Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FARMASI II

ANALISIS SENYAWA OBAT TUNGGAL SECARA VOLUMETRI


“TITRASI REDUKSI-OKSIDASI”

Disusun oleh:
Anna Fitriyana (18197087)
Deby Cintya Herdayanti (18197088)
Fathimah Shiddiq Az Zahra (18197024)
Nisa Nurul Janah (18197051)
Siti Diana (18197073)

PROGRAM STUDI DIII FARMASI


AKADEMI FARMASI BUMI SILIWANGI
BANDUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Titrasi iodometri dan iodimetri adalah salah satu metode titrasi yang
didasarkan pada reaksi oksidasi reduksi. Metode ini lebih banyak digunakan dalam
analisa jika dibandingkan dengan metode lain. Analisa dipilihnya metode ini karena
perbandingan stokiometri yang sederhana pelaksanaannya, praktis dan tidak banyak
masalah dan mudah.

1.2 TUJUAN PRAKTIKUM

Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa dapat memahami dan


melakukan analisis senyawa obat tunggal secara volumetri yaitu reduksi – oksidasi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DASAR TEORI

Titrasi redoks adalah titrasi penentuan suatu oksidator oleh reduktor atau
sebaliknya, yang reaksinya merupakan serah terima electron, yaitu electron diberikan
oleh reduktro diterima oleh oksidator.
Reaksi titrasi redoks dapat secara umum digambarkan sebagai berikut:
Red1 + e ↔ oks1 (reduksi)
Oks2 ↔ red2 + e (oksidasi)
Red1 + oks2 ↔ oks1 + red2  (redoks)
Reaksi ini menggambarkan perpindahan elektron yang menjadi dasar titrasi redoks.
Pada titrasi ini ekivalen suatu zat oksidator atau reduktor setara dengan satu mol
elektron.Oksidator baku primer yang bisa digunakan adalah K2Cr2O7, KIO3 dan Ce4+.
Larutan KMnO4 juga dapat dipakai sebagai larutan baku, tetapi bukan baku primer
karena dalam larutan asam dan dengan pengaruh cahaya matahari dapat mengurai
sebagai berikut :
4MnO4– + 4H+ → 4MnO2 (s) + 3O2 + 2H2O
Karena itu larutan KMnO4 harus dibakukan terlebih dahulu setiap kali dan
disimpan dalam tempat yang gelap. Zat-zat yang dapat berperan sebagai reduktor
baku primer adalah As2O3 dan Na2C2O4. sedangkan Na2S2O3 dapat dipakai sebagai
baku sekunder karena cenderung mengurai seperti berikut:
S2O32– + H+ → HSO3– + S
Selama titrasi terjadi perubahan konsentrasi analit yang dapat diukur melalui
potensial elektroda yang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Nernst.
Kurva titrasi diperoleh dengan mengalurkan E terhadap volume titran. Pada titik
ekivalen terdapat perubahan potensial yang besar karena sebelum titik ekivalen
potensial larutan ditentukan oleh sistim red1 – oks1 dan sesudah titik ekivalen oleh
sistim red2 – oks2.
Indikator redoks umumnya adalah suatu oksidator atau reduktor yang
mengalami perubahan warna jika tereduksi atau teroksidasi. Berbeda dengan
indikator spesifik, perubahan warna pada indikator redoks sebagian besar tidak
bergantung pada keadaan kimia analit tetapi bergantung pada potensial elektroda
sistem selama titrasi berlangsung
.
2.2 MACAM – MACAM TITRASI REDOKS
A. Titrasi Permanganometri
Metode titrasi yang didasarkan pada reaksi oksidasi oleh ion permanganate
(MnO4-). Pada titrasi ini permanganate berperan sebagai auto indikator dimana titik
akhir ditandai dengan warna dari ion MnO4.
Titrasi ini menggunakan larutan KMnO4 sebagai oksidator kuat.
MnO4– + 8H+ + 5e ↔ Mn2+ + 4H2O Eo = 1,51 V (1 M H2SO4)
Karena reagen ini berwarna ungu jelas maka pada titrasi ini tidak diperlukan indikator
khusus. Sebanyak 0,01 mL reagen dengan konsentrasi 0,02 M dalam 100 mL air
memberikan warna yang jelas. Titik akhir titrasi ini tidak permanen sebab kelebihan
MnO4– bereaksi secara lambat dengan Mn2+ yang ada dalam larutan
2MnO4– + 3Mn2+ + 2H2O ↔ 5MnO2(s) + 4H+
Untuk membakukan larutan KMnO4 dapat dipakai larutan baku primer
natrium oksalat (Na2C2O4). Reaksi ini berlangsung lambat pada suhu kamar, dan
karenanya biasa dipanaskan, sampai suhu sekitar 60oC. Namun terbentuknya ion Mn2+
yang bertindak sebagai suatu katalis laju reaksi bertambah, sehingga reaksi ini
bersifat autokatalitik.

