Anda di halaman 1dari 242

PERKEMBANGAN HUKUM KONTRAK BISNIS;

TEORI & PRAKTIK

Diterbitkan Oleh
R.A.De.Rozarie
(Anggota Ikatan Penerbit Indonesia)
Jl. Ikan Lumba-Lumba Nomor 40 Surabaya, 60177
Jawa Timur – Negara Kesatuan Republik Indonesia
www.derozarie.co.id – a_los_tesalonicenses@yahoo.com
Perkembangan Hukum Kontrak Bisnis;
Teori & Praktik
© September 2019

Eklektikus: Dr. Fajar Sugianto, S.H., M.H.


Editor: Sanggup L. Agustian, S.H., M.H.
Master Desain Tata Letak: Frega Anggaraya Purba
Denny Ardhi Wibowo
http://doi.org/10.5281/zenodo.3377530

Angka Standar Buku Internasional: 978-602-1176-56-6


Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Katalog Dalam Terbitan

Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang digunakan atau


direproduksi dengan tujuan komersial dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari R.A.De.Rozarie kecuali dalam hal
penukilan untuk keperluan artikel atau karangan ilmiah
dengan menyebutkan judul dan penerbit buku ini secara
lengkap sebagai sumber referensi.
Terima kasih

PENERBIT PERTAMA DENGAN KODE BATANG UNIK


KATA SAMBUTAN

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha


Esa karena atas curahan rahmat dan hidayah-Nya buku
karya Sdr. Fajar Sugianto berjudul Perkembangan Hukum
Kontrak Bisnis: Teori dan Praktik pada akhirnya dapat
terselesaikan serta diterbitkan.
Buku ini merupakan contoh nyata hasil luaran Dosen
Program Studi Hukum Bisnis Fakultas Sosial Universitas
Agung Podomoro, yang tidak saja memberikan dampak
positif pada bidang penelitian, tetapi juga diharapkan mam-
pu bersinergi dengan bidang pengajaran dan pengabdian
kepada masyarakat. Selain itu buku ini juga menunjukan
adanya kolaborasi solid antara kolega Dosen Program Studi
Hukum Bisnis, yakni Sdr. Fajar Sugianto sebagai penu-
lis/pengarang dengan Sdr. Sanggup Leonard Agustian
sebagai editor.
Harapannya, buku ini mampu menumbuhkan rasa
kecintaan para generasi muda, khususnya mahasiswa Pro-
gram Studi Hukum Bisnis Fakultas Sosial Universitas Agung
Podomoro bahwa sadar akan pentingnya menumbuhkan
minat baca.
Oleh karena itu saya menyambut baik buku ini dan
tetap menunggu karya Sdr. Fajar Sugianto berikutnya. Se-
moga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 17 Juli 2019

Dea Prasetyawati, S.ST.Par., M.M.


Dekan Fakultas Sosial Universitas Agung Podomoro

i
PRAKATA

Saat ini kegiatan bisnis mengalami percepatan dan


perkembangan yang semakin kencang, terlebih saat ini, di
era teknologi. Oleh karenanya, kontrak bisnis memiliki
peran yang sentral guna menjalankan berbagai kegiatan
yang telah disepakati. Bertalian dengan hal tersebut, kontrak
bisnis sebagai suatu ilmu pengetahuan (baik dari sisi teoritis
maupun) mengalami perkembangan yang serupa.
Menghimpun berbagai argumen tersebut sudah
sewajarnya harus mengikuti perkembangan-perkembangan
yang terjadi, bukan saja di dalam negeri, melainkan pula
luar negeri, bahkan di era konvergensi, yang di mana secara
perlahan-lahan menyatunya berbagai sistem yang ada.
Konsekuensinya, kedepan “kumungkinan” dapat saja terjadi
pembentukan kontrak tidak lagi menggunakan “kiblat-
kiblat” atau sistem-stistem yang ada dalam ilmu hukum,
selama dalam kontrak tersebut mengandung berbagai asas-
asas kontrak yang bersifat universal.
Mencermati paradigma semacam ini, harapannya
kontrak memegang peranan sangat penting bagi para pihak
yang bertransaksi. Tidak hanya untuk mewujudkan
hubungan hukum dari dan antara para pihaknya, tetapi
dapat dijadikan remedy agar seluruh hak dan kewajiban para
pihak tertuang secara tegas.
Semoga buku ini bermanfaat bagi para pembaca.

Podomoro City, 27 Juli 2019

Dr. Fajar Sugianto, S.H., M.H.

ii
DAFTAR ISI

BAB I
POKOK-POKOK HUKUM PERIKATAN
1. Pengertian Umum Perikatan 1
2. Istilah Perikatan, Kontrak, Persetujuan Dan
Perjanjian 3
3. Ikhtisar Hukum Perikatan 6
4. Sumber-Sumber Perikatan 7
4.1 Persetujuan/Perjanjian 7
4.2 Undang-Undang 7
5. Sistem Terbuka Dan Asas Konsensualisme
Hukum Perikatan 8
5.1 Sistem Terbuka 8
5.2 Asas Konsensualisme 9
6. Syarat-Syarat Sahnya Persetujuan 10
7. Para Pihak Yang Terikat Dalam Persetujuan 14
8. Prestasi Suatu Persetujuan 15
9. Wanprestasi, Overmacht Dan Risiko 16
9.1 Wanprestasi 16
9.2 Overmacht 17
9.3 Risiko 20
10.Macam-Macam Perikatan 21
10.1 Perikatan Bersyarat 21
10.2 Perikatan Dengan Syarat Waktu 22
10.3 Perikatan Alternatif 23
10.4 Perikatan Tanggung Menanggung 23
10.5 Perikatan yang Dapat Dibagi dan
yang Tidak Dapat Dibagi 24
10.6 Perikatan Dengan Ancaman Hukuman 25
11.Hapusnya Perikatan 26
11.1 Pembayaran 26
11.2 Penawaran Pembayaran Tunai Disertai
Penitipan 28
11.3 Pembaharuan Utang 29
11.4 Perjumpaan Utang 30
11.5 Pencampuran Utang 31
11.6 Pembebasan Utang 31
11.7 Musnahnya Benda yang Terutang 32
iii
11.8 Kebatalan dan Pembatalan 33
11.9 Berlakunya Syarat Batal 34
11.10 Kedaluwarsa atau Lewat Waktu 35

BAB II
TINJAUAN UMUM PERIKATAN
DALAM SISTEM KETENAGAKERJAAN
1. Perjanjian Kerja 37
1.1 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) 37
1.2 Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT) 40
1.3 Perjanjian Kerja Lepas Harian (PKHL) 40
1.4 Perjanjian Kerja Antarkerja Antar Daerah 41
1.5 Perjanjian Kerja Antarkerja Antar Negara 41
1.6 Perjanjian Kerja Tenaga Asing (TKA) 42
1.7 Perjanjian Kerja Laut (PKL) 43
1.8 Perjanjian Kerja Perkebunan 43
1.9 Perjanjian Kerja Di Rumah 43
1.10 Perjanjian Kerja Adat 43
2. Berakhirnya Perjanjian Kerja 44
3. Perbandingan Beberapa Detail Penting Antara
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan,
dan Perjanjian Kerja Bersama 45

BAB IIII
PEMBAHARUAN PELATARAN
HUKUM KONTRAK
1. Latar Belakang Tradisi-Tradisi Hukum 50
1.1 Tradisi Civil Law 51
1.2 Tradisi Common Law 52
1.3 Tradisi Mixed Legal System 55
1.4 Tradisi Unification Law 56
2. Konsep-Konsep Umum Hukum Kontrak 57
2.1 Sifat Dasar dan Pembawaan Kontrak 57
2.2 Beberapa Definisi Umum 62
2.3 Komponen-komponen Universal
Hukum Kontrak 65
2.4 Kerangka Teoritik Perbedaan Kontrak,
Persetujuan, dan Prakontrak 68
iv
3. Peleburan Kerangka Teoritik Hukum Kontrak 71
3.1 Kajian Konseptual Lima Prinsip
Besar Hukum Kontrak 72
3.2 Kajian Konseptual Prinsip dan
Doktrin Penting Lainnya 103

BAB IV
PERANCANGAN KONTRAK
1. Tahapan Ideal Memformulasi
Dan Menutup Kesepakatan 127
2. Mematangkan Kesepakatan Melalui
Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak
Menurut Perspektif Hukum Dan Ekonomi 129
2.1 Prinsip Information as Label 129
2.2 Prinsip Voluntary Transfer 130
2.3 Prinsip Bargaining Equality 130
2.4 Prinsip Fulfilling Reasonable Expectations 130
3. Menetapkan Rambu-Rambu Kontrak 132
3.1 Dengan Menggunakan Prinsip-prinsip
Hukum Kontrak 132
3.2 Dengan Menggunakan Konsep
Transaction Cost 136
4. Mendeteksi Isu-Isu Potensial 137
5. Anatomi Kontrak Yang Ideal 140
6. Membuat Check-list 143

BAB V
FINALISASI PEMBUATAN KONTRAK
YANG IDEAL
1. Prinsip-Prinsip Umum Pembuatan Kontrak 155
1.1 Menetapkan Substansi Kontrak
Sesuai Dengan Hukum yang Diperlukan 155
1.2 Kelugasan Bahasa Kontrak 155
1.3 Definisi Untuk Menambah Kejelasan,
Bukan Sebaliknya 156
1.4 Hindari Frasa Bersyarat (Proviso) 157
1.5 Gunakan DAN/ATAU Dengan Tepat 158
1.6 Pastikan Keperluan Kata Majemuk 158
1.7 Penggandaan Angka dan Terbilangnya 158
v
1.8 Jangan Mengikutsertakan Ketidaktahuan 160
1.9 Desain Ideal 162
2. Penyusunan Provisi 163
2.1 Pleonasme 163
2.2 Mencari Kata Kerja yang Tepat 163
2.3 Kalimat Aktif Vs. Kalimat Pasif 164
2.4 Frasa Paralel Untuk Memparalel
Serentetan Peristiwa 166
2.5 Kelipatan Kalimat Negatif 166
2.6 Memadukan Detail Sesuai dengan
Tujuan Provisi 167
2.7 Kata Serapan Lebih Efektif 168
3. Kejelasan Dokumen Kontrak 169
4. Penyusunan Dan Perangkaian Paragraf 170
5. Lima Kebiasaan Yang Harus Dihindari 171
5.1 Berasumsi Semua Orang Mengetahui
Singkatan dan Akronim 171
5.2 Menggunakan Frasa yang Mengambang 172
5.3 Tidak Mengerti Fungsi Tanda Baca 172
5.4 Menonjolkan Sesuatu Secara Berlebihan 174
5.5 Modal Nekat 178
6. Implementasi Tahap Demi Tahap
Seluruh Teknik Dan Prinsip
Kedalam Pembuatan Kontrak 178

BAB VI
PENUTUP 187

DAFTAR BACAAN 188


GLOSARIUM 191
LAMPIRAN I
Persetujuan Sewa-Menyewa Gudang
LAMPIRAN II
Perjanjian Kerjasama Penyediaan
Gas Oxigen Medical Grade
LAMPIRAN III
Specimen Agreement
LAMPIRAN IV
Perjanjian Kerja
vi
BAB I
POKOK-POKOK HUKUM PERIKATAN

1. Pengertian Umum Perikatan


Secara luas, perikatan merupakan suatu hubungan
hukum antara dua orang/pihak atau lebih, dalam hal mana
pihak yang satu berhak atas sesuatu (prestasi), sedangkan
pihak lainnya berkewajiban untuk memenuhi sesuatu
(kontra prestasi). Dari pengertian tersebut, perlu ditegaskan
bahwa hubungan antara para pihak dalam suatu perikatan
tersebut harus merepresentasikan hubungan hukum
(rechtsbetreking). Karena perikatan adalah hubungan hukum,
maka perikatan memiliki akibat hukum (rechtsgevolg). Krite-
ria yang menentukan apakah suatu perikatan itu merupakan
suatu perikatan dalam arti hukum atau tidak ialah terjadinya
hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain
karena peristiwa, keadaan dan perbuatan. Perikatan yang
demikian, mengandung suatu kewajiban hukum dari pihak
satu terhadap pihak lain yang berhak atas suatu prestasi.
Perikatan erat kaitannya dengan prestasi (prestatie)
yang menjadi elemen penting di dalam perikatan, karena
merepresentasikan janji yang harus dilakukan sesuai dengan
isi perikatan, misalnya prestatie het na komen van iets, yaitu
perbuatan menepati janji pembayaran.1 Ada 5 (lima) sifat
umum prestasi, yaitu:
a. harus sudah tertentu atau dapat ditentukan;
b. dapat dimungkinkan;
c. diperbolehkan oleh hukum;
d. harus ada manfaat bagi para pihak dalam perikatan; dan
e. dapat terdiri dari satu atau beberapa perbuatan.

1 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Bahasa Belanda, Indonesia,


Inggris, Aneka Ilmu, Semarang, 1977, hlm. 680.
1
Dalam hal bentuk, terdapat 3 (tiga) bentuk prestasi
yang umum dijustifikasi, yaitu menyerahkan barang/uang;
berbuat sesuatu; dan tidak berbuat sesuatu.
Prestasi erat kaitannya dengan objek perikatan,
karena setiap perikatan berisikan objek yang menderivasi
janji-janji. Secara luas, objek perikatan dapat berupa benda
bergerak, benda tidak bergerak, benda berwujud, dan benda
tidak berwujud.
Akibat dari tidak dilaksanakannya prestasi di dalam
perikatan disebut dengan wanprestasi. Wanprestasi dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan tidak melakukan atau
memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam
perikatan. Terdapat 2 (dua) macam tidak dipenuhinya
kewajiban; pertama, karena kesalahan, kesengajaan atau
kelalaian salah satu pihak. Beberapa bentuknya adalah:
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali yang menjadi
kewajiban yang telah disanggupi;
b. Prestasi telah dipenuhi tetapi keliru dan tidak sesuai
dengan apa yang telah dijanjikan;
c. Prestasi telah dipenuhi tetapi tidak tepat waktu atau
terlambat dari waktu yang telah ditentukan bersama; dan
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan.
Kedua, karena keadaan memaksa (overmacht/force
majeure) di luar kemampuan salah satu pihak. Overmacht
didefinisikan sebagai suatu keadaan yang dapat atau tidak
dapat diketahui sebelumnya, yang menyebabkan kesulitan
dalam pelaksanaan kontrak atau menyebabkan terhalangnya
pemenuhan perikatan.2 Force majeure: (Law French “a superior
force”). An event or effect that can be neither anticipated nor

2 Ibid, hlm. 647.


2
controlled. The term includes both acts of nature (e.g., floods and
hurricanes) and acts of people (e.g., riots, strikes, and wars).3
Terjemahan bebas dalam Bahasa Indonesia:
Suatu peristiwa atau akibat yang tidak dapat diantisipasi
atau tidak dapat dikendalikan. Istilah ini termasuk pada
bencana alam (seperti banjir dan angin badai) dan perbuatan
manusia (seperti kerusuhan, pemogokan, dan peperangan).
Force majeure dalam hal bencana alam, sering
dikonotasikan dengan perbuatan Tuhan atau act of God yang
diartikan sebagai peristiwa yang disebabkan oleh sebab-
sebab alam, seperti gempa bumi, badai, banjir dan bencana
alam lainnya yang sangat parah sehingga tidak ada orang
dapat diharapkan mampu mengantisipasi atau melindungi
hal itu.4 Peristiwa yang sering dikategorikan sebagai
overmacht/force majeure sebagai keadaan memaksa memiliki
dua akibat, yaitu permanen (absolut) dan sementara (relatif).
Dalam hal overmacht/force majeure yang absolut, oleh karena
akibat dari peristiwa ini permanen maka perikatan menjadi
batal. Artinya, pemulihan kembali dalam keadaan semula
seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Sementara
overmacht/force majeure yang relatif, karena sifatnya
sementara maka prestasi hanya ditangguhkan. Artinya,
prestasi menjadi hidup kembali apabila keadaan memaksa
tidak ada lagi atau berakhir.
2. Istilah Perikatan, Kontrak, Persetujuan, Dan Perjanjian
Terdapat perbedaan penggunaan istilah perikatan,
persetujuan, dan perjanjian dalam bahasa Belanda oleh para
pakar hukum melalui literatur hukum. Dalam buku diktat
ini ditegaskan kembali, bahwa hakikat istilah-istilah tersebut

3 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, 8th Edition-Standard


Edition, Thomson West, U.S.A., 2004, hlm. 673-674.
Sebutan lain force majeure: force majesture, vis major; supperior force.
4 Elizabeth A. Martin, Oxford Law Dictionary; A concise Dictionary of

Law, 2nd edition, Oxford University Press, Oxford, 1990, hlm. 8.


3
dalam bahasa Belanda berdasarkan Burgerlijk Wetboek
(selanjutnya disebut B.W) yang disusun berdasarkan Engel-
brecht sesuai dengan naskah aslinya. Istilah verbintenis
diterjemahkan menjadi perikatan dan perutangan, istilah
overeenkomst menjadi perjanjian atau persetujuan, sementara
contract adalah kontrak.
Pasal 1233 B.W mendefinisikan bahwa perikatan lahir
karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.5 Per-
setujuan menurut Pasal 1313 B.W diartikan sebagai
perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri
terhadap satu orang lain atau lebih.6 Istilah kontrak terdapat
pada Pasal 1101 dan Pasal 1102 naskah asli B.W yang
diberlakukan di negeri Belanda dan Belgia.
Artikel 1101: Een contract is een overeenkomst waarbij een
of meer personen zich jegens een of meer andere verbinden
iets te geven, te doen, of niet te doen.
Artikel 1102: Een contract is wederkerig of tweezijdig,
wanneer de contractanten zich over en weder jegens elkaar
verbinden.7
Terjemahan bebas dari kedua Pasal tersebut adalah:
Pasal 1101: “suatu kontrak adalah persetujuan seo-
rang atau lebih kepada seorang atau lebih lainnya
untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”.

5 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia,


menurut sistem Engelbrecht, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
2006, hlm. 605.
6 Ibid, hlm. 610.
7http://www.ejustice.just.fgov.be/cgi_loi/loi_a1.pl?imgcn.x=43&i

mgcn.y=9&DETAIL=1804032132/N&caller=list&row_id=1&nume
ro=6&rech=11&cn=1804032132&table_name=WET&nm=18040321
52&la=N&dt=BURGERLIJK+WETBOEK+-&language=nl&fromta-
b=wet&sql=dt+contains++’BURGERLIJK’&+’WETBOEK’&tri=dd+
AS+RANK+&trier=afkondiging. Diakses pada tanggal 5 Januari
2014.
4
Pasal 1102: “suatu kontrak adalah bersifat timbal ba-
lik atau dua sisi untuk dan kepada para pihak
kontraktan”.
Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik 7 (tujuh)
premis dasar terhadap pengertian perikatan, kontrak, per-
setujuan, dan perjanjian:
a. istilah persetujuan dipersamakan dengan perjanjian;
b. perjanjian atau persetujuan menimbulkan perikatan, yang
kemudian disebut dengan kontrak sehingga istilah
perikatan dapat dipersamakan dengan kontrak;
c. perikatan atau kontrak sebagai suatu pengikatan hukum
yang mengikat orang-orang/pihak-pihak sebagai hubu-
ngan hukum yang dilindungi atau dijamin oleh hukum
atau undang-undang;
d. oleh karena perikatan merupakan hubungan hukum an-
tara orang-orang/pihak-pihak (dua atau lebih), maka pe-
rikatan memiliki konsekuensi sebagai hukum yang
mengikat pula;
e. para pihak baik dalam persetujuan/perjanjian maupun
dalam perikatan/kontrak saling sepaham untuk bertukar
janji, sehingga pertukaran janji-janji ini menjadi prestasi
di mana pihak yang satu berhak dan pihak lainnya
berkewajiban untuk memenuhinya, demikian pula se-
baliknya;
f. kontrak memiliki arti lebih sempit yang ditujukan kepada
perjanjian atau persetujuan tertulis sehingga sifatnya
lebih teknis; dan
g. semua kontrak adalah persetujuan atau perjanjian, tetapi
tidak semua persetujuan atau perjanjian adalah kontrak.

5
3. Ikhtisar Hukum Perikatan
Hukum perikatan diatur dalam Buku III B.W yang terdiri atas 18 Bab, kemudian dibagi lagi dalam
bagian-bagian. Beberapa pasal penting terhadap perikatan dijelaskan melalui skema berikut ini:

Lahir dari
kontrak atau
Sumber persetujuan
Perikatan
(Ps. 1313 B.W)
(Ps. 1233 B.W)
Lahir dari UU
Dari UU saja
(Ps. 1352 B.W)
Perbuatan rechmatig

(Ps. 651, 1354, 1359 B.W)


Dari UU akibat
perbuatan manusia

(Ps. 1353 B.W) Perbuatan onrechmatig

(Ps. 1365 B.W)

6
Ketentuan Pasal 1233 B.W menunjukan bahwa perikatan itu
terjadi karena persetujuan atau karena undang-undang,
dengan demikian undang-undang hanya mengenal dua
sumber perikatan. Ajaran umum tentang perikatan yang
bersumber pada persetujuan ditentukan dalam Pasal 1313
B.W, sedangkan perikatan yang bersumber pada undang-
undang ditentukan dalam Pasal 1352 B.W. Dari Pasal 1352
B.W ini, perikatan yang bersumber pada undang-undang
belum selesai perseolannya, sehingga masih terbagi lagi
menjadi perikatan dari undang-undang saja (uit de wet alleen)
dan dari undang-undang karena perbuatan manusia (uit de
wet door’s mensen toedoen). Kemudian menurut Pasal 1353
B.W perikatan yang dari undang-undang karena perbuatan
manusia itu masih dibagi lagi dalam perbuatan rechmatig
dan onrechmatig.
4. Sumber-Sumber Perikatan
Perikatan dilahirkan baik karena undang-undang
atau persetujuan/perjanjian. Lebih definitif lagi, Pasal 1233
Bab I Buku III B.W menentukan bahwa perikatan lahir
karena suatu persetujuan atau karena Undang-undang.8
4.1 Persetujuan/Perjanjian
Persetujuan/perjanjian adalah perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang
lain atau lebih.9 Dari peristiwa ini, lahir suatu hubungan
hukum antara dua orang/pihak atau lebih, itu yang dina-
makan perikatan. Persetujuan/perjanjian merupakan sum-
ber penting yang melahirkan perikatan, dibandingkan de-
ngan undang-undang sebagai sumber lainnya perikatan.
4.2 Undang-Undang
Sebagai sumber lainnya, undang-undang yang mela-
hirkan perikatan dapat diperinci lagi menjadi:

8 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia,


loc cit, hlm. 605.
9 Pasal 1313 B.W, ibid, hlm. 608.

7
a. undang-undang saja; misalnya kewajiban orang tua ter-
hadap anak; dan
b. undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan
orang lain; misalnya lembaga Zakwarneming (Pasal 1354
dan Pasal 1359 B.W) dan Onrechtmatigedaad (Pasal 1365
B.W).
Pada dasarnya, Zakwarneming menurut Pasal 1354 B.W ialah
pelaksanaan tugas tanpa kuasa yang esensinya berbeda de-
ngan pemberian kuasa. Zakwarneming adalah suatu keadaan
apabila seseorang secara sukarela tanpa perintah melaksana-
kan tugas orang lain dengan atau tidak dengan pengetahuan
yang mempunyai tugas. Ia terikat untuk melanjutkan tugas
itu sampai menyelesaikannya dengan baik, hingga orang
yang dia wakili itu dapat mengerjakannya sendiri. Pasal
1359 B.W menentukan bahwa pembayaran yang tidak ada
utangnya dapat dituntut kembali. Artinya, apabila senyata-
nya tidak ada utang, sedangkan pembayaran telah dilaku-
kan maka kelebihan pembayaran dapat dituntut kembali.
Penuntutan pembayaran tak terutang semacam ini dalam
bahasa Latin disebut condictio indebiti.10
5. Sistem Terbuka Dan Asas Konsensualisme Hukum Pe-
rikatan
5.1 Sistem Terbuka
Sistem terbuka hukum perikatan terimplementasi
melalui ketentuan Pasal 1338 ayat (1) B.W yang menentukan
bahwa “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.11

10 Yan Pramadya Puspa, op cit, hlm. 237.


Dalam bahasa Belanda, tuntutan pengembalian pembayaran yang
tak terutang: terugvordering van het onverschuldifd bedrag.
11 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia,

loc cit, hlm. 613.


8
Ketentuan ini dikatakan terbuka karena setiap orang
atau pihak yang hendak membuat persetujaun/perjanjian
diberi kebebasan untuk membuat perikatan yang mengatur
hubungan hukum mereka tentang apa saja, bentuk apa saja
asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang. Selain
memiliki sistem terbuka, hukum perikatan B.W juga memi-
liki sifat sebagai hukum pelengkap (aanvullend recht), artinya
bahwa pasal-pasal hukum perikatan B.W boleh dikesam-
pingkan para pihak jika mereka menghendakinya. Dengan
demikian, para pihak yang telah setuju untuk saling
mengikatkan dirinya, diperbolehkan untuk mengatur sendi-
ri kepentingan mereka dalam perikatan yang mereka buat.
Ketentuan-ketentuan dalam hukum perikatan hanya berlaku
sebagai kerangka hukum, dalam hal para pihak tidak
memuat aturan-aturan sendiri di dalam persetujuan yang
dibuatnya itu.
5.2 Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme merupakan asas dalam hukum
perikatan yang mendapatkan penekanan terpenting karena
menitik beratkan pada awal mula perumusan perikatan.
Kata konsensus berasal dari bahasa Latin, consensus yang
berarti persetujuan umum atau pendapat kolektif.12 Istilah
lain dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah consent,
yang berarti persetujuan, kesepakatan, atau perizinan untuk
suatu tindakan atau tujuan yang diberikan secara sukarela
oleh orang yang berkompeten; menyetujui secara hukum13.
Konsensualitas di dalam asas ini berarti bahwa suatu
perikatan telah lahir pada saat kata sepakat antara para
pihak, dan perikatan semacam ini sah tanpa memerlukan

12 Bryan A. Garner, op cit, hlm. 323.


Consensus: a general agreement; collective opinion.
13 Ibid.

Consent: agreement, approval, or permission as to some act or purpose,


esp. Given voluntarily by a competent person; legally effective assent.
9
suatu formalitas. Dengan kata lain, asas konsensualisme
menitikberatkan kepada unsur saling menerima secara bulat
dan menyetujui tanpa keberatan. Keberadaan asas ini menja-
di sangat penting dalam perumusan perikatan, bahkan men-
jadi salah satu syarat sahnya persetujuan yang ditentukan
Pasal 1320 B.W, yaitu adanya kata sepakat.
6. Syarat-Syarat Sahnya Persetujuan
Pada Pasal 1320 B.W yang terdapat dalam Bagian 2
tentang Syarat-syarat Terjadinya Suatu Persetujuan yang Sah
menentukan 4 (empat) syarat, yaitu: (i) kesepakatan mereka
yang mengikatkan dirinya; (ii) kecakapan untuk membuat
suatu perikatan; (iii) suatu pokok persoalan (objek) tertentu;
dan (iv) suatu sebab yang tidak terlarang (causa yang
halal).14 Tentang syarat kesepakatan, ketentuannya diatur
dalam Pasal 28, 1312 B.W dan seterusnya. Syarat kecakapan,
ditentukan dalam Pasal 1329 B.W dan seterusnya. Penga-
turan syarat ketiga, yaitu adanya pokok persoalan tertentu
dalam Pasal 1332 B.W dan seterusnya, dan syarat terhadap
suatu sebab yang tidak terlarang dalam Pasal 1335 B.W.
Ke-empat syarat ini merupakan syarat yang prinsipiil
dari suatu persetujuan untuk melahirkan perikatan. Artinya
menurut hukum, tanpa pemenuhan ke-empat syarat ini
persetujuan dianggap tidak pernah ada.
Dua syarat pertama, yaitu tentang kesepakatan dan
kecapakan, disebut sebagai syarat subjektif, karena menga-
tur tentang orang/pihak dalam suatu persetujuan. Sedang-
kan dua syarat terakhir, yaitu adanya pokok persoalan dan
sebab yang tidak terlarang, adalah syarat objektif karena
mengatur mengenai objek persetujuan yang dilakukan.
Secara normatif, jika salah satu dari syarat subjektif
tidak terpenuhi maka persetujuan itu “dapat dibatalkan”.

14Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia,


op cit, hlm. 611.
10
Artinya, salah satu dari pihak yang mengadakan
persetujuan itu dapat meminta kepada Pengadilan agar
persetujuan yang dibuatnya itu dibatalkan karena syarat-
syarat subjektif tidak terpenuhi. Di sisi lain, jika syarat-
syarat objektif tidak terpenuhi maka persetujuan menjadi
“batal demi hukum”, artinya bahwa persetujuan dianggap
tidak pernah ada dan pembatalan tidak perlu dimintakan
kepada Pengadilan.
Kesepakatan (consensus)
Perumusan tentang kesepakatan tidak ditentukan
secara jelas di dalam B.W, terutama tentang rumusan bagai-
mana suatu kesepakatan dapat tercapai menurut hukum.
Untuk mengisi kekurangan ini, diadopsi 4 (empat) teori
umum tentang rumusan terjadinya kata sepakat untuk
melahirkan perikatan.15
a. Wilstheorie atau teori kehendak.
Menurut teori ini, kehendaklah yang menjadi dasar
membuat persetujuan. Kehendak ini lahir dari adanya
keinginan yang mencerminkan persetujuan untuk mengi-
katkan diri (assent to be bound).16
b. Verklarring Theorie atau teori pernyataan.
Menurut teori ini, perumusan suatu persetujuan tidak
terletak pada kehendak tetapi terletak pada pernyataan
yang diberikan oleh para pihak yang saling mengerti.
Terdapat anggapan dan kepercayaan dari satu pihak

15 R. Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan, Hukum Peri-


katan, Op cit, hlm. 118-121
16 Akan tetapi muncul keberatan-keberatan terhadap teori ini de-

ngan alasan: adanya kesesatan yang tidak wajar (oneigenlijke


dwaling); apabila perjanjian dibuat oleh seorang yang berada di
bawah pengampunan (onder curatele); dan reservatie mentalis, yaitu
apabila seseorang dengan sengaja menyatakan sesuatu yang bukan
keinginannya.
11
bahwa pernyataan itu cocok dengan kehendak sebenar-
nya dari pihak yang menyatakan.17
c. Vertrouwenstheorie atau teori pernyataan yang dapat
diterima.
Menurut teori ini, hanya pernyataan yang secara umum
dianggap layak dan dapat diterima lah menjadi dasar ter-
jadinya persetujuan. Jika pernyataan itu sesuai dengan
kehendak si pemberi pernyataan tersebut dan dapat
diterima, maka kesepakatan telah terjadi.18
d. Gevaarzettingstheorie.
Menurut teori ini, setiap orang bertanggung jawab atas
akibat-akibatnya, apabila ia mengadakan kemungkinan
yang berbahaya (kurang berhati-hati=onzorgvuldigheid).
Kecakapan (bekwaamheid)
Kecakapan merupakan syarat kedua untuk sahnya
suatu perjanjian. Pada hakikatnya, persetujuan merupakan
perbuatan hukum, sehingga untuk dapat melakukannya pa-
ra pihak di dalam persetujuan diharuskan untuk cakap
(bekwaamheid om one verbintenisaan te gaan). Mereka yang
cakap menurut hukum adalah setiap orang dewasa dan
sehat pikirannya. Pasal 1330 B.W menentukan siapa-siapa
saja yang tidak cakap membuat persetujuan:
a. anak yang belum dewasa (Pasal 330, 419 dan seterusnya,
1006, 1446 dan seterusnya);
b. orang yang ditarus di bawah pengampuan (Pasal 433 dan
seterusnya, 446 dan seterusnya, 452, 1446 dan seterus-
nya;dan

17 Keberatan terhadap teori ini karena adanya Pasal 1873 B.W


tentang simultatie atau pernyataan tidak dapat diambil sebagai
dasar dari persetujuan.
18 Teori ini pun mendapat keberatan pada hal-hal di mana pernya-

taan yang diterima berlainan dengan pernyataan yang diucapkan,


misalnya karena pernyataan itu salah diartikan.
12
c. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang diten-
tukan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua
orang yang oleh undang-undang dilarang untuk mem-
buat persetujuan tertentu.
Suatu Pokok Persoalan (Objek Tertentu)
Suatu pokok persoalan merupakan hal atau objek
tertentu dalam persetujuan. Objek persetujuan atau umum-
nya juga disebut dengan barang, yang harus ditentukan
jenis-jenisnya di dalam persetujuan. Dengan adanya suatu
pokok persoalan ini, persetujuan yang memiliki objek
melahirkan hak dan kewajiban. Apa yang menjadi hak
pemilik barang dan apa yang menjadi kewajiban pihak yang
lain. Yang dapat menjadi objek dalam perjanjian adalah
berupa benda bergerak, benda tidak bergerak, benda
berwujud dan benda tidak berwujud. Klasifikasi lain terha-
dap barang yang menjadi objek persetujuan adalah benda-
benda tersebut harus objek perdagangan. Artinya, seluruh
benda-benda di luar perdagangan tidak dapat menjadi objek
persetujuan.
Suatu Sebab yang Tidak Dilarang (Cuasa yang Halal)
Menurut undang-undang, syarat keempat ini meru-
pakan isi persetujuan itu sendiri. Isi persetujuan ini harus
yang diperbolehkan oleh undang-undang dan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum serta kesusilaan.
Oleh karena syarat keempat ini merupakan isi dan tujuan
dari suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya perse-
tujuan itu sendiri, maka persetujuan tanpa isi adalah tidak
mungkin.
Biasanya sebelum perjanjian itu terjadi, para pihank
mengadakan persiapan-persiapan (voorbereidingen), tetapi
ada juga yang bertindak atau berbuat sesuatu menurut
syarat-syarat umum (algemene vervoerwaarden van de lucht-
vaart). Dengan demikian, isi perjanjian dengan sendirinya
akan terbentuk ketika terdapat salah satu atau para pihak
13
yang menetapkan syarat-syarat umum maka pihak lain
harus tunduk dan melaksanakan prestasinya tersebut.
7. Para Pihak yang Terikat Dalam Persetujuan
Dalam pembahasan sub-bab ini diperjelas kembali
para pihak yang terikat dalam persetujuan. Para pihak
dalam persetujuan adalah orang-orang atau pihak-pihak
yang mengikatkan dirinya dalam suatu persetujuan. Pada
dasarnya, seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk diirinya sendiri (Pasal 1315 B.W).
Namun, seseorang boleh menanggung seorang pihak ketiga
dan menjanjikan bahwa pihak ketiga ini akan berbuat
sesuatu, tetapi hal ini tidak mengurangi tuntutan ganti rugi
terhadap orang yang berjanji itu jika pihak ketiga tersebut
menolak untuk memenuhinya (Pasal 1316 B.W).
Lebih lanjut lagi, Pasal 1317 B.W menentukan bahwa
persetujuan untuk kepentingan pihak ketiga dapat diadakan
jika diperuntukan untuk diri sendiri atau persetujuan
tersebut mengandung syarat semacam itu. Siapa pun yang
telah menentukan suatu syarat, tidak boleh menariknya
kembali jika pihak ketiga telah menyatakan akan menggu-
nakan syarat itu.
Terhadap pihak ketiga di dalam perikatan, Pasal 1340
B.W menegaskan 3 (tiga) ketentuan bahwa:
a. persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya;
b. persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; dan
c. persetujuan tidak dapat memberi keuntungan kepada
pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam
Pasal 1317 B.W.
Janji-janji yang disetujui untuk pihak ketiga (derden
beding) ini tidak hanya sebatas pada persetujuan melalui
kuasa (orang-orang yang mengganti kedudukan sebagaima-
na ditentukan dalam Pasal 1357 B.W), tetapi juga kepada
para ahli waris dari pihak yang saling bersetuju (Pasal 1357
14
B.W). Alasannya, para ahli waris menurut B.W merupakan
orang-orang yang memperoleh hak dari para pihak yang
mengadakan persetujuan (rechtdwerkrijgendan) sehingga hak-
hak tersebut dapat diperjanjikan dalam suatu persetujuan,
kecuali persetujuan tersebut menentukan sebaliknya.
Sebagai akibatnya, para pihak di dalam persetujuan yang
membuat persetujuan sesuai dengan undang-undang berla-
ku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
(Alinea 1 Pasal 1338 B.W).
8. Prestasi Suatu Persetujuan
Telah diketahui tentang pengertian dan sifat prestasi
yang sebelumnya telah dimuat pada sub-bab 1. Berdasarkan
prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak yang terikat
di dalam suatu persetujuan, perikatan dapat dibedakan
menjadi 3 (tiga) macam:
a. Perikatan untuk memberikan sesuatu
Contoh umum terhadap perikatan jenis ini: jual-beli. Pasal
1235-1238 B.W merupakan ketentuan pasal-pasal yang
mengatur tentang perikatan untuk memberikan atau
menyerahkan sesuatu. Esensi penyerahan diletakan pada
penyerahan kekuasaan benda secara nyata dan penyerahan
hak milik.
b. Perikatan untuk berbuat sesuatu
Contoh umum terhadap perikatan jenis ini: perburuhan.
Pasal 1239-1242 B.W merupakan ketentuan pasal-pasal yang
mengatur tentang perikatan untuk berbuat sesuatu. Esensi
perbuatan diletakan pada tindakan melakukan seperti apa
yang ditetapkan dalam persetujuan sesuai dengan kelaya-
kan/kepantasan yang berlaku dalam masyarakat.
c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
Contoh umum terhadap perikatan jenis ini: tidak menjual
atau mengalihkan hak miliknya karena dijadikan agunan
terhadap persetujuan utang-piutang. Pasal 1239-1242 B.W
merupakan ketentuan pasal-pasal yang mengatur tentang
15
perikatan untuk tidak berbuat sesuatu. Esensi tidak berbuat
sesuatu ini diletakan pada pembayaran ganti kerugian, biaya
dan bunga apabila tetap dilakukan.
9. Wanprestasi, Overmacht, Dan Risiko
9.1 Wanprestasi
Wanprestasi adalah alpa atau lalai.19 Penjelasan lebih
luas lagi bahwa wanprestasi ialah suatu kejadian dimana
seseorang atau salah satu pihak dalam perikatan tidak
melakukan prestasi sama sekali atau melakukan prestasi
yang keliru. Juga termasuk dalam hal keterlambatan mela-
kukan prestasi, sehingga wanprestasi juga dapat dikatakan
sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang telah
dijanjikan.
Istilah wanprestasi walaupun sudah menjadi kata
serapan dalam bahasa Indonesia (dari bahasa Belanda:
wanprestatie), sebutan lainnya dalam bahasa Indonesia juga
dikenal dengan luput janji atau ingkar janji, moratoir dalam
bahasa Perancis, dan negligent dalam bahasa Inggris. Semu-
anya memiliki hakikat arti yang sama, yaitu perbuatan tidak
memenuhi janji yang telah diberikan, padahal janji itu sudah
mengikat dirinya.
Dengan adanya prestasi yang berupa janji-janji ini
timbul hak dan kewajiban dari dan kepada para pihak
dalam perikatan. Seorang A yang menjanjikan mampu
melunasi pembayaran hutang kepada si B, dan si B berjanji
akan memberi kwitansi tanda terima pelunasan pembayaran
kepada si A sebagai tanda pelunasan. Janji A ini berisikan
kewajiban A untuk melunasi B, dan hak B untuk
mendapatkan uangnya kembali. Di sisi lain pada saat
bersamaan, janji B berisikan kewajibannya untuk memberi-
kan kwitansi setelah menerima pelunasan dari A, dan hak A

19 Yan Pramadya Puspa, op cit, hlm. 610.


16
untuk mendapatkan bukti tanda terima pelunasan atas
hutangnya.
Selain contoh di atas, jika tetap mengacu bentuk-
bentuk prestasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1234
B.W, maka bentuk wanprestasi lainnya secara umum ialah
tidak melakukan prestasi sama sekali, melakukan prestasi
tetapi belum sempurna atau penuh/selesai, dan termasuk
juga pada pemenuhan atau penyelesaian prestasi yang salah.
Oleh karenanya, akibat hukum terhadap wanprestasi berupa
pembayaran-pembayaran penggantian biaya, kerugian dan
bunga sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1243, 1246-1252
B.W. 20
9.2 Overmacht
Menurut hukum, wanprestasi baru bisa mendapat-
kan justifikasi apabila perbuatan ingkar janji tersebut
disebabkan adanya keadaan memaksa (overmacht). Alasan-
nya, bahwa keadaan memaksa adalah peristiwa di luar
kemampuan orang atau pihak yang mengalaminya. Dalam
keadaan seperti ini, orang atau pihak yang mengalami
overmacht harus dapat membuktikan kebenaran adanya
overmacht tersebut yang menjadi penghalang pelaksanaan
janji.
Kejadian-kejadian bencana alam seperti banjir, angin
badai, gempa bumi dan kejadian akibat dari perbuatan
manusia pun seperti kerusuhan, pemogokan, peperangan
dikonotasikan sebagai keadaan memaksa. Bahkan penera-
pannya cenderung mengeneralisasikan terhadap semua
peristiwa yang tidak mampu diantisipasi dan dikendalikan
para pihak dalam perikatan.
Peristiwa-peristiwa yang sering dikategorikan seba-
gai overmacht/force majeure sebagai keadaan memaksa

20Untuk elaborasi, lihat Pasal 1236, 1238, 1239 dan seterusnya,


1304, 1307, 1365 dan seterusnya, dan 1480 B.W.
17
memiliki dua akibat, yaitu permanen (atau sering disebut
dengan absolut) dan sementara (atau sering disebut dengan
relatif). Dalam hal overmacht/forcemajeure yang absolut, oleh
karena akibat dari peristiwa ini permanen maka perikatan
menjadi batal. Artinya, pemulihan kembali dalam keadaan
semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Semen-
tara overmacht/forcemajeure yang relatif, karena sifatnya
sementara maka prestasi hanya ditangguhkan. Artinya
prestasi menjadi hidup kembali apabila keadaan memaksa
tidak ada lagi atau berakhir.
Terdapat cara lain untuk mengkualifikasi prestasi
apa saja yang tertunda sementara dan apa saja yang
dihapuskan. Teori overmacht juridis (juridische overmachts-
theorie) tidak hanya memperhatikan unsur kesalahan tetapi
diperhatikan juga terhadap risiko yang harus ditanggung
jika ia tetap diharuskan memenuhi kewajibannya.21 Teori ini
sering dilengkapi dengan 2 (dua) macam ukuran, yaitu
ukuran objektif dan ukuran subjektif. Ukuran objektif pada
pokoknya didasarkan pada kemampuan seseorang apakah
ia dapat melakukan kewajibannya atau tidak. Sementara
pokok ukuran subjektif dihubungkan kepada pengorbanan
yang harus diderita apabila tetap diharuskan melakukan
prestasinya.22
Pasal 124423 dan 1245 BW merupakan ketentuan yang
mengatur tentang ganti rugi dalam hal apakah overmacht
dapat menjadi alasan utuk pembebasan kewajiban atau
tidak. Hal ini dikarenakan adanya hubungan sangat erat
antara wanprestasi dengan overmacht, sehingga tidak semua
pihak dapat dibebaskan dari kewajibannya karena
kelalaiannya melakukan prestasi dengan menggunakan

21 Hari Saherodji, Pokok-pokok Hukum Perdata, Aksara Baru, Jakarta,


1980, hlm. 104.
22 Ibid, hlm. 103-104.
23 Untuk elaborasi, lihat Pasal 1444 dan 1865 B.W.

18
alasan keadaan memaksa. Singkatnya, apabila orang atau
pihak dapat membuktikan bahwa wanprestasi itu bukan
karena kela-laiannya, melainkan akibat adanya overmacht,
maka menurut hukum ia dibebaskan dari tuntutan pihak
satunya. Sebaliknya, apabila wanprestasi itu berasal dari
kelalaian dan kealpaannya, bukan akibat adanya overmacht,
maka menurut hukum ia wajib mengganti kerugian yang
diderita pihak satunya.
Dalam tataran praktek, overmacht dipersamakan de-
ngan force majeure yang pada pokoknya menggambarkan
terjadinya suatu keadaan di luar kehendak para pihak. Oleh
karenanya keduanya sering diterjemahkan menjadi keadaan
memaksa sehingga menghalangi salah satu atau para
kontraktan dalam memenuhi prestasinya tersebut.
Sering kali menjadi perdebatan hukum, sampai
sejauh mana suatu keadaan yang terjadi dapat dikategorikan
sebagai keadaan memaksa. Apakah setiap kali terjadinya,
misalnya bencana alam, dapat serta merta dijadikan keadaan
memaksa sehingga pihak yang tidak memenuhi prestasinya
karena mengalami bencana alam tersebut juga dengan
otomatis tidak dikualifisir sebagai wanprestasi.
Sesuai dengan sistem norma yang terdapat di dalam
ketentuan Pasal 1244 dan Pasal 1245 B.W., maka suatu
keadaan baru dapat dikategorikan sebagai keadaan
memaksa apabila keadaan yang terjadi di luar kehendak
para pihak tersebut telah dicegah/diantisipasi secara patut.
Ini menegaskan adanya penekanan bahwa tidak semua
keadaan (misalnya bencana alam) akan selalu menjadi kea-
daan memaksa.24

24Untuk elaborasi, lihat Pasal 1244-1245 B.W., Pasal 79 CISG (The


United Nations Convention on Contracts for the International Sale
of Goods), Pasal 7.17 UPIC (The Unidroit Principles of Internatio-
nal Commercial Contracts 2010).
19
9.3 Risiko
Secara umum, risiko berarti bahaya. Dalam perspek-
tif hukum perikatan, risiko lebih diarahkan kepada
tanggung-gugat dalam hal terjadi kerugian. Tanggung-gugat
ini merupakan kewajiban hukum yang mengikat para pihak
untuk memikul kerugian akibat wanprestasi.
Pada awalnya, konsep tanggung-gugat tidak berbeda
jauh dengan tanggung jawab sehingga konon pengertiannya
dipersamakan. Namun lebih detail lagi, tanggung-gugat
merupakan pertanggungjawaban atas peristiwa ingkar janji
atau semacam jaminan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Konsep ini sering disandingkan dengan prinsip transparansi
dalam penentuan tanggung-gugat masing-masing pihak
dalam perikatan. Di sisi lain, tanggung jawab lebih erat
dengan pelaksanaan prestasi, terutama tentang tugas-tugas
kewajiban yang melekat dalam diri masing-masing pihak.
Pada dimensi lain, risiko juga identik diartikan
sebagai kewajiban untuk memikul kerugian yang disebab-
kan kejadian di luar kesalahan para pihak. Misalnya
kerusakan atau musnahnya barang yang diperjual-belikan
selama perjalanan. Dalam hal-hal seperti ini, pembagian
risiko sangat penting untuk ikut ditentukan dengan cara
mengikut sertakan pihak lain yang lebih mampu menangani
risiko itu, misalnya pihak asuransi, walaupun Pasal 1347
B.W menentukan:
“Pada suatu perikatan untuk memberikan barang
tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur
sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menye-
rahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu,
semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungan-
nya”.25

25Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia,


op cit, hlm. 605.
20
Berdasarkan uraian di atas dan jika dikaitkan dengan
hakikat kontrak, maka pembuatan kontrak seyogyanya
mampu mengeliminir risiko melalui kontrak yang lengkap.
Segala bentuk atau jenis risiko yang mampu dihindari,
bahkan risiko di kemudian hari yang dapat dideteksi wajib
dirumuskan di dalam kontrak. Pembuatan kontrak tidak lagi
dilakukan hanya untuk formalitas, atau menekan keseim-
bangan para pihak di dalamnya, tetapi kontrak yang baik
adalah kontrak yang dapat dijadikan acuan/pegangan
hukum para pihak sehingga memberikan perbaikan pertu-
karan dari dan antara para pihak dengan cara pengelolaan
risiko yang berimbang. Sudah sewajarnya keberadaan
kontrak mampu mengakomodir keinginan para pihak secara
nyata, apa-apa saja yang belum lengkap dan konkret pada
saat kesepakatan lisan dirumuskan secara terang dan pasti
melalui kontrak.
10. Macam-Macam Perikatan
Dalam Buku III BW dikenal beberapa macam bentuk
perikatan. Bentuk perikatan yang paling sederhana adalah
perikatan yang hanya terdapat satu orang dari masing-
masing pihak, dan prestasi hanya berupa satu hal tertentu
serta pertukaran dan penuntutannya dilakukan seketika.
Bentuk perikatan yang paling sederhana ini, juga disebut
dengan perikatan murni.
Selain perikatan murni tersebut, bentuk-bentuk lain
dari perikatan adalah:
10.1 Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk) ditentukan dalam
Pasal 1253 BW:
“Suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada
suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan memang belum

Untuk elaborasi, lihat Pasal-pasal: 1264, 1275, 1391, 1444, 1460,


1481 dan seterusnya, 154, 1553, 1605, 648, 1708, dan 1745 dan
seterusnya B.W.
21
terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya peri-
katan itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan
cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi
tidaknya persitiwa itu”.26
Berdasarkan uraian ketentuan di atas, terdapat 2
(dua) macam syarat dalam perikatan bersyarat, yaitu:
a. syarat penangguhan ialah cara-cara yang ditentukan
dalam persetujuan untuk menangguhkan lahirnya perika-
tan sampai peristiwa tertentu itu terjadi. Contoh: X akan
membeli buah jeruk dari Y sebanyak 100 kg kalau Y
berhasil panen.
b. syarat batal ialah cara-cara yang ditentukan dalam
persetujuan untuk membatalkan perikatan baik pada saat
telah dipenuhinya prestasi maupun pada saat syarat
penangguhan tidak terjadi. Contoh: Y berhasil panen dan
menjual hasilnya itu kepada X, maka persetujuan
berakhir (hapus atau batal). Persetujuan juga menjadi
hapus atau batal apabila Y tidak berhasil panen karena
musim kemarau yang berkepanjangan. Kedudukan para
pihak kembali kepada keadaan semula.
10.2 Perikatan Dengan Syarat Waktu
Syarat waktu (termijn) tidak menangguhkan lahirnya
perikatan seperti syarat dalam perikatan bersyarat, melain-
kan hanya menunda atau menangguhkan pelaksanaan
prestasi saja (Pasal 1268 BW). Syarat waktu juga sering
digunakan sebagai jangka waktu berlakunya persetujuan
atau perikatan.
Contoh: 2 macam syarat waktu: (i) X setuju untuk
memberikan waktu tidak lebih dari 3 bulan kepada Y untuk
melakukan panen, setelah itu X akan membeli 100 kg buah
jeruk hasil panen Y; (ii) jika lewat dari 3 bulan maka X tidak

26Ibid, hlm. 606.


Untuk elaborasi, lihat Pasal-pasal: 154, 997, 1169, 1263, 1265 dan
seterusnya, 1268, 1463 dan seterusnya, dan 1990 B.W.
22
jadi membeli. Contoh umum lainnya yang sering ditemukan
adalah pada perjanjian sewa-menyewa dan kontrak kerja
dengan waktu tertentu.
10.3 Perikatan Alternatif
Perikatan alternatif adalah perikatan dengan pilihan
atau yang boleh dipilih oleh salah satu pihak dimana
terdapat dua atau lebih prestasi. Sifat alternatif ini tidak
berarti menghapus keharusan atau kewajiban si berhutang
(debitur) kepada si berpiutang (kreditur). Keharusan mela-
kukan prestasi semacam ini disebut dengan perikatan
engkelvoleinding. Perikatan alternatif tidak sama dengan
perikatan schenking yang merupakan penghibahan atas dasar
suka rela. Selain itu, perikatan alternatif juga tidak sama
dengan sifat pengandaian di dalam perikatan facultatief dan
perikatan cumulatieve atau conjunctief. Perikatan facultatief
mengharuskan debitur untuk tetap melaksanakan prestasi
tertentu tetapi dibebaskan dari yang lain, sementara
perikatan cumulatieve tidak membebaskan kewajiban debitur
terhadap prestasi yang lain walaupun salah satu prestasi
telah dipenuhi.
Jenis perikatan alternatif ini ditentukan dalam Pasal
1272-1277 B.W yang pada pokoknya menentukan bahwa
debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua
benda yang disebutkan dalam perikatan. Namun debitur
tidak boleh memaksa kreditur untuk menerima sebagian
dari benda yang satu dan sebagian dari benda lainnya.27
10.4 Perikatan Tanggung Menanggung
Perikatan tanggung-menanggung juga disebut
dengan perikatan solider. Dalam artian, suatu perikatan
apabila para pihaknya antara seorang kreditur berhadapan
dengan beberapa orang debitur, atau sebaliknya. Dalam hal

27Untuk elaborasi, lihat Pasal-pasal: 1236, 1273, 1332, 1349, 1389,


1392, 1473, 1444 dan seterusnya B.W.
23
salah satu debitur membayar seluruhnya, maka debitur
yang lain dibebaskan pembayarannya. Pasal 1278-1295 B.W
mengatur tentang jenis perikatan ini, yang pada pokoknya
menentukan bahwa perikatan semacam ini harus ditentukan
secara tegas, tidak boleh secara diam-diam.
10.5 Perikatan yang Dapat Dibagi dan yang Tidak Dapat
Dibagi
Pada hakikatnya, apabila para pihak tidak setuju,
suatu perikatan tidak dapat dibagi-bagi, sebab si berpiutang
selalu berhak menuntut pemenuhan persetujuan untuk
seluruhnya. Namun dalam beberapa hal, pemenuhan kewa-
jiban dapat dibagi, misalnya salah satu pihak meninggal
dunia sehingga digantikan oleh ahli waris dalam hak-
haknya juga pembayaran hutang-hutangnya, sehingga
pemenuhan hutang dibagi kepada ahli waris.
Selain itu, pembagian prestasi tergantung pada:
pertama, sifat benda yang menjadi objek perikatan, apakah
dapat dibagi atau tidak, dan kedua, dapat disimpulkan dari
maksud perikatan itu sendiri. Setiap benda yang dapat
dibagi tidak secara otomatis dapat dibagi menurut maksud
perikatannya. Misalnya, seekor kambing bisa saja dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu kepala, badan, dan kakinya. Namun
menurut maksud perikatan yang menginginkan kambing itu
dipelihara tidak mungkin dibagi, sehingga harus diserahkan
dalam keadaan utuh dan hidup.
Pasal 1296-1303 B.W mengatur tentang jenis perika-
tan ini yang pada pokoknya menentukan bahwa dalam hal
suatu perikatan dapat dibagi maka tiap-tiap kreditur ha-
nyalah berhak menuntut suatu bagian menurut porsi
prestasi, sedangkan masing-masing debitur juga hanya
diwajibkan memenuhi porsi kewajibannya itu. Sebaliknya
terhadap perikatan yang tidak dapat dibagi, tiap-tiap
kreditur berhak untuk menuntut seluruh prestasinya,

24
sehingga masing-masing debitur diwajibkan untuk meme-
nuhi seluruh prestasinya itu.
10.6 Perikatan Dengan Ancaman Hukuman
Perikatan dengan ancaman hukuman (strafbeding)
merupakan perikatan yang mencantumkan syarat ancaman
hukuman untuk menjamin pelaksanaan perikatan. Dengan
demikian, apabila debitur lalai memenuhi perikatan, anca-
man hukuman ini dianggap sebagai pengganti kerugian
yang diderita oleh kreditur sebagai akibat hukum tidak
dipenuhinya perikatan oleh debitur.
Ancaman hukuman di dalam suatu perikatan dapat
dimaknai sebagai pendorong agar debitur benar-benar
melaksanakan pemenuhan kewajibannya. Pada hakikatnya
berupa pembayaran sejumlah uang yang merupakan
pembayaran kerugian yang dari semula sudah ditetapkan
sendiri oleh para pihak. Ini untuk membebaskan kreditur
dari pembuktian besarnya kerugian yang diderita karena
wanprestasi oleh debitur.
Ketentuan tentang ancaman hukuman ini terdapat
dalam Pasal 1304-1321 B.W. Hakim diberi wewenang oleh
undang-undang untuk meringankan hukuman itu apabila
debitur mulai memenuhi kewajibannya. Dalam hal debitur
belum atau tidak memenuhi kewajibannya sama sekali,
sedangkan ancaman hukuman bertambah berat, terutama
terhadap denda keterlambatan, maka Hakim harus
mempertimbangkan itikad baik dari para pihak (Pasal 1338
alinea 3 B.W).
11. Hapusnya Perikatan
Pasal 1381 B.W menentukan 10 (sepuluh) cara
hapusnya suatu perikatan, yakni karena:
11.1 Pembayaran
Pelaksanaan atau pemenuhan perikatan secara
sukarela, tidak ada paksaan atau eksekusi disebut pemba-
yaran. Pembayaran dapat berupa uang, penyerahan barang
25
yang dijual oleh penjualnya, atau pekerja yang melakukan
pekerjaan untuk majikan.
Kata pembayaran menurut undang-undang memiliki
arti yang luas, tidak hanya terbatas kepada pembeli yang
membayar harga barang yang dibelinya dari si penjual,
tetapi si penjual juga dianggap telah membayar apabila ia
telah menyerahkan barang (levering) tersebut kepada si
pembeli. Pihak yang berkewajiban membayar (hutang) ialah:
(i) orang yang berhutang atau debitur; (ii) orang yang turut
berhutang; (iii) penanggung hutang (borgtocht); dan (iv) pi-
hak ketiga yang bertindak atas nama sendiri (tidak meng-
gantikan debitur). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa suatu pembayaran adalah sah apabila dilakukan oleh
orang yang berhak, dan pemilik barang yang berkuasa
memindahkannya.
Pembayaran dapat dilakukan di tempat yang telah
ditentukan dalam perikatan. Dalam hal tempat pembayaran
tidak ditentukan, maka pembayaran dapat dilakukan di
tempat barang itu berada pada waktu perikatan dilahirkan
(Pasal 1393 B.W). Selain kedua hal tersebut, pembayaran
juga dapat dilakukan di tempat tinggal kreditur, dan jika
suatu pembayaran berupa uang, maka pembayaran
dilakukan di tempat kreditur.
Persoalan pembayaran juga menimbulkan penggan-
tian hak-hak kreditur oleh pihak ketiga yang membayar
kepada kreditur (subrogatie). Subrogatie terjadi karena perse-
tujuan yang dinyatakan secara tegas atau dapat terjadi kare-
na undang-undang. Pasal 1401 B.W menentukan bahwa
subrogatie terjadi karena persetujuan:
a. bila kreditur, dengan menerima pembayaran dari pihak
ketiga, menetapkan bahwa orang ini akan menggantikan-
nya dalam menggunakan hak-haknya, gugatan-gugatan-
nya, hak-hak istimewa dan hipotek-hipotek terhadap
debitur; dan
26
b. bila debitur meminjam sejumlah uang untuk melunasi
utangnya, dan menetapkan bahwa orang yang memin-
jamkan uang itu akan mengambil alih hak-hak kreditur;
agar subrogasi ini sah, baik perjanjian pinjam uang
maupun tanda pelunasan, harus dibuat dengan akta
otentik, dan dalam surat perjanjian pinjam uang harus
diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna melunasi
utang tersebut; sedangkan dalam surat tanda pelunasan
harus diterangkan bahwa pembayaran dilakukan dengan
uang yang dipinjamkan oleh kreditur baru.28
Pasal 1402 B.W menentukan bahwa subrogasi yang terjadi
karena undang-undang:29
a. untuk seorang kreditur yang melunasi utang seorang
debitur kepada seorang kreditur lain, yang berdasarkan
hak istimewa atau hipoteknya mempunyai suatu hak
yang lebih tinggi daripada kreditur tersebut;30
b. untuk seorang pembeli suatu barang tidak bergerak yang
memakai uang harga barang tersebut untuk melunasi
para kreditur, kepada siapa barang itu diperikatkan
dalam hipotek;31
c. untuk seseorang yang terikat untuk melunasi suatu utang
bersama-sama dengan orang lain, atau untuk orang lain,
dan berkepentingan untuk membayar utang itu;32 dan
d. untuk seorang ahli waris yang telah membayar utang-
utang warisan dengan uangnya sendiri, sedang ia

28 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia,


loc cit, hlm. 616-617.
Untuk elaborasi, lihat Pasal-pasal: 400, 613, 1382, 1403, dan 1848
B.W.
29 Ibid, hlm. 617.
30 Untuk elaborasi, lihat Pasal-pasal: 1133 dan 1382 B.W.
31 Untuk elaborasi, lihat Pasal-pasal: 1198 dan seterusnya B.W.
32 Untuk elaborasi, lihat Pasal-pasal: 1106, 1202, 1204, 1280 dan

seterusnya, 1293, 1301 dan seterusnya, 1840, dan 1848 B.W, serta
Pasal-pasal 146, 148, 162, dan 284 W.v.K (Wetboek van Koophandel).
27
menerima warisan itu dengan hak istimewa untuk
mengadakan pencatatan tentang keadaan harta peningga-
lan.33
Ketentuan Pasal 1400-1403 B.W membedakan penger-
tian antara penggantian hak seseorang berpiutang (subro-
gatie) dengan dengan cessie. Cessie adalah suatu perbuatan
pemindahan suatu piutang kepada seseorang yang telah
membeli piutang.
11.2 Penawaran Pembayaran Tunai Disertai Penitipan
Penawaran pembayaran tunai dapat disertai dengan
penitipan (consignatie) ketika si berpiutang tidak mau
menerima pembayaran barang atau uang yang hendak
dibayarkan oleh si berhutang yang dibawa atau diantar
kepada si berpiutang. Apabila ia tetap menolak maka barang
atau uang itu disimpan di suatu tempat atas tanggungan si
berpiutang. Penawaran dan peringatan tersebut harus
dilakukan secara resmi oleh seorang juru sita yang
melakukan proses verbal dan melakukan penyimpanan di
kepaniteraan Pengadilan Negeri dengan memberitakannya
pada si berpiutang. Bila ketentuan tersebut telah dipenuhi,
maka si berhutang telah bebas dari hutangnya karena
dianggap telah membayar. Pembayaran secara “konsinyasi”
dapat terjadi bila debitur telah melakukan suatu penawaran
pembayaran dengan perantara notaris atau juru sita, kemu-
dian kreditur menolak penawaran tersebut.
Rekening atau nota konsinyasi adalah penitipan
barang untuk dijual atas nama si penitip atau pemilik
dengan ketentuan setiap barang yang telah terjual, jumlah
hasil penjualan barang tersebut disetor kepada pemilik atau
penitip barang dikurangi komisi yang telah disepakati (Pasal
1405-1407 B.W). Notaris atau juru sita membuat perincian
uang atau barang yang dibayarkan, kemudian pergi ke

33 Untuk elaborasi, lihat Pasal 1032 ayat (1) B.W.


28
rumah kreditur untuk melakukan pembayaran penyerahan
atas permintaan debitur. Bila kreditur menolak, juru sita
atau notaris mempersilahkan kreditur untuk menandatanga-
ni berita acara yang telah dipersiapkan. Bila kreditur
menolak menandatangani, juru sita atau notaris mencatat
dalam berita acara, dengan demikian terdapat bukti bahwa
kreditur menolak pembayaran yang ditawarkan kepadanya.
Bila diserahkan benda tak bergerak, sedang pembeli tidak
mau menerima benda tersebut, undang-undang tidak mem-
berikan cara untuk melaksanakan pembalikan nama yang
dapat dianggap pemindahan hak milik kepada Hakim untuk
menentukan uang paksa pada pembeli agar dia mau mem-
bantu pembalikan nama barang yang dibelinya.
11.3 Pembaharuan Utang
Pembaharuan utang (novasi) pada dasarnya dapat
terjadi karena disebabkan oleh pergantian suatu pembuatan
perikatan baru yang menghapuskan suatu perikatan lama;
atau debitur lama dengan debitur baru, kreditur lama
dengan kreditur baru, utang lama diganti utang yang baru.
Selanjutnya apabila terjadi pergantian objek perjanjian,
maka disebut “novasi objektif” yang mengakibatkan hutang
lama hapus, dan apabila diganti orang atau subjeknya,
maka:
a. debitur yang diganti disebut novasi subjektif pasif; atau
b. kreditur yang diganti disebut novasi subjektif aktif.
Perbedaan antara novasi/pembaharuan dengan cessie dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Novasi/Pembaharuan Cessie
secara lisan / tertulis secara tertulis
hak accesoir tidak berpindah hak accesoir tidak berpindah
dengan bantuan debitur tidak memerlukan bantuan de-
bitur/cukup pemberitahuan

Selanjutnya perbedaan antara novasi dan subrogasi dapat


dilihat pada tabel di bawah ini:
29
Novasi Subrogasi
dengan persetujuan pihak yang dengan penetapan undang-
bersangkutan undang bersangkutan.
dapat disimpulkan dari per- dilakukan secara tegas dalam
buatan perjanjian
hak accesoir (hipotek) tidak semua hak dan hipotek
ikut berpindah perjanjian lama pindah pada
kreditur baru

11.4 Perjumpaan Utang


Perjumpaan utang (compensatie) merupakan salah
satu cara penghapusan utang. Perjumpaan utang tersebut
dilakukan dengan cara memperhitungkan utang-piutang
masing-masing pihak sehingga salah satu perikatan menjadi
hapus. Ketentuan Pasal 1425-1435 B.W merupakan penga-
turan terhadap penghapusan perikatan karena kompensasi
atau perjumpaan utang yang pada pokoknya menentukan
perjumpaan utang memiliki elemen:
a. perhitungan itu dengan sendirinya;
b. para pihak tidak perlu menuntut tindakan perhitungan;
c. untuk perhitungan itu tidak diperlukan bantuan
siapapun;
d. kedua piutang harus merupakan uang/sejumlah barang
semacam; atau
e. barang itu harus dapat seketika ditetapkan jumlahnya
dan seketika dapat ditagih.
Perjumpaan utang terjadi demi hukum bahkan tanpa
sepengetahuan orang yang berhutang, jadi seolah-olah
perjumpaan utang itu terjadi secara otomatis (Pasal 1426
B.W).34 Syarat-syarat perjumpaan hutang adalah:
a. berupa sejumlah uang atau barang yang dapat dihabiskan
dari jenis atau kualitas yang sama;

34 Lihat Pasal-pasal 1431 dan 1433 B.W dalam hal perjumpaan


utang yang harus diajukan atau dimintakan oleh pihak yang
berkepentingan.
30
b. utang itu sudah harus dapat ditagih; atau
c. utang itu seketika dapat ditentukan dan ditetapkan
jumlahnya.
Pada hakikatnya, setiap utang dapat dikompensasikan,
namun terdapat pengecualian sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1429 B.W. Pengecualian tersebut adalah sebagai
berikut:
a. bila dituntut suatu pengembalian suatu barang yang
secara melawan hukum dirampas dari pemiliknya
(pencurian);
b. bila apa yang dituntut adalah pengembalian suatu barang
yang dititipkan atau dipinjamkan;35
c. terhadap suatu utang yang bersumber pada tunjangan
nafkah yang telah dinyatakan tidak dapat disita;
d. lampau waktu, semua tuntutan hukum yang bersifat
kebendaan maupun perorangan hapus karena daluwarsa
dengan lewatnya waktu 30 tahun; dan
e. kepailitan dalam peraturan kepailitan.
11.5 Pencampuran Utang
Menenai pencampuran utang diatur di dalam
ketentuan Pasal 1436 B.W yang pada pokoknya menentukan
bahwa pencampuran utang:
a. terjadi apabila kedudukan kreditur dan debitur menjadi
satu berada dalam satu tangan; atau
b. terjadi demi hukum secara otomatis
Misalnya, si berhutang kawin dengan si berpiutang
dalam percampuran atau persatuan harta kekayaan.
11.6 Pembebasan Utang
Pembebasan utang ditentukan dalam Pasal 1438-1443
B.W yang pada pokoknya menentukan bahwa jika si
berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki

35Untuk elaborasi, lihat Pasal-pasal: 1694 dan seterusnya, 1714 dan


seterusnya, dan 2740 dan seterusnya B.W.
31
lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas
pembayaran atau pemenuhan perikatan, maka pembebasan
utang semacam ini mengakibatkan hapusnya perikatan.
Terdapat syarat-syarat pembebasan utang:
a. tidak boleh berdasarkan persangkaan;
b. harus ada pembuktian; dan
c. dengan pengembalian surat piutang asli oleh kreditur
pada debitur secara sukarela.
Dalam hal terdapat beberapa kreditur yang saling menang-
gung, maka pembebasan utang seorang debitur akan mem-
bebaskan debitur-debitur lainnya. Pembebasan utang
penjamin tidak membebaskan debitur utama.
11.7 Musnahnya Benda yang Terutang
Mengenai musnahnya benda sebagai objek perikatan
ditentukan dalam Pasal 1444-1445 B.W. Ketentuan-ketentuan
tersebut hanya berlaku apabila barang tertentu yang menjadi
objek perikatan musnah atau tidak dapat diperdagangkan
atau hilang di luar kesalahan debitur, sebelum ia lalai
menyerahkan pada waktu yang telah ditentukan maka
perikatan menjadi hapus.
Selanjutnya, penghapusan perikatan semacam ini
juga memiliki syarat-syarat, yakni:
a. lenyap atau hilangnya barang bukti di luar kesalahan
debitur; atau
b. adanya usaha debitur mencegah hilang atau musnahnya
barang yang menjadi objek perikatan.
Perolehan benda secara tidak sah seperti mencuri, maka
musnah atau hilangnya barang tidak membebaskan debitur
atau orang yang mencuri untuk mengganti harganya.
Apabila debitur lalai menyerahkan barang, maka ia akan
bebas dari perikatan, asal dapat membuktikan bahwa
musnahnya barang disebabkan oleh kejadian di luar kekua-
saannya dan barang itu akan mengalami nasib sama
(misalnya musnah) walaupun sudah berada di tangan
32
kreditur. Debitur mendapatkan ganti dari orang lain seperti
asuransi, maka hak atas ganti rugi kerugian itu harus
diserahkan pada kreditur karena barang yang terutang
tersebut pada dasarnya menjadi milik kreditur.
11.8 Kebatalan dan Pembatalan
Suatu kebatalan terjadi “demi hukum” ketika perse-
tujuan tidak memenuhi syarat objektif. Akibat hukum
terhadap persetujuan yang dibuat oleh orang-orang yang
tidak cakap untuk bertindak sendiri, dibuat dengan paksaan
(dwang), kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog), atau
mempunyai sebab atau causa yang bertentangan dengan
undang-undang kesusilaan, ketertiban umum adalah “dapat
dibatalkan” atau vernietigbaar. Dengan pembatalan ini, kea-
daan antara kedua belah pihak dikembalikan semula seperti
sebelum ada persetujuan.
Suatu pembatalan karena tidak terpenuhinya syarat
subjektif, misalnya terhadap ketidakcakapan salah satu
pihak karena dilakukan oleh anak dibawah umur atau
minderjarig, kekhilafan, penipuan, paksaan, pembatalannya
hanya dapat dituntut oleh mereka-mereka sendiri yang
hendak dilindungi oleh undang-undang dengan syarat:
a. diajukan oleh pihak yang dirugikan;
b. perjanjian harus dilakukan dalam 5 (lima) tahun;
c. perjanjian yang dibuat oleh anak kecil atau minderjarig
dihitung mulai anak menjadi dewasa; dan
d. perjanjian yang dibuat dengan kekhilafan, penipuan sejak
diketahui adanya penipuan.
Terdapat dua cara permintaan pembatalan, yaitu:
a. cara aktif yakni dengan menuntut pembatalan melalui
Hakim dengan mengajukan gugatan;
b. cara pembelaan yakni dengan menunggu sampai digugat
di muka hakim untuk memenuhi perikatan, baru
diajukan alasan tentang kekurangan perikatan.

33
Penuntutan pembatalan dapat ditolak oleh Hakim
bila ternyata sudah ada “penerimaan baik” dari pihak yang
dirugikan. Karena penerimaan baik suatu kekurangan atau
suatu perbuatan yang merugikan padanya dapat dianggap
telah melepaskan haknya untuk pembatalan. Pembatalan
juga dapat dilakukan oleh Hakim bila ternyata kedua belah
pihak telah meletakkan kewajiban timbal balik yang satu
sama lainnya tidak seimbang dan ternyata salah satu pihak
berbuat secara bodoh, kurang pengalaman atau dalam
keadaan terpaksa.
Untuk pembatalan secara aktif, undang-undang
memberikan batasan waktu 5 tahun (Pasal 1445 B.W),
sementara pembatasan pembelaan, tidak ada batas waktu.
Mengapa masih dapat dibedakan akibat hukum tidak
terpenuhinya syarat sahnya perjanjian antara batal demi
hukum dengan dapat dimintakan pembatalan? Menurut
Subekti, keduanya dapat dilihat dari sudut keamanan dan
ketertiban pembuatan kontrak. Dalam hal suatu kontrak
tidak memuat suatu hal (objek) dan tidak diperbolehkan
oleh hukum (tidak halal atau melanggar hukum dan
kesusilaan) maka kontrak tersebut tidak dapat dijalankan.
Sementara terhadap tidak terpenuhinya syarat subjektif,
maka pelaksanaan kontrak tersebut diserahkan kepada para
kontraktan sesuai dengan kepentingannya masing-masing
apakah ia atau mereka menghendaki pembatalan atau tidak.
11.9 Berlakunya Syarat Batal
Syarat batal merupakan ketentuan isi persetujuan
yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Syarat itu kalau
tidak dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal sehingga
perikatan menjadi hapus. Syarat batal pada asasnya berlaku
surut sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan batal dipulih-
kan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada
perikatan. Dipenuhinya syarat batal, maka perikatan

34
menjadi batal, pemulihan tidak berlaku surut tapi terbatas
sejak dipenuhi syarat itu.
11.10 Kedaluwarsa atau Lewat Waktu
Lewatnya waktu seseorang untuk memperoleh hak
milik dapat dibebaskan dari perikatan. Dengan lewatnya
waktu yang ditentukan, maka perikatan hapus. Terdapat 2
(dua) macam lampau waktu (daluarsa):
a. lampau waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu
barang disebut “acquisitive verjaring”; dan
b. lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan
atau dibebaskan dari tuntutan disebut “extinctive
verjaring”.
Selanjutnya terkait dengan lewatnya waktu (dalu-
arsa), Pasal 1963 B.W menentukan sebagai berikut:
a. barang siapa yang beritikad baik dan berdasarkan
sesuatu atas hak yang sah memperoleh suatu benda yang
tidak bergerak, suatu bunga atau suatu piutang lainnya
yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak
milik atasnya dengan daluwarsa, dengan penguasaan
selama 20 tahun; dan
b. barang siapa dengan itikad baik menguasai selama 30
tahun, memperoleh hak milik dengan tidak dapat
dipaksa menunjukkan atas haknya.
Daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan
diatur dalam Pasal 1967 B.W. Segala tuntutan baik yang
bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan hapus
karena kadaluwarsa, dengan lewatnya waktu 30 tahun,
sedang orang menunjukkan dakwaan tidak usah
menunjukkan tangkisan yang berdasarkan itikad buruk.
Terhadap benda bergerak yang berupa bunga atau piutang
oleh pembawanya tidak harus dibayar atas tunjuk, dalam
hal ini siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemilik.
Bila orang kehilangan atau kecuriaan suatu barang dalam
waktu 3 tahun terhitung sejak hilangnya atau dicurigainya
35
barang yang hilang atau dicuri sebagai barang miliknya di
tangan siapapun barang itu berada. Pemegang terakhir
dapat menuntut pada orang yang terakhir menyerahkan
atau menjual kepadanya suatu ganti kerugian.
Daluwarsa dapat dicegah, bila kenikmatan benda
lebih dari satu tahun diambil kembali dari tangan yang
menguasai benda tersebut, baik pemilik atau oleh pihak
ketiga. Mengenai upaya pencegahan daluwarsa dapat
dilakukan dengan:
a. dengan peringatan;
b. dengan teguran; dan
c. dengan gugatan atau perbuatan hukum lainnya.
Daluwarsa tidak dapat dicegah, apabila peringatan dan
gugatan ditarik kembali atau dinyatakan batal, digugurkan
atau ditolak oleh Hakim (Pasal 1981 B.W). Selanjutnya,
terkait dengan daluwarsa tidak berjalan dalam hal-hal
sebagai berikut:
a. terhadap anak yang belum dewasa atau orang di bawah
pengampuan;
b. terhadap istri selama perkawinan;
c. terhadap suatu hutang yang digantungkan pada suatu
syarat, selama syarat itu tidak terpenuhi; dan
d. terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu
warisan dengan hak istimewa untuk membuat
pendaftaran harta peninggalan mengenai piutang-
piutangnya terhadap harta peninggalan.

36
BAB II
TINJAUAN UMUM PERIKATAN DALAM SISTEM
HUKUM KETENAGAKERJAAN

1. Perjanjian Kerja
Suatu perjanjian kerja merupakan hubungan hukum
antara pengusaha sebagai pihak pemberi kerja dengan
pekerja atau buruh sebagai pihak penerima kerja. Perjanjian
mana pada pokoknya berisikan perikatan yang mengikat
hubungan kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan
kewajiban para pihak. Dalam sistem hukum
ketenagakerjaan, hak dan kewajiban para pihak diawali
dengan adanya perintah kerja dari pengusaha kepada
pekerja atau buruh.
Hubungan kerja merupakan hubungan antara
pengusaha de-ngan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian
kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 52 UU Ketenaga-
kerjaan:
a. Kesepakatan para pihak
b. Kecakapan melakukan perbuatan hukum
c. Pekerjaan yang diperjanjikan
d. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusi-
laan, dan peraturan perundang-undangan
Terdapat berbagai macam perjanjian kerja dalam
system ketenagakerjaan, yaitu:
Berdasarkan Pasal 1601 KUHPerdata:
1. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
a. Pasal 1601b KUHPer
b. Pasal 1604 KUHPer
c. Pasal 1610 KUHPer
d. Pasal 1610-1616 KUHPer
e. Pasal 1367 KUHPer
f. Pasal 64-66 UUKK
37
2. Perjanjian Melakukan Jasa-jasa Tertentu
a. Pasal 1601 KUHPer
b. Pasal 66 UUKK
c. Kepmenakertrans No. Kep.101/MEN/VI/2004
3. Perjanjian Kerja
a. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
b. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
c. Perjanjian Kerja Harian Lepas (PKHL)
d. Perjanjian Antarkerja Antar Daerah (AKAD)
e. Perjanjian Antarkerja Antar Negara (AKAN)
f. Perjanjian Kerja Tenaga Kerja Asing (TKA)
g. Perjanjian Kerja Laut (PKL)
h. Perjanjian Kerja Di Perusahaan Perkebunan
i. Pekerjaan Kerja Di Rumah
j. Pekerjaan Kerja Adat
1.1 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Jenis dan kegiatan pekerjaan yang bisa dianggap
PKWT:
a. Sekali selesai atau sementara sifatnya
b. Diperkirakan untuk waktu yang tidak lama akan se-lesai
(paling lama 3 tahun)
c. Bersifat musiman atau yang berulang kembali
d. Bukan merupakan kegiatan pokok suatu perusahaan atau
merupakan pekerjaan penunjang
e. Berhubungan dengan produk baru, atau kegiatan baru
atau tambahan yang dalam pecobaan
1. Dibuat secara tertulis dengan Bahasa Indonesia dan
tulisan latin
2. Tidak boleh dipersyaratkan adanya masa percobaan
3. Dibuat rangkap 3, masing-masing untuk pekerja,
pengusaha, dan instansi ketenagakerjaan untuk di-
daftar
4. Seluruh biaya pembuatan kontrak ditanggung pe-
ngusaha
38
5. Tidak dapat ditarik kembali atau dirubah, kecuali atas
persetujuan para pihak atau karena alasan-alasan yang
diharuskan oleh UU
6. Jika diperpanjang, pemberitahuan tertulis kepada
pekerja selambat-lambatnya 7 hari sebelum be-rakhir
7. Proses pembaruan perjanjian paling lama 30 hari
8. Hanya boleh 1 kali pembaruan/perpanjangan un-tuk
jangka waktu yang sama dan tidak boleh me-lebihi
waktu seluruhnya 3 tahun.
9. Syarat formal pembuatan PKWT:
a. Dibuat rangkap 3
b. Didaftarkan pada Kantor/Dinas Tenaga Kerja se-
tempat
c. Biaya pembuatan PKWT ditanggung oleh pengu-
saha
d. Memuat identitas serta hak dan kewajiban para
pihak:
1. Nama dan alamat pengusaha atau perusaha-an
2. Nama, alamat, umur, dan jenis kelamin pe-
kerja
3. Jabatan atau jenis/macam pekerjaan
4. Besarnya upah serta cara pembayaran
5. Hak dan kewajiban pekerja
6. Hak dan kewajiban pengusaha
7. Syarat-syarat kerja
8. Jangka waktu berlakunya perjanjian
9. Tempat atau lokasi kerja
10. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat
11. Tanggal mulai berlakunya dan ditandata-ngani
oleh para pihak
12. PKWT yang tidak dibuat dalam Bahasa In-
donesia dan huruf latin berubah menjadi
PKWTT sejak adanya hubungan kerja

39
13. PKWT yang melanggar ketentuan berubah
menjadi PKWTT
14. Pembaruan PKWT tidak melalui masa teng-
gang 30 hari setelah berakhir, dan tidak di-
perjanjikan lain, PKWT berubah menjadi
PKWTT
1.2 Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
a. Perjanjian yang dibuat antara pekerja dengan pengu-saha
untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu yang
tidak ditentukan kapan berakhir
b. Biasanya diakhiri: wanprestasi, onrechtmatigedaad, ke-
hendak bebas para pihak, keadaan perusahaan
c. Jika dibuat secara lisan, pengusaha wajib membuat surat
pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan dengan
sekurang-kurangnya memuat:
1. Nama & alamat pekerja;
2. Tanggal mulai bekerja;
3. Jenis pekerjaan; dan
4. Besarnya upah (Pasal 63 UUKK)
d. Dapat dipersyaratkat masa percobaan kerja paling lama 3
bulan
e. Selama masa percobaan, pengusaha dilarang mem-bayar
upah dibawah upah minimum
f. Jika tidak ditentukan, masa percobaan dianggap tidak
ada
1.3 Perjanjian Kerja Harian Lepas (PKHL)
a. Perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan
pekerja untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan
dapat berubah-ubah dalam hal waktu maupun volume
pekerjaan, dengan menerima upah yang didasarkan atas
kehadiran pekerja
b. Tidak boleh dilakukan untuk pekerjaan yang bersifat
rutin, tetap dan berkelanjutan, kecuali menurut sifat
jenisnya menggunakan pekerja harian lepas
40
c. Jangka waktu untuk mengerjakan pekerjaan dilakukan
dalam waktu yag relatif singkat dan tidak melebihi 3
bulan
d. Pekerjaan dilakukan tidak melebihi 20 hari kerja dalam
sebulan
e. Pekerjaan yang dilakukan untuk pekerjaan tertentu yang
berubah-ubah
f. Peraturan perundangan mengenai upah, kecelakaan
kerja, dan waktu istirahat juga berlaku terhadap PKHL
g. PKHL dapat dibuat berupa daftar pekerja yang mela-
kukan pekerjaan, yang paling tidak memuat:
1. Nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja
2. Nama/alamat pekerja
3. Jenis pekerjaan yang dilakukan
4. Besarnya upah dan/atau imbalan lainnya
h. Wajib dicatatkan kepada instansi ketenagakerjaan se-
tempat selambat-lambatnya 7 hari sejak perjanjian dib-uat
1.4 Perjanjian Kerja Antarkerja Antar Daerah
a. Perjanjian kerja yang dibuat antara pemberi kerja yang
memperkerjakan pekerja untuk dipekerjakan di luar
wilayah provinsi tempat tinggal pencari kerja, dalam
suatu waktu tertentu
b. Dibuat paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang 1
tahun
c. Pengusaha dapat memperpanjang jika sifat dan jenis
pekerjaannya memerlukan waktu lebih lama, misalnya
perkebunan kelapa sawit
d. Peraturan perundangan tentang upah, kecelakaan ker-ja,
waktu istirahat, dan fasilitas untuk pekerja juga ber-laku
terhadap AKAD
1.5 Perjanjian Kerja Antarkerja Antar Negara
a. Perjanjian tertulis yang dibuat antara pekerja Indo-nesia
(TKI) dengan pengguna, baik instansi pemerin-tah, badan
usaha atau perorangan di luar negeri
41
b. Sekurang-kurangnya memuat:
1. Nama dan alamat pengguna
2. Nama dan alamat TKI
3. Jabatan atau jenis pekerjaan TKI
4. Hak dan kewajiban para pihak
5. Kondisi dan syarat kerja: upah, cara pembaya-rannya,
jam kerja, hak cuti dan waktu istirahat, fa-silitas, dan
jaminan sosial
6. Jangka waktu perjanjian
a. Dapat dibuat untuk 2 tahun dan dapat diper-
panjang 2 tahun lagi
b. Wajib didaftarkan pada perwakilan Indonesia di
negara setempat
c. Tujuannya, agar dapat diselesaikan menurut hu-
kum Indonesia jika terjadi sengketa
d. Penempatan TKI ke luar negeri harus memenuhi
ketentuan:
1. Negara tujuan memiliki peraturan perlindu-ngan
tenaga kerja asing
2. Negara tujuan membuka kemungkinan kerja-
sama bilateral dengan negara Indonesia dibi-
dang penempatan TKI
3. Keadaan di negara tujuan tidak membaha-yakan
keselamatan TKI
1.6 Perjanjian Kerja Tenaga Kerja Asing (TKA)
a. Perjanjian kerja antara perusahaan dengan seorang
pekerja warga negara asing, baik pendatang maupun
yang telah menjadi penduduk Indonesia
b. 2 bentuk:
1. TKA yang bekerja di perusahaan berdomisili di
Indonesia
2. TKA yang dipekerjakan di Indonesia oleh perusa-haan
induknya di luar negeri
c. Biasanya dalam bentuk PKWT dan berlaku 2 tahun
42
d. Pemberian izin kerja diberikan 1 tahun dan dapat
diperpanjang sesuai dengan izin tinggal TKA
e. Untuk TKA pendatang, perusahaan wajib melatih
pekerja Indonesia sebagai pendamping dan mem-bayar
biaya untuk latihan tersebut kepada Departe-men
Tenaga Kerja sebesar $100 sebulan untuk setiap TKA
pendatang
1.7 Perjanjian Kerja Laut (PKL)
a. Perjanjian yang dibuat antara pengusaha kapal dengan
pihak pekerja untuk melakukan pekerja dengan men-
dapat upah, baik sebagai Nakhoda atau anak buah ka-pal
b. Dapat dilakukan dengan PKWTT atau PKWT
c. PKL memiliki kekhususan, terutama dalam hal perse-
lisihan dan atau PHK
d. Dapat mengesampingkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, karena sifat dan kondisi PKL
memiliki kebiasaan
e. Tempat bekerja di kapal yang selalu berpindah-pindah,
tidak dapat dipastikan dan ditentukan terlebih dahulu
1.8 Perjanjian Kerja Perkebunan
Peraturan perundangan tentang ketenagakerjaan
berlaku sama.
1.9 Perjanjian Kerja Di Rumah
Pekerjaan yang dilakukan dalam usaha mengha-silkan
suatu produk tertentu yang dilakukan di rumah (di luar
perusahaan) atas dasar pesanan/permintaan pihak lain, baik
perorangan atau pengusaha, dengan cara dipe-roleh sendiri
atau melalui perantara, dengan mendapat-kan imbalan
sistem borongan atau hasil, bukan atas jam kerja.
1.10 Perjanjian Kerja Adat
a. Kerja bagi hasil
b. Kerja Upah Mengupah
c. Kerja Borongan

43
2. Berakhirnya Perjanjian Kerja
Menginat perjanjian kerja juga merupakan perbuatan
hukum yang melahirkan hubungan hukum, maka
pengakhiran atau pemutusan hubungan hukum juga telah
ditentukan yaitu antara lain:
a. Harus mengupayakan dengan berbagai cara agar PHK
tidak terjadi.
b. Antara lain dengan memberikan pembinaan dan
pendidikan terhadap pekerja, memperbaiki kondisi
perusahaan, mutasi.
c. Memberikan peringatan kepada pekerja sebelum me-
lakukan PHK.
d. Jika tidak berhasil, pengusaha dapat mengajukan PHK
kepada lembaga PPHI.
e. PHK masal dapat dihindari dengan cara (SE Menaker No.
1273/M/1985):
1. Bagi perusahaan yang mengalami kemunduran,
hendaknya memberikan penjelasan kepada para
pekerja/SP mengenai keadaan perusahaan
2. Sebelum tahap PHK, kepada pekerja dapat di-
tuangkan dengan penurunan upah sebagai tahap pe-
nyelamatan perusahaan dengan efisiensi dan peng-
hematan
3. Jika penyelamatan PHK tidak berhasil, PHK hanya
dapat dilakukan dengan mengindahkan ketentuan
yang ada
f. Selama putusan atas PHK belum berkekuatan hukum
tetap, pekerja dan pengusaha harus tetap menjalankan
kewajibannya
g. Pekerja yang mengalami PHK tanpa penetapan lem-baga
PPHI adalah batal demi hukum dan pe-ngusaha wajib
mempekerjakan pekerja yang bersang-kutan ser-ta
membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya
diterima
44
3. Perbandingan Beberapa Detail Penting Antara Perjan-
jian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja
Bersama
Dalam sistem hukum ketenagakerjaan, perikatan
dapat terjadi melalui berbagai macam perbuatan hukum.
Selain perjanjian kerja, seperti peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama juga memiliki substansi pengaturan
yang berbeda, baik dari para pihak, dasar hukum, syarat
sahnya, isi dan bentuk kesepakatan, mulai dan masa
berlaku, kekuatan mengikat, dan kedudukan hukum
perikatan itu sendiri.
Berikut tabel perbandingan beberapa detail penting
antara perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian
kerja bersama:
N Tentang Perjanjian Peraturan Perjanjian Kerja
o Kerja Perusahaan Bersama
1 Pihak- a. Pengusaha Pengusaha a. Pengusaha,
pihak b. Pekerja yang Pengusaha-
memperkerjak pengusaha
b. Serikat Pekerja-
an pekerja 10
Serikat Pekerja
orang atau yang tercatat di
lebih Depnaker
2 Dasar a. KUHPerda a. Undang a. Undang-Undang
Hukum ta Buku III - No. 13 Tahun
titel 7A Undang 2003 tentang
Pasal 1601 No. 13 Ketenagakerjaan
s/d 1603z Tahun b. Peraturan
b. Undang- 2003 Pemerintah No.
Undang tentang 49 Tahun 1954
No. 13 Ketenag c. Keputusan
Tahun akerjaan Menteri Tenaga
2003 b. Keputus Kerja dan
tentang an Transmigrasi No.
Ketenagak Menteri KEP-
erjaan Tenaga 48/MEN/IV/20
c. Keputusan Kerja 04
Menteri dan
Tenaga Transmi
Kerja dan grasi
Transmigr No.

45
asi No. KEP-
KEP- 48/ME
100/MEN/ N/IV/2
VI/2004 004

3 Syarat Pasal 1320 Pasal 1320 a. Pasal 1320


Sahnya KUHPerdata KUHPerdata KUHPerdata jo.
jo. Pasal 52 jo. Pasal 52 Pasal 52
Undang-undang
Undang- Undang-
No. 13 Tahun
Undang No. 13 undang No. 2003 tentang
Tahun 2003 13 Tahun Ketenagakerjaan
tentang 2003 tentang b. Dibuat dengan
Ketenagakerjaa Ketenagakerj surat resmi atau
n: aan surat yang
a. Kesepakata + ditanda tangani
n para para pihak
Disahkan
pihak c. Harus memuat:
oleh instansi - Hak dan
b. Kemampu
ketenagakerja kewajiban
an atau
kecakapan an pengusaha
melakukan Kota/Kabupa - Hak dan
perbuatan ten, Provinsi kewajiban
hukum SP/SB serta
atau Dirjen
c. Adanya pekerja/bur
PHI
pekerjaan uh
Depnakertran - Jangka
yang
s. waktu dan
diperjanjik
an tanggal
d. Perkerjaan mulai
yang berlakunya
diperjanjik perjanjian
an tidak kerja
bertentang bersama
an dengan - Tanda
ketertiban tangan para
umum, pihak
kesusilaan, pembuat
dan perjanjian
peraturan kerja

46
perundang bersama
-undangan d. Didaftarkan
yang pada instansi
berlaku ketenagakerjaan
sesuai dengan
tingkatannya
4 Isi Hak dan Syarat-syarat Syarat-syarat kerja,
Kesepaka kewajiban kerja, keadaan
tan pekerja dan keadaan ketenagakerjaan,
pengusaha, ketenagakerja serta tata tertib
syarat-syarat an, serta tata perusahaan yang
kerja dan tertib harus diperhatikan
jangka waktu perusahaan dalam perjanjian
kesepakatan, kerja
cara
berakhirnya
hubungan
kerja
5 Bentuk a. Lisan atau Tertulis, Tertulis dalam
Kesepaka tertulis dibagikan rangkap 3
tan b. Jika lisan, kepada
harus ada
seluruh
surat
pengangk pekerja
atan
c. Tertulis
dalam
rangkap 3
dalam
bahasa
Indonesia
dan
tulisan
latin
6 Mulai a. Sejak hari Sejak tanggal Sejak hari penanda
Berlaku penanda disahkan oleh tanganan atau pada
tanganan; Dinas Tenaga waktu yang
atau
Kerja/Ditjen ditetapkan dalam
b. Pada
waktu PHI kesepakatan
yang Depnakertran
ditetapka s
n dalam
kesepakat
an

47
7 Masa a. Sesuai Paling lama 2 Paling lama 2 tahun
Berlaku dengan tahun dan dapat
kesepakat diperpanjang paling
an
lama 1 tahun lagi
b. Untuk
Jangka
Waktu
Tertentu
paling
lama 2
tahun
dapat
diperpanj
ang 1 kali
untuk
waktu
paling
lama 1
tahun
8 Kekuatan Antara Antara a. Seluruh pekerja
Mengikat Pengusaha Pengusaha di perusahaan
dengan Pekerja dan seluruh b. Pengusaha/peg
usaha-
yang membuat Pekerja di
pengusaha dan
perjanjian perusahaan
seluruh anggota
yang Serikat Pekerja
bersangkutan yang bergabung
9 Keduduk Tidak boleh 1. Merupak Merupakan
an bertentangan an kesepakatan umum
hukum dengan peratura yang harus
n umum
Perjanjian diperhatikan dalam
dalam
Kerja Bersama pembuat pembuatan
atau Peraturan an Perjanjian Kerja
Perusahaan Perjanjia
n Kerja
2. Jika
sudah
tidak ada
Perjanjia
n Kerja
Bersama
tidak
dapat
diganti
dengan
Peratura

48
n
Perusaha
an
3. Persiapa
n kearah
pembuat
an
Perjanjia
n Kerja
Bersama
bila
Serikat
Pekerja/
Serikat
Buruh
telah
berdiri

49
BAB III
PEMBAHARUAN PELATARAN HUKUM KONTRAK

1. Latar Belakang Tradisi-Tradisi Hukum


Kata hukum memiliki arti yang sangat luas, termasuk
hukum sebagai tradisi yang diciptakan oleh manusia.
Tradisi dalam menciptakan hukum, kemudian menjalankan
dan menegakkannya merupakan suatu “sistem” yang dianut
oleh setiap negara dalam menjalankan tata kelola
pelaksanaan hukum. Dengan adanya sistem hukum yang
diadopsi, setiap negara menjadikan hukum tidak lagi
berbentuk abstrak, karena, paling tidak, setiap sistem
hukum mewariskan kitab undang-undang (code) kepada
negara mana pun yang mengadopsinya.
Pada hakikatnya, terdapat 2 sistem hukum yang
paling dominan dianut oleh negara-negara di dunia, yaitu
civil law36 dan common law. Disparitas antara kedua sistem
hukum ini konon sangat jelas di negara-negara yang
mengadopsinya, terutama dalam hal praktek peradilan.
Bahkan di negara-negara penganut dua sistem hukum yang
berbeda ini saling merasa asing dan tidak memiliki relevansi
antara satu dengan lain. Namun, oleh karena sistem hukum
merupakan tradisi yang diciptakan oleh manusia, dan
manusia senantiasa mengalami peradaban yang sangat
cepat, maka dewasa ini lahir beberapa tradisi hukum baru,
yaitu Mixed Legal System dan Uniform Legal System. Lahirnya
sistem hukum baru ini juga didorong dari evolusi hukum
dalam konteks seluas-luasnya dan sangat dinamis mengikuti
perkembangan dan tuntutan jaman. Akibatnya pada tingkat
fungsional, terutama terhadap hukum kontrak, disparitas
terhadap tradisi hukum kontrak bukan lagi menjadi

36 Arti Civil law sebagai suatu tradisi sangat berbeda dengan arti
civil law sebagai ranah hukum perdata yang merupakan hukum
bukan pidana (non-criminal law).
50
persoalan, bahkan sebaliknya, semua sistem hukum yang
berbeda ini justru saling melengkapi dan mengisi
kekosongan hukum kontrak. Pada titik ini, hukum kontrak
dalam sistem hukum yang dianut oleh suatu negara tidak
lagi berorientasi kepada kepastian hukum atau keadilan saja,
namun lebih luas mengarah ke penyesuaian diri agar hukum
kontrak mampu berjalan seiring senada dengan dunia
praksis.
Bab III ini khusus mengungkap evolusi hukum
kontrak dan lebih rinci melihat kontribusi masing-masing
tradisi hukum dalam melengkapi sekaligus memperkaya
kajian konseptual hukum kontrak di Indonesia. Sebagai
langkah awal sebelum lebih jauh memahami pembaharuan
hukum kontrak, dikemukakan terlebih dahulu 4 tradisi
hukum sebagai pelataran awal pembaharuan hukum
kontrak.
1.1 Tradisi Civil Law
Civil Law sebagai suatu tradisi hukum juga disebut
dengan code law. Artinya, tradisi ini memiliki ciri khas dalam
hal pembentukan aturan-aturan hukum dalam undang-
undang melalui badan atau institusi legislatif yang khusus
membentuk dan mengundangkan undang-undang. Pada
hakikatnya, tradisi ini tidak mengkategorikan putusan
pengadilan sebagai sumber hukum, walaupun pada
prakteknya yurisprudensi sering dijadikan acuan dalam
menjaga konsistensi putusan-putusan pengadilan dalam
perkara yang serupa.
Dalam hal sistem hukum, tradisi Civil Law menjadi
sistem hukum tertua di dunia yang mendominasi dunia
barat, khususnya Eropa.37 Beberapa negara di benua Eropa
penganut tradisi ini: Italia, Perancis, Spanyol, Jerman,

37Tercatat pertama kali pada 1792-1750 S.M oleh Raja Hammurabi,


penguasa Babilon, yang memprakarsa keadilan melalui lex talionis
diundangkan dalam + 300 peraturan tertulis.
51
Belanda, dan negara lainnya yang pernah dijajah atau
termasuk dalam wilayah Kerajaan Roma. Sementara di
belahan bumi lainnya (misalnya Amerika Latin, Afrika, dan
Asia), negara-negara penganut tradisi ini ditandai dengan
bekas jajahan kolonial negara-negara Eropa tersebut.
Untuk melacak lebih jauh negara-negara penganut
tradisi ini, secara historis tradisi civil law masih dapat dibagi
menjadi (i) French Civil Law (negara-negara bekas jajahan
Perancis seperti Belgia, Luxembourg, Kanada (provinsi
Quebec), Italia, Spanyol)); (ii) German Civil Law (negara-
negara bekas jajahan Jerman seperti Austria, Swiss, Portugal,
Yunani, Turki, Jepang, Korea Selatan, Taiwan)); (iii)
Scandinavian Civil Law (seperti Swedia, Norwegia, Islandia 0;
dan (iv) Chinese Civil Law, perpaduan dengan hukum
sosialis.
Ciri khas tradisi Civil Law sebagai sistem hukum
dalam hal proses peradilan perdata ialah hakim mengambil
peran lebih aktif dalam mencari undang-undang untuk
dapat dijadikan dasar putusannya38. Peran aktif hakim
semacam ini biasanya diwujudkan dalam mengarahkan
pertanyaan-pertanyaan dan mengembangkan argumen
untuk mengungkap kebenaran. Ciri khas semacam ini
disebut inquisitional process.
1.2 Tradisi Common Law
Tradisi Common Law berakar di Inggris mulai dari
abad pertengahan, dan sering disebut dengan Case Law.
Artinya, badan peradilan terikat untuk menggunakan
yurisprudensi tetap sebagai dasar hukum dalam menyelesai-
kan sengketa serupa. Case Law juga sering diidentikan

38 Peran aktif hakim di sini bukan berarti sifat aktif selama


persidangan, tetapi aktif dalam mencari kebenaran materiil/formil
melalui peraturan perundang-undangan, dibandingkan dengan
peran hakim pada tradisi common law yang berperan pasif mencari
kebenaran melalui precedent.
52
dengan ciri khas case-by-case-basis, yang artinya sengketa
hukum di pengadilan diselesaikan pada basis kasus-per-
kasus yang putusannya mengikat pengadilan lain untuk
dijadikan dasar hukum untuk menjatuhkan putusan serupa
seperti kasus serupa sebelumnya. Dengan kata lain, Case Law
adalah keseluruhan akumulasi putusan pengadilan. Dalam
hal sebagai sistem hukum, tradisi ini merupakan sistem
kedua terbesar di dunia setelah sistem Civil Law.
Dalam menjelaskan lebih luas terhadap bentuk
tradisi Common Law, Sir William Blackstone menegaskan:
“common law is that ancient collection of unwritten maxims and
customs which have subsisted immemorially in this kingdom”39
(garis bawah oleh penulis). Oleh karena tradisi ini tidak
memiliki hukum tertulis dan berbasis kebiasaan (istiadat),
maka ketika menjadi sistem hukum, pengadilan selalu
menciptakan prinsip-prinsip hukum baru untuk
menjatuhkan putusan hukum yang konsisten sekaligus
mensejajarkan putusannya itu sesuai dengan relevansi
perkembangan jaman. Metode seperti ini disebut Stare
Decisis, artinya: (Latin: “to stand by things decided”). The
doctrine of precedent, under which it is necessary for a court to
follow earlier judicial decisions when the same points arise again in
litigation.40
Beberapa negara penganut sistem Common Law:
Inggris, Amerika Serikat, Kanada (kecuali Quebec),
Australia, Selandia Baru, India. Sistem ini juga tersebar dan
dianut oleh negara-negara di benua Afrika dan Asia bekas
jajahan Inggris, misalnya Singapura dan Malaysia. Terdapat
perbedaan prinsipiil antara hukum sebagai undang-undang
(statute law) dan hukum sebagai common law/case law.

39 Robert W. Emerson, Business Law, Barron’s Educational Series,


New York, 2009, hlm. 7.
40 Bryan A. Garner, Black’s Law; 8th Standard Edition, Thomson

West, U.S.A., 2004, hlm. 1443.


53
Undang-undang disahkan dan diundangkan melalui
parlemen, sementara case law ini yang sering disebut dengan
judge-made law. Dalam hal terjadi pertentangan hukum
dikeduanya, maka statute law dimenangkan.
Judge-made law merupakan frasa yang diidentikan
dengan tradisi Common Law dengan memberikan penekanan
terhadap cara hakim menemukan hukum baru (rediscovering)
dalam keseragaman case law. Mereka dibenarkan untuk
menemukan hukum dengan mengacu kepada preseden dan
norma-norma sosial, atau dengan persyaratan rasionalitas
kebijakan publik.41
Terdapat 2 ciri khas yang paling menonjol antara
tradisi Common Law dengan tradisi Civil Law. Pertama,
adanya Adversarial Process dalam sengketa perdata.
Argumen hukum dari para pihak (Penggugat dan Tergugat)
yang dibuat ekslusif oleh kuasa hukumnya, hakim tidak
diperbolehkan untuk membuat alur pertanyaan atau
mengembangkan argumen selama persidangan. Menurut
proses ini, kebenaran sejati akan terungkap di persidangan
melalui debat hebat yang dilancarkan para pihak, sehingga
hakim pada saat persidangan bertugas mengawasi tata tertib
acara persidangan. Kedua, adanya tim juri yang
berkewajiban mengambil suara bulat dalam mengambil
keputusan terhadap sengketa berdasarkan fakta yang
terungkap di persidangan. Dalam acara pemeriksaan
perkara atau persidangan di hadapan juri (trial before a jury),
hakim berwenang untuk memutuskan pertanyaan hukum
apakah sengketa ini layak dipersidangkan, sedangkan tim
juri diharuskan untuk memutuskan pertanyaan faktual,
misalnya: apakah tergugat terbukti lalai atau bersalah.

41Peter Gillies, Australian Business Law, 7th edition, The Federation


Press, Sydney, 1995, hlm. 1-2.
54
Perbedaan pola dasar terhadap tradisi Civil Law dan
Common Law sangat mempengaruhi pembelajaran hukum,
terutama studi-studi mendalam terhadap kaum praktisi.
Para praktisi sistem common law ditempa dengan menguasai
kasus-kasus beserta putusannya dan berdebat langsung dari
dan kepada mereka, sedangkan pada sistem Civil Law,
mereka diajarkan dengan pembelajaran tentang substansi
undang-undang dan berdebat dari komentar di atasnya.
1.3 Tradisi Mixed Legal System
Tradisi ini merupakan pencampuran dua sistem
hukum atau lebih, umumnya interaksi tradisi Civil Law dan
Common Law. Beberapa negara yang menganut tradisi ini
sebagai sistem hukumnya:
- Afrika Selatan; zaman penjajahan oleh Belanda di abad
ke-17 dan ke-18 yang ketika itu menerapkan sistem Civil
Law, kemudian diikuti dengan invasi Inggris di abad ke-
19 yang menerapkan sistem Common Law.
- Sri Lanka dan Guyana; peninggalan sistem hukum Civil
Law sejak tahun 1803, tetapi sistem Common Law sekarang
lebih mendominasi.
- Jepang; peninggalan Dutch Civil Law semenjak era Meiji,
tetapi sekarang sistem Common Law mulai mewarnai
pencampuran sistem, misalnya penerapan sistem juri
pada peradilan tingkat pertama.
Tradisi semacam ini juga disebut dengan sebutan
Hybrid Law atau Composite Law. Pencampuran sistem hukum
pada tradisi ini tidak terbatas pada pencampuran antara
tradisi Civil Law dan tradisi Common Law saja, tetapi juga
pencampuran dengan tradisi hukum lain, misalnya hukum
adat (customary law), hukum agama (religious law) yang
terbagi lagi menjadi Islamic Law,Talmudic Law, Hindu Law,
Jewish Law, dan lainnya. Negara Kesatuan Republik
Indonesia di mata dunia internasional dikategorikan sebagai

55
penganut tradisi ini, yaitu pencampuran tradisi Civil Law,
Islamic Law dan Customary Law.42
1.4 Tradisi Unification Law
Dalam hal hukum kontrak, Unidroit Principles of
International Commercial Contract (UPIC) merupakan wujud
tradisi hukum unifikasi. Terdapat dua desakan yang saling
berhubungan erat terhadap kebutuhan hukum ini, yaitu:
pertama, terbentuknya globalisasi ekonomi dan perdagang-
an bebas di seluruh dunia sehingga interaksi perdagangan
semakin terbuka, terpadu dan tanpa batas. Kedua, besarnya
disparitas perbedaan hukum kontrak antara satu negara
dengan negara-negara lain berdasarkan perbedaan tradisi-
tradisi hukum yang ada.
Desakan-desakan semacam ini menginginkan adanya
harmonisasi hukum yang dapat menyeragamkan
perbedaan-perbedaan. Paling tidak, UPIC menawarkan
beberapa indikator fundamental, seperti penerimaan, untuk
meningkatkan kepastian dan prediktabilitas. 3 bentuk
keseragaman UPIC yang ditawarkan adalah keseragaman
melalui kodifikasi di tingkat domestik; keseragaman pada
tingkat internasional; dan keseragaman aplikasi dan metode
interpretasi. Tradisi ini sering disebut dengan istilah har-
monization law atau uniformity law.
UPIC pertama kali menjadi hard law pada tahun 1994,
kemudian diperbarui di tahun 2004, dan penyesuaian
terbaru pada tahun 2010. Tujuan utama pembentukan dan
pembaharuannya adalah untuk menentukan aturan-aturan
umum kontrak komersial internasional berdasarkan penun-
dukan para kontraktan di bawah prinsip-prinsip umum

42 http://www.juriglobe.ca/eng/sys-juri/class-poli/sys-mixtes.p-
hp. Juga terdapat informasi tentang negara-negara penganut tra-
disi mixed legal systems.
56
hukum kontrak dan lex mercatoria.43 Selain lex mercatoria,
beberapa prinsip yang ditawarkan penyeragaman oleh UPIC
adalah kebebasan berkontrak, itikad baik dan transaksi yang
jujur, kebiasaan bertransaksi bisnis di negara setempat,
penawaran dan penerimaan, perlindungan kepada pihak
yang lemah dari syarat-syarat baku, perbedaan besar,
pengaruh tidak layak, contra preferentum dalam penafsiran
kontrak baku, kesukaran kontrak, keadaan memaksa, dan
lainnya.
2. Konsep-Konsep Umum Hukum Kontrak
2.1 Sifat Dasar dan Pembawaan Kontrak
Pada hakikatnya, kontrak menentukan hak dan
kewajiban para kontraktan. Pertukaran hak dan kewajiban
ini merupakan komponen prestasi para kontraktan yang
saling terikat untuk melaksanakannya. Lebih lengkapnya,
terdapat 8 komponen prestasi, yaitu hak (rights); kewajiban
(duty); keistimewaan (privilege); tanpa hak (no-right); kekua-
saan (power); pertanggungjawaban (liability); imunitas (immu-
nity); dan ketidakmampuan (disability).
Penjelasan singkat terhadap 8 komponen tersebut:
1. right; an enforcable claim to performance, action or forbearance
by another;
2. duty; the legal realtion of a person who is commanded by
society to act or forbear for the benefit of another person either
immediately or in the future, and who will be penalized by
society for disobedience;
3. privilege; the legal relation of A to B when A (with respect to B)
is free or at liberty to conduct himself in a certain manner as he
pleases; when his conduct is not regulated for the benefit of B by
the command of society, and when he is not threatened with any
penalty for disobedience;

43http://www.unidroit.org/english/principles/contracts/main.ht

m.
57
4. no-right; the legal relation of a person in whoose behalf society
is not commanding some particular conduct of another;
5. power; the legal relation of A to B when A’s own voluntary act
will cause new legal relations either between B and A or
between A and a third person;
6. liability; the relation of A to B when A may be brought into new
legal relations by voluntary act of B;
7. immunity; the relation of A to B when B has no legal power to
affect one or more of the existing legal relations of A;
8. disability; the relation of A to B when by no voluntary act of his
own can A extinguish one or more of the existing legal relations
of B.44

44Wayne Morrison, Jurisprudence-from the Greeks to Post Modernity,


Cavendish Publishing, UK, diterjemahkan oleh Zhang Wan Hong,
2002, hlm.199-200.
58
Kemudian, 8 komponen tersebut dapat disusun menjadi diagram sebagai berikut:45
Right (Claim-Right) (Contradictories) Privilege (or Liberty)

(Opposites) (Opposites)

Correlatives Correlatives

(Opposites) (Opposites)
Duty No-Right

45 Ibid, hlm. 200.

59
Power (Contradictories) Immunity

(Opposites) (Opposites)

Correlatives Correlatives

(Opposites) (Opposites)
Liability (Contradictories) Disability

60
Penjelasan garis-garis panah dan analogi implemen-
tasi komponen:
Correlatives: dihubungankan dengan garis-garis panah
vertikal yang selalu timbul secara bersamaan, misalnya
dalam hal seseorang mendapatkan hak maka timbul
kewajiban, demikian pula dengan kekuasaan/kemampuan
maka timbul tanggung jawab.
Contoh: A sebagai penjual barang X dan B sebagai pembeli.
B berhak untuk membeli barang yang pantas/layak dijual
oleh A, sehingga korelasi hak B menjadikan kewajiban pada
A yang dalam hal ini wajib menjamin tiada cacat tersem-
bunyi pada barang X. Korelasi kewajiban A semacam ini
melahirkan hak bagi A untuk menerima pembayaran sesuai
dengan harga barang X, dan lagi, korelasi hak A ini
melahirkan kewajiban B untuk membayar A terhadap
barang X yang dibelinya itu.
Opposites: dihubungkan dengan garis-garis panah diagonal
yang menunjukan pertentangan atau saling berlawanan,
tidak bisa dimiliki seseorang pada waktu yang bersamaan,
misalnya antara orang yang mendapatkan imunitas tidak
melahirkan pertanggungjawaban.
Contoh: terhadap jual-beli tadi, B setuju untuk tidak
menuntut A dikemudian hari setelah X diterima dengan
baik oleh B. Dalam skema ini, A mendapatkan imunitas-
dilepaskan dari segala tuntutan ganti rugi-sehingga sudah
tidak ada pertanggung-jawaban A dikemudian hari. Imuni-
tas pembebasan tuntutan dari pihak satunya semacam ini
dikenal dengan istilah acquit et de charge (acquited on all
charges), rechtsverwerking, acquittance, release.46

46Sebaliknya, suatu penjaminan kontraktual pembayaran ganti


rugi apabila kontraktan satunya menderita kerugian disebut
dengan istilah indemnify, save harmless atau hold harmless.
61
Contradictories: dihubungkan dengan garis-garis panah
horisontal yang menunjukan tidak berhubungan kausalitas,
misalnya ketidakmampuan bukan merupakan akibat dari
tanggung jawab.
Contoh: terhadap jual-beli tadi, dalam hal A tidak mampu
menjual barang X kepada B karena, sebut saja, tidak sesuai
dengan kriteria B, maka ketidak-mampuan B membuat A
dan B sama-sama tidak memiliki tanggung-jawab; dalam hal
ini keharusan A untuk mencari X sesuai kriteria B dan
sebaliknya B tidak bertangung-jawab membayar karena A
tidak mampu menjual X kepadanya.
Delapan komponen di atas tadi merupakan sifat
dasar prestasi dalam kontrak, yang sekarang telah dimeng-
erti lagi bahwa kontrak tidak selalu mengenai hak dan
kewajiban. Paling tidak, uraian tadi memberikan kejelasan
lebih luas terhadap esensi hak dan kewajiban di dalam
kontrak. Dengan kejelasan ini, pembawaan kontrak sebagai
perbuatan hukum para kontraktan menjadi saling mengikat
dan memiliki akibat atau konsekuensi hukum.
2.2 Beberapa Definisi Umum
Kontrak adalah piranti tertulis persetujuan atau
perjanjian, baik secara tegas atau tersirat, yang dapat
dilaksanakan dan ditegakan menurut hukum. Agar dapat
dilaksanakan, kontrak harus merepresentasikan janji
bertimbal balik (mutual agreed promises), yaitu janji yang
dibalas dengan janji. Agar dapat ditegakan menurut hukum,
para kontraktan diharuskan oleh hukum untuk memenuhi
syara-syarat sahnya kontrak.
Lord Steyn menambahkan bahwa sifat terpenting
dari sebuah kontrak adalah satu pihak membuat penawaran
untuk tawar-menawar yang mana pihak lain mnerimanya.
Hal ini dapat disebut sebagai “pertemuan kehendak” atau
suatu “kesesuaian pendapat” dari para pihak. Harus
diadakan suatu bukti bahwa para pihak telah mempersa-
62
tukan tujuannya dan kontrak akan lahir ketika para pihak
telah memenuhi persyaratan semacam itu. Citasi berikut ini
kiranya dapat membantu menjelaskan, sebagai berikut:
“The most important feature of a contract is that one party
makes an offer for a bargain that another accepts. This can
be called a ‘concurrence of wills’ or a ‘meeting of minds’ of
two or more parties. There must be an evidence that the
parties had each from an objective perspective engaged in
conduct manifesting their assent, and a contract will be
performed when the parties have me such
requirement”(garis bawah oleh penulis).47
Selanjutnya untuk memahami lebih jauh definisi kontrak,
dapat dilihat melalui kutipan Bryan A. Garner yang
menguraikan kontrak sebagai berikut:
1. An agreement between two or more parties creating obligations
that are enforabl or otherwise recognizable at law. Suatu
persetujuan antara dua pihak atau lebih membuat
kewajiban yang dapat ditegakkan menurut hukum.
2. The writing that set forth such as an agreement. Persetujuan
dibuat secara tertulis.
3. A promise of set of promises by a party to a transaction,
enforceable or otherwise recognizable at law; the writing
expressing that promise or set of promise. Suatu janji dari
serangkaian janji-janji dari satu pihak untuk bertransaksi,
dapat ditegakkan menurut hukum; janji itu diwujudkan
secara tertulis.
4. Broadly, any legal duty or set of duties not imposed by the law
of tort; esp. a duty created by a decree or declaration of a court.
Secara umum, kewajiban hukum atau sekelompok
kewajiban-kewajiban tidak diatur dalam ketentuan tort,

47http://www.jus.uio.no/lm/wu.contract. principles. part1.1997/


dari artikel Principles of European Contract Law, Lord Steyn, Contract
Law:Fulfilling the Reasonable Expectations of Honest Men.
63
terutama kewajiban yang ditetapkan oleh penetapan
pengadilan.
5. The body of law dealing with agreements and exchange.
Kesatuan hukum yang berhubungan dengan persetujuan-
persetujuan dan pertukaran.
6. The terms of an agreement, or any particular term. Bentuk-
bentuk dari suatu persetujuan atau bentuk lain yang
semacamnya.
7. Loosely, a sale or conveyance. Secara bebas, suatu transaksi
atau penyerahan.
8. Loosely, an enforceable agreement between two or more parties
to do or not to do a thing or set of things; a compact. Secara
bebas, suatu perjanjian yang dapat ditegakkan sesuai
dengan hukum antara dua pihak atau lebih untuk
melakukan atau untuk tidak melakukan sesuatu atau
beberapa hal.48
Menurut Catherine Tay Swee Kian dan Tang See Chim, “a
contract is an agreement which binds the parties concerned. In
other words, a contract is an agreement which is enforcement by
law”. Kontrak adalah sebuah perjanjian yang mengikat
pihak-pihak terkait. Dengan kata lain, kontrak adalah
kesepakatan yang dapat ditegakan hukum.49 Senada dengan
definisi-definisi sebelumnya, Atiyah berpendapat bahwa
kontrak pada dasarnya ... a legally binding exchage of promises
or agreement between parties that the law will enforce.50
Menurutnya, suatu kewajiban hukum untuk memenuhi
prestasi kontrak dan menepati janji-janjinya apabila sesuai
dengan pengharapan keuntungannya (expected benefit). Ia

48 Bryan A. Garner, op cit, hlm. 341-342.


49 Catherine Tay Swee Kian, Tang See Chim, Contract Law, 2nd ed-
ition, Marshall Cavendish International (Asia), Singapore, 2000,
hlm. 56.
50 P. S Atiyah; The Practice of Promising”, dari Artikel Promises, Mor-

als, and the Law, Oxford University Press 1981, hlm. 76.
64
mengemukakan bahwa seseorang yang lalai menjalankan
janji-janji wajib hukumnya sudah mengetahui kalau kontrak
tersebut tidak sesuai dengan pengharapan keuntungannya,
atau dari awal sudah terdapat wanprestasi (breach of
contracts) di dalamnya.51
Subekti mendefinisikan, perikatan adalah perhubu-
ngan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari yang
lain, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi hal itu.52
Subekti menambahkan bahwa unsur levering merupakan
unsur terpenting di dalam suatu kontrak sebagai penye-
rahan hak. Suatu levering yang sah menurutnya harus meme-
nuhi 2 (dua) syarat, yaitu titel yang sah dan orang yang
berhak berbuat bebas untuk melakukan levering.53 Levering
dapat dikatakan sebagai perbuatan yuridis yang merupakan
pertukaran hak kepemilikan atau transfer of ownership. Ajaran
inti yang ada dalam B.W tentang levering dibedakan menjadi
penyerahan yuridis (juridische levering) dan penyerahan
nyata (feitelijke levering). Pembedaan ini didasarkan perbe-
daan hakiki jenis benda sebagaimana diatur dalam B.W.
Tentang penyerahan yuridis, terkait dengan penyerahan
benda tetap dilakukan dengan cara balik nama, sementara
penyerahan nyata terkait dengan penyerahan benda-benda
bergerak yang dikuasai oleh pemiliknya.
2.3 Komponen-komponen Universal Hukum Kontrak
Penting untuk diketahui dan selalu diingat bahwa
tidak ada pertentangan antara asas, prinsip, konsep, dan
teori hukum kontrak berdasarkan sistem Civil Law dengan

51 May & Brown, Philosophy of Law; The Practice of promising; oleh PS


Atiyah, Wiley-Blackwell, U.K., 2010, hlm. 459.
52 Subekti, “Pokok-pokok Hukum Perdata”, Jakarta, Intermasa, 1980,

hlm. 17.
53 Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995,

hlm. 12.
65
sistem Common Law. Pada tataran fungsional, kedua sistem
hukum kontrak ini justru saling mengimbangi dan saling
mengisi kekosongan. Dalam banyak hal, kedua sistem
hukum kontrak tersebut memiliki kekurangan, sehingga
dalam sub-sub bab ini dilakukan penggabungan kerangka
utama terhadap komponen-komponen umum hukum
kontrak dari kedua sistem hukum kontrak. Penggabungan
ini bukan sesuatu yang baru di dunia praksis, karena telah
terjadi peleburan antara kedua sistem hukum kontrak ini,
baik disadari atau tidak, sehingga secara de facto hasil
peleburan ini sering dijadikan semacam matriks penyusunan
kontrak terutama terhadap syarat sahnya kontrak.
✓ Komponen Offer dan Acceptance
Syarat pertama untuk terciptanya suatu persetujuan harus
terjadi kesepakatan para pihak. B.W tidak menguraikan
bagaimana cara melahirkan konsensus, sehingga kontrak
tidak mungkin lahir jika para pihak tidak dapat saling
bersepakat untuk membuat persetujuan atau perjanjian.
Tidak lahirnya persetujuan, maka tidak dapat mengikat
kontraktual bagi para pihak yang membuatnya. Sejauh ini di
Indonesia, cara-cara mencapai kata sepakat dilakukan dari
adanya penawaran yang kemudian diikuti dengan
penerimaan. Elemen penawaran dan penerimaan ini haki-
katnya berasal dari sistem Common Law. Bahkan pengaturan
terhadap tata cara pengiriman, batas waktu, dan pemodi-
fikasian penawaran atau penerimaan ditentukan dalam hu-
kum kontrak sistem Common Law. Pada sistem yang lebih
modern lagi, tata cara seperti penarikan kembali penawaran
(offer revocation), penawaran balik (counter offer) dan cara
pengkomunikasian penawaran-penerimaan. Komponen pe-
nawaran dan penerimaan untuk mencapai konsensus sema-
cam ini dapat diklasifikasikan, dan de facto sudah
diterapkan, sebagai komponen umum hukum kontrak yang
berlaku universal.
66
✓ Komponen Consideration
Komponen ini menyerupai syarat ke-empat sahnya perse-
tujuan, yaitu suatu sebab yang tidak terlarang (versi lain
kausa yang halal) menurut Pasal 1335 B.W. Consideration
menjelaskan bahwa janji-janji yang termuat dalam kontrak
sudah seharusnya tidak bersifat sepihak, artinya suatu janji
harus dibalas dengan janji juga sehingga menjadi
persetujuan. Consideration dapat dijadikan parameter ukur
terhadap unsur-unsur paksaan, khilaf, penipuan dalam
pembentukan kontrak, sehingga semakin tidak berimbang-
nya janji-janji semakin menonjol unsur-unsur yang dilarang
oleh hukum tersebut. Komponen ini juga merepresentasikan
idealisme terhadap persamaan posisi para pihak (equal
bargaining position) yang dapat menciptakan perhubungan
kontraktual berimbang kepada para kontraktan.
✓ Komponen Intention To Create Legal Relation
Komponen ini menambahkan syarat kedua agar persetujuan
menjadi sah, yaitu kecakapan para pihak. Selain para pihak
diharuskan untuk cakap melakukan perbuatan hukum,
komponen ini menawarkan esensi perikatan bahwa para
pihak diharuskan menunjukkan niatannya untuk mencip-
takan hubungan hukum. Hubungan hukum di dalam
kontrak ini membawa konsekuensi hukum bagi pihak yang
ingkar janji. Niatan untuk saling menundukkan diri dan
saling menciptakan hubungan hukum inilah yang menjadi
salah satu dasar pengadilan untuk menegakkan sengketa
kontrak. Di sisi lain, komponen ini merepresentasikan esensi
terpenting kontrak sebagai piranti tertulis persetujuan atau
perjanjian. Dengan ditutupnya kontrak melalui pembubu-
han tanda-tangan para kontraktan, komponen ini mengang-
gap bahwa para pihak telah menunjukan kesiapan dan
kesediaannya saling mengikatkan diri dan membuat hubu-
ngan hukum yang memiliki akibat hukum daripadanya.

67
✓ Komponen Ex Contractu
Kontrak yang dibuat pada pihak selalu diharapkan berjalan
independen tanpa hambatan dan campur tangan pihak
ketiga lain. Para kontraktan diharuskan mengerti tentang
hal-hal yang menjadi prestasinya sebagaimana tertuang
dalam kontrak, sehingga para pihak dapat menjalankan
semua hak dan kewajiban yang mengikat kontraktual itu
sesuai dengan kontrak (ex contractu). Komponen ex contractu
juga secara luas membenarkan tindakan hukum akibat
pelanggaran kontrak, dalam hal ini biasanya berbentuk
wanprestasi, sehingga pihak yang merasa dirugikan
diperbolehkan oleh hukum untuk menuntut pelaksanaan
kontrak. Tindakan penuntutan semacam ini selain untuk
mendapatkan ganti kerugian dan pemenuhan prestasi dari
pihak yang melanggar, juga untuk menegakkan inden-
pendensi kontrak (independent contract).
2.4 Kerangka Teoritik Perbedaan Kontrak, Persetujuan,
dan Prakontrak
Selain definisi-definisi tentang kontrak yang telah
diuraikan di atas, sub sub bab ini menambah beberapa
definisi kontrak untuk mendapatkan kerangka teoritik
perbedaan antara kontrak dengan persetujuan atau
perjanjian, dan dengan prakontrak dalam perspektif yang
lebih luas. Kontrak menurut kamus hukum standar Oxford
University Press:
A legally binding agreement. Agreement arises as a
result of offer and acceptance, but a number of other requirements
must be satisfied of an agreement to be legally binding:
a. there must be consideration;
b. the parties must have legal intention to create legal relations;
c. the parties must have capacity to contract;
d. the agreement must comply with any formal legal require-
ments;
e. the agreement must be legal;
68
f. the agreement must not be rendered void either by some
common-law or statutory rule or by some inherent defect.54
Penguraian tadi tidak jauh berbeda dengan standar
Butterworths, bahwa kontrak adalah
a. an agreement between competent persons upon a legal
consideration, to do or abstain from doing some act;
b. an agreement enforceable by law;
c. the agreement may be by parol, ie word of mouth, or writing
not under seal, or it may be specialty: in which case it is more
properly termed a covenant.
d. where a contract is not be specialty, it is called a parol or
simple contract to distinguish it from a contract is not by
specialty.55
Persetujuan, menurut kamus standar Black’s Law:
a. A mutual understanding between two or more persons about
their relative rights and duties regarding past or future
performances; a manifestation of mutual assent by two or
more persons;
b. The parties’ actual bargain as found in their language or by
implication from other circumstances, including course of
dealing, usage of trade, and course of performance.56
Menurut standar Butterworths, persetujuan adalah:
a. the consent or joining together of two minds in respect of
anything done or to be done;
b. also the written evidence of such consent;
c. an agreement exists either where a promise is made in one
side, and assented to on the other, or where two or more
persons enter into an engagement with each other, by a
promise on either side. 57

54 Elizabeth A. Martin, Oxford Dictionary of Law, 2nd edition, Oxfo-


rd University Press, Oxford, 1990, hlm. 94.
55 E.R. Hardy Ivamy, Law Dictionary, 11th edition, Butterworths &

Co., Britania Raya, 1993, hlm, 61.


56 Bryan A. Garner, op cit, hlm. 74.
57 E.R. Hardy Ivamy, loc cit, hlm. 12.

69
Definisi prakontrak menurut kamus standar Black’s Law:
a. a contract that preludes a party from entering into a com-
parable agreement with someone else;
b. historically, a precontract was usually a promise to marry. It
formed an impediment to marriage with any person other than
the promisee.58
Prakontrak menurut kamus standar Oxford University Press
dijelaskan:
... In practice, a contract would usually be in writing, but
a signed memorandum showing that the parties had been
bound from the time of an earlier oral agreement was
equally acceptable as evidence to support any claim to
enforce contract. However, ... now a mere memorandum
or note evidencing the terms of agreement will no longer
suffice.59
Bentuk prakontrak pada umumnya memiliki tajuk kepala
dengan nama-nama seperti Letter of Intent (LoI), Memoran-
dum of Understanding (MoU), Memory of Intent, Term Sheet,
Commitment Letter.60 Pada dasarnya, bentuk-bentuk prakon-
trak ini hanya berupa pernyataan tertulis para pihak yang
menjabarkan pemahaman awal saja. Kebanyakan, MoU
misalnya, dibuat oleh para pihak yang berencana untuk
masuk ke dalam persetujuan lebih detail, sehingga mereka
sifatnya sebagai pendahuluan latar belakang kontrak. Oleh
karena sifatnya hanya berupa pernyataan tentang pemaha-
man awal, maka prakontrak seperti ini tidak dimaksudkan
untuk mengikat para pihak dan tidak menghalangi adanya
transaksi dengan pihak ketiga lainnya.
Berdasarkan uraian kerangka teoritik di atas, terda-
pat 6 elemen dasar perbedaan antara kontrak dengan
persetujuan atau perjanjian, dan dengan prakontrak:

58 Bryan A. Garner, op cit, hlm. 347.


59 Elizabeth A. Martin, op cit, hlm. 256.
60 Bryan A. Garner, op cit, hlm. 924.

70
a. kontrak ≈ persetujuan atau perjanjian, tetapi ≠ pra-
kontrak;
b. kontrak adalah piranti tertulis persetujuan atau perjanjian
yang syarat-syarat legalitasnya telah terpenuhi, sehingga
kontrak dan persetujuan atau perjanjian seperti ini
memiliki pengikatan hukum (legal binding), tetapi tidak
terhadap prakontrak;
c. walaupun istilah persetujuan atau perjanjian sering
digunakan sebagai sinonim istilah kontrak, jika ditinjau
dari bentuknya maka istilah persetujuan atau perjanjian
memiliki ekspresi lebih luas dari maknanya sendiri dan
terdapat kekurangan dasar-dasar teknis;
d. jadi, istilah kontrak merupakan piranti tertulis persetu-
juan atau perjanjian yang lengkap dengan paling tidak
memenuhi syarat-syarat teknis yang ditentukan hukum;
e. dalam hal tercipta kontrak yang tidak lengkap, maka
kelengkapan kontrak diserahkan kepada pengadilan
untuk melengkapi atau mengisi kekosongan pada
kontrak yang tidak lengkap; dan
f. setiap kontrak adalah persetujuan atau perjanjian tetapi
tidak setiap persetujuan atau perjanjian adalah kontrak.
3. Peleburan Kerangka Teoritik Hukum Kontrak
Pandangan klasik terhadap hukum kontrak berkisar
pada ketentuan hukum yang berlaku independen bagi para
kontraktan. Ini memberikan pengertian yang tidak tepat,
karena seolah-olah hukum kontrak di masing-masing sistem
hukum tidak ada kaitannya dan berdiri sendiri-sendiri
dengan sistem hukum lain.
Desakan dan kemajuan zaman membuat hukum
kontrak telah berevolusi, terutama pada tataran praksis,
sehingga kontrak bukan saja berisikan hak dan kewajiban
(obligations) para kontraktan, tetapi juga terhadap pertang-
gungjawaban hukum yang semakin besar. Tuntutan
terhadap konkritisasi kontrak semacam ini semakin besar,
71
yaitu pelaksanaan kontrak yang para kontraktan telah saling
mengerti sampai sejauh mana hak, kewajiban dan pertang-
gungjawaban mereka ada dan berakhir.
Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas menci-
ptakan peleburan kerangka teoritik hukum kontrak. Pelebu-
ran ini dapat dimaknai sebagai harmonisasi hukum dalam
konteks mempersamakan premis-premis hukum kontrak.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa tidak
terdapat pertentangan prinsipil antara hukum kontrak
sistem Civil Law dengan hukum kontrak sistem Common Law,
bahkan keduanya saling mengisi dan melengkapi. Kiranya
peleburan kerangka teoritik hukum kontrak berikut ini
membuktikan pandangan tersebut.
3.1 Kajian Konseptual Lima Prinsip Besar Hukum Kon-
trak
3.1.1 Prinsip Kebebasan Berkontrak Burgerlijk Wetboek
Prinsip kebebasan berkntrak pada B.W dapat ditemu-
kan dalam Buku III B.W yang menganut sistem terbuka,
dengan pengertian peraturan hukum memberikan kelelu-
asan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola
pembuatan hubungan hukum. Apa yang diatur dalam Buku
III B.W hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend
recht-aanvullendrecht).61 Berbeda dengan peraturan hukum
yang bersifat tertutup atau memaksa dalam Buku II B.W,
dimana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan
yang ada di dalamnya.
Sistem terbuka dalam Buku III B.W dapat ditemukan
pada Pasal 1338 alinea (1) yang menentukan, “semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”.62 Dengan adanya

61 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian; Asas Proporsionalitas


Dalam Kontrak Komersial, LBM, Yogyakarta, 2008, hlm. 94.
62 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Paradnya Paramita, Jakarta, 2007, hlm. 342.


72
kata “semua” dari bunyi Pasal 1338 alinea (1) tersebut,
memberikan penjelasan bahwa kebebasan berkontrak di sini
mempunyai pilihan bebas kepada para pihak untuk
membuat perjanjian dengan bentuk dan format apapun,
serta isi yang diinginkan para pihak.
Sebagai satu kesatuan utuh dalam satu sistem
hukum, penerapan prinsip kebebasan berkontrak yang
disimpulkan dari bunyi Pasal 1338 alinea (1) harus juga
dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan lain, yaitu:
a. Pasal 1320 B.W, mengenai syarat sahnya persetujuan;
b. Pasal 1322 B.W, mengenai perbuatan kekhilafan atau
dwaling;
c. Pasal 1323 B.W, mengenai unsur paksaan atau dwang;
d. Pasal 1328 B.W, mengenai perbuatan penipuan atau
bedrog;
e. Pasal 1355 B.W, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa
causa, atau dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu
atau dilarang, dengan konsekuensi hukum tidaklah
mempunyai kekuatan;
f. Pasal 1337 B.W, yang menentukan bahwa suatu sebab
adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang,
atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau keterti-
ban umum;
g. Pasal 1338 alinea (3) B.W, yang menentukan bahwa kon-
trak harus dilaksanakan dengan itikad baik;
h. Pasal 1339 B.W, menunjuk terikatnya kontrak kepada
sifat, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebia-
saan yang dimaksud dalam Pasal 1339 B.W bukanlah
kebiasaan setempat, tetapi ketentuan-ketentuan yang
dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan;
i. Pasal 1347 B.W, mengatur mengenai hal-hal yang
menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara
diam-diam dimasukkan dalam kontrak.

73
Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan
perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi
manusia yang perkembangannya dilandasi semangat libe-
ralisme yang mengagungkan kebebasan individu. Perkem-
bangan ini seiring dengan penyususnan B.W di negeri
Belanda, dan semangat liberalisme ini juga dipengaruhi
semboyan Revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite” yang
berarti kebebasan, persamaan dan persaudaraan.63 Dengan
kata lain, paham individualisme ini memperbolehkan setiap
orang untuk bebas memperoleh apa yang dikehendaki.
Dalam kaitannya dengan hukum kontrak, kebebasan
fundamental yang demikian ini apabila tidak diatur dengan
ketat dan jelas, kontrak yang dibuat dari hasil kebebasan
berkontrak tidak dapat menghasilkan keadilan ke arah
kesejahteraan
Kebebasan berkontrak terdiri atas:
a. kebebasan untuk membuat perjanjian atau tidak membu-
at perjanjian;
b. kebebasan untuk memilih dengan pihak mana akan mem-
buat perjanjian;
c. kebebasan untuk menentukan isi perjanjian;
d. kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian; dan
e. kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjan-
jian.64
Menurut Sutan Remi Sjahdeini, prinsip kebebasan
berkontrak menurut hukum kontrak Indonesia meliputi
ruang lingkup sebagai berikut:
a. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat
perjanjian;

63 Agus Yudha Hernoko, op cit, hlm. 93-94.


64 Johanes Gunawan, “Penggunaan Perjanjian Standard dan Implika-
sinya Pada Asas Kebebasan Berkontrak”, Majalah Padjadjaran, No. 3-
4, 1987, hlm. 55.
74
b. kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin
membuat perjanjian;
c. kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari
perjanjian yang akan dibuatnya;
d. kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;
e. kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
f. kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan
undang-undang yang bersifat optional.65
Penerapan prinsip kebebasan berkontrak ini tergero-
goti dan secara perlahan-lahan lepas dari jiwanya. Sering
kali penyalahgunaan prinsip ini dilakukan oleh kaum-kaum
dari golongan tertentu sesuai dengan kepentingannya, baik
mulai dari golongan ekonomi kuat yang ingin memanfa-
atkan serta menindas yang lemah, sampai dengan campur
tangan pemerintah. Selain tuntutan kemajuan zaman,
apabila ditinjau dari sejarah pembentukan dan diberlaku-
kannya B.W di Belanda pada tahun 1838 hingga diberla-
kukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi pada
tahun 1848, jelas dijadikan semacam suatu perangkat penun-
jang untuk mencapai tujuan tertentu oleh pemerintah kolo-
nial Belanda sebagai penjajah pada saat itu, sehingga sampai
sekarang segala kekurangan dan kelemahan B.W menjadi
suatu benefit bagi para pengguna hukum yang mempunyai
kepentingan lain. Selain itu, perkembangan pesat di bidang
ekonomi, sosial politik di dalam masyarakat memaksa untuk
lebih menemukan batasan-batasan prinsip kebebasan ber-
kontrak sehingga kebebasan fundamental yang diberikan
dapat mendasari dan merefleksikan kebebasan moral untuk
mensejahterakan ekonomi dan perdagangan masyarakat.
Tuntutan perubahan terhadap prinsip kebebasan
berkontrak bukan sesuatu yang arogan dan/atau sengaja

65 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan


yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indo-
nesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 47.
75
dibuat-buat, lebih-lebih lagi bila dalam kondisi seperti
dikemukakan I.B.R Supancana, yang antara lain disebabkan
oleh:
a. Pengaruh “social protectionism”.
1. Ketika revolusi industri mencapai titik kulminasinya,
timbul berbagai permasalahan sosial ekses dari proses
urbanisasi seperti masalah pengadaan infrastruktur,
tumbuhnya wilayah-wilayah kumuh, sanitasi, dan
lainnya;
2. Kedudukan pemilik modal yang sangat kuat, maka
terjadilah praktek eksploitasi terhadap pekerja dalam
hubungan kontraktual yang bersifat sepihak;
3. Timbul reaksi keadaan tersebut, maka tumbuhlah
serikat-serikat pekerja guna melindungi kepentingan
pekerja terhadap kesewenangan-wenangan pemilik
modal; tumbuhnya kelembagaan-kelembagaan terten-
tu yang dirancang untuk bertindak sebagai jaringan
pengaman sosial atau social safety net terhadap dampak
dari kehidupan industri dan perdagangan yang
ekstrim melalui upaya-upaya seperti asuransi, pela-
yanan kesehatan masyarakat;
4. Guna mencegah digunakannya prinsip kebebasan
berkontrak sebagai sarana untuk mengeksploitasi
manusia, maka disahkanlah beberapa produk hukum
seperti: penerapan planning control, larangan terhadap
bentuk-bentuk kontrak tertentu yang bersifat sepihak,
serta menerapkan persyaratan-persyaratan tertentu
dalam perumusan kontrak.
b. Meningkatnya upaya perlindungan konsumen.
Revolusi industri yang menghasilkan produksi masal
mendorong peningkatan konsumsi masyarakat terhadap
consumer goods. Dalam upaya perlindungan konsumen,
maka dirancanglah ketentuan-ketentuan pada kontrak
untuk mematuhi berbagai standar tertentu, bila terjadi
76
pelanggaran dapat dikenakan “civil liability” maupun
“criminal liability”.
c. Contracts of adhesion atau standard form of contracts.
1. Tumbuhnya bentuk standar kontrak, dikarenakan
alasan-alasan praktis tidak mungkin dilakukannya
negosiasi yang bersifat individual (misalnya penum-
pang kereta api); dan
2. bentuk standar kontrak seperti ini sudah berkembang
sejak zaman lex mercatoria sebagai bentuk kebiasaan
dalam bidang perdagangan atau trade usage, yang
kemudian ditransformasikan ke dalam dokumen-
dokumen seperti charterparties, bill of lading, polis
asuransi, dan lainnya.66
Atas dasar desakan kebutuhan ini, prinsip kebebasan
berkontrak erat kaitannya dengan suatu perbuatan atau
tindakan hukum. Untuk dapat melakukan perbuatan
hukum, diperlukan suatu keinginan untuk membuat
hubungan hukum yang membawa akibat hukum. Suatu
perbuatan hukum dengan segala tujuan menjadi sah
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan ketentuan
umum. Perbuatan hukum melalui kontrak, dapat dilakukan
dengan cara apapun yang memanifestasi tujuan mereka
untuk saling mengikatkan diri di dalam hubungan hukum.
Menurut Tradisi Common Law Pada Umumnya
Prinsip kebebasan berkontrak atau freedom of contract
sering dipersamakan dengan sebutan lain, seperti the
principle of liberty of contract dan the principle of autonomy of
parties. Secara teoritis, prinsip kebebasan berkontrak menu-
rut Garner di dalam tradisicommon law adalah doktrin yang
setiap orang mempunyai hak untuk mengikatkan diri secara
hukum; konsep hukum terhadap kontrak yang dibuat berda-

66I.B.R. Supancana, Hukum Kontrak Internasional (Kerangka Teori dan


Pedoman Praktek), Seri Publikasi Center for Regulatory Research,
hlm. 7-8.
77
sarkan kesepakatan timbal balik dan pilihan bebas, dan
sehingga pembentukannya bebas dari campur tangan pihak
luar, misalnya intervensi pemerintah.
“The doctrine that people have the right to bind themselves
legally; a judicial concept that contracts are based on
mutual agreement and free choice, and thus should not be
hampered by external control such as governmental
interference”.67
Henry Sumner Maine menerangkan lebih lanjut bahwa
prinsip ini merupakan pergerakan masyarakat yang prog-
resif dari status menjadi kontrak.68 Senada dengan pendapat
ini, P.S Atiyah menitik beratkan prinsip kebebasan berkon-
trak terhadap dua konsep yang berhubungan erat, yaitu:
“in the first place, it indicated that contracts were based on
mutual agreement, while in the second place it emphazised
that the creation of a contract was the result of a free choice
unhampered by external control such as government or
legislative interference”.69
Secara normatif yuridis, penerapan prinsip kebebasan
berkontrak dalam tradisi Common Law dinyatakan secara
tegas, tanpa harus ditemukan oleh para ahli hukum seperti
pada B.W yang tidak menentukan prinsip ini secara terang
dan tegas. Misalnya di negara Singapura sebagai penganut
tradisi ini, secara eksplisit menyebutkan kebebasan
berkontrak pada Pasal 8.8.4 dengan menentukan bahwa
seperti halnya para pihak bebas untuk mengikatkan dirinya
dengan janji-janji, mereka juga bebas untuk berunding satu
sama lain untuk melepaskan dirinya dari kewajiban-

67 Bryan A. Garner, op cit, hlm. 689.


68 Ibid, hlm. 689. Mengutip Hendry Sumner Maine, Ancient Law,
1864.
69 Ibid, hlm. 689. Mengutip P.S Atiyah, An Introduction to the Law of

Contract 5 (3rd ed.), 1981.


78
kewajiban kontrak itu.70Kebebasan berkontrak sangat
mempengaruhi unsur-unsur terjadinya persetujuan dalam
kontrak. Menurut ketentuan Pasal 8.2.1, dalam hal terjadi
kontrak, maka di dalam kontrak tersebut berarti sudah
terjadi persetujuan antar dua pihak atau lebih, dengan
ketentuan-ketentuannya yang menerangkan kewajiban dan
hak dasar para pihak yang dapat ditegakkan hukum.
Apakah para pihak telah mencapai persetujuan atau
kesesuaian kehendak, dapat ditentukan secara objektif dari
fakta-fakta yang ada. Konsep-konsep penawaran-penerima-
an menunjukan banyak, walaupun tidak semua, titik awal
kesepakatan untuk menganalisa apakah kesepakatan itu
telah tercapai.71
Berdasarkan kutipan di atas dapat dipahami, bahwa
terjadinya kontrak mensyaratkan adanya kesepakatan antara
kedua belah pihak yang sekaligus merupakan unsur yang
esensial, dan kesepakatan ini menjadi dasar bagi lahirnya
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Kesemuanya ini
berangkat dari prinsip kebebasan berkontrak.
Menurut UNIDROIT Principles of International Interna-
tional Commercial Contracts 2010
Seperti pada tradisi Common Law, kebebasan
berkontrak dituangkan secara eksplisit dalam Bab I tentang
Ketentuan Umum, Pasal 1.1 tentang Kebebasan Berkontrak

70 http://www.singaporelaw.sg/
8.8.4 First, just as parties are free to agree to bind themselves to a
contract, they are free to negotiate with each other to release themselves
from the obligations of that contract.
71 Ibid.

8.2.1 . A contract is essentially an agreement between two or more


parties, the terms of which affect their respective rights and obligations
which are enforceable at law. Whether the parties have reached agreement,
or a meeting of the minds, is objectively ascertained from the facts. The
concepts of offer and acceptance provide in many, albeit not all, cases the
starting point for analysing whether agreement has been reached.
79
menentukan: the parties are free to enter into contract and
determine its contract.72 Ditambahkan lagi bentuk kebebasan
untuk melakukan kontrak tanpa keharusan suatu dokumen
kontrak, pernyataan, atau perbuatan lainya untuk dapat
dibuktikan, terjadinya kontrak dapat dibuktikan dengan
maksud dan cara apapun, termasuk menghadirkan saksi-
saksi.73
Para pihak yang berkontrak juga diberi kebebasan
untuk mengesampingkan, meniadakan, atau memodifikasi
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UPIC 2010
sepanjang tidak ditentukan sebalinya dalam UPIC 2010.74
Dengan menduduki posisi penting, kebebasan
berkontrak menurut UPIC 2010 lebih menjelma menjadi hak
bagi pebisnis untuk menentukan secara bebas kepada siapa
saja mereka akan melakukan bargaining serta menyetujui
secara bebas pula syarat dan ketentuan transaksi mereka.
Hal ini disesuaikan dengan keadaan ekonomi dan
liberalisasi perdagangan bebas dunia yang sangat
kompetitif.
Perlindungan terhadap kebebasan tetap dibatasi
pada hal-hal:
a. good faith (itikad baik);
b. fair dealing (transaksi berimbang);

72 Unidroit Principles of International Commercial Contracts 2010.


73 Ibid.
ARTICLE 1.2. (No form required).
Nothing in these Principles requires a contract, statement or any other
act to be made in or evidenced by a particular form. It may be proved by
any means, including witnesses.
74 Ibid.

ARTICLE 1.5 (Exclusion or modification by the parties).


The parties may exclude the application of these Principles or derogate
from or vary the effect of any of their provisions, except as otherwise
provided in the Principles.
80
c. the mandatory rules established by the Principles (peraturan
bersifat memaksa yang ditentukan oleh prinsip-prinsip
ini); dan
d. exclusion of the Principles, except as otherwise by these
Principles (pengecualian yang diijinkan kecuali yang
ditentukan sebaliknya dari prinsip-prinsip ini).75
Dari uraian di atas terhadap prinsip kebebasan
berkontrak menurut B.W, menurut tradisi common law pada
umumnya, dan menurut UPIC 2010 ditarik kesimpulan
bahwa kebebasan berkontrak menjadi sangat penting untuk
dipertahankan keberadaannya untuk menghasilkan kontrak
yang dikehendaki dan sesuai dengan tujuan para pihak.
Elemen penting di balik kebebasan berkontrak yang
memanisfetasi tujuan ini adalah suka rela (voluntarily) dalam
menentukan bentuk kontrak, rekan kontrak, jenis kontrak,
isi kontrak, dan forum. Kesukarelaan ini harus memiliki
pengakuan hukum (legal recognition) dari dan untuk masing-
masing kontraktan, sehingga menjadikan pembangunan
kontrak yang kontraktual.
Segala bentuk interaksi yang tidak didasari suka rela,
tidak merefleksikan kebebasan para pihak sehingga tidak
menterjemahkan spontanitas para pihak yang saling
mempertukarkan janji yang membawa ekspektasi. Semakin
tinggi tingkat kesukarelaan para pihak, semakin tinggi rasa
ketergantungan para pihak untuk membuat dan
mempertahankan kontrak yang dibuatnya itu. Sangat
penting kebebasan ini dipelihara untuk menemukan
kebaikan untuk masyarakat yang juga harus dibatasi demi
menjaga kepentingan orang lain sehingga menjadi satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Pembatasan terhadap
kebebasan berkontrak ialah dengan menerapkan ketentuan-

75Lihat Lampiran untuk ketentuan-ketentuan lain yang membatasi


prinsip kebebasan berkontrak.
81
ketentuan yang tepat untuk mengetahui akibat-akibat
hukum terhadap kontrak, sifat kontrak, kebiasaan dan
syarat-syarat berdasarkan undang-undang, kepatutan dan
kepantasan.
3.1.2 Prinsip Itikad Baik Menurut Burgerlijk Wetboek
Penerapan itikad baik pada B.W sering dikaitkan
dengan pasal-pasal:
- Pasal 25 Algemene Bepalingen van Wetgeving yang
menyatakan orang dengan perbuatan atau perjanjiannya
tidak boleh menghilangkan kekuatan dari peraturan-
peraturan hukum dari ketentuan umum atau
kesusilaan.76
- Pasal 1338 alinea (3) B.W menentukan bahwa perjanjian-
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.77
- Pasal 1339 B.W menentukan bahwa persetujuan tidak
hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di
dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut
sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan,
kebiasaan, atau Undang-Undang.78 Kata keadilan inilah
memberikan maksud itikad baik.
Untuk mencapai transaksi yang berimbang, pihak
yang ingin melakukan kontrak secara itikad baik (in good
faith) tidak diperbolehkan melakukan hal-hal:
a. Pasal 1322 B.W, mengenai perbuatan kekhilafan atau
dwaling;
b. Pasal 1323 B.W, mengenai unsur paksaan atau dwang;
c. Pasal 1328 B.W, mengenai perbuatan penipuan atau
bedrog;

76 Huala Adolf, op cit, hlm. 23. Mengutip Yansen Dermanto Latip,


Pilihan Hukum dan Pilihan Forum, Universitas Indonesia Fakultas
Hukum Program Pascasarjana, Jakarta, 2002, hlm. 84.
77 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, hlm. 342.
78 Ibid.

82
d. Pasal 1355 B.W, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa
causa, atau dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu
atau dilarang, dengan konsekuensi hukum tidaklah
mempunyai kekuatan;
e. Pasal 1337 B.W, yang menentukan bahwa suatu sebab
adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang,
atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau
ketertiban umum.
Pembuatan kontrak harus dilaksanakan dengan
itikad baik (with good faith) dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 1320 B.W tentang syarat sahnya persetujuan.
Pemenuhan syarat-syarat ini wajib dijalankan dan mengikat
para pihak yang membuatnya sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1338 (1) B.W.
Menurut Tradisi Common Law Pada Umumnya
Prinsip itikad baik juga disebut bonafide berasal dari
bahasa Latin dengan makna “in good faith”, namun di dalam
penggunaannya didefinisikan “made in good faith; wihout
fraud or deceit, sincere; genuine.79 Pengertian yang serupa dan
lebih detail pada definisi good faith, yaitu
“a state of mind consisting in in (1) honesty in belief or
purpose, (2) faithfulness to one’s duty or obligation, (3)
observance of reasonable commercial standards of fair
dealing in a given trade or business, or (4) absensence of
intent to defraud or to seek unconscionable advantage” 80.
Penggunaan kata itikad baik sering ditemukan di
berbagai macam konteks yang biasanya disertai dengan
pengertiannya yang berbeda-beda di setiap konteks tersebut.
Secara teoritis, itikad baik dalam kontrak pada umumnya
lebih mengedepankan nilai kesetiaan kepada janji yang telah
disetujuinya itu, serta menekankan kepada tujuan bersama

79 Bryan A. Garner, op cit, hlm. 186.


80 Ibid, hlm. 713.
83
dengan memperhatikan pengharapan pihak satunya
terhadap apa yang telah dijanjikannya itu. Penilaian
terhadap pelanggaran itikad baik tidak bisa disamaratakan,
karena sangat bergantung pada nilai-nilai fairness dan
reasonableness yang terkandung di dalam setiap jenis
kontrak, misalnya kontrak asuransi, tenaga kerja, jual-beli,
dan lain-lain.81
Garner berpendapat bahwa di dalam kontrak yang
beritikad baik harus juga mempertimbangkan nilai equity
untuk mengoreksi ketidakseimbangan dan menyesuaikan
hal-hal yang sesuai dengan tujuan pihak kontraktan.82 Equity
pada dasarnya merupakan dasar keadilan dengan
memberlakukan nilai-nilai kelayakan dan kewajaran.
Secara normatif yuridis, prinsip itikad baik dalam
tradisi common law lebih banyak memiliki parameter ukur,
sehingga itikad baik dapat dikatakan menjadi rule of law
bukan lagi rule of interpretation yang masih sering ditemukan
pengayaan konsep dan teori terhadap prinsip ini dalam B.W
melalui pakar hukum. Misalnya hukum kontrak negara
Singapura menetapkan beberapa prinsip penting sebagai
parameter untuk mengukur itikad baik, yaitu:
- Reasonable; rasional, logika, wajar, dapat ditolerir, sensi-
bilitas, rasa adil.
- Consideration; janji bertimbal balik dan berimbang.
- Reciprocity; kecukupan terhadap janji yang dibalas;
- Promissory estoppel; larangan penarikan janji yang sudah
ditawarkan;
- Larangan terhadap kontrak yang membatasi perdagang-
an; dan
- Fair dealing; transaksi yang berimbang.

81 Ibid, hlm. 713. Mengutip Roger Brownsword et al, Good Faith in


Contract; In Good faith in Contract; Concept and Context 1,3 (Roger
Brownsword ed., 1999).
82 Ibid, hlm. 342.

84
Fair dealing adalah transparansi pelaksanaan perda-
gangan.83 Jika dikaitkan dengan itikad baik, maka kedua
prinsip ini memberi makna equal bargaining position para
pihak. Dengan kedudukan yang sama, para pihak secara
seimbang wajib saling mengisi dalam menyusun dan
membuat kontrak apa adanya yang penegakan isi kontrak
disetujui bersama. Sangat perlu menitik beratkan kepada
dua elemen, yaitu “secara jujur” dan “dengan jujur”
terhadap hubungan para pihak, baik pada waktu pra-
kontrak, pembuatan kontrak, penandatanganan, dan
pelaksanaan kontrak. Itikad yang baik ini dapat
direfleksikan pada kejujuran berprilaku dengan memper-
timbangan nilai-nilai keadilan, keseimbangan yang propor-
sional, kebersamaan, dan kepatutan.
Menurut UNIDROIT Principles of International Commer-
cial Contracts 2010
Sama dengan tradisi common law, pengakuan prinsip
itikad baik dalam UPIC 2010 dipersamakan dengan prinsip
transaksi berimbang. Selain itu, ketentuannya tidak lagi
bersifat rule of interpretation, namun secara terang dan jelas
ditentukan keberadaannya sehingga para pihak diharuskan
untuk menjunjung tinggi itikad baik dan transaksi
berimbang sebagai rule of law. Perbedaan signifikan antara
kebebasan berkontrak dan itikad baik – transaksi berimbang
yang ditentukan dalam prinsip ini adalah kebebasan
berkontrak menjadi kemerdekaan bagi para pihak untuk
dapat mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang ada
dalam UPIC 2010, sementara kebebasan tersebut tidak lepas
dari prinsip itikad baik dan transaksi berimbang.
Keharusan ini dapat dilihat bahwa itikad baik dan
jujur ini tidak dapat dikesampingkan di dalam kontrak,
sebagaimana ditentukan dalam ARTICLE 1.7 (Good faith

83 Bryan A. Garner, loc cit, hlm. 633.


85
and fair dealing). (1) Each party must act in accordance with
good faith and fair dealing in international trade. (2) The parties
may not exclude or limit this duty. Selain itu, dilarang pula
untuk melakukan perbuatan tidak konsisten yang dapat
merugikan pihak lain selama berkontrak.84
Secara tegas pula ditentukan bahwa perumusan janji-
janji dalam kontrak harus menjadi sesuatu yang layak
diterima bagi para pihak dengan pertimbangan: (a) tujuan
para pihak; (b) keberadaan dan tujuan kontrak; (c) itikad
baik dan transaksi berimbang; dan (d) kewajaran.
Dari uraian di atas, maka terhadap prinsip itikad baik
menurut B.W, menurut tradisi common law pada umumnya,
maupun menurut UPIC 2010,dapat ditarik kesimpulan
bahwa sifat dasar yang melekat pada itikad baik adalah
saling memiliki (possesing) dan saling menunjukan
(displaying) moral kebaikan pada penerapannya. Dengan
kata lain, seseorang yang memiliki dan menunjukan itikad
baik adalah mereka yang patuh dan tunduk terhadap
peraturan hukum, dalam hal ini membuat hubungan hukum
dengan pihak lain melalui kontrak yang tunduk pada
peraturan perundang-undangan. Sifat dasar yang melekat
pada transaksi berimbang adalah menerima pembagian dan
pertukaran kewajiban dan hak hukum yang proporsional
sehingga dirasakan wajar dan dapat diterima. Suatu
transaksi dapat dikatakan berimbang apabila ia
memperlakukan pihak satunya dalam persamaan derajat
tanpa ada keterpihakan dan pembedaan, baik dari awal
pembentukan kontrak maupun pada pelaksanaannya.

84 UNIDROIT Principle of International Commercial Contracts


2010 ARTICLE 1.8 (Inconsistent Behaviour). A party cannot act
inconsistently with an understanding it has caused the other party to
have and upon which that other party reasonably has acted in reliance to
its detriment.
86
Unsur kewajaran (reasonableness) membantu
formulasi prinsip itikad baik dan unsur keterbukaan
(disclosure) terhadap transaksi berimbang. Selain membantu
memformulasikan prinsip itikad baik, unsur-unsur ini juga
berguna untuk mendeteksi pengeksploitasian dengan
mempertanyakan sampai sejauh mana tingkat kewajaran
dan saling keterbukaan para pihak yang bernegosiasi,
membuat kontrak, serta melaksanakan kontrak untuk
pemenuhan ekspektasi yang wajar dan saling bertimbal
balik. Unsur-unsur pengeksploitasian:
a. memperdaya mengenai fakta atau menyarankan sesuatu
yang tidak benar sehingga menjadi percaya sehingga
melakukan tindakan;
b. menyembunyikan fakta yang seharusnya diketahui orang
lain namun tidak diberikan atau diplesetkan sehingga
melakukan tindakan;
c. menyimpangkan tujuan sehingga seolah-olah membuat
janji tetapi tidak berniat menepati janjinya itu;
d. perbuatan ilegal dan mengorbankan kepentingan umum;
e. memberikan pengaruh sedemikian rupa sehingga pihak
yang satu menjadi dominan untuk melakukan penekanan
dan pengaruh-pengaruh;
f. memanfaatkan atau menyalahgunakan keadaan tidak
berdaya/kesulitan atau ketidakmengertian pihak satunya
yang pada akhirnya berbeda maksud dan tujuan; dan
g. penggunaan pengaruh dan kedudukan yang tidak
seimbang sehingga terjadi pembagian kewajiban yang
tidak proporsional.

3.1.3 Prinsip Konsensualisme Menurut Burgerlijk Wetboek


Prinsip konsensualisme memiliki keterkaitan erat
dengan pencapaian kesepakatan sebagai salah satu syarat
penting agar kontrak menjadi sah sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1320 B.W. Walaupun kesepakatan menduduki
87
syarat pertama sahnya kontrak, B.W tidak menentukan
secara jelas rumusan bagaimana mencapai kesepakatan yang
konsensus.
B.W. hanya mengatur, bahwa kesepakatan itu tidak
boleh diberikan dalam keadaan khilaf/ dwaling (Pasal 1321
dan Pasal 1322 B.W), paksaan/dwang (Pasal 1323-Pasal
1327), dan penipuan/bedrog (Pasal 1328). Selanjutnya,
kesepakatan/ konsensus hanya dapat dihasilkan oleh orang-
orang yang cakap sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330
B.W: “mereka yang tidak cakap adalah orang-orang yang
belum dewasa menurut hukum, di bawah pengampunan,
dan orang-orang perempuan yang ditetapkan Undang-
undang yang melarang membuat persetujuan tersebut”.
Mengenai suatu pokok persoalan tertentu (objek
tertentu), hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan
saja yang dapat dijadikan pokok peretujuan (Pasal 1332 B.W)
dan pokok suatu barang dapat ditentukan jenisnya (Pasal
1333 B.W). Barang-barang yang baru akan ada di kemudian
hari dapat pula menjadi pokok persetujuan (Pasal 1334 B.W).
Mengenai syarat sebab yang tidak dilarang (causa
yang halal), ditentukan dalam Pasal 1335 B.W yang pada
pokoknya melarang persetujuan dengan adanya sebab palsu
dan terlarang, Pasal 1336 B.W yang menentukan persetujuan
tetap sah walaupun tidak ada dinyatakan suatu sebab,
namun ada sebab yang diperbolehkan, dan Pasal 1337 B.W
yang menentukan sebab terlarang ialah sebagaimana
ditentukan oleh undang-undang, bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum.
Rumusan kesepakatan dalam B.W tidak ditentukan
secara jelas bagaimanakah cara mencapai suatu kesepakatan
bagi pihak yang ingin mengikatkan diri dalam kontrak. Pada
prakteknya di Indonesia, suatu kesepakatan dicapai dari
adanya suatu penawaran (offer) yang kemudian diterima dan
disetujui melalui penerimaan (acceptance). Rumusan
88
kesepakatan melalui penawaran dan penerimaan ini
sesungguhnya terdapat dalam common law system, yang
penggunaannya sudah sedemikian banyaknya sehingga
penawaran-penerimaan tergolong menjadi lex mercatoria di
dalam dunia perdagangan. Tidak mengherankan, sekarang
bisa didapatkan civil law system yang modern sudah banyak
mengadopsi rumusan kesepakatan-penerimaan di dalam
pra-kontrak, komunikasi, perhitungan batas-batas waktu
dan unsur-unsur penting lainnya di dalam proses bargaining.
dengan tercapainya kesepakatan yang solid (melalui
mekanisme penawaran-penerimaan dan proses bargaining)
dapat mempertemukan kecocokan antara kehendak atau
kemauan para pihak yang akan mengadakan kontrak.
Misalnya negara Jepang yang mengadopsi Burgerlich
Gezetboek Jerman sebagai hukum nasionalnya kemudian
disusun ke dalam Minpo1896, dari Buku I-Buku V. Hukum
kontraknya termuat dalam Buku II tentang Bukken, yang
memasukkan penawaran dan penerimaan pada Pasal 521-
532 sebagai rumusan konsensus, sehingga kesepakatan
menurutnya harus berdasarkan suatu penawaran yang
diikuti dengan penerimaannya. Terhadap prinsip
penawaran-penerimaan ini, pada hakikatnya, B.W tidak
melarang adanya pengadopsian serta pencampuran sistem
hukum lainnya sepanjang tidak bertentangan dengannya
dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Menurut Tradisi Common Law Pada Umumnya
Prinsip konsensus pada tradisi Common Law lebih
diformulasikan menjadi prinsip penawaran-penerimaan.
Secara teoritis, konsensus menurut Garner adalah perbuatan
menerima tanpa keberatan, tanpa menunda, setiap pemilih
menyetujuinya secara bulat.85 Dalam hal terjadi kontrak,
consensual contract adalah, secara historis, suatu kontrak

85 Garner, op cit, hlm. 324.


89
yang lahir dari konsensus yang sederhana dari para pihak,
tanpa adanya formalitas atau perbuatan-perbuatan simbolis
untuk penetapan kewajiban.86 Consensual contract ini juga
dikenal di lingkungan common law, perkembangannya
berasal dari hukum Romawi yang awalnya cukup
menggunakan konsensus informal pada 4 (empat) jenis
kontrak, yaitu perjanjian keagenan atau mandatum,
perjanjian kemitraan atau societas, jual-beli atau emptio
venditio, dan sewa-menyewa atau locatio conductio.87
Dari pengertian ini, dapat dimengerti bahwa kontrak
yang hanya berdasarkan konsensus semata sudah tidak
lazim dipakai dan pengertiannya tidak sama dengan makna
kontrak sesungguhnya. Hal ini dapat didukung dengan
kemajuan dan perkembangan zaman, menunjukkan teori
konsensus ini sulit menghadapi kemajemukan dan
kepentingan kehidupan dalam pergaulan masyarakat dunia
yang semakin menuju ke arah globalisasi. Pada akhirnya
teori ini bergeser dan berkembang dengan pengadopsian
teori offer dan acceptance untuk mencapai kesepakatan yang
sesungguhnya adalah tradisi dan ciri khas dari common law
system.
Menurut UNIDROIT Principles of International Commer-
cial Contracts 2010
Suatu kontrak menurut UPIC 2010 harus dibentuk
dengan adanya kesepakatan yang berawal dari penawaran
(offer) dan diterima dengan penerimaan (accpentance). Selama
proses adanya tawar-menawar yang dilakukan melalui
penawaran tersebut, diatur pula cara berkomunikasi,
memulai penawaran sebagai proposal, beserta penarikan
dan pembatalannya disertai dengan batas waktu.
Penerimaan dari suatu penawaran dari offeror, dapat

Bryan A. Garner, op cit, hlm. 343.


86
87Bryan A. Garner, op cit, hlm. 343. Mengutip Henry S. Maine,
Ancient Law, 10th ed., hlm. 322-323, 1884.
90
diterima dengan cara-cara, batas waktu dan ketentuan
lainnya apabila ditemukan keterlambatan. Penerimaan yang
telah disampaikan itu dapat dimodifikasi dan ditarik
kembali, yang pada akhirnya dilakukan penegasan terhadap
kesepakatan.
Pada Pasal 2.1.1 menentukan bahwa suatu kontrak
dapat diakhiri melalui cara dengan suatu penerimaan atau
dengan tindakan oleh para pihak yang cukup untuk
menunjukan adanya perjanjian. Adanya penerimaan tentu
diawali dengan penawaran oleh pihak penawar. ARTICLE
2.1.1 Manner of formation menentukan bahwa “A contract
may be concluded either by the acceptance of an offer or by conduct
of the parties that is sufficient to show agreement”.
Menurut Pasal 2.1.2 menentukan bahwa definisi
penawaran adalah suatu pengajuan untuk disimpulkan
dengan kontrak yang terdapat penawaran apabila
penawaran tersebut dirasa cukup pasti dan
mengindikasikan tujuan si penawar untuk terikat terhadap
penerimaan. Untuk dapat menarik suatu penawaran, Pasal
2.1.3 menentukan bahwa suatu penawaran menjadi efektif
apabila penawaran tersebut telah diterima oleh pihak yang
ditawarkan. Suatu penawaran walaupun tidak dapat
dibatalkan, dapat ditarik kembali apabila penarikan
kembalinya itu telah diterima oleh pihak yang ditawarkan
sebelum atau sama pada saat penawaran diajukan.88

88UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts 2010.


ARTICLE 2.1.2 Definition of offer
A proposal for concluding a contract constitutes an offer if it is
sufficiently definite and indicates the intention of the offeror to be bound
in case of acceptance.
ARTICLE 2.1.3 Withdrawal of offer
(1) An offer becomes effective when it reaches the offeree.
(2) An offer, even if it is irrevocable, may be withdrawn if the withdrawal
reaches the offeree before or at the same time as the offer.
91
Dalam hal membatalkan penawaran, Pasal 2.1.4
menentukan bahwa (1) hingga kontak ditutup, penawaran
dapat dibatalkan apabila pembatalan penawarannya itu
diterima oleh pihak yang ditawarkan sebelum ia
menyampaikan penerimaannya. (2) namun suatu
penawaran tidak dapat batalkan jika: (a) menunjukan bahwa
penawarannya itu tidak dapat dibatalkan, baik dinyatakan
melalui waktu yang telah ditentukan, atau (b) di pihak yang
ditawarkan merasa wajar untuk berharap kepada
penawaran terlihat tidak dapat dibatalkan dan pihak yang
ditawarkan itu telah mengambil sikap untuk mengharapkan
penawaran tersebut. Pasal 2.1.5 menentukan bahwa suatu
penawaran adalah berakhir apabila penolakannya telah
diterima oleh si penawar.89
Mengenai penerimaan, Pasal 2.1.6 menentukan
bahwa suatu penerimaan dapat berbentuk: (1) suatu
pernyataan yang dibuat atau dilakukan oleh pihak yang
ditawarkan yang menunjukan persetujuan kepada pihak
penawar. Diam atau tidak ada tindakan tidak dapat
dikatakan cukup untuk menyatakan penerimaan. (2) suatu
penerimaan terhadap penawaran menjadi efektif apabila
penawar menerima persetujuan. (3). Namun, apabila
dikarenakan oleh kebiasaan atau daya guna, dimana para
pihak telah menetapkan oleh mereka sendiri, pihak yang

89 Ibid.
ARTICLE 2.1.4 Revocation of offer
(1) Until a contract is concluded an offer may be revoked if the revocation
reaches the offeree before it has dispatched an acceptance.
(2) However, an offer cannot be revoked
(a) if it indicates, whether by stating a fixed time for acceptance or
otherwise, that it is irrevocable; or
(b) if it was reasonable for the offeree to rely on the offer as being
irrevocable and the offeree has acted in reliance on the offer.
ARTICLE 2.1.5 Rejection of offer
An offer is terminated when a rejection reaches the offeror.
92
ditawarkan itu dapat menunjukan persetujuannya dengan
melakukan tindakan tanpa pemberitahuan kepada penawar,
penawaran semacam ini berlaku efektif pada saat tindakan
itu dilaksanakan.
Dalam hal waktu penerimaan, telah ditentukan
dalam Pasal 2.1.7 bahwa suatu penawaran harus diterima
dalam kurun waktu yang telah ditentukan oleh penawar,
atau apabila tidak ada waktu yang ditentukan, dalam jangka
waktu yang dianggap wajar sesuai dengan keadaan. Suatu
penawaran lisan harus diterima segera kecuali keadaan
menunjukan sebaliknya.90
Pasal 2.1.8 menentukan bahwa periode waktu
penerimaan yang telah ditentukan oleh penawar dimulai
pada saat waktu penawaran dikirim. Waktu yang telah
ditunjukkan di dalam penawaran dianggap sebagai waktu
pengiriman, kecuali keadaan menunjukkan sebaliknya.
Dalam hal terdapat keterlambatan dalam pengiriman
penerimaan, ditentukan Pasal 2.1.9 bahwa (1) suatu
penerimaan yang terlambat tetap berlaku efektif sebagai
tanda penerimaan apabila diberitahukan kepada penawar

90 Ibid.
ARTICLE 2.1.6 Mode of acceptance
(1) A statement made by or other conduct of the offeree indicating assent
to an offer is an acceptance. Silence or inactivity does not in itself amount
to acceptance.
(2) An acceptance of an offer becomes effective when the indication of
assent reaches the offeror.
(3) However, if, by virtue of the offer or as a result of practices which the
parties have established between themselves or of usage, the offeree may
indicate assent by performing an act without notice to the offeror, the
acceptance is effective when the act is performed.
ARTICLE 2.1.7 Time of acceptance
An offer must be accepted within the time the offeror has fixed or, if no
time is fixed, within a reasonable time having regard to the
circumstances, including the rapidity of the means of communication
employed by the offeror. An oral offer must be accepted immediately
unless the circumstances indicate otherwise.
93
mengenai hal-hal keterlambatannya itu dalam waktu
sesingkat-singkatnya. (2) apabila dapat ditunjukkan oleh
bentuk komunikasi bahwa apabila tidak ada keterlambatan
tersebut maka penerimaan dapat sampai sesuai dengan
batas waktunya, maka penerimaan semacam ini dianggap
efektif, kecuali penawar memberitahukan kepada pihak
yang ditawarkan bahwa penawarannya dianggap terselip
selama pengirimannya.91
Pasal 2.1.10 mengenai penarikan kembali penerimaan
ditentukan bahwa suatu penerimaan dapat saja ditarik
kembali apabila penarikannya telah diterima penawar
sebelum atau sama pada saat penerimaannya itu berlaku
efektif. Dalam hal memodifikasi penerimaan, Pasal 2.1.11
menentukan bahwa (1) suatu balasan terhadap penawaran
yang mengandung penerimaan tetapi terdapat penambahan,
perubahan, atau modifikasi lainnya dianggap sebagai
penolakan terhadap penawaran dan berisikan penawaran
kembali. (2) akan tetapi, suatu balasan terhadap penawaran
yang mengandung penerimaan namun berisikan tambahan
atau perubahan ketentuan yang tidak dapat menggantikan
syarat-syarat penawaran dapat dikatakan suatu penerimaan,
kecuali penawar langsung menyatakan keberatan terhadap

91 Ibid.
ARTICLE 2.1.8
Acceptance within a fixed period of time. A period of acceptance fixed by
the offeror begins to run from the time that the offer is dispatched. A time
indicated in the offer is deemed to be the time of dispatch unless the
circumstances indicate otherwise.
ARTICLE 2.1.9 Late acceptance. Delay in transmission
(1) A late acceptance is nevertheless effective as an acceptance if without
undue delay the offeror so informs the offeree or gives notice to that effect.
(2) If a communication containing a late acceptance shows that it has
been sent in such circumstances that if its transmission had been normal
it would have reached the offeror in due time, the late acceptance is
effective as an acceptance unless, without undue delay, the offeror informs
the offeree that it considers the offer as having lapsed.
94
ketidaksesuaiannya. Apabila penawar tidak menyatakan
keberatannya, syarat-syarat kontraknya adalah syarat-syarat
penawaran dengan modifikasi disertai dengan penerimaan.
Pasal 2.1.12 mengenai konfirmasi melalui tulisan,
ditentukan bahwa apabila suatu tulisan yang telah
dikirimkan dalam kurun waktu yang pantas setelah
penutupan kontrak, dan yang mempunyai pokok isi tentang
konfirmasi tentang kontrak yang berisikan tambahan atau
syarat berbeda, maka syarat-syarat tersebut menjadi bagian
dari kontrak, kecuali mereka merubah pokok kontrak atau
para pihak, atau menyatakan keberatannya karena tidak
sesuai.92
Dari uraian di atas, maka terhadap prinsip itikad,
baik menurut B.W, menurut tradisi common law pada
umumnya, maupun menurut UPIC 2010, dapat ditarik
kesimpulan bahwa ide dasar tentang konsensualisme pada
kontrak adalah adanya persatuan keinginan yang
mempertemukan pendapat secara umum, sehingga

92 Ibid.
ARTICLE 2.1.10 Withdrawal of acceptance
An acceptance may be withdrawn if the withdrawal reaches the offeror
before or at the same time as the acceptance would have become effective.
ARTICLE 2.1.11 Modified acceptance
(1) A reply to an offer which purports to be an acceptance but contains
additions, limitations or other modifications is a rejection of the offer and
constitutes a counter-offer.
(2) However, a reply to an offer which purports to be an acceptance but
contains additional or different terms which do not materially alter the
terms of the offer constitutes an acceptance, unless the offeror, without
undue delay, objects to the discrepancy. If the offeror does not object, the
terms of the contract are the terms of the offer with the modifications
contained in the acceptance.
ARTICLE 2.1.12 Writings in confirmation
If a writing which is sent within a reasonable time after the conclusion of
the contract and which purports to be a confirmation of the contract
contains additional or different terms, such terms become part of the
contract, unless they materially alter the contract or the recipient,
without undue delay, objects to the discrepancy.
95
penekanannya terletak pada sudut pandang secara luas
(common view). Selain konsensus berdasarkan penawaran
dan penerimaan, dimunculkan pula unsur saling
mendukung dan solidaritas, namun patuh dan tunduk
terhadap apa-apa saja yang sudah dijanjikan.
Syarat kesepakatan semata memerlukan formulasi
lebih jelas tentang tata cara pencapaian kesepakatan yang
menjadi dasar setiap kontrak. Pada tataran praksis, prinsip
penawaran-penerimaan ini sudah dipraktekkan di
Indonesia, baik sebagai wujud praktek kebiasaan maupun
peleburan tradisi hukum sebagai matrix pembuatan kontrak.
Prinsip ini menderivasi prinsip-prinsip penting lainnya
seperti consideration dan promissory estoppel yang dibahas
lebih detail pada sub bab tersendiri.
3.1.4 Prinsip pacta sunt servanda
Prinsip pacta sunt servanda juga sering disebut prinsip
daya mengikat kontrak atau kekuatan mengikat
dipopulerkan oleh para ahli hukum berdasarkan teori-teori
hukum serta doktrin-doktrin, kemudian disebarkan melalui
tulisan-tulisan dan/atau buku-buku kajian tentang hukum
kontrak. Pacta sunt servanda berasal dari bahasa Latin yang
berarti perjanjian harus dipertahankan. Peraturan yang ada
di dalam perjanjian dan ketentuan utamanya terutama yang
dimuat di dalam kontrak harus dipelihara.93
Sudah selayaknya apa yang telah dijanjikan oleh para
pihak, dipatuhi pula oleh para pihak yang telah membuat
janji-janji tersebut. Dengan demikian para pihak yang
berjanji tersebut harus melaksanakan kontrak yang telah
disepakati bersama, selayaknya keharusan untuk mentaati
undang-undang.

93 Bryan A. Garner, op cit, hlm. 1140.


96
Menurut Burgerlijk Wetboek
Prinsip pacta sunt servanda terletak pada Pasal 1338
alinea (1) B.W yang menentukan bahwa “...berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.94 Kata
undang-undang tidak bisa diartikan secara sempit hanya
dengan melihat pengertian gramatikalnya saja, melainkan
sifat preskriptifnya suatu undang-undang, artinya mengikat
dan diberlakukan sebagai peraturan. Menurut Bryan A.
Garner, prescript adalah “a rule, law, command, or ordinance.
The act of establishing authoritative rules. 95
Sifat preskriptif lainya dalam B.W terletak pada Pasal
1339 B.W yang menentukan “suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
Undang-Undang”.96 Pasal ini menentukan bahwa yang
mengikat para kontraktan di dalam kontrak adalah isi
kontrak, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
Mengenai isi kontrak yang berasal dari janji-janji terhadap
kata-kata yang diucapkan sendiri kepada pihak lain adalah
mengikat. Dengan kata lain, terdapat kesanggupan untuk
memenuhi apa yang telah dijanjikan yang kemudian
menjadi suatu kewajiban hukum di dalam sistem tukar-
menukar janji. Hal demikian sudah menjadi kodrat “untuk
setia terhadap kata yang diucapkan, oleh karena itu tak lain
adalah tuntutan akal sehat alami”.97
Menurut Tradisi Common Law Pada Umumnya
Prinsip pacta sunt servanda menurut tradisi common
law merumuskan bahwa kekuatan mengikat suatu kontrak
terletak pada consideration dan keinginan untuk menciptakan

94 R. Subekti, R Tjitrosudibio, op cit, hlm. 342.


95 Bryan A. Garner, op cit, hlm. 1220.
96 R. Subekti, R Tjitrosudibio, op cit, hlm. 342.
97 Johannes Ibrahim, op cit, hlm. 16.

97
hubungan hukum. Doctrine of consideration and equity sudah
menjadi ciri khas common law system yang bahkan menjadi
salah satu elemen penting untuk menjadi kontrak yang valid.
Suatu kontrak yang valid menurut perspektif hukum kontrak
Singapura ialah kontrak yang dapat ditegakkan oleh hukum
atau enforceable by law.
Implementasi prinsip ini diwujudkan melalui
formulasi janji bertimbal balik (consideration), sehingga janji
harus dibalas dengan janji agar menimbulkan kekuatan
pengikatan hukum (legal binding). Formulasi yang lebih
spesifik lagi ialah adanya “perlengkapan” suatu penawaran
(offer) dan penerimaan (acceptance) yang mem-validasi
keabsahan substansi kontrak.
Menurut The UNIDROIT Principles of International Com-
mercial Contracts 2010
Kekuatan mengikat suatu kontrak ditentukan dalam
Pasal 1.3 tentang sifat mengikat suatu kontrak (binding
character of contract), yaitu suatu kontrak yang dibuat sah
mengikat kepada para pihak di dalamnya. Kontrak ini hanya
dapat dimodifikasi atau dibatalkan berdasarkan syarat
penentuannya atau melalui persetujuan atau sebagaimana
ditentukan lain dalam prinsip-prinsip UPIC. “A contract
validly entered into is binding upon the parties. It can only be
modified or terminated in accordance with its terms or by
agreement or as otherwise provided in these Principles”.
Di dalam pelaksanaan kontrak, UPIC 2010
mengharuskan adanya itikad baik dan bertransaksi dengan
jujur. Itikad baik dan jujur ini tidak dapat dikesampingkan
di dalam kontrak, sebagaimana ditentukan dalam: ARTICLE
1.7 (Good faith and fair dealing). (1) Each party must act in
accordance with good faith and fair dealing in international trade.
(2) The parties may not exclude or limit this duty. Selain itu,

98
dilarang pula untuk melakukan perbuatan tidak konsisten
yang dapat merugikan pihak lain selama berkontrak.98
Kontrak yang dibuat dan mengikat para pihak, dapat
dipergunakan sebagaimana yang telah diperjanjikan untuk
pemenuhan kewajiban-kewajiban mereka. Pelaksanaan
kontrak dalam hal perdagangan internasional, dilakukan
seluas-luasnya sesuai dengan praktek kebiasaan yang telah
diketahui umum, kecuali tidak masuk akal untuk
digunakan.99
Pasal 6.1.4 menentukan bahwa (1) para pihak terikat
untuk melaksanakan kewajibannya demi kelancaran
pelaksanaan kewajiban secara optimal, kecuali keadaan
menentukan sebaliknya. (1) dalam hal terdapat kewajiban
pelaksanaan yang harus dipenuhi salah satu pihak dahulu,
maka pihak tersebut terikat untuk menjalankannya terlebih
dahulu, kecuali keadaan menentukan sebaliknya.100

98 http://www.unidroit.org, op cit.
ARTICLE 1.8(Inconsistent Behaviour)
A party cannot act inconsistently with an understanding it has caused
the other party to have and upon which that other party reasonably has
acted in reliance to its detriment.
99 Ibid.

ARTICLE 1.9. (Usages and practices)


(1) The parties are bound by any usage to which they have agreed and by
any practices which they have established between themselves. (2) The
parties are bound by a usage that is widely known to and regularly
observed in international trade by parties in the particular trade
concerned except where the application of such a usage would be
unreasonable.
100 Ibid.

ARTICLE 6.1.4 (Order of performance)


(1) To the extent that the performances of the parties can be rendered
simultaneously, the parties are bound to render them simultaneously
unless the circumstances indicate otherwise.
(2) To the extent that the performance of only one party requires a period
of time, that party is bound to render its performance first, unless the
circumstances indicate otherwise.
99
3.1.5 Prinsip Kedaulatan Hukum Nasional Tinjauan Um-
um
Prinsip kedaulatan hukum nasional sering disebut
dengan prinsip supremasi. Pengertian supremacy menurut
Garner adalah the position of having the superior or greatest
power or authority.101 Huala Adolf menerangkan bahwa
hukum nasional tidak dapat diganggu-gugat
keberadaannya. Kekuatan mengikatnya adalah mutlak.
Setiap benda, subjek, perbuatan hukum atau peristiwa
hukum, termasuk transaksi dagang yang dituangkan ke
dalam kontrak, yang terjadi di dalam wilayah suatu negara
tunduk secara mutlak pada hukum nasional tersebut.102
Dari definisi dan penjelasan di atas, dapat ditarik
pengertian bahwa apabila para kontraktan telah memilih
salah satu domisili hukum, maka sesuai dengan pilihannya
tersebut para kontraktan tunduk pada hukum nasional
suatu negara tersebut.
Banyak yang berpendapat bahwa pilihan hukum
tidak sama dengan pilihan forum, namun ada pakar-pakar
hukum yang menganggapnya sama. Pandangan dan
pendapat yang campur aduk demikian tidak lah serta merta
benar atau salah. Perlu dikumpulkan informasi untuk
pengkajian sehingga ditemukan suatu konklusi bagaimana
sikap pengadilan negeri di Indonesia dan di negara-negara
penganut tradisi common law sesuai dengan sistem
hukumnya. Tidak semua negara-negara yang menganggap
bahwa apabila para pihak memilih suatu hukum nasional
maka hukum nasional yang dipilihnya itu berlaku sebagai
rulling domicile.
Negara-negara penganut common law system seperti
Inggris dan Singapura, berpendapat bahwa apabila para

Bryan A. Garner, op cit, hlm. 1481.


101

Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika


102

Aditama, Bandung, 2007, hlm. 19.


100
kontraktan memilih suatu badan hukum tertentu, maka
hukum yang berlaku adalah hukum nasional di mana
pengadilan tersebut berada. Dengan kata lain, pilihan
hukum otomatis sama dengan pilihan forum.103 Pandangan
serupa dapat didukung dengan precedent yang dijadikan
yurisprudensi, pengadilan Singapura dalam sengketa antara
PT. Garuda Indonesia vs. Birgen Air Singapore, Court
Appeal: (2002) 1 SLR 393. Pengadilan Singapura dalam
putusanya antara lain menjatuhkan putusan bahwa karena
tempat berlangsungnya arbitrase telah menunjuk di
Indonesia, maka hukum Indonesia-lah yang berlaku untuk
persidangan arbitrasenya sebagai rulling domicile.
Pandangan tersebut berbeda dengan sikap dan
tindakan pengadilan di Indonesia yang terkadang menerima
legal dispute khususnya mengenai pembatalan kontrak
walaupun para kontraktan telah memilih domisili hukum
Singapura, misalnya dalam hal di dalam kontrak derivatif
valas terhadap rupiah. Namun ada juga pegadilan-
pengadilan Indonesia yang menolak legal dispute apabila
telah disepakati hukum Singapura sebagai hukum nasional
oleh para kontraktan.104 Tidak konsistennya sikap dan
tindakan pengadilan Indonesia terhadap prinsip supremasi
ini perlu dengan sangat tegas untuk menarik garis batas
yang jelas, apakah berpendapat pilihan hukum sama dengan
pilihan forum atau tidak sama. Hal ini dipandang sangat
perlu, karena sudah bukan waktunya lagi untuk
beranggapan bahwa sifat pilihan hukum atau pilihan forum

103 Huala Adolf, op cit, hlm. 138. Mengutip Clive M. Schmitthoff,


International Trade Law and Private International Law”, The
Netherlands, 1988, hlm. 585.
104 Fajar Sugianto, Analisis Keekonomian Tentang Hukum Dalam

Kontrak Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah Pada Bank Umum,


Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Untag Surabaya,
Surabaya, 2011.
101
hanya merupakan prasyarat kontrak. Selain itu, sikap dan
tindakan tegas yang konsisten terhadap prinsip supremasi
ini sangat membantu untuk mewujudkan tujuan hukum
yang memberikan keadilan dan kepastian hukum.
Di sisi lain, para kontraktan dalam perumusan
kesepakatannya mempunyai kebebasan untuk memilih
pilihan hukum dan pilihan forum yang diinginkan bersama.
Setelah didapatkan kesepakatan pilihan hukum dan pilihan
forumnya, harus dinyatakan secara terang dan tegas hukum
dan forum yang telah dipilihnya itu untuk diikutsertakan ke
dalam kontrak. Pernyataan secara secara eksplisit mengenai
klausul pilihan hukum dan forum, maka diartikan para
kontraktan menundukkan diri terhadap suatu sistem hukum
tertentu beserta domisili hukumnya.
Tidak adanya pilihan secara tegas mengenai pilihan
hukum dan pilihan forum selain menciptakan kekosongan
hukum yang dapat dimanfaatkan pihak lain sesuai dengan
kepentingannya untuk melindungi dirinya, kontrak seperti
ini dianggap cacat atau defective.105 Selain itu, apabila
ternyata di kemudian hari lahir suatu sengketa hukum,
maka pengadilan atau badan arbitrase akan memutus
sengketa tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
hukum yang berbeda disertai dengan prinsip-prinsip hukum
yang beraneka ragam. Memberikan kesempatan seperti ini
kepada pengadilan atau badan arbitrase untuk menentukan
hukum dan forum yang berlaku terhadap kontrak derivatif
valas terhadap rupiah menjadi suatu risiko yang tidak dapat
diprediksi, sehingga menimbulkan ketidakpastian.

105 Ibid, hlm. 139. Schmittoff mengingatkan bahwa suatu kontrak


internasional yang tidak ada pilihan hukumnya adalah kontrak
yang cacat. “... in the present state of affairs, I would consider a normal
international commercial contracts as defectively drafted if it did not
contai a choice of law clause and also a jurisdiction or arbitration clause.
102
3.2 Kajian Konseptual Prinsip dan Doktrin Penting Lain-
nya
3.2.1 Prinsip Lex Mercatoria
Istilah lex mercatoria diartikan sebagai suatu
kebiasaan dalam praktek bisnis yang berlaku di antara para
pedagang, walaupun hakikatnya berarti hukum dagang
(merchant law atau commercial law). Oleh karena bentuknya
sebagai praktek kebiasaan, maka lex mercatoria awalnya tidak
tertulis. Desakan globalisasi dan arus perdagangan bebas
mendesak adanya harmonisasi dalam praktek kebiasaan
berdagang. Secara perlahan-lahan, lex mercatoria menjelma
menjadi model law dan guide to conduct bagi para pelaku
usaha di belahan dunia.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Garner, bahwa lex
mercatoria pada awalnya merupakan suatu sistem hukum
kebiasaan yang berkembang di Eropa pada abad
pertengahan.106 Kemudian sistem ini diterapkan sebagai
kebiasaan baku yang mengatur perdagangan maritim,
khususnya bagi para pelaut dan nelayan, di dunia hingga
abad ke-17. Dewasa ini, banyak prinsip-prinsip dalam lex
mercatoria yang dijadikan basis hukum unifikasi, misalnya di
negara Amerika Serikat: the Uniform Commercial Code
(UCC).107
Pada penerapan organisasi bisnis internasional,
seperti ICC (International Chamber of Commerce), FIDIC
(Federation Internationale Des Ingenieurs Counseils), lex

106Ibid, hlm. 903.


107UCC adalah unifikasi hukum dagang di negara Amerika Serikat
yang menyeragamkan peraturan perundang-undangan tentang
transaksi perdagangan yang sebelumnya diundangkan oleh tiap-
tiap negara bagian dengan substansi hukum berbeda-beda.
Dengan adanya UCC ini diharapkan para pelaku mendapatkan
unfikasi hukum dagang, khususnya transaksi dagang seperti jual-
beli, transaksi perbankan, dan investasi (direct and portofolio)
umum.
103
mercatoria ditawarkan menjadi panduan hukum. Organisasi
pemerintah seperti UNCITRAL (United Nations Conference on
International Trade Law) telah berhasil menyusun CISG
(Contracts for International Sale of Good) dan UNIDROIT
(International Institute for the Unification of Private Law) yang
telah memperbarui prinsip-prinsip UNIDROIT sebanyak 3
kali (1994, 2004, dan 2010), telah menjustifikasi lex mercatoria
sebagai prinsip hukum kontrak.
Dalam kajian konseptual, lex mercatoria disebut
sebagai hukum dagang karena merupakan susunan
sekelompok aturan yang diciptakan komunitas dagang
untuk mengakomodir kebutuhan perdagangan
internasional. Di samping itu, lex mercatoria dalam secara
kontekstual cenderung untuk menjaga keharmonisan
hukum dagang internasional dengan hukum nasional.
Dengan kajian semacam ini, keberadaan lex mercatoria
menjadi independen terhadap hukum nasional mana pun,
sehingga konsep dan aturan tentang lex mercatoria ini lebih
terelaborasi dengan perdagangan internasional tanpa
mengacu pada sistem hukum tertentu. Lex mercatoria
menjadi peraturan perundang-undangan internasional yang
mengharuskan setiap hukum nasional suatu negara untuk
memberlakukan-nya. Dalam kajian fungsional yang lebih ke
sisi praksis, lex mercatoria sebagai suatu praktek kebiasaan
merupakan transnasionalisasi hukum. Artinya, praktek
kebiasaan diklasifikasikan sebagai konsep hukum di setiap
hukum nasional, termasuk di Indonesia mengklasifikasikan
kepatutan dan kebiasaan sebagai salah satu tata cara
melaksanakan kontrak. Dengan kajian semacam ini, lex
mercatoria sudah ada dalam setiap hukum nasional dan tidak
hanya menjadi alternatif hukum, namun menjadi prinsip
hukum yang sudah diterapkan. Dalam hal kegiatan
komersial yang sudah menjadi global, maka tercipta pula
kebiasaan kegiatan komersial secara internasional.
104
Kebiasaan ini meliputi kepatutan, standar-standar yang
secara luas digunakan oleh para pelaku bisnis, dan guide to
conduct yang secara umum diketahui dan rutin diterapkan
dalam kegiatan perdagangan.
Terhadap dua kajian di atas, ditawarkan dua
pendekatan terhadap lex mercatoria dalam arti seluas-
luasnya. Pertama, apabila praktek kebiasaan telah disepakati
untuk diberlakukan, maka lex mercatoria berlaku sebagai
hukum kebiasaan mengesampingkan ketentuan umum yang
bertentangan dengan kebiasaan itu. Hal ini dikarenakan
hukum kebiasaan mengikat para kontraktan sebagai cara
dan syarat mengatur kontrak secara keseluruhan. Kedua,
dalam hal penerapan praktek kebiasaan diduga membuat
kejanggalan pelaksanaan kontrak, sebut saja kebiasaan yang
berbeda dalam sektor-sektor perdagangan tertentu, maka
para pihak harus secara tegas menyatakan
mengesampingkan segala bentuk kebiasaan.
3.2.2 Prinsip Penawaran dan Penerimaan
Kesepakatan merupakan syarat pertama agar
persetujuan menjadi sah menurut hukum, namun B.W tidak
menentukan tentang tata cara bagaimana mencapai
kesepakatan. Kesepakatan harus terjadi dan menjadi syarat
universal untuk membuat persetujuan yang mengikat.
Cara yang paling umum dan yang telah
dipraktekkan secara luas untuk mecapai kesepakatan adalah
melalui proses penawaran dan penerimaan (offer and
acceptance). Cara ini pada hakikatnya merupakan ketentuan
hukum kontrak tradisi Common Law yang secara umum
berlaku dan telah menjadi kebiasaan yang diadopsi di
Indonesia. Terhadap hal ini, B.W tidak melarang adanya
pengadopsian serta pencampuran sistem hukum lainnya
sepanjang tidak bertentangan dengannya dan peraturan
perundang-undangan lainnya.

105
Begitu pentingnya konsep-konsep penawaran dan
penerimaan ini untuk menjadi formula terjadinya kontrak
sehingga keberadaannya telah menjadi salah satu prinsip
terpenting hukum kontrak. Prinsip penawaran-penerimaan
menunjukan banyak, walaupun tidak semua, titik awal
kesepakatan untuk menganalisa apakah kesepakatan itu
telah tercapai.
Pada prakteknya di Indonesia, penerapan
penawaran-penerimaan sudah sedemikian banyaknya
sehingga penawaran-penerimaan tergolong menjadi lex
mercatoria di dalam dunia perdagangan. Tidak
mengherankan jika sekarang bisa ditemukan civil law system
modern sudah banyak mengadopsi rumusan kesepakatan-
penerimaan di dalam pra-kontrak, komunikasi, perhitungan
batas-batas waktu, dan unsur-unsur penting lainnya di
dalam proses bargaining. Dengan tercapainya kesepakatan
yang solid (melalui mekanisme penawaran-penerimaan dan
proses bargaining), dapat mempertemukan kecocokan antara
kehendak atau kemauan para pihak yang akan mengadakan
kontrak. Tercapainya kata sepakat seperti ini dapat juga
disebut sebagai meeting of the minds dan concurence of wills
yang para pihak menghendaki “sama dalam kebalikannya”.
Lebih luas lagi, penentuan penawaran-penerimaan
tidak hanya untuk mencapai kata sepakat tetapi juga turut
menentukan hal-hal lain seperti tata cara proses pengiriman
proposal, cara-cara penarikan kembali, modifikasi penawa-
ran atau penerimaan, penekanan terhadap batas-batas waktu
sebagai hal esensial di dalam pembentukan kontrak.
Pada dasarnya, penawaran adalah janji awal atau
ungkapan keinginan dalam bentuk tertentu dari si penawar
untuk terikat dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang
diatur setelah adanya penerimaan tanpa syarat oleh pihak
yang ditawarkan. Ungkapan semacam ini harus dimengerti

106
sebagai niat dan maksud untuk menciptakan hubungan
hukum.
Di sisi lain, penerimaan tanpa syarat terhadap
penawaran yang diterimanya itu harus diberitahukan
kepada si penawar baik secara tegas atau tersurat.
Penerimaan terhadap penawaran yang telah lewat masa
waktunya secara normatif tidak menunjukan terjadinya
kesepakatan. Kerangka umum hukum kontrak tradisi
Common Law membedakan bahwa bukan suatu penerimaan
jika penerimaan itu masih berisikan perubahan atau
modifikasi penawaran awal. Bentuk semacam ini dikatakan
sebagai tawaran balik (counter offer).
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
suatu kontrak yang konsensus menurut hukum dirumuskan:
Offer + Acceptance = Agreement. Unsur terpenting konsensua-
lisme melalui penawaran-penerimaan lainnya adalah
adanya pertemuan kehendak (meeting of the minds) dan
kesesuaian pendapat (concurence of wills) yang telah
mempersatukan para pihak. Bersatunya para pihak berarti
adanya keharmonisan atau kecocokan dalam pendapat,
pandangan, maksud dan tujuan yang dapat digabungkan
untuk mengatur peristiwa yang akan datang. Pengaturan
peristiwa ini yang mewujudkan syarat dan ketentuan dalam
kontrak.
3.2.3 Prinsip Consideration
Secara luas, consideration adalah janji bertimbal balik.
Prinsip ini juga menjadi ciri khas lain dalam hukum kontrak
tradisi common law. Dengan adanya janji yang dibalas
dengan janji, maka terjadilah janji-janji yang bertimbal balik
sehingga kontrak yang dibuat para pihak dapat ditegakkan
menurut hukum atau enforceable by law.
Consideration menurut Garner:
1. Something (such as an act, a forbearance, or a return promise)
bargained for and received by a promisor from a promisee; that
107
which motivates a person to do something esp. to engage in a
legal act. Consideration, or a substitute such as promissory
estopel, is necessary for an agreement tobe enforceable;
2. Loosely, valuable consideration; that is adequate to support
the bargained-for exchange between the parties.108
Suatu janji yang terkandung di dalam kesepakatan tidak
dapat diberlakukan kecuali bila disertai dengan imbalan
janji. Imbalan janji ini harus sesuatu yang bernilai sesuai
dengan yang diminta oleh pihak yang membuat janji,
sekaligus diberikan oleh pihak yang menerimanya yang
akan diberlakukan oleh pihak penerima janji. Ide dasar
imbalan janji dalam prinsip ini tidak sama dengan prinsip
penawaran-penerimaan, karena umumnya lebih khusus
mengatur tentang ide dasar imbalan janji (janji balasan)
antara para kontraktan. Ide imbalan yang mendasari bahwa
janji yang dibalas itu sudah bertimbal balik jika ada
hubungan kausa antara janji awal dan janji balasan. Dengan
demikian, imbalan janji tidak dapat berupa sesuatu yang
telah dilakukan sebelum janji dibuat. Untuk melengkapi ide
imbalan yang diharuskan sebagai kausa dalam kontrak,
bahwa imbalan janji itu harus memiliki kecukupan
(sufficiency) sehingga dapat diklasifikasikan sebagai janji
balasan yang berimbang dan bertimbal balik. Jadi, prinsip
consideration ini mendasarkan bahwa kontrak bukan janji
sepihak dan tidak bersifat gratis. Pada tataran fungsional,
prinsip ini mencerminkan pertukaran hak dan kewajiban
sehingga consideration juga sering disebut dengan istilah:
quid pro quo, tit for tat, something for something. Secara teoritik,
prinsip consideration juga menitikberatkan kepada prinsip
larangan menyangkal atau promissory estoppel.

108 Bryan A. Garner, loc cit, hlm. 324.


108
3.2.4 Prinsip Interpretasi Kontrak
Prinsip ini menekankan kepada penggunaan bahasa
kontrak yang mudah dan luas untuk mengisi kekosongan
(gap filling) akibat kekakuan bahasa hukum. Kontrak
walaupun merupakan dokumen hukum yang berisikan
perbuatan hukum para kontraktan, bukan berarti hakikat
keberadaan dan pengertiannya hanya untuk dimengerti oleh
orang hukum. Kelengkapan kontrak sering dikonotasikan
dengan penggunaan bahasa hukum yang rumit dan
penggunaan istilah-istilah yang berlebihan.
Dalam banyak hal, penggunaan bahasa yang rumit-
terutama bahasa hukum bagi orang awam-memerlukan
upaya lebih untuk menemukan maknanya daripada
pemahaman langsung terhadap hak dan kewjiban yang
tertuang dalam kontrak. Pada titik ini, penggunaan bahasa
dan istilah yang rumit memiliki peluang dan risiko lahirnya
multitafsir. Dalam hal terjadi sengketa kontrak, hakim
memiliki wewenang untuk menafsirkan dan mengartikan
kontrak sedemikian rupa untuk memperjelas klausul yang
multitafsir.
Menurut Garner, interpretation: the process of
determining what something esp. the law or legal document means;
the ascertainment of meaning to be given to words or other
manifestations of intention.109Dalam hal kaitannya dengan
kontrak, interpretasi kontrak merupakan bahasa yang
digunakan dalam kontrak sebagai usaha untuk menguraikan
makna yang dimaksud para kontraktan sehingga esensi
kontrak dapat dimengerti orang lain. Sangat ironis jika
tujuan terbesar kontrak hanya direpresentasikan melalui
bahasa yang rumit.
Penekanan terhadap prinsip interpretasi kontrak
dilakukan dengan dua pertimbangan utama: (a) bahwa

109 Ibid, hlm. 837.


109
interpretasi kontrak dapat memperbaiki kontrak yang tidak
lengkap; dan (b) bahwa prospek interpretasi kontrak
memotivasi para pihak untuk menyusun kontrak dalam
bahasa sederhana yang menjaga keberadaan kontrak untuk
tujuan terbesarnya. Dua penekanan ini menunjukan bahwa
interpretasi kontrak lebih dapat diandalkan pelaksanaan dan
penegakannya alih-alih penggunaan bahasa hukum yang
kaku. Dalam kaitannya dengan pembuatan kontrak, prinsip
ini paling tidak menjadi suatu pendekatan bahwa kontrak
harus dapat dimengerti oleh orang awam, bukan hanya
orang hukum.
3.2.5 Prinsip Equity
Makna equity dalam perspektif hukum berbeda
dengan pengertiannya dalam perspektif ekonomi keuangan.
Equity menurut common law system merupakan dasar faham
keadilan dengan memberlakukan kelayakan dan keadilan,
umumnya dipakai untuk menyelesaikan sengketa dan
tuntutan-tuntutan dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Penerapan equity ditentukan secara tegas, meskipun yang
dimaksud berlainan dengan ketentuan hukum pada
umumnya atau undang-undang. Selain itu, fungsi equity
merupakan perlengkapan alat untuk mencapai akibat yang
dapat dibenarkan hukum bila prosedur hukum tidak
memenuhinya.110
Penerapannya sebagai prinsip hukum kontrak
dihubungkan dengan equitable remedies, yaitu penentuan
tentang solusi-solusi ganti kerugian yang berkeadilan,
umumnya terhadap kinerja prestasi tertentu. Berdasarkan
prinsip ini, besarnya kerugian akibat wanprestasi menjadi
wajib ditentukan dalam kontrak sebagai salah satu syarat
kelengkapan kontrak. Kompensasi ganti kerugian yang telah

110 Oliver Wendell Holmes Jr., op cit, hlm. 187-188.


110
ditentukan dalam kontrak menjadi rambu yang menunjukan
jalan penyelesaian tanggung-gugat para kontraktan.
Prinsip ini mendekatkan kepada tiga kondisi terha-
dap kerugian yang berkeadilan:
a. the damages are not too remote (REMOTENESS);
b. area of a type recoverable in law (TYPES);
c. could not have been mitigated (MITIGATION).111
Kondisi remoteness menjelaskan bahwa kerugian
tidak dapat tersembunyi, harus ada hubungan sebab-akibat
yang sangat jelas antara wanprestasi dan kerugian yang
diklaim. Kondisi types menegaskan suatu kerugian dapat
dikatakan kerugian apabila dapat diukur dan dapat
dipulihkan oleh hukum. Kerugian-kerugian immateriil yang
sering diklaim menjadi kerugian, misalnya: reputasi/nama
baik, kekecewaan, rasa malu, dan sebagainya menurut
prinsip ini harus dapat diukur dan dapat dipulihkan oleh
hukum. Terakhir, kondisi mitigation merupakan penegasan
terhadap hakikat ganti kerugian sebagai cara mengurangi
atau meringankan kerugian, bukan sebaliknya. Perluasan
lebih lanjut terhadap kerugian dan kompensasi diuraikan
pada prinsip remedy berikut ini.
3.2.6 Prinsip Remedy
Prinsip remedy secara sempit dalam kontrak
mengarah kepada perbaikan atau pembetulan kontrak
dalam hal salah satu kontraktan tidak mejalankan presta-
sinya. Melalui perspektif ini, prinsip remedy menekankan
kepada penentuan ganti kerugian sebagai kompensasi kece-
deraan atau kerugian akibat wanprestasi.
Besarnya kecederaan berupa kerugian karena salah
satu pihak wanprestasi sangat penting untuk ditentukan
dalam kontrak. Hal ini disebabkan karena:

Ian Brown, Adrian Chandler, Law of Contract-Blackstone’s Q&A,


111

Oxford University Press, U.S.A., 2005, hlm. 219.


111
a. kompensasi dapat mengukur motif para kontraktan,
seperti meminimalisir potensi perlakuan oportunistik;
b. meningkatkan ketergantungan para kontraktan;
c. kompensasi dapat dijadikan sebagai alat jaminan atau
perlindungan yang dapat memberikan posisi nyaman
bagi para kontraktan; dan
d. kalaupun terjadi sengketa melalui media yang tidak
memiliki pengetahuan dan keahlian tentang objek
kontrak, paling tidak kompensasi memudahkan peru-
musan tanggung gugat.
Kompensasi ganti kerugian menjadi wajib untuk
ditentukan di dalam kontrak. Artinya, kompensasi ganti
kerugian tidak lagi bersifat alternatif, tetapi dikumulasikan
menjadi kesatuan kontrak yang tidak terpisah. Tidak
ditentukannya kompensasi ganti kerugian, tidak berarti para
pihak mengutamakan itikad baik dalam berkontrak. Hal ini
sering dijadikan alasan klasik bagi para pebisnis bahwa
penentuan kompensasi ganti kerugian dapat merusak
hubungan emosional di antara mereka. Justru sebaliknya,
tidak ditentukan formulasi kompensasi kerugian dalam
kontrak justru mempersulit pelaksanaan dan pengakhiran
kontrak, bahkan lemah terhadap pengendalian risiko yang
terbuka nyata (risk exposure).
Unsur kerugian terdiri atas:
a. ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan;
b. kerugian karena kerusakan, kerugian yang sungguh
diderita; dan
c. bunga atau keuntungan yang diharapkan.112
Selain itu, kerugian memiliki kaitan erat dengan “rugi” –
salah satunya akibat dari kerusakan barang-barang, dan

112Abdulkadir Muhamad, dikutip dari Yahman, Karakteristik


Wanpprestasi dan Tindak Pidana Penipuan; yang Lahir Dari
Hubungan Kontraktual, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 20111,
hlm. 84.
112
hilangnya pengharapan keuntungan yang sudah dihitung
atau dibayangkan.113Dalam menentukan besarnya ganti
kerugian sebagai kompensasi, perlu untuk dimengerti
terlebih dahulu terhadap 3 (tiga) jenis kerugian:114
a. kerugian yang terekspektasi (expectation damages)
Dalam civil law tradition, kerugian yang terekpektasi
disebut positive damages (lucrum cessans) yang menyerupai
kerugian materiil. Untuk mengukur kompensasi yang tepat
terhadap kerugian materiil, maka kompensasi tersebut harus
dapat mengembalikan posisi korban (pihak yang diingkari)
menjadi tidak berbeda antara pelaksanaan dan ingkar
(perfect expectation damages leave potential victims indifferent
between performance and breach-garis bawah oleh penulis).
Dengan kata lain, korban kerugian tetap menerima sejumlah
uang yang dianggap sama apabila kontrak dilaksanakan dan
walaupun terjadi wanprestasi;
b. kerugian yang bergantung (reliance damages)
Dalam civil law tradition, kerugian yang bergantung
disebut negative damages atau menyerupai kerugian
immateriil. Untuk mengukur kompensasi yang tepat
terhadap kerugian immateriil, maka kompensasi tersebut
harus dapat mengembalikan posisi korban (pihak yang
diingkari) menjadi tidak berbeda dengan tidak ada kontrak
sebelumnya dan ingkar (perfect reliance damages leave potential
victims indifferent between no contract and breach-garis bawah
oleh penulis). Dengan kata lain, seandainya terjadi wan-
prestasi sekalipun, posisi korban kerugian dikembalikan
seperti semula seperti tidak pernah ada kontrak;
c. kerugian biaya kesempatan (opportunity cost damages)
Membuat suatu kontrak terkadang mengalahkan
pilihan alternatif kontrak lainnya. Dengan hilangnya

113 Ibid, hlm. 85-86.


114 Cooter, Ullen, op cit, hlm. 245-262.
113
kesempatan ini, perhitungan kompensasi yang tepat harus
dapat mengembalikan posisi korban (pihak yang diingkari)
menjadi tidak berbeda dengan ingkar dan pelaksanaan
kontrak alternatifnya itu (perfect opportunity cost damages leave
potential victims indifferent between breach and performance of the
best laternative contract-garis bawah oleh penulis). Dengan
kata lain, seandainya terjadi wanprestasi sekalipun, korban
kerugian tetap menerima sama dengan kontrak lain yang
menjadi pilihan alternatif berikutnya.
3.2.7 Prinsip Efisiensi
Terdapat 2 (dua) perbedaan mendasar terhadap
pengertian prinsip efisiensi menurut perspektif ilmu
ekonomi dan perspektif ilmu hukum-dalam hal ini Hukum
dan Ekonomi.
a. Menurut Perspektif Ilmu Ekonomi
Secara harfiah, konsep efisiensi selalu dikaitkan
dengan pengertian penghematan yang terkait dengan
penilaian ekonomis dari suatu barang dan/atau jasa.
Efisiensi yang ekonomis menurut Abdurachman: “Tingkat
yang dapat tercapai oleh produksi yang maksimal dengan
pengorbanan yang minimal. Efficiency suatu perusahaan
diukur oleh keuntungan dan biaya-biaya kedua-duanya,
sebab produsen yang paling efektif ialah dia yang
keuntungannya mencapai tingkat yang maksimal dan biaya-
biayanya yang merupakan suatu kombinasi yang tepat
daripada faktor-faktor produksi, dapat diperkecil serendah-
rendahnya”.115
Menurut Svetozar Pejovich, efisiensi merupakan
suatu tingkat keberhasilan maksimum dalam suatu tindakan
ekonomi (produce and the allocation of goods) dalam keadaan
kompetitif: ”The economic efficiency of the use of resources to
produce goods and the allocation of goods among competing uses is

115 A. Abdurachman, op c it, hlm. 378.


114
the expressed in the process through which voluntary interactions
are carried out, leading into the unknown”116.
Wessels menambahkan bahwa efisiensi tidak dapat
dilepaskan dari penggunaan maksimal atau pengalokasian
sumber daya yang tersedia: “Efficiency when people produce all
that can be, given their resources. To produce more of one good, an
efficient economy must produce less of other goods and is on its
production possibility curve”117.
b. Menurut Perspektif Hukum dan Ekonomi Pareto Effici-
ency
Vilfredo Pareto mengemukakan konsep allocative
efficiency yang hingga sekarang dikenal dengan Pareto
efficiency yang pada dasarnya menitikberatkan pada
pencapaian kepuasan seseorang. Menurutnya, suatu
peristiwa dapat menghasilkan efisiensi (allocatively efficient)
apabila dapat membagi keuntungan dengan cara membuat
para pihak di dalamnya menjadi lebih baik, atau paling tidak
tidak ada satu pihak yang menjadi sengsara.118 Pada
dasarnya, allocative efficient yang dibangun oleh Vilfredo
Pareto dibagi menjadi 2 (dua) konsep, yaitu superiority dan
optimality. Pareto superiority adalah suatu keadaan ekonomi
yang pertukarannya dapat dilakukan untuk membawa
keuntungan kepada seseorang dan tidak merugikan
seorangpun. “An economic situation in which an exchange can be
made that benefits someone and injures no one”.119 Dalam hal
pertukaran seperti ini tidak dapat dilaksanakan, maka
situasinya menjadi Pareto optimality, yaitu suatu keadaan
ekonomi yang tidak membuat seorangpun menjadi lebih

116 Svetozar Pejovich, op cit, hlm. 9.


117 Walter J. Wessels, Economics, Barron’s Educational Series, USA,
2006, hlm. 602.
118 Ibid.
119 Bryan A. Garner, Bryan A. Garner, Black Law Dictionary, 8th

edition, Thompson West Group, USA, 2004, hlm. 1147.


115
baik tanpa merugikan atau menjadikan seseorang lebih
buruk: ”When such exchange can no longer be made, the situation
becomes one of Pareto optimality. Pareto optimality: an economic
situation in which no person can be made better off without
making someone else worse off”.120
Kaldor-Hicks Efficiency
Konsep efisiensi lainnya yang umum diadopsi di
dalam Hukum dan Ekonomi adalah Kaldor-Hicks Efficiency.
Suatu keadaan dikatakan efisien apabila dihasilkan dari
suatu pertukaran alokasi sumber daya yang
menguntungkan si pemenangnya. “A situation resulting from
a change in the allocation of resources if the change benefits the
winner”.121 Dikatakan pemenang apabila ia lebih
mendapatkan keuntungan dengan cara memperoleh
manfaat dari pertukaran tersebut, tidak dengan cara
mengeksploitasi atau merugikan pihak lainnya.
Coase Theorem
Ronald H. Coase melihat efisiensi dapat diukur dari
besarnya biaya transaksi. Pada dasarnya, biaya transaksi
adalah segala biaya yang dikeluarkan dalam melakukan
pertukaran. Coase melihat biaya transasksi berupa hal-hal
seperti biaya yang lahir dari pengkomunikasian yang
merupakan biaya-biaya yang menghambat suatu pertukaran
(bargaining). Dari sini dapat ditarik suatu pengertian bahwa
bargaining seharusnya berhasil ketika biaya transaksi adalah
nol. Dengan kata lain, apabila biaya transaksi tinggi
sehingga menyebabkan tidak dimungkinkannya untuk
melakukan pertukaran, maka efisiensi tergantung pada
ketentuan kontrak, yaitu dengan mengandalkan ketentuan
kontrak berdasarkan isinya.

120 Ibid.
121 Ibid, hlm. 1624.
116
Biaya transaksi memiliki 3 (tiga) komponen utama,
yaitu biaya pencarian (search cost), biaya pertukaran untuk
saling tawar-menawar (bargaining cost), dan biaya
pelaksanaan (enforcement cost). Dalam hal keterkaitannya
dengan kontrak, maka kontrak dikatakan efisien apabila
tidak ada biaya transaksi, seperti biaya untuk mendapatkan
informasi (cost of acquiring information). Pendek kata, kontrak
adalah efisien ketika ketentuan-ketentuan di dalamnya
mampu melancarkan intraksi dan transaksi para kontraktan.
3.2.8 Prinsip Utilitas
Terdapat hubungan yang sangat penting antara
efisiensi dan utilitas. Bagi kebanyakan pelaku ekonomi,
utilitas merefleksikan kemanfaatan dan faedah terhadap
barang ekonomi. Jika seseorang percaya bahwa tindakannya
itu secara sukses efisien, maka pada saat yang sama ia
menyimpulkan hasilnya adalah memuaskan. Hasil yang
memuaskan ini menandakan efektivitas di balik
tindakannya. Hasil yang memuaskan seperti ini juga
mencerminkan kepuasan manusia atas terpenuhinya
pengharapan keuntungan mereka.122 Keuntungan dalam hal
ini memiliki 2 (dua) jenis, yaitu keuntungan moneter dan
keuntungan non-moneter.
Manusia baik sebagai pelaku ekonomi dan subjek
hukum dalam kontrak, memiliki pengharapan keuntungan.

122 Konsep utilitas dalam Hukum dan Ekonomi digunakan dalam


arti yang cukup berbeda, khususnya pengertiannya dalam ilmu
ekonomi dan ajaran utilitarian. Bagi kebanyakan ekonom, utilitas
pada umumnya digunakan untuk membedakan biaya tidak pasti
dari sesuatu yang pasti. Utilitas juga biasanya disebut sebagai
utilitas yang diharapkan yang menghasilkan analisa risiko,
sementara utilitas dalam arti yang digunakan oleh filsuf
utilitarianisme adalah kebahagiaan.
Untuk elaborasi terhadap prinsip-prinsip terkait dalam Hukum
dan Ekonomi, baca Fajar Sugianto, The Economic Approach To Law,
Seri II, Prenada Media Group, Jakarta, 2013.
117
Kaitannya antara utilitas dan keuntungan dalam prinsip ini
terhadap hukum kontrak adalah daya guna kontrak atau
fungsi. Artinya, kontrak sebagai piranti persetujuan tertulis
yang mengikat para kontraktan berfungsi sebagai pegangan
yang dapat memfasilitasi pertukaran keuntungan mereka.
Tidak ada artinya membuat kontrak sesuai dengan kaedah-
kaedah hukum kontrak jika pada akhirnya kontrak tidak
dapat difungsikan sesuai dengan peruntukannya. Paling
tidak, prinsip ini dapat memberikan cara pandang tersendiri
untuk menghilangkan kekakuan terhadap kompleksitas
kontrak yang semakin variatif. Namun di sisi lain, perlu
selalu dipahami bahwa penggampangan pembuatan
kontrak, terutama dalam penyusunan prestasi para
kontraktan, akan menambah kompleksitas proses
pertukarannya.
3.2.9 Doktrin Promissory Estoppel
Prinsip ini memperkenalkan ide dasar terhadap
ketergantungan para kontraktan berdasarkan prinsip
consideration, tetapi dalam arti terbatas. Prinsip promissory
estoppel pada dasarnya adalah prinsip larangan menyangkal
janji yang sudah diberikan, terutama larangan penarikan
penawaran. Lebih khusus lagi, prinsip ini menekankan
kepada penarikan janji jika seseorang telah menyebabkan
orang lain untuk bertindak dengan cara tertentu akibat dari
penawarannya, maka si penawar dilarang untuk
menyangkal terhadap fakta itu (estopped).
Berdasarkan prinsip consideration, maka kontrak
harus berisikan janji-janji bertimbal balik. Ini merupakan
hakikat kontrak. Namun pada situasi tertentu di mana janji
yang bertimbal balik, sekali pun hanya menguntungkan
salah satu kontraktan, maka penarikan janji diperbolehkan
dengan pertimbangan kewajaran dan dampaknya kepada
pihak satunya. Tidak mungkin bagi A untuk menarik

118
janjinya yang dibuat untuk B di mana B telah menjalankan
janjinya kepada A walaupun merugikan B.
Garner mendefinisikan estoppel sebagai suatu
penghalang yang mencegah seseorang untuk mengklaim
haknya yang bertentangan dengan apa yang telah diucapkan
atau telah dilakukannya sebelum atau atas sesuatu yang
dibuat secara sah.
“the principle that a promise made without consideration
may nonetheless be enforced to prevent justice if the
promisor should have reasonably expected the promise to
rely on the promise and if the promise did actualy rely on
the promise to his or her detriment”.123
3.2.10 Doktrin Privity of Contract
Pada dasarnya, doktrin privity of contract merupakan
perluasan terhadap doktrin kekuatan mengikat para
kontraktan (pacta sunt servanda). Doktrin privity of contract
lebih menjelaskan bahwa tidak semua kontraktan yang
terdapat dalam kontrak, walaupun saling terikat, memiliki
akibat hukum yang sama. Terutama terhadap kontrak yang
memiliki 3 (tiga) kontraktan atau lebih, doktrin ini
menguraikan bahwa: the relationship between the parties to a
contract, allowing them to sue each other but preventing a thrid
party from doing so.124
Definisi tadi merupakan prinsip pertama terhadap
doktrin ini. Pihak ketiga lainnya dibebaskan dari tuntutan
karena dianggap tidak mengetahui risiko-risiko dasar yang
lahir dari kontrak. Misalnya, A sebagai manufaktur dan
sekaligus sebagai penjual menjual barang X kepada B
dengan menggunakan jasa angkutan C. Dalam hal terjadi
cacat produk sehingga X tidak layak digunakan sebagai-
mana yang dijanjikan, berdasarkan doktrin ini, A dan B

123 Bryan A. Garner, op cit, hlm. 591.


124 Bryan A. Garner, op cit, hlm. 1237.
119
tidak bisa mengikutsertakan C dalam tuntutannya,
walaupun C adalah pihak kontraktan.
Perinsip yang kedua menegaskan bahwa hakikat
kekuatan mengikat kontrak dalam hal tanggung jawab
kontraktual. Artinya, tidak hanya orang-orang yang menjadi
pihak dalam kontrak memiliki kewajiban kontraktual, tetapi
pihak yang tidak ikut serta dalam kontrak pun memilikinya
jika timbul pertanggungjawaban hukum. Misalnya, dalam
hal kerusakan barang X yang berakibat dari kelalaian C pada
saat pengantaran, walaupun C bukan sebagai kontraktan
dalam kontrak antara A dan B, maka C turut serta sebagai
pihak yang terikat memikul pertanggungjawaban.
3.2.11 Doktrin Mistake
Doktrin ini memberikan perluasan penjelasan lebih
detail terhadap konsepsi “khilaf”. Menurut doktrin mistake,
ada tiga klasifikasi kesalahan, yaitu common, mutual, dan
unilateral.125 Common mistake merupakan jenis kesalahan
yang disebabkan oleh para kontraktan berbagi kesalahan
yang sama tentang fakta dasar kontrak. Misalnya, A dan B
berkontrak untuk jual-beli barang yang tidak pernah ada,
atau tidak diperjual-belikan (res extincta). Juga merupakan
common mistake apabila A dan B saling berkontrak untuk
jual-beli barang yang keduanya sama-sama tidak
mengetahui bahwa barang tersebut telah dimiliki orang lain
(res sua).
Mutual mistake merupakan jenis kesalahan yang
terjadi antara para pihak yang memiliki perbedaan
pemahaman terhadap objek kontrak dan mereka tidak
pernah sadar terhadap kesalahannya ini. Misalnya, A
berkeinginan menjual barang X kepada B, dan B
berkeinginan membeli barang Z dari A yang mengira B
menginginkan X. Kesalahan sama pada B yang mengira

125 Ian Brown, Adrian Chandler, op cit, hlm. 155-157.


120
bahwa Z itu adalah X. Dalam keadaan seperti ini,
kesepakatan dianggap tidak pernah ada karena menyangkut
pemahaman dasar terhadap objek kontrak yang menjadi
substansi terpenting dalam kontrak.
Unilateral mistake mencerminkan kesalahan yang
dilakukan hanya satu pihak dan pihak lain mengetahuinya
atau dianggap mengetahui kesalahan itu. Bila para pihak
tidak mengetahuinya, maka jenis kesalahan ini ialah mutual.
Umumnya, unilateral mistake dikaitkan dengan salah
pemahaman (misconception) terhadap barang.
3.2.12 Prinsip Objectivity
Doktrin ini menilai keberadaan kontrak berdasarkan
objektivitas kontrak, bukan subjektifnya. Objektif kontrak
adalah tindakan-tindakan aktual yang dilakukan para
kontraktan sesuai dengan peruntukan kontrak, apakah
signifikan dengan isi dan bentuk kontrak.
Doktrin ini mengesampingkan esensi niatan dan
maksud para pihak berkontrak, karena dikategorikan
sebagai janji-janji subjektif, walaupun memiliki kesesuaian
pendapat dan persamaan kehendak. Perbuatan pertukaran
para pihaklah yang dikategorikan sebagai keabsahan
kontrak, sekaligus mendeterminasi apakah janji-janji yang
saling diberikan tersebut sesuai dengan aktualisasinya.
Doktrin ini memberikan kejelasan terhadap substansi
kontrak, yang tidak hanya diformulasikan melalui kata-kata
tetapi juga melalui tindakan yang menjelmakan persetujuan
yang dibuat oleh para kontraktan.
3.2.13 Doktrin Frustration
Doktrin frustration membedakan jenis force majeure
atau overmacht sebagai kesukaran yang tidak mungkin
melaksanakan prestasi kontrak karena terjadi perubahan
fundamental terhadap pertukaran kontraktual.
Ketidakmungkinan ini sering dipersamakan dengan doktrin
impossibility of contract atau hardship.
121
Perbedaan semacam ini membuat force majeure lebih
mengarah kepada hambatan yang bersifat sementara, tidak
menghambat total pertukaran prestasi sehingga masih dapat
dilakukan secara parsial. Atas dasar ini, hambatan-hambatan
pada force majeure tidak secara otomatis membuat kontrak
menjadi batal (terminated ex nunc), namun force majeure
mengharuskan para pihak untuk melakukan renegosiasi
terhadap hal-hal di kemudian hari setelah penyesuaian
terhadap keadaan force majeure. Selain itu juga diharuskan
bahwa kontrak yang mencantumkan force majeure
mewajibkan para pihak untuk melakukan tindakan prevensi
terhadap bentuk-bentuk hambatan yang diuraikan dalam
klausul force majeure.
Ciri khas kontrak yang terfrustasi mengacu pada
peristiwa yang mengganggu, walaupun peristiwa itu cukup
diatur oleh para pihak, sehingga mengubah fondasi
pembentukan kontrak, atau menjadikan prestasi secara fisik
atau secara hukum tidak mungkin untuk dilaksanakan.
3.2.14 Doktrin Merger
Sebelum membuat kontrak yang final, para pihak
umumnya memiliki bentuk dan format tersendiri, bahkan
sesuai dengan preferensi dan kebiasaan masing-masing.
Doktrin merger dalam hukum kontrak menjelaskan tentang
penggabungan bentuk-bentuk persetujuan para pihak yang
dilebur menjadi satu kontrak.
Tujuan utama doktrin ini adalah untuk mencegah
para kontraktan di kemudian hari mengklaim bahwa
kontrak tidak mencerminkan seluruh maksud dan
pemahaman mereka karena tidak ada peleburan. Selain itu,
doktrin ini menangkis alasan-alasan seperti, kontrak tidak
sesuai dengan persetujuan lisan, atau bahkan kontrak tidak
konsisten dengan pra-kontrak sebelumnya.
Atas dasar ini, doktrin merger menawarkan prosesi
peleburan kontrak dari dan antara para pihak. Selain untuk
122
menghindari alasan-alasan tadi, doktrin ini juga berhubu-
ngan erat dengan keberhasilan interpretasi kontrak seperti
yang telah diuraikan pada 3.1.3 sebelumnya.
Dalam hal penerapannya sebagai klausul, penentuan-
nya lebih diarahkan kepada kepatuhan para pihak dengan
hal-hal yang sudah tertulis dalam kontrak tidak dapat
dialihkan atau divariasikan dengan persetujuan lisan atau
prakontrak sebelumnya. Sering juga klausul ini berbunyi
kurang lebih seperti: syarat dan ketentuan dalam kontrak ini
menggantikan semua negosiasi dan persetujuan
sebelumnya, sehingga kontrak ini hanya dapat diubah
berdasarkan persetujuan bersama secara tertulis dan
ditandatangani oleh semua pihak.
3.2.15 Doktrin Gross Disparity
Doktrin ini merupakan salah satu parameter ukur
itikad baik dengan melarang terjadinya perbedaan mencolok
antara para pihak yang hendak berkontrak. Perbedaan yang
mencolok ini mempengaruhi kekuatan tawar-menawar
sehingga posisi para pihak tidak berimbang. Akibatnya,
sering kali terjadi penekanan, pengaruh kepada pihak yang
lebih lemah atau yang posisinya berada di bawahnya.
Idealnya, kontrak terjadi antara para pihak yang
memiliki posisi yang sama, berimbang, dan netral. Lebih
idealnya lagi, kontrak yang berawal dari keseimbangan para
pihak ini dipercaya mampu melahirkan hak dan kewajiban
yang berimbang pula sehingga kontrak dapat mengakomo-
dir keuntungan para pihak.
Sangat dimengerti bahwa posisi-posisi berimbang
seperti ini sangat langka, dan disparitasnya sangat sukar
dihilangkan. Misalnya disparitas antara kreditur dengan
debitur (creditor vs debitor), majikan dengan karyawan
(employer vs employee), penjual dengan pembeli (seller vs buyer
dalam keadaan caveat venditor), pembeli dengan penjual
(dalam keadaan caveat emptor) dan lain sebagainya.
123
Di dunia praksis, disparitas ini yang seharusnya terus
diperjuangkan persamaannya namun dewasa ini seolah-olah
disparitas posisi menjadi sesuatu yang biasa. Hal ini dapat
dilihat dari pembiasaan kontrak baku (standard contract)
yang berbasis take-it-or-leave-it-contract yang mustahil untuk
dilakukan negosiasi terhadap isi kontrak, bahkan tidak
mungkin untuk merubah substansi kontrak.
Terhadap keadaan gross disparity ini, terdapat teori
tawar menawar (bargaining theory) yang perlu dipertahankan
guna menekan kesenjangan dan disparitas posisi para pihak
dalam kontrak.126 Menurut Posner, teori tawar-menawar ini
merupakan bentuk kemanfaatan dalam memperoleh atau
mempersamakan posisi tawar-menawar untuk menemukan
kehendak dan tujuan yang sama sehingga tercapai
kesepakatan yang seimbang (fair). Untuk mempertemukan
itu semua, Posner menekankan bahwa janji bertimbal balik
(saling menawarkan janji-janji) merupakan elemen
terpenting di dalam proses tawar-menawar ini.127 Cooter dan
Ulen menambahkan, bahwa proses tawar-menawar yang
saling mempertukarkan janji-janji itu dapat menetapkan
spesifikasi kontrak, syarat dan ketentuan yang perlu dimuat
pada saat penutupan kontrak.128 Atas dasar pentingnya
proses tawar menawar inilah, maka menjadikan suatu janji
di dalam kontrak dapat ditegakkan menurut hukum apabila
diberikan sebagai bagian dari tawar-menawar, kalau tidak

126 Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, seventh edition,


Aspen Publishers, New York, 2007, hlm. 189.
Bargaining theory is an economic theory of contract which promotes to
distinguish exact specification of the necessary and sufficient conditions
for contract formation. Thus, the forms of a bargain thus include money-
for-a-promise, goods-for-a-promise, service-for-a-promise, promise-for-a-
promise.
127 Ibid, hlm. 108, 14-15.
128 Robert Cooter & Thomas Ulen, Law & Economics, 5th edition,

Pearson Addison Wesley, London 2008, hlm. 189.


124
demikian maka janji-janji tersebut tidak merepresentasikan
sifat bertimbal balik (pada common law system, janji timbal
balik-consideration- ini merupakan salah satu syarat sahnya
kontrak).129
3.2.16 Doktrin Undue Influence
Menurut Garner, undue influence: the improper use of
power or trust in a way that deprives a person of free will and
substitutes another’s objective. Consent to a conduct, transaction,
or relationship or to conduct is voidable if the consent is obtained
through undue influence.130
Doktrin pengaruh tidak layak ini secara lebih khusus
dikonstruksikan berdasarkan sifatnya, yaitu pengaruh yang
bersifat komersial dan yang bersifat melawan hukum.
Pendirian hukum tradisi common law bergantung pada fakta-
fakta tertentu dalam mengklasifikasi sifat pengaruh tidak
layak ini, apakah bersifat komersial atau melawan hukum.
Pada umumnya, prinsip equity yang sudah diuraikan
sebelumnya menjadi satu-satunya prinsip yang mampu
memberikan penjelasan lebih lanjut. Misalnya, seorang
majikan menekan anak buahnya akan tidak menaikkan
upahnya sesuai dengan upah minimum apabila tidak
menyetujui permintaanya untuk bekerja lebih giat bukan
merupakan pengaruh yang bersifat melawan hukum, karena
bagi anak buah hal ini bukan karena kondisi keuangan yang
tidak baik namun merupakan satu-satunya solusi efisiensi
produktivitas bagi majikan. Pengaruh akan menjadi berbeda
jika majikan melakukan permintaan yang sama tanpa alasan
selain menjadi oportunis untuk mengeksploitasi kelemahan
anak buahnya guna memperoleh keuntungan.
Pengaturan mengenai doktrin ini pada intinya
menentukan bahwa doktrin pengaruh tidak layak bertujuan

129 Untuk elaborasi, baca: Fajar Sugianto, Economic Analysis of Law,


Seri I: Pengantar, Prenada Media Group, Jakarta, 2013.
130 Bryan A. Garner, op cit, hlm. 1563.

125
untuk melindungi pihak-pihak agar tidak menjadi korban
dari pihak yang menggunakan posisi dominan atau
berpengaruh terhadapnya. Pengaruh yang dilakukan pada
umumnya tidak benar-benar secara langsung atau tidak
langsung mengarah kepada paksaan atau tekanan (duress).
Terdapat doktrin yang serupa dengan pengaruh tidak layak
ini dalam hal larangan bagi setiap orang dalam kontrak
untuk memperkaya dirinya dengan menguras pengeluaran
dan biaya pihak lawan yang lemah. Doktrin semacam ini
dikenal dengan sebutan doktrin unjust enrichment.

126
BAB IV
PERANCANGAN KONTRAK

1. Tahapan Ideal Memformulasi Dan Menutup Kesepaka-


tan
Membuat kontrak tidak pernah mudah, terutama
pada fase-fase awal membentuk kesepakatan. Kegiatan
bisnis selalu diikuti dengan pembuatan persetujuan yang
kemudian dituangkan dalam kontrak. Kondisi tersebut
membuat hukum kontrak menjadi sangat penting untuk
diketahui dan diterapkan. Hal ini disebabkan karena setiap
kegiatan bisnis memerlukan bargaining, yang diiringi dengan
pembuatan dan pertukaran janji-janji. Kontrak yang valid
dan mempunyai legal binding merupakan alat penting untuk
mencapai tujuan para pihak. Kontrak seperti ini diharapkan
mampu berlaku efektif dan tidak menyimpang atau
melanggar ketentuan peraturan hukum yang berlaku,
sehingga dirasakan kontrak haruslah dibuat berkeadilan
sekaligus memberikan jaminan adanya kepastian hukum.
Pemahaman general mengenai hukum kontrak
semacam ini bukanlah sesuatu yang baru. Banyak yang telah
lama mengetahui dan menyadari betapa pentingnya
perananan kontrak dalam melakukan kegiatan bisnis.
Terutama dalam era ekonomi pasar dan perdagangan bebas
dunia seperti sekarang ini, kontrak dituntut harus fleksibel,
namum memiliki pengaturan yang ketat, untuk melindungi
proses pertukaran hak dan kewajiban, sekaligus menyusun
ketentuan-ketentuan proseduralnya seefisien mungkin.
Namun di sisi lain, karena bertambah majemuk dan
saling ketergantungan para pihak, masih sering ditemukan
kegiatan bisnis dilakukan melalui kontrak yang tidak
lengkap, terutama mengenai future contingencies. Kontrak
semacam ini menambah ketidakpastian dalam berbisnis dan
risiko-risiko yang saling berkomplikasi satu sama lain.
127
Dengan kontrak semacam ini, tercipta kompleksitas dan
ambiguitas hukum yang tidak berimbang dengan
pengendalian risiko. Faktor penyebab kepincangan ini
disebabkan oleh sulitnya menentukan kondisi dan keadaan
di masa yang akan datang (future contingencies), sehingga
kondisi seperti ini menjadi variabel penting untuk
ditentukan dalam kontrak. Tingginya tingkat kesulitan
dalam menentukan variabel kontrak justru membuat
kontrak disusun dan dibuat secara gampangan. Bentuk-
bentuk penggampangan kontrak menghasilkan ketidakte-
patan dalam memperhitungkan dan menyusun variabel
kontrak, sehingga kontrak menjadi sulit untuk dijalankan.
Dalam hal terjadi sengketa, kontrak semacam ini akan
menjadi lebih sulit diselesaikan. Namun di sisi lain, sulitnya
bahasa hukum dan kekakuan peraturan sering dianggap
tidak mencerminkan keluwesan yang memandulkan
kepiawaian entrepreneur dalam melakukan deal-deal bisnis.
Sebagai langkah awal, pencapaian kesepakatan (deal)
merupakan titik awal pembentukan kontrak yang lebih jauh.
Walaupun terlalu kompleks untuk diformulasikan, tahapan
berikut ini menjadi gambaran dasar bagaimana idealnya
pencapaian kesepakatan itu terjadi untuk dapat
dikembangkan dan dibentuk menjadi kontrak.
− Pertama
memulai negosiasi tawar-menawar, saling bertukar
informasi untuk menentukan kecocokan kepentingan
bersama.
− Kedua
mengklarifikasi dan menyempurnakan kepentingan
bersama sesuai dengan tujuan awal.
− Ketiga
menyetujui syarat dan ketentuan.
− Keempat
mendefinisikan subjek kontrak.
128
− Keenam
merinci hak dan kewajiban sebagai prestasi kontrak.
− Ketujuh
saling menyetujui pokok kontrak sebagai ungkapan niat
untuk terikat.
Tentu saja ketujuh tahapan di atas tidak mudah dan
instan dilalui begitu saja. Diperlukan tinjauan lebih luas
mengenai cara-cara pematangan deal-deal yang sedang
dilakukan. Untuk membantu proses pematangan ini
disajikan prinsip-prinsip hukum kontrak menurut perspektif
Hukum dan Ekonomi sebagaimana diuraikan dalam sub bab
2 berikut ini.
2. Mematangkan Kesepakatan Melalui Prinsip-Prinsip
Hukum Kontrak Menurut Perspektif Hukum Dan Eko-
nomi
2.1 Prinsip Information as Label
Informasi dalam hal ini menjadi sangat berharga
seperti label yang mengidentifikasikan barang dagangan
dan tidak dapat dipisahkan dari produk induk yang menjadi
objek kontrak. Selain memiliki nilai sosial secara substansial
terhadap kualitas dan/atau jasa untuk diketahui masing-
masing pihak, informasi membantu para pihak untuk
membuat keputusan rasional yang tepat terhadap
pilihannya. Sudah saatnya membudayakan informasi
(sebagai label) yang terbuka tanpa ada yang perlu ditutupi.
Adanya keterbukaan informasi yang benar dan cukup,
membantu ketepatan transaksi.
Dengan demikian, sebelum membuat kontrak para
pihak harus benar-benar memperhatikan dan mencari
sebanyak mungkin informasi-informasi terkait dengan
substansi yang akan dituangkan di dalam kontrak, sehingga
kontrak benar-benar tidak terdapat cacad di dalamnya.131

131 Fajar Sugianto, Economic Analysis of Law, op cit., hlm. 88.


129
2.2 Prinsip Voluntary Transfer
Suatu kontrak dikatakan memiliki nilai apabila
keberadaannya dapat ditegakkan oleh hukum. Agar dapat
ditegakkan oleh hukum, diperlukan proses pertukaran yang
suka rela antara para pihak kontrakan untuk menjadikan
pertukarannya itu kontraktual dan dapat diandalkan
(reliable), sehingga: pertama, semua bentuk pertukaran yang
tidak suka rela tidak diperbolehkan, kedua, pertukaran yang
zero-sum hanya diperbolehkan apabila dapat mencegah
kerugian, dan ketiga, segala bentuk pertukaran harus
ditujukan kepada perolehan perbaikan secara kolektif yang
seluas-luasnya.132
2.3 Prinsip Bargaining Equality
Suatu kontrak dikatakan efisien apabila dituangkan
melalui interpretasi efektif yang merepresentasikan perte-
muan kehendak dan persamaan tujuan para pihak. Untuk
dapat mencapai interpretasi semacam itu, para pihak
diharuskan mematangkan proses pertukarannya melalui
tawar menawar. Matangnya tawar menawar menciptakan
keseimbangan yang dapat memberikan kekuatan untuk
memposisikan para pihak menjadi eligible untuk saling
bertukar janji sehingga menciptakan persamaan kedudukan,
dan yang terpenting adalah memelihara rasa saling keter-
gantungan.133
2.4 Prinsip Fulfilling Reasonable Expectations
Suatu kontrak dapat dikatakan memiliki kegunaan
apabila dapat difungsikan sesuai dengan kebutuhan dan
tujuan kontrak. Untuk dapat difungsikan, para pihak
diharuskan untuk saling memelihara dan menjaga kebera-
daan kontrak yang memfasilitasi pertukaran ekspektasi
keuntungan (moneter dan atau non-moneter) yang saling

132 Ibid, hlm. 89.


133 Ibid.
130
bertimbal balik. Adanya rasa saling ketergantungan antara
para pihak, maka akan memelihara janji-janji yang tertuang
di dalam kontrak. Dengan demikian, kontrak menjadi
berfungsi dan membuat semua transaksi menjadi plus-sum
interactions yang pada akhirnya para pihak mendapatkan
benefit sebagai keuntungan, manfaat, kelebihan, perolehan
dan perbaikan.134
Kontrak yang memiliki kematangan kesepakatan,
selain untuk independensi kontrak tetapi juga berguna:
a. untuk menghilangkan sifat oportunistik, yaitu peman-
faatan keuntungan terhadap kelemahan atau kekurangan
pihak lainnya akibat dari hal-hal atau keadaan yang tidak
diantisipasi;
b. untuk menciptakan hubungan yang efisien dengan
memberikan tawaran-tawaran bersifat kooperatif;
c. untuk mempertegas pemberian sanksi terhadap
kesalahan-kesalahan yang seharusnya dapat dihindari;
d. untuk mengalokasikan risiko kepada pihak yang lebih
mampu, sehingga mengoptimalkan pelaksanaan dan
menjaga interdependensi para kontraktan; dan
e. untuk menekan kekurangan/kelemahan terhadap dan
akibat dari perselisihan kontrak; sehingga kontrak
sebagai produk hukum bukan saja dibuat dan ditutup
sebagai pelengkap atau formalitas dalam bertransaksi
atau berinteraksi, namun kontrak yang ekonomis mampu
dijadikan alat yang solid dan dapat diandalkan (reliable).135

134Ibid, hlm. 90.


135 Ibid, hlm. 91-92. Untuk elaborasi ajaran pokok Hukum dan
Ekonomi dalam hukum kontrak, baca: Fajar Sugianto, Economic
Analysis of Law, Seri I: Pengantar, Prenada Media Group, Jakarta,
2013.
131
3. Menetapkan Rambu-Rambu Kontrak
3.1 Dengan Menggunakan Prinsip-Prinsip Hukum Kont-
rak
Pada dasarnya, prinsip hukum adalah a basic rule,
law, or doctrine.136 Paul Scholten mengemukakan bawah
prinsip hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat
di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing
dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim yang berkenaan dengannya
ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual
dapat dipandang sebagai penjabarannya.137
Selain itu, menurut Bellefroid, asas atau prinsip
hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum
positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal
dari aturan-aturan yang lebih umum, jadi prinsip hukum
merupakan kristalisasi (pengendapan) hukum positif dalam
masyarakat.138Namun van Eikema Homes memberikan
batasan, bahwa prinsip bukan norma hukum yang konkrit,
tetapi sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk
bagi hukum yang berlaku. Jadi merupakan dasar atau
petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif, sehingga
dalam pembentukan hukum praktis harus berorientasi pada
asas-asas hukum.139
Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa prinsip hukum
dapat diartikan sebagai suatu hal yang dianggap oleh
masyarakat hukum yang bersangkutan sebagai basic truth
atau kebenaran asasi, sebab melalui asas-asas hukum itulah

136Bryan A. Garner, op cit, hlm. 1231.


137 Dikutip dari Jonannes Ibrahim, Cross Default & Cross Collateral,
Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 11.
138 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),

Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 34.


139 Dikutip dari Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian; Asas

Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, LBM, Yogyakarta, 2008,


hlm. 19.
132
pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam
hukum. Dengan demikian, asas hukum menjadi semacam
sumber untuk menghidupi tata hukumnya dengan nilai-nilai
etis, moral, dan sosial masyarakatnya.140
Banyak pakar hukum yang menganggap prinsip
hukum merupakan jantung atau hatinya norma hukum.
Menurut pemikiran G.W. Paton: Pertama, prinsip hukum
merupakan “landasan” yang paling luas bagi lahirnya suatu
norma hukum. Dengan demikian setiap norma hukum itu
dapat dikembalikan kembali pada prinsipnya. Kedua,
prinsip hukum merupakan “alasan” bagi lahirnya suatu
norma hukum atau merupakan ratio legis dari norma hukum.
Prinsip hukum tidak akan pernah habis kekuatannya
dengan melahirkan norma hukum, melainkan tetap ada dan
akan terus melahirkan norma-norma hukum baru.141 Mes-
kipun prinsip hukum bukan merupakan norma hukum,
namun tidak ada suatu norma hukum yang dapat dipahami
tanpa mengetahui prinsip-prinsip hukum yang terdapat di
dalamnya.142
Ronald Dworkin menyimpulkan bahwa prinsip
hukum memiliki bobot yang merefleksikan dimensi atau
kualitas, sehingga prinsip hukum berguna sebagai
penyeimbang, khususnya terhadap peraturan hukum.
Menurutnya, prinsip hukum bukan saja sekedar “rambu-
rambu”, tetapi hakikatnya melahirkan kekuatan mengikat
hukum (legal binding).143
Dalam hal keberadaan prinsip-prinsip hukum
kontrak, mereka mampu dijadikan petunjuk awal kerangka

140 Ibid, hlm. 12.


141 Ibid, hlm. 20.
142 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,

2000, hlm. 47.


143 Ronald Dworkin’s conception of law and morality, dikutip

Wayne Morrison, op cit, hlm. 144-148.


133
perancangan kontrak. Pada fase ini, prinsip-prinsip hukum
kontrak berfungsi sebagai rambu-rambu yang dapat
menuntun pembuatan kontrak. Fungsi dasar yang pertama,
prinsip-prinsip hukum kontrak berguna untuk
memperbaiki, bahkan menyempurnakan kontrak, terutama
terhadap proses yang memudahkan dalam penentuan
variabel dan pembentukan kontrak. Fungsi dasar yang
kedua, penyempurnaan kontrak berdasarkan prinsip-prinsip
hu-kum kontrak dapat meminimalisir biaya dan dampak
risiko dalam kegiatan bisnis sekaligus menjadi acuan untuk
menghindari ketidaktepatan pembuatan kontrak.
Pada tabel di bawah ini, dipaparkan beberapa
prinsip-prinsip hukum kontrak disandingkan dengan faktor
pemicu, kemudian diberikan solusi perbaikan bersifat
preventif, dan langkah hukum yang direkomendasikan
dalam hal menemukan ketidaksempurnaan kontrak, yang
sekaligus menjadi guidelines selama perancangan dan peru-
musan kontrak, pelaksanaan kontrak dan pengakhiran
kontrak.

134
Faktor Pemicu
Prinsip Hukum Langkah Langkah
Kontrak Menjadi
Kontrak Preventif Hukum
Bermasalah
Lindungi or- Interpretasika
Orang tidak
ang tidak ber- n kontrak le-
Ketidakcakapan mempunyai ka-
kapasitas dan bih banyak ke
(incapacity atau pasitas dan tidak
tidak berkom- arah kepenti-
incompetence/onb berkompeten
peten dengan ngan dan tu-
ekwaamheid) membuat perjan-
pertimbangan juan terbesar-
jian
risiko terkecil nya
Terdapat pemak-
saan kehendak Hilangkan se-
Kontrak batal
Paksaan (duress) untuk suatu ben- gala unsur
demi hukum
tuk kontrak di lu- paksaan
ar kebiasaan
Tidak ada tenden-
Berikan hadi-
si untuk memberi Berikan imba-
ah dan man-
pertolongan (ter- lan dan apre-
Keadaan memak- faat atas tin-
masuk tidak ada siasi terhadap
sa (force majeure) dakan perto-
keinginan untuk tindakan per-
longan yang
renegosiasi kontr- tolongan
diberikan
ak)
Pengalihan
risiko kepada
Keadaan dan kon- Anjurkan tin-
pihak yang
Kesukaran dan disi di kemudian dakan pence-
lebih mampu
ketidakmungkin hari tidak ditentu- gahan dan
(seperti asu-
an (hardship & kan atau meleset. pembagian ri-
ransi), pene-
impossibility) Terdapat ekspek- siko yang im-
rapan
tasi yang keliru. bang
manajemen
risiko
Pengalihan
Anjurkan tin- risiko kepada
Ketidakmenger-
dakan pence- pihak yang
Penyimpangan tian hakikat kon-
gahan dan lebih mampu
tujuan (frustrate- trak, sehingga isi-
pembagian ri- (seperti asu-
on of purpose) nya saling ber-
siko yang im- ransi), pene-
tumpang tindih
bang rapan mana-
jemen risiko
Anjurkan tin- Pengalihan
Para pihak mem- dakan pence- risiko kepada
Kesalahan
buat pengertian gahan dan pihak yang
(kekhilafan dan
yang salah terha- pembagian ri- lebih mampu
salah penggam-
dap fakta-fakta siko yang im- (seperti asu-
baran) mengenai
bang, meng- ransi), pene-
fakta
umpulkan rapan mana-
pengetahuan, jemen risiko

135
membuat
temuan
Tingkatkan Menghentika
proses pertu- n kontrak dan
karan sukare- renegosiasi
Kesalahan meng- Para pihak memi- la, memperte- pembuatan
enai identitas liki perbedaan pe- mukan kesa- kontrak baru
kontrak mahaman maan penda- berdasarkan
pat dan kese- persamaan
suaian kehen- maksud dan
dak tujuan

3.2 Dengan Menggunakan Konsep Transaction Cost


Pada dasarnya, biaya transaksi adalah segala biaya
yang dikeluarkan dalam melakukan pertukaran. Kata biaya
di sini tidak terbatas pada arti pengeluaran secara finansial,
tetapi berupa hal-hal yang menghambat suatu pertukaran
(bargaining), seperti tenaga, waktu dan pikiran.
Tinggi atau rendahnya biaya transaksi dapat menjadi
rambu-rambu perancangan kontrak untuk menemukan
gambaran umum terhadap penentuan model kontrak dan
mendeteksi isu-isu potensial yang diperjelas pada tabel
berikut ini.

136
No Biaya Transaksi Rendah Biaya Transaksi Tinggi
1 Barang/jasa; umum diper- Barang/jasa; tidak umum (un-
dagangkan ik, langka)
2 Mengerti hakikat barang/jasa Ketidaktahuan hakikat barang
atau jasa
3 Hak dan kewajiban jelas Hak dan kewajiban tidak jelas
atau kompleks
4 Jumlah kontraktan sedikit Jumlah kontraktan banyak
5 Mengenal pihak kontraktan Tidak akrab dengan pihak
kontraktan
6 Prilaku dan karakter kon- Prilaku dan karakter kontrak
trak wajar tidak wajar/tidak umum
7 Pertukaran sesegera atau se- Pertukaran sambung meny-
ketika mungkin ambung
8 Tidak ada variabel tidak Banyak memuat ketidak-
tentu tentuan
9 Pengawasannya tidak repot Memerlukan pengawasan in-
tensif
10 Sanksi hukum tegas Sanksi hukum kabur
11 Tidak ada konflik kepen- Tercampur dengan konflik ke-
tingan pentingan
12 Penggunaan bahasa tunggal Penggunaan kontrak dual ba-
atau dual sesuai dengan ke- hasa yang tidak berguna
pentingannya
4. Mendeteksi Isu-Isu Potensial
Telah diketahui bahwa konsep biaya transaksi juga
memberikan gambaran lebih jelas terhadap isu-isu potensial
yang akan terjadi. Dalam hal terdeteksi isu potensial akbiat
biaya transaksi tinggi pada nomor 1 dan 2, maka langkah
pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan memper-
kuat hakikat eksistensi barang yang menjadi objek kontrak.
Hal ini dapat membantu perumusan yang lebih detail
terhadap jenis, bentuk, sifat, asal muasal objek kontrak pada
klausul definisi yang diuraikan lebih lanjut pada sub bab
berikutnya.
Dalam hal terdeteksi isu potensial akibat biaya
transaksi tinggi pada nomor 3, maka tindakan pencegahan

137
yang harus dilakukan adalah menghindari penggampangan
penyusunan prestasi kontrak. Iringi dengan pembagian hak
dan kewajiban se-proporsional mungkin sehingga menekan
kompleksitas kontrak. Ingat, kontrak yang dibuat gam-
pangan meningkatkan kompleksitas pada proses pertuka-
rannya. Pembagian proporsionalitas prestasi dapat
dilakukan dengan mempertegas klausul transaksi yang akan
diuraikan lebih lanjut pada sub bab berikutnya.
Biaya transaksi tinggi nomor 4 memberikan
gambaran isu potensial terhadap banyaknya jumlah
kontraktan. Dengan semakin bertambahnya jumlah kontrak-
tan, walaupun tidak ada larangan untuk itu, semakin
panjang mata rantai pertukaran. Jika salah satu pihak
mengalami hambatan dalam melakukan prestasinya, maka
pihak yang tidak berhubungan langsung sekali pun akan
merasakan imbasnya sehingga pertukaran akan memakan
waktu lebih lama. Langkah preventif yang dapat dilakukan
adalah dengan secara selektif mencermati kapasitas para
pihak yang benar-benar memiliki kepentingan langsung,
mereka-mereka yang benar-benar dapat melakukan
perbuatan hukum. Singkirkan pihak yang tidak perlu
diikutsertakan di dalam perancangan kontrak untuk
menghindari kekusutan. Tidak kalah pentingnya, hindari
penggunaan kuasa substitusi. Langkah-langkah preventif ini
dapat diwujudkan melalui kejelasan komparisi yang akan
diuraikan lebih lanjut pada sub bab berikutnya.
Dalam hal terdeteksi isu potensial yang datang dari
tingginya biaya transaksi nomor 5, maka langkah
penanggulangan yang harus dilakukan ialah dengan
membuat para pihak lebih nyaman melalui pembagian
tanggung gugat yang lebih merata. Yakinkan kepada para
pihak untuk lebih terbuka, terutama mengenai identitas diri
dan kejelasan tujuan berkontrak. Hal ini sangat penting
dilakukan karena menyangkut kapasitas hukum para pihak
138
dalam berkontrak. Selain memastikan langkah perancangan
selanjutnya, transaksi pertukaran juga akan menjadi nyaman
ketika para kontraktan saling mengenal, dalam hal
mengetahui secara pasti pihak lawan kontrak, sekaligus
meningkatkan rasa saling ketergantungan dari dan antara
pihak kontraktan. Hal-hal seperti ini dapat diwujudkan
dalam menguraikan bagian komparisi kontrak yang akan
diuraikan lebih lanjut pada sub bab berikutnya.
Pada saat isu potensial muncul akibat dari tingginya
biaya transaksi nomor 6 dan 7, langkah termudah untuk
meredam risiko adalah dengan cara menawarkan atau
mengarahkan pola kontrak kepada praktek kebiasaan. Selain
dapat menjadi guide of conduct bagi para kontraktan, praktek
kebiasaan dapat dijadikan model yang tepat untuk
mengharmonisasikan perilaku dan karakter yang tidak
wajar (diluar kebiasaan) kontrak. Untuk itu, perlu
merangkum hal-hal ini agar dapat diformulasikan ke dalam
penyusunan klausul spesifik yang akan diuraikan lebih
lanjut pada sub bab berikutnya.
Biaya transaksi yang tinggi nomor 8 mendeteksi
adanya isu potensial terhadap ketidaktentuan vaiabel-
variabel kontrak. Perlu disadari bahwa usaha menutupi
celah-celah terhadap variabel di masa akan datang melalui
kontrak tidak mudah. Pada hal salah satu fungsi kontrak
adalah melindungi pertukaran dengan cara pengendalian
risiko melalui klausul-klausulnya sehingga mengecilkan
risiko-risiko yang tidak pasti menjadi lebih pasti.
Pendekatan terhadap pengendalian risiko ini ialah
pendekatan mengurangi risiko terkecil dengan biaya
terendah (avoid loss at the least cost).
Pendekatan ini menuntun perancangan kontrak yang
menekankan pencermatan lebih kepada klausul-klausul
penunjang, seperti klausul force majeure, klausul pilihan
hukum dan domisili hukum, dan klausul kompensasi ganti
139
kerugian, yang sekaligus meredam isu potensial lainnya
akibat dari tingginya biaya transaksi nomor 9, 10, dan 11.
Klausul penunjang akan diuraikan lebih lanjut pada sub bab
berikutnya.
Dalam hal terjadi persetujuan antara para pihak yang
menggunakan bahasa yang sama, hindari penggunaan dual
bahasa pada kontrak untuk mengurangi mutitafsir. Misalnya
antara sesama orang Indonesia atau Badan Hukum yang
sama-sama didirikan dan terdaftar di Indonesia, gunakan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa satu-satunya dalam
kontrak yang memunculkan substansi kontrak tanpa mis-
interpretasi.
Kontrak dual bahasa sebaiknya dibuat sesuai dengan
keperluannya, dalam hal ini jika ada salah satu pihak
kontraktan yang menginginkannya dan disetujui oleh para
pihak. Pada saat kontrak dual bahasa semacam ini terjadi,
maka perlu dipertimbangkan pula klausul yang mengatur
tentang interpretasi kontrak. Bahasa manakah yang menjadi
acuan Hakim dalam hal terjadi sengketa. Seandainya
disetujui bahwa bahasa bukan Indonesia yang menjadi
acuan Hakim maka sangat perlu mempertimbangkan
apakah kontrak semacam ini, walaupun dual bahasa, dapat
ditegakan melalui Hakim atau tidak. Bagaimana halnya jika
Hakim tersebut tidak menguasai bahasa asing itu, dapat
memeriksa substansi kontrak untuk mengadili sengketa.
Hal-hal semacam ini perlu diformulasikan melalui
penentuan klausul interpretasi dual bahasa dalam kontrak
dengan pertimbangan dapat diterapkan/dijalankan atau
tidak.
5. Anatomi Kontrak Yang Ideal
Terdapat 3 (tiga) bentuk paling dasar dan universal
yang dapat diterapkan pada kontrak, yaitu bagian
kepala/pembuka, bagian badan/isi, dan bagian kaki/penu-
tup. Dari ketiga bentuk dasar ini dapat dibagi-bagi lagi
140
menjadi sub bagian-sub bagian yang memainkan peran dan
kegunaannya masing-masing.
Pada bagian kepala/pembuka atau preambule,
terdapat tiga sub bagian: pertama, dengan apa yang
dinamakan kepala kontrak; umumnya tentang judul yang
menerangkan substansi kontrak. Judul kontrak pada
umumnya dibuat dalam bentuk umum, misalnya dalam hal
jual-beli memakai judul: Kontrak Jual Beli. Terkadang juga
memuat nomor kontrak, biasanya nomor registrasi, sesuai
dengan tujuan penomoran dari salah satu pihak yang
berkontrak. Kedua, sub bagian yang dinamakan komparisi;
umumnya berisikan tentang keterangan para pihak sebagai
kontraktan. Penting untuk mencantumkan alas hukum
kapasitas masing-masing pihak dalam melakukan perbuatan
hukum ini, misalnya kapasitas bertindak untuk dan atas
nama Badan Hukum atau untuk diri sendiri. Ketiga, sub
bagian yang dinamakan recital; khususnya memuat tentang
latar belakang terjadinya kontrak itu, terkadang memuat
esensi kesepakatan para pihak untuk saling bersetuju
dengan syarat dan ketentuan dalam kontrak (kalimat-
kalimat penghubung).
Bagian badan/isi dalam istilah hukum kontrak
disebut habendum yang pada pokoknya berisikan seluruh
hak-kewajiban kontraktual (contractual provision) melalui
ketentuan klausul-klausul yang dibuat dan diurut sesuai
dengan substansi kontrak. Terdapat 5 (lima) klausul pokok
yang wajib dimuat dengan menentukan: pertama, klausul
definisi: memuat definisi keperluan kontrak, terutama
perihal objek kontrak dan istilah-istilah yang digunakan,
terutama istilah-istilah yang pada umumnya berbeda
dengan ketentuan umum atau pengertian kolektif. Kedua,
klausul title: menunjukan alas hak para pihak sebagai pihak
yang berwenang menurut hukum untuk melakukan
perbuatan hukum itu. Misalnya pihak pertama sebagai
141
penjual tanah dan sebidang rumah, maka pihak kesatu harus
menunjukan legal title nya sebagai orang yang sah berhak
menjual, dalam hal ini melalui bukti kepemilikan melalui
Sertifikat Hak Milik. Hak-hak hukum yang melekat pada
para pihak harus dapat dinyatakan dan dibuktikan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1865 B.W: “Setiap
orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak,
atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun
membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu
peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau
peristiwa tersebut”. Ketiga, klausul transaksi: memuat hal-
hal pokok pertukaran berupa hak dan kewajiban yang
berimbang (duties and nature of work). Intinya klausul ini
menentukan pengaturan umum dan tata cara dasar transaksi
yang dilakukan oleh para pihak, misalnya jual-beli-
penyerahan (levering). Keempat, klausul spesifik yang
memuat hal-hal lebih khusus atau detail tentang transaksi
atau pertukaran yang akan dilakukan, khususnya dalam hal
batas waktu dan prestasi sambung menyambung (misalnya
pembayaran atau pengiriman/penyerahan bertahap).
Klausul spesifik ini juga memuat hal-hal lebih khusus
tentang pembagian kewajiban para pihak, misalnya
pembayaran pajak-pajak yang berkenaan dengan transaksi
itu sesuai dengan porsi dan kewajiban masing-masing
pihak. Kelima, klausul penunjang: berisikan ketentuan-
ketentuan pendukung yang bersifat sambungan substansi
kontrak. Misalnya klausul-klausul seperti: kompensasi ganti
kerugian, force majeure, addendum, kewajiban pemberian
notice, pengakhiran/pembatalan, domisili hukum, pilihan
bahasa yang diacu (dalam hal kontrak dual bahasa),
pembebasan tuntutan hukum (hold harmless; save harmless;
acquit et de charge).
Bagian kaki/penutup dalam istilah kontrak disebut
attestation yang pada intinya merupakan bagian terakhir
142
kontrak. Bagian ini dibagi menjadi dua sub bagian: pertama,
testimonium: memuat pernyataan tegas terhadap prosesi
pembuatan dan penandatanganan kontrak, rangkap yang
dibuat dan dimiliki masing-masing pihak, serta
kekuatan/beban hukum yang sama terhadap salinan
kontrak yang dibuat dan ditanda-tanganinya itu. Kedua,
validasi (ada yang menyebutnya sebagai endorsemen,
otentikasi, afirmasi, dan sebagainya) yang pada intinya
merupakan bagian penempatan ruang tandatangan para
pihak dengan menyebut nama dan jabatan/kapasitas
sebagaimana tertera pada bagian komparisi. Tidak kalah
pentingnya untuk menyisihkan tempat tandatangan para
saksi jika menghadirkan atau diharuskan oleh hukum untuk
dibuat dihadapan saksi-saksi.
Pokok-pokok uraian singkat tentang bagian/sub
bagian/klausul tadi jika dianatomikan menjadi:

6. Membuat Check-List
Setelah mengetahui ke-lima hal tentang perancangan
kontrak, mulai dari tahapan persiapan perancangan: (i)
tahapan ideal memformulasi kesepakatan (deal); (ii)
143
mematangkan kesepakatan; (iii) menetapkan rambu-rambu
kontrak; (iv) mendeteksi isu-isu potensil; hingga
perancangan kontrak melalui: (v) anatomi kontrak yang
ideal, maka langkah selanjutnya sebelum tiba ke finalisasi
pembuatan kontrak, perlu terlebih dahulu membuat check-
list guna dikembangkan menjadi kontrak yang ideal.
✓ Judul Kontrak
Semua kontrak pada hakikatnya harus memiliki atau
menyandang judul yang mengukuhkan seluruh substansi
kontrak. Perlu diingat lagi, judul kontrak dapat dikatakan
ideal apabila memberikan kejelasan tujuan kontrak.
Tambahkan para pihak di dalam judul jika
memungkinkan, serta nomor sesuai kebutuhannya.
Misalnya: Kontrak Jual-Beli Baja Jenis I.W.F 200 S.N.I
Antara ABC Dengan XYZ.
✓ Identitas dan Deskripsi Para Pihak
Identitas para pihak harus jelas dan sesuai dengan
kapasitas hukumnya. Pendirian hukum bagi orang
perorangan tidak sama dengan badan hukum, sehingga
perlu dicermati siapa-siapa saja yang berhak bertindak
untuk dan atas namanya. Dalam hal para pihak bertindak
untuk dan atas namanya sendiri sebagai orang
perorangan, maka identitas harus jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan. Untuk keperluan semacam ini,
Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau kartu tanda pengenal
lainnya yang dikeluarkan oleh institusi pemerintah yang
lazim digunakan sebagai tanda pengenal merupakan
dasar identitas diri yang dapat dipercaya. Dalam hal para
pihak atau salah satunya bertindak untuk dan atas nama
badan hukum, maka perlu dilihat kedudukannya di
dalam badan hukum, kemudian diselaraskan dengan
kapasitasnya yang memang berwenang bertindak untuk
dan atas nama badan hukum tersebut. Tidak kalah
pentingnya untuk mencermati legalitas lainnya yang
144
menyangkut eksistensi badan hukum tersebut, misalnya
Akta Pendirian, Pengesahan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, Anggaran Dasar
Rumah Tangga, serta akta-akta perubahan terakhir
lainnya yang pada intinya dapat menunjukkan kapasitas-
nya.
✓ Deskripsi Kesepakatan
Menurut hukum, kesepakatan merupakan syarat penting
pertama untuk terjadinya kontrak. Pada check-list ini,
deskripsi kesepakatan dilakukan dengan menguraikan
lebih jauh tentang who-how-what, yaitu: who is involved,
how they agree, dan what they agree on. Pertama, tentang who
is involved, para pihak sangat jelas sebagai subjek kontrak
yang terlibat langsung di dalam kontrak, sebagaimana
telah dirangkum di atas. Kedua, tentang how they agree. Ini
berisikan tentang kronologis pencapaian kesepakatan
yang diawali dari penawaran (offer) yang kemudian
dibalas dengan penerimaan (acceptance) sebagai tanda
disetujuinya penawaran itu. Pada bagian ini, perlu juga
ditonjolkan elemen consideration, yaitu janji bertimbal
balik, dan elemen niat untuk membuat pengikatan
hukum (intention to create legal relations). Ketiga, tentang
what they agree on. Bagian ini menetapkan hal-hal pokok
yang telah saling disetujui dan saling berjanji untuk
dipertukarkan, sekaligus penundukan diri di bawah
syarat dan ketentuan yang telah mereka sepakati.
✓ Syarat dan Ketentuan
Untuk membuat kontrak yang ideal, kontrak tersebut
harus berada di suatu keadaan yang merepresentasikan
hal-hal yang mereka saling setujui dan sepakatkan. Apa-
apa saja yang mereka setujui itulah yang pada akhirnya
menjadi klausul yang menstipulasi syarat dan ketentuan,
bahkan kondisi-kondisi tertentu, yang secara hukum
mengikat para pihak. Syarat dan ketentuan pada
145
dasarnya dapat mencakup apa saja yang berkaitan
dengan kontrak sepanjang tidak melanggar hukum.
Umumnya, syarat dan kentuan yang dimuat dalam
kontrak komersial umum memuat durasi kontrak,
pembayaran, penyerahan barang, modus prestasi, dan
klausul lainnya sebagai tambahan atau klausul khusus
untuk menunjang performa kontrak yang bersangkutan.
✓ Limitasi Kewajiban
Yang disebut dengan limitasi kewajiban adalah hal-hal
yang berkaitan dengan pembebasan, pelepasan dan
pengecualian kewajiban kontraktual tertentu. Umumnya,
limitasi ini memisahkan antara kewajiban apa-apa saja
yang termasuk dan tidak termasuk dalam inti kesepaka-
tan. Misalnya, ABC sebagai penjual baja jenis I.W.F 200
kepada XYZ berkewajiban untuk melakukan pengantaran
(delivery) tetapi tidak memiliki kewajiban kontraktual
untuk melakukan pembongkaran di tempat XYZ. Agar
prestasi menjadi berimbang, limitasi pihak satunya,
dalam hal ini XYZ, juga harus diberikan. Misalnya XYZ
sebagai pembeli, walaupun memiliki kewajiban kontrak-
tual untuk membongkar barang yang telah diantar ABC
tadi, dapat menolak melakukannya dalam hal terdapat
cacat pada barang yang dibelinya.
✓ Pengakhiran Kontrak
Pasal 1381 B.W menentukan cara pengakhiran kontrak
karena pembayaran; novasi; kompensasi; pencampuran
utang; pembebasan utang; kebatalan atau pembatalan;
dan berlaku syarat batal. Sementara konsignasi, musnah-
nya barang terutang; dan daluwarsa merupakan cara
pengakhiran perikatan yang lahir oleh undang-undang.
Terdapat 7 cara lain dalam praktek yang dapat
mengakhiri kontrak, khususnya yang lahir dari persetu-
juan:

146
a. cara tertentu yang telah saling disetujui dan ditetapkan
oleh para pihak dalam kontrak;
b. jangka waktu kontrak berakhir;
c. tujuan kontrak telah tercapai dengan sempurna;
d. terdapat perubahan fundamental yang mempengaruhi
pelaksanaan prestasi;
e. salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi atau
melanggar ketentuan kontrak;
f. pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu
pihak; dan
g. adanya putusan Pengadilan.
Cara-cara ini dapat dijadikan elemen dalam check-list ini.

✓ Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa kontrak dapat ditempuh melalui
dua pilihan, yaitu melalui Pengadilan dan di luar
Pengadilan. Penyelesaian di luar Pengadilan umum
disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR).
Cara-cara non-litigasi ini lazim ditempuh dengan cara-
cara: mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli dengan
berbasis negosiasi. Ketika cara ini tidak berhasil, maka
salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan
kompetensinya. Untuk itu, penentuan domisili hukum
menjadi sangat penting untuk dimuat sebagai salah satu
syarat kelengkapan kontrak.
Pengembangan Check-List yang lebih rinci
Ketujuh check-list dasar yang dikemukakan di atas, dapat
dikembangkan lebih rinci guna membuat kontrak yang
lebih lengkap. Masing-masing check-list dasar tadi
menderivasi hal-hal lain (diberi tanda *) yang tidak kalah
pentingnya untuk diperhatikan.
Judul Kontrak
 Identitas & Deskripsi Para Pihak
147
 Deskripsi Kesepakatan
 Syarat dan Ketentuan
✓ Deskripsi Consideration*
✓Terminology*
✓Title*
✓ Penyerahan dan Delegasi *
 Limitasi Kewajiban
✓ Tugas dan Penghentian *
✓ Penjaminan *
✓ Risiko Kerugian *
✓ Pelepasan Tuntutan Hak *
 Pengakhiran Kontrak
✓ Kompensasi *
✓Remedy lainnya *
Penyelesaian Sengketa
✓ Pilihan hukum *
✓ Domisili hukum *
 Validasi Tanda Tangan *
Membuat Check-List Lagi
Check-list yang telah dikemukakan sebelumnya masih
memerlukan penyesuaian terhadap jenis kontrak tertentu.
Untuk tujuan improvisasi dan mempertajam analisis
tentang kebutuhan perancangan kontrak, berikut
diperlihatkan beberapa check-list khusus dalam meran-
cang kontrak penunjukan distributor.
✓ Judul Kontrak
Judul yang menunjukan substansi kontrak ini paling
tidak berbunyi: Kontrak Penunjukan Distributor.
✓ Definisi
Bagian ini mendefinisikan esensi ruang lingkup dan
tugas/kewajiban distributor, seperti:
- pembelian dan penjualan kembali produk menjadi
beban tunggal distributor;

148
- kewenangan promosi dan penjualan di dae-
rah/teritori distributor; dan
- pihak manufaktur tidak terikat hanya pada distri-
butor ini saja tetapi diberi kewenangan untuk
menunjuk distributor lain untuk teritori lain untuk
mendistribusikan barang.
✓ Identitas dan Deskripsi Para Pihak
Penting dari awal untuk menguraikan dan mengiden-
tifikasi identitas para pihak dalam kontrak sehingga
lingkup distributor dan tugasnya dapat dijabarkan
dengan benar.
✓ Izin dan Perizinan
Masing-masing perizinan yang diwajibkan oleh
hukum menjadi tanggung jawab masing-masing
pihak, yaitu perizinan manufaktur menjadi beban dan
tanggung jawab pihak manufaktur dan perizinan
distributor menjadi beban dan tanggung-jawab pihak
distributor. Dalam hal terjadi pemberian izin untuk
memakai merek milik manufaktur, maka perlu untuk
dijabarkan lebih lanjut tentang hak eksklusif atau non-
eksklusif yang diberikan kepada distributor.
✓ Tugas Utama Distributor
Umumnya menentukan kesanggupan distributor men-
jalankan pokok-pokok tugas seperti:
- menyanggupi melakukan usaha terbaiknya untuk
mempromosikan barang-barang manufaktur secara
aktif dan jujur demi meningkatkan penjualan
produk dalam wilayah/teritori yang ditugaskan
kepadanya;
- menyanggupi tidak melakukan perbuatan merugi-
kan yang dapat mempengaruhi penjualan produk
dalam wilayah/teritori yang ditugaskan kepada-
nya;

149
- menjaga keamanan dan keutuhan produk manu-
faktur (teknis penyimpanan) sehingga tidak rusak
di bawah pengawasan distributor (layak dijual).
✓ Tugas Utama Manufaktur
Agar berimbang, perlu ditentukan pula tugas utama
manufaktur melalui tanggung-jawab kontraktualnya
yang pada pokoknya:
- tugas untuk menyanggupi jumlah pemesanan yang
diajukan oleh distributor;
- bertanggungjawab untuk menyediakan dukungan
informasi teknis dan informasi perdagangan, mulai
dari standarisasi produk hingga ke kegiatan
periklanan terkait produk yang dijual distributor.
Melakukan pelatihan-pelatihan khusus terhadap
produk yang memerlukannya, mulai dari tahapan
produksi hingga distribusi yang semuanya menjadi
beban tanggungan manufaktur.
✓ Spesifikasi dan Ekslusifitas Produk
Oleh karena produk manufaktur menjadi objek
penting di dalam kontrak, maka perlu penjabaran
lebih khusus dan detail terhadap hakikatnya. Hal ini
membantu untuk memperkecil ruang lingkup yang
bias terhadap hakikat produk yang dihadapkan
kepada distributor, sehingga fokus para pihak bisa
lebih diarahkan kepada ekslusifitas produk dan
ketepatan spesifikasi. Hal ini memberikan tugas baru
kepada manufaktur dan distributor. Untuk manu-
faktur, ia diwajibkan untuk memproduksi sesuai de-
ngan standarisasi produknya, dan bagi distributor, ia
tidak diperbolehkan untuk merubah, menambah dan
melakukan modifikasi apapun yang dapat merubah
baik sebagian maupun keseluruhan hakikat produk
manufaktur.

150
✓ Stok Produk dan Jaminan Stok Kontraktual
Distributor dalam melakukan keseimbangan pasar,
perlu menetapkan stok produk yang diwajibkan untuk
selalu menjaga antara supply (penawaran) dan
demmand (permintaan). Atas dasar ini, perlu menentu-
kan kuantitas minimum produk yang harus distok
oleh distributor agar tidak kehilangan daya tanggap
permintaan pasar. Sebaliknya, manufaktur harus dapat
menjamin kuantitas stok kontraktual yang diperlukan
distributor selama menjalankan usahanya itu sesuai
dengan durasi kontrak.
✓ Pengiriman dan Bea
Dalam hal pengiriman menjadi tugas manufaktur,
maka biasanya segala bea akan dipikul pihak
manufaktur. Jika tidak, maka perlu ditentukan secara
jelas dan terang tentang pembagian kewajiban
kontraktual dalam hal pengiriman dan bea.
✓ Laporan Wajib Kinerja dan Inspeksi Kualitas
Untuk memantau kinerja distributor terhadap produk
manufaktur, umumnya distributor diwajibkan untuk
mebuat laporan tentang performa keseluruhan
penjualan. Tidak kalah pentingnya untuk membuat
laporan tentang inspeksi kualitas barang yang
dijualnya itu apakah sesuai dengan standarisasi
manufaktur atau tidak.
✓ Re-delegasi Tugas
Perlu ditentukan juga apakah distributor diperkenan-
kan untuk menunjuk pihak lain atau membuat
semacam perusahaan subsider di bawah pengawasan-
nya untuk meningkatkan pendistribusian dan penjual
produk manufaktur. Jika iya, maka perlu dijabarkan
lebih lanjut tentang ruang lingkup tugas distributor
dan syarat-syarat penunjukan.

151
✓ Rahasia Dagang dan Kerahasiaan Desain Industri
Manufaktur harus dapat menjamin kerahasiaan
menyangkut perdagangan yang dilakukan oleh distri-
butor. Sebaliknya distributor juga harus dapat menjaga
kerahasiaan desain industri dari manufaktur dalam
memproduksi barangnya.
✓ After-sales Service
After-sales service dalam hal ini tidak terbatas pada
produk-produk yang dapat diperbaiki dan diganti saja
(umumnya yang berkomponen elektrikal dan mesin),
tetapi termasuk pada hal-hal lain seperti customer care,
pengaduan dan perlindungan konsumen. Di sini perlu
pemisahan yang jelas terhadap aspek-aspek after-sales
service dan pihak mana yang menanganinya.
✓ Pertunjukan dan Pameran Perdagangan
Pertunjukan dan pameran perdagangan (exhibitions and
fair trades) menjadi salah satu cara untuk mempromosi-
kan produk. Untuk bergabung di dalam kegiatan ini,
pasti membutuhkan biaya finansial. Di sini perlu
pemisahan secara jelas terhadap pameran seperti apa
dan menyangkut barang yang mana saja menjadi
beban distributor dan yang ditanggung oleh manu-
faktur.
✓ Tanggal Efektif dan Masa Berlaku Kontrak
Penentuan tanggal efektif dan masa berlaku kontrak
ditentukan berdasarkan durasi yang disepakati. Selain
itu, perlu untuk menentukan tenggang waktu penga-
juan permohonan perpanjangan dan tata caranya yang
saling disetujui itu. Di sini perlu dicermati, dalam hal
terjadi perpanjangan durasi kontrak, apakah para
pihak diharuskan membuat kontrak baru, walaupun
dengan fundamental substansi yang sama, atau
menggunakan kontrak awal dengan cara renvoi atau
waarmerking.
152
✓ Termin Pembayaran
Menentukan bagaimana dan kapan distributor
diwajibkan untuk melakukan pembayaran kepada
manufaktur. Harus menjadi perhatian juga penentuan
terhadap cara pembayaran yang disepakati bersama
dan tentang jumlah pembayaran. Apakah distributor
diharuskan tanpa kecuali untuk melakukan
pembayaran secara sekaligus dan seketika, atau diper-
bolehkan dalam hal-hal tertentu melakukan pem-
bayaran bertahap. Porsi dan proporsi pembayaran
bertahap semacam ini harus diperjelas.
✓ Pembebasan Tuntutan
Selanjutnya, perlu pembagian jelas terhadap hal-hal
apa saja yang tidak dapat dituntut dari dan kepada
para pihak, karena masing-masing pihak memiliki
pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dan
pertanggungjawaban absolut (absolute liability) yang
berbeda.
✓ Penyelesaian Sengketa
Aspek penyelesaian sengketa mutlak untuk diikut-
sertakan seperti hal-hal yang telah dijelaskan sebelum-
nya.
✓ Keadaan Memaksa (Force Majeure)
Tidak jauh berbeda dengan pemisahan pembebasan
penuntutan. Kriteria keadaan memaksa masing-
masing pihak perlu diperjelas kembali, karena mereka
memiliki kewajiban kontraktual yang berbeda. Paling
tidak, kriteria keadaan memaksa tidak digeneralisir
dengan hal-hal yang umumnya dikonotasikan dengan
force majeure dengan cara membedakan antara penun-
daan prestasi yang bersifat sementara dengan yang
bersifat permanen.
✓ Pengakhiran Kontrak

153
Cara-cara dan peritiwa bagaimana dan kapan kontrak
penunjukan distributor ini disetujui untuk berakhir.

154
BAB V
FINALISASI PEMBUATAN KONTRAK YANG IDEAL

1. Prinsip-Prinsip Umum Pembuatan Kontrak


1.1 Menetapkan Substansi Kontrak Sesuai Dengan Hu-
kum yang Diperlukan
Tantangan pertama sebelum membuat kontrak,
adalah mencari relevansi peraturan perundang-undangan
sebagai legal premise kontrak tersebut. Kontrak merupakan
dokumen hukum yang pada pokoknya berisikan perbuatan
hukum para pihak, maka legal premise yang menjadi dasar
hukum untuk kontrak tersebut harus sesuai dengan
substansinya. Tidak kalah pentingnya untuk mengkonstruk-
sikan prestasi-prestasi kontrak berdasarkan kesesuaian
peraturan perundang-undangan, baik sebagai lex generalis
maupun sebagai lex specialis nya. Misalnya terhadap kontrak
tentang ketenag kerjaan, maka B.W menjadi lex generalis,
dalam hal ini kaedah-kaedah hukum kontrak, dan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan
sebagai lex specialis yang mengatur lebih detail terhadap
ketenagakerjaan. Untuk menyelaraskan substansi kontrak
yang lebih khusus lagi, harus disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya terkait dengan pokok-pokok
kontrak. Misalnya, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Peru-
sahaan Lain untuk kontrak kerja yang menyangkut peker-
jaan borongan.
1.2 Kelugasan Bahasa Kontrak
Sebagai pandangan umum, kontrak walaupun meru-
pakan dokumen hukum, sudah selayaknya tidak bersikukuh
kepada penggunaan bahasa hukum (legalese). Kontrak tidak
hanya dimiliki dan tidak dibuat secara “eksklusif” untuk
orang hukum saja, namun hakikat kontrak harus dapat
155
dipahami secara baik oleh orang awam. Apalagi menyang-
kut tata bahasa, yang harus dipahami bahwa tata bahasa dan
gaya bahasa dari satu individu ke individu yang lain,
walaupun sama-sama orang hukum dengan profesi yang
sama, perangkaian dan penyusunan bahasanya tidak akan
sama, meskipun memiliki maksud yang sama. Maksud yang
sama ini pun jika dihadirkan melalui kekakuan bahasa
hukum dapat menimbulkan multitafsir terhadap makna inti
pengaturan-pengaturan dalam kontrak. Sementara sudah
dipahami bahwa salah satu tujuan terbesar kontrak adalah
meleburkan persamaan pendapat dan keinginan para pihak
sehingga mereka saling mengerti. Ini yang dikatakan
efisiensi kontrak, yaitu mempersatukan persamaan kehen-
dak dan tujuan melalui interpretasi yang efektif. Tidak ada
gunanya membuat kontrak jika pertukaran kontraktual tidak
dapat dilaksanakan atau terhambat untuk dilaksana-kan
karena perbedaan interpretasi dari masing-masing pihak.
Kontrak semacam ini tidak memiliki nilai, karena tidak
dapat ditegakan secara independen.144
1.3 Definisi Untuk Menambah Kejelasan, Bukan Sebalik-
nya
Hampir setiap kontrak mencantumkan klausul
definisi, terutama terhadap hal-hal teknis yang menyangkut
hakikat objek kontrak dan istilah-istilah yang digunakan,
terutama pada istilah-istilah yang pada umumnya berbeda
dengan ketentuan umum atau pengertian kolektif.
Penerapan ini menunjukan bahwa definisi sangat jelas
berfungsi sebagai clarifier, artinya, definisi bertujuan untuk
menerangkan, menjernihkan, menjelaskan dari hal-hal yang
belum definitif menjadi lebih mudah dipahami. Dengan kata
lain, bagian atau klausul definisi seharusnya memainkan

144Untuk elaborasi, baca: Fajar Sugianto, Economic Approach to Law,


op cit.
156
peran penting dalam mempermudah pemahaman pokok-
pokok kontrak, bukan sebaliknya, sehingga penempatan
bagian atau klausul definisi menjadi penting untuk
dipertimbangkan. Praktek umum menunjukan bahwa
penempatan definisi berada di awal habendum, kebanyakan
berdiri sendiri sebagai pasal atau ketentuan pertama dalam
kontrak, baik yang bertajuk “Definisi”, “Ketentuan Umum”,
dan lain sebagainya. Dalam hal kontrak memuat sedikit
perihal yang perlu didefinisikan, sebut saja 5-10, maka
penempatan definisi di bagian awal habendum masih
menunjukan fungsi definisi sebagai clarifier. Namun, jika
kontrak memerlukan penentuan definisi yang lebih banyak,
sebut saja memakan 10 halaman tersendiri, maka
penempatannya di awal habendum perlu dipertimbangkan
dengan alasan kemudahan pembacaan. Ketika orang yang
membaca kontrak tersebut diharuskan untuk selalu merujuk
kepada bagian definisi tadi hanya untuk mengulang uraian
definisi terhadap sesuatu. Hal ini selain menumpulkan
ketangkasan pembaca, juga mempersulit bagi siapapun yang
membaca kontrak menangkap artinya. Terhadap hal ini,
definisi dapat diletakkan di setiap awal pasal atau ketentuan
yang menentukan tentang hal tersebut. Jika memungkin
menggunakan daftar (schedule), letakan definisi di bagian ini.
1.4 Hindari Frasa Bersyarat (Proviso)
Sudah menjadi tabiat yang susah dihilangkan bagi
para praktisi untuk menghindari penggunaan frasa-frasa
bersyarat, seperti: asalkan, sepanjang, selama, hanya jika,
asal saja, dan lain sebagainya. Frasa ini nyaman digunakan,
terutama terhadap penentuan prestasi yang menderivasi
syarat-syarat. Walaupun penghindaran ini tidak mudah,
paling tidak harus muncul kesadaran bahwa makna yang
diakibatkan dari frasa-frasa bersyarat ini menciptakan atau
menambah kondisi baru, memberikan pengecualian, dan
penyertaan konjungsi. Pemaknaan yang tidak tepat
157
(ambigu) semacam ini tidak sesuai dengan esensi prinsip
interpretasi kontrak, karena pada dasarnya frasa-frasa
tersebut secara gamblang berarti “jika”, “kecuali”, bahkan
“juga”. Untuk itu, demi kejelasan kontrak, hindari frasa-
frasa bersyarat ini dengan menemukan kata-kata yang lebih
gamblang dan jelas.
1.5 Gunakan DAN/ATAU Dengan Tepat
Tidak berbeda dengan frasa bersyarat, penggunaan
“dan/atau” juga nyaman, bahkan terlalu mudah dipakai
sehingga para perancang kontrak menjadi tidak cermat
dalam menyusun lebih inti ketentuan kontrak. Jika Anda
tidak tahu secara pasti apa yang benar-benar Anda ingin
tulis, dan/atau dapat menjadi bahaya laten. Pastikan apakah
“dan” saja yang dimaksud, atau “atau” saja yang penting
dinyatakan. Gantilah “dan/atau” dengan baik, atau jika
hanya benar-benar diperlukan.
1.6 Pastikan Keperluan Kata Majemuk
Untuk membuat kontrak, kecermatan dan kejelian
menjadi syarat mutlak yang tidak dapat ditawar. Tidak
hanya pencermatan pembuatan kontrak secara holistik,
tetapi juga secara detail, bahkan terhadap komponen-
komponen yang tidak kalah pentingnya. Komponen yang
dimaksud ialah kata majemuk. Pastikan keperluan peng-
gunaan kata majemuk terhadap kalimat anda. Cermati dan
pastikan sekali lagi bahwa kata majemuk, terutama terhadap
kata benda dan subjek, benar-benar diperlukan alih-alih kata
tunggal, dan sebaliknya. Penggunaan yang tidak tepat
menciptakan interpretasi yang lebih luas terhadap pema-
haman pengaturannya. Jadi, selalu pastikan Anda tahu apa
yang anda maksudkan dan juga perlu memvisualisasikan
dampaknya terhadap kontrak Anda.
1.7 Penggandaan Angka dan Terbilangnya
Bagi orang hukum, penulisan penggandaan angka
dan terbilangnya bukan sesuatu yang aneh. Begitu lazimnya
158
penulisan ini sehingga terkadang kita lupa memikirkan
aspek kemudahan pembacaan dan utilitas penggunaannya.
Disadari bahwa penggandaan angka dan terbilangnya
merupakan perlindungan terhadap salah pengetikan. Selain
itu, penggandaan ini berfungsi sebagai pengaman jika terjadi
pengubahan di salah satunya. Setidaknya, penulisan sema-
cam ini mencegah terjadinya salah angka atau salah
penyebutan terbilangnya. Agar lebih mudah dibaca dan
dimengerti, gunakan angka untuk menunjukan angka saja
dan terhadap jumlah nominal yang tidak sukar. Karena,
dapat diyakini bahwa mata kita akan lebih tertarik untuk
membaca apa yang lebih mudah ditangkap untuk dime-
ngerti. Pada saat penggandaan menjadi wajib, misalnya
terhadap jumlah nominal uang terapkan penulisan peng-
gandaan angka dan terbilangnya secara konsisten.
Lihat 4 contoh di bawah ini. Manakah yang benar-
benar anda baca? Angka atau kata-kata/terbilangnya:
a. Penulisan tanggal, bulan, dan tahun:
 19 Maret 2013;
 tanggal 19 (sembilan belas) bulan Maret 2013 (dua ribu
tiga belas).
b. Penulisan batas waktu:
 7 kali 24 jam;
 7 (tujuh) kali 24 (dua puluh empat).
c. Penulisan nominal uang yang rumit:
 Rp. 489.667.500,- ;
 Rp. 489.667.500,- (Empat ratus delapan puluh sembilan
juta enam ratus enam puluh tujuh ribu lima ratus
Rupiah).
d. Penulisan nominal uang yang mudah:
 Rp. 2.000.000,- ;
 Rp. 2.000.000,- (dua juta Rupiah).

159
1.8 Jangan Mengikutsertakan Ketidaktahuan
Pada saat menyusun klausul-klausul kontrak, jika
tidak mengerti arti dan tujuannya atau bentuk
ketentuannya, atau bahkan tidak mengerti mengapa klausul
itu harus diikutsertakan dalam kontrak anda, pertama,
cobalah lebih giat untuk memperoleh informasi untuk
memahaminya. Kedua, jika masih tidak bisa memahaminya,
segera singkirkan (kecuali klausul-klausul wajib). Harus
selalu diingat, ketahui dan kuasai kontrak yang anda buat
sendiri. Jika tidak, ketidaktahuan anda akan menyerang
anda kembali dengan banyak cara. Bahkan, walaupun anda
tahu dan kuasai kontrak itu, Anda harus mempersiapkan
kontra argumen hukum yang dihasilan dari kontrak yang
anda buat. Jadi, daripada meninggalkan ketidakpastian dan
membuat celah yang lebih besar, lebih baik menghapusnya.
Hal ini juga memberi pemahaman kepada kita untuk selalu
mengoreksi ulang kontrak yang kita buat sebelum dapat
memastikan kontrak tersebut siap ditandatangani.
Kontrak yang baik tidak dapat dinilai dari
kelengkapannya saja, tetapi secara utuh tidak memberikan
celah dan kesempatan bagi siapapun untuk mendapatkan
poin lunak, karena itu kontrak yang baik ialah kontrak yang
sukar disangkal.

160
Tahapan berikut ini dapat dijadikan metode untuk
menghilangkan poin lunak pada kontrak:

Legal premise

Factual premise

Conclusion

Possible objection

Answer to objection

Another possible objection

Answer to objection

Further point in support

Clincher 145

145Metode ini diadopsi dari salah satu teknik penulisan bahasa


Inggris hukum untuk membangun argumen hukum. Untuk
elaborasi, baca: Fajar Sugianto, Basic Elements of Legal Writing-Legal
161
1.9 Desain Ideal
Untuk memaksimalkan daya tanggap pembacaan
kontrak, orang-orang yang membaca kontrak seharusnya
tidak memiliki kesukaran pada saat membaca. Penggunaan
jenis font dan ukurannya memainkan peran utama dalam
pembacaan. Kontrak yang baik tidak menyangkut keinda-
han font yang digunakan. Esensi yang terpenting pada
prinsip ini adalah orang-orang yang membaca dapat dengan
mudah membaca kontrak tersebut dan menjadi mengerti
inti-intinya. Font yang sukar dibaca menghalang kemudahan
pembacaan seluruh kontrak. Ketika ini terjadi, orang-orang
yang membaca kontrak seperti ini akan kehilangan sema-
ngat, dan pada saat bersamaan, kita telah kehilangan inti
utama pembuatan kontrak.
Lihat 3 contoh di bawah ini. Salah satu klausul
kontrak diambil untuk menunjukan arti pentingnya daya
tanggap pembacaan (readibility):
a. [B]ahwa Pihak Kesatu dan Pihak Kedua dengan dilandasi
itikad baik serta prinsip saling menguntungkan, telah
dicapai kesepakatan yang konsensus untuk membuat
Kontrak Jual-Beli Batubara, sebagaimana dengan ini
bersetuju dan berjanji dengan syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut: (Bernard MT
Condensed).
b. [B]ahwa Pihak Kesatu dan Pihak Kedua dengan dilandasi
itikad baik serta prinsip saling menguntungkan, telah
dicapai kesepakatan yang konsensus untuk membuat
Kontrak Jual-Beli Batubara, sebagaimana dengan ini
bersetuju dan berjanji dengan syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut: (Curlz MT).

English Review Book, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945,


2013, hlm. 142.
162
c. [B]ahwa Pihak Kesatu dan Pihak Kedua dengan dilandasi
itikad baik serta prinsip saling menguntungkan, telah
dicapai kesepakatan yang konsensus untuk membuat
Kontrak Jual-Beli Batubara, sebagaimana dengan ini
bersetuju dan berjanji dengan syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut: (Times New
Roman).
2. Penyusunan Provisi
2.1 Pleonasme
Untuk tujuan presisi makna dan sesuai dengan
standar Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), hindari
pemborosan kalimat (pleonasme) dalam menyusun provisi.
Tabel di bawah ini menunjukan keborosan kekakuan bahasa
hukum.
Boros & Tidak Presisi Hemat & Presisi
Sejak dari Sejak atau dari
Agar supaya Agar atau supaya
Demi untuk Demi atau untuk
Adalah merupakan Adalah atau merupakan
Daftar barang-barang Daftar barang
Mengadakan pemeriksaan Pemeriksaan (memeriksa)
Berbagai alasan-alasan Berbagai alasan
Dalam rangka untuk Dalam rangka atau untuk
Menyatakan persetujuan Menyetujui
Karena ... sehingga ... Karena tanpa sehingga; sehingga tanpa
karena
Namun demikian Walaupun demikian; namun tanpa
demikian
Sangat ... sekali ... Sangat tanpa sekali; sekali tanpa sangat
Mulai dari Mulai atau dari

2.2 Mencari Kata Kerja yang Tepat


Penggunaan kata kerja yang tepat memberikan
gambaran presisi antara hak dan kewajiban. Terkadang
tanpa kita sadari, penggunaan kata kerja yang tidak
konsisten dapat membingungkan penafsiran arti sesung-

163
guhnya dengan menggunakan sinonimnya. Misalnya, dalam
banyak jenis kontrak menggunakan kata kerja yang
memerintahkan salah satu pihak kontraktan untuk
“menyerahkan”. Kalau kita melihat sinonimnya, “menye-
rahkan” memiliki persamaan kata: memberikan, menerima-
kan, mengoper, melepaskan, mengasihkan, dan lain
sebagainya. Sederetan sinonim ini jika digunakan tanpa ada
maksud ketegasan timbal balik, maka varian kata-kata
sinonim ini tidak ada ketepatan penggunaannya. Dalam hal
ini, cara yang paling mudah yang dapat dilakukan untuk
mencari kata kerja yang tepat ialah dengan menyelaras-
kannya dengan antonim sebagai ketegasan timbal balik.
Contoh 1:
apabila pihak yang satu berkewajiban untuk menyerahkan
sesuatu, maka hak pihak satunya “menerima” (antonim
sebagai ketegasan timbal balik). Menyerahkanmenerima
(serah dan terima).
Contoh 2:
dalam hal kontrak jual-beli, maka kata kerja satu-satunya
yang paling tepat untuk menggambarkan hak-kewajiban
kontraktual para pihak adalah “menjual” dan “membeli”.
Menjualmembeli.
Contoh 3:
dalam hal menentukan provisi yang memuat akibat “cidera”
janji, maka ketegasan timbal baliknya adalah “pulih”, dalam
hal ini “pemulihan”. Ciderapulih.
2.3 Kalimat Aktif Vs. Kalimat Pasif
Bahasa merupakan sarana penting yang dapat
mengkomunikasikan isi kontrak. Jika tidak kita cermati
penggunaannya, penyusunan provisi kontrak dapat
berdampak lebih luas, baik terhadap interpretasinya
maupun keluwesan bahasa yang memengaruhi daya baca.
Terutama dalam analisis fungsi kalimat, terkadang kita

164
sering kebingungan menentukan pola fungsi yang terjadi
pada kalimat aktif dan kalimat pasif serta perubahannya.
Kalimat aktif adalah kalimat yang subjeknya
melakukan pekerjaan atau melakukan perbuatan, sementara
kalimat pasif adalah kalimat yang subjeknya dikenai
pekerjaan atau dikenai perbuatan oleh objeknya.
Contoh kalimat aktif dalam provisi kontrak:
“Pihak Kesatu wajib menyerahkan Sertifikat Hak
Milik No. 331 Tahun 1999 kepada Pihak Kedua
pada saat Pihak Kesatu menerima pembayaran dari
Pihak Kedua”
Contoh kalimat pasif dengan kerangka yang sama:
“Sertifikat Hak Milik No. 331 Tahun 1999 wajib
diserahkan oleh Pihak Kesatu kepada Pihak Kedua
pada saat pembayaran dilakukan oleh Pihak Kedua
diterima oleh Pihak Kesatu”.
Pada dasarnya, kedua contoh tadi memiliki hakikat
makna yang sama, namun jika dicermati lebih mendalam
keduanya memiliki cara kerja dan pemahaman yang
berbeda, terutama terhadap penekanan secara kontraktual.
Contoh kalimat aktif di atas memberikan pema-
haman langsung dan esensi penekanan terhadap kewajiban
perbuatan Pihak Kesatu. Subjeknya adalah Pihak Kesatu,
perbuatan yang dilakukan adalah menyerahkan SHM No.
331 Tahun 1999 ketika menerima pembayaran. Sementara
pada contoh kalimat pasif, penekanan diletakan pada SHM
No. 331 Tahun 1991. Dalam hal ini, untuk diserahkan
kepada Pihak Kedua pada saat pembayaran telah dite-
rimanya.
Terhadap dua kedua contoh ini, kalimat aktif lebih
cocok diaplikasikan jika provisi ini berada di bawah tajuk
atau kepala “Hak dan Kewajiban Para Pihak” atau “Kewa-
jiban Pihak Kesatu” dan lain sebagainya yang secara khusus
menentukan kewajiban Pihak Kesatu. Sementara kalimat
165
pasif lebih cocok diaplikasian jika provisi ini berada di
bawah tajuk atau kepala yang secara khusus memuat
ketentuan tentang SHM itu sendiri atau yang menyangkut
objek kontrak. Misalnya provisi yang bertajuk “Obek
Kontrak Jual-Beli” atau “Pengalihan Hak Kepemilikan”, dan
lain sebagainya.
2.4 Frasa Paralel Untuk Memparalel Serentetan Peristiwa
Membuat provisi kontrak membutuhkan detail yang
memaksa kita untuk menghubungkan kata-kata yang
mendiskripsikan beberapa peristiwa secara bersamaan. Di
sini, kita harus bisa menyampaikan serentetan peristiwa itu
dalam bentuk gramatikal yang sama, misalnya sesama kata
kerja, kata sifat, dan kata benda. Untuk mewujudkan
pendeskripsian ini, frasa paralel dapat digunakan sebagai
cara yang merubah paralel peristiwa menjadi kalimat
informatif. Sebagai contoh, pada salah satu klausul dalam
recital:
[B]ahwa para pihak dengan dilandasai itikad baik
serta prinsip saling menguntungkan, telah dicapai
kesepakatan untuk membuat persetujuan
sebagaimana dengan ini saling bersetuju, berjanji,
untuk saling tunduk di bawah syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
[B]ahwa Pihak Kesatu dengan ini berkeinginan
untuk menjual hasil produksi batubara yang diakui
miliknya, bukan ilegal, bukan curian, tidak dalam
sengketa dan/atau pernah terjadi sengketa dengan
orang/pihak lain, bukan milik/titipan orang/pihak lain;
[B]ahwa Pihak Kesatu dengan ini menyatakan
sanggup, tidak berkeberatan serta menerima tawaran
Pihak Kesatu tersebut;
2.5 Kelipatan Kalimat Negatif
Penggunaan kalimat negatif tidak bisa ditiadakan
dengan begitu saja. Dalam banyak hal, kalimat negatif
166
sangat membantu merumuskan inti dari penulisan kalimat,
sekaligus menunjukan hal-hal yang dilarang dan yang tidak
diperbolehkan secara kontraktual. Misalnya:
[B]ahwa selama persetujuan sewa-menyewa ini
berlangsung, Pihak Kesatu tidak dapat menyewakan
kembali objek persetujuan ini kepada orang/pihak
lain.
Inti perumusan penulisan klausul di atas, secara jelas
memberikan pelarangan bagi Pihak Kesatu untuk menye-
wakan kembali objek yang telah disewanya. Akankah lebih
jelas inti perumusan klausul jika digunakan kelipatan kali-
mat negatif atau justru sebaliknya.
[B]ahwa Pihak Kesatu dengan ini berkeingi-nan
untuk menjual hasil produksi batubara yang diakui
miliknya, bukan ilegal, bukan curian, tidak dalam
sengketa dan atau pernah terjadi sengketa dengan
orang/pihak lain, bukan milik/titipan orang/pihak lain.
2.6 Memadukan Detail Sesuai Dengan Tujuan Provisi
Jika lebih kita cermati, setiap detail yang berbeda
dalam setiap kalimat memberi arti yang berbeda pula.
Perbedaan arti pada setiap kalimat ini akan menambah
perbedaan arti keseluruhan dalam satu klausul. Sebagai
contoh dalam satu kalimat yang umum:
a. Pihak Kesatu menyewa rumah milik Pihak Kedua selama
dua tahun yang beralamat di jalan ABC, kota XYZ.
b. Pihak Kesatu menyewa rumah milik Pihak Kedua yang
beralamat di jalan ABC, kota XYZ selama dua tahun.
c. Persetujuan sewa-menyewa antara Pihak Kesatu dan
Pihak Kedua ini dilakukan selama dua tahun semenjak
persetujuan ini ditanda-tangani.
Setiap contoh kalimat di atas mengekspresikan arti
yang berbeda-beda dengan. Contoh kalimat (1) detailnya
menekankan kepada lokasi, sementara kalimat (2) kepada
jangka waktu sewa-menyewa. Detail pada contoh kalimat (3)
167
memberikan penekanan lebih ke arah persetujuannya itu
sendiri.
2.7 Kata Serapan Lebih Efektif
Kata serapan merupakan kata pinjaman atau kata
pungutan yang berasal dari bahasa asing. Oleh karena
penerapan dan penggunaannya secara luas diakui dan lebih
diketahui daripada ucapan/istilah aslinya, maka dalam
banyak hal penggunaan kata serapan lebih efektif. Efektif di
sini berarti lebih dapat mempersamakan maksud dan makna
interpretatif isi kontrak. Tabel di bawah ini menunjukan
tingkat keakraban pemahaman kata serapan alih-alih artinya
dalam bahasa Indonesia.

Kata Kata Asli (orig- Arti Kata Dalam Bahasa Indo-


Serapan in) nesia146
Akselerasi Acceleration Percepatan; peningkatan kece-
(Inggris) patan; perubahan kecepatan.
Akurat Accurate Ketepatan; pasti; meyakinkan,
(Inggris) tepat benar.
Apartemen Appartment Rumah pangsa; rumah flat.
(Inggris)
Asumsi Assumptie Perkiraan; anggapan.
(Belanda)
Assumption Memperhitungkan; dugaan da-
(Inggris) sar; perkiraan.
Efektif Effective Daya guna.
(Inggris)
Efisien Efficient Hasil guna.
(Inggris)
Eksistensi Existence Adanya; keberadaan.
(Inggris)
Ekspansi Expansie Memperluas wilayah; mengem-
(Belanda) bangkan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Media Pustaka, Jakarta, 2009.


146

Yan Pramadya Puspa, op cit.


168
Expansion Perluasan wilayah; pemuaian.
(Inggris)
Ekspor Export Kiriman barang-barang daga-
(Inggris) ngan ke luar negeri
Fleksibel Flexible Mudah disesuaikan; mudah di-
(Inggris) tekuk; luwes.
Kantor Kantoor Ruang kerja.
(Belanda)
Kompensasi Compensatie Imbalan: utang-piutang-pemba-
(Belanda) yaran bea.
Compensation Hak ganti rugi; pengganti ke-
(Inggris) rugian; dst.
Kompetisi Competition Persaingan; perlombaan; dst.
(Inggris)

3. Kejelasan Dokumen Kontrak


Bahkan bagi praktisi senior sekali pun, prinsip-
prinsip dan metode-metode pembuatan kontrak yang telah
diuraikan dari awal hingga akhir nanti tidak akan pernah
mudah dimengerti. Nampaknya memang demikian adanya,
karena memang sampai kapanpun pembuatan kontrak jenis
apapun tidak pernah mudah. Dengan tetap mengedepankan
akurasi perancangan kontrak dan kelengkapan pembuatan-
nya, kita harus selalu mencoba membayangkan setiap
kemungkinan dalam setiap keadaan terhadap kesesuaian
penerapan seluruh prinsip-prinsip tadi dengan kontrak yang
sedang anda buat. Kesesuaian penerapan inilah yang
mencerminkan kejelasan dokumen kontrak, ditambah
dengan kejelian kita menyusun tindakan pencegahan di
dalamnya.
Jangan pernah takut untuk menggunakan
pengulangan kalimat, atau bahkan menggunakan bahasa
hukum baku, misalnya: “tersebut di atas”, “tersebut di
muka”, “tersebut sebelumnya”, “tersebut tadi” (frasa
semacam ini juga disebut “foresaids”). Yang harus selalu
169
dihindari ialah, pertama, penggampangan kontrak. Kedua,
menciptakan atau meninggalkan celah (poin lunak) yang
berpotensi ambigu secara gramatikal. Ketiga, mengesampi-
ngkan peraturan perundang-undangan sebagai legal premise.
Keempat, memilih frasa yang tidak sesuai dengan
peruntukannya, dan yang kelima, mengamputasi anatomi
pokok kontrak karena memiliki efek domino terhadap
performa kontrak secara keseluruhan.
4. Penyusunan Dan Perangkaian Paragraf
Dahulu, kontrak selalu dibuat dengan tulisan tangan
dalam tumpukan yang sangat padat. Kalimat panjang
menjadi ciri khas kontrak jaman dahulu yang identik dengan
kalimat yang berkepanjangan (kontinu). Besar
kemungkinan, penulisan panjang yang tidak berhenti, dari
margin paling tepi kertas ke tepi satunya, itu diperuntukkan
tidak meninggalkan ruang untuk penambahan, penggantian,
pengubahan dan penindisan kalimat-kalimat. Dewasa ini,
kemajuan teknologi beserta piranti lunak sangat membantu
proses pembuatan dokumen kontrak. Seiring dengan
kemajuan ini, standarisasi penggunaan kertas dengan
margin tertentu dapat dibilang baku, sehingga jika
dibandingkan dengan penulisan jaman dulu, dokumen
kontrak modern lebih memiliki ruang kosong yang lebih
mudah untuk disalahgunakan, misalnya renvoi-renvoi yang
dipalsukan.
Ciri khas penulisan kalimat kontrak yang
berkepanjangan ini sudah menjadi tradisi yang sangat susah
dihilangkan. Seolah-olah, kalau tidak panjang kalimatnya
dianggap tidak detail, kabur, dan tidak mengena substansi
kontrak. Entah mengapa kalimat yang panjang, kaku, dan
susah dimengerti diidentikan dengan “bahasa hukum”.
Bahkan terhadap gaya penulisan kontrak yang “numplek”
sekali pun, hingga kini masih mendapatkan citra eksklusif
yang dielu-elukan sebagai nilai orisinalitas kontrak.
170
Terhadap fenomena ini, yang jelas harus muncul
pemahaman:
a. kelengkapan kontrak tidak dapat direpresentasikan
melalui bahasa yang rumit dan kalimat yang kaku;
b. wanprestasi tidak dapat dicegah melalui “orisinalitas”
dan “ciri khas” kontrak, tetapi melalui pengelolaan risiko
yang cermat dan pembentukan kontrak yang tepat; dan
c. kecanggihan kontrak terletak pada kemudahan
pemahaman substansi dan interpretasi, terutama untuk
menghilangkan multi tafsir, bukan dari penulisan yang
“numplek”.
Cara termudah untuk mengatasi kompleksitas
penyusunan paragraf ialah: pertama, dengan meringkas
kalimat yang panjang menjadi lebih singkat-padat dan lebih
jelas.147 Kedua, dengan memahami secara konseptual, provisi
kontrak yang berisikan satu paragraf hanya dengan satu
kalimat pendek adalah tidak salah. Ketiga, dengan
menyalurkan provisi tersebut sesuai dengan bagian dan
tempatnya di dalam kontrak, dan keempat, jangan pernah
takut untuk merubah paradigma yang tidak sesuai dengan
kemajuan dan perkembangan jaman.
5. Lima Kebiasaan Yang Harus Dihindari
5.1 Berasumsi Semua Orang Mengetahui Singkatan dan
Akronim
Jangan selalu berasumsi semua orang mengetahui
singkatan dan akronim, bahkan untuk hal-hal yang umum
sekalipun. Sering kita terlena untuk tidak menguraikan
singkatan dan menulis lengkap akronim, karena selalu
menganggap semua orang tahu akan uraian dan
kepanjangannya. Benar, hukum tidak menerima alasan bagi
setiap orang tidak mengetahui hukum, namun demi
kejelasan kontrak, singkirkan asumsi ini sekalipun singkatan

147 1 paragraf idealnya tidak melebihi 20 kata.


171
atau akronim yang umum digunakan dalam hukum.
Misalnya:
SHM = Sertifikat Hak Milik
AJB = Akta Jual Beli
PT = Perseroan Terbatas
PMH = Perbuatan Melawan Hukum
Tilang = Bukti pelanggaran
5.2 Menggunakan Frasa yang Mengambang
Tanpa kita sadari, kita memelihara dan sudah terbia-
sa dengan penulisan yang mengembang. Yang paling umum
ditemukan ialah frasa yang berbunyi: “beberapa hal”,
“beberapa alasan”, “beberapa dasar hukum”, “beberapa
pertimbangan”, dan sebagainya. Orang hukum salalu meng-
andalkan ketelitian, dalam hal pembuatan kontrak, ketaja-
man dan ketepatan penulisan merupakan hal esensial agar
kontrak menjadi terarah. Terhadap frasa yang mengembang
ini, gunakan langsung jumlahnya. Jika hanya memiliki 2 hal,
maka sebutkan dengan terang, jelas, dan lantang: ”dua hal”,
jika memiliki 5 pertimbangan, langsung sebutkan “lima
pertimbangan”.
Untuk membantu mengarahkan provisi, mulai
biasakan menggunakan rambu baca, pertama, kedua, dan
seterusnya. Kata-kata rambu baca bisa digunakan dalam
bentuk miring (italic) atau tebal (bold) yang lebih dapat
memudahkan pemanduan tekstual penulisan.
5.3 Tidak Mengerti Fungsi Tanda Baca
Tanpa kita sadari, tanda baca memiliki fungsi lebih
sekedar “tanda”. Selain tanda baca-tanda baca yang umum
kita gunakan, seperti titik, koma, tanda kurung, dan
sebagainya itu, masih ada tanda baca lainnya seperti titik
koma (;), dua titik (:), tanda hubung (-), tanda pisah (‒) dan
seterusnya itu mampu mengoptimalkan efisiensi penulisan
dokumen kontrak. Misalnya terhadap tanda titik koma (;),
salah satu fungsinya dapat dipakai sebagai pengganti kata
172
penghubung untuk memisahkan kalimat yang setara dalam
kalimat majemuk.148
“Setelah kontrak ini ditanda-tangani para pihak
memiliki kewajiban:
Pihak kedua wajib memproduksi objek kontrak
sesuai dengan spesifikasi Pihak kesatu; Pihak kesatu
wajib membayar pembayaran Down Payment I
sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah);dan Pihak
kedua wajib mendaftarkan asuransi objek kontrak
kepada Pihak Ketiga sebagai pihak asuransi yang
wajib menerima pengasuransian objek kontrak”.
Terhadap tanda dua titik (:), salah satu fungsinya
dapat dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap jika
diikuti rangkaian.149
“Pihak Kesatu adalah pihak yang sah menurut
hukum sebagai penjual berdasarkan: Sertifikat Hak
Milik No. 1234 Tahun 1998, Surat Keterangan Waris,
dan Surat Kuasa Menjual Dari Para Ahli Waris”
Terhadap tanda hubung (-), salah satu fungsinya
dapat dipakai untuk menyambung bagian-bagian tanggal.150
“Kontrak ini dibuat pada 8-8-2008, dan para pihak
menghadirkan saksi-saksi untuk ikut menyaksikan
penandatanganan kontrak ini”.
Terhadap tanda pisah (‒), salah satu fungsinya
membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi
penjelasan di luar bangun kalimat.151
“Pembeli berkewajiban untuk melakukan pembaya-
ran secara tunai‒sekaligus dan seketika‒kepada

148http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/defa

ult/files/pedoman_umum-ejaan_yang_disempurnakan.pdf
149 Ibid
150 Ibid
151 Ibid

173
Penjual selambat-lambatnya 3 hari setelah kontrak ini
ditanda-tangani”.
5.4 Menonjolkan Sesuatu Secara Berlebihan
Dokumen kontrak sering menonjolkan sesuatu hal
yang dianggap penting, misalnya saja terhadap tata cara
pembayaran yang bertahap. Cara yang paling umum
digunakan dengan memberi penebalan di seluruh
kalimatnya.
1. Tahap Pertama.
Pembayaran sebesar 50% (lima puluh persen) dari total
harga objek jual-beli dikali tonase kuantitas objek jual-
beli sebanyak _____ m3T (_____ metrik ton), atau
dengan rumusan = 50% x _____m3T x Rp. ______,-/m3T
(lima puluh persen dikali _____ metrik ton dikali
___________rupiah per metrik ton), yang akan
dibayarkan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Kesatu
berdasarkan Invoice yang diterbitkan oleh Pihak
Kesatu pada saat atau selambat-lambatnya 3 x 24 jam
setelah Kontrak Jual-Beli Batubara ini ditanda-tangani.
2. Tahap Kedua.
Pembayaran sebesar 40% (empat puluh persen) dari
total harga objek jual-beli dikali tonase kuantitas objek
jual-beli sebanyak _____ m3T (_____ metrik ton), atau
dengan rumusan = 40% x _____m3T x Rp. ______,-/m3T
(empat puluh persen dikali delapan ribu metrik ton
dikali __________ rupiah per metrik ton), yang akan
dibayarkan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Kesatu
pada saat tongkang Pihak Kedua telah selesai sandar
atau merapat di pelabuhan Jetty yang telah ditunjuk
dalam angka 4.8. di atas dan berdasarkan Invoice yang
diterbitkan oleh Pihak Kesatu untuk itu.
3. Tahap Ketiga.
Pembayaran sebesar 10% (sepuluh persen) atau sisa
harga pembayaran objek jual-beli dari total harga objek
jual-beli dikali tonase kuantitas aktual/nyata
174
berdasarkan hasil draft survey pihak Independent
Surveyor, atau dengan rumusan = 10% x _______m3T x
Rp. ______,-/m3T (sepuluh persen dikali ________
metrik ton dikali _________ ribu rupiah), yang akan
dibayarkan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Kesatu
berdasarkan Invoice yang diterbitkan oleh Pihak
Kesatu dan pada saat bersamaan muat atau loading
telah diselesaikan oleh Pihak Kesatu dan telah
dikeluarkannya hasil analisa berupa Certificate of
Analysis (C.O.A) dari pihak Independent Surveyor.
Pihak Kesatu berkewajiban untuk menyerahkan
dokumen-dokumen lainnya seperti tersebut dalam
angka 4.10. di atas.
Ada pula yang lebih ekstrim, dengan cara
menonjolkannya dengan menggunakan huruf besar.
1. TAHAP PERTAMA.
PEMBAYARAN SEBESAR 50% (LIMA PULUH PERSEN)
DARI TOTAL HARGA OBJEK JUAL-BELI DIKALI
TONASE KUANTITAS OBJEK JUAL-BELI SEBANYAK
_____ M3T (_____ METRIK TON), ATAU DENGAN
RUMUSAN = 50% X _____M3T X RP. ______,-/M3T
(LIMA PULUH PERSEN DIKALI _____ METRIK TON
DIKALI ___________RUPIAH PER METRIK TON),
YANG AKAN DIBAYARKAN OLEH PIHAK KEDUA
KEPADA PIHAK KESATU BERDASARKAN INVOICE
YANG DITERBITKAN OLEH PIHAK KESATU PADA
SAAT ATAU SELAMBAT-LAMBATNYA 3 X 24 JAM
SETELAH KONTRAK JUAL-BELI BATUBARA INI
DITANDA-TANGANI.
2. TAHAP KEDUA.
PEMBAYARAN SEBESAR 40% (EMPAT PULUH
PERSEN) DARI TOTAL HARGA OBJEK JUAL-BELI
DIKALI TONASE KUANTITAS OBJEK JUAL-BELI
SEBANYAK _____ M3T (_____ METRIK TON), ATAU

175
DENGAN RUMUSAN = 40% X _____M3T X RP. ______,-
/M3T (EMPAT PULUH PERSEN DIKALI DELAPAN
RIBU METRIK TON DIKALI __________ RUPIAH PER
METRIK TON), YANG AKAN DIBAYARKAN OLEH
PIHAK KEDUA KEPADA PIHAK KESATU PADA SAAT
TONGKANG PIHAK KEDUA TELAH SELESAI SAN-
DAR ATAU MERAPAT DI PELABUHAN JETTY YANG
TELAH DITUNJUK DALAM ANGKA 4.8. DI ATAS
DAN BERDASARKAN INVOICE YANG DITERBITKAN
OLEH PIHAK KESATU UNTUK ITU.
3. TAHAP KETIGA.
PEMBAYARAN SEBESAR 10% (SEPULUH PERSEN)
ATAU SISA HARGA PEMBAYARAN OBJEK JUAL-BELI
DARI TOTAL HARGA OBJEK JUAL-BELI DIKALI
TONASE KUANTITAS AKTUAL/NYATA BERDASAR-
KAN HASIL DRAFT SURVEY PIHAK INDEPENDENT
SURVEYOR, ATAU DENGAN RUMUSAN = 10% X
_______M3T X RP. ______,-/M3T (SEPULUH PERSEN
DIKALI ________ METRIK TON DIKALI _________ RIBU
RUPIAH), YANG AKAN DIBAYARKAN OLEH PIHAK
KEDUA KEPADA PIHAK KESATU BERDASARKAN
INVOICE YANG DITERBITKAN OLEH PIHAK KESATU
DAN PADA SAAT BERSAMAAN MUAT ATAU
LOADING TELAH DISELESAIKAN OLEH PIHAK
KESATU DAN TELAH DIKELUARKANNYA HASIL
ANALISA BERUPA CERTIFICATE OF ANALYSIS
(C.O.A) DARI PIHAK INDEPENDENT SURVEYOR.
PIHAK KESATU BERKEWAJIBAN UNTUK MENYE-
RAHKAN DOKUMEN-DOKUMEN LAINNYA SEPERTI
TERSEBUT DALAM ANGKA 4.10. DI ATAS.
Pendekatan yang lebih tepat adalah dengan menggu-
nakan kotak di bagian tersebut untuk menangkap perhatian
pembaca.

176
1. Tahap pertama
Pembayaran sebesar 50% (lima puluh persen) dari total
harga objek jual-beli dikali tonase kuantitas objek jual-beli
sebanyak _____ m3t (_____ metrik ton), atau dengan
rumusan = 50% x _____m3t x rp. ______,-/m3t (lima puluh
persen dikali _____ metrik ton dikali ___________rupiah per
metrik ton), yang akan dibayarkan oleh pihak kedua kepada
pihak kesatu berdasarkan invoice yang diterbitkan oleh
pihak kesatu pada saat atau selambat-lambatnya 3 x 24 jam
setelah kontrak jual-beli batubara ini ditanda-tangani

2. Tahap kedua
Pembayaran sebesar 40% (empat puluh persen) dari total
harga objek jual-beli dikali tonase kuantitas objek jual-beli
sebanyak _____ m3t (_____ metrik ton), atau dengan
rumusan = 40% x _____m3t x rp. ______,-/m3t (empat puluh
persen dikali delapan ribu metrik ton dikali __________
rupiah per metrik ton), yang akan dibayarkan oleh pihak
kedua kepada pihak kesatu pada saat tongkang pihak kedua
telah selesai sandar atau merapat di pelabuhan jetty yang
telah ditunjuk dalam angka 4.8. di atas dan berdasarkan
invoice yang diterbitkan oleh pihak kesatu untuk itu.

3. Tahap ketiga
Pembayaran sebesar 10% (sepuluh persen) atau sisa harga
pembayaran objek jual-beli dari total harga objek jual-beli
dikali tonase kuantitas aktual/nyata berdasarkan hasil draft
survey pihak independent surveyor, atau dengan rumusan =
10% x _______m3t x rp. ______,-/m3t (sepuluh persen dikali
________ metrik ton dikali _________ ribu rupiah), yang
akan dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak kesatu
berdasarkan invoice yang diterbitkan oleh pihak kesatu dan
pada saat bersamaan muat atau loading telah diselesaikan
oleh pihak kesatu dan telah dikeluarkannya hasil analisa
177
berupa certificate of analysis (C.O.A) dari pihak independent
surveyor. Pihak kesatu berkewajiban untuk menyerahkan
dokumen-dokumen lainnya seperti tersebut dalam angka
4.10. di atas.

5.5 Modal Nekat


Kebiasaan terkahir yang harus dihilangkan ialah
merancang dan membuat kontrak dengan modal nekat, alias
tanpa persiapan. Tanpa diragukan lagi, kenekatan ini akan
menyerang anda. Bahkan untuk kontrak yang dibuat dengan
penuh kehati-hatian dan penuh persiapan sekalipun masih
memiliki banyak kekurangan, kekurangan ini berdampak
pada eksistensi kontrak. Di zaman modern ini, persiapan
mendeterminasi kesuksesan performa kita. Sudah bukan
jamannya lagi untuk mengandalkan kesuksesan hanya
dengan modal nekat. Pembuatan kontrak tidak akan pernah
mudah, bahkan bagi spesialis perancang kontrak pun masih
berimprovisasi dan selalu mengembangkan teknik-teknik
baru pembuatan kontrak. Diperlukan ketelitian dan pencer-
matan lebih detail yang menghubungkan kesemuanya itu
menjadi satu kesatuan yang holistik dalam membuat kon-
trak yang ideal.
6. Implementasi Tahap Demi Tahap Seluruh Teknik dan
Prinsip Kedalam Pembuatan Kontrak
Sub bab ini merupakan bagian terakhir dari buku ini
yang mengimplementasikan tahap demi tahap seluruh
teknik dan prinsip ke dalam pembuatan kontrak.

178
KEPALA / PEMBUKA (PREAMBLE)
Kepala/Judul kontrak
PERSETUJUAN SEWA-
MENYEWA GUDANG

Komparisi
Masing-masing yang bertanda-tangan di
bawah ini:
Nama :

Identitas & Deskripsi Para Pihak


KTP No.:
Pekerjaan :
Alamat :
Untuk selanjutnya di dalam Persetujuan Sewa-
Menyewa ini disebut Pihak Kesatu.

Nama :
KTP No.:
Pekerjaan :
Alamat :
Untuk selanjutnya di dalam Persetujuan Sewa-
Menyewa ini disebut Pihak Kedua.

Keterangan:
Oleh karena kapasitas hukum Pihak Kesatu dan Pihak
Kedua adalah orang perorangan yang bertindak untuk dan
atas namanya masing-masing, untuk keperluan semacam ini
Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau kartu tanda pengenal
lainnya yang dikeluarkan oleh institusi pemerintah yang
lazim digunakan sebagai tanda pengenal menjadi dasar
identitas diri yang dapat dipercaya.

179
Recital
TERLEBIH DAHULU MENERANGKAN:
a. dalam Persetujuan Sewa-Menyewa ini,
Pihak Kesatu dan Pihak Kedua secara
bersama-sama disebut dengan para pihak;

Klausul definisi
secara sendiri-sendiri disebut Pihak Kesatu
atau Pihak Kedua sesuai dengan
kedudukannya; Persetujuan Sewa-
Menyewa selanjutnya cukup disebut
dengan persetujuan; dan kata gudang
berarti sebidang tanah berikut gudang
yang berdiri di atasnya.
b. bahwa Pihak Kesatu bermaksud dan berke-
inginan untuk menyewa gudang yang
diakui tiada milik orang lain selain Pihak
Kedua;
c. bahwa Pihak Kesatu menawarkan
keinginannya tersebut kepada Pihak
Kedua untuk melakukan sewa-menyewa
gudang milik Pihak Kedua itu;
d. bahwa Pihak Kedua menyatakan sanggup,
tidak berkeberatan serta menerima tawa-
Deskripsi kesepakatan

ran sewa-menyewa dari Pihak Kesatu ter-


sebut;
e. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di
atas, maka para pihak telah saling bersepa-
kat dan bersetuju untuk membuat dan me-
nuangkan masing-masing tujuannya dan
keinginannya yang kemudian ditetapkan
ke dalam persetujuan ini;
f. bahwa para pihak dengan dilandasai itikad
kesepakatan
Deskripsi

baik serta prinsip saling menguntungkan


telah dicapai kesepakatan untuk membuat
persetujuan, sebagaimana dengan ini sa-
180
ling bersetuju dan berjanji untuk tunduk di
bawah syarat-syarat dan ketentuan-keten-
tuan sebagai berikut:

BADAN/ISI (HABENDUM)
1. Bahwa Pihak Kedua mengaku sebagai pemilik

Klausul title
sah atas gudang yang terletak di jalan
________________ dengan luas sebesar
________ berdasarkan ______________ yang da-
lam persetujuan ini menjadi objek persetujuan.

2. Bahwa Pihak Kedua menjamin kepada Pihak


Kesatu, objek persetujuan bukan milik
orang/pihak lain baik sebagian dan atau
seluruhnya, tidak dalam sengketa dan atau
pernah terjadi sengketa dengan orang/pihak

Penjaminan
lain.

3. Bahwa Pihak Kedua juga menjamin kepada


Pihak Kesatu, objek persetujuan tidak sedang
dan tidak akan diadakan segala bentuk per-
setujuan/ikatan lain dan atau kewajiban-
kewajiban dengan orang/pihak lain, dan
karenanya Pihak Kesatu tidak akan mendapat
tuntutan dan atau gugatan dari siapapun juga
yang menyatakan mempunyai hak atau ikut
berhak atas objek persetujuan baik terlebih
dahulu dan atau setelah adanya persetujuan
ini.
Klausul Transaksi

4. Bahwa para pihak telah bersama-sama menen-


tukan harga sewa atas objek persetujuan sebe-
sar Rp. ________ (______________) selama __
(___) tahun atau dengan kata lain berakhir
181
pada tanggal ___ bulan ____ tahun ____
terhitung sejak persetujuan ini ditanda-tangani
oleh para pihak secara bersamaan.

5. Bahwa harga sewa atas objek persetujuan ter-


sebut di atas sudah termasuk pajak dan segala
macam retribusi daerah yang menjadi
tanggung-jawab Pihak Kedua, namun tidak
termasuk pada biaya penggunaan telepon,
listrik, dan air yang menjadi tanggung-jawab
Pihak Kesatu untuk membayarnya langsung
kepada badan/instansi terkait.
6. Bahwa Pihak Kedua tidak akan mengenakan
atau tidak akan membebankan atau tidak akan
memungut bunga dan segala macam biaya la-
innya selain harga sewa objek persetujuan ini
kepada Pihak Kesatu.

7. Bahwa Pihak Kesatu tidak akan memotong


atau tidak akan membebankan suatu pungutan
biaya apapun untuk mengurangi biaya sewa
Considerations

objek persetujuan ini kepada Pihak Kedua.

8. Bahwa pembayaran harga sewa atas objek


persetujuan ini akan dibayarkan penuh oleh
Pihak Kesatu kepada Pihak Kedua secara se-
kaligus dan seketika setelah persetujuan ini
ditanda-tangani oleh para pihak.
Considerations

9. Bahwa atas pembayaran harga sewa atas objek


persetujuan tersebut di atas, Pihak Kedua
berkewajiban untuk membuka dan mem-
berikan kwitansi tanda penerimaan pembaya-
ran kepada Pihak Kesatu.
182
10. Bahwa selama persetujuan ini berlangsung,
Pihak Kesatu tidak dapat menyewakan kembali
objek persetujuan ini kepada orang/pihak
lainnya.

Tugas & Penghentian


11. Bahwa selama persetujuan ini berlangsung,
Pihak Kesatu diberikan hak leluasa oleh Pihak
Kedua untuk melakukan segala kegiatan usa-
hanya dengan menggunakan segala fasilitas
yang terdapat di dalam objek persetujuan, ter-
masuk fasilitas gudang, sarana parkir,
__________ sepanjang tidak melebihi atau
melewati batas atau di luar objek persetujuan
ini.
12. Bahwa apabila dianggap perlu oleh Pihak
Kesatu, dengan persetujuan dari Pihak Kedua,
Pihak Kesatu dapat melakukan hal-hal seperti
penambahan dan atau pengurangan bangunan
dan fasilitas gudang, melakukan dan mendi-
rikan batas pagar bilamana terdapat batas-
batas objek persetujuan yang belum dipaga-
Penyerahan Delegasi

ri/batasi oleh Pihak Kedua, sepanjang tidak


melewati/melebihi objek persetujuan ini.

13. Bahwa selama persetujuan ini berlangsung,


Pihak Kesatu berkewajiban untuk menjaga dan
merawat secara baik atas objek persetujuan ini,
termasuk melakukan pembetulan-pembetulan,
pengecatan kembali, menjaga kebersihan, serta
menjaga tata-tertib sekaligus mematuhi adat
kebiasaan setempat dalam menjalankan kegia-
tan usahanya tersebut.

183
14. Bahwa selama persetujuan ini berlangsung,
Pihak Kedua berhak untuk datang dan mema-
suki objek persetujuan dengan memberi-
tahukan terlebih dahulu kepada Pihak Kesatu,
hanya sebatas melakukan kunjungan atau
pemantauan kondisi objek persetujuan.

15. Bahwa selama persetujuan ini berlangsung,

Klausul Spesifik
apabila Pihak Kesatu membutuhkan suatu ben-
tuk bantuan, baik pikiran dan atau tenaga
mengenai segala sesuatu yang berhubungan
dengan objek persetujuan ini, maka Pihak
Kesatu dapat meminta bantuan tersebut kepa-
da Pihak Kedua dan Pihak Kedua menyatakan
tidak berkeberatan untuk itu, sepanjang tidak
melawan atau bertentangan dengan hukum
yang berlaku.

16. Bahwa selama persetujuan ini berlangsung,


apabila terjadi force majeur atau suatu keadaan
di luar kemampuan, termasuk tetapi tidak
Klausul Penunjang

terbatas seperti perang, demonstrasi sipil, blo-


ckade, embargo, pemberontakan, gempa bumi,
badai, longsor, wabah penyakit, dan perbuatan
atau kehendak Tuhan lainnya, maka Pihak
Kesatu dibebaskan dari segala kerugian yang
timbul karenanya.

17. Bahwa selama persetujuan ini berlangsung,


Tuntutan Hak

apabila terjadi suatu kerugian materiil yang


Pelepasan

dikarenakan tidak lancarnya kegiatan usaha


Pihak Kesatu, maka Pihak Kedua dibebaskan
dari segala kerugian yang timbul karenanya.

184
18. Bahwa dalam hal Pihak Kesatu tidak berke-
inginan untuk memperpanjang kembali perse-
tujuan ini setelah masa berlakunya habis, Pihak
Kedua memberikan izin kepada Pihak Kesatu
selambat-lambatnya __ (____) hari kalender
untuk mengosongkan, mengembalikan seluruh
objek sewa-menyewa seperti keadaan semula.

19. Bahwa dalam hal Pihak Kesatu bermaksud dan


bertujuan untuk memperpanjang kembali masa
sewa dalam persetujuan ini, maka Pihak Kesatu
diwajibakan untuk memberitahukan maksud
dan tujuannya itu kepada Pihak Kedua

Klausul Penunjang
selambat-lambatnya __ hari kalender sebelum
masa berlakunya persetujuan ini habis.
20. Dalam hal Pihak Kedua tidak berkeberatan dan
menerima keinginan Pihak Kesatu untuk mem-
perpanjang kembali masa sewa dalam
persetujuan ini, maka para pihak akan
membuat persetujuan yang baru dengan hal-
hal dan ketentuan-ketentuan yang akan disepa-
Remedy

kati bersama.

21. Bahwa dalam hal terdapat ketentuan lain yang


Penyelesaian Sengketa & Domisili Hukum

dikemudian hari perlu dirubah, ditambah,


diatur kembali, maka para pihak bersetuju ak-
an membuat persetujuan tambahan atau aden-
dum tersendiri secara bersama-sama yang me-
rupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dari persetujuan ini.

22. Bahwa para pihak telah bersetuju dan berse-


pakat bila terdapat perselisihan yang timbul
dikarenakan adanya persetujuan ini, maka
185
diutamakan akan diselesaikan melalui musya-
warah untuk mufakat. Akan tetapi bila tidak
tercapai kecocokan keinginan, maka para pihak
setuju dan sepakat memilih domisili hukum
yang tetap dan tidak berubah lagi yaitu di kan-
tor Panitera Pengadilan Negeri di _________.

KAKI/PENUTUP (ATTESTATION)
Demikian hasil persetujuan ini berdasarkan kese-
pakatan yang dihasilkan dari musyawarah
mufakat yang kemudian dimuat dan dibuat dalam
Persetujuan Sewa-Menyewa Gudang ini, serta
ditanda-tangani oleh para pihak di _______, pukul
____, pada hari ___ tanggal ___ bulan ___ tahun

Testimonium
___ sebagai bentuk mengikatnya persetujuan
dalam keadaan sadar/tanpa ada paksaan dari
pihak manapun juga.

Persetujuan ini dibuat dalam rangkap 2 (dua) dan


telah diberi materai cukup, sehingga masing-
masing mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Rangkap pertama diberikan kepada Pihak Kesatu
dan rangkap kedua diserahkan kepada Pihak
Kedua.
Validasi & Tanda Tangan

Pihak Kesatu Pihak Kedua

( ) ( )
Saksi-saksi:
1.
2.

186
BAB VI
PENUTUP

Seluruh uraian prinsip, metode, dan pendekatan


dalam teknik pembuatan kontrak di atas merupakan
kerangka pokok pemahaman dasar yang harus selalu
difokuskan kepada tingkat keberhasilan kontrak.
Keberhasilan kontrak tidak dapat diukur semata melalui
pengaplikasian kaedah-kaedah hukum kontrak di dalam
kontrak dan penggunaan bahasa hukum yang canggih,
tetapi tingkat keberhasilan pelaksanaan kontrak berdasarkan
pembuatan kontrak yang sesuai dengan fungsi dan tujuan
kontrak.
Tidak akan pernah ada teknik master yang secara
baku untuk pembuatan semua jenis kontrak karena terlalu
luas dan kompleks untuk dibakukan. Namun paling tidak,
kontrak mampu mengakomodir dan memformulasikan
pertukaran menjadi plus-sum game, artinya para kontraktan:
1. dapat menikmati keuntungan (segala bentuk kerugian
dan keuntungan bersifat moneter dan atau non-moneter);
atau
2. salah satu pihak dalam keadaan sama pada saat pihak
satunya mendapatkan perolehan keuntungan; atau paling
tidak
3. pihak yang mengalami kerugian tidak menjadi sengsara
akibat dari perolehan keuntungan pihak satunya.
Sehingga kontrak sebagai produk hukum bukan saja dibuat
dan ditutup sebagai pelengkap atau formalitas dalam
bertransaksi atau berinteraksi, namun kontrak yang baik
idealnya mampu dijadikan alat yang solid dan dapat
diandalkan (reliable).

187
DAFTAR BACAAN

Adolf, Huala. Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional,


Refika Aditama, Bandung, 2007.
Atiyah P. S. The Practice of Promising”, Artikel Promises,
Morals, and the Law, Oxford University Press, 1981.
Brown, Ian & Chandler, Adrian. Law of Contract-Blackstone’s
Q&A, Oxford University Press, U.S.A., 2005.
Cooter, Robert & Ulen, Thomas. Law & Economics, 5th
edition, Pearson Addison Wesley, London, 2008.
Emerson, Robert W. Business Law, Barron’s Educational
Series, New York, 2009.
Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary, 8th Edition-
Standard Edition, Thomson West, U.S.A., 2004.
Gillies, Peter. Australian Business Law, 7th edition, The
Federation Press, Sydney, 1995.
Gunawan, Johanes. “Penggunaan Perjanjian Standard dan
Implikasinya Pada Asas Kebebasan Berkontrak”, Majalah
Padjadjaran, No. 3-4, 1987.
Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian; Asas
Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, LBM,
Yogyakarta, 2008.
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia, menurut system Engelbrecht, PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta, 2006.
Holmes, Oliver Wendell Jr. The Common Law, The John
Harvard Library, USA, 2009.
Ibrahim, Jonannes. Cross Default & Cross Collateral, Refika
Aditama, Bandung, 2004.
Ivamy, E.R. Hardy. Law Dictionary, 11th edition,
Butterworths & Co., U.K, 1993.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Media Pustaka, Jakarta,
2009.
Martin, Elizabeth A. Oxford Law Dictionary; A concise
Dictionary of Law, 2nd edition, Oxford University
Press, Oxford, 1990.
May & Brown. Philosophy of Law; The Practice of promising;
P.S. Atiyah, Wiley-Blackwell, U.K., 2010.

188
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Liberty, Yogyakarta, 2003.
Morrison, Wayne. Jurisprudence-from the Greeks to Post
Modernity, Cavendish Publishing, UK, diterjemahkan
dual bahasa oleh Zhang Wan Hong, 2002.
Posner, Richard A. Economic Analysis of Law, seventh edition,
Aspen Publishers, New York, 2007.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo & Pohan, Marthalena.
HukumPerikatan, Bina Ilmu, Surabaya, 1984.
Puspa, Yan Pramadya. Kamus Hukum Bahasa Belanda,
Indonesia, Inggris, Aneka Ilmu, Semarang, 1977.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000.
Saherodji, Hari. Pokok-pokok Hukum Perdata, Aksara Baru,
Jakarta, 1980.
Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari
Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan
yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit
Bank Di Indonesia,
Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1980.
Subekti. Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
_____ & Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Pradnya Paramita, Jakarta, 2007.
Sugianto, Fajar. Analisis Ke-ekonomian Tentang Hukum Dalam
Kontrak Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah Pada
Bank Umum, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum
Untag Surabaya, Surabaya, 2011.
_____, Basic Elements of Legal Writing-Legal English Review
Book, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945,
2013.
_____, Economic Analysis of Law, Seri I: Pengantar, Prenada
Media Group, Jakarta, 2013.
_____, The Economic Approach To Law, Seri II, Prenada Media
Group, Jakarta, 2013.
Suharnoko & Hartati, Endah. Doktrin Subrogasi, Novasi, dan
Cessie, Prenada Media Group, Jakarta, 2005.

189
Supancana, I.B.R. Hukum Kontrak Internasional (Kerangka Teori
dan Pedoman Praktek), Seri Publikasi Center for
Regulatory Research.
Suryodiningrat, R.M. Azas-azas Hukum Perikatan, Tarsito,
Bandung, 1995.
Tay, Catherine Swee Kian & Tang, See Chim. Contract Law,
2nd edition, Marshall Cavendish International (Asia),
Singapore, 2000.
Walter J. Wessels. Economics, Barron’s Educational Series,
USA, 2006.
Yahman. Karakteristik Wanpprestasi dan Tindak Pidana
Penipuan; yang Lahir Dari Hubungan Kontraktual,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2011.

Situs internet:
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/
default/files/pedoman_umum-
ejaan_yang_disempurnakan.pdf
http://www.ejustice.just.fgov.be/cgi_loi/loi_a1.pl?imgcn.x
=43&imgcn.y=9&DETAIL=1804032132/N&caller=list&row_i
d=1&numero=6&rech=11&cn=1804032132&table_name=WE
T&nm=1804032152&la=N&dt=BURGERLIJK+WETBOEK+-
&language=nl&fromtab=wet&sql=dt+contains++'BURGERL
IJ
K'&+'WETBOEK'&tri=dd+AS+RANK+&trier=afkondiging
http://www.juriglobe.ca/eng/sys-juri/class-poli/sys-
mixtes.php
http://www.jus.uio.no/lm/wu.contract. principles. part1.1-
997/
http://www.singaporelaw.sg/
http://www.unidroit.org/english/principles/contracts/ma
in.htm

190
GLOSARIUM

Acquisitive verjaring:
lampau waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu
barang.
Adversarial Process:
argumen hukum dari para pihak (Penggugat dan Tergugat)
yang dibuat ekslusif oleh kuasa hukumnya, hakim tidak
diperbolehkan untuk membuat alur pertanyaan atau
mengembangkan argumen selama persidangan.
Asas Konsensualisme:
asas hukum kontrak yang menekankan bahwa suatu
perikatan telah lahir pada saat kata sepakat antara para
pihak, dan perikatan semacam ini sah tanpa memerlukan
suatu formalitas. Asas ini juga menitikberatkan kepada
unsur saling menerima secara bulat dan menyetujui tanpa
keberatan.
Attestation:
bagian kaki atau penutup kontrak yang berisikan
testimonium dan validasi.
Bonafide:
lihat Prinsip Itikad Baik.
Case law:
sengketa hukum di pengadilan diselesaikan pada basis
kasus-per-kasus yang putusannya mengikat pengadilan lain
untuk dijadikan dasar hukum untuk menjatuhkan putusan
serupa seperti kasus serupa sebelumnya (case-by-case-basis).
Cessie:
suatu perbuatan pemindahan suatu piutang kepada
seseorang yang telah membeli piutang.
Contra preferentum:
against offeror; pengaturan hukum kontrak yang menentukan
bahwa jika terdapat ambigu dalam klausul, maka harus

191
ditafsirkan berlawanan dengan pihak yang bersikeras
memasukan klausl tersebut dalam kontrak.
Derden beding:
janji-janji dalam persetujuan yang disetujui oleh pihak
ketiga.
Doktrin Frustation:
doktrin hukum kontrak yang menguraikan ketidak
mungkinan pelaksanaan prestasi kontrak karena terjadi
perubahan fundamental terhadap pertukaran kontraktual.
Ketidak-mungkinan ini sering dipersamakan dengan doktrin
impossibility of contract atau hardship.
Doktrin Gross Disparity:
doktrin hukum kontrak yang melarang adanya perbedaan
mencolok para kontraktan.
Doktrin Merger:
doktrin hukum kontrak yang menjelaskan penggabungan
bentuk-bentuk persetujuan para pihak yang dilebur menjadi
satu kontrak.
Doktrin Mistake:
doktrin hukum kontrak yang menguraikan 3 jenis kesalahan,
yaitu kesalahan umum, kesalahan bersama, dan kesalahan
unilateral.
Doktrin Objectivity:
doktrin hukum kontrak yang menekankan kepada
objektivitas kontrak, yaitu tindakan aktual para kontraktan
sesuai dengan peruntukan kontrak, apakah signifikan
dengan isi dan bentuk kontrak.
Doktrin Privity of Contract:
doktrin hukum kontrak yang oleh karena hubungan
kontraktual memperbolehkan sesama pihak kontraktan
untuk saling menggugat tetapi melepaskan tuntutan hukum
kepada pihak ketiga lainnya karena dianggap tidak
mengetahui risiko dasar kontrak.

192
Doktrin Promissory Estoppel:
doktrin larangan menyangkal janji yang sudah diberikan,
terutama larangan penarikan penawaran. Prinsip ini
menekankan kepada penarikan janji jika seseorang telah
menyebabkan orang lain untuk bertindak dengan cara
tertentu akibat dari penawarannya, maka si penawar
dilarang untuk menyangkal terhadap fakta itu.
Doktrin Undue Influence:
doktrin hukum kontrak yang melarang adanya pengaruh
tidak layak, baik dengan pengaruh, kekuasaan, hingga
mengelabui kepercayaan sehingga pihak satunya
terpengaruh untuk berkontrak.
Doktrin unjust enrichment:
doktrin hukum kontrak yang melarang kontraktan menjadi
oportunis dengan memperkaya dirinya secara tidak layak
melalui pengeksploitasian kelemahan kontraktan satunya.
Engkelvoleinding:
sifat alternatif dalam perikatan dengan pilihan atau yang
boleh dipilih oleh salah satu pihak di mana terdapat dua
atau lebih prestasi.
Equity:
dasar faham keadilan dengan memberlakukan kelaya-
kan/kewajaran dan keadilan, umumnya dipakai untuk
menyelesaikan sengketa dan tuntutan-tuntutan dari pihak-
pihak yang berkepentingan.
Ex Contractu:
keharusan untuk para kontraktan untuk mengerti tentang
hal-hal yang menjadi prestasinya sebagaimana tertuang
dalam kontrak, sehingga para pihak dapat menjalankan
semua hak dan kewajiban yang mengikat kontraktual itu
sesuai dengan kontrak.
Extinctive verjaring:
lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau
dibebaskan dari tuntutan.
193
Fair dealing:
prinsip hukum kontrak yang menekankan kepada transaksi
berimbang sebagai salah satu wujud itikad baik kontraktan.
Force majeure:
Suatu peristiwa atau akibat yang tidak dapat diantisipasi
atau tidak dapat dikendalikan. Istilah ini termasuk pada
bencana alam (seperti banjir dan angin badai) dan perbuatan
manusia (seperti kerusuhan, pemogokan, dan peperangan).
Freedom of contract:
lihat Prinsip Kebebasan Berkontrak.
Gevaarzettingstheorie:
teori hukum kontrak yang menjelaskan bahwa setiap orang
bertanggung jawab atas akibat-akibatnya, apabila ia
mengadakan kemungkinan yang berbahaya
Good faith:
lihat Prinsip Itikad Baik
Habendum:
bagian badan atau isi kontrak yang pada pokoknya berisikan
seluruh hak-kewajiban kontraktual (contractual provision)
melalui ketentuan klausul-klausul yang dibuat dan diurut
sesuai dengan substansi kontrak.
Hapusnya perikatan karena berlakunya syarat batal: syarat
batal merupakan ketentuan isi persetujuan yang telah saling
disetujui oleh kedua belah pihak. Syarat itu kalau tidak
dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal sehingga
perikatan menjadi hapus. Syarat batal pada asasnya berlaku
surut sejak perikatan itu dilahirkan.Perikatan batal
dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah
ada perikatan.
Hapusnya perikatan karena kebatalan dan pembatalan:
suatu kebatalan terjadi demi hukum ketika persetujuan tidak
memenuhi syarat obyektif. Akibat hukum terhadap
persetujuan yang dibuat oleh orang-orang yang tidak cakap
untuk bertindak sendiri, dibuat dengan paksaan, kekhilafan,
194
penipuan, atau mempunyai sebab atau causa yang
bertentangan dengan undang-undang kesusilaan, ketertiban
umum adalah “dapat dibatalkan” (vernietigbaar). Dengan
pembatalan ini, keadaan antara kedua belah pihak
dikembalikan semula seperti belum ada persetujuan.
Hapusnya perikatan karena kedaluwarsa: lewatnya waktu
seseorang untuk memperoleh hak milik dapat dibebaskan
dari perikatan. Dengan lewatnya waktu yang ditentukan
maka perikatan hapus.
Hapusnya perikatan karena musnahnya benda yang
terutang: apabila barang tertentu yang menjadi objek
perikatan musnah atau tidak dapat diperdagangkan atau
hilang di luar kesalahan debitur, sebelum ia lalai
menyerahkan pada waktu yang telah ditentukan maka
perikatan menjadi hapus.
Hapusnya perikatan karena pembaharuan utang:
pembaharuan utang (novasi) pada dasarnya dapat terjadi
karena disebabkan oleh pergantian: (i) suatu pembuatan
perikatan baru yang menghapuskan suatu perikatan lama;
atau (ii) debitur lama dengan debitur baru, kreditur lama
dengan kreditur baru, utang lama diganti utang yang baru.
Hapusnya perikatan karena pembayaran: hapusnya
perikatan karena pelaksanaan atau pemenuhan perikatan
secara sukarela, tidak ada paksaan atau eksekusi disebut
pembayaran. Pembayaran dapat berupa uang, penyerahan
barangyang dijual oleh penjualnya, pekerja yang melakukan
pekerjaan untuk majikan.
Hapusnya perikatan karena pembebasan utang: jika si
berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki
lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas
pembayaran atau pemenuhan perikatan, maka pembebasan
utang semacam ini mengakibatkan hapusnya perikatan.
Hapusnya perikatan karena penawaran pembayaran tunai
disertai penitipan: (consignatie) suatu penawaran pembaya-
195
ran tunai dapat disertai dengan penitipan ketika si
berpiutang tidak mau menerima pembayaran barang atau
uang yang hendak dibayarkan oleh si berhutang yang
dibawa atau diantar kepada si berpiutang.
Hapusnya perikatan karena pencampuran utang: terjadi
apabila kedudukan kreditur dan debitur menjadi satu
berada dalam satu tangan atau terjadi demi hukum secara
otomatis.
Hapusnya perikatan karena penjumpaan utang: perjumpaan
utang (compensatie) merupakan salah satu cara penghapusan
utang memperhitungkan utang-piutang masing-masing
pihak sehingga salah satu perikatan menjadi hapus.
Harmonization law atau uniformity law:
lihat Unidroit Principles of International Commercial
Contract.
Hybrid Law atau Composite Law:
lihat Tradisi Mixed Legal System.
Inquisitional process:
hukum acara peradilan bagi hakim untuk mengambil peran
aktif dalam mencari undang-undang (bukan dalam
persidangan) yang dapat dijadikan dasar putusannya. Peran
aktif hakim semacam ini biasanya diwujudkan dalam
mengarahkan pertanyaan-pertanyaan dan mengembangkan
argumen untuk mengungkap kebenaran.
Intention To Create Legal Relation:
penekanan terhadap para pihak dalam persetujuan untuk
menenjukan niatannya menciptakan hubungan hukum,
sehingga hubungan ini mengikat dan memiliki konsekuensi
hukum.
Judge-made law:
cara hakim menemukan hukum baru (rediscovering) dalam
keseragaman case law. Mereka dibenarkan untuk menemu-
kan hukum dengan mengacu kepada precedent dan norma-

196
norma sosial, atau dengan persyaratan rasionalitas kebijakan
publik
Juridische overmachtstheorie:
teori hukum kontrak yang memperjelas bahwa overmacht
tidak hanya memperhatikan unsur kesalahan tetapi juga
memperhatikan risiko yang harus ditanggung jika
kontraktan tetap diharuskan memenuhi kewajiban
kontraktualnya (teori overmacht juridis).
Kecakapan:
unsur yang menentukan apakah subjek hukum tertentu
memenuhi atau memiliki kapasitas hukum untuk
berkontrak; syarat kedua agar persetujuan menjadi sah.
Kerugian biaya kesempatan:
opportunity cost damages; kerugian yang dapat diukur dengan
cara mengembalikan posisi korban (pihak yang diingkari)
menjadi tidak berbeda dengan ingkar dan pelaksanaan
kontrak alternatif lainnya.
Kerugian yang bergantung:
reliance damages; kerugian imateriil yang dapat diukur
dengan cara mengembalikan posisi korban (pihak yang
diingkari) menjadi tidak berbeda dengan tidak ada kontrak
sebelumnya dan ingkar
Kerugian yang terekspektasi:
expectation damages; kerugian materiil yang dapat diukur
dengan cara mengembalikan posisi korban (pihak yang
diingkari) menjadi tidak berbeda antara pelaksanaan dan
ingkar.
Kesepakatan:
unsur saling menerima secara bulat dan saling menyetujui
tanpa keberatan; syarat pertama agar persetujuan menjadi
sah.
Klausul definisi:
klausul kontrak yang berisikan tentang definisi keperluan
kontrak, terutama perihal obyek kontrak dan istilah-istilah
197
yang digunakan-umumnya jika berbeda dengan ketentuan
umum atau pengertian kolektif.
Klausul penunjang:
klausul kontrak yang berisikan tentang ketentuan-ketentuan
pendukung yang bersifat sambungan substansi kontrak,
misalnya klausul-klausul seperti: kompensasi ganti
kerugian, force majeure, addendum, kewajiban pemberian
notice, peng-akhiran/pembatalan, domisili hukum, pilihan
bahasa yang diacu (dalam hal kontrak dual bahasa),
pembebasan tuntutan hukum
Klausul spesifik:
klausul kontrak yang berisikan tentang hal-hal lebih khusus
atau detil tentang transaksi atau pertukaran yang akan
dilakukan, juga memuat hal-hal lebih khusus tentang
pembagian kewajiban para pihak.
Klausul title:
klausul kontrak yang berisikan tentang alas hak para pihak
sebagai pihak yang berwenang menurut hukum untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu.
Klausul transaksi:
klausul kontrak yang berisikan tentang hal-hal pokok
pertukaran berupa hak dan kewajiban yang berimbang, serta
pengaturan umum dan tata cara dasar transaksi yang
dilakukan oleh para kontraktan.
Komparisi:
sub bagian dari kepala/pembuka atau preamble kontrak yang
umumnya berisikan tentang keterangan para pihak sebagai
kontraktan.
Kontrak:
piranti tertulis persetujuan atau perjanjian yang lengkap
dengan memenuhi syarat-syarat tekhnis yang ditentukan
oleh hukum.

198
Legal binding:
kekuatan pengikatan hukum; lihat prinsip Pacta Sunt
Servanda.
Minderjarig:
ketidakcakapan salah satu pihak dalam persetujuan karena
dilakukan oleh anak dibawah umur.
Moratoir:
lihat wanprestasi
Mutual agreed promises:
janji bertimbal balik; lihat Prinsip considerations.
Negligent:
lihat wanprestasi
Novasi:
lihat Pembaharuan Utang.
Offer dan Acceptance:
lihat Prinsip Penawaran dan Penerimaan.
Overeenkomst:
lihat persetujuan/perjanjian.
Overmacht:
keadaan memaksa/kahar yang menunda sementara atau
menghentikan seterusnya perstasi kontraktual.
Pembaharuan utang:
pembaharuan utang yang dapat terjadi karena pergantian:
(i) suatu pembuatan perikatan baru yang menghapuskan
suatu perikatan lama; atau (ii) debitur lama dengan debitur
baru, kreditur lama dengan kreditur baru, utang lama
diganti utang yang baru; novasi.
Perikatan alternatif:
perikatan dengan pilihan atau yang boleh dipilih oleh salah
satu pihak di mana terdapat dua atau lebih prestasi.
Perikatan bersyarat:
(voorwaardelijk) adalah bersyarat jika digantungkan pada
suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan memang belum
terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya

199
perikatan itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun
dengan cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada
terjadi tidaknya persitiwa itu.
Perikatan dengan ancaman hukuman:
(strafbeding) merupakan perikatan yang mencantumkan
syarat ancaman hukuman untuk menjamin pelaksanaan
perikatan. Apabila debitur lalai memenuhi perikatan,
ancaman hukuman ini dianggap sebagai pengganti kerugian
yang diderita oleh kreditur sebagai akibat hukum tidak
dipernuhinya perikatan oleh debitur.
Perikatan dengan syarat waktu:
suatu syarat waktu (termijn) yang tidak menangguhkan
lahirnya perikatan seperti syarat dalam perikatan bersyarat,
melainkan hanya menunda atau menagguhkan pelaksanaan
prestasi saja. Syarat waktu juga sering digunakan sebagai
jangka waktu berlakunya persetujuan atau perikatan.
Perikatan tanggung-menanggung:
(solider) suatu perikatan apabila para pihaknya antara
seorang kreditur berhadapan dengan beberapa orang
debitur, atau sebaliknya. Dalam hal salah satu debitur
membayar seluruhnya maka debitur yang lain dibebaskan
pembayarannya. Jenis perikatan ini harus ditentukan secara
tegas, tidak boleh secara diam-diam.
Perikatan yang dapat dibagi:
pemenuhan kewajiban yang dapat terbagi, misalnya salah
satu pihak meninggal dunia sehingga digantikan oleh ahli
waris dalam hak-haknya juga pembayaran hutang-
hutangnya, sehingga pemenuhan hutang terbagi kepada ahli
waris.
Perikatan yang tidak dapat dibagi:
kecuali tidak saling disetujui antara para pihak, suatu
perikatan tidak dapat dibagi-bagi sebab si berpiutang selalu
berhak menuntut pemenuhan persetujuan untuk
seluruhnya.
200
Perikatan:
perhubungan hukum antara dua orang/pihak atau lebih
yang saling memiliki perhubungan saling mengikat, dalam
hal mana pihak yang satu berhak atas sesuatu, sedangkan
pihak lainnya berkewajiban untuk memenuhi sesuatu.
Perjanjian:
lihat Persetujuan.
Persetujuan:
perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri
terhadap satu orang lain atau lebih; Perjanjian.
Plus-sum:
suatu transaksi yang menghasilkan keuntungan (moneter
dan atau non-moneter).
Prakontrak:
pernyataan tentang kesepamahan awal para pihak yang
berencana masuk ke dalam persetujuan yang lebih rinci
sebelum pengikatan.
Preamble:
bagian kepala atau pembuka kontrak yang berisikan: (i)
kepala/judul kontrak: (ii) komparisi; dan (iii) recital.
Precedent:
yurisprudensi tetap; putusan pengadilan terhadap perkara
tertentu yang telah diputus sebelumnya untuk dijadikan
dasar hukum terhadap putusan perkara yang sama.
Prestasi:
pelaksanaan hak dan kewajiban kontraktual antara para
kontraktan sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam
kontrak yang saling disetujui untuk dipertukarkan; Prestatie.
Prinsip Bargaining Equality:
prinsip hukum kontrak yang mengharuskan adanya
persamaan posisi tawar-menawar antara para pihak
sehingga mampu menciptakan keseimbangan dalam
kontrak.
Prinsip Consideration:

201
prinsip yang menekankan kepada pentingnya janji bertimbal
balik (janji dibalas dengan janji).
Prinsip Efisiensi:
prinsip yang menekankan kepada hasil perolehan yang
sebesar-besarnya dengan pengorbanan/usaha yang
minimal.
Prinsip Equity:
prinsip hukum kontrak yang berdasarkan pada faham
keadilan dengan memberlakukan kelayakan dan keadilan,
umumnya dipakai untuk menyelesaikan sengketa dan
tuntutan-tuntutan dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Prinsip Fulfilling Reasonable Expectations:
prinsip hukum kontrak yang menjaga pertukaran ekspektasi
keuntungan yang saling bertimbal balik antara para
kontraktan.
Prinsip Information as Label:
prinsip hukum kontrak yang menekankan kepada pertu-
karan informasi secara bebas dan saling terbuka dari dan
antara para pihak untuk membantu ketepatan transaksi
dalam kontrak.
Prinsip Interpretasi Kontrak:
prinsip yang menekankan kepada penggunaan bahasa
kontrak yang mudah dan luas untuk mengisi kekosongan
akibat kekakuan bahasa hukum.
Prinsip Itikad Baik:
prinsip yang menekankan kepada kejujuran, kesetiaan dan
kepatuhan berkontak, terutama terhadap janji pemenuhan
prestasi yang tertuang dalam kontrak.
Prinsip Kebebasan Berkontrak:
prinsip yang setiap orang mempunyai hak untuk mengi-
katkan diri secara hukum; konsep hukum terhadap kontrak
yang dibuat berdasarkan kesepakatan timbal balik dan
pilihan bebas, dan sehingga pembentukannya bebas dari
campur tangan pihak luar.
202
Prinsip Kedaulatan Hukum Nasional:
prinsip yang menundukan diri pada hukum nasional
tertentu ketika perbuatan hukum atau peristiwa hukum
yang tertuang dalam kontrak terjadi di dalam wilayah
negara tersebut.
Prinsip Konsensualisme:
prinsip yang menitikberatkan kepada unsur kesepakatan
yang konsensus untuk melahirkan perikatan, sehingga para
pihak saling menerima secara bulat dan saling menyetujui
tanpa keberatan.
Prinsip Lex Mercatoria:
(konseptual) hukum dagang yang diciptakan oleh komu-
nitas dagang untuk mengakomodir kebutuhan perdagangan
internasional; (fungsional) diklasifikasikan sebagai praktek
kebiasaan yang membentuk kepatutan dan kebiasaan
sebagai salah satu tata cara melaksanakan kontrak.
Prinsip Pacta Sunt Servanda:
prinsip daya mengikat kontrak atau kekuatan mengikat
antara para kontraktan untuk mentaati isi kontrak
selayaknya keharusan untuk mentaati Undang-Undang.
Prinsip Penawaran dan Penerimaan:
prinsip yang memformulasikan kesepakatan konsensus
melalui mekanisme penawaran (offer) dan penawaran
tersebut diterima melalui penerimaan (acceptance)
Prinsip Remedy:
prinsip hukum kontrak yang mengarah kepada perbaikan
atau pembetulan kontrak dalam hal tanggung-gugat
kontraktual salah satu kontraktan tidak mejalankan
prestasinya. Pada penerapan melalui perspektif ini, prinsip
remedy menekankan kepada penentuan ganti kerugian
sebagai kompensasi kecederaan atau kerugian (damages)
akibat wanprestasi.
Prinsip spremacy:
lihat prinsip kedaulatan hukum nasional.
203
Prinsip Utilitas:
prinsip yang merefleksikan kemanfaatan dan faedah
kontrak.
Prinsip Voluntary Transfer:
prinsip hukum kontrak yang menekankan kepada penting-
nya kesukarelaan pertukaran kontraktual dari dan antara
para kontraktan.
Promissory estoppel:
larangan penarikan janji yang sudah ditawarkan.
Reciprocity:
kecukupan terhadap janji yang dibalas.
Recital:
sub bagian dari kepala/pembuka atau preamble kontrak yang
umumnya berisikan tentang latar belakang terjadinya
kontrak itu, terkadang memuat esensi kesepakatan para
pihak untuk saling bersetuju dengan syarat dan ketentuan
dalam kontrak.
Remedy:
perbaikan atau pembetulan kontrak dalam hal tanggung-
gugat kontraktual salah satu kontraktan tidak mejalankan
prestasinya, umumnya tentang penentuan ganti kerugian
sebagai kompensasi kecederaan atau kerugian (damages)
akibat wanprestasi.
Ruling domicile:
klausul kontrak berisikan tentang domisili hukum yang
saling disepakati dan telah dipilih oleh para kontraktan jika
terjadi perselisihan kontrak.
Sistem Terbuka:
sistem hukum kontrak yang memberikan keleluasan kepada
para pihak untuk mengatur sendiri pola pembuatan hubu-
ngan hukum sehingga setiap orang atau pihak yang hendak
membuat persetujaun/perjanjian diberi kebebasan untuk
membuat perikatan yang mengatur hubungan hukum

204
mereka tentang apa saja, bentuk apa saja asalkan tidak
bertentangan dengan Undang-undang.
Standard contract:
kontrak baku berbasis take-it-or-leave-it-contract yang
mustahil untuk dilakukan negosiasi terhadap isi kontrak dan
tidak mungkin untuk merubah substansi kontrak.
Stare decisis:
doktrin hukum kontrak yang mengharuskan penggunaan
precedent sebelumnya untuk dijadikan dasar hukum
terhadap putusan perkara yang sama.
Suatu Pokok Persoalan:
hal atau obyek tertentu dalam persetujuan, umumnya
disebut dengan barang yang diperdagangkan dan dapat
ditentukan jenis-jenisnya; syarat ketiga agar persetujuan
menjadi sah.
Suatu sebab yang tidak dilarang: isi persetujuan yang harus
diperbolehkan oleh undang-undang dan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum serta kesusilaan; syarat keempat
agar persetujuan menjadi sah.
Subrogatie:
penggantian hak-hak kreditur oleh pihak ketiga yang
membayar kepada kreditur.
Sufficiency:
unsur kecukupan dalam imbalan janji sehingga pertukaran
janji menjadi berimbang dan bertimbal balik.
Testimonium:
sub bagian dari attestation yang memuat pernyataan tegas
terhadap prosesi pembuatan dan penanda-tanganan
kontrak, seperti rangkap yang dibuat dan dimiliki masing-
masing pihak, serta kekuatan/beban hukum yang sama
terhadap salinan kontrak yang dibuat dan ditanda-
tanganinya itu.

205
Tradisi Civil Law:
tradisi system hukum yang memiliki ciri khas dalam hal
pembentukan aturan-aturan hukum dalam undang-undang
melalui badan atau institusi legislatif yang khusus
membentuk dan mengundangkan undang-undang. Tradisi
ini tidak mengkategorikan putusan pengadilan sebagai
sumber hukum, walaupun pada prakteknya yurisprudensi
putusan pengadilan sering dijadikan acuan untuk menjaga
konsistensi putusan-putusan pengadilan dalam perkara
yang serupa.
Tradisi Common Law:
tradisi sistem hukum yang badan peradilannya terikat untuk
menggunakan yurisprudensi tetap (precedent) sebagai dasar
hukum dalam menyelesaikan sengketa serupa. Tradisi ini
juga sering diidentikan dengan ciri khas case-by-case-basis,
yang artinya sengketa hukum di pengadilan diselesaikan
pada basis kasus-per-kasus yang putusannya mengikat
pengadilan lain untuk dijadikan dasar hukum untuk
menjatuhkan putusan serupa seperti kasus serupa
sebelumnya.
Tradisi Mixed Legal System:
tradisi sistem hukum yang mencampurkan dua sistem
hukum atau lebih, umumnya interaksi tradisi Civil Law dan
Common Law, dan juga pencampuran dengan tradisi hukum
lain, misalnya hukum adat (customary law), hukum agama
(religious law).
Tradisi Unification Law:
tradisi sistem hukum yang mengharmonisasikan perbedaan
tradisi-tradisi hukum yang ada sebagai sistem hukum yang
terunifikasi.
Transaction Cost:
seluruh biaya yang harus dikeluarkan dalam melakukan
pertukaran; atau hal-hal yang menghambat suatu
pertukaran (bargaining).
206
Trial before a jury:
acara pemeriksaan perkara ata uji coba sebelum juri, hakim
berwenang untuk memutuskan pertanyaan hukum apakah
sengketa ini layak dipersidangkan, sedangkan tim juri
diharuskan untuk memutuskan pertanyaan faktual.
Unidroit Principles of International Commercial Contract:
aturan-aturan umum kontrak komersial internasional
berdasarkan penundukan para kontraktan di bawah prinsip-
prinsip umum hukum dan lex mercatoria.
Validasi:
sub bagian dari attestation yang pada intinya merupakan
bagian penempatan ruang tandatangan para pihak dengan
menyebut nama dan jabatan/kapasitas sebagaimana tertera
pada bagian komparisi.
Verbintenis:
lihat perikatan.
Verklarring Theorie atau teori pernyataan:
teori hukum kontrak yang menjelaskan bahwa perumusan
suatu persetujuan tidak terletak pada kehendak tetapi
terletak pada pernyataan yang diberikan oleh para pihak
yang saling mengerti.
Vertrouwenstheorie atau teori pernyataan yang dapat
diterima:
teori hukum kontrak yang menjelaskan bahwa hanya
pernyataan yang secara umum dianggap layak dan dapat
diterima lah menjadi dasar terjadinya persetujuan. Jika
pernyataan itu sesuai dengan kehendak si pemberi
pernyataan tersebut dan dapat diterima, maka kesepakatan
telah terjadi.
Wanprestasi:
tidak dilaksanakannya prestasi sebagaimana seharusnya
yang ditentukan menurut kontrak terhadap kontraktran
tertentu seperti yang diuraikan dalam kontrak.

207
Wilstheorie atau teori kehendak:
teori hukum kontrak yang menjelaskan bahwa kehendaklah
yang menjadi dasar membuat persetujuan. Kehendak ini
lahir dari adanya keinginan yang mencerminkan
persetujuan untuk mengikatkan diri.
Zero-sum:
suatu transaksi yang tidak menghasilkan keuntungan, tetapi
tidak rugi.

208
LAMPIRAN I

209
PERSETUJUAN SEWA-MENYEWA GUDANG

Masing-masing yang bertanda-tangan di bawah ini:


Nama :
KTP No. :
Pekerjaan :
Alamat :
Untuk selanjutnya di dalam Persetujuan Sewa-Menyewa ini
disebut Pihak Kesatu.

Nama :
KTP No. :
Pekerjaan :
Alamat :
Untuk selanjutnya di dalam Persetujuan Sewa-Menyewa ini
disebut Pihak Kedua.

Dalam Persetujuan Sewa-Menyewa ini, Pihak Kesatu dan


Pihak Kedua secara bersama-sama disebut dengan para
pihak; secara sendiri-sendiri disebut Pihak Kesatu atau
Pihak Kedua sesuai dengan maksudnya; Persetujuan Sewa-
Menyewa selanjutnya cukup disebut dengan persetujuan;
dan kata gudang berarti sebidang tanah berikut gudang
yang berdiri di atasnya.

TERLEBIH DAHULU MENERANGKAN:


a. Bahwa Pihak Kesatu bermaksud dan berkeinginan untuk
menyewa gudang yang diakui tiada milik orang lain
selain Pihak Kedua;
b. Bahwa Pihak Kesatu menawarkan keinginannya tersebut
kepada Pihak Kedua untuk melakukan sewa-menyewa
gudang milik Pihak Kedua itu;

210
c. Bahwa Pihak Kedua menyatakan sanggup, tidak
berkeberatan serta menerima tawaran sewa-menyewa
dari Pihak Kesatu tersebut;
d. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka
para pihak telah saling bersepakat dan bersetuju untuk
membuat dan menuangkan masing-masing tujuannya
dan keinginannya yang kemudian ditetapkan ke dalam
persetujuan ini;
e. Bahwa para pihak dengan dilandasai itikad baik serta
prinsip saling menguntungkan telah dicapai kesepakatan
untuk membuat persetujuan, sebagaimana dengan ini
saling bersetuju dan berjanji untuk tunduk di bawah
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Bahwa Pihak Kedua mengaku sebagai pemilik sah atas
gudang yang terletak di jalan ________________ dengan
luas sebesar ________ berdasarkan ______________ yang
dalam persetujuan ini menjadi obyek persetujuan.
2. Bahwa Pihak Kedua menjamin kepada Pihak Kesatu,
obyek persetujuan bukan milik orang/pihak lain baik
sebagian dan atau seluruhnya, tidak dalam sengketa dan
atau pernah terjadi sengketa dengan orang/pihak lain.
3. Bahwa Pihak Kedua juga menjamin kepada Pihak Kesatu,
obyek persetujuan tidak sedang dan tidak akan diadakan
segala bentuk persetujuan/ikatan lain dan atau
kewajiban-kewajiban dengan orang/pihak lain, dan
karenanya Pihak Kesatu tidak akan mendapat tuntutan
dan atau gugatan dari siapapun juga yang menyatakan
mempunyai hak atau ikut berhak atas obyek persetujuan
baik terlebih dahulu dan atau setelah adanya persetujuan
ini.
4. Bahwa para pihak telah bersama-sama menentukan harga
sewa atas obyek persetujuan sebesar Rp. ________
(______________) selama __ (___) tahun atau dengan kata
lain berakhir pada tanggal ___ bulan ____ tahun ____
211
terhitung sejak persetujuan ini ditanda-tangani oleh para
pihak secara bersamaan.
5. Bahwa harga sewa atas obyek persetujuan tersebut di atas
sudah termasuk pajak dan segala macam retribusi daerah
yang menjadi tanggung-jawab Pihak Kedua, namun tidak
termasuk pada biaya penggunaan telepon, listrik, dan air
yang menjadi tanggung-jawab Pihak Kesatu untuk
membayarnya langsung kepada badan/instansi terkait.
6. Bahwa Pihak Kedua tidak akan mengenakan atau tidak
akan membebankan atau tidak akan memungut bunga
dan segala macam biaya lainnya selain harga sewa obyek
persetujuan ini kepada Pihak Kesatu.
7. Bahwa Pihak Kesatu tidak akan memotong atau tidak
akan membebankan suatu pungutan biaya apapun untuk
mengurangi biaya sewa obyek persetujuan ini kepada
Pihak Kedua.
8. Bahwa pembayaran harga sewa atas obyek persetujuan
ini akan dibayarkan penuh oleh Pihak Kesatu kepada
Pihak Kedua secara sekaligus dan seketika setelah
persetujuan ini ditanda-tangani oleh para pihak.
9. Bahwa atas pembayaran harga sewa atas obyek
persetujuan tersebut di atas, Pihak Kedua berkewajiban
untuk membuka dan memberikan kwitansi tanda
penerimaan pembayaran kepada Pihak Kesatu.
10.Bahwa selama persetujuan ini berlangsung, Pihak Kesatu
tidak dapat menyewakan kembali obyek persetujuan ini
kepada orang/pihak lainnya.
11.Bahwa selama persetujuan ini berlangsung, Pihak Kesatu
diberikan hak leluasa oleh Pihak Kedua untuk melakukan
segala kegiatan usahanya dengan menggunakan segala
fasilitas yang terdapat di dalam obyek persetujuan,
termasuk fasilitas gudang, sarana parkir, __________
sepanjang tidak melebihi atau melewati batas atau di luar
obyek persetujuan ini.
212
12.Bahwa apabila dianggap perlu oleh Pihak Kesatu, dengan
persetujuan dari Pihak Kedua, Pihak Kesatu dapat
melakukan hal-hal seperti penambahan dan atau
pengurangan bangunan dan fasilitas gudang, melakukan
dan mendirikan batas pagar bilamana terdapat batas-
batas obyek persetujuan yang belum dipagari/batasi oleh
Pihak Kedua, sepanjang tidak melewati/melebihi obyek
persetujuan ini.
13.Bahwa selama persetujuan ini berlangsung, Pihak Kesatu
berkewajiban untuk menjaga dan merawat secara baik
atas obyek persetujuan ini, termasuk melakukan
pembetulan-pembetulan, pengecatan kembali, menjaga
kebersihan, serta menjaga tata-tertib sekaligus mematuhi
adat kebiasaan setempat dalam menjalankan kegiatan
usahanya tersebut.
14.Bahwa selama persetujuan ini berlangsung, Pihak Kedua
berhak untuk datang dan memasuki obyek persetujuan
dengan memberi-tahukan terlebih dahulu kepada Pihak
Kesatu, hanya sebatas melakukan kunjungan atau
pemantauan kondisi obyek persetujuan.
15.Bahwa selama persetujuan ini berlangsung, apabila Pihak
Kesatu membutuhkan suatu bentuk bantuan, baik pikiran
dan atau tenaga mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan obyek persetujuan ini, maka Pihak
Kesatu dapat meminta bantuan tersebut kepada Pihak
Kedua dan Pihak Kedua menyatakan tidak berkeberatan
untuk itu, sepanjang tidak melawan atau bertentangan
dengan hukum yang berlaku.
16.Bahwa selama persetujuan ini berlangsung, apabila
terjadi force majeur atau suatu keadaan di luar
kemampuan, termasuk tetapi tidak terbatas seperti
perang, demonstrasi sipil, blockade, embargo,
pemberontakan, gempa bumi, badai, longsor, wabah
penyakit, dan perbuatan atau kehendak Tuhan lainnya,
213
maka Pihak Kesatu dibebaskan dari segala kerugian yang
timbul karenanya.
17.Bahwa selama persetujuan ini berlangsung, apabila
terjadi suatu kerugian materiil yang dikarenakan tidak
lancarnya kegiatan usaha Pihak Kesatu, maka Pihak
Kedua dibebaskan dari segala kerugian yang timbul
karenanya.
18.Bahwa dalam hal Pihak Kesatu tidak berkeinginan untuk
memperpanjang kembali persetujuan ini setelah masa
berlakunya habis, Pihak Kedua memberikan izin kepada
Pihak Kesatu selambat-lambatnya __ (____) hari kalender
untuk mengosongkan, mengembalikan seluruh obyek
sewa-menyewa seperti keadaan semula.
19.Bahwa dalam hal Pihak Kesatu bermaksud dan bertujuan
untuk memperpanjang kembali masa sewa dalam
persetujuan ini, maka Pihak Kesatu diwajibakan untuk
memberitahukan maksud dan tujuannya itu kepada
Pihak Kedua selambat-lambatnya __ hari kalender
sebelum masa berlakunya persetujuan ini habis.
20.Dalam hal Pihak Kedua tidak berkeberatan dan
menerima keinginan Pihak Kesatu untuk memperpanjang
kembali masa sewa dalam persetujuan ini, maka para
pihak akan membuat persetujuan yang baru dengan hal-
hal dan ketentuan-ketentuan yang akan disepakati
bersama.
21.Bahwa dalam hal terdapat ketentuan lain yang
dikemudian hari perlu dirubah, ditambah, diatur
kembali, maka para pihak bersetuju akan membuat
persetujuan tambahan atau adendum tersendiri secara
bersama-sama yang merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari persetujuan ini.
22.Bahwa para pihak telah bersetuju dan bersepakat bila
terdapat perselisihan yang timbul dikarenakan adanya
persetujuan ini, maka diutamakan akan diselesaikan
214
melalui musyawarah untuk mufakat. Akan tetapi bila
tidak tercapai kecocokan keinginan, maka para pihak
setuju dan sepakat memilih domisili hukum yang tetap
dan tidak berubah lagi yaitu di kantor Panitera
Pengadilan Negeri di _________.
Demikian hasil persetujuan ini berdasarkan kesepakatan
yang dihasilkan dari musyawarah mufakat yang kemudian
dimuat dan dibuat dalam Persetujuan Sewa-Menyewa
Gudang ini, serta ditanda-tangani oleh para pihak di
_______, pukul ____, pada hari ___ tanggal ___ bulan ___
tahun ___ sebagai bentuk mengikatnya persetujuan dalam
keadaan sadar/tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga.
Persetujuan ini dibuat dalam rangkap 2 (dua) dan telah
diberi materai cukup, sehingga masing-masing mempunyai
kekuatan hukum yang sama. Rangkap pertama diberikan
kepada Pihak Kesatu dan rangkap kedua diserahkan kepada
Pihak Kedua.
Pihak Kesatu Pihak Kedua

( ) ( )

Saksi-saksi:
1.
2.

215
LAMPIRAN II

216
PERJANJIAN KERJASAMA PENYEDIAAN GAS
OXIGEN MEDICAL GRADE

Masing-masing yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama :
KTP No. :
Alamat :
Pekerjaan :
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama
sebagaimana diatur dalam ayat
(1) Pasal 98 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas jo Pasal 11 Anggaran Dasar/Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART) yang dibuat di
Notaris di , pada hari ,
tanggal bulan tahun dengan nomor .
Dikarenanya dalam perjanjian ini sah dan berhak bertindak
untuk dan atas nama , untuk selanjutnya di-
sebut sebagai Pihak Kesatu.

Nama :
KTP No. :
Alamat :
Pekerjaan : Kepala Rumah Sakit
Untuk selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.

PARA PIHAK TERLEBIH DULU MENERANGKAN

a. Bahwa Pihak Kesatu dengan ini menawarkan pe-


nyediaan/supply gas kepada Pihak Kedua.
b. Bahwa Pihak Kedua dengan ini menyatakan
sanggup, tidak berkeberatan serta menerima ta-
waran Pihak Kesatu tersebut;
217
c. Sehubungan dengan maksud tersebut di atas,
maka Pihak Kesatu dan Pihak Kedua telah saling
bersepakat dan bersetuju untuk membuat dan
menuangkan masing-masing tujuan dan keingi-
nannya, yang kemudian ditetapkan ke dalam
Perjanjian Penyediaan ini.
d. Para pihak ini dengan ini menerangkan, bahwa
pada tanggal (tgl, bln, tahun) di ______, telah
bersepakat membuat perjanjian ini bersetuju dan
berjanji dengan syarat-syarat dan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut.

PASAL 1
DEFINISI UMUM

Yang dimaksud dalam Perjanjian Kerja Sama Penyediaan


Oxygen Medical Grade ini:
1.1. adalah sebuah badan hukum yang bidang
usahanya bergerak dalam industri dan perdagangan
gas.
1.2. Rumah Sakit adalah sebuah institusi pemerintah
bergerak di bidang kesehatan yang menyediakan pera-
watan/pengobatan terhadap pasien-pasien didukung
dengan para tenaga ahli dan dilengkapi dengan
peralatan-peralatan medis untuk itu.
1.3. Pasien adalah setiap orang yang memerlukan perha-
tian medis (medical attention), perawatan, dan atau
pengobatan, termasuk juga mereka yang memerlukan
pemeriksaan berkala/rutin (general check up).
1.4. Tenaga ahli medis adalah setiap orang yang cakap
secara medis melakukan analisa kesehatan, perawatan,
serta pengobatan secara sistematik-profesional kepada
setiap pasien yang memerlukan hal-hal itu.

218
1.5. Peralatan medis adalah peralatan yang diperuntukan
khusus bidang medis yang diantaranya membantu,
diagnosa, monitoring, perawatan medis yang didesain
khusus sesuai dengan ketentuan medis dan safety.
1.6. Agen adalah pihak ketiga lainnya yang menurut Pihak
Kesatu dan akan ditunjuk oleh Pihak Kesatu berke-
mampuan untuk melakukan pendistribusian obyek
perjanjian

PASAL 2
OBYEK PERJANJIAN

2.1 Pihak kesatu dan pihak kedua telah bersetuju bahwa


obyek perjanjian ini adalah O2 (oxygen) bidang medis,
LPG (Liquified Petroleum Gas), N2O (Nitrous Oxide).
2.2 Oxygen bidang medis adalah oxygen yang berwujud
gas yang menurut ketentuan standard Pihak Kedua
telah memenuhi segala kriteria standard bidang medis.
Oxygen bidang medis bukan peralatan medis, melain-
kan pelengkap/penunjang perkakas medis (supporting
medical tools), dan bukan diperuntukan diluar peng-
gunaannya.
Kriteria dimaksud: purity sampai dengan 99,999999%
(Ultra High Purity), tekanan tidak kurang dari 150 bar.
2.3 LPG adalah fuel gas yang digunakan untuk dan hanya
terbatas pada utilitas dapur. Pihak Kesatu bukan pihak
yang memproduksi LPG dimaksud, melainkan
penyalur melalui distributor yang ditunjuk oleh
Pertamina.
2.4 N2O adalah campuran nitrogen dan oxygen yang
berwujud gas, yang hanya digunakan Pihak Kedua
untuk pelengkap peralatan medis. Pihak Kesatu bukan
pihak yang memproduksi N20 dimaksud, melainkan

219
penyalur dari pabrik manufaktur yang telah ditunjuk
Pihak Kesatu untuk itu.
2.5 Pihak Kedua menyatakan bahwa obyek perjanjian
yang disediakan oleh Pihak Kesatu telah memenuhi
ketentuan standard medis dan utilitas, sehingga dapat
digunakan oleh Pihak Kedua sesuai dengan perun-
tukannya.

PASAL 3
TATA CARA PENYEDIAAN

3.1 Dalam hal pemenuhan kewajiban penyediaan obyek


perjanjian oleh Pihak Kesatu kepada Pihak Kedua,
terlebih dahulu Pihak Kedua menerbitkan Purchase
Order (PO) kepada Pihak Kesatu, yang kemudian oleh
Pihak Kesatu diterbitkan Nota/Surat Pengiriman
(Delivery Order) selambat-lambatnya 3 X 24 jam (tiga
kali dua puluh empat jam) akan dilakukan pengantar-
an yang kemudian oleh Pihak Kedua membuatkan
tanda terima untuk itu.
3.2 Demi kelancaran bersama, Pihak Kesatu berkewajiban
untuk melapor/memberi informasi tentang tang-
gal/hari, bulan, dan waktu pengiriman obyek perjan-
jian kepada Pihak Kedua baik melalui telepon, fax, e-
mail, atau Short Massaging Service (SMS);
3.3 Dalam hal terdapat keterlambatan pengantaran oleh
Pihak Kesatu kepada Pihak Kedua, maka kedua belah
pihak dapat melakukan re-koordinasi dan re-
schedulling tentang pengantaran obyek perjanjian di-
maksud.
3.4 Tiada pihak lain selain Pihak Kesatu, sebagai satu-
satunya yang ditunjuk oleh Pihak Kedua sebagai
pemasok/supplyer untuk penyediaan obyek perjanji-

220
an, sepanjang tidak ada kelalaian kewajiban dalam
perjanjian ini oleh para pihak.
3.5 Pihak Kesatu dalam melaksanakan penyediaan obyek
perjanjian dimaksud, harus mempunyai tanggung
jawab penuh atas penyediaan, penyetokan, pengantar-
an yang tidak termasuk dalam keadaan luar biasa atau
darurat atau force majeur, karenanya pelaksanaan
dimaksud harus dilaksanakan dengan baik dan tepat.
3.6 Pihak Kesatu bebas dapat menunjuk agen atau pihak
ketiga lainnya dengan mengacu pada semua syarat di
dalam perjanjian ini dan Pihak Kesatu tidak terlepas
dari tanggung jawab atas penunjukan tersebut.
3.7 Untuk maksud penunjukkan agen tersebut di atas,
perjanjian ini juga merupakan persetujuan memberi
kuasa kepada pihak ketiga dan hak subtitusi untuk
memberi kuasa kembali dengan berpegang kepada isi
perjanjian ini.
3.8 Dalam keadaan darurat atau keadaan luar biasa, yang
memerlukan tindakan langsung oleh salah satu pihak,
dapat mengambil langkah-langkah alternatif yang di-
anggap perlu atau disarankan untuk melindungi ke-
pentingan bersama sehubungan dengan perjanjian ini.
3.9 Pihak Kesatu dan Pihak Kedua dilarang memberikan
segala bentuk informasi, program kerja dan atau data-
data yang bersifat pribadi kepada Pihak Ketiga lainnya
tanpa mendapatkan persetujuan dan izin tertulis ter-
lebih dahulu dari salah satu pihak.

PASAL 4
PERALATAN DAN FASILITAS

4.1 Pihak Kesatu harus menyiapkan semua material sup-ply,


peralatan kerja, kendaraan dan fasilitas-fasilitas lain
yang diperlukan untuk penyediaan obyek perjanji-an
221
kepada Pihak Kedua atas biaya seluruhnya dipikul
Pihak Kesatu.
4.2 Pihak Kedua harus menyiapkan semua peralatan-
peralatan medis dan tenaga ahli yang diperlukan un-
tuk menjalankan/menggunakan/mengoperasikan ob-
yek perjanjian sesuai dengan peruntukannya.

PASAL 5
TATA CARA PEMBAYARAN

5.1 Setelah diterbitkannya Invoice/Tagihan oleh Pihak Ke-


satu kepada Pihak Kedua, Pihak Kedua menyanggupi
akan melakukan pembayaran dimaksud selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kepada Pihak Kesatu.
5.2 Pembayaran dimaksud di atas dapat dilakukan oleh
Pihak Kedua kepada Pihak Kesatu atau pihak lainnya
yang ditunjuk Pihak Kesatu dengan cara-cara:
- Cash/tunai;
- Cek dan atau giro;
- Telegraphic Transfer (TT) melalui Bank dan nomor
rekening __________, atas nama ________, Bank
_______.

PASAL 6
FORCE MAJEUR

6.1. Tidak dianggap kegagalan perjanjian oleh salah satu


pihak bilamana terjadi force majeur atau keadaan
diluar kemampuan.
6.2. Hal-hal yang dianggap force majeur adalah termasuk
tetapi tidak terbatas seperti perang, demonstrasi sipil,
putusan pengadilan, blockade, embargo, serangan dan
konflik pekerja, pemberontakan, gempa bumi, banjir,
badai atau longsor, ledakan, kebakaran, wabah peny-
222
akit, dan perbuatan atau kehendak Tuhan lainnya atau
disebabkan oleh penjahat.
6.3. Pihak yang mengalami force majeur di dalam menja-
lankan kewajibannya harus memberitahukan secara
tertulis kepada pihak lain, dengan menyatakan sebab
musababnya terjadinya keadaan diluar kemampuan
tersebut, dan kedua belah pihak harus berusaha keras
bersama-sama mengatasi permasalahan tersebut, baik
meminta pertolongan melalui Pemerintah sipil, Polisi
ataupun Militer.
6.4. Jika ada perbedaan dalam mengartikan keadaan force
majeur, termasuk perselisihan tentang hak dan kewa-
jiban didalam hal ini maka kedua belah pihak setuju
diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai
mufakat.

PASAL 7
KEGAGALAN & PENGHENTIAN PERJANJIAN

7.1. Kegagalan yang disebabkan tidak berkemampuan


masing-masing pihak untuk menjalankan perjanjian
ini tidak dapat dibebankan ke pihak lainnya.
7.2. Kegagalan yang disebabkan oleh salah satu pihak
harus dibuktikan terlebih dahulu kepada pihak lain-
nya.
7.3. Dalam hal terdapat penghentian perjanjian ini oleh
salah satu pihak, terlebih dahulu harus mendapatkan
persetujuan dan kesepakatan oleh kedua belah pihak.
7.4. Apabila penghentian perjanjian dalam angka 7.3
tersebut di atas terjadi, maka kewajiban dan atau tang-
gung jawab para pihak harus diselesaikan dan dipenu-
hi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

223
PASAL 8
DOMISILI HUKUM

Kedua belah pihak bersetuju bila terdapat perselisihan yang


timbul dikarenakan adanya ikatan kerja-sama ini, maka
diutamakan diselesaikan melalui musyawarah untuk mufa-
kat. Akan tetapi bila tidak tercapai kesepakatan, maka kedua
belah pihak setuju telah memilih domisili hukum yang tetap
dan tidak berubah lagi yaitu di Kantor Panitera Pengadilan
Negeri .

PASAL 9
KETENTUAN LAINNYA

9.1. Dalam hal terdapat kerusakan, kehilangan, tertukar-


nya silinder/tabung/gas milik Pihak Kesatu, maka
Pihak Kedua berkewajiban dan sanggup membayar
ganti rugi yang pantas sesuai dengan harga pasar
berdasarkan claim silinder/tabung yang diterbitkan
oleh Pihak Kesatu kepada Pihak Kedua.
9.2. Pihak Kesatu dengan ditanda-tanganinya perjanjian
ini, memberi izin kepada Pihak Kedua, atau pihak lain-
nya yang ditunjuk oleh Pihak Kedua, untuk masuk ke
areal kerja Pihak Kesatu dalam melakukan kunjungan-
kunjungan yang terkait dan termuat di dalam
perjanjian ini.
9.3. Pihak Kedua dengan ditanda-tanganinya perjanjian
ini, memberi izin kepada Pihak Kesatu, atau pihak
lainnya yang ditunjuk oleh Pihak Kesatu, untuk masuk
ke areal kerja Pihak Kedua dalam melakukan hal-hal
yang terkait dan termuat di dalam perjanjian ini.
9.4. Kunjungan-kunjungan dalam angka 9.2 di atas,
terlebih dahulu harus dikoordinasikan dan disesuai-

224
kan dengan jadwal kerja Pihak Kesatu dan Pihak Ke-
dua.
9.5. Bilamana dikemudian hari terdapat ketentuan yang
perlu diubah dan atau ditambah dan atau belum
diatur didalam perjanjian ini, maka kedua belah pihak
setuju akan membuat perjanjian tambahan tersendiri
yang merupakan satu kesatuan dengan perjanjian ini.

Demikian Perjanjian Penyediaan Gas ini dibuat dan ditanda-


tangani oleh kedua belah pihak di ____, pada hari ____,
tanggal __ bulan ___ tahun ___sebagai tanda persetujuannya
dalam keadaan sadar dan/atau tanpa paksaan dari pihak
manapun juga. Perjanjian ini dibuat dalam rangkap 2 (dua),
dan telah diberi materai cukup sehingga masing-masing
mempunyai kekuatan hukum yang sama. Rangkap kesatu
diberikan kepada Pihak Kesatu dan rangkap kedua
diserahkan kepada Pihak Kedua

Pihak Kesatu Pihak Kedua

( ) ( )

225
LAMPIRAN III

226
SPECIMEN AGREEMENT
THIS AGREEMENT is made on the __ day of ____
_____ between ABC PTE.LTD, a company incorporated in
_______ and having its registered office at
_________________ (hereinafter called “the Company”) of
the one part and XYZ (ID No. __________) of ______________
(hereinafter called “the Manager”) of the other part.
WHEREAS
1. The Company is engaged in the hotel business and
requires a person with the necessary qualifications and
experience to manage its business.
2. The Manager has the necessary qualifications and
experience in the management of hotel industry,
especially in Food and Beverage industry.
3. The Company has agreed to employ the Manager and the
Manager has agreed to serve the Company on the terms
and conditions hereinafter appearing.

NOW IT IS HEREBY AGREED as follows:


1. The Company shall employ the Manager and the
Manager shall serve the Company as manager of the
Company’s business of hotel for a period of ___ years
commencing on the __ day of _________, subject
nevertheless to termination as hereinafter provided.
2. During the period of his employment the Manager
undertakes to perform the duties detailed in the schedule
to this Agreement.
3. The Manager shall be paid a salary of ________ per month
payable in arrears on the last day of every month without
further delay.
4. This Agreement may be terminated by either party giving
to the other ___ months’ notice in writing that shall be
directed to the Company through the signed party for
and on behalf of the Company.
227
5. This Agreement and the exhibits attached hereto contain
the entire agreement of the parties with respect to the
subject matter of this Agreement, and supersede all prior
negotiations, agreements and understandings with
respect thereto.
6. If any provision of this Agreement is held unenforceable,
then such provision will be modified to reflect the parties'
intention. All remaining provisions of this Agreement
shall remain in full force and effect.
7. Damages for breach of any provision from any party in
this agreement shall be limited to the amount of
_______.
8. This agreement shall be interpreted under the laws of the
_______. All disputes, controversies, or claims arising out
of or relating to this Agreement shall be submitted
binding arbitration in accordance with the applicable
rules of the ________ then in effect.

IN WITNESS whereof the parties hereto have set their hand


the day and year first above written.

THE SCHEDULE ABOVE REFERRED TO


Duties of the Manager
1. To manage, maintain and promote the business of the
Company.
2. To attend personally during the usual hours of business
and to supervise and control the business and to be
accessible to the customers and employees of the
Company.
3. To complete the work described within a reasonable time
since time is not of the essence in the completion of the
daily work.
4. To keep the usual books of account.

228
5. To pay monthly all moneys received in the business into
the Company’s bank account on the first day of every
month.
6. Generally to protect the interest of the Company.

SIGNED by _____
for and on behalf of
ABC PTE.LTD in the presence of:

SIGNED by XYZ
in the presence of:

229
LAMPIRAN IV

230
PERJANJIAN KERJA

Masing-masing yang bertandatangan di bawah ini:


Nama : ......................................................................
Jabatan : ......................................................................
Alamat : ......................................................................
Berdasarkan Pasal........... AD/ART PT. ...................... jo. Pasal 98 ayat (1)
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dalam
Perjanjian Kerja ini dapat bertindak untuk dan atas nama
Pengusaha/Perusahaan PT. ......................................................................
yang beralamat di dan selanjutnya disebut Pihak Pertama.
Nama : ......................................................................
Tempat/Tgl. Lahir : ......................................................................
Alamat : ......................................................................
Dalam Perjanjian kerja ini bertindak untuk diri dan atas nama sendiri,
yang selanjutnya disebut Pihak Kedua.

Terlebih dahulu menerangkan:


a. Bahwa Perjanjian Kerja ini untuk selanjutnya disebut dengan
perjanjian;
b. Bahwa di dalam perjanjian ini, Pihak Pertama dan Pihak Kedua secara
bersama-sama disebut dengan para pihak, sementara secara sendiri-
sendiri disebut dengan Pihak Pertama atau Pihak Kedua sesuai
dengan kedudukannya masing-masing;
c. Bahwa Pihak Pertama adalah badan hukum Indonesia yang dibentuk
berdasarkan Akta Pendirian No. oleh Notaris
dan pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia No. yang bergerak di bidang ;
d. Bahwa Pihak Pertama membutuhkan pekerja dengan keterampilan
dan kualifikasi yang sesuai serta didukung dengan pengalaman yang
cukup untuk melakukan pekerjaan di perusahaan Pihak Pertama;
e. Bahwa setelah membaca surat permohonan kerja beserta
kelengkapannya dan melakukan wawancara dengan Pihak Kedua,
Pihak Pertama menerima Pihak Kedua sebagai pekerja yang dirasa
telah memenuhi kualifikasi sebagaimana yang dibutuhkan oleh Pihak
Pertama untuk melakukan pekerjaan di perusahaan Pihak Pertama;
f. Bahwa dengan dilandasi itikad baik para pihak telah bersepakat dan
bersetuju untuk membuat perjanjian ini sesuai dengan tujuan dan
keinginan bersama sebagaimana dituangkan ke dalam syarat dan
ketentuan di bawah ini:

PASAL 1
1. WAKTU PERJANJIAN
1. Perjanjian Kerja ini dibuat terhitung mulai tanggal ...................
2. Untuk waktu 3 (tiga) bulan pertama sejak mulai bekerja adalah sebagai
231
masa percobaan.
3. Setelah menyelesaikan masa percobaan dengan baik maka Pihak
Pertama mengangkat Pihak Kedua sebagai pekerja tetap.

PASAL 2
TUGAS DAN PENEMPATAN
1. Pihak Pertama mempekerjakan Pihak Kedua seba-gai...........................
2. Mengenai tugas-tugas, akan ditentukan oleh Kepala Bagian sesuai
dengan kebutuhan yang diperlukan.
3. Pihak Kedua bersedia dipindahtugaskan dan bersedia untuk kerja
malam hari bilamana diperlukan perusahaan (kerja shift).
4. Pihak Kedua akan melaksanakan tugas pekerjaannya dengan sebaik-
baiknya serta mematuhi petunjuk-petunjuk atasannya.
5. Bila dipandang perlu Pihak Pertama dapat menempatkan Pihak Kedua
pada tugas-tugas pekerjaan lain yang sesuai dengan kemampuan dan
pengalamannya.

PASAL 3
PENGGAJIAN
1. Pihak Pertama memberikan gaji kepada Pihak Kedua sebesar
Rp. ............ dan akan ditinjau sesudah masa percobaan berdasarkan
pencapaian kinerja Pihak Kedua.
2. Pajak Penghasilan dipotong dari gaji Pihak Kedua, pelaksanaan
pembayaran gaji dilakukan pada setiap akhir bulan.
3. Apabila Pihak Kedua mangkir atau tidak masuk kerja tanpa alasan
yang sah, gaji dipotong sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

PASAL 4
TATA TERTIB PERUSAHAAN
1. Pihak Kedua wajib melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan
penuh disiplin dan mematuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam Peraturan Perusahaan dan ketentuan lainnya yang diterbitkan.
2. Apabila Pihak Kedua melakukan pelanggaran terhadap Ketentuan tata
tertib maka Pihak Kedua akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perusahaan dan Perundang-undangan yang berlaku.
3. Pihak Kedua dilarang menyebarkan informasi rahasia Pihak Pertama
kepada pihak yang tidak berhak selama dan setelah hubungan kerja
berakhir.
4. Pihak Kedua tidak boleh terikat pada perjanjian kerja lain dengan
pihak ketiga lainnya.

PASAL 5
WAKTU KERJA DAN CUTI
1. Waktu kerja di perusahaan adalah 8 jam sehari dan 40 jam seminggu
yang diatur sebagai berikut:
a. Hari Senin s/d Jumat Jam 08.00-17.00, istirahat satu jam. Hari

232
Sabtu dan Minggu libur.
b. Untuk melaksanakan sholat Jumat diberikan kesempatan
secukupnya.
2. Apabila Pihak Kedua bekerja melebihi dari ketentuan tersebut diatas,
kelebihannya akan diperhitungkan sebagai kerja lembur dan dibayar
upah lemburnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Cuti, izin meninggalkan pekerjaan dengan upah atau tanpa upah
diatur sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Perusahaan.

PASAL 6
KETENTUAN LAIN
1. Syarat kerja, hak dan kewajiban dan sebagainya yang belum
tercantum di dalam perjanjian ini diatur sesuai dengan Peraturan
Perusahaan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. Perubahan terhadap perjanjian ini terlebih dahulu akan dibicarakan
oleh para pihak.
3. Hal-hal lain mengenai syarat kerja, hak dan kewajiban dan sebagainya
yang belum tercantum di dalam perjanjian ini diatur menurut
Peraturan Perusahaan dan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
4. Perjanjian ini dibuat dalam rangkap 2 (dua) masing-masing bermeterai
cukup dan masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama
serta dibuat dengan sebenarnya tanpa paksaan dari pihak manapun
juga.

Demikian perjanjian ini dibuat pada hari


ini .................tanggal...................bulan...................tahun...................bertempat
di Perusahaan/PT...................,dengan sebenarnya tanpa paksaan dari
pihak manapun juga, masing-masing pihak dalam keadaan sehat jasmani
serta rohani.

…………, ……………………
Pihak Kedua, Pihak Pertama,

233
234

Anda mungkin juga menyukai