Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul Luka autoimun atau gangguan dermatologi
Makalah ini berisikan pembahasan Luka autoimun atau gangguan dermatologi.
Dalam penyusunan Makalah ini kami telah berusaha memberikan yang terbaik
dengan dukungan dari berbagai sumber atau literatur yang ada. Untuk itu kami
menghaturkan terima kasih kepada:
a. Orang tua yang telah memberikan dukungan finansial serta motivasi dalam
proses pendidikan.
b. Dosen pembimbing bapak
c. Teman kelompok yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini,
serta pihak-pihak lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
maka dari itu kritik serta saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat
kami perlukan demi kesempurnaan penulisan berikutnya. Harapan kami dengan
adanya makalah ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun pembaca.

Pontianak,10 September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Tujuan Penulisan...........................................................................................2
1. Tujuan Umum............................................................................................2
2. Tujuan Khusus...........................................................................................2
C. Ruang lingkup...............................................................................................2
D. Metode Penulisan..........................................................................................2
E. Sistematika Penulisan...................................................................................3
BAB II......................................................................................................................4
TINJAUAN TEORI.................................................................................................4
A. Definisi..........................................................................................................4
B. Jenis...............................................................................................................4
C. Etiologi..........................................................................................................5
D. Manifestasi klinis..........................................................................................9
E. Patofisiologi................................................................................................10
F. Pervalensi dan Insiden................................................................................10
G. Penataksanaan.............................................................................................11
H. Penataksanaan Luka Autoimun/ Gangguan Dermatologi...........................12
BAB III..................................................................................................................14
PENUTUP..............................................................................................................14
A. Kesimpulan.................................................................................................14
B. Saran............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Tubuh manusia mempunyai berbagai cara untuk melakukan proteksi.


Pertahanan pertama adalah barier mekanik, seperti kulit yang menutupi
permukaan tubuh. Kulit termasuk lapisan epidermis, stratum korneum,
keratinosit dan lapisan basal bersifat sebagai barier yang penting, mencegah
mikroorganisme dan agen perusak potensial lain masuk ke dalam jaringan
yang lebih dalam (Garna, 2001). Tetapi ketika seseorang terdapat kelainan
pada autoimun dapat berdampak pada beberapa penyakit yang dapat
menyebabkan masalah pada kulit seseorang.

Penyakit autoimun merupakan kondisi ketika sistem kekebalan tubuh


seseorang menyerang tubuh sendiri. Normalnya, sistem kekebalan tubuh
menjaga tubuh dari serangan organisme asing, seperti bakteri atau virus.
Namun, pada seseorang yang menderita penyakit autoimun, sistem kekebalan
tubuhnya melihat sel tubuh yang sehat sebagai organisme asing. Sehingga
sistem kekebalan tubuh akan melepaskan protein yang disebut autoantibodi
untuk menyerang sel-sel tubuh yang sehat. Penyakit Autoimun Kulit adalah
penyakit yang disebabkan oleh reaksi sistem kekebalan (sistem imun) tubuh
pada kulit dimana sel darah putih atau antibodi tubuh yang terlalu kuat
sehingga melawan jaringan tubuh sendiri atau protein ekstraselular (Wily,
2016)

Salah satu tanda dan gejala yang tampak dari disebabkan oleh kelainan
autoimun pada sistem kulit adalah termasuk rasa gatal dan menggaruk yang
menetap, lesi, luka, lepuh, dan kerusakan kulit lainnya serta kehilangan
pigmen kulit. Terdapat dua kasus penyakit autoimun yang sering ditemukan
yaitu Discoid lupus erythematosus (DLE) dan Pemphigus. Discoid lupus

1
2

erythematosus dapat berkembang menjadi Systemic Lupus Erythematosus


(SLE) (Wikipedia, 2020).

DLE merupakan penyakit inflamasi autoimun kronik yang muncul


dengan gejala klinis yang hanya terbatas pada kulit yaitu berupa lepuhan
(Hazlianda, Putri, C. 2014). Sedangkan Pemphigus vulgaris (PV) yang
merupakan kelompok penyakit vesikobulosa, menyerang kulit dan membran
mukosa (Prihanti & Jupri. 2013).

Ketika masalah pada penyakit autoimun yang berhubungan dengan


gangguan dermatologi tersebut tidak dilakukan penataksanaan yang baik akan
komplikasi menjadi luka, sehingga kelompok perlu membahas mengenai luka
autoimun atau gangguan dermatologi.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui konsep Luka autoimun atau gangguan dermatologi


2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi Luka autoimun atau gangguan dermatologi
b. Menegtahui etiologi Luka autoimun atau gangguan dermatologi
c. Mengenal jenis Luka autoimun atau gangguan dermatologi
d. Mengetahui fatofisiologi Luka autoimun atau gangguan dermatologi
e. Mengetahui prevalensi dan insiden Luka autoimun atau gangguan
dermatologi
f. Mengetahui penalaksanaan penyakit Luka autoimun atau gangguan
dermatologi
g. Mengetahui penalaksanaan pada luka Luka autoimun atau gangguan
dermatologi
3

C. Ruang lingkup

Ruang lingkup penulisan makalah ini membahas tentang konsep Luka


autoimun atau gangguan dermatologi
D. Metode Penulisan

Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan studi kepustakaan untuk


mendapatkan data dasar penulis menggunakan atau membaca referensi-
referensi yang berhubungan dengan konsep Luka autoimun atau gangguan
dermatologi

E. Sistematika Penulisan
Untuk lebih terarahnya penjelasan dan pembahasan maka sistematika
penulisan disusun atas empat bab, yaitu:

BAB 1 : Pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang, tujuan


penulisan, ruang lingkup penulisan, metode penulisan, dan
sistematika penulisan.

BAB II :Landasan teori yang menguraikan tentang konsep Luka autoimun


atau gangguan dermatologi

BAB III : Penutup yang terdiri dari kesimpulan, saran dan daftar pustaka
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi

Penyakit Autoimun Kulit adalah penyakit yang disebabkan oleh reaksi


sistem kekebalan (sistem imun) tubuh pada kulit dimana sel darah putih atau
antibodi tubuh yang terlalu kuat sehingga melawan jaringan tubuh sendiri atau
protein ekstraselular. Sistem imun tubuh terdiri atas sel darah putih, antibodi,
dan substansi lainnya yang berfungsi untuk melawan infeksi atau protein
asing. Penyakit autoimun menyerang organ yang bervariasi. Salah satu organ
yang dapat diserang pada kasus autoimun adalah kulit. Penyakit autoimun
pada lapisan dasar epidermis ditandai dengan kerusakan pada jaringan ikat dan
formasi vesikula pada lapisan subepidermis

Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat
proses patalogis yang berasal dari internal, eksternal dan mengenai organ
tertentu (Sinaga, 2012). Menurut Lostapa dkk. (2016), luka adalah rusaknya
kesatuan jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang
rusak atau hilang. Luka secara umum terdiri dari luka yang disengaja dan luka
yang tidak disengaja.Sedangkan menurut De Jong (2004) Luka adalah hilang
atau rusaknya sebagian jaringan atau tubuh.Keadaan ini dapat disebabkan oleh
trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan
listrik, gigitan hewan dll.
F. Jenis

Beberapa penyakit autoimun yang dapat menyebabkan gangguan pada kulit


hingga terjadi luka pada bagian kulit. Terdapat dua kasus penyakit autoimun
yang sering ditemukan yaitu Discoid lupus erythematosus (DLE) dan
Pemphigus :
1. Discoid lupus erythematosus (DLE)

