Anda di halaman 1dari 11

A. Teori membaca Model teori membaca lahir dari perspekif bagaimana makna diangkat dari bacaan.

Inti proses membaca adalah seseorang berusaha memahami isi pesan penulis yang tertuang dalam bacaan. Pemeroleh makna berangkat dari beragam sudut. Dari sudut itulah pandangan para ahli dibedakan. Ada tiga pandangan tentang bagaimana makna diperoleh yang melahirkan tiga model teori membaca. Tiga model teori itu antara lain: 1. Model Teori Bottom-Up Memandang bahwa bahasa yang mewadahi teks menentukan pemahaman. Secara fisik, ketika orang melakukan kegiatan membaca, yang dipandang adalah halaman-halaman bacaan yang posisinya di bawah (kecuali membaca sambil tiduran!). Secara literal, bottom-up berarti dari bawah ke atas. Maksudnya, makna itu berasal dari bawah (teks) menuju ke atas (otak/kepala). Secara harfiah, menurut teori ini teks-lah yang menentukan pemahaman. Inti proses membaca menurut teori ini adalah proses kengkodean kembali simbol tuturan tertulis (Harris & Sipay, 1980). Membaca dalam proses bottom-up merupakan proses yang melibatkan ketepatan, rincian, dan rangkaian persepsi dan identifikasi huruf-huruf, kata-kata, pola ejaan, dan unit bahasa lainnya. Tugas utama pembaca menurut teori ini adalah mengkode lambang-lambang yang tertulis menjadi bunyi-bunyi bahasa (Harjasuna, 1996) Brown (2001) menyatakan bahwa pada proses bottom-up membaca terlebih dahulu mengetahui berbagai tanda linguistik, seperti huruf, morfem, suku kata, kata-kata frasa, petunjuk gramatika dan tanda wacana, kemudian menggunakan mekanisme pemrosesan yang masuk akal, koheren dan bermakna. Agar bisa memahami bacaan pada teori ini, pembaca membutuhkan keterampilan yang berhubungan dengan lambang bahasa yang digunakan dalam teks. 2. Model Teori Top-Down Teori ini dikenal sebagai model psikolinguistik dalam membaca dan teori ini dikembangkan oleh Goodman (1976). Model ini memandang kegiatan membaca sebagai bagian dari proses pengembangan skemata seseorang yakni pembaca secara stimultan (terus-menerus) menguji dan menerima atau menolak hipotesis yang ia buat sendiri pada saat proses membaca berlangsung. Pada model ini, informasi grafis hanya digunakan untuk mendukung hipotesa tentang makna. Pembaca tidak banyak lagi membutuhkan informasi grafis dari bacaan karena mereka telah memiliki modal bacaan sendiri untuk mengerti bacaan. Proses membaca model ini dimulai dengan hipotesis dan prediksi-prediksi kemudian memverifikasinya dengan menggunakan stimulus yang berupa tulisan yang ada pada teks. Inti dari model teori Top-down adalah pembaca memulai proses pemahaman teks dari tataran yang lebih tinggi. Pembaca memulai tahapan membacanya dengan membaca prediksi-prediksi, hipotesis-hipotesis, dugaan-dugaan berkenaan dengan apa yang mungkin ada dalam bacaan, bermodalkan pengetahuan tentang isi dan bahasa yang dimilikinya, Untuk membantu pemahaman dengan menggunakan teori ini, pembaca menggunakan strategi yang didasarkan pada penggunaan petunjuk semantik dan sintaksis, artinya untuk mendapatkan makna bacaan, pembaca dapat menggunakan petunjuk tambahan yang berupa kompetensi berbahasa yang ia miliki. Jadi, kompetensi berbahasa dan pengetahuan tentang apa saja memainkan peran penting dalam membentuk makna bacaan. Jadi menurut teori Top-down dapat disimpulkan bahwa pengetahuan, pengalaman dan kecerdasan pembaca diperlukan sebagai dasar dalam memahami bacaan. 3. Model Teori Interaktif Model ini merupakan kombinasi antara pemahaman model Top-Down dan model Bottom-Up. Pada model interaktif, pembaca mengadopsi pendekatan top-down untuk memprediksi makna, kemudian beralih ke pendekatan bottom-up untuk menguji apakah hal itu benar-benar dikatakan oleh penulis. Artinya, kedua model tersebut terjadi secara stimultan pada saat membaca.

