Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Semua sel dan jaringan tubuh mausia terendam dalam cairan yang
komposisinya mirip dengan air laut, yang mencerminkan awal evolusi manusia.
Agar fungsi sel berlangsung normal komposisi cairan harus relatif konstan.
Komposisi cairan tersebut terdiri dari air dan zat terlarut baik yang termasuk
elektrolit ataupun yang non elektrolit dimana keduanya saling berhubungan dan
saling menyeimbangkan.Cairan dalam tubuh manusia terbagi manjadi cairan
intraselular dan ekstraselular, dan cairan ekstraselular dibagi menjadi cairan
interstisial dan intravaskular. Semua pembagian ini pada prinsipnya saling
menyeimbangkan. Jika tubuh melewati batas kompensasinya maka diperlukan
sejumlah besar cairan intravena untuk mengkoreksi kekurangan cairan. Jika
kompensasi ini tidak terjadi atau tidak adanya penanganan yang adekuat maka
akan berdampak perfusi ke jaringan akan terganggu bahkan akan mengakibatkan
kematian jaringan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tonisitas
Tonisitas larutan dapat ditentukan dengaan menggunakan beberapa cara
seperti dangan menggunakan metode hemolisis, pengarug berbahai larutan obat
diperiksa berdasarkan efek yang timbul ketika disuspensikan dengan darah.
Dalam menentukan pengukuran tonisitas, Husa dan rekannya menyimpulkan
bahwa suatu larutan yang hipotonis akan membebaskan oksihemoglobin dalam
perbandingan yang sama dalam perbandingan yang sama dengan jumlah sel-sel
yang dihemolisisnya. Atas dasar tersebut dapat ditentukan factor van’t Hoff, untuk
kemudian dibandingkan dengan nilai yang diperoleh dari data krioskopik,
koefisien keaktifan dan koefisien osmosis. Metode untuk menentukan sifat
koligatif larutan, metode ini didasarkan atas pengukuran peubahan temperature
yang naik dari perbedaan tekanan uap sampel terisolasi yang ditempatkana dalam
sebuah ruang kelembapan yang tetap ( Martin, 1990 ).
Suatu larutan dikatakan isotonis terhadap cairan lainnya bila memiliki
tekanan tekakan osmosa yang sama. Bila cairan yang satu tekanan osmosanya
lebih tinggi dari pada yang lain, maka cairan yang lebih tinggi dikatakan
hipertonis terhadap yang lebih rendah. Sebaliknya cairan yang memiliki tekanan
osmosa yang lebih rendah disebut hipotonis terhadap caitan yang lebiih tinggi
tekanan oamosanya ( Mirawati, 2014 ).

2.2 Metode Pengaturan Tonisitas


Metode untuk pengaturan tonisitas dapat dikelompokkan dalam 2 kelompok.
Metode kelompok pertama, beberapa macam zat inert, seperti Natrium Klorida
(NaCl) atau dekstrosa, atau ditambahkan larutan untuk menurunkan suhu bekunya
sesuai dengan penurunan titik beku darah (-0,52). Lalu dibuat isotonik dengan
penambahan eksipien inert, sejumlah kuantitas air yang telah diperhitungkan
ditambahkan pada kandungan padat total (obat) untuk dibuat isotonis, yang
selanjutnya diencerkan dengan pelarut yang isotonis sampai mencapai volume
akhir.
2.1.1 Metode Ekuivalensi NaCl
Cara ini dengan mengkonversi nilai zat ke NaCl, harga ekuivalennya
ditunjukkan nilai E yang bisa dilihat di farmakope.
V = Ʃ (ExC) x 111,1
Keterangan :
V = larutan yang sudah isotonis
E = ekivalensi NaCl bahan obat
C = berat zat dalam gram
111,1 = volume 1 gram NaCl yang isotonis
2.1.2 Metode Penurunan Titik Beku
Cairan tubuh setara 0,9% NaCl mengalami penurunan titik beku
sebesar 0,52oC, oleh karena itu sediaan dikatakan isotonis apabila
mengalami penurunan titik beku 0,52oC.
Untuk memperoleh larutan isotonis maka NaCl yang ditambahkan sesui
rumus :
0.52 − 𝑎
𝑤=
𝑏
Keterangan :
0,52 = ∆Tb isotonis (NaCl)
W = Banyaknya bahan (g) yang dibutuhkan dalam 100 mL larutan
a = Turunya titik beku air akibat zat terlarut, dalam konsentrasi 1%
b/v = ∆Tb.C (konsentrasi zat)
b = Turunnya titik beku air yang dihasilkan oleh 1% b/v bahan
pembantu isotonis (NaCl) = 0,576.
2.1.3 Metode Liso
Apabila nilai ΔTb atau E tidak diketahui, maka dapat dicari dengan
menggunakan Rumus :
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑥 1000 𝐿𝑖𝑠𝑜
ΔTf = Liso x atau E = 17
𝐵𝑀 𝑥 𝑉 𝐵𝑀

Keterangan :
Liso = harga tetapan
m = berat zat terlarut
v = volume larutan
Contoh soal :
Antazolin Hidroklorida 0,5%
Benzalkonium klorida 0,01%
NaH2PO4 0,055%
Na2HPO4 1,04%
Aqua pro injeksi ad 75 mL
(E Antazolin HCl = 0,23 ; E Benzalkonium = 0,16)
Jawaban :
Tidak ada data ekivalensi NaCl untuk dapar fosfat, maka digunakan
metode Liso
Liso NaH2PO4 = 3,4, BM : 141,96
3,4
E = 17 141,96= 0,41

Liso Na2HPO4 = 4,3, BM : 119,98


4,3
E = 17119,98= 0,61

Bahan Massa (%) E (CxE)


Antazolin HCl 0,5 0,23 0,115
Benzalkonium 0,01 0,16 0,0016
klorida
NaH2PO4 0,055 0,41 0,02255
Na2HPO4 1,04 0,61 0,6344
Total kesetaraan NaCl 0,7735
Maka,
V = Ʃ (ExC) x 111,1
= 0,7735 x 111,1
= 85,93585 mL (larutan yang sudah isotonis)
Yang belum isotonis :
100-85,9414 = 14,06415 mL
NaCl yang harus ditambah agar isotonis :
0,9/100 x 14,06415 = 0,1265 g/100 mL
= 126,5 mg/100 mL
= 94,875 mg/75 mL
2.3 Osmolaritas
Osmolaritas adalah istilah kimia yang menggambarkan berapa banyak
molekul yang dilarutkan dalam cairan. Jika makin banyak zat-zat yang dilarutkan
dalam cairan, maka semakin tinggi osmolaritas tersebut. Osmolaritas darah inilah
yang akhirnya memicu dahaga ketika tubuh mencoba untuk mencairkan gula
tambahan. Otak adalah organ yang bertanggung jawab untuk memberitahu tubuh
bahwa Anda merasa haus. Ada sel-sel khusus di bagian otak yang mendeteksi
osmolaritas darah. Seiring dengan peningkatan osmolaritas, sel-sel ini
mengirimkan sinyal ke bagian lain dari otak untuk memicu respons haus.
Peningkatan osmolaritas bukan satu-satunya hal yang memicu kehausan,
penurunan tekanan darah juga dapat membuat orang merasa haus karena tubuh
mencoba untuk meningkatkan volume darah.

