Anda di halaman 1dari 77

AGUS HERMAWAN, S.Pd.I,M.

PENGANTAR
PSIKOLOGI DAKWAH

Penerbit

Yayasan Hj. Kartini Kudus

2019
PENGANTAR

PSIKOLOGI DAKWAH

Penulis

Agus Hermawan,S.Pd.I,M.A

Penerbit;

Yayasan Hj.Kartini Kudus

Editor;

Erlina Wijayanti,S.Pd

Desain Sampul

Qaisara Rania Asy-Syabiya

Dicetak;

Sinar Jaya

Cetakan I

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji bagi Allah Swt Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam
semoga dilimpahkan kepada Rasulullah Saw. Penulis bersyukur kepada Illahi
Rabbi yang telah memberikan hidayah serta taufik-Nya kepada penulis sehingga
buku yang berjudul “ Pengantar Psikologi Dakwah” dapat terselesaikan.

Materi buku ini disesuaikan dengan kurikulum hasil revisi Tahun 2018 di
lingkungan Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Sehingga content (isi) buku ini sangat relevan dan sama dengan materi Silabus di
IAIN Salatiga.

Dengan diterbitkannya buku ini, diharapkan para mahasiswa lebih terbantu


untuk memahami tentang Psikologi Dakwah meskipun sepintas kilas atau
pengantarnya saja. Namun demikian, penulis berusaha untuk menyajikan materi
seringkas mungkin dengan tidak mengurangi subtansi materi yang penting sesuai
urutan Tema yang ada di dalam Silabus.

Kepada Yayasan Hj. Kartini yang telah bersedia menerbitkan buku ini dan
juga kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian buku ini, kami
ucapkan terima kasih. Akhirnya penulis menyadari buku sederhana ini jauh dari
sempurna, maka tegur sapa untuk penyempurnaan buku ini sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan buku ini pada terbitan selanjutnya. Semoga buku ini
memberi kemanfaatan bagi kita semua. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Kudus, Maret 2019

Penulis

Agus Hermawan,S.Pd.I,M.A
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................

DAFTAR ISI.....................................................................................................

BAB I : PENGERTIAN, OBYEK, SASARAN, DAN RUANG LINGKUP


PSIKOLOGI DAKWAH.

BAB II : SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI DAKWAH

BAB III : PSIKOLOGI DAKWAH SEBAGAI DISIPLIN ILMU

BAB IV : HUBUNGAN PSIKOLOGI DAKWAH DENGAN ILMU LAINNYA

BAB V : KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI

BAB VI : KONSEP MANUSIA MENURUT ISLAM

BAB VII : MAD‟U SEBAGAI OBYEK DAKWAH

BAB VIII : PERAN MOTIVASI DALAM DAKWAH

BAB IX : INTERAKSI SOSIAL DALAM PROSES DAKWAH

BAB X : DAKWAH PERSUASIF

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................

PROFIL PENULIS...............................................................................................
BAB I

PENGERTIAN, OBYEK, SASARAN,

DAN RUANG LINGKUP PSIKOLOGI DAKWAH

Dakwah merupakan proses kegiatan mengajak, menyeru yang


dilakukan oleh seorang Dai kepada mad‟u untuk selalu konsisten di jalan
Allah. Di dalam proses berdakwah ini tentu saja banyak aspek yang harus
diperhatikan agar proses dakwahnya berhasil tidak terkecuali aspek
psikologis yang baik seorang Dai saat berkomunikasi dengan mad‟u.
Sehubungan dengan hal itu maka para da‟i dan pemerhati dakwah perlu
mengetahui dan menguasai Psikologi Dakwah.

A. Pengertian Psikologi Dakwah


1. Pengertian Secara Etimologi

Psikologi Dakwah menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani


yang terdiri dari dua kata, yakni psyche dan logos. Psyche berarti jiwa dan
logos berarti ilmu. Jadi psikologi secara bahasa dapat berarti ilmu jiwa.
Sehubungan jiwa itu bersifat abstrak, tidak bisa diamati secara empiris,
maka yang dikaji adalah tingkah laku manusia yang merupakan tampilan
dari jiwa. Bahkan perkembangan definisi-definisi psikologi itu sendiri
masih berlanjut hingga saat ini, di antaranya menurut aliran
behaviorisme, bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari atau menyelidiki tentang tingkah laku manusia atau binatang
yang tampak secara lahir.

Sedangkan pengertian dakwah secara bahasa, menurut Faizah dkk


(2015: 4-5) mempunyai makna bermacam-macam antara lain; memanggil
dan menyeru, menegaskan atau membela, menarik, doa permohonan dan
meminta serta mengajak.
Banyak definisi telah dibuat oleh para ahli untuk merumuskan
pengertian dakwah yang intinya adalah mengajak manusia ke jalan Allah
Swt agar mereka berbahagia di dunia dan akhirat. Dalam bahasa arab,
dakwah ialah da‟wat atau da‟watun biasa digunakan untuk arti-arti
undangan, ajakan, dan seruan yang kesemuanya menunjukkan adanya
komunikasi antara dua pihak dan upaya mempengaruhi pihak lain.

Dengan demikian maka dapat dirumuskan bahwa dakwah


merupakan usaha mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap
bertingkah laku seperti apa yang didakwahkan oleh Da‟i (Ahmad
Mubarok, 1999:1)

2. Pengertian Secara Terminologi

Secara terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam


menentukan dan mendefinisikan kata dakwah, hal ini disebabkan oleh
perbedaan mereka dalam memaknai dan memandang kata dakwah itu
sendiri. Abu Bakar Zakaria menjelaskan dalam bukunya ad- Da‟wah al
Islamiyyat sebagaimana dikutip Faizah dkk (2015: 5) dalam buku
Psikologi Dakwah menyebutkan beberapa pendapat tentang arti dakwah
secara istilah diantaranya sebagai berikut:

a. Muhammad Abu al Futuh dalam kitabnya al Madkhal il „Ilm ad Da‟wat


mengatakan bahwa dakwah adalah menyampaikan (tabligh) dan
menerangkan (al-bayan) apa yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW.
b. Muhammad al-Khaydar Husayn dalam kitabnya ad Da‟wat il al Ishlah
mengatakan dakwah adalah mengajak kepada kebaikan dan melarang
kepada kemungkaran agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.
c. Ahmad Ghalwasy dalam kitabnya ad Da‟wat al-Islamiyyah
mendefinisikan dakwah sebagai pengetahuan yang dapat memberikan
segenap usaha yang bermacam-macam, yang mengacu kepada upaya
penyampaian ajaran Islam kepada seluruh manusia yang mencakup
akidah, syariat dan akhlak.
d. Abu Bakar Zakaria sendiri dalam kitabnya ad Da‟wat ila al Islam
mendefinisikan dakwah sebagai kegiatan para ulama dengan
mengajarkan manusia apa yang baik bagi mereka dalam kehidupan
dunia dan akhirat menurut kemampuan mereka.

Dari sekian banyak definisi di atas, pada prinsipnya para ulama


bersepakat bahwa makna dakwah adalah suatu kegiatan untuk
menyampaikan dan mengajarkan serta mempraktikkan ajaran Islam di
dalam kehidupan sehari-hari atau dengan kata lain dakwah adalah ajakan
baik dalam bentuk lisan, tulisan dan tingkah laku yang telah direncanakan
secara sadar untuk mempengaruhi seseorang atau banyak orang, hal itu
dilakukan agar timbul kesadaran diri, sikap, pengalaman serta pemahaman
dalam beragama tanpa ada paksaan dari pihak tertentu.

Setelah menjabarkan satu persatu definisi dari psikologi dan


dakwah, maka dapat diartikan bahwa psikologi dakwah adalah ilmu yang
berusaha menguraikan, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku
manusia yang terkait dalam proses dakwah. Psikologi dakwah berusaha
menyingkap apa yang tersembunyi di balik perilaku manusia yang terlibat
dalam dakwah, dan selanjutnya menggunakan pengetahuan itu untuk
mengoptimalkan pencapaian tujuan dari dakwah itu sendiri. Ruang
lingkup kajian psikologi dakwah yang merupakan psikologi terapan yakni
berada dalam proses berlangsungnya kegiatan dakwah, dimana sasarannya
adalah manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Proses itu
melibatkan sikap dan kepribadian para da‟i dalam mengajak dan mengajari
mad‟u yakni manusia yang tentunya juga memiliki sikap serta kepribadian
sendiri.
B. Objek Psikologi Dakwah

Obyek psikologi dakwah sebagaimana umumnya ilmu pengetahuan


yang lain, selalu terdiri dari dua objek kajian, yaitu objek material dan
objek normal. objek material yaitu objek yang menjadi pokok bahasan
sebuah ilmu, sedangkan objek formal yaitu sudut pandang sebuah ilmu
dikaji, seperti apakah dari segi epistemologi, ontologi ataukah aksiologi.
Oleh karena itu objek material psikologi dakwah adalah manusia sebagai
objek dakwah. Sedangkan objek formalnya yaitu segala hidup kejiwaan,
tingkah laku/ manusia yang terlibat dalam proses dakwah.

Dalam kamus ilmiah populer objek berarti sasaran, hal, perkara,


atau orang yang menjadi pokok pembicaraan. Objek merupakan syarat
mutlak bagi suatu ilmu pengetahuan. Berdasarkan objek inilah ilmu
pengetahuan menentukan langkah-langkahnya lebih lanjut dalam
mengkhususkan masalahnya, atau objeklah yang membatasi masalah atau
persoalannya.

Secara otonom, psikologi dakwah mempunyai teori serta prinsip-


prinsip dan sudut pandang khusus yang berbeda dengan ilmu-ilmu lain.
Suatu sudut pandang yang spesifik terhadap suatu masalah biasanya
disebut dengan “objek formal ilmu pengetahuan”, sedangkan mengenai
fakta-fakta yang diselidiki atau yang dipelajari suatu ilmu merupakan
“objek material”.

Objek penelaah didalam ilmu dakwah ada dua, yaitu objek material
dan objek formal. Objek material adalah tentang tingkah laku manusia.
Sedangkan objek formalnya adalah usaha manusia untuk
menyeru/mengajak manusia lain dengan ajaran Islam agar menerima,
meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam bahkan memperjuangkannya.
Dapat disimpulkan bahwa objek dakwah adalah manusia dengan segala
sikap tingkah lakunya yang berkaitan dengan aktifitas dakwah.
Sedangkan di dalam buku Psikologi Umum yang ditulis oleh Drs.
H. Abu Ahmadi, bahwa segi objeknya, psikologi dibedakan menjadi dua
golongan yaitu, psikologi yang menyelidiki dan mempelajari manusia dan
psikologi yang menyelidiki dan mempelajari hewan, yang umumnya lebih
tegas disebut psikologi hewan. Dapat dikatakan bahwa objek dari
psikologi adalah manusia.

C. Sasaran Psikologi Dakwah


Menurut M. Arifin (1991) didalam bukunya Psikologi Dakwah,
bahwa pelaksanaan program kegiatan dakwah dan penerangan Agama
berbagai permasalahan yang menyangkut sasaran bimbingan atau dakwah
perlu mendapatkan konsiderasi yang tepat diantaranya yaitu;
1. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi
sosiologis berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota besar dan kecil,
serta masyarakat didaerah marginal dari kota besar.
2. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi
struktur kelembagaan berupa masyarakat, pemerintah dan keluarga.
3. Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masyarakat dilihat dari segi
sosial kultur berupa golongan Priyayi, Abangan dan Santri. Klasifikasi
ini terutama terdapat dalam masyarakat di Jawa.
4. Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat segi
berupa usia berupa golongan Anak-anak, Remaja dan orang Tua.
5. Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari
segi okupasional (profesi atau pekerjaan) berupa golongan petani,
pedagang, seniman, buruh, pegawai negri (administrator).
6. Sasaran yang menyangkut masyarakat dilihat dari segi tingkat hidup
sosial-ekonomis berupa golongan orang kaya, menengah dan miskin.
7. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari jenis
kelamin (Sex) berupa wanita, pria dan sebagainya.
8. Sasaran yang berhubungan dengan golongan dilihat dari segi khusus
berupa golongan masyarakat tuna susila, tuna wisma, tuna karya,
narapidana dan sebagainya. (Assasman212.wordpress.com)

D. Ruang Lingkup Psikologi Dakwah

Berhubungan dengan ruang lingkup dari psikologi agama,


maka ruang k a j i a n n y a m e n c a k u p k e s a d a r a n a g a m a ya n g
b e r a r t i b a h w a b a g i a n : s e g i a g a m a yang hadir dalam pikiran, yang
merupakan aspek mental dari aktifitas agama, dan pengalaman agama
berarti unsur perasaan dalam kesadaran beragama yakni perasaan yang
membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan amaliah/
dengan kata lain bahwa psikologi agama mempelajari kesadaran
agama pada seseorang yang pengaruhnya terlihat dalam kelakuan dan
tindakan agama orang itu dalam hidupnya.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kalimat da‟watun


dapat diartikan dengan undangan, seruan atau ajakan yang semuanya
menunjukkan adanya komunikasi antara dua pihak dimana pihak pertama
(da‟i) berusaha menyampaikan informasi, mengajak dan mempengaruhi
pihak kedua (mad‟u). Pengalaman berdakwah menunjukkan bahwa ada
orang yang cepat tanggap terhadap seruan dakwah ada yang acuh tak acuh
dan bahkan ada yang bukan hanya tidak mau menerima tetapi juga
melawan dan menyerang balik. (Putri,2015:12)

Proses penyampaian dan penerimaan pesan dakwah itu dilihat dari


sudut psikologi tidaklah sesederhana penyampaian pidato oleh da‟i dan
didengar oleh hadirin, tetapi mempunyai makna yang luas, meliputi
penyampaian energi dalam sistem syaraf, gelombang dan tanda-tanda.
Ketika proses suatu dakwah berlangsung, terjadilah penyampaian energi
dari alat-alat indera ke otak, baik pada peristiwa penerimaan pesan dan
pengolahan informasi, maupun pada proses saling mempengaruhi antara
berbagai sistem dari kedua belah pihak, da‟i dan mad‟u.
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI DAKWAH

A. Sejarah Dakwah dan Sejarah Psikologi


1. Sejarah Dakwah
Sejarah dakwah dapat diartikan sebagai peristiwa masa lampau
umat islam dalam upaya mereka menyeru, memanggil dan mengajak umat
manusia pada islam serta bagaimana reaksi umat yang diseru dan
perubahan-perubahan apa yang terjadi setelah dakwah digulirkan, baik
langsung maupun tidak langsung. Sedangkan aspek kesejarahan yang
dipotret adalah aktivitas umat dalam memenuhi perintah Allah swt untuk
menyebarkan agama, membina masyarakat, melakukan transformasi sosial
budaya, memelihara agama dan mempertahankannya dari serangan-
serangan musuh Islam. Sejarah agama dalam rentang masa yang begitu
panjang mengalami pasang surut. Akan tetapi, sejarah dakwah itu pada
hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari sejarah dakwah itu sendiri. (Wahyu
Ilahi, 2010:66).
Sejarah perkembangan dakwah pada periode Nabi Muhammad dan
Khulafa al-Rasyddin. Sejarah dakwah Nabi Muhammad dapat dibagi
dalam dua fase, fase Mekkah dan fase Madinah. Fase Mekkah mulai
semenjak Rasulullah menerima wahyu pertama di gua Hira, sedangkan
pada fase Madinah dimulai ketika Nabi Muhammad menerima wahyu
untuk berhijrah ke Madinah menerima wahyu untuk berhijrah ke Madinah
pada saat orang-orang Quraisy merencanakan pembunuhan terhadap Nabi
Muhammad dan para pengikutnya. Kemudian dilanjutkan para khulafaur
rasyidiin kemudian dilanjutkan Periode umayyah, „Abasiyah, dan utsmani.
Periode ini adalah masa dinasti Umayyah, „Abasiyyah, dan utsmani
(tabiin-tabi‟ tabiin). Periode ini dimulai dengan berdirinya Dinasti Bani
Umayyah oleh Mu‟awiyyah bin abi Shafyan pada tahun keempat puluh
Hijriyah pada tahun 1343 H/1924 M. Pada zaman modern ini ada yang
mengambil bentuk dakwah yang bermacam-macam, ada yang berdakwah
secara personal, ada juga yang bergerak secara berkelompok. (H.M Arifin,
1991: 32-33).
Islam adalah agama dakwah, Islam disebarluaskan dan
diperkenalkan kepada umat manusia melalui aktivitas dakwah, tidak
melalui kekerasan, pemaksaan atau kekuatan senjata. Islam tidak
membenarkan pemeluk-pemeluknya melakukan pemaksaan terhadap umat
manusia, agar mereka mau memeluk agama islam. Setidak-tidaknya ada
dua alasan, mengapa islam tidak membenarkan pemaksaan tersebut: (1)
Islam adalah agama yang benar dan ajaran-ajaran islam sama sekali benar
dan dapat diuji kebenarannya secara ilmiah, dan (2). Masuknya iman
kedalam kalbu setiap manusia merupakan hidayah Allah swt, tidak ada
seorangpun yang mampu dan berhak memberi hidayah ke dalam kalbu
manusia kecuali Allah swt. (Masyhur Amin, 1997:1997).