Penganut teori ini memandang bahwa kegiatan membaca merupakan suatu interaksi antara pembaca dengan teks. Dengan teori itu, dijelaskan bagaimana seorang pembaca menguasai, menyimpan dan mempergunakan pengetahuan dalam format skemata. Kegiatan membaca adalah proses membuat hubungan yang berarti bagi informasi baru dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya (skemata). Menurut pandangan interaktif, membaca diawali dengan formulasi tentang hipotesis tentang makna, kemudian dilanjutkan dengan menguraikan makna huruf, kata, dan kalimat dalam bacaan. Model interaktif adalah model membaca yang menggunakan secara serentak antara pengetahuan informasi grafik dan informasi yang ada dalam pikiran pembaca. Proses membaca menurut pandangan interaktif adalah proses intelektual yang kompleks, mencakup dua kemampuan utama, yaitu kemampuan memahami makna kata dan kemampuan berpikir tentang konsep verbal (Rubin, 1982). Pendapat ini mengisyaratkan bahwa ketika proses membaca berlangsung, terjadi konsentrasi dua arah pada pikiran pembaca dalam waktu yang bersamaan. Dalam melakukan aktivitas membaca, pembaca secara aktif merespon dan mengungkapkan bunyi tulisan dan bahasa yang digunakan oleh penulis. Selain itu, pembaca dituntut untuk dapat mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya atau makna yang ingin disampaikan oleh penulis melalui teks yang dibacanya. Kesimpulannya, dapat dikatakan bahwa membaca pemahaman merupakan proses aktif yang di dalamnya melibatkan banyak faktor. Keterlibatan faktor-faktor itu bertujuan untuk memperoleh pemahaman melalui proses interaksi antara pembaca dengan bacaan dalam peristiwa membaca. Ketiga model teori membaca di atas mewarnai pandangan para ahli tentang membaca. Jika diamati secara teliti, tulisan atau bahasan tentang membaca dalam buku-buku dan jurnal-jurnal, sedikit atau banyak, menyentuh ketiga teori di atas. Selalu ada benang merah yang menghubungkan pandangan para ahli dengan model teori membaca di atas. B. Pengertian Membaca Membaca mempunyai pengertian yang beragam. Ada yang rumusannya panjang dan ada pula yang pendek. Penyebabnya pun bermacam-macam. Berikut beberapa contoh pengertian membaca: 1. Membaca adalah proses mengenali makna simbol tertulis 2. Membaca adalah proses melisankan bahasa tulis 3. Membaca adalah kegiatan mempersepsi aturan tertulis untuk menangkap makna yang dikandungnya 4. Membaca adalah proses berpikir dan bernalar 5. Membaca adalah penerapan seperangkat keterampilan kognitif untuk memperoleh pemahaman dari tuturan yang tertulis 6. Membaca adalah proses pengolahan bacaan secara kritis-kreatif yang dilakukan pembaca untuk memperoleh pemahaman menyeluruh tentang bacaan itu, yang diikuti oleh penilaian terhadap keadaan, nilai, fungsi, dan dampak bacaan itu. Dari banyak dan beragamnya definisi membaca seperti contoh diatas disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Landasan teori yang digunakan untuk merumuskan pengertian membaca itu berbeda-beda 2. Kenyataan bahwa membaca adalah kegiatan mental yang sangat rumit dan unik 3. Tujuan perumusan pengertian membaca itu berbeda-beda. 4. Aspek yang ditekankan berbeda 5. Perumusnya berbeda 6. Ruang lingkup yang tercakup dalam definisi itu berbeda

Jika diamati, perbedaan antara pengertian-pengertian membaca itu lebih bukan pada substansi pengertiannya, melainkan terletak pada lingkup masalah yang dimasukkan dalam pengertian itu. Berdasarkan substansinya, pengertian-pengertian membaca itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu: 1. Pengertian Sederhana, yaitu pengertian yang memandang membaca sebagai proses pengenalan simbol-simbol tertulis bermakna. 2. Pengertian Agak Luas, yaitu pengertian yang memandang membaca sebagai proses memahami bacaan. 3. Pengertian Luas, yaitu pengertian yang memandang membaca sebagai proses mengolah bacaan yaitu memaknai bacaan secara mendalam, meliputi proses memberikan reaksi kritis-kreatif terhadap bacaan itu. Definisi ini sering disebut sebagai definisi modern, yang mendasarkan diri pada pandangan modern tentang membaca. C. Gambaran Proses Membaca Sebagai suatu proses, membaca merupakan kegiatan yang sangat kompleks. Burns (1996) menjelaskan bahwa dalam proses membaca itu terlibat berbagai aspek yang meliputi: 1. Aspek sensori, yakni kemampuan untuk memahami simbol-simbol tertulis 2. Aspek persepsi, yakni aspek kemampuan untuk menafsirkan apa yang dilihat pembaca sebagai simbol atau kata 3. Aspek urutan, yakni kemampuan mengikuti poal-pola urutan, logika, dan gramatika teks 4. Aspek pengalaman, yakni aspek kemampuan menghubungkan kata-kata dengan pengalaman yang telah dimiliki untuk memberikan makna itu 5. Aspek asosiasi, yakni aspek kemampuan mengenal hubungan antara simbol dan bunyi, dan antara kata-kata dengan yang direpresentasikan 6. Aspek belajar, yakni aspek kemampuan untuk mengingat apa yang telah dipelajari dan menghubungkannya dengan gagasan atau fakta yang baru dipelajari 7. Aspek afektif, yakni aspek kemampuan untuk membuat inferensi dan evaluasi dan materi yang dipelajari 8. Aspek afektif, yakni aspek yang berkenaan dengan minat pembaca yang berpengaruh terhadap kegiatan membaca 9. Aspek konstruktif, yakni kemampuan untuk mengkonstruksi makna bacaan Gambaran mengenai proses membaca itu mengisyaratkan bahwa proses membaca berlangsung kompleks dan rumit. Akan tetapi, gambaran yang rumit itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Tahap memindai simbol bahasa yang berupa huruf, kelompok huruf, dan kata sebagai input grafis 2. Tahap mengangkat makna simbol bahasa yang berupa huruf, kelompok huruf, dan kata itu menurut satuan-satuannya, yaitu makan frasa, klausa dan kalimat 3. Tahap mencari data berupa pengetahuan dalam skemata yang relevan dengan topik yang dibahas dalam bacaan 4. Tahap mengintegrasi pengetahuan yang relevan itu dengan makna yang diperoleh dari satuan-satuan bahasa (hasil kegiatan tahap kedua) 5. Tahap memahami makna bacaan berdasarkan interaksi antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya degna makna teks bacaan 6. Tahap menggolongkan dan membandingkan informasi (makna) yang diperoleh ke dalam kategori tertentu 7. Tahap menganalisis dan menguraikan satuan-satuan makna (ide) yang ditemukan dalam bacaan

8. Tahap mensintesis, menyimpulkan, dan menilai ide yang terekam ke dalam sintesa tertentu 9. Tahap mengonseptualisasikan makna dan simpulan-simpulan yang dilihat menjadi makna tunggal milik pembaca pribadi 10. Tahap membangun skemata baru

Teknik membaca buttom up merupakan suatu teknik mengolah informasi yang terdapat dalam teks dengan memahami kalimat per kalimat. Jelasnya, seorang pembaca dapat memahami informasi yang terdapat dalam teks dengan jalan memahami kalimat per kalimat. Sebagai contoh, seorang mahasiswa jurusan bahasa yang tak mempunyai pengetahuan kimia akan sulit memahami informasi dalam teks tersebut. Ia memang dapat memahami teks tersebut bila ia menelusuri makna kalimat per kalimat. Teknik membaca yang demikian disebut dengan bottom up. Teknik membaca top down merupakan suatu teknik membaca dengan cara menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki untuk mengolah informasi yang ada dalam teks. Di sini pembaca tak lagi membaca kalimat per kalimat. Dengan pengetahuan yang telah dimilikinya itu, ia dapat meluncur terus tanpa memperhatikan secara cermat kalimat-kalimat dalam teks. Karena pengetahuannya sudah cukup, ia cukup melihat atau membaca bagian-bagian yang baru saja. Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang membaca buku-buku anak SD. Karena ia sudah mempunyai pengetahuan tentang buku itu, ia cukup membaca dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Biasanya teknik ini hanya digunakan untuk mencocokkan kembali pengetahuan yang telah dimiliki dengan informasi yang terkandung dalam teks.
http://nahulinguistik.wordpress.com/2009/11/04/teknik-membaca/

Teknik Pembelajaran Membaca: Adakah Alternatif Lain?


Membaca adalah kegiatan yang tersusun dari 4 komponen: strategi, kelancaran, pembaca, dan teks. Strategi adalah kemampuan pembaca menggunakan beragam strategi untuk mencapai tujuan dalam membaca. Kelancaran ialah kemampuan membaca dengan kecepatan tertentu dengan pemahaman yang cukup. Gabungan dari teks, strategi, kelancaran, dan pembaca ini yang disebut membaca (Anderson, 2003:68). Pemahaman dalam hal ini merupakan tujuan dari membaca. Ada dua aspek dalam pengajaran membaca. Aspek pertama, merujuk pada pengajaran membaca untuk pertama kali. Kedua, mengajar membaca bagi mereka yang telah memiliki keterampilan membaca dalam bahasa pertamanya (L1). Karena itu, menurut Anderson, kalau sudah dapat membaca dalam satu bahasa maka tidak perlu belajar baca dalam bahasa asing lainnya (L2), tetapi hanya perlu mentransfer keterampilan untuk membaca konteks baru dalam bahasa lain (tapi kita akan melihat kendala dari pernyataan ini. Baca sub Kendala Membaca: Tantangan Solusi) Proses Baca Ada tiga model kategori dalam proses membaca: 1) model bawah-atas (buttom-up model), 2) model atas-bawah (up-down model), dan 3) model interaktif (interactive model). Model bawah-