2.4 Osmosis
Osmosis adalah perpindahan zat ke larutan lain melalui semipermiabel
biasanya terjadi dari larutan yang konsentrasi yang kurang pekat ke larutan
dengan konsentrasi lebih pekat. Solut adalah zat pelarut, sedangkan solven
larutannya. Air merupakan solven, sedangkan garam adalah solut. Proses osmosis
penting dalam mengatur keseimbangan cairan eksta dan intra sel.
Sistem reverse osmosis menggunakan pompa untuk menghasilkan tekanan
yang lebih tinggi dari tekanan osmosis untuk mendorong air dari tekanan tinggi
melalui membran semipermiabel menuju ke daerah yang mempunyai tekanan
yang rendah.
Semakin tinggi konsentrasi zat terlarut dalam larutan, semakin rendah
konsentrasi air dalam larutan itu. Membran sel relatif inpermeabel terhadap zat
terlarut tapi sangat permeabel terhadap air, maka air berdifusi melintasi membran
sel menuju daerah dengan konsentrasi zat terlalu tinggi. Jika satu zat terlarut
seperti natrium atau klorida ditambahkan kedalam cairan ekstraseluler, maka air
akan berdifusi dari sel ke ruang ekstraseluler.
Besar tekanan yang dibutuhkan untuk mencegah osmosis disebut dengan
tekanan osmotik. Tekanan osmotik bukan merupakan tekanan yang menimbulkan
difusi akhir air melalui membran. Sebaliknya tekanan osmotik sama dengan besar
tekanan yang harus diberikan untuk mencegah difusi akhir melalui membran.
Semakin tinggi tekanan osmotik suatu larutan konsentrasi zat terlarut semakin
tinggi dan konsentrasi air semakin rendah. Jika tekanan osmotik berbanding
langsung terhadap konsentrasi partikel yang aktif secara osmotik dalam cairan dan
berbanding terbanding terhadap konsentrasi air.

