
melanggar etika :a . M e l a n g g a r e ti k a b i l a m e m b u k a i n f o r m a s i
y a n g k a m u j a n j i k a n t i d a k disebarluaskan.  J i k a d a l a m k e a d a a n
terdesak (misalnya berkaitan dengan nyawa eseorang),i n f o r m a s i h a r u s
d i s a m p a i k a n h a n y a p a d a o r a n g y a n g p e r l u t a h u , b u k a n kesembarang
orang.7

 
b.Bila diketahui gosip tersebut salah dan tidak perlu diteruskanc.Bila menyerang privasi orang
lain dan dapat melukai perasaan orang lain.

Kerahasiaan (Confidentialy)

Prinsip kerahasiaan merupakan metode yang baik ketika bergosip. Pastikankerah asia annya
(yang menyampaikan) semu a perc akapan meng enai ora ng lain. Gosip yang dimulai
dengan : “kata dia …….” Atau “dia menganggap kamu ….”Seha rusnya seca ra
otomati s berp otens i merusak prinsip kerahasia an. Perlu juga diin gat prinsip
irreversibel : “kamu ti dak dapat menarik kemba li info rmas i yang kamu ucapkan”.

Diskonfirmasi (Pengabaian)

D i s k o b fi r m a s i a d a l a h p o l a k o m u n i k a s i d e n g a n m e n g a b a i k a n
kehadiranseseorang, termasuk juga komunikasi orang tersebut.
D i s k o n fi r m a s i b e r b e d a deng an penolakan (rejecti on0. Pada penol akan, anda
ti dak sependapat deng an lawan bicara. Anda menunjukan ketidaksukaan terhadap pendapat
atau perlakuanorang lain.

Konfirmasi

Konfirmasi merupakan pola komunikasi yang berlawanan. Dalam konfirmasi,kita tidak hanya
mengakui kehadiran orang lain tetapi juga menerima dengan baikpendapat atau pemikiran
orang tersebut. 8

twitter.com/scribd

English

Interaksi adalah suatu jenis tindakan atau aksi yang terjadi sewaktu dua atau lebih objek memengaruhi
atau memiliki efek satu sama lain. Ide efek dua arah ini penting dalam konsep interaksi, sebagai lawan
dari hubungan satu arah pada sebab akibat. Kombinasi dari interaksi-interaksi sederhana dapat
menuntun pada suatu fenomena baru yang mengejutkan. Dalam berbagai bidang ilmu, interaksi
memiliki makna yang berbeda.

Interaksi Bahasa Indonesia : Jenis-jenis Majas dan Penggunaannya


MAJAS PERBANDINGAN
1. Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
2. Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.
3. Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan
pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll.
4. Metafora: Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti
layaknya, bagaikan, dll.
5. Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan
dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
6. Sinestesia: Majas yang berupa suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang dicurahkan lewat
ungkapan rasa indra lainnya.
7. Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
8. Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
9. Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek,
ciri khas, atau atribut.
10. Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan
hubungan karib.
11. Litotes: Ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri.
12. Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut
menjadi tidak masuk akal.
13. Personifikasi: Pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan kepada
sesuatu yang bukan manusia.
14. Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak
bernyawa.
15. Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
16. Totem pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
17. Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata
lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
18. Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana
adanya.
19. Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
20. Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
21. Perifrase: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
22. Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
23. Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan
maksud.
24. Asosiasi: perbandingan terhadap dua hal yang berbeda, namun dinyatakan sama.

MAJAS SINDIRAN
1. Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan
dari fakta tersebut.
2. Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.
3. Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada
manusia (lebih kasar dari ironi).
4. Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau
menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
5. Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.

MAJAS PENEGASAN
1. Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.
2. Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan
keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
3. Repetisi: Perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.
4. Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.
5. Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.
6. Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar.
7. Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
8. Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.
9. Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang berlainan.
10. Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang
penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
11. Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih
penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.
12. Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
13. Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan
tersebut.
14. Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur
tersebut seharusnya ada.
15. Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat,
kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
16. Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata
penghubung.
17. Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.
18. Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat.
19. Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
20. Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu keseluruhan.
21. Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
22. Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
23. Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam
kalimat.
24. Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi
dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
25. Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk
konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.

MAJAS PERTENTANGAN
1. Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun
sebenarnya keduanya benar.
2. Oksimoron: Paradoks dalam satu frase.
3. Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan
yang lainnya.
4. Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada
bagian sebelumnya.
5. Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa dengan
waktunya.
You might also like:

teraksi Guru dalam Berbahasa dengan Siswa

Faktor lingkungan yang turut berperan besar pula terhadap perkembangan bahasa anak
yaitu pengaruh interaksi antara guru dengan siswa. Masa usia anak saat ini lebih terpaku besar
pada masa-masa sekolah, dimana anak sering bertemu dengan seorang guru yang mengajarkan
ilmu pengetahuan kepada mereka.

Pengajaran bahasa menjadi hal yang penting bagi keterampilan berbahasa anak untuk
mengungkapkan pikiran maupun sebagai bentuk moral kepribadian anak. Sebagai anak usia
Sekolah Dasar yang sedang dalam mengalami perkembangan bahasa dan dalam tahap eksplorasi,
pengaruh bahasa yang baik dapat sebagai pondasi anak untuk mengembangkan keterampilan
berbahasa selanjutnya. Anak usia Sekolah Dasar dapat memahami apa yang diajarkan guru
apabila guru meneladankan langsung atau memberi contoh kepada anak.

Metode pengajaran bahasa yang dilakukan seorang guru hendaknya tidak hanya sekedar
memberikan teori-teori bahasa kepada anak, namun bagaimana hasil yang diperoleh anak untuk
dapat berbahasa dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam proses pembelajaran di sekolah, terjadi interaksi berkomunikasi antara guru dan
siswa. Pemerolehan bahasa anak dapat terjadi ketika anak memperhatikan orang yang lebih
dewasa dan menirunya. Jadi, hati-hati sekali guru dalam setiap pembicaraan kepada siswanya
yang dijadikan sebagai tauladan.

Beberapa hal yang dapat dilakukan guru dalam tahap perkembangan bahasa anak usia
Sekolah Dasar yaitu, berikan sesering mungkin kesempatan pada anak untuk berlatih
berkomunikasi langsung, bercerita dalam pelajaran berbahasa. Hal tersebut dapat merangsang
atau memacu anak untuk mengolah kata membentuk suatu kalimat yang dimengerti orang lain.
Berikan pelajaran bahasa kepada siswa, mulai dari hal-hal yang sederhana, dan dapat diberikan
contoh serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya yaitu guru dalam
berinteraksi dengan murid, sebaiknya menggunakan pemakaian kata yang tepat dan mudah
dimengerti anak, sehingga tercipta komunikasi yang interaktif. Menyikapi perkembangan anak
usia Sekolah Dasar, yang peka terhadap peniruan segala apa yang diperhatikan, seorang guru
hendaknya memberikan tauladan yang baik dalam berbahasa dengan siswa.
Bagaimana seorang guru memahami perkembangan bahasa anak usia SD, hal tersebut
berpengaruh pula terhadap perkembangan bahasa anak selanjutnya. Perkembangan bahasa anak
dapat terhambat ketika seorang guru memberikan komunikasi bahasa yang sulit dimengerti oleh
anak pada umumnya, bahasa guru yang menekan anak, ataupun kurangnya rangsangan dari guru.
Pintar-pintarlah seorang guru untuk memberikan pelajaran bahasa kepada seorang anak SD
sebagai bekal pondasi awal bagi perkembangan pendidikan selanjutnya ….

Hakikat Bahasa, Pengertian Sosiolinguistik,


dan Pandangan Sosiolinguistik
terhadap Bahasa
Pertanyaan:
1) Apakah yang Anda ketahui menganai hakikat bahasa?
2) Sebutkan beberapa pengertian sosiolinguistik!
3) Bagaimanakah pandangan sosiolinguistik terhadap bahasa?

Jawaban:
1) Hakikat Bahasa

Hakikat bahasa menurut Harimurti Kridalaksana dalam Kamus Linguistik edisi ketiga adalah
sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat
untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Sementara menurut H. Douglas
Brown dalam bukunya Henry Guntur Tarigan “Pengajaran Pragmatik” menyebutkan hakikat
bahasa sebagai suatu sistem yang sistematis, barangkali juga untuk sistem generatif; seperangkat
lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer. Abdul Chaer dan Leonie Agustina
menyebutkan hakikat bahasa dalam buku “Pragmatik: Perkenalan Awal” yaitu sebuah sistem,
artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat
dikaidahkan.
Sapir (1921) dalam A. Chaedar Alwasilah (1990) bahwa bahasa adalah “A purely human and
non-instinctive method of communicating ideas, emotions, and desires, by means of a system of
voluntarily produced symbols.” Di samping itu, A. S. Hornby (1996) dalam Oxford Advanced
Learner’s Dictionary, menyatakan bahasa adalah sistem bunyi dan kata yang digunakan manusia
untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya.
(http://imadesudiana.wordpress.com/2008/10/12/hakikat-bahasa/)

2) Beberapa pengertian linguistik:

• Menurut KBBI Daring, sosiolinguistik adalah ilmu tentang bahasa yang digunakan di dalam
interaksi sosial; cabang linguistik tentang hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa
dan perilaku sosial.
(http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php)
• Ferdinaen Saragih (2008) dalam http://sigodang.blogspot.com/2008/10/pengertian-
sosiolinguistik-selengkapnya.html) menyebutkan pengertian sosiolinguistik yaitu cabang
linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa dan masyarakat penuturnya. Selin itu, terdapat
juga beberapa pengertian linguistik lainnya menurut beberapa ahli linguistik:
1. Abdul Chaer (2004:2) berpendapat bahwa intinya sosiologi itu adalah kajian yang objektif
mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada
di dalam masyarakat, sedangkan pengertian linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari
bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa
dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.
2. Sumarsono (2007:2) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai linguistik institusional yang
berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu.
3. Rafiek (2005:1) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai studi bahasa dalam pelaksanaannya itu
bermaksud/bertujuan untuk mempelajari bagaimana konvensi-konvensi tentang relasi
penggunaan bahasa untuk aspek-aspek lain tentang perilaku sosial.
4. Booiji (Rafiek, 2005:2) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang
mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam pemakaian bahasa dan yang berperan
dalam pergaulan.
5. Wijana (2006:7) berpendapat bahwa sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang
memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa
itu di dalam masyarakat. Pendapat tersebut pada intinya berpegang pada satu kenyalaan bahwa
dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai
masyarakat sosial.
6. Fishman. Ia memberikan definisi sosiolinguistik sebagai the study of the characteristics of
language varities, the characteristics of their functions, and the characteristics of their speakers as
these three constantly interact, change, and change one another within a speech community.
7. Nababan, mengatakan bahwa sosiolinguistik merupakan pengkajian bahasa dengan dimensi
kemasyarakatan.
8. Wikipedia, sosiolinguistik adalah kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya
terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan
masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan
interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain.
9. Fasold (1993: ix) mengemukakan bahwa inti sosiolinguistik tergantung dari dua kenyataan.
Pertama, bahasa bervariasi yang menyangkut pilihan bahasa-bahasa bagi para pemakai bahasa.
Kedua, bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan informasi dan pikiran-pikiran dari
seseorang kepada orang lain.

• Zakii (2008) dalam http://sastrainggris.2forum.biz/t84-pengertian-sosiolinguistik menyebutkan


beberapa pengetriansosiolinguistik yaitu:
1. Sociolinguistyiek is de studie van tall en taalgebruik in de context van maatschapij en kultuur.
Sosiolimguistik adalah kajian mengenai bahasa dan pemakaiannya dalam konteks sosial dan
kebudayaan. (Rene appel, Gerad Hubert, Greus Meijer, 1976:10).
2. Sociolinguistiek is subdisiplin van de taalkunde , die bestudert welke social faktoren een rol
nspelen in het taalgebruik er welke taal spelt in het social verkeer. Sosiolinguistik adalah
subdisiplin ilmu bahasa yang mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam penggunaan
bahasa dan pergaulan sosial. (G.E. Booij, J.G. Kersten, dan H.J Verkuyl, 1975:139).
3. Sosiolinguistcs is the study of language operation, it’s purposeis to investigatehow the
convention of the language use relate to other aspects of social behavior. (Sosiolinguistik adalah
kajian bahasa dalam penggunaannya, dengan tujuan untuk meneliti bagaimana konveksi
pemakaian bahasa berhubungan dengan aspek-aspek laindari timgkah laku sosial.) (C.Criper dan
H.G.Widdowson dalam J.P.B Allen dan S.Piet Corder, 1975:156).
4. Sosiolinguistics is a developing subfield of linguistics which takes speech variation as it’s
focus, viewing variation or it social context. Sociolinguistics is concerned with the correlation
between such social factors and linguistics variation. (Sosiolinguistik adalah pengembangan
subbidang yang memfokuskan penelitian pada variasi ujaran, serta mengkajinya dalam suatu
konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi
bahasa.) (Nancy Parrot Hickerson, 1980:81).

3) Pandangan sosiolinguistik terhadap bahasa:

Sosiolinguistik memandang bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi atau alat untuk
menyampaikan pikiran. Karena, yang menjadi sorotan dalam soiolingistik adalah siapa yang
berbicara, menggunakan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan apa tujuannya.
Pandangan sosiolingistik terhadap bahasa dapat dilihat dari fungsi-fungsi bahasa melalui sudut
pandang penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan. Dilihat dari sudut penutur,
bahasa berfungsi personal atau pribadi atau emotif. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap
terhadap apa yang dituturkannya. Dilihat dari segi pendengar, bahasa berfungsi direktif, yaitu
mengatur tingkah laku pendengar. Finnochiaro (1974) dan Halliday (1973) menyebutnya fungsi
instrumental, sementara Jakobson (1960) menyebutnya fungsi retorikal. Dalam hal ini, bahasa
tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai
dengan yang dimau si pembicara. Contohnya “Dilarang merokok di ruangan ber-AC.”

Dilihat dari segi kontak antara penutur dengan pendengar, bahasa berfungsi fatik. Jakobson
(1960) dan Finnochiaro (1974) menyebutnya interpersonal, sedangkan Halliday (1973)
menyebutnya interactional. Maksud dari fungsi ini adalah menjalin hubungan, memelihara,
memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial. Dalam hal ini, bahasa yang
berfungsi fatik ini mempunyai ungkapan-ungkapan yang sudah berpola dan biasanya disertai
dengan gerak paralinguistik seperti senyuman, anggukan kepala, geleng-geleng kepala, dan
kedipan mata. Tujuannya tidak hanya memberikan informasi, tetapi membangun kontak sosial
dengan para partisipan dalam pertuturan itu.

Fungsi bahasa dilihat dari segi topik ujaran ini berfungsi referensial. Finnocchiaro (1974) dan
Halliday (1973) menyebutnya representational, sedangkan Jakobson (1960) menyebutnya fungsi
kognitif, ada juga yang menyebutnya fungsi denotatif atau fungsi informatif. Fungsi referensial
inilah yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu alat untuk menyatakan pikiran, untuk
menyatakan bagaimana pendapat si penutur mengenai dunia di sekelilingnya. Contohnya “UPI
adalah IKIP tertua di Indonesia.”
Fungsi bahasa apabila dilihat dari kode yang digunakan adalah berfungsi metalingual atau
metalinguistik (Jakobson (1960) dan Finnocchiaro (1974)), artinya bahasa itu digunakan untuk
membicarakan bahasa itu sendiri. Fungsi bahasa lainnya dapat kita lihat dari segi amanat (pesan
yang akan disampaikan), di mana bahasa berfungsi imajinatif, Halliday (1973) dan Finnocchiaro
(1974) menyebutnya fungsi poetic speech. Wujud dari poetic speech ini berupa karya seni seperti
puisi, cerita, dongeng, lelucon, dan sebagainya.
Kalau kita simpulkan, peranan sosiolingistik terhadap bahasa ini pada intinya menilai bahasa
tidak sekadar alat untuk berkomunikasi atau menyampaikan gagasan, tetapi lebih jauh dan lebih
kompleks dari itu. Sosiolingistik membuat kita tahu bahwa bahasa itu dinamis, tidak terpaku
pada satu ukuran, tetapi harus melihat hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasa itu, dalam
hal ini adalah sisi sosialnya. Melalui sosiolingguistik, kita dapat memahami bahasa tidak dengan
sudut pandang yang kaku. Contohnya adalah pandangan orang awam terhadap Bahasa Jawa
Tegal. Kebanyakan orang awam itu menyatakan bahwa Bahasa Tegal adalah bahasa yang paling
kasar, tidak mempunyai nilai keindahan, dan sebagainya. Akan tetapi, setelah saya tinjau dari
sudut pandang sosiolinguistik, di mana letak geografis Tegal yang dekat dengan pantai. Orang
pantai kalau berbicara cenderung agak teriak apabila dibandingkan dengan orang yang tinggal di
daerah pegunungan. Kekasaran Bahasa Jawa Tegal yang dinyatakan oleh orang kebanyakan itu
mungkin dilihat dari logat dan bicaranya yang keras. Padahal hal itu salah satu penyebabnya
adalah karena letak Tegal yang merupakan daerah pantai.

Dengan adanya sosiolinguistik, kita tidak bisa menghakimi bahasa dengan sesuka hati. Kita juga
tidak bisa menilai atau menetapkan suatu bahasa itu kasar atau tidak, berestetik atau tidak, dan
sebagainya. Dengan sosiolinguistik, kita menjadi menghargai keunikan tiap bahasa.

MAKALAH

PEMILIHAN BAHASA DALAM KAJIAN SOSIOLINGUISTIK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat, yang mengaitkan dua


bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan
struktur masyarakat oleh sosiologi (Wardhaugh 1984: 4; Holmes 1993: 1; Hudson 1996: 2).
Istilah sosiolinguistik itu sendiri baru muncul pada tahun 1952 dalam Kaya Haver Currie
(dalam Dittmar 1976: 27) yang menyatakan perlu adanya kajian mengenai hubungan antara
perilaku ujaran dengan status sosial. Disiplin ini mulai berkembang pada akhir tahun 60-an
yang diujungtombaki oleh Committee on Sociolinguistics of the Social Science Research
Council (1964) dan Research Committee on Sociolinguistics of the International Sociology
Association (1967). Jurnal sosiolinguistik baru terbit pada awal tahun 70-an, yakni
Language in Society (1972) dan International Journal of Sociology of Language (1974).
Dari kenyataan itu dapat dimengerti bahwa sosiolinguistik merupakan bidang yang relatif
baru.

Pemilihan bahasa dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik


untuk dikaji dari perspektif sosiolingistik. Bahkan Fasold (1984: 180) mengemukakan
bahwa sosiolionguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya pemilihan bahasa. Fasold
memberikan ilustrasi dengan istilah societal multilingualism yang mengacu pada kenyataan
adanya banyak bahasa dalam masyarakat. Tidaklah ada bahasan tentang diglosia apabila
tidak ada variasi tinggi dan rendah. Pada kenyataannya setiap bab dari buku sosiolinguistik
karya Fasold (1984) memusatkan pada paparan tentang kemungkinan adanya pemilihan
bahasa yang dilakukan masyarakat terhadap penggunaan variasi bahasa. Oleh karena itu,
untuk memahami bagaimana pemilihan bahasa dalam kajian Sosiolinguistik, di sini akan
dipaparkan mengenai pengertian pemilihan bahasa, faktor penanda pemilihan bahasa, dan
pendekatan pemilihan bahasa.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian pemilihan bahasa?

2. Apasaja faktor penanda pemilihan bahasa?

3. Bagaimana pendekatan kajian pemilihan bahasa?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian pemilihan bahasa

2. Mengidentifikasi faktor penanda pemilihan bahasa


3. Mengetahui pendekatan kajian pemihan bahasa

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemilihan Bahasa

Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) tidak sesederhana yang kita
bayangkan, yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan dalam suatu peristiwa
komunikasi. Kita membayangkan seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus
memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai bahasa
Jawa dan bahasa Indonesia harus memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika
berbicara kepada orang lain dalam peristiwa komunikasi.

Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pilihan. Pertama, dengan memilih
satu variasi dari bahasa yang sama. Apabila seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada
orang lain dengan menggunakan bahasa Jawa kromo, maka ia telah melakukan pilihan
bahasa kategori pertama ini. Kedua, dengan melakukan alih kode, artinya menggunakan satu
bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam
satu peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan campur kode, artinya menggunakan
satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.

Peristiwa perlaihan bahasa atau alih kode dapat terjadi karena beberapa faktor.
Reyfield (1970: 54-58) berdasarkan studinya terhadap masyarakat dwibahasa Yahudi-
Inggris di Amerika mengemukakan dua faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi
tutur dan faktor retoris. Faktor pertama menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga
dalam peristiwa tutur yang sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor
kedua menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata yang
tabu. Menurut Blom dan Gumperz (1972: 408-409) teradapat dua macam alih kode, yaitu (1)
alih kode situasional (situational switching) dan (2) alih kode metaforis. Alih kode yang
pertama terjadi kerana perubahan situasi dan alih kode yang kedua terjadi karena bahasa
atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metofora yang melambangkan identiti penutur.
Campur kode (code mixing) merupakan peristiwa percampuran dua atau lebih
bahasa atau ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Di dalam masyarakat tutur Jawa yang
diteliti ini juga terdapat gejala ini. Gejala seperti ini cenderug mendekati pengertian yang
dikemukakan oleh Haugen (1972: 79-80) sebagai bahasa campuran (mixture of language),
yaitu pemakaian satu kata, ungkapan, atau frase. Di Filipina menurut Sibayan dan Segovia
(1980: 113) disebut mix-mix atau halu-halu atau Taglish untuk pemakaian bahasa campuran
antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris. Di Indonesia, Nababan (1978: 7) menyebutnya
dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia
dan bahasa daerah.