atas, biasanya terdiri atas proses-proses baca pada level terendah. Dalam hal ini siswa membaca mulai dengan dasar pengenalan tulisan dan bunyi yang kemudian merekognisi morfem, kata, identifikasi struktur gramatikal, kalimat, lalu teks. Proses rekognisi dari huruf, kata, frasa, kalimat, teks, dan akhirnya ke makna merupakan urut-urutan dalam mencapai pemahaman. Gambar berikut menunjukkan model bawah-atas, pembaca mulai dari elemen terkecil dan ke arah membangun pemahaman apa yang dibaca. Pemahaman Gambar 1: Model Bawah-Atas Model atas-bawah menggambarkan bahwa pembaca menggunakan latar pengetahuannya untuk menghasilkan prediksi, dan mencari teks sebagai penegasan atau penolakan atas prediksi yang dihasilkan tersebut. Jadi, dalam model ini prosesnya dimulai dengan ide bahwa pemahaman itu terletak pada pembaca. Dengan demikian, sebuah bacaan dapat dimegerti meskipun tidak memahami kata per kata dalam bacaan tersebut. Tujuan dari model ini adalah kegiatan yang sifatnya mengembangkan makna dan tidak pada penguasaan pemahaman kosakata. Membaca mulai dari latar pengetahuan pembaca Gambar 2: Model Atas-Bawah Model interaktif menggabungkan elemen-elemen pada dua model sebelumnya. Asumsinya bahwa sebuah pola itu disintesiskan atas dasar informasi yang diberikan secara bersamaan dari berbagai sumber pengetahuan (Stanovich, 1980: 38). Latar Pengetahuan Pembaca Huruf dan Bunyi Gambar 3: Model Interaktif Neil Anderson mengakui bahwa model interaktif ini adalah model paling tepat untuk diterapkan karena model ini juga merupakan gambaran yang paling baik mengenai apa yang terjadi ketika membaca. Karena itu, membaca sebenarnya adalah gabungan proses bawah-atas dan atas-bawah. Aspek Mekanis Membaca Lou E. Burmeister (1978), dalam Improving Speed of Comprehension in Reading menguraikan tentang Aspek Mekanis Membaca dengan melontarkan beberapa pertanyaan. Bagaimana mata seseorang bergerak ketika mereka membaca? Apakah mata tersebut bergerak dengan lembut, seperti ketika mengawasi seekor burung yang sedang terbang atau menyaksikan pesawat terbang yang sedang mendarat? Atau apakah mata bergerak, berhenti, bergerak, berhenti lagi, bergerak lagi dan berhenti lagi? Penelitian dalam ranah ini jelas menarik bagi para ilmuwan pendidikan yang banyak berhubungan dengan masalah penelitian akademis, sedangkan hasilnya diperkirakan banyak menarik minat para instruktur pengajaran bahasa yang lebih banyak berkiprah dalam ranah yang jauh lebih bersifat praktikal. Salah satu metodologi yang digunakan untuk meneliti pergerakan mata, yang menurut penggagasnya dapat dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja dalam kelas pengajaran bahasa, adalah dengan meminta salah seorang memperhatikan mata seseorang ketika dia sedang