2. Sejarah Psikologi
Di penghujung abad XX sejenak kita merenungi karakteristik abad
kita ini sambil mencoba membayangkan corak kehidupan bagaimana
yang berkembang pada abad mendatang. Abad XX di satu pihak di
tandai oleh perkembangan sains dan teknologi yang pesat luar biasa .
Perkembangan IPTEK ini berhasil ,menciptakan perabadaban modern
yang menjadikan berbagai kemajuan dan kemudahan bagi mereka
yang berhasil memenuhi segala tuntutan modernisasi. Sebuah peluang
dan sekaligus tantangan akhir abad XX untuk meningkatkan taraf
kehidupan yang dapat di penuhi hanya dengan bekerja keras dan bukan
dengan bersantai santai. (Djamaludin Ancok, 2011: 191)
Beberapa abad sebelum masehi, para ahli pikir Yunani dan
Romawi telah berusaha mengetahui hidup kejiwaan manusia dengan
cara cara yang bersifat spekulatif. Pada zaman ini psikologi masih
dalam ruang lingkup filsafat, para ahli menyebutnya filsafat rohaniah,
karena mereka berusaha memahami jiwa melalui pemikiran filosofi
dan merupakan bagian dari filsafat. Salah satu filusuf pada saat ini
Plato dan Aristoteles. Sejarah dengan dinamika hidup masyarakat
untuk senantiasa mencari pemuasan dalam segala aspek kehidupannya
maka fikiran manusia pun mengalami perkembangan yang bertendesi
ke arah pemuasan hidup ilmiah nya yang semakin sempurna. Mulai
zaman humanisme sistem dan metode berfikir manusia tidak lagi
bersifat spekulatif, melaikan menuntut sistem dan metode yang bersifat
rasionalistis. Di antara ahli pikir pada masa ini adalah Thomas Aquinas
dan Jhon Locke. (H.M.Arifin, 1991:32-33).

B. Psikologi dalam Perspektif Islam, Barat dan Timur


Elisabeth Lukas, seorang logoterapis kondang, mencatat salah satu
prestasi penting dari proses modernidasi di dunia Barat, yakni melepaskan
diri dari berbagai belenggu tradisi yang serba menghambat, sekaligus
berhasil meraih kebebebasan (freedom) dalam hampir semua bidanh
kehidupan. Tradisi orang tua menjodohkan anaknya atasa dasar
pertimbangan sosial-ekonomi telah berhasil dihilangkan dan diganti
demgam kebebasan anak untuk menentukan pilihan atas dasar
pertimbangan dan keinginan sendiri. Tetapi data statistic menunjukkan
angka perceraian makin lama makin tinggi. Kaum wanita berhasil
mengembangkan karir professional di luar fungsi tradisional mereka
berbagai istri semata-mata. Keberhasilan meraih karir setara kaum pria ini
tidaka jarang diwarnai dengan konflik peran antara tuntunan professional
dengan tanggung jawab kekeluargaan. Pembebasan diri dari aturan-aturan
estetika seni tradisional mengakibatkan seni modern makin sulit dipahami
dan dihayati, karena ungkapan estetisnya main “tidak berbentuk”. Asas-
asas dan tuntutan keagamaan yang makin rasional sering berubah-ubah
seiring dengan mendangkalnya penghayatannya. Agama di Barat seakan-
akan telah kelihangan fungsinya sebagai pedoman hidup dan sumber
ketenangan batin. Pandangan Elisabeth Lukas menegenai kebebebasan
yang berhasil dikembangkan pada era modern tersebut menunjukkan
bahwa tanpa diimbangi tanggung jawab dan kematangan sikap, maka
kebebabsan itu tidak berhasil mendatangkan ketentraman dan rasa aman.
Bahkan dapat menyuburkan penghayatan hidup tanpa makna dan
kesewenagn-wenangan. (Djamaludin Ancok, 2011:192-193)

1. Psikologi di Lingkungan Islam

Untuk mengkaji lebih jauh psikologi Barat, maka kita harus


menelusuri kembali abad-abad lampau untuk dapat memahami langkah
awal kebebasanya dari kajian filsafat dengan diikuti dengan kemunculanya
secara “ilmiah”. Dengannya pula kita dapat mengetahui arah kajian ini dan
juga mazhab yang mengembangkannya. Begitu pula langkah yang harus di
tempuh bila kita ingin mengkaji kajian psikologi di lingkungan islam. Kita
di tuntut untuk menelusuri sejarahnya dan memahami keadaan yang
membuat masalah kejiwaan akhirnya di bahas dalam lingkungan islam.
Untuk bisa memahami kajian psikologi masakini di lingkungan islam,
maka kita harus memiliki informasi tentang kondisi yang menyertai di
mulainya kajian psikologi itu sendiri yang di tandai dengan penyusunan
kurikulumnya. Kitapun harus memahami adanya gesekan gesekan
pemikiran dengan pola pikiran yang ada di barat, khususnya pada para
utusan yang belajar di barat di saat mereka kehilangan gambaran yang
jelas akan apa yang harus di pahami dari suatu lingkungan yang islami
hingga mereka bisa mengadaptasikan konsep yang di pelajarinya dengan
baik.Perpindahan psikologi ke lingkungan islam tidak melalui cara yang
tepat. Muncullah banyak buku yang mengkritik konsep yang ada di
dalamnya dari sisi pandang islam. Buku tersebut tidak hanya menukil
sebagian pernyaan yang ada dalam konsep tersebut namun juga mengulas
keseluruhan sejarah kemunculan konsep dalam ilmu psikologi secara
umum, krisis yang di hadapinya dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa
di lakukan kaum muslim untuk bisa mengatasi krisis tersebut, baik dalam
skala regional maupun internasional. Perubahan ini (yakni kritik atas
psikologi umum) berdatangan dari sebagian ilmuan yang telah
mengasimilasi psikologi dengan ilmu islam. (Muhammad Izzuddin Taufiq,
2006: 13,14,18).

2. Studi Psikologi Timur

Agama Timur sebenarnya banyak berisi psikologi. Sebagai contoh


ajaran Buddha banyak berisi psikologi. Buddhisme diajarkan oleh Buddha
Gautama 536-483 SM di India. Dan sesudah Buddha Buddha Gautama
wafat lalu terjadilah aliran-aliran Buddhisme, misalnya Mahayana dan
Hinayana. Dalam dunia Agama Islam, tokoh-tokoh yang mempelajari ilmu
pengetahuan termasuk psikologi adalah gerakan Sufisme. Pada bangsa
Yahudi, kelompok Kabbalis memperhatikan transformasi psikologis.
Banyak sarjana yang menulis atau mempelajari tentang ajaran agama,
diantaranya ialah:
a. Patanjali adalah penulis ajaran Buddha yang terkenal. Lainnya
Shankara.
b. Huston Smith (1959) menulis The Religion of Man.
c. Nyanatiloka, penulis kamus Buddhisme, 1972. Buku Abhidamma
dalam bahasa Pali dan Abhidharma dalam bahasa Sangsekerta. Buku
tersebut berisi psikologi Buddhisme menurut wawasan-wawasan
Buddha Gautama yang dianut oleh Buddha Theravada.

Abhidamma dapat dipandang sebagai teori kepribadian dan juga sebagai


buku psikologi Asia. Psikologi Asia ini telah hidup selama 2000 tahun.
Banyak teori meditasi Barat diambilkan dari meditasi transendental, Zen,
dan sebagainya. Sarajan psikologi Barat yang dipandang tahu psikologi
Timuradalah C.G. Jung, karema Jung bersahabat dengan Henrich Zimmer,
seorang ahli Timur. Jung juga memberi kata pengantar buku-buku yang
ditulis D.T. Suzuki, sarjana Zen (1974), dan Richard Whilhem
(1962);penerjemah bebas I Ching dan naskah-naskah lain yang berisi ajaran
Tao dari Cina. Angyal dan Maslow dengan teori holistic juga menyebarkan
psikologi dakwah Timur. Tokoh-tokoh humanism Burber dan Fromm,
tokoh ekstensialis Boss dan gerakan psikologi transpersonal, banyak
membaca sastra Timur. Ajaran pada psikologi Timur adalah usaha
mengembangkan suatu pengetahuan sistematis tentang budi manusia,
pendekatan psikologi Asia dengan introspeksi dan pemeriksaan diri sendiri
yang menuntut banyak waktu dan energy. Maslow juga mempelajari
psikologi Timur. (Ki Fudyartanto,2003: 1,2,6)

3. Psikologi dalam Kebudayaan Barat

Pencerahan memiliki makna yang berbeda dengan kebudayaan


Barat, hal itu merupakan istilah bagi gerakan filsafat padda abad kedelapan
belas yang menekankan nilai penting akal, yang juga istilah bagi tradisi
psikologi yang dibangun sejak Yunani Klasik dan kemudian mencapai
puncaknya untuk kemudian mengalami kemunduran pesat sesudahnya.
Seperti yang disimpulkan oleh Fromm (1951), para filsuf Pencerahan,
yang juga adalah para pengikut dari jiwa, berbicara bkan atas nama
pembebasan atau pencerahan mistis, namun berbicara berdasarkan otoritas
akal, tentang kebahagiaan manusia dan pengungkapan jiwanya. Mereka
menegaskan bahwa kebahagiaan akan dicapai apabila manusia meraih
kebebasan diri, dan mendorong manusia menghilangkan keberadaan
eksistensi yang penuh ilusi dan ketidakpedulian, dan mendorong
peneguhan akan kemerdekaan manusia dan kekangan politis. Dengan
demikian, dapat dilihat bahwa psikologi Barat, karena tidak lagi yakin
dengan pokok kajiannya, jiwa, maka dalam pandangan Rajneesh, bukan
psikologi yang benar sama sekali, sedangkan sebagian besar ahli psikologi
Barat akan menolak tradisi spiritual esoteric dari Timur dalam membentuk
psikologi suatu pemahaman yang keliru. Pokok yang penting dalam hal ini
adalah lebih dari sekedar perdebatan etimologi.hal itu berkaitan dengan
yang membentuk pokok kajian psikologi yang paling tepat, dan hal itu
menunjukkan tradisi pemikiran yang berbeda-yang sesungguhnya sangat
“berjuwa”-dari kedua kebudayaan dimana kedua tradisi pemikiran itu
berasal. Di Timur, di mana psikologi berakar dalam tradisi mistisisme,
penekanan lebih diberikan pada aspek spiritual, subjektif, dan individual,
dan etos dominannya bersifat humanis, sementara dalam psikologi Barat
berakar pada tradisi sains, (Helen Graham, 2005: 28,35).
C. Perkembangan Pemikiran Psikologi Dakwah di Indonesia
Sebagai sebuah disiplin ilmu yang baru, Psikologi Dakwah yang
pada hakikatnya merupakan bagian dari psikologi Islam dimana sumber
landasan utamanya adalah al-Qur‟an dan as-Sunnah. Perkembanganpun
sejalan dengan perkembangan pemikiran psikologi dalam Islam.
Kegiatan dakwah di Indonesia sampai abad XX umumnya berjalan
secara alamiah karena merupakan panggilan hati untuk melaksanakan
kewajiban berdakwah bagi setiap muslim. Namun belum banyak lembaga
bahkan kebijakan pemerintah yang secara khusus mempersiapkan para
calon Da‟i/Muballigh dengan seperangkat ilmu dan keterampilan untuk
mendukung kegiatan dakwah tersebut.
Kehadiran ilmu khusus yang bisa membantu kegiatan dakwahpun
semakin urgen. Psikologi Dakwah dirasakan penting kehadirannya untuk
membantu mengefektifkan pelaksanaan dakwah dan memaksimalkan hasil
dari kegiatan dakwah itu sendiri.
Di Indonesia, ilmu ini dirintis oleh H.M. Arifin sekitar tahun 1990.
Menurutnya bahwa psikologi dakwah merupakan landasan dimana
metodologi dakwah seharusnya dikembangkan agar kegiatan dakwah
semakin efektif dan efisien. Harapannya psikologi dakwah bisa membantu
para Da‟i dan para penerang agama untuk memahami latar belakang hidup
naluri manusia sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.
BAB III
PSIKOLOGI DAKWAH SEBAGAI DISIPLIN ILMU

A. Kedudukan Psikologi Dakwah dalam Ilmu Psikologi

Kegiatan dakwah adalah kegiatan komunikasi, dan komunikasi


menyebabkan terjadinya interaksi social termasuk juga interaksi dakwah.
Agar dakwah bersifat komunikatif, seorang da‟i memerlukan pengetahuan
tentang gejala-gejala sosial atau tingkah laku manusia dalam lingkungan
sosio-kulturnya dan seberapa jauh keyakinan agama mempengaruhi tingkah
lakunya. Psikologi dakwah dimaknai sebagai ilmu pengetahuan yang bertugas
mempelajari atau membahas tentang segala hidup kejiwaan manusia yang
terlibat dalam proses kegiatan dakwah.
Secara umum psikologi berdasarkan kegunaannya meliputi dua
macam yakni psikologi teoritis dan psikologi praktis. Psikologi teoritis yaitu
ilmu yang mempelajari gejala-gejala itu sendiri, sedangkan psikologi praktis
yaitu ilmu yang membahas segala sesuatu tentang jiwa untuk digunakan
dalam praktek. (Abu Ahmadi, 2009:4)
Psikologi Dakwah berdasarkan definisinya menurut H.M.Arifin
(1991:17) termasuk pada kategori psikologi praktis/ terapan, karena
penggunaannya lebih pada prakteknya. Disamping itu pula yang dibahas
dalam psikolgi dakwah ialah mengenai masalah tingkah laku manusia dilihat
dari segi interaksi dan interrelasi serta interkomunikasi dengan manusia lain
dalam hidup kelompok sosial, disamping masalah hidup individu dengan
kelainan-kelainan watak dan personality, mendapat tekanan-tekanan analisis
yang mendasar dan menyeluruh, karena tidak dapat dipungkiri bahwa
manusia adalah makhluk sosial.
Oleh karena itu, dakwah sebagai ilmu bersinggungan dengan beberapa
disiplin ilmu antara lain, komunikasi, sosiologi, psikologi sosial, psikologi
agama di samping ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri.
1. Hubungannya dengan Ilmu Komunikasi
Telah disebutkan bahwa kegiatan dakwah sendiri ialah sebuah
kegiatan komunikasi, karena manusia yang menjadi pelaku dakwah dan
pelaku komunikasi adalah sama, yaitu yaitu manusia yang berfikir,
berperasaan dan berkeinginan. Perbedaan dakwah dan komunikasi terletak
pada muatan pesannya. Pada komunikasi sifatnya netral, sedangkan pada
dakwah agak terkandung nilai keteladanan.
2. Hubungan dengan sosiologi
Sosiologi menaruh perhatian pada interaksi sosial. Interaksi sosial baru
terjadi manakala ada peristiwa komunikasi. Kegiatan dakwah merupakan
peristiwa komunikasi yang juga melahirkan interaksi sosial antara da‟I
mad‟u. dengan bantuan sosiologi, seorang da‟I dapat menganalisa struktur
sosial yang mempengaruhi tingkah laku mad‟u, sehingga ia dapat
menentukan pendekatan apa yang akan dilakukan dalam dakwahnya.
3. Hubungannya dengan Psikologi Sosial
Psikologi sosial merupakan bagian dari psikologi. Psikologgi mempelajari
tingkah laku manusia, sedangkan psikologi sosial memusatkan perhatiannya
pada gejala sosial atau tingkah laku manusia dalam lingkungan sosio-
kulturnya. Oleh karena itu, psikologi sosial bagi seorang da‟i cukup penting
karena dapat membantu da‟I dalam membedah gejala sosial masyarakat yang
didakwahi.
4. Hubungannya dengan Psikologi Agama
Psikologi agama meneliti sejauh mana pengaruh keyakinan agama
terhadap sikap dan tingkah laku orang baik berpikir, bersikap maupun
bereaksi tidak dapat dipisahkan dengan keyakinannya, karena keyakinan itu
masuk dalam kontruksi kepri-badiannya.jika psikologi dakwah berusaha
menguak apa yang melatarbelakangi tingkah laku manusia yang terkait
dengan dakwah, maka psikologi agama mencari tahu seberapa besar
keyakinan agama seseorang mempengaruhi tingkah lakunya.(Achmad
Mubarak, 1999: 4)
B. Beberapa Dasar Ilmu Yang Menerangkan Bahwa Psiklogi Dakwah
Sebagai Disiplin Ilmu

1. Dasar Filosofis (Ontologi)


Setiap disiplin ilmu dapat kita lihat dari 2 hal, yakni: Objek material ialah
seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu.
Objek forma ialah objek yang disoroti oleh suatu ilmu, sehingga
membedakan ilmu yang satu dari ilmu yang lainnya, jika berobjek sama.
Adapun yang dijadikan objek material dari psikologi dakwah yakni
“tingkah laku manusia”. Maka objek formal dari psikologi dakwah yakni
segala gejala hidup kejiwaan manusia yang terlibat dalam proses kegiatan
dakwah.
Psikologi dakwah mencoba untuk mengarahkan perhatiannya pada
perilaku manusia dan mencoba menyimpulkan proses kesadaran yang
menyebabkan terjadinya perilaku itu dalam kaitannya dengan aktivitas
dakwah, baik ia sebagai individu maupun dalam kehidupan kelompok.
2. Dasar Epistemologi
Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat
dalam usaha untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan
pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan kode
keilmuan. Berkaitan dengan kajian psikologi dakwah maka berdasarkan
keilmuan psikologi dakwah disusun dari beberapa prosedur sehingga dapat
dikatakan sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang baru. Prosedur penyusunan
ilmu pengetahuan tersebut meliputi:
a) Observation (pengamatan)
b) Measuring (pengukuran)
c) Explaining (penjelasan)
d) Verifying (pemeriksaan benar tidaknya)
Adapun metode yang diterapkan yakni:
1) Metode Induksi
Induksi adalah suatu cara penganalisisan ilmiah yang bergerak dari hal-hal
yang bersifat khusus (individual) menuju kepada hal-hal yang bersifat umum
(universal). Jadi induksi ini adalah penelitian terhadap kenyataan-kenyataan
khusus satu demi satu lalu diadakan generasilasi dan abstraksi yang diakhiri
dengan kesimpulan umum.
2) Deduksi
Metode ini kebalikan ari induksi, yakni bergerak dari yang bersifat umum
(universal) kemudian atas dasar itu ditetapkan hal-hal yang besifat khusus.
3. Dasar Aksiologi
Adanya ilmu pengetahuan tentu memiliki fungsi atau manfaatnya. Sama
halnya dengan psikologi dakwah. Setelah melalui prosedur disiplin ilmu
pengetahuan maka kita dapat melihat dengan jelasa apa manfaat dari ilmu
psikologi dakwah ini.
Psikologi dakwah sebagai bagian disiplin ilmu tentu saja juga memiliki
fungsi diantaranya sebagai berikut:
1) Dengan mengkaji segala proses kejiwaan manusia, dengan mengetahui
segala aktivitas kejiwaan manusia, merupakan modal untuk
mengadakan deskriptik dari mad‟u atau objek dakwah. Dengan bekal
ilmu jiwa kepribadian misalnya, kita akan mampu menganalisis,
mendeskripsikan kepribadian seseorang, apalagi ditunjang dengan latar
belakang ilmu jiwa perkembangan maka kepribadian seseorang itu
dapat dideskripsikan secara valid.
2) Kajian psikologi dakwah merupakan pengembangan teori-teori yang
telah ditelurkan oleh disiplin ilmu yang serumpun, misalnya
pengembangan teori ilmu dakwah. Dan apabila teori-teori metodologis
dakwah sebagai contohnya maka kajian psikologi objek dakwah
merupakan acuan dimana metode dakwah diterapkan.
3) Begitu pula dengan kajian psikologi dakwah, kita bias memprediksikan,
arah atau kecenderungan psikologi massa. Sehingga dapat pula sebagai
awal kita mengadakan kontrol terhadap kecenderungan tersebut.
Sehingga hal-hal yang merugikan aktivitas dakwah dapat dihindari.
C. Aksiologi Psikologi Dakwah Perspektif Al Qur’an
Al Qur‟an diturunkan di dunia ini sebagai alat untuk mencapai tujuan
yang lebih tinggi dan lebih umum dari sekadar tujuan ilmu pengetahuan itu
sendiri atau tujuan mencari keuntungan individual atau keuntungan golongan,
karena kehidupan manusia ini tidak tebatas dengan adanya planey bumi ini,
juga tidak terbatas umur yang terbatas, yang dilalui oleh kehidupan pribadi-
pribadi dan kelompok atau golongan untuk masa yang terbatas (Ali Abdul
Azhim, 1989:32).
Mengembangkan ilmu merupakan amal. Amal dalam Islam merupakan
ibadah, selama tidak ada dosa dan riya‟. Akan tetapi kebanyakan manusia
beramal, untuk dunia saja, karena ingin menikmati kenikmatan dunia yang
lama mengikuti hawa nafsunya, akan tetapi melalaikan kepentingan akhirat.
Adapun orang beriman berbuat untuk keseimbangan kehidupan dunia dan
akhirat. Allah berfirman yang artinya:
“Dan diantara mereka ada orang yang berdoa: “ya Tuhan kami, berilah
kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan perihalah kami dari
siksa api neraka”. (QS. Al Baqarah : 201)

Dari sini kita dapat melihat bahwa menuntut ilmu pengetahuan dalam
Islam bertujuan untuk mencapai kebaikan yakni dunia dan akhirat. Dengan
ilmu itu diharapkan akan terealisasi keseimbangan kepribadian manusia
dalam citranya yang hakiki dan sempurna, seperti yang tercermin dalam
pribadi Rasulullullah saw. Dimana pada dirinya terdapat keseimbangan
kekuatan spiritual yang mendalam dan kekuatan fisiknya yang tangguh.
Maka jelaslah bahwa tujuan terbesar menuntut ilmu pengetahuan dalam
Islam ialah lebih dekat dengan Allah, karena Dia Zat Yang Maha Tinggi
sebagai sumber kebenaran, kebaikan, dan ketulusan. Sehingga seorang
muslim dalam segala aktivitas keilmuannya harus mengarah dan hijrah untuk
mendekatkan diri kepada Allah. (putriap13.blogspot.com/2015/12).
BAB IV
HUBUNGAN PSIKOLOGI DAKWAH DENGAN ILMU LAIN

Kegiatan dakwah adalah kegiatan komunikasi, dan komunikasi


menyebabkan terjadinya interaksi sosial. Agar dakwah bersifat
komunikatif seorang da‟i memerlukan pengetahuan tentang gejala-gejala
sosial atau tingkah laku manusia dalam lingkungan sosio-kulturnya dan
seberapa jauh keyakinan agama mempengaruhi tingkah lakunya. Oleh
karena itu, dakwah sebagai ilmu bersinggungan dengan beberapa disiplin
ilmu lainnya, diantaranya komunikasi, sosiologi, psikologi sosial,
psikologi agama disamping ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri.

A. Hubungan Psikologi Dakwah Dengan Ilmu Komunikasi

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kegiatan dakwah adalah


kegiatan komunikasi yaitu seorang atau sekelompok da‟i
mengkomunikasikan pesan kepada mad‟u, perorangan ataupun kelompok
komunikasi bisa saja hanya berfungsi sebagai penyampaian informasi
tetapi bisa juga sebagai hiburan dan bahkan bisa sebagai pengendali
tingkah laku. Demikian juga dakwah, sekurang-kurangnya ia
menyampaikan informasi dalam keadaan tertentu menghibur atau
mengingatkan dan idealnya mendorong mad‟u pada tindakan atau
mempengaruhi tingkah lakunya.

Dengan demikian secara teknis, dakwah adalah komunikasi antara da‟i


dan mad‟u dan semua orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah adalah
juga komunikan. Semua hukum yang berlaku dalam sistem komunikasi
berlaku juga pada dakwah hambatan komunikasi adalah hambatan dakwah
pula, dan bagaimana cara mengungkap apa yang tersembunyi dibalik
perilaku manusia dakwah sama pula dengan apa yang harus dikerjakan
terhadap manusia komunikan. Tegasnya, cara kerja psikologi dakwah
adalah sama dengan cara kerja psikologi dakwah, karena manusia yang
menjadi pelaku dakwah dan pelaku komunikasi adalah sama, yaitu
manusia yang berfikir, berperasaan, dan berkeinginan.

Perbedaan dakwah dengan komunikasi terletak pada muatan pesannya,


pada komunikasi sifatnya netral, sedangkan pada dakwah agama
terkandung nilai keteladanan. Seorang pemain sandiwara dianggap hebat
manakala ia dapat memerankan dirinya sebagai oranglain, dan pesannya
dinilai komunikatif meskipun kehidupannya di luar panggung sangat jauh
kualitasnya dibanding tokoh yang diperakannya di atas panggung, karena
ukuran keberhasilan seorang aktor adalah keberhasilannya menjadi
oranglain. Adapun seorang da‟i, ia bukan hanya seorang komunikator
tetapi juga motivator dan contoh sehingga ia dituntut untuk sinkron antara
apa yang disampaikan di atas mimbar dengan apa yang dilakukannya
dalam kehidupan kesehariannya. Seorang da‟i adalah komunikator
sekaligus teladan.

B. Hubungan Psikologi Dakwah Dengan Sosiologi


Sosiologi menaruh perhatian pada interaksi-sosial. Interaksi sosial baru
terjadi manakal ada peristiwa komunikasi. Kegiatan dakwah merupakan
peristiwa komunikasi yang juga melahirkan interaksi sosial antara da‟i dan
mad‟u. Untuk memahami fenomena pada masyarakat yang menjadi obyek
dakwah di mana interaksi sosial terjadi, sosiologi pastilah dibutuhkan.
Dengan bantuan sosiologi, seorang da‟i dapat menganalisa struktur sosial
yang mempengaruhi tingkah laku mad‟u, sehingga ia dapat menentukan
pendekatan apa yang akan dilakukan dalam dakwahnya.
C. Hubungan Psikologi Dakwah Dengan Psikologi Sosial

Psikologi sosial merupakan bagian dari psikologi. Psikologi


mempelajari tingkah laku manusia, sedangkan psikologi sosial
memusatkan perhatiannya pada gejala sosial atau tingkah laku manusia
dalam lingkungan sosio-kulturnya. Seorang da‟i selalu berhadapan dengan
fenomena sosial yang belum tentu dipahaminya. Oleh karena itu,
pengetahuan psikologi sosial bagi seorang da‟i cukup penting karena ia
dapat membantu da‟i dalam membedah gejala sosial masyarakat yang
didakwahi. Dari sudut ini maka dakwah adalah peristiwa sosial.

D. Hubungan Psikologi Dakwah Dengan Psikologi Agama


Psikologi agama (ilmu jiwa agama) meneliti sejauh mana pengaruh
keyakinan agama terhadap sikap dan tingkah laku orang (berpikir,
bersikap, dan bereaksi). Tingkah laku orang, baik dalam berpikir, bersikap
maupun berekasi tidak dapat dipisahkan dengan keyakinannya, karena
keyakinan itu masuk dalam konstruksi konstruksi kepribadiannya.
Lapangan penelitian psikologi agama (ilmu jiwa agama) adalah
kesadaran beragama dan pengalaman beragama. Jika psikologi dakwah
berusaha menguak apa yang melatarbelakangi tingkah laku manusia yang
terkait dengan dakwah, maka psikologi agama mencari tahu seberapa
besar keyakinan agama seseorang mempengaruhi tingkah lakunya.
Dakwah bukan hanya dilakukan terhadap orang yang belum beragam,
tetapi juga kepada orang yang sudah memiliki keyakinan agama. Dalam
ceramah-ceramah keagamaan, peringatan Isra‟ Mi‟raj Nabi atau Maulid
Nabi misalnya dapat dipastikan bahwa hadirin yang mengunjungi acara
tersebut pasti lebuh banyak yang telah memiliki keyakinan agama islam.
Di sinilah seorang da‟i terhadap psikologi agama, karena tingkah laku
seseorang/kelompok orang terkadang aneh dan tidak mudah dipahami baik
yang bersifat positif maupun yang negatif. Tidak mustahil bahwa
“keanehan” tingkah laku itu ternyata bermuara pada suatu keyakinan yang
dianutnya. (Zakiah Darajat,1999:4-6).
BAB V
KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa menjadi subjek dan objek
sekaligus. Manusia berpikir dan merenung, kemudian menjadikan dirinya sebagai
objek fikiran dan renungan. Terkadang manusia dipuja tetapi dikala yang lain
manusia juga dihujat. Terkadang manusia sering merasakan bangga terhadap
pujian seseorang dan suatu ketika ia bersedih saat ada hujatan kepada dirinya.
Manusia sejak semula ada dalam suatu kebersamaan, ia senantiasa
berhubungan dengan manusia-manusia lain dalam wadah kebersamaan,
persahabatan, lingkungan, masyarakat, pekerjaan dan bentuk relasi social lainnya.
Manusia dilengkapi antara lain cipta, rasa, karsa, norma,cita-cita, dan nurani
sebagai karakteristik kemanusiannya.

A. Konsep Psikologi tentang Manusia.

Seorang da‟i suatu ketika pasti berhadapan dengan karakteristik


manusia yang berbeda-beda dan dalam situasi yang berbeda-beda pula.
Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh factor-faktor personal maupun
situasional, factor internal maupun sosiokultural. Oleh karena itu,
pengetahuan tentang karakteristik manusia sangat membantu tugas-tugas
seorang da‟i.
Manusia dakwah terdiri dari da‟I dan mad‟u. seorang da‟i yang juga
psikolog berkepentingan untuk mengetahui bagaimana mad‟u memproses
pesan dakwah dan bagaimana cara berpikir dan melihat mereka, dipengaruhi
oleh lambang-lambang yang berbeda.
Jika fokus psikologi dakwah adalah manusia yang terlibat dalam
komunikasi dakwah maka dalam hal ini yang harus diketahui adalah
karakteristik manusia sebagai komunikan, yakni faktor-faktor apa yang
mempengaruhi tingkah laku mereka dalam berkomunikasi. (Zakiah Darajat,
1999:23)

B. Teori Psikologi tentang Manusia.

Banyak teori psikologi yang membicarakan tentang manusia. Diantara


beberapa teori itu adalah sebagai berikut:
1. Teori Psikoanalisa
Tokoh dari teori ini adalah Sigmund Freud. Fokus perhatiannya
ditunjukan kepada struktur manusia, yakni kepada totalitas kepribadian
manusia, bukan pada bagian-bagiannya yang terpisah. Menurut teori
psikoanalisa perilaku manusia merupakan hasil inter-aksi dari tiga subsistem
dalam kepribadian manusia, yaitu Id , Ego dan Superego. Manusia dalam teori
psikoanalisa disebut sebagai Homo Volens, artinya manusia berkeinginan,
yaitu makhluk yang perilakunya digerakkan oleh keinginan-keinginan yang
terpendam.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai tiga subsistem kepribadian
manusia menurut teori Psikoanalisa.
a. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis
manusia. Id merupakan pusat instink, atau pusat hawa nafsu menurut bahasa
agama. Menurut Freud ada dua instink yang dominan yaitu Libido dan
Thanatos.
Libido merupakan instink reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk
kegiatan kegiatan manusia yang konstuktif seperti seks dan hal-hal yang lain
yang mendatangkan kenikmatan, termasuk kasih ibu, pemujaan kepada
Tuhan dan cinta diri(narcisisme)
Thanatos merupakan instink destruktif dan agresif. Dorongan-dorongan
untuk melawan dan merusak bersumber dari instink ini, motif-motif
manusia sebenarnya merupakan gabungan antara eros dan thanatos, antara
instink kehidupan dan instink kematian.
b. Ego, ego bekerja menjembatani nafsu yang tidak bermoral dan tidak
perduli terhadap realitas. Ego adalah subsistem yang berfungsi
menembatani tuntutan Id dengan realitas di dunia luar. Ego menjadi
penengah antara dorongan-dorongan hewani manusia dengan
pertimbangan-pertimbangan rasional dan realistic. Ego bekerja berdasarkan
prinsip realitas.
c. Superego, supersitem yang ketiga ini dapat dikatakan mewakili hal-hal
yang ideal. Superego menyerap norma-norma social dan kultural
masyarakat. Ia bukan hanya rasional tapi juga bekerja atas prinsip-prinsip
nilai yang normative. Oleh karena itu superego dapat disebut dengan hati
nurani dan sebagai pengawas kepribadian.
2. Teori Behaviourisme
Manusia oleh teori behaviourisme disebut sebagai Homo Mechanicus,
artinya manusia mesin. Mesin adalah suatu benda yang bekerja tanpa ada motif
dibelakangnya. Mesin berjalan tidak karena adanya dorongan alam bawah
sadar tertentu, ia berjalan semata-mata karena lingkungan sistemnya. Tingkah
laku mesin dapat diukur, diramal dan dilukiskan. Manusia, menurut teori
behaviourisme juga demikan, selain instink seluruh perilakunya merupakan
hasil belajar. Belajar merupakan perubahan perilaku organisme sebagai
pengaruh lingkungan.
Behaviourisme tidak mempermasalahkan apakah manusia itu baik
atau jelek, rasionil atau emosionil. Behaviourisme hanya ingin mengetahui
bagaimana perilaku manusia dikendalikan oleh lingkungan. Manusia dalam
pandangan teori ini adalah makhluk yang sangat pastis, yang perilakunya
sangat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalamannya. Manusia menurut teori
ini dapat dibentuk dengan menciptakan lingkungan yang relevan. Seorang anak
misalnya dapat dibentuk perilakunya menjadi seorang penakut jika secara
sistematis ia ditakut-takuti. Demikian juga manusia dapat dibentuk menjadi
pemberani, disiplin,cerdas, dungu dan sebagainya dan menciptakan lingkungan
yang relevan. (Zakiah Darajat, 1999:26, 28)
3. Teori Psikologi Kognitif.
Pada teori Kognitif ini manusia ditempatkan sebagai mahkluk yang
bereakso secara aktipnterhadap lingkungan, yakni dengan cara berpikir.
Manusia berusaha memahami lingkungan yang di hadapinya dan
merespondnya dengan pikiran yang dimilikinya. Oleh karena itu, maka
manusia di teori ini disebut sebagai Homo Sapiens, yakni manusia yang
berpikir. Pusat perhatian teori Kognitif adalah pada bagaimana manusia
memberi makna kepdada Stimuli. Orang yang selalu ditakuti-takuti, missalnya
tidak mesti menjadi penakut. Seperti yang dikatakan dalam teori
Behaviourisme tetapi boelh jadi ia akan berpikir bahwa sesuatu yang
menakutkan itu harus dilawan. Iapun mungkin berpikir bahwa ia ingin
membalik keadaan yanhg justru ingin membuat takut kepada orang yang suka
amenakut-nakuti.
Jadi, menurut teori ini, manusia tidak secara otomatis memberikan
respon kepada Stimuli, tidak otomatis takut jika ditakuti-takuti, dia otomatis
senang jika ada orang tersenyum kepadanya. Ia berpikir apakah orang yang
menakuti itu memang orangnya kuat, apakah senyuman itu senyuman kasih
sayang atau hanya senyuman gombalan. Jadi secara psikologis manusia adalah
organisme yang aktif menafsirkan, bahkan mendistorsi lingkungan. Dalam
pandangan teori Kognitif, manusialah yang menjadi pemberi makna terhadap
Stimuli, bukan Stimuli itu sendiri. Jadi dalam interaksi terhadap Stimuli,
manusia berpikir dan berusaha menemukan jati dirinya. Teori Kognitif
memang telah menempatkan kembali manusia sebagai mahkluk yang berjiwa,
yang bukan hanya berpikir, tetapi juga bersaha menemukan identitas dirinya.

4. Teori Psikologi Humanistik


Teori Psikologi Humanistik memandang manusia sebagai mahkluk
yang unik yang memiliki cinta, kreativitas, nilai dan makna serta pertumbuhan
pribadi. Pusat perhatian teori humanism adlah makna kehidupan, dan masalah
ini dalam psikologi Humanistik disebut Homo Ludes, yaitu manusia yang
mengerti makna kehidupan. Menurut teori ini , setiap manusia hidup dalam
dunia pengalaman yang bersifat pribadi (unik), dan kehidupannya berpusat
pada dirinya itu. Perilaku manusia bukan dikendalikan oleh keinginan bawah
sadarnya, bukan pula tunduk pada lingkunganya, tetapi berpusat kepada konsep
diri, yaitu pandangan atau presepsi orang terhadap dirinya yang bias berubah-
ubbah dan fleksibel sesuai dengan pengalamannya dengan orang lain.
Psikologi Humanistik memandang positif manusia. Menurut teori ini,
manusia selalu berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas
dirinya. Manusia juga cenderung ingin selalu mengaktualisasikan dirinya
dalam kehidupan bermakna. Setiap individu bereaksi terhadap situasi yang
dihadapinya (Stimuli) sesuai dengan konsep diri yang dimilikinya, dan dunia
dimana ia hidup. Kecenderungan batiniah manusia selalu menuju kepada
kesehatan dan keutuhan diri. Jadi dalam keadaan normal maanusia cenderung
berprilaku rasional dan membangun (kontruktif). Ia juga cenderung memilih
jalan (pekerjaan karir atau jalan hidup) yang mendukung pengembangan dan
aktualisai dirinya. (Zakiah Darajat,1999:30)

C. Manusia dalam Pandangan Filosof

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa psikologi pada awal


kelahirannya adalah berawal dari filsafat. Dalam hal ini para filosof berbeda
pandangan mengenai manusia, diantara pendapat para filosof itu yaitu;
1. Plato Menurut Plato, martabat manusia sebagai pribadi tidak terbatas pada
mulainya jiwa bersatu dengan raga, jiwa tidak berada lebih dulu sebelum
manusia atau pribadi adalah jiwa sendiri. Sedangkan badan oleh Plato yang
disebut sebagai alat yang berguna sewaktu masih hidup didunia ini, tetapi
badan itu disamping berguna sekaligus juga memberati usaha jiwa untuk
mencapai kesempurnaan, yaitu kembali kepada dunia “ide”. Sedangkan jiwa
berada sebelum bersatu dengan badan. Persatuan jiwa dengan badan
merupakan hukuman, karena kegagalan jiwa untuk memusatkan perhatianya
kepada dunia “ide”, jadi manusia mempunyai Pra-eksistensi yaitu sudah ada
sebelum dipersatukan dengan badan dan jatuh kedunia ini.
2. Thomas Aquinas Ia berpendapat bahwa yang disebut manusia sebagai
pribadi adalah makhluk individual, kalau hidup, ialah makhluk yang
merupakan kesatuan antara jiwa dan badan. Sedangkan yang dimaksud
pribadi adalah masing-masing manusia individual : manusia yang konkret
dan yang riil dan juga mempunyai kodrat yang rasional. Manusia adalah
suatu substansi yag komplit terdiri dari badan (material) dan jiwa (forma).
3. David Hcme Berbicara mengenai pribadi dalah idntitas diri yaitu kesamaan
jati diri manusia dalam kaitannya dengan waktu. Beliau berpegang teguh
bahwa pengetahuan ilmiah hanya dapat dicapaidengan titik tolak
pengalaman indrawi yaitu penglihatan, penciuman, perabaan, pencicipan
dan pendengaran.
4. Immanuel Kant Memahami pribadi yaitu sesuatu yang sadar akan identitas
numeric mengenai dirinya sendiri pada waktu yang berbeda-beda beliau
percaya bahwa identitas diripun tidak dapat dipergunakan untuk
menyanggah keyakinan bahwa segala sesuatu didunia ini selalu mengalir
berganti. (nudiin.blogspot.co.id/2012/11)
BAB VI

KONSEP MANUSIA MENURUT ISLAM

Salah satu ciptaan Allah adalah manusia, yang diberi keistimewaan berupa
kemampuan berpikir yang melebihi jenis makhluk lain yang sama-sama menjadi
penghuni bumi. Kemampuan berpikir itulah yang diperintahkan Allah agar
dipergunakan untuk mendalami wujud atau hakikat dirinya dan tidak semata-mata
dipegunakan untuk memikirkan segala sesuatu di luar dirinya.Demikianlah
kenyataannya bahwa manusia tidak pernah berhenti berpikir, kecuali dalam
keadaan tidur atau sedang berada dalam situasi diluar kesadaran. Manusia berpikir
tentang segala sesuatu yang tampak atau dapat ditangkap oleh pancaindera bahkan
yang abstrak sekalipun.

Dari sejarah kehidupan manusia ternyata tidak sedikit usaha manusia


dalam memikirkan wujud atau hakikat dirinya, meskipun sebenarnya masih lebih
banyak yang tidak menaruh perhatian untuk memikirkannya.

A. Konsep Lama Manusia

Berbicara dan berdiskusi tentang manusia selalu menarik. Karena


selalu menarik, maka masalahnya tidak akan pernah selesai dalam artian tuntas.
Pembicaraan mengenai makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang
tidak pernah selesai. Selalu ada saja pertanyaan mengenai manusia. Manusia
merupakan makhluk yang paling menakjubkan, makhluk yang unik multi
dimensi, serba meliputi, sangant terbuka, dan mempunyai potensi yang agung.

Timbul pertanyaan siapakah manusia itu? Pertanyaan ini nampaknya


amat sederhana, tetapi tidak mudah memperoleh jawaban yang tepat. Biasanya
orang menjawab pertanyaan tersebut menurut latar belakangnya, jika seseorang
yang menitik beratkan pada kemampuan manusia berpikir, memberi pengertian
manusia adalah “animal rasional” “hayawan nathiq” (hewan berpikir). Orang
yang menitik beratkan pada pembawaan kodrat manusia hidup bermasyarakat,
memberi pengertian manusia adalah “zoom politicon” (makhluk sosial). Orang
yang menitik beratkan pada adanya usaha manusia untuk mencukupi
kebutuhan hidup, memberi pengertian manusia adalah “homo economis”
(makhluk ekonomi). Orang yang menitik beratkan pada keistimewaan manusia
menggunakan simbul-simbul, memberi pengertian manusia adalah “animal
symbolicum”. Orang yang memandang manusia adalah makhluk yang selalu
membuat bentuk-bentuk baru dari bahan-bahan alam untuk mencukupkan
kebutuhan hidupnya, memberi pengertian manusia adalah “homo faber”.
(Murtadha Mutahhari,1996:32)

B. Manusia dalam Arti Filosofi

Pemahaman manusia yang tidak utuh tentang manusia dapat berakibat fatal
bagi perlakuan seseorang terhadap sesamanya. Misalnya saja pandangan dari
teori evolusi yang diperkenalkan Darwin pada abad XIX. Bisa saja pendangan
Darwin tersebut akan menimbulkan sikap kompetitif dalam segala hal, baik
ekonomi, politik, budaya, hukum pendidikan maupun lainnya, bahkan akan
menghalalkan berbagai macam cara. Maka, agar dapat dipahami tentang
hakekat manusia secara utuh, ada beberapa pendapat atau pandangan tentang
manusia ini menurut Murtadha Mutahhari (1996:33) diantaranya:

a. Aliran Materialisme. Aliran ini memandang manusia sebagai kumpulan dari


organ tubuh, zat kimia dan unsur biologis yang semuanya itu terdiri dari zat
dan materi. Manusia berasal dari materi, makan, minum, memenuhi
kebutuhan fisik-biologis dan seksual dari materi dan bilamana mati manusia
akan terkapar dalam tanah lalu diuraikan oleh benda renik hingga menjadi
humus yang akan menyuburkan tanaman, sedangkan tanaman akan
dikonsumsi manusia lain yang dapat memproduksi fertilitas sperma, yang
menjadi bibit untuk menghasilkan keturunan dan kelahiran anak manusia
baru. Dengan demikian bahwa aliran berpendapat bahwa manusia itu
berawal dari materi dan beraahir menjadi materi kembali. Orang yang
berpandangan materialistik tentang manusia dapat berimplikasi pada gaya
hidupnya yang juga materiliastik, tujuan hidupnya yang tidak lain demi
materi dan kebahagian hidupnya pun diukur dari seberapa banyak materi
yang ia kumpulkan. Gaya hidup ini tercermin dari hidupnya yang glamour
atau hura-hura dalam menikmati hidupnya.
b. Aliran Spiritualisme atau serba roh. Aliran ini berpandangan hakekat
manusia adalah roh atau jiwa, sedang zat atau materi adalah manifestasi dari
roh atau jiwa. Aliran ini berpandangan bahwa ruh lebih berharga lebih
tinggi nilainya dari materi. Hal ini dapat kita perhatikan dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya seorang wanita atau pria yang kita cintai tidak akan
mau pisah dengannya. Tetapi, kalau roh dari wanita atau pria tersebut tidak
ada pada badannya, berarti dia sudah meninggal dunia, maka mau tidak mau
harus melepaskan dia untuk dikuburkan. Kecantikan, kejelitaan, kemolekan,
dan ketampanan yang dimiliki oleh seorang wanita atau pria pun tidak ada
artinya tanpa adanya roh.
Orang yang berpandangan dengan aliran ini, dia isi hidupnya dengan penuh
dimensi rohani, pembersihan jiwa dari ketertarikan dengan unsur materi
meskipun dia harus hidup dengan penderitaan dan hidup dengan
kesederhanaan, mereka tinggal dengan menyisihkan diri dari masyarakat
dan hidup dengan selalu beramal ibadah.
c. Aliran Dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada
hakikatnya taerdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani, badan dan
roh. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal yang adanya
tidak tergantung satu sama lain. Jadi, badan tidak berasal dari roh, juga
sebaliknya roh tidak berasal dari badan. Hanya dalam perwujudannya,
manusia itu serba dua, jasad dan roh yang berintegrasimembentuk manusia.
Antara keduanya terjalin hubungan sebab akibat. Artinya antara keduanya
terjalin saling mempengaruhi. Misalnya, orang yang cacat jasmaninya akan
berpengaruh pada perkembangan jiwanya. Begitu pula sebaliknya, orang
yang jiwanya cacat akan berpengaruh pada fisiknya. Paham dualisme ini
tidaklah otomatis identik dengan pandangan Islam tentang manusia.

C. Manusia Menurut Pandangan Islam

Islam memandang manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki


keunikan dari keistimwaan tertentu. Sebagai salah satu makhluk-Nya
karakteristik eksistensi manusia harus dicari dalam relasi dengan sang pencipta
dan makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Sekurang-kurangnya terdapat empat
empat ragam relasi manusia yang masing-masing memiliki kutub positif dan
negatif, yaitu :

a. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri hablun minannas yang ditandai


oleh kesadaran untuk melakukan „amal ma‟ruf nahi mungkar dan
sebaliknay mengumbar nafsu-nafsu rendah.
b. Hubungan antar manusia hablun minannas dengan usaha membina
silaturahmi atau memutuskan.
c. Hubungan manusia dengan alam sekitar hablun mibal „alam yang ditandai
upaya pelestarian dan pemanfaatandengan sebaik-baiknya, atau sebaliknya
menimbulkan kerusakan alam.
d. Hubungan manusia dengan sang Pencipta hablun minallah dengan
kewajiban ibadah kepada-Nya atau menjadi ingkar dan syirik kapada-Nya.

Mengenai ragam dan corak relasi-relasi itu perlu dijelaskan bahwa


sekalipun manusia sekan-akan merupakan pusat hubungan-hubungan center of
relatedness, tetapi dalam ajaran Islam pusat segalanya bukanlah manusia,
melainkan sang Pencipta sendiri yaitu Allahhu Rabb‟al „alamin. Dengan
demikian landasan filsafat mengenai manusia dalam ajaran Islam bukan
Antroposentrisme, melainkan Theosentrisme, atau lebih tepat Allah-sentrisme.
(Hanna Djumhana Bastaman, 2011:43)
D. Manusia Menurut pandangan Psikologi

Bertolak dari pengertian psikologi sebagai ilmu yang menelaah


perilaku manusia, para ahli psikologi umumnya berpandangan bahwa kondisi
ragawi, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan merupakan penentu-penentu
utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Dalam hal ini unsur ruhani
sama sekali tak masuk hitungan, karena dianggap termasuk dimensi kejiwaan
dan merupakan penghayatan subjektif semata-mata.

Selain itu psikologi apapun aliranya, menunjukkan bahwa filsafat


manusia yang mendasari bercorak anthroposentrisme yang menempatkan
manusia sebagai pusat dari segala pengalaman dan relasi-relasinya serta
penentu utama segala peristiwa yang menyangkut masalah manusia dan
kemanusiaan. Pandangan ini mengangkat derajat manusia ketempat teramat
tinggi, ia seakan-akan prima-causa yang unik, pemilik akal budi yang sangat
hebat, serta memiliki pula kebebasan penuh untuk berbuat apa yang dianggap
baik dan sesuai baginya. (Ahmad Tafsir,2006:36)

E. Persamaan dan perbedaan manusia dengan makhluk lain

Manusia pada hakekatnya sama saja dengan makhluk hidup lainnya,


yaitu memiliki hsrat dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih tujuannya dengan
didukung oleh pengetahuan dan kesadaran. Perbedaan diantara keduanya
terletak pada dimensi pengetahuan, kesadaran, dan keunggulan yang diiliki
manusia dibanding dengan makhluk lain.

a. Menurut ajaran Islam manusia dibanding dengan makhluk lain, mempunyai


berbaga ciri, antara lain ciri utamanya yaitu: Makhluk yang paling unik,
dijadikan dalam bentuk yang baik, ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Sesuai dengan firman Allah :
‫ىَقَ ْذ َخيَ ْقىَب ْا ِإل ْوسَهَ فِّ أَحْ َس ِه جَ ْق ُِي ِْم‬

Artinya : “Sesungguhnya kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang


sebaik-baiknya”. (Q.S at-Tiin:4)
b. Manusia memiliki potensi (daya atau kemampuan yang mungkin
dikembangkan) beriman kepada Allah.
c. Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Tugas manusia
untuk mengabdi kepada Allah dengan tegas dinyatakan-Nya dalam Al-
Qur‟an surat az-Zariyat ayat 56 :

‫س إِالَّ ىِيَ ْعبُ ُذَْ ِن‬ ِ ‫ث ْا‬


ِ ْ ََ ‫ىج َّه‬
َ ‫اإل ْو‬ ُ ‫ََ َمب َخيَ ْق‬

Artinya : Tidak kujadikan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-
Ku. (QS. Az-Zariyat : 56)

d. Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifah-Nya di bumi. Hal ini


dinyatakan dalam al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 30 :

ِ ْ‫ل ىِ ْي َميَئِ َن ِة اِوِّ َجب ِع ٌو فِّ ْاالَس‬


ُ ِ‫ض َخيِ ْيفَةً قَبىُُْ ا اَجَجْ َع ُو فِ ْيٍَب َم ْه يُ ْف ِس ُذ فِ ْيٍَب ََيَ ْسف‬
ُ‫ل اى ِّذ َمب َء ََوَحْ ه‬ َ َ‫ََاِ ْر ق‬
َ ُّ‫به َسب‬
َ‫ل قَب َه اِوِّّ اَ ْعيَ ُم َمبجَ ْعيَ ُمُْ ن‬
َ َ‫ك ََ وُقَ ِّذ سُ ى‬
َ ‫وُ َسبِّ ُح بِ َح ْم ِذ‬

Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat


“sesungguhnya Aku hendak menjadikanseorang khalifah di muka bumi.”
Mereka berkata : “mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?, Tuhan berfirman; “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah : 30)

e. Di samping akal, manusia dilengkapi Allah dengan perasaan dan kamauan


atau kehendak. Dengan akal kehendaknya manusia akan tunduk dan patuh
kepada Allah, tetapi dengan akal dan kehendaknya juga manusia tidak
percaya, tidak tunduk dan tidak patuh kepada kehendak Allah behkan
mengingkarinya (kafir). Karena itu dalam surat al-Kahfi ayat 29
menyebutkan :
‫ق ِم ْه َسبِّ ُن ْم فَ َم ْه شَأ َء فَ ْيي ُْؤ ِم ْه ََ َم ْه شَب َء فَ ْييَ ْنفُشْ إِوَّب أَ ْعحَ ْذوَب ىِظَّيِ ِم ْيهَ وَب ًسا أَ َحبطَ بِ ٍِ ْم س َُشا ِد قٍَُب ََإِ ْن‬
ُّ ‫ََقُ ِو ْاى َح‬
‫ت ُمشْ جَفَقَب‬ ْ ‫س اى َّش َشاةُ ََ َسب َء‬ َ ‫يَ ْسح َِغ ْيثُُْ ا يُغَب ثُُْ ا بِ َمب ِء َم ْبى ُم ٍْ ِو يَ ْش ُِِ ْاى ُُجُُْ يَ بِ ْئ‬
Artinya : “Dan katakanlah: “kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka
barabgsiapa yang ingin (beriman) hendaknya ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. (QS.al-Kahfi : 29)

f. Berakhlak. Berakhlak merupakan utama dibandinggkan dengan makhluk


lainnya. Artinya, manusia adalah makhluk yang diberi Allah kemampuan untuk
membedakan yang baik dengan yang buruk.

F. Fungsi dan Peranan Manusia dalam Islam

Dalam al-Qur‟an, manusia berulang kali diangkat derajatnya


karena aktualisasi jiwanya secara positif. Al-Qur‟an mengatakan bahwa
manusia itu pada prinsipnya condong kepada kebenaran sebagai fitrah dasar
manusia. Allah menciptakan manusia dengan potensi kecenderungan, yaitu
cenderung kepada kebenaran, kebaikan, keindahan, kemuliaan, dan cenderung
kepada kesucian. (Hanna Djumhana Bastaman,2011:52). Hal ini sesuai dengan
Firman Allah Swt :

‫ل اى ِّذيْهُ ْاىقَيِّ ُم‬ َّ ‫ق‬


َ ِ‫َّللاِ َرى‬ ِ ‫بس َعيَ ْيٍَب الَجَ ْب ِذ ْي َو ىِ َخ ْي‬
َ َّ‫َّللا اىَّحِّ فَطَ َش اىى‬
ِ َّ َ‫ط َشت‬ْ ِ‫ل ىِي ِّذ ْي ِه َحىِ ْيفَب ف‬
َ ٍَ ْ‫فَأَقِ ْم ََج‬
َ َّ‫ََىَ ِن َّه أَ ْمثَ َش اىى‬
َ‫بس الَيَ ْعيَ ُمُْ ن‬

Artinnya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),


tetaplah atasa fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia itu tidak mengetahui”. (QS. Ar-Ruum : 30).

Manusia juga diciptakan sebagai makhluk yang memiliki tiga unsur


padanya, yaitu unsur perasaan, unsur akal, dan unsur jasmani. Ketiga unsur
ini berjalan seimbang dan saling terkait antara satu unsur dengan unsur yang
lain. William Stren, mengatakan bahwa manusia adalah Unitas yaitu jiwa dan
raga merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan dalam bentuk dan
perbuatan, jika jiwa terpisah dengan raga, maka sebutan manusia tidak dapat
dipakai dalam arti manusia hidup. Jika manusia berbuat, bukan hanya raganya
saja yang berbuat atau jiwanya saja melainkan keduanya sekaligus. Secara
lahiriyah memang raganya yang berbuat yang tampak melakukan perbuatan,
tetapi perbuatan raga ini didorong dan dikendalikan oleh jiwa.
Jadi unsur yang terdapat dalam diri manusia yaitu rasa, akal dan
badan harus seimbang, apabila tidak maka manusia akan berjalan pincang.
Sebagai contoh : apabila manusia yang hanya menitik beratkan pada memenuhi
perasannya saja, maka ia akan terjerumus dan tenggelam dalam kehidupan
spiritual saja, fungsi akal dan kepentingan jasmani menjadi tidak penting.
Apabila manusia menitikberatkan pada fungsi akal saja, maka akan terjerumus
dan tenggelam dalam kehidupan yang rasionalistis, yaitu hanya hal-hal yang
tidak dapat diterima oleh akal, merupakan hal yang tidak benar. Sedangkn
pengalaman-pengalaman kejiwaan irasional hanya dapat dinilai sebagai hasil
lamunan semata-mata. Selain perhatian yang terlalu dikonsentrasikan pada hal-
hal atau kebutuhan jasmani atau badaniah, cenderung kerah kehidupan yang
materilistis dan positivistis. Maka Al-Qur‟an memberikan petunjuk kepada
manusia, yaitu mengajarkan agar adanya keseimbangan unsur-unsur tersebut,
yaitu unsur perasaan terpenuhi kebutuhannya, unsur akal juga terpenuhi
kebutuhannya, demikian juga unsur jasmani terpenuhi unsur kebutuhannya.
(Hanna Djumhana Bastaman,2011:46 )
BAB VII

MAD’U SEBAGAI OBJEK DAKWAH

A. Pengertin Madú Serta Pengelompokannya


Secara etimologis kata madú berasal dari bahasa arab diambil dari
bentuk isim mafúl ( kata yang menunjukkan objek atau sasaran ). Menurut
terminologi madú adalah orang atau kelompok yang lazim disebut dengan
jamaah yang sedang menuntut ajaran agama dari seorang daí. Baik madú
itu oranf dekat atau jauh. Muslim atau non-muslim, laki-laki atau
peempuan,. Seorang daí akan menjadikan madúsebagai objek bagi
transformasi keilmuan yang dimilikinya. Madú adalah objek dakwah bagi
seorang daí yang bersifat individual, kolektif atau masyarakat umum.
Masyarakat sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah merupakan salah
satu unsur yang penting dalam dakwah yang tidak kalah peranannya
dibandingkan dengan unsur-unsur dakwah yang lain oleh sebab itu
masalah masyarakat in harus dipelajari dengan sebaik-baiknya sebelum
melangkah ke aktivitas dakwah yang sebenarnya.( Munzier Suparta, 2003:
102).
Maka dari itu sebagai bekal dakwah dari seseorang daí hendaknya
memperlengkapi dirinya dengan beberapa pengetahuan dan pengalaman
yang erat hubungannya dengan masalah masyarakat. Allah telah berfirman
dalam surah Saba‟ ayat 28 yang berbunyi:

.‫َىنه أمثشاىىّب س ال يعيمُن‬


ّ ‫َمبأسسيىل االّ مبفةً ىيىّب س بشيشًا َوزيشًا‬
Artinya: ”dan kamitidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat
manusia seluruhnya sebgai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan kebanyakan manusia tiadamengethui.Ayat diatas menjelaskan
ketika kita berdakwah kepada manusia yang belum beragama islam maka
tujuannya untuk mengajak mereka agar mengikuti agamaislam dan ketika
kita berdakwah kepada yang sudah beragama islam maka tujunnya untuk
meningkatkan kualitas iman, islam, dan ihsan. Hal yang sama juga
dikemukakan Muhammad abu Al-Fatl al Bayanuni, mengelompokkan
mad‟u dalam dua rumpun besar, yaitu rumpun muslim atau umat ijabah
(umat yang telah menerima dakwah) dan non Muslim atau umat dakwah
(umat yang belum sampai kepada mereka dakwah Islam). Umat ijabah
dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: pertama, Sabiqun bi al-khaerat (orang
yang saleh dan bertaqwa), kedua, Dzalimun linafsih (orang fasih dan ahli
maksiat), ketiga, muqtashid (mad‟u yang labil keimanannya). Sedangkan
umat dakwah dibagi dalam empat kelompok, yaitu: Ateisme, Musyrikun,
ahli kitab, dan munafiqun.
Moh. Ali Aziz mengemukakan bahwa bagi orang yang menerima dakwah
itu lebih tepat disebut mitra dakwah dari pada sebutan object dakwah,
sebab sebutan object dakwah lebih mencerminkan kepasifan penerima
dakwah: padahal sebenarnya dakwah adalah suatu tindakan menjadikan
orang lain sebagai kawan berfikir tentang keimanan, syari‟ah, dan akhlak
kemudian untuk diupayakan dihayati dan diamalkan bersama-sama.
Menurtu hemat penulis baik sebutan object ataupun mitra dakwah itu sama
saja, yang terpenting adalah bagaimana seorang dai mampu
mengkomunikasikan dakwah secara baik dan tepat kepada mad‟unya
sehingga mad‟u dapat memahami dan mengamalkan isi pesan yang
disampaikan. M.Bahari Gazali, melihat object dakwah dari tinjauan segi
psikologinya yaitu:

1. Sasaran dakwah yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari


segi sosiologisnya berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota serta
masyarakat marjinal dari kota besar.
2. Sasaran dakwah yang menyangkut golongan dilihat dari segi struktur
kelembagaan berupa masyarakat dari kalangan pemerintah dan
keluarga.
3. Sasaran dakwah yang berupa kelompok dilihat dari segi sosial kultur
berupa golongan priyayi, abangan, dan santri. Klasifikasi ini terutama
dalam masyakrat Jawa.
4. Sasaran dakwah yang berhubungan dengan golongan masyarakat
dilihat dari segi tingkat usia berupa golongan anak-anak, remaja dan
dewasa.
5. Dilihat dari segi profesi dan pekerjaan. Berupa golongan petani,
pedagang, buruh, pegawai, dan administrator.
6. Dilihat dari jenis kelamin berupa golongan pria dan wanita.
7. Golongan masyarakat dilihat dari segi khusus berupa tuna susula, tuna
karya. nara pidana, dan sebagainya.
Selain itu M. Bahri Ghazali, juga mengelompokkan mad‟u
berdasarkan tipologi dan klasifikasi masyarakat, yang dibagi dalam lima
tipe, yaitu:
1. Tipe inovator, yaitu masyarakat yang memiliki keiginan keras pada
setiap fenomena sosial yang sifatnya membangun, bersifat agresif dan
tergolong memiliki kemampuan antisipatif dalam setiap langkah.
2. Tipe pelopor, yaitu masyarakat yang selektif dalam menerima
pembaharuan dalam membawa perubahan yang positif. Untik
menerima atau menolak ide pembaharuan, mereka mencari pelopor
yang mewakili mereka dalam menggapai pembaharuan itu.
3. Tipe pengikut dini, yaitu masyarakat sederhana yang kadang-kadang
kurang siap mengambil resiko dan umumnya lemah mental. Kelompok
masyarakat ini umumnya adalah kelompok kelas dua di
masyarakatnya, mereka perlu seorang pelopor dalam mengambil tugas
kemasyarakatan.
4. Tipe pengikit akhir, yaitu masyarakat yang ekstra hati-hati sehingga
berdampak kepada anggota masyarakat yang skeptis terhadap sikap
pembaharuan, karena faktor kehati-hatian yang berlebihan, maka setiap
gerakan pembaharuan memerlikan waktu dan pendekatan yang sesuai
untuk bisa masuk.
5. Tipe kolot, ciri-cirinya, tidak mau menerima pembaharuan sebelum
mereka benar-benar terdesak oleh lingkungannya

Berdasarkan derajat pemikirannya Hamzah Ya‟qub membagi beberapa


pengelompokan mad‟u yaitu:

1. Ummat yang berfikir kritis


Orang-orang yang berpendidikan yang selalu berfikir mendalam
sebelum menerima sesuatu yang dikemukakan kepadanya.
2. Ummat yang mudah dipengaruhi
Masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh paham baru (sugestible)
tanpamenimbang-nimbang secaa mantapapa yang dikemukakan
kepadanya.
3. Umat bertaklid
Golongan yang fanatik, buta, berpegang tradisi, dan kebiasaan turun
temurun tanpa menyelidiki salah satu benarnya.

Berbeda lagi bahwa pembagian mad‟u menurut Syaikh Muhammaad


Abduh dibagi menjadi tiga golongan yaitu:

1. Golongan cendekiawan
Golongan ini cinta dengan kebenaran dan dapat berfikir secara kritis,
cepat menangkap persoalan.
2. Golonggan awam
Kebanyakan orang yag belum dapat berfikir secara kritis dan
mendalam belum tentu dapt menangkap pengertian yang tinggi.
3. Golongan yang berbeda dengan kedua golongn diatas.golongan yang
tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan tersebut.,mereka
senang membahas sesuatu tetapi hanya dalam batas tertentu tidak
sanggup menanggapi secara menyeluruh.
Berdasarkan respon mad‟u terhadap dakwah mereka digolongkan
menjadi tiga golongan yaitu:
1. Golongan simpatik aktif
Mad‟u yang menaruh simpati dan secara aktif memberi dukungan
moril dan materil terhadap kesuksesa dakwah. Mereka juga berusaha
mengatasi hal-hal yang dianggapnya merintangi jalannya dakwah dan
bahkan mereka bersedia berkorban segalannya untuk kepentingan
Allah.
2. Golongan pasif
Mad‟u yang tidak memperdulikan pendakwah.
3. Golongan antipasti
Mad‟u yag tidak rela tau tidak suka akan terlaksanakannya dakwah,
mereka bersaha dengan berbagai cara untuk meninngalkan dakwah.

Cara menarik madú menurut Mac-Dougall dalam bukunya “public


Opinion”membuat teori bagaimana menarik massa yang serupa telah
sebagaimana dikutip Toha Yahya Umar (1967:11) yaitu :
1. Adakan “Continuity “laksanakan kelangsungan hidup keompok yang
temporair itu.
2. Timbulkan kesadaran golongan ( groud consciousness)). Karena
dalam massa yang abstrak itu, tidak ada kesadaran demikian. Sebab
itu dengantegas harus dijelaskan tujuan golongan itu untuk apa,
mengapa, dengan maksud apa, bedanya dari golongan lain, dan
sebagainya.
3. Adakan aturan dan kebiasaan ( order and tradision ) adakan tata tertib
dan biasakan mematuhi tata tertib itu ( disiplin) sehingga menjadi
tradisi
4. Adakan pembagian tugas, masing-masing harus bertanggung jawab
dalam tugasnya.
5. Timbulkan rasa semangat perlombaan dalam kebiasaan yang
dianjurkan. (Toha Yahya Omar, 1967:11)
Mengenai proses komunikasi berdakwah akan selalu diawasi oleh si
mad‟u . Cara seorang mad‟u menilai da‟i adalah:

1. Da‟i dinilaidari reputasi yangmendahuluinya. Apa yang sudah


dilakukan da‟i. bagaimana karya-karyanya apa latar belakang
pendidikannya, apa jasanya dan bagaiana sikapnya. Apakah sikapnya
seorang da‟i memperindah atau menghancurkan reputasinya.
2. Melalui perkenalan atau informasi tentang diri da‟i dinilai mad‟unya
dari informasi yang telah diterimannya. Bagaimana informasi tentang
da‟i diterima dan bagaimana da‟i memperkenalkan dirinya sangat
menentukan kredibilitas seorang da‟i.
3. Melalui apa yang diucapkan “al-lisan mizan al-lisan” (lisan adalah
ukuran seorang manusia). Begitu ungkapan Ali bin Abi Thalib.
Apabila seorang da‟i mengungkapkan kata-kata kotor, kasar, ataupun
yang menyinggung perasaan maka seperti itupula kualitasnya. Dai
memiliki kredibilitas apabila dia konstan dalam menjaga ucapannya
yang selaras dengan perilaku kesehariannya.
4. Melalui bagaiana cara da‟i menyampaikan pesan dakwahnya.
Penyampaian pesan dakwah yang sistematis dan terorganisir memberi
kesan pada da‟i bahwa ia menguasai persoalan materi dan metodologi
dakwah. (Acep Aripudin, 2011: 05)

B. Konsep Al-Qurán Dalam Menyikapi Respon Madú

Seorang Da‟i yang arif dan bijaksana adalah yang memperlakukan Mad‟u
sesuai dengan kondisi dan situasi sosial kulturalnya di masyarakat. Da‟i
harus mampu menempatkan dan memperlakukan mad‟u sebagai obyek
sasaran dakwah dengan baik dan tidak melukai perasaan mereka sehingga
jauh dari kontraproduktif.
1. Qoulan Baligha (perkataan yang membekas pada jiwa)
Terdapat pada surah an-Nisa ayat 63 dengan firman-Nya.
ّ‫فبعشض عىٍم َ ِعظٍُم َقو ىٍّم ف‬
ِ ‫أَىئل اىّزيهَ يعيم َّللا مب فّ قيُبٍم‬
ً ‫أوفُ ِسٍم قُال بييغب‬

Artinya: “mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa


yang ada didalam hati mereka. Karena itu berplinglah kamu dari
mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka
perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”.
Yang dimaksud ayat di atas adalah perilaku orang munafik. Ketika
diajak untuk memahami hukum allah, mereka menghalangi orang lain
untuk patuh (ayat 61). Kalau mereka mendapat musibah atau
kecelakaan karena perbuatan mereka sendiri, mereka datang mohon
perlindungan atau bantuan. Mereka inilah yang perlu dihindari, diberi
pelajaran, diberi pelajaran, atau diberi penjelasan dengan cara yan
berbekassatau ungkapan yang mengesankan. Karena itu, Qoulan
Baligha dapat diterjemahkan ke dalam komunikasi yang efektif yang
bisa menggugah jiwanya. Bahasa yang dipakai adalah bahasa yang
akan mengesankan atau membekass pada hatinya. Sebab di hatinya
banyak dusta, khianat dan ingkar janji. Kalau hatinya tidak tersentuh
sulit menundukkannya.
2. Qoulan Layyinan (perkataan yang lembut).
Terdapat surah Thaha ayat 43-44 secara harfiyah berarti komunikasi
yang lemah lembut( layyin) dalam ayat :

ّ‫ فقُال ىً قُالً ىّيّىب ً ىّعيًّ يحز ّمش أَ يخش‬. ّ‫أرٌبب اىّ فشعُن اوًّ طغ‬
Artinya: “pergilah kamu berdua kepada firáun, sesungguhnya dia telah
melampaui bata, maka berbiclah kamu berdua kepadanya dengan kata-
kata lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
Al-Qur‟an mengajarkan agar dakwah kepada manusia haruslah bersifat
sejuk dan lemah lembut , tidak kasar dan lantang, perkataan yang
lantang kepada dapat memancing respon yang lebih keras dalam waktu
spontan, sehingga menghilangkan peluang untuk berdialog atau
komunikasi antar kedua belah pihak, da‟i dan penguasa sebagai mad‟u.

3. Qoulan Ma‟rufan (perkataan yang baik)


Di dalam Al-Qurán ungkapan qoulan ma‟rufan ditemukan pada surah
al-baqarah ayat 235. Artinya: “ Dan tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mangawini mereka) dalam hatimu Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada
itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka scara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan
yang ma‟ruf. Dan janganlah kamu berázam (bertetap hati) untuk
berakad nikah, sbelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bawasnnya
Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-
Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun”. Dalam ayat ini Qoulan ma‟rufan mengandung beberapa
pengertian antara lain rayuan halus terhadap seorang wanita yang ingin
dipinang untuk istri. Jadi, ini merupakan komunikasi etis dalam
menimbang perasaan wanita, apabila wanita yang diceraikan suaminya
Jalaluddin Rahmat menjelaskan bahwa qoulan ma‟rufan adalah
perkataan yang baik.
4. Qoulan maisura (perkataan yang ringan)
Qoulan maisura adalah perkataan yang mudah diterima, dan ringan,
yang pantas, yang tidak berliku-liku. Dakwah dengan qoulan maisura
merupakan pesan yang disampaikan itu sederhana mudah dimengerti
dan dapat dipahami secara spontan tanpa harus berpikir dua kali. Pesan
dakwah model ini tidak memerlukan dalil maupun argumen-argumen
logika. Dakwah dengan pendekatan Qoulan Maisura harus menjadi
pertimbangan mad‟u yang dihadapi itu terdiri dari:
a. Orang tua atau kelompok orang tua yang merasa dituakan, yang
sedang menjalani kesedihan lantaran kurang bijaknya perlakuan
anak terhadap orang tuanya atau oleh kelompok yang lebih muda.
b. Orang yang tergolong di dzalimi haknya oleh orang-orang yang
lebih kuat.
c. Masyarakat yang secara sosial berada di bawah garis kemiskinan,
lapisan masyarakat tersebut sangat peka dengan nasihat yang
panjang, karenanya da‟i harus memberikan solusi dengan
membantu mereka dalam dakwah bil hal.

5. Qoulan Kariima (perkataan yang mulia)


Dakwah dengan qoulan kariima sasarannya yaitu orang yang telah
lanjut usia pendekatan yang mulia, santun, penuh penghormatan dan
penghargaan tidak menggurui tidak perlu retorika yang meledak-ledak.
Qoulan karima terdapat dalam surah al-isra‟ayat 23, yang artinya :
“Dan Tuhanmu telah memerintah supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu, bapakmu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu diantara keduanya atau kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-
kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan äh”dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.

Dalam konsep al-Quran ini orang-orang yang diutamakan untuk


diberikan dakwah atau mad‟u ynag diprioritaskan adalah keluarga dan
masyrakat secara umum. Dalam firman Allah dalam surah asy-syu‟ara‟
ayat 214 yang berbunyi :

‫َأوزسعشيشجل األقشبيه‬
Artinya: “dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat

Keluarga adalah prioritas dakwah setelah dirinya sendiri. Setelah itu baru
kerabat yang paling dekat. Teman akrab, para tetangga, danpada akhirnya
pada masyarakat umum. (Deybiagustin,2012:02)
BAB VIII
PERAN MOTIVASI DALAM DAKWAH

A. Pengertian Motivasi Dakwah


Mc. Donald sebagaimana dikutip Wasty Soemanto (1990:191)
mendefinisikan motivasi sebagai “ suatu perubahan tenaga di dalam diri/
pribadi seseorang yang ditandai oleh dorongan afektif dan reaksi-reaksi
dalam usaha mencapai tujuan”. Dalam kesimpulannya Wasty Soemanto
berpendapat bahwa motivasi memiliki dua prinsip yaitu:
1. Motivasi adalah suatu poses di dalam individu. Pengetahuan tentang
proses ini membantu kita untuk menerangkan tingkah laku yang kita
amati dan meramalkan tingkah laku lain dari seseorang.
2. Kita menentukan diri dari proses ini dengan menyimpulkan dari
tingkah laku yang dapat diamati.

Hilgard melihat bahwa motivasi bukan sebagai suatu bagian dari


situasi belajar tetapi inti dari proses belajar itu sendiri. Sedangkan Fillmore
H. Sanford, memandang bahwa motivasi berasal dari kata motive.
Fillmore berusaha memberi batasan motivasi sebagai sebuah kondisi yang
menggerakkan suatu organisme atau makhluk hidup yang
mengarahkannya pada suatu ( toward the goal ) atau beberapa tujuan
tertentu.

Sartain menggunakan kata motivasi dan drive untuk pengertian


yang sama. Penggunaan istilah drive untuk pernyataan-pernyataan seperti :
lapar, haus, pemuasan seksual, dan sebagainya, yang semuanya
menunjukkan pernyataan tentang physiological drive untuk semua
pernyataan baik yang bersifat fisiologis ataupun psikis.

Sedangkan kata “dakwah” berasal dari bahasa arab yang berarti:


ajakan, seruan panggilan, undangan. Dakwah adalah suatu kegiatan yang
bersifat menyeru, mengajak, dan memanggil orang untuk beiman dan taat
kepada Allah sesuai dengan garis aqidah, syari‟at dan akhlak.

Adapun pengertian lain dari „‟dakwah” menurut Toha Yahya Omar


(1983:1) yaitu:

1. Penerangan,mempunyai tujuan yang tertentu, sekurang-kurangnya


menarik orang untuk memberikan pengertian kepada orang lain
tentang sesuatu hal. Penenrangan lebih cenderung kepada pasif,
artinya tidak memerlukan reaksi yang nyata dari orang-orang yang
menerima penerangan itu. Oleh karena itu, penerangan adal suatu
bahagian dari dakwah.
2. Penyiaran, juga salah satu bahagian dari dakwah atau salah satu dari
pelaksanaanya. Tetapi penyiaran bisa dipergunakana untuk
penjelasan yang sudah ada pokok-pokok persoalannya, dan bia pula
dipergunakan untuk menyiarkan persoalan-persoalan pokok dengan
atau tanpa penjelasan. Sedang penerangannya dapat dipergunakan
untuk penjelasan-penjelasan yang sudah ada pokok-pokoknya lebih
dahulu, sehinggan penerangan itu datangnya kemudian.
3. Pendidikan dan Pengajaran, kedua-keduanya juga menjadi bahagian
dan cara-cara atau salah satu alat dalam berdakwah, sekalipun
didalamnya pendidikan itu lebih banyak ditetankan, agar orang yang
dididik membiasakan diri bersikap sebagaimana yang dimaksud oleh
si pendidik. Sedang pengajaran lebih banyak ditekankan pada materi
ilmiahnya yang memberikan kesempatan lebih banyak kepadanya
untuk mempertimbangkan kebenaranya.

Dapat disimpulkan bahwa motivasi dakwah ialah dorongan dalam


diri seseorang dalam usahanya untuk memenuhi keinginan, maksud dan
tujuan dalam mengajak manusia dengan cara yang bijaksana kepada jalan
yang benar sesuai perintah Allah SWT untuk maslahatan dan kebahagiaan
mereka di dunia dan di akhirat. (Totok Jumantoro: 2001:94).
B. Peran Motivasi dalam Berdakwah
Dalam motivasi, setidaknya ada dua hal yang mendasari timbulnya
motivasi, yaitu kebutuhan yang berupa (dorongan, seruan, dan kualitas)
dan tujuan (goal) yang berupa (kebahagiaan, ketenangan, kedamaian).
Kedua hal inilah yang akan melatar belakangi segaa tingkahlaku manusia
dalam segala hal. Sebagai contoh, orang yang ingin makan (nasi),
dorongannya adalah lapar dan tujuannya adalah ketenanngan karena
kenyang. Lapar adalah dorongan yang datang dari jasmani. Contoh lainnya
seorang yang beribadah dan berbuat baik agar menjadi orang yang
bertaqwa dan tergolong muhsinin , maka dorongannya adalah rasa ingin
mendapat cinta kasih Allah SWT dan tujuannya adalah kebahagiaan
karena jika cinta kasihNya telah didapat, tentu segala permintannya akan
di kabulkan. Cinta kasih Allah SWT adalah seruan rohani. Dengan
demikian lapar terhadap cinta kasih Allah SWT adalah dorongan yang
termasuk kedalam kategori motivasi.
Motivasi sendiri ruang lingkupnya tidak terlepas dari Allah SWT,
manusia, dan lingkungannya. Ketiganya merupakan mata rantai dari
kesinambungan hidup manusia. Motivasi bisa berupa pendorong yang ada
dibelakang setiap tindakan. Motivasi juga bisa berupa tujuan yang hendak
dicapai. Banyak para ahli motivasi mengatakan dasar motivasi ialah
menghindari apa yang tidak disukai dan mengejar yang diinginkan.
Namun dalam Islam tidak hanya sekedar itu, tetapi bertindak karena Allah
SWT dan juga untuk Allah SWT. Jadi hanya satu motivasi yang ada yaitu
Allah SWT
Motivasi tertinggi adalah karena Allah SWT yang terakumulasi
dalam niat. Jika seseorang melakukan kegiatan tanpa didasari oleh niat
karena-Nya, maka hilanglah motivasinya, dan jika manusia kehilangan
motivasi, maka perbuatanya akan hampa dan tidak memiliki nilai.
Sebaliknya, jika motivasi ini selalu hadir dalam dirinya, maka manusia
akan selalu berada dalam ruanglingkup yang utuh, karena kegiatanya
selalu termotivasi. (Popi Sopiatin, 2011: 173-174).
Motivasi ini muncul karena sebagai akibat dari proses psikologis
yang disebabkan karena faktor dalam diri seseorang yang disebut intrinsik
dan faktor dari luar diri seseorang yang disebut faktor ekstrinsik. Jadi
dalam proses berdakwah motivasi bisa mempengaruhi da‟i dan mad‟u.

C. Teknik Praktis Memotivasi Mad’u


Apabila metode yang dipakai al-Qur‟an dalam seruannya pada
akidah Tauhid kepada orang-orang yang beriman, serta penanaman prinsip
dan nilai keislaman dalam jiwa mereka kita kaji secara teliti maka kita
mampu mengitikhsarkan beberapa prinsip aplikatif memotivasi mad‟u
secara efektif. Disini akan penulis kaji tuntunan praktis bagaimana seorang
Da‟i mampu menerapkan atau mengaplikasikan memotivasi mad‟u dalam
dakwah.
1. pembangkitan motivasi dengan janji dan ancaman

Dalam membangkitkan dorongan untuk menerima islam, al-


Qur‟an tidak hanya menakut-nakuti manusia dengan adzab neraka
jahanam, tetapi disaat yang sama al-Qur‟an memberikan sebuah
imbalan kenikmatan, kebahagiaan disekitar zaman. Sebab penggunaan
rasa takut saja tidak akan membawa hasil, justru umat akan trauma
untuk mendekat pada islam. Dilain pihak, dominannya rasa harap akan
karunia Allah akan menjadikan umat meremehkan, menjadikan lalai,
dan menghilangkan dinamisme kehidupan.

Sintesis antara rasa takut dan rasa harap mampu memotivasi


kaum muslimin untuk mempelajari sistem dan metode-metode dalam
berfikir dan bertindak. Bahkan dalam suatu penyampaian materi
pengajianpun sesuatu yang paling sering kita dengar adalah pahala dan
surga, kenikmatan dan siksaan, neraka jahanam yang kayu bakarnya
dari manusia atau surga yang dibawahnya mengalir sungai yang suci
dan lain-lainnya, yang kesemuanya itu pada hakikatnya memotivasi
manusia, dengan metode memadukan, mensintesiskan antara feel of
fear dan feel of hoping.

2. Pembangkitan motivasi dengan cerita


Cerita merupakan salah satu sarana untuk membangkitkan rasa
keagamaan atau religion consciousness, baik dengan tamsil ataupun
cerita-cerita para nabi dan kisah-kisah yang telah lampau. Sebab secara
naluri setip manusia ada sense of curiosity atau rasa ingin tahu. Dengan
cerita ini Al-Qur‟an berusaha menanamkan akidah teladan atau hukum
yang hendak diajarkan kepada manusia. Untuk menanamkan
keimanan, maka Al-Qur‟an mengetengahkan kisah “ Ashhabul Kahfi”.
3. Pembangkitan motivasi dengan peristiwa-peristiwa penting

Lazimnya, setiap manusia terpengaruh peristiwa-peristiwa


penting dalam kehidupannya, sebab dengan peristiwa tersebut ia dapat
mengambil pelajaran dan hikmahnya. Al-Qur‟an pun memanfaatkan
peristiwa penting sebagai sasaran pengajaran pada kaum muslimin.
Misalnya pada peristiwa „perang Hunain‟. Ketika itu, kaum muslimin
begitu terkesan akan banyak dan kuatnya tentara mereka. Merekapun
begitu yakin, kemenangan di tangan mereka atas orang kafir, dan lupa
akan kekuasaan Allah. Karenanya Allah berusaha menunjukan bahwa
bannyaknya orang atau „kuantitas‟ tidak akan menentukan
kemenangan. (QS. at-Taubah:25-26).
BAB IX

INTERAKSI SOSIAL DALAM PROSES DAKWAH

Salah satu ciri dakwah yang efektif adalah apabila hubungan baik
antara da‟i dan mad‟u semakin meningkat. Kedekatan tersebut bisa jadi terjadi
secara alamiah karena bertemunya dua unsur yang saling membutuhkan dan
saling mendukung, akan tetapi bisa jadi buah hasil dari kerja keras yang efektif,
yaitu melalui usaha keras meskipun membutuhkan waktu yang lama.

A. Pengertian Interaksi Sosial

Interaksi sosial diartikan suatu bentuk hubungan antara dua orang


atau lebih dimana tingkah laku seseorang diubah oleh tingkah laku yang lain.
Melalui dorongan antar pribadi dan response antar pribadi tersebut seseorang
yang bersifat biologis lamban laun berubah menjadi makhluk hidup atau
pribadi. Interaksi sosial merupakan perilaku timbal balik, dimana masing –
masing individu dalam proses itu mengharapkan dan menyesuaikan diri
dengan tindakan yang akan dilakukan orang lain. (Arifin, 1991:69)

Interaksi sosial merupakan suatu fondasi dari hubungan yang berupa


tindakan yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dan
diterapkan di dalam masyarakat. Dengan adanya nilai dan norma yang
berlaku, interaksi sosial itu sendiri dapat berlangsung dengan baik jika aturan
- aturan dan nilai–nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik. Jika tidak
adanya kesadaran atas pribadi masing – masing, maka proses sosial itu sendiri
tidak dapat berjalan sesuai dengan yang kita harapkan.

Di dalam kehidupan sehari – hari tentunya manusia tidak dapat


lepas dari hubungan antara satu dengan yang lainnya, ia akan selalu perlu
untuk mencari individu ataupun kelompok lain untuk dapat berinteraksi
ataupun bertukar pikiran. Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekamto di dalam
pengantar sosiologi, interaksi sosial merupakan kunci rotasi semua kehidupan
sosial. Dengan tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antar satu sama
lain maka tidak mungkin ada kehidupan bersama. Jika hanya fisik yang saling
berhadapan antara satu sama lain, tidak dapat menghasilkan suatu bentuk
kelompok sosial yang dapat saling berinteraksi.

B. Kemungkinan Timbulnya Interaksi Sosial


Unit sederhana yang memungkinkan terjadinya Interaksi Sosial
adalah yang terdiri dari dua individu, yang disebut pasangan. Menurut
Goodwin Watson, hubungan yang terjadi diantara dua individu itu dalam
istilah teknisnya disebut Dyad. Dyad adalah suatu hubungan antara dua orang
yang tidak mengandung hal-hal yang istimewa seperti hubungan cinta kasih.
Semua hubungan antara dua orang yang berinteraksi pasti menimbulkan
Dyad itu, bahkan dyad ini dapat diperluas menjadi suatu hubungan antar
bangsa, antar umat manusia, contohnya hubungan antara ibu dan anak, guru
dan murid, dan lain-lain. (Arifin,1991:70).
Menurut G. Watson, interaksi yang bersifat dyat itu harus
memenuhi syarat bahwa perbuatan-perbuatan dari seorang partner menjadi
perangsang terhadap mana orang lainnya mengadakan response, biasanya
keduanya saling mengadakan persesuaian diri. Dalam hubungan ini George
Herber Mead (1934) ahli psikologi sosial USA yang pertama menulis ilmu
pengetahuan tersebut menggambarkan perkelahian seekor anjing merupakan
model dari salah satu jenis interaksi yang bersifat dyadic, masing-masing
anjing yang bersangkutan menyesuaikan posisinya terhadap posisi lainnya,
masing-masing bergerak, gerak maju mundur, mengangkat dan merendahkan
kepalanya dan sebagainya.
Bagaimanapun juga daya psychis yang membentuk dyads ialah daya
tertarik antar person satu dengan lainnya, atau karena adanya rasa saling
bergantung antara mereka didalam usaha untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Sedangkan dalam proses dakwah interaksi dapat terjadi adanya da‟i dan
mad‟u. Sehingga ketertarikan dan sikap positif masyarakat terhadap da‟i dan
mad‟u dapat diuraikan faktor-faktornya sebagai berikut:

1. Ketertarikan mad‟u terhadap dai‟i bisa jadi karena daya pesona da‟i.
2. Ketertarikan mad‟u terhadap da‟i karena masyarakat sedang
membutuhkan kehadiran figur seorang da‟i.
3. Hubungan batin itu bisa jadi karena masyarakat sedang merindukan
hadirnya seorang pemimpin spiritual, tiba-tiba datang seorang da‟i yang
membawa apa yang diidamkan, dan bahkan lebih.
4. Selain itu sikap positif dan kesukaan atau ketertarikan orang kepada da‟i
disebabkan karena adanya kesaman karakteristik personal, kesamaan
tekanan psikologis, dan rendahnya harga diri. (Ahmad Mubarok, 1999,
197-199)
C. Pijakan Psikologi Hubungan Da’i dan Mad’u
Hubungan baik antara da‟i dan mad‟u sebagaimana hubungan baik antar
siapapun tidak otomatis terjadi, melainkan membutuhkan pijakan-pijakan
psikologi. Hubungan baik tersebut dimungkinkan akan terjadi apabila
kedua pihak terdapat dalam hal-hal berikut ini:
1. Faktor Percaya
Jika antara da‟i dan mad‟u saling mempercayai maka akan terjadi
hubungan baik antara kedua pihak tersebut. Namun sebaliknya apabila
mereka tidak saling percaya, maka akan ada kesalah pahaman.
2. Sikap Saling Membantu
Apabila masyarakat merasa terbantu oleh kehadiran da‟i begitu juga
dengan da‟i yang merasa dibantu oleh masyarakat dalam beramal
sholeh, maka akan terjadi hubungan baik akan mudah terjadi.
Sebaliknya apabila kehadiran da‟i dirasa oleh masyarakat sebagai
gangguan dan beban, atau da‟i yang merasa diperbudak, maka
hubungan baik tersebut tidak akan terjadi.
3. Sikap Terbuka
Apabila seorang da‟i memiliki sikap terbuka, dengan sikap yang ia
miliki dan diketahui masyarakat serta ia tidak menutupi atau basa-basi
maka hubungan keduanya akan baik. Akan tetapi apabila keduanya
saling menutupi rahasia yang sebenarnya bukan rahasia, maka
hubungan baik juga tidak akan terjadi.
D. Macam-macam Interaksi Sosial
Manusia dalam memberikan reaksi terhadap proses interaksi dalam suatu
kelompok menunjukkan berbagai macam tingkah laku yang berbeda-beda.
Perbedaan reaksi tersebut menurut R.F. Bales dan Strodtbeck (1951) dapat
dikategorikan menjadi empat macam sebagai berikut:
1. Tindakan Integratif-Expressif, yaitu tingkah laku yang bersifat terpadu
dan yang menyatakan doongan kejiwaan seseorang. Termasuk kategori
ini adalah perbuatan menolong orang lain ,memberikan pujian kepada
orang laian, melawak untuk menghilangkan ketegangan perasaan,
menyetujui pendapat orang lain, menunjukkkan setia kawan.
2. Tindakan yang relavan dengan tugas instrumental yakni tingkah laku
yang menggeraakkan kelompok kearah penyelesaian suatu problem
yang dipilihnya. Misalnya memberikan jawab atas pertanyaan,
memberikan sugesti, memberikan pendapat, memberikan penjelasan.
3. Tindakan meengajukan pertanyaan yang relavan dengan tugas
instrumental, yakni berupa permintaan untuk orientasi, sugesti, dan
pendapat.
4. Tindakan Integratif-Exspressif yang bersifat negatif, yakni tingkah
laku terpadu yang menyatakan dorongan kejiwaan yag bersifat
menghindar. Misalnya pernyataan tidak setuju, menimbulkan
ketegangan, antagonisme ( pertentangan), dan mengundurkan diri.
Dalam proses interaksi yang di orientasikan kepada tujuan dakwah,
kategori tingkah laku yang bersifat negatif dalam kelompok obyek
daakwah perlu dihindarkan antara lain, dengan mengembangkan sikap
solidaritas dan rasa keterikatan dan rasa senasib ( sense of belonging dan
sense of togetherness ) sesuai dengan ajaran agama.
BAB X
INTERAKSI DAKWAH ANTARA DA’I DAN MAD’U

A. Interaksi dan Komunikasi antara Da’i dan Mad’u


1. Interaksi dalam Dakwah antara Da’i dan Mad’u
Setelah mengetahui konsep interaksi dalam sosial, maka masuk pada
pembahasan mengenai interaksi dalam dakwah yang terjadi antara da‟i dan
mad‟u. Interaksi adalah proses saling mempengaruhi satu sama lain. Yang
dapat dimaknai dalam dakwah sebagai proses da‟i mempengaruhi mad‟u
agar dapat mempercayai apa yang disampaikan, dan pengaruh mad‟u bagi
da‟i untuk dapat berinteraksi sesuai bahasa atau metode yang dipahami oleh
mad‟u. Proses saling mempengaruhi inilah yang dimaksud interaksidalam
dalam dakwah. Terdapat proses saling mempengaruhi agar dapat meraih
kesepahaman bersama. Kesepahaman yang dimaksud disini adalah untuk
mencapai kebahagiaan dunia akhirat. (Faizah, 2006:138)
Dalam buku Psikologi dakwah ( Faizah, 2006:136) kegiatan dakwah
dalam hal ini interaksi sosialnya dipengaruhi oleh beberapa hal seperti
berikut:
a. Pelaksana dakwah (Da‟i)
Da‟i merupakan kunci utama yang menentukan keberhasilan dan
kegagalan dakwah yang juga merupakan pengendali sasaran dakwah.
Maka dari itu dibutuhkan beberapa persyaratan jasmani maupun rohani
yang kompleks untuk seorang da‟i.
b. Objek dakwah (Mad‟u)
Objek dakwah dilihat dari aspek psikologis memiliki variabilitas
yang luas dan rumit menyangkut pembawaan dan pengaruh lingkungan
yang berbeda yang menuntut pendekatan yang berbeda pula. Seorang
mad‟u menjadi tolok ukur keberhasilan dakwah yang dilakukan oleh da‟i
dan jga penentu metode apa yang akan digunakan da‟i.
c. Lingkungan Dakwah
Lingkungan dakwah dapat berupa kebudayaan sebuah masyarakat
serta latar atau keadaannya ditinjau dari lingkungan tempat dan juga
lingkungan sosial. Hal ini menentukan interaksi dakwah yang pas atau
efektif yang dapat diterima masyarakat di sebuah lingkungan untuk
tujuan dakwah.
d. Media Dakwah
Media dakwah adalah faktor yang menentukan kelancaran
pelaksanaan dakwah, faktor ini dalam penggunaan atau efektivitasnya
tergantung pada faktor lain terutama penggunaannya
e. Tujuan Dakwah
Faktor ini menjadi pedoman arah proses pelaksanaan dalam dakwah.

2. Komunikasi dalam Dakwah antara Da’i dan Mad’u


Dalam ajaran Islam, komunikasi mendapat tekanan yang cukup kuat
bagi manusia sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhuk Tuhan.
Komunikasi tidak harus dilakukan terhadap sesama manusia tapi antar
manusia atau manusia dengan lingkungannya dan juga komunikasi pada
Tuhan. (Faizah, 2006:149)Dalam interaksi antara da‟i dan mad‟u, da‟i
menggunakan komunikasi sebagai medianya. Komunikasi dalam dakwah
tidak hanya untuk memberi pengertian, mempengaruhi sikap, membina
hubungan sosial yang baik, tapi tujuan yang terpenting dalam komunikasi
dakwah adalah untuk mendorong mad‟u bertindak melaksanakan ajaran-
ajaran agama dengan terlebih dahulu memberikan pengertian,
mempengaruhi sikap, dan membina hubungan yang baik.
Dalam buku Psikologi dakwah, Faizah mengacu pada pengantarnya
yaitu guru besar UIN Jakarta, Achmad Mubarok bahwa terdapat proses
penyampaian dan penerimaan pesan dalam komunikasi yang kemudian
olehnya dikembangkan sebagai berikut:
a. Sensasi
Tahap penerimaan stimulus informasi adalah sensasi yang
merupakan tahap pertama proses komunikasi. Dalam psikologi
komunikasi dijelaskan bahwa sensasi adalah proses menangkap
rangsang. Fungsi penting ini dilakukan oleh indra manusia untuk dapat
memperoleh pengetahuan dan semua kemampuan untuk berinteraksi
dengan dunianya.
Seperti halnya ketika seorang da‟itampil di mimbar maka yang
pertama kali ditangkap oleh indra manusia adalah sosok tubuhnya
kemudian setelah berpidato mad‟u menangkap stimuli suaranya.
b. Persepsi
Persepsi adalah pengalaman mengenai objek, peristiwa, dan hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan. Pada tahap yang kedua ini persepsi mengubah sensasi
menjadi informasi.
c. Memori
Setelah melalui 2 tahap diatas maka tahap selanjutnya adalah
memori atau penyimpanan informasi. Manusia diberi kelebihan ingatan
yang luar biasa. Jadi apa yang ditangkap panacaindra (sensasi)
kemudian diubah menjadi informasi (persepsi) selanjutnya disimpan
dalam memori (ingatan). Kapasitas tiap orang berbeda-beda, ada yang
dapat mengingat detail apa yang dialami dalam puluhan tahun yang lalu
atau ada yang cepat lupa.
d. Berpikir
Pada tahapan yang terakhir ini manusia melibatkan penggunaan
konsep dan lambang sebagai pengganti objek dan peristiwa. Dalam tahap
ini manusia menggunakan 3 tahap sebelumnya sekaligus. Proses
pelaksanaan dakwah tidak terlepas dari faktor bahasa sebagai salah satu
alat komunikasi penyampaian pesan dari da‟i kepada mad‟u. Pada
kenyataannya ketika da‟i terjun dalam masyarakat akan terdapat berbagai
dialek yang berbeda antara satu wilayah dan wilayah yang lain.dalam Al
Qur‟an sendiri telah dijelaskan pada surat al-Hujurat ayat 13 bahwasanya
manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda baik suku, bahasa, dan karakter.
Faktor bahasa dalam komunikasi dapat membawa saling pengertian antar
individu.(Faizah, 2006:158)
Terdapat prinsip komunikasi yang perlu dipahami terlebih dahulu
oleh seorang da‟i agar dapat menerapkannya dalam berdakwah. Berikut
prinsip-prinsip komunikasi (Deddy Mulyana, 2016:92) yang perlu
diaplikasikan dalam berdakwah:
1. Komunikasi adalah Proses Simbolik.
Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk
menunjuk sesuatu yang lain berdasarkan kesepakatan kelompok. Lambang
tidak berarti sampai kita memberikan makna padanya.
Seorang da‟i dalam berdakwah haruslah memakai simbol yang
berupa istilah yang dapat dimengerti masyarakat setempat. Karena proses
komunikasi pesan dakwah tidak dapat sampai jika da‟i menggunakan istilah
yang tidak dimengerti mad‟unya.
2. Komunikasi memiliki Dimensi Isi dan Hubungan
Dimensi isi menunjukkan muatan komunikasi atau apa yang
dikatakan. Sedangkan dimensi hubungan menunjukkan bagaimana cara
mengatakannya yang jga mengisyaratkan bagaimana hubungan para peserta
komunikasi itu atau dalam hal ini da‟i dan mad‟u. Banyak yang tidak
menyadari bahwa pesan yang sama bisa ditafsirkan berbeda apabila
disampaikan dengan cara yang berbeda. Maka seorang da‟i harus dapat me
mix and match kedua dimensi ini agar pesannya dimengerti mad‟unya.
Adapun beberapa komponen pendukung komunikasi dakwah antara lain:
a. Organisasi
Organisasi dakwah diperlukan untuk menunjang agenda dakwah.
Lapisan masyarakat dapat dilayani secara serentak ketika pelaku dakwah
menggunakan organisasi dakwah sebagai pelaku dakwahnya.
b. Ekonomi, Sosial, Budaya
Hal ini sebagai penunjang langkah dakwah agar pelaku dakwah
dapat eksis di tengah kehidupan yang hingar bingar yang sebagian telah
mengagungkan materi.
c. Iklim Yang Menunjang
Suatu kondisi juga perlu diperhitungkan dalam
mengoprasionalkan komunikasi dakwah. Dalam kondisi damai tanpa
konflik komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan baik.
B. Membangun Interaksi dan Komunikasi yang Efektif
1. Interaksi yang Efektif antara Da’i dengan Mad’u
Setelah sebelumnya dipaparkan mengenai faktor interaksi sosial
yang dapat diterapkan juga dalam interaksi dakwah. Bahwa seorang da‟i
dituntut mampu menyebarkan atau mensosialisasikan serta menarik
perhatian mad‟u agar mereka mengimitasi atau mencontoh berkaitan dengan
ide-ide serta tindakan yang sesuai dengan ajaran islam. Di dalam faktor
selanjutnya yaitu identifikasi dan simpati menuntut seorang dai sebagai
publik figur yang ahli dalam bidangnya, berpengalaman, serta prestise agar
sasaran dakwah tertarik mengidentifikasikan dirinya dan kemudian
bersimpati pada da‟i tersebut sehingga terjadi perubahan sikap. (Faizah,
2006:138)
Faizah dan Lalu Muchsin Effendi dalam buku psikologi dakwah
mengemukakan bahwa keefektifan interaksi seorang da‟i dapat dibangun
oleh sikap yang positif seperti berikut:
a. Pesona da‟i
Yang dimaksud disini bukan saja mengenai paras seorang dai
namun sikap da‟i yang lemah lembut dan berbudi halus, memiliki
kemampuan membantu masyarakat dalam memecahkan problem sosial
yang menjadi harapan masa depan bagi masyarakat luas.
b. Figur da‟i
Suasana psikologis masyarakat yang menunggu kehadiran
seorang yang didambakan mengisi kekosongan.
c. Hubungan batin
Hubungan ini terbentuk ketika masyarakat merindukan seorang
pemimpin spiritual yang mampu menyelesaikan konflik setempat.

2. Komunikasi yang Efektif antara Da’i dengan Mad’u


Prinsip komunikasi adalah semakin mirip latar belakang sosial
budaya semakin efektiflah komunikasi.Komunikasi yang efektif adalah
komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan orang yang sedang
berkomunikasi.
Pada dasarnya tidak pernah ada kesamaan identik antara dua
manusia atau lebih. Namun terdapat kesamaan dalam hal-hal tertentu,
misalnya agama, ras, bahasa, tingkat pendidikan atau tingkat ekonomi yang
kesamaan tersebut komunikasi mereka lebih efektif. Jadi haruslah ada
kesediaan untuk saling memahami dan menerima perbedaan tersebut.
Karena pada dasarnya suatu pesan terikat budaya, seperti contohnya lelucon
yang sesekali di lemparkan oleh da‟i kepada mad‟unya akan sampai apabila
keduanya memiliki latar budaya yang sama.
Dalam proses dakwah dakwah da‟i akan berhadapan dengan mad‟u
dengan bahasa yang beragam, maka seharusnyalah seorang da‟i mengenal
bahkan menguasai bahasa mad‟u tersebut agar komunikasi yang efektif
dapat tercapai. Tanpa mengenal bahasa mad‟u maka penyampaian pesan
da‟i tidak akan dapat berkomunikasi dengan baik. Seperti terdapat dalam
QS. Ibrahim ayat 4 sejarah juga sudah membuktikan bahwa Allah
mengangkat nabi dan Rasul untuk kaum dari kalangan kaum itu sendiri yang
memiliki bahasa yang sama. (Faizah, 2006:159)
Rasulullah sebagai pendakwah pertama umat ini telah cukup
menjadi sebaik-baiknya tauladan untuk segala aspek kehidupan termasuk
bidang dakwah. Kecerdasan beliau dalam berdakwah juga dapat kita contoh
betapa beliau dimasanya dapat menjadi pengkomunikasi islam yang
rahmatan lil alamin. Bukan saja bagi ummat muslim namun kehadiran
Rasulullah juga menjadi oase bagi kaum nonmuslim. Dengan
mengedepankan toleransi dan meminggirkan segala perbedaan yang ada
dalam manusia. Rasulullah dalam berdakwah selalu memperhatikan siapa
yang menjadi sasaran dakwahnya seperti berikut:
a. Perbedaan nasihatnya terhadap beberapa orang yang berbeda latar
belakangnya.
b. Perbedaan jawaban dan fatwanya pada pertanyaan yang diajukan oleh
beberapa orang yang berbeda.
c. Perbedaan sikap dan perilakunya terhadap beberapa orang yang
berbeda.
d. Perbedaan pembebanan terhadap orang yang berbeda dengan kapasitas
yang berbeda.
e. Penerimaannya terhadap sebagian sikap atau perilaku seseorang yang
tidak dia terima dari orang yang berbedai
Komunikasi dakwah Rasulullah berupaya mengangkat derajat
masyarakat jahiliyah Arab dengan niat yang tulus ikhlas untuk mentaati
perintah Allah dan menjauhi larangannya telah berhasil mencapai tujuannya.
Dan selayaknya seorang komunikator tidak bersikap kasar dalam berdakwah
meski harus tetap tegas dan kukuh pendirian. Sifat-sifat mulia beliau sejak
kecil menjadikan Rasulullah memancarkan shibghat‟llah atau celupan Allah
yang memudahkan beliau membangun kesadaran kolektif yang istikomah
khususnya dalam komunikasi dakwah.
Kredibilitas yang dimiliki seorang tokoh dakwah tidak perlu
dibangun dengan perilaku yang manipulatif atau dibuat-buat. Namun ia
harus mampu mencerminkan sikap positif seperti yang dicontohkan
Rasulullah saw. Selaku tokoh, komunikator dakwah tidak hanya sekedar
mampumenyampaikan pesan islam secara verbal namun dituntut untuk
memberikan suri tauladan yang baik. Dengan citra yang baik, masyarakat
mau mendengar dan menyimak apa yang disampaikan oleh komunikator
(Ma‟arif, 2010:60).
Dalam buku Metode dakwah (Munir, 2003:252) dipaparkan
mengenai pendapat Syekh Muhammad Abduh, bahwa ada 3 golongan umat
yang dihadapi pendakwah dan cara menghadapinya secara garis besar ,
yaitu:
a. Golongan cendekiawan
Pada golongan ini terdapat orang-orang yang cinta kebenaran dan
dapat berfikir secara kritis. Mereka harus diseru dengan hikmah, yaitu
dengan alasan-alasan dan dalil-dalil yang hujjah dan dapat diterima
dengan kekuatan doa mereka.
b. Golongan awam
Pada golongan ini mereka belum dapat menangkap pengertian
yang tinggi, mereka dapat diseru dengan maidzatun hasanan yang berisi
ajaran dan didikan yang mudah dipahami.
c. Golongan yang tidak keduanya
Pada golongan ini mereka tidak dapat diseru menggunakan metode
menghadapi dua golongan sebelumnya. Mereka dinasehati dengan
mujadallah billati hiya Ahsan yakni dengan cara bertukar pikiran guna
mendorong berpikir secara sehat satu sama lain.
Syekh Muhammad Abduh menyimpulkan bahwa ketika berbicara atau
berkomunikasi dengan seseorang hendaknya berbicara dengan kadar
akalnya masing-masing. Jika seorang da‟i ingin setiap nasihatnya dapat
berkesan dan meresap ke hati pendengarnya, beberapa yang harus dilakukan
adalah:
a. Melihat secara langsung atau mendengar pembicaraan orang tentang
kemungkinan yang tengah merajalela.
b. Memprioritaskan kemungkinan yang paling besar bahayanya atau
dampak negatifnya untuk dijadian nasihat.
c. Menganalisa apakah hal yang membahayakan tersebut merupakan
kerusakan moral, kemasyarakatan, kesehatan atau harta.
d. Menukil nash-nash al Qur‟an dan hadits shahih perkataan sahabat.
BAB XI
DAKWAH PERSUASIF

A. Pengertian Dakwah

Kata dakwah adalah derivasi dari bahasa Arab “Da‟wah” . Kata


kerjanya da‟aa yang berarti memanggil , mengundang atau mengajak .
Ism fa‟ilnya (red. pelaku) adalah da‟I yang berarti pendakwah. Di dalam
kamus al-Munjid fi al-Lughoh wa al-a‟lam disebutkan makna da‟I
sebagai orang yang memangggil (mengajak) manusia kepada agamanya
atau mazhabnya . Merujuk pada Ahmad Warson Munawir dalam Ilmu
Dakwah karangan Moh. Ali Aziz (2009:6) , kata da‟a mempunyai
beberapa makna antara lain memanggil, mengundang , minta tolong ,
meminta , memohon , menamakan, menyuruh datang , mendorong ,
menyebabkan , mendatangkan , mendoakan , menangisi dan meratapi.

Dakwah adalah perintah mengadakan seruan kepada sesama


manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar
dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik (Aboebakar Atjeh,
1971:6). Dakwah islam merupakan ajaran untuk berfikir , berdebat dan
beragumen dan menilai sesuatu kasus yang muncul . Dakwah islam tidak
dapat disikapi dengan keacuhan oleh orang bodoh yang berhati dengki .
Hak berfikir merupakan sifat dan milik semua manusia, tak ada orang
yang mengingkarinya. Kemudian apa yang dilakukan adalah penilaian ,
maka hakikat sifat penilaian tujuan dakwah tak lain adalah kepasrahan
yang beralasan , bebas , dan sadar dari obyek dakwah terhadap
kandungan dakwah (Moh. Ali Aziz,2009:3).

Essensi dakwah adalah terletak pada ajakan , dorongan


(motivasi) , rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk
menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan
pribadinya sendiri, bukan untuk kepentingan orang lain.

Oleh karena itu sikap suka rela dalam penerimaan massage


dakwah merupakan ciri khas kejiwaan, maka kegiatan dakwah yang
didasarkan atas pandangan psikologi mengandung sifat persuasif
(memberikan keyakinan) , motivatif (merangsang) , konsultatif
(memberikan nasehat) , serta edukatif (mendidik).

B. Komunikasi Persuasif

Apa itu persuasif ? Persuasif yaitu adalah tanpa adanya paksaan


dengan mempengaruhi jiwa seseorang sehingga dapat membangkitkan
kesadarannya untuk menerima dan menerima suatu tindakan(Moh. Ali
Aziz,2009:446),

Persuasif berasal dari istilah bahasa Inggris persuation. Persuation


dapat diartikan sebagai membujuk, merayu, meyakinkan, dan sebagainya.
Baik koersif ataupun persuasif keduanya bertujuan mengubah perilaku,
kepercayaan, dan sikap. Bedanya ialah terletak pada cara
penyampaiannya.

Sebagai contohnya adalah Ustadz Abdul Shomad (UAS) yang


termasuk salah satu da‟i yang dapat diterima semua kalangan terlepas
dari adanya beberapa golongan yang membencinya , Sehingga dapat
dikatakan Dakwah Persuasif adalah proses kegiatan yang mempengaruhi
jiwa seseorang (mad‟u) sehingga timbul kesadarannya sendiri untuk
mengikuti ajakan pendakwah (da‟i) dengan cara halus atau tanpa
paksaan.

Dakwah bukan saja merupakan suatu kewajiban bagi orang orang


yang tampil di „mimbar‟ namun kita semuapun wajib untuk berdakwah
sesuai kapasitas dan kemampuan kita , dakwah persuasif atau dakwah
yang disampaikan secara persuasif pun menjadi suatu cara yang terbukti
efektif .

Komunikasi dakwah persuasif adalah komunikasi dakwah yang


senantiasa berorientasi pada segi-segi psikologis mad‟u dalam rangka
membangkitkan kesadaran mereka untuk menerima dan melaksanakan
ajaran Islam. Dakwah Islam dilakukan dengan cara persuasif dengan
tidak melakukan pemaksaan, merusak dan anarkis. Da‟i tidak bisa
memaksakan ide-ide dan ajarannya agar diikuti oleh mad‟u. Akan
tetapi da‟i seharusnya menyampaikan ide dan ajaran dengan
pertimbangan rasa (emosi) dan fakta-fakta yang kuat serta dengan
pendekatan kultural berikut dengan bahasa dan idiom-idiomnya.

Untuk meningkatkan keberhasilan dalam komunikasi dakwah


persuasif perlu dilaksanakan secara sistematis. Dalam komunikasi ada
sebuah formula yang dapat dijadikan landasan pelaksanaan komunikasi
persuasif . Formula-formula tersebut tersebut adalah:

1. Attention yaitu perhatian. Dilakukan dengan cara menyampaikan


informasi dakwah dengan tutur kata yang lembut dan penampilan
yang yang berkesan.
2. Interest (minat) yaitu menumbuhkan minat mad‟u untuk mengenal
ajaran agama. Hal ini bisa disentuh dengan menuruti kemauan dan
kebutuhan mad‟u.
3. Desire (hasrat) yaitu menumbuhkan hasrat mad‟u dengan cara
melakukan kontak visual terhadap mad‟u sehingga merasa lebih
diperhatikan. Hal tersebut juga menuntut mad‟u untuk
memperhatikan.
4. Decision (keputusan) yaitu upaya untuk mengarahkan mad‟u kepada
sebuah tindakan yang diinginkan oleh da‟i.
5. Action (kegiatan) yaitu upaya menggerakkan mad‟u untuk melakukan
apa yang sudah disampaikan dengan pemilihan kata yang tepat
sehingga mudah diapahami oleh mad‟u.

C. Dakwah Persuasif

Dakwah Persuasif “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa
yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan
berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang
berbekas pada jiwa mereka.” (Qs. An-Nisa ayat 63)

Persuasifitas mengarah pada sejauh mana pesan-pesan dan aktifitas


dakwah dapat mempengaruhi dan meyakinkan jamaah dakwah. Suatu
komunikasi dakwah berdaya panggil secara berbeda pada jiwa orang yang
diserunya. Ada daya panggil besar yang, namun ada pula yang berdaya panggil
kecil. Sekecil apapun daya panggil dakwah, selayaknya dipahami sebagai efek
dari kegiatan komunikasi dakwah. Penyebar luasan islam ke Nusantara juga
tercatat sebagai hasil dari proses asimilasi kehidupan melalui jalan dakwah
yang dilakukan oleh Walisongo (Sembilan wali). Dakwah islam yang mereka
lakukan itu lebih dititik beratkan kepada ajaran hati (tashawuf) , sehingga dapat
menyentuh hati dan membina kepribadian muslim yang lemah lembut
(Achmad Mubarok,2014:167)

Dakwah persuasif adalah proses mempengaruhi mad‟u dengan


pendekatan psikologis, sehingga mad‟u mengikuti ajakan da‟i tetapi merasa
sedang melakukan sesuatu atas kehendak sendiri (tidak dipaksakan).

Dalam al-Qur‟an dakwah persuasif telah disinggung. Al-Qur‟an memberikan


iatilah-istilah pesan yang persuasive dengan kalimat qaulan layina, qaulan
ma‟rufa, qaulan baligha, qaulan sadida, qaulan karima, qaulan maisura, dan
qaulan tsaqila.
a. Qaulan Baligha (Perkataan yang membekas pada jiwa)

Al-Qur‟an memberikan tuntunan, bahwa redaksi seruan dakwah


berbeda-beda tekanannya, tergantung siapa mad‟unya. Perkataan yang
dianggap baligh, manakala berkumpul padanya tiga sifat yaitu, memiliki
kebenaran dari sudut bahasa, mempunyai kesesuaian dengan apa-apa
yang dimaksudkan, mengandung kebenaran secara substansional.

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang


munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah
Jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS.
At-Taubah ayat 73)

Misalnya, seorang pelaku dakwah ketika berbicara dengan orang


munafik jangan berbicara dengan perkataan yang lemah lembut karena
tidak akan membekas pada jiwanya. Tetapi berbicaralah dengan kalimat
yang tajam, pedas, tetapi benar baik bahasa maupun substansinya.
Contohnya Pernyataan yang tajam tapi benar adalah QS. Al-Baqarah ayat
8-20 tentang orang munafik.

b. Qaulan Layyina (Perkataan yang lemah lembut)

“(43) Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, Sesungguhnya Dia telah


melampaui batas; (44) Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau
takut". (QS. Thahaa ayat 4-44)

Dakwah yang sejuk dan lemah lembut ini secara pesuasif cocok
jika ditujukan kepada mad‟u yang menduduki kekuasaan yang peka
terhadap kritik.
c. Qaulan Maisura (Perkataan yang ringan)

“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari
Tuhanmu yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka
Ucapan yang pantas” (QS. Al-Isra ayat 28). Qaulan Maisura atau
perkataan yang ringan ini biasanya relevan bagi awam yang hidupnya
masih direpoykan oleh kebutuhan pokok: makan, minum, tempat
berteduh.

d. Qaulan Karima (Perkataan yang mulia)

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah


selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu , Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra ayat 23).

Dakwah persuasif qaulan karima diperlukan jika dakwah itu


ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia
lanjut. Haruslah di sampaikan dengan perkataan yang mulia.

e. Qaulan Syadida (Perkataan yang benar)

Qaulan syadida merupakan persyaratan umum suatu pesan dakwah


agar dampakya persuasif. Ditujukan kepada siapa pun, pesan dakwah
haruslah dengan perkataan yang benar.

“(70) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah


dan Katakanlah Perkataan yang benar, (71) niscaya Allah memperbaiki
bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan
Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah
mendapat kemenangan yang besar ” (QS. Al-Ahzab ayat 70-71)
(Achmad Mubarok,2014:190-204).
BIODATA PENULIS

Agus Hermawan, S.Pd.I, M.A (Pak Agus, lahir 22 Agustus 1978) adalah
putera bungsu dari tiga bersaudara pasangan Ki sumbodo trah Notobratan Pangeran
Wijil V (Keturunan R.M. Said/ Sunan kalijaga Kadilangu Demak ke-14) dan Ibu Hj.
Kartini dari Undaan Kidul kudus. Masa kecilnya dihabiskan untuk belajar dan
mengaji serta bekerja membantu orang tuanya. SD, MTs (Kudus), SMA (Jepara), S1
/PAI; S.Pd.I (STAIN Kudus tahun 2003) S2/Psikologi Pendidikan Islam; M.A (UMY
Yogyakarta tahun 2005). Sekarang ini pak Agus beraktivitas sebagai Dosen di IAIN
Salatiga, Ketua Yayasan Hj. Kartini Kudus, Ketua Yayasan Nurul Muttaqiin Kalirejo,
Sekretaris Majlis Dakwah Islamiyah, Sekretaris KAHMI Kudus, Ketua Takmir
Masjid, Direktur LPI Nurul Muttaqiin, Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatun Najah
Kecandran Salatiga dan beliau juga aktif menulis beberapa jurnal serta buku yang
telah dipublikasikan, berorganisasi non politik, dan memberi ceramah di masyarakat
dan Perguruan Tinggi setempat serta memberi layanan konseling di rumahnya.

Pengalaman sebagai guru selama 10 tahun telah mengampu 21 mata pelajaran


(2000-2010), Kepala Sekolah termuda MAS/ SLTA (2006-2010), pimpinan BPD
termuda (usia 21 tahun) telah menjadikan mantan pimpinan redaksi Bulletin Al
Hikmah HMJ STAIN Kudus ini semakin terpacu untuk selalu belajar dalam segala
hal. Mantan Aktivis Mahasiswa ini telah mengajar beberapa mata kuliah diantaranya;
Psikologi Umum, Psikologi Pendidikan di Universitas Satyagama Jakarta
(2007/2008), Bimbingan dan Konseling Islam, Metodologi Ketrampilan Konseling,
Psikologi Sosial di UNISFAT Demak, mata kuliah PAI dan Filsafat Ilmu di UMK
Kudus. Beberapa buku beliau diantaranya; Bengkeli Hati Qta dengan Kata Mutiara
(2011), Pantun Advice For US (2011), Pengantar Bimbingan Konseling Islam (2011),
Nabi Muhammad Sang Penyelamat Umat (2011), Pengantar Psikologi Pendidikan
Islam (2011), Pengantar Ilmu Sosial, Budaya dan alamiah Dasar (2011), Buku
Panduan Wisuda Sarjana (2011), Pengantar PAI di Perguruan Tinggi (2011)
Pengantar Filsafat Ilmu (2012), Studi Islam Indonesia (2016), Sirah Nabawiyah
(2016) Pengantar Akhlak Tasawuf I (2016), Retorika Dakwah (2018), Studi Islam
Nusantara dan Pengantar Psikologi Dakwah (2019). Penulis sekarang bertempat
tinggal di Desa Undaan Kidul gang 10B dan Kalirejo RT 02 RW II Gang 02 Undaan
Kudus dengan 3 anaknya Risyad Hisyam ash Shiddieqi, Anas Dhiyaul Haq al Qudsi
dan Qaisara Rania Asy-Syabiya didampingi isteri tercinta Erlina Wijayanti, S.Pd yang
berprofesi sebagai PNS di Kementerian Agama Kabupaten Demak. Semoga buku
sederhana ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amaliah penulis. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA

Armawati Arbi, 2012, Psikologi Komunikasi dan Tabligh, Jakarta: Amzah

Faizah dkk, 2015, Psikologi Dakwah, Jakarta: Prenada Media Group

Hamdani Bakran adz Dzakiey, 2005, Psikologi Kenabian; Memahami Hakikat


dan Citra Diri, Yogyakarta: Penerbit Daristy

Hamdani Bakran Adz Dzaky, 2006, Konseling dan Psikoterapi Islam,Yogyakarta:


Penerbit Fajar Pustaka Baru

Muhammad Izzuddin Taufiq, 2006, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi


Islam,Jakarta:Gema Insani

Muhammad Syafa‟at Habib, 1982, Buku Pedoman Da‟wah, Jakarta: Penerbit


Widjaya

Muhammad „Utsman Najati, Psikologi Dalam Perspektif Hadits, Jakarta: Pustaka


Al-Husna Baru

Munzier suparta dan Harjani Hefni L.C.2003.metode dakwah,jakarta:jakarta


Kencana.

Anda mungkin juga menyukai