Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PERPAJAKAN

BENTUK USAHA TETAP

Di susun oleh :
Aldi Alfajri 19919002
Rara Mita Mayang A 19919015
Riza Rahmady Daeng 19919016
Umairoh Ayunda Fitri 19919027

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI


UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

i
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala

puji dan syukur bagi Allah swt yang dengan ridho-Nya. Kami dapat

menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.

Dalam makalah ini, kami akan memaparkan tentang ”Bentuk Usaha

Tetap”. Makalah ini diharapkan bisa menambah wawasan dan pengetahuan yang

selama ini kita cari. Berbagai teknik dan intrik kami kemas dalam makalah ini,

dan juga kami berharap bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Sebagai mahasiswa kami mengharapkan bimbingan, bantuan, saran dan

dukungan dari Bapak/Ibu dosen serta pihak lain agar makalah ini bisa berhasil dan

berguna bagi kita semua. Amin.

Tidak ada gading yang tak retak, demikian makalah ini, oleh karena itu

saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan dan kami harapkan demi

kesempurnaan makalah ini.

Yogyakarta, 25 November 2019

ii
DAFTAR ISI

COVER ........................................................................................................... i

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang......................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah.................................................................... 4
1.3. Tujuan Penulisan .................................................................... 4
1.4. Manfaat Penulisan .................................................................. 4

BAB II. PEMBAHASAN


2.1. Bentuk Usaha Tetap................................................................ 5
2.2. Subjek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap..................... 7
2.3. Objek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap....................... 9
2.4. Penentuan Laba Bentuk Usaha Tetap .................................... 10
2.5. Perlakuan Pajak Terhadapa Bentuk Usaha Tetap .................. 10
2.6. Tarif Pajak Badan Usaha Tetap.............................................. 17
2.7. Perlakuan Pajak Terhadap BUT Yang di tanam Indonesia.... 19

BAB III. PENUTUP


3.1. Kesimpulan............................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara hukum tentunya mempunyai pengaturan

terhadap perlakuan pajak di Indonesia. Demikian sebagaimana yang di atur pada

Undang – Undang Dasar 1945, pasal 23 A yang berbunyi “ pajak dan pungutan

lainyang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang –

undang”. Kemudian di atur lebih konkret dengan disahkannya Ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2000 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Dan pada

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang diubah dengan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan yang terakhir Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2008.

Pemungutan pajak sebagaimana fungsinya antara lain adalah budgetary, yaitu

menghimpun penerimaan negara dari masyarakat sebagai dana pembiayaan fungsi

pembangunan. Sistem atau prinsip perpajakan yang dianut oleh suatu negara akan

dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain oleh falsafah bangsa yang bersangkutan

dan kebijakan-kebijakan tertentu yang berhubungan dengan pemberian dorongan

investasi kepada sektor-sektor tertentu.

Bentuk usaha tetap dalam sistem perpajakan Indonesia menempati suatu

kedudukan yang khusus karena di samping pemajakan atas bentuk usaha tetap

tersebut agak berbeda dibandingkan dengan pemajakan atas wajib pajak pada

umumnya, juga dalam kaitannya dengan perjanjian perpajakan (tax treaty), ada

tidaknya suatu bentuk usaha tetap sangat menentukan dapat atau tidaknya suatu

1
negara sumber mengenakan pajak atas laba usaha yang diperoleh suatu

perusahaan yang berkedudukan di luar negeri.

Kedudukan bentuk usaha tetap (permanent establishment) dalam sistem

perpajakan Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat unik. Pada saat

Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 diberlakukan pada tanggal 1 Januari

1984, bentuk usaha tetap dikelompokkan sebagai subjek pajak badan dalam

negeri. Keadaan ini sangat berbeda dengan yang berlaku di banyak negara, di

mana bentuk usaha tetap diperlakukan sebagai subjek pajak luar negeri. Dalam

perkembangannya kemudian, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994

sebagai Undang-Undang Perubahan dari Undang-Undang Pajak Penghasilan

1984, bentuk usaha tetap tidak lagi dikelompokkan sebagai subjek pajak badan

dalam negeri, tetapi dikelompokkan sebagai subjek pajak yang berdiri sendiri dan

dianggap sebagai subjek pajak luar negeri. Namun demikian, kewajiban-

kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak dalam negeri.

Keadaan ini masih tetap tidak berubah setelah adanya Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagai undang-undang

perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang terbaru.