4
5

DLE adalah bentuk dari penyakit lupus, kondisi kulit kronis yang
ditandai dengan luka, peradangan dan jaringan parut. Lupus eritematosus
merupakan penyakit inflamasi autoimun kronik yang muncul dengan
berbagai gejala klinis. Spektrum penyakit lupus eritematosus sangat
bervariasi, mulai dari hanya terbatas pada kulit (lupus eritematosus diskoid
atau LED) hingga melibatkan manifestasi sistemik yang dapat mengancam
kelangsungan hidup (lupus eritematosus sistemik atau SLE). Penyakit
lupus yang menyebabkan gangguan dengan kondisi kulit merah, muncul
ruam pada wajah, kulit kepala atau area tubuh lainnya.
Discoid lupus eritematosus (DLE) merupakan dermatosis kronis
yang meninggalkan luka parut, menyebabkan atrofi jaringan, dan
bersifat fotosensitif. DLE dapat muncul pada pasien sistemik lupus
eritematosus (SLE). Beberapa pasien memiliki lesi subakut kutan
lupus eritematosus(SCLE), beberapa pasien lainnya memiliki ruam yang
berkelanjutan. Penyakit DLE hanya mempengaruhi kulit dan tidak
menyebabkan penyakit sistemik (British Association of Dermatologist,
2011).
2. Pemfigus
Istilah pemphigus dari kata pemphix (Yunani) berarti melepuh atau
gelembung.Pemphigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berupa
bula yang timbul dalam waktu yang lama, menyerang kulit dan membran
mukosa yang secara histopatologik ditandai dengan bula interepidermal
akibat proses akantolisis. Lepuhan tersebut mudah pecah dan
meninggalkan bekas luka yang rentan terinfeksi.
Pemfigus secara esensial bisa dibagi menjadi tiga tipe utama yaitu:
vulgaris, foliaceus, dan paraneplastis. Pada pemfigus vulgaris lepuh terjadi
pada bagian yang lebih dalam dari epidermis, tepat diatas lapisan basal,
dan pada pemfigus foliaceus, yang jga disebut pemfigus superfisial, lepuh
berada pada lapisangranular. Walaupun lepuh pada pemfigus
paraneoplastis dan pefigus vulgaris terjadi padatingkatan epitelium
skuamuous terstratifikasi yang sama, namun pemfigus
6

paraneoplastisdibedakan menurut gambaran klinis, histologis, dan


imunologi yang unik

G. Etiologi
1. Discoid lupus erythematosus (DLE)
Beberapa literatur menyatakan adanya faktor endogen dan faktor eksogen
sebagai predisposisi terjadinya SLE, berikut faktor endogen:
a. Faktor Genetik
Faktor genetik meningkatkan adanya penemuan autoimun
dibandingkan dengan populasi lain. Kecenderungan meningkatnya
SLE yang terjadi pada anak kembar identik menggambarkan adanya
kemungkinan faktor genetik yang berperan dalam penyakit ini. Gen-
gen yang memiliki resiko tinggi terjadinya SLE terutama Human
Leukocyte Antigen-DR2 ( HLA-DR2) yang memunjukan sel-sel yang
mampu memiberikan antigen zat asing ke sel darah putih. HLA-DR3
yang mengurus geii struktural yang memproduksi berbagai jenis unsur
penting pada darah dan jaringan sel lupus. dan biasa terdapat linkage
SLE pada kromosom.
b. Faktor stress
Stress yang berlebihan meruakan pemicu aktifnya lupus. Odapus
akan merasa dalam lingkaran, karena ia sakit karena stress dan lupus
merupakan penyakit kronik yang menyebabkan seseorang akan lebih
rentan untuk merasa rendah diri, terbatas aktifitasnnya, dan jauh dari
pergaulan. Hal ini dapat bisa membuat Odapus stress dan membuat
daya tahan tubuh menurun sehingga menimbulkan infeksi. Demam
akan memperparah Lupus karena seorang yang membawa "gen" lupus
bisa memicu proses melalui virus dan bakteri yang berkembang karena
daya tahan tubuh menurun.
c. Faktor Endokrin
Faktor hormonal seks mempunyai peran penting dalam
perkembagan dan penelitian klinis pada SLE, Pada perenmpuan
7

Odapus yang sedang dalam masa hamil ditemukan adanya remisi


maupn kekambulhan dengan meningkatnya kadar ekstogen. Diketahui
pula pada saat periode menstruasi perempuan akan memiliki gejala
SLE yang lebih buruk. Dari 90 % dari Odapus yang berada diantara
usia 15- 45 tahun adalah perempuan. Pada laki-laki yang terkena SLE,
ditemukan tingkat hormon androgen dan testosteron yang lebih rendah
dibandingkan pria normal. Tetapi tidak ditemukan perbedaan pada
keduanya dalam hal aktifitas seks. potensi dan kesuburan
d. Antibodi dan Kompleks Imun
Autoantibodi adalah penanda lupus yang sering kali
mengahasilkan sesuatu yang tidak memiliki kepentingan klinis
maupun patologis dan menyerang sel tubuh dan jaringannya sendiri
Autoantibodi yang berperan dalam lupus dapat digolongan menjadi
enpat yaitm jantibodi yang terbentuk pada nucleus, seperti ANA Anti-
DNA,dan Anti-sm. antibodi yang terbentuk pada sitoplasma seperti
antibodi pada sel-sel yang berbeda jenis dan antibodi yang terbentuk
pada antigen. Biasanya untuk dapat mengetahui antibodi ini dilakukan
tes darah.
Faktor-faktor penyebab endogen terjadinyan DLE adalah sebagai berikut:
a. Sinar Matahari
Paparan sinar matahari langsung. merupakan salah satu faktor
yang memperburuk kondisi gejala SLE. Diperkirakan sinar matahari
dapat memancarkan sinar ultraviolet yang dapat merangsang
peningkatan hormon estrogen yang cukup banyak sehingga
mempermudah terjadinya reaksi autoimun dan juga dapat mengubah
struktur dari DNA sehingga memicu terciptanya autoantibodi. Sinar
melepaskan substansi (sitokin, prostaglandin) yang memicu inflamasi.
Ultraviolet menyebabkan sel-sel kulit Kemudian diserap ke dalam
aliran darah dan terbawa ke bagian tubuh lainnya. Akibatnya timbul
inflamasi pada berbagai organ tubuh yang terserang SLE.
b. Infeksi Virus
8

Partikel Ribonucleat Acid (RNA) virus telah ditemukan pada


jaringan ikat Virus-virus yang Odapus yang membuat reaksi respon
imun abnormal. Terlibat dalam penyebab SLE diantaranya myxoviruz,
reovirus, measle, parainfluenza, mump, Epstein-Ban, dan onco atau
retroviruz jenis C. Hal ini bisa diketahui dari adanya partikel-partikel
virus dalam jaringan lupus, dan dari beberapa catatatan yang
memunjukan bahwa mikroba bisa menyerupai zat-zat asing atau
antigen yang menyebabkan autoimun.
c. Makanan dan Minuman
Makanan dan minuman dalam kenasan. terutama minuman
berjenis isotonik yang mengandung zat pengawet. seperti Namion
Benzoate. dan Kalium Sorber serta yang mengandung kafein
menyebabkan gejala SLE. Sedangkan makanan yang dapat memicu
lupus bagi Odapus sendiri adalah yang mengandung L-doaianine dan
biasa terdapat pada jenis polong-polongan. selain itu juga makanan
yang nengandung pemanis buatan (Aspartam). serta sayuran yang
mengaudung belerang, misalnya kubis.dll
d. Obat- obatan
Obat-obatan dari jenis klorpromazin, metilpoda, isoniazid,
dilantin, penisilamin, kuinidine, hydralazine (obat hipertensi) dan
procainamide (untuk mengobati detak jantung yang tidak teratur), jika
terus dikonsumsi akan membentuk antibodi penyebab lupus.
Sedangkan untuk pengobatan yang dilakukan dalam kedokteran gigi
yang dianggap berbahaya dan dianggap sebagai pencetus penyakit
lupus adalah tambalan amalgam. yang disebabkan oleh kandungan
merkurinya.
2. Pemphigus
Penyebab pasti timbulnya penyakit ini belum diketahui, namun
kemungkinan yang relevan adalah berkaitan dengan faktor genetik, lebih
sering menyerang pasien yang sudah menderita penyakit autoimun lainnya
(terutama miastenia gravis dan timoma), serta dapat dipicu karena
9

penggunaan penisilin dan captopril. Kelainan pada kulit yang ditimbulkan


akibat PV dapat bersifat lokal ataupun menyebar, terasa panas kulit yang
ditimbulkan akibat PV dapat bersifat lokal ataupun menyebar, terasa
panas, sakit, dan biasanya terjadi pada daerah yang terkena tekanan dan
lipatan paha, wajah, ketiak, kulit kepala, badan, dan umbilicus.
Pemphigus Vulgaris mengenai semua ras dan jenis kelamin dengan
perbandingan yang sama. Penyakit ini banyak terjadi pada usia paruh baya
dan jarang terjadi pada anak-anak. Predisposisi pemphigus terkait dengan
faktor genetik. Anggota keluarga generasi pertama dari penderita
pemphigus lebih rentan terhadap penyakit ini daripada kelompok kontrol
dan memiliki antibodi anti desmoglein sirkulasi yang lebih tinggi. Genotip
MHC kelas II tertentu sering ditemukan pada pasien Pemphigus Vulgaris
dari semua ras. Alela subtype HLA-DRB10402 dan DRB1 0503 memberi
resiko terjadinya pemphigus dan menyebabkan adanya perubahan
struktural pada ikatan peptide, berpengaruh pada presentasi antigen dan
pengenalan oleh sel T.

H. Manifestasi klinis
1. Discoid lupus erythematosus (DLE)
Manifestasi klinis dari SLE sangat bervariasi. penyakit ini bisa timbul
mendadak disertai tanda-tandanya terkena berbagai sistem organ dalam
tubuh. seperti kulit. persendian. ginjal. jantung. paru-paru, dan sistem
saraf. Tahap awal DLE ditandai kehilangan pigmen kulit, kulit menjadi
merah, dan luka pada hidung. Palatum-nasale yang seharusnya kasar
menjadi halus, selain itu dapat terjadi erosi, ulserasi, dan luka pada
palatum nasale, nostril, cuping hidung, sekitar mata dan telinga. Bekas-
bekas luka dapat ditemukan pada kasus kronis dan parah.
2. Lesi Pemphigus
Pemfigus menunjuk pada sekelompok penyakit autoimun melepuh
pada kulit dan membran mukosa. Sebagian besar pasien pada mulanya
ditemukan dengan lesi oral yang tampak sebagai erosi yang bentuknya
10

ireguler yang terasa nyeri, mudah berdarah dan sembuhnya lambat. Bula
pada kulit akan membesar, pecah dan meninggalkan daerah-daerah erosi
yang lebar serta nyeri yang disertai dengan pembentukan krusta dan
perembasan cairan. Bau yang menusuk dan khas akan memancar dari bula
dan serumyang merembas keluar. Kalau dilakukan penekanan yang
minimal akan terjadi pembentukan lepuh atau pengelupasan kulit yang
normal (tanda Nikolsky). Kulit yangerosi sembuh dengan lambat sehingga
akhirnya daerah tubuh yang terkena sangat luas,superinfeksi bakteri sering
terjadi. .
I. Patofisiologi

Terdapat dua mekanisme toleransi sistem imun. Mekanisme pertama


yaitu seleksi secara positif oleh timus, dimana yang dipilih hanya sel T yang
dapat mengenali peptida pada molekul Histocompatability Complex (MHC).
Mekanisme kedua yaitu seleksi negatif, dimana sel T yang mengenali antigen-
sendiri dengan afinitas yang terlalu tinggi dihapus melalui proses apoptosis
dan tidak diizinkan untuk memasuki sirkulasi tubuh. Mekanisme yang
menginduksi sistem autoimun pada kulit berkaitan dengan MHC dan gen
apoptosis. Beberapa mekanisme yang berkaitan dengan penyakit autoimun
pada kulit yaitu :
1. Pelepasan antigen asing
2. Keberadaan faktor samar dari protein intraselular selama proses inflamasi
3. Aktivasi Sel T yang diinduksi oleh keberadaan antigen sendiri
4. Mimikri molekular oleh fragmen peptida tertentu oleh agen infeksius
terhadap protein induk
5. Reaksi imunologis melawan antigen-sendiri yang dimodifikasi.

J. Pervalensi dan Insiden


1. DLE
Prevalensi DLE di seluruh dunia berkisar antara 17-48 kasus
dalam populasi 100.000, dimana prevalensi tertinggi terjadi pada pasien
berusia 40-60 tahun. Pasien wanita berjumlah sepuluh kali lipat dari
11

pasien laki-laki. Cutaneous lupus erythematosus (CLE) terjadi 2-3


kali lebih sering padawanita. DLE dalam hal ini berperan dalam
50-85% kasus CLE, dimana insidensi CLE dalam studi Durusaro
(2009) sebanding dengan SLE (Durusaro,2009).DLE lebih sering
terjadi pada pasien dengan ras Afro-Amerikadibandingkan mereka
yang berkulit putih maupun pasien Asia. Rasio priaberbanding wanita
dalam DLE adalah 1:2. DLE lebih sering terjadi padapasien berusia 20-40
tahun, dengan rata-rata usia pasien kurang lebih 38 tahun (Callen, 2011).
2. Pemphigus
Prevalensi pemfigus 1-4 kasus per 100.000, dengan insidens 0,5-4
kasus per 1 juta orang per tahun; kejadian tertinggi di dunia terdapat di
Amerika Serikat dan Eropa. Dapat terjadi pada seluruh kelompok usia,
umumnya pada kelompok usia 50-60 tahun, sama antara pria dan wanita.
Pemfigus banyak terjadi pada keturunan Yahudi dan Timur Tengah,
berhubungan dengan human leukocyte antigen (HLA) DR4 dan DR6.
Pemfigus berdasarkan kelompok umur penderitanya dibagi menjadi
childhood pemphigus vulgaris jika mengenai anak kurang dari 12 tahun,
juvenile pemphigus jika mengenai anak usia 12-18 tahun. Angka
mortalitas kasus pemfigus mencapai 75% pada tahun pertama (Wiliam,V.
2016)
K. Penataksanaan
1. DLE
Penatalaksanaan LED bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum
penderita, mengontrol lesi dan menghambat terjadinya skar atrofi, serta
mencegah perkembangan lesi lebih lanjut. Penatalaksanaan diawali dengan
menggunakan pelindung terhadap paparan matahari. Pilihan pengobatan
secara sistemik yaitu menggunakan obat antimalaria dan obat-obat
imunosupresif lainnya seperti methotreksat, azathioprin. Pengobatan
topikal dengan kortikosteroid, kalsineurin inhibitor dan retinoid, selain itu
pilihan pengobatan lainnya yaitu menggunakan kortikosteroid intralesi
2. Lesi Pemphigus
12

Tujuan terapi adalah untuk mengendalikan penyakit secepat mungkin,


mencegah hilangnya serum serta terjadinya infeksi sekunder, dan
meningkatkan pembentukan ulang epitel kulit (pembaruan jaringan epitel).
Kortikosteroid diberikan dengan dosis tinggi untuk mengendalikan
penyakit danmenjaga agar kulit bebas dari bula. Kadar dosis yang tinggi
dipertahankan sampaikesembuhan terlihat jelas.Pada sebagian kasus,
terapi kortikosteroid harusdiipertahankan seumur hidup penderitanya.
Penggunaan Antibiotik, antiviral, dan antijamu dapat digunakan untuk
mengontrol atau mencegah infeksi.
L. Penataksanaan Luka Autoimun/ Gangguan Dermatologi

Luka terbuka pada gangguan dermatologi atau luka karena penyakit


autoimun membuat rentan terhadap infeksi, yang jika menyebar ke aliran
darah Anda, dapat berakibat fatal. Penatalaksanaan luka dengan cara

1. Membersihkan luka
Tujuan dilakukannya pembersihan luka adalah meningkatkan,
memperbaiki dan mempercepat proses penyembuhan luka; menghindari
terjadinya infeksi; membuang jaringan nekrosis dan debris. Pencucian
luka yang seksama 2 hingga 3 kali sehari akan membuang sekret yang
tercemar bakteri. Beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam
pembersihan luka yaitu:
a) Irigasi dengan sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk
membuang jaringan mati dan benda asing.
b) Hilangkan semua benda asing dan eksisi semua jaringan mati.
c) Berikan antiseptic
d) Bila diperlukan tindakan ini dapat dilakukan dengan pemberian
anastesi local.
e) Bila perlu lakukan penutupan luka.
2. Penutupan luka
13

Penutupan luka adalah mengupayakan kondisi lingkungan yang baik pada


luka sehingga proses penyembuhan berlangsung optimal. Hindari
penutupan primer pada luka terinfeksi dan meradang, luka kotor, gigitan
hewan dan manusia, luka remuk yang berat dan terabakan. Penutupan
plester menurunkan risiko terinfeksi dibanding penjahitan dan dapat
dipertimbangkan untuk luka berisiko tinggi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Penyakit Autoimun Kulit adalah penyakit yang disebabkan oleh reaksi


sistem kekebalan (sistem imun) tubuh. Penyakit autoimun salah satunya dapat
menyerang organ yang bervariasi. Salah satu organ yang dapat diserang pada
kasus autoimun adalah kulit. Penyakit autoimun pada lapisan dasar epidermis
ditandai dengan kerusakan pada jaringan ikat dan formasi vesikula pada
lapisan subepidermis serta dapat membuat luka pada kulit. Luka adalah hilang
atau rusaknya sebagian jaringan atau tubuh.Keadaan ini dapat disebabkan oleh
trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan
listrik, gigitan hewan dll.

Terdapat beberapa penyakit autoimun yang dapat menyebabkan luka pada


kulit atau terdapat gangguan dermatologi disebabkan oleh penyakit autoimun.
Terdapat dua kasus penyakit autoimun yang sering ditemukan yaitu Discoid
lupus erythematosus (DLE) dan Pemphigus. Discoid lupus erythematosus
dapat berkembang menjadi Systemic Lupus Erythematosus (SLE).

Manifestasi klinis awal DLE ditandai kehilangan pigmen kulit, kulit


menjadi merah, dan luka pada hidung. Palatum-nasale yang seharusnya kasar
menjadi halus, selain itu dapat terjadi erosi, ulserasi, dan luka pada palatum
nasale, nostril, cuping hidung, sekitar mata dan telinga. Bekas-bekas luka
dapat ditemukan pada kasus kronis dan parah. Sedangkan Pemfigus
menunjuk pada sekelompok penyakit autoimun melepuh pada kulit dan
membran mukosa. Sebagian besar pasien pada mulanya ditemukan dengan lesi
oral yang tampak sebagai erosi yang bentuknya ireguler yang terasa nyeri,
mudah berdarah dan sembuhnya lambat.

14
15

Penatalaksanaan pada penyakit autoimun bertujuan untuk memperbaiki


keadaan umum penderita, mengontrol lesi dan menghambat terjadinya skar
atrofi, serta mencegah perkembangan lesi lebih lanjut. Sedangkan
penataksanaan pada luka dengan.......

M. Saran
Bagi mahasiswa keperawatan setelah pemabahasan materi yang berhubungan
dengan Luka autoimun atau gangguan dermatologi mahasiswa bisa memahami
dan juga dapat menerapkan dalam penataksanaan asuhan keperawatan pada
klien dengan Luka autoimun atau gangguan dermatologi. Serta dalam
penyusuna makalah selanjutnya serta lebih memperbanyak untuk mencari
referensi terbaru dan buku-buku terbaru untuk melengkapi makalah
berikutnya.
16
DAFTAR PUSTAKA

Garna, H. (2001). Patofisiologi Infeksi Bakteri pada Kulit. Sari Pediatri ,


205-209.

Padila. (2012). Keperawatan Medikal Bedah . Yogjakarta: Nuha Medika.


Prihanti, A., & Jusri, N. (2013). Management of Suspected Pemphigus Vulgaris in
Elderly Patient with. Journal of Dentistry Indonesia , 20-24.

Putri, C., & Hazlianda. (2014). Lupus Eritematosus Diskoid. Departemen


Dermatologi dan Venereologi .

Rezki, S., & Setiawaty, T. (2009). Pemphigus Vulgaris : Pentingnya


Diagnosis Dini,Penatalaksanaan Yang Komprehensif Dan Adekuat. Indonesian
Journal of Dentistry , 1-7.

Ruska Putra, dkk. (2018). Pengaruh Pemberian Gel Chitosan Terhadap


Penyembuhan Luka Incisi Pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus). JIMVET E-
ISSN: 2540-9492, 442-449.

Wahyuni, I. S., Setiani Dewi, T., Herawati, E., & Zakiawati, E. (2016).
Profil lesi oral pada penderita penyakit autoimun. Majalah Kedokteran Gigi
Indonesia , 147-154.

Wikipedia. (2020). Penyakit autoimun kulit.

Wiliam, V. (2016). Pemfigus Vulgaris: Diagnosis dan Tatalaksana. CDK-


247/ vol. 43 , 905-908.

Yasmara, D., Nursiswati, & Arafat, R. (2017). Rencana Asuhan


Keperawatan Medikal-Bedah . Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai