KEPALA
A. DEFINISI SARAF
B. STRUKTUR SISTEM SARAF
Cerebrum
Cerebellum
Sistem saraf
pusat
Medulla spinalis
Sistem saraf
Nervus
cranialis
Sistem saraf
perifer Nervus spinalis
KETERANGAN:
CEDERA KEPALA
A. DEFINISI
Cedera kepala
adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan ota k. Cedera
kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit
neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya
(Smeltzer & Bare 2001).
Cedera kepala
Resiko utama pasien yang mengalami cidera kepala adalah kerusakan otak akibat
atau pembekakan otak sebagai respons terhadap cidera dan menyebabkan
peningkatan tekanan inbakranial, berdasarkan standar asuhan keperawatan
penyakit bedah ( bidang keperawatan Bp. RSUD Djojonegoro Temanggung,
2005), cidera kepala sendiri didefinisikan dengan suatu gangguan traumatic dari
fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai pendarahan interslities dalam
rubstansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala
Cidera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma
pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari
trauma yang terjadi (Sylvia anderson Price, 1985).
B. ETIOLOGI
1. Benda Tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat.
2. Benda Tumpul, dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika
energi/ kekuatan diteruskan kepada otak.
Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada :
a. Lokasi
b. Kekuatan
c. Fraktur infeksi/ kompresi
d. Rotasi
e. Delarasi dan deselarasi
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Cedera akut ( bisa pingsan sampai koma ), kemudian tidak bisa disembuhkan
2. Peningkatan TIK
3. Sakit kepala progresif/ menetap
4. Mual dan muntah menetap/ proyektil
5. Penurunan kesadaran
6. Cushing respon
a. Bradikardi
b. Hipertensi
c. Gangguan respirasi
7. Herniasi
a. Uncal
Pupil dilatasi ipsi lateral ( sisi yang sama )
Hemiparese kontralateral
b. Central : retrocaudal sign
8. Nyeri yang menetap atau setempat.
9. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
10. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah
terlihat di bawah konjungtiva, memar diatas mastoid (tanda battle), otorea serebro
spiral ( cairan cerebros piral keluar dari telinga ), rinorea serebrospiral (les keluar
dari hidung).
11. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
12. Pusing / berkunang-kunang.
D. PATOFISIOLOGI
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya karena terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada
seluruh sistem dalam tubuh. Bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan
adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai
pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus – menerus dapat menyebabkan
hipoksia sehingga tekanan intra kranial akan meningkat. Namun bila trauma
mengenai tulang kepala akan meneyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga.
Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan
jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik
yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.
WEB OF CAUTION
Kerusakan sel otak me ↑ Usus Lambung
Terjatuh, dipukul, kecelakaan
dan trauma saat lahir Peristaltik usus me ↑
Rangsangan SS.simpatis Produksin HCl me ↑ Hiper acid
Benda tajam/ Benda Malabsorbsi
tumpul TD me ↑, tahanan vaskuler me ↑
Mual muntah Perdarahan
lambung
Diare Hipovolemia
Kerusakan jaringan otak
Pe ↓ tek.pem. darah pulmonal
Gangguan kebutuhan nutrisi
Cedera otak primer G3 eliminasi alvi Dehidrasi
Pe ↑ tek. hidrostatik
Defisit vol cairan
Kerusakan Pe ↓ perfusi ginjal Oliguria & elektrolit
Cedera otak sekunder
Edema paru pertukaran gas
G3 eliminasi
Perdarahan Produksi sekret me ↑ Difusi O2 terganggu Hipoxemia Anemia urin
As. Laktat me ↑
G3 rasa nyaman ( nyeri )
E. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala di klasifikasikan sebagai berikut:
1. Cedera kulit
a. Kontusio
b. Laserasi
c. Abrasi
2. Cedera tulang
a. Lokasi : Fr. Kalvaria, Fr. Basis kranii
b. Jenis : linier, depresi, kominutif
c. Hubungan dengan luar : tertutup, terbuka
3. Cedera parenkim dan selaput otak
Cedera otak bila ada pingsan, amnesia, muntah, pusing, sakit kepala
Berdasarkan derajat ada 3 macam:
a) Cedera otak ringan (GCS 14-15)
b) Cedera otak sedang (GCS 9-13)
c) Cedera otak berat (GCS 3-8)
Berdasarkan patologinya, ada 2 macam:
1) Cedera otak primer
DAI
Kontusio serebri
Laserasi serebri
Laserasi durameter : >> pada Fr. Basis kranii
Laserasi pia-arachnoid → subdural higroma
2) Cedera otak sekunder
Penyebab sistemik
Hipoksemia
Hipotensi
Hiperkapnea
Hipokapnea
Hipertermi
Hiperglikemia
Hipoglikemia
Hiponatremia
Penyebab intrakranial
TIK
Pergeseran otak
Vasopasme
Kejang
Infeksi
4. Cedera pembuluh darah
Ekstrakranial
a. Hematoma subperiosteal
b. Hematoma subgaleal
Intrakranial
a. HED,HSD,HIS,PIV,PSA
b. ini sering disertai COP
c. ini sering → ↑ TIK atau pergeseran otak → COS
Pembuluh darah di basis kranii
Cedera karotid intrakranial → CCF >> bersama fr.basis kranii
Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut:
1. Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15 , dpt terjadi kehilangan
kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika
ada penyerta seperti fraktur tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55% ).
2. Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau
amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi
ringan ( bingung ).
3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam,
juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema selain
itu ada istilah-istilah lain untuk jenis cedera kepala sebagai berikut :
a) Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada merusak tulang
tengkorak.
b) Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan disertai
edema cerebra
= 4 + 5 + 6 = 15
1. Eye response ( respon buka mata )
Spontan (4)
Dengan suara (3)
Dengan nyeri (2)
Tidak ada reaksi (1)
2. Verbal response ( respon bicara )
Orientasi baik (5)
Disorientasi ( mengacau/ bingung ) (4)
Keluar kata- kata tidak teratur (3)
Suara yang tidak berbentuk kata (2)
Tidak ada suara (1)
3. Motoric response ( respon gerakan lengan dan tungkai )
Mengikuti perintah (6)
Melokalisir nyeri (5)
Menarik ekstremitas yang dirangsang (4)
Fleksi abnormal (3)
Ekstensi abnormal (2)
Tidak ada gerakan (1)
b. Respon pupil
c. Pola gangguan motorik
d. Inspeksi dan palpasi wajah dan kepala
e. Palpasi wajah dan kepala, adalah laserasi/ fraktur depresi
f. Inspeksi dan palpasi sepanjang prosesus spinosus tulang belakang.
3. Komosio serebral
Adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Komosio
umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang berakhir
selama beberap detik sampai beberapa menit,getaran otak sedikit saja hanya akan
menimbulkan amnesia atau disonentasi.
4. Kontusio cerebral
Merupakan cedera kepala berat dimana otak mengalami memar, dengan
kemungkinan adanya daerah hemorasi pada subtansi otak. Dapat menimbulkan
edema cerebral 2-3 hari post truma.Akibatnya dapat menimbulkan peningkatan
TIK dan meningkatkan mortabilitas (45%).
5. Hematoma cerebral ( Hematoma ekstradural atau nemorogi )
Setelah cedera kepala,darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural)
diantara tengkorak dura,keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur hilang
tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau rusak
(laserasi),dimana arteri ini benda diantara dura dan tengkorak daerah infestor
menuju bagian tipis tulang temporal.Hemorogi karena arteri ini dapat
menyebabkan penekanan pada otak.
6. Hemotoma subdural
Adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak.Paling sering disebabkan
oleh truma tetapi dapat juga terjadi kecenderungan pendarahan dengan serius dan
aneusrisma.Itemorogi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan
akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Dapat
terjadi akut, subakut atau kronik.
Hemotoma subdural akut dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang
meliputi kontusio atau lasersi.
Hemotoma subdural subakut adalah sekuela kontusion sedikit berat dan
dicurigai pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah
truma kepala.
Hemotuma subdural kronik dapat terjadi karena cedera kepala minor, terjadi
pada lansia.
7. Hemotuma subarachnoid
Pendarahan yang terjadi pada ruang amchnoid yakni antara lapisan amchnoid
dengan diameter. Seringkali terjadi karena adanya vena yang ada di daerah
tersebut terluka. Sering kali bersifat kronik.
8. Hemorasi infracerebral.
Adalah pendarahan ke dalam subtansi otak, pengumpulan daerah 25ml atau lebih
pada parenkim otak. Penyebabanya seringkali karena adanya infrasi fraktur,
gerakan akselarasi dan deseterasi yang tiba-tiba.