membaca. Apakah mata si pembaca bergerak dengan lembut? Jika mata tersebut bergerak dengan lembut, maka dapat dipastikan bahwa dia tidak sedang membaca, kata Lou E. Burmeister. Lebih jauh pakar pendidikan ini mengatakan bahwa dalam kenyataannya, tentu saja berdasarkan hasil penelitiannya selama bertahun-tahun, kata (atau kata-kata) hanya dapat dibaca apabila mata tidak bergerak. Hanya apabila mata berhenti bergerak, atau terpusat pada satu bagian dari kata, pada satu kata, atau pada satu frase, maka barulah si pembaca mendapatkan apa yang dinamakan citra visual. Berikutnya, jika memang dikehendaki mata akan bergerak untuk kemudian berhenti lagi jika si pembaca ingin mendapatkan citra visual yang lain. Atau dengan kata lain, dalam membaca mata seorang pembaca haruslah berhenti, bergerak, berhenti lagi, bergerak lagi, dan seterusnya, jika dia menginginkan memahami apa yang dibacanya. Dalam keadaan sebenarnya, khususnya ketika seseorang membaca secara berkelanjutan dan bukannya hanya satu kata saja, proses berhenti dan bergerak ini mungkin memerlukan waktu tidak lebih dari seperenam detik. George D. Spathe (1962) dalam Is This a Breakthrough in Reading? menyatakan bahwa lebar rentang jarak yang diperlukan sepasang mata dalam membaca tidak dapat melebihi tiga kata, atau dengan kata lain seorang pembaca yang paling cepat sekali pun, berdasarkan hasil penelitian ini, tidak akan mampu membaca lebih banyak dari tiga kata dalam satu periode tertentu sebelum dia menggerakkan kembali matanya menuju ke kelompok kata yang lain. Dengan memahami kenyataan sederhana ini, yang semakin lama cenderung semakin dilupakan oleh para pengajar bahasa, diharapkan para pengajar dapat bersikap lebih arif jika mereka menggunakan sarana bacaan untuk mengajar murid-muridnya. Setelah membaca tiga kata, mata pembaca harus bergerak pada kumpulan tiga kata berikutnya. Pergerakan inilah yang oleh para pakar pendidikan bahasa dinamakan saccadic sweep, sebuah pergerakan yang membutuhkan waktu paling cepat sekitar 1/30 detik. Waktu ini hanya dapat dilakukan oleh seorang pembaca yang baik dan tentunya waktu ini akan bertambah jika dilakukan oleh pembaca yang kurang baik. Jadi, jika hasil kedua penelitian ini digabungkan, akan didapatkan bahwa jumlah waktu total yang dibutuhkan oleh seorang pembaca yang baik untuk membaca tiga buah kata dan kemudian berpindah pada kelompok tiga kata berikutnya adalah seperenam detik ditambah sepertiga puluh detik atau sama dengan seperlima detik. Atau dengan kata lain, dalam satu detik, seorang pembaca yang baik diperkirakan mampu membaca sekitar 15 kata, atau sekitar 900 kata dalam satu menitnya. Sebuah angka yang fantastis, bukan? Tetapi dalam kenyataannya kemudian terbukti bahwa angka ini sulit sekali dicapai jika diingat bahwa kalimat-kalimat dalam satu bacaan tidak selalu berkelompok tiga-tiga, sehingga seorang pembaca harus melakukan gerakan saccadic sweep lebih banyak lagi untuk satu baris dan ini bermakna mengurangi jumlah kata yang mampu dibaca seseorang dalam satu menit. Prinsip Pengajaran Membaca Beberapa prinsip berikut mendasari kegiatan pengajaran membaca. 1. Ketahui latar pengetahuan siswa Latar pengetahuan pembaca bisa mempengaruhi pemahaman siswa dalam membaca. Latar pengetahuan ini meliputi semua pengalaman yang ia bawa ke sebuah teks, misalnya, pengalaman hidup, pendidikan, pengetahuan mengenai bagaimana teks bisa diatur secara retorikal, pengetahuan bagaimana bahasa pertama atau kedua itu bekerja, serta latar belakang budaya. Pemahaman membaca dapat lebih ditingkatkan jika latar pengetahuannya itu diaktifkan melalui

tujuan, pertanyaan, prediksi, struktur teks, dan sebagainya. Jika siswa membaca sebuah topik yang tidak familiar, maka guru perlu memulai proses bacaan dengan membangun latar pengetahuan. 2. membangun dasar kosakata yang kuat kosakata mendapat tempat paling tinggi dalam pembelajaran bahasa. Banyak penelitian yang menekankan pentingnya kosakata dalam kesuksesan membaca. Menurut Anderson (2003), kosakata menjadi penting untuk diajarkan baik bagi siswa L1 maupun siswa L2 dan penggunaannya dalam konteks agar mereka dapat menebak makna suatu kosakata yang jarang muncul. 3. Ajari pemahaman Pada beberapa program istruksi membaca, penekanan kebanyakan pada pengetesan pemahaman membaca, alih-alih pada mengajarkan siswa bagaimana untuk paham. Memonitor pemahaman adalah penting untuk mencapai sukses membaca. Salah satu hal yang terkati dalam proses monitoring ini ialah memeriksa prediksi yang dihaslkan itu sudah benar dan mengecek apakah siswa telah menyesuaikan apa yang diperlukan ketika makna dalam bacaan itu belum diperoleh 4. usahakan meningkatkan kecepatan (kelancaran) membaca salah satu kendala bagi siswa L2 dalam hal membaca adalah meski mereka bisa baca tetapi bacaannya kurang lancar. Dalam hal ini, prinsipnya ialah bahwa guru harus seimbang baik posisinya sebagai pendamping siswa maupun pengembang keterampilan siswa dalam pemahaman bacaan. Yang paling penting untuk dicatat bahwa fokusnya itu bukan pada pengembangan kecepatan siswa dalam membaca, tapi pada kelancaran membaca. Seseorang dikatakan lancar membaca jika ia mampu membaca 200 kata per menit dengan sedikitnya 70% memahami bacaan itu (Anderson, 2003: 76). 5. ajarkan strategi membaca guna meraih hasil yang diinginkan, siswa perlu belajar menggunakan strategi-strategi membaca yang sesuai dengan tujuannya. Mengajarkan mereka akan hal ini dapat menjadi pertimbangan utama dalam kelas membaca. 6. dorong siswa menjelmakan strategi menjadi keterampilan ada perbedaan antara strategi dan keterampilan. Yang pertama merujuk pada tindak kesadaran untuk meraih tujuan atau sasaran. Yang kedua adalah strategi yang telah menjadi otomatis. Hal ini menekankan peran aktif yang dimainkan oleh siswa dalam strategi membaca. Sebagai pelajar yang secara sadar belajar dan mempraktikkan strategi membaca secara khusus, strategi itu berpindah dari kesadaran menuju ketaksadaran, yakni dari strategi menuju keterampilan. 7. buat penilaian dan evaluasi penilaian dan evaluasi bisa secara kuantitatif atau kualitatif. Keduana bisa diterapkan dalam kelas membaca. Penilaian kuantitatif meliputi informasi dari ujian pemahaman baca dan juga data kelancaran membaca. Informasi kualitatif diperoleh dari respon bacan jurnal, survei, dan respon terhadap daftar cek yang dibuat untuk strategi membaca. Beberapa Teknik Pembelajaran Membaca Banyak usaha dan penelitian yang telah dilakukan untuk mengembangkan teknik pembelajaran membaca yang baik dan efektif. Beberapa teknik pembelajaran membaca yang populer diterapkan dapat disebutkan berikut ini (Harmer, 2001: 210-227; Suyatno, 2004; Anderson, 2003). 1. membaca cepat: teknik yang mengajak siswa membaca sebuah bacaan dalam waktu tertentu

yang harus diselesaikan. Dengan teknik ini siswa diharapkan termotivasi untuk gemar membaca, mengatasi repitisi, dapat menggunakan cara baca sistem lompat kodok, dan dapat menggunakan suatu petunjuk sebagai penentu kecepatan. 2. membaca bergantian: yakni mengajak siswa membaca dengan suara, intonasi, dan pelafalanya sendiri dengan tepat secara bergantian dengan pasangannya. 3. presenter: teknik ini bertujuan agar siswa dapat melisankan teks layaknya presenter atau MC dengan lafal, intonasi, dan tanda baca yang terukur. 4. membaca teks pidato: mengajak siswa untuk mempresentaskan teks pidato dengan cara membacanya. 5. membaca berita: siswa diajak menyampaikan informasi dengan intonasi dan nada yang sesuai. 6. membaca intensif: siswa dapat memahami bacaan secara intensif, tanpa bersuara, dan tuntas. 7. membaca ekstensif: siswa diajak untuk mengintegrasikan isi berbagai bacaan dengan topik serupa dan dapat menjelaskan inti bacaan tersebut. 8. membaca kritis: siswa diajak memberikan komentar mengenai apa yang mereka baca. 9. membaca memindai: teknik ini mengajak siswa menemukan secara cepat kata-kata tertentu yang dianggap penting dalam bacaan. 10. memberi catatan bacaan: siswa diharapkan dapat membuat catatan dengan memberikan kalimat kunci dalam bacaan. 11. mengubah bacaan ke dalam gambar: teknik ini mengajak siswa untuk memaknai bacaan dengan cara membuat gambar menurut persepsinya. Sistem Tulisan sebagai Salah Satu Asas Pembelajaran Teknik-teknik pembelajaran membaca yang biasa ditawarkan hingga saat ini dirasa belum menyentuh semua bahasa. Artinya, teknik pembelajaran membaca tersebut lebih banyak menyinggung bahasa-bahasa dengan sistem tulisan tertentu dan tidak memberikan alternatif terhadap bahasa (bahasa) dengan sistem tulisan yang lain mengingat bahwa beberapa bahasa memiliki sistem tulisan yang unik yang berbeda dari sistem tulisan lain. Bahasa-bahasa di dunia berdasarkan sistem tulisannya (yang unik tersebut) dapat digolongkan menjadi dua. Penggolongan tersebut didasarkan pada pola yang terdapat pada kata bahasa, yaknikalau boleh saya menyebut pola KV (dengan segala variasinya) dan pola KK. Sistem tulisan dengan pola KV atau vokalisasi berarti bahwa sebuah kata terdiri atas (beberapa) konsonan dan vokal. Bahasa-bahasa yang mengadopsi sistem tulisan semacam ini misalnya, bahasa Latin dengan sistem tulisan latin, bahasa Cina dengan sistem tulisan kanji, dan bahasa Jawa dengan sistem tulisan Hanacaraka. Dengan pola sistem tulisan ini masyarakat pembaca dengan mudah dapat membaca sebuah kata dengan artikulasi sesuai dengan kata yang dimaksud dalam tulisan (bahasa) tersebut. Kata sacred misalnya akan dibaca sesuai dengan tulisan yang termaktubterlepas dari tepat tidaknya pelafalan kata berdasarkan ejaan bahasa tersebut. Pola kedua KK, yakni pola konsonantal menggambarkan bahwa sebuah kata dalam bahasa ditulis hanya konsonannya saja. Bahasa-bahasa yang mengunakan sistem tulisan ini misalnya, bahasa Arab dan Ibrani. Dengan demikian sebuah atau beberapa kata yang ditulis menggunakan sistem tulisan tersebut hanya menyertakan konsonan tanpa ada vokalisasi terhadap konsonan tersebut. Contoh yang menggambarkan sistem tulisan dengan pola ini ialah kata , jika ditransliteraskan dalam tulisan Latin kata tersebut sama dengan atau menjadi KTB. Sistem tulisan ini tidak hanya digunakan oleh masyarakat berbahasa Arab saja, melainkan juga telah tersebar penggunaannya di beberapa wilayah di Asia Tenggara. Di Malaysiaserta beberapa wilayah di Singapura, Pattani Thailand, Brunei, hingga Filipina Selatan tulisan yang