B. Titrasi Iodometri
Merupakan titrasi yang pada reaksinya berbentuk I2 lalu I2 yang terbentuk
dititrasi dengan larutan baku natrium thiosulfate dalam suasana asam lemah. Titrasi
didasarkan pada sistim redoks.
I3– + 2e ↔ 3I– Eo = 0,54 V
Karena I2 mudah larut dalam I– maka dalam reaksi setengah selnya iod dituliskan
sebagai I3–. Iod atau ion tri iodida merupakan oksidator yang jauh lebih lemah
daripada KMnO4, K2Cr2O7 dan Ce(SO4)2. Dalam titrasi langsung dengan iod
digunakan larutan iod dalam KI sebagai oksidator, I3. Semua reaksi yang
mengikutsertakan iod dituliskan sebagai I3– bukan sebagai I2, misalnya:
I3– + 2S2O32– ↔ 3I– + S4O62–
Tetapi untuk penyederhanaan sering ditulis sebagai I2 :
I2 + 2S2O32– ↔ 2I– + S4O62–
Titrasi dengan menggunakan ion iodida sebagai pereduksi dimungkinkan karena sifat
reduksinya yang cukup kuat untuk mereduksi berbagai zat.
2I– → I2 + 2e
Dua sumber kesalahan yang penting dalam titrasi ini adalah hilangnya iod karena
mudah menguap dan larutan iodida dalam asam mudah dioksidasi oleh oksigen dari
udara. Reaksinya :
4I– + O2 + H+ → 2I2 + 2H2O
Dengan adanya iodida, penguapan cukup dikurangi melalui pembentukan ion tri
iodida. Pada suhu ruang, hilangnya iod melalui penguapan dari larutan yang
mengandung sekurang-kurangnya 4% KI dapat diabaikan asalkan titrasinya tidak
terlalu lama. Titrasi harus dilakukan dalam larutan yang dingin dan dalam labu
erlenmeyer.
Oksidasi atmosferik dapat diabaikan dalam larutan yang netral dan tanpa
adanya katalis, tetapi laju oksidasi bertambah cepat dengan menurunnya pH. Reaksi
dikatalis oleh ion logam tertentu (Cu2+, NO3–) dan cahaya kuat. Untuk itu hindarkan
titrasi dari cahaya matahari langsung dan larutan yang mengandung iodida harus
disimpan dalam botol coklat.
C. Titrasi Iodimetri
Merupakan titrasi dimana digunakan I2 sebagai pentiter, dilakukan pada pH
netral atau basa lemah hingga asam lemah, jika terlalu basa I2 akan terurai menjadi
hipoiodat dan iodidanya.
Iodimetri merupakan metode titrasi atau volumetri yang pada penentuan atau
penetapan berdasar pada jumlah I2 (Iodium) yang bereaksi dengan sampel atau
terbentuk dari hasil reaksi antara sampel atau terbentuk dari hasil reaksi antara sampel
dengan ion iodide (I). Metode ini tergolong titrasi langsung, berbeda dengan metode
iodometri yang sama-sama menggunakan I2 sebagai dasar penetapannya.
Iodimentri termasuk titrasi redoks dengan I2 sebagai titran sepetri dalam
reaksi redoks umumnya yang harus selalu ada oksidator dam reduktor, sebab bila
suatu unsur bertambah bilangan oksidasinya (melepaskan electron), maka harus ada
suatu unsure yang bilangan oksidasinya berkurang atau turun (Menangkap electron),
jadi tidak mungkin hanya ada oksidator atau reduktor saja. Dalam metode analisis ini
analit dioksidasikan oleh I2, sehingga I2 tereduksi menjadi ion iodide, dengan kata lain
I2 bertindak sebagai oksidator dengan reaksi :
I2 + 2e- 2l-
Indikator yang digunakan untuk mengetahui titik akhir titrasi biasanya adalah
kanji atau amilum 0,5-1%, karbon tetraklorida atau kloroform dapat mengetahui titik
akhir titrasi akan tetapi lebih umum digunakan suatu larutan (disperse koloidal) kanji.
Warna yang terjadi adalah biru tua hasil reaksi I2 – Amilum. Titrasi iodimetri
dilakukan dalam keadaan netral atau dalam kisaran asam lemah dan basa lemah. pH
tinggi (basa kuat) maka iodine dapat mengalami reaksi disproporsionasi menjadi
hipoidat.
I2 + 2OH- IO3- + I- + H2O
(Hamdani, 2012)
Dalam proses analitik, iodium digunakan sebagai pereaksi oksidasi
(iodimetri). Relatiff beberapa zat merupakan pereaksi reduksi yang cukup kuat untuk