2.5 Distribusi Cairan Tubuh


Komponen terbesar tunggal dari tubuh adalah air. Air bersifat pelarut
bagi semua yang terlarut. Air tubuh total atau Total Body Water (TBW)
adalah persentase dari berat air dibandingkan dengan berat badan total,
bervariasi menurut kelamin, umur, dan kandungan lemak tubuh. Air
membentuk sekitar 60% dari berat seorang pria dan sekitar 50% dari berat badan
wanita.
Jaringan lemak pada dasarnya bebas air. Oleh karena itu jika dibandingkan
dengan orang gemuk dengan kurus maka orang gemuk memiliki TBW yang relaif
kecil. Jaringan otot memiliki kandungan air yang tinggi. Maka jika wanita
dibandingkan dengan pria, akan ditemukan bahwa TBW pria lebih besar karena
sedikit jaringan lemak dan banyaknya masa otot.
Air didistribusikan antara dua kompartemen yang dipisahkan oleh membran
sel. Pada orang dewasa kira-kira 40% berat badannya atau 2/3 dari TBW nya
berada di cairan intrasel atau intracellular fluid (ICF) dan sisanya 1/3 dari TBW
atau 20% berada cairan ekstra sel atau extraxellular fluid (ECF). Cairan ekstrasel
terbagi lagi kedalam kompartemen cairan intravaskular (IVF) sebesar 5% dari
TBW dan cairan interstisial (ISF) sebesar 15%. Sebesar 1-2% tergolong kedalam
cairan transeluler seperti cairan serebrospinal, intraokular dan sekresi saluran
cerna dan kesemua bagian ini memiliki komposisi elektrolit masing-masing. Zat
terlarut yang ada dalam cairan tubuh terdiri dari elektrolit dan non elektrolit. Non
elektrolit adalah zat terlarut yang tidak terlarut dan tidak bermuatan lisrtrik yang
terdiri dari protein, urea, glukosa, oksigen, kardondioksida dan asam-asam
organik. Garam yang terurai didalam air menjadi satu atau lebih partikel-partikel
bermuatan disebut ion atau elektrolit. Elektrolit tubuh terdiri dari natrium (Na+),
kalium (K+), kalsium (Ca2+), magnesium (Mg2+), klorida (Cl-), bikarbonat
(HCO3-), fosfat (HPO42-) dan sulfat (SO42-). Ion yang bermuatan posisitf
disebut kation dan yang bermuatan negatif disebut anion.
2.5.1 Cairan Intraseluler
Membran sel bagian luar memegang peranan penting dalam mengatur
volume dan komposisi intraselular. Pompa membran-bound ATP-dependent
akan mempertukarkan Na dengan K dengan perbandingan 3:2. Oleh karena
membran sel relatif tidak permeable tehadap ion Na dan ion K, oleh
karenanya potasium akan dikonsentrasikan di dalam sel sedangkan ion
sodium akan dikonsentrasiksn di ekstra sel. Potasium adalah kation utama
ICF dan anion utamanya adalah fosfat. Akibatnya, potasium menjadi faktor
dominant yang menentukan tekanan osmotik intraselular, sedangkan sodium
merupakan faktor terpenting yang menentukan tekanan osmotik
ekstraselular. Impermeabilitas membran sel terhadap protein menyebabkan
konsentrasi protein intraselular yang tinggi. Oleh karena protein merupakan
zat terlarut yang nondifusif (anion), rasio pertukaran yang tidak sama dari 3
Na+ dengan 2 K+ oleh pompa membran sel adalah hal yang penting untuk
pencegahan hiperosmolaritas intraselular relatif. Gangguan pada aktivitas
pompa Na-K-ATPase seperti yang terjadi pada keadaan iskemi akan
menyebabkan pembengkakan sel.
2.5.2 Cairan Ekstraseluler
Fungsi dasar dari cairan ekstraselular adalah menyediakan nutrisi bagi
sel dan memindahkan hasil metabolismenya. Keseimbangan antara volume
ektrasel yang normal terutama komponen sirkulasi (volume
intravaskular)adalah hal yang sangat penting. Oleh sebab itu secara
kuantitatif sodium merupakan kation ekstraselular terpenting dan
merupakan faktor utama dalam menentukan tekanan osmotik dan volume
sedangkan anion utamanya adalah klorida (Cl-), bikarbonat (HCO3-).
Perubahan dalam volume cairan ekstraselular berhubungan dengan
perubahan jumlah total sodium dalam tubuh. Hal ini tergantung dari sodium
yang masuk, ekskeri sodium renal dan hilangnya sodium ekstra renal.
2.5.3 Cairan Interstisial
Normalnya sebagian kecil cairan interstisial dalam bentuk cairan
bebas. Sebagian besar air interstisial secara kimia berhubungan dengan
proteoglikan ekstraselular membentuk gel. Pada umumnya tekanan cairan
interstisial adalah negatif ( kira-kira -5 mmHg). Bila terjadi peningkatan
volume cairan iterstisial maka tekanan interstisial juga akan meningkat dan
kadang-kadang menjadi positif. Pada saat hal ini terjadi, cairan bebas dalam
gel akan meningkat secara cepat dan secara klinis akan menimbulkan
edema. Hanya sebagian kecil dari plasma protein yang dapat melewati celah
kapiler, oleh karena itu kadar protein dalam cairan interstisial relatif rendah
(2 g/Dl). Protein yang memasuki ruang interstisial akan dikembalikan
kedalam sistim vaskular melalui sistim limfatik.
2.5.4 Cairan Intravaskular
Cairan intravaskular terbentuk sebagai plasma yang dipertahankan
dalam ruangan intravaskular oleh endotel vaskular. Sebagian besar elektrolit
dapat dengan bebas keluar masuk melalui plasma dan interstisial yang
menyebabkan komposisi elektrolit keduanya yang tidak jauh berbeda.
Bagaimanapun juga, ikatan antar sel endotel yang kuat akan mencegah
keluarnya protein dari ruang intravaskular. Akibatnya plasma protein
(terutama albumin) merupakan satu-satunya zat terlarut secara osmotik aktif
dalam pertukaran cairan antara plasma dan cairan interstisial. Peningkatan
volume ekstraselular normalnya juga merefleksikan volume intravaskular
dan interstisial. Bila tekanan interstisial berubah menjadi positif maka akan
diikuti dengan peningkatan cairan ekstrasel yang akan menghasilkan
ekspansi hanya pada kompartemen cairan interstisial. Pada keadaan ini
kompartemen interstisial akan berperan sebagai reservoir dari kompartemen
intravaskular. Hal ini dapat dilihat secara klinis sebagai edema jaringan.
Koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
“plasma substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid
terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas
osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu
paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Seperti disebutkan sebelumnya,
koloid adalah molekul besar yang tidak melintasi hambatan diffusional
secara mudah seperti kristaloid. Cairan koloid dimasukkan ke dalam ruang
vaskuler. Olehkarena itu koloid memiliki kecendrungan yang lebih besar
untuk tetap bertahan dan meningkatkan volume plasma dibandingkan
dengan cairan kristaloid.