H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan dini
Penatalaksanaan didasarkan pada:
1) Primary survey
2) Resusitasi
3) Secondary survey
4) Terapi definitif
Keterangan :
e) Exposure/environment
Buka pakaian untukpemeriksaan fisik terutama toraks → jaga jangan
sampai kedinginan.
2) Resusitasi
a) Pertahankan potensi airway
1. Maneuver chin lift dan jaw trust
2. oro pharyngeal airway
3. Intubasi endotrakheal dengan teknik rapid sequence induction yaitu
dengan pemberian:
Thiopental 3-5 mg/kg
Succinylcholin 1-2 mg/kg
4. Pasien dengan COB, gangguan proteksi jalan nafas, cedera
maksilofacial yang berat, perlu paralisis
b) Breathing dan oksigenasi
– Ventilisasi adekuat
– O2
– Masker (10-12 liter/mnt) pertahankan saturasi oksigen ≥ 95%
– Kalau perlu ventilasi mekanik
c) Circulation
Circulation dan kontrol perdarahan
Syok: 1-2 liter RL atau NaCl 0,9% hangat (39°) secara cepat, dicari
penyebab syoknya
Hentikan perdarahan ekstrakranial segera dihentikan
Setelah syok teratasi: infus NaCl 0,9% (308 mosm/liter)
Neurogenik syok:
dibatasi
dopamine 2-10 mikrogram (Kg/menit)
Perdarahan intrakranial saja tanpa laserasi kulit kepala
Tidak menyebabkan
Kecuali pada bayi
Adapun penyebab syok/hipotensi yang harus dicari adalah:
Cedera tertutup
Cedera abdomen
Hemothorak
Tamponade jantung
Tension pneumothorak
Hematoma pelvis
Fraktur tulang panjang
Perdarahan subgaleal atau ekstradural pada bayi
Ruptur aorta traumatik
Trauma medula spinalis dan tamponade jantung
Cedera terbuka
Laserasi kulit kepala
Cedera maksilofasial
Fraktur terbuka
Cedera jaringan lunak
Cedera otak stadium terminal
telah terjadi herniasi sentral fase medulla oblongata
d) Disability
Bila ada tanda herniasi unkus segera berikan mannitol 20% 2-
5cc/kgBB atau hiperventilasi ringan (PaCO2 30-35 mm/Hg)
Bila diberiikan mannitol,pasien harus segera di CT scan atau menuju
ke penanganan definitif dalam waktu kurang dari 6 jam
4) Secondary Survey
Penderita cedera kepala, 50% disertai cedera sistemik, saat ini dilakukan:
Pemeriksaan seluruh tubuh (head to toe examination )
Periksa semua lubang ditubuh
Anamnesis
Pemeriksaan neurologis yang lebih lengkap
Reelevaluasi ABCD
Pemeriksaan CT scan kepala atau foto polos kepala sesuai indikasi
5) Penanganan definitif
a. Penanganan harus menyeluruh,termasuk stabilisasi fraktur dan
penanganan cedera otak
b. Konsultasi pada spesialis bedah saraf sedini mungkin
c. Bila diperkirakan memerlukan tindakan operasi harus segera dirujuk ke
RS dengan fasilitas tindakan bedah saraf
d. Sebelumnya ABC harus stabil
2. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pra rumah sakit dan rumah sakit, meliputi:
a. Penatalaksanaan pra rumah sakit
a. Perhatikan A-B-C-D
b. Hindari hal-hal yang meningkatkan TIK seperti;head down, hipoksia,
hiperkarbia, muntah.
c. Kenali cedera sistemik,stabilisasi sementara
d. Posisi Px tidak sadar
Posisi lateral wajah sedikit kebawah
Posisi netral
e. Pertahankan jalan nafas k/p intubasi
f. Cedera spinal
- Pertahankan posisi netral
g. Triase pra rumah sakit
- Untuk pemindahan dilapangan & RS yang dituju
- ABC tidak stabil → Resusitasi, RS terdekat
- ABC stabil + cedera otak → RS dengan fasilitas CT-scan dan
tindakan bedah saraf.
J. KOMPLIKASI
1. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus
frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
2. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini,
minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
3. Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis
meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiuretik.
L. RUJUKAN PASIEN
1. Prinsip dasar rujukan
a. Stabilitas fungsi vital telah tercapai,
b. Ada komunikasi pra rujukan denga RS rujukan.
c. Observasi & menjaga stabilitas fungsi vital selama perjalanan.
2. Hal – hal yang perlu diperhatikan selama berkomunikasi dengan RS tujuan:
a. Sesegera mungkin melaporkan:
a) Anamnese singkat dan data pasien.
b) Kegawatan yang terjadi.
c) Diagnosa kerja di tempat kejadian.
d) Pertolongan yang telah dilakukan.
e) Bila mungkin sebutkan pertolongan segera yang dibutuhkan.
b. Mintalah petunjuk dokter tempat rujukan tentang pertolongan yang mungkin
bisa dilakukan saat transpotasi.
ASUHAN KEPERAWATAN
CEDERA KEPALA
A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas/ Istirahat
Gejala :
o Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda :
o Perubahan kesehatan, letargi
o Hemiparase, quadrepelgia
o Ataksia cara berjalan tak tegap
o Masalah dalam keseimbangan
o Cedera (trauma) ortopedi
o Kehilangan tonus otot, otot spastik
2. Sirkulasi
Gejala :
o Perubahan darah atau normal (hipertensi)
o Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi
bradikardia disritmia).
3. Integritas Ego
Gejala :
o Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda :
o Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung depresi dan
impulsif.
4. Eliminasi
Gejala :
o Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gngguan fungsi.
5. Makanan/ cairan
Gejala :
o Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda :
o Muntah (mungkin proyektil)
o Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).
6. Neurosensori
Gejala :
o Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinitus kehilangan pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas.
o Perubahan penglihatan, seperti ketajaman mata, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, fotofobia.
Tanda :
o Perubahan kesadaran bisa sampai koma
o Perubahan status mental
o Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri)
o Wajah tidak simetri
o Genggaman lemah, tidak seimbang
o Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah
o Apraksia, hemiparese, Quadreplegia
o Kehilangan sensasi sebagian tubuh
o Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh
7. Nyeri/ kenyamanan
Gejala :
o Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya koma.
Tanda :
o Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri yang hebat,
gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
8. Pernapasan
Tanda :
o Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Nafas
berbunyi stridor, terdesak
o Ronki, mengi positif
9. Keamanan
Gejala :
o Trauma baru/ trauma karena kecelakaan
Tanda :
o Fraktur/ dislokasi
o Gangguan penglihatan
o Gangguan kognitif
o Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum
mengalami paralisis
o Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
10. Interaksi sosial
Tanda :
o Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang.
11. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala :
o Penggunaan alkohol/ obat lain
Rencana pemulangan:
o Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi,
menyiapkan makanan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas- tugas
rumah tangga, perubahan tata ruang atau penempatan fasilitas lainnya
dirumah.
12. Pemeriksaan diagnostik
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b/d penghentian aliran darah (hemoragi,
hematoma), edema cerebral.
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak), Kerusakan persepsi atau
kognitif, edema paru
3. Resti infeksi b/d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif
4. Gangguan pemenuhan cairan dan elektrolit b/d perdarahan hebat
5. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d peningkatan TIK
6. Kerusakan integritas kulit b/d trauma kulit
7. Kerusakan mobilitas fisik b/d terapi pembatasan gerak ( immobilisasi, tirah baring
lama )
8. Resti infeksi b/d trauma jaringan, kerusakan kulit, prosedur infasif
9. Resti perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual muntah, penurunan
kesadaran
C. INTERVENSI
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1 Perubahan perfusi Tujuan 1. Tentukan faktor-faktor yang Penurunan tanda/gejala neurologis atau
jaringan serebral Mempertahankan menyebabkan koma/penurunan kegagalan dalam pemulihannya setelah
b/d tingkat kesadaran perfusi jaringan otak dan serangan awal, menunjukkan perlunya
penghentian aliran biasa/perbaikan, potensial peningkatan TIK. pasien dirawat di perawatan intensif.
darah (hemoragi, kognisi, dan fungsi
hematoma), edema motorik/sensorik. 2. Pantau /catat status neurologis Mengkaji tingkat kesadaran dan
cerebral secara teratur dan bandingkan potensial peningkatan TIK dan
Kriteria hasil dengan nilai standar GCS. bermanfaat dalam menentukan lokasi,
Tanda vital stabil dan perluasan dan perkembangan kerusakan
tidak ada tanda-tanda SSP.
peningkatan TIK 3. Evaluasi keadaan pupil,
ukuran, kesamaan antara kiri Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial
dan kanan, reaksi terhadap okulomotor (III) berguna untuk
cahaya. menentukan apakah batang otak masih
baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh
keseimbangan antara persarafan
simpatis dan parasimpatis. Respon
terhadap cahaya mencerminkan fungsi
yang terkombinasi dari saraf kranial
optikus (II) dan okulomotor (III).
4. Pantau tanda-tanda vital: TD, Rasional : Peningkatan TD sistemik
nadi, frekuensi nafas, suhu. yang diikuti oleh penurunan TD
diastolik (nadi yang membesar)
merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK, jika diikuti oleh
penurunan kesadaran.
Hipovolemia/hipertensi dapat
mengakibatkan kerusakan/iskhemia
cerebral. Demam dapat mencerminkan
kerusakan pada hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolisme
dan konsumsi oksigen terjadi (terutama
saat demam dan menggigil) yang
selanjutnya menyebabkan peningkatan
TIK.
5. Pantau intake dan out put, Rasional : Bermanfaat sebagai indikator
turgor kulit dan membran dari cairan total tubuh yang terintegrasi
mukosa. dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma
serebral dapat mengakibatkan diabetes
insipidus. Gangguan ini dapat
mengarahkan pada masalah hipotermia
atau pelebaran pembuluh darah yang
akhirnya akan berpengaruh negatif
terhadap tekanan serebral.
6. Turunkan stimulasi eksternal Rasional : Memberikan efek
dan berikan kenyamanan, ketenangan, menurunkan reaksi
seperti lingkungan yang fisiologis tubuh dan meningkatkan
tenang. istirahat untuk mempertahankan atau
menurunkan TIK.
7. Bantu pasien untuk Rasional : Aktivitas ini akan
menghindari /membatasi batuk, meningkatkan tekanan intrathorak dan
muntah, mengejan. intraabdomen yang dapat meningkatkan
TIK.
8. Tinggikan kepala pasien 15-45 Meningkatkan aliran balik vena dari
derajad sesuai indikasi/yang kepala sehingga akan mengurangi
dapat ditoleransi. kongesti dan oedema atau resiko
terjadinya peningkatan TIK.
9. Batasi pemberian cairan sesuai Pembatasan cairan diperlukan untuk
indikasi. menurunkan edema serebral,
meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler
TD dan TIK.
10. Berikan oksigen tambahan
sesuai indikasi. Menurunkan hipoksemia, yang mana
dapat meningkatkan vasodilatasi dan
volume darah serebral yang
11. Berikan obat sesuai indikasi, meningkatkan TIK.
misal: diuretik, steroid, Diuretik digunakan pada fase akut
antikonvulsan, analgetik, untuk menurunkan air dari sel otak,
sedatif, antipiretik. menurunkan edema otak dan TIK,.
Steroid menurunkan inflamasi, yang
selanjutnya menurunkan edema
jaringan. Antikonvulsan untuk
mengatasi dan mencegah terjadinya
aktifitas kejang. Analgesik untuk
menghilangkan nyeri . Sedatif
digunakan untuk mengendalikan
kegelisahan, agitasi. Antipiretik
menurunkan atau mengendalikan
demam yang mempunyai pengaruh
meningkatkan metabolisme serebral
atau peningkatan kebutuhan terhadap
oksigen.
2 Resiko tinggi pola Tujuan 1. Pantau frekuensi, irama, Perubahan dapat menandakan awitan
napas tidak efektif mempertahankan pola kedalaman pernapasan. Catat komplikasi pulmonal atau menandakan
berhubungan dengan pernapasan efektif. ketidakteraturan pernapasan. lokasi/luasnya keterlibatan otak.
kerusakan Pernapasan lambat, periode apnea dapat
neurovaskuler Kriteria hasil menandakan perlunya ventilasi
(cedera pada pusat bebas sianosis, GDA mekanis.
pernapasan otak), dalam batas normal 2. Pantau dan catat kompetensi Kemampuan memobilisasi atau
edema paru reflek gag/menelan dan membersihkan sekresi penting untuk
kemampuan pasien untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan
melindungi jalan napas sendiri. refleks menelan atau batuk menandakan
Pasang jalan napas sesuai perlunaya jalan napas buatan atau
indikasi. intubasi.
3. Angkat kepala tempat tidur Untuk memudahkan ekspansi
sesuai aturannya, posisi miirng paru/ventilasi paru dan menurunkan
sesuai indikasi. adanya kemungkinan lidah jatuh yang
menyumbat jalan napas.
4. Anjurkan pasien untuk Mencegah/menurunkan atelektasis.
melakukan napas dalam yang
efektif bila pasien sadar.
5. Lakukan penghisapan dengan Penghisapan biasanya dibutuhkan jika
ekstra hati-hati, jangan lebih pasien koma atau dalam keadaan
dari 10-15 detik. Catat imobilisasi dan tidak dapat
karakter, warna dan kekeruhan membersihkan jalan napasnya sendiri.
dari sekret.
Penghisapan pada trakhea yang lebih
dalam harus dilakukan dengan ekstra
hati-hati karena hal tersebut dapat
menyebabkan atau meningkatkan
hipoksia yang menimbulkan
vasokonstriksi yang pada akhirnya akan
berpengaruh cukup besar pada perfusi
6. Auskultasi suara napas, jaringan.
perhatikan daerah hipoventilasi Untuk mengidentifikasi adanya masalah
dan adanya suara tambahan paru seperti atelektasis, kongesti, atau
yang tidak normal misal: obstruksi jalan napas yang
ronkhi, wheezing, krekel. membahayakan oksigenasi cerebral
dan/atau menandakan terjadinya infeksi
7. Pantau analisa gas darah, paru.
tekanan oksimetri. Menentukan kecukupan pernapasan,
keseimbangan asam basa dan kebutuhan
8. Lakukan rongen thoraks ulang. akan terapi.
Melihat kembali keadaan ventilasi dan
tanda-tandakomplikasi yang
berkembang misal: atelektasi atau
9. Berikan oksigen. bronkopneumoni.
Memaksimalkan oksigen pada darah
arteri dan membantu dalam pencegahan
hipoksia. Jika pusat pernapasan
10. Lakukan fisioterapi dada jika tertekan, mungkin diperlukan ventilasi
ada indikasi. mekanik.
Walaupun merupakan kontraindikasi
pada pasien dengan peningkatan TIK
fase akut tetapi tindakan ini seringkali
berguna pada fase akut rehabilitasi
untuk memobilisasi dan membersihkan
jalan napas dan menurunkan resiko
atelektasis/komplikasi paru lainnya.
3 Resti infeksi b.d Tujuan 1. Berikan perawatan aseptik dan Cara pertama untuk menghindari
jaringan trauma, kulit Mempertahankan antiseptik, pertahankan tehnik terjadinya infeksi nosokomial.
rusak, prosedur normotermia, bebas cuci tangan yang baik.
invasif. tanda-tanda infeksi. 2. Observasi daerah kulit yang Deteksi dini perkembangan infeksi
mengalami kerusakan, daerah memungkinkan untuk melakukan
Kriteria hasil yang terpasang alat invasi, catat tindakan dengan segera dan pencegahan
Mencapai penyembuhan karakteristik dari drainase dan terhadap komplikasi selanjutnya.
luka tepat waktu. adanya inflamasi.
3. Pantau suhu tubuh secara Dapat mengindikasikan perkembangan
teratur, catat adanya demam, sepsis yang selanjutnya memerlukan
menggigil, diaforesis dan evaluasi atau tindakan dengan segera.
perubahan fungsi mental
(penurunan kesadaran).
4. Anjurkan untuk melakukan Peningkatan mobilisasi dan
napas dalam, latihan pembersihan sekresi paru untuk
pengeluaran sekret paru secara menurunkan resiko terjadinya
terus menerus. Observasi pneumonia, atelektasis.
karakteristik sputum.
5. Berikan antibiotik sesuai Terapi profilatik dapat digunakan pada
indikasi. pasien yang mengalami trauma,
kebocoran CSS atau setelah dilakukan
pembedahan untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosokomial.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.
Rochani Siti, S.ST LAB/ SMF ilmu penyakit saraf. 2010. Cedera Kepela,
Penanganan dan Proses Rujukan. RSU. Dr. Soetomo surabaya. Matakuliah ajar
STIKes Majapahit.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.
Jakarta: EGC.
Suzanne CS & Brenda GB. 1999. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8. Volume 3.
Jakarta: EGC.