Anda di halaman 1dari 2

Syukur Bukti Cinta Pada Allah

Bagaimana perasaan kita ketika ada orang yang minta bantuan pada kita, lalu setelah dibantu ia lantas
pergi begitu saja tanpa mengucapkan terimakasih sama sekali? Lebih parah lagi, di hari berikutnya kita
mendapat berita bahwa orang yang kita bantu itu menggunjingkan kita bersama teman-temannya?
Tentu hati kita akan sakit sekali. Ini hanya perumpamaan sederhana tentang seorang hamba yang tidak
pandai bersyukur. Setiap hari, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik ia selalu mendapat curahan
rahmat dan nikmat dari Allah swt, tapi satu kali pun ia tak pernah merenungkan dan menghayati nikmat-
nikmat tersebut, perenungan dan penghayatan yang membuatnya benar-benar bersyukur kepada Allah
swt. Sayangnya, syukur yang kita lakukan hanya seremonial belaka. Di berbagai kesempatan, para
pembicara senantiasa mengawali pembicaraannya dengan mengajak para audien bersyukur kepada
Allah swt. Tapi apakah ajakan itu benar-benar kita turuti dan hayati? Sedikit sekali. Rata-rata itu hanya
seremonial dan retorika belaka. Ini perlu menjadi perhatian kita bersama.

Kalau ditanya, apa sebenarnya hakikat bersyukur itu? Barangkali dialog berikut dapat memberi jawaban
yang tepat. Dalam kitab Fadhilah Syukur karya Imam al-Khara-ithi hal 12, ia menulis: Suatu hari Sari as-
Saqathi melontarkan pertanyaan kepada ulama sufi terkenal Imam al-Junaid. Ia berkata: “Wahai Abul
Qasim, apa hakikat dari syukur itu?” Abul Qasim al-Junaid menjawab: “Hakikat syukur adalah tidak
menggunakan satupun dari nikmat yang diberikan Allah untuk bermaksiat kepada-Nya.”

Itulah hakikat syukur; tidak menggunakan satupun dari nikmat Allah untuk bermaksiat. Jadi, kalau ingin
bermaksiat kepada Allah silahkan saja, tapi dengan satu syarat: jangan gunakan satupun dari nikmat
yang Allah berikan, jangan gunakan mata pemberian-Nya, jangan gunakan tangan pemberian-Nya,
jangan gunakan akal pemberian-Nya. Bisa? Tentu mustahil.

Nikmat Allah swt itu sangat banyak, tak kan pernah bisa dihitung. Dari hal yang paling besar sampai hal
yang paling kecil.

)34 :‫صوهَا (سورة إبراهيم‬ ْ ُ ‫ة اللهِ اَل ت‬


ُ ‫ح‬ َ ‫م‬
َ ْ‫ن تَعُدُّوا نِع‬
ْ ِ ‫وَإ‬
Suatu hari Rasulullah saw masuk ke rumahnya. Di rumah ada Sayyidah Aisyah. Tiba-tiba Rasulullah saw
melihat sepotong roti tercampak di lantai. Lalu Rasulullah saw mencuci potongan roti tadi dengan
tangannya yang mulia, lalu ia berpesan kepada isteri tercintanya Sayyidah Aisyah: “Wahai Aisyah,
muliakanlah nikmat Allah, karena jika ia pergi ia sulit untuk kembali.” (Hadits riwayat Ibnu Majah no
3353). Maka, jangan pernah remehkan nikmat Allah sekecil apapun itu dalam pandangan kita. Jangan
buang-buang meski sebutir nasi, sekerat daging, sepotong ikan dan sebagainya. Mungkin bagi sebagian
kita nikmat itu kecil, tapi tahukah kita, oleh banyak orang di belahan dunia lain segelas air bersih jauh
lebih berharga dari sebongkah emas.

Sekarang, bagaimana cara kita bersyukur? Tentu banyak cara, tapi yang paling penting adalah kita
menyadari sesadar-sadarnya bahwa semua nikmat yang kita rasakan berasal dari Allah swt dan kita tak
akan pernah mampu membalasnya meskipun seluruh hidup kita digunakan untuk beribadah.
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab Zuhud juz 1 hal 140: “Suatu kali Nabi Musa
bermunajat kepada Allah: “Ya Allah, bagaimana mungkin aku bisa mensyukuri semua nikmat-Mu,
sementara nikmat paling kecil saja yang Engkau berikan tidak akan terbalas dengan semua amalanku.”
Allah swt pun berfirman: “Hai Musa, sekarang kau telah bersyukur.”

Jadi, syukur yang paling tinggi adalah menyadari bahwa bagaimanapun amalan yang dilakukan niscaya
tidak akan mampu membalas secuil nikmat dari Allah swt. Ketika kita merasa bahwa ibadah yang kita
lakukan bisa membalas secuil nikmat Allah maka ketika itu kita telah kufur terhadap nikmat-Nya.

Sebagai penutup, mari kita renungi pesan berharga dari khalifah ar-rasyid kelima yang sangat terkenal;
Umar bin Abdul Aziz. Ia berpesan: “Ikat semua nikmat Allah itu dengan senantiasa bersyukur.”

Anda mungkin juga menyukai