Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi Teori

2.1.1 Definisi Daun Waru

Klasifikasi Tumbuhan

Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Malvales
Suku : Malvaceae
Marga : Hibiscus
Jenis : Hibiscus tiliaceus

Pohon waru (Hibiscus tiliance L) termasuk dalam suku Malcaceae. Tumbuhan tropis berbatang


sedang ini bisa tumbuh dipinggir jalan sebagai perindang maupun didekat pesisir atau ladang.
Tanaman ini bila tumbuh pada daerah yang subur maka batangnya akan tumbuh lurus dan daunnya
kecil akan tetapi bila tumbuhnya ditanah yang tidak subur maka batangnya akan membengkok dan
percabangan serta daunnya akan melebar.

“Dibanyak tempat yang bersesuaian, termasuk di Indonesia, tanaman ini  banyak ditemukan dipantai
yang tidak berawa, ditanah datar, dan dipegunungan hingga ketinggian 1700 meter di atas permukaan
laut”.

Pohon waru dapat tumbuh sampai tinggi 5-15 meter, garis tengah batang 40-50 cm, bercabang dan
berwarna coklat. Bunga waru merupakan bunga tunggal, bertaju 8-11. Panjang kelopak 2.5 cm
beraturan bercangap 5. Daun mahkota berbentuk kipas, panjang 5-7 cm, berwarna kuning dengan
noda ungu pada pangkal, bagian dalam oranye dan akhirnya berubah menjadi kemerah-merahan.
Tabung benang sari keseluruhan ditempati oleh kepala sari kuning. Bakal buah beruang 5, tiap rumah
dibagi dua oleh sekat semu, dengan banyak bakal biji. Buah berbentuk telur berparuh pendek, panjang
3 cm, beruang 5 tidak sempurna, membuka dengan 5 katup.

Daun waru merupakan daun tunggal, berangkai, berbentuk jantung, lingkaran lebar/bulat telur, tidak
berlekuk dengan diameter kurang dari 19 cm. Daun menjari, sebagian dari tulang daun utama dengan
kelenjar berbentuk celah pada sisi bawah dan sisi pangkal. Sisi bawah daun berambut abu-abu rapat.
Daun penumpu bulat telur memanjang, panjang 2.5 cm, meninggalkan tanda bekas berbentuk cincin.

2.1.2 Kandungan Kimia Daun Waru

Tabel 2.1 Kandungan kimia daun waru (% BK)

N Komposisi Kimia Jumlah


o

1 Abu (% BK) 10,79


2 Protein (% BK) 17,08

3 Lemak (% BK) 3,14

4 Serat Kasar (% BK) 22,77

5 Karbohidrat (% BK) 45,91

6 Saponin (mg/gr BK) 8,93

7 Total (% BK) 12,90

2.1.3 Manfaat Daun Waru

Sebagai makanan ternak.

Daun waru muda dapat dikonsumsi sebagai sayuran.

Obat penyubur rambut, dengan cara cuci kepala menggunakan air remasan daun waru muda akan
mendatangkan rasa sejuk serta menambah kesuburan rambut.

Obat pelarut dahak yang meringankan terhadap batuk-batuk berat serta terhadap dahak darah dengan
cara merebus daun muda dengan gula batu.

Obat minuman masuk angin dada ringan yang disertai batuk suara serak dan sukar mengeluarkan
dahak.

Pengobatan TB Paru, dengan cara rebusdaun waru segar dan tambahkan air gula.

Pengobatan radang usus, dengan cara makan daun waru muda yang masih kuncup sebagai lalap.

Pengobatan muntah darah, dengan cara giling daun waru segar, saring dan tambahkan air gula
secukupnya.

2.1.4 Definisi Detergen

“Detergen ialah bahan pembersih pakaian yang (spt. sabun yang tidak dibuat dari lemak atau soda dan
berupa tepung atau cairan)”.

Deterjen merupakan salah satu bahan pencuci atau pembersih yang mengandung zat aktif permukaan
dan zat-zataditif  lainnya untuk meningkatkan daya pencuci atau pembersihnya. Zat aktif permukaan
dalam deterjen mempunyai kemampuan untuk mengurangi tegangan permukaan air.

“Deterjen umumnya mengandung bahan-bahan yang dapat dikelompokkan menjadi surface-active


agenrs atau surfaktan builders atau zat pembangun dan additive substances atau bahantambahan”.

Zat aktif permukaan dalam deterjen mempunyai kemampuan untuk mengurangi tegangan permukaan
air.Zat aktif permukaan ini disebut juga dengan surfaktan.Dalam deterjen komersial
komposisi surfaktan hanya 10%-30%, yang lainya adalah zat aditif yang menambah kinerja
deterjen. Zat-zat aditif tersebut contohnya adalah builder (polifosfat), penukar ion, natrium karbonat,
natrum silikat, amida penstabil busa, karboksimetilselulosa (CMC), zat pengelantang,
pelembut, enzim, pencerah, pewangi, pelindung warna, natrium sulfat encer, Hal ini karena secara
mendasar surfaktan merupakan komponen terpenting dari suatu deterjen. Hal ini karena secara
mendasar surfaktanadalah zat yang meningkatkan kualitas pemasahan air (wetting qualities of water)
terhadap bahan yang dicuci.

Sifat fisika dan kimia surfaktan ditentukan oleh struktur molekul surfaktan itu sendiri.


Surfaktan mempunyai struktur amfifilik, yaitu dua ujung bagian molekul yang mengemban sifat
berbeda. Satu bagian molekul merupakan bagian polar atau ionik yang memiliki afinitas kuat terhadap
air, sedangkan bagian satunya merupakan rangka hidro karbon yang bersifat nonpolar dan tidak
menyukai air. Klasifikasi  surfaktan didasarkan pada jenis muatan bagian polar yang melekat dengan
rangka hidro karbonya atau bagian terbesar dari molekul surfaktan. Dalam hal ini maka surfaktan
Ndibedakan dalam garis besar menjadi 2, yaitu surfaktan ionik dan non ionik. Kemudian surfaktan
ionik terbagi menjadi 3, yaitu anionik, kationik, amfolitik.

Linier Alkylbenzene Sulfonate (LAS) adalah jenis surfaktan yang umum dipakai dalam deterjen


komersial dewasa ini. Deterjen ini dibuat dengan cara menempelkan gugus alkil rantai panjang pada
cicin benzena dengan katalis Friedel-Crafts dan alkali halida,alkena atau alcohol.
Dengan sulfonasi dan netralisasi dihasilkan surfaktan.

“Bahan pembentuk detrejen dari kompleks fosfat, seperti natrium tripolifosfat atau tetranatrium fosfat,


paling banyak digunakan karena jauh lebih baik dari pada bahan penurun kesadahan yang biasa
digunakan untuk menghilangkan ion Ca2+ da Mg2+”.

2.1.5 Bahaya Detergen

“Kadar surfaktan 1 mg/liter dapat mengakibatkan terbentuknya busa diperairan. Meskipun tidak


bersifat toksik, keberadaan surfaktan dapat menimbulkan rasa pada air dan dapat
menurunkan absorpsi oksigen di perairan”.

Kandungan fosfat dari deterjen yang tinggi di sungai, dapat juga merangsang tumbuhnya gulma air.
Peningkatan jumlah tanaman air akan menyebabkan peningkatan penguraian fosfat dan penghambatan
pertukaran oksigen dalam air, sehingga kadar oksigen terlalut dalam air amat rendah (mikroaerofil).

Walaupun sifat pencuciannya  lebih unggul, tetapi penggunaan fosfat sebagai pembentuk deterjen


semakin dikecam, karena fosfat dapat memperbesar eutrophication air permukaan (sungai dan danau-
danau), yaitu memperbesar persediaan makanan dalam air yang menyebabkan berkembang biaknya
ganggang dan tumbuh-tumbuhan lain, sehingga menghilangkan oksigen dalam air yang dibutuhkan
bagi kehidupan ikan, dan dapat mengubah sebagian kecil badan air menjadi rawa atau daratan. Oleh
karena itu perlu dibuat pembentuk deterjen pengganti dengan bahan tanpa fosfat.

Deterjen keras(digunakan untuk industri) berbahaya bagi ikan biarpun konsentrasinya kecil,


misalnya natrium dodesil benzene sulfonat dapat merusak insang ikan, biarpun hanya 5 ppm.
Tanaman air juga dapat menderita jika kadar deterjen tinggi. Kemampuan fotosintetis dapat terhenti.

“Deterjen dapat  menghambat proses pengolahan air dan air buangan, dapat menurunkan efisiensi
tangki sedimentasi, menghambat kerja pada grease removal”.
2.1.6 Definisi Saponin

“Saponin adalah senyawa dalam bentuk glikosida yang tersebar luas pada tumbuhan tingkat tinggi.
Saponin membentuk larutan koloidal dalam air dan membentuk busa yang mantap jika dikocok dan
tidak hilang dengan penambahan asam”.

“Saponin merupakan golongan senyawa alam yang rumit, yang mempunyai massa dan molekul besar,
dengan kegunaan luas”

Saponin diberi nama demikian karena sifatnya menyerupai sabun “Sapo” berarti


sabun. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa bila dikocok
dengan air. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba. Dikenal juga jenis saponin yaitu glikosida
triterpenoid dan glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai spirotekal.
Kedua saponin ini larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam eter. Aglikonya
disebut sapogenin, diperoleh dengan hidrolisis dalam suasana asam atau hidrolisis memakai enzim.

2.2 Hipotesis

Daun waru (Hibiscus Tiliance L) dapat diolah menjadi detergen ramah lingkungan dengan proses
pengolahan yang baik dan benar.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian
eksperimen (metode kuantitatif).

“ Metode penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mencari
pengaruh treatment (perlakuan) tertentu”.

3.2 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksperimentali dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK).

3.3 Alat dan Bahan

Biakan murni bakteri staphylococcos aureus dalam media nutriens cair yang berumur 24 jam

Media lempeng nutrient agar (NA) steril

Berbagai zat antiseptik : betadine, sabun yang mengandung antiseptik, iodium, wipol
Paper disc

Cotton buds

3.4 Metode Pelaksanaan

15 helai daun waru


menghasilkan sekitar 300 ml
30 helai daun waru dan
detergen cair, tetapi setelah di
menghasilkan sekitar 500
uji coba hasilnya kurang efektif
ml detergen cair, dan
dalam membersihkan noda
setelah di uji coba
hasilnya baik dalam
menghilangkan noda
yang menempel tetapi
belum sepenuhnya
hilang.

45 helai daun waru dan menghasilkan


sekitar 700 ml detergen cair, dan setelah
di uji coba hasilnya sangat baik dalam
menghilangkan noda yang menempel
pada pakaian.
BAB IV
BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN

1.1 Anggaran Biaya


No Jenis Pengeluaran Biaya
1 Perlengkapan Yang Diperlukan Rp 4.180.000
2 Bahan Habis Pakai Rp 2.045.000
3 Pejalanan Rp 3.000.000
4 Lain-lain Rp 1.100.000
Jumlah Rp 10.325.000

1.2 Jadwal Kegiatan


No Kegiatan
Bulan
12345
1 Pencarian materi untuk penelitian
2 Pencarian bahan-bahan untuk diteliti
3 Konsultasi tentang penelitian
4 Evaluasi

DAFTAR PUSTAKA
Francis, G. et al. (2002) ‘The Biological Action of Saponins in Animal Systems :
a Review’, British Journal of Nutrition, 88(2002), pp. 587–605. doi:
10.1079/BJN2002725.
Kinho, J. et al. (2011) Tumbuhan Obat Tradisional di Sulawesi Utara.
Kirk, R. . and Othmer, D. . (1982) ‘The Interscience and Encyclopedia Inc’.
Makkar, H. P. ., Siddhuraju, P. and Becker, K. (2007) Plant Secondary
Metabolites.
Netala, V. . et al. (2014) ‘Triterpenoid Saponins: A Review on Biosynthesis,
Aplications and Mechanism of Their Action’, International Journal Pharmaci, 7,
pp. 24–28. doi: 10.3390/molecules21101404.
Pujo, S. (2009) Tumbuhan Berkhasiat Obat.
Purnamasari, E. N. (2014) ‘Karakteristik Kandungan Linear Alkyl Benzene
Sulfonat (Las) pada Limbah Cair Laundry’, Jurnal Media Teknik, 11(1), pp. 32–
36.
S.Hut, S. and Hendrati, R. L. (2014) Perbanyakan Vegetatif dan Penanaman
Waru (Hibiscus Tiliaceus).
Santi, S. S. (2009) ‘Penurunan Konsentrasi Surfactan pada Limbah Detergen
dengan Proses Photokatalitik Sinar UV’, Jurnal Teknik Kimia, 4(1), pp. 260–264.
Suastuti, D. A., Suarsa, I. W. and Putra, D. K. (2015) ‘Pengolahan Larutan
Detergen dengan Biofilter Tanaman Kangkungan (Ipomoea Crassicaulis) dalam
Sistem Batch (Curah) Teraerasi’, Jurnal Kimia FMIPA, 9(1), pp. 98–104.
Sugiharto (1987) Dasar - Dasar Pengelolaan Air Limbah.
Sugiyono (2010) Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif.
Syamsuhidayat, S. . and Hutapea, J. . (1991) Inventaris Tanaman Obat Indonesia
I.

Anda mungkin juga menyukai