Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

DI RUANG CEMPAKA 2 RSUD Dr. LOEKMONOHADI KUDUS

Di Susun Oleh :

SITI FARIDA

NIM : 62019040054

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


A. DEFINISI
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dapat didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar
prostat yang memanjang ke atas, ke dalam kandung kemih, yang menghambat aliran urin,
serta menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare, 2013). Secara patologis, BPH
dikarakteristikkan dengan meningkatnya jumlah sel stroma dan epitelia pada bagian
periuretra prostat. Peningkatan jumlah sel stroma dan epitelia ini disebabkan adanya
proliferasi atau gangguan pemrograman kematian sel yang menyebabkan terjadinya
akumulasi sel (Roehrborn, 2011).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Price&Wilson (2012).
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas
kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra
(2012)

B. KLASIFIKASI

Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2011) secara


klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas atas
dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak dapat
diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

C. ETIOLOGI

Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2013) menjelakan bahwa
terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia prostat, seperti usia, adanya
peradangan, diet, serta pengaruh hormonal. Faktor tersebut selanjutnya mempengaruhi
prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang kemudian memicu proliferasi sel
prostat. Selain itu, pembesaran prostat juga dapat disebabkan karena berkurangnya proses
apoptosis. Roehrborn (2011) menjelaskan bahwa suatu organ dapat membesar bukan hanya
karena meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga karena berkurangnya kematian sel.
BPH jarang mengancam jiwa. Namun, keluhan yang disebabkan BPH dapat
menimbulkan ketidaknyamanan. BPH dapat menyebabkan timbulnya gejala LUTS (lower
urinary tract symptoms) pada lansia pria. LUTS terdiri atas gejala obstruksi (voiding
symptoms) maupun iritasi (storage symptom) yang meliputi: frekuensi berkemih meningkat,
urgensi, nokturia, pancaran berkemih lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan
merasa tidak puas sehabis berkemih, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urin (IAUI, 2013).
Menurut Purnomo (2010), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab
prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan

D. PATOFISIOLOGI

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior
buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat
normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya
Purnomo (2010), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2010).
Sjamsuhidajat (2011), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2010) menjelaskan
bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam
sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-
RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada
traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat,
tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar,
detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh
sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi
resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan
mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih
tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat
seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar
diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar
disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding
kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala
obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga
kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir
miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung
kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit
ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak
dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2015)
E. PATHWAY

Kurang
pengetahuan

Gg.
cemas Pola
elimi
nasi

Kerusakan
integritas kulit

Retensi
urine
F. MANIFESTASI KLINIS

Gambaran tanda dan gejala secara klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda
gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi
dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak
puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan
(straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang
akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum
penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara
lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan
ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2010)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2011) dibedakan menjadi 4 stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun
tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK
atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2012) menyebutkan bahwa Tanda dan gejala dari
BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-
anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat berkemih,
aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a) Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
 Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
 Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
 Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
 Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
 Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.
b) Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing
dahulu kemudian dipasang kateter.
 Normal : Tidak ada sisa
 Grade I : sisa 0-50 cc
 Grade II : sisa 50-150 cc
 Grade III : sisa > 150 cc
 Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan
adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih,
walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi
ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu
biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density
(PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya
dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua defek
pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya menyertai
penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan
harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT,
golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan sitoskopi.
Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi buli, dan volume
residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran
ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari
keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena
dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran
ureter berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan
besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat
bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi
ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara
dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor,
divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin.
Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.

H. PENATALAKSANAAN

1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung
pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin
dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan,
tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan
prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam.
Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan
melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive
dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat
dilakukan dengan:
a) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi,
hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b) Medikamentosa
 Mengharnbat adrenoreseptor α
 Obat anti androgen
 Penghambat enzim α -2 reduktase
 Fisioterapi

c) Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter,
hidronefrosis jenis pembedahan:
 TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui
sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
 Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
 Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian
bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
 Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
 Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis
dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian
bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.
d) Terapi Invasif Minimal
 Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke
kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
 Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
 Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
2. Keperawatan
a. Pre operasi
 Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT, BT,
AL)
 Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
 Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
 Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam.  Sebelum
pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen puasa
minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan masuknya
udara
b. Post operasi
1. Irigasi/Spoling dengan Nacl
 Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
 Hari pertama post operasi  : 60 tetes/menit
 Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
 Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
 Hari ke 4 post operasi diklem
 Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah
(urin dalam kateter bening)
2. Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah (cairan
serohemoragis < 50cc)
3. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi selama 2
hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan baik obat injeksi
bisa diganti dengan obat oral.
4. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post
operasi
5. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi dengan
betadin
6. Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
7. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
8. Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
9. Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
10. Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan
untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih dan
perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat melemaskan
otot polos dapat membantu mengilangkan spasme. Kompres hangat pada
pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
11. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan tapi
tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan abdomen,
perdarahan
12. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol
berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai
kontrol berkemih.
13. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian
jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah pembedahan.
14. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan sejumlah
bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih
gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi
pada kateter sehingga balon yang menahan kateter pada tempatnya
memberikan tekannan pada fossa prostatik.

I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.


Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
1. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi
dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek
pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada.
kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan.
2. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena
memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-
tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
3. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien
dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin
berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia,
disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan
invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter
untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna
urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan,
peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan
eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal
tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi
BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
4. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada
postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat
badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan
maupun nutrisinya.
5. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang
utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada
pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan
kuat, nyeri punggung bawah.
6. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak
luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala
jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji
adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada
preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya
tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya.
7. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat
ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
8. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi
BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin,
BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada
postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari
perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH) adalah sebagai berikut :
1. Pre operasi
 Nyeri akut
 Retensi urin
 Kurang pengetahuan
 Cemas
2. Post operasi
 Nyeri akut
 Gangguan pola eliminasi
 Kerusakan integritas kulit
 Resiko infeksi
 Resiko perdarahan
K. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan

1 Nyeri akut 1. Memonitor nyeri 1. Manajemen Nyeri


Indikator: Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat
Definisi : Sensori dan  Mengenal faktor-faktor kenyamanan yang dapat diterima pasien
pengalaman emosional penyebab Intervensi:
yang tidak menyenangkan Mengenal onset/waktu kejadian 1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi: lokasi,
yang timbul dari nyeri karakteristik, waktu kejadian, lama, frekuensi, kualitas,
kerusakan jaringan aktual  tindakan pertolongan non- intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus
atau potensial, muncul analgetik 2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan,
tiba-tiba atau lambat  Menggunakan analgetik khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara
dengan intensitas ringan  melaporkan gejala-gejala efektif
sampai berat kepada tim kesehatan 3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
(dokter, perawat) 4. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
lama terjadi, dan tindakan pencegahan
2. Menunjukkan tingkat nyeri 5. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
Indikator: 6. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi, (ex: relaksasi,
 Melaporkan nyeri guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-
dingin, massase)
 Frekuensi nyeri
7. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
 Lamanya episode nyeri
8. Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon
 Ekspresi nyeri: wajah
klien
 Posisi melindungi tubuh
9. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
 Kegelisahan 10. Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
 Perubahan Respirasirate
 Perubahan Heart Rate
 Perubahan tekanan Darah
2. Gangguan pola eliminasi NOC NIC
Definisi : Disfungsi pada - Urinary elimination Urinary Retention Care
eliminasi urine - Urinary Contiunence - Lakukan penilaian kemih yang komprehensif berfokus pada
Kriteria Hasil : inkontinensia (misalnya, output urin, pola berkemih kemih, fungsi
- Kandung kemih kosong secara kognitif, dan masalah kencing praeksisten)
penuh - Memantau penggunaan obat dengan sifat antikolinergik atau
- Tidak ada residu urine > 100- properti alpha agonis
200 cc - Memonitor efek dari obat-obatan yang diresepkan, seperti calcium
- Intake cairan dalam rentang channel blockers dan antikolinergik
normal - Gunakan kekuatan sugesti dengan menjalankan air atau disiram
- Bebas dari ISK toilet
- Tidak ada spasme bladder - Merangsang refleks kandung kemih dengan menerapkan dingin
- Balance cairan seimbang untuk perut, membelai tinggi batin, atau air
- Sediakan waktu yang cukup untuk pengosongan kandung kemih
(10 menit)
- Masukkan kateter kemih, sesuai
- Anjurkan pasien / keluarga untuk merekam output urin, sesuai
- Memantau asupan dan keluaran
- Memantau tingkat distensi kandung kemih dengan palpasi dan
perkusi
- Membantu dengan toilet secara berkala
- Memasukkan pipa ke dalam lubang tubuh untuk sisa
- Menerapkan kateterisasi intermiten
- Merujuk ke spesialis kontinensia kemih

3. Kerusakan integritas NOC : Tissue Integrity : Skin and NIC : Pressure Management


kulit Mucous Membranes - Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
Kriteria Hasil : - Hindari kerutan padaa tempat tidur
  Integritas kulit yang baik bisa - Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
dipertahankan (sensasi, elastisitas, - Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
temperatur, hidrasi, pigmentasi) - Monitor kulit akan adanya kemerahan
  Tidak ada luka/lesi pada kulit - Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
  Perfusi jaringan baik - Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
  Menunjukkan pemahaman - Monitor status nutrisi pasien
dalam proses perbaikan kulit dan
mencegah terjadinya sedera
berulang
  Mampu melindungi kulit dan
mempertahankan kelembaban
kulit dan perawatan alami

