Anda di halaman 1dari 8

UJIAN TENGAH SEMESTER

KESUSASTRAAN

Nama : Nur muhammad Alwi Prodi : Sejarah Peradaban Islam

Nim / Kelas : A02217032 / 6D Dosen Pengampu: Ezith Perdana. E, M.Hum

ANALISIS NOVEL

Pramoedya Ananta Toer

Judul : Larasati
ANALISIS INTRINSIK

Sinopsis
Roman ini merekam dengan elegan golak revolusi Indonesia pascaproklamasi. Tapi bukan
dari optik “orang-orang besar dan orang-orang tua”, melainkan seorang perempuan.
Larasati namanya. Seorang aktris panggung dan bintang film yang cantik. Dari kisah
perjalanan perempuan inilah melela sebuah potret keksatriaan kaum muda merebut hak
meredeka dari tangan-tangan orang asing.

Tidak hanya merekam kisah-kisah heroik kepahlawanan, namun juga lengkap dengan
segala kemunafikkan kaum revolusioner, keloyoan, omong banyak tapi kosong dari para
pemimpin, penghianatan, dan sebenggol-benggol kisah percintaan. Dari sepenggalan
perjalanan Ara--dari pedalaman (Yogyakarta) ke daerah pendudukan (Jakarta)--terpotret
bagaimana manusia-manusia Republik memandang revolusi.

Bermula ketika Larasati mengadakan perjalanan ke Jakarta menaiki kereta api. Ia harus
berpisah dengan Kapten Oding, orang yang dicintainnya demi sebuah misi. Bertemu
dengan Ibunya di Jakarta. Dalam perjalanannya banyak bertemu dengan orang-orang
dimulai dari kakek-kakek Invalid, Pemuda yang mencurigakan, Opsir Belanda hingga para
pejuang Republik yang mengagumi kecantikan Ara. Hingga Ara memberikan
selendangnya untuk memberikan dukungan pada Pejuang tersebut. Selendang merah itu Ia
anggap sebagai perlambang semangat revolusi kaum muda.
Setibanya di Jakarta keadaan menjadi sangat sulit. Ara yang dulu seorang bintang Film
Propaganda Belanda sekarang ikut berjuang dalam Revolusi Indonesia. Sampai pada
waktunya ia dibawa untuk melihat suasana di dalam penjara. Begitu pilunya suasana di
dalam penjara tersebut, tak ada belas kasihan bagi mereka yang melawan. Dalam
perjuangan revolusinya, Larasati bertemu Martabat, seorang supir/opsir yang dipekerjakan
secara paksa oleh NICA. Martabat yang membawa Larasati kembali bertemu dengan
ibunya Lasmidjah. Bersama ibunya, Larasati menghadapi suasana peperangan di kampung
halamannya sendiri. Setiap malam selalu saja ada ketakutan, selalu aja ada suara tembakan
yang menghantui.Suatu hari seorang Arab datang untuk menemui Larasati. Jusman
namanya. Ia meminta Larasati untuk menjadi penyanyi di grup gambusnya. Larasati
sendiri menolak ajakan tersebut. Akibat dari penolakan tersebut, Jusman pun menahan
Lasmidjah di rumahnya yang mewah. Setahun berlalu sejak terakhir kalinya Larasati
bertemu dengan ibunya. Dalam suatu hari perjalanannya yang tak tentu arahnya, ia
bertemu dengan seorang teman lamanya, seorang pengarang, Chaidir namanya. Chaidir
sendiri beranggapan bahwa revolusi sudah tercemar akibat ulah para pemimpin. Tak lama
setelah Larasati menemui Chaidir, Jusman memaksa Larasati untuk tinggal di rumahnya.
Perjuangan revolusi Larasati sepertinya sudah menemui jalan buntu. Ia tidak diizinkan
keluar rumah oleh Jusman, sampai-sampai pada suatu saat ia mendengar bahwa Chaidir
telah meninggal. Baginya revolusi seperti sudah tidak ada ketika mendengar kabar
tersebut.
Dan perjuangan revolusi pun pada akhirnya membuahkan hasil beberapa tahun kemudian.
Awalnya Jusman ingin meminang Larasati dan membawanya pergi hijrah ke Singapura.
Namun, Ia menolak. Hingga akhirnya Jusman pergi meninggalkan Ara. Larasati pun hidup
dalam kemenangan revolusi itu bersama pria yang dicintainya yakni Kapten Oding.

Analisis Unsur Intrinsik:


1. Alur cerita/plot: Maju

2. Tema cerita: Perjuangan dan pengorbanan kaummuda revolusioner untuk mempertahankan


kemerdekaan pascaproklamasi.
3. Latar/setting cerita:
 Latar tempat: Gerbong kereta api, Stasiun Yogya, Perkemahan NICA (Nederlands-
Indies Civil Administration), Ruangan penjara, Rumah Lasmidjah, Rumah Arab.
 Latar waktu: pagi, siang, sore, malam.
 Latar Suasana: menegangkan, mengharukan.

4. Sudut pandang: Orang pertama pelaku utama (ditandai dengan penggunaan kata “aku”).

5. Penokohan/perwatakan:
 Larasati/Ara: pemberani, pantang menyerah, rela berkorban, dermawan, keras kepala.
 Mardjohan: munafik, penghasut, egois.
 Lasmidjah: penyabar, penuh kasih sayang, keibuan, rela berkorban, bijaksana.
 Martabat: baik hati, pemberani, cerdik.
 Jusman: egois, munafik, tegas, setia.
 Chaidir: baik hati, rela berkorban.
 Kapten Oding: baik hati, penyayang.

6. Konflik cerita: Larasati yang dulunya seorang bintang film propaganda Belanda, kini harus
menjadi bagian dari Revolusi. Dia yang mewakili kaum muda revolusioner, harus berjuang
di tengah pergolakan revolusi Indonesia setelah pascaproklamasi dengan caranya sendiri.

7. Pesan/ amanat:
 Pantang menyerah dalam mencapai tujuan.
 Semangat juang yang tinggi serta tekad yang kuat dalam mempertahankan kemerdekaan
dari bangsa asing.
 Emansipasi wanita, yang ditunjukkan oleh peran Larasati dalam usaha mempertahankan
kemerdekaan di era revolusi pascaproklamasi.
 Rela berkorban, demi kepentingan orang banyak (masyarakat).
8. Gaya bahasa:
 Hiperbola:
Curiga-curiga mata mereka yang setengah melotot berkilauan seperti bintang di balik
mendung tipis. (Hal.80)
 Personifikasi:
Pohon cemara di sepanjang jalan itu menyanyi ngilu tertiup angin. Dan tajuknya berayun-
ayun seirama seperti sepasukan tawanan yang telah patah morilnya terima komando dari
musuhnya. (Hal.135)
 Sarkasme:
“Buat apa? Buka semua! cepat! Anjing-anjing Soekarno suka belagak goblok.”, perintah
sersan. (Hal. 33)
Anjing! Teriak bintang film itu dalam hatinya, dia tidak pernah bisa berpikir tanpa bawa
dirinya sendiri. Dirinya sendiri yang korup itu! Korup! Itu penamaan yang tepat. (Hal.46)
“Aku bukan kau anjing!”bisik pemimpin itu. “Aku bunuh!”. (Hal.101)
“Mampus! Kaya tikus saja mampusnya! Kau lihat!”Tapi hanya sedan terdengar dari mulut
Larasati. (Hal.102)
Dan uang itu lenyap. “Binatang! Anjing! Serigala!” ia menangis terisak-isak. ”Apa
gunanya memaki? Mereka memang anjing, mereka binatang,”Lasmidjah meneruskan.
(Hal.113)

Analisis Unsur Ekstrinsik:


1. Sosial:
Dari balik pintu ia memerintahkan membelikan nasi rames untuk dua orang. “Engkau
seorang pemurah,” baru opsir baru itu mau memuji kebaikannya. (Hal.21)
Tamu itu makan dengan lahapnya. Larasati cenderung menduga, opsir, kau belum makan
dalam dua hari ini. Dengan cekatan dan baik hatinya, seperti biasa, ia selipkan uang
lembaran limaratus ke dalam saku tamunya, tanpa yang akhir ini mengetahuinya. (Hal.23)
Ibunya tidak ada. Cari beras! Itu Ara tahu. Ia telah melarangnya. Tapi orang tua itu tak
sampai hati melihat anaknya lapar. (Hal. 83)

2. Budaya:
“Kami tiadalah jahat, nona. Kami mempunyai orkes gambus. Tentulah nona mau menyanyi
untuk orkes kami.” “Aku bukan penyanyi. Biarpun menyanyi juga bukan gambus.”(Hal.
130)

3. Agama:
“Selamat aku ya Tuhan. Aku tidaklah sejahat seperti Kau sangkakan. Kau telah beri aku
tubuh molek ini, dan jadi hakku untuk mempergunakannya. Ya, Allah lewatkan aku
dengan selamat dari demarkasi. Hindarkan aku dari kecurigaan”. (Hal.15)
“Tuhan,” Larasati berdoa, “Dimanapun juga Kau selalu selamatkan aku, Kau mudahkan
perjalananku. Kau gampangkan hidupku. Terima kasih ya, Tuhanku.” (Hal.25)
Ya Allah, benar-benarkah ini duniaku? Dunia manusia? Manusia makhluk tertinggi ini?
Dunia Tuhan yang diagungkan karena kesempurnaan penciptaan-Nya? Inikah dunia
ciptaan Allah? Bukankah ini dunia ciptaan-Nya tetapi bandit memanfaatkannya? (Hal.46)
Ibuku jadi babu Arab! Alhamdulillah. Biarpun karena kesalahanku. (Hal.78)

Analisis Unsur Ekstrinsik:


4. Sosial:
Dari balik pintu ia memerintahkan membelikan nasi rames untuk dua orang. “Engkau
seorang pemurah,” baru opsir baru itu mau memuji kebaikannya. (Hal.21)
Tamu itu makan dengan lahapnya. Larasati cenderung menduga, opsir, kau belum makan
dalam dua hari ini. Dengan cekatan dan baik hatinya, seperti biasa, ia selipkan uang
lembaran limaratus ke dalam saku tamunya, tanpa yang akhir ini mengetahuinya. (Hal.23)
Ibunya tidak ada. Cari beras! Itu Ara tahu. Ia telah melarangnya. Tapi orang tua itu tak
sampai hati melihat anaknya lapar. (Hal. 83)
5. Budaya:
“Kami tiadalah jahat, nona. Kami mempunyai orkes gambus. Tentulah nona mau menyanyi
untuk orkes kami.” “Aku bukan penyanyi. Biarpun menyanyi juga bukan gambus.”(Hal.
130)
6. Agama:
“Selamat aku ya Tuhan. Aku tidaklah sejahat seperti Kau sangkakan. Kau telah beri aku
tubuh molek ini, dan jadi hakku untuk mempergunakannya. Ya, Allah lewatkan aku
dengan selamat dari demarkasi. Hindarkan aku dari kecurigaan”. (Hal.15) “Tuhan,”
Larasati berdoa, “Dimanapun juga Kau selalu selamatkan aku, Kau mudahkan
perjalananku. Kau gampangkan hidupku. Terima kasih ya, Tuhanku.” (Hal.25) Ya Allah,
benar-benarkah ini duniaku? Dunia manusia? Manusia makhluk tertinggi ini? Dunia Tuhan
yang diagungkan karena kesempurnaan penciptaan-Nya? Inikah dunia ciptaan Allah?
Bukankah ini dunia ciptaan-Nya tetapi bandit memanfaatkannya? (Hal.46) Ibuku jadi babu
Arab! Alhamdulillah. Biarpun karena kesalahanku. (Hal.78)

Anda mungkin juga menyukai