B. Faktor Penanda Pemilihan Bahasa

Pilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa


disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp mengidentifikaskan empat
faktor utama sebagai penanda pilihan bahasa penutur dalam interkasi sosial, yaitu (1) latar
(waktu dan tempat) dan situasi; (2) partisipan dalam interkasi, (3) topik percakapan, dan (4)
fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti makan pagi di lingkungan
keluarga, rapat di keluarahan, selamat kelahiran di sebuah keluarga, kuliah, dan tawar
menawar barang di pasar.

Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial
ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan mitra tutur. Hubungan dengan mitra tutur
dapat berupa hubungan akrab dan berjarak. Faktor ketiga dapat berupa topik tentang
pekerjaan, keberhasilan anak, peristiwa-peristiwa aktual, dan topik harga barang di pasar.
Faktor keempat berupa hal-hal seperti penawaran informasi, permohonan, kebiasaan rutin
(salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih).

Senada dengan Evin-Tripp, Grosjean (1982: 136) berpendapat tentang faktor-


faktor yang berpengaruh dalam pilihan bahasa. Menurut Grosjean terdapat empat faktor
yang mempengaruhi pilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu (1) partisipan, (2) situasi,
(3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi.
Faktor situasi mengacu pada (1) lokasi atau latar, (2) kehadiran pembicara
monolingual, (3) tingkat formalitas, dan (4) tingkat keakraban. Faktor isi mengisi wacana
mengacu pada (1) topik pembicaraan, dan (2) tipe kosakata. Fatkor fungsi iteraksi
mencakupi aspek (1) menaikan status, (2) penciptaan jarak sosial, (3) melarang masuk /
mengeluarkan sesorang dari pembicaraan, dan (4) memerintah atau meminta.

Dari paran berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak
terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pilihan bahasa seseorang. Yang menjadi
pertanyaan adalah apakah faktor-faktor itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya?
Kajian penelitian pemilihan bahasa yang pernah dilakukan terdahulu diketahui bahwa
umunya beberapa faktor menduduki kedudukan yang lebih penting daripada faktor lain. Di
Obserwart, Gal (1982) menemukan bukti bahwa karakteristik penutur dan mitra tutur
menduduki faktor yang penentu pilihan bahasa dalam masyarakat tersebut. Sedangkan faktor
topik dan latar merupakan faktor yang kurang penting daripada faktor partisipan.

Berbeda dengan Gal, Rubin (1982) menemukan faktor penentu yang terpenting
adalah lokasi tempat berlangsungya peristiwa tutur. Dalam penelitiannya tentang pilihan
bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay Rubin menyimpulkan bahwa lokasi interaksi yaitu
(1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat umum sangat menentukan pilihan bahasa masyarakat.
Di desa pembicara akan memilih bahaa Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol,
dan di tempat umum memilih bahasa Spanyol.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas mengenai faktor penanda pemilihan
bahasa dapat disimpulkan bahwa faktor penanda pemilihan bahasa meliputi:

1. latar (waktu dan tempat),

2. situasi,

3. partisipan dalam interkasi,

4. topik percakapan (isi wacana),

5. fungsi interaksi.
C. Pendekatan Kajian Pemilihan Bahasa

Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan tiga
pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan
antropologi. Ketiga pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah. Pendekatan ini pertama kali
dikemukakan oleh Fishman (1964). Ranah menurut Fishman merupakan konstalasi faktor lokasi,
topik, dan partisipan. Ranah didefinisikan pula sebagai konsepsi sosiokultural yang
diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar-komunikator, dan tempat
komunikasi di dalam keselarasan dengan pranata masyarakat dan merupakan bagian dari
aktivitas masyarakat tutur (Fishman dalam Pride dan Holmes (eds) 1972). Di bagian lain
Fishman (dalam Amon et al. (1987) mengemukakakan bahwa ranah adalah konsep teoretis yang
menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh
tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan.
Sebagai contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai
sebuah topik, penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga. Pemilihan ranah dalam
penelitian ini mengacu pada pendapat Fishman.

Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial lebih tertarik pada
proses psikologis manusia daripada kategori dalam masyarakat luas. Pendekatan ini lebih
berorientasi pada individu seperti motivasi individu daripada berorientasi pada masyarakat.
Karya-karya penting kajian pemilihan bahasa dengan pendekatan psikologi sosial telah dilakukan
oleh Herman (1968), Giles et al. (1973), serta Bourhish dan Taylor (1977).

Herman (dalam Fasold 1984) mengemukakan teori situasi tumpang tindih yang
mempengaruhi seseorang di dalam memilih bahasa. Situasi yang dimaksud adalah (1) kebutuhan
personal (personal needs), (2) situasi latar belakang (background situation) dan (3) situasi sesaat
(immediate situation). Dalam pemilihan bahasa salah satu situasi lebih dominan daripada situasi
lain.

Giles (1977: 321-324) mengajukan teori akomodasi (accommodation theory). Menurut


Giles terdapat dua arah akomodasi penutur dalam peristiwa tutur. Pertama, akomodasi ke atas
yang terjadi apabila penutur menyesuaikan pemilihan bahasanya dengan pemilihan bahasa mitra
tutur. Kedua, akomodasi ke bawah, yang terjadi apabila penutur menginginkan agar mitra
tuturnya menyesuaikan dengan pemilihan bahasanya.

Pandangan Herman dan Giles tersebut mengimplikasikan adanya hubungan yang


maknawi antara tingkat kondisi psikologis peserta tutur dan pemilihan bahasanya. Dengan
demikian, untuk mengungkap permasalahan pemilihan bahasa perlu pula dilakukan kajian dari
segi kondisi psikologis orang per orang dalam masyarakat tutur ketika mereka melakukan
pemilihan bahasa atau ragam bahasa.

Seperti halnya pendekatan psikologi sosial, pendekatan antropologi tertarik dengan


bagaimana seorang penutur berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah
bahwa apabila psikologi sosial memandang dari sudut kebutuhan psikologis penutur, pendekatan
antropologi memandangnya dari bagaimana seseorang memilih bahasa untuk mengungkapkan
nilai kebudayaan (Fasold 1984: 193). Dari segi metodologi kajian terdapat perbedaan antara
pendekatan sosiologi, psikologi sosial, dan antropologi. Dua pendekatan pertama yang disebut
lebih mengarahkan kajiannya pada data kuesioner dan observasi atas subjek yang ditelitinya.
Sementara itu, pendekatan yang ketiga menempatkan nilai yang tinggi pada perilaku
takterkontrol yang alamiah. Hal ini membimbing peneliti untuk menggunakan metode penelitian
yang jarang digunakan oleh sosiologi dan psikologi sosial, yakni observasi terlibat (participant
observation). Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Susan Gal (yang mempublikasikan
hasilnya tahun 1979) di Oberwart, Australia Timur menghabiskan waktu satu tahun untuk tinggal
di sebuah keluarga setempat.

Dengan menggunakan metode observasi terlibat ini antropolog dapat memberikan


perspektif penjelasan atas pemilihan bahasa berdasarkan persepsinya sebagai penutur sebuah
kelompok atau lebih yang dimasukinya selama mengadakan penelitian. Implikasi dari metode ini
adalah bahwa pengamat adalah peneliti yang menjadi anggota kelompok yang ditelitinya
(Wiseman dan Aron 1970: 49). Kesesuaian pendekatan antropologi dengan penelitian ini terletak
pada faktor kultural yang mempengaruhi pemilihan bahasa masyarakat tutur.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) yaitu memilih sebuah bahasa
secara keseluruhan dalam suatu peristiwa komunikasi. Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga
kategori pilihan. Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra
language variation). Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching). Ketiga, dengan
melakukan campur kode (code mixing).

Faktor penanda pemilihan bahasa meliputi (1) latar (waktu dan tempat), (2)
situasi, (3) partisipan dalam interkasi, (4) topik percakapan (isi wacana), (5) fungsi interaksi

Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan
tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan
antropologi.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolingustik Perkenalan Awal. Jakarta : PT Rineka
Cipta

Fathurrokhman. 2009. Sosiolinguistik, Pemilihan Bahasa, dan Masyarakat Multilingual.


http://fathur-linguistik.blogspot.com. Diunduh pada tanggal 12 Maret 2011.

« Negosiasi Pilihan Bahasa dalam Masyarakat Multilingual

Pergeseran Bahasa Indonesia di Era Global dan Imlpikasinya terhadap  Pembelajaran »


Fenomena Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Multilingual:
Paradigma Sosiolinguistik

Juni 4, 2009 oleh fathurrokhmancenter

Abstrak

Interaksi sosial dalam masyarakat multibahasa, dengan tersedianya beberapa bahasa atau ragam
bahasa menuntut tiap-tiap penutur mampu memilih secara tepat bahasa atau ragam bahasa yang
sesuai dengan situasi komunikasi.  Pemilihan bahasa ini tidak bersifat acak melainkan
mempertimbangkan berbagai faktor. Tulisan ini bertujuan memaparkan fenomena pemilihan
bahasa dalam masyarakat multilingual berdasarkan paradigma sosiolinguistik. Diharapkan
tulisan ini bermafaat bagi para peminat disiplin tersebut untuk melakukan kajian pada latar
situasi kebahasaan di Indonesia.

Kata kunci: pemilihan bahasa, masyarakat multibahasa, sosiolinguistik, pendekatan sosiologi,


pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi.

PENDAHULUAN

Pandangan de Saussure (1916) yang menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga
kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan,
pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian
terhadap dimensi sosial bahasa. Namun, kesadaran tentang hubungan yang erat antara bahasa dan
masyarakat baru muncul pada pertengahan abad ini (periksa Hudson 1996: 2). Para ahli bahasa
mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan masyarakat akan
mengesampingkan beberapa aspek penting dan menarik, bahkan mungkin menyempitkan
pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Argumentasi ini telah dikembangkan oleh Labov
(1972) dan Halliday (1973). Alasannya adalah bahwa ujaran mempunyai fungsi sosial, baik
sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial.
Apabila kita mempelajari bahasa tanpa mengacu ke masyarakat yang menggunakannya sama
dengan menyingkirkan kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi struktur yang
digunakan.   Satu aspek yang juga  mulai disadari adalah hakikat pemakaian bahasa sebagai
suatu gejala yang senantiasa berubah. Suatu pemakaian bahasa itu bukanlah cara pertuturan yang
digunakan oleh semua orang, bagi semua situasi dalam bentuk yang sama, sebaliknya pemakaian
bahasa itu berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor, baik faktor sosial, budaya, psikologis,
maupun pragmatis. Hubungan bahasa dan faktor-faktor tersebut dikaji secara mendalam dalam
disiplin sosiolinguistik.

Dari perspektif sosiolinguistik fenomena pemilihan bahasa (language choice) dalam masyarakat
multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji. Fasold (1984: 180) mengemukakan
bahwa sosiolinguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya pilihan pemakaian bahasa.
Fasold memberikan ilustrasi dengan istilah societal multilingualism (multilingualisme
masyarakat) yang mengacu pada kenyataan adanya banyak bahasa dalam masyarakat. Tidaklah
akan ada bab tentang diglosia, apabila tidak ada variasi tinggi dan rendah. Apabila dicermati
setiap bab dalam karya Fasold (1984), akan jelas bahwa setiap kajian dalam karya itu dipusatkan
pada kemungkinan adanya pilihan yang bisa dibuat di dalam masyarakat mengenai penggunaan
variasi bahasa. Statistik sekalipun menurut Fasold (1984) tidak akan diperlukan dalam kajian
sosiolinguistik, apabila tidak ada variasi dalam penggunaan bahasa dan pilihan di antara variasi-
variasi tersebut.

Permasalahan yang menarik untuk diungkap di sini antara lain sebagai berikut. Dipandang
sebagai fenomena apakah pemilihan bahasa itu dalam paradigma sosilinguistik: fenomena
linguistis, sosialbudaya, atau psikolgis? Faktor-faktor apa yang menjadi penentu pemilihan
bahasa dalam masyarakat multibahasa? Secara teoretis pendekatan apa yang selama ini
digunakan oleh para ahli dalam mendekati fenomena itu? Tulisan ini mencoba  mengungkap
permasalahan tersebut. Berikut secara berturut-turut dipaparkan: (1) perspektif sosiolinguistis
tentang pemilihan bahasa ; (2) kategori pemilihan bahasa; (3) faktor penentu pemilihan bahasa;
dan (4) pendekatan pemilihan bahasa.

PERSPEKTIF SOSIOLINGUISTIS TENTANG PEMILIHAN BAHASA

Sesuai dengan namanya, sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat


(Wardhaugh, 1984: 4; Holmes, 1993; 1; Hudson, 1996: 2), yang  mengaitkan dua bidang yang
dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat
oleh sosiologi. Istilah sosiolinguistik itu sendiri baru muncul pada tahun 1952 dalam karya Haver
C. Currie (via Dittmar 1976: 27) yang menyatakan perlu adanya kajian mengenai hubungan
antara perilaku ujaran dengan status sosial. Ia mulai berkembang pada akhir tahun 60-an, dan
diujungtombaki oleh Committee on Sociolinguistics of the Social Science Research Council
(1964) dan Research Committee on Sociolingustics of the International Sociology Association
(1967). Jurnal baru terbit pada awal tahun 70-an, Language in Society (1972) dan International
Journal of the Sociology of Language (1974), dan sejumlah buku teks pengantar (Pride, 1971,;
Fishman, 1972, Dittmar, 1976). Dari kenyataan itu dapat dimengerti bahwa sosiolinguistik
merupakan disiplin yang relatif baru.

Bahasa dalam kajian sosiolinguistik tidak didekati sebagai bahasa sebagaimana dalam kajian
linguistik teoretis, melainkan didekati sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat. Konferensi
sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of California, Los Angeles, tahun 1964,
telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi yang
merupakan bidang kajian sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial penutur, (2) identitas
peserta tutur, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur, (4) analisis sinkronik dan diakronik
dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-
bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi linguistik, dan (7) penerapan praktis penelitian
sosiolinguistik (lihat Dittmar 1976: 128). Sejalan dengan rumusan itu, Kartomihardjo (1988: 4)
mengemukakan gagasan tentang objek kajian sosiolinguistik, sebagai berikut.

Sosiolinguistik mempelajari hubungan antara pembicara dan pendengar, berbagai macam


bahasa dan  variasinya, penggunaannya sesuai dengan berbagai faktor penentu, baik faktor
kebahasaan maupun lainnya, serta berbagai bentuk bahasa yang hidup dan dipertahankan di
dalam suatu masyarakat.
Gagasan itu mengandung pengertian bahwa sosiolinguistik mencakupi bidang kajian yang luas,
bukan hanya menyangkut wujud formal bahasa dan variasi bahasa melainkan juga penggunaan
bahasa di masyarakat. Penggunaan bahasa tersebut bertemali dengan berbagai faktor, baik faktor
kebahasaan itu sendiri maupun faktor nonkebahasaan, seperti faktor sosialbudaya, termasuk tata
hubungan antara pembicara dan pendengar. Implikasinya adalah bahwa tiap-tiap kelompok
masyarakat mempunyai kekhususan dalam hal nilai-nilai sosialbudaya dan variasi penggunaan
bahasa dalam interaksi sosial.

Ada asumsi penting di dalam sosiolinguistik yang menyatakan bahwa bahasa itu tidak pernah
monolitik keberadaannya (Bell, 1975). Asumsi ini mengandung pengertian bahwa sosio-
linguistik memandang masyarakat yang dikajinya sebagai masyarakat yang beragam setidak-
tidaknya dalam hal penggunaan bahasa atau dalam pilihan bahasa mereka. Adanya fenomena
pemakaian variasi bahasa dalam masyarakat tutur dikontrol oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan
situasional (Kartomihardjo, 1981, Fasold, 1984, Hudson, 1996, Wijana (1997: 5). Dalam kajian
pemilihan bahasa, tugas sosiolinguis  adalah berusaha menerangjelaskan hubungan antara gejala
pemilihan bahasa dengan faktor-faktor sosial, budaya, dan situasional dalam masyarakat
dwibahasa atau multibahasa,  baik secara korelasional maupun implikasional.

Pada umumnya, sosiolinguistik mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Dalam


kenyataannya, fenomena pemilihan bahasa juga akan bertemali dengan situasi semacam itu
sebab untuk menentukan peilihan bahasa atau ragam bahasa tertentu, tentu ada bahasa lain atau
ragam lain yang ikut digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari sebagai pendamping sekaligus
pembanding.

Sosiolinguistik melihat fenomena pemilihan bahasa sebagai fakta sosial dan menempatkannya
dalam sistem lambang (kode), sistem tingkah laku budaya, serta sistem pragmatik. Dengan
demikian, kajian sosiolinguistik menyikapi fenomena pemilihan bahasa sebagai wacana dalam
peristiwa komunikasi dan sekaligus menunjukkan identitas sosial dan budaya peserta tutur.

Dalam kaitannya dengan situasi kebahasaan di Indonesia, kajian pemilihan bahasa dalam
masyarakat di Indonesia bertemali dengan permasalahan pemakaian bahasa dalam masyarakat
dwibahasa atau multibahasa karena situasi kebahasaan di dalam  masyarakat Indonesia sekurang-
kurangnya ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu (pada
sebagaian besar masyarakat Indonesia), bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bahasa
asing. Studi pemilihan bahasa dalam masyarakat seperti itu lebih mengutamakan aspek tutur
(speech) daripada aspek bahasa (language). Sebagai aspek tutur, pemakaian bahasa relatif
berubah-ubah sesuai dengan perubahan unsur-unsur dalam konteks sosial budaya. Hymes (1972;
1973; 1980) merumuskan unsur-unsur itu dalam akronim SPEAKING, yang merupakan salah
satu topik di dalam etnografi komunikasi (the etnography of communication), yang oleh Fishman
(1976: 15) dan Labov (1972: 283) disebut sebagai variabel sosiolinguistik.

Hymes (1980) mengemukakan tujuh belas komponen peristiwa tutur (components of speech
event) yang bersifat universal. Ketujuh belas komponen itu oleh Hymes diklasifikasikan lagi
menjadi delapan komponen yang diakronimkan dengan SPEAKING: (1) setting and scene (latar
dan suasana tutur), (2) participants (peserta tutur), (3) ends (tujuan tutur), (4) act sequence
(topik/urutan tutur), (5) keys (nada tutur), (6) instrumentalities (sarana tutur), (7) norms (norma-
norma tutur), dan (8) genre (jenis tutur).  Pandangan Hymes di atas dijadikan kerangka konsep
pelaksanaan penelitian ini. Kedelapan komponen peristiwa tutur tersebut merupakan faktor luar
bahasa yang menentukan pemilihan bahasa.

KATEGORI PEMILIHAN BAHASA

Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) tidak sesederhana yang kita bayangkan, yaitu
memilih “sebuah bahasa secara keseluruhan” (whole language) dalam suatu komunikasi. Kita
membayangkan seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana
yang akan ia gunakan. Misalnya, seseorang yang mengusai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia,
harus memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang lain dalam
peristiwa komunikasi. Kenyataannya, dalam hal memilih, terdapat tiga jenis pilihan. Pertama,
dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra-language-variation). Apabila seorang
penutur bahasa Jawa berbicara kepada kepala desa dengan menggunakan bahasa Jawa kromo,
misalnya, maka ia telah melakukan pilihan bahasa yang pertama itu. Kedua, dengan alih kode
(code-swicthing), artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan, dan menggunakan
bahasa yang lain pada keperluan lain. Ketiga, dengan melakukan campur kode (code-mixing),
artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan-serpihan dari bahasa lain.

Peristiwa peralihan bahasa atau alih kode (code-switching) dapat terjadi karena beberapa faktor.
Rayfield (1970: 54-58) berdasarkan studinya terhadap masyarakat dwibahasa bahasa Yahudi-
Inggris di Amerika mengemukakan dua faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi tutur
(seperti kehadiran seseorang dari luar dan perubahan topik pembicaraan) dan  sebagai alat retorik
(seperti penekanan pada kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata yang tabu).
Menurut Blom dan Gumperz (1972: 408-409) ada dua macam alih kode, yaitu (1) alih kode
situasional (situational switching) dan (2) alih kode metaforis  (metaphorical switching). Alih
kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi, sedangkan alih kode yang kedua terjadi
karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metafora (yang melambangkan
identitas penutur).

Campur kode (code-mixing) merupakan peristiwa percampuran dua atau lebih bahasa atau dua
ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Di dalam masyarakat tutur Jawa yang diteliti juga
diduga akan terdapat gejala tersebut. Gejala seperti itu cenderung mendekati pengertian yang
dikemukakan oleh Haugen (1972: 79-80) sebagai bahasa campuran (mixture of languages), yaitu
pemakaian satu kata, ungkapan atau frase pendek, yang di Filipina (menurut Sibayan dan
Segovia, 1980: 113) disebut mix-mix atau halu-halu atau Taglish, untuk pemakaian bahasa
campuran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris. Di Indonesia, Nababan (1978: 7)
menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa
Indonesia dan bahasa daerah.

FAKTOR-FAKTOR PENENTU PEMILIHAN BAHASA

Ervin-Trip (dalam Grosjean 1982: 125) mengidentifikasikan empat faktor utama yang
menyebabkan pemilihan bahasa, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi, (2) partisipan
dalam interaksi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-
hal, seperti: makan pagi di lingkungan keluarga, pesta kuliah, atau berkencan.
Faktor kedua mencakup hal-hal, seperti: usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi,
asal, latar belakang kesukuan, dan peranannya dalam hubungan dengan partisipan lain. (contoh:
direktur-karyawan, suami-istri, penjual pembeli, guru-siswa). Faktor ketiga dapat berupa: topik-
topik tentang pekerjaan, olah raga, harga sembako, peristiwa aktual, dan sebagainya. Faktor
keempat dapat berupa hal-hal seperti: penawaran informasi, permohonan, dan mengucapkan
terima kasih.

Senada dengan pendapat Ervin-Trip di atas, Grosjean (1982: 136) berpendapat tentang faktor
yang berpengaruh dalam pemilihan bahasa. Menurut Grosjean terdapat empat faktor, yaitu (1)
partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, (4) fungsi interaksi.

Aspek yang perlu diperhatikan dari faktor partisipan adalah (a) keahlian berbahasa, (b) pilihan
bahasa yang dianggap lebih baik, (3) status sosial ekonomi, (d) usia, (e) jenis kelamim, (f)
pendidikan, (g) pekerjaan, (h) latar belakang etnis, (i) relasi kekeluargaan, (j) keintiman, (k)
sikap kepada bahasa-bahasa, dan (l) kekuatan luar yang menekan.

Faktor situasi mencakupu: (a) lokasi atau latar, (b0 kehadiran pembicara monolingual, (c) tingkat
formalitas, dan (d) tingkat keintiman. Faktor isi wacana berkaitan dengan (a) topik percakapan
dan (b) tipe kosakata. Faktor fungsi interaksi mencakup: (a) strategi menaikan status, (b) jarak
sosial, (c) melarang masuk atau mengeluargak sesoorang dari pembicaraan, dan (d) memerintah
atau meminta.

Dari jabaran di atas, yang perlu diperhatikan adalah adanya atau jarang terdapat faktor tunggal
yang mempengaruhi pemilihan bahasa seorang dwibahasawan/multibahasawan. Yang menjadi
pertanyaan adalah “apakaah faktor-faktor itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya?.
Umumnya beberapa faktor menduduki kedudukan yang lebih penting daripada faktor lainnya. Di
Obewart, Gal (dalam Grosjean, 1982: 143) menemukan bukti bahwa karakteristik pembicara dan
pendengar menduduki faktor penentu terpenting. Sedangkan faktor topik dan latar merupakan
faktor yang kurang penting daripada faktor partisipan.

Berbeda dengan Gal, Rubin menemukan faktor penentu yang terpenting adalah lokasi interaksi.
Rubin meneliti pilihan bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay. Dari penelitian itu dapat
disimpulkan bahwa lokasi interaksi, yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat umum, sangat
menentukan pilihan bahasa oleh pembicara bilingual. Di desa, pembicara akan memilih bahasa
Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memimilih bahasa
Spanyol (Grosjean 1982: 43).

PENDEKATAN PEMILIHAN BAHASA

Penelitian terhadap pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan
tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan
antropologi. Ketiga pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah (domain). Pendekatan ini pertama
dikemukakan oleh Fishman (1964). Ranah menurut Fishman (1964) dipandang sebagai
konstelasi faktor-faktor seperti lokasi, topik, dan partisipan. Ranah didefinisikan sebagai
konsepsi sosiokultural yang diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar
komunikator, tempat komunikasi di dalam keselarasan lembaga masyarakat dan bagian dari
aktivitas masyarakat tutur (Fishman dalam Pride dan Holmes (ed), 1972). Di bagian lain,
Fishman (dalam Amon, 1987) mengemukakan bahwa ranah adalah konsepsi teoretis yang
menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh
tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan. 
Sebagai contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai
sebuah topik, maka penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga.

Analisis domain terkait dengan diglosia. Di dalam sebuah masyarakat yang terdapat diglosia,
bahasa rendah (low) merupakan bahawa yang cenderung dipilih dalam domain keluarga,
sedangkan bahasa tinggi dipergunakan dalam domain yang lebih formal, seperti pendidikan dan
pemerintahan.

Penelitian yang mempergunakan analisis domain pernah dilakukan antara lain oleh Greenfield
(1972) tentang pemilihan bahasa Spanyol dengan tiga komponen kongruen, yaitu: orang, tempat,
dan topik. Untuk menguji apakah sebuah paduan dari ketiga faktor itu benar-benar berhubungan
dengan pikiran anggota masyarakatnya, Greenfield menyebarkan kuesioner.

Dengan kuesioner itu subjek diberi dua faktor yang kongruen dan diminta untuk menyeleksi
yang ketiga dan juga bahasa yang akan mereka gunakan dalam panduan situasi. Subjek diberi
tahu untuk memikirkan sebuah percakapan dengan orang tua tentang masalah keluarga dan
meminta memilih tempat di antara beberapa pilihan: rumah, pantai, gereja, sekolah, dan tempat
kerja. Dari kuesioner yang kembali mayoritas responden memilih lokasi rumah seperti yang
diharapkan. Dengan satu perkecualian (pilihan pantai sebagai komponen yang tepat untuk
domain persahabatan), komponen ketiga yang diharpkan dipipih oleh paling tidak 81 persen
subjek.

Setelah memilih komponen ketiga yang tepat, subjek diminta untuk menunjukkan yang mana
yang berhubungan dengan domain pada skala lima-butir. Skala ini mirip dengan skla perbedaan-
semantik yang sering digunakan dalam penelitian sikap bahasa. Angka 1 pada skala itu
menunjukkan semua bahasa Spanyol, 2 berarti lebih banyak bahasa Spanyol daripada bahasa
Inggris, 3 berarti jumlah yang sama antara bahasa Spanyol dan bahasa Inggris, 4 leboh banyak
bahasa Inggris daripada bahasa Spanyol, 5 berarti semua bahasa Inggris. Dari hasil rata-rata
diketahui bahwa bahasa Spanyol mendapatkan rata-rat rendah dan lebih banyak subjek yang
memilih bahasa Inggris. Analisis varian dengan pilihan bahasa sebagai variabel bebas
menunjukkan bahwa perbedaan menurut kategori domain signifikan pada p < 0,01. Interpretasi
yang bisa ditarik adalah bahwa bahasa Spanyol lebih cenderung dipilih dalam situasi akrab, dan
bahasa Inggris lebih cenderung dipilih dalam situasi yang terdapat perbedaan status. Dengan
menggunakan pendekatan sosiologis inilah Greenfield menemukan bukti bahwa masyarakat
Puerto Rico di New York City cenderung diglosik, dengan bahasa Spanyol sebagai bahasa
rendah dan bahasa Inggris sebagai bahasa tinggi.
Pendekatan Psikologi Sosial

Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial lebih tertarik pada proses
psikologis manusia daripada kategori dalam masyarakat luas. Pendekatan ini lebih berorientasi
pada individu, seperti motivasi individu, daripada berorientasi pada masyarakat. Karya-karya
penting dalam penelitian pemilihan bahasa dengan pendekatan psikologi sosial telah dilakukan
oleh Simon Herman (1968),  Giles dan kawan-kawannya (Giles 1973; Giles, Bourhish dan
Taylor 1977).

Herman (1968 dalam Fasold 1984: 187) mengemukakan teori situasi tumpang tindih yang
mempengaruhi seseorang di dalam pemilihan bahasa. Menurut Herman seorang penutur
dwibahasa berada pada lebih dari satu situasi psikologis secara simultan. Herman membicarakan
tiga jenis situasi. Situasi pertama berhubungan dengan kebutuhan personal penutur  (personal
needs), kedua situasi lain berhubungan dengan pengelompokkan sosial (social grouping), yaitu
situasi latar belakang (background situation) dan situasi sesaat (immediate situation).

Sangatlah bermakna untuk melihat ketika pembicara yang harus memilih antara dua bahasa atau
lebih pada dua situasi tumpang tindih. Kedua situasi psikologis itu menurut Herman (dalam
Fishman 1977: 493) sebagai berikut.

Pertama, satu situasi yang berkaitan dengan kebutuhan yang ada pada pribadi, yaitu keinginan
untuk berbicara dalam bahasa tertentu (bahasa yang paling dikuasainya); situasi lain berkiatan
dengan norma-norma kelompoknya yang memungkinkan dia memaksa diri menggunakan bahasa
lain (bahasa itu mungkin belum dikuasainya secara baik).Di sini terjadi konflik antara kebutuhan
pribadi dan tuntutan kelompok. Kedua, dalam penentuan bahasa yang akan digunakan muncul
kekuatan yang tidak hanya dari situasi yang bersemuka (face to face), akan tetapi juga dari
situasi yang lebih besar.

Dengan pendekatan yang sama, Howard Giles (1977, 321-324) mengembangkan teori akomodasi
(acomodation theory).  Secara normal, akomodasi mengambil bentuk konvergensi, yang
ditunjukkan dengan memilih sebuah bahasa atau variasi bahasa yang tampak sesuai dengan
kebutuhan orang yang diajak berbicara. Dalam kondisi tertentu, seorang penutur dapat gagal
melakukan konvergensi bahka mungkin dengan sengaja  melakukan divergensi. Dengan kata
lain, seorang penutur mungkin tidak mengalami kesulitan sama sekali dalam memilih bahasa
atau variasi bahasa untuk menyesuaikan dengan orang lain, dan ada penutur yang dengan sengaja
memilih bahasa atau variasi bahasa yang tidak sesuai dengan orang yang diajak berbicara.

Hal di atas terjadi ketika penutur ingin menekankan loyalitasnya pada kelompokknya sendiri dan
membedakan dirinya dari kelompok mitra bicara. Satu contoh yang jelas adalah ketika seorang
Amerika kulit hitam yang berbicara  dengan orang berkulit putih dengan menggunakan bahasa
Inggris dialek hitam untuk menunjukkan jati dirinya.

Pendekatan Antroplogi

Dari pandangan antropologi, pilihan bahasa bertemali dengan perilaku yang mengungkap nilai-
nilai sosial budaya. Seperti juga psikologi sosial, antropologi tertarik dengan bagaimana seorang
penutur berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah bahwa jika psikologi
sosial memandangnya dari sudut kebutuhan psikologis penutur, pendekatan antropologi
memandangnya dari bagaimana seseorang menggunakan pemilihan bahasanya untuk
mengungkapkan nilai kebudayaannya (Fasold 1984: 192).

Dari segi metodologi terdapat perbedaan antara pendekatan antropologi, pendekatan sosiologi,
dan psikologi sosial. Sosiologi dan psikologi sosial lebih mengarahkan kajiannya pada data
kuesioner atau observasi atas orang-orang yang ditelitinya di bawah kendali eksperimen,
sedangkan pendekatan antropologi menempatkan nilai yang tinggi pada perilaku takterkontrol
yang alamiah. Hal ini membimbing mereka untuk menggunakan metode penelitian yang jarang
digunakan oleh sosiolog dan psikolog sosial, yaitu yang disebut observasi partisipan (participant
observation). Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Susan Gal (yang mempublikasikan
penelitiannya 1979) di Oberwart, Australia Timur. Ia menghabiskan waktu satu tahun untuk
tinggal di sebuah keluarga setempat (Fasold, 1984: 192).

Dengan menggunakan metode observasi partisipan, antropolog dapat memberikan perspektif


penjelasan atas pemilihan bahasa berdasarkan persepsinya sebagai penutur sebuah kelompok
atau lebih yang “dimasukinya” selama mengadakan penelitian. Implikasi dari metode ini adalah
bahwa pengamat adalah peneliti yang menjadi anggota kelompok yang diamatinya (Wiseman
dan Aron, 1970: 49).  Selain itu, metode observasi partisipan yang tipikal dalam pendekatan itu,
yang mengarah kepada peneliti sebagai instrumen penelitian relevan untuk mengungkap secara
alamiah gejala pemilihan bahasa dalam masyarakat multibasa di Indonesia.

PENUTUP

Pemilihan bahasa dalam paradigma sosiolinguistis bertemali bukan hanya dengan masalah
linguistis semata, melainkan juga dengan masalah sosial, budaya, psikologis, dan situasional.
Dalam konteks situasi kebahasaan di Indonesia, dengan adanya berbagai bahasa atau ragam
bahasa yang digunakan dalam interaksi sosial, kajian secara mendalam terhadap fenomena ini
sanat penting untuk dilakukan. Kajian seperti itu bermakna baik secara teoretis maupun praktis.
Secara teroretis kajian ini bermanfaat bagi pengembangan sosiolinguistik pada umumnya, dan
sosiolinguistik Indonesia pada khususnya. Disadari bahwa temuan sosiolinguistik yang berlatar 
situasi kebahasaan dan sosialbudaya di Indonesia diharapkan menjadi sumbangan berharga bagi
disiplin sosiolinguistik pada umumnya. Secara praktis kajian itu bermakna bagi peristiwa
komunikasi. Kajian pemilihan bahasa bermanfaat dalam memberikan wawasan tentang peristiwa
komunikasi dalam masyarakat multibahasa di Indonesia. Dalam peristiwa itu keharusan untuk
memilih bahasa atau ragam bahasa yang cocok dengan situasi komunikasi tidak dapat dihindari
sebab kekeliruan dalam melakukan pemilihan bahasa atau ragam bahasa dapat berakibat
kerugian bagi peserta komunikasi itu.

DAFTAR PUSTAKA

Bell, R.T. 1976  Sociolinguistics: Goals, Approaches, and Problems. London: Bastford.

Dittmar, Norbert. 1976  Sociolinguistics. London: Edwar Arnold


Edwards, John. 1994  Multilingualism. England: Penguin Books Ltd.

Evin-Tripp, Susan M. 1972  “Sociolinguistic Rules of Address”. Dalam John B Pride and Janet
Holmes (eds.). Sociolinguistics. Harmondsworth: Penguin, (hlm. 225-240).

Fasold, Ralph. 1984  The   Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell.

________. 1990  The Sociolinguistics of Language. Oxford: Basil Blackwell.

Fishman, Joshua A. 1972  The Sociology of Language. Rowley: Newbury House.

Gal, Susan. 1979  Language Shift: Social Determinants of Linguistic Change in Bilingual
Austria. New York: Academic Press.

Giles, Howard, ed. 1977 Language,  Ethnicity,  and Intergroup Relations. London: Academik
Press.

Giles, Howard dan St. Clair, Robert. 1979  Language and Social Psychology. Oxford: Basil
Blackwell Publisher.

Greenfield, Lawrence. 1972. “Situational Measures of Normative Language Views in Relation to


Person, Place, and TOpik among Puerto Rican Bilinguals.” Dalam Fishman, 1972. Advences of
Sociology of Language, Volume 2. The Hague: Mouton. (hlm. 17-35).

Groesjean, Fracois. 1982. Life with Two Languages. Cambridge: Harvard University Press.

Gumperz, John dan Hymes, Dell (eds.). 1972  Direction in Sociolinguistics. New York: Holt,
Rinehart, and Winston.

The Impact of Gender on Bargaining Interactions

by Charles B. Craver
Examines how the female can be equally competitive with the male in their interactions in negotiations
when bargaining as opponents.

In their new book, Women Don’t Ask (2003), Linda Babcock and Sara Laschever remark that
while 57 percent of male Carnegie Mellon graduate business students negotiate their starting
salaries, only 7 percent of women do so – resulting in male starting salaries 7.6 percent higher
than those attained by women. Why don’t women attempt to negotiate as often as men? If they
did so, is there any reason to think they would not do as well?

When men and women negotiate with members of the opposite gender – and even the same
gender – stereotypical beliefs affect their interactions. Many men and women assume that males
are highly competitive, manipulative, win-lose negotiators who want to attain good deals from
their opponents. Females are thought to be more accommodating, win-win negotiators who seek
to preserve existing relationships by expanding the joint returns achieved by negotiating parties.
If these stereotypical assumptions are right, we might expect male lawyers and business persons
to obtain better negotiating results than female attorneys and business persons.

REAL AND PERCEIVED GENDER-BASED DIFFERENCES

Men are believed to be rational and logical; women are thought to be emotional and intuitive.
Men are expected to emphasize objective fact; women focus more on the maintenance of
relationships. Men are expected to be dominant and authoritative; women are supposed to be
passive and submissive. When men and women interact, males tend to talk for longer periods of
time and to interrupt more often than women. (Deborah Tannen, Talking From 9 to 5 53-77
(1994)). Men utilize more direct language, while women often reveal tentative and deferential
speech patterns. During personal interactions, men are more likely than women to use “highly
intensive language” to persuade others, and they are more effective using this approach. Females
tend to employ language containing more disclaimers (“I think”; “you know”) than their male
cohorts, which causes women to be perceived as less forceful. This gender-based factor is
counterbalanced by the fact that women continue to be more sensitive to nonverbal signals than
their male cohorts. As a consequence, they are more likely to be attuned to the subtle messages
conveyed by opponents during bargaining encounters.

Gender-based stereotypes cause many people difficulty when they interact with attorneys and
business people of the opposite gender. Men often expect women to act like “ladies” during their
bargaining interactions. Overt aggressiveness that would be considered vigorous advocacy if
employed by men may be characterized as offensive and threatening when employed by women.
This is especially true when females use foul language and loud voices. Male negotiators, who
would immediately counter such tactics by other men with quid pro quo responses, frequently
find it difficult to adopt retaliatory approaches against women. When men allow such an
irrelevant factor to influence and restrict their responsive behaviour, they allow their female
opponents with a bargaining advantage. Some men also find it difficult to act as competitively
toward female opponents as they would toward male opponents. These men give further leverage
to their female opponents.

Male attorneys and business people occasionally make the mistake of assuming that their female
opponents will not use as many negotiating “games” as their male adversaries. Even quite a few
women erroneously assume that other females won’t apply the Machiavellian tactics
stereotypically associated with members of the competitive male culture. Men and women who
expect their female adversaries to behave less competitively and more cooperatively often ignore
the realities of their negotiation encounters and provide a significant bargaining advantage to
women who are willing to employ manipulative tactics.

Some male negotiators try to gain a psychological advantage against aggressive females by
casting aspersions on the femininity of those individuals. They hope to embarrass those
bargainers and make them feel self-conscious with respect to the tactics they are using. Female
negotiators should never permit adversaries to employ this tactic. They have the right to use any
techniques they think appropriate, regardless of the stereotypes those tactics might contradict. To
male opponents who raise baseless objections to their otherwise proper conduct, they should
reply that they do not wish to be seen as “ladies,” but merely as participants in bargaining
interactions in which their gender should be irrelevant.

Women do not feel as comfortable in overtly competitive situations as their male colleagues.
This factor may explain why a higher percentage of women (39%) take my Legal Negotiation
course, in which final grades are influenced by performance on bargaining exercises, on a
credit/no-credit basis than men (27%). Many women are anxious regarding the negative
consequences they relate with competitive achievement, fearing that competitive success will
alienate them from others. Males in my Legal Negotiation course tend to be more accepting of
excessive results obtained by other men than by such results achieved by women. Even female
students tend to be more critical of women who attain exceptional results than they are of men
who do so. A number of males have privately admitted to me that they are also fearful of
“losing” to female opponents, preferring the risk of non-settlements than the humiliation of being
defeated by women.

Males tend to convey more confidence than women in performance-oriented settings. Even when
minimally prepared, men believe they can “wing it” and get through successfully. On the other
hand, no matter how thoroughly prepared women are, they tend to feel unprepared. I have
frequently observed this difference among my Legal Negotiation students. Successful males
think they can obtain beneficial results in future settings, while successful females continue to
express doubts about their own capabilities. I find this frustrating, because the accomplished
women are as proficient as their accomplished male cohorts.

Male and female self-confidence is influenced by the stereotypical ways in which others evaluate
their performances. When men are successful, their performance tends to be ascribed to intrinsic
factors such as diligent work and intelligence; when women are successful, their performance is
often to be attributed to extrinsic factors such as luck or the aid of others. This factor causes male
success to be overvalued, and female success to be undervalued.

Gender-based competitive differences may be attributable to the different acculturation process


for boys and girls. Parents are likely to be more protective of their daughters than their sons.
Most boys are exposed to competitive situations at an early age. They have been encouraged to
engage in little league baseball, basketball, football, soccer, and other competitive athletic
endeavours. These activities introduce boys to the “thrill of victory and the agony of defeat”
during their formative years. “Traditional girls" games like jump rope and hopscotch are turn-
taking games, where competition is indirect since one person’s success does not necessarily
signify another’s failure.” While it is true that little league and interscholastic sports for women
have become more competitive in recent years, most continue to be less overtly competitive than
corresponding male athletic endeavours. (Gail Evans, Play Like a Man, Win Like a Woman 80
(2000)).
STATISTICAL RESULTS

Since 1973, I have taught Legal Negotiation courses in which we study the negotiation process
and the factors that influence bargaining interactions. My students participate in a series of
bargaining exercises, the results of which affect their course grades. Over the past thirty years, I
have performed a number of statistical analyses of student negotiation performance based upon
gender. (Charles B. Craver & David W. Barnes, “Gender, Risk Taking and Negotiation
Performance,” 5 Michigan Journal of Gender & Law 299 (1999)). I have found absolutely no
statistically significant differences between the results attained by men and by women. The
average results are almost similar. Several people suggested to me that while the average results
might be equal, the male results would be more widely distributed. This theory was based upon
the premise that women are more accommodating and less competitive, generating more results
in the mid-range, while more competitive, win-lose males would either obtain highly beneficial
results or well below average results. If this hypothesis were true, the standard deviations for the
more dispersed males would be greater than those for the centrally concentrated females. The
fact that I have found no statistically significant differences with respect to the male and female
standard deviations contradicts this theory.

Over the past thirty years, I have discovered that practicing attorneys, business persons, and law
students of both genders allow gender-based stereotypes to influence their negotiating
interactions with persons of the opposite gender – and even people of the same gender. Many
individuals believe that men are highly competitive, manipulative negotiators who always strive
to obtain maximum results for themselves, while female negotiators are more accommodating
and less competitive interactants who try to maximize the joint returns achieved by the parties.

Legal practitioners and business firm officials should acknowledge the impact that gender-based
stereotypes may have upon negotiation interactions. Male attorneys who believe that female
opponents will not be as competitive or manipulative as their male colleagues provide women
adversaries with an inherent advantage. They let their guards down and behave less
competitively against female opponents than they would with male opponents. Female
negotiators must also reject gender-based stereotypical beliefs regarding both male and female
opponents. Women who conclude that adversaries are treating them less seriously because of
their gender should not hesitate to take advantage of the situation. The favourable bargaining
outcomes accomplished by these women should teach chauvinistic opponents a crucial lesson.

Law firm and business managers should be careful to minimize the impart of gender stereotyping
when they assess male and female performance. They should not over-value the success of men
and under-value the success of women by assigning male accomplishment to intrinsic factors but
female achievement to extrinsic factors. They should also try not to be critical of women whose
negotiation styles would be seen favourably if employed by males but negatively when
implemented by women.

Charles Craver is a Professor of Law, George Washington University.

Reader Comments
Average Rating:

Total Comments: 1

View or Write a comment

Back to Negotiation Articles

This page's contents may be re-published in full or part - we ask only that you include a clean
html link back to this site, preferably to this page. Please find below a suggested description to
accompany your link.

The Negotiation Training Experts offers negotiation resources on www.negotiations.com. You


can find in-depth negotiation articles, negotiation Q&A's, business cartoons, negotiation book
revie

Teori Kesantunan Berbahasa
This entry was posted on February 27, 2011, in About Zainurrahman and tagged konsep wajah dalam
pragmatik, pragmatik, teori kesantunan berbahasa, teori kesopanan berbahasa. Bookmark the
permalink. 2 Comments

KESANTUNAN DALAM BERBAHASA

(Telaah Pragmatik atas Konsep Wajah dalam Kesantunan Berbahasa)

Zainurrahman, S.S., M.Pd

Latar Belakang

Kesantunan dalam berbahasa mungkin merupakan horison baru dalam berbahasa, dan sampai
saat ini belum dikaji dalam konstelasi linguistik; terkecuali dalam telaah pragmatik. Kesantunan
dalam berbahasa, meskipun disebut sebagai horison baru, namun sudah mendapatkan perhatian
oleh banyak linguis dan pragmatisis. Misalnya Aziz (2000) yang meneliti bagaimana cara
masyarakat Indonesia melakukan penolakan dengan melalui ucapan, yang menurutnya
mengandung nilai-nilai kesantunan tersendiri. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa terdapat
bidang baru dalam kajian kebahasaan, bukan hanya dari aspek tata bahasa, bukan pula dari aspek
psikososial, namun juga dari aspek etika.
Sebagai bidang baru dalam kajian kebahasaan, khususnya bahasa dalam penggunaan (language
in use), kesantunan (politeness) dalam berbahasa seyogiyanya mendapatkan perhatian, baik oleh
pakar atau linguis, maupun para pembelajar bahasa. Selain itu, penting juga bagi setiap orang
untuk memahami kesantunan berbahasa ini, karena manusia yang kodratnya adalah “makhluk
berbahasa” senantiasa melakukan komunikasi verbal yang sudah sepatutnya beretika.

Meskipun dalam ilmu pragmatik kesantunan berbahasa baru mulai mendapatkan perhatian,
konsep etika berbahasa ini sudah bisa dibilang lama bersemayam dalam komunikasi verbal
masyarakat manapun. Kesantunan berbahasa, secara tradisional, diatur oleh norma-norma dan
moralitas masyarakat, yang diinternalisasikan dalam konteks budaya dan kearifan lokal. Tata
krama berbahasa antara yang muda dan yang tua, sudah lama hidup dalam komunikasi verbal,
yang justru mulai sirna mengikuti arus negatif westernisasi, yang membawa ideologi liberal.

Konsep kesantunan dalam berbahasa tradisional itu sudah saatnya “dibaca” kembali secara
teoretis, agar terjadi penyegaran ideologi mengenai bagaimana seharusnya bahasa itu digunakan,
agar santun. Tulisan ini akan memberikan pandangan teoretis mengenai ihwal kesantunan
berbahasa, yang mana dapat dijadikan acuan untuk kembali melakukan refleksi atas penggunaan
bahasa sehari-hari. Refleksi untuk melihat nilai kesantunan dalam penggunaan bahasa sehari-hari
terbilang penting, dimana bahasa bukan hanya sebagai instrumen komunikasi, melainkan juga
ajang realisasi diri yang santun dan beretika.

Bersikap atau berbahasa santun dan beretika juga bersifat relatif, tergantung pada jarak sosial
penutur dan mitra tutur. Selain itu, makna kesantunan dan kesopanan juga dipahami sama secara
umum; sementara itu, kedua hal tersebut sebenarnya berbeda. Istilah sopan merujuk pada
susunan gramatikal tuturan berbasis kesadaran bahwa setiap orang berhak untuk dilayani dengan
hormat, sementara santun itu berarti kesadaran mengenai jarak sosial (Thomas, 1995).

Jika norma-norma dalam tradisi lokal menanamkan kesantunan dalam berbahasa, mungkin
belum terjadi pemilahan antara kesopanan (deference) dan kesantunan (politeness). Sebuah teori
yang akan disuguhkan berikut ini adalah teori kesantunan berbahasa yang diadopsi dari tradisi
moral Cina yang dikembangkan oleh Konfusius dan diteorisasikan oleh Goffman, Brown, dan
Levinson. Teori yang diulas singkat ini, serta contoh-contoh dari data empiris diharapkan
membuka cakrawala berfikir kita mengenai kesantunan berbahasa.

Teori Kesantunan Bebahasa

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa tulisan ini mengandung pandangan
teoretis mengenai kesantunan berbahasa Konfusius, maka berikut ini akan diulas secara singkat
mengenai teori tersebut.

Teori Wajah oleh Goffman, Brown, dan Levinson

Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967), bahwasanya
bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada “wajah” atau “muka,” baik milik penutur,
maupun milik mitra tutur. “Wajah,” dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik, namun “wajah”
dalam artian public image, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah “harga diri” dalam
pandangan masyarakat.

Konsep wajah ini berakar dari konsep tradisional di Cina, yang dikembangkan oleh Konfusius
terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan (Aziz, 2008). Pada wajah, dalam tradisi Cina, melekat
atribut sosial yang merupakan harga diri, sebuah penghargaan yang diberikan oleh masyarakat,
atau dimiliki secara individu. Wajah, merupakan “pinjaman masyarakat,” sebagaimana sebuah
gelar akademik yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi, yang kapan saja bisa ditarik oleh
yang memberi. Oleh karena itu, si pemilik wajah itu haruslah berhati-hati dalam berprilaku,
termasuk dalam berbahasa.

Jika Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial, maka Brown dan
Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut pribadi yang dimiliki oleh setiap
insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, wajah kemudian dipilah menjadi dua jenis: wajah
dengan keinginan positif (positive face), dan wajah dengan keinginan negatif (negative face).
Wajah positif terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan.
Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari
gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu (Aziz,
2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti yang telah disebutkan, maka nilai-nilai itu
patut untuk dijaga, dan salah satu caranya adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak
merusak nilai-nilai wajah itu.

Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan memiliki
arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti berbahasa
(atau berprilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Konsep
wajah di atas benar-benar berkaitan dengan persoalan kesantunan dan bukan kesopanan. Rasa
hormat yang ditunjukkan melalui berbahasa mungkin berakibat santun, artinya, sopan berbahasa
akan memelihara wajah jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh (misalnya
antara dosen dan mahasiswa, atau anak dan ayah). Meskipun demikian, bersikap santun dalam
berbahasa seringkali tidak berakibat sopan, terlebih lagi jika penutur dan mitra tutur tidak
memiliki jarak sosial yang jauh (teman sekerja, konco, pacar, dan sebagainya). Untuk lebih
memahami konsep wajah ini, berikut akan saya suguhkan contoh-contoh, baik wajah positif
maupun negatif, dalam konsep kesantunan berbahasa.

Wajah Positif (Positive Face)

Sebagaimana telah disebutkan bahwa wajah positif berkaitan dengan nilai-nilai keakraban antara
penutur dan mitra tutur. Perhatikan contoh percakapan dua orang sopir angkot berikut ini (mohon
maaf jika contoh ini mengandung kata-kata kasar):

Sopir A: Mus, ngana so dapa kabar mengenai ngana pe STNK yang polisi tahan tuh? (Mus,
apakah kamu sudah mendapatkan kabar mengenai STNK kamu yang ditahan polisi itu?)

Sopir B: E… pamabo, sejak kapan ngana faduli kita pe hal? Bolong ini, tara tau dong so bakar
ka apa itu… (eh.. pemabuk, sejak kapan kamu peduli persoalanku? Belum nih, tidak tahu
mungkin mereka sudah bakar…)
Sopir A: Ce me itu lucur kasana doi barang 150 la dorang urus sudah… (Ah… kasih saja uang
150 biar mereka urus secepatnya…)

Sopir B: Ya astaga… ngana kira polisi itu ngana pe papa mantu? Kita so coba tapi dorang tara
mau. (Astaga, kamu pikir polisi itu mertua kamu? Sudah aku coba, tapi mereka tidak mau).

Sejenak jika dilihat, percakapan singkat antara dua sopir angkot ini terkesan kasar, tidak sopan.
Mungkin sebagian berpendapat bahwa wajar mereka berkomunikasi seperti ini, dengan alasan
bahwa mereka adalah teman dekat, dan mungkin berpendidikan rendah. Tidak ada yang salah
dengan pendapat-pendapat ini. Dari aspek kesopanan, cara mereka berkomunikasi memang
ganjil; tetapi dari aspek kesantunan, melalui konsep wajah positif, cara berkomunikasi ini adalah
untuk memelihara wajah masing-masing.

Tuturan sopir B memiliki muatan positif agar jarak keakraban antara mereka (sopir A dan sopir
B) terjaga. Tuturan sopir B, dengan mengatakan “pemabuk” adalah untuk menunjukan kedekatan
jarak sosial, rasa kekoncoan (camaraderie), sehingga secara psikologis tidak ada jarak pula.
Kedekatan jarak sosial yang direfleksi oleh penggunaan bahasa semacam di atas memiliki nilai
wajah positif. Seandainya sopir B merespon pertanyaan sopir A dengan irama sopan semacam
“belum ada kabar pak…” maka tentu saja jarak sosial antara mereka menjadi renggang, dan
wajah mereka terancam.

Maksud dari mengancam wajah (face threatening) adalah mengancam jatidiri sebagai sahabat
dekat, konco, dan sebagainya. Isu sentral dari mengancam wajah adalah kerenggangan jarak
sosial yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa yang relatif tidak santun, atau tidak memenuhi
kaidah-kaidah konsep wajah positif. Mengenai pengancaman wajah (face threatening act) ini
akan diulas kemudian.

Wajah Negatif (Negative Face)

Berbeda dengan wajah positif, yang mana penutur dan mitra tutur mengharapkan terjaganya
nilai-nilai keakraban, ketakformalan, kesekoncoan, maka wajah negatif ini dimana penutur dan
mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial. Perhatikan contoh percakapan antara dua orang
penumpang angkot yang tidak saling kenal antara satu sama lain di bawah ini:

Penumpang A: Maaf e, tanya sadiki, Sasa tu masih jao ka? (maaf yah, numpang tanya, apakah
Sasa masih jauh dari sini?)

Penumpang B: Wadoh mas, ini skarang so sampe di Kastela. Memangnya mas mo turun dimana
kong? (Wah mas, ini sekarang sudah sampai di Kastela. Memangnya mas mau turun dimana?)

Penumpang A: Saya tadi bilang di sopir turun di Sasa, maaf nih, jadi Sasa masih jao ka? (Saya
tadi bilang ke sopir kalau saya mau turun di Sasa, maaf, jadi apakah Sasa masih jauh?)

Penumpang B: Bukannya masih jao mas, tapi so lewat jao. Mangkali lebe bae mas turun disini
saja, nanti baru nae oto dari bawa saja, nanti bilang turun di Sasa. (Bukannya masih jauh mas,
tapi sudah kelewat jauh. Mungkin lebih baik mas turun disini saja, nanti naik angkot lagi dari
selatan, nanti bilang turun di Sasa).

Penumpang A: Wah, tarima kasih e? (waduh, terima kasih yah?)

Penumpang B: Sama-sama mas (terima kasih kembali mas).

Sangat terlihat jelas bahwa kedua partisipan (penutur dan mitra tutur) dalam percakapan ini
menunjukkan ketidakakraban, atau keformalan. Ini bisa dilihat dari penggunaan kata “maaf”
yang diulang sebanyak dua kali oleh penumpang A. Penggunaan dan pengulangan penggunaan
kata “maaf” oleh penumpang A ini untuk menjaga wajah negatif penumpang B. Artinya,
penumpang A tidak ingin terkesan akrab dan sesuka hati, dan tidak ingin mengganggu wilayah
individu penumpang B.

Demikian pula dengan penggunaan kata “mas” yang berulang-ulang oleh penumpang B, yang
merupakan sapaan sopan untuk penumpang A yang dicurigai sebagai pendatang, bukan
masyarakat asli. Dengan menggunakan dan mengulang kata “mas”, penumpang B berusaha
untuk menunjukkan bahwa dia menghargai jatidiri penumpang A sebagai individu yang dihargai
atribut individualnya, termasuk sebagai pendatang dan bukan masyarakat asli.

Melalui dua contoh yang menjelaskan dua konsep wajah di atas, jelaslah bahwa dalam
berbahasa, kita harus senantiasa mempertimbangkan jarak sosial antara kita dan mitra tutur.
Kesantunan berbahasa bukan terletak pada diksi, melainkan terletak pada tingkat keakraban atau
jarak sosial, termasuk usia, gender, strata sosial, dan strata akademik.

Pengancaman Wajah (Face Threatening Act)

Sebagaimana telah dijelaskan dengan berbagai contoh, kesantunan (dan kesopanan) berbahasa
dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah orang lain (Yule,
2006:104). Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang penutur menyatakan
sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu yang berkenaan dengan
nama baiknya sendiri (hal.106).

Pengancaman wajah melalui tindak tutur (speech act) akan terjadi jikalau penutur dan mitra tutur
sama-sama tidak berbahasa sesuai dengan jarak sosial. Perhatikan contoh berikut ini, dimana
terjadi interaksi antara tetangga yang berusia sudah tua dan yang masih muda:

Tua: He… so malam deng apa kong baribut sampe, tarada rumah ka? (Heh… ini kan sudah
malam, kok ribut banget? Tidak ada rumah ya?)

Muda: Saya, om. Maaf lagi… (Saya, om. Kami minta maaf).

Dalam konteks interaksi seperti di atas, penutur tua melakukan pengancaman wajah dengan
mengatakan “tidak ada rumah ya?” ini disebut pengancaman wajah karena jarak sosial (usia dan
mungkin juga jarak keakraban) antara mereka jauh. Bahkan, hal ini bukan hanya mengancam
wajah mitra tutur muda, bahkan wajah penutur tua itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh jatuhnya
“harga diri” sosial dengan menggunakan pernyataan yang kasar.

Respon dari mitra tutur muda merupakan tindak penyelamatan wajah (face saving act); yaitu
dengan cara melakukan kesantunan negatif dengan mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan
kesadaran atas jarak sosial dan wajah negatif penutur tua. Artinya, mitra tutur muda menyadari
keinginan wajah penutur tua untuk merdeka dan memiliki hak untuk tidak terganggu.

Pengancaman terhadap wajah ini juga bersifat positif dan juga negatif.  Jika penutur dan mitra
tutur memiliki jarak sosial dekat, maka pengancaman wajah bersifat negatif. Sementara itu, jika
penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh, maka pengancaman wajah bersifat
positif.

Intinya, wajah positif adalah keinginan partisipan untuk diterima oleh mitra tutur sebagaimana
kedekatan sosial antara mereka; wajah negatif adalah keinginan untuk bebas dari interfensi,
tekanan, atau gangguan dari pihak lain, termasuk mitra tutur. Jika keinginan wajah positif tidak
tercapai dalam bertutur, maka ancamannya pada wajah positif. Dan jika keinginan wajah negatif
tidak tercapai, maka ancamannya pada wajah negatif. Konsekuensi logis dari ancaman wajah ini
adalah kehilangan wajah (loosing face), atau dengan istilah sederhana adalah malu atau hilang
harga diri.

Kesimpulan

Melalui pembahasan dalam tulisan di atas, dapat kita simpulkan bahwa berbahasa santun itu
sendiri merupakan kesadaran timbal-balik, bahwa kita senantiasa ingin mitra tutur kita
berekspresi sebagaimana cara kita sebagai penutur berekspresi. Di lain sisi, teori kesantunan
berbahasa juga menekankan agar kita senantiasa berekspresi sebagaimana kita ingin mitra tutur
kita berekspresi terhadap diri kita.

Kesantunan berbahasa bersentral pada jarak sosial, yang mana sekaligus mengatur tata krama
berbahasa kita. Santun berarti tidak mengancam wajah, tidak menyatakan hal-hal yang
bermuatan ancaman terhadap harga diri seseorang, atau tidak mencoreng wajah seseorang atau
wajah diri sendiri.

Daftar Pustaka

Aziz, E. A. (2000). Refusing in Indonesian: Strategies and Politeness Implications. Disertasi,


Australia: Monash University.

Aziz, E. A. (2008). Horison Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai yang Terserak,
Menggugat yang Semu, Menuju Universalisme yang Hakiki. Pidato Pengukuhan Guru Besar,
Indonesia: Universitas Pendidikan Indonesia.

Brown, P & S.C. Levinson. (1987). Universals in Language Usage: Politeness Phenomena. In
E.N. Goody (ed). Questions and Politeness: Strategies in social interaction, 56-289. Cambridge:
Cambridge University Press.
Goffman, E. (1967). Interaction Ritual. Garden City, NY: Doubleday.

Thomas, J. (1995). Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics. London: Longman.

Yule, G. (2008). Pragmatik. Indonesia: Pustaka Pelajar.

Teori Kesantunan Berbahasa
This entry was posted on February 27, 2011, in About Zainurrahman and tagged konsep wajah dalam
pragmatik, pragmatik, teori kesantunan berbahasa, teori kesopanan berbahasa. Bookmark the
permalink. 2 Comments

KESANTUNAN DALAM BERBAHASA

(Telaah Pragmatik atas Konsep Wajah dalam Kesantunan Berbahasa)

Zainurrahman, S.S., M.Pd

Latar Belakang

Kesantunan dalam berbahasa mungkin merupakan horison baru dalam berbahasa, dan sampai
saat ini belum dikaji dalam konstelasi linguistik; terkecuali dalam telaah pragmatik. Kesantunan
dalam berbahasa, meskipun disebut sebagai horison baru, namun sudah mendapatkan perhatian
oleh banyak linguis dan pragmatisis. Misalnya Aziz (2000) yang meneliti bagaimana cara
masyarakat Indonesia melakukan penolakan dengan melalui ucapan, yang menurutnya
mengandung nilai-nilai kesantunan tersendiri. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa terdapat
bidang baru dalam kajian kebahasaan, bukan hanya dari aspek tata bahasa, bukan pula dari aspek
psikososial, namun juga dari aspek etika.

Sebagai bidang baru dalam kajian kebahasaan, khususnya bahasa dalam penggunaan (language
in use), kesantunan (politeness) dalam berbahasa seyogiyanya mendapatkan perhatian, baik oleh
pakar atau linguis, maupun para pembelajar bahasa. Selain itu, penting juga bagi setiap orang
untuk memahami kesantunan berbahasa ini, karena manusia yang kodratnya adalah “makhluk
berbahasa” senantiasa melakukan komunikasi verbal yang sudah sepatutnya beretika.

Meskipun dalam ilmu pragmatik kesantunan berbahasa baru mulai mendapatkan perhatian,
konsep etika berbahasa ini sudah bisa dibilang lama bersemayam dalam komunikasi verbal
masyarakat manapun. Kesantunan berbahasa, secara tradisional, diatur oleh norma-norma dan
moralitas masyarakat, yang diinternalisasikan dalam konteks budaya dan kearifan lokal. Tata
krama berbahasa antara yang muda dan yang tua, sudah lama hidup dalam komunikasi verbal,
yang justru mulai sirna mengikuti arus negatif westernisasi, yang membawa ideologi liberal.

Konsep kesantunan dalam berbahasa tradisional itu sudah saatnya “dibaca” kembali secara
teoretis, agar terjadi penyegaran ideologi mengenai bagaimana seharusnya bahasa itu digunakan,
agar santun. Tulisan ini akan memberikan pandangan teoretis mengenai ihwal kesantunan
berbahasa, yang mana dapat dijadikan acuan untuk kembali melakukan refleksi atas penggunaan
bahasa sehari-hari. Refleksi untuk melihat nilai kesantunan dalam penggunaan bahasa sehari-hari
terbilang penting, dimana bahasa bukan hanya sebagai instrumen komunikasi, melainkan juga
ajang realisasi diri yang santun dan beretika.

Bersikap atau berbahasa santun dan beretika juga bersifat relatif, tergantung pada jarak sosial
penutur dan mitra tutur. Selain itu, makna kesantunan dan kesopanan juga dipahami sama secara
umum; sementara itu, kedua hal tersebut sebenarnya berbeda. Istilah sopan merujuk pada
susunan gramatikal tuturan berbasis kesadaran bahwa setiap orang berhak untuk dilayani dengan
hormat, sementara santun itu berarti kesadaran mengenai jarak sosial (Thomas, 1995).