menggunakan tulisan Arab disebut Arab Melayu, yakni tulisan menggunakan Arab tapi berbahasa Melayu. Di Indonesia (Jawa) bentuk tulisan ini biasa disebut tulisan Pegon. Kendala Membaca: Tantangan & Solusi Masalah yang timbul kemudian ialah adanya kendala bagi pelajar atau siswa yang belajar membaca tulisan dengan pola kedua tersebut. Kesulitan ini dirasakan karena mereka tidak dapat membaca tulisan tanpa vokalisasi. Para siswa, karena sistem tulisan yang dianut di Indonesia ialah tulisan Latin, belum terbiasa membaca tulisan Arab ini. Hal inilah yang kemudian menjadi persoalan dalam pembelajaran membaca dalam bahasa Arab. Sejauh ini saya belum menemukan teknik pembelajaran membaca yang tepat dan efektif dalam bahasa Arab. Kebanyakan siswa banyak terbantu dalam membaca setelah sebuah teks Arab diberi vokalisasi (istilah orang awam diharokati). Kebiasaan semacam ini jika dibiarkan akan berakibat buruk bagi siswa dalam proses pembelajaran dan penguasaan membaca dalam bahasa Arab. Karena itu, perlu dicari tawaran alternatif teknik pembelajaran membaca dalam bahasa Arab sebab teknik-teknik yang ditawarkan sejauh ini hanya melingkupi bahasa-bahasa dengan sistem tulisan berpola KV sebagaimana saya sebutkan sebelumnya. Dengan begitu, kendala yang dirasakan siswa dapat dilalui, paling tidak sedikit membantu mereka mengurangi kesulitan belajar bahasa Arab beserta tetek bengeknya. Penutup Belajar bahasa membutuhkan banyak faktor yang saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Beberapa faktor tersebut seperti ketekunan dan kesabaran, di samping tentu saja kesempatan untuk terus menerus menggunakan bahasa yang dipelajari merupakan faktor yang amat menentukan keberhasilan seseorang dalam belajar bahasa. Tentu saja faktor-faktor yang lain seperti tersedianya materi yang memadai, instruktur yang cakap dan berdedikasi, serta motivasi yang cukup tinggi dari mereka yang belajar juga perlu diperhitungkan. Pemahaman terhadap salah satu elemen dasar dalam belajar bahasa, yaitu membaca, khususnya pemahaman aspek-aspek teknis dan kendala-kendalanya memang tidak menjamin bahwa sebuah program pengajaran bahasa akan berhasil dengan baik. Tetapi dengan sedikit memahami aspek-aspek teknis semacam itu, para siswa dan khususnya para guru, diharapkan akan lebih mampu menyempurnakan proses belajar-mengajar yang akan membawa mereka ke tujuan akhir yang diharapkan. Daftar Pustaka Anderson, Neil. 2003. Reading dalam Practical English Language Teaching Reading. David Nunan (ed.). New York: McGraw Hall. Burmeister, Lou E. 1978. Reading Strategies for Middle and Secondary School Teachers. Massachusetts Addison-Wesley Publishing Company. Harmer, Jeremy. 2001. The Practice of English Language Teaching. Harlow: Pearson Education Limited. Spache, George D. 1962. Is This a Breakthrough in Reading?, in The Reading Teacher pp. 258263. Stanovich, K.E. 1980. Toward An Interactive Compensatory Model of Individual Differences In The Development of Reading Fluency. Reading Research Quarterly, 16: 32-71. Suyatno. 2004. Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Penerbit SIC. Kemahiran Membaca. Diakses di http://mahirkb.tripod.com/olehbaca.htm#Teknik

http://kamalinev.wordpress.com/2007/05/17/teknik-pembelajaran-membaca-adakah-alternatif-lain/

Model Membaca Bawah Atas(MMBA) Pada model membaca bawah atas stuktur-struktur yang ada dalam teks itu dianggap sebagai unsure yang memainkan peran utama, sedangkan struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya merupakan hal yang sekunder. MMBA pada dasarnya merupakan proses penerjemahan dekode dan encode. Decode adalah kegiatan mengubah tanda-tanda menjadi berita. Encode ialah kegiatan mengubah berita menjadi lambing-lambang. Pada MMBA pembaca mulai dengan huruf huruf atau unit-unit yang lebih besar, dan setelah itu barulah ia melakukan antisipasi terhadap kata-kata yang diejanya itu. Teori proses informasi (cough) bepandapat bahwa membaca itu pada dasarnya adalah penerjenahan lambang grafik kedalam bahasa lisan. Mempelajari apa yang dikatakan lambang tercetak merupakan kegiatan satu-satunya dalam proses membaca. Menrut MMBA, tugas pertama seorang pembaca ialah mendekode lambang-lambang tertulis itu menjadi bunyi-bunyi bahasa. Peran pembaca bersifat relative pasif dalam proses penerjemahan itu. Satu-satunya pengetahuan yang didiapkan ialah pengetahuan tentang hubungan antara lambang dan bunyi. Jelaslah bahwa menurut MMBA teks bacaan itu diproses okeh pembaca tanpa informasi yang mendahuluinya yang ada hubungannya dengan isi bacaan. Inti proses membaca menurut teori ini adalah proses kengkodean kembali simbol tuturan tertulis (Harris & Sipay, 1980). Membaca dalam proses bottom-up merupakan proses yang melibatkan ketepatan, rincian, dan rangkaian persepsi dan identifikasi huruf-huruf, kata-kata, pola ejaan, dan unit bahasa lainnya. Tugas utama pembaca menurut teori ini adalah mengkode lambang-lambang yang tertulis menjadi bunyi-bunyi bahasa (Harjasuna, 1996). Brown (2001) menyatakan bahwa pada proses bottom-up membaca terlebih dahulu mengetahui berbagai tanda linguistik, seperti huruf, morfem, suku kata, kata-kata frasa, petunjuk gramatika dan tanda wacana, kemudian menggunakan mekanisme pemrosesan yang masuk akal, koheren dan bermakna. Agar bisa memahami bacaan pada teori ini, pembaca membutuhkan keterampilan yang berhubungan dengan lambang bahasa yang digunakan dalam teks.

Fries (1962), mendefinisikan membaca debagai kegiatan mengembangkan kebisaan merespon kepada seperangkat pola yang terdiri atas lambang-lambang grafis. Model-model pemikiran yang sejalan dengan MMBA itu, menimbulkan metode-metode membaca yang disebut metode alphabet, metode fonik. Metode alphabet meruakan metode pengajaran membaca yang tertua. Dalam zaman keemasan Yunani dan Roma orang mengajarkan membaca dengan metode alphabet. Dalam metode ini, huruf-huruf yang di ajarkan itu diucapkan sama dengan ucapan alphabet. Dengan demikian, huruf d diucapkan /de/, huruf k diucapkan /ka/, huruf l diucapkan /el/, huruf m diucapkan /em/ dan selanjutnya. Menghubungkan ucapan ka /ka/ dan I /i/ menjadi ki /ki/ ternyata merupakan hal yang tidak mudah bagi anak-anak yang baru mulai belajar membaca. Itulah sebabnya dalam metode fonik, konsonan-konsonan itu tidak diucapkan seperti ucapan alphabet. Huruf k tidak di ucapkan /ka/ tetapi /kh/, huruf d tidak di ucakan /de/ tetapi /dh/, demikian seterusnya.
http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/09/model-membaca-bawah-atasmmba.html

Anda mungkin juga menyukai