dititrasi secara langsung dengan iodium, maka jumlah penentuan penentuan
iodimetrik adalah sedikit, akan tetapi banyak pereaksi oksidasi yang cukup kuat untuk
bereaksi sempurna dengan ion iodida, dan ada banyak penggunaan proses iodimetrik.
Suatu kelebihan ion iodida ditambahkan kepada pereaksi oksidasi yang ditentukan,
dengan pembahasan iodium yang kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat.
Metode titrasi iodometri langsung (kadang-kadang dinamakan iodimetri) mengacu
kepada titrasi dengan suatu larutan ion standar. Metode titrasi tak langsung (kadang-
kadang dinamakan iodometri) adalah berkenaan dengan titrasi dari iod yang
dibebaskan dalam reaksi kimia. (Ahmadi muslim, 2010)
Iodium merupakan oksidator yang relatif kuat dengan nilai potensial oksidasi sebesar
+0,535√. Pada saat reaksi oksidasi, iodium akan direduksi menjadi iodida sesuai
dengan reaksi.
I2 + 2e 2 l-
Iodium akan mengoksidasi senyawa-senyawa yang mempunyai potensial
reduksi yang lebih kecil dibanding iodium. Vitamin C mempunyai reduksi yang lebih
kecil daripada iodium sehingga dapat dilakukan titrasi langsung dengan iodium.
Larutan baku iodium yang telah dibakukan dapat digunakan untuk membakukan
larutan natrium tiosulfat. Deteksi titik akhir pada iodimetri ini dilakukan dengan
menggunakan indikator amilum yang akan memberikan warna biru pada saat
tercapainya titik akhir.
Pada farmakope indonesia, titrasi iodimetri digunakan untuk menetapkan
kadar asam askorbat, natrium tiosulfat, metampiron (antalgin), serta natrium tiosulfat
dan sediaan injeksi. (Ibnu Gholib, 2007). Larutan I2 digunakan untuk mengoksidasi
reduktor secara kuantitatif pada titik ekuivalennya. Namun, cara pertama ini jarang
diterapkan karena I2 merupakan oksidator lemah, dan adanya oksidator kuat akan
memberikan reaksi samping dengan reduktor. Adanya reaksi samping ini
mengakibatkan penyimangan hasil penetapan. (Mulyono, 2011).
2.3 INDIKATOR
Titrasi dapat dilakukan tanpa indikator dari luar karena warna I2 yang dititrasi
akan lenyap bila titik akhir tercapai; warna mula-mula coklat agak tua, menjadi lebih
muda, lalu kuning, kuning muda, dan seterusnya, sampai akhirnya lenyap. Bila
diamati dengan cermat perubahan warna tersebut, maka titik akhir dapat ditentukan
dengan cukup jelas. Konsentrasi iod » 5 x 10–6 M masih dapat jelas dilihat mata dan
memungkinkan penghentian titrasi dengan kelebihan setetes iod 0,05 M. Namun lebih
mudah dan tegas bila ditambahkan amilum ke dalam larutan sebagai indikator.
Amilum dengan I2 membentuk suatu kompleks berwarna biru tua yang masih jelas
sekalipun I2 sedikit sekali. Pada titik akhir iod yang terikat itu pun hilang bereaksi
dengan titran sehingga warna biru lenyap mendadak dan perubahan warnanya tampak
sangat jelas. Penambahan amilum ini harus menunggu sampai mendekati titik akhir
titrasi (bila iod sudah tinggal sedikit yang tampak dari warnanya yang kuning muda).
Maksudnya ialah agar amilum tidak membungkus iod dan menyebabkannya sukar
lepas kembali. Hal itu akan berakibat warna biru sulit sekali lenyap sehingga titik
akhir tidak kelihatan tajam. Bila iod masih banyak sekali bahkan dapat menguraikan
amilum dan hasil penguraian ini mengganggu perubahan warna pada titik akhir.
Untuk memperoleh ketepatan hasil titrasi maka titik akhir titrasi dipilih
sedekat mungkin dengan titik equivalent, hal ini dapat dilakukan dengan memilih
indikator yang tepat dan sesuai dengan titrasi yang akan dilakukan. Keadaan dimana
titrasi dihentikan dengan cara melihat perubahan warna indikator disebut sebagai
“titik akhir titrasi”.
Rumus Menentukan Normalitas dan Kadar Sample Titrasi :

V 1 xN 1=V 2 xN 2
Ket :
V1 =Volume larutan baku primer V2 = Volume larutan baku sekunder
N1 =Normalitas larutan baku primer N2 = Normalitas larutan baku sekunder

Rumus Penentuan Kadar Zat:

N lar . baku x Vol . lar . baku x BM sampel


% Kadar sampel= x 100 %
0,1 x Berat sample ditimbang
BAB III

METODE KERJA

3.1 Alat dan bahan

N
NAMA ALAT DAN BAHAN JUMLAH
O

1. Buret makro 50 ml 2 buah


2. Statif dan klem buret 2 buah

3. Labu erlenmeyer 6

4. Beaker glass 100 ml 1 buah

5. Beaker glass 250 ml 1 buah

6. Gelas ukur 10 ml dan 25 ml 1 buah

7. Labu ukur 100 dan 250 ml 1 buah

8. Pipet volume 1 buah

9. Pipet filter 1 buah

10. Botol semprot 1 buah

11. Timbangan analitik 1 buah

12. Larutan baku sekunder Natrium thiosulfat 0,1 N 250 ml

13. Larutan baku primer KIO3 0,1 N 100 ml

14. CuSO4.5H2O 0,1 N 100 ml


15. Indikator larutan kanji 1-2 ml

16. Larutan baku sekunder iodium 50 ml

17. Larutan Baku Primer Natrium thiosulfat baku 25 ml

18. Vitamin C 0,1 N 100 ml

19. H2SO4 2N 5 ml

3.2 PROSEDUR KERJA

3.2.1 Uji Penetapan kadar CuSO4


1. Timbang 100mg kuprisulfat, masukkan ke dalam erlenmeyer

2. Tambahkan 50 ml air

3. Tambah 5 ml H22SO44 encer dan 1 gram KI, segera titrasi dengan larutan
natrium thiosukfat 0,1 N sampai warna larutan kuning pucat.

4. Tambahkan 2 ml Amylum, lanjutkan titrasi sampai larutan tepat tidak


berwarna biru.

5. Hitung kadar CuSO44

3.2.2 Uji Penetapan Kadar Vit C


1. Timbang secara seksama 400 mg vitamin C larutkan, dalam campuran
100 ml aquadest.

2. Tambahkan 25 ml asam sulfat pekat (10 %).

3. Tambahkan 1 ml larutan indikator kanji

4. Titrasi dengan larutan iodium, lakukan hanya 3 kali.

5. hitung kadar sampel tersebut


BAB IV

HASIL PENGAMATAN

1. Titrasi Iodometri
No. Volume Natrium Thiosulfat Volume Natrium Normalitas
sebelum ditambah kanji Thiosulfat setelah
ditambah kanji
Awal Akhir Volume Awal Akhir Volume

1. 50 ml 49,3 ml 0,7 ml 49,3 ml 31,1 ml 18,2 ml 0,096 N


2. 50 ml 49,4 ml 0,6 ml 49,4 ml 36,2 ml 13,2 ml 0,096 N
Rata-rata Kadar CuSO4 15,6 %

Titrasi ke 1 untuk Penetapan Kadar CuSO4 :


Berat sampel CuSO4 = 100 mg
Volume Iodium = 0,7 ml
¿ 0,096 x 0,7 ml x 24,9686
Kadar Sampel = x 100 %
0,1 x 100 mg
1,68
= 10 x 100 %

= 16,8 %
Titrasi ke 2 untuk Penetapan Kadar CuSO4 :
Berat sampel CuSO4 = 100 mg
Volume Iodium = 0,6 ml

0,096 x 0,6 ml x 24,9686


Kadar Sampel = x 100 %
0,1 x 100 mg
1.44
= 10 x 100 %

= 14,4 %
2. Titrasi Iodimetri

Volume Iodium
No. Vol Vit C Normalitas Kadar Vit
Awal Akhir Volume
C
1. 100 ml 50 ml 43 ml 7 ml 0,096 N 29,6 %

2. 100 ml 50 ml 41 ml 9 ml 0.096 N 38,05%


Rata-rata Kadar Vit C 33,825 %

Titrasi ke 1 untuk Penetapan Kadar vitamin C


Berat sampel (vitamin C) = 400 mg
Volume Iodium = 7 ml

0 , 096 x 7 ml x 17,613
Kadar Sampel = 0,1 x 40 0 x 100 %

11,84
= x 100 %
40
= 29,6 %
Titrasi ke 2 untuk Penetapan Kadar vitamin C
Berat sampel (vitamin C) = 400 mg
Volume Iodium = 9 ml

0 , 096 x 9 ml x 17,613
Kadar Sampel = 0,1 x 40 0 x 100 %

15,22
= x 100 %
40
= 38,05 %

BAB V
PEMBAHASAN

Pada praktikum titrasi reduksi-oksidasi (redoks) ini, dilakukan 2 titrasi yang


berbeda. Pertama titrasi iodometri pembakuan larutan Natrium thiosulfate didapat
hasil normalitas sebanyak 0,096 N, dan kedua titrasi iodimetri dengan pembakuan
larutan iodium didapat hasil normalitas sebanyak 0,096 N.
Titrasi iodometri merupakan titrasi yang pada reaksinya terbentuk I 2 lalu I2
yang terbentuk dititrasi dengan larutan baku natrium thiosulfat dalam suasana asam
lemah. Sedangkan titrasi iodimetri merupakan titrasi dimana digunakan I2 sebagai
pentiter, dilakukan pada pH netral atau basa lemah hingga asam lemah, jika terlalu
basa I2 akan terurai menjadi hipoidat dan iodidanya.
Pada percobaan iodimetri menggunakan metode titrasi loangsung yang mana
dilakukan umtuk zat-zat dengan oksidasi potensial yang rendah dari sistem iodida,
iodida dengan menggunakan larutan bahan baku adalah I2 zat uji yang digunakkan
pada percobaan ini adalah vitamin C. Untuk menetapkan kadar vitamin C digunaka
air beabas O2 guna untuk menghindarkan tereduksinya vitamin c oleh udara. Dalam
hal ini larutan iodium dapat digunakan sebagai I2 dalam air.
Dalam penetapan kadar sampel yang akan ditentukan konsentrasi terdiri dari 2
macam dengan titrasi yang berbeda, yaitu titrasi iodometri adalah sampel CuSO4
didapat hasil sebanyak 15,6%, dan terakhir titrasi iodimetri adalah sampel vitamin C
didapat hasil kadar sebanyak 33,825 %.
BAB VI

KESIMPULAN

Dari titrasi redoks yang dilakukan 2 percobaan sebanyak 2 titrasi yang


berbeda. Pada titrasi iodometri adalah sampel CuSO4 didapat hasil sebanyak 15,6%,
dan terakhir titrasi iodimetri adalah sampel vitamin C didapat hasil kadar sebanyak
33,825 %.
BAB VIII

DAFTAR PUSTAKA

Ardhe Gatera, vesara. 2020, Modul Praktikum Kimia Farmasi, Semester Genap 2020.
Akfar Bumsil: Bandung.
http://paullamanifak.blogspot.co.id/2014/02/laporan-lengkap-titrasi-reduksi-
osidasi.html diakses tanggal 05 Maret 2020 jam 22:00 wib.
http://paullamanifak.blogspot.co.id/2014/02/laporan-lengkap-iodimetri.html diakses
tanggal 05 Maret 2020 jam 23:00 wib.

Anda mungkin juga menyukai