Jika norma-norma dalam tradisi lokal menanamkan kesantunan dalam berbahasa, mungkin
belum terjadi pemilahan antara kesopanan (deference) dan kesantunan (politeness). Sebuah teori
yang akan disuguhkan berikut ini adalah teori kesantunan berbahasa yang diadopsi dari tradisi
moral Cina yang dikembangkan oleh Konfusius dan diteorisasikan oleh Goffman, Brown, dan
Levinson. Teori yang diulas singkat ini, serta contoh-contoh dari data empiris diharapkan
membuka cakrawala berfikir kita mengenai kesantunan berbahasa.

Teori Kesantunan Bebahasa

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa tulisan ini mengandung pandangan
teoretis mengenai kesantunan berbahasa Konfusius, maka berikut ini akan diulas secara singkat
mengenai teori tersebut.

Teori Wajah oleh Goffman, Brown, dan Levinson

Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967), bahwasanya
bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada “wajah” atau “muka,” baik milik penutur,
maupun milik mitra tutur. “Wajah,” dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik, namun “wajah”
dalam artian public image, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah “harga diri” dalam
pandangan masyarakat.

Konsep wajah ini berakar dari konsep tradisional di Cina, yang dikembangkan oleh Konfusius
terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan (Aziz, 2008). Pada wajah, dalam tradisi Cina, melekat
atribut sosial yang merupakan harga diri, sebuah penghargaan yang diberikan oleh masyarakat,
atau dimiliki secara individu. Wajah, merupakan “pinjaman masyarakat,” sebagaimana sebuah
gelar akademik yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi, yang kapan saja bisa ditarik oleh
yang memberi. Oleh karena itu, si pemilik wajah itu haruslah berhati-hati dalam berprilaku,
termasuk dalam berbahasa.

Jika Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial, maka Brown dan
Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut pribadi yang dimiliki oleh setiap
insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, wajah kemudian dipilah menjadi dua jenis: wajah
dengan keinginan positif (positive face), dan wajah dengan keinginan negatif (negative face).
Wajah positif terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan.
Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari
gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu (Aziz,
2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti yang telah disebutkan, maka nilai-nilai itu
patut untuk dijaga, dan salah satu caranya adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak
merusak nilai-nilai wajah itu.

Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan memiliki
arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti berbahasa
(atau berprilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Konsep
wajah di atas benar-benar berkaitan dengan persoalan kesantunan dan bukan kesopanan. Rasa
hormat yang ditunjukkan melalui berbahasa mungkin berakibat santun, artinya, sopan berbahasa
akan memelihara wajah jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh (misalnya
antara dosen dan mahasiswa, atau anak dan ayah). Meskipun demikian, bersikap santun dalam
berbahasa seringkali tidak berakibat sopan, terlebih lagi jika penutur dan mitra tutur tidak
memiliki jarak sosial yang jauh (teman sekerja, konco, pacar, dan sebagainya). Untuk lebih
memahami konsep wajah ini, berikut akan saya suguhkan contoh-contoh, baik wajah positif
maupun negatif, dalam konsep kesantunan berbahasa.

Wajah Positif (Positive Face)

Sebagaimana telah disebutkan bahwa wajah positif berkaitan dengan nilai-nilai keakraban antara
penutur dan mitra tutur. Perhatikan contoh percakapan dua orang sopir angkot berikut ini (mohon
maaf jika contoh ini mengandung kata-kata kasar):

Sopir A: Mus, ngana so dapa kabar mengenai ngana pe STNK yang polisi tahan tuh? (Mus,
apakah kamu sudah mendapatkan kabar mengenai STNK kamu yang ditahan polisi itu?)

Sopir B: E… pamabo, sejak kapan ngana faduli kita pe hal? Bolong ini, tara tau dong so bakar
ka apa itu… (eh.. pemabuk, sejak kapan kamu peduli persoalanku? Belum nih, tidak tahu
mungkin mereka sudah bakar…)

Sopir A: Ce me itu lucur kasana doi barang 150 la dorang urus sudah… (Ah… kasih saja uang
150 biar mereka urus secepatnya…)

Sopir B: Ya astaga… ngana kira polisi itu ngana pe papa mantu? Kita so coba tapi dorang tara
mau. (Astaga, kamu pikir polisi itu mertua kamu? Sudah aku coba, tapi mereka tidak mau).

Sejenak jika dilihat, percakapan singkat antara dua sopir angkot ini terkesan kasar, tidak sopan.
Mungkin sebagian berpendapat bahwa wajar mereka berkomunikasi seperti ini, dengan alasan
bahwa mereka adalah teman dekat, dan mungkin berpendidikan rendah. Tidak ada yang salah
dengan pendapat-pendapat ini. Dari aspek kesopanan, cara mereka berkomunikasi memang
ganjil; tetapi dari aspek kesantunan, melalui konsep wajah positif, cara berkomunikasi ini adalah
untuk memelihara wajah masing-masing.

Tuturan sopir B memiliki muatan positif agar jarak keakraban antara mereka (sopir A dan sopir
B) terjaga. Tuturan sopir B, dengan mengatakan “pemabuk” adalah untuk menunjukan kedekatan
jarak sosial, rasa kekoncoan (camaraderie), sehingga secara psikologis tidak ada jarak pula.
Kedekatan jarak sosial yang direfleksi oleh penggunaan bahasa semacam di atas memiliki nilai
wajah positif. Seandainya sopir B merespon pertanyaan sopir A dengan irama sopan semacam
“belum ada kabar pak…” maka tentu saja jarak sosial antara mereka menjadi renggang, dan
wajah mereka terancam.

Maksud dari mengancam wajah (face threatening) adalah mengancam jatidiri sebagai sahabat
dekat, konco, dan sebagainya. Isu sentral dari mengancam wajah adalah kerenggangan jarak
sosial yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa yang relatif tidak santun, atau tidak memenuhi
kaidah-kaidah konsep wajah positif. Mengenai pengancaman wajah (face threatening act) ini
akan diulas kemudian.

Wajah Negatif (Negative Face)

Berbeda dengan wajah positif, yang mana penutur dan mitra tutur mengharapkan terjaganya
nilai-nilai keakraban, ketakformalan, kesekoncoan, maka wajah negatif ini dimana penutur dan
mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial. Perhatikan contoh percakapan antara dua orang
penumpang angkot yang tidak saling kenal antara satu sama lain di bawah ini:

Penumpang A: Maaf e, tanya sadiki, Sasa tu masih jao ka? (maaf yah, numpang tanya, apakah
Sasa masih jauh dari sini?)

Penumpang B: Wadoh mas, ini skarang so sampe di Kastela. Memangnya mas mo turun dimana
kong? (Wah mas, ini sekarang sudah sampai di Kastela. Memangnya mas mau turun dimana?)

Penumpang A: Saya tadi bilang di sopir turun di Sasa, maaf nih, jadi Sasa masih jao ka? (Saya
tadi bilang ke sopir kalau saya mau turun di Sasa, maaf, jadi apakah Sasa masih jauh?)

Penumpang B: Bukannya masih jao mas, tapi so lewat jao. Mangkali lebe bae mas turun disini
saja, nanti baru nae oto dari bawa saja, nanti bilang turun di Sasa. (Bukannya masih jauh mas,
tapi sudah kelewat jauh. Mungkin lebih baik mas turun disini saja, nanti naik angkot lagi dari
selatan, nanti bilang turun di Sasa).

Penumpang A: Wah, tarima kasih e? (waduh, terima kasih yah?)

Penumpang B: Sama-sama mas (terima kasih kembali mas).

Sangat terlihat jelas bahwa kedua partisipan (penutur dan mitra tutur) dalam percakapan ini
menunjukkan ketidakakraban, atau keformalan. Ini bisa dilihat dari penggunaan kata “maaf”
yang diulang sebanyak dua kali oleh penumpang A. Penggunaan dan pengulangan penggunaan
kata “maaf” oleh penumpang A ini untuk menjaga wajah negatif penumpang B. Artinya,
penumpang A tidak ingin terkesan akrab dan sesuka hati, dan tidak ingin mengganggu wilayah
individu penumpang B.

Demikian pula dengan penggunaan kata “mas” yang berulang-ulang oleh penumpang B, yang
merupakan sapaan sopan untuk penumpang A yang dicurigai sebagai pendatang, bukan
masyarakat asli. Dengan menggunakan dan mengulang kata “mas”, penumpang B berusaha
untuk menunjukkan bahwa dia menghargai jatidiri penumpang A sebagai individu yang dihargai
atribut individualnya, termasuk sebagai pendatang dan bukan masyarakat asli.

Melalui dua contoh yang menjelaskan dua konsep wajah di atas, jelaslah bahwa dalam
berbahasa, kita harus senantiasa mempertimbangkan jarak sosial antara kita dan mitra tutur.
Kesantunan berbahasa bukan terletak pada diksi, melainkan terletak pada tingkat keakraban atau
jarak sosial, termasuk usia, gender, strata sosial, dan strata akademik.

Pengancaman Wajah (Face Threatening Act)

Sebagaimana telah dijelaskan dengan berbagai contoh, kesantunan (dan kesopanan) berbahasa
dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah orang lain (Yule,
2006:104). Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang penutur menyatakan
sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu yang berkenaan dengan
nama baiknya sendiri (hal.106).

Pengancaman wajah melalui tindak tutur (speech act) akan terjadi jikalau penutur dan mitra tutur
sama-sama tidak berbahasa sesuai dengan jarak sosial. Perhatikan contoh berikut ini, dimana
terjadi interaksi antara tetangga yang berusia sudah tua dan yang masih muda:

Tua: He… so malam deng apa kong baribut sampe, tarada rumah ka? (Heh… ini kan sudah
malam, kok ribut banget? Tidak ada rumah ya?)

Muda: Saya, om. Maaf lagi… (Saya, om. Kami minta maaf).

Dalam konteks interaksi seperti di atas, penutur tua melakukan pengancaman wajah dengan
mengatakan “tidak ada rumah ya?” ini disebut pengancaman wajah karena jarak sosial (usia dan
mungkin juga jarak keakraban) antara mereka jauh. Bahkan, hal ini bukan hanya mengancam
wajah mitra tutur muda, bahkan wajah penutur tua itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh jatuhnya
“harga diri” sosial dengan menggunakan pernyataan yang kasar.

Respon dari mitra tutur muda merupakan tindak penyelamatan wajah (face saving act); yaitu
dengan cara melakukan kesantunan negatif dengan mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan
kesadaran atas jarak sosial dan wajah negatif penutur tua. Artinya, mitra tutur muda menyadari
keinginan wajah penutur tua untuk merdeka dan memiliki hak untuk tidak terganggu.

Pengancaman terhadap wajah ini juga bersifat positif dan juga negatif.  Jika penutur dan mitra
tutur memiliki jarak sosial dekat, maka pengancaman wajah bersifat negatif. Sementara itu, jika
penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh, maka pengancaman wajah bersifat
positif.

Intinya, wajah positif adalah keinginan partisipan untuk diterima oleh mitra tutur sebagaimana
kedekatan sosial antara mereka; wajah negatif adalah keinginan untuk bebas dari interfensi,
tekanan, atau gangguan dari pihak lain, termasuk mitra tutur. Jika keinginan wajah positif tidak
tercapai dalam bertutur, maka ancamannya pada wajah positif. Dan jika keinginan wajah negatif
tidak tercapai, maka ancamannya pada wajah negatif. Konsekuensi logis dari ancaman wajah ini
adalah kehilangan wajah (loosing face), atau dengan istilah sederhana adalah malu atau hilang
harga diri.

Kesimpulan

Melalui pembahasan dalam tulisan di atas, dapat kita simpulkan bahwa berbahasa santun itu
sendiri merupakan kesadaran timbal-balik, bahwa kita senantiasa ingin mitra tutur kita
berekspresi sebagaimana cara kita sebagai penutur berekspresi. Di lain sisi, teori kesantunan
berbahasa juga menekankan agar kita senantiasa berekspresi sebagaimana kita ingin mitra tutur
kita berekspresi terhadap diri kita.

Kesantunan berbahasa bersentral pada jarak sosial, yang mana sekaligus mengatur tata krama
berbahasa kita. Santun berarti tidak mengancam wajah, tidak menyatakan hal-hal yang
bermuatan ancaman terhadap harga diri seseorang, atau tidak mencoreng wajah seseorang atau
wajah diri sendiri.

Daftar Pustaka

Aziz, E. A. (2000). Refusing in Indonesian: Strategies and Politeness Implications. Disertasi,


Australia: Monash University.

Aziz, E. A. (2008). Horison Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai yang Terserak,
Menggugat yang Semu, Menuju Universalisme yang Hakiki. Pidato Pengukuhan Guru Besar,
Indonesia: Universitas Pendidikan Indonesia.

Brown, P & S.C. Levinson. (1987). Universals in Language Usage: Politeness Phenomena. In
E.N. Goody (ed). Questions and Politeness: Strategies in social interaction, 56-289. Cambridge:
Cambridge University Press.

Goffman, E. (1967). Interaction Ritual. Garden City, NY: Doubleday.

Thomas, J. (1995). Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics. London: Longman.

Yule, G. (2008). Pragmatik. Indonesia: Pustaka Pelajar.

ethinking Politeness, Impoliteness and Gender Identity

Sara Mills

Abstract

This chapter aims to interrogate the relationship between impoliteness and gender identity. I
question the way that previous research on politeness has assumed a stereotypical correlation
between masculinity and impoliteness and femininity and politeness. Furthermore, I aim to move
politeness research away from the Brown and Levinson (1978) model whereby individual speech
acts are considered to be inherently polite or impolite, towards a more complex model of the way
that politeness and impoliteness operate. I argue that communities of practice, rather than
individuals, arbitrate over whether speech acts are considered polite or impolite. Stereotypes of
gender may play a role in the decisions that such communities make about politeness, but,
nevertheless, individuals within these communities may use such stereotypes strategically to
their own advantage. To illustrate these ideas, in an analysis of an incident at a departmental
party, I argue that politeness needs to be analysed at a discourse level rather than at the sentence
or phrase level. I also argue that gender needs to be analysed in a way which moves it away from
a focus on the sex of individuals to a form of analysis which focuses on such issues as the
gendering of strategies, modes of talk and domains.

Keywords: politeness; gender; pragmatics; relevance

Introduction

In this chapter I aim to bring together new theoretical work on gender from feminist linguistics
with new theorising of linguistic politeness. (1) I aim to clear some theoretical space for thinking
about both the terms gender and politeness, and thus much of the paper is given over to a critique
of theorising on this subject. My argument is that we need a more flexible and complex model of
gender and politeness. Theorists in gender and language research cannot continue to discuss
gender simply in terms of the differential linguistic behaviour of males and females as groups;
we need to be able to analyse the various strategies which gendered, raced and classed women
and men adopt in particular circumstances and with particular goals and interests. (2) In terms of
the analysis of politeness, I would argue that we need several analytical changes: firstly, we need
to see politeness as occurring over longer-stretches of talk; secondly, it should be seen within the
context of a community of practice, rather than as simply as the product of individual speakers,
and finally, we need to be aware that there may be conflicts over the meanings of politeness. By
focusing on the analysis of an incident in which I was involved, in the final part of this essay, I
try to formulate the ways in which I think the theorising of gender and politeness might proceed,
and in particular I focus on the way that impoliteness is dealt with in interactional terms. A more
pragmatic focus on impoliteness enables us to view politeness less as an addition to a
conversation, something which is grafted on to individual speech acts in order to facilitate
interaction between speaker and hearer, (which is at least implicit in Brown and Levinson's 1978
model) but rather as something which emerges at a discourse level, over stretches of talk and
across communities of speakers and hearers. This, therefore, constitutes a discourse analysis of
politeness, rather than a linguistic analysis of politeness. Thus, rather than identifying the Face
Threatening Acts performed by individuals and the politeness repair work deemed necessary to
contain their force, as Brown and Levinson (1978) have done, I will be focusing instead on the
effect of impoliteness on groups and the way that gender plays a role in assumptions about who
can be impolite to whom, and who needs to repair the damage. I will suggest that, using
Relevance theory to examine the way that male and female interactants make sense of an event
in speech, we may be able to see gendered protocols at work. (Sperber and Wilson, 1986) In
viewing a range of different interactions we can analyse the different strategies adopted by
various women rather than attempting to make generalisations about the way that all women
respond to rudeness or are themselves impolite. (3) In this way, we can map out parameters for
strategic intervention to repair interaction and suggest ways in which they may be contextually
gendered, without making assumptions about the necessary pairing of language items with a
specific gender.

Feminist Linguists and Communities of Practice

Gender has begun to be theorised in more productive ways, moving away from a reliance on
binary oppositions and global statements about the behaviour of all men and all women, to more
nuanced and mitigated statements about certain groups of women or men in particular
circumstances, who negotiate within certain parameters of permissible or socially sanctioned
behaviour. (Coates & Cameron,1988; Johnson & Meinhof 1997; Bergvall, Bing & Freed, 1996)
Rather than seeing gender as a possession or set of behaviours which is imposed upon the
individual by society, as many essentialist theorists have done so far, (see Butler, 1990; Fuss,
1989 for an overview) many feminists have now moved to a position where they view gender as
something which is enacted or performed, and thus as a potential site of struggle over perceived
restrictions in roles (Crawford, 1995).(4)

Of particular interest is the notion of communities of practice, developed by Wenger, (1998), and
developed in relation to language and gender research by Eckert and McConnell-Ginet to
particular effect. (Eckert and McConnell-Ginet, 1998; 1999). Within this view, feminist
linguistics should be concerned less with analysing individual linguistic acts between individual
(gendered) speakers than with the analysis of a community based perspective on gender and
linguistic performance, which in the case of politeness must therefore involve a sense of
politeness having different functions and meanings for different groups of people. ` A
community of practice is an aggregate of people who come together around mutual engagement
in some common endeavour. Ways of doing, ways of talking, beliefs, values, power relations –
in short, practices – emerge in the course of their joint activity around that endeavour.’ (Eckert &
McConnell-Ginet, 1998:490) The crucial dimensions of a community of practice are that it will
have `mutual engagement; a joint negotiated enterprise; and a shared repertoire of negotiable
resources accumulated over time.' (Wenger, 1998:76 cited in Holmes and Meyerhoff, 1999:175)
Thus, each community will develop a range of linguistic behaviours which function in slightly
different ways to other communities of practice. However, we need to modify this notion of
community of practice slightly, since although there may be broad agreement as to the norms
operating within that group, there will also be different `takes’ on those norms, and gender may
play a significant role here in determining what each participant views as appropriate. If we are
concerned with analysing cross-cultural differences in language use, the issue of gender is even
more fraught, since what we refer to as gender or sex difference varies within and between
cultural contexts. What is deemed appropriate linguistic behaviour for a working class white
heterosexual English woman in conversation with a group of her peers will not be the same as
what is deemed appropriate for a middle class Chinese heterosexual woman conversing with her
peers.

This notion of a community of practice is particularly important for thinking about the way that
individuals develop a sense of their own gendered identity; because it is clear that individuals
belong to a wide range of different communities with different norms, and they will have
different positions within these groups, (both dominant and peripheral). Thus, rather than
describing a single gendered identity which correlates with one's biological sex, it is possible
within this model to analyse a range of gendered identities which will be activated and used
strategically within particular communities of practice. (see footnote 3)

This more productive model of gender makes it more difficult to make global and hence abstract
statements about women’s or men’s language; however, it does allow for variations within the
categories `men’ and `women’ and allows for the possibility of contestation and change, whilst
also acknowledging the force of stereotyping and linguistic community norms. As Eckert and
McConnell-Ginet state: `An emphasis on talk as constitutive of gender draws attention away
from a more serious investigation of the relations among language, gender and other components
of social identity: it ignores the ways difference (or beliefs therein) function in constructing
dominance relations. Gender can be thought of as a sex-based way of experiencing other social
attributes like class, ethnicity or age (and also less obviously social qualities like ambition,
athleticism and musicality.’(Eckert & McConnell-Ginet, 1998:488/9) Thus, we do not need to
lose sight of the way that stereotyping operates within communities, rather, the stereotypes of
gender, race and class difference will be more or less salient dependent upon the community of
practice, and each community of practice may develop different positions in relation to these
stereotypes (see Bucholtz, 1999). It may also be the case that certain activities within those
communities of practice might be coded or recognised as stereotypically masculine or feminine
and thus certain types of linguistic activity may be considered by males and females as
appropriate or inappropriate within interaction and sanctioned by the group as a whole.

Alice Freed suggests in her analysis of the types of speech which are produced by close friends
that certain styles of interaction are coded by the participants as feminine or masculine; thus,
because of the context and the perception that intimate conversation is feminine, the males in her
study seemed to be behaving like stereotypical females. (Freed, 1996) This does not seem
entirely satisfactory since it is clear that some males would perhaps see this as an occasion to
mark their speech in hyper-masculine ways. (5) Furthermore, not all linguistic communities
would code this type of relaxed conversation as feminine. However, the notion of gendered
domains is important here in being able to describe the way that gender impacts at the level of
the setting and context, rather than simply at the level of the individuals involved in the
interaction.

When this new more complex theorisation of gender is extended to the analysis of linguistic
politeness, it results in a move away from stereotypical assumptions that have dominated
discussions of women’s use of politeness, in most of the standard analyses of gender and
language from Lakoff (1978) through to Holmes (1996). It is clear that we need to acknowledge
the extent to which our notion of `women’ is classed and raced, particularly when we are
considering linguistic politeness. As I will argue later in this paper, politeness is already
gendered, classed and raced, so that stereotypically it bears a signature of middle class, white
femininity and this trace lingers on in the way that individuals react politely or impolitely, in the
way that they react to politeness and impoliteness, and also whether they recognise an utterance
as polite or impolite. This stereotyped connection between gender and politeness leads to certain
expectations by members of communities of practice about what linguistic behaviour they expect
of women and men.
Theorising of Power

Essential to feminist thinking about gender difference has been a particular model of power
relations. Much early feminist thought presupposed that there was a more or less simple
correlation between males and power and females and powerlessness. (Lakoff, 1975; Spender,
1980) Whilst Foucault’s formulation of power relations has been influential in this area and
many feminists have urged that we need to think through power relations in a more complex
manner to avoid such a simple binary opposition, there remains little work which details how to
analyse seemingly endemic structural inequalities and at the same time individual transgressions
and contestations of those inequalities. (Foucault, 1978) If we consider Foucault’s notion of the
dispersion of power, that is, the spread of power throughout a society, rather than the holding and
withholding of power by individuals, we will be able to move towards an analysis which will see
language as an arena whereby power may be appropriated, rather than societal roles being clearly
mapped out for participants before an interaction takes place. In engaging in interaction, we are
also at the same time mapping out for ourselves a position in relation to the power relations
within the group and within the society as a whole. This is what I would like to call interactional
power, to differentiate it from those roles which may or may not be delineated for us by our
relation to institutions, by our class position, and so on. It is possible for someone who has been
allocated a fairly powerless position institutionally to accrue to themselves, however temporarily,
a great deal of interactional power by their verbal dexterity, their confidence, their linguistic
directness, (those more stereotypically masculine/competitive/report talk attributes), as well as
through the use of the seemingly more feminine linguistic display of care, concern and
sympathy, described as co-operative strategies or rapport talk. (Coates, 1998; Tannen, 1991). (6)
For example, a secretary in a university department may be able to use a fairly direct form of
address to those in positions of power over her, because of her access to information upon which
they depend; conversely, lecturers who need this information and who are reliant on her, will
need to employ politeness forms which would normally signal deference. (Mills, 1996) Thus,
positions of power mapped out by one’s role in an institution may not relate directly to the
interactional power that one may gain through one’s access to information, one’s verbal skill or
one's display of care and concern for other group members.(7)

Contesting Brown and Levinson’s Model of Politeness

Brown and Levinson's (1978) model of politeness has influenced almost all of the theoretical and
analytical work in this field. They argue for a pragmatic analysis of politeness which involves a
concentration on the amount of verbal `work' which individual speakers have to perform in their
utterances to counteract the force of potential threats to the `face' of the hearer. Face is a term
drawn, via Goffman, rather loosely from the Chinese, to describe the self-image which the
speaker or hearer would like to see maintained in the interaction. Brown and Levinson state `face
is something that is emotionally invested, and that can be lost, maintained or enhanced, and must
be constantly attended to in interaction.'(Brown & Levinson, 1978:66) A threat to a person's face
is termed a Face Threatening Act, and they argue that such threats generally require a mitigating
statement or some verbal repair (politeness), or breakdown of communication will ensue. They
analyse politeness in two broad groups: positive politeness which `anoints the face of the
addressee by indicating that in some respects, S[peaker] wants H[earer]'s wants (e.g. by treating
him/her as a member of an in-group, a friend, a person whose wants and personality traits are
known and liked),' and negative politeness which `is essentially avoidance-based and consist(s)
…in assurances that the speaker…will not interfere with the addressee's freedom of action.'
(ibid,75) Positive politeness is thus concerned with demonstrating closeness and affiliation (for
example, compliments) whereas negative politeness is concerned with distance and formality
(for example, hedges and deference).

Many theorists have criticised Brown and Levinson’s model of politeness, mainly for its
overgeneralising of Eurocentric norms; several theorists have criticised both the overextension
and the limitation of use of the term `face’ in Brown and Levinson’s use. (Mao, 1994; Boz,
forthcoming) (8) Brown and Levinson’s model also seems unable to analyse politeness beyond
the level of the sentence. Culpeper has criticised their model for being unable to analyse
inference, which he suggests is the level at which a great deal of linguistic politeness and
impoliteness occurs. (Culpeper, 1996) As Holmes notes, politeness cannot be said to reside
within linguistic forms. Thus, a statement such as `Do you think it would be possible for you to
contact Jean Thomas today?’ would be interpreted by Brown and Levinson as polite if used by a
boss to her/his secretary, since mitigating features are included in this direct request which might
constitute an FTA; however, this might in fact be interpreted as impolite, if it were said by a boss
to his/her secretary if they usually have an informal style of communicating, and this is not the
first time that the request has been made. Thus, the very features which Brown and Levinson
would argue seem to indicate politeness may in fact be used to express impoliteness. Brown and
Levinson’s model can further be criticised for the fact that it assumes that it is possible to know
what a polite or impolite act means. It is thus a model of interaction which is focused on
production, i.e. which conflates the intentions, or the perceived intentions of the speaker with
that of the meaning of the interaction as a whole (9). I would argue that it is only individuals
interacting within communities of practice who will be able to assess whether a particular act is
polite or impolite, and even then, such interpretations may be subject to disagreement.

The Cross Cultural Linguistic Politeness Research group was set up to discuss some of these
problems and to develop new ways of analysing linguistic politeness (see footnote 8). One of the
contributions of the group so far has been to observe that politeness is not very observable except
when there are violations of perceived politeness norms. The essence of politeness is that appears
to be invisible. A further observation is that politeness is not only a set of linguistic strategies
used by individuals in particular interactions, it is also a judgement made about an individual’s
linguistic habits; thus it is a general way of behaving as well as an assessment about an
individual in a particular interaction. Thus, if a person whom we would normally categorise as
very polite is impolite in a particular instance, this might have greater force than a less offensive
statement by someone whom we would categorise as habitually impolite.

Thus, politeness should be seen as a set of strategies or verbal habits which someone sets as a
norm for themselves or which others judge as the norm for them, as well as being a socially
constructed norm within particular communities of practice.(10) Holmes seems to affirm this in
that she talks about `polite people’ as those who `avoid obvious face-threatening acts ... they
generally attempt to reduce the threat of unavoidable face threatening acts such as requests or
warnings by softening them, or expressing them indirectly; and they use polite utterances such as
greetings and compliments where possible.’(Holmes, 1995:5) However, this view of `polite
people’ does not relate those polite acts to a community which judges the acts and the people as
polite, and thus is again an example of the disembodied, abstract analysis which is often
determined by the use of a Brown and Levinson framework.

An important element in the assessment of an act as polite is judging whether an utterance is


appropriate or not, either in relation to the perceived norms of the situation, the community of
practice or the perceived norms of the society as a whole. (11) There is obviously a great deal of
flexibility in these norms and the potential for misunderstandings and misapprehension of
politeness is large. For example, a woman university lecturer may use mild swear words and a
range of informal expressions to set a seminar group at ease and create an atmosphere of
informality and openness, (that is paying positive politeness to the face needs of the group) but
this may be interpreted by some of the group members as impolite, ingratiating or patronising, if
they have particular views of the language which is appropriate to staff members or to what they
consider a relatively formal setting such as the seminar.

Drawing on brown and Levinson's work, Janet Holmes argues that in general women are more
polite than men: `Most women enjoy talk and regard talking as an important means of keeping in
touch, especially with friends and intimates. They use language to establish, nurture and develop
personal relationships. Men tend to see language more as a tool for obtaining and conveying
information.’ (Holmes, 1995:2) Her empirical studies seem to back up this global view of
women’s language, influenced by Jennifer Coates (1996) and Deborah Tannen’s (1991) work on
co-operative and competitive strategies, and thus Holmes asserts that, therefore, women are more
polite than men, as they are more concerned with the affective rather than the referential aspect
of utterances and `Politeness is an expression of concern for the feelings of others.’ (Holmes,
1995:4) Holmes states that she will be using a broad definition of politeness following Brown
and Levinson, so that politeness refers to `behaviour which actively expresses positive concern
for others, as well as non-imposing distancing behaviour.’ (Holmes, 1995:5) Holmes suggests
that women are more likely to use positive politeness than men; thus she is asserting that
`women’s utterances show evidence of concern for the feelings of the people they are talking to
more often and more explicitly than men’s do.’ (Holmes, 1995:6) I aim to contest Holmes’
notion that women globally are more polite than men through analysing one particular instance
of linguistic impoliteness and the complexity of interrelation between perceptions of community
norms and gender stereotyping.

Impoliteness

Much of the thinking about linguistic politeness has focused on politeness in isolated speech
acts, without considering those acts in relation to what would constitute impoliteness. As
politeness is an entity which is very difficult to define or describe, focusing on impoliteness may
be slightly easier, since normally at least some of the participants are aware when a breach of
perceived norms has taken place. Third parties may be approached to discuss someone’s
impoliteness and it generally involves some sort of repair to the interaction and to the
relationship if the impoliteness is considered exceptional. Indeed, a great deal of interactional
work goes into the assessment of impolite acts, involving retelling anecdotes and inviting
judgements of the excessiveness of the impoliteness, in order to bolster the sense that one's
assessment of the impoliteness is justified or not.
Culpeper has attempted to come to a definition of impoliteness as the opposite or reverse of
politeness (Culpeper, 1996). He analyses several contexts of linguistic use - a documentary
programme on army training and literary drama - where he isolates certain examples of impolite
linguistic behaviour. In the army training documentary which he examines, he lists the instances
of impoliteness by the trainers to the recruits. However, I would argue that within that particular
community of practice, this is not classified as impolite, although it would be within almost any
other community. The dominant group in the interaction, the officers, has managed to achieve a
situation where this seeming excessive impoliteness is considered to be the norm. Thus, if we
simply analyse impoliteness in the decontextualised way that Culpeper does, we will be unable
to grasp the way that politeness is only that which is defined by the community of practice as
such, and even then it is something which may be contested by some community members. (12)
Thus, I would suggest that impoliteness only exists when it is classified as such by certain,
usually dominant, community members, and/or when it leads to a breakdown in relations.

Case Study of Impoliteness

I would like to focus on an incident which occurred at a university departmental party and which
involved myself, one of my female postgraduates and a new male member of staff. (13) Using
anecdotal evidence in this way is problematic, as the critiques of Deborah Tannen and Robin
Lakoff’s work have demonstrated (but see Cameron, 1998). However, this anecdote is used
partly because of the difficulty of finding naturally occurring examples of impoliteness in data.
This analysis is not intended to make generalisations about impoliteness – this case study serves
to demonstrate that gender plays an important role in certain types of interaction. The way that
gender works in each interaction may differ markedly from this. Focusing on an interaction
where different views of what actually happens is complicated, but I think it illustrates some of
the difficulties in assigning clear values to elements within a conversation in relation to
politeness.

A departmental party is a community of practice with different norms to the work environment;
it is a complex and sometimes rather tense environment where the interpersonal and institutional
relations between staff in a department are played out and negotiated. Linguistic behaviour
which might be considered impolite within the office or teaching situation, when uttered at a
staff party may be considered differently. A departmental party is usually an arena where a
certain amount of banter between social equals occurs; banter, and this type of public verbal play
in general, seems to be a genre which is coded by many women as a masculine way of
interacting, but which female members of staff may also engage in equally. (Labov, 1972) (14)
However, as Clare Walsh has shown, women often use styles of speech in their interventions in
the public sphere which are coded as masculine, but they run the risk of being judged as
transgressive or abnormal for engaging in them (Walsh, 2000 forthcoming; Liladhar, 2000
forthcoming)

In the incident in question, a new male member of staff who had not been introduced to either
myself or my postgraduate before approached us; this person, like us, is white and middle class
and probably roughly the same age as myself, but older than the postgraduate. The postgraduate
and I tried to be positively polite and friendly by saying `Hi there' and asking the person how he
was. Since the party was well underway, I had to think up some form of appropriate phatic
communion. (15) Banter was not an option since I did not know the person. Since this person is a
poet I asked:

`What sort of poetry do you write?’ to which he replied,

`Name me six poets’.

This response on his part confused me . Relevance theory helps us to understand the way that we
understand or gloss potentially opaque statements. (Sperber and Wilson, 1986) If I wished to
continue to classify what we were engaging in as polite small talk, then I would have to comply
and provide a list of poets. I would thus have to assume that there was a longer-term relevance to
his request for the names of six poets which would become apparent as the conversation
unfolded. However, I did not wish to be forced to answer this question, which I felt was
offensive and which I glossed as his attempt to state that he would not talk about his writing as I
knew nothing about poetry. Under this interpretation, he was in fact implying that I could not
name six poets. Proxemic cues, such as body stance, eye contact, facial expression and his tone
of voice, all led me to interpret the relevance of his statement to my question as impolite. What
has since become clear is that the male staff member was extremely anxious about the
departmental party, and had inferred that my politeness and friendliness towards him, because he
considered them to be excessive, were in fact patronising and therefore insincere, and impolite.
(16) A further interpretation which I have only come to recently is that this conflict developed
precisely because of gender stereotyping: here a famous male poet found himself in conversation
with a female professor in his department and she started the conversation with a gambit which
showed that she had never heard of him. His aggression and impoliteness stemmed from this
difficulty in accepting a relatively powerless position where gender was enmeshed with power
difference. (see Cameron, 1998) I would argue that gender played a part in our attempts at
making sense of each other's seemingly inexplicable interventions. As Cameron states: `gender is
potentially relevant (to understanding conflict-talk) to the extent that it affects the context-
specific assumptions that the man and the woman bring to bear on the work of interpreting one
another's utterances. If there is a divergence of interpretation between the parties … a
satisfactory explanation must be sought not in gender-preferential responses to a particular
linguistic strategy, but at the level of assumptions and inferences which are specific to the
situations these conversationalists find themselves in.' (Cameron, 1998:448) In this case, the
conflict seems to involve the assessments each of us made as to the level and sincerity of
politeness on the one hand, and to the overall relevance of the utterance to the conversation as a
whole on the other. These assessments and interpretations of the interaction are inflected with
gender stereotyping and assumptions.

I was then joined by my female postgraduate who was standing next to me and saw that I was in
difficulties, and we both attempted to try to change the subject and to resolve the difficulty.
However, the male staff member then made comments which we both considered impolite, by
making overtly sexual comments and being verbally aggressive, where we had been attempting
to be friendly and polite towards him. Rather than simple banter which plays around with what is
acceptable, sometimes overstepping the limit of acceptability for the purposes of humour and
camaraderie, this incident did not feel as if it could be classified as banter and therefore
positively polite, but instead had to be classified as offensive and impolite. (17) What is also
important is that the male member of staff was behaving in a stereotypically masculine fashion,
drawing attention to our femaleness and sexuality. This felt like aggression and not banter
primarily because we did not know him. If this behaviour had come from one of our male
colleagues with whom we felt at ease, we would not necessarily have considered the incident
impolite, but would have excused it on the grounds of drunkenness and personal style more
readily. As it was, neither my postgraduate nor I responded with what we considered
impoliteness, but continued to use positive politeness strategies, suggesting that we talk on other
subjects, or explicitly drawing attention to the fact that we seemed to be misunderstanding one
another, perhaps stereotypically `feminine' responses to threatening behaviour. Because of these
strategies we were locked into the interaction; we could not simply walk away. We tried to
assuage him and calm him down, partly because both of us were fearful of physical attack. Thus,
all of participants in this interaction were inferring politeness or impoliteness in relation to norms
which they thought existed within that particular community of practice, and these norms I
would argue have something to do with gendered domains and stereotypes of gendered
behaviour.

An initial coding of an utterance as impolite or polite leads to a range of different behaviours for
each participant. For myself and the postgraduate, it led to a range of `repair’ behaviours, a
stereotypically feminine response, perhaps, whereas for the male staff member, it led to an
increase in insulting terms, as if perhaps these were implicit from the beginning.(18) One could
argue that this person gained some interactional power through this type of behaviour, since he
had insulted a person who was senior to himself in institutional terms (and in fact, my status was
something which was brought up later in the interaction) and also had insulted someone to whom
he should have had some responsibility since she was a postgraduate student within the
department. However, we would need to be careful about the elision of interactional power with
masculinist stereotypical behaviour, which in many contexts such as this one, do not necessarily
bring any form of power to oneself.

The question of a person’s commitment to a particular speech act is important here. Clare Walsh
has argued that we need to be able to discuss the notion of inferred sympathy or politeness which
we assume is behind a particular speech act. (Walsh, forthcoming) My postgraduate and I as
participants in a particular community of practice inferred a certain degree of commitment to this
person’s speech acts. What is interesting is that those who tried to help resolve the problem
suggested that we should not attribute commitment to him to his speech acts on lines which
seemed strikingly gendered; that is, he is a poet (and presumably male poets have a certain type
of behaviour which is seen to be acceptable), and that he was drunk and therefore should not be
held responsible and committed to what he said. (19) Further gendered stereotypes were brought
in, since we were told that we should simply accept this behaviour because `that’s just the way
he is’; Having worked with extremely impolite, `masculinist’ females as well, it is worth
considering the very different ways in which females are judged for directness, verbal aggression
and impoliteness. Thus, this impolite behaviour was judged to be not serious or problematic,
because those who were trying to resolve or minimise the difficulty, for the best of motives, that
is, in the interests of departmental harmony, were drawing on gendered stereotypes of what was
appropriate behaviour for men and women.
The incident itself is not particularly important, except for the fact that my postgraduate and I felt
that the person had been grossly impolite, and the party was disrupted by the event. What is
perhaps more important is the outcome of this behaviour, where all of the people who attended
and the rest of the department were drawn into various behaviours which either tried to resolve
or worsen the perceived breach. Several male and female members of the department refused
pointedly to speak to the member of staff; several meetings were held between senior staff and
the postgraduate, where the postgraduate tried to make a formal complaint.(20) After several
weeks of not communicating with the person, I decided to try to resolve the matter by talking to
him explicitly about the event and suggesting that we begin to speak to each other again.
Generally, I would characterise both myself and my postgraduate as strong speakers who are
confident in the public sphere. Thus, this may seem to be a fairly stereotypical feminine response
to the situation, or even perhaps an admission of some fault on our part. (21) However, resolving
breaches seems to me a fairly powerful move to make, and strategic use of stereotypical
gendered behaviour cannot be considered in the same way as other less foregrounded gendered
behaviour. This type of strategic use of stereotypical behaviour requires us to analyse more
carefully the notion of the meaning of such behaviour. The impoliteness towards me and my
student was beginning to reflect more on us than it did on him; I did not wish to be cast in the
role of victim and he showed no awareness of the distress his verbal attack had caused,
particularly to the postgraduate. This strategic use of feminine co-operative strategies should be
seen as a way in which female behaviour cannot be equated with stereotypes of behaviour, and
even those stereotypes can be used for our own ends. However, whilst I felt that I was resolving
the situation by drawing on these feminine norms strategically, that is not to say that other
members of the department or indeed the staff member himself interpreted them in this way.

Conclusions

Thus, what the analysis of this incident shows is that gender in an interaction is not simply about
the gender of the speaker or hearer; this particular community of practice is coded by many of
the participants as masculine because banter is considered to be the normal mode of interaction;
however, what was interpreted as impoliteness on a male’s part is condoned more, since this fits
in with the stereotypes of masculine interaction. A seemingly feminine response to the situation,
that is, one which attempts to resolve the situation, cannot be simply coded as powerless, since in
fact this is what brings the incident to a close. However, even though this is a strategic use of
femininity, it may still be classified by others as a weak form of behaviour. Stereotypically
masculine speech styles may be condoned more when they are employed by men than women,
because these accord with notions of the habitual styles of men and their use of politeness.
However, we should not assume that interactional power is necessarily achieved by the use of
masculinist speech such as banter and impoliteness. Thus, when analysing politeness and
impoliteness in relation to gender, it is not enough to simply analyse males’ and females’ use of
seemingly self-evidently politeness strategies within particular interactions; what must be
focused on is the gendered domains of speech acts like politeness and the perceived norms of the
community of practice. We must also analyse the way that individuals come to a judgement of an
utterance or series of utterances as polite or impolite, and the way that this judgement is not a
once and for all act, but that it is something which takes up a great deal of interactional work
with others. Furthermore, the power of feminine and masculine strategies of speech must also be
considered in relation to what is achieved in the long term within the interaction. Thus, what I
am arguing for in this essay is a greater complexity in the analysis of gender, politeness and
impoliteness which perhaps can only be achieved through turning from the sentence level to the
level of discourse. The notion of community of practice can provide a framework for analysing
the complexity of judging an utterance as polite or impolite, and it can also enable us to see that
within different communities of practice, individuals may perform their gendered identities in
different ways.

Notes

1. I would like to thank the following people who have commented on draft versions of this paper:
Tony Brown, Clare Walsh, Janine Liladhar, Reina Lewis, Manana Tevzadze, Corinne Boz, Jane
Sunderland, Lia Litoselliti, Keith Green, Peter Jones and the members of the Cross Cultural
Linguistic Politeness group who commented on a draft version of this paper which I gave at
Nottingham Trent University, November 1999. I am also grateful to those who commented on
versions of this paper which I have given at the Loughborough University Social Sciences
Women's Group, February, 2000; International Gender and Language Association, California,
May, 2000, and Gender and Language Conference, Utrecht, May, 2000.
2. Thus, I am not arguing that no generalisations can be made about gender; context-sensitive
empirical studies would be able to yield useful data, but we would have to be wary about using
this data to comment on women or men as a whole. As I show later, there are generalisations
which can be made about the employment of stereotypical behaviour at certain moments in
interactions, but even here, stereotypical behaviour cannot be said to have one function or one
interpretation. Perhaps, also, we need to question whether there is one stereotype for feminine
and masculine behaviour. (See Liladhar, 2000 forthcoming; Eckert and McConnell, 1999; Holmes
and Meyerhoff, 1999)
3. Ehrlich's (1999) article on the differential behaviour of a female tribunal judge and a female
complainant in a sexual harassment/date rape trial is an excellent analysis of the way that
women may be part of different communities of practice and therefore will behave linguistically
in very different ways, but that they may decide call on their shared sex for particular strategic
reasons.
4. That is not to suggest that anyone can say/do/be anything, as several feminist theorists have
interpreted Judith Butler as stating in her work on the performativity of gender.(Butler, 1990)
My position is a modified form of Butler’s theories on gender identification which acknowledges
the force of stereotyping and perceptions of sex-appropriate roles, yet sees also that it is
possible to challenge and contest those stereotypes, or change their meaning or function. (see,
Bell et al, 1994)
5. In certain recording sessions which some of my undergraduate students undertook at the
University of Loughborough, in 1993, this was clearly the case. The male students in question
saw intimate speech situations as stereotypically feminine and therefore spent a great deal of
the time drawing attention to the fact of being recorded and addressing sexist comments to the
person who was recording the interaction. Also, Cameron, (1997) has shown that single sex
heterosexual male groups may use this seemingly feminine speech setting of informal gossiping
to co-construct their heterosexuality masculinity against a supposed homosexual male other.
6. It may be argued that since power and masculinity are correlated (however, complex that
relation is ), that interactional power can only be achieved by using masculinist strategies in
speech; however, one’s position within a speech community may be advanced by using a range
of different strategies, including the seemingly more co-operative/rapport ones, depending on
the community of practice. Competitive talk is not always valued by communities of practice
which may code it as too direct, bullying and overbearing.
7. Although this is a possible role for secretaries to adopt within certain particular institutional
contexts, it is interesting that not all secretaries do adopt it..
8. The Cross-cultural Linguistic Politeness Research Group, composed of linguists from Britain,
China, Georgia, Italy, Turkey, Finland and the Netherlands, has been collaborating on rethinking
the models which are currently in use for the analysis of linguistic politeness. We meet regularly
to discuss the research of the participants and also to discuss new research in this area. One of
the main discussions so far has been on the contestation of the notion of face, and we are
currently working on communities of practice and politeness. Details of the group can be found
on the website http:\\www.shu.ac.uk\schools\cs\linguistics or by contacting Sara Mills at
s.l.mills@shu.ac.uk, or at our web-board: http://hum-webboard.ntu.ac.uk/~politeness or by
contacting Francesca Bargiela : francesca.bargiela@ntu.ac.uk
9. This distinction between an analyst imposing a meaning on an utterance and an analyst
attempting to discover the meanings which interactants give to an utterance is one which
Bucholtz (1999) defines as the distinction between sociolinguistics and ethnography
10. These individual norms, of course, cannot be arrived at except through the particular
community of practice and the wider social norms held within that society which that
community will take a position in relation to It is one’s judgement about what a certain level of
politeness means in relation to one’s gendered, classed and raced identity which determines
what style of politeness will be adopted.
11. The notion of appropriateness is a very difficult one to engage with, as Walsh (forthcoming) has
noted. It is generally drawn on as a way of avoiding analysis of the structural inequalities in
conversation which lead to certain notions of appropriateness being formulated which favour
the dominant group’s norms. However, it remains a useful term to use with caution when
discussing the way that individuals come to an assessment of their own and other’s utterances
in relation to a set of perceived group norms. It should be noted also that individuals may have
misguided notions of what is appropriate within a particular group (see Bucholtz, 1999 on
peripheral group members)
12. For example, in the army training example, it might be the case that one of the recruits
considered the level of impoliteness as over-aggressive and therefore might lodge an official
complaint about it. A participant at a conference on Language and Gender in Utrecht, 2000,
stated that when he did his year's army training, he found the level of impoliteness personally
threatening and offensiveness. My point would be that despite classifying this style of speech as
impolite, nevertheless he recognised that it was `appropriate' to the context and did not in fact
complain.
13. I should make clear that this analysis is not an attempt to `get back’ at the person involved; I am
simply interested in the aftermath of the event within that community of practice and what it
tells us about politeness and impoliteness. Even over two years, the incident still has effects on
the department and is still discussed. Indeed, this article is part of that process of understanding
the event. There are clear difficulties in working on this material since I am making this incident
public and presenting a particular view of the event. The male member of the staff involved in
the incident has received a copy of each version of this essay, and I asked his permission to
publish it. I also requested comments on his interpretation of the incident. He prevented me
from publishing an earlier version of this essay in the departmental web-journal : English Studies
: Working Papers on the Web . I should make very clear that the views expressed here about the
meaning of the incident are mine alone.
14. Many of the female university lecturers to whom I have spoken about banter have stressed the
fact that they see `doing' banter and verbal duelling with male colleagues as a necessary but
rather tedious element in their maintaining a position within the departmental hierarchy. They
see it almost as a precondition of being accepted as a `proper' university lecturer that they can
adopt this masculinist way of speaking. It is not something that they necessarily want to do, but
it is a style of speaking that many of them felt that they could use effectively.
15. If the incident had taken place earlier it would have been possible for me to draw on a whole
range of other items of small talk, such as comments about the house where the party was
being held, or even the weather, but the timing of the interaction precluded the use of these.
16. It is difficult to work out what the other participant considered happened during this interaction;
despite several attempts to discuss this issue with him, he has not responded. However, another
member of the department who has attempted to be `objective' about this interaction made
comments to me which lead me to assume that this is roughly how he interpreted our actions.
This may however be a post hoc rationalisation on that member of staff's part or indeed on the
part of the new member of staff (just as my analysis may well be).
17. Banter also is only an appropriate speech style to those who know each other well, and may be
misinterpreted when used between relative strangers; it may also be used strategically by those
strangers who wish to be impolite because of this ambiguity about whether it is a signal of
intimacy and therefore positive politeness or impoliteness.
18. By this I mean that the way that the conversation developed into an excessive display of insult
and sexual antagonism perhaps means that these elements of conflict were already embedded
within the initial interaction where there might appear to be a certain ambiguity about whether
the male member of staff intended to be polite or not. Cameron (1998) argues that whereas
Deborah Tannen considers that men and women simply misunderstand each others' intentions,
that they have different speech styles which lead to breakdowns in conversation, in fact, the
conflict between men and women is one of social inequality and differential access to resources
and goods within the public sphere; this is what leads to conflict. Here, conversational
breakdown is seen as an instantiation of a wider conflict over power.
19. I would agree that alcohol affects what we say to people, and when we judge that someone is
drunk we also adopt different strategies towards them and judge their utterances in different
ways. However, that cannot lead us to assume that the speech acts of those who are drunk
should not be counted as having any effect or force. Furthermore, the way that drunkenness is
judged as appropriate or inappropriate for men and women was striking here. (See Clark, 1998,
for a discussion)
20. When the staff member was informed that the postgraduate was considering making a
complaint, he left a note in her pigeonhole which said `Sorry’. No formal complaint was made.
21. This is also why I feel that it is important to see politeness and impoliteness over long stretches
of interaction, because it is quite clear to me that there are several points in the interaction
where the meaning of certain acts began to change their meaning for me and therefore
required a different response.

References

Bell, D, Binnie, J. Cream, J. & Valentine, G. (1994) `All hyped up and no place to go’, pp.31-48,
in Gender, Place and Culture, 1/1.
Bergvall, V. Bing, J. & Freed, A. eds. (1996) Rethinking Language and Gender Research:
Theory and Practice, London, Longman.

Boz, C. (in progress) `Politeness and linguistic universals', PhD thesis, Sheffield Hallam
University

Brown, P and Levinson, S (1978) `Universals in language usage: politeness phenomena’, pp.56-
311, in ed. Goody, E. Questions and Politeness: Strategies in Social Interaction, Cambridge,
Cambridge University Press.

Bucholtz, M. (1999) `Why be normal? Language and identity practices in a community of nerd
girls.' Pp.203-225, in Language in Society, 28/2

Butler, J. (1990) Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity, London, Routledge.

Cameron, D. (1998) `Is there any ketchup, Vera?': gender, power and pragmatics', pp. 435-455,
in Discourse and Society, 9/4

Cameron, D. (1997) `Performing gender identity: young men's talk and the construction of
heterosexual masculinity', pp.86-107, in eds. Johnson, S. and Meinhoff, U. Language and
Masculinity, Oxford, Blackwell.

Politeness and Gender


Are Women More Polite Than Men?
Politeness is defined by the concern for the feelings of others.

       From Nancy Bonvillain's "Language, Culture, and Communication" she notes
that, "women typically use more polite speech than do men, characterized by a high
frequency of honorific (showing respect for the person to whom you are talking to,
formal stylistic markers), and softening devices such as hedges and questions."

       Sociolinguists try to explain why there is a greater frequency of the use of polite
speech from women than from men. In our society it is socially acceptable for a man
to be forward and direct his assertiveness to control the actions of others. However,
society has devalued these speech patterns when it is utilized by women. From
historical recurrence, it has appeared that women have had a secondary role in
society relative to that of the male. Therefore, it has been (historically) expected
from a women to "act like a lady" and "respect those around you." It reflects the role
of the inferior status being expected to respect the superior. In Frank and Anshen's
"Language and the Sexes", they note that boys, "are permitted, even encouraged, to
talk rough, cultivate a deep "masculine" voice and, if they violate the norms of
correct usage or of polite speech, well "boys will be boys," although, peculiarly, it is
much less common that "girls will be girls" Fortunately, these roles are becoming
more of a stereotype and less of a reality. However, the trend of expected polite
speech from the female continues to remain. This is a prime example of how society
plays an important part on the social function of the language.

Honorifics:    linguistic markers that signal respect to the person you are speaking
to:

"Hey ma, fix my jacket"


Mom, could you please do me a favor, and fix my jacket?"

       In Japanese, according to Masa-aki Yamanashi, the appropriate choice of honorifics is


based on complex rules evaluating addressee, referent, and entities or activities associated
with either. Example taken from Nancy Bonvillain's "Language, Culture, and
Communication."

1.   Without Honorific.

yamada ga musuko to syokuzi o tanosinda

yamada      son      dinner      enjoyed

"Yamada enjoyed dinner with his son."

2.   With Honorific.

yamada-san ga musuko-san to o-syokuzi o tanosim-are-ta

yamada-HON      son-HON      HON-dinner      enjoyed-HON

"Yamada enjoyed dinner with his son."

Hedges:    "loosely speaking", having a sense of "fuzziness" they take away


assertiveness in your statements, soften the impact of your words or phrases such as
" I was sort-of-wondering," "maybe if....," "I think that...."

"HANK is SO MEAN!"
vs.
" I sort-of-think that Hank is a bit of a mean person."
Politeness is best expressed as the practical application of good manners or etiquette. It is a
culturally-defined phenomenon, and therefore what is considered polite in one culture can
sometimes be quite rude or simply eccentric in another cultural context.

While the goal of politeness is to make all of the parties relaxed and comfortable with one
another, these culturally-defined standards at times may be manipulated to inflict shame on a
designated party.

Anthropologists Penelope Brown and Stephen Levinson identified two kinds of politeness,
deriving from Erving Goffman's concept of face:

 Negative politeness: Making a request less infringing, such as "If you don't mind..." or
"If it isn't too much trouble..."; respects a person's right to act freely. In other words,
deference. There is a greater use of indirect speech acts.
 Positive politeness: Seeks to establish a positive relationship between parties; respects a
person's need to be liked and understood. Direct speech acts, swearing and flouting
Grice's maxims can be considered aspects of positive politeness because:
o they show an awareness that the relationship is strong enough to cope with what
would normally be considered impolite (in the popular understanding of the
term);
o they articulate an awareness of the other person's values, which fulfills the
person's desire to be accepted.

Some cultures seem to prefer one of these kinds of politeness over the other. In this way
politeness is culturally-bound.

gender courses as well as addressing issues which may arise in the classroom setting.

Table of contents

 1. Language and gender – a brief history


 2. Teaching language and gender: introduction
 3. Commonality and diversity in language and gender curricula
 4. Teaching and learning stances
 5. Designing modules in language and gender
 6. Language and gender as part of other language modules
 Bibliography

1. Language and gender – a brief history

The relationship between language and gender has long been of interest within sociolinguistics
and related disciplines. Early 20th century studies in linguistic anthropology looked at
differences between women’s and men’s speech across a range of languages, in many cases
identifying distinct female and male language forms (although at this point language and gender
did not exist as a distinct research area). Gender has also been a social variable in quantitative
studies of language variation carried out since the 1960s, a frequent finding being that, amongst
speakers from similar social class backgrounds, women tend to use more standard or ‘prestige’
language features and men more vernacular language features – see Sociolinguistic Variation.
Aspects of interpretation and of the methodology adopted in variationist studies have however
been criticised by some language and gender researchers (see discussion in Cameron, 1992;
Coates, 1986/2004; Graddol and Swann, 1989).

As a field, prompted by the blossoming ‘western’ Women’s Movement, language and gender
really took off in the 1970s with a broad interest, particularly from feminist researchers, in the
potential for male dominance of mixed-gender talk (e.g. men interrupting women more often
than vice versa); in the identification of distinct female and male speaking styles (a common
finding being that women tended to use more supportive or cooperative speaking styles and men
more competitive styles); and in sexism, or sexist bias, in language. The field was also
characterised by different positions, retrospectively termed ‘deficit’, ‘(male) dominance’ and
‘(cultural) difference’. Research associated with the deficit position saw women’s language use
as deficient (relative to men’s) in various ways; the male dominance position placed greater
emphasis on differences in power between female and male speakers; and the cultural difference
position saw women’s and men’s language use as ‘culturally’ different but not unequal.
Women’s and men’s language use has also been interpreted in relation to politeness theory, with
women seen as more linguistically polite than men. (For critical accounts of this work, see the
text books under Teaching Bibliography. Specifically on politeness, see Holmes (1995) and
Mills (2003).)

More recently, and particularly in studies carried out since the early 1990s, gender has been
reconceptualised to a significant extent, influenced by contemporary theories associated with
post-structuralism such as performativity theory (Butler, 1990/1999; 1993; 1997). Gender is seen
as a less ‘fixed’ and unitary phenomenon than hitherto, with studies emphasising, or at least
acknowledging, considerable diversity amongst female and amongst male speakers; the shifting
relationship between gender and other aspects of identity; and the importance of context in
determining how people use language. From this perspective, importantly, gender is seen less as
a prior attribute that affects language use and more as an interactional achievement - something
that may be performed (or negotiated and perhaps contested) in specific ways in different
contexts. Particularly interesting insights into such phenomena have come from recent studies of
language and sexuality. Studies have also explored different discourses associated with
femininity and masculinity. And there has been valuable discussion of methodological issues –
e.g. what different approaches can bring to the study of language and gender (including
variationist and interactional sociolinguistics, linguistic ethnography, conversation analysis,
critical discourse analysis, discursive psychology, feminist post-structuralist discourse analysis
and corpus linguistics). (For sources, see the textbooks and edited collections under Teaching
Bibliography.)

Within language and gender as a field, the emphasis has been on ‘language’ and ‘gender’ as
social phenomena, and on the social construction of gender and other aspects of identity in
linguistic and other practices. There has been limited discussion of cognitive issues (such as
differences in verbal ability), and of potential biological explanations for human aptitudes and
behaviour, including linguistic behaviour. However, a contemporary review of the field
(Cameron, 2005) suggests that language and gender researchers need to engage more seriously,
and critically, with the challenges posed by a recent resurgence in ‘biological’ explanations.
(Baron-Cohen (2003), for instance, represents a strong biological (evolutionary) perspective; for
a broader overview of sex differences in cognition, see Halpern (2000).)

2. Teaching language and gender: introduction

The teaching of language and gender is now widespread, at least across the ‘western’ world,
whether in the form of coherent modules on the topic, or as sessions in modules such as
‘Language in Society’, ‘Language and the Media’, or within non-language programmes, such as
Women’s Studies. Language and gender doesn’t, however, have a settled curriculum. The field
itself is still young and additionally is extremely fast-moving: consequently, what can be and is
included in language and gender curricula is enormously diverse. Testament to this is the fact
that edited collections in the area outweigh monographs. In what follows, we look at
commonality and diversity in language and gender curricula; at issues relating to teaching and
learning stances; at the design of language and gender modules, including selection and
sequencing of curricular content; and at the potential for integrating language and gender into
modules on other aspects of linguistics and English language studies.

3. Commonality and diversity in language and gender curricula

Despite the potential for diversity, we would suggest that the teaching of most language and
gender modules shares some common themes:

 a balancing of past and contemporary theory (e.g. deficit/dominance/difference and


performativity theory)
 interdisciplinarity
 a broadly political, and often ‘feminist’ subject matter (however this is defined) and teaching
stance
 the welcoming of students’ personal experience, stances and critique
 a focus on empirical work (including by students themselves)

These however will be tempered and mediated by disciplinary and departmental differences (as
well as by individual lecturer differences, the level at which the subject is taught and actual and
perceived student abilities and preferences). Language and gender is not only taught as part of
(socio)linguistics and English (language) studies, or Women’s Studies, but also within the
disciplines of (linguistic) anthropology and (social) psychology – and there may be more. As an
illustration of the different inflections that may be given to modules, we can contrast syllabi
designed by Penelope Eckert (2006/7) at Stanford University and Niko Besnier (2005), at the
time at UCLA. Eckert’s and Besnier’s syllabi demonstrate consistent approaches to theoretical
developments in language and gender, including early work based on ideas of difference and
dominance as well as more recent work consistent with performativity theory. Both have a strong
empirical focus, and include student project work. Eckert deals with language and gender within
the context of linguistics: the module outline includes a rich and detailed exploration of the
(socio)linguistic study of pitch and voice quality, grammatical gender, dialect variability and
stylistic variability as well as language in interaction. Besnier, on the other hand, has a strong
and explicit anthropological focus, noting that ‘gender has become one of the most important
lenses through which anthropologists have sought to understand society and culture’ (Besnier,
2005: ‘Aims of the course’). Besnier seems to give greater emphasis to the broader sociocultural
and historical context and to the intersection of ethnic, racial and national identities with gender.
He also covers gender and literacy, whereas Eckert’s focus is primarily on spoken language. On
the basis of these syllabi at least, both modules explore relevant aspects of language and gender,
but the subject is to some extent differently constituted in each case, reflecting disciplinary
perspectives.

A wider range of language and gender syllabi representing different disciplinary contexts can be
found on two web sites. The first is an early collection published by The Council of the Status of
Women in Linguistics (COSWL), and subsequently updated by Scott Kiesling (1999). These are
mainly US sources and not all recent links are available. A similar, more recent exercise in
syllabi collection has been undertaken by Amy Sheldon and Barbara LeMaster
(www.csulb.edu/~lemaster/lgarchive). This site includes reading lists and assignment topics.

The diversity evident in the syllabi and other curricular documents usefully documented on these
sites is probably inevitable, given the disciplinary and other differences referred to above. There
may also be something of a split between curricula in continental Europe and those in the USA.
Differences reflect the vibrancy of language and gender as an academic area, and any attempts to
‘straitjacket’ curricula would seem not only futile but intellectually counter-productive.

4. Teaching and learning stances

Teachers of language and gender report rather different experiences of working with students –
perhaps unsurprisingly, given the nature of the subject. What we have termed ‘stance’ – the
positions taken up by teachers and learners, and how they relate to one another in teaching
contexts – is an issue for the teaching of any subject, but there are particular issues, sometimes
problematical, that relate to the teaching of language and gender. Students’ background,
academic experience and perceptions of ‘language and gender’, along with teachers’ and
students’ (gender) politics, are likely to affect teaching approaches and relations between teacher
and students.

First, what issues are relevant to young undergraduates? This is not to privilege immediate
perceived relevance to students but it is to say that, for instance, undergraduate students can be
alienated by what they see as feminist topics characteristic of their parents’ generation. Many
young female undergraduates do not see sexism as a current issue – rather, they see oppression
as a thing of the past, a problem solved. The classic case here is probably sexist (English)
language (together with language change, and guidelines for inclusive language). While fifty-
somethings may have argued for, used, and indeed continue to use Ms, eighteen- and nineteen-
year-olds are not only far more likely to use Miss, and to associate Ms with, variously, divorce,
lesbianism and a hatred of men, but also to consider the topic of linguistic sexism as passé. (This
is, of course, if they are not simply indifferent to these debates and issues.) It makes more sense,
then, to teach the non-sexist language debate as something with an important history (rather than,
say, focusing on current arguments for Ms); but a history whose implications are currently felt
more widely - for example, in the casual use of the phrase ‘political correctness gone mad’ to
refer to utterances intended as ‘inclusive language’.

Secondly, on language and gender modules, classroom demographics in mixed-sex educational


institutions are almost inevitably skewed towards a female population, despite teachers’
insistence that ‘language and gender’ does not mean ‘language and women’. Perhaps male
students feel that language and gender is not for them, even that they will feel uncomfortable –
or, worse, be made to feel unwelcome. Amongst male students, we have come across apparent
motives of sympathy and ‘wanting to understand’, and machismo (‘what’s all this about? can I
take it?’). Certainly, having signed up, they usually have to deal with being a member of a
minority group in the class. In this context, teachers will usually need to resist the temptation to
ask ‘what the man in the group thinks about Issue X’, and to develop strategies for dealing with
female students who ask precisely this. On a different level, male students may in effect restrict
what female students feel they can say (in case they are seen as unfairly generalising), and
indeed what the teacher feels she can do: using men’s ‘lifestyle’ magazines as texts for analysis
may (rightly or wrongly) be a more palatable proposition when all your students are female. The
converse of this is the value for men being able to analyse (say) GQ in a mixed-sex group.

Thirdly, there is the issue of ‘teaching as a feminist’ (or not), of feminism in general, and indeed
of making one’s own politics explicit. While the teacher indicating a feminist or other
commitment is accepted, indeed, encouraged, in Women’s Studies, and in areas of linguistics
such as critical discourse analysis (CDA), this may still come as a shock to students. And while
feminism has been responsible for the upsurge in language and gender study since the 1970s, and
this needs to be pointed out and demonstrated, the word ‘feminism’ is not only problematic to
young ‘western’ women (who locate it historically in the same past timeframe as Ms), but also to
many third world women. It has also been reported to us by African students that ‘feminism’ in
different African countries is associated with sexual promiscuity, man-hating, being anti-family
and single-parenthood (which is not to deny the progressive influence of the Fourth World
Conference on Women (Beijing, 1995) on women’s rights and gender relations in some African
nations).

The fourth issue rather differently concerns the overarching Social Science field of language and
gender, and the associated question of empirical research, on which so much language and
gender scholarship is based. This may be difficult for students from the Humanities taking
language and gender modules, who are largely unused to this form of scholarship, and for whom
linguistic description and analysis (for example, of naturally-occurring talk) may be unfamiliar
and off-putting. Perhaps more significant is the question of students’ own empirical research.
While this is often encouraged by teachers anxious to position their students as active,
knowledge-making members of the language and gender research community (perhaps
something particularly characteristic of language and gender, especially in the light of the range
of relevant methodologies referred to above), these methodologies entail curricular demands
which on (say) a 20-hour module need to be balanced with important language and gender
curricular content, or, better, appropriately integrated.
Lastly (for this paper) is the question of accessibility vis à vis the sophistication and complexity
of intellectual concepts populating the pages of current monographs and articles in language and
gender. It is relatively easy to teach about ‘gender differences’ and ‘male dominance’, in which
men were variously found to interrupt women more than vice versa, talk more than women, and
produce fewer conversationally helpful questions and backchannels. Students new to the field are
in our experience more than happy to discuss such findings and to look at them in the context of
their own lives and relationships, often having no problem identifying with the findings. It is
much harder to explain that current language and gender scholarship goes way beyond gender
differences in language use (indeed, that ‘gender differences’ itself is a problematic concept in
many ways), that language can be seen as ‘constructing’ gender rather than reflecting it, and that
the field is now concerned with notions such as communities of practice, Queer theory, subject
positioning, identity, discourse(s), orientation to gender, performativity/performance and
warrants for our claims (to name a few). These complex notions need to be addressed, and in
fact approached critically, but in an accessible way. This is difficult particularly for those
teachers working with academically inexperienced students or those who are ‘dipping into’
language and gender with no opportunity for advanced study in the area, and some simplification
may be pedagogically necessary and, indeed, appropriate.

5. Designing modules in language and gender

In Section 5, we consider four possible ways in which a language and gender module might be
designed, according to different organisational criteria:

 A. Historical
 B. Topical
 C. Theoretical/methodological approaches
 D. Eclectic
B. Topical: Example
A. Historical: Example
1. Sexist language
1. Empirical and non-empirical early work: 2. Women and men’s talk: single/mixed sex;
Haas, Jespersen private/public
2. Sociolinguistic work: e.g. Labov, Trudgill 3. As above, continued, perhaps including the
3. Early feminist work: Lakoff, Spender topic of gender and politeness
4. ‘(Male) dominance’ approaches: Fishman, 4. Classroom talk
Zimmerman and West 5. Workplace talk
5. ‘(Cultural) difference’ approaches: Tannen, 6. Gender and the media – magazines,
Coates, Holmes newspapers, ads.
6. The shift to discourse 7. Language, gender and fiction
7. Identity 8. Language, gender and sexuality
8. Performativity 9. Language, gender and powerful institutions
9. Sexuality/Queer theory (religion, politics)
10. Gender and cyber-communication

D. Eclectic!

1. Introduction – Folklinguistic beliefs about


language and gender; gender as constructed
C. Theoretical/Methodological in and by language
2. Empirical work and the feminist
1. Traditional sociolinguistic approaches: contribution
language variation and sex 3. ‘Gender differences’ in language use:
2. Ethnographic/Anthropological approaches approaches and critiques
3. Discourse analysis 4. Gender and discourse
4. Critical discourse analysis 5. The importance of context
5. Feminist post-structuralist discourse 6. Discourse analysis (1): Critical discourse
analysis analysis (CDA)
6. Conversation analysis 7. Language, gender and the language
7. Discursive psychology classroom
8. Corpus linguistics 8. Discourse analysis (2): Feminist post-
9. Queer theory structuralist discourse analysis (FPDA)
9. Written texts: language, gender and
children’s books
10. CA/Discursive psychology in language and
gender study

As illustrated in the four different syllabi above, what to include in a language and gender
module is by no means self-evident. One key question for many teachers is ‘How much history?’
– which poses something of a dilemma. As in other fields, current emphases in language and
gender, both topical and methodological, have grown out of (responded to/reacted against)
previous ones. As mentioned in Section 1, previous emphases included the ‘gender differences’
approaches of ‘deficit, ‘(male) dominance’ and ‘(cultural) difference’. But while the field has
moved on considerably, to the point of having thoroughly problematised and largely rejected
such emphases, they are (as we have suggested) both appealing to many students and
intellectually graspable. Of course, previous emphases can be included critically, and now
usually are – but the message does not always get through.

If such history is to be included (Example A), the question of sequencing needs to be addressed –
must a language and gender module necessarily start with history, given that this may then set
the tone for the remainder of the module? There are, of course, other organising principles than
the chronological development of the field. One possibility here (Example B) is to sequence a
module topically (e.g. classroom talk, the workplace, the media) – although it is hard to see how
this could be achieved without some sort of theoretical/methodological thread running through it
too. A third possibility (Example C) is to sequence a module chronologically but according to
different theoretical/methodological approaches – perhaps starting with traditional
sociolinguistic approaches (e.g. gender as evident in language variation) and concluding with
Queer theory. Such an approach is however more likely to be appropriate to post-graduate
students and/or those who already have some experience of the field. A fourth possibility is an
‘eclectic’ syllabus (Example D), through which some sort of ‘thread’ still needs to run.

A second key question of what to include in a language and gender module revolves round
sexuality and, relatedly, Queer theory, which has made its own important contribution to
language and gender. Given the overwhelming stress on (hetero)sexuality these days, few
teachers of language and gender would argue that sexuality is not worthy of inclusion; however,
this topic may still be absent partly because it presents something of an ontological challenge for
‘straight-identifying’ teachers, and partly because of the demanding intellectual challenge of
Queer theory.

A third question is the role of biological factors/explanations. We noted above that these have
traditionally been downplayed, but that it had also been suggested that researchers should engage
critically with relevant literature. In terms of teaching, we would argue that language and gender
study can address biological issues and debates without going down the routes of essentialism
and biological determinism, and while keeping a critical eye on the discourses articulated in
different types of explanation (i.e. how these are constructed in the literature.) A debate between
the psychologists Stephen Pinker and Elizabeth Spelke on ‘The science of gender and science’ is
a potential general resource, though not focussed on language issues (Pinker and Spelke 2005).

Most basic is the question of time. The language and gender field is young, but wide,
intellectually complex, and fast-growing. Teachers need to address how to do justice to this in
(say) ten two-hour sessions, considering a balance not only of content and methodology (already
referred to), but also of what is likely to be of interest to students and what is of contemporary
interest in the field, mediating the latter as appropriate to make current issues approachable and
accessible.
6. Language and gender as part of other language modules

So far we’ve focussed on language and gender as a distinct module, but language and gender
may also feature as a session in other modules, particularly in sociolinguistics or other socially-
oriented approaches to language study. One option here is to provide a broad outline of the field
(examples of how this has been attempted can be found in language and gender chapters in
sociolinguistics text books – see, for instance, Holmes, 2001; Meyerhoff, 2006; Mesthrie et al,
2000). Another is to choose just one, illustrative topic (for example, language and gender in
relation to children’s books, education, or the workplace). There are problems of selection here,
but such a session should balance interest and accessibility with at least a flavour of
contemporary approaches to the field.

Language, gender and sexuality may also be more closely integrated into the broader discussion
of language and identity, and related topics. The shift from seeing identity as something that one
has (a prior category that is reflected in language use) to seeing it as an interactional achievement
(something that one does in very specific ways in particular interactions), which has led to a
reconceptualisation of gender, and to its theorisation in terms of performativity (and its
variations), as discussed in Section 1, is broadly consistent with much contemporary work on
codeswitching and on style, style-shifting and stylisation, also concerned with the local,
contextualised production of identities (e.g. Coupland, 1986; 2001; Rampton, 1995/2005).
Codeswitching/style and gender/sexuality are not always discussed together, but some studies do
bridge the gap (e.g. Barrett, 1999; Besnier, 2003; Eckert, 2007).

Such approaches are less consistent with work within the quantitative, variationist tradition that
necessarily takes a less contextualised approach to social categories. However, the tussle
between the local, qualitative exploration of identity and broader approaches associated with
quantitative methods, along with debates about the potential value of combining superficially
incompatible approaches, is very much a live issue in language and gender (e.g. Holmes, 1996;
Hultgren, 2007; Swann, 2002). Gender therefore makes a useful case study in teaching about
questions of identity and categorization.

Gender can also be drawn on in teaching about methodological/analytical issues: for instance,
debates between exponents of conversation analysis (CA) and more critical approaches to
discourse analysis on the interpretation of texts. At issue here is whether analysts may
legitimately go beyond the text itself, and invoke various extra-textual or contextual factors to
make an interpretation of the text. This textual vs contextualised debate has often been played
out in relation to gender. CA advocates who take a strong position on this issue would insist that
one may only interpret an interaction in terms of gender if gender is explicitly ‘oriented to’ by
participants. This would rule out correlational evidence, ethnographic evidence, or any other
approach that took contextual factors into account. For fuller discussion, see the debate between
Schegloff, 1997; Wetherell, 1999 and others in the journal Discourse and Society; the
powerfully-argued case for CA in Speer, 2005; and Swann, 2002. This and other methodological
issues are also addressed in relation to language and gender in Harrington et al. (2007, in press).

In cases where it isn’t possible to teach a whole module on language and gender, then, language
and gender can still inform the teaching of related topics, such as language and identity.
Language and gender research may also be drawn on in the discussion of broader theoretical and
methodological issues in language studies. In both cases it may serve to enrich and stimulate
discussion and debate.

Bibliography

Baron-Cohen, S. (2003) The Essential Difference: men, women and the extreme male brain.
London: Allen Lane.

Barrett, R. (1999) ‘Indexing polyphonous identity in the speech of African American drag
queens’, in Bucholtz, M., Laing, A.C. & Sutton, L.A. (eds) Reinventing Identities: the gendered
self in discourse. New York: Oxford University Press.

Besnier, N. (2003) ‘Crossing genders, mixing languages: the linguistic construction of


transgenderism in Tonga’, in Holmes, J. & Meyerhoff, M. (eds.) The Handbook of Language
and Gender. Oxford: Blackwell Publishing.

Besnier, N. (2005) ‘Gender and language in society’, Anthropology 149B.


Available at: www.sscnet.ucla.edu/05W/anthro149b-1/anthro149BsyllabusW05.pdf (Accessed
31 August 2007).

Butler, J. ([1990] 1999, 2nd edn) Gender Trouble: feminism and the subversion of identity.  New
York and London: Routledge.

INTRODUCTION AND SUMMARY

This book is comprised of an introduction,


five chapters, conclusions,
the bibliography, and an index. The
sequential organization of the
chapters and the contents of each chapter are
clearly presented. The
bibliography contains 308 references and is
mostly related to the
literature in discourse analysis,
interactional sociolinguistics,
politeness, impoliteness, and gender, among
other related topics.

The book is very well-written and is easy to


follow. Due to its level
of theoretical detail in the discussion of
various politeness models,
this book would be appropriate as a
complementary textbook in a
seminar on linguistic politeness or a seminar
on pragmatics or
discourse analysis. Some sections of this
book may also be used to
complement the politeness component in a
graduate pragmatics course,
in particular, the critique of the different
models of linguistic
politeness is quite useful. The examples used
to illustrate various
theoretical points on politeness come from
natural conversational
extracts and are often accompanied by a
discussion of the
participants' perception of politeness.

The introduction presents the objective and


scope of the book and
emphasizes the theoretical and methodological
contributions of the
book by drawing on previous models of
linguistic politeness and their
relationship to gender. The main aim of the
book is 'to develop a more
community-based, discourse-level model of
both gender and linguistic
politeness and the relation between them' (p.
1). Information
regarding the methodology and the data
collection procedures for the
study is also presented.

In Chapter 1, Rethinking linguistic


interpretation, the author
discusses four problematic aspects of
linguistic interpretation: the
model speaker, the individual and the group,
the model of
communication and language, and
methodological aspects of data
collection. Regarding the concept of a model
speaker in linguistic
research, the author suggests that utterances
need to be analyzed at
the discourse level, taking into account both
the speaker's and the
hearer's contributions to discourse. In
particular, the notion of
intentionality is essential in conversation
analysis. The author
claims that a focus on the speaker alone is
not justified in
linguistic research because the connection of
conversation and meaning
is always constructed by all the participants
in a conversation, where
utterances are the result of longer processes
of thinking, habit, and
past experience. The individual's relation to
the group is important
in Mills' analysis because it draws on the
notion of community of
practice, namely, a defined group of people
who are mutually engaged
on a particular task and who have 'a shared
repertoire of negotiable
resources accumulated over time' (Wenger,
1998: 76). With respect to
the model of communication proposed in the
book, the author considers
a model of conversation in a dynamic way
where interlocutors
continually try to make hypotheses about what
others mean
(judgments/assessments of politeness), and to
construct responses
which might be relevant to previous
utterances. Finally, this chapter
discusses general methodological issues
related to data analysis of
quantitative and qualitative data, data
collection instruments, and
linguistic interpretation of pragmatic data.
The variables of class,
gender, racial identity, power, and the
importance of context in
conversation analysis are discussed and
related to the study.

In chapter 2, Theorising politeness, the


author critically reviews
some of the theoretical work that has been
undertaken on linguistic
politeness. In particular, Brown and
Levinson's (1978, 1987) work is
reviewed and discussed with respect to
various problems observed in
their model of politeness (e.g., notion of
politeness, speaker model,
individual strategies, appropriateness,
notion of habitus) the
constituents of politeness (e.g., strategic
politeness, positive and
negative politeness, face and face
threatening acts), their model of
communication (e.g., reliance on speech act
theory, inability to
describe politeness at the level of
inference), and methodological
difficulties (e.g., data collection,
interpretation, analysis of
social variables such as power, distance, and
imposition). The last
part of the chapter suggests some
implications for an alternative
analysis of politeness, namely, 1) politeness
can only be analyzed
within particular communities of practice and
should be seen as
negotiations with assumed norms; 2)
politeness is a matter of judgment
and assessment; and, 3) different forms of
data need to be considered.
Examples from real conversations and
perceptions of politeness in
various contexts are discussed taking into
account the variables of
gender, race, age, sexual orientation, and
class.

In chapter 3, Politeness and impoliteness,


the author examines various
ways in which politeness and impoliteness
have been described in the
literature. In particular, it investigates
the notion of impoliteness
and how it differs from politeness in
context-specific ways. It is
argued that politeness and impoliteness
should not be seen as polar
opposites, but rather as separate notions
with specific
characteristics. This chapter is organized
into four sections: the
first section, politeness and impoliteness,
examines the role of
rudeness in conversation and shows that the
politeness-impoliteness
relationship should be seen as a continuum of
assessment. The next
section analyzes judgments of impoliteness
and shows that this notion
can be understood and analyzed pragmatically
when considered in
relation to the understanding of utterances
at the discourse level.
Then, two features of impoliteness are
analyzed, swearing and
directness, to show that instances of these
'stereotypical' notions
may not always yield impolite perceptions in
specified
contexts. Further, after a discussion of
stereotypical aspects of
politeness and impoliteness, factors of
gender, class, and race are
examined in relation to (im)politeness. The
chapter ends with an
analysis of various incidents which were
judged to be impolite.
In chapter 4, Theorising gender, theoretical
and methodological issues
in feminist linguistic analysis in relation
to 'women's language' are
discussed. The author critically reviews the
thinking of some feminist
linguists who examine the correlation between
gender and politeness in
light of social factors such as gender, race,
class, and sexual
orientation. Furthermore, it evaluates
stereotypes on men's and
women's language regarding degree of
(in)directness, loudness,
swearing, interruption, power, mitigation,
among other factors, and
discusses the literature on gay and lesbian
speech styles in relation
to gender identity and politeness. Finally,
it examines the language
of strong women speakers to challenge the
generalization that women's
language is powerless, indirect, and polite,
and emphasizes the notion
that speech styles in relation to gender and
politeness are better
understood within particular communities of
practice.

In chapter 5, Gender and politeness, the


author examines stereotypes
of gender and (im)politeness and discusses
the view that polite
behavior, generally influenced by
stereotypical norms of courtesy and
etiquette, is normally associated with
prototypical descriptions of
white, middle-class women's behavior. After
an examination and a
critique of well-known work on feminist
linguistics regarding gender
and politeness, the author contests the
stereotypical view that women
are more polite than men. The author then
examines various theoretical
and methodological aspects regarding
compliments and apologies which
are mostly associated with women's speech and
generally analyzed at
the production level. Finally, the author
provides an approach to
analyze politeness in relation to gender by
means of conversational
extracts which examine the speaker's and
hearer's (im)polite behavior
at both the production and perception level
in order to resolve
conflicts which go on in a group and in
specific communities of
practice.

Finally, in Conclusions, the author suggests


some avenues for future
research regarding the role of stereotypes
and social factors (e.g.,
power) in relation to politeness and gender
research. In particular,
it is advocated that linguistic analysis turn
to an analysis of longer
stretches of speech, taking into account
elements of the social
context including the speaker's and hearer's
assessments of
(im)politeness in particular communities of
practice.

EVALUATION

Overall, the book has at least the following


strengths which are well
articulated and theoretically motivated along
with appropriate
examples which illustrate the theoretical
points in question: 1)
politeness and impoliteness are discussed at
the discourse level and
examples from natural conversation are
included; 2) it provides a
critical evaluation of politeness and
impoliteness research in
relation to gender; 3) the role of
stereotypes in relation to
(im)politeness and gender is analyzed; 4) it
includes an analysis of
politeness which incorporates the variables
of social class, gender,
race, sexual orientation, and contextual
elements, among other
factors; 5) politeness is analyzed with
respect to the participants'
assessments/perceptions of politeness during
the negotiation process
in a conversation.

While the analysis presented in the book is


theory- driven, for the
sake of methodological clarity, specific
information regarding
subjects, data collection procedures, and
data analysis could have
been described in one particular section.
General information
concerning the methodology and the data used
for the study is mostly
presented in the introduction and with
additional information found in
subsequent chapters. Most importantly,
information concerning data
collection procedures, tasks, number of hours
of recorded data, number
of subjects, etc, is mentioned in footnotes
(pp. 14-15) within the
introduction. Since the methods used to
collect and analyze the data
may have influenced the interpretation of the
results, more extensive
information on the methodological procedures
used in the study,
including a description of the subjects, data
collection procedures
and analysis, and a description of the
specific task(s) used to
examine insights on (im)politeness would have
been helpful.

Furthermore, there are some inconsistencies


with several references
mentioned in the main text which do not
coincide with the information
contained in the bibliography. For example,
on p. 61 Lakoff, 2001 is
mentioned and this year does not coincide
with the references included
for Lakoff. Other examples chosen at random
include Bargiela (2000)
and Harris (2001a, 2001b) on p. 77 which do
not coincide with the
bibliography.

Finally, in addition to the work by Eelen


(2001) mentioned in Mills'
bibliography regarding a critique of
politeness theories, at least
three other recent books not mentioned in
Mills' book which examine
theoretical and empirical issues in
politeness research in other
societies that may complement Mills' study
are: Bravo (2003), Watts
(2003), and Wierzbicka (2003).

Overall, this book makes various valuable


contributions to the field
of politeness and discourse analysis and may
be quite useful in
graduate courses on pragmatics and discourse
analysis which
investigate theoretical issues of
(im)politeness and gender. In
particular, the discussion on the
relationship between politeness and
gender in light of social variables (e.g.,
race, class, gender, and
sexual orientation), the review of the
literature on (im)politeness
within particular communities of practice,
and the subjects'
assessments/judgments of politeness are
welcome contributions to the
field.

REFERENCES

Bravo, D. (Ed.) (2003). La perspectiva no


etnocentrista de la
cortesía:y"dentidad sociocultural de las
comunidades
hispanohablantes. Actas del Primer Coloquio
del Programa
EDICE. Stockholm, Sweden: Universidad de
Estocolmo.

Brown, P., and Levinson, S. (1987).


Politeness: Some universals in
language use. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.

Brown, P., and Levinson, S. (1978).


''Universals in language usage:
politeness phenomena''. In Questions and
Politeness: Strategies in
Social Interaction, E. Goody (ed.), 56- 310.
Cambridge, UK: Cambridge
University Press.

Eelen, G. (2001). A critique of politeness


theories. Manchester, UK:
St. Jeromes Press.

Watts, R. (2003). Politeness. Cambridge, UK:


Cambridge University
Press.

Wenger, E. (1998). Communities of practice.


Cambridge, UK: Cambridge
University Press.

Wierzbicka, A. (2003). Cross-cultural


pragmatics: The semantics of
human interaction. 2nd. edition. New York,
NY: Mouton de Gruyter.

ABOUT THE REVIEWER


César Félix-Brasdefer is an Assistant Professor of
Spanish Linguistics
at Indiana University, Bloomington. His research
interests include
cross-cultural pragmatics, interlanguage
pragmatics, research methods
in pragmatics research, speech act theory,
politeness theory, writing
in the second language classroom, and first and
second language
acquisition.

Anda mungkin juga menyukai