Anda di halaman 1dari 20

BENTUK-BENTUK USAHA TETAP

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:

Laila Annisyah Lubis


MJ6A
0506193141

UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA


T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya-lah maka penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan sebaik mungkin
dan seoptimal mungkin, walau dari segi waktu masih terdapat banyak kekurangan.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Bentuk Usaha
Tetap”, yang menurut penulis dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita guna lebih
mengetahui bagaimana Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman
bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang penulis buat kurang tepat dan tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan.
Dengan ini penulis mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan
semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat, khususnya
bagi saya selaku penulis dan untuk semua para pembaca di luar sana.

Medan, 17 Mei 2022


Penyusun,

Laila Annisyah Lubis

i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................................... 3
BAB II ISI ............................................................................................................................. 4
2.1 Bentuk Usaha Tetap .................................................................................................. 4
2.2 Subjek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap ........................................................ 5
2.3 Objek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap ......................................................... 6
2.4 Penentuan Laba Bentuk Usaha Tetap ....................................................................... 7
2.5 Perlakuan pajak terhadap Bentuk Usaha Tetap ........................................................ 8
BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 15
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 16
3.2 Saran ......................................................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara sebagai Negara hokum tentunya mempunyai pengaturan terhadap perlakuan
pajak di Indonesia. Demikian sebagaimana yang diatur pada Undang – Undang Dasar 1945,
pasal 23 A yang berbunyi “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang – undang”. Kemudian diatur lebih konkret dengan disahkannya
Ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2000
dan yang terakhir Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007. Dan pada ketentuan dalam
Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang diubah dengan Undang – Undang Nomor 17
Tahun 2000 dan yang terakhir Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pemungutan pajak sebagaimana fungsinya antara lain adalah budgetary, yaitu
menghimpun penerimaan negara dari masyarakat sebagai dana pembiayaan fungsi
pembangunan. Sistem atau prinsip perpajakan yang di anut oleh suatu negara akan
dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adalah falsafah bangsa yang bersangkutan dan
kebijakan – kebijakan tertentu yang berhubungan dengan pemberian dorongan investasi
kepada sektor – sektor tertentu.
Bentuk usaha tetap dalam dalam system perpajakan Indonesia menempati suatu
kedudukan yang khusus karena disamping pemajakan atas bentuk usaha tetap tersebut agak
berbeda dibandingkan dengan pemajakan atas wajib pajak pada umumnya, juga dalam
kaitannya dengan perjanjian perpajakan (tax treaty), ada tidaknya suatu bentuk usaha tetap
sangat menentukan dapat atau tidaknya suatu negara sumber mengenakan pajak atas laba
usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang berkedudukan diluar negeri.
Kedudukan bentuk usaha tetap (permanent establishment dalam sistem perpajakan
Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat unik. Pada saat Undnag – Undang Pajak
Penghasilan 1984 diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1984, bentuk usaha tetap
dikelompokkan sebagai subjek pajak badan dalam negeri. Keadaan ini sangat berbeda dengan
yang berlaku dibanyak negara, dimana bentuk usaha tetap diperlakukan sebagai subjek pajak
luar negeri. Dalam perkembangannya kemudian, menurut Undang – Undang Nomor 10 Tahun
1994 sebagai Undang – Undang Perubahan dari Undang – Undang Pajak Penghasilan 1984,

1
bentuk usaha tetap tidak lagi dikelompokkan sebagai subjek pajak badan dalam negeri. Namun
demikian, kewajiban – kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak dalam
negeri. Keadaan ini masih tetap tidak berubaha setelah adanya Undang – Undang Nomor 17
Tahun 2000 dan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagai Undang – Undang Pajak
Penghasilan yang terbaru.
Pengaturan terhadap pemungutan pajak ini sangatlah penting. Selain menciptakan
adanya kepastian hokum yang lebih nyata, dengan demikian ini akan berfungsi sebagai salah
satu pendorong masuknya investasi asing. Dengan kata lain, suatu pengaturan pajak yang baik
membantu menciptakan iklim investasi yang favorable. Ini akan menguntung Indonesia
sebagai pasar investasi yang sangat strategis, akan meningkatkan perolehan keuangan Negara
yang bersumber dari perpajakan.
Dasar Hukum dari BUT:
• Undang – Undang Dasar 1945, pasal 23 A yang berbunyi “pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang – undang”.
• Ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 16
Tahun 2000 dan yang terakhir Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2007.
• Ketentuan dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan
• Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 602/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994
tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari
602/Bentuk Usaha Tetap Yang Ditanamkan Kembali di Indonesia juncto Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/Pj.4/1995 tanggal 8 Februari 1995 tentang
Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu
Bentuk Usaha Tetap yang Ditanamkan kembali di Indonesia.
• Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang
Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu
Bentuk Usaha Tetap. (Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 113/KMK.03/2002 tanggal
28 Maret 2002 menggantikan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 602/KMK.04/1994
tanggal 21 Desember 1994).

2
• Keputusan Menteri Keuangan Nomor :624/KMK.04/1994 tanggal 17 Desember 1994
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan berupa Premi Asuransi
yang dibayar kepada Perusahaan di Luar Negeri.
• Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 634/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994
tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang
mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia.
• Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 tentang
Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap?
2. Bagaimanakah penentuan laba Bentuk Usaha Tetap?
3. Bagaimana perlakuan perpajakan terhadap Bentuk Usaha Tetap sebagai wajib pajak
penghasilan?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap.
2. Untuk mengetahui penentuan laba Bentuk Usaha Tetap.
3. Untuk mengetahui perlakuan perpajakan terhadap Bentuk Usaha Tetap.

3
BAB II
ISI
2.1 Bentuk Usaha Tetap
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of
business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin – mesin,
peralatan, gudang, dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated
equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaaksi elektronik
untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian Bentuk Usaha Tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang
tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau
badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen,
broker, atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut
dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap
mempunyai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima
pembayaran premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia melalui pegawai,
perwakilan, atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa
peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi Indonesia. Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di
Indonesia.
Bentu Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
» BUT dapat berupa:

4
1. Tempat kedudukan manajemen
2. Cabang perusahaan
3. Kantor perwakilan
4. Gedung kantor
5. Pabrik
6. Bengkel
7. Gudang
8. Ruang untuk promosi dan penjualan
9. Pertambangan dan penggalian sumber alam
10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
12. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan
13. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan
lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan
14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
15. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di
Indonesia
16. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui
internet.
Bentuk Usaha Tetap dikenakan pajak atas penghasilan baik yang berasal dari usaha atau
kegiatan, maupun yang berasal dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian
semua penghasilan tersebut dikenakan pajak penghasilan di Indonesia.

2.2 Subjek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap


Dalam hal ini, Subjek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap adalah Subjek Pajak Luar
Negeri yang terdiri dari:
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang prbadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di

5
Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia.
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia.
Subjek Pajak Luar Negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak
karena menerima dana / atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau
menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan
yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Wajib Pajak Luar Negeri:
• Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di
Indonesia.
• Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto.
• Tarif pajak yang dipergunakan adalah tidak sepadan (tarif UU PPh pasal 26)
• Tidak wajib menyampaikan SPT
Subjek Pajak Luar Negeri melalui BUT dimulai saat menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui BUT di Indonesia dan berakhir saat tidak lagi menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri tidak melalui BUT dimulai saat menerima atau
memperoleh penghasilan di Indonesia dan berakhir saat tidak lagi menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia.

2.3 Objek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap


Yang menjadi objek pajak penghasilan BUT adalah:
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai.
Sebagai contoh, Communitel Ltd. yang bergerak dalam usaha penjualan satelit
komunikasi mempunyai cabang di Jakarta dengan nama Communitel Indonesia.
Apabila Communitel Indonesia memperoleh laba melalui usaha penjualan satelit

6
komunikasi, maka atas laba penjualan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan sebagai
pajak atas penghasilan Wajib Pajak BUT.
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau pemberian
jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan BUT di
Indonesia.
Sebagai contoh, New York Bank mempunyai cabang di Jakarta (New York Bank-
Indonesia). Apabila New York Bank memperoleh penghasilan berupa bunga atas
pinjaman yang diberikan tanpa melalui New York Bank Indonesia, maka penghasilan
bunga tersebut tetap dianggap sebagai penghasilan BUT (New York Bank Indonesia)
3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau
kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Sebagai contoh, Foodz Inc. menerima imbalan berupa royalty dari PT Lezzat. Dalam
rangka pemasaran produk, Foodz Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT
Lezzat melalui Foodz – Indonesia (BUT-nya di Indonesia). Dalam hal demikian,
pengguna merk dagang oleh PT Lezzat mempunyai hubungan efektif dengan BUT
di Indonesia. Oleh karena itu, penghasilan Foodz Inc. yang berupa royalti
diperlakukan sebagai penghasilan BUT (Foodz-Indonesia)

2.4 Penentuan Laba Bentuk Usaha Tetap


Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT ada beberapa ketentuan yang harus
diperhatikan, yaitu:
1. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan dibebankan adalah biaya yang
berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
2. Pembayaran oleh BUT kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai
biaya adalah:
a. Royalti atau imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak
lainnya
b. Imbalan sehungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya
c. Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan

7
Sebagainya konsekuensinya, atas pembayaran seperti tersebut di atas, yang diterima atau
diperoleh BUT dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali bunga yang
berkenaan dengan usaha perbankan.

2.5 Perlakuan pajak terhadap Bentuk Usaha Tetap


Cara menghitung penghasilan kena pajak bentuk usaha tetap, terlebih dahulu harus
diketahui dasar pengenaan pajaknya. Untuk Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha
Tetap (BUT) yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghasilan Kena Pajak. Sedangkan
untuk Wajib Pajak Luar Negeri adalah penghasilan bruto.
Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk Pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto.
Sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi dihitung sebesar penghasilan netto dikurangi
dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Secara singkat dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Penghasilan Kena Pajak (WP Badan) = Penghasilan Netto
Penghasilan Kena Pajak (WP Orang Pribadi) = Penghasilan Netto – PTKP
Cara menghitung Penghasilan Kena Pajak
Perhitungan besarnya Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap dapat dilakukan dengan du acara, yaitu:
1. Menggunakan pembukuan
2. Menggunakan norma penghitungan penghasilan netto
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap
Tahun Pajak berakhir. Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.
Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan
pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
• Diperbolehkan menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Netto

8
• Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan
pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan
lainnya. Sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan
pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan
penghasilan netto yang merupakan objek Pajak Penghasilan. Disamping itu pencatatan
meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dana tau yang dikenakan pajak yang
bersifat final.
Pembukuan atau pencatatan harus:
➢ Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau
kegiatan usaha yang sebenarnya,
➢ Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan
mata uang Rupiah, dan
➢ Disusun dalam Bahasa Indonesia atau dalam Bahasa Asing yang diizinkan oleh
Menteri Keuangan (misalnya, Bahasa Inggris)
Menghitung Penghasilan Kena Pajak dengan Menggunakan Pembukuan Besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap, ditentukan
berdasarkan pnghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk:
1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara
lain:
a. Biaya pembelian bahan
b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan yang diberikan dalam bentuk uang
c. Bunga, sewa, dan royalty
d. Biaya perjalanan
e. Biaya pengolahan limbah
f. Premi asuransi
g. Biaya promosi dam penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan
h. Biaya administrasi

9
i. Pajak, kecuali Pajak Penghasilan
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun
3. Iuran kepada dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimilik / untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
5. Kerugian selisih kurs mata uang asing
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan
8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
➢ Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial
➢ Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak
➢ Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara, atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang / pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau
adanya pengakuan dari debitur bahwa untungnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu
➢ Syarat sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak berlaku untuk penghapusan piutang
tak tertagih debitur terkecil
9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
11. Pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
12. Sumbanagn fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
dan
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

10
14. Kompensasi kerugian fiskal tahun sebelumnya (maksimal 5 tahun).
1. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen
yang dibagikan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi.
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota.
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang
b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan social uang dibentuk
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
c. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan
d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
f. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri
untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuannya dan syarat-syaratnya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar
oleh pemberi kerja dan premi asuransi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi
Wajib Pajak yang bersangkutan.
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi
seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan
di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan.
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali

11
➢ Sumbangan yang diperbolehkan dikurangkan
➢ Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah
➢ Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agam yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah
8. Pajak penghasilan
9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau
orang yang menjadi tanggungannya.
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham.
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangan-undangan dibidang
perpajakan.
12. Biaya-biaya (pengeluaran) untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
yang:
➢ Dikenakan PPh yang bersifat final
➢ Bukan oleh PPh
13. Biaya-biaya (pengeluaran) untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang PPh-nya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Netto.

2.5.1 Tarif Pajak Bentuk Usaha Tetap


Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan
dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%. Tarif pajak bagi Wajib Pajak
badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, mulai berlaku sejak tahun pajak 2010,
diturunkan menjadi 25%.
Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya

12
dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif yang
berlaku.
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% yang
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp
4.800.000.000,00.
Cara Menghitung Pajak
Pajak Penghasilan (bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap)
setahun dihitung dengan cara mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif pajak
sebagaimana diatur dalam UU PPh Pasal 17. Untuk menghitung PPh dapat digunakan
rumus sebagai berikut:
➢ Pajak Penghasilan (Wajib Pajak Badan)
= Penghasilan Kena Pajak x tarif pasal 17
= Penghasilan netto x tarif pasal 17
= (Penghasilan bruto – biaya yang diperkenakan UU PPh) x tarif pasal 17
➢ Pajak Penghasilan (WP Orang Pribadi)
= Penghasilan Kena Pajak x tarif pasal 17
= (Penghasilan netto – PTKP) x tarif pasal 17
= [(Penghasilan bruto – biaya yang diperkenakan UU PPh) – PTKP] x tarif pasal 17
Catatan: Untuk keperluan penghitungan PPh yang terutang pada akhir tahun,
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh

2.5.2 Perlakuan Pajak Terhadap Bentuk Usaha Tetap yang Ditanamkan kembali Di
Indonesia
Perlakuan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penhasilan dari suatu Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia, akan dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20% (bersifat final), kecuali
penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia. Penanaman kembali tersebut
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi
Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri

13
2. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana
dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan
akte pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan
3. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling lama tahun
pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut
4. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling singkat dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan baru tersebut telah berproduksi
komersial
Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali, wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman yang dilakukan kepada
Dirjen Pajak sebagai lampiran SPT Tahunan PPh tahun pajak diterima atau diperolehnya
penghasilan yang bersangkutan.

14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Penentuan subjek pajak sangat penting dalam sistem pemungutan PPh karena subjek pajak
adalah pihak yang ditunjuk untuk membayar Pajak Penghasilan. Saat bentuk usaha tetap
menjadi subjek pajak dan pada saat yang bersamaan sekaligus juga menjadi wajib pajak
luar negeri, adalah pada saat orang pribadi atau badan luar negeri mempunyai hubungan
ekonomis dengan Indonesia. Pemenuhan kewajiban perpajakan BUT dipersamakan
dengan wajib pajak dalam negeri. Bentuk Usaha Tetap antara lain berkewajiban
mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) sebagai sarana untuk menetapkan
besarnya pajak terutang dalam suatu tahun pajak, serta pengenaan pajaknya dilaksanakan
atas Penghasilan Kena Pajak dengan menggunakan tarif umum seperti yang berlaku untuk
wajib pajak dalam negeri pada umunya. Hal tersebut selaras dengan dengan prinsip
pemajakan Internasional yang menghendaki perlakuan non diskriminasi dan kesetaraan
perlakuan (equal treatment). Berdasarkan UU PPh yang berlaku di Indonsia, Bentuk Usaha
Tetap dikenakan pajak per basis territorial yang hanya sebatas pada penghasilan yang
diperoleh dari sumber di Indonesia (tempat BUT menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan)
2. Wajib Pajak Luar Negeri yang menerima penghasilan yang bersumber di Indonesia dapat
dilakukan dengan cara:
a) Menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia (active income) dan memenuhi syarat
sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) menurut UU PPh bisa didasarkan pada tarif
tertentu yang diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan dan tarif umum Pasal 17 dan
23 UU PPh.
b) Menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia (active income) dan belum memenuhi
syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemajakan terhadap penghasilan Wajib
Pajak Luar Negeri ini terutang PPh Pasal 26 menurut UU PPh dan kewajiban

15
perpajakannya menjadi tanggung jawab sebjek pajak dalam negeri yang membayarkan
penghasilan kepada subjek pajak luar negeri tersebut.

3.2 Saran
Dan dari kesimpulan yang telah diperoleh tersebut, perlu kiranya untuk disampaikan saran
sebagai berikut :
1. Kebijakan pemerintah Indonesia dalam pembuatan tax treaty diharapkan akan membantu
investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia dengan perlindungan
hukum dan pengenaan pajak yang tepat sehingga mampu pula meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia.
2. Indonesia harus segera melaksanakan deregulasi dan debirokratisasi dalam bidang
perdagangan terutama dalam bidang perpajakan sebagai salah satu sumber penerimaan
negara untuk kemandirian bangsa Indonesia serta peningkatan sumber daya manusia
aparat perpajakan Indonesia. Apalagi dengan akan dibukanya Economy Community
ASEAN dalam waktu dekat ini dimana Indonesia belum mempunyai regulasi untuk
mempersiapkan ini.

16
DAFTAR PUSTAKA
Wirawan B. Ilyas. Pajak Penghasilan, (Jakarta: Lembaga Penerbit UI, 2007);
Siti Resmi. Perpajakan Teori & Kasus, (Yogyakarta: Salemba Empat, 2007);
Gunadi. Pajak Internasional, (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2007);
Agus Setiawan dan Basri Musri. Perpajakan Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006).
Zakaria, J. (2005). Perlakuan Perpajakan terhadap Badan Usaha Tetap. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
http://foreverlove-devdevia.blogspot.co.id/2014/01/bentuk-usaha-tetap-makalah-
perpajakan.html

17

Anda mungkin juga menyukai