Pengaturan terhadap pemungutan pajak ini sangatlah penting. Selain

menciptakan adanya kepastian hukum yang lebih nyata, dengan demikian ini akan

berfungsi sebagai salah satu pendorong masuknya investasi asing. Dengan kata

lain, suatu pengaturan pajak yang baik membantu menciptakan iklim investasi

yang favorable. Ini akan menguntung Indonesia sebagai pasar investasi yang

sangat strategis, akan meningkatkan perolehan keuangan Negara yang bersumber

dari perpajakan.

2
Dasar Hukum dari BUT :

 Undang – Undang Dasar 1945, pasal 23 A yang berbunyi “ pajak dan

pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur

dengan undang – undang”.

 Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan yang terakhir

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

 Ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun

2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1983 Tentang Pajak Penghasilan.

 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 602/KMK.04/1994 tanggal 21

Desember 1994 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak

Sesudah Dikurangi Pajak Dari Bentuk Usaha Tetap Yang Ditanamkan

Kembali di Indonesia juncto Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-

04/Pj.4/1995 tanggal 8 Februari 1995 tentang Perlakuan Perpajakan Atas

Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha

Tetap yang Ditanamkan kembali di Indonesia;

 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret

2002 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah

Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap. (Keputusan Menteri

Keuangan Nomor : 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 menggantikan

Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 602/KMK.04/1994 tanggal 21

Desember 1994);

3
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 624/KMK.04/1994 tanggal 17

Desember 1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas

Penghasilan berupa Premi Asuransi yang Dibayar Kepada Perusahaan di Luar

Negeri;

 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 634/KMK.04/1994 tanggal 29

Desember 1994 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi

Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di

Indonesia;

 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni

1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib

Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri.

 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 35/PMK.3/2019 tentang

penentuan Bentuk Usaha Tetap.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap?

2. Bagaimanakah penentuan laba bentuk usaha tetap?

3. Bagaimana perlakuan perpajakan terhadap bentuk usaha tetap sebagai

wajib pajak penghasilan?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan bentu usaha tetap.

2. Untuk mengetahui penentuan laba bentuk usaha tetap.

3. Untuk mengetahui perlakuan perpajakan terhadap bentuk usaha tetap.

4
1.4 Manfaat Penulisan

Setelah membaca dan mempelajari makalah ini, diharapkan agar pembaca

dapat lebih mengetahui dan memahami apa itu Badan Usaha Tetap dan

pentingnya bagi Wajib Pajak.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Bentuk Usaha Tetap

Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat

usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung

termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik

atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau

digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas

usaha melalui internet.

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak

bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan

di Indonesia.

Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku

agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang

pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan

di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap

mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan

dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan

5
agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau

perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka

menjalankan perusahaannya sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar

Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila

perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau

menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di

Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang

mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan

adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat

kedudukan di Indonesia.

Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang

pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di

Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang

tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan

usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

BUT dapat berupa:

1. Tempat kedudukan manajemen

2. Cabang perusahaan

3. Kantor perwakilan

4. Gedung kantor

5. Pabrik

6. Bengkel

7. Gudang

6
8. Ruang untuk promosi dan penjualan

9. Pertambangan dan penggalian sumber alam,

10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi

11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan

12. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa,

atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk

menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Bentuk Usaha Tetap dikenakan pajak atas penghasilan baik yang berasal

dari usaha atau kegiatan, maupun yang berasal dari harta yang dimiliki atau

dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak

penghasilan di Indonesia.

2.2 Subjek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap

Dalam hal ini, Subjek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap adalah Subjek Pajak

Luar Negeri yang terdiri dari:

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi

yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga

hari) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan

usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi

yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)

hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat

menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari

7
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di

Indonesia.

Subjek Pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus

menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang

bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang

bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan

perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi

kewajiban subjektif dan objektif.

Wajib Pajak luar negeri:

 Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber

penghasilan di Indonesia.

 Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto

 Tarif pajak yang dipergunakan adalah tidak sepadan (tarif UU PPh pasal

26)

 Tidak wajib menyampaikan SPT

Subjek Pajak Luar Negeri melalui BUT dimulai saat menjalankan usaha

atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia dan berakhir saat tidak lagi

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

Sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri tidak melalui BUT dimulai saat menerima

atau memperoleh penghasilan di Indonesia dan berakhir saat tidak lagi menerima

atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

8
2.3 Objek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap

Yang menjadi objek pajak penghasilan BUT adalah:

1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang

dimiliki atau dikuasai. Sebagai contoh, Communitel Ltd. yang bergerak

dalam usaha penjulan satelit komunikasi mempunyai cabang di Jakarta

dengan nama Communitel Indonesia. Apabila Communitel Indonesia

memperoleh laba melalui usaha penjualan satelit komunikasi, maka atas

laba penjualan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan sebagai pajak atas

penghasilan Wajib Pajak BUT.

2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau

pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan

BUT di Indonesia. Sebagai contoh, New York Bank mempunyai cabang di

Jakarta (New York Bank-Indonesia). Apabila New York Bank memperoleh

penghasilan berupa bunga atas pinjaman yang diberikan tanpa melalui New York

Bank-Indonesia, maka penghasilan bunga tersebut tetap dianggap sebagai

penghasilan BUT (New York Bank-Indonesia).

3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima atau

diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan

harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud. Sebagai contoh,

Foodz Inc. membuat perjanjian dengan PT Lezzat untuk menggunakan merek

dagang Foodz Inc. Atas penggunaan hak tersebut Foodz Inc. menerima imbalan

berupa royalti dari PT Lezzat. Dalam rangka pemasaran produk, Foodz Inc. juga

memberikan jasa manajemen kepada PT Lezzat melalui Foodz-Indonesia

(BUTnya di Indonesia). Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh PT

Lezzat mempunyai hubungan efektif dengan BUT di Indonesia. Oleh karena itu,

9
penghasilan Foodz Inc. yang berupa royalti diperlakukan sebagai penghasilan

BUT (Foodz-Indonesia)

2.4. Penentuan Laba Bentuk Usaha Tetap

Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT ada beberapa ketentuan yang harus

diperhatikan, yaitu:

1. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan dibebankan adalah

biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya

ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.

2. Pembayaran oleh BUT kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan

dibebankan sebagai biaya adalah

a. Royalti atau imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta, paten,

atau hak-hak lainnya

b. Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya

c. Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

Sebagai konsekuensinya, atas pembayaran seperti tersebut di atas,

yang diterima atau diperoleh BUT dari kantor pusat tidak dianggap

sebagai Objek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha

perbankan.

2.5. Perlakuan pajak terhadap Bentuk Usaha tetap

Cara menghitung penghasilan kena pajak bentuk usaha tetap. terlebih

dahulu harus diketahui dasar pengenaan pajaknya. Untuk Wajib Pajak dalam

negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menjadi dasar pengenaan pajak

adalah Penghasilan Kena Pajak. Sedangkan untuk Wajib Pajak luar negeri adalah

penghasilan bruto.

10
Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk Pajak badan dihitung sebesar

penghasilan netto. Sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi dihitung sebesar

penghasilan netto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut:

Penghasilan kena pajak (WP badan) = penghasilan netto

Penghasilan kena pajak (WP orang pribadi) = penghasilan netto-PTKP

Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak

Perhitungan besarnya Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak dalam negeri dan

bentuk usaha tetap dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1. Menggunakan pembukuan

2. Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur

untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta,

kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan

penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan

berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir. Wajib

Pajak badan dan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau

pekerjaan bebas diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.

Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib

melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan

usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan:

 Diperbolehkan menghitung penghasilan netto dengan menggunakan

Norma Penghitungan Penghasilan Netto

11
 Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha

dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan

penghasilan lainnya. Sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima

penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai

penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan netto yang merupakan objek Pajak

Penghasilan. Di samping itu pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan

objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.

Pembukuan atau pencatatan harus:

 Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan

keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya,

 Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka

Arab, satuan mata uang Rupiah, dan

 Disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan

oleh Menteri Keuangan (misalnya, bahasa Inggris)

Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan

bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya

untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:

1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan

usaha, antara lain:

a. Biaya pembelian bahan

b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,

honorarium, bonus,

c. Bunga, sewa, dan royalti

12
d. Biaya perjalanan

e. Biaya pengolahan limbah

f. Premi asuransi

g. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri

h. Biaya administrasi

i. Pajak, kecuali Pajak Penghasilan.

2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan

amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya yang

mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun;

3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri

Keuangan;

4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan

digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan;

5. Kerugian selisih kurs mata uang asing;

6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di

Indonesia;

7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;

8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:

 Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

 Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat

ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak

13
 Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri

atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau

adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan

piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang

bersangkutan, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum

atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa untungnya

telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

 Syarat sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak berlaku untuk

penghapusan piutang tak tertagih debitur terkecil

9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang

ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di

Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah;

12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah; dan

13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

14. Kompensasi kerugian fiskal tahun sebelumnya (maksimal 5 tahun). Untuk

menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam

negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

14
 Pembagian laba dengan nama dan bentuk apapun seperti dividen,

termasuk dividen yang dibagikan oleh perusahaan asuransi kepada

pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

 Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi

pemegang saham, sekutu, atau anggota.

 Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha

lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,

perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;

b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial

yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

c. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;

d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;

e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan

f. Cadanagan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan

limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang

ketentuannya dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan;

 Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,

asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib

Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan

premi asuransi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib

Pajak yang bersangkutan.

15
 Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa

yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali

penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta

penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di

daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan

yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

 Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada

pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan

istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang

dilakukan.

 Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan,

kecuali:

a. Sumbangan yang diperbolehkan dikurangkan

b. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat

yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah

c. Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama

yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan

yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah;

d. Pajak Penghasilan.

e. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi

Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.

f. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau

perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.

16
g. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi

pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan

perundang-undangan di bidang perpajakan.

h. Biaya-biaya (pengeluaran) untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan yang:

 Dikenakan PPh yang bersifat final

 Bukan objek PPh

i. Biaya-biaya (pengeluaran) untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan yang PPh-nya dihitung dengan

menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto.

2.6. Tarif Pajak Bentuk Usaha Tetap

Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak

badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%. Tarif pajak bagi

Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, mulai berlaku sejak

tahun pajak 2010, diturunkan menjadi 25%.

Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang

paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang

disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan

tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah

daripada tarif yang berlaku.

Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan

Rp 50.000.000.000,00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50%

yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai

dengan Rp 4.800.000.000,00.

17
Cara menghitung Pajak

Pajak Penghasilan (bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha

Tetap) setahun dihitung dengan cara mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan

tarif pajak sebagaimana diatur dalam UU PPh pasal 17. Untuk menghitung PPh

dapat digunakan rumus sebagai berikut:

 Pajak Penghasilan (Wajib Pajak badan)

= Penghasilan Kena Pajak x tarif pasal 17

= Penghasilan netto x tarif pasal 17

= (Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh) x tarif

pasal 17

 Pajak Penghasilan (WP Orang Pribadi)

= Penghasilan kena pajak x tarif pasal 17

= (Penghasilan netto – PTKP) x tarif pasal 17

= [ (Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh)-

PTKP] x tarif pasal 17

Catatan: Untuk keperluan penghitungan PPh yang terutang pada

akhir tahun, Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah hingga

ribuan penuh

Contoh:

1. Peredaran bruto PT Makmur dalam tahun pajak 2010 sebesar

Rp4.500.000.000,00 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar

Rp500.000.000,00. Penghitungan pajak yang terutang: Seluruh

Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut

18
dikenai tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku

karena jumlah peredaran bruto PT Makmur tidak melebihi

Rp4.800.000.000,00. Pajak Penghasilan yang terutang: (50% x 25%) x

Rp500.000.000,00 = Rp62.500.000,00

2. Peredaran bruto PT Jaya dalam tahun pajak 2010 sebesar

Rp30.000.000.000,00 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar

Rp3.000.000.000,00. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang

memperoleh fasilitas: (Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x

Rp3.000.000.000,00 =Rp480.000.000,00 Jumlah Penghasilan Kena Pajak

dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:

Rp3.000.000.000,00-Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00 Pajak

Penghasilan yang terutang:- (50% x 28%) x Rp480.000.000,00

= Rp 67.200.000,00- 28% x Rp2.520.000.000,00

= Rp705.600.000,00(+) Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang

= Rp772.800.000,00

3. Gunawan pada tahun 2010 mempunyai Penghasilan Kena Pajak sebesar

Rp241.850.600,00. Besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar atau

terutang oleh Gunawan adalah: Penghasilan Kena Pajak

Rp241.850.600,00 (dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh)

Pajak Penghasilan yang harus dibayar:

5% x Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00

15% x Rp 191.850.000,00 Rp 28.777.500,00

Jumlah Rp 31.277.500,00

19
2.7. Perlakuan Pajak Terhadap Bentuk Usaha Tetap yang Ditanamkan

kembali Di Indonesia

Perlakuan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan dari suatu

Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, akan dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20%

(bersifat final), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.

Penanaman kembali tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah

dikurangi Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada

perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai

pendiri atau peserta pendiri

2. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia

sebagaimana dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan

kegiatan usaha sesuai dengan akte pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun

sejak perusahaan tersebut didirikan

3. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling

lama tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya

penghasilan tersebut

4. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling

singkat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan baru

tersebut telah berproduksi komersial.

Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali, wajib

menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman yang

dilakukan kepada Dirjen Pajak sebagai lampiran SPT Tahunan PPh tahun pajak

diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.

20
Contoh:

 Foodz-Indonesia yang merupakan bentuk usaha tetap mempunyai

penghasilan kena pajak dalam tahun 2009 sebesar Rp

1.000.000.000,00.

Perhitungan pajak atas BUT tersebut adalah sebagai berikut:

Penghasilan kena pajak

Rp1.000.000.000,00

PPh terutang:

28% x Rp 1.000.000.000,00 = Rp 280.000.000,00

Penghasilan kena pajak BUT sesudah dikurangi

dengan pajak penghasilan Rp

720.000.000,00

Atas penghasilan tersebut akan dikenakan pajak lagi sebesar:

20% x Rp 720.000.000,00 atau sama dengan Rp 144.000.000,00

Namun apabila atas penghasilan kena pajak BUT sesudah dikurangi pajak

penghasilan tersebut (sebesar Rp 720.000.000,00) ditanamkan kembali di

Indonesia, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak. Jadi tidak ada

pemotongan pajak penghasilan sebesar 20% atau sebesar Rp 144.000.000,00.

21
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik beberapa

kesimpulan sebagai berikut :

1. Penentuan subjek pajak sangat penting dalam sistem pemungutan PPh

karena subjek pajak adalah pihak yang dituju untuk membayar Pajak

Penghasilan. Saat bentuk usaha tetap menjadi subjek pajak dan pada saat

yang bersamaan sekaligus juga menjadi wajib pajak luar negeri, adalah

pada saat orang pribadi atau badan luar negeri mempunyai hubungan

ekonomis dengan Indonesia. Pemenuhan kewajiban perpajakan BUT

dipersamakan dengan wajib pajak dalam negeri. Bentuk usaha tetap antara

lain berkewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok

Wajib Pajak (NPWP) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan

(SPT) sebagai sarana untuk menetapkan besarnya pajak terutang dalam

22
suatu tahun pajak, serta pengenaan pajaknya dilaksanakan atas penghasilan

kena pajak dengan menggunakan tarif umum seperti yang berlaku untuk

wajib pajak dalam negeri pada umumnya. Hal tersebut selaras dengan

prinsip pemajakan internasional yang menghendaki perlakuan non

diskriminasi dan kesetaraan perlakuan (equal treatment). Berdasarkan UU

PPh yang berlaku di Indonesia, bentuk usaha tetap dikenakan pajak per

basis territorial yang hanya sebatas pada penghasilan yang diperoleh dari

sumber di Indonesia (tempat BUT menjalankan usaha atau melakukan

kegiatan).

2. Wajib Pajak Luar Negeri yang menerima penghasilan yang bersumber di

Indonesia dapat dilakukan dengan cara:

a. menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia (active income) dan

memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemajakan

terhadap BUT menurut UU PPh bisa didasarkan pada tarif tertentu

yang diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan dan tarif umum Pasal

17 dan 23 UU PPh.

b. Menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia (active income) dan

belum memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Pemajakan terhadap penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri ini terutang

PPh Pasal 26 menurut UU PPh dan kewajiban perpajakannya menjadi

tanggung jawab subjek pajak dalam negeri yang membayarkan

penghasilan kepada subjek pajak luar negeri tersebut.

Saran

23
Dan dari kesimpulan yang telah diperoleh tersebut, perlu kiranya untuk

disampaikan saran sebagai berikut:

1. Kebijakan pemerintah Indonesia dalam pembuatan tax treaty diharapkan

akan membantu investor asing yang ingin menanamkan modalnya di

Indonesia dengan perlindungan hukum dan pengenaan pajak yang tepat

sehingga mampu pula meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran

masyarakat Indonesia.

2. Indonesia harus segera melaksanakan deregulasi dan debirokratisasi dalam

bidang perdagangan terutama dalam bidang perpajakan sebagai salah satu

sumber penerimaan negara untuk kemandirian bangsa Indonesia serta

peningkatan sumber daya manusia aparat perpajakan Indonesia. Apalagi

dengan akan dibukanya Economy Community ASEAN dalam waktu dekat

ini dimana Indonesia belum mempunyai regulasi untuk mempersiapkan

hal ini.

24
DAFTAR PUSTAKA

Wirawan B.Ilyas. Pajak Penghasilan, (Jakarta : Lembaga Penerbit UI, 2007);

Siti Resmi. Perpajakan Teori & Kasus. (Yogyakarta : Salemba Empat, 2007);

Gunadi. Pajak Internasional, (Jakarta : Fakultas Ekonomi UI,2007);

Agus Setiawan dan Basri Musri. Perpajakan Umum, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada)

25

Anda mungkin juga menyukai