1. Pengetahuan klien 1. Kontrol Infeksi


4 Resiko infeksi tentang kontrol infeksi Intervensi :
Indikator: 1. Bersikan lingkungan secara tepat setelah digunakan oleh klien
Definisi : Peningkatan  Menerangkan cara-cara 2. Ganti peralatan klien setiap selesai tindakan
resiko masuknya penyebaran 3. Batasi jumlah pengunjung
organisme patogen  Menerangkan factor-faktor 4. Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan individu
yang berkontribusi dengan 5. Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan tepat
penyebaran 6. Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan
 Menjelaskan tanda-tanda dan 7. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan setelah
gejala meninggalkan ruangan klien
 Menjelaskan aktivitas yang 8. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien
dapat meningkatkan 9. Lakukan universal precautions
resistensi terhadap infeksi 10. Gunakan sarung tangan steril
11. Lakukan perawatan aseptic pada semua jalur IV
12. Lakukan teknik perawatan luka yang tepat
13. Tingkatkan asupan nutrisi
14. Anjurkan asupan cairan
15. Anjurkan istirahat
16. Berikan terapi antibiotik
17. Ajarkan klien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala dari
infeksi
18. Ajarkan klien dan anggota keluarga bagaimana mencegah infeksi
5 Risiko Perdarahan Pencegahan Perdarahan
 Status Sirkulasi : TTV Aktifitas:
dalam batas Normal  Memonitor pasien secara ketat untuk perdarahan
 Status Koagulasi : Tidak  Catatan tingkat hemoglobin / hematokrit sebelum dan sesudah
terdapat bleeding kehilangan darah, seperti yang ditunjukkan
 Pengetahuan : Prosedur  Memantau tanda-tanda dan gejala perdarahan yang persisten
pengobatan (misalnya memeriksa semua sekresi atau darah okultisme)
 Memantau koagulasi, termasuk waktu prothombin (PT), waktu
tromboplastin parsial (PTT), fibrinogen, degradasi / split fibrin
produk, dan jumlah trombosit, jika diperlukan
 Memantau tanda-tanda vital ortostatik, termasuk tekanan darah
 Menjaga istirahat selama perdarahan aktif
 Mengelola produk darah
 Melindungi pasien dari trauma, yang dapat menyebabkan
perdarahan
 Menghindari suntikan (IV, IM, atau SQ), yang sesuai
 Menginstruksikan pasien ambulasi untuk memakai sepatu
 Menggunakan sikat gigi yang lembut untuk perawatan mulut
 Menggunakan pisau cukur listrik untuk mencukur
 Menghindari prosedur invasif, jika mereka diperlukan,
memantau secara ketat untuk perdarahan
 Mengkoordinasikan waktu prosedur invasif dengan transfusi
trombosit atau plasma beku segar, jika sesuai
 Menahan diri dari memasukkan benda ke lubang berdarah
 Menghindari mengambil suhu rectal
 Hindari mengangkat benda berat
 Mengelola obat-obatan (e.g., antasida), yang sesuai
 Menginstruksikan pasien untuk menghindari aspirin atau
antikoagulan lainnya
 Menginstruksikan pasien untuk meningkatkan asupan makanan
yang kaya vitamin K
 Gunakan kasur terapi untuk meminimalkan trauma kulit
 Menghindari sembelit (misalnya, mendorong asupan cairan dan
pelunak tinja), yang sesuai
 Menginstruksikan pasien dan / atau keluarga pada tanda-tanda
perdarahan dan tindakan yang tepat (misalnya, memberitahukan
perawat)
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, E. J., (2009), Buku saku pathofisiologi. Edisi 3. EGC: Jakarta.
DeLaune & Ladner. (2002). Fundamental of nursing: Standards and practice. New York:
Delmar.
Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2010). Profil penduduk lansia 2009. Komnas
Lansia: Jakarta
Mansjoer, A., dkk, (2000), Kapita selekta kedokteran, Edisi Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta.
Nies, M.A. & McEwen, M. (2007). Community / publuc helath nursing: Promoting the health of
populations. (4th edition). St Lois: Saunders Elsevier
Parsons, J.K. (2010). Benign prostatic hyperplasia and male lower urinary tract symptoms:
Epidemiology and risk factors. Springer Journal, Curr Bladder Dysfunct Rep, 5:212–218.
Purnomo, B. B., (2000), Dasar-dasar urologi. CV Info Medika: Jakarta.
Putra, R.A. (2012). 2020, Lansia Indonesia lebih banyak hidup di kota. Style sheet.
Roehrborn, C. G., & McConnell, J. D. (2011). Benign prostatic hyperplasia: etiology,
pathophysiology, epidemiology, and natural history. CampbellWalsh Urology. (10th ed).
Philadelphia: Saunders Elsevier.
Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). EGC. (Hal 782–786):
Jakarta
Smeltzer S.C., & Bare, B.G. (2003). Brunner & Suddarth’s textbook of medical surgical
nursing. (10th Ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing. Missouri: Mosby
Wilkinson M. Judith & Ahern R. Nancy. 2011. Buku saku diagnosis keperawatan. Edisi 9. EGC :
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai