Anda di halaman 1dari 14

Nama: Monika Tessalonika H. M.

P
NIM: G0017137
Skenario 4, Blok 6.1 Obsgyn and Urology Disease

RINGKASAN BELAJAR MANDIRI

I. LO

1. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi BPH dan BSK


2. Mahasiswa mampu mengetahui alur diagnosis pada pasien dengan gangguan
berkemih
3. Mahasiswa mampu menjelaskan prosedur pemasangan DC dan pemeriksaan BNO
4. Mahsiswa dapat mengetahui Terapi dan Edukasi yang diberikan untuk pasien

II. Pembahasan

1. Patofisiologi BPH dan BSK

A. Benign Prostate Hyperplasia (BPH)

BPH terjadi pada zona transisi prostat, dimana sel stroma dan sel
epitel berinteraksi. Sel sel ini pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon
seks dan respon sitokin. Di dalam prostat, testosteron diubah menjadi
dihidrotestosteron (DHT), DHT merupakan androgen dianggap sebagai
mediator utama munculnya BPH ini. Pada penderita ini hormon DHT
sangat tinggi dalam jaringan prostat. Sitokin berpengaruh pada
pembesaran prostat dengan memicu respon inflamasi dengan menginduksi
epitel. Prostat membesar karena hyperplasia sehingga terjadi penyempitan
uretra yang mengakibatkan aliran urin melemah dan gejala obstruktif yaitu
: hiperaktif kandung kemih, inflamasi, pancaran miksi lemah.
Penyebab BPH masih belum jelas, namun mekanisme
patofisiologinya diduga kuat terkait aktivitas hormon Dihidrotestosteron

(DHT).

Gambar 1.1 Perubahan Testosteron Menjadi Dihidrotestosteron


Oleh Enzim 5α-reductase.

DHT merupakan suatu androgen yang berasal dari testosteron


melaui kerja enzim 5α-reductase dan metabolitnya, 5α- androstanediol
merupakan pemicu utama terjadinyaa poliferase kelenjar pada pasien
BPH. Pengubahan testosteron menjadi DHT diperantai oleh enzim 5α-
reductase. Ada dua tipe enzim 5α-reductase, tipe pertama terdapat pada
folikel rambut, kulit kepala bagian depan, liver dan kulit. Tipe kedua
terdapat pada prostat, jaringan genital, dan kulit kepala. Pada jaringan-
jaringan target DHT menyebabkan pertumbuhan dan pembesaran kelenjar
prostat.

B. Batu Saluran Kemih (BSK)

Batu saluran kemih terbentuk dari beberapa kondisi, yakni proses


supersaturasi dari ion-ion yang terdapat dalam urin (kalsium, oksalat,
asam urat, dan fosfat) dan kurangnya inhibitor (penghambat)
terbentuknya batu seperti sitrat, magnesium, seng, makromolekul dan
pirofosfat (Wells et al., 2012).
Batu saluran kemih ini terbentuk dari garam-garam ion yang
berkondensasi membentuk massa padat melalui proses supersaturasi,
dimana adanya hubungan ratio konsentrasi dari garam ion tersebut
dengan kelarutannya yang dapat diukur dengan algoritma komputer.
Jika nilai supersaturasi lebih kecil dari nilai 1 (satu), kristal-kristal zat
garam itu akan terurai, namun jika nilai supersaturasinya berada diatas
nilai 1 (satu), kristal zat garam tersebut akan terbentuk dan bertambah
besar (Coe et al., 2005).

Proses supersaturasi ini terjadi akibat hasil dari peningkatan kadar


zat terurai, seperti ion pembentuk zat garam ini disertai ada atau
tidaknya penurunan volume air. Ketika konsentrasi ion pembentuk batu
ini melebihi kadar kelarutannya didalam urin, maka ion ini akan
bersatu untuk membentuk kristal (Wells et al., 2012).

Menurut Stoller dalam buku Smith’s General Urology Seventh


Edition (2008), proses supersaturasi dari batu saluran kemih
bergantung pada:
1. Nilai pH urin
2. Kekuatan ikatan ionik
3. Konsentrasi zat terurai
4. Faktor kompleks yang memengaruhi beberapa jenis ion yang
spesifik,
seperti contohnya natrium yang cenderung berikatan dengan oksalat.

Proses pembentukan batu adalah suatu tahapan yang kompleks,


dimulai dari urin yang mengalami tahap supersaturasi dengan kadar
garam pembentuk batu, seperti ion dan molekul dari zat terlarut untuk
membentuk kristal dan inti. Ketika terbentuk maka kristal ini akan
mengikuti aliran urin keluar atau tertahan di ginjal dan menjadi awal
permulaan yang kemudian terjadi tahap pembentukan dan tahap
agregasi yang pada akhirya terbentuk batu (Pearle dan Lotan, 2012).
Gambar 1.2 Stadium Saturasi

Stoller (2008) mengelompokkan batu saluran kemih menjadi dua


golongan, yaitu:

1. Batu kalsium
2. Batu non-kalsium (struvit, asam urat, Cystine, Xantine,
Indinavir).

Gambar 1.3 Klasifikasi batu berdasarkan etiologi (Turk et al, 2014).

Menurut Pearle dan Lotan dalam buku Campbell-Walsh Urology


Tenth Edition (2012), klasifikasi batu pada saluran kemih atas dengan
faktor pemicunya antara lain:
a. Batu kalsium

i. Hiperkalsiuria; didefinisikan sebagai ekskresi kalsium dalam


urin yang melebihi 4 mg/kg/hari atau lebih dari 7 mmol/hari
pada laki-laki dan 6 mmol/hari pada perempuan.
ii. Hiperoksaluria; penyebabnya adalah gangguan tahapan
biosintesis (hiperoksaluria primer), malabsorpsi saluran
cerna yang disebabkan oleh inflammatory bowel disease, dan
konsumsi oksalat yang tinggi.
iii. Hiperurikosuria; didefinisikan sebagai kadar asam urat dalam
urin yang melebihi 600 mg/hari. Penyebabnya adalah
konsumsi purin yang tinggi dan penyakit yang didapat atau
herediter.
iv. Hipositraturia; keseimbangan asam basa sangat berpengaruh
besar terhadap ekskresi sitrat dalam urin, seperti asidosis
metabolik akan mengurangi kadar sitrat dalam urin.
Sebaliknya, pada keadaan alkalosis kadar sitrat dalam urin
akan meningkat, diikuti peningkatan kadar hormon
paratiroid, estrogen, growth hormone, dan vitamin D.
v. pH urin yang rendah; segala gangguan yang mengakibatkan
penurunan pH urin akan memicu terbentuknya batu.
vi. Asidosis tubular ginjal (Renal Tubular Acidosis); ditandai
dengan kerusakan tubular ginjal dalam sekresi ion hidrogen
atau reabsorpsi bikarbonat.

b. Batu asam urat


Gambar 1.4 Patofisiologi dan etiologi pembentukan batu asam urat.
c. Batu sistin

Beberapa faktor dapat memengaruhi kelarutan sistin termasuk


konsentrasi sistin, pH, ikatan ionik, dan makromolekul urin.

d. Batu infeksi

Komposisi utama batu infeksi adalah magnesium amonium,


fosfat heksahidrat (MgNH4PO4 • 6H2O) dan dapat terkandung
kalsium fosfat dalam pembentukan karbonat apatit (Ca10[PO4]6
• CO3).

e. Batu lainnya

i. Xanthine dan Dihydroxyadenine Stones


ii. Ammonium Acid Urate Stones
iii.Matrix Stones
f. Batu oleh karena obat-obatan

i. Secara langsung: Indinavir stones, Triamterene stones,


Guaifenesin, Ephedrine, dan Silicate stones.
ii. Secara tidak langsung: kortikostreoid, vitamin D, dan jenis
antasida yang mengikat fosfat.

2. Alur Diagnosis pada Pasien dengan Gangguan Berkemih

- Pasien dengan BSK


Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang, Anamnesis dan pemeriksaan fisis sesuai dengan
manifestasi klinis. Pada anamnesis cari faktor risiko dan riwayat batu
ginjal sebelumnya. Pemeriksaan penunjang yang membantu diagnosis:
1) Foto Rontgen abdomen dengan dua proyeksi. Batu asam urat murni
bersifat radiolusen, sementara batu lainnya rata-rata bersifat radioopak.
Hati-hati dengan batu radioopak yang lokasinya berhimpitan dengan
struktur tulang.
2) Pemeriksaan foto pielografi intravena. Untuk batu radiolusen,
dilakukan foto dengan bantuan kontras untuk menunjukkan defek
pengisian. Pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan pada saat pasien
mengalami kolik renal akut karena tidak akan menunjukkan gambaran
sistem pelviokalises dan ureter. Untuk pasien dengan gangguan fungsi
ginjal, pielografi retrograd melalui sistokopi, CT-urografi atau USG
menjadi pilihan.
3) CT urografi tanpa kontras adalah standar baku untuk mengevaluasi
batu pada ginjal dan traktus urinarius, termasuk batu asam urat.
Modalitas ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas terbaik.
4) Pemeriksaan ultrasonograf dapat melihat semua jenis batu, baik yang
radiolusen maupun radioopak. Selain itu, melalui pemeriksaan ini
dapat juga ditentukan ruang dan lumen saluran kemih.
5) Pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis, pemeriksaan darah perifer
lengkap dan kadar ureum kreatinin serum dilakukan untuk menunjang
diagnosis adanya batu, komposisi, dan menentukan fungsi ginjal.
Pemeriksaan analisis batu diindikasikan pada semua pasien urolitiasis
yang pertama kali untuk mengetahui risiko rekurensi.

- Pasien dengan BPH


Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik. Terkadang
pasien yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan
terapi apapun, tetapi diantara pasien yang lain akhirnya ada yang mebutuhkan
terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya
makin parah. Pemeriksaan awal dapat dilakukan dengan cara melakukan
anamnesis yang cermat agar mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang
diderita. Perlu juga dilakukan pemeriksaan fisik dan pengukuran pengosongan
kandung kemih yang meliputi laju rata-rata aliran urin, laju puncak aliran urin,
serta volume urin residual setelah pengosongan. Pemeriksaan rektal dan
pengukuran kadar serum PSA (Prostate Spesifik Antigen) pemeriksaan rektal
untuk memperkirakan ukuran prostat. Pemeriksaan rektal dapat disebut juga
sebagai pemeriksaaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien
BPH adalah colok dubur atau digital rectal examination (DRE). Pada
pemeriksaan ini yang dilihat yaitu Ukuran, bentuk, simetri, kualitas,
nodularitas dan konsistensi prostat harus semua dievaluasi agar dapat
digunakan sebagai bukti menegakan diagnos. Pada pemeriksaan digital rectal
examination (DRE) dijumpai pembesaran prostat teraba simetris dengan
konsistensi kenyal dan ada pendorongan prostat kearah rektum. Pada keadaan
normal prostat teraba di garis tengah.

PSA adalah cara untuk membedakan BPH dengan kanker prostat


walaupun PSA sendiri bukanlah penanda spesifik untuk kanker prostat. Serum
PSA digunakan untuk mendeteksi berkembangnya penyakit BPH, jika kadar
PSA tinggi berarti pertumbuhan volume prostat lebih cepat, laju urin lebih
rendah, dan lebih mudah terjadi retensi urin.

Kebanyakan pasien berobat karena gejala dari BPH sendiri yang


mempengaruhi quality of life , Score International Prostate Symptom Score
(IPSS) dapat digunakan untuk mengevaluasi dan mengukur keparahan gejala
pasien. Skor 0-7 menunjukkan gejala ringan; skor 8-19 menunjukan gejala
sedang dan skor 20-35 menunjukkan gejala berat .

3. Prosedur Pemasangan DC dan Pemeriksaan BNO

A. Pemasangan Dower Catheter

Menurut (Brunner dan Suddart, 1986), Prosedur pemasamgan kateter urine


melalui beberapa tahap :

a. Persiapan alat
1. Sterile
- Kateter yang akan dipasang sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan satu
( 1 ) buah disiapkan dalam bak steril.
- Pinset anatomis 1 buah.
- Sarung tangan 1 pasang.
- Spuit 10-20 cc 1 buah.
- Kain kassa 2 lembar.
- Kapas sublimate dalam tempatnya.
- Air / aquabidest NaCl 0,9 % secukupnya.
- Xylocain jelly 2 % atau sejenisnya
- Slang dan kantong untuk menampung urine.

2. Tidak Steril
- Bengkok 1 buah.
- Alas bokong 1 buah
- Lampu sorot bila perlu
- sampiran tangan 1 pasang
- Selimut mandi / kain penutup
- Botol kecil steril untuk bahan pemeriksaan steril.

b. Persiapan klien
Terutama untuk tindakan kateterisasi urine klien harus diberi
penjelasan secara adekuat tentang prosedur dan tujuan pemasangan kateter
urine. Posisi yang biasa dilakukan adalah dorsal recumbent,berbaring di
tempat tidur / diatas meja perawatan khususnya bagi wanita kurang
memberikan fasa nyaman karena panggul tidak ditopang sehingga untuk
melihat meatus urethra menjadi sangat sulit. Posisi sims / lateral dapat
dipergunakan sebagai posisi berbaring / miring sama baiknya tergantung
posisi mana yang dapat memberikan praaan nyaman bagi klien dan perawat
saat melakukan tindakan kateterisasi urine.

c. Persiapan perawat
1. Mencuci tangan meliputi :
 Melepaskan semua benda yang ada di tangan
 Menggunakan sabun
 Lama mencuci tangan 30 menit
 Membilas dengan air bersih
 Mengeringkan dengan handuk / lap kering
 Dilakukan selama dan sesudah melakukan tindakan kateterisasi
urine
2. Memakai sarung tangan
3. Menjelaskan prosedur tindakan kepada klien.

d. Pelaksanaan
a) Pasang sampiran dan pintu ditutup
b) Perlak dan alasnya dipsang dibawah gluteus
c) Letakan 2 bengkok diantara kedua tungkai klien
d) Cuci tangan
e) Pada klien pria :
Klien berbaring, perawat berada di sebelah klien, meatus uretra
dan glandula penis disinfeksi dengan cairan antiseptic, pasang doek
bolong dan perawat memakai handscone steril, selang kateter diberi
jelly secukupnya pada pemukaan yang akan dimasukan pada uretra,
penis ditegakkan lurus keatas dan tanpa ukuran kateter urine
dimasukan perlahan kedalam buli-buli, anjurkan klien untuk menarik
nafas panjang.
f) Urine yang keluar ditampung dalam urine bag.
g) Isi balon kateter urine dengan aquabidest / nacl 0,9% = 10 cc sesuai
dengan petunjuk yang tertera pada pembungkus kateter urine.
h) Fiksasi kateter urine di daerah pangkal paha
i) Letakan urine bag lebih rendah daripada kandung kemih atau gantung
urine bag di bed.
j) Disinfeksi sambungan urine bag dengan kateter urine.
k) Rapihkan klien,bersihkan alat,
l) Cuci tangan
m) Memberikan penjelasan kembali tentang prosedur tindakan pada klien.

B. Pemeriksaan BNO
BNO merupakan satu istilah medis dari bahasa Belanda yang
merupakan kependekan dari Blass Nier Overzicht (Blass = Kandung
Kemih, Nier = Ginjal, Overzicht = Penelitian). Dalam bahasa Inggris, BNO
disebut juga KUB (Kidney Ureter Blass). Jadi, pengertian BNO adalah
suatu pemeriksaan didaerah abdomen / pelvis untuk mengetahui kelainan-
kelainan pada daerah tersebut khususnya pada sistem urinaria.

i. Kegunaan BNO
a. Mendeteksi penyakit pada sistem urinaria, misalnya
batu ginjal (pada foto rontgen, batu ginjal akan terlihat
opaque (putih)).
b. Sebagai plain photo (foto pendahuluan) pada rangkaian
pemeriksaan BNO IVP.

ii. Persiapan peralatan dan bahan yang digunakan dalam


pemeriksaan BNO IVP

Peralatan Steril :
1. Spuit 1cc (untuk skin test)
2. Spuit 3 cc (untuk persiapan obat emergency)
3. Spuit 50 cc (untuk bahan kontras)
4. Wing needle
5. Jarum no 18
6. Kapas alkohol

Peralatan unsteril :
1. Kontras media (contoh : iopamiro, ultravist)
2. Stuwing (pembendung vena)
3. Gunting
4. Plester
5. Obat-obatan emergency (contoh : dhypenhydramine)

iii. Prosedur Pemeriksaaan BNO IVP


1. Pasien diwawancarai untuk mengetahui sejarah klinis dan
riwayat alergi.
2. Pasien diminta untuk mengisi informed consent (surat
persetujuan tindakan medis setelah pasien dijelaskan semua
prosedur pemeriksaan).
3. Buat plain photo BNO terlebih dahulu.
4. Jika hasil foto BNO baik, lanjutkan dengan melakukan skin
test dan IV test sebelum dimasukkan bahan kontras melalui
vena fossa cubiti
5. Sebelum melakukan penyuntikan, pasien ditensi terlebih
dahulu.
6. Menyuntikkan bahan kontras secara perlahan-lahan dan
menginstruksikan pasien untuk tarik nafas dalam lalu
keluarkan dari mulut guna menminialkan rasa mual yang
mungkin dirasakan pasien
7. Membuat foto 5 menit post injeksi
8. Membuat foto 15 menit post injeksi
9. Membuat foto 30 menit post injeksi
10. Pasien diminta untuk turun dari meja pemeriksaan untuk
buang air kecil (pengosongan blass) kemudian difoto lagi
post mixi.
11. Foto IVP bisa saja dibuat sampai interval waktu berjam-
jam jika kontras belum turun.

4. Terapi & Edukasi Pasien

- Batu Saluran Kemih


Tata laksana batu saluran kemih bergantung kepada ukuran, lokasi, ada
tidaknya infeksi, dan fungsi ginjal. Indikasi pengeluaran aktif batu saluran
kemih (Turk, Knoll, Petrik, Sarica, Skolarikos, Straub et al., 2018):
1) Kasus batu dengan kemungkinan keluar spontan yang rendah;
2) Adanya obstruksi saluran kemih persisten;
3) Ukuran batu>15 mm;
4) Adanya infeksi;
5) Nyeri menetap atau nyeri berulang;
6) Disertai infeksi;
7) Batu metabolik yang tumbuh cepat;
8) Adanya gangguan fungsi ginjal;
9) Keadaan sosial pasien (misal: pekerjaan).

Terapi Konservatif atau Terapi Ekspulsif Medika mentosa (TEM) dapat


diberikan pada pasien yang belum memiliki indikasi pengeluaran batu secara
aktf. Biasanya diberikan pada kasus batu yang tidak menganggu dan
ukurannya kurang dari 0.5 cm, berlokasi di ureter distal dan tidak terjadi
obstruksi total. Pasien dengan sepsis, nyeri tidak terkontrol atau fungsi ginjal
yang buruk tidak disarankan menggunakan terapi konservatif. Terapi
konservatif terdiri atas:

1. Peningkatan asupan minum dan pemberian diuretik target diuresis 2


liter/hari;
2. Pemberian nifedipin atau agen a-blocker, seperti Manajemen nyeri,
khususnya pada kolik: Tamsulosin.
3. Pemberian simpatolitik atau antiprostaglandin analgesic. Pemberian
OAINS supositoria memberikan onset lebih cepat dan efek samping lebih
rendah.
4. Pemantauan berkala setiap 1-14 hari sekali selama maksimal 6 minggu
untuk menilai posisi batu dan derajat hidronefrosis.

- Benign Prostate Hyperplasia


Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup
pasien.Terapi yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat
keluhan, keadaan pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya
adalah: (1) konservatif (watchful waiting), (2) medikamentosa, (3)
pembedahan (Tabel 1), dan (4) lain-lain (kondisi khusus).
(McVary et al., 2011) (Gratzke et al., 2015)

Daftar Pustaka
Gratzke, C., Bachmann, A., Descazeaud, A., Drake, M. J., Madersbacher, S., Mamoulakis,
C., Oelke, M., Tikkinen, K. A. O., & Gravas, S. (2015). EAU guidelines on the
assessment of non-neurogenic male lower urinary tract symptoms including benign
prostatic obstruction. In European Urology.
https://doi.org/10.1016/j.eururo.2014.12.038

McVary, K. T., Roehrborn, C. G., Avins, A. L., Barry, M. J., Bruskewitz, R. C., Donnell, R.
F., Foster, H. E., Gonzalez, C. M., Kaplan, S. A., Penson, D. F., Ulchaker, J. C., & Wei,
J. T. (2011). Update on AUA guideline on the management of benign prostatic
hyperplasia. Journal of Urology. https://doi.org/10.1016/j.juro.2011.01.074

Turk, Knoll, Petrik, Sarica, Skolarikos, Straub, S., Turk, C., Petrik, A., Sarica, K., Seitz, C.,
Skolarikos, A., Straub, M., Knoll, T., & Türk, C. (2018). EAU Guidelines on
Urolithiasis. European Association of Urology. https://doi.org/10.1002/wrcr.20090

ACC

Anda mungkin juga menyukai