2.6 Isotonis, Hipertonis dan Hipotonis

Gambar 2.1 Tekanan osmotik dalam darah


2.6.1 Isotonis
Isotonis adalah suatu keadaan tonisitas (tekanan osmosis) larutan obat
yang sama dengan tonisitas cairan tubuh kita.
2.6.2 Hipertonis
Hipertonis, turunannya titik beku besar yaitu tekakan osmosisnya
lebih tinggi dari serum darah sehingga menyebabkan air keluar dari sel
darah merah melintasi membran semipermiabel dan menyebabkan
terjadinya penciutan sel-sel darah merah,peristiwa demikian disebut
plasmolisa.
Hipertonis adalah tekanan osmosis larutan obat lebih besar dari pada
tekanan osmosis cairan tubuh. Jika larutan injeksi hipertonis disuntikkan, air
dalam sel akan ditarik luar dari sel sehingga sel akan mengerut, tetapi
keadaan ini bersifat sementara danidak akan menyebabkan kerusakan sel
tersebut.
2.6.3 Hipotonis
Hipotonis turunannya titik beku kecil, yaitu tekanan osmosisnya lebih
rendah dari serum darah sehingga menyebabkan air akan melintasi membran
sel darah merah yang permiabel memperbesar sel darah merah dan
menyebabkan peningkatan tekanan dalam sel. Tekakan yang lebih besar
menyebabkan pecahnya sel-sel darah merah, peristiwa tersebut disebut
hemolisa.
Hipotonis adalah tekanan osmosis larutan obat lebih kecil daripada
tekanan osmosis cairan tubuh, jika larutan injeksi yang hipotonis
disuntikkan, air dari larutan injeksi akandiserap dan masuk kedalam sel,
akibatnya sel akan mengembang dan peeah, dankeadaan ini bersifat tetap,
jika yang pecah itu sel darah merah, disebut haemolisis.pecah sel ini akan
dibawa aliran darah dan dapat menyumbat pembuluh darah yang kecil.

2.7 Perhitungan Osmolaritas


Tekanan Osmolar adalah perpindahan pelarut dan zat terlarut melalui
membrane permeable yang memisahkan 2 komponen, dinyatakan dalam osmole
per liter.
𝑔 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑧𝑎𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡
M osmole/liter = 𝑥 1000 𝑥 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑜𝑛
𝐵𝑀 𝑧𝑎𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡
Tabel 2.1 Hubungan Antar Nilai Osmolaritas dengan Tonisitas
Osmolaritas (m osmol/liter) Tonisitas
> 350 Hipertonis
329-350 Agak hipertonis
270-328 Isotonis
250-269 Agak hipotonis
0-249 Hipotonis

Contoh soal :
lar. Dextrose 6%

(Mr dextrose = 198)

Osmolaritas
𝑔 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑧𝑎𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡
M osmole/liter = 𝑥 1000 𝑥 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑜𝑛
𝐵𝑀 𝑧𝑎𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡

60
= 198 𝑥 1000 𝑥 1

= 303,030 m Osmole/L
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Goeswin. 2013. Sediaan Farmasi Steril. Bandung : ITB.


Syamsuni, H.A. 2005. Faramsetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta : EGC
Syamsuni, H.A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta : ITB.

Anda mungkin